LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

10
1 ALUR PROGRAM DAN KEGIATAN PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH Oleh Herman Hermit (dikutip dari buku Herman Hermit, 2009. Teknik Penaksiran Harga Tanah Perkotaan: Teori dan Praktek Penilaian Tanah, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung)

Transcript of LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

Page 1: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

1

ALUR PROGRAM DAN KEGIATAN PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH

Oleh Herman Hermit

(dikutip dari buku Herman Hermit, 2009. Teknik Penaksiran Harga Tanah Perkotaan: Teori

dan Praktek Penilaian Tanah, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung)

Page 2: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

2

Alur Pengelolaan Program Konsolidasi Tanah

Masukan

Proses

Keluaran

RTRW

Kabupaten/K

ota

RPJMD

Kabupaten/K

ota

Penetapan Lokasi-lokasi

Konsolidasi Tanah oleh

Bupati/Walikota.

Daftar Lokasi dan

Peta Lokasi

Rencana

Konsolidasi Tanah

di Wilayah

Kabupaten/Kota.

Pembentukan Tim Koordinasi

Konsolidasi Tanah dan Satgas

Pelaksanaan Konsolidasi Tanah,

baik di Tingkat Propinsi (oleh

Gubernur) maupun di Tingkat

Kabupaten (oleh

Bupati/Walikota).

Tim Koordinasi

Konsolidasi Tanah

dan Satgas

Pelaksanaan

Konsolidasi Tanah

Tingkat Propinsi

dan Tingkat

Kabupaten/Kota.

Pembinaan Pelaksanaan

Konsolidasi oleh Kepala BPN

Pengendalian Pelaksanaan

Konsolidasi oleh Kakanwil

BPN Propinsi

Pertanggungjawaban

Pelaksanaan Konsolidasi oleh

Kakan Pertanahan Kab/Kota.

Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota

menyelenggarakan pengelolaan-

pengelolaan:

Bendaharawan khusus

Buku Kas Umum (BKU)

Buku Pembantu (BP) Dana

Konsolidasi Tanah

Daftar Rencana Kegiatan

Konsolidasi Tanah (DRKK)

Laporan pertanggungjawaban

bulanan Kepala Kantor Pertanahan

atas pengelolaan dana konsolidasi

tanah kepada Kepala BPN melalui

Kabiro Keuangan BPN, dengan

tembusan disampaikan kepada

Kakanwil BPN.

Laporan

Pertanggung-

jawaban

Pelaksanaan

Konsolidasi

Tanah dari

Kepala Kantor

Pertanahan

kepada Kepala

BPN

Sumber Informasi: Diolah Herman Hermit dari Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun

1991 tentang Konsolidasi Tanah.

Page 3: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

3

Alur Pengelolaan Kegiatan Konsolidasi Tanah

Masukan

Proses

Keluaran

Perangkat

Pengelolaan

Program

Konsolidasi

Tanah (Lihat:

Alur

Pengelolaan

Program)

Pencapaian persetujuan para

pemilik tanah yang setara dengan

sekurang-kurangnya 85% dari

luas tanah yang akan

dikonsolidasi.

Kesiapan

seluruh pemilik

tanah yang akan

dikonsolidasi.

Penyiapan/Penyusunan:

Kesepakatan nilai atau harga

“Sumbangan Tanah Untuk

Pembangunan” (STUP) bagi

keperluan: prasarana

lingkungan atau fasilitas

umum dan “Tanah Pengganti

Biaya Pelaksanaan”(TPBP).

Rencana Penataan Kapling.

Persetujuan seluruh pemilik

peserta konsolidasi tanah

terhadap kedua hal tersebut di

atas.

Pelepasan hak atas tanah dari

seluruh peserta konsolidasi

kepada negara di Kantor

Pertanahan.

Status Tanah

menjadi Tanah

Negara

Usulan Kepala Kantor Pertanahan

kepada Kepala BPN melalui

Kakanwil BPN tentang Penetapan

tanah-tanah tersebut sebagai tanah

obyek konsolidasi.

SK Kepala BPN

tentang

Penetapan

Tanah Obyek

Konsolidasi

Pemberian Surat Izin

Menggunakan Tanah (SIMT) atas

Tanah Pengganti Biaya

Pelaksanaan (TPBB) oleh Kepala

Kantor Pertanahan kepada pihak

Surat Izin

Menggunakan

Tanah (SIMT)

untuk pihak

ketiga/pembeli.

Page 4: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

4

ketiga/pembeli.

Bukti

pembayaran

biaya

administrasi.

(Biaya Uang

Pemasukan

dibebaskan)

Gambar

rencana tata

kapling

Surat Izin

Mengguna-

kan Tanah

(SIMT) bagi

pihak ketiga.

Pemberian Hak atas tanah (Hak

Milik) kepada para peserta

konsolidasi tanah dan pihak

ketiga yang membeli “Tanah

Pengganti Biaya Pelaksanaan”

(TPBP) sesuai dengan gambar

rencana tata kapling.

SK

Pemberian

Hak atas

tanah (Hak

Milik)

SK

Pemberian

Hak

Honorarium

PPAT

Pembuatan Akta oleh PPAT

(Pejabat Pembuat Akta Tanah)

tentang Pemberian Hak Baru

Akta PPAT

Bukti

pembayaran

Pendaftaran

Tanah dan

Sertipikat

Pembukuan dan Pendaftaran

hak pada Kantor Pertanahan

Kabupaten Bandung.

Sertipikat Hak

Milik atas

tanah untuk

setiap peserta

konsolidasi

dan pihak

ketiga.

Sumber Informasi: Diolah Herman Hermit dari substansi Peraturan Kepala

BPN No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.

Page 5: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

5

Ringkasan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang

Konsolidasi Tanah :

Konsolidasi Tanah merupakan suatu kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali

penguasaan-pemilikan dan penggunaan tanah sekaligus sebagai suatu upaya pengadaan

tanah bagi pembangunan, mempunyai tujuan-tujuan mendasar: meningkatkan dayaguna

dan hasilguna penggunaan tanah, menyelaraskan kepentingan individu dengan fungsi

sosial tanah, meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam

dengan melibatkan partisipasi masyarakat. (Pasal 1 dan Konsiderans)

Masyarakat pemilik tanah baik di perkotaan maupun di perdesaan atas biaya sendiri

mempunyai hak melakukan konsolidasi tanah apabila sekurang-kurangnya 85 persen dari

luas tanah mendapat persetujuan pemiliknya dan mendapat Penetapan Lokasi dari

Bupati/Walikota sesuai dengan rencana peruntukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah

dan Rencana Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal 4 dan 7)

Untuk memungkinkan mencapai kondisi penguasaan-pemilikan tanah dan penggunaan

tanah dalam bentuk persil tanah yang teratur/terencana, pemilik tanah peserta konsolidasi

harus melepaskan hak atas tanahnya terlebih dahulu kepada negara (menjadi tanah

negara) untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Obyek Konsolidasi Tanah oleh Kepala

Badan Pertanahan Nasional atas usul Kepala Kantor Pertanahan melalui Kepala Kantor

Wilayah BPN. (Pasal 8 ayat 1)

Obyek Konsolidasi Tanah diberikan kembali kepada para peserta Konsolidasi Tanah

sesuai dengan rencana tata kaveling yang disetujui oleh para peserta Konsolidasi Tanah

dan dibebaskan dari pembayaran Uang Pemasukan Negara namun tetap harus membayar

Biaya Administrasi dan Biaya Pendaftaran Tanah. (Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3)

Pemenuhan biaya pembangunan prasarana dan sarana lingkungan serta biaya pelaksanaan

konsolidasi tanah, bersumber dari "Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan" (STUP) atau

bentuk lain yang bisa diuangkan dari para peserta. (Pasal 6 dan 7)

Pihak yang ikut terlibat dalam program Konsolidasi Tanah berikut fungsinya masing-

masing adalah sebagai berikut: (1) Kepala BPN sebagai pembina pelaksanaan, (2) Kepala

Kantor Wilayah BPN sebagai pengendali pelaksanaan, (3) Kepala Kantor Pertanahan

sebagai penanggung jawab pelaksanaan, (4) Tim Koordinasi Konsolidasi Tanah yang

dibentuk Gubernur untuk melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait di Daerah

Propinsi, dan (4) Tim Koordinasi Konsolidasi Tanah dan Satuan Tugas Pelaksanaan

Page 6: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

6

Konsolidasi Tanah yang dibentuk Bupati/Walikota untuk melakukan koordinasi dengan

instansi-instansi terkait di Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal 5)

Page 7: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

7

PARTICIPATORY PLANNING AND BUILDING

& PRINSIP DASAR KONSOLIDASI TANAH

oleh Herman Hermit

Cuplikan atas Buku Herman Hermit, 2009. Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan

Permukiman (UU No 4 Tahun 1992), Penerbit CV Mandar Maju, Bandung.

I. PARTICIPATORY PLANNING AND BUILDING

Dalam pemikiran UU Perumahan dan Permukiman ini warga, khususnya pemilik tanah dalam kawasan

peruntukan perumahan/permukiman, ditempatkan sebagai subyek pembangunan: pelaku dan sekaligus alasan

tujuan pembangunan perumahan dan permukiman. Dalam sistem perencanaan dan pembangunan yang

berkembang di dunia, terutama Negara-negara liberal, telah sejak tahun 1940-an menganut pendekatan

participatory planning and building, bukan hanya dalam bidang perumahan dan permukiman, melainkan telah

menjangkau aspek yang lebih luas seperti bidang infrastruktur atau prasarana umum. Dalam teori-teori sering

disebut juga sebagai pendekatan bawah-atas (bottom up planning).

Belakangan ini di Indonesia berkembang apa yang disebut dengan “teknik” penjaringan aspirasi

masyarakat (“jaring asmara”), di mana masyarakat berpartisipasi aktif sejak merumuskan masalah yang

dihadapinya sendiri hingga alternatif-aternatif solusinya sebagai masukan bagi penyusunan rencana-rencana

pembangunan kewilayahan ataupun sektoral, termasuk sektor perumahan dan permukiman. Teknik serupa juga

telah biasa dipraktikan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) terutama dalam rangka

penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah.1

Dalam sistem perencanaan, sebagaimana diinginkan oleh Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ditegaskan bahwa partisipasi masyarakat sebagai wujud

“keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana

pembangunan” perlu didorong dan dikembangkan.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan dan pemeliharaan lingkungan perumahan melalui

pemugaran dan rehabilitasi perumahan memang telah sejak tahun 1970-an dimulai di Indonesia yang

diintegrasikan melalui program-program perbaikan kampong (Kampoeng Improvement) sebagai bagian dari

peremajaan kota (urban renewal) untuk lingkungan-lingkungan permukiman yang dinyatakan pemerintah

sebagai kawasan kumuh – yang kala itu banyak dibiayai oleh bantuan-bantuan Bank Dunia.

Untuk sekadar mengingatkan kita kepada salah satu bukti keberhasilan pengalaman partisipasi

masyarakat bersama-sama pemerintah dalam pemugaran rumah dan perbaikan lingkungan permukiman yang

dikaitkan dengan program peremajaan kota adalah Bandung Urban Development Project (BUDP) atau yang

sering disebut dengan “Proyek Dewi Sartika” pada tahun 1980-an. Program atau proyek tersebut telah berhasil

1 Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak lahirnya UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional, sistem perencanaan pembangunan tidak lagi menganut Repelita atau Repelita Daerah,

demikian pula pendekatan GBHN dihapus, dan sebagai gantinya adalah Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) Nasional dan RPJM Daerah dengan masa perencanaan 5 tahunan.

Page 8: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

8

menata lingkungan permukiman yang tadinya kumuh dan miskin prasarana lingkungan menjadi lingkungan

perumahan yang tertata rapi yang dilengkapi dengan sanitasi lingkungan yang relatif baik, termasuk prasarana

dasar dan utilitas. Sayang, seiring dengan menciutnya bantuan program dan pembiayaan Bank Dunia, proyek-

proyek yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat “kelas bawah” ini pun meredup dan nyaris

menghilang pada tahun 1990-an, yang justeru saat lahirnya UU Perumahan dan Permukiman ini dan UU

Penataan Ruang yang lama (UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang digantikan oleh UU No.26

Tahun 2007).

Dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman,

pemerintah tentu saja melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi, pendidikan dan pelatihan terhadap

komunitas-komunitas lokal, terutama pada lingkungan permukiman yang dianggap sebagai perumahan kumuh

(slums area). Informasi yang benar dan pengalaman sukses yang dikomunikasikan kembali kepada masyarakat

sasaran penyuluhan, pendidikan dan pelatihan akan sangat menentukan keberhasilan partisipasi masyarakat

dalam jangka panjang – penulis kira inilah yang dikehendaki oleh pasal 29 UU ini dengan apa yang disebut

sebagai pemerintah melaksanakan sosialisasi dan diklat dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat.

II. KONSOLIDASI TANAH MASIH WUJUD TERBAIK DARI PARTISIPASI MASYARAKAT

Wujud konkret partisipasi masyarakat yang dikehendaki oleh UU ini sebetulnya antara lain adalah Konsolidasi

Tanah oleh para pemilik tanah dalam lokasi-lokasi yang ditetapkan pemerintah daerah sebagai Kawasan Siap

Bangun ataupun Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri terutama untuk menghasilkan kaveling-kaveling

tanah matang. Namun pengalaman penulis dalam mengikuti perkembangan pengamalan kebijakan konsolidasi

tanah (baik konsolidasi perumahan/perkotaan maupun konsolidasi tanah pertanian/perdesaan) memperlihatkan

bahwa sangat sedikit sekali masyarakat pemilik tanah yang tergerak untuk melakukan konsolidasi tanah –

meskipun pedoman teknis dan kepastian serta perlindungan hukum oleh pemerintah telah diberikan, terutama

terhitung sejak terbitnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang

Konsolidasi Tanah.

Oleh karena itu materi Pasal 29 UU Perumahan dan Permukiman ini sebaiknya kita

kaitkan/korespondensikan dengan materi dan semangat Pasal-pasal 22, 24, 25 dan 32 UU ini. Pasal 22 UU ini,

misalnya, menegaskan bahwa kegiatan-kegiatan penyuluhan, bimbingan, bantuan dan pemberian kemudahan

yang dilakukan pemerintah etrhadap masyarakat pemilik tanah dalam wilayah yang telah ditetapkan sebagai

kawasan siap bangun ditujukan agar masyarakat pemilik tanah bersedia dan mampu melakukan konsolidasi

tanah dalam rangka antara lain penyediaan kaveling tanah matang.

Terdapat kecenderungan umum di dunia bahwa semakin maju atau sejahtera suatu bangsa semakin tinggi

partisipasi masyarakat melalui kegiatan konsolidasi tanah. Jepang, Korea, Taiwan dan Australia adalah beberapa

dari sekian banyak Negara maju di dunia yang terkenal dengan prestasi masyarakatnya dalam melakukan

konsolidasi tanah. Masyarakat Jepang dan Korea menyebut konsolidasi tanah dengan istilah land consolidation,

masyarakat Australia menyebutnya dengan istilah land pooling, sedangkan di Negara-negara Eropa dan

Amerika Serikat biasanya disebut dengan land readjustment.

Di Jepang dan Korea, misalnya, konsolidasi tanah perkotaan telah terbukti merupakan suatu cara

pembangunan kota yang telah secara luas digunakan dan sukses diterapkan. Di Jepang, konsolidasi tanah telah

berhasil hingga mencapai 27 persen dari total luas daerah perkotaan seluruhnya. Di beberapa kota seperti Osaka

Page 9: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

9

dan Yokohama, konsolidasi tanah telah berperan lebih besar lagi hingga mencapai bagian terbesar daerah kota.

Di Republik Korea sekitar 60% tanah layak huni dalam radius 10 km hingga 15 kilometer sekitar Seoul telah

berhasil dikembangkan melalui proyek konsolidasi tanah.2

Konsolidasi tanah sebagai upaya pengadaan tanah sekaligus cara pembangunan perumahan dan

permukiman, sebagaimana juga tampak disadari benar oleh penyusun UU Perumahan dan Permukiman kita ini,

adalah cara yang lebih murah dan sederhana secara teknis dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Oleh karena itu sebetulnya konsolidasi tanah perkotaan sangat cocok untuk Negara-negara sedang berkembang

seperti Indonesia. Dengan diperbolehkannya peserta konsolidasi tanah menjual kaveling-kaveling tanah hasil

konsolidasi kepada pihak lain (pembeli), maka dengan demikian sebetulnya biaya (cost recovery) proses

konsolidasi yang semula ditanggung masyarakat peserta konsolidasi menjadi berpindah jadi beban pembeli

kaveling tanah matang. Jadi, biaya pelaksanaan konsolidasi tanah hanya ditanggung sementara saja oleh para

peserta konsolidasi.

III. PRINSIP-PRINSIP PROGRAM DAN KEGIATAN KONSOLIDASI TANAH

Secara substantif, kebijakan konsolidasi tanah mencakup arahan pengelolaan program dan pengelolaan kegiatan.

Pengelolaan program, hampir sepenuhnya adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan

pengelolaan kegiatan hampir sepenuhnya merupakan tugas dan tanggung jawab para peserta konsolidasi tanah.

Pengelolaan program konsolidasi tanah meliputi aktivitas rutin dalam rangka perencanaan dan implementasi

erncana tata ruang dan penyusunan program-program pembangunan daerah (kota atau kabupaten), termasuk di

dalamnya koordinasi antarsatuan kerja perangkat daerah. Sedangkan pengelolaan kegiatan meliputi tahapan-

tahapan pekerjaan teknis dan administrasi yang harus ditempuh oleh para peserta konsolidasi di lapangan.

Adapun prinsip-prinsip konsolidasi tanah di Indonesia, sebagaimana diperlihatkan melalui materi

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, adalah sebagai

berikut:

Konsolidasi Tanah merupakan suatu kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan-

pemilikan dan penggunaan tanah sekaligus sebagai suatu upaya pengadaan tanah bagi pembangunan,

mempunyai tujuan-tujuan mendasar: meningkatkan dayaguna dan hasilguna penggunaan tanah,

menyelaraskan kepentingan individu dengan fungsi sosial tanah, meningkatkan kualitas lingkungan dan

pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi masyarakat. (Pasal 1 dan Konsiderans)

Masyarakat pemilik tanah baik di perkotaan maupun di perdesaan atas biaya sendiri mempunyai hak

melakukan konsolidasi tanah apabila sekurang-kurangnya 85 persen dari luas tanah mendapat

persetujuan pemiliknya dan mendapat Penetapan Lokasi dari Bupati/Walikota sesuai dengan

peruntukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota.

(Pasal 4 dan 7)

Untuk memungkinkan mencapai kondisi penguasaan-pemilikan tanah dan penggunaan tanah dalam

bentuk persil tanah yang teratur/terencana, pemilik tanah peserta konsolidasi harus melepaskan atas

tanahnya terlebih dahulu untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Obyek Konsolidasi Tanah oleh Kepala

2 John M. Courtney, Intervention through Land Use Regulation dalam Harold B. Dunkerly (eds), 1983, Urban

Land Policy: Issues and Policy, A World bank Publication, Oxford University Press, hlm.162.

Page 10: LC Dan Participatory Planning by Herman Hermit

10

Badan Pertanahan Nasional atas usul Kepala kantor Pertanahan melalui Kepala Kantor Wilayah BPN.

(Pasal 8 ayat 1)

Obyek Konsolidasi Tanah diberikan kembali kepada para peserta Konsolidasi Tanah sesuai dengan

rencana tata kaveling yang disetujui oleh para peserta Konsolidasi Tanah dan dibebaskan dari

pembayaran Uang Pemasukan Negara namun tetap harus membayar Biaya Administrasi dan Biaya

Pendaftaran Tanah. (Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3)

Pemenuhan biaya pembangunan prasarana dan sarana lingkungan serta biaya pelaksanaan konsolidasi

tanah, bersumber dari Sumbangan Tanah atau bentuk lain yang bisa diuangkan dari para peserta. (Pasal

6 dan 7)

Pihak yang ikut terlibat dalam program Konsolidasi Tanah berikut fungsinya masing-masing adalah

sebagai berikut: (1) Kepala BPN sebagai pembina pelaksanaan, (2) Kepala Kantor Wilayah BPN

sebagai pengendali pelaksanaan, (3) Kepala Kantor Pertanahan sebagai penanggung jawab

pelaksanaan, (4) Tim Koordinasi Konsolidasi Tanah yang dibentuk Gubernur untuk melakukan

koordinasi dengan instansi-instansi terkait di lingkungan pemerintahan provinsi, dan (4) Tim

Koordinasi Konsolidasi Tanah dan Satuan Tugas Pelaksanaan Konsolidasi Tanah yang dibentuk

Bupati/Walikota untuk melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait di lingkungan

pemerintahan kabupaten/kota. (Pasal 5)