LAPRAK3

46
LAPORAN PRAKTIKUM MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN (Kinetika Penggorengan Produk Ppangan dengan Deep Fat Fryer) Oleh : Nama : Yosua Andreas NPM : 240110120062 Hari, Tanggal Praktikum : Rabu, 18 Maret 2015 Waktu : 15.00-16.00 WIB Asisten : Gallerie Tjandra Dwi Rahayu Chyntia L.S Nilai

description

laporan MP3

Transcript of LAPRAK3

LAPORAN PRAKTIKUM

MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN

(Kinetika Penggorengan Produk Ppangan dengan Deep Fat Fryer)

Oleh :

Nama : Yosua Andreas

NPM : 240110120062

Hari, Tanggal Praktikum : Rabu, 18 Maret 2015

Waktu : 15.00-16.00 WIB

Asisten : Gallerie Tjandra

Dwi Rahayu

Chyntia L.S

LABORATORIUM PASCA PANEN DAN TEKNOLOGI PROSES

DEPARTMEN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2015

Nilai

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggorengan merupakan suatu cara untuk mengolah bahan pangan

menggunakan media minyak goreng agar dapat dikonsumsi. Penggorengan

dengan minyak atau lemak lebih banyak dipilih sebagai cara pengolahan makanan

karena mampu meningkatkan citarasa dan tekstur bahan pangan yang spesifik

sehingga bahan pangan menjadi kenyal dan renyah dengan warna yang

diinginkan. Hal tersebut membuat produk pangan yang diolah dengan cara

digoreng sangat digemari, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia.

Penggorengan dilakukan dengan memasukkan makanan dalam minyak

panas dengan kontak antara minyak, udara, dan makanan pada suhu 150 °C

hingga 190 °C. Minyak goreng bertindak sebagai media perpindahan panas dan

berkontribusi terhadap tekstur dan rasa makanan yang digoreng. Terjadinya

perpindahan panas dan massa minyak, makanan, dan udara selama penggorengan

menghasilkan kualitas yang diinginkan dari makanan yang digoreng. Biasanya

bahan pangan yang digoreng akan mengeras dan akan lebih renyah saat dikunyah.

Dibandingkan cara pengolahan yang lain, penggorengan biasanya bersifat

cepat karena perubahan pada bahan pangan memerlukan waktu yang lebih singkat

pada suhu tinggi. Sifat produk hasil penggorengan juga khas. Timbul flavor khas

gorengan yang tidak ditemui pada cara pengolahan bahan pangan yang lain. Oleh

sebab itu, pada praktikum ini akan dipelajari bagaimana uji sensori pada bahan

setelah digoreng pada waktu tertentu.

1.2 Tujuan Instruksional

1.2.1 Tujuan Instruksional Umum

Mahasiswa dapat mengetahui peralatan deep fat fryer untuk proses

penggorengan.

1.2.2 Tujuan Instruksional Kkhusus

Mahasiswa dapat menganalisis dan mempelajari perubahan kekerasan,

kematangan, serta cita rasa bahan pangan selama penggorengan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggorengan

Penggorengan merupakan pengolahan pangan yang umum dilakukan

untuk mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam pan

yang berisi minyak. Proses ini bertujuan untuk menghasilkan produk yang

mengembang dan renyah, selain itu untuk meningkatkan citarasa, warna, gizi dan

daya awet produk akhir. Penggorengan dapat mengubah eating quality suatu

makanan dan memberikan efek preservasi akibat dekstruksi termal

mikroorganisme dan enzim serta mengurangi kadar air sehingga daya simpan

menjadi lebih baik (Ketaren, 1986). Weiss (1983) melaporkan bahwa sebagian air

akan menguap dan ruang kosong yang semula diisi air akan diisi minyak.

Menurut Fellows (1990) penggorengan adalah suatu operasi mengubah

eating quality suatu makanan, memberikan efek preservasi akibat destruksi termal

pada mikroorganisme dan enzim, serta mengurangi aktivitas air (aw). Shelf life

makanan goreng hampir semuanya ditentukan oleh kadar air setelah

penggorengan. Proses utama yang terjadi selama penggorengan adalah

perpindahan panas dan masa, dengan minyak yang berfungsi sebagai media

penghantar panas. Panas yang diterima bahan dipergunakan untuk berbagi proses

dalam bahan, antara lain untuk penguapan air, gelatinisasi pati, denaturasi protein,

reaksi pencoklatan dan karamelisasi. Proses yang beragam ini harus dikendalikan

sedemikian rupa sehingga tidak merusak mutu produk. Salah satu

pengendaliannya adalah dengan mengatur waktu dan suhu penggorengan

(Suyitno, 1991).

Proses penggorengan suatu produk pada umumnya terdiri dari empat

tahap, yaitu:

1. Tahap pemanasan awal (initial heating)

Selama tahap ini bahan terendam dalam minyak panas hingga suhunya

sama dengan titik didih minyak. Perpindahan panas yang terjadi antara minyak

dengan bahan selama penggorengan ini merupakan perpindahan panas konveksi

dan tidak terjadi penguapan air dalam bahan.

2. Tahap pendidihan permukaan (surface boilling)

Tahap ini dimulai dengan proses penguapan air permukaan. Perpindahan

panas konveksi alami berubah menjadi konveksi paksa karena adanya turbulensi

minyak di sekitar bahan. Selama proses ini mulai terbentuk lapisancrustdi

permukaan.

3. Tahap laju menurun (falling rate)

Tahap laju menurun ditandai dengan adanya penguapan lebih lanjut dan

kenaikan suhu pusat sehingga mendekati titik didih minyak. Pada tahap ini terjadi

perubahan fisika kimia seperti gelatinisasi pati dan pemasakan. Lapisan crust yang

terbentuk menjadi lebih tebal dan penguapan air permukaan semakin menurun.

4. Titik akhir gelembung (bubble end point)

Apabila bahan digoreng dalam waktu yang relatif lama, maka laju

pengurangan kadar air akan semakin menurun dan tidak ada lagi gelembung udara

di permukaan bahan.

Menurut Ketaren (1986), metode penggorengan yang umum digunakan

adalah penggorengan gangsa (pan frying) dan penggorengan rendam (deep

frying). Sistem menggoreng deep fat frying adalah yaitu bahan terendam

seluruhnya dalam minyak sehingga penetrasi panas dari minyak dapat masuk

secara bersamaan pada seluruh permukaan bahan yang digoreng sehingga

kematangan bahan yang digoreng dapat merata. Deep fat frying merupakan

metode penggorengan yang penting karena prosesnya cepat, tepat dan

menghasilkan makanan dengan tekstur dan flavor yang disukai. Deep fat frying

juga hanya memerlukan unit peralatan yang sederhana serta menghasilkan limbah

gas yang jumlahnya kecil (Lawson, 1994).

Morreira (1999), metode penggorengan deep fat frying merupakan proses

pemasakan makanan dengan menggunakan kontak langsung dengan minyak

panas, dalam cara ini terjadi perpindahan panas dan massa. Perpindahan panas

selama penggorengan berjalan cepat karena seluruh permukaan bahan berinteraksi

langsung dengan minyak goreng sehingga akan menghasilkan warna dan

penampakan produk yang seragam. Menurut Fellows (1990), metode

penggorengan ini cocok untuk semua bentuk makanan, tetapi bahan makanan

dengan bentuk yang tidak teratur cenderung mengangkat minyak dalam volume

besar ketika diangkat dari alat penggoreng.

Makanan gorengan hendaknya memiliki warna coklat yang baik dan

absorbsi minyak yang minimal. Faktor paling penting yang mempengaruhi sifat-

sifat ini adalah temperatur minyak goreng. Penggunaan temperatur minyak yang

terlalu tinggi menyebabkan pembentukan warna coklat dan crustpada permukaan

bahan makanan tidak sempurna. Apabila temperatur yang digunakan terlalu

rendah, bahan makanan perlu waktu lebih lama untuk mencapai warna coklat

yang dikehendaki dan semakin lama bahan dalam minyak goreng maka semakin

banyak minyak yang terabsorbsi. Kisaran suhu yang dianggap secara ekonomis

masih layak adalah antara 163-199 °C (Djatmiko dan Erni, 1985 dalam

Tursilawati, 1999).

2.2 Proses Penggorengan

Proses menggoreng adalah salah satu cara memasak bahan makanan

mentah (raw food) menjadi makanan matang menggunakan minyak goreng

(Sartika, 2009). Sedangkan menurut Muchtadi (2008) penggorengan adalah

suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng

sebagai penghantar panas. Minyak berfungsi sebagai medium penghantar

panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan

pangan (Ketaren, 1986). Sedangkan menggoreng hampa adalah menggoreng

berbagai macam produk dengan kondisi hampa udara.

Pada umumnya proses penggorengan dibedakan menjadi dua macam

yaitu pan frying dan deep frying. Ciri dari pan frying adalah bahan pangan

yang digoreng tidak sampai terendam di dalam minyak, sedangkan pada sistem

deep frying dibutuhkan banyak minyak karena bahan pangan yang digoreng

harus terendam seluruhnya. Deep fat frying didefinisikan sebagai proses

dimana makanan dimasak dengan cara direndam dalam minyak nabati atau

lemak dipanaskan di atas titik didih air. Proses ini dilakukan secara

tradisional dalam kondisi atmosfer dan suhu penggorengan biasanya

mendekati 180˚C. (Dobraszczyk, Ainsworth, Ibanoglu, & Bouchon, 2006 dalam

Mariscal M 2008).

Menurut Djatmiko (1985) penggorengan adalah proses untuk

mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam ketel

yang berisi minyak. Selama proses penggorengan minyak akan mengalami

pemanasan pada suhu tinggi. Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya

perubahan-perubahan alam sifat fisiko kimia minyak sehingga akan berpengaruh

terhadap mutu bahan makanan yang digoreng. Prinsip penggorengan menurut

Robertson (1967) dalam Djatmiko (1985) dapat dilihat pada Gambar 1. Di sini

yang menjadi input dari ketel penggorengan adalah minyak, bahan makanan yang

digoreng dan panas, sedangkan yang menjadi output adalah makan yang

telah digoreng, uap panas, minyak “by-products” berminyak dan potongan-

potongan bahan makanan yang dapat disaring.

Gambar 1. Proses penggorengan secara “deep-fat frying” (Robertson, 1967)

Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan

fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak

gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-

196˚C) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng berlangsung

dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap minyak goreng

tergantung pada kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya

akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan.

Penggorengan dengan suhu tinggi sehingga makanan menjadi sangat

matang memicu terjadinya reaksi browning (pencoklatan) dan akhirnya

muncul senyawa amina-amina heterosiklis penyebab kanker. Selain itu

penggorengan juga mengakibatkan penurunan kandungan zat-zat gizi karena

rusak. Kesalahan teknik menggoreng juga bisa berdampak buruk lainnya. Apabila

minyak belum siap untuk menggoreng, kadang-kadang bahan makanan akan

menyerap minyak lebih banyak. Penting diketahui bahwa meski sebagian zat

gizi akan rusak selama penggorengan, makanan yang digoreng rasanya lebih

gurih dan mengandung kalori lebih banyak. Cita rasa makanan gorengan ini

sering lebih enak dibandingkan dengan makanan rebusan.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penggorengan adalah

ketel penggorengan dan minyak goreng. Syarat ketel penggorengan ialah

maempunyai konstruksi yang baik, “coeficient of oil renewal” besar, peralatan

ketel harus terbuat dari metal yang tahan oksidasi dan ketel harus sering

dibersihkan. Sedangkan minyak yang dipakai harus baik mutunya dimana

kandungan asam lemak bebasnya rendah, ketidak jenuhannya tinggi, smoke

point tinggi dan titik cair rendah. Dalam proses penggorengan suhu tidak

boleh terlalu tinggi, kontak minyak dengan udara harus kecil dan minyak

harus sering dibersihkan dari kotoran-kotoran. Minyak yang telah dipakai dapat

dimurnikan kembali, akan tetapi kemurniannya tidak akan seperti semula.

Pemakaian minyak ini harus dicampur dengan minyak segar (Djatmiko 1985).

Menurut Muchtadi (2008), Pada penggorengan deep frying (Gambar

2) saat bahan makanan dimasukkan ke dalam minyak suhu permukaan

bahan akan segera meningkat dan air menguap, permukaan bahan pangan

akan mengering, terjadi penguapan lebih lanjut dan berbentuk kerak (crust). Suhu

permukaan bahan akan meningkat hingga suhu minyak panas, sedangkan

suhu bagian dalam bahan pangan akan meningkat secara perlahan hingga

suhu 100˚C. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada

suhu titik didih minyak sekitar 180˚C-200˚C.

Pada saat bahan pangan digoreng, akan terjadi pindah panas dari

sumber panas penggoreng ke bahan pangan, melalui media pindah panas

minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, bahan pangan akan

melepaskan uap air yang dikandungnya. Permukaan bahan pangan memiliki

struktur yang porous, yang memiliki kapiler-kapiler dengan berbagai ukuran.

Selama penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler-

kapiler yang lebih besar dahulu, dan digantikan oleh minyak panas. Uap air

yang keluar dari bahan pangan pada saat penggorengan akan dilepaskan ke

udara bebas.

Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan bahan pangan

yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan tekstur yang renyah.

Minyak juga akan melepaskan hasil degradasi minyak yang bersifat volatil ke

udara. Bahan pangan sendiri akan melepaskan remah-remah hasil penggorengan

ke dalam minyak, demikian juga berbagai komponen yang terlarut minyak

akan berada pada minyak goreng. Suhu tinggi akan menyebabkan waktu

penggorengan lebih singkat. Namun suhu tinggi juga dapat mempercepat

terjadinya kerusakan minyak akibat pembentukan asam lemak bebas, yang

mengakibatkan perubahan kekentalan, flavor, dan warna minyak goreng.

Pemanasan yang berlebihan pada bahan pangan mengakibatkan minyak

lebih banyak terperangkap dalam produk gorengan. Produk yang diibginkan

memiliki kerak yang kering dengan bagian dalam basah , harus digoreng pada

suhu tinggi. Terbentuknya kerak pada permukaan bahan pangan akan

menghambat laju pindah panas ke bagian dalam bahan pangan. Pemanasan pada

tekanan atmosfer memungkinkan terjadinya kontak antara minyak goreng dengan

udara yang memungkinkan terjadinya oksidasi pada minyak.

Gambar 2. Skema penggorengan deep frying pada tekanan atmosfer

Menurut Muchtadi (2008) berdasarkan kondisi prosesnya,

penggorengan juga dapat dilakukan pada kondisi tekanan atmosferik,

bertekanan lebih tingggi dari tekanan atmosfer, dan pada kondisi vakum.

Penggorengan pada kondisi tekanan atmosfer terjadi pada penggorengan

konvensional dimana proses penggorengan dilakukan secara terbuka pada

tekanan normal atmosfer. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer

terjadi pada suhu titik didih minyak yaitu sekitar 180-200˚C.

Uap air yang keluar dari bahan pangan akan dilepaskan ke udara

bebas. Proses penggorengan pada kondisi bertekanan, dilakukan pada tekanan

yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan

peralatan penggorengan khusus dengan sistem tertutup yang mampu

menahan tekanan tinggi. Wajan penggorengan berupa wadah tertutup yang

diberi tekanan tinggi yang akan mengakibatkan proses penggorengan terjadi

pada suhu yang juga lebih tinggi.

Proses penggorengan pada kondisi vakum adalah proses yang terjadi

pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer, hingga tekanan lebih kecil

dari 0 atau kondisi hampa udara. Proses penggorengan pada tekanan yang lebih

rendah akan menyebabkan titik didih minyak goreng juga lebih rendah,

misalnya dapat mencapai 90˚C. Proses penggorengan yang terjadi pada suhu

yang rendah ini menyebabkan proses ini sangat sesuai digunakan untuk

menggoreng bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi.

Bahan pangan seperti sayuran dan buah segar, apabila digoreng pada

tekanan atmosfer akan segera mengalami kecoklatan dan gosong, teksturnya

juga lembek dan liat karena tidak banyak melepaskan air yang

dikandungnya. Sedangkan bila digoreng dengan kondisi vakum, suhu

penggorengan akan lebih rendah sehingga dapat dihasilkan warna hasil gorengan

yang baik, serta tekstur yang renyah.

2.3 Teknik Penggorengan Bahan Pangan

Penggorengan adalah proses perpindahan panas dan uap air secara

simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air bahan

yang dipindahkan dari permukaan bahan yang digoreng dengan minyak sebagai

media panghantar panas. Tujuan penggorengan adalah mengurangi kadar air

bahan akibat dari penguapan karena pemanasan.

Sedangkan menurut Azkenazi et al (1984), menyatakan bahwa

penggorengan adalah suatu teknik pemasakan dan pengeringan melalui kontak

dengan minyak atau lemak panas yang melibatkan pindah panas dan massa secara

simultan. Pada proses penggorengan pemanasan bahan berlangsung secara cepat

dengan penetrasi jauh kedalam, sehingga penurunan nilai gizi dan kualitas

sensorisnya lebih kecil.

Menurut Lawson (1995), proses penggorengan dapat dibedakan menjadi 3

metode yaitu: griddling, pan frying, dan deep fat frying. Metode griddling dan

pan frying banyak digunakan dalam pengolahan pangan skala rumah tangga.

Metoda griddling adalah proses penggorengan dengan menggunakan griddle

(alat penggoreng dengan permukaan datar) dan minyak goreng yang sangat

sedikit, sehingga membentuk lapisan film minyak pada permukaan griddle.

Sedangkan goreng gangsa (pan frying/contact frying) adalah teknik

menggoreng dimana bahan bersentuhan langsung dengan pemanas dan hanya

dibatasi oleh selapis tipis minyak/lemak. Secara tradisional umumnya proses ini

hanya berlangsung pada satu permukaan dari bahan yang digoreng, sehingga

bahan perlu dibolak- balik agar matang secara merata. Sedangkan metode deep

fat frying yaitu proses menggoreng dengan menggunakan pindah panas yang

langsung dari minyak yang panas kemakanan yang dingin (Lawson, 1995).

Dimana metode ini biasa digunakan dalam industri-industri makanan.

Pengertian menggoreng cenderung mengarah ke pengertian “deep fat

frying”, dimana seluruh bagian bahan pangan terendam dalam banyak minyak dan

seluruh bagian permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama sehingga

berwarna seragam. Proses penggorengan ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama

disebut tahap pemanasan awal. Pada tahap ini pindah panas yang terjadi antara

minyak dan bahan adalah konveksi dan belum terjadi penguapan air dari bahan.

Sedangkan pada tahap kedua lapisan luar bahan pangan mulai mendidih, dan

penguapan air bahan mulai terjadi sehingga terbentuk renyahan.

Tahap ketiga (falling rate) ditandai dengan banyaknya keluar air dari

bahan pangan dengan suhu permukaan bahan diatas 100˚C, temperatur lapisan

core mulai mencapai titik didih dan lapisan renyahan terus terbentuk. Sedangkan

pada tahap keempat yang disebut dengan bubble end point, proses yang terjadi

yaitu laju penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat dilapisan

permukaan bahan.

Perpindahan massa yang terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu

penguapan air dan penyerapan minyak. Bahan makanan mengalami penurunan

kadar air selama proses penggorengan dalam dua cara, pertama transfer massa air

terjadi dari dalam ke permukaan bahan kemudian menguap kelingkungan, dan

kedua perubahan massa air menjadi uap terjadi di dalam bahan.

2.4 Jenis-Jenis Penggoreng (Fryer)

Jenis-jenis penggoreng menurut FSTC (2002) antara lain :

1. Open Deep-Fat Fryer adalah jenis penggoreng yang paling umum

digunakan.

2. Pressure Dee-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada

tekanan lebih dari 1atm. Penggunaan tekanan dimaksudkan untuk

mengurangi resapan minyak ke dalam produk dan mengurangi kehilangan

air dari produk.

3. Vacuum Deep-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada

tekanan di bawah 1atm. Jenis ini digunakan untuk produk yang tidak tahan

pada suhu tinggi.

Teknologi pemanasan minyak goreng khususnya pada penggoreng

komersial pada dasarnya menggunakan pipa panas (heat pipe). Sumber panas

yang digunakan untuk memanaskan pipa pemanas antara lain :

1. Panas listrik melalui kawat pemanas

2. Panas uap yang dibangkitan lewat boiler

3. Panas gas lewat pembakaran bahan bakar gas atau minyak.

Posisi atau letak pipa panas dalam wada h penggoreng pada umumnya

terletak di dasar sehingga minyak goreng menerima panas dari bawah.

Perpindahan panas dari pipa panas ke minyak goreng berlangsung secara konveksi

natural akibat bouyancy force. Kapasitas wadah penggorengan berkisar antara 7

kg sampai 90 kg minyak goreng dengan daya listrik berkisar antara (2 – 27) kVA

untuk penggorengan komersial (FSTC, 2002).

2.5 Deep fat frying

Prinsip penggorengan “ deep fat frying”, minyak, bahan pangan dan panas

adalah input proses sedangkan out putnya berupa makanan gorengan, uap air, uap

minyak, minyak jelantah dan remah- remah bahan pangan (Robertson, 1967).

Metode ini sangat penting karena prosesnya cepat, mudah dan produknya

mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai.

Gambar 3. Kesetimbangan masa dan panas pada proses penggorengan secara deep

fat frying (modifikasi Robertson, 1967)

Akibat proses penggorengan terjadi perubahan- perubahan fisik yang

bersifat spesifik yaitu (1) kenaikan suhu produk ke level yang dikehendaki, (2)

evaporasi air, (3) kenaikan suhu permukaan hingga terjadi pencoklatan dan

terbentuknya kerak, (4) perubahan di mensional bahan pangan, (5) terserapnya

minyak kedalam bahan, dan (6) perubahan densitas produk gorengan yang

menyebabkan produk timbul tenggelam selama proses berjalan (Block, 1955).

2.6 Pengaruh Penggorengan Terhadap Kerusakan Nutrisi

Oksidasi pada lemak dapat menyebabkan terjadinya ketengikan

(Autooksidasi). Menurut Ketaren (1986) faktor-faktor yang mempercepat oksidasi

adalah (1) radiasi oleh panas dan cahaya; (2) bahan pengoksidasi (oxidizing

agent); (3) katalis metal khususnya garam dari logam berat; (4) system oksidasi

yang diakibatkan adanya katalis organik yang labil terhadap panas. Kerusakan

akibat oksidasi pada bahan pangan yang berlemak terdiri atas dua tahap, tahapan

pertama disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen, tahapan kedua yang

merupakan kelanjutan dari tahapan pertama, yang prosesnya dapat merupakan

proses oksidasi maupun non oksidasi. Pada oksidasi ini umumnya terjadi pada

setiap jenis lemak seperti minyak goreng.

Oksidasi lemak akan bereaksi dengan komponen bukan berasal dari lemak

yaitu dengan protein. Perubahan oksidatif dari fraksi lemak adalah kecil

tergantung dari kadar asam lemak tidak jenuh pada makanan yang digoreng.

Senyawa peroksida yang mengalami dekomposisi oleh panas dalam waktu yang

lama akan mengakibatkan destruksi beberapa vitamin dalam bahan pangan yang

berlemak. Peroksida ini juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan

flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlahnya lebih besar

daro 100 maka dia bersifat racun dan tidak dapat dimakan (Ketaren, 1986).

Menurut Ketaren (1986), autooksidasi acyl -lipid ini dapat dihambat

dengan tiga cara yaitu (1) dengan meminimalkan kontak dengan oksigen, (2)

penyimpanan pada suhu rendah bebas cahaya, dan (3) dengan penggunaan

kemasan vakum atau dengan pemberian oksidasi glukosa.

2.7 Penetrometer

Penetrometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur konsistensi

suatu bahan dalam industri makanan, misalnya mentega, yogurt, jaringan sapi dan

lain-lain. Pada penelitian ini alat penetrometer digunakan untuk mengukur

konsistensi bahan. Bahan yang dipilih adalah hidrogel polyvinylalcohol (PVA).

Selain itu nilai ADC dari MRI akan dihitung dan dicari korelasi 2 antara hasil

penetrometerdengan nilai ADC dari MRI untuk mengetahui hubungan keduanya.

BAB III

METODOLOGI PENGAMATAN DAN PENGUKURAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:

1. Deep fat fryer atau panci penggorengan rendam untuk menggoreng

bahan praktikum.

2. Thermokopel untuk memonitor suhu selama penggorengan deep frying.

3. Penetrometer kerucut sebagai alat untuk mengukur kekerasan kentang

goreng dan nugget.

4. Kertas tisu sebagai alas untuk bahan praktikum.

5. Pisau digunakan untuk memotong bahan praktikum.

6. Piring sterofoam sebagai wadah untuk kentang goreng dan nugget.

3.1.2 Bahan

Bahan yang dipakai dalam praktikum ini adalah:

1. Kentang French Fries

2. Nugget

3. Minyakgoreng

3.2 Prosedur Percobaan

Prosedur percobaan kali ini adalah:

1. Pengukuran perubahan kekerasan sampel selama penggorengan.

a. Menyiapkan sampel bahan pangan berupa kentang dan nugget mentah

sebanyak 2 (ulangan suhu) x 6 (waktu) = 12 (sampel tiap menggoreng),

10 sampel digoreng dan 2 sampel tidak digoreng sebagai tawal sama dengan

nol untuk setiap sampel bahan pangan.

b. Menyiapkan penggorengan berisi minyak goreng kemudian

memanaskannya hingga mencapai suhu konstan (180oC). Suhu panas

diukur dengan thermokopel.

c. Menyiapkan dua belas sampel dalam saringan kawat kemudian

mencelupkan dalam minyak yang telah panas secukupnya dengan variasi

lama pemanasan 0,1,2,3,4,5,6,7 menit.

d. Mengukur kekerasan dengan penetrometer kerucut untuk 6 buah sampel

dengan lama waktu penggorengan yang berbeda-beda.

2. Pengukuran pengaruh suhu pada laju perubahan kekerasan.

a. Melakukan hal yang sama seperti langkah nomor 1 dengan minyak pada

suhu 180oC dan 160oC.

b. Melakukan pengamatan yang sama seperti langkah nomor 1 dengan lama

penggorengan yang sama.

c. Membandingkan hasil pengamatan bahan pangan antara kentang dan

nugget pada suhu 180oC dan 160oC.

3. Uji sensori kematangan sampel

a. Menyiapkan sampel hasil penggorengan dari setiap lama penggorengan.

Mengambil satu sampel oleh salah satu praktikan dari setiap perlakuan,

kemudian mencicipi sampel tersebut dengan cara mencicipi untuk

menentukan tingkat kematangannya, cukup mengunyah tidak

menelannya. Menghubungkan tingkat skor kematangan dan kekerasan

hasil cicip dengan hasil pengukuran penetrometer kerucut.

BAB IV

HASIL PERCOBAAN

Tabel 1.Uji Tekan Penggorengan Nugget pada Suhu ± 160o C

No t (menit) T (oC)Uji Tekan

(kg.f)Rata-rata Gambar

1 0 0 0,35 0,5 0,425

2 1 144,4 0,45 0,4 0,425

3 2 146,6 0,45 0,45 0,45

4 3 150,6 0,4 0,4 0,4

5 4 157,9 0,45 0,5 0,475

6 5 162,3 0,5 0,45 0,475

7 6 159,6 0,55 0,95 0,75

8 7 163,7 0,8 1 0,9

Tabel 2.Uji Sensori Penggorengan Nugget pada Suhu ± 160o C

No Sampel

Perubahan Warna

Tingkat Kematangan

Tingkat Kekerasan Rata-

rataKet. Skor Ket. Skor Ket. Skor

0

1 PAK 2 M 1 L7 5 2,67

2 PAK 2 M 1 L 5 2,67

3 PAK 2 M 1 L 5 2,67

1

1 PAK 3 AMe 2 AL 4 2,67

2 PAK 3 AMe 2 AL 4 2,67

3 PAK 3 AMe 2 AL 4 2,67

2

1 K 3 S 3 S 3 3

2 K 3 S 3 S 3 3

3 K 3 S 3 S 3 3

3

1 K 3 S 3 S 3 3

2 K 3 S 3 S 3 3

3 K 3 S 3 S 3 3

4

1 CM 4 M 5 AK 2 3,67

2 CM 4 AM 4 AK 2 3,67

3 CM 4 M 5 AK 2 3,67

5

1 CM 4 M 5 AK 2 3,67

2 CM 4 M 5 AK 2 3,67

3 CM 4 M 5 AK 2 3,67

6

1 CT 5 M 5 K 1 3,67

2 CT 5 M 5 K 1 3,67

3 CT 5 M 5 K 1 3,67

7

1 CT 5 M 5 K 1 3,67

2 CT 5 M 5 K 1 3,67

3 CT 5 M 5 K 1 3,67

Keterangan:

Perubahan Warna: Tingkat Kematangan: Tingkat Kekerasan:

1. Putih (P) 1. Mentah (M)1.Sangat Keras (SK)

2. Putih Agak Kuning (PAK)

2. Agak Mentah (AMe)

2.Agak Keras (AK)

3. Kuning (K) 3. Sedang (S) 3.Sedang (S)

4. Coklat Muda (CM)4. Agak Matang

(AMa)4.Agak Lunak (AL)

5. Coklat Tua (CT) 5. Matang (M) 5. Lunak ( L)

0 1 2 3 4 5 6 70

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

Rata-rata Uji Sensori Rata-rata uji Tekan

Waktu (t)

Rata

-rat

a Uj

i Sen

sori

Rata

-rat

a uj

i Tek

an

Gambar 1. Grafik Penggorengan Nugget Suhu 160oC

Tabel 3. Hasil Pengamatan Uji Tekan Nugget 180oCNo. t (menit) ToC Uji Tekan (kgf) Rata-rata

Uji Tekan

Gambar (foto)

1 0 25 1. 0,5

0,52. 0,5

2 1 172 1. 0,2

0,252. 0,3

3 2 155 1. 0,3

0,352. 0,4

4 3 147,9 1. 0,5

0,62. 0,7

5 4 143,6 1. 0,7

0,62. 0,5

6 5 151,7 1. 1

0,752. 0,5

7 6 155,5 1. 0,5

0,652. 0,8

8 7 154,5 1. 1

0,62. 0,8

Tabel 4. Hasil Pengamatan Uji Sensori pada Nugget T = ±160oC

No Sampel

Perubahan Warna Tingkat

Kematangan

Tingkat

kekerasan

Rerat

a

Ket. Skor

Ket. Skor Ket. Skor

1 1 1 Putih 1 Mentah 1 Lunak 5

2.3332 Putih 1 Mentah 1 Lunak 5

3 Putih 1 Mentah 1 Lunak 5

2 2 1 Putih kekuningan

2 Sedang 3 Sedang 3

2.667

2 Putih kekuningan

2 Sedang 3 Sedang 3

3 Putih kekuningan

2 Sedang 3 Sedang 3

3 3 1 Putih kekuningan

2 Agak

mentah

3 Sedang 3

2.556

2 Putih kekuningan

2 Agak

mentah

2 Agak

lunak

4

3 Putih kekuningan

2 Agak

mentah

2 Sedang 3

4 4 1 Putih kekuningan

2 Sedang 3 Agak

lunak

4

3.0002 Kuning 3 Sedang 3 Sedang 3

3 Kuning 3 Sedang 3 Sedang 3

5 5 1 Kuning 3 Sedang 3 Agak

lunak

4

3.333

2 Kuning 3 Sedang 3 Sedang 3

3 Kuning 3 Agak

matang

4 Agak

lunak

4

6 6 1 Kuning 3 Agak

matang

4 Sedang 3

2.889

2 Kuning 3 Sedang 3 Agak

keras

2

3 Kuning 3 Sedang 3 Agak

keras

2

7 7 1 Coklat muda 4 Agak

matang

4 Agak

keras

2

3.778

2 Coklat muda 4 Agak

matang

5 Sedang 3

3 Coklat muda 4 Agak

matang

4 Agak

lunak

4

8 8 1 Kuning 3 Agak

matang

4 Agak

lunak

4 3.556

2 Kuning 3 Matang 5 Agak

keras

2

3 Kuning 3 Matang 5 Sedang 3

0 1 2 3 4 5 6 70

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

Rata-rata Uji Sensori Rata-rata uji Tekan

Waktu (t)

Rata

-rat

a Uj

i Sen

sori

Rata

-rat

a uj

i Tek

an

Gambar 2. Grafik Penggorengan Nugget suhu 160°C

Tabel 5. Data Hasil Pengamatan Uji Tekan Kentang Suhu ±180oC

t

(menit)T (oC)

Uji Tekan (kg

F)

Rata-Rata Uji

TekanGambar

01. 0.1

0.1

2. 0.1

1 181.6

1. 0.1

0.22. 0.1

2 164.8

1. 0.1

0.22. 0.1

3 159.1

1. 0.1

0.32. 0.1

4 154.8

1. 0.1

0.42. 0.1

5 158.6

1. 0.1

0.42. 0.1

6 168.1

1. 0.1

0.352. 0.1

7 167.1

1. 0.1

0.352. 0.1

Tabel 6. Hasil Pengamatan Uji Sensori Kentang Suhu ±180oC

Meni

tSampel

Perubahan

Warna

Tingkat

Kematangan

Tingkat

KekerasanRata-

Rata

Skor

Rata-

RataKet Skor Ket Skor Ket Skor

0 1 Putih 1Agak

mentah1

Agak

keras1 1 1

1 1 Putih 1 Agak 2 Agak 2 1.667 1.667

mentah keras

2 Putih 1Agak

mentah2

Agak

keras2 1.667

3 Putih 1Agak

mentah2

Agak

keras2 1.667

2

1Putih

kuning2 Sedang 3

Agak

keras2 2.333

22Putih

kuning2

Agak

mentah2

Agak

keras2 2

3 Putih 1Agak

mentah2

Agak

keras2 1.667

3

1Kunin

g3 Sedang 3 Sedang 3 3

2.7762Kunin

g3 Sedang 3 Sedang 3 3

3Putih

kuning2 Sedang 3

Agak

keras2 2.333

4

1Coklat

muda4

Agak

matang4

Agak

keras2 3.333

3.44432Kunin

g3

Agak

matang4

Agak

lunak4 3.667

3Kunin

g3 Sedang 3

Agak

lunak4 3.333

51

Coklat

muda4 Matang 5

Agak

lunak4 4.333

4.111

2 Coklat 4 Matang 5 Agak 4 4.333

muda lunak

3Kunin

g3

Agak

matang4

Agak

lunak4 3.667

6

1Coklat

tua5 Matang 5 Lunak 5 5

4.8892Coklat

tua5 Matang 5 Lunak 5 5

3Coklat

muda4 Matang 5 Lunak 5 4.667

7

1Coklat

muda4 Matang 5

Agak

lunak4 4.333

4.4442Coklat

muda4 Matang 5

Agak

lunak4 4.333

3Coklat

muda4 Matang 5 Lunak 5 4.667

0 1 2 3 4 5 6 70

1

2

3

4

5

6

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

Rata-rata Uji Sensori Rata-rata uji Tekan

Waktu (t)

Rata

-rat

a Uj

i Sen

sori

Rata

-rat

a uj

i Tek

an

Gambar 3. Grafik Penggorengan Kentang suhu 180°C

Tabel 7. Hasil Pengamatan Uji Tekan Kentang Suhu 160° C

No

t (menit

)T

(°C)Uji Tekan

kg.fRata-rata uji

tekan Gambar

1

0

1600,1

0,15

   0,2

2

1

1580,2

0,25

   0,3

3

2

1560,3

0,35

   0,4

4

3

1500,2

0,125

  0,15

5

4

147,4

0,15

0,3

  0,15

6

5

142,9

0,15

0,3

   0,15

7

6

140

0,2

0,125

   0,15

8

7

138

0,05

0,1

   0,15

Tabel 8. Hasil Pengamatan Uji Sensori Kentang Suhu 160° C

No

Sampel

Perubahan Warna

Tingkat kematangan

Tingkat Kekerasan Rata-

rata SkorKeteranga

nSko

rKeteranga

nSko

rKeteranga

nSko

r

1 1 Putih 1 Mentah 1 Lunak 5 2,3

  2 Putih 1 Mentah 1 Lunak 5 2,3

  3 Putih 1 Mentah 1 Lunak 5 2,3

2 1 Putih 1Agak

mentah2

Agak lunak

4 2,3

  2 Putih 1Agak

mentah2

Agak lunak

4 2,3

  3 Putih 1Agak

mentah2

Agak lunak

4 2,3

3 1Putih agak

kuning2

Agak mentah

2Agak lunak

4 2,67

  2Putih agak

kuning2

Agak mentah

2Agak lunak

4 2,67

  3Putih agak

kuning2

Agak mentah

2Agak lunak

4 2,67

4 1 Kuning 3 Sedang 3 Sedang 3 3

  2 Kuning 3 Sedang 3 Sedang 3 3

  3 Kuning 3 Sedang 3 Sedang 3 3

5 1 Kuning 3 Sedang 3 Sedang 3 3

  2 Kuning 3 Sedang 3 Sedang 3 3

  3 Kuning 3 Sedang 3 Sedang 3 3

6 1Coklat muda

4Agak

matang4 Agak keras 2 2

  2Coklat muda

4Agak

matang4 Agak keras 2 2

  3Coklat muda

4Agak

matang4 Agak keras 2 2

7 1Coklat muda

4 Matang 5 Agak keras 2 2

  2Coklat muda

4 Matang 5 Agak keras 2 2

  3Coklat muda

4 Matang 5 Agak keras 2 2

8 1 Coklat tua 5 Matang 5 Agak keras 2 2

  2 Coklat tua 5 Matang 5 Agak keras 2 2

  3 Coklat tua 5 Matang 5 Agak keras 2 2

0 1 2 3 4 5 6 70

0.050.1

0.150.2

0.250.3

0.350.4

00.511.522.533.5

Grafik Uji Tekan dan Uji Sensoris Kentang Suhu 160˚C

Uji SensorisUji Tekan

Uji T

ekan

Waktu

Uji

Sens

oris

Gambar 4. Grafik Penggorengan Kentang Suhu 160oC

BAB V

PEMBAHASAN

Pada praktikum yang dilaksanakan saat ini, praktikan melakukan

penggorengan pada suatu produk dengan menggunakan alat penggoreng berupa

deep fat fryer. Deep fat fryer menggunakan minyak goreng yang banyak dalam

penggorengannya. Bahan yang digoreng yaitu nugget dan kentang pada suhu

180°C dan suhu 160°C. Bahan yang digoreng ini dapat diketahui tingkat

kekerasannya saat mencapai waktu dan suhu tertentu. Selain kekerasan, bahan

yang digoreng ini umumnya mengalami perubahan warna karena adanya reaksi

kimia dan panas pada bahan tersebut.

Dari pengamatan kelompok praktikum, diperoleh empat buah data yaitu

penggorengan pada nugget dengan suhu masing-masing 160°C dan 180°C dan

penggorengan pada kentang dengan suhu 160°C dan 180°C. Pada data

penggorengan nugget dengan suhu 160°C diperoleh 35 buah sampel dengan

masing-masing dibagi menjadi tujuh menit pengukuran. Dari data kelompok ini,

pada nugget yang belum digoreng, warnanya yaitu putih agak kuning dengan

tingkat kekerasan lunak dan tingkat kematangannya masih mentah. Lalu, nugget

yang sudah digoreng 1 menit memiliki warna yang sama, namun tingkat

kematangannya masih agak mentah dan tingkat kekerasannya agak lunak. Pada

penggorengan pada 1 menit pertama ini tingkat kekerasannya meningkat diikuti

tingkat kematangan yang meningkat juga. Pada menit ke-2 dan ke-3 memiliki

warna yang sama yaitu kuning dengan tingkat kematangan dan tingkat kekerasan

sedang. Sedangkan menit ke-4 hingga ke-5 warna nugget menjadi coklat muda

dengan tingkat kekerasan agak keras dan tingkat kematangannya sudah matang.

Pada menit ke-6 dan ke -7 warna nugget menjadi lebih pekat, yaitu coklat tua

dengan tingkat kematangan matang dan kekerasannya sudah keras. Hal ini

mengindikasikan bahwa semakin lama bahan digoreng, tingkat kematangan, dan

tingkat kekerasan semakin tinggi ,dan warna bahan semakin pekat.

Menurut data yang lain, sebagai contoh data penggorengan kentang pada

suhu 160°C. Pada kentang yang belum digoreng, warnanya masih putih dengan

tingkat kematangan mentah dan tingkat kekerasannya agak lunak. Pada

penggorengan menit 1 dan ke-2 , tingkat kekerasannya agak lunak dan tingkat

kematangan kentang agak mentah. Namun dari segi warna, kentang yang digoreng

di menit pertama masih berwarna putih, sedangkan kentang yang digoreng di

menit ke-2 berwarna putih agak kuning. Pada penggorengan menit ke-3 dan ke-4

sama, yaitu warna kentang yang sudah kuning dan tingkat kekerasan maupun

tingkat kematangannya sedang. Pada menit ke-5 dan ke-6 warna kentang menjadi

coklat muda dan tingkat kematangan agak matang dan matang, tingkat

kekerasannya agak keras. Sedangkan pada menit ke-7 , warna kentang menjadi

coklat tua dengan tingkat kekerasan agak keras dan tingkat kematangan sudah

mencapai matang. Dari kedua perbandingan ini, dimana penggorengan pada suhu

yang berbeda dan bahan yang berbeda diperoleh hasil penggorengan yang berbeda

juga, dimana selama 7 menit penggorengan nugget pada suhu 180°C mencapai

matang dan keras, sedangkan kentang yang digoreng 7 menit pada suhu 160° C

tingkat kekerasannya masih agak keras. Dengan demikian, besar kecilnya suhu

juga berpengaruh pada cepat matang tidaknya suatu bahan.

Pada proses penggorengan, diharapkan suatu produk memiliki tingkat

kematangan yang matang dan tingkat kekerasan yang tidak terlalu keras serta

warna yang tidak terlalu pekat. Oleh sebab itu dilakukan uji tekan dan uji sensori.

Pada uji tekan produk nugget dan kentang yang digoreng pada suhu masing-

masing 180°C dan 160°C ini umumnya meningkat seiring dengan lamanya

penggorengan. Adapun menurut data, uji tekan nugget pada suhu 180°C di menit

ke-5 dan ke-6 menurun dari 0.75 kg.f menjadi 0.65 kg.f, hal ini disebabkan karena

kesalahan atau ketidaktelitian dalam pengukuran. Pada data penggorengan nugget

ini, diperoleh uji tekan rata-rata 0.5 kg.f, 0.25 kg.f, 0.35 kg.f, 0.6 kg.f, 0.6 kg.f,

0.75 kg.f, 0.65 kg.f, dan 0.6 kg.f. Melalui pengamatan yang dilakukan praktikan,

waktu dan suhu sangat berpengaruh pada proses penggorengan. Semakin besar

suhu dalam penggorengan, maka waktu yang dibutuhkan agar produk menjadi

matang semakin lebih cepat. Apabila penggorengan dilakukan pada suhu rendah,

maka waktu yang dibutuhkan haruslah lebih lama agar produk tersebut mencapai

tingkat kematangan yang baik.

Penggorengan menggunakan metode deep fat frying ini memiliki beberapa

kelebihan dan kekurangan. Keuntungan dari penggunaan deep fat frying antara

lain metode pemasakan yang cepat, mudah, menghasilkan tekstur ynag menarik

dan renyah serta menghasilkan warna yang bagus. Sedangkan kekurangan dari

metode deep fat frying adalah lebih berbahaya dari metode penggorengan lainnya

jika tidak ditangani secara benar, minyak yang digunakan dalam jumlah besar

sehingga biayanya lebih tinggi.

Dalam penggorengan menggunakan metode deep fat frying, minyak yang

digunakan berupa minyak padat atau semi cair. Minyak goreng padat ini biasanya

dipakai pada restoran atau makanan cepat saji. Pengaruh penggunaan minyak

goreng padat ini dapat dilihat dari hasil gorengan yang lebih kering, tidak

berminyak dan lebih gurih, tidak ada endapan atau jelantah, titik didih lebih tinggi

220° C dibandingkan minyak biasa yang titik didihnya hanya 180° C, itu berarti

minyak goreng biasa yang dipakai dalam jangka waktuyang lama lebih mudah

menguap.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum ini adalah :

1. Waktu dan suhu berpengaruh pada lama dan matangnya suatu

penggorengan.

2. Semakin lama waktu yang digunakan dalam menggoreng, maka produk

akan dapat mencapai tingkat kematangannya.

3. Semakin besar suhu yang dipakai untuk menggoreng, kematangan produk

dan tingkat kekerasan akan semakin tinggi.

4. Suatu produk yang digoreng akan mengalami perubahan warna menjadi

lebih pekat.

5. Metode penggorengan deep fat frying menggunakan minyak padat dalam

proses penggorengannya.

6. Pengaruh penggunaan minyak goreng padat idapat dilihat dari hasil

gorengan yang lebih kering, tidak berminyak dan lebih gurih, tidak ada

endapan atau jelantah, titik didih lebih tinggi 220° C.

6.2 Saran

Saran-saran yang dapat diberikan pada praktikum ini adalah :

1. Praktikan sebaiknya memahami materi yang akan dipraktikumkan terlebih

dahulu.

2. Praktikan sebaiknya teliti dalam mengukur uji tekan dan uji sensori agar

data yang diperoleh lebih akurat.

3. Sebaiknya dalam kelompok dibagi tugas tiap individu dalam praktikum

agar berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto, Mulono. 2003. Chemistry of Frying Oils. Tesis. Program Studi Teknik Pertanian. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: Jogjakarta

Ayu Dewi Sartika, Ratu. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Makara, Sains, Vol. 13, No. 1, April 2009: 23-28

Blumenthal, M.M. and Stier, R.F. 1991. Optimization of deep fat frying operations. Trend Food Sci.

Fellows, P. 1990. Food Processing Technology: Principles and Practise. New York: Ellis Horwood Limited.

Krokida, M.K., Oreopoulou,V., Maroulis, Z.B., and Marinos-Kouris, D. 2001. Colour changes during deep fat frying. Journal of Food Engineering, 48, 219-225.

Lastriyanto, A. 1998. Sistem peng-gorengan hampa dengan water – jet. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

Perkins, E.G. Lipid oxidation of deep fat frying, in Food Lipids and Health,McDonald, R.E. andMin, D.B.,Eds., Dekker, New York, 1996, p. 139.

Rossell, J. B. 2001. Frying. Woodhead Publishing Limited, Abington Hall, Abington, Cambridge, England.