Laporan Wanagama

41
LAPORAN STUDI LAPANGAN PRAKTIKUM EKOLOGI ANALISIS VEGETASI HUTAN WANAGAMA Oleh: Roni Ardyantoro 13308141044 Nur Tsani Rahmawati 13308141050 Hana Widiyanti 13308144006 Salma Nadiyah 13308144013 Kelompok V PRODI STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

description

ekologi

Transcript of Laporan Wanagama

Page 1: Laporan Wanagama

LAPORAN STUDI LAPANGAN

PRAKTIKUM EKOLOGI

ANALISIS VEGETASI

HUTAN WANAGAMA

Oleh:

Roni Ardyantoro 13308141044

Nur Tsani Rahmawati 13308141050

Hana Widiyanti 13308144006

Salma Nadiyah 13308144013

Kelompok V

PRODI STUDI BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2014

Page 2: Laporan Wanagama

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai

komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain

suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk

hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga

berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu

populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi dan merupakan suatu

sistem yang menunjukkan kesatuan (Ansari Fuad. 1975).

Populasi adalah keseluruhan objek yang akan/ingin diteliti. Populasi ini sering

juga disebut Universe. Anggota populasi dapat berupa benda hidup maupun benda

mati, dimana sifat-sifat yang ada padanya dapat diukur atau diamati. Populasi yang

tidak pernah diketahui dengan pasti jumlahnya disebut "Populasi Infinit" atau tak

terbatas, dan populasi yang jumlahnya diketahui dengan pasti (populasi yang dapat

diberi nomor identifikasi), misalnya murid sekolah, jumlah karyawan tetap pabrik, dll

disebut "Populasi Finit". Suatu kelompok objek yang berkembang terus (melakukan

proses sebagai akibat kehidupan atau suatu proses kejadian) adalah Populasi Infinitif

(Duncan Robert et al. 1988).

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari

beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme

kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama

individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya

sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis. Dalam

ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk menganalisis suatu vegetasi

yang sangat membantu dalam mendekripsikan suatu vegetasi sesuai dengan

tujuannya. Dalam hal ini suatu metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring

dengan kemajuan dalam bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus

diperhitungkan berbagai kendala yang ada (Syafei, 1990).

Analisis vegetasi merupakan cara yang dilakukan untuk mengetahui seberapa

besar sebaran berbagai spesies dalam suatu area melaui pengamatan langsung.

Page 3: Laporan Wanagama

Dilakukan dengan membuat plot dan mengamati morfologi serta identifikasi vegetasi

yang ada.

Kehadiran vegetasi pada suatu landscape akan memberikan dampak positif

bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan

vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon

dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah,

pengaturan tata air tanah dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi

pada suatu area memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung

pada struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu. Sebagai contoh

vegetasi secara umum akan mengurangi laju erosi tanah, tetapi besarnya tergantung

struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi vegetasi daerah tersebut.

(Hadisubroto, 1989)

B. TUJUAN

Mempelajari struktur vegetasi dan membuat interpretasi fungsi komunitas tumbuhan

tumbuhan pada tegakan yang dipelajari

Page 4: Laporan Wanagama

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Vegetasi

Vegetasi merupakan unsur yang dominan yang mampu berfungsi sebagai

pembentuk ruang, pengendalian suhu udara, memperbaiki kondisi tanah dan

sebagainya. Vegetasi dapat menghadirkan estetika tertentu yang alamiah dari garis,

bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang,

akar, bunga, buah maupun aroma yang ditimbulkan dari daun, bunga maupun

buahnya (Rochman, 2005).

Kimball (2005) menyatakan bahwa hutan hujan tropis mencapai

perkembangan sepenuhnya pada bagian belahan bumi sebelah barat dan mencapai

perkembangan sepenuhnya di bagian tengah dan selatan,sangat beragam spesiesnya.

Disana, jarang dijumpai dua pohon dari spesies yang sama tumbuh

berdekatan.vegetasinya sedemikian rapat sehingga cahaya sangat sedikit yang sampai

ke dasar hutan.

Wilayah hutan hujan tropis mencakup ± 30% dari luas permukaan bumi dan

terdapat mulai dari Amerika Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian anak

benua India, sebagian besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggra, gugusan

kepulauan di samudra Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia. Pada umumnya

wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang

jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan

kelembaban udara yang tinggi, demikian juga dengan curah hujan, sedangkan hujan

merata sepanjang tahun (Ewusie, 1980).

Menurut Soedjiran et all (1993) hutan hujan tropis (tropical rain forest)

terdapat di daerah tropis yang basah dengan curah hujan yang tinggi dan tersebar

sepanjang tahun, seperti di Amerika tengah dan selatan, Asia tenggara, Indonesia dan

Australia timur laut. Dalam hutan ini pohon-pohonnya tinggi dan pada umumnya

berdaun lebar dan selalu hijau, jumlah jenis besar. Sering terdapat paku-paku pohon,

tanaman merambat berkayu liana yang sering dapat mencapai puncak pohon-pohon

yang tinggi dan epifit. Hutan ini kaya akan jenis-jenis hewan invertebrata dan

vertebrata.

Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan

struktur hutan. Kegiatan analisis vegetasi pada dasarnya ada dua macam, yaitu metode

Page 5: Laporan Wanagama

dengan petak dan tanpa petak. Salah satu metode dengan petak yang banyak

digunakan adalah kombinasi antara metode jalur (untuk risalah pohon) dengan metode

garis petak (untuk risalah permudaan) dalam kegiatan-kegiatan penelitian di bidang

ekologi hutan seperti halnya pada bidang-bidang ilmu lainnya yang bersangkut paut

dengan Sumber Daya Alam (Latifah, 2005).

B. Struktur Vegetasi

Struktur vegetasi merupakan susunan anggota komunitas vegetasi pada suatu

area yang dapat dinilai dari tingkat densitas (kerapatan) individu dan diversitas

(keanekaragaman) jenis. Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari

beberapa faktor seperti : flora setempat, habitat, (iklim,tanah dan lain-lain), waktu dan

kesempatan. Komposisi dan struktur vegetasi tumbuhan tidak dapat dilepaskan dari

pentingnya mengetahui air tanah dan ketersediaan air tanah bagi tumbuhan di

sekitarnya. Ketersediaan air dalam tanah ditentukan oleh kemampuan partikel tanah

memegang air. Air tanah adalah air yang bergerak dalam tanah yang terdapat dalam

ruang-ruang antar butir tanah yang membentuknya. Air tanah dapat dibedakan

menjadi dua yaitu air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah dangkal terdapat

pada bidang tanah yang mempunyai pengaruh besar terhadap proses pembentukan

tanaman. Melalui profil, kedalaman air dapat diduga berdasarkan tinggi, maka air

tanah yang selalu mengalami periode naik turun sesuai dengan keadaan musim atau

faktor lingkungan luar lainnya. Kedalaman muka air tanah yang dimaksud adalah

kedalaman muka priotik yaitu kedalaman muka air tanah sumur-sumur gali yang ada

(Kusumawati, 2008).

Penyelamatan fungsi hutan dan perlindunganya sudah saatnya menjadi

tumpuan harapan bagi kelangsungan jasa produksi ataupun lingkungan untuk

menjawab kebutuhan mahkluk hidup Mengingat tinggi dan pentingya nilai hutan,

maka upaya pelestarian hutan wajib dilakukan apapapun konsekuensi yang harus

dihadapi, karena sebetulnya peningkatan produktivitas dan pelestarian serta

perlindungan hutan sebenarnya mempunyai tujuan jangka panjang. Produktivitas

tegakan ataupun ekosistem hutan Perlindungan dan aspek kesehatan hutan sebagai

mata rantai pemeliharaan (Marsono, 2004).

Perlindungan dan aspek kesehatan hutan sebagai mata rantai pemeliharaan

atau pembinaan hutan harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam satu

kesatuan pengelolaan hutan dalam rangka melindungi hutan berikut komponen yang

Page 6: Laporan Wanagama

ada didalamnya dari berbagai macam faktor penyebab kerusakan. Hutan jika ditinjau

dari aspek kesehatannya terbagi atas tiga komponen yakni dari sisi pemanfaatan yakni

pada tegakkan hutan, lingkungan yakni terhadap sebuah komunitas dan kesehatan

ekosistem yang lebih menjurus pada landscape (Marsono, 2004).

C. Hutan Wanagama

Kawasan Hutan Wanagama yang luasnya hampir mencapai 600 hektar

merupakan tumpuan harapan bagi banyak orang yang bermukim di Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya untuk kepentingan ekonomis ataupun kebutuhan

akan jasa lingkungan sebagai paru–paru kota dan sebagai media pembelajaran alamiah

ataupun oleh pemerintah daerah sebagai salah satu aset wisata alam bagi daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY). Mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh

lewat kehadiran kawasan Hutan wanagama ini, maka upaya untuk mempertahankan

fungsi dan peran kawasan ini harus terus dilakukan (Irwanto, 2006).

Bahwa hutan yang sehat terbentuk apabila faktor-faktor biotik dan abiotik

dalam hutan tersebut tidak menjadi faktor pembatas dalam pencapaian tujuan

pengelolaan hutan saat ini maupun masa akan datang. Kondisi hutan sehat ditandai

oleh adanya pohon-pohon yang tumbuh subur dan produktif, akumulasi biomasa dan

siklus hara cepat, tidak terjadi kerusakan signifikan oleh organisme pengganggu

tumbuhan, serta membentuk ekosistem yang khas (Kimmins, 1987).

Ekosistem hutan yang sehat terbentuk setelah hutan mencapai tingkat

perkembangan klimaks, yang ditandai oleh tajuk berlapis, pohon-pohon penyusun

terdiri atas berbagai tingkat umur, didominasi oleh pohon-pohon besar, serta adanya

rimpang yang terbentuk karena matinya pohon. Ekosistem hutan yang sehat tercapai

bila tempat tumbuhnya dapat mendukung ekosistem untuk memperbaharui dirinya

sendiri secara alami, mempertahankan diversitas penutupan vegetasi, menjamin

stabilitas habitat untuk flora dan fauna, serta terbentuknya hubungan fungsional di

antara komunitas tumbuhan, hewan dan lingkungan (Widyastuti, 2004).

Kesehatan hutan dan kesehatan ekosistem tersebut menunjukkan bahwa

keduanya merupakan tingkatan-tingkatan integrasi biologis. Konsekuensinya ialah

antara keduanya mempunyai karakteristik yang sama, namun demikian terdapat

perbedaan yang fundamental. Aspek kesehatan ekosistem lebih berhubungan dengan

pola penutupan vegetasi dalam kisaran kondisi-kondisi ekologi yang luas, sedangkan

kesehatan hutan lebih menekankan pada kondisi untuk memperoleh manfaatnya

(Sumardi,2004).

Page 7: Laporan Wanagama

1. Teknik Sampling Kuadrat (Quadrat Sampling Technique)

Teknik sampling kuadrat ini merupakan suatu teknik survey vegetasi yang

sering digunakan dalam semua tipe komunitas tumbuhan. Petak contoh yang dibuat

dalam teknik sampling ini bisa berupa petak tunggal atau beberapa petak. Petak

tunggal mungkin akan memberikan infoanasi yang baik bila komunitas vegetasi yang

diteliti bersifat homogen. Adapun petakpetak contoh yang dibuat dapat diletakkan

secara random atau beraturan sesuai dengan prinsip-prinsip teknik sampling yang

telah

Untuk memudahkan perisalahan vegetasi dan pengukuran parametemya, petak

contoh biasanya dibagi-bagi ke dalam kuadrat-kuadrat berukuran lebih kecil. Ukuran

kuadrat-kuadrat tersebut disesuaikan dengan bentuk morfologis jenis dan lapisan

distribusi vegetasi secara vertikal (stratifikasi). Dalam hal ini Oosting (1956)

menyarankan penggunaan kuadrat berukuran 10 x 10 m untuk lapisan pohon, 4 x 4 m

untuk lapisan vegetasi berkayu tingkat bawah (undergrowth) sampai tinggi 3 m, dan 1

x 1 m untuk vegetasi bawah/lapisan herba. Tetapi, umtmmya para peneliti di bidang

ekologi hutan membedakan potion ke dalam beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu:

semai (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1,5 m), pancang (permudaan

dengan > 1,5 m sampai pohon muda yang berdiame[er < 10 cm), tiang (pohon muda

berdiameter 10 s/d 20 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20 cm). Untuk

memudahkan pelaksanaannya ukuran kuadrat disesuaikan dengan tingkat

perttunbuhan tersebut, yaitu umumnya 20 x 20 m (pohon dewasa), 10 x 10 m (tiang),

5 x 5 m (pancang), dan lxl m atau 2 x 2 m (semai dan tumbuhan bawah).

2. Metode Titik Pusat Kuadran (Point Centered Quartered Method)

Berdasarkan hasil penelitian Cottam dan Curtis (1956), metode ini merupakan

metode sampling tanpa petak contoh yang paling efisien karena pelaksanaannya di

lapangan memerlukan waktu yang lebih sedikit, mudah, dan tidak memerlukan faktor

koreksi dalam menduga kerapatan individu tumbuhan. Tetapi, dalam pelaksanaanya

metode ini mempunyai dua macam keterbatasan, yaitu (I) setiap kuadran harus

terdapat paling sedikit satu individu tumbuhan dan (2) setiap individu (seperti halnya

pada random pair method) tidak boleh terhitung lebih dari satu kali. Prosedur metode

ini dalam pelaksanaan di lapangan adalah:

Page 8: Laporan Wanagama

Peletakan sejumlah titik contoh secara acak dalam komunitas tumbuhan.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, sebaiknya dibuat suatu seri garis arah

kompas (garis rintis) dalam komunitas tumbuhan yang akan diteliti, kemudian

sejumlah titik contoh dipilih secara acak atau secara teratur sepanjang garis rintis

tersebut. Cottam dan Curtis (1956) menyarankan paling sedikit 20 titik contoh

harus dipilih untuk meningkatkan ketelitian sampling dengan teknik ini.

Pembagian areal sekitar titik contoh menjadi empat kuadran yang berukuran sama

(Gambar 6.10). Hal ini dapat dilakukan dengan kompas atau bila suatu seri garis

rintis digunakan kuadran-kuadran tersebut dapat dibentuk dengan menggunakan

garis rintis itu sendiri dan suatu garis yang tegak lurus terhadap gads rintis

tersebut melatui titik

contoh.

Di dalam metode ini di setiap titik pengukuran dibuat garis absis dan

ordinat khayalan, sehingga di setiap titik pengukuran terdapat empat buah

quadran. Pilih saw pohon di setiap quadran yang letaknya paling dekat dengan

titik pengukuran dan ukurjarak dari masing-masing pohon tersebut ke titik

pengukuran. Pengukuran dimensi pohon hanya dilakukan terhadap keempat

pohon yang terpilih.

Gambar. Desain point centered quarter method di lapangan

Page 9: Laporan Wanagama

BAB 3

ALAT DAN BAHAN

A. ALAT DAN BAHAN

1. QUADRAT SAMPLING TECHNIQUES

a. Patok (40 batang)

b. Tali (plastic terpilin lebih baik) (3 ball raksasa)

c. Meteran panjang (roll meter) (30 meter)

d. Pisau tajam (1 buah)

e. Kantong plastic tipis (1 kg) (100 biji)

f. Steples kecil dengan isinya (1 buah)

g. Kertas label (100 lembar)

h. Spidol permanen kecil (1 buah)

i. Kamera ( 1 buah)

2. POINT QUARTER TECHNIQUES

a. Patok 20 buah)

b. Meteran panjang / roll meter (1 buah)

c. Alat-alat untuk data abiotik:

Thermometer (1 buah)

Hygrometer (1 buah)

Roll meter pendek / metlin (1 buah)

Page 10: Laporan Wanagama

B. LANGKAH KERJA

1. QUADRAT SAMPLING TECHNIQUES

Melakukan pengamatan pada masing-masing spesies pada setiap plot

Memilih lokasi pengamatan dan batas-batasnya.

Membuat plot seluas 4x4 m. Kemudian mencatat dan menghitung jumlah spesies yang ada.

Mengolah data yang diperolek untuk mendapatkan grafik penentuan jumlah minimal plot.

Menginterpretasikan hasil yang diproleh.

Setelah luas miimal plot diketahui, membuat plot seluas plot minimal sebanyak beberapa kali.

Mencatat dan menghitung jumlah spesies yang ada.

Melakukan perhitungan terhadap data yang diperoleh untuk mendapatkan nilai penting pada

setiap tegakan, dan selanjutnya menetapkan kedudukan (rank) masing-masing spesies

Mengolah data yang diperoleh untuk mendapatkan grafik untuk menentukan luas minimal

plot.

Memperluas plot sebesar dua kali lipat dari luas sebelumya dan kembali mencatat serta

menghitung jumlah spesiesyang ada. Teerus melakukan hal ini hingga tidak ditemukan

spesies baru pada plot tersebut.

Menyiapkan alat dan baham yang dibutuhkan.

Page 11: Laporan Wanagama

2. POINT QUARTER TECHNIQUES

Membuat arah garis pertama yang arahnya disesuaikan dengan arah kompas (compass line).

Menentukan jarak antartitik (point) sepanjang garis pertama.

Mencatat nama spesies dan mengukur diameter pohon yang dipilih dan mengukur luas

penutupan tajuk.

Menginterpretasikan hasil yang diproleh.

Mengukur jarak pohon yang memiliki diameter 1 cm atau lebih, yag terdekat dengan point

center, pada setiap quarter pada masing-masing point dengan point center.

Melakukan perhitungan terhadap data yang diperoleh untuk mendapatkan nilai penting pada

tiap tegakan, dan selanjutnya menetapkan kedudukan (rank) masing-masing spesies

Menetukan / memilih point / titik yang diprioritaskan untuk diamati terlebih dahulu. Jumlah

point yang dibutuhkan disesuaikan dngan jumlah minimal plot yang dibutuhkan dalam teknik

kuadrat.

Membuat garis kedua yang arahnya tegak lurus dengan garis pertama sehinnga saling

berpotongan membagi daerah masing-masing menjadi 4 quarter.

Menentukan lokasi studi dan menentukan batas-batasnya.

Page 12: Laporan Wanagama

BAB 4

DATA DAN PEMBAHASAN

A. DATA HASIL PENGAMATAN

0 20 40 60 80 100 120 140 1600

5

10

15

20

25

Penentuan luas minimal plot

data pengamatan10 persensejajar

luas plot dalam m2

jum

lah

spes

ies

Luas minimal plot 64 m2 atau 8x8

0 1 2 3 4 5 60

5

10

15

20

25

1.4

19.6

0

18.2

penentuan luas minimal plot

data pengamatan10 persensejajar

jumlah plot

jum

lah

spes

eis

Jumlah plot minimal 3

Page 13: Laporan Wanagama

ANALISIS DATA

Untuk menghitung niali penting setiap spesies pada masing-masing tegakan, perlu dihitung :

a. Densitas absolut =Jumlah individu

Luas areal

b. Densitas relatif = densitas setiap spesies

Jumlahdensitas semua spesies X 100 %

c. Dominansi absolut = Nilai areal tertutup

Luas areal

d. Dominansi relatif = Dominansi tiap spesies

Jumlahdominansi seluruh spesies X 100 %

e. Frekuensi Absolut = Jumlah plot yangdi tempaiti spesies ybs

Jumlah seluruh plot

f. Frekuensi ralatif = Frekuensi setiap spesies

Jumlah frekuensi seluruhspesies X 100 %

g. Nilai penting = densitas relatif + Dominansi relatif + Frekuensi relatif

Tabel penentuan luas dan banyak plot

No Plot Luas plot Jumlah spesies

1 Kuadrat 1

4m x 4m

16 m2 8

2 Kuadrat II

4m x 8m

32 m2 9

3 Kuadrat III

8m x 8m

64 m2 12

4 Kuarat IV

8 mx 16 m

128 m2 14

5 Kuadrat V 256 m2 14

Luas areal = jumlah luas seluruh plot yang digunakan

Page 14: Laporan Wanagama

16 m x16m

1. DATA QUADRAT SAMPLING TECHNIQUES

N0 Plot Jenis Tumbuhan Jumlah

1 I Podocarpus macrophyllus 52

2 Glerecidae sepium 24

3 Hoplismenus bourmanii 2

4 Maclura coccinensis 1

5 Mimosa sp 3

6 Barleria prionitis 1

7 Pasifora 7

8 Mitragina specioca 2

9 II Glerecidae sepium 16

10 Swietenia macropilla 2

11 Podocarpus macrophyllus 4

12 Pasifora 12

13 Maclura coccinensis 2

14 Barleria prionitis 1

15 Flacourtia indica 2

16 Mitragina specioca 2

17 III Swietenia macropilla 1

18 Podocarpus macrophyllus 17

19 Glerecidae sepium 13

20 Pasifora 1

21 Ingu 5

Page 15: Laporan Wanagama

PERHITUNGAN DATA

Luas minimal plot = 64 m2

Jumlah minimal plot = 3

SepesiesJumlah individu dalam plot

TotalLuas

penutupanPlot I Plot II Plot IIIPodocarpus macrophyllus 52 4 17 73 9

Glerecidae sepium 24 16 13 53 0Hoplismenus bourmanii 2 0 0 2 0

Maclura coccinensis 1 2 0 3 0Mimosa sp 3 0 0 3 2

Barleria prionitis 1 1 0 2 0Pasifora 7 12 1 20 0

Mitragina specioca 2 2 0 4 0Swietenia macropilla 0 16 1 17 10

Flacourtia indica 0 2 0 2 0Ingu 0 0 5 5 0

Jumlah 21

Densitas absolut

Podocarpus macrophyllus = 73

193 = 0,3803

Glerecidae sepium = 53

193 = 0,2760

Hoplismenus bourmanii = 2

193 = 0,0104

Maclura coccinensis = 3

193 = 0,0156

Mimosa sp = 3

193 = 0,0156

Barleria prionitis = 2

193 = 0,0104

Pasifora = 20

193 = 0,1041

Page 16: Laporan Wanagama

Mitragina specioca = 4

193 = 0,0208

Swietenia macropilla = 19

193 = 0,0885

Flacourtia indica = 2

193 = 0,0104

Ingu = 5

193 = 0,0260

Jumlah 0,9919

Densitas relatif

Podocarpus macrophyllus = 0,38030,9919

X 100% = 38,33%

Glerecidae sepium = 0,27600,9919

X 100% = 27,82%

Hoplismenus bourmanii = 0,01040,9919

X 100% = 1,05%

Maclura coccinensis = 0,01560,9919

X 100% = 1,57%

Mimosa sp = 0,01560,9919

X 100% = 1,57%

Barleria prionitis = 0,01040,9919

X 100% = 1,05%

Pasifora = 0,10410,9919

X 100% = 10,49

Mitragina specioca = 0,021

0,9919 X 100% = 2,09%

Swietenia macropilla = 0,08850,9919

X 100% = 8,92%

Flacourtia indica = 0,01040,9919

X 100% = 1,05%

Ingu = 0,02600,9919

X 100% = 2,26%

Jumlah 96,56%

Frekuensi absolut

Podocarpus macrophyllus = 33

= 1

Page 17: Laporan Wanagama

Glerecidae sepium = 33

= 1

Hoplismenus bourmanii = 13

= 0,33

Maclura coccinensis = 23

= 0,67

Mimosa sp = 13

= 0,33

Barleria prionitis = 23

= 0,67

Pasifora = 33

= 1

Mitragina specioca = 23

= 0,67

Swietenia macropilla = 23

= 0,67

Flacourtia indica = 13

= 0,33

Ingu = 13

= 0,33

Jumlah 7

Frekuensi relatif

Podocarpus macrophyllus = 17

x 100% = 14,28 %

Glerecidae sepium = 17

x 100% = 14,28 %

Hoplismenus bourmanii = 0,33

7 x 100% = 4,71%

Maclura coccinensis = 0,67

7 x 100% = 9,57%

Mimosa sp = 0,33

7 x 100% = 4,71%

Barleria prionitis = 0,67

7 x 100% = 9,57%

Pasifora = 17

x 100% = 14,28 %

Mitragina specioca = 0,67

7 x 100% = 9,57%

Page 18: Laporan Wanagama

Swietenia macropilla = 0,67

7x 100% = 9,57%

Flacourtia indica = 0,33

7 x 100% = 4,71%

Ingu = 0,33

7 x 100% = 4,71%

Jumlah 99,96%

Dominansi absolut

Podocarpus macrophyllus = 9

21 = 0,75

Swietenia macropilla = 1021

= 0,48

Mimosa sp = 2

21 = 0,095

Jumlah 1,325

Dominansi relatif

Podocarpus macrophyllus = 0,75

1,325 x 100% = 56,6%

Swietenia macropilla = 0,48

1,325 x 100% = 36,22%

Mimosa sp = 0,0951,325

x 100% = 12,58%

No Spesies Nilai penting Ranking

1 Podocarpus macrophyllus 109,21 1

2 Glerecidae sepium 42,1 3

3 Hoplismenus bourmanii 5,76 10

4 Maclura coccinensis 11,14 7

5 Mimosa sp 18,86 5

6 Barleria prionitis 10,62 8

7 Pasifora 24,77 4

8 Mitragina specioca 11,66 6

Page 19: Laporan Wanagama

9 Swietenia macropilla 54,71 2

10 Flacourtia indica 5,76 10

11 Ingu 7,33 9

Page 20: Laporan Wanagama

2. DATA ABIOTIK

komponen abiotik PlotI II II

Mikroklimat

Suhu 35 34,5 39,5Kelembaban 65 cd 65 cd 65 cd

Keceptan angin 0 0 0Intensitas cahaya 103 85 64

Edafik Stuktur Liat Liat Liat

Tekstur RemahRema

h RemahPh 6,9 7 6,8

Kelembaban 100 100 100

Page 21: Laporan Wanagama

3. DATA POIN QUARTER TECNIQUES

No Poin Quarter SpesiesJarak pohon

Diameter batang

Basal area

1 I 1 Glerecidae sepium 46 4,45 15,562 2 Glerecidae sepium 54 1,90 2,843 3 Mimosa sp 220 4,13 13,40

4 4 Swietenia macropilla 118 2,23 3,905 III 1 Glerecidae sepium 15 7,95 49,666 2 Glerecidae sepium 208 3,18 7,947 3 Glerecidae sepium 284 12,09 114,858 4 Glerecidae sepium 297 2,54 5,079 III 1 Glerecidae sepium 10 4,77 17,87

10 2 Glerecidae sepium 22 6,36 31,7811 3 Podocarpus macrophyllus 300 7,95 49,6612 4 Podocarpus macrophyllus 350 11,77 108,84

Jumlah 12 1924

PERHITUNGAN DATA

Jarak rata-rata antar pohon (D) = 1924

12 = 1,6 m

Densitas absolut seluruh spesies (jumlah pohon seluruh spesies setiap 100 m2 = 1001,6

= 39,06

Densitas absolut tiap spesies

Spesies Jumlah pohon tiap quarter

Densitas absolut spesies ybs = jumlah pohon spesies ybs tiap 100 m2

Glerecidae sepium 8/12 = 0,67 0,67 x 39,06 = 26,18Mimosa sp 1/12 = 0,08 0,08 x 39,06 = 3,12Swietenia macropilla 1/12 = 0,08 0,08 x 39,06 = 3,12Podocarpus macrophyllus 2/12 = 0,17 0,17 x 39,06 = 6,64

Jumlah 39,06

Basal area

No Glerecidae sepium

Mimosa sp Swietenia macropilla Podocarpus macrophyllus

1 15,56 13,40 3,90 49,662 2,84 108,843 49,664 7,945 114,856 5,077 17,878 31,78Jumlah 244,77 13,40 3,90 158,5Rata-rata 30,60 13,40 3,90 79,25

Page 22: Laporan Wanagama

Dominasi absolut tiap spesies tiap area 100 m2 (dasar basal area)

Glerecidae sepium = 30,60 x 26,18 = 801,11 cm 2 tiap area 100 m2

Mimosa sp = 13,40 x 3,12 = 41,80 cm 2 tiap area 100 m2

Swietenia macropilla = 3,90 x 3,12 = 12,16 cm 2 tiap area 100 m2

Podocarpus macrophyllus = 79,25 x 6,64 = 526,22 cm 2 tiap area 100 m2

Jumlah 1381,29 cm 2 tiap area 100 m2

Frekuensi absolut tiap spesies

Glerecidae sepium = 33

x 100 % = 100 % tiap area 100 m2

Mimosa sp = 13

x 100 % = 33,33 % tiap area 100 m2

Swietenia macropilla = 13

x 100 % = 33,33 % tiap area 100 m2

Podocarpus macrophyllus = 13

x 100 % = 33,33 % tiap area 100 m2

Jumlah 199,99 % tiap area 100 m2

Densitas relatif tiap spesies

Glerecidae sepium = 26,1839,06

x100% = 67,02 %

Mimosa sp = 3,12

39,06 x100% = 7,99 %

Swietenia macropil = 3,12

39,06 x100% = 7,99 %

Podocarpus macrophyllus = 6,64

39,06 x100% = 17,00 %

Jumlah 100 %

Dominansi relatif tiap spesies (berdasar basal area )

Glerecidae sepium = 801,11

1381,29 x100% = 57,99 %

Mimosa sp = 41,80

1381,29 x100% = 3,03 %

Page 23: Laporan Wanagama

Swietenia macropil = 12,16

1381,29 x100% = 0,88 %

Podocarpus macrophyllus = 526,22

1381,29 x100% = 38,09 %

Jumlah 99,99 %

Frekuensi relatif tiap spesies

Glerecidae sepium = 100

199,99 x100% = 50 %

Mimosa sp = 33,33

199,99 x100% = 16,66 %

Swietenia macropil = 33,33

199,99 x100% = 16,66 %

Podocarpus macrophyllus = 33,33

199,99 x100% = 16,66 %

Jumlah 99,98 %

Nilai penting tiap spesies (dengan menggunakan harga dominansi, yang didasarkan atas luas penutupan)

Rank catatanGlerecidae sepium = 67,02 + 57,99 + 50 =175,01 1 pohon

Mimosa sp = 7,99 + 3,03 + 16,66 =27,68 3 pohon

Swietenia macropil = 7,99 + 0,88 + 16,66 = 25,53 4 pohon

Podocarpus macrophyllus = 17,00 + 38,09 + 16,66 = 71,75 2 pohon

Page 24: Laporan Wanagama

B. PEMBAHASAN1. Quadrat Sampling Techniques

Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis vegetasi adalah penarikan unit

contoh atau sampel. Dalam praktikum kali ini kami mengunakan teknik ploting

dengan menggunakan Quadrat Sampling Techniques. Teknik ini merupakan suatu

teknik survey vegetasi yang sering digunakan dalam semua tipe komunitas

tumbuhan.

Langkah awal kami menentukan luas minimal plot. Kami mengambil data

dimulai dari plot 4x4 kemudian diperbesar hingga tidak ada tambahan spesies

pada pertambahan plot. Kami tidak mendapatkan penambahan spesies pada plot

ke 5 sehingga didapatkan hasil maksimal pada plot 4 dengan jumlah spesies 14

pada luas 8x16 (128 m2). Data tersebut dianalisis didapatkan luas minimal plot

8x8 m2. Kemudian kami menentukan jumlah minimal plot dengan menghitung

jumlah spesies pada setiap plot dan kami berhenti menghitung jumlah minimal

plot jika tidak mendapatkan tambahan spesies baru. Kami tidak mendapatkan

tambahan jenis spesies baru pada plot ke 5 sehingga hanya didapatkan pada plot 4

dengan jumlah spesies 14. Kemudian kami analisis didapatkan jumlah minimal 3

plot.

Dari perolehan nilai penting diperoleh ranking tumbuhan sesuai banyaknya

tumbuhan dalam areal keseluruhan plot yang menjadi sampel pengamatan kami di

Wanagama. Ranking pertama diperoleh Dari perolehan nilai penting ini, diperoleh

ranking tumbuhan sesuai banyaknya tumbuhan dalam areal keseluruhan plot yang

menjadi sampel pengamatan kami di Wanagama. Ranking pertama diperoleh oleh

Podocarpus. Ranking kedua diperoleh oleh Swietenia. Ranking ketiga diperoleh

oleh Glerecidae . Ranking keempat diperoleh oleh Pasifora. Ranking kelima

diperoleh oleh Mimosa. Ranking keenam diperoleh oleh Mitragina. Ranking

ketujuh diperoleh oleh Maclura. Ranking kedelapan diperoleh oleh Barleria.

Ranking kesembilan diperoleh oleh Ingu. Ranking kesepuluh terdiri dari dua jenis

spesies, yaitu diperoleh oleh Hoplismenus dan Flacourtia. Namun, dalam

penghitungan nilai penting ini, tidak semuanya memiliki nilai dominansi relatif,

hanya tumbuhan – tumbuhan yang termasuk dalam kategori dominan saja.

Di areal pengamatan kami, Podocarpus macrophyllus merupakan

tumbuhan yang dominan. Podocarpus macrophyllus dapat menjadi tumbuhan

dominan karena factor biotic yang mendukung pertumbuhan Podocarpus

Page 25: Laporan Wanagama

macrophyllus . Dengan areal pengamatan kami yang bersuhu 35°C, intensitas

cahaya dengan kisaran 64-103 cd, kelembaban udara 65%, dan tekstur tanah yang

remah merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan pohon Podocarpus

macrophyllus sehingga tumbuhan ini dapat tumbuh optimal. Dengan jumlah yang

paling banyak, Podocarpus macrophyllus menaungi paling luas areal

pengamatan. Hal ini menyebabkan sedikitnya intensitas cahaya yang diperoleh

daerah sekitar Podocarpus macrophyllus . Kurangnya intensitas cahaya ini

menjadi faktor penentu tumbuhan yang ada di sekitar Podocarpus macrophyllus,

tumbuh-tumbuhan itu harus mampu hidup optimal di daerah yang ternaungi.

Dominasi Podocarpus macrophyllus ini pun mempengaruhi jumlah

tumbuhan yang lain. jumlah Podocarpus macrophyllus yang banyak memerlukan

luas areal yang banyak sehingga tumbuhan yang lain memperoleh areal yang lebih

sempit untuk hidup dan melestarikan jenisnya. Tumbuhan yang mendapatkan luas

areal yang sedikit untuk hidup tentu tidak mampu mengoptimalkan hidupnya

sehingga jumlahnya lebih sedikit dari pada Podocarpus macrophyllus. Dominasi

Podocarpus macrophyllus ini juga dapat mempengaruhi serapan hara dari dalam

tanah. Disebabkan oleh banyaknya Podocarpus macrophyllus, sebagian besar hara

diserap oleh Podocarpus macrophyllus sehingga kemungkinan tumbuhan yang

lain mendapatka unsur hara yang lebih sedikit dibandingkan Podocarpus

macrophyllus. Hal ini menyebabkan tumbuhan yang lain kurang optimal

jumlahnya. Tumbuhan yang mampu bertahan dengan kompetisi ini mampu

mempertahankan jenisnya dengan jumlah yang cukup banyak pula meski tetap

lebih sedikit dari Podocarpus macrophyllus. Kebanyakan tumbuhan yang mampu

bertahan itu adalah jenis pohon karena strukturnya yang kokoh dan akarnya yang

panjang sehingga mampu menjangkau daerah yang luas untuk mendapatkan unsur

hara yang dibutuhkan.

Tanaman Barleria, ingu, Hoplismenus dan Flacourtia merupakan

tumbuhan yang menempati ranking terakhir. Hal ini dimungkinkan karena

lingkungan abiotik yang kurang mendukung untuk optimalisasi hidupnya. Selain

itu juga dipengaruhi kompetisi antara tumbuhan yang satu dengan yang lain yang

memiliki kebutuhan yang sama, baik areal maupun unsur hara untuk

kehidupannya. Jika tumbuhan-tumbuhan ini tidak mampu beradaptasi

kemungkinan di tahun-tahun yang akan datang dapat terseleksi.

Page 26: Laporan Wanagama

Analisis dengan teknik Quadrat Sampling ini memberikan kami

gambaran bahwa dalam lokasi pengamatan yang kami pilih di salah satu

bagian Hutan Wanagama memiliki vegetasi yang didominasi oleh Podocarpus.

Kemudian tumbuhan yang juga cukup banyak di sana setelah Podocarpus

adalah Swietenia. Kemudian disusul Pasifora, dan Glerecidae . Ketiga jenis

tumbuhan ini adalah pohon. Pohon yang juga menjadi penyusun vegetasi di

sana adalah Barleria, ingu, Hoplismenus, Flacourtia Mimmosa, Mitragina, dan

Maclura yang jumlahnya sedikit.

2. Point quarter techniques

Teknik kedua yang kami gunakan adalah teknik Point quarter techniques,

teknik ini merupakan metode sampling tanpa petak contoh yang paling efisien

karena pelaksanaannya di lapangan memerlukan waktu yang lebih sedikit, mudah,

dan tidak memerlukan faktor koreksi dalam menduga kerapatan individu

tumbuhan.

Langkah kerja yang kami lakukan adalah menentukan lokasi dan menentukan

batas-batasnya. Kemudian membuat arah garis pertama yang arahnya sesuain

dengan arah kompas (garis ini disebut sebagai compass line). Selanjutnya

menentukan jarak antar titik (poin), sepanjang garis pertama. Langkah ke-3

membuat garis kedua yang arahnya tegak lurus dengan garis pertama dan karena

perpotongan kedua garis tersebut masing-masing daerah disekitar poin terbagi

menjadi 4 quarter. Langkah selanjutnaya menentukan titik yang diprioritaskan

untuk diamati terlebih dahulu. Langkah berikutnya mengukur jarak pohon yang

memiliki diameter 1 cm atau lebih, yang terdekat dengan poin senter, pada setiap

quarter pada masing-masing poin dengan poin senter. Selanjutnya mencatat nama

spesies dan mengukur diameter pohon yang dipilih (karena terdekat dengan poin

senter) dan megukur luas penutupan tajuk. Langkah terakhir mencari nilai penting

masing-masing spesies pada setiap tegakan. Selanjutnya menentukan kedudukan

(rank) masing-masing spesies untuk menentukan struktur trofik dimana komponen

vegetasi lain (spesies lain) dalam level produsen.

data pengamatan serta perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh hasil

bahwa rata-rata jarak antar pohon pada quarter dengan poin adalah 1,6 meter.

Densitas absolut seluruh spesies untuk setiap 100 m 2 sebesar 39,06. Sedangakan

densitas untuk setiap spesies adalah ; Glerecidae sepium sebesar 26,18, Mimosa

Page 27: Laporan Wanagama

sp sebesar 3,12, Swietenia macropil sebesar 3,12, Podocarpus macrophyllus

sebesar 6,64.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pada pengamatan poin quarter dalam

daerah seluas 100 m2 spesies Glerecidae sepium yang memiliki kerapatan paling

tinggi. Sedangkan 3 spesies lainnya memiliki kerapan yang hampir sama. Dengan

demikian spesies Glerecidae sepium yang dominan.

Selanjutnya untuk pengukuran terhadap luas basal arean diperoleh hasil rata-

rata luas basal area untuk spesies Glerecidae sepium adalah 30,60 cm2, Mimosa sp

adalah 13,40 cm2, Swietenia macropil adalah 30,60 cm2, Podocarpus

macrophyllus adalah 79,25 cm2. Dari data tersebut spesies Podocarpus

macrophyllus yang memiliki luas basal area terbesar. Hal tersebut menunjukan

bahwa Podocarpus macrophyllus mempunyai kemampuan untuk hidup yang

cukup tinggi dalam memanfaatkan komponen-komponen abiotik baik organik

maupun anorganik yang tersedia dalam luas wilanyah poin quarter tersebut.

Walaupun Glerecidae sepium memiliki kerapan yang tinggi dibandingkan dengan

spesies yang lain yaitu Mimosa sp, Swietenia macropil, Podocarpus

macrophyllus. Namun Glerecidae sepium tidak dapat tumbuh dengan maksimal

karena kemampuannya dalam memanfaatkan komponen abiotik kurang maksimal

karena dalam pemanfaatan komponen abiotik didominasi oleh Podocarpus

macrophyllus.

Untuk frekuensi absolut pohon Glerecidae sepium sebesar 100 %, Mimosa sp

sebesar 33,33%, Swietenia macropil sebesar 33,33 %, Podocarpus macrophyllus

sebesar 33,33%. Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa untuk tanaman

Glerecidae sepium memiliki kepadatan sebesar 100 %, yang menutupi seluruh

daerah pengamatan. Sedangkan pohon Mimosa sp, Swietenia macropil,

Podocarpus macrophyllus memiliki kepadatan sebesar 33,33% yang menutupi

seluruh daerah pengamatan.

Untuk densitas relatif tiap spesies adalah; Glerecidae sepium sebesar 67,02

%, Mimosa sp sebesar 7,99 %, Swietenia macropil sebesar 7,99 %, dan

Podocarpus macrophyllus sebesar 17 %. Arti dari densitas itu sendiri adalah untuk

pohon Glerecidae sepium memiliki kepadatan sebesar 67,02 % yang menutupi

seluruh daerah pengamtan. Sedangkan Mimosa sp dan Swietenia macropil

memiliki kerapatan sebesar 7,99%. Dan untuk Podocarpus macrophyllus sebesar

17 % yang menutupi daerah pengamatan tersebut.

Page 28: Laporan Wanagama

Berdasarkan hasil perhitungan diatas diketahui frekuensi relatif tiap spesies

paling besar oleh pohon Glerecidae sepium sebesar 50%, kemudian untuk pohon

Mimosa sp, Swietenia macropil, dan Podocarpus macrophyllus frekuensi relatif

tiap spesiesnya sama yaitu sebesar 16,66%. Dari data tersebut dapat diketahui

bahwa dominansi pada ekosistem tersebut adalah pohon Glerecidae sepium.

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa

untuk nilai penting tiap spesies dengan menggunakan harga dominansi yang

berdasarkan atas basal area adalah sebagai berikut: Untuk pohon Glerecidae

sepium memiliki nilai penting 175,01, untuk pohon Mimosa sp, mempunyai nilai

penting 27,68, untuk pohon Swietenia macropil memiliki nilai penting 25,53,

sedangkan untuk pohon Podocarpus macrophyllus memiliki nilai penting 71,75.

Untuk luas penutupan tidak dihitung karena pada saat pengamatan tanaman

yang kami jumpai daunnya meranggas. Soalnya pengamatan yang kami lakukan

pada saat awal musim hujan jadi tumbuhan yang disana belum banyak yang

menumbuhkan daunnya.

Jadi dapat diketahui, peringkat pertama adalah Glerecidae sepium , yang

diikuti oleh Podocarpus macrophyllus, kemudian Mimosa sp, dan yang terakhir

adalah Swietenia macropi. Sehingga dapat diketahui bahwa vegetasi pada hutan

wanagama yang diamati dengan tekhnik point quarter, vegetasi tersebut bertindak

sebagai produsen namun berdasarkan data hasil peringkat, Glerecidae sepium

menduduki peringkat pertama. Sehingga dapat diketahui Glerecidae sepium

merupakan produsen utama dalam ekosistem tersebut. Selain itu juga dapat

disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai pentingnya maka semakin tinggi peran

atau pengaruh tanaman tersebut dalam ekosistem.

3. Komonen Abiotik

Komponen abiotik yang kami ukur diantaranya komponen mikroklimat yang

meliputi suhu, kelembabapan udara, kecepatan angin, intensitas cahaya, dan

komponen edafik yang meliputi struktur tanah, tekstur tanah, pH dan kelembaban

tanah.

Untuk masing-masing plot komponen abiotik yang terukur adalah sebagai

berikut: pada plot I suhunya sebesar 35 0C suhunya agak tinggi karena pada saat

pengamatan dilakukan pada siang hari sekitar jam 11 siang, selanjutnya

kelembapan udaranya sebesar 65 cd, intensitas cahaya sebesar 103 lux dan

kecepatan angginnya sebesar 0 karena pada saat pengamatan anginnya tidak bisa

Page 29: Laporan Wanagama

diukur dengan alat sebab hampir tidak ada angin, struktur tanahnya liat dengan

tekstur tanah remah, pH tanah 6,9 dan kelembapan tanah 100 % karena pada saat

pengamatan dilakukan pada saat musim hujan.

Pada plot 2 juga tidak jauh berbeda dengan plot 1 yaitu suhu udaranya sebesar

34,5 0C, kelembaban udaranya 65 cd, kecepatan angin 0, intensitas cahaya 85,

sedangkan komponen edafik yang meliputi struktur tanahnya liat, dengan tekstur

renah, pH tanah netral yaitu sebesar 7, dan kelembaban tanah 100 %.

Begitu juga dengan plot 3 komponen abiotik yang diukur juga sama dengan

plot1 dan plot 2, dimana suhu udara sebesar 39,5, kelembaban udaranya 65 cd,

kecepatan angin 0, intensitas cahaya 64 dimana plot 3 terdapat pohon Swietenia

macropilla yang mempunya kanopi sehingga cahaya tidak bisa masuk secara

optimal karena terhalang oleh tajuk pohon Swietenia macropilla, komponen

edafik yang meliputi struktur tanahnya liat, dengan tekstur renah, pH tanah

mendekati netral yaitu sebesar 6,8, dan kelembaban tanah 100 %.

Page 30: Laporan Wanagama

KESIMPULAN

Dari analisis data yang kami lakukan pada pengamatan vegetasi hutan Wanagama,

maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Quadrat Sampling Techniques

Dapat diketahui bahwa vegetasi pada hutan Wanagama yang diamati dengan

Quadrat Sampling, vegetasi yang mendominasi yaitu tumbuhan Podocarpus

macrophyllus . Sehingga dapat diketahui melalui tekhnik pengamatan ini produsen

utama yaitu Podocarpus macrophyllus .

2. Point Quarter Techniques

Dapat diketahui bahwa vegetasi pada hutan Wanagama yang diamati dengan

Teknik Point Quarter, vegetasi yang bertindak sebagai produsen berdasarkan data

hasil peringkat adalah Glerecidae sepium yangmenduduki peringkat pertama.

Sehingga dapat diketahui Glerecidae sepium merupakan produsen pertama dalam

ekosistem tersebut

Page 31: Laporan Wanagama

DAFTAR PUSTAKA

Anonim . Analisis Vegetasi Metode Kuadrat, (online), www.2dix.com/pdf/analisis-vegetasi-metode-kuadrat-pdf.php diakses Senin, 22 November 2010.

Anonim. Apa dan Bagaimana Mempelajari Analisis Vegetasi, (online), www.boymarpaung.wordpress.com/apa-dan-bagaimana-mempelajari-analisis-vegetasi/ diakses Senin, 22 November 2010.

Anonim.Hutan,(online),www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/968/1/hutan-siti12.pdf. diakses Senin, 22 November 2010.

Kusmana, C, 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Soerianegara, I  dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi.

Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor,  Bogor.

Duncan Robert et al. 1988. Biostatistics For Health.New York: Wiley Medical Publication

Fuad, Ansari. 1975. Prinsip- prinsip dan Dasar Statistika dalam perencanaan Kesehatan.

Surabaya. Airlangga University Press

Hadisubroto, Tisno. 1989. Ekologi Dasar. Deptdikbud. Jakarta.

Syafei, 1990. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta.