LAPORAN TEKNIS -...

238

Transcript of LAPORAN TEKNIS -...

Page 1: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR
Page 2: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR
Page 3: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

ii

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

DAFTAR ISI

Halaman

1 KATA PENGANTAR ………………………………………………… i

2 DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ii

I. BAKTERIOLOGI

1. SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR TAHUN 2018…….. 1-9

2. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR TAHUN 2018……… 10-17

3. MONITORING DAN SURVEILANS SEDI WILAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR TAHUN 2018……… 18-28

II. PARASITOLOGI

1. SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAKSAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018.................. 29-46

2. SURVEILANS CYSTICERCOSISDI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2018................................................................................. 47-59

2. SURVEILANS PENYAKIT SURRA/TRYPANOSOMIASISPADA TERNAK DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2018............ 60-74

III. PATOLOGI

1. PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKIT RABIESSECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2018…….………. 75-92

2. SURVEILANS BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHYDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSATENGGARA TIMUR TAHUN 2018…………………………………….. 93-102

IV. KESMAVET

1. PROGRAM MONITORING - SURVEILANS RESIDU DANCEMARAN MIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASALHEWAN DI PROVINSI BALI, NTB dan NTT, TAHUN 2018….. 103-135

Page 4: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

iii

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

V. BIOTEKNOLOGI

1. SURVEILANS DALAM RANGKA UPAYA PEMBEBASANPENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALI TAHUN 2018................ 136-148

2. SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2018...................................................................................... 149-164

VI. VIROLOGI

1. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DANKUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2018..........................................……….. 165-176

2. SURVEILANS DAN MONITORING IBR DAN BVDDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DANNUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018............................... 177-191

3. SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DANNUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017................................ 192-209

4. SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2018................................................................. 210-224

VII. PELAYANAN VETERINER

1. SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAIPEMBIBITAN TERNAK UNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK(BPTU-HPT), TAHUN 2018………………………………………………. 225-237

2. SURVEILANS PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKITGANGGUAN REPRODUKSI DI PROVINSI BALI, NTB DANNTT TAHUN 2018………………………………………………….. 238-247

Page 5: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

1

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI PROVINSI NTB DAN NTT TAHUN 2018

Ni Luh Dartini, A. An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Ridho Cahyo Saputro

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (Provinsi Bali, NTB, dan NTT) berbedadiantara satu pulau dengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerah bebasAntraks. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa), kasus Antraksterakhir dilaporkan terjadi Tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah. Di Pulau Sumbawa,sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dan kasus terjadi hampir setiap tahun.Tahun 2017 kasus dilaporkan terjadi di Kabupaten Bima. Sedangkan di Nusa Tenggara Timurkasus Antraks di Pulau Flores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dan diKabupaten Ende terjadi pada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antraks kembali dilaporkanterjadi di Kabupaten Sikka dan di Sumba. Kejadian Antraks di Pulau Sabu pernah dilaporkanpada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, serta kasus terakhir terjadi pada bulanAgustus 2011 pada kuda dan manusia. Untuk mengetahui situasi atau deteksi dini adanyabakteri Bacillus anthracis pada ternak, maka tahun 2018 Laboratorium Bakteriologi BBVetDenpasar telah telah menerima sampel dari beberapa kabupaten di Provinsi NTB dan NTT.Sampel preparat ulas darah (PUD) diwarnai dengan polychromatic methylene blue kemudiandiperiksa secara mikroskopis. Hasil uji terhadap 875 sampel dari NTB dan 964 sampel dariNTT tahun 2018, semuanya negatif Bacillus anthracis secara mikroskopis. Kasus positifAntraks ditemukan di Kelurahan Kumbe, Kecamatan Rasana’e Timur, Kota Bima pada 2 ekorsapi, sampel yang diambil diuji di UPTD Kesehatan Hewan Rasana’e Barat, Kota Bima,Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Kata Kunci : Antraks, NTB, NTT.

I. PENDAHULUAN

Antraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis

hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.

Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor, dkk. 2001;

Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk

septisemik (Ezzel, 1986). Bila Bacillus anthracis berada dalam lingkungan yang

tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh jumlah oksigen yang

cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan bertahan hidup

puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan mendorong kuman

ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks dilarang

Page 6: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

2

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

disembelih. Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak yang

telah tercemar spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi bersifat

endemis apabila tidak ditangani secara baik.

Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Provinsi Bali merupakan

daerah bebas Antraks. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau Sumbawa

merupakan daerah endemis Antraks, dan di Pulau Lombok kasus Antraks

terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah, setelah itu

sampai tahun 2018 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi Antraks di

Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi wilayah

NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba

diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan

Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di

Provinsi NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011,

Manggarai Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende

2012, Sikka 2007, Saburaijua tahun 2011 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany

Suhadi, 2015).

Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di

Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi

umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat

kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahui tingkat kekebalan

kelompok ternak, maka Laboratorium Bakteriologi tahun 2018 bermaksud

melakukan surveilans serologis dengan uji ELISA, namun karena BBVet

Denpasar kesulitan untuk mendapat antigen dan serum kontrol positif serta

serum kontrol negatif, maka pada tahun 2018 surveilans antraks dialihkan

untuk deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis, dengan pengambilan

sampel preparat ulas darah (PUD) kemudian diperiksa secara mikroskopis.

Page 7: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

3

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

II. MATERI DAN METODE

MateriBahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah

kerja BBVet Denpasar tahun 2018 antara lain zat warna polychromatic

methyline blue, glass slide, mikroskop dan sebagainya.

MetodeSampel yang diuji adalah semua sampel preparat ulas darah (PUD) yang

diterima Laboratorium Bakteriologi selama tahun 2018. Lokasi, jumlah dan

waktu pengambilan sampel ditentukan oleh bidang pelayanan veteriner BBVet

Denpasar. Bakteri Bacilus anthracis (B.anthracis) dengan pewarnaan Gram’s

adalah gram positif berbentuk batang, dengan ujung siku-siku (Gambar 1).

Gambar 1.B.anthracis pewarnaan polychromatic methylin blue pembesaran 1000X (Gambar Dartini 2017).

Page 8: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

4

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

III. HASIL

Hasil pengujian sampel di BBVet Denpasar tahun 2018 menunjukan bahwa

semua sampel PUD (1.839 sampel) dari Provinsi NTB dan NTT negatif Bacillus

anthracis (Tabel 1). Kasus positif Antraks ditemukan di Kelurahan Kumbe,

Kecamatan Rasana’e Timur, Kota Bima pada 2 ekor sapi, pengujian sampel

dilakukan di UPTD Kesehatan Hewan Rasana’e Barat, Kota Bima, Provinsi

Nusa Tenggara Barat.

Tabel 1. Hasil Uji Sampel Antraks Tahun 2018

Hasil Uji AntraksProvinsi Kabupaten Jumlah(-) (+)

Bima 150 150 0Dompu 100 100 0Kota Bima 50 50 0Lombok Barat 100 100 0Lombok Tengah 150 150 0Lombok Timur 150 150 0Lombok Utara 50 50 0Mataram 25 25 0Sumbawa 50 50 0

NTB

Sumbawa Barat 50 50 0Jumlah NTB 875 875 0

Alor 50 50 0Belu 50 50 0Ende 50 50 0Kab Kupang 50 50 0Kota Kupang 50 50 0Lembata 51 51 0Malaka 50 50 0Manggarai 50 50 0Manggarai Barat 50 50 0Ngada 50 50 0Rotendao 50 50 0SBD 50 50 0Sumba Tengah 100 100 0Sumba Timur 50 50 0TTS 60 60 0

NTT

TTU 153 153 0Jumlah NTT 964 964 0

Jumlah Bali, NTB, NTT 1839 1839 0

Page 9: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

5

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

IV. PEMBAHASAN

Kasus Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pertama kali dilaporkan

di Pulau Sumbawa pada tahun 1917, di Kecamatan Kempo, Kabupaten

Dompu. Selanjutnya dilaporkan di Pulau Sumbawa tahun 1931 dan Pulau

Lombok tahun 1933. Kasus Antraks di Pulau Lombok terakhir dilaporkan terjadi

pada 26 Januari tahun 1987 di desa Kenyalu, Kecamatan Janapria, Kabupaten

Lombok Tengah pada sapi. Pada saat itu 12 orang dilaporkan tertular Antraks

dan 2 orang diantaranya meninggal. Penyakit dapat dikendalikan dengan baik

sehingga tidak menyebar ke wilayah lainnya (Putra, dkk., 2011). Sejak tahun

1988 sampai 2018 tidak ada lagi laporan kasus Antraks di Pulau Lombok, dan

berdasarkan informasi dari petugas dinas peternakan setempat, bahwa di

Pulau Lombok sudah tidak dilakukan vaksinasi Antraks.

Sedangkan Antraks di Pulau Sumbawa menjadi endemis, dengan kejadian

yang cukup tinggi, kasus dilaporkan terjadi hampir setiap tahun, terutama di

Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Bima dan Kota Bima. Tahun 2016 dilaporkan

terjadi satu kasus antraks di Kabupaten Sumbawa, dan tahun 2017 kasus

dilaporkan terjadi di Dusun Doropila, Desa Rator, Kecamatan Bolo, Kabupaten

Bima pada 3 ekor kambing. Berdasarkan informasi dari staf dan Kepala Bidang

Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Bima,

diketahui bahwa pada tanggal 28 Pebruari 2017, kambing milik bapak Sunardi

di Dusun Doropila, Desa Rator, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, sakit

dengan gejala klinis kejang dan jatuh, karena khawatir kambing tersebut mati,

maka sebelum mati kambing tersebut dipotong yang rencananya akan

dikonsumsi, namun setelah dibuka, terlihat organ limpa kambing tersebut jauh

lebih besar dari limpa kambing normal. Petugas peternakan yang ada di

Kecamatan Bolo curiga bahwa kambing tersebut terinfeksi B.anthracis, untuk

itu telah dibuat preparat ulas darah (PUD) dari goresan organ limpa selanjutnya

membakar semua sisa bangkai dan peralatan yang dipakai dalam proses

pemotongan. Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata 3 ekor

kambing bapak Sunardi telah mati pada akhir bulan Januari 2017 dan semua

Page 10: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

6

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

bangkainya sudah dikubur. Informasi kematian sapi yang diduga terinfeksi

B.anthracis juga terjadi pada bulan Desember 2016 yaitu di Dusun Zakaria,

Desa Leu yang merupakan desa tetangga dari Desa Rator. Berdasarkan

laporan Dinas Peternakan Kabupaten Bima dan hasil wawancara dengan

peternak di Desa Rator, Kecamatan Bolo, diketahui bahwa daerah tersebut

merupakan daerah endemis antraks, kasus antraks dilaporkan terjadi hampir

setiap tahun antara lain tahun 1991, 1992, 1994, 1995, 1999, 2000, 2002,

2003. Kasus antraks di Kabupaten Bima dalam 3 tahun terakhir dilaporkan

tahun 2015 pada 2 ekor ternak yaitu di Kecamatan Ambalawi dan Kecamatan

Sangar, tahun 2016 terjadi 2 kasus di Kecamatan Bolo (Dartini, 2017). Kasus

antraks pada tahun 2018 dilaporkan terjadi di Kota Bima Provinsi Nusa

Tenggara Barat. Kasus terjadi pada ternak sapi milik Dodik Wirawan, di

Kelurahan Kumbe, Kecamatan Rasanae Timur, ada bulan September dan

Nopember 2018. Laporan adanya kasus kematian sapi yang diduga Antraks

diterima BBVet Depasar pada awal bulan Nopember 2018. Setelah BBVet

menerima adanya laporan kasus tersebut maka sebagai tindaklanjut

ditugaskan tim untuk melakukan investigasi ke lokasi kasus. Namun,

sesampainya tim disana, tidak lagi ditemukan ternak sakit atau mati. Sampel

dari ternak yang mati pada tanggal 28 September dan 10 Nopember 2018

sudah diambil oleh petugas dinas dan diperiksa di UPTD Kesehatan Hewan

Rasane Barat, Kota Bima dengan hasil positif B.anthracis. Kecamatan

Rasana’e Timur diketahui sebagai daerah endemis Antraks, beberapa kasus

Antraks pernah dilaporkan menyerang ternak sapi, kuda, dan kambing/domba

(Tabel 2) (Putra, dkk., 2011).

Page 11: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

7

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 2. Laporan Kejadian Kasus Antraks di Kota Bima

Hewan terserangKecamatan Desa Bulan Tahun

Sapi Kuda Kambing/domba

? Okt 1999 1? Peb 2001 6 1 6? Peb 2002 1 2? Sept 2002 1 1 1

Kendo ? 2003 1Pantol ? 2003 1

Penana'e ? 2003 1

Rasana'eTimur

Kumbe Mei 2004 2 1Sambinae Peb 2005 1Rasan'e

Barat Paruga Peb 2001 1Jatiwangi Des 2001 1Jatibaru Sept 2002 1Asakota

Rabangodu Sept 2002 1Jumlah 12 3 16

Berdasarkan data laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi

NTT bahwa Antraks di Daratan Timor, pernah dilaporkan terjadi tahun 2003 di

Kota Kupang dan vaksinasi dilakukan juga di Kabupaten Timor Tengah Utara

(Dany Suhadi, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil monitoring BBVet Denpasar

dimana antibody positif ditemukan pada sampel yang diambil di Kota Kupang

dan Kabupaten Timor Tengah Utara pada tahun 2015, sedangkan tahun 2018

semua sampel PUD dari Provinsi NTT negatif B.anthracis.

Situasi Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau

yang menjadi wilayah NTT. Antraks di Pulau Flores tersebar luas hamper

diseluruh kabupaten, |Antraks sering menyerang sapi, kerbau, kuda,

kambing/domba, kadang-kadang babi. Selain menyerang ternak, antraks di

Pulau Flores sering menulari manusia akibat menyemblih dan atau

mengkonsumsi daging terduga Antraks. Kasus Antraks dalam beberapa tahun

terakhir di Pulau Flores dilaporkan terjadi di Manggarai Barat tahun 2008,

Manggarai tahun 2001, Ngada tahun 2009, Nagekeo tahun 2007, Ende tahun

2012, Sikka tahun 2007.

Page 12: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

8

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Antraks di Pulau Sumba pertama kali dilaporkan pada tahun 1939 di

Kabupaten Suma Timur. Wabah Antraks di Pulau Sumba pernah dilaporkan

terjadi pada tahun 1963, 1965, 1980 (Putra, dkk., 2011) dan tahun 2007 di

Kabuapten Sumba Barat (Dartini dkk, 2007), di Kecamatan Kodi Mangendo,

sekarang menjadi wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya. Kasus terakhir

dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011. Antraks di Kabupaten

lainnya di Provinsi NTT pernah dilaporkan terjadi di Kabupaten Saburaijua

tahun tahun 2011 (Dartini, dkk, 2011).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa Pulau Sumbawa, Provinsi

NTB masih merupakan daerah endemis Antraks. Untuk mencegah terjadinya

peningkatan kasus maka disarankan untuk melakukan vaksinasi pada ternak

rentan dengan cakupan yang memadai, terutama dilokasi yang sering

dilaporkan terjadinya kasus.

VI. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas dan

staf Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan

Kesehatan hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Nusa Tanggra Barat, serta

Kepala Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan

Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Nusa Tanggra Timur, atas bantuan

dan kerjasamanya sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik.

Page 13: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

9

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

DAFTAR PUSTAKA

OIE, (2008), Antraks, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.

Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timurdalam Mendukung Monitoring Surveilans Penyakit Hewan Menular strategis danUpaya Bebas Penyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan dan Kesmavet wilayah Bali, NTB,NTT di Denpasar 2-4 Maret 2015.

Dartini dan Mamak Rohmato (2017). Laporan hasil investigasi kasus kematian kambing diKecamatan Bolo, Kabupaten Bima. BBVet Denpasar.

Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection in Animals. Editedby Carton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state University Press, ames, pp.21-25

Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) The application of ELISAto monitor the vaccinal respon of antraks vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV :46A.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks pada hewan danmanusia di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 7-8Nopember 1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia :sampai dimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (2):35-40

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks pada burung unta diPurwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.

Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan Wabah Penyakit Antrakspada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. BalaiPenyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar.

Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusia dan hewan diBogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.

Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di Nusa Tenggara, DirektoratJendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.

Page 14: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

10

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2018

Ni Luh Dartini, A.An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Ridho Cahyo Saputro.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Brucellosis merupakan penyakit hewan menular pada sapi, kerbau, babi, kambing domba.Brucellosis pada sapi biasanya disebabkan oleh Brucella abortus, merupakan salah satupenyakit penting secara ekonomi dan bersifat zoonosis. Situasi Brucellosis pada sapi dankerbau di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) bervariasi diantara provinsiyang ada. Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebas Brucellosis. Namun khusus diProvinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas Brucellosis. Situasi Brucellosis diProvinsi NTT, di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular beratbrucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahuidengan pasti prevalensinya. Satu reaktor Brucellosis pernah ditemukan di Kabupaten Endepada tahun 2002. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalamupaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinanmasuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensiBrucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis. Sampel serum yang diterima laboratoriumbakteriologi selama tahun 2018 diuji RBPT sebagai uji skrining, jika positif dilanjutkan denganuji CFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagai reaktor Brucellosis. Hasil pengujian terhadap2.155 sampel serum dari Provinsi Bali, 1.506 sampel serum dari Provinsi NTB semuanyanegatif Brucellosis, sedangkan dari Provinsi NTT ditemukan 2 reaktor Brucellosis yaitu dariKabupaten Belu dan TTU. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Balidan NTB masih bebas Brucellosis, untuk mengetahui prevalensi yang sebenarnya di ProvinsiNTT perlu dilakukan surveilans lebih lanjut.

Kata Kunci : Brucellosis, BPT, CFT, Bali, NTB. NTT.

I. PENDAHULUAN

Brucellosis pada sapi biasanya disebabkan oleh Brucella abortus, merupakan

salah satu penyakit penting secara ekonomi dan bersifat zoonosis (menular ke

manusia). Selain itu, B. abortus dapat digunakan dalam serangan bioteroris

(IOWA Univ. 2009). Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan

menular strategis di Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan

merupakan penyakit yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau

Sumbawa telah dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri

Pertanian Repubik Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002

untuk Pulau Bali, SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok

Page 15: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

11

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

di Prop NTB, dan SK Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau

Sumbawa di Prop NTB.

Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas

Brucellosis dengan SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015

tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi

diantara pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan

daerah tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-

pulau lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya.

Brucellosis pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di

Kabupaten Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada

tahun 1996. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi

dini dalam upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan

memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah

tersebut, serta untuk mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum

bebas Brucellosis. Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan

surveilans di wilayah kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa

Tenggara Timur.

II. MATERI DAN METODE

Materi

Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

tahun 2018 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan

CFT, komplemen, hemolysin, cell darah domba, CFT buffer, dan alat yang

dipergunakan adalah mikroplate, WHO plate, pipet, inkubator, rotary

agglutinator, dan sebagainya.

Page 16: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

12

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Metode

Lokasi pengambilan sampel, jumlah dan waktu pengambilan sampel ditentukan

oleh bidang Pelayanan Veteriner BBVet Denpasar. Sampel yang diuji adalah

sampel yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar selama tahun

2018. Sampel diuji dengan menggunakan metode uji Rose Bengal Plate Test

(RBPT), apabila positif dilanjutkan dengan uji Complemen Fixation Test (CFT)

(OIE, 2018).

Prosedur uji RBPT sebagai berikut :

1. Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT

dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.

2. Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada

WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk

serum yang diuji. Kontrol serum negative diteteskan pada lubang nomor 79

dan serum control positif diteteskan pada lubang nomor 80, setelah itu

diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua lubang.

3. Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator

dan lakukan pembacaan hasil.

Prosedur Uji CFT sebagai berikut :

1. Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A

serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10,

lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12A kontrol serum positif. Plate di

waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk kontrol

positif dan negatif)

2. Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 –

H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)

3. Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12

sampai ke lubang H1-12

4. Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke lubang

C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12 sebagai

control antikomplemen ditambahkan 25µl CFT buffer (untuk menyamakan

volume)

Page 17: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

13

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

5. Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl

kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama

30 menit.

6. Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45 menit.

7. Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan.

III. HASIL

Hasil Uji 2.155 sampel serum dari Provinsi Bali, 1.506 sampel serum dari

Provinsi NTB semuanya negatif Brucellosis, sedangkan dari Provinsi NTT 2

positif Brucellosis dari 2.224 sampel yang diuji (Tabel 1), Sampel positif

antibodi Brucella abortus ditemukan dari Kabupaten Belu satu (1) sampel dari

100 sampel yang diuji (1 %) dan satu dari Kabupaten Timor Tengah Utara

(TTU) dari 202 sampel yang di uji (0,49 %) (Tabel2).

Tabel 1. Hasil uji serologi Brucellosis di Bali, NTB, dan NTT tahun 2018

Provinsi Jumlah Sampel RBP (-) RBT (+)

Bali 2155 2155 0

NTB 1506 1506 0

NTT 2224 2222 2

Total 5885 5883 2

Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis per Kabupaten/kota Tahun 2018

Provinsi Kabupaten Jumlah sampel RBT (-) RBT (+)BALI Badung 366 366 0BALI Bangli 240 240 0BALI Buleleng 290 290 0BALI Gianyar 220 220 0BALI Jembrana 249 249 0BALI Karangasem 270 270 0BALI Klungkung 280 280 0BALI Tabanan 240 240 0

Jumlah Bali 2155 2155 0NTB Bima 150 150 0NTB Kota Bima 50 50 0NTB Lombok Barat 100 100 0

Page 18: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

14

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

NTB Lombok Tengah 304 304 0NTB Lombok Timur 300 300 0NTB Lombok Utara 102 102 0NTB Mataram 50 50 0NTB Sumbawa 150 150 0NTT Dompu 200 200 0NTB Sumbawa Barat 100 100 0

Jumlah NTB 1506 1506 0NTT Alor 109 109 0NTT Belu 100 99 1 (1%)NTT Ende 100 100 0NTT Flores Timur 42 42 0NTT Kab Kupang 100 100 0NTT Kota Kupang 147 147 0NTT Kupang 100 100 0NTT Lembata 51 51 0NTT Malaka 154 154 0NTT Manggarai 50 50 0NTT Manggarai Barat 70 70 0NTT Nagekeo 50 50 0NTT Ngada 100 100 0NTT Rotendao 50 50 0NTT Saburaijua 50 50 0NTT SBD 60 60 0NTT Sikka 50 50 0NTT Sumba Barat 146 146 0NTT Sumba Tengah 180 180 0NTT Sumba Timur 152 152 0NTT TTS 160 160 0NTT TTU 203 202 1 (0,49%)

Jumlah NTT 2224 2222 2 (0,66%)TOTAL 5885 5883 2

Page 19: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

15

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

IV. PEMBAHASAN

Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Pulau Bali sudah dinyatakan

bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok, berhasil dibebaskan dari

Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor

444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal selama tiga tahun.

Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa pada tahun 2006

(Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola

pembebasan yang sama dengan Pulau Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua

reaktor yang ditemukan dalam periode waktu pembebasan telah dimusnahkan

atau di potong paksa. Kemudian menyusul Pulau Sumba dinyatakan bebas

brucellosis berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor

52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015.

Hasil pengujian sampel serum terhadap Brucellosis tahun 2018 di Provinsi

Bali, semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi Nusa

Tenggara Barat, sampel serum yang diuji berasal dari Pulau Sumbawa dan

Pulau Lombok, semuanya negatif antibodi brucella. Hal ini mengindikasikan

bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas Brucellosis.

Hasil pengujian sampel dari Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2018

ditemukan 2 reaktor Brucellosis. Reaktor ditemukan di Kabupaten Belu dan

TTU. Kedua daerah ini merupakan daerah tertular brucellosis dengan

prevalensi lebih dari 2%. Pengendalian brucellosis didaerah ini dilakukan

dengan vakisnasi dan pemotongan bersyarat. Pada tahun 2018, jumlah sampel

dari kedua kabupaten ini masih sangat sedikit. Untuk itu perlu dilakukan

surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang memadai sesuai

dengan kaidah epidemiologi sehingga prevalensi yang sebenarnya dapat

diketahui dengan jelas.

Page 20: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

16

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Hasil uji brucellosis di daerah lainnya di Provinsi NTT tahun 2018 semuanya

negative. Hal ini perlu dilakukan konfirmasi lebih lajut, seperti diketahui bahwa

reaktor Brucellosis pernah ditemukan di Pulau Flores yaitu di Kabupaten Ende

pada 1 ekor sapi pada tahun 2006 (Dartini, dkk 2007) dan di Kabupaten Alor

pernah ditemukan satu (1) reactor Brucellosis. Brucellosis di Kabupaten

lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata, Kabupaten Saburaijua,

Kabupaten Rotendau masih negatif namun untuk bisa dinyatakan sebagai

wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveilans secara terstruktur dengan

sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi dan dilakukan secara

serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu lintas ternak antar

pulau

V. KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanBerdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa

1. Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas

Brucellosis

2. Perlu dilakukan surveilans lebih intensif di daratan timor untuk

mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat.

3. Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan

Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan

SaranUntuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan

Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang

lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.

Page 21: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

17

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

VI. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas

peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan

hewan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara

Timur yang telah membantu terselanggaranya surveilans ini.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende danKabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.

OIE (2009). Bovine Brucellosis. OIE Terrestrial Manual . Halaman 1 – 35

OIE (2018). Brucellosis ( Brucella abortus, B.melitensis and B.suis) (Infection with B.abortus,B.melitensis, and B.suis). OIE Terrestrial Manual . Chapter 2.1.4.

Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi danDistribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995.Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.

Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadappendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi NusaTenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.

Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasiakhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, BulletinVeteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.

Page 22: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

18

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

MONITORING DAN SURVEILANS SEDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2018

Ni Luh Dartini, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Ridho Cahyo Saputro.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Septicaemia Epizootica (SE) atau sering disebut Haemorrhagic septicaemia (HS) merupakansalah satu penyakit menular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yangbersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika,termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, NusaTenggra Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar,diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE,kecuali di Pulau Lombok dan Kepulauan Nusa Penida telah dinyatakan sebagai wilayah bebasSE. Untuk mengetahui situasi SE terkini SE di Provinsi Bali, NTB dan NTT, maka BBVetDenpasar telah melakukan surveilans melalui pengambilan sampel darah dan organtonsil/swab dari hewan peka terutama sapi dan kerbau. Sampel serum diuji dengan metodeELISA untuk deteksi antibody terhadap SE. Sampel swab /organ dikultur untuk isolasi danidentifikasi Pasteurella multocida (P.multocida). Isolat P.multocida yang dapat diidentifikasidiuji PCR. Hasil surveilans tahun 2018 menunjukkan bahwa rata-rata persentase ternak yangpositif antibodi SE sangat rendah, yaitu di Provinsi Bali 17,91%, Provinsi NTB 8,17% (PulauLombok 0,38% dan Pulau Sumbawa 20,62%), dan Provinsi NTT 25,47%. Satu isolateP.multocida tipe B penyebab SE dapat diidentifikasi dari organ kerbau mati dari Sumba Timur.Secara umum rendahnya persentase ternak yang positif antibodi SE sangat mengkhawatirkanakan terjadinya kasus. Untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau dinas yangmembidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SE dengancakupan yang memadai.

Kata-kata kunci : SE, Antibodi, P.multocida, Bali, NTB, NTT.

Page 23: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

19

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

I. PENDAHULUAN

Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di

Indonesia dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri

P.multocida. Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit menular

pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan

fatal (OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum

dibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat

endemis dan terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini

secara ekonomis sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan

juga karena turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan

tingginya biaya untuk penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya

untuk pembelian vaksin, operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.

Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit

yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan

pemberantasannya. Program pengendalian dan pemberantasan SE di

Indonesia secara umum masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah

melalui vaksinasi massal hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah.

Kegiatan ini masih belum efektif karena belum dilakukan secara intensif dan

berkelanjutan. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang

bebas dari SE dapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan

yang terencana, melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup

seluruh populasi, dan dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans

yang intensif. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau

Lombok pada tahun 1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan Surat

Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1997 Nomor 889/Kpts/TN.560/9/97 (Budi

Septiani, 2015).

Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau

Sumba, Provinsi Nusa Tengga Timur (NTT) dan Pulau Nusa Penida, Bali.

Sejak tahun 1984/1985 sampai dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah

Page 24: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

20

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

dilakukan program pemberantasan penyakit SE (Haemorrhagic

Septicaemia/HS). Program tersebut dilakukan dengan vaksinasi secara

serentak dengan cakupan mencapai hingga 100% (Ndima, 1986), akan tetapi

kelanjutan program tersebut menjadi tidak jelas, data hasil evaluasi dan

surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian sejak tahun 2002 program

pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai tahun 2014 laporan

kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida, Bali, program

vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah dilakukan

sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992 sampai

sekarang tidak ada laporan kejadian SE di Pulau Nusa Penida, berdasarkan

hasil pembahasan Tim Komisi Ahli Kesehatan Hewan Direktorat Kesehatan

Hewan pada tanggal 4 Desember 2016 diputuskan bahwa Kepulauan Nusa

Penida (Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, dan Pulau Nusa

Lembongan) sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai wilayah bebas

SE dan Surat Keputusan Bebas telah dikeluarkan pada tahun 2018. Untuk

mengetahui situasi dan tingkat kekebalan ternak terhadap SE, maka Balai

Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans pada tahun 2018 di

Provinsi Bali, NTB dan NTT.

II. MATERI DAN METODA

MateriBahan yang digunakan adalah Kit ELISA untuk antibody SE, Kit PCR.

Peralatan yang dipakai antara lain Elisa Reader dan washer, incubator, mesin

PCR, serta alat dan bahan untuk pengambilan sampel di lapangan. Primer

yang dipakai adalah :

1. Primer sequences HS-causing type-B-specific PCRKTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’

2. Primers sequences untuk P.multocida tipe ARGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’

Page 25: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

21

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Metode

Sampel yang diuji adalah sampel yang diterima laboratorium Bakteriologi

BBVet Denpasar selama tahun 2018. Waktu dan lokasi pengambilan sampel,

jumlah sampel, serta jenis sampel ditentukan oleh BIdang Pelayanan Veteriner.

Selanjutnya sampel serum untuk deteksi antibody diuji dengan metode ELISA

dan sampel swab/tonsil/organ lainnya untuk isolasi dan identifikasi P.multocida

diuji dengan cara pemupukan pada media agar dan uji biokimia. Apabila ada

yang positif P.multocida dilanjutkan dengan PCR untuk menentukan bahwa

isolate P.multocida tersebut penyebab SE atau bukan (OIE, 2012).

Penentuan Zat Kebal/Antibodi SEMetode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif

pada masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent

assay ( ELISA ) menggunakan antigen P.multocida type B2 strain 0332 (ACIAR

PN9202, VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih

dikategorikan positif/protektif (Widder et al., 1996). Prosedur Elisa sebagai

berikut :

- Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)

- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam

pada suhu 40C.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam

PBS tween pada row 1 sampai 10.

- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11

dan 12.

- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)

- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap

lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

Page 26: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

22

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,

kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

Isolasi P.multocidaUntuk keperluan isolasi/identifikasi bakteri dari ternak mati sampel yang diambil

adalah organ paru, hati, limpa, jantung, ginjal, sumsum tulang, limfoglandula

atau tonsil. Sedangkan dari rumah potong hewan (RPH) diambil tonsil. Di

wilayah kerja yang tidak mempunyai RPH, sampel swab diambil dari

trachea/nasopharynk/hidung. Sampel organ atau swab dimasukkan kedalam

media transport / disimpan dingin atau organ dalam keadsaan segar dan

dibekukan sampai dibawa ke laboratorium BBVet Denpasar. Di Laboratorium,

dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pada media agar dan uji biokimia

(Carter and Cole., 1990). Prosedur Isolasi sebagai berikut :

- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.

- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media

agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x

0,3 µm.

- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati

morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi

dan pembesaran mikroskop 1000x. P.multocida adalah Gram’s negatif,

ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.

- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar

darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu

370C. P.multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.

- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.

- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan

dengan standard.

- Isolat P.multocida yang didapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk

mengetahui bakteri tersebut penyebab SE atau bukan.

Page 27: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

23

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

III. HASIL

Hasil pengujian sampel tahun 2018 dari Provinsi Bali, NTB, dan NTT

dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu hasil uji sampel tonsil/organ dan

sampel serum. Selama tahun 2018 dapat diidentifikasi satu (1) P.multocida

type B penyebab SE dari Kabupaten Sumba Timur, NTT (Tabel 1) melalui uji

kultur, biokimia dan PCR (Gambar 1). Hasil pengujian sampel serum selama

tahun 2018 ditemukan 17,91% positif antibodi SE dari Provinsi Bali, sedangkan

dari Provinsi NTB 8,17% (Pulau Lombok 0,38% dan Pulau Sumbawa 20,62%)

dan Provinsi NTT 25,47% (Tabel 2).

Tabel 1. Hasil Uji Sampel Tonsil/organ untuk Isolasi dan identifikasiP.multocida tahun 2018

P.multocidaProvinsi Kabupaten Jumlah

Sampel (-) (+)Badung 14 14 0Buleleng 1 1 0Denpasar 30 30 0

Bali

Gianyar 6 6 0Bima 20 20 0mataram 10 10 0NTBSumbawa 10 10 0Alor 20 20 0Belu 9 9 0Kota kupang 10 10 0Kupang 20 20 0Sikka 10 10 0

NTT

Sumba Timur 1 0 1Grand Total 161 160 1

Page 28: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

24

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 2. Hasil Uji sampel serum untuk antibody SE tahun 2018

ANTIBODI SEPROVINSI KABUPATEN JUMLAH

SAMPEL (-) (+) % (+)BALI Badung 210 182 28 13.33BALI Bangli 140 124 16 11.43BALI Buleleng 210 181 29 13.81BALI Gianyar 210 176 34 16.19BALI Jembrana 190 118 72 37.89BALI Karangasem 210 164 46 21.90BALI Klungkung 180 160 20 11.11BALI Tabanan 180 151 29 16.11

Jumlah 1530 1256 274 17.91Bima 75 52 23 30.67

Dompu 100 70 30 30.00Kota Bima 50 50 0 0.00Sumbawa 50 36 14 28.00

NTB(P.Sumbawa)

Sumbawa Barat 50 50 0 0.00P. Sumbawa 325 258 67 20.62

Lombok Barat 50 49 1 2.00Lombok Tengah 200 199 1 0.50Lombok Timur 195 195 0 0.00Lombok Utara 25 25 0 0.00

NTB(P.Lombok)

Mataram 50 50 0 0.00P.Lombok 520 518 2 0.38

Jumlah NTB 845 776 69 8.17NTT Alor 50 32 18 36.00NTT Belu 100 64 36 36.00NTT Ende 100 42 58 58.00NTT Kab Kupang 50 49 1 2.00NTT Lembata 51 51 0 0.00NTT Malaka 154 84 70 45.45NTT Manggarai 50 50 0 0.00NTT Nagekeo 59 59 0 0.00NTT Ngada 50 50 0 0.00NTT Sumba Tengah 50 35 15 30.00NTT Sumba timur 138 81 57 41.30NTT TTS 60 58 2 3.33NTT TTU 101 100 1 0.99

jumlah 1013 755 258 25.47Grand Total 3388 2787 601 17.74

Page 29: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

25

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Gambar 1. A. Hasil PCR P. multocida ;1. Marker, 2. P.multocida kerbau Sumba Timur 2018, 3.P.multocida Sumba Barat 1997, 4. kontrol positif P.multocida tipe b2 (0332), 5. kontrol negatif,6. NTC. B. P.multocida dengan pewarnaan Gram,s.

IV. PEMBAHASAN

Data hasil pengujian sampel yang diterima laboratorium bakteriologi BBVet

Denpasar tahun 2018 menunjukkan bahwa tingkat kekebalan kelompok ternak

yang disampling rata-rata sangat rendah, yaitu 17,91% di Provinsi Bali,

sedangkan dari Provinsi NTB 8,17% (Pulau Lombok 0,38% dan Pulau

Sumbawa 20,62%) dan Provinsi NTT 25,47%. Secara umum keadaan ini

sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. Rendahnya persentase

ternak yang memiliki kekebalan terhadap SE mengakibatkan terjadinya kasus

SE setiap tahun. Hal ini didukung oleh adanya laporan kasus SE secara klinis

setiap tahun di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Untuk dapat menghindari

terjadinya wabah diperlukan minimal 70% ternak memiliki antibodi yang

protektif (Widder, et al., 1996). Hal ini didukung dengan adanya kasus

kematian kerbau di Kabupaten Sumba Timur yang disebabkan oleh SE tahun

2018. Pada tahun 2018 kasus SE juga dilaporkan terjadi di Kecamatan Mada

Pangga, Kabupaten Bima, Provinsi NTB.

A B

Page 30: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

26

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Rendahnya cakupan vaksinasi

yang mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat

sedikit (sebagai contoh cakupan vaksinasi SE di Kabupten Bima pada tahun

2018 hanya sekitar 25% (Data Dinas Peternakan Kab. Bima). 2. Mungkin

waktu pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi atau

vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak terdeteksi

karena kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses

penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak

mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun

ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap tahun,

mengindikasikan bahwa, program pengendalian tidak direncanakan dengan

baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya target cakupan vaksinasi yang

memadai dan tidak adanya evaluasi yang berkesinambungan terhadap

program yang dilakukan sehingga keberhasilan program menjadi tidak tercapai

seperti yang pernah dilakukan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini,

2012).

Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan

tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai

spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga

sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung

oleh hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun

2015, ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test

(PMPT) hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain

adalah adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh P.multocida

lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada

et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat

mengandung antibodi protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi

P.multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum pernah

divaksin SE (Putra, 2004). Adanya P.multocida serotype lain yang tidak

merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang pada uji

serologis dengan P.multocida menyebab SE. Di Australia, Sri Langka, dan

Page 31: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

27

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

mungkin di tempat lain terdapat P.multocida serotype 11:B tetapi tidak

menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980; Namioka, 1980). Disamping

itu, mungkin juga terdapat strain P.multocida yang tidak ganas dan mampu

bereaksi atau menimbulkan proteksi silang dengan P.multocida penyebab SE.

Dugaan atau terjadinya proteksi atau reaksi silang ini telah banyak dilaporkan

baik yang terjadi diantara serotype / strain dari P.multocida (Cameron and

Bester, 1984; Gupta, 1980; Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar spesies

(Sawada et al., 1985).

V. KESIMPULAN

Berdasarkan data hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa:

1. Persentase ternak peka yang memiliki antibodi protektif terhadap SE di

Provinsi Bali, NTB (khususnya Pulau Sumbawa), dan NTT tahun 2018

masih relatif rendah.

2. Konfirmasi kejadian SE secara laboratorium sangat minim.

3. Kasus SE masih terjadi secara sporadis di Pulau Sumbawa dan Sumba.

VI. SARAN

Dalam rangka peneguhan diagnose SE secara laboratories, maka disarankan

kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan / dinas yang menangani

fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk mengirimkan sampel dari

ternak sakit / mati ke laboratorium veteriner dan segera melaporkan kejadian

tersebut kepada instansi terkait serta tetap melakukan vaksinasi dengan

cakupan vaksinasi yang memadai.

VII. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, NTB, dan NTT, Kepala Dinas

Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Hewan

kabupaten/kota diseluruh Bali, NTB, dan NTT, beserta staf atas bantuan dan

informasi yang diberikan.

Page 32: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

28

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

DAFTAR PUSTAKA

Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.

Budi Septiani (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTBdalam mendukung monitoring dan Surveilans untuk Mempertahankan Status BebasRabies, SE dan Brucellosis. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesehatan Hewandan Kesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015 diDenpasar tanggal 2-4 Maret 2015.

Dartini N.L. (2012) Hasil Surveilans Penyakit SE di Pulau Sumba Tahun 2004 – 2009. BulletenVeteriner.BBVet Denpasar..XXIV (81): 24-29.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (2013). Pengendalian dan PenanganPenyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB (2013). Pengendalian dan PenanganPenyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTT (2013). Pengendalian dan PenanganPenyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi PenyakitSE pada Sapid an Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai PenyidikanPenyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.

Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.

Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofP.multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.

OIE (2009). Haemorrhagic Septicaemia. The Center for Food Security&Public Health. Institutefor International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center: 1-5.

Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.

Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.

Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. InternationalWorkshop on Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta,Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996:33.

Page 33: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

29

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAK SAPIDAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018

Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, I.G.M. Sutawijaya, Yunanto

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Surveilans parasit gastrointestinal (PGI ) bertujuan untuk mengetahui prevalensi PGI padaternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur(NTT). Sebanyak 1.954 sampel feses telah diambil dan diuji, masing-masing berasal dariProvinsi Bali sebanyak 412 sampel, dari Provinsi NTB 903 sampel dan dari Provinsi NTT 639sampel. Seluruh sampel diuji dengan menggunakan uji apung dan uji sedimentasi metodeWhitlock. Dari seluruh sampel yang diuji, 606 (31.01 %; CI 95% :29.00 – 33.10) diantaranyaterinfestasi oleh satu atau lebih PGI. Prevalensi PGI tertinggi terjadi di Provinsi Bali yaitusebesar 43.69 % (CI 95 %: 38.98 – 48.52), diikuti oleh Provinsi NTB yaitu sebesar 32,12 % (CI95 %: 29.15 – 35.23) dan Provinsi NTT yaitu 21.28 % (18.29 - 24.62). Prevalensi PGI lebihtinggi di musim hujan (43.41%) dibandingkan dengan musim kemarau ( 28.18 %) dan secarastatistic berbeda nyata (P-value<0,001). Pada wilayah basah prevalensi PGI secara signifikanjuga lebih tinggi (36.92 %) dibandingkan dengan wilayah kering (25.35 %) (P-value<0,0001).Ternak kerbau nampak lebih rentan terserang PGI namun tidak berbeda secara signifikan (P-value 0.7089). Jenis parasit yang ditemukan yaitu cacing Trematoda (Fasciola sp.,Paramphistomum sp. dan Paragonimus sp ); Cacing Nematoda (Bunostomum sp, Chabertiasp, Cooperia sp, Mecistocirrus sp, Oesophagostomum sp, Ostertagia sp, Strongyloides sp,Nematodirus sp, Trichostrongylus sp, dan Capillaria sp) dan Koksidia Eimeria sp.

Kata kunci: parasit gastrointestinal (PGI), uji apung, uji sedimentasi, Bali, NTB, NTT

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)

merupakan wilayah kerja Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Secara astronomis,

Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang

membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Luas wilayah Provinsi

Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 8 kabupaten, 1 kotamadya,

55 kecamatan, dan 701 desa/kelurahan. Sifat vulkanik Bali telah memberikan

kontribusi untuk kesuburan tanahnya dan rentang tinggi gunungnya memberikan

curah hujan yang tinggi yang mendukung sektor pertanian yang sangat produktif

Page 34: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

30

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

(Anonimous, 2016 b). Populasi ternak sapi di Provinsi Bali diperkirakan sebanyak 559

517 ekor dan kerbau hanya 1.686 ekor (Anonimous, 2016).

Provinsi NTB memiliki 10 kabupaten/kota yang tersebar di dua pulau besar yaitu Pulau

Lombok dan Pulau Sumbawa. Sebagai daerah tropis, NTB mempunyai rata-rata

kelembaban yang relatif tinggi, yaitu antara 48 - 95 % (Anonimous, 2014). Luas

wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 20.153,20 km2 ,terletak antara 1150

46’-1190 5’ Bujur Timur dan 80 10’-90 5’ Lintang Selatan. Provinsi NTB mempunyai

kelembaban yang relatif tinggi, yaitu antara 65-87 persen. Jumlah hari hujan

terendah yaitu 0 hari pada bulan Agustus dan September dan yang terbanyak adalah

pada bulan Januari dengan jumlah 24 hari (Anonimous, 2015). Pulau Sumbawa

merupakan wilayah yang beriklim kering, sebagian wilayah mempunyai klimaks

vegetasi padang rumput sebagai padang penggembalaan alami. Berdasarkan

klasifikasi iklim Koppen termasuk kelas Aw, yaitu wilayah yang mempunyai hujan

tropis dengan musim kering yang nyata. Sebagian besar wilayahnya mempunyai

curah hujan rata-rata relatif kecil (1.100-2.300 mm/tahun), dengan musim kemarau

yang relatif lama, yakni bulan April sampai Nopember. Sementara itu, Pulau Lombok

mempunyai iklim yang lebih basah, terutama pada bagian tengah Pulau Lombok

sampai Pegunungan Rinjani dengan curah hujan antara 2.300–3.100 mm/th.

Dari segi potensi secara umum, wilayah Pulau Lombok lebih sesuai untuk

pengembangan peternakan dengan pola intensifikasi. Sementara Pulau Sumbawa

lebih sesuai untuk pengembangan peternakan dengan pola terpadu dan ekstensifikasi.

Hal ini juga didukung oleh luas areal lahan kering, bahwa di Sumbawa 98,8%

merupakan wilayah lahan agroklimat kering (Suratman et , 2003). Populasi ternak sapi

di Provinsi NTB diperkirakan sebanyak 1.100.743 ekor dan kerbau 128.335 ekor

(Anonimous a, 2016).

Provinsi NTT merupakan wilayah kerja BBvet Denpasar yang letaknya paling timur,

terdiri atas 22 kabupaten yang tersebar di tiga pulau besar yaitu Pulau Timor, Pulau

Sumba dan Pulau Flores. Secara geografis, sebagian besar wilayah Provinsi NTT

berada pada rentang ketinggian 100 s.d. 500 meter di atas permukaan laut, dengan

topografi yang berbukit-bukit dengan lahan pertanian sangat terbatas, baik pertanian

basah maupun kering (Anonimous, 2016). Provinsi NTT merupakan wilayah yang

tergolong kering dimana hanya 4 bulan (Januari, Februari, Maret dan Desember) yang

Page 35: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

31

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

keadaannya relatif basah dan 8 bulan sisanya relatif kering, dengan curah hujan rata-

rata adalah 1.164 mm/tahun (Anonimous, 2016). Provinsi NTT diperkirakan memiliki

populasi ternak sapi sebanyak 930.997 ekor dan kerbau sebanyak 145.303 ekor (BPS,

2016).

Dalam upaya penyediaan protein hewani nasional keberadaan ternak sapi dan kerbau

menjadi sangat penting. Populasi sapi dan kerbau di Indonesia diperkirakan sebanyak

16 juta ekor (BPS, 2016). Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa

Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah penghasil ternak sapi yang

potensial di Wilayah Indonesia Timur. Pertumbuhan populasi sapi di Indonesia

banyak menemui kendala, salahsatunya adalah tingginya kematian pedet dan

rendahnya produktivitas sapi/kerbau muda dan dewasa, yang salah satu penyebabnya

adalah karena adanya infestasi parasit gastrointestinal, khususnya parasit cacing

(helminthiasis) yang masih cukup tinggi. Hasil surveilans dan monitoring infestasi

parasit gastrointetastinal oleh BBVet Denpasar pada tahun 2014 menunjukkan

prevalensi rata-rata sebesar 38.4% ( 958 dari 2.495) pada sapi/kerbau di Provinsi

Bali, NTB dan NTT, sedangkan helminthiasis prevalensinya sebesar 31,92 %. Pada

Tahun 2015, prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT sebesar 37,56 % (Mastra,

et al, 2015) dan Tahun 2016, prevalensi PGI sebesar 33,96 % (Arsani et. al, 2017).

Kegiatan surveilans/monitoring untuk mengetahui situasi dan penyebaran parasit

gastrointestinal/helmintiasis tetap diperlukan untuk mengetahui penyebaran parasit

tersebut sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian yang lebih

efektif. Seluruh kegiatan ini dilakukan secara sinergis, dan terintegrasi dengan sesuai

dengan arahan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang

muaranya adalah pencegahan dan pengendalian dini penyakit hewan menular

strategis, dan peningkatan sumberdaya bahan makanan asal hewan.

1.2 Rumusan Masalah

1) Penularan penyakit gastrointestinal khususnya helminthiasis diduga masih

cukup tinggi. Secara ekonomi penyakit ini sangat merugikan peternak karena

dapat menurunkan produktivitas, reproduktivitas dan bahkan dapat

menimbulkkan kematian.

Page 36: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

32

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

2) Ketersediaan data situasi dan distribusi infestasi parasit

gastrointestinal/helminthiasis pada sapi /kerbau, di Provinsi Bali, NTB dan NTT

perlu terus diupdate.

1.3 Tujuan

1) Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal di

Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2018

2) Hasil surveilans dimaksudkan untuk memberikan gambaran pemetaan penyakit

tersebut kepada pengambil kebijakan sehingga dapat diambil langkah langkah

pencegahan dan pengendalian yang efektif sehingga tingkat kematian ternak

dapat ditekan dan produktivitas ternak dapat ditingkatkan.

1.4 Output

1) Tersedianya informasi tentang prevalensi dan distribusi parasit

gastrointestinal/helminthiasis terkini berdasarkan lokasi, karakteristik hewan

dan lingkungan bermanfaat dalam upaya pencegahan dan pengendalian

penyakit agar lebih terarah.

2) Dengan terbebasnya ternak dari parasit gastrointestinal diharapkan terjadi

penurunan kematian khususnya pada pedet dan peningkatan produktivitas dan

reproduktivitas pada ternak dewasa sehingga dengan demikian dapat

meningkatkan populasi ternak guna mendukung program swasembada daging.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Parasit gastrointestinal (PGI) adalah parasit yang dapat menginfeksi saluran gastro-

intestinal baik manusia maupun hewan. Parasit tersebut dapat hidup di seluruh

bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus hidupnya berada di usus. Dua jenis utama dari

parasit gastrointestinal adalah cacing (penyebab helminthiasis) dan protozoa

(penyebab koksidiosis) pada ternask sapi dan kerbau. Helminthiais mempunyai arti

penting dan tergolong penyakit hewan menular strategis yang mesti mendapatkan

penanganan yang lebih intensif apabila dibadingkan dengan penyakit non strategis.

Page 37: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

33

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Pada umumnya ternak sapi/kerbau rentan terhadap berbagai penyakit infeksi parasit

gastrointestinal seperti helminthiasis, koksidiosis dan ektoparasit

(Soulsby 1982). Penelitian tentang penyakit parasit gastrointestinal pada sapi telah

dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Estuningsih, 2004 melaporkan bahwa

prevalensi cacing trematoda Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia mencapai 10 -

80%. Kemudian Mastra (2006) melaporkan seroprevalensi F.gigantica (Fasciolosis)

pada sapi di Bali berkisar 22.3%-72.5%. Kasus Fasciolosis lebih banyak ditemukan

pada sapi muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, konstipasi,

diare, anemia, ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian (Purwanta dkk,

2006), sedangkan pada pedet umur dibawah 6 bulan lebih sering terinfeksi oleh

Toxocara vitulorum dengan prevalensi mencapai 75% (Gunawan dan Putra, 1981).

Demikian juga menurut Soulsby (1982) bahwa pada sapi-sapi umur muda sangat

rentan terhadap infeksi Eimeria sp (koksidiosis), dengan gejala klinis diare berdarah,

dihidrasi, kurus, lemah dan terjadi kematian apabila tidak mendapat penanganan

yang baik.

III. MATERI DAN METODA

3.1 Materia) SampelSampel feses/tinja sapi/kerbau yang diambil langsung dari rectum atau yang baru saja

dikeluarkan saat defekasi. Sampel diawetkan dengan formalin 10%.

b) BahanDi samping sampel tinja dalam penelitian ini juga diperlukan bahan yaitu garam jenuh

dan methyline blue 1%.

c) AlatAlat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal Whitlock

yaitu; syringe 10 ml, silinder pencampur 100 ml, alat pengaduk tinja, tabung

penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung) , tabung pompa penyaring

khusus dengan saringan kecil (untuk Uji Sedimentasi), pipet Pasteur, slide kamar

penghitung telur cacing, ookista koksidia , cawan (conical flask) sedimentasi dan alat

penahan larutan tinja (plug), serta mikroskop binokuler electric.

Page 38: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

34

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

3.2 Metode3.2.1 Metode surveilansKegiatan surveilans dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan Desember 2018

untuk mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal, menggunakan survey

representative yaitu suatu teknik mengambil sampel dari sebagian populasi yang

mewakili populasi sasaran yang lebih luas untuk mengumpulkan informasi khusus

mengenai keseluruhan informasi tersebut (Anonimous., 2014).

1) Penentuan sampel sizeKarena surveilans bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi penyakit, maka

jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus:

n = 4 pq/L2 (Martin et al, 1987)

Keterangan:

n = jumlah sampel

p = asumsi prevalensi

q = 1 – p

L = galat

Apabila asumsi prevalensi = 35 %, dan galat yang dinginkan 0,05, maka jumlah

sampel yang diambil :

N = (4x0,35 x0,65)/0,052 = 364

Karena metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling, maka

untuk meningkatkan precisi nilai n dapat dikalikan 3 – 5 kali (Martin et al., 1987).

Pada kegiatan surveilans ini, n dikalikan 3 kali sehingga jumlah sampel yang diambil di

seluruh provinsi adalah 1.092.

2) Populasi targetPopulasi target dalam surveilans ini adalah ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali,

NTB dan NTT.

3) Penentuan lokasi samplingLokasi sampling adalah di seluruh kabupaten/kota se-Bali, dan NTB dan kabupaten

yang mewakili tiga pulau besar di provinsi NTT. Dalam metode multistage random

sampling, idealnya, penentuan lokasi kabupaten, kecamatan, desa dipilih secara

proporsional berdasarkan jumlah populasi agar diperoleh sampel yang representative,

namun keterbatasan dana, waktu dan sumberdaya manusia, sementara BBVet

Page 39: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

35

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Denpasar harus melakukan surveilans berbagai jenis penyakit sehingga menyebabkan

surveilans parasit gastrointestinal dilaksanakan secara terpadu dengan penyakit

lainnya. Karena kegiatan ini merupakan kegiatan yang terpadu dengan surveilans

penyakit lain, kondisi ideal yang diharapkan kadang –kadang tidak tercapai.

Disamping keterbatasan waktu, SDM dan dana, kondisi geografis yang sangat sulit

dijangkau menyebabkan sulit untuk melaksanakan sampling sesuai perhitungan atau

design yang telah dibuat.

Dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi, sedapat mungkin diusahakan sampel

yang diambil agar dapat mewakili keadaan sebenarnya di lapangan. Pada tingkat

peternak, semua sapi dan kerbau memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai

sampel karena tidak ada pemilihan sampel berdasarkan umur, jenis kelamin maupun

cara pemeliharaan ternak.

3.2.2 Metode pengambilan sampel feses

Sampel feses diambil dengan cara mengambil langsung dari dalam rectum ternak.

Apabila tidak memungkinkan, sampel feses dapat diambil segera setelah feses

dikeluarkan pada saat ternak defekasi, namun harus dipastikan jangan sampai

tertukar antara feses ternak yang satu dengan yang lainnya.

Volume sampel yang diambil kira-kira sebanyak 10-20 gram. Sampel feses segera

dimasukkan ke dalam container/kantong plastic yang sudah berisi pengawet formalin

10%. Disamping pengambilan feses juga dilakukan wawancara untuk mengetahui

identitas hewan dan data pendukung lainnya.

3.2.3. Pemeriksaan telur nematoda dengan metoda Apung/Floatasi (Whitlock)

Prosedur pemeriksaan telur nematode secara ringkas sebagai berikut:

1) Ke dalam syringe yang berukuran 10 ml diisi air 7 ml, kemudian ditambahkan 3

gram tinja.

2) Seluruh isi syringe kemudian dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang

berisi 50 ml. larutan garam jenuh.

3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata

dengan cara menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun.

Page 40: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

36

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

4) Setelah tinja tercampu merata lalu tabung penyaring dimasukan ke dalam

silinder pencampur.

5) Larutan tinja yang telah tersaring kemudian diambil dengan menggunakan pipet

Pasteur.

6) Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke dalam kamar penghitung

telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung

telur cacing. Morfologi telur cacing/ookista koksidia yang ditemukan diidentifikasi

dan dihitung jumlahnya per gram (epg) (Thienpont, et al., 1979, Soulsby, 1982).

7) Cara penghitungan telur cacing

Alat penghitung telur Universal (Universal slide counting chamber) berisi 4 kamar dan

setiap kamar menampung 0.5 ml larutan. Setiap kamar berisi 5 garis/strip vertical dan

setiap kolom memiliki volume 0.1 ml. Dalam penghitungan telur cacing dapat

dipergunakan kamar atau strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya (berat,

sedang, atau ringan). Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan

angka pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah telur

yang ditemukan dikalikan dengan faktor 40 ( Whitlock et al.1980). Cara penghitungan

telur cacing secara rinci dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel 1. Cara penghitungan telur cacing dengan Teknik Floatasi (Uji Apung)0,1 ml 0,2 ml 0,4 ml 0,5 ml 1,0 ml 2,0 ml (Ova)

Equines x 100 x50 Strongyles

Sheep &

goats

x200 x100 x50 x40 Nematodes

Cattle x20 x10 Nematodes

Dog, pig, man x200 x100 x50 x40 Oocysts,

Nematodes,

Cestodes

Counting strip 1 2 4 5 2 c’bers 4 c’bers

(Faecalmester Kit. Universal Slide. Pat. Pend. J. A. Whitlock & Co)

Page 41: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

37

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

3.2.4. Pemeriksaan telur cacing trematoda dilakukan dengan metoda Sedimentasi (Whitlock)

Prosedur pemeriksaan telur cacing trematoda secara ringkas sebagai berikut:

1) Ke dalam syringe pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 9 ml,

ditambahkan 1 gram tinja.

2) Seluruh isi syringe kemudian dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang

berisi 50 ml. air.

3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata

dengan menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah

tinja tercampur merata lalu tabung penyaring khusus dimasukan ke dalan silinder

pencampur sampai batas leher silinder.

4) Cawan (flask) sedimentasi ditaruh dalam posisi terbalik diatas tabung penyaring

khusus. Selanjutnya cawan (flask) sedimentasi dipegang/ditekan dengan kedua

tangan dan dibalik menghadap ke atas.

5) Tabung penyaring khusus dipegang di dalam cawan (flask) sedimentasi.

Kemudian ditambahkan dengan 50 ml air ke dalam cawan (flask) sedimentasi

yang telah berisi larutan tinja dan endapkan selama 6 menit.

6) Selanjutnya, dimasukkan secara pelan pelan plug ke dalam cawan (flask)

sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask) sedimentasi sehingga

cairan supernatant terbuang. Tambahkan 50 ml air bersih ke endapan dalam

cawan (flask) sedimentasi, aduk dengan baik dan kemudian endapkan kembali

selama 6 menit.

7) Alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke dalam

cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask)

sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan larutan tinja

sebanyak 5 ml.

8) Air bersih sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam endapan, diaduk dengan baik

dan kemudian diendapkan kembali selama 6 menit.

9) Selanjutnya plug larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke dalam cawan

(flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan flasksedimentasi

sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan sebanyak 5 ml.

10) Endapan tersebut ditambahkan 2 tetes larutan methylene blue 1% dan diaduk

hingga merata dengan pipet, lalu larutan tersebut segera diisap dengan pipet

Pasteur dan masukan ke dalam slide alat penghitung telur . Telur diidentifikasi

Page 42: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

38

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

dan jumlah telur cacing dihitung di bawah mikroskop dengan pembesaran lemah

(40x). Morfologi telur cacing yang ditemukan diidentifikasi dan dihitung jumlahnya

per gram (epg) (Thienpont, et al., 1979, Soulsby, 1982).Telur cacing Fasciola sp.

akan terlihat coklat keemasan dan telur Parampistomum sp.terlihat bening

/terang. Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung telur

cacing. Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip

tergantung pada derajat infeksi parasitnya (berat, sedang, atau ringan).

Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka

pengenceran 1: 5 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah telur

yang ditemukan dikalikan dengan faktor 10 ( Whitlock et al.1980).

3.2.5 Analisis hasil dan statistik

Hasil uji dinyatakan positif apabila ditemukan satu atau lebih PGI pada satu sampel

yang diuji baik menggunakan uji apung maupun uji sedimentasi. Data hasil pengujian

dianalisis menggunakan excel untuk menghitung prevalensi PGI, dan menggunakan

chi-square untuk menghitung signifikansi perbedaan hasil uji pada berbagai

parameter/faktor yang diduga berpengaruh. Jika nilai P > 0.05, artinya tidak berbeda

nyata sementara jika P < 0.05 menunjukkan perbedaaan yang nyata.

IV. HASIL

Dalam kegiatan surveilans PGI pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali, NTB dan

NTT Tahun 2018, sebanyak 1.954 sampel feses telah diambil dan diuji, 606 (31.01 %)

diantaranya terinfestasi oleh satu atau lebih parasit gastrointestinal. Jumlah sampel

dari Provinsi Bali sebanyak 412, 180 (43.69 %) diantaranya positif PGI, dari Provinsi

NTB 903 sampel diuji, 290 (32.12 %) diantaranya positif dan dari Provinsi NTT 639

sampel diuji, 136 (21.28 %) diantaranya positif PGI. Dari 1.954 sampel feses yang

diuji, 123 ekor berasal dari ternak kerbau, sedangkan selebihnya berasal dari ternak

sapi. Sampel berasal dari semua kabupaten di Provinsi Bali dan NTB, sedangkan dari

Provinsi NTT sampel berasal dari 11 kabupaten. Kesebelas kabupaten tersebut sudah

mewakili seluruh pulau besar yang ada di Provinsi NTT. Data hasil uji selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 2 dan data hasil uji dan prevalensi untuk masing-masing

kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 3, 4

dan 5.

Page 43: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

39

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 2. Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2018

Provinsi Positif Negatif Jumlah Prev (%) CI 95%Bali 180 232 412 43.69 38.98 - 48.52Nusa TenggaraBarat 290 613 903 32.12 29.15 - 35.23Nusa TenggaraTimur 136 503 639 21.28 18.29 - 24.62Grand Total 606 1348 1954 31.01 29.00 - 33.10

Keterangan: CI=confidence interval

Tabel 3. Prevalensi PGI di Provinsi Bali Tahun 2018

Provinsi Positif Negatif Jumlah Prev (%) CI 95%Badung 40 24 64 62.5 50.25 - 73.33Bangli 18 22 40 45 30.71 - 60.17Buleleng 13 27 40 32.5 20.08 - 47.98Denpasar 1 7 8 12.5 2.24 - 47.09Gianyar 21 42 63 33.33 22.95 - 45.63Jembrana 19 27 46 41.3 28.29 - 55.66Karang Asem 5 25 30 16.67 7.34 - 33.56Klungkung 21 32 53 39.62 27.59 - 53.06Tabanan 42 26 68 61.76 49.88 - 72.39Grand Total 180 232 412 43.69 38.98 - 48.52

Ket.: Prev=prevalensi; CI = confiden interval

Tabel 4. Prevalensi PGI di Provinsi NTB Tahun 2018

Kabupaten Positif Negatif Total Prev. (%) CI 95%Bima 22 32 54 40.74 28.68 – 54.03Dompu 12 38 50 24.00 14.30 – 37.41Kota Bima 28 72 100 28.00 20.14 – 37.49Lombok Barat 11 39 50 22.00 12.75 – 35.24Lombok Tengah 86 93 179 48.04 40.84 – 55.33Lombok Timur 61 124 185 32.97 26.61 – 40.03Lombok Utara 15 90 105 14.29 8.85 – 22.24Mataram 0 25 25 0.00 0.00 – 13.32Sumbawa 43 62 105 40.95 32.03 – 50.52Sumbawa Barat 12 38 50 24.00 14.30 – 37.41Total 290 613 903 32.12 29.15 - 35.23

Ket.: Prev=prevalensi; CI = confiden interval

Page 44: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

40

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Seperti terlihat pada Tabel 6, Prevalensi PGI lebih tinggi terjadi pada musim hujan

dibandingkan dengan musim kemarau dan secara statistik nilai ini berbeda nyata

(Chi-sq: 32.1136 P-value < 0,0001), artinya terjadinya infestasi PGI di musim hujan

secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan musim kemarau. Demikian juga

kondisi iklim wilayah berpengaruh nyata terhadap prevalensi PGI dimana pada wilayah

beriklim basah tingkat kejadian kasus lebih tinggi dibandingkan dengan pada wilayah

kering (Chi-sq 36.51; P-value 0.0001). Musim hujan diasumsikan terjadi mulai bulan

November sampai dengan Maret, sedangkan musim kemarau mulai April sampai

dengan Oktober. Kategori wilayah iklim basah dalam kegiatan surveilans adalah

Provinsi Bali dengan Pulau Lombok NTB, sedangkan wilayah iklim kering adalah

Pulau Sumbawa NTB dan wilayah Provinsi NTT. Prevalensi pada ternak kerbau

nampak lebih tinggi dibandingkan dengan hewan sapi akan tetapi secara statistik

tidak berbeda nyata (Chi-sq 0.1393; P-value 0.7089).

Tabel 5. Prevalensi PGI di Provinsi NTT Tahun 2018Kabupaten Positif Negatif Total Prev. (%) CI 95%

Ende 3 47 50 6.00 2.06 – 16.22

Kupang 33 83 116 28.45 21.03 – 37.25

Lembata 0 51 51 0.00 0.00 – 7.00

Malaka 17 47 64 26.56 17.30 – 38.48

Rote Ndao 2 48 50 4.00 1.10 – 13.46

Sikka 1 24 25 4.00 0.71 – 19.54

Sumba Barat 14 11 25 56.00 37.07 – 73.33

Sumba Barat Daya 0 50 50 0.00 0.00 – 7.13

Sumba Tengah 30 64 94 31.91 23.36 – 41.89

Sumba Timur 24 30 54 44.44 32.00 – 57.62

Timor Tengah Utara 12 48 60 20.00 11.83 – 31.78

Total 136 503 639 21.28 18.29 - 24.62

Ket.: Prev=prevalensi; CI = confiden interval

Page 45: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

41

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 6. Prevalensi Parasit Gastrointestinal pada Berbagai Parameter Tahun

2018

Parameter pos

jml

sampel

Prev

(%) 95% CI (%)

Chi-square

p-valueOR

Musim:

hujan 158 364 43.41 38.41 - 48.54 32.1136 <0.0001 1.96

kemarau 448 1590 28.18 26.02 – 30.44

Total 606 1954 31.01 29.00 - 33.10

iklimwilayah:

basah 353 956 36.92 33.92 – 40.03 30.5715 <0.0001 1.72

kering 253 998 25.35 22.75 – 28.14

Total 606 1954 31.01 29.00 - 33.10

Jenis hewan :

kerbau 40 123 32.52 24.88 – 41.22 0.1393 0.7089

sapi 566 1831 30.91 28.84 – 33.07

Total 606 1954 31.01 29.00 - 33.10

Ket.: Prev=prevalensi; CI = confiden interval, OR=odd ratio

Tabel 7. Jenis cacing yang ditemukan di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun

2018

BALI (n= 412 Prev (%) NTB (n=903) Prev (%) NTT (n=639) Prev (%)

Bunostomum sp 0 0.00 1 0.11 0 - 1 0.05

Chabertia sp 1 0.24 9 1.00 0 - 10 0.51

Cooperia sp 18 4.37 18 1.99 28 4.38 64 3.28

Eimeria sp 39 9.47 53 5.87 9 1.41 101 5.17

Fasciola sp 16 3.88 15 1.66 6 0.94 37 1.89

Paragonimus sp 0 0.00 1 0.11 0 - 1 0.05

Mecistocirrus sp 10 2.43 25 2.77 13 2.03 48 2.46

Nematodirus sp 1 0.24 0 - 0 - 1 0.05

Oesopagostomum sp 2 0.49 0 - 8 1.25 10 0.51

Ostertagia sp 18 4.37 17 1.88 29 4.54 64 3.28

Paramphistomum sp 91 22.09 171 18.94 44 6.89 306 15.66

Strongyloides sp 0 0.00 1 0.11 2 0.31 3 0.15

Capillaria sp 0 0.00 0 - 1 0.16 1 0.05

Trichostrongylus sp 0 0.00 0 - 3 0.47 3 0.15

Jenis cacingProvinsi dan Prevalensi

Total (n=1954) Prev.(%)

Page 46: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

42

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Jenis-jenis parasit yang ditemukan di masing-masing provinsi disajikan pada Tabel 7.

Cacing Trematoda yaitu Paramphistomum sp merupakan parasit gastroin intestinal

yang paling banyak ditemukan di seluruh provinsi dengan prevalensi 15.66 %. Parasit

berikutnya yaitu koksidia Eimeria sp (5.17%), cacing nematode Ostertagia sp dan

Cooperia sp (masing-masing 3,28 %). Trend Prevalensi PGI per bulan dapat dilihat

pada Grafik1. Prevalensi tertinggi tampak terjadi pada Bulan Februari, dan terendah

pada Bulan April.

Grafik 1. Trend Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT per bulan Tahun 2018

V. PEMBAHASANKegiatan surveilans PGI di wilayah kerja BBVet Denpasar Tahun 2018 ini dilakukan di

seluruh kabupaten yang ada di Provinsi Bali dan NTB, sedangkan untuk Provinsi NTT

sampling dilakukan di sebelas kabupaten yang secara keseluruhan sudah mewakili

tiga pulau besar di Provinsi NTT.

Pada Tabel 2 disajikan prevalensi parasit gastrointestinal (PGI) di provinsi Bali, NTB

dan NTT yang menunjukkan angka masih cukup tinggi yaitu sebesar 31.01 % (CI

95%: 29.00-33.10) sedikit lebih tinggi daripada tahun lalu 29.03 % (CI 95%: 27.29-

30.83). Prevalensi PGI di Provinsi Bali, yaitu sebesar 43.69 % (CI 95%: 38.98 - 48.52

) yang lebih tinggi dari tahun 2017 yaitu 33.92 (CI 95%:30.59 - 37.42) (Arsani, et al,

2018). Prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT, masing-masing 32.12 % (CI 95%:

29.15 – 35.23) dan 21.28 % (CI 95%: 18.29-24.62). Apabila dibandingkan dengan

Page 47: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

43

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

tahun lalu, prevalensi PGI di Provinsi NTB terjadi penurunan, sedangkan di Provinsi

NTT terjadi peningkatan. Tahun lalu prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT

berturut-turut yaitu 39.34 % (CI 95%: 35.87- 42.93 %) dan 18,44 % (CI 95%: 16.21 –

20.90) (Arsani, et al., 2018). Terjadinya peningkatan ataupun penurunan prevalensi

PGI di masing-masing provinsi diduga ada hubungannya dengan manajemen ataupun

pelayanan pemberian obat cacing / anthelmintik di masing-masing wilayah.

Tingginya prevalensi PGI di Bali dan NTB dibandingkan dengan NTT diduga berkaitan

juga dengan keadaan alam yang cukup berbeda dimana Bali dan NTB relativ lebih

basah dibandingkan dengan NTT. Seperti terklihat pada table 6., Iklim wilayah juga

berpengaruh dimana pada wilayah basah prevalensi lebih tinggi daripada iklim

wilayah yang kering dan secara statistic berbeda sangat signifikan. Kategori wilayah

basah dalam hal ini merupakan wilayah Provinsi Bali dan Pulau Lombok NTB,

sedangkan iklim kering meliputi wilayah Pulau Sumbawa NTB dan seluruh wilayah

Provinsi NTT. Kondisi yang basah dan lembab seperti diketahui merupakan tempat

yang ideal bagi perkembangbiakan parasit.

Pengaruh musim terhadap prevalensi PGI, dimana prevalensi PGI secara signifikan

lebih besar pada saat musim hujan disebabkan oleh suhu yang lebih rendah dan

meningkatnya kelembaban udara disamping adanya ketersediaan air yang cukup di

alam yang berperan dalam mendukung perkembangan siklus hidup cacing. Musim

hujan menyediakan kondisi lingkungan yang mendukung, daya tetas telur dan daya

tahan larva di alam (fase free living), serta membantu dispersi tahap infektif.

Seperti diketahui bahwa siklus hidup cacing nematoda, memerlukan kondisi suhu dan

kelembaban tertentu di alam. Telur cacing yang keluar melalui kotoran hewan

kemudian menetas dan berkembang melalui tahap larva pertama (L1) dan kedua (L2)

menjadi larva infektif (L3). Keberhasilan dan kecepatan perkembangan ini tergantung

pada kondisi cuaca, khususnya kehangatan dan kelembaban, dan memerlukan

minimal 4 hari dan jarang lebih dari 10 hari. Persyaratan suhu bervariasi untuk setiap

jenis cacing, namun sebagian besar membutuhkan sekitar 15 mm hujan selama

beberapa hari (namun juga bergantung pada tingkat penguapan) untuk memberi

kelembaban yang cukup bagi perkembangan selanjutnya. L3 meninggalkan feses

yang bergerak ke padang rumput dan tanah, jarang lebih dari 25 cm dari tempat

mereka disimpan di kotoran. Gerakan menggeliat L3 ke padang rumput dan tanah

memerlukan media air (dari embun, kabut atau hujan) ke daun dan batang rumput

Page 48: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

44

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

(dan kurang umum ke dalam tanah). Sebagian besar L3 terkonsentrasi di dekat dasar

padang rumput, jarang lebih tinggi dari 10 cm (Anonimus, 2015). Di bawah kondisi

yang sangat panas dan kering, larva akan kering dan mati dalam beberapa hari

sampai beberapa minggu. Demikian juga siklus hidup cacing Trematoda memerlukan

air dalam siklus hidupnya karena adanya peranan siput yang hidup di air sebagai

inang perantara.

Perbedaan prevalensi Helminthiasis yang signifikan lebih tinggi pada musim hujan

dibandingkan dengan musim kemarau juga ditemukan pada studi yang dilakukan oleh

Winarso et al (2015) pada sapi potong di Bojonegoro Jawa Timur. Prevalensi total

infeksi nematoda saluran pencernaan dilaporkan sebesar 50.95% (selang 44.91%

hingga 56.99%) di musim kemarau dan meningkat menjadi 67.78% (selang 62.21%

hingga 73.35%) di musim hujan. Prevalensi PGI yang secara signifikan lebih besar

terjadi pada saat musim hujan dapat menjadi petunjuk bahwa program pemberian obat

cacing pada kelompok ternak yang rentan sebaiknya diberikan sebelum musim hujan

sehingga pencegahan dan pengendalian PGI akan lebih efektif.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan1. Prevalensi Parasit gastrointestinal pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali,

NTB dan NTT pada Tahun 2018 sebesar 31.01 % (CI 95 %: 29.00 - 33.10)

2. Musim hujan dan iklim wilayah yang basah merupakan faktor risiko munculnya

kasus PGI.

6.2 Saran-saran1. Untuk mencegah parasit gastrointestinal (PGI) dapat dilakukan dengan cara

menerapkan tata cara beternak yang baik termasuk menjaga kebersihan

kandang, memutus siklus hidup vektor yang berperan sebagai penular parasit

dan memberikan obat cacing atau anti parasit lainnya pada kelompok ternak

yang diduga tertular.

2. Karena musim hujan merupakan faktor risiko meningkatnya prevalensi PGI,

maka disarankan pemberian obat cacing sebagai pencegahan minimal

dilakukan sekali setahun sebelum musim hujan tiba.

Page 49: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

45

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kami ucapkan kepada Ka BB-Vet Denpasar atas dukungan dana dan

kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua pihak yang telah

membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih juga kami sampaikan

kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi peternakan beserta

jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas kerjasamanya yang baik

sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2013. Data Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat Statistik RepublikIndonesia.www.bpps.go.id

Anonimous, 2014. Kondisi geografis Nusa Tenggara Barat. http://www.ntbprov.go.id/hal-kondisi-geografis-nusa-tenggara-barat.html#ixzz4VWhBMpaZ

Anonimous, 2015. Nusa Tenggara Barat dalm Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi NusaTenggara Barat. http://ntb.bps.go.id/webs/pdf_publikasi/Nusa-Tenggara-Barat-Dalam-Angka-2015.pdf

Anonimous, 2016. Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ditjen PDT. www.ditjenpdt.kemendesa.go.id

Anonimous b. 2016. Bali. https://id.wikipedia.org/wiki/Bali.

Anonimus, 2008b.The epidemiology of helmintparasites.http:// www.ilri.org/Info Serv/ Webpub/Fulldocs /X5492e /x5492e04.htl 07 Juni 2008]

Arsani, N.M., Saraswati NKH, Sutawijaya IGM, dan Yunanto (2018). Laporan SurevilansParasit Gastrointestinal pada Ternak Sapid an Kerbau di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2017. Balai Besar Veteriner Denpasar.

BPS, 2016. Populasi Sapi Potong menurut Provinsi, 2009-2016 dan Populasi Kerbau menurutProvinsi, 2009-2016.http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/24#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek3

Estuningsih,SE. 2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacinguntuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal Ilmu Ternak danVeteriner, Volume 9 Nomor1hal.55-60

Gunawan M., 1984 Pengaruh Pengobatan Neoascari Vitulorum dengan Piperazin Citrat padapedet Sapi Bali di Provinsi Bali. Bulletin Veteriner. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar, Ed. Mei, Vol. 1 No. 5

Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., 1987. Principles and Methods Veterinary Epidemiology,IOWA State University Press/ames.USA

Mastra.K. 2006 Prevalensi Antibodi Terhadap Fasciolosis pada sapi bali di Provinsi Bali.Buletin Veteriner.Denpasar. Ed.Desember , Vol. XVIII, No.69.

Page 50: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

46

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan, 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali diperusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar. J. Agrisistem 2 (2):63-69.

Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52

Suratman, Enggis Tuherkih, dan Joko Purnomo (2003). Potensi Lahan Untuk PengembanganTernak Ruminansia Berdasarkan Karakteristik Biofisik Lahan Di Propinsi Nusa TenggaraBarat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan,Bogor

Thienpont, D., F. Rochette,O.F.J. Vanparijs, 1979. Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation

Winarso, A., Satrija,F., Ridwan, Y., (2015) Pengaruh Klimat terhadap Infeksi NematodaSaluran Pencernaan pada Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur.Jurnal Kajian Veteriner, Volume 4.

Page 51: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

47

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS CYSTICERCOSIS DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN

NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018

Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, I.G.M. Sutawijaya, Yunanto

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Surveilans cysticercosis bertujuan untuk mengetahui prevalensi cysticercosis pada ternak sapidan babi yang dipotong di RPH atau yang dijual di pasar pasar di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebanyak 318 sampel daging/organ telahdiambil dan diuji, masing-masing berasal dari Provinsi Bali sebanyak 113 sampel, dari ProvinsiNTB 110 sampel dan dari Provinsi NTT 95 sampel. Sampel daging/organ yang diambil darikarkas di RPH atau yang dijual di pasar, diuji di laboratorium secara makroskopik danmikroskopik. Dari seluruh sampel yang diuji, seluruhnya menunjukkan hasil negativecysticercosis. Prevalensi cysticercosis yang 0.00% dengan confiden interval 0.00-1.19 %,menunjukkan bahwa kasus cysticercosis sudah sangat jarang terjadi. Hal ini ada relevansinyadengan tingkat sosial masyarakat dengan tingkat sanitasi yang sudah sangat lebih baikdibandingkan dengan 2-3 dasawarsa sebelumnya. Untuk meningkatkan sensitivitas hasilsurvey, perlu dilakukan surveilans dengan metode yang lebih sensitive. Disamping itu, untukmelengkapi data surveilans aktif yang dilakukan oleh BBVet Denpasar, juga perlu dilakukanmonitoring dan pelaporan kasus cysticercosis ke sistem i-sikhnas oleh petugas RPH.

Kata kunci: cysticercosis, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur

Jenis HewanProvinsi Babi Sapi

Jumlahsampel Positif Prevalensi (%)

CI 95%

Bali 36 77 113 0 0.00 0.00-3.29Nusa Tenggara Barat 11 99 110 0 0.00 0.00-3.37Nusa TenggaraTimur 21 74 95 0 0.00 0.00-3.89

Grand Total 68 250 318 0 0.00 0.00-1.19

Keterangan: CI=confiden interval

Page 52: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

48

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

I. PENDAHULUAN

Penyakit Cysticercosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini

sering dijumpai di daerah dimana masyarakatnya mempunyai kebiasaan

mengkonsumsi daging sapi atau daging babi mentah atau dimasak kurang sempurna.

Selain itu, kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dimana makanan/sumber air

minum sapi dan babi bisa tercemar feses manusia, merupakan factor risiko penularan

penyakit ini.

Cysticercosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh larva (bentuk

metacestoda) cacing pita dari genus Taenia. Beberapa spesies Taenia bersifat

zoonosis dan manusia dapat berperan sebagai induk semang definitif, induk semang

perantara atau keduanya. Manusia merupakan induk semang definitif dari T. solium

dan T. saginata, dan juga sebagai induk semang definitif dari T. asiatica (OIE, 2005).

Pada T. solium dan T. asiatica, manusia juga bisa berperan sebagai induk semang

perantara. Selain manusia, induk semang perantara untuk T. solium adalah babi,

sedangkan induk semang perantara T. saginata adalah sapi. Kasus cysticercosis

sering dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi daging mentah atau

setengah matang. Manusia dapat terinfeksi Cysticercosis/Taeniasis dengan memakan

daging sapi atau daging babi yang mengandung larva (cysticercus). Penularan

Cysticercosis juga dapat melalui makanan atau sumber air minum yang tercemar oleh

telur cacing Taenia spp. Kasus epilepsi dan neurocysticercosis pada manusia diduga

banyak berkaitan dengan taeniasis dan cysticercosis pada hewan. Peranan

pemerintah sangat dibutuhkan dalam program pencegahan dan pengendalian

penyakit ini.

Di Indonesia, kasus penyakit Taeniasis/Cysticercosis pernah ditemukan di Provinsi

Sumatera Utara, Papua, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, NTT dan

Kalimantan Barat (Estuningsih, 2009 dikutip dari Ito et al., 2002a; b; 2003; 2004;

Margono et al., 2001; Simanjuntak et al., 1997 dan Margono et al,2000).

Di Bali, Cysticercosis terjadi, baik pada babi maupun pada sapi. Prevalensi

Cystisercosis pada sapi di empat kabupaten di Bali (Badung, Gianjar, Klungkung dan

Tabanan) tahun 1977 masing-masing adalah 3,3, 16,9, 1,2 dan 8,3% (Estuningsih,

2009 dikutip dari Suroso et al., 2006). DDaallaamm sebuah ssuurrvveeii sseerroollooggiiss ttaahhuunn 11998811,, 2211%%

ddaarrii ssaammppeell sseerruumm ppeenndduudduukk BBaallii yyaanngg ddiiuujjii ppoossiittiiff CCyyssttiisseerrccoossiiss..

Page 53: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

49

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Cysticercosis termasuk dalam 25 penyakit hewan menular strategis (PHMS) sesuai

dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 4026/Kpts./OT.140/3/2013, tentang

Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis. Hal ini berarti Pengendalian dan

penanggulangan penyakit tersebut dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah

Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kab/Kota sesuai dengan kewenangannya

BBVet Denpasar, sebagai UPT Ditjennak dan Keswan yang memiliki tupoksi

melaksanakan surveilans penyakit hewan menular sudah selayaknya mengambil

inisiatif untuk selanjutnya bersama sama dengan dinas peternakan (yang menangani

fungsi peternakan) melakukan tugas surveilans tersebut guna memberi rasa aman

kepada masyarakat luas khususnya konsumen daging babi/sapi.

Lebih dari 10 tahun, survey tentang penyakit ini tidak pernah dilakukan oleh BBVet

Denpasar sehingga gambaran atau prevalensi penyakit tidak diketahui secara pasti.

Dengan dilakukannya surveilans diharapkan diperoleh informasi mengenai prevalensi

penyakit sehingga dapat dilakukan langkah langkah pencegahan dan pengendalian

penyakit ini.

1.2. Rumusan Masalah

1.1.1. Cysticercosis merupakan penyakit zoonosis yang diduga masih terjadi di

wilayah kerja BBVet Denpasar.

1.1.2. Tidak ada laporan mengenai situasi dan distribusi cysticercosis pada

daging babi dan sapi lebih dari sepuluh tahun terakhir sehingga perlu

dilakukan surveilans.

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1. Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi cysticercosis pada

daging babi dan sapi di rumah potong dan pasar di wilayah kerja BBVet

Denpasar.

1.3.2. Manfaat dari surveilans ini adalah dapat memberikan gambaran kejadian

penyakit tersebut kepada pengambil kebijakan sehingga dapat diambil

langkah langkah pencegahan dan pengendalian yang efektif pada ternak

dan mencegah penularannya pada manusia. Kegiatan ini juga diharapkan

Page 54: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

50

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

dapat memberikan rasa aman pada masyarakat sebagai konsumen

daging babi dan sapi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Cysticercosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh larva (bentuk

metacestoda) cacing pita dari genus Taenia. Tahap dewasa cacing ini terjadi di usus

manusia, anjing, atau carnivora liar. Bovine Cysticercosis (Cysticercosis pada sapi)

dan porcine Cysticercosis (Cysticercosis pada babi) disebabkan oleh metacestoda

(cysticerci) cestoda manusia. Bovine Cysticercosis disebabkan oleh Taenia

saginata, sedangkan porcine Cysticercosis disebabkan oleh Taenia solium.

Cysticerci T. solium juga dapat berkembang di CNS dan otot-otot manusia.

Spesies lainnya yaitu Taenia asiatica juga menyebabkan Cysticercosis pada babi,

kistanya dapat ditemukan dalam hati dan jeroan, sementara cacing pita dewasa

ditemukan pada manusia. Cysticercosis dan coenurosis pada kambing domba, dan

kadang-kadang pada ternak lain, kistanya dapat ditemukan di dalam otot, otak,

hati atau rongga peritoneum, disebabkan oleh T. ovis, T. multiceps dan T.

hydatigena, sedangkan cacing pita dewasa ditemukan di usus anjing dan carnivora

liar. Disamping bersifat zoonosis, Cysticercosis juga menyebabkan kerugian

ekonomi melalui terinfeksi daging dan jeroan (OIE, 2014). Kasus epilepsy dan

neurocystecercosis pada manusia diduga banyak berkaitan dengan taeniasis dan

cysticercosis pada hewan. Penularan Cysticercosis dapat melalui makanan atau

sumber air minum yang tercemar oleh telur cacing Taenia spp. Kasus cysticercosis

banyak dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi daging mentah atau

setengah matang.

2.1 Identifikasi Agen

Taenia saginata (cacing pita sapi)

Taenia saginata memiliki panjang 4-8 meter dan dapat bertahan hidup bertahun-tahun,

biasanya tunggal, dalam usus kecil manusia. Scolex ( kepala) tidak memiliki rostellum

atau kait. Segmen gravid memiliki > 14 cabang rahim. Cacing ini dapat meninggalkan

hostnya dan bermigrasi secara spontan dari anus.

Page 55: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

51

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Metacestoda (sistiserkus bovis) dari T. saginata biasanya terjadi pada otot lurik ternak

sapi, dan juga kerbau. Kista berbentuk oval, berisi cairan, sekitar 0,5-1 ×

0,5 cm, tembus dan mengandung scolex putih tunggal yang secara morfologis mirip

dengan scolex dari cacing pita yang lain. Kista kadang kadang ditemukan di hati,

paru-paru, ginjal, lemak dan di tempat lain.

Taenia solium (cacing pita babi)

Taenia solium biasanya lebih kecil dari T. saginata, panjangnya kira-kira 1-5 meter dan

dapat bertahan dari beberapa bulan sampai 1 tahun. Scolex ini memiliki rostellum

dengan dua baris kait. Segmen gravid memiliki <14 cabang rahim dan biasanya tidak

meninggalkan host secara spontan, tetapi tetap berada dalam feses.

Metacestodes (C. cellulosae) terjadi pada otot-otot dan sistem saraf pusat babi,

beruang dan anjing. Pada manusia, metacestoda dapat ditemukan pada otot-otot,

jaringan subkutan, system saraf pusat dan kadang-kadang mata.

Kistanya mirip sekali dengan T. saginata, memiliki scolex dengan rostellum dan kait.

(OIE, 2014)

Taenia asiatica (Asian Taenia)

Memiliki ovarium, vagina, otot sfingter dan cirrus kantung seperti pada T. saginata, tapi

T. asiatica memiliki rostellum kecil dan tonjolan posterior pada beberapa segmen dan

16-32 tunas rahim dengan 57-99 ranting rahim pada satu sisi. Metacestoda (C.

viscerotropica) kecil, sekitar 2 mm, dan memiliki rostellum dan dua baris

kait primitif. Cysticercosis ini umumnya terjadi pada parenkim dan permukaan hati babi

peliharaan dan liar (OIE, 2014)

2.2 Cara Penularan dan Siklus Hidup Taenia spp

Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk semang yaitu

induk semang definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi untuk T. saginata

dan babi untuk T. solium). T. saginata tidak secara langsung ditularkan dari manusia

ke manusia, akan tetapi untuk T. solium dimungkinkan bisa ditularkan secara langsung

antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang terinfeksi langsung ke

mulut penderita sendiri atau orang lain.

Page 56: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

52

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Gambar 1. Siklus hidup dan Penularan Taenia spp

Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid

yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar bersama feses

dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang

menjadi onkoster (telur yang mengandung larva). Larva onkoster menembus usus dan

masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke

otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis (larva cacing T. saginata).

Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang disebut Cysticercus. Manusia

akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang.

Dinding Cysticercus akan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks

menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa

yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila

proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi.

Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi larva

Page 57: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

53

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup

seperti di atas.

Siklus hidup T. solium pada dasarnya sama dengan siklus hidup T. saginata, akan

tetapi induk semang perantaranya adalah babi dan manusia akan terinfeksi apabila

memakan daging babi mentah atau tidak matang dengan sempurna yang

mengandung kista atau tertelan telur cacing. T. saginata menjadi dewasa dalam waktu

10 – 12 minggu dan T. solium dewasa dalam waktu 5 – 12 minggu (OIE, 2005). Telur

T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan (tidak tergantung suhu dan kelembaban)

sampai beberapa minggu bahkan bisa bertahan sampai beberapa bulan. Proglotid T.

saginata biasanya lebih aktif (motile) daripada T. solium, dan bisa bergerak keluar dari

feses menuju ke rumput. Telur T. saginata dapat bertahan hidup dalam air dan atau

pada rumput selama beberapa minggu/bulan.

Pada sapi (C. bovis) mulai mati dalam waktu beberapa minggu, dan setelah 9 bulan

akan mengalami kalsifikasi. Sedangkan, Cysticercus dari spesies lain bisa bertahan

hidup sampai beberapa tahun. Cysticercosis pada babi bisa ditemukan pada

jaringan/otot jantung, hati, otak, daging bagian leher, pipi dan bahu, serta lidah. Pada

manusia, Cysticercus ini sering ditemukan di jaringan bawah kulit, otot skeletal, mata

dan otak. Pada kasus yang serius disebabkan oleh adanya sistiserkus pada jaringan

otak bisa menyebabkan neurocysticercosis dan bisa menyebabkan kejang-kejang

pada manusia.

III. MATERI DAN METODA

3.1. Materi:

a) Sampel

Sampel daging/organ yang diduga mengandung kista metacestoda dari cacingTaenia

b) Bahan :

- Formalin 10%- Mounting solution

c) Alat:

- Pisau- Gunting

Page 58: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

54

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

- Cawan petri- Mikroskop stereo- Mikroskop cahaya- Lensa pembesar- Pinset- Kaca preparat- Cover slip- Container/kantong plastik

3.2. Metode

3.2.1. Metode surveilans

Kegiatan surveilans dilakukan di RPH dan pasar untuk mengetahui prevalensiCysticercosis pada daging babi dan sapi di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

Pemeriksaan dan pengambilan sampel dilakukan terhadap hewan yang dipotong dimasing-masing RPH. Untuk di pasar, pemeriksaan dan pengambilan sampel di pasardilakukan secara purposive sampling yaitu dilakukan di pedagang daging babi/sapiyang menjual daging/organ yang menjadi predileksi kista metacestoda Taenia (hati,otot lidah, otot masseter, jantung, dan organ lainnya).

Target Sampling

Yang menjadi target sampling surveilans ini adalah daging/organ babi dan sapi hasilpemotongan di RPH dan yang dijual di pasar di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

Penentuan lokasi sampling

Lokasi sampling di Provinsi Bali adalah di RPH dan pasar di kabupaten/kota di Bali,NTB dan NTT. Surveilans dilakukan secara terpadu dengan surveilans penyakit yanglain.

3.2.2 Metode pengamatan dan pengambilan sampel daging/organ

- Pengamatan dilakukan terutama terhadap organ-organ predileksi

cysticercus yaitu terhadap otot masseter, otot daging, otot jantung, hati,

otot lidah dan sebaiknya dilakukan juga terhadap organ lainnya.

Pengamatan dilakukan secara makroskopik (mata telanjang) atau dengan

bantuan kaca pembesar.

- Organ-organ yang dicurigai mengandung kista dari cacing pita Taenia

diambil dengan gunting atau pisau, dimasukkan ke dalam kontainer dan

selanjutnya dikirim ke laboratorium dalarn keadaan segar atau diawetkan

Page 59: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

55

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

dengan formalin 10%. Hasil pengamatan dan data data pendukung lainnya

dicatat dalam lembar data yang sudah dipersiapkan sebelumnya

(terlampir).

3.3.3 Pemeriksaan Laboratorik

- Sampel daging/organ yang diambil oleh tim surveilans diperiksa/diuji dilaboratorium Parasitologi.

- Pemeriksaan dilakukan baik secara makroskopik maupun mikroskopik

- Setelah dilakukan pengamatan secara makroskopik, sampel yang dicurigaimengandung kista dilanjutkan pengujiannya secara mikroskopik.

- Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya

- Kista dibuka atau dibelah secara hati-hati dengan cara mengiris denganmenggunakan pisau / skalpel, dilakukan di atas kaca preparat.

- Apabila terlihat ada larva / metacestode pada kista yang telah terbuka, sisa-sisa jaringan dipisahkan dan dikeluarkan dari kaca preparat. Selanjutnyatutup kaca preparat dengan cover slip kemudian periksa di bawah mikroskopcahaya secara cermat. Amati dan catat morfologi larva yang dilihat (bentukscolex dan jumlah kait).

- Di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 100-1000 kali dapat dilihatstadium metacestode dari T. solium atau T. saginata.

- Kista dapat berisi larva / metacestode yang telah mati (dalam bentuk sudahmengalami nekrosis, sedang dalam proses pengkejuan, atau telah terjadiproses pengapuran) atau mengandung larva / metacestode yang masihhidup.

IV. HASIL

Seperti terlihat pada Tabel 1., jumlah sampel yang diperoleh dan diuji sebanyak318, yang berasal dari Provinsi Bali sebanyak 113, dari NTB 110 dan dari NTT 96sampel. Sampel yang diperoleh terdiri atas 68 sampel daging/organ babi dan 249daging/organ sapi. Seluruh sampel yang diuji menunjukkan hasil yang negatif.

Page 60: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

56

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 1. Hasil surveilans Cysticercosis di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2018.Jenis Hewan

Provinsi Babi SapiJumlahsampel Positif

Prevalensi(%) CI 95 %

Bali 36 77 113 0 0.00 0.00-3.29Nusa Tenggara Barat 11 99 110 0 0.00 0.00-3.37Nusa Tenggara Timur 21 74 95 0 0.00 0.00-3.89Grand Total 68 250 318 0 0.00 0.00-1.19

Pada Tabel 2 dapat dilihat jenis dan jumlah sampel yang diambil di beberapakabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Ada 4 kabupaten/kota yang menjadi lokasisampling di Provinsi Bali, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Buleleng danGianyar. Demikian juga di Provinsi NTB juga dilakukan di empat kabupaten/kota yaitudi Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Bima dan Sumbawa, sedangkan diProvinsi NTT, sampling dilakukan di lima kabupaten yaitu Kota Kupang, KabupatenKupang, Malaka, Sikka dan Alor.

Tabel 2. Hasil surveilans Cysticercosis per Kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTTTahun 2018

Jenis HewanProvinsi/Kab Babi Sapi Jumlah sampel Positif Prevalensi (%) CI 95 %

Bali 36 77 113 0 0.00 0.00-3.29Badung 19 14 33 0 0.00 0.00- 10.43Buleleng 0 30 30 0 0.00 0.00-11.35Denpasar 0 30 30 0 0.00 0.00-11.35Gianyar 17 3 20 0 0.00 0.00-16.11

Nusa TenggaraBarat 11 99 110 0 0.00 0.00-3.37

BIMA 0 26 26 0 0.00 0.00-12.87Lombok Barat 0 30 30 0 0.00 0.00-11.35Mataram 11 18 29 0 0.00 0.00-11.70Sumbawa 25 25 0 0.00 0.00-13.32

Nusa TenggaraTimur 21 74 95 0 0.00 0.00-3.89

ALOR 8 12 20 0 0.00 0.00-16.11Kota Kupang 0 25 25 0 0.00 0.00-13.32KUPANG 0 15 15 0 0.00 0.00-20.39Malaka 10 10 20 0 0.00 0.00-16.11Sikka 3 12 15 0 0.00 0.00-20.39

Grand Total 68 250 318 0 0.00 0.00-1.19

Page 61: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

57

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

V. PEMBAHASAN

Kehidupan sosial masyarakat khususnya di Bali, NTB dan NTT saat ini sudah sangat

berubah. Tingkat sanitasi lingkungan sudah sangat baik, dimana setiap rumah tangga

sudah memiliki jamban/WC. Demikian juga cara pemeliharaan ternak babi juga

sebagian besar sudah menerapkan cara pemeliharaan yang semi intensif atau paling

tidak ternak babi dipeliharan dengan cara dikandangkan. Berbeda dengan era Tahun

80-an dan 90-an, sebagian masyarakat masih memelihara ternak babi secara

ekstensif sementara cara hidup masyarakat sendiri juga memiliki tingkat sanitasi

lingkungan yang masih sangat rendah, dimana sebagian masyarakat punya kebiasaan

buang air besar di sembarang tempat.

Hasil surveilans yang menunjukkan tidak ada ditemukan adanya cysticercosis pada

semua sampel daging/organ yang diuji menunjukkan bahwa kasus cysticercosis sudah

sangat jarang terjadi. Hal ini berkaitan dengan perubahan prilaku sosial di mayarakat

yang mempengaruhi praktek sanitasi dan hygiene pada masyarakat yang tentu saja

terjadi peningkatan yang sangat nyata dibandingkan dengan di masa lalu. Kalau di

masa lalu masih banyak ditemukan masyarakat yang buang air sembarangan di

semak semak di dekat lingkungan tempat tinggal mereka. Demikian juga, masyarakat

masih sangat umum memelihara babi dengan cara diliarkan di belakang atau di sekitar

tempat tinggalnya. Hal ini tentu merupakan faktor risiko dimana rantai penularan

cacing taenia atau cysticercus akan terus berulang. Kotoran manusia yang menderita

taeniasis/cysticercosis yang dimakan oleh babi yang berkeliaran akan dapat

menyebabkan babi tertular penyakit tersebut. Daging babi yang berasal dari hewan

yang menderita cysticercosis apabila dimakan oleh manusia akan menyebabkan

manusia tertular. Demikian seterusnya.

Kemungkinan lain yang menyebabkan tidak ditemukannya cysticercosis pada study ini

adalah sensitivitas uji yang sangat rendah sehingga data yang diperoleh tidak

menunjukkan kondisi yang sebenarnya. Diagnosa cysicercosis yang didasarkan pada

pengamatan daging/organ memiliki sensitivitas sekitar 10 – 30 % (Gonzales et al.,

2016). Untuk mengetahui epidemiologi cysticercosis diperlukan metode uji yang lebih

baik. Disamping itu juga diperlukan strategi pengawasan yang lebih sensitif dan

pelaporan data secara terus menerus selama bertahun-tahun dari seluruh stake holder

terutama yang bertugas terdepan dalam pengawasan post mortem di rumah potong

hewan. Saat ini kita memiliki sistem yang sudah terintegrasi dan sudah sangat familiar

di kalangan petugas kesehatan hewan di seluruh lini yaitu Isikhnas (sistem kesehatan

hewan nasional yang terinetgrasi). Sistem tersebut sudah dapat diakses dengan baik

oleh sebagian besar petugas kesehatan hewan di lapangan. Apabila sistem ini dapat

Page 62: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

58

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

berjalan dengan baik, seluruh data tentang kesehatan hewan akan dapat diakses dan

hal ini tentu sangat bermanfaat dalam deteksi dini penyakit hewan termasuk

cysticercosis.

Bovine cysticercosis dilaporkan di hampir semua negara, pada tingkat prevalensi yang

berbeda. Di Vietnam, prevalensi sistiserkosis terjadi cukup rendah yaitu 0,94 (95% CI:

0,51-1,68). Di Negara Eropa prevalensi bovine cysticercosis berdasarkan inspeksi

daging juga pada umumnya rendah yaitu di bawah 6,2% (Gonzales et al., 2016).

Sebelum tahun 1990, angka tertinggi, berdasarkan inspeksi daging rutin, dilaporkan di

Turki, Jerman dan Polandia. Di Turki, prevalensi terdeteksi pada tingkat regional

berkisar antara 0,3 hingga 30% antara tahun 1957 dan 1990. Di Jerman Timur dan di

provinsi Olsztyn di Polandia, prevalensi masing-masing 3,5-6,8% dan 3,6%, dilaporkan

selama 1974-1989. Setelah tahun 1990, tingkat prevalensi tertinggi dilaporkan di satu

rumah jagal di Jerman (yaitu 6,5%) pada tahun 1992 dan di Daerah Otonomi Madeira

(yaitu 2,0-5,8%) selama 1993-2005. Prevalensi terendah diidentifikasi di Estonia, yang

melaporkan tidak ada kasus positif pada Tahun 2006, 2008, 2009 dan 2010; diikuti

oleh Swedia dan Inggris dengan kisaran masing-masing 0.0002 % – 0.001 % dan

0.008 %– 0.04 %. Di negara-negara eropa lainnya prevalensinya di bawah 2,0%

dengan beberapa pengecualian (yaitu Italia dan Belanda) (Gonzales et al., 2016).

VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KesimpulanPrevalensi Cysticercosis pada ternak sapi dan babi di provinsi Bali, NTB dan NTT

sebesar 0.00 % (CI 95%: 0.00-1.19)

6.2 Saran1. Untuk meningkatkan sensitivitas uji cysticercosis pada ternak, perlu dilakukan

survey dengan metode lain yang lebih sensitif

2. Disamping itu, untuk melengkapi data surveilans aktif yang dilakukan oleh

BBVet Denpasar, juga perlu dilakukan monitoring dan pelaporan cysticercosis

secara terus menerus ke sistem i-sikhnas oleh petugas RPH.

Page 63: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

59

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

DAFTAR PUSTAKA

Estuningsih, S.E., 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter.WARTAZOA Vol. 19 No. 2 Th. 2009

Murrell, K.D., Dorny, P., Flisser, A., Geerts, S., Kyvsgaard, N.C., McManus, D., Nash, T.,Pawlowski, Z., 2005. WHO/FAO/OIE Guidelines for the surveillance, prevention andcontrol of taeniosis/cysticercosis. OIE, 12, rue de Prony, 75017 Paris, France.

OIE, 2014. Cysticercosis. OIE Terrestrial Manual 2014 1 Chapter 2.9.5

Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52

Anonymous (1996) Cysticercosis. In Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines.The 3rd Edition, OIE World Organisation for Animal Health, pp. 314-317.

Anonymous (1999) Cysticercosis pada Sapi dan babi. Dalam Manual Standar MetodeDiagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan, DirektoratJenderal Peternakan, Departemen Pertanian, hal. 28-29.

González, M.L., Brecht Devleesschauwer, Sarah Gabriël, Pierre Dorny, and Alberto Allepuz(2016). Epidemiology, impact and control of bovine cysticercosis in Europe: asystematic review. Parasit Vectors. 2016; 9: 81

Page 64: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

75

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKIT RABIESSECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2018

I Ketut Eli Supartika, Monica Septiani dan Gede Yudi Suryawan

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Rabies di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar cendrung endemis. Untuk itu kegiatansurveilans Rabies secara berkelanjutan masih perlu dilakukan dengan bertujuan: untukmendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit rabies, terkait denganupaya pembebasan rabies di Provinsi Bali, mendeteksi kemungkinan keberadaan virus rabiespada anjing di Provinsi NTB agar daerah ini tetap bebas rabies, mendeteksi virus rabies padaanjing-anjing di wilayah Pulau Flores dan sekitarnya terkait kegiatan pengendalian rabies diProvinsi NTT.

Surveilans penyakit rabies pada anjing khususnya dilaksanakan dengan melakukanpengambilan sampel otak anjing yang berisiko menularkan penyakit rabies. Sampel diperiksadengan metode uji Flourescent Antibody Test (FAT).

Pada tahun 2018 jumlah sampel otak hewan yang diperiksa Balai Besar Veteriner Denpasarsebanyak 1.129 sampel. Di Provinsi Bali, jumlah sampel otak hewan yang diperiksa sebanyak943 sampel, 149/943(15,80%) diantaranya positif rabies. Kasus positif rabies berasal darianjing 147/149 (98,66%) sampel dan kucing 2/149(1,34%). Rata-rata jumlah kasus positifrabies perbulan ada sebanyak 13 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun2017 ada sebanyak 8 kasus per bulan. Kasus rabies paling banyak ditemukan di KabupatenKarangasem sebanyak 42 kasus, disebabkan oleh anjing yang belum divaksin.

Jumlah sampel otak yang berasal dari Provinsi NTB sebanyak 1 sampel otak kerbau, berasaldari Kabupaten Sumbawa, hasilnya negatif rabies. Sedangkan sampel otak anjing darikabupaten/kota di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi NTT diperiksa sebanyak 185 sampel,98/185 (52,97%) sampel positif rabies. Kasus positif rabies ini lebih tinggi dibandingkan dengantahun 2017 sebanyak 37/75 (49,33%).

Hasil surveilens ini menunjukkan bahwa terjadi kecendrungan peningkatan kasus rabies diProvinsi Bali dan Pulau Flores, Lembata, Provinsi NTT. Program vaksinasi masal, kerjasamaantar instansi pemerintah, komunikasi, informasi dan edukasi tentang rabies ke masyarakatmasih perlu ditingkatkan. Sampai saat ini Provinsi NTB masih bebas rabies. Kontrol terhadaplalu lintas hewan penular rabies ke Provinsi NTB dan daerah bebas rabies di Provinsi NTTmasih sangat diperlukan.

Kata kunci: anjing, hewan, otak, rabies, surveilans

Page 65: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

76

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi tiga provinsi yaitu :

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Seperti diketahui bahwa dua dari tiga provinsi yang merupakan wilayah kerja

BBVet Denpasar merupakan daerah endemis rabies. Provinsi Nusa Tenggara

Timur, khususnya Pulau Flores dan Lembata dinyatakan terjangkit rabies sejak

tahun 1997, sedangkan Provinsi Bali dinyatakan terjangkit rabies sejak akhir

tahun 2008 (Putra, dkk, 2009) dan sampai saat ini kasus positif rabies rabies

masih sering ditemukan dan ada kecendrungan terjadi peningkatan kasus.

Di Provinsi Bali sejak dilakukannya vaksinasi massal secara serentak tahun

2010, kejadian kasus rabies berfluktuasi sepanjang tahun 2008 sampai dengan

2018 yaitu tahun 2008 (10 kasus), 2009 (80 kasus), 2010 (410 kasus),

2011(90 kasus), 2012 (116 kasus), 2013 (42 kasus), 2014 (129 kasus), 2015

(526 kasus), 2016 (207 kasus), dan 2017 (93 kasus). Kasus rabies lebih

banyak terjadi di Kabupaten Buleleng, Bangli dan Karangasem dan

kebanyakan terjadi pada anjing-anjing yang belum pernah divaksin rabies

(Supartika dkk, 2014).

Secara geografis, Provinsi NTB (yang masih berstatus bebas rabies) namun

berpotensi tertular rabies karena dibatasi oleh dua provinsi tertular rabies yaitu

Propinsi Bali dan pulau Flores, NTT. Hasil surveilans Balai Besar Veteriner

Denpasar tahun 2017, dari 29 sampel otak anjing yang diperiksa berasal dari

Kota Mataram dan Kabupaten Bima tidak ada positif rabies. Sedangkan

sampel otak anjing dari kabupaten/kota di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi

NTT diperiksa sebanyak 75 sampel, 37/75 (49,33%) sampel positif rabies.

Kasus positif rabies ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2016 sebanyak

45/169(26,63%).

Dengan kondisi demikian, sebagai salah satu unit pelayanan teknis (UPT) dari

Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Page 66: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

77

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Hewan, Kementerian Pertanian, yang membidangi kesehatan hewan, sudah

merupakan kewajiban bagi BBVet Denpasar untuk membantu pemerintah

daerah dalam penanggulangan rabies di daerah tertular dan mempertahankan

wilayah/ provinsi yang masih dinyatakan bebas rabies. Untuk itu pada tahun

2018, BBVet Denpasar akan melakukan surveilans virologis rabies di Provinsi

Bali, NTB dan NTT.

1.2. Rumusan Masalah.a. Ada kecendrungan penurunan kasus rabies di Provinsi Bali tahun 2017.

b. NTB merupakan daerah berisiko tinggi tertular rabies, terutama di wilayah

yang berbatasan dengan Pulau Flores dan Bali seperti: Sape, Lembar dan

pelabuhan tidak resmi yang ada di pantai wilayah NTB.

c. Rabies di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi NTT masih bersifat endemis.

1.3. Tujuan Kegiatan.Kegiatan surveilans dan monitoring agen penyakit rabies dilaksanakan

dengan tujuan sebagai berikut :

a. Mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies,

terkait dengan upaya pembebasan Rabies di Provinsi Bali

b. Mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus Rabies pada

anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap

bebas Rabies

c. Mendeteksi keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko

tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan

penanggulangan rabies (early detection, early report, early response) di

wilayah Provinsi NTT.

1.4. Manfaat Kegiatana. Terpetakannya keberadaan virus rabies pada anjing di Provinsi Bali

Page 67: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

78

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

b. Tersedianya informasi sedini mungkin terkait keberadaan virus Rabies

pada anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB

tetap bebas Rabies

c. Terdatanya keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko

tertular Rabies di Pulau Flores.

1.5. Keluaran/Output.

Output yang diharapkan dari kegiatan surveilans penyakit Rabies adalah

tersedianya data dan informasi tentang keberadaan virus rabies pada anjing di

Provinsi Bali, NTB dan NTT.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Rabies merupakan penyakit viral zoonosis akut, menimbulkan ensefalitis fatal

pada mammalia, disebabkan oleh Lyssavirus dari keluarga Rabdoviridae

(Murphy et al., 2009; Fischer et al., 2013). Wilayah kerja Balai Besar Veteriner

(BBVet) Denpasar meliputi: Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur secara historis merupakan daerah bebas rabies, namun sejak

tahun 1997 wilayah ini mulai tertular rabies dengan munculnya kasus rabies

pertama kali di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Windiyaningsih

et al., 2004). Selanjutnya rabies dilporkan pertama kali di Provinsi Bali pada

akhir tahun 2008 (Supartika et al., 2009). Meningkatnya lalu lintas orang,

hewan, serta barang berdampak pada semakin cepatnya perpindahan hewan

dalam masa inkubasi, selanjutnya berperan dalam penyebaran penyakit

zoonosis seperti rabies di daerah baru (Lankau et al., 2013). Kejadian wabah

rabies di Larantuka, Flores Timur, NTT disebabkan oleh masuknya tiga ekor

anjing dari daerah endemis rabies yaitu dari daerah Butung, pulau Buton,

Sulawesi Selatan pada bulan September 1997 (Windiyaningsih et al., 2004). Di

Provinsi Bali, sumber penularan rabies diduga berasal dari masuknya anjing

dalam masa inkubasi dibawa pelaut berasal dari Sulawesi Selatan (Putra et al.,

2009).

Page 68: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

79

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Anjing masih merupakan hewan penular rabies utama di Provinsi Bali. Dari 672

kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2012 semuanya

ditularkan oleh anjing rabies (Supartika et al., 2013). Keberhasilan

pembebasan rabies dari wilayah tertentu sangat tergantung pada seberapa

efektif kegiatan surveilans telah dilaksanakan. Surveilans adalah kegiatan

terstruktur untuk melihat populasi hewan dari dekat untuk menentukan apakah

penyakit spesifik merupakan ancaman sehingga tindakan awal dapat

dilaksanakan secepatnya (Salman, 2013). Surveilans memegang peranan

penting dalam memacu memberikan respon cepat, memonitor dampaknya,

sehingga wabah secara cepat dapat ditindaklanjuti (Townsend et al., 2013).

III. MATERI DAN METODE

3.1. MateriMateri kegiatan surveilans dan monitoring rabies dilaksanakan dengan

melakukan pengambilan sampel otak anjing dengan kriteria sebagai berikut:

Anjing yang mempunyai risiko menularkan rabies (anjing yang tiba-tiba

menggigit orang dan atau hewan lainnya).

Anjing yang menunjukkan gejala klinis rabies dan menunjukkan perubahan

perilaku.

Hasil eliminasi terhadap anjing liar tidak berpemilik yang dilakukan oleh

petugas dinas setempat.

Sampel otak anjing yang diperoleh dari tempat-tempat yang menyediakan

hidangan dari daging anjing (rumah makan RW).

Sampel otak anjing yang mati akibat tertabrak kendaraan di jalan raya. Hal

ini menjadi pertimbangan karena pada umumnya anjing yang terjangkit

rabies akan mengalami perubahan perilaku dan cenderung kehilangan

insting untuk menghindari lalulintas kendaraan.

Anjing yang berasal dari daerah tertular.

Pengambilan sampel di lapangan dalam kegiatan penyidikan dan pengujian

rabies secara virologis dilakukan oleh petugas pengambil sampel Balai Besar

Page 69: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

80

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dokter Hewan dan petugas

Puskeswan yang ada di masing-masing wilayah kerja.

3.2. MetodeSampel otak anjing dalam keadaan segar, segar beku atau diberi

pengawet gliserin 50% selanjutnya di uji Flourescent Antibody Test . Sampel

dibuat preparat ulas tipis pada objek gelas, diangin-anginkan pada suhu kamar,

selanjutnya di fiksasi dengan aceton dingin selama 30 menit. Preparat ditetesi

dengan konjugit fluorescein isothiocyanate (FITC) (Bio-Rad) diinkubasi dalam

inkubator suhu 37oC selama 30 menit, dibilas dengan PBS, di tutup dengan

cover glass yang berisi gliserin 10%, selanjutnya diperiksa dibawah mikroskup

flourescent.

IV. HASIL

Tahun 2018 Balai Besar Veteriner Denpasar menerima sampel untuk

pengujian penyakit rabies sebanyak 1.129 sampel yang berasal dari berbagai

hewan, masing-masing 943 sampel berasal dari Provinsi Bali, 1 sampel dari

Provinsi NTB dan 185 sampel dari Provinsi NTT (Grafik 1). Jumlah kasus

rabies pada hewan di Provinsi Bali pada tahun 2018 cendrung meningkat

dibandingkan pada tahun 2017 (Grafik 2). Dari 9 kabupaten/kota di Bali ada

lima kabupaten yang mengalami peningkatan kasus rabies yaitu : Kabupaten

Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangasem dan Klungkung (Grafik 3). Peta

penyebaran kasus positif rabies di provinsi Bali disajikan pada Gambar 1.

Grafik 1. Jumlah sampel otak yang diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasaruntuk pengujian Rabies yang berasal dari Provinsi Bali, NTB danNTT, tahun 2018. (N = 1.129 sampel)

Page 70: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

81

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Grafik 2. Perbandingan jumlah kasus rabies tahun 2017 dan 2018 per bulandi Provinsi Bali.

Grafik 3. Perbandingan jumlah kasus rabies tahun 2017 dan 2018 dimasing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Bali

Page 71: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

82

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Gambar 1. Peta penyebaran kasus positif rabies di Provinsi Bali tahun 2018.

Anjing masih menjadi penular utama rabies di Bali yaitu sebanyak 147/149

(98,66%). Kasus positif rabies selain menyerang anjing juga telah menyerang

dua ekor kucing masing-masing di Kabupaten Klungkung dan Jembrana 2/149

(1,34%) (Grafik 4). Rata-rata jumlah kasus positif rabies per bulan di Provinsi

Page 72: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

83

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Bali ada 13 kasus. Kasus rabies paling banyak ditemukan di Kabupaten

Karangasem sebanyak 42 kasus (Grafik 5).

Grafik 4. Jumlah kasus positif rabies pada hewan di Provinsi Bali Tahun 2018.

Grafik 5. Jumlah kasus rabies di masing-masing Kabupaten/Kota di ProvinsiBali tahun 2018

Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada anjing dan kucing yang belum

divaksin 120/149(80,54%) (Grafik 6), pada anjing berpemilik yang diliarkan

112/149 (75,17%) (Grafik 7).

Page 73: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

84

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Grafik 6. Riwayat vaksinasi dari anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun 2018

Grafik 7. Setatus kepemilikan anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun 2018

Jumlah sampel otak yang berasal dari Provinsi NTB sebanyak 1 sampel otak

kerbau, berasal dari Kabupaten Sumbawa, hasilnya negatif rabies. Sampai

dengan tahun 2018 Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies (Gambar

2).

Page 74: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

85

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Gambar 2. Peta Provinsi NTB masih dalam status bebas rabies sampai tahun 2018.

Sedangkan sampel otak anjing dari kabupaten/kota di Pulau Flores dan

Lembata, Provinsi NTT diperiksa sebanyak 185 sampel, 98/185 (52,97%)

sampel positif rabies. Kasus positif rabies ini lebih tinggi dibandingkan dengan

tahun 2017 sebanyak 37/75 (49,33%). Di Provinsi NTT kasus rabies masih

ditemukan di berbagai kabupaten/kota di Pulau Flores dan Lembata (Grafik 8,

Page 75: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

86

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Gambar 3). Kasus positif rabies paling banyak terjadi di kabupaten Sikka (60

kasus). Anjing sebagai peluar utama rabies kebanyakan belum divaksin

86/98(87,75%) (Grafik 9) dan berasal dari anjing berpemilik yang kebanyakan

diliarkan 66/98(67,35%) kasus (Grafik 10).

Grafik 8. Jumlah sampel otak hewan yang diperiksa di BBVet Denpasar yangberasal dari berbagai kabupaten di Pulau Flores, Provinsi NTTtahun 2018 (N = 185 sampel)

Gambar 3. Peta penyebaran kasus positif rabies di Pulau Flores dan Lembata,NTT tahun 2018

Page 76: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

87

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Grafik 10. Status vaksinasi anjing positif rabies dari kabupaten di Pulau Flores,dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2018

Grafik 11. Status kepemilikan anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2018

Page 77: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

88

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

V. PEMBAHASAN

Hasil surveilans tahun 2018 menunjukan adanya peningkatan jumlah kasus

rabies di Provinsi Bali dibandingkan dengan tahun 2017. Tahun 2017 jumlah

kasus positif rabies ada sebanyak 92 kasus sedangkan di tahun 2018 jumlah

kasus positif rabies ada sebanyak 149 kasus. Pada tahun 2018 selain pada

anjing, kasus rabies juga ditemukan pada kucing sebanyak 2 kasus).

Peningkatan jumlah kasus rabies terjadi di lima kabupaten di Provinsi Bali.

Kasus rabies di Provinsi Bali mulai meningkat sejak bulan Januari 2018 sampai

dengan bulan Agustus 2019, menurun di bulan September sampai dengan

Oktober dan mulai meningkat lagi di bulan Nopember dan Desember 2018

(Grafik 2). Kasus rabies tertinggi terjadi di kabupaten Karangasem yaitu

sebanyak 42 kasus (Grafik 3). Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada

anjing dan kucing yang belum divaksin 120/149 (80,54%) kasus, pada anjing

berpemilik yang diliarkan 112/149(75,17%) kasus. Berpluktuasinya peningkatak

kasus positif rabies di Provinsi Bali tidak terlepas dari tingginya populasi anjing

yang diperkirakan 500.000 ekor merupakan tantangan tersendiri dalam rangka

pembebasan Provinsi Bali dari rabies. Sebanyak 61% dari populasi anjing

tersebut adalah anjing berpemilik yang dilepasliarkan. Kepedulian dan

kesadaran masyarakat yang kurang tentang bahaya rabies mengakibatkan

mereka melepas liarkan anjingnya begitu saja yang sangat berpontensi dalam

Page 78: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

89

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

penularan virus rabies. Melakukan vaksinasi rabies pada anjing yang diliarkan

tidaklah mudah. Pengendalian populasi anjing melalui elimasi tertarget pada

anjing liar dan yang diliarkan yang belum tervaksinasi rabies oleh pemerintah

juga mendapat penolakan dari pemilik anjing maupun lembaga swadaya

masyarakat melalui media sosial.

Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa tahun 2018

sebanyak 1 sampel otak kerbau, berasal dari Kabupaten Sumbawa. Provinsi

NTB merupakan wilayah status waspada rabies, berbatasan dengan dua

provinsi terjangkit rabies, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bali dan

di sebelah timur dengan Provinsi NTT. Lalu lintas barang/orang yang melintasi

wilayah NTB baik melalui jalur darat, udara dan laut cukup tinggi. Upaya-upaya

untuk memasukkan hewan penular rabies ke daerah ini oleh penyayang hewan

tentu ada oleh karena itu pengawasan ketat terhadap keluar masuknya hewan

penular rabies oleh lembaga karantina hewan perlu ditingkatkan. Disamping itu

surveilans terstruktur, komunikas, informasi dan edukasi tentang bahaya dan

pencegahan rabies kepada masyarakat diseluruh kabupaten/kota di Provinsi

NTB perlu terus ditingkatkan. Provinsi NTB telah dinyatakan secara resmi

sebagai daerah bebas rabies berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian

Republik Indonesia Nomor 316/Kpts/PK.320/5/2017.

Di Provinsi NTT, Kenaikan kasus positif rabies juga terjadi di kabupaten/kota di

P. Flores, NTT. Tahun 2017 kasus positif rabies ada sebanyak 37 kasus

meningkat menjadi 98 kasus di tahun 2018. Kasus tertinggi ditemukan di

Kabupaten Sikka (60 kasus) (Grafik 8). Di Pulau Flores penyakit rabies

cendrung bersifat endemis mengingat anjing memiliki nilai ekonomi yang cukup

tinggi. Harga satu ekor anjing dewasa bisa mencapai satu juta per ekor.

Namun, pemeliharaan anjing di daerah ini masih kebanyakan dilepasliarkan. Di

Bali dan NTT, masyarakat memelihara anjing kebanyakan difungsikan sebagai

penjaga rumah, kebun atau untuk kepentingan komersial. Disamping itu

kegiatan vaksinasi masal belum berjalan di Pulau Flores dan sekitarnya

mengingat keterbatasan dana. Di Bali, anjing biasanya dipakai sebagai sarana

pelengkap upacara keagamaan (mecaru), sedangkan di NTT anjing biasanya

Page 79: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

90

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

dipotong untuk upacara pesta pernikahan. Umumnya perhatian mereka

terhadap anjingnya sangat kurang. Anjing dibiarkan berkeliaran mencari makan

sendiri pergi ke tempat-tempat pembuangan sampah, pasar atau tempat

upacara keagamaan, serta berkembang biak tidak terkontrol. Anjing liar sangat

sulit ditangkap apa lagi divaksinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Putra

(2011) menyebutkan bahwa anjing yang diliarkan berpotensi 81% sebagai

penular rabies. Jual beli anjing untuk kepentingan ekonomis di NTT dan

upacara keagamaan di Bali juga berperan penting dalam penyebaran rabies di

Bali dan Flores.

Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit yang sulit dientaskan. Salah

satu kendala teknis yang dihadapi dalam pengendalian rabies adalah

banyaknya anjing liar tanpa pemilik atau sengaja diliarkan dan tidak diurus oleh

pemiliknya. Imunisasi terhadap anjing liar secara teknik sangat sulit dilakukan,

sehingga cakupan vaksinasi tidak mencapai harapan. Tidak adanya data yang

akurat tentang jumlah populasi anjing juga sebagai faktor penghambat dalam

perencanaan program pengendalian rabies. Data populasi anjing yang tepat

sangat diperlukan sebagai bahan untuk merencanakan kebutuhan vaksin,

peralatan, tenaga vaksinatur dan biaya operasional dilapangan.

Vaksinasi rabies secara massal dipercaya sebagai cara yang efektif dan cukup

ekonomis dari segi biaya untuk pengendalian rabies. Kegagalan vaksinasi

sangat kompleks, dapat disebabkan oleh kualitas vaksin, penanganan vaksin

yang tidak baik, atau masa kebal yang sudah habis, anjing dalam masa

inkubasi. Kegagalan dalam mengendalikan rabies juga disebabkan karena

cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga

siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak, tidak dapat diputus.

Belum lagi kesulitan lain dalam hal melakukan vaksinasi pada anjing geladak,

karena anjing tersebut sulit ditangkap. Minimnya sarana dan prasarana

penunjang kegiatan vaksinasi di Puskeswan, ketersediaan vaksin, ketiadaan

dana sosialisasi juga berperan dalam belum suksesnya pengendalian rabies.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Page 80: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

91

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Kesimpulan.

1. Penyakit rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa

kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2. Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies.

3. Kasus positif rabies di wilayah kerja BBVet Denpasar lebih banyak

disebabkan oleh anjing yang belum pernah divaksin rabies dan berasal dari

anjing yang berpemilik dan diliarkan.

Saran:

1. Peningkatan kasus rabies di Provinsi Bali, P. Flores dan sekitarnya di NTT

di tahun 2018 ini menjadi momentum yang baik untuk mengevaluasi

kegiatan pengendalian dan pemberantasan rabies di Bali dan NTT di tahun

2019, diantaranya melakukan vaksinasi masal secara intensif, massif dan

dalam waktu yang singkat.

2. Kebijakan depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan

tokoh masyarakat setempat, serta penyuluhan tentang bahaya rabies

secara terus menerus perlu digalakkan agar masyarakat paham betul akan

bahaya rabies.

2. Surveilans terstruktur serta pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan

penular rabies ke wilayah NTB perlu ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Page 81: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

92

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Fischer, M., Wernike, K., Freuling, C.M., Muller, T., Aylan, O., Brochier, B., Cliquet, F.,Vazquez-Moron, S., Hostnik, P., Huovilainen, A., Isakson, M., Kooi, E.A., Mooney, J.,Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revilla-Fernandez, S., Sunreczak, M., Fooks, A.R.,Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B (2013). A Step Forward in Molecular Diagnostic ofLyssaviruses-Results of a Ring Trial among European Laboratories. PLOS ONE. Vol.8. Issue 3. E5

Lankau, E.W., Cohen, N.J., Jentes, E.S., Adam, L.E., Bell, T.R., Blantan, J.D., Buttke, D.,Galland, G.G., Maxted, A.M., Tack, D.M., Waterman, S.H., Ruppecht, C.E. andMarano, N (2013). Prevention and Control of Rabies in an Age of Global Travel: AReview of Travel and Trade Associated Rabies Events, United States, 1998-2012.Zoonoses Public Health. 22: 12071

Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C and Studdert, M.J (2009). Rhabdoviridae. In:Veterinary Virology, 3rd Ed. 429-439.

Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G., Putra,A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr, H. (2009). Situasi Rabies di Bali: Enam BulanPasca Program Pemberantasan. Buletin Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar,Vol. XXI, 74.13-26

Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F.X., Suroso, T and Widarso, H.S. (2004). The RabiesEpidemic on Flores Insland, Indonesia (1998-2003). J. Med. Assoc. Thai. 87(11) 1389-1393

Salman, M.D (2013). Surveillance Tools and Strategies for Animal Disease in Shifting ClimateContext. Anim. Health Res. Rev. 23: 1-4

Supartika, I.K.E., Setiaji, G., Wirata, K., Hartawan, D.H., Putra, A.A.G., Dharma, D.M.N.,Soegiarto dan Djusa, E.R. (2009). Kasus Rabies Pertama Kali di Provinsi Bali. BuletinVeteriner, Vol. XXI; 74. 7-12.

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I. G. J, dan Diarmita, I. K.(2013) . Rabies Pada HewanDi Provinsi Bali Tahun 2008-2012 Bulletein Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar

Townsend, S.E., Lembo, T., Cleaveland, S., Meslin, F.X., Miranda, M.E., Putra, A.A.G.,Haydon, D.T and Hampson, K (2013). Surveillance Guidelines for Disease Elimination:A Case Study of Canine Rabies. Comparative Immunology, Microbiology andInfectious Diseases. 36. 249-261.

Page 82: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

93

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHYDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2018

I. Ketut Eli Supartika, Monica Septiani, dan Gede Yudi Suryawan

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAKBovine spongiform encephalopathy (BSE) merupakan penyakit prion zoonosis serta dapatmenimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi perokonomian negara tertular. BalaiBesar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans BSE yang bertujuan untuk mendeteksiberdasarkan pemeriksaan histopatologi dan menganalisa kemungkinan masuknya penyakitBSE pada sapi Bali sebagai tindakan kewaspadaan dini terhadap keberadaan BSE di wilayahkerja BBVet Denpasar.

Informasi dari peternak dan staf dinas peternakan di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menyebutkan bahwa tidak ada indikasi peternaksapi memberikan pakan yang diduga mengandung meat bone meal (MBM) untuk diberikankepada ternak sapi.

Secara histopatologis, 312 sampel medula oblongata dari sapi yang dipotong di rumah potonghewan semuanya negatif BSE, ditandai dengan tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron,gliosis, reaksi astrosit ataupun plak amiloid.

Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini di wilayah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat danNusa Tenggara Timur masih bebas dari BSE.

Kata kunci: BSE, histopatologi, surveilans.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit BSE merupakan penyakit eksotik yang belum pernah dilaporkan di

Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: No.

4026/Kpts/OT.140/ 4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular

Strategis, tanggal 1 April 2013, BSE merupakan satu dari 22 penyakit hewan

menular strategis yang perlu mendapat perhatian dan penanganan prioritas

dari pemerintah. Dari aspek kesehatan hewan meningkatnya lalu lintas

perdagangan hewan dan produknya akan membawa risiko masuknya penyakit

Page 83: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

94

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

hewan ke dalam wilayah Indonesia yang dapat mengancam sumberdaya

hewan yang ada di Indonesia (Putri, 2004).

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Porpinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, merupakan daerah tujuan wisata

banyak mengimpor daging sapi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan

hotel berbintang. Penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak merupakan

sumber potensial penularan penyakit BSE. Disamping itu, intensifikasi

pemeliharaan ternak oleh masyarakat berdampak pada peningkatan

penggunaan konsentrat atau pakan jadi sebagai pakan ternak. Walaupun

belum bisa dibuktikan bahwa konsentrat atau pakan jadi untuk ternak

mempergunakan MBM sebagai bahan baku, akan tetapi tidak ada jaminan pula

bahwa pakan/konsentrat tersebut tidak mempergunakan MBM hasil importasi.

Balai Besar Veteriner Denpasar selama beberapa tahun telah melakukan

surveilan BSE dengan hasil tidak ditemukan adanya indikasi BSE di wilayah

kerja (Supartika dkk, 2010, Hartawan dkk, 2013; Supartika dkk, 2014), namun

demikian dalam rangka melaksanakan PERMENTAN Nomor. 367/Kpts/T

N.530/12/2002, tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas Dari

Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dimana BSE belum ada di

Indonesia namun berpotensi muncul dan menimbulkan kerugian ekonomi,

kemanusiaan, lingkungan dan kesehatan masyarakat maka dipandang perlu

untuk melakukan kegiatan monitoring patologi BSE di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar secara berkesinambungan sebagai pembuktian bahwa

Indonesia masih bebas dari BSE.

1.2. Rumusan Masalah.a. BSE merupakan penyakit zoonosis, keberadaannya di wilayah kerja BBVet

Denpasar perlu dimonitoring agar penyakit ini tidak masuk ke Indonesia

pada umumnya dan wilayah kerja BBVet Denpasar pada khususnya.

b. Indikasi penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat sebagai pakan

ternak juga perlu dipantau karena diduga merupakan sumber potensial

penularan BSE.

Page 84: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

95

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1.3. Tujuan KegiatanKegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa Tenggara

Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2018 dilaksanakan dengan tujuan

untuk :

a. Mendeteksi kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak

sapi yang dipotong di RPH.

b. Penelusuran kemungkinan adanya penggunaan limbah hotel dan pakan

jadi/konsentrat yang diberikan ke ternak sapi potong di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar.

1.4. Manfaat Kegiatan.Manfaat dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2018 adalah :

a. Terdeteksinya kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak

sapi yang dipotong di RPH yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar.

b. Tersedianya data dan informasi tentang penggunaan limbah hotel dan

pakan jadi/kosentrat yang diberikan ke ternak sapi potong.

c. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah

dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit BSE.

1.5. Keluaran/ OutputOutput yang diharapkan dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2017

adalah:

a. Tersedianya data dan informasi tentang kemungkinan adanya BSE secara

histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

b. Tersedianya data untuk pemetaan BSE diwilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar.

c. Tersedianya informasi tentang kemungkinan penggunaanlimbah hotel dan

pakan jadi/konsentrat diberikan ke ternak sapi potong.

Page 85: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

96

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

II. TINJAUAN PUSTAKA.

BSE merupakan penyakit neurodegeneratif pada sapi disebabkan oleh prion

yakni “Proteinaceous infectious particles” yang diindentifikasi tahun 1982 oleh

ilmuwan Amerika, Stanley Prusiner. BSE pada sapi menimbulkan gejala klinis

ditandai dengan gejala syaraf dan selalu berakhir dengan kematian. Muncul

pertama kali di Inggris tahun 1986. Penyakit ini menular ke manusia

menibulkan penyakit new varian Creutzfeld Jacob Disease (nvCJD). Masa

inkubasi BSE cukup panjang, menimbulkan penyakit kronis berkelanjutan pada

sistem saraf pusat. Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada gejala klinis

berupa hiperaesthia dan inkoordinasi didukung dengan pemeriksaan

histopatologi berupa adanya degenerasi pada neuron, reaktif astrositosis dan

mikrogliosis. Dampak sosial ekonomi BSE sangat besar, disamping bersifat

zoonosis juga berdampak pada perdagangan internasional. Negara-negara

tertular BSE dilarangan mengekspor produk ternak sapinya ke luar negeri.

III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi.Kegiatan analisa risiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2018

dilakukan dengan pengambilan sampel otak sapi (medulla oblongata) di

Rumah Potong Hewan yang berada dibawah pengawasan Pemerintah Daerah/

Dinas Peternakan setempat yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar. Pengambilan sampel otak sapi dilakukan pada bagian obex dari

medulla oblongata. Otak sapi yang diambil sebagai sampel adalah berasal dari

sapi yang berumur 2 tahun keatas.

3.2. Metode.Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada pemeriksaan histopatologik. Pada

kasus BSE, secara histopatologik akan ditemukan lesi pada otak dikenal

Page 86: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

97

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

sebagai spongiform encephalophaty. Terjadi degenerasi vakuoler neuron,

gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang (Debeer et al., 2002),

reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid. Surveilans

berbasis risiko akan diterapkan dalam kegiatan surveilans BSE ini. Data

penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat oleh peternak diperoleh

melalui teknik wawancara dengan peternak dan staf petugas dinas peternakan

yang membidangi fungsi peternakan di masing-masing kabupaten/kota di

Provinsi Bali, NTB dan NTT

IV. HASIL

Pengambilan sampel otak sapi untuk pengujian BSE dilakukan di RPH atau

TPH yang berada dibawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang

membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pengambilan sampel

didampingi oleh petugas dari Dinas atau petugas jaga RPH. Untuk wilayah

Provinsi Bali, sampel otak diambil di RPH Kabupaten Badung dan Kota

Denpasar. Di Provinsi NTB sampel otak diambil di RPH Kota Mataram,

Lombok Barat dan Sumbawa Barat sedangkan di Provinsi NTT diambil di RPH

Oeba di Kota Kupang. Selama tahun 2018, jumlah sampel medulla oblongata

sapi yang di periksa BBVet Denpasar sebanyak 312 sampel. Jumlah sampel

otak yang diambil dan jenis kelamin sapi yang dipotong di masing-masing RPH

kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disajikan pada (Tabel 1)

Page 87: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

98

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 1. Jumlah sampel yang diambil, jenis kelamin sapi dan hasilpemeriksaan histopatologi sampel otak yang berasal dari RPHkabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2018.

Jenis Kelamin Hasil UjiNo Prov. Kab./Kota Kecamatan Desa RPH/Pasar Jml

Sampel Jantan Betina BSE(+)

BSE(-)

Bali Badung Abiansemal Mambal Mambal 52 0 52 0 52

Denpasar DenpasarSelatan Sesetan Sanggaran 100 58 42 0 100

Jumlah 152 58 94 0 152

1

NTB LombokBarat Lingsar Lingsar Lingsar 20 20 0 0 20

SumbawaBarat Taliwang Dalam Dalam 15 12 3 0 15

Mataram Cakranegara Majeluk Mejeluk 30 30 0 0 30Jumlah 65 62 3 0 65

2

NTT KotaKupang Kota Lama Oeba Oeba 95 75 20 0 95

Jumlah 95 75 20 0 95

3

Jml.Keseluruhan 312 195 117 0 312

Hasil pengamatan di RPH menunjukkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di

RPH tersebut rata-rata berumur di atas 2 tahun dan kebanyakan berjenis

kelamin betina. Pada pengamatan kegiatan surveilans ditemukan bahwa sapi-

sapi yang dipelihara di Bali dan NTB kebanyakan dikandangkan, sedangkan di

NTT sapi-sapi kebanyakan dilepas pada padang gembalaan. Informasi dari

peternak dan staf dinas peternakan kabupaten/kota yang membidangi fungsi

peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT serta melihat langsung ke lapangan

bahwa peternak tidak ada memberikan pakan komersiil untuk ternak sapinya

apa lagi pemberian pakan unggas komersiil yang diduga mengandung MBM

atau pemberian limbah hotel dan restoran. Sapi-sapi peternak kebanyakan

makan rumput, kadang-kadang diberi pakan tambahan berupa dedak dan

rumput gajah. Pada pemeriksaan sampel medulla oblongata semua sampel

yang berasal dari RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT negatif

BSE. Hasil pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan adanya lesi yang

mengarah ke BSE seperti: degenerasi vakuoler neuron, gliosis, kematian

Page 88: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

99

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

neuron tanpa diikuti reaksi radang, reaksi astrosit dan kadang-kadang

menimbulkan plak amyloid (Gambar B).

Gambar A. Mesencefalon sapi positif BSE, terlihat adanya vakuolisasi pada neuron, tanpa adasel radang (H&E, 400X; Sumber: Gubler et al., 2007) B. Histopatologi medula oblongata negatifBSE, tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrosit ataupun plak amyloid(H&E; 200X)

V. PEMBAHASAN

Bovine spongiform encehalopathy merupakan penyakit neurogedegeneratif

fatal dan bersifat zoonosis. Negara-negara yang terjangkit BSE mengalami

kerugian ekonomi yang sangat besar serta berusaha keras untuk

membebaskan kembali negaranya dari penyakit infeksius ini. Indonesia sampai

saat ini merupakan negara bebas BSE. Untuk mempertahankan Indonesia

tetap bebas dari BSE, pemerintah telah mengambil langkah-langkah antara

lain: penghentian importasi hewan ruminansia dan produknya yang berasal dari

negara tertular BSE, pelarangan penggunaan tepung daging dan tulang (TDT)

dan MBM asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia serta melakukan

deteksi dini melalui surveilans dan kajian risiko setiap tahun secara

berkelanjutan. Namun demikian, sejak kasus BSE menurun secara drastis di

sejumlah negara yang pernah terjangkit BSE, pemerintah Indonesia melalui

Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian

1

3

A B

Page 89: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

100

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Republik Indonesia Nomor 23/Permentan/PK.130/4/2015 tentang Pemasukan

dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal Hewan Ke dan Dari Wilayah Republik

Indonesia yang menyatakan bahwa impor bahan pakan asal hewan harus

berasal dari negara-negara yang bebas BSE.

Hasil surveilan melalui pemeriksaan histopatologi. yang dilakukan oleh Balai

Besar Veteriner Denpasar tahun 2018 di RPH yang ada di kabupaten/kota

yang ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak ditemukan adanya sapi-sapi

yang positif BSE. Pemeriksaan histopatologi merupakan pengujian gold

standar untuk peneguhan penyakit BSE (Cooley et al., 2001). Di Provinsi Bali,

NTB dan NTT tidak ada peternakan sapi berskala besar/komersial. Peternakan

sapi merupakan peternakan rakyat, sebagai usaha sambilan bukan merupakan

usaha pokok. Di Provinsi Bali petani ternak rata-rata memelihara sapi Bali

sebanyak 2 ekor. Pakan yang diberikan adalah rumput, kadang-kadang ada

diberikan dedak atau sedikit mineral blok. Di Provinsi NTB dan NTT ternak sapi

ada yang dikandangkan dan ada juga dilepas di padang pengembalaan. Tidak

ada pemberian pakan komersial yang mengandung MBM atau TDT. Sistem

peternakan sapi yang dilaksanakan oleh sebagian besar peternak sapi di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar sejak dari jaman dahulu telah

menerapkan prinsip-prinsip peternakan organik. Ternak sapi secara alami

diberikan rumput sebagai pakan utama, tidak pernah diberikan pakan yang

berasal dari hewan.

Seperti diketahui bahwa sumber utama penularan BSE adalah melalui

pemberian pakan ternak yang mengandung MBM atau TDT dari ruminansia

yang tercemar prion protein. BSE tidak ditularkan melalui kontak langsung

antar ternak sapi. Di Inggris, pelarangan penggunaan MBM pada pakan ternak

telah menurunkan jumlah kasus BSE secara nyata (Anderson et al., 1996). Di

dalam saluran pencenaan PrPsc oleh sel-sel dendritik usus halus disalurkan ke

organ limfoid skunder (Payer’s patches), limpa, tonsil dan timus untuk

selanjutkan diekspresikan ke sel T dan B (Huang and MacPherson, 2004).

PrPsc selanjutnya melalui mekanisme retrograde transport menuju ke sistem

saraf tepi dan sistem saraf pusat. Akumulasi PrPsc pada otak menimbulkan lesi

Page 90: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

101

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

spesifik yaitu: degenerasi neuron, vakuolisasi neural bersifat intrasitoplasmik

tanpa diikuti adanya respon radang, sel-sel astrosit mengalami hipertropi dan

hiperplasia (Scott et al., 1990; Williams and Young, 1993; Wells et al., 1994).

Pada sapi menderita BSE agen penyakit banyak ditemukan di jaringan otak,

spinal cord , retina, bagian distal ileum, tonsil dan trigeminal ganglion.

Hasil pengamatan di RPH kabupaten/kota di Bali, NTB dan NTT didapatkan

data bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif masih tinggi. Para ahli

menyebutkan bahwa jenis kelamin sapi bukan merupakan faktor resiko

penularan penyakit BSE, sehingga baik sapi jantan maupun betina mempunyai

peluang yang sama untuk tertular penyakit BSE selama mendapatkan

perlakuan atau mempunyai resiko paparan yang sama.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan.a. Berdasarkan hasil surveilans BSE yang diadakan di RPH yang ada di

kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disimpulkan bahwa

Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari penyakit BSE.

b. Tidak ada indikasi pemberian konsentrat/pakan komersiil untuk dijadikan

pakan ternak sapi.

2. Saran.Sampai saat ini di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum ditemukan adanya

kasus BSE oleh karena itu pengawasan impor MBM dilakukan secara ketat,

begitu juga terhadap distribusi dan penggunaan MBM tersebut.

Page 91: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

102

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R.M., Donnelly, C.A., Ferguson, N.M., Woolhouse, M.E.J., Whatt, C.J., Udy, H.J.,MaWhinney, S., Dunstan, S.P., Southwood, T.R.E., Wilesmith, J.W., Ryan, J.B.M.,Hoinville, L.J., Hillerton, J.E., Austin, A.R and Wells, G.A.H (1996). Transmission dynamicsand epidemiology of BSE in British cattle. Nature. 382. pp. 779-788.

Cooley, W.A., Clark, J.K., Ryder, S.J., Davis, L.A., Farrelly, S.S., and Stack, M.J (2001).Evaluation of a Rapid Western Immunoblotting Procedure for the Diagnosis of BovineSpongiform Encephalopathy (BSE) in the UK. J Comp Pathol. 125(1):64-70.

Debeer, S.O.S., Baron, T.G.M and Bencsik, A.A (2001). Immunohistochemistry of PrPsc withinbovine spongiform encephalopathy brain samples with graded autolysis. The Journal ofHistochemistry & Cytochemistry. 49. pp. 1519-1524.

Gubler, E., Hilbe, M and Ehrensperger, F (2007). Lesion profiles and gliosis in the brainstem of135 Swiss cows with bovine spongiform encephalopathy (BSE). Schweiz ArchTierheilkd.149(3):111-22.

Hartawan, D.H., Wirata, I.K dan Saputra, I.G.N.A.W. (2013). Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Laporan Tahunan. Balai Besar Veteriner DenpasarTahun 2013.

Huang, F.P and MacPherson, G.G (2004). Dendritic cells and oral transmission of priondiseases. Adv. Drug. Deliv. Rev. 56. pp. 901-913.

Putri, T.S.N.H (2004). Langkah Antisipatif Penyakit Eksotis dan Zoonotis dalam PerdaganganInternasional. Wartazoa, Vol. 14 No. 2, pp. 61-64

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Nurlatifah, I., Saraswati, N.K.H, Dharma, D.M.N dan Djusa, E(2010) Surveilans Penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Rumah PotongHewan Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Bulletin Veteriner.Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol. XXII. 76. 33-37

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., dan Uliantara, I.G.A.J (2014) Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur Tahun 2014. Laporan Tahunan. Balai Besar Veteriner DenpasarTahun 2014.

Scott, A.C., Wells, G.A.H., Stack, M.J., White, H. and Dawson, M (1990). Bovine spongiformencephalopathy: detection and quantitation of fibrils, fibril protein (PrP) and vacuolation inbrain. Veterinary Microbiology. 23. pp. 295-304.

Wells, G.A.H., Spencer, Y.I and Haritani. M (1994). Configuration and topographic distributionof PrP in the central nervous system in bovine spongiform encephalopathy: animmunohistochemistry study: Ann NY Acad Sci. 724. pp. 350-352.

Williams, E.S and Young, S (1993). Neuropathology of chronic wasting disease of mule deer(Odocoileus hemionus) and elk (Cervus elaphus nelsoni). Veterinary Pathology. 30. pp. 36-45.

Page 92: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

103

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

PROGRAM MONITORING -SURVEILANS RESIDU DAN CEMARANMIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASAL HEWAN DI PROVINSI BALI,

NTB DAN NTT TAHUN 2018

A.A.S.Dewi, Serly.M., Diana M., P.B.Frimananda, Erni. P, N.Riti., A.Kantari.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Persediaan pangan yang aman dan tidak membahayakan kesehatan konsumen melaluipencemaran biologi, kimia atau yang lain adalah hal penting untuk mencapai status gizi yangbaik Perlindungan konsumen dan pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan olehmakanan (foodborne illness) adalah dua elemen penting dalam suatu program keamananpangan dan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri pangan (produsen)dan konsumen. Program Monitoring-Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba (PMSR-CM) tahun2018 ditargetkan untuk mendukung upaya pembinaan dan pengawasan unit usaha produkhewan (sertifikasi nomor kontrol veteriner) terkait dengan kemanan pangan asal hewan.Pengambilan sampel dilakukan di unit usaha produk hewan yang ber-NKV dan yang menujuNKV antara lain : cold storage, distributor, tempat pengolahan daging (TPD), retail/swalayan,rumah potong hewan (RPH-R) dan rumah potong unggas (RPH-U) dengan total jumlah sampeladalah 1896 sampel. Hasil uji menunjukkan bahwa tingkat cemaran mikroba terutama totaljumlah kuman (TPC) relatif rendah yaitu berkisar 2,7x102_2,8x105 koloni/g bila dibandingkandengan persyaratan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam SNI7388:2009 yaitu1x106 koloni/g. Hasil uji terhadap bakteri patogen menunjukkan bahwa semua sampel tidaktercemar bakteri S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter jejuni. Hal ini mengindikasikanbahwa unit usaha produk hewan tersebut telah menerapkan sanitasi dan hygiene yang baikpada mata rantai proses produksi pangan yang merupakan salah satu penilaian kepatuhan dariunit usaha produk hewan dalam menerapkan NKV. Sementara itu hasil uji terhadap residumenunjukkan bahwa hanya 1 (satu) sampel telur mengandung residu antibiotika dan semuasampel khususnya sampel daging sapi tidak mengandung (negatif) residu hormon trenbolonacetat (TBA) dan residu logam berat timbal (Pb). Dalam surveilans ini juga tidak ditemukanadanya pemalsuan (pencampuran) daging babi dan tikus khususnya pada sampel dagingolahan. Dengan demikian pangan asal hewan tersebut aman untuk dikonsumsi.

Kata kunci : Monitoring, surveilans, Residu , Cemaran Mikroba, Pangan Asal Hewan

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan asal hewan seperti daging, telur dan susu adalah pangan yang

mempunyai nilai gizi tinggi. Karena kandungan gizi yang tinggi tersebut pangan

asal hewan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan

perkembangan mikroba, baik mikroba yang menyebabkan kerusakan pada

daging, telur dan susu maupun mikroba yang menyebabkan gangguan

Page 93: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

104

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

kesehatan pada manusia yang mengkonsumsi pangan asal hewan tersebut.

Selain bahaya biologis, pangan asal hewan juga memiliki potensi mengandung

bahaya kimiawi dan atau fisik yang dikenal sebagi potentially hazardous foods

(PHF). Oleh sebab itu penanganan produk tersebut harus higienis.

Persediaan pangan yang aman dan tidak membahayakan kesehatan konsumen

melalui pencemaran biologi, kimia atau yang lain adalah hal penting untuk

mencapai status gizi yang baik. Perlindungan konsumen dan pencegahan

terhadap penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne illness) adalah

dua elemen penting dalam suatu program keamanan pangan dan merupakan

tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri pangan (produsen) dan

konsumen. Terkait dengan kemanan pangan asal hewan, Balai Besar Veteriner

Denpasar setiap tahun melaksanakan pemeriksaan serta pengujian pangan asal

hewan melalui program PMSR-CM .

Program Monitoring-Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba (PMSR-CM)

tahun 2018 ditargetkan untuk mendukung upaya pembinaan dan pengawasan

unit usaha produk hewan (sertifikasi nomor kontrol veteriner), disamping untuk

menyediakan data dan informasi terkait tingkat keamanan produk hewan

(cemaran mikroba dan residu) yang akan beredar dan akan dikonsumsi oleh

masyarakat. Adapun target pengawasan/surveilans untuk pengukuran tingkat

kepatuhan unit usaha meliputi : unit usaha eksportir produk hewan pangan

(dalam bentuk produk hewan segar), unit usaha importir produk hewan pangan

(dalam bentuk hewan segar), unit usaha importir produk hewan pangan (dalam

bentuk bahan jadi maupun bahan baku untuk kebutuhan industri), serta unit

usaha produk hewan untuk tujuan peredaran domestik.

Target kegiatan monitoring-surveilans tahun 2018 untuk pengujian residu dan

cemaran mikroba. Rancangan target sampel disusun berdasarkan matriks

perencanaan sampling (lampiran 1) dengan pendekatan wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar yang disesuaikan dengan data dukung unit usaha

priorotas di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Unit usaha yang belum memiliki

Page 94: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

105

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

sertifikat NKV menjadi target prioritas untuk dibina ke arah sertifikat NKV,

sedangkan target surveilans ditentukan prioritasnya dari jumlah unit usaha yang

terdata sudah memiliki sertifikat NKV .

Pelaksanaan kegiatan dimulai dengan tahap perencanaan kegiatan dalam

bentuk penyusunan peta sampling kegiatan di wilayah regional BBVet Denpasar,

pemetaan target sampling disusun dengan melibatkan pengawas kesmavet di

tingkat Provinsi serta dukungan laboratorium UPTD Provinsi Bali, NTB dan NTT.

Dengan pendekatan konsep di atas, diharapkan diperoleh hasil keluaran

kegiatan yang lebih terukur dalam menjamin keamanan produk hewan yang

ASUH. Hal ini dikarenakan pelaksanaan kegiatan difokuskan terhadap unit

usaha yang spesifik dengan ukuran parameter penilaian keamanan yang lebih

spesifik, yang pada akhirnya dapat ditentukan rekomendasi tindak lanjut

pembinaan unit usaha yang lebih implementatif, efektif dan efisien.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan yaitu sampai sejauh mana tingkat kepatuhan unit usaha dalam

menerapkan NKV untuk menyediakan pangan asal hewan yang ASUH.

1.3. Tujuan Kegiatan

a. Mengadakan pemantauan (monitoring) terhadap tingkat residu dan

cemaran mikroba pada produk hewan di setiap rantai unit usaha produk

hewan seperti : Rumah Potong Hewan (RPH), processing plan, tempat

penyimpanan/gudang, tempat penjualan/retail.

b. Mengadakan pengamatan (surveilans) terhadap residu dan cemaran

mikroba yang menjadi fokus risiko tertentu pada jenis produk hewan

tertentu di unit usaha tertentu.

c. Mendukung upaya pembinaan dan pengawasan kepatuhan/seurveilans

sertifikasi unit usaha terkait serta pemenuhan persyaratan teknis

kesehatan masyarakat veteriner.

Page 95: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

106

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1.4. Sasaran

Sasaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terwujudnya jaminan

keamanan, kesehatan keutuhan dan kehalalan produk hewan yang dihasilkan

oleh unit usaha pada setiap rantai usaha produk hewan, sehingga menjamin

kualitas dan keamanan produk hewan secara nasional.

1.5. Manfaat

a. Balai Besar Veteriner Denpasar mampu melakukan perancangan konsep

monitoring di wilayah kerja, melakukan pengambilan contoh, serta

melaksanakan pengujian produk asal hewan yang sesuai dengan kaidah

ilmiah yang ditetapkan sehingga diperoleh hasil pengujian yang akurat.

b. Laporan hasil monitoring-surveilans dari hasil pengujian laboratorium

dapat dipakai oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai

dasar untuk mendapatkan gambaran situasi keamanan dan mutu produk

hewan di wilayahnya, yang kemudian secara strategis dapat menentukan

langkah kebijakan dalam rangka mencegah, menurunkan, atau

meminimalkan tingkat kejadian kontaminasi mikroba dan residu bahan

berbahaya pada produk hewan diwilayahnya.

c. Pelaku usaha produk hewan memperoleh manfaat melalui kepastian

pengukuran keamanan dan kualitas produk yang memenuhi persyaratan

teknis dengan dukungan kegiatan ini, sehingga memberikan dampak

positif terhadap kepastian usaha. Pada akhirnya melalui program ini

dapat mendukung upaya Pemerintah dalam memberikan jaminan

keamanan dan ketentraman batin bagi masyarakat konsumen terhadap

ketersediaan produk hewan yang ASUH.

Page 96: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

107

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1.6. Analisa resiko PMSR-CM

Tabel 1 .Analisa resiko PMSR-CM

Produk Risiko Sampling unit JenisSampel Ketelusuran

TPC/ALT Pengumpul/Pengemas telur

Telurutuh

Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik

Pengumpul/Pengemas telur

Telurutuh

Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilikSalmonella sp

Pengumpul/Pengemas telur

Telurutuh

Enterobacteriaceae

Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik

Telur ayamkonsumsi

(ayamkomersial)

Residu obat(screeningantibiotik)

Pengumpul/Pengemas telur

Telurutuh

Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik

Residu Hormon* RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam

Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik

E. coli RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam

Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik

Skreening ResiduAB RPH/Cold storage Dg.sapi,

Dg. ayam

Logam berat RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam

Salmonella sp RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam

Karkas

S.sureus RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam

Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik

ALT Retail, distributor Baso,sosis

Nama dan Lokasiunit usaha, bahanbaku daging olahan

Enterobacteriaceae Retail, distributor Baso,sosis

Salmonella sp Retail, distributor Baso,sosis

Olahan daging

S.aureus Retail, distributor Baso,sosis

Nama dan Lokasiunit usaha, bahanbaku daging olahan

Olahan daging Pemalsuan (IDspesies) Retail, distributor Baso,

sosis

Nama dan Lokasiunit usaha, bahanbaku daging olahan

SurveilansAMR padaproduk hewan

Isolat E,coli RPH-U/TPH-U SekumNama dan lokasiunti usaha, pemilik,sumber unggas

Page 97: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

108

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1.7. Analisa Resiko Kegiatan Surveilans dan Monitoring PMSR-CM

Tabel 2. Analisa Resiko Kegiatan Surveilans dan Monitoring PMSR-CM

No. Risiko Manajemen Risiko/Solusi1 Jumlah target sampel tidak

tercapaiBerkoordinasi dengan dinas terkaitkepastian jumlah unit usaha yangakan di sampling

2. Waktu pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdirencanakan

Berkoordinasi dengan dinas terkaitserta dinas dinas terkait denganpeternak mengenai kepastianwaktu pengambilan sampelsebelum menuju lokasipengambilan sampel.

3. Jadwal transportasi kekabupaten/kota yang akandikunjungi tidak sesuai denganwaktu kegiatan yang direncanakan( kendala non teknis)

Berkoordinasi ulang dengan dinasterkait mengenai penjadwalanulang waktu kegiatan pengambilansampel termasuk kepada pemilikunit usaha agar dapatmenyesuaikan perubahan jadwalkegiatan.

4. Surat pemberitahuan tentangjadwal surveilans dan monitoringtidak sampai/terlambat diterimaoleh dinas kabupaten/kota yangakan dituju

Koordinasi dengan dinas terkaitatau kontak person sebelum harikeberangkatan dengan saranatelekomunikasi yang tersediamengenai jadwal pengambilansampel yang akan dilakukan .

5. Rusaknya sample yang diambildilapangan karena tidaktersedianya sarana penyimpanana(mesin pendingin) yang layakdilokasi pengambilan sampel

Sampel dapat kita titipkan padadinas terkait/ petugas dilapangan/tempat menginap agardisimpan dalam mesin pendinginselanjutnya dalam perjalanan agarmenggunakan es batu/ice packuntuk menjaga sampel tetap dalamkeadaan baik sampai dilaboratorium.

Page 98: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

109

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1.8. Analisa Resiko Pengujian PMSR-CM

Tabel 3. Analisa Resiko Pengujian PMSR-CM

No. Risiko Manajemen Risiko/Solusi1. Bahan kimia yang digunakan

untuk pengujian telah habis/kadaluarsa

Berkoordiansi dengan panitiapengadaan BBVet Denpasar agarbahan kima tersebut segeradiadakan, untuk sementara lakukanpeminjaman pada laboratoriumlaiinya di lingkungan BBvet Denpasar.

2. Peralatan pengujian ada yangrusak/ belum tersedia

Berkoordiansi dengan panitiapengadaan BBVet Denpasar agarperalatan tersebut segera diadakan,untuk sementara lakukan peminjamanpada laboratorium laiinya dilingkungan BBvet Denpasar.

II. MATERI DAN METODA

2. 1 Materi

2.1.1. Bahan

Jenis sampel yang diambil adalah daging sapi, daging babi, daging bebek,

daging olahan, telur ayam dan sekum. Total sampel daging dan telur adalah

1896 dan total sekum adalah 300 sampel.

Sedangkan bahan (media) yang diperlukan untuk pengujian cemaran mikroba

(TPC) mencakup plate count agar (PCA), BPW 0,1%.

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian Salmonella sp antara lain lactose broth,

tetra thionate broth, bismuth sulfit agar, xylose lysine desoxycholate agar,

hektoen enteric agar, triple sugar iron agar, lysine iron agar.

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian E.coli antara lain : Lauryl sulfate

tryptose broth, brilliant green lactose bile broth, Escherichia coli broth, levine’s

eosin methylene blue (L-EMB) agar, plate count agar, MR-VP broth, koser’

citrate broth, tryptone broth, reagen kovac’s, reagen pewarnaan gram, reagen

metyl red indikator, reagen voges proskauer.

Page 99: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

110

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian S.aureus dan Campylobacter sp antara

lain : Baird parker agar, egg yolk tellurite emultion, heart infusion broth, TSA,

koagulase plasma kelinci dengan EDTA 0,1%, BPW 0,1%,campylobacter

enrichment broth, modified campy blood-free agar (mCCDA), pepton 0,1%

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian residu antibiotika, residu hormon

trenbolon acetat, logam berat dan identifikasi bakteri Campylobacter jejuni ,

identifikasi spesies babi dan tikus mencakup bakteri (Bacillus cereus ATCC

11778, Bacillus subtilis ATCC 6633, Bacillus stearothermophillus ATCC 7953

dan Kocuria rizophilla ATCC 9341, Campylobacter jejuni ATCC 33560), bacto

pepton, bacto agar, beef extract, yeast extract, glucosa, dextrosa, tryptone, tert

butylmetylether, enzim β- glucoronidase, kit elisa TBA, kit elisa aflatoksin M1,

HNO3, primer babi (Forward 5’ ATG AAA CAT TGG AGT AGT CCT ACT ATT

TAC C 3’, Reverse 5’ CTA CGA GGT CTG TTC CGA TAT AAG G 3’) ukuran

2.1.2. Alat

Peralatan yang dibutuhkan antara lain : pinset, gunting, termos dingin, cawan

petri, incubator, freezer, refrigerator, stomacher, timbangan analitik, anaerobic

jar/incubator CO2, mikro pipet, pipet volumetrik, tabung reaksi, tabung durham,

tabung volumetrik, labu erlenmeyer, ose, api bunsen, pH meter, biosafety

cabinet, laminar air flow, autoclave, gelas ukur, oven, colony counter,

mikroskop, evaporator, homogenizer, elisa reader, AAS, termocycler,

elektroforesis, microwave digestion system, fume hood.

2.2 Metode

2.2.1 Metode surveilans

2.2.1.1 Pemilihan lokasi

Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji cemaran mikroba, residu

antibiotika, residu logam berat, residu hormone trenbolon acetat dan pemalsuan

daging (Identifikasi spesies) adalah unit-unit usaha yang sudah memiliki sertifikat

NKV dan beberapa unit usaha yang belum memiliki sertifikat NKV (didorong

Page 100: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

111

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

untuk memiliki sertifikat NKV) yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar (data selengkapnya dalam Tabel 4).

2.2.1.2. Metode sampling

Pemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu

lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya. Alokasi tempat pengambilan

sampel berdasarkan pertimbangan adanya RPH/TPH, retail, distributor dan cold

storage. Pemilihan sampel daging, daging olahan dan telur pada unit-unit

usaha dilakukan secara random sederhana

2.2.1.3 Penanganan dan transportasi sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis. Sampel yang diperoleh disimpan

dan ditransportasikan pada suhu dingin, sedangkan sampel telur diletakkan

dalam wadah telur.

Tabel 4. Nama dan Jenis Unit Usaha yang disampling

1. Provinsi Bali

Nama Unit Usaha No. NKV Jnis UnitUsaha Kab/Kota Jenis

SampelJumlahSampel

PT. CanningIndonesianProduct

TPD-5109030-17 TPD (II) Denpasar Dg.olahan17

Titiles TPD-5109030-16 TPD (III) Denpasar Dg.olahan 22UD. Budi ID-5109031-54 Distributor Denpasar Dg. ayam 20Tiara Dewata KD-5109030-27 Retail Denpasar Dg. sapi 20RPH-KotaDenpasar

RPH-R-5109010-44

RPH-R Denpasar Dg. sapi 21

Titillestari TPD-5109010-21 TPD (II) Denpasar Dg.olahan 25CV. Classic FineFoods ID-5109030 -52 Importir (II) Denpasar Dg. sapi 35

PT. SoejaschBali

TPD-510903030-25

TPD (II) Denpasar Dg. sapi,Dg. ayam 65

PT. Dwi Boga TPD-5109030-24 TPD (III) Denpasar Dg.olahan 68

UD Matu IT-5109031-47 Retail/Pelabelan telur Denpasar Telur

ayam25

PT. HaviIndonesia ID-5109030-42

Distributorbahanmakanan

DenpasarDg.olahan 35

PT. MasuyaGraha TriKencana

- Denpasar Dg. sapi 23

UD DewiUnggas ID-510902045 Distributor Denpasar Dg. ayam 22

Page 101: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

112

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

UD Jaya Baru IT-5109030-42 Retail telur Denpasar TelurAyam 20

PT. Dineta Jaya ID-5109010-48 Importir/Distri-butor daging

Denpasar DagingSapi 40

PT. LotteShoppingIndonesia

ID-510901014 Cold Storage(II)

Denpasar Dg danDg.olahan 96

PT. Alam BogaInternusa ID-517101003

Distributormakanan dlmkemasan

DenpasarDg. sapi 40

PT. Aroma DutaRasa Prima TPD-510903015 TPD (II) Denpasar Dg.

olahan 140

PT. Puri PanganUtama ID-5109010-28

Distributor/Coldstorage

Denpasar Dg.Bebek 12

Supra Dinasti - Distributor Denpasar Dg.olahan 30

PT. Lotustrad ID-5103010-11 Importir (Coldstorage ) (I) Badung Dg. sapi 25

PT. Kulina BaliUtama ID-5103010-08

Supplier dagingdan minuman(II)

Badung Dg. Sapi 28

PT. MatahariPutra KD-5103020-19 Retail (Cold

storage (I) Badung Dg danDg.olahan 24

PT. Wahana BogaNusantara ID-5103010-13 Importir (Cold

storage ) (II) Badung Dg. sapi 25

CV. Bayu Lestari ID-5103010-18 Importir (Coldstorage ) (I) Badung Dg. sapi 25

CV. Megah FoodTrading ID-5103020-13 Cold storage

(II) Badung Dg. sapi 39

PT. Satria PanganSejati TPD-5103020-10 TPD (II) Badung Daging 67

PT. Sukanda Jaya ID-5103020-22 Distributor (II) Badung Dg.olahan 106

Carrefour ID-5103020-22Retail/kiosdaging danhasil olahan

Badung Dg danDg.olahan 76

PT. Eloda Mitra ID-5103020-22

Distributormakanandalamkemasan

BadungDagingOlahan 35

RPH MambalTPU Mambal

RPH-R-5103050-32

-

RPH-RTPU Unggas

Badung Dg, sapiSekum

2515

TPU- unggas - TPU -Unggas Denpasar Sekum 100TPU-unggas - TPU-unggas Badung Sekum 50PT. Ciomas AdiSatwa RPU-5102040-09 RPU (II) Tabanan Dg. ayam

Sekum275

UD Rasmin Jaya RPU-5102030-23 RPU (II) Tabanan Dg. ayamSekum

275

PT Kiat AnandaCold storage CS-5104010-56 Cold Storage Gianyar Dg. sapi 39

Page 102: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

113

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

2. Provinsi NTB

Nama UnitUsaha No. NKV Jnis Unit

Usaha Kab/Kota JenisSampel

JumlahSampel

UD. Lalo Desa - Retail Sumbawa Dg. sapi 28TPU Unggas - TPU Unggas Bima sekum 50PT. Sukanda Jaya ID-527102002 Distributor Mataram Dg. sapi 25Giant ExpressPanji Tilar

KD-527101104 Mataram Dg. sapi ,Dg.olahan

35

TPU Unggas - TPU Unggas Mataram sekum 50RPH Bangkong - RPH-R Sumbawa Dg. sapi 25TPU Unggas - TPU Unggas Sumbawa Sekum 25

3. Provinsi NTT

Nama Unit Usaha No. NKV Jnis UnitUsaha Kab/Kota Jenis

SampelJumlahSampel

HypermartBundaran PU 5371030012-003 Cold storage Kota

KupangDaging danDg.olahan 30

KFC Flobamora 5371030011-001 Cold storage KotaKupang Dg. ayam 22

Hypermart El Tari 5371030010-005 Cold storage KotaKupang

Daging danDg.olahan 26

KFC Frans Seda 5371040013-007 Cold storage KotaKupang Dg. ayam 22

UD Ratna Mulia - Retail KotaKupang Telur ayam 75

PT. Unggas TimorJaya - Retail Kota

Kupang Telur ayam 25

CV. Aldia - Retail KotaKupang

Daging danDg.olahan 76

RPH Oeba RPH-R KotaKupang Daging sapi 5

2.2.2. Pengujian sampel

a. Cemaran mikroba (TPC, Coliform, E.coli, S.aureus, Salmonella sp

Campylobacter sp. (SNI 2897 : 2008)

Masing-masing sampel ditimbang sebanyak 25 gram, kemudian

dimasukkan dalam mwadah steril, ditambahkan 225 ml BPW 0,1% dan

dihomogenkan selama 1-2 menit (10-1) selanjutnya dibuat pengenceran seri

berkelipatan 10. Dipipet sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran tersebut

dan dituangkan ke dalam cawan petri steril. Kemudian dituangkan 12-15 ml

plate count agar dan diinkubasikan pada suhu 350C selama 24-48 jam

Koloni yang tumbuh dihitung sebagai Total Plate Count (TPC).

Page 103: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

114

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Untuk pengujian bakteri Coliform yaitu sampel dari setiap pengenceran 10-

1, 10-2, 10-3 masing-masing diambil 1 ml, dituangkan ke dalam 3 tabung

yang berisi tabung durham dan 9 ml lauryl sulfate trptose broth (LSTB)

Tabung-tabung tersebut diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 350C.

Gas yang terbentuk pada tabung-tabung ini adalah hasil positif dalam uji

pendugaan untuk bakteri Coliform. Selanjutnya dilakukan uji peneguhan

dengan mengambil 1 loop biakan dari tabung LSTB yang positif ke tabung-

tabung brilliant green lactose bile broth (BGLBB) yang diinkubasikan pada

suhu 350C selama 48 ± 2 jam. Bakteri Coliform ditentukan dengan nilai

MPNnya (Most Probable Number) berdasarkan jumlah tabung-tabung yang

mengandung gas pada tabung BGLBB.

Pengujian bakteri E.coli dilakukan dengan mengambil 1 loop dari setiap

tabung LSTB yang positif ke tabung EC broth yang berisi tabung durham

dan diinkubasikan pada suhu 45,50C selama 24-48 jam ± 2 jam. Tabung-

tabung yang menghasilkan gas dinyatakan positif dan diduga bakteri

E.coli. Uji peneguhan dilakukan dengan mengambil 1 loop dari biakan EC

broth yang positif kemudian dibuat goresan pada media L-EMB dan

diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Koloni tersangka dari

masing-masing L-EMB dipindahkan ke PCA miring untuk uji morphologi

dan biokimia. Bakteri E.coli dihitung dengan nilai MPN berdasarkan jumlah

tabung dalam pengenceran EC broth yang positif.

Pengujian Staphylococcus aureus, sampel dari setiap pengenceran

diambil masing-masing sebanyak 1 ml (terbagi dalam 0,4 ml, 0,3 ml, 0,3

ml) dipupuk pada media BPA yang telah ditambahkan egg yolk.,

diinkubasikan pada suhu 350C selama 45-48 jam. Jika dalam pupukan

ditemukan koloni yang khas S.aureus, maka koloni tersebut diisolasi dan

dilarutkan dalam 0,2-0,3 ml BHI broth, kemudian diinkubasikan pada suhu

350C selama 18-24 jam. Sebanyak 0,5 ml koagualse plasma kelinci

ditambahlan ke biakan BHI broth dan diaduk, selanjutnya diinkubasikan

pada suhu 350C dan diperiksa setiap 6 jam untuk melihat terbentuknya

gumpalan.

Page 104: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

115

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Pengujian bakteri Salmonella sp (S.enteritidis) sebanyak 25 gram sampel

ditambahkan 225 ml lactose broth, diinkubasikan pada suhu 350C selama

24 jam ± 2 jam. Dari larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam

10 ml tetrathionate broth (TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24

± 2 jam. Dari media tersebut diambil 1 loop digoreskan pada media HE,

XLD dan BSA, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Koloni

yang khas untuk bakteri Salmonella sp diuji pada media TSIA dan LIA.

Koloni yang dicurigai diuji dengan reaksi biokimia dan serologi.

Pengujian bakteri Campylobacter sp, sebanyak 25 gram sampel dan

ditambah 100 ml pepton 0,1%, dicentrifus dingin 16 000 rpm selama 15

menit kemudian supernatannya dibuang. Selanjutnya dipindahkan 3 ml

endapan ke dalam botol sentrifus steril yang berisi 100 ml enrichment

broth. Suspensi tersebut diinkubasikan pada suhu 370C selama 4 jam

dalam kondisi anaerobik. Temperatur inkubasi dinaikkan menjadi 420C

selama 24 jam. Dari suspensi tersebut dibuat pengenceran 1:100 (0,1 ml

dimasukkan ke dalam 9,9 ml pepton 0,1% pepton). Digoreskan 2 ose dari

suspensi ke media agar mCCDA, diinkubasikan pada suhu 420C selama

24-48 jam dalam kondisi anaerobic.

b. Residu antibiotika (bioassay) (SNI 7424 : 2008)

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dipotong kecil-kecil ditambahkan

pelarut dapar fosfat sebanyak 20 ml dan disentrifus. Setelah disentrifus

diambil supernatannya. Kertas cakram diletakkan di atas media yang telah

ditambahkan bakteri uji sesuai dengan jenis antibiotika yang akan diuji,

kemudian ditetesi dengan suspensi sampel dan kontrol antibiotika

sebanyak 75 ul, diinkubasikan selama 16-18 jam untuk golongan

makrolida dan aminoglikosida pada temperatur 360C ± 10C, golongan

tetrasiklin pada temperatur 300C ± 10C dan golongan penisillin pada

temperatur 550C ± 10C. Diameter hambatan yang terbentuk pada sampel

sebaiknya berada dalam kisaran kurva baku, apabila diameter hambatan

yang terbentuk melebihi nilai kurva baku maka sampel harus diencerkan.

Page 105: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

116

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

d. Uji logam berat (Kuantitatif)

Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan diletakkan dalam tabung

microwave. Sampel ditambahkan 5 ml HNO3, kemudian destruksi di dalam

microwave. Selanjutnya pindahkan larutan hasil destruksi ke dalam labu

takar 50 ml. Bilas labu destruksi 3 kali masing-masing dengan 5 ml air

deionisasi. Tepatkan dengan asam nitrat 0,1 M. Selanjutnya sampel

dianalisa dengan Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS).

e. Uji hormon trenbolon

Sebanyak 10 gram sampel di ekstraksi dan dipurifikasi, selanjutnya

dilakukan uji Elisa : ditambahkan 20 ul tiap-tiap larutan standard atau

sampel dan ditambahkan 50 ul larutan enzim conjugate pada masing-

masing lobang plate (well). Selanjutnya ditambahkan 50 ul larutan anti-

trenbolon antibody pada masing-masing well, plate dikocok secara manual

dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian di cuci dengan

aquadest sebanyak 2 kali.

Pada masing-masing well ditambahkan 50 substrat dan 50 ul cromogen,

dikocok pelan-pelan secara manual, diinkubasi pada suhu kamar selama

30 menit dalam ruangan gelap. Selanjutnya ditambahkan 100 ul stop

solution pada masing-masing well. Setelah 30 menit, plate dibaca pada

filter 450 nm.

g. Uji Identifikasi spesies (ID spesies babi dan tikus)

Uji Identifkasi spesies menggunakan metode PCR.

Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan Purelink Viral RNA/DNA

minikit. Volume total reaction mix dalam tube PCR adalah 25 ul yang terdiri

atas 20 ul Master mix dan 5 ul template DNA. Thermocycler disiapkan

dengan program sebagai berikut : predenaturasi (suhu 940C selama 2

menit), denaturasi (suhu 940C selama 30 detik), annealing (550C selama

30 detik), dan ekstensi (720C selama 1 menit) kemudian ditunggu hingga

proses PCR selesai.

Page 106: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

117

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Produk PCR kemudian diperiksa dengan elektroforesis gel agarose.

Agarose gel 1% dengan 1 x TBE (Tris Boric EDTA) ditambah 10 ul

ethidium bromide solution. Selanjutnya Run elektroforesis 125 volt, 400

mA selama 35 menit. Visualisasi (untuk melihat pita gen target) digunakan

transluminator ultraviolet dan hasilnya didokumentasikan dengan kamera.

Analisis hasil amplifikasi berdasarkan ukuran dari masing-masing fragmen

atau pita DNA dibandingkan dengan posisi pita dari marker. Hasil

amplifikasi daging babi dengan panjang amplikon 149 bp dan daging tikus

188 bp.

III. HASIL

Hasil uji Total Plate Count (TPC) terhadap 224 sampel pangan asal hewan yang

terdiri atas : daging segar/beku, daging olahan dan telur ayam yang berasal dari

unit-unit usaha produk hewan yang berlokasi di Provinsi Bali, NTB dan NTT nilai

TPC nya berkisar antara 2,7x102_2,8x105 koloni/g untuk sampel daging

segar/beku, 2,0x101-2,8x105 koloni/g untuk sampel daging olahan dan 2,7x102-

9,6x102 koloni/g untuk sampel telur ayam. Hasil selengkapnya tersaji dalam

tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Hasil uji Total Plate Count (TPC) sampel daging dan telur asal unit-unitusaha produk hewan di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018

Provinsi Jenis UnitUsaha

Jenissampel

Jumlahsampel

Nilai TPC(koloni/g)

Interpretasi nilaiTPC

(∑< BMCM)Dg.olahan 45 2,0x101 - 4,8x103 45Dg.ayam 5 1,1x103 - 9,5x103 5

TPD (TempatPengolahanDaging) Dg. babi 5 7,8x102 - 9,6x104 5

Dg.ayam 10 3,1x102 - 2,8x105 10Dg.bebek 2 1,1x103 - 2,0x103 2Dg.sapi 15 4,9x103 - 6,2x103 15Dg.olahan 12 5,9x102 - 1,2x103 12

Distributor

Telurayam

5 4,7x102 - 9,6x102 5

Dg.sapi 5 2,7x102 - 4,8x103 5Retail/swalayanTelurayam

5 2,7x102 - 9,2x102 5

Dg.ayam 5 8,0x103 - 1,3x104 5

Bali

Cold storageDg. babi 5 1,3x103 - 8,6x103 5

Page 107: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

118

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Dg.olahan 5 3,9x102 - 7,3x104 5Dg.sapi 19 3,0x102 - 1,9x104 19

Supplier daging Dg.sapi 2 9,9x103 - 1,1x104 2Retail Dg.sapi 2 6,6x104 - 8,7x104 2RPH-R Dg.sapi 2 2,1x104 - 1,7x105 2

NTB

Cold storage Dg.sapi 2 3,2x103 - 8,0x103 2RPH-R Dg.sapi 5 1,8x104 - 1,1x105 5

Dg.sapi 5 7,7x102 - 1,8x103 5DistributorDg.olahan 5 6,0x102 - 3,8x103 5Dg.olahan 16 8,4x103 - 4,7x103 16Dg.ayam 14 1,4x104 - 1,3x105 14

Retail

Telurayam

20 1,2x102 - 8,2x103 20

Dg.ayam 4 1,2x103 - 1,4x104 4

NTT

Cold storageDg.olahan 4 3,5x101 - 9,4x102 4

Total 224 224 (100%)Keterangan : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam StandardNasional Indonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji TPC pada dagingsegar/beku : 1x106 koloni/g, daging olahan : 1x105 koloni/g dan telur segar :1x105 koloni/g.

Dalam tabel 2 dan 3 masing-masing disajikan hasil uji Coliform dan E.coli

sampel daging dan telur. Nilai Coliform terhadap 227 sampel rata-rata <3,6

MPNg dan nilai E.coli terhadap 327 sampel berkisar antara <3,6 – 9,2 MPN/g.

Tabel 2. Hasil uji Coliform sampel daging dan telur asal unit-unit usaha produkhewan di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018

Provinsi Jenis Unit Usaha Jenis Sampel JumlahSampel

NilaiColiform(MPN/g)

Interpretasinilai Coliform(∑< BMCM)

Dg.olahan 40 <3,6 40Dg.ayam 10 <3,6 5Dg.babi 5 <3,6 5

TPD (TempatPengolahan Daging)

Dg.sapi 5 <3,6 5Dg.olahan 25 <3,6 25Dg.sapi 14 <3,6 14Dg.bebek 2 <3,6 2Dg.kambing 2 <3,6 2

Distributor

Telur ayam 5 <3,6 5Dg.sapi 13 <3,6 13Dg.ayam 5 <3,6 5Dg.babi 5 <3,6 5

Cold storage

Dg.olahan 3 <3,6 3Dg.sapi 4 <3,6 4Retail/swalayanDg.olahan 8 <3,6 8Dg.ayam 10 <3,6 10

Bali

RPH-UDg.sapi 2 <3,6 2

Page 108: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

119

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Cold storage Dg.sapi 2 <3,6 2NTBDistributor Dg.olahan 5 <3,6 5RPH-R Dg.sapi 2 <3,6 2

Dg.sapi 2 <3,6 2DistributorDg.olahan 5 <3,6 5Dg.olahan 15 <3,6 15Dg.ayam 14 <3,6 14

Retail

Telur ayam 20 <3,6 20

NTT

Cold storage Dg.olahan 4 <3,6 4Total 227 227 (100%)

Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji Coliform pada dagingsegar/beku : 1x102 koloni/g, daging olahan : 10/g, dan telur segar 1x102 koloni/g.

Tabel 3. Hasil uji E.coli sampel daging dan telur asal unit-unit usaha produkhewan di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018

Provinsi Jenis UnitUsaha

JenisSampel

JumlahSampel

NilaiE.coli

(MPN/g)

Interpretasinilai E.coli

(∑ < BMCM )Dg.olahan 43 <3,6 43Dg.ayam 10 <3,6 10Dg.babi 5 <3,6 5

TPD (TempatPengolahanDaging)

Dg.sapi 2 <3,6 2Dg.ayam 10 <3,6 10Dg.olahan 25 <3,6 25Dg.sapi 27 <3,6 27Dg.kambing 2 <3,6 2

Bali

Distributor

Dg.bebek 2 <3,6 2Telur ayam 5 <3,6 5Dg.sapi 9 <3,6 9Dg.olahan 8 <3,6 8

Retail/swalayan

Telur ayam 5 <3,6 5Supplier daging Dg.sapi 5 <3,6 5

Dg.sapi 28 <3,6 28Dg.ayam 6 <3,6 6Dg.babi 5 <3,6 5

Cold storage

Dg.olahan 5 <3,6 5RPH-R Dg.sapi 10 <3,6 10RPH-U Dg.ayam 10 <3,6 10Retail Dg.sapi 5 <3,6 5RPH-R Dg.sapi 5 <3,6 5Cold storage Dg.sapi 5 <3,6 5

NTB

Retail Dg.olahan 5 <3,6 5RPH-R Dg.sapi 5 9,2 5NTTDistributor Dg.olahan 5 <3,6 5

Page 109: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

120

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Dg.sapi 5 <3,6 5Dg.olahan 5 <3,6 5Telur ayam 20 <3,6 20Dg.olahan 11 <3,6 11

Retail

Dg.ayam 14 <3,6 14Dg.olahan 4 <3,6 4Dg. sapi 4 <3,6 4

Cold storage

Dg.ayam 12 <3,6 12Total 327 327 (100%)

Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji E.coli pada daging segar/beku :1x101 koloni/g, daging olahan : <3/g, dan telur segar 1x101 koloni/g.

Selanjutnya hasil uji terhadap cemaran bakteri S.aureus, Salmonella sp danCampylobacter sp masing-masing tersaji dalam tabel 4,5 dan 6 di bawah ini.

Tabel 4. Hasil uji S.aureus sampel daging asal unit-unit usaha produk hewan diwilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018

Provinsi Jenis UnitUsaha

JenisSampel

JumlahSampel

NilaiS.aureus(Koloni/g)

Interpretasinilai S.aureus

(∑ <BMCM)Dg.olahan 48 <10 48Dg.sapi 5 <10 5Dg.ayam 10 <10 10

TPD (TempatpengolahanDaging)

Dg.babi 5 <10 5Dg.ayam 10 <10 10Dg.sapi 22 <10 22Dg.bebek 2 <10 2Dg.kambing 2 <10 2

Distributor

Dg.olahan 25 <10 25Dg.sapi 9 <10 9RetailDg.olahan 8 <10 8

Suppier daging Dg.sapi 6 <10 6Dg.sapi 30 <10 30Dg.ayam 6 <10 6Dg.babi 5 <10 5

Cold storage

Dg.olahan 5 <10 5RPH-U Dg.ayam 10 <10 10

Bali

RPH-R Dg.sapi 5 <10 5Distributor Dg.olahan 5 <10 5Retail Dg.sapi 5 <10 5Cold storage Dg.sapi 5 <10 5

NTB

RPH-R Dg.sapi 5 <10 5Dg.olahan 16 <10 16NTT RetailDg.ayam 14 <10 14

Page 110: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

121

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Dg.olahan 5 <10 5DistributorDg.sapi 5 <10 5Dg.olahan 4 <10 4Dg.sapi 4 <10 4

Cold storage

Dg.ayam 12 <10 12RPH-R Dg.sapi 5 <10 5

Total 298 298 (100%)

Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji S.aureus pada dagingsegar/beku dan daging olahan : 1x102 koloni/g.

Tabel 5. Hasil uji Salmonella sp sampel daging dan telur asal unit-unit usahaproduk hewan di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018

Provinsi Jenis UnitUsaha

JenisSampel

JumlahSampel

Hasil UjiSalmonella

sp∑ sesuaiBMCM

Dg.olahan 43 Negatif 43Dg.ayam 10 Negatif 10Dg.babi 5 Negatif 5

TPD (TempatPengolahanDaging)

Dg.sapi 2 Negatif 2Dg.ayam 10 Negatif 10Dg.olahan 25 Negatif 25Dg.sapi 27 Negatif 27Dg.kambing 2 Negatif 2

Bali

Distributor

Dg.bebek 2 Negatif 2Telur ayam 5 Negatif 5Dg.sapi 9 Negatif 9Dg.olahan 8 Negatif 8

Retail/swalayan

Telur ayam 5 Negatif 5Supplier daging Dg.sapi 5 Negatif 5

Dg.sapi 28 Negatif 28Dg.ayam 6 Negatif 6Dg.babi 5 Negatif 5

Cold storage

Dg.olahan 5 Negatif 5RPH-R Dg.sapi 10 Negatif 10RPH-U Dg.ayam 10 Negatif 10Retail Dg.sapi 5 Negatif 5RPH-R Dg.sapi 5 Negatif 5Cold storage Dg.sapi 5 Negatif 5

NTB

Retail Dg.olahan 5 Negatif 5RPH-R Dg.sapi 5 Negatif 5

Dg.olahan 5 Negatif 5NTT

DistributorDg.sapi 5 Negatif 5

Page 111: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

122

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Dg.olahan 5 Negatif 5Telur ayam 20 Negatif 20Dg.olahan 11 Negatif 11

Retail

Dg.ayam 14 Negatif 14Dg.olahan 4 Negatif 4Dg. sapi 4 Negatif 4

Cold storage

Dg.ayam 12 Negatif 12Total 327 327

(100%)

Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji Salmonella sp pada dagingsegar/beku, daging olahan dan telur segar : Negatif/25g.

Tabel 6. Hasil uji Campylobacter jejuni sampel daging ayam asal unit- unit usahadi Provinsi Bali dan NTT th 2018

Provinsi Jenis UnitUsaha

Jenissampel

Jumlahsampel

Hasil UjiCampylobacter

∑ sesuaiBMCM

Bali TPD Dg.ayam 5 negatif 5NTT Cold storage Dg.ayam 12 negatif 12Total 17 17 (100%)

Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji Campylobacter sp pada dagingsegar/beku : Negatif/25g.

Sementara itu hasil uji residu antibiotika terhadap 158 sampel daging dan telur,

menunjukkan sebanyak 1 sampel telur ayam (0,6%) positif mengandung residu

antibiotika golongan penisillin dan golongan makrolida. Hasil selengkapnya

tersaji dalam tabel 7 di bawah ini.

Page 112: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

123

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 7. Hasil uji residu antibiotika sampel daging dan telur asal uni-unit usahaproduk hewan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2018

Hasil Uji Residu Antibiotika(∑ posisif)Provi

nsiJenis Unit

UsahaJenis

sampel

Jumlah

sampel

Penisillin

Tetrasiklin

Aminoglikosida

Makrolida

Dg.ayam 7 0 0 0 0Dg.sapi 19 0 0 0 0Dg bebek 2 0 0 0 0Dg.kambing 2 0 0 0 0

Distributor

Telur ayam 5 0 0 0 0Dg.sapi 9 0 0 0 0RetailTelur ayam 5 1 0 0 1Dg.ayam 10 0 0 0 0Dg.babi 5 0 0 0 0

TPD

Dg.sapi 5 0 0 0 0Supplier Dg.sapi 2 0 0 0 0

Dg.sapi 16 0 0 0 0Dg.ayam 5 0 0 0 0Dg.babi 5 0 0 0 0

Coldstorage

Dg.olahan 2 0 0 0 0RPH-U Dg.ayam 4 0 0 0 0

Bali

RPH-R Dg.sapi 4 0 0 0 0Retail Dg.sapi 5 0 0 0 0Coldstorage

Dg.sapi 2 0 0 0 0NTB

RPH-R Dg.sapi 2 0 0 0 0Distributor Dg.sapi 2 0 0 0 0

Telur ayam 20 0 0 0 0Dg.ayam 13 0 0 0 0

Retail

Dg.olahan 1 0 0 0 0Coldstorage

Dg.olahan 4 0 0 0 0

NTT

RPH-R Dg.sapi 2 0 0 0 0Total 158 1

(0,6%)0

(0,0%)0

(0,0%)1

(0,6%)

Dalam tabel 8 tersaji hasil uji residu logam berat Timbal (Pb) terhadap 54

sampel daging sapi. Hasil uji menunjukkan semua sampel (100%) negatif residu

Timbal (Pb). Sedangkan dalam tabel 9 disajikan hasil uji residu hormon

trenbololon acetat (TBA) terhadap 38 sampel daging sapi. Hasil uji menunjukkan

semua sampel (100%) negatif residu hormone TBA.

Page 113: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

124

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 8. Hasil uji Residu Logam berat Timbal (Pb) sampel daging sapi asal unit-unit usaha produk hewan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2018

Provinsi Jenis UnitUsaha

Jenissampel

Jumlahsampel

Nilai Absorpsi(ppm)

∑<BMR

Retail Dg.sapi 2 (-0,099) - (-0,111) 2Distributor Dg.sapi 17 (-0,013) - (-0,063) 17Cold storage Dg.sapi 11 (-0,086) - (-0,165) 11Supplierdaging

Dg.sapi 2 (-0,136) - (-0,146) 2

TPD Dg.sapi 2 (-0,017) - (-0,029) 2

Bali

RPH-R Dg.sapi 4 (-0,001) - (-0,099) 4Retail Dg.sapi 2 (-0,122) - (-0,165) 2Cold storage Dg.sapi 2 (-0,003) - (-0,012) 2

NTB

RPH-R Dg.sapi 2 (-0,005) - (-0,004) 2Retail Dg.sapi 2 (-0,115) - (-0,131) 2Distributor Dg.sapi 2 (-0,042) - (-0,181) 2Cold storage Dg.sapi 4 (-0,118) - (-0,169) 4

NTT

RPH-R Dg.sapi 2 (-0,173) - (-0,185) 2Total 54 54

(100%)

Ket : Batas Maksimum Residu (BMR) logam berat (Pb) berdasarkan SNI 7387 :2009, dalam daging sapi : 1,0 mg/kg (ppm)

Tabel 9. Hasil uji Residu Hormon Trenbolon Acetat (TBA) sampel daging sapiasal unit-unit usaha produk hewan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun2018

Provinsi Jenis UnitUsaha

Jenissampel

Jumlahsampel Nilai OD (ppt) ∑<BMR

Retail Dg.sapi 2 284,58 –331,66

2

Distributor Dg.sapi 15 139,05 – 387,86

15

Cold storage Dg.sapi 10 117,02 –336,83

10

Supplierdaging

Dg.sapi 2 278,45 –359,24

2

TPD Dg.sapi 5 135,15 –332,40

5

Bali

RPH-R Dg.sapi 4 100,02 –344,37

4

Retail Dg.sapi 2 126,78 –345,13

2NTB

RPH-R Dg.sapi 2 111,96 –157,55

2

Page 114: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

125

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Retail Dg.sapi 2 313,94 –347,44

2

Cold storage Dg.sapi 4 184,30 –317,40

4

NTT

RPH-R Dg.sapi 2 190,76 –340,57

2

Total 38 38 (100%)

Ket : Batas Maksimum Residu (BMR) hormon trenbolon acetat yang ditetapkanCodex Alimentarius Commision (CAC 2003) pada daging : 2 ppb (2000 ppt)

Hasil uji Identifikasi (ID) spesies (pemalsuan daging) babi dan tikus disajikan

dalm tabel 10 dan 11. Sebanyak 121 sampel yang diuji terhadap ID spesies babi

dan sebanyak 105 sampel yang diuji terhadap ID spesies tikus, menunjukkan

hasil negatif.

Tabel 10. Hasil Uji Identifikasi Spesies Babi (Pemalsuan daging babi) sampeldaging asal unit-unit usaha produk hewan di Provinsi Bali, NTb danNTT

Provinsi Jenis UnitUsaha

JenisSampel

JumlahSampel

Hasil Uji IDspesies babi ∑ negatif

Dg.sapi 2 negatif 2RetailDg.olahan 6 negatif 6Dg.olahan 20 negatif 20DistributorDg.sapi 7 negatif 7

TPD Dg.olahan 28 negatif 28Suppierdaging

Dg.sapi 2 negatif 2

Dg.olahan 17 negatif 17

Bali

Cold storageDg.sapi 2 negatif 2

Retail Dg.sapi 2 negatif 2Distributor Dg.olahan 5 negatif 5Cold storage Dg.sapi 2 negatif 2

NTB

RPH Dg.sapi 2 negatif 2Retail Dg.olahan 16 negatif 16

Dg.olahan 4 negatif 2DistributorDg.sapi 2 negatif 2

NTT

Cold storage Dg.olahan 4 negatif 4Total 121 121

(100%)

Page 115: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

126

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 11. Hasil Uji Identifikasi Spesies Tikus (Pemalsuan daging tikus) sampeldaging asal unit-unit usaha produk hewan di Provinsi Bali, NTB danNTT th.2018

Provinsi Jenis UnitUsaha

JenisSampel

JumlahSampel

Hasil uji IDspesies tikus ∑ negatif

Distributor Dg.olahan 25 negatif 25Retail Dg.olahan 6 negatif 6

Dg.sapi 12 negatif 12Cold storageDg.olahan 5 negatif 5

Bali

TPD Dg.olahan 28 negatif 28NTB Distributor Dg.olahan 5 negatif 5

Distributor Dg.olahan 4 negatif 4Retail Dg.olahan 16 negatif 16

Dg.sapi 2 negatif 2

NTT

Cold storageDg.ayam 2 negatif 2

Total 105 105(100%)

Selain pengujian terhadap sampel pangan asal hewan (daging dan telur) juga

dilakukan pengujian isolasi dan identifikasi E.coli terhadap 300 sampel sekum

ayam. Hasil uji menunjukkan sebanyak 262 (87,3%) sampel sekum dapat

diisolasi E.coli Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 12 dibawah ini.

Tabel 12. Hasil isolasi dan Identifikasi E.coli pada sekum ayam yang berasal dariRPH-U dan TPH-U di Provinsi Bali dan NTB th 2018

Provinsi Jenis UnitUsaha

Jenissampel

Jumlahsampel

∑E.colipositif

∑ E.coliNegatif

RPH-U Sekum 10 9 1BaliTPH-U Sekum 165 146 19

NTB TPH-U Sekum 125 107 18Total 300 262 (87,3%) 38 (12,7%)

Page 116: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

127

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

IV. PEMBAHASAN

Dalam kajian keamanan cemaran mikroba berdasarkan SNI 7388:2009, Angka

Lempeng Total (Total Plate Count), Coliform, Eschericia coli, Staphylococcus

aureus, Salmonella sp, Campylobacter sp dan Listeria monocytogenes adalah

mikroba yang keberadaannya dalam pangan pada batas tertentu dapat

menimbulkan risiko terhadap kesehatan (Anon., 2009).

Total Plate Count (TPC) menunjukkan jumlah mikroba dalam suatu produk. Total

plate Count secara umum tidak terkait dengan bahaya keamanan pangan

namun kadang bermanfaat untuk menunjukkan kualitas, masa simpan/waktu

paruh, kontaminasi dan status higienis pada saat proses produksi. Winarno

(1980) menyatakan bahwa TPC adalah suatu metode yang berfungsi untuk

menentukan kecukupan sanitasi dan kontrol suhu selama proses pengangkutan

dan penyimpanan bahan pangan, menentukan kapan suatu kerusakan bahan

pangan itu dimulai dan untuk menyatakan sumber kontaminasi. Jumlah mikroba

pada daging dapat meningkat karena beberapa faktor antara lain kontaminasi

lingkungan, adanya perkembangan mikroba secara normal di dalam daging,

sanitasi dan higiene yang buruk dan adanya kontaminasi selama proses

penanganan awal hingga penanganan akhir (Purwanti, 2006).

Hasil uji Total Plate Count (TPC) terhadap 224 sampel pangan asal hewan yang

terdiri atas : daging segar/beku, daging olahan dan telur ayam yang berasal dari

unit-unit usaha antara lain : cold storage, retail/swalayan, tempat pengolahan

daging, distributor dan rumah potong hewan yang memiliki sertifikat NKV

maupun yang menuju NKV yang berlokasi di Provinsi Bali, NTB dan NTT, nilai

TPC nya berkisar antara 2,7x102_2,8x105 koloni/g untuk sampel daging

segar/beku, 2,0x101-7,3x104 koloni/g untuk sampel daging olahan dan 2,7x102-

9,6x102 koloni/g untuk sampel telur ayam. Hasil uji menunjukkan bahwa total

jumlah mikroba yang mengkontaminasi pangan tersebut relatif rendah bila

dibandingkan dengan persyaratan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM)

yang ditetapkan dalam SNI 7388:2009 yaitu 1x106 koloni/g untuk daging

segar/beku, 1x105 koloni/g untuk daging olahan dan telur. Relatif rendahnya

Page 117: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

128

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

nilai total jumlah kuman, mengindikasikan bahwa tingkat higiene dan sanitasi di

unit-unit usaha tersebut memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik yang

merupakan dasar dari penerapan NKV.

Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang

Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner yang disebut dengan Nomor Kontrol

Veteriner (NKV) adalah Sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah

dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan

keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan. Adapun

pelaku usaha yang wajib memiliki NKV adalah : rumah pemotongan hewan

(RPH-R), rumah pemotongan unggas (RPH-U), usaha budidaya unggas petelur,

usaha pemasukan/usaha pengeluaran (produk hewan), usaha distribusi / usaha

ritel, pelaku usaha yang mengelola gudang pendingin (cold storage), dan

toko/kios daging (meat shop), pelaku usaha yang mengelola unit pendingin susu

(milk cooling centre), dan gudang pendingin susu, pelaku usaha yang

mengemas dan melabel telur.

Hasil pengujian terhadap cemaran Coliform dan E.coli menunjukkan nilai

Coliform terhadap 227 sampel rata-rata <3,6 MPN/g dan nilai E.coli terhadap

327 sampel berkisar antara <3,6 – 9,2 MPN/g. Hasil uji ini mengindikasikan

bahwa tingkat cemaran Coliform dan E.coli juga relatif rendah bila dibandingkan

dengan persyaratan BMCM dalam SNI yaitu 1x102 koloni/g untuk Coliform dan

1x101 koloni/g untuk E.coli.

Kelompok bakteri Coliform terdiri dari beberapa genus bakteri yang termasuk

family Enterobacteriaceae. Bakteri ini merupakan mikroba indikator dan

umumnya tidak bersifat patogen. Keberadaannya mengindikasikan adanya

bakteri patogen lain karena bakteri patogen biasanya berada dalam jumlah

sedikit sehingga sulit untuk memonitor secara langsung. Dari hasil uji Coliform

ini dapat diindikasikan bahwa tidak ada bakteri patogen lain yang mencemari

pangan asal hewan yang disampling di unit-unit usaha.

Sementara itu dalam kajian keamanan, bakteri Escherichia .coli merupakan

bakteri berbentuk batang pendek, gram negatif, ukuran 0,4 um – 0,7 um x 1,4

Page 118: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

129

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

um, dan beberapan strain mempunyai kapsul. Terdapat beberapa strain E.coli

yang patogen dan non patogen. Strain patogen E.coli dapat menyebabkan

kasus diare berat pada semua kelompok usia melalui endotoksin yang

dihasilkannya. Sumber pencemaran E.coli adalah feses, saluran pencernaan

hewan atau manusia. Escherichia. coli yang bersifat hemolitik dapat

menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin dari kuman tersebut diabsorbsi

pada sel endothelial dimana reseptor toksin banyak terdapat seperti di ginjal

sehingga akan menimbulkan gejala klinik seperti haemolitik uremik syndrome

(HUS) dan juga disaraf sehingga dapat juga menimbulkan gejala syaraf. Sanitasi

yang baik, memasak daging sampai suhu 650 C merupakan cara untuk

mengontrol E.coli (Anonimus, 2009).

Sementara itu, dari hasil uji terhadap terhadap beberapa bakteri yang

dikatagorikan membahayakan (patogen) seperti S.aureus, Salmonella sp dan

Campylobacter jejuni menunjukkan bahwa sampel daging dan telur yang

diperiksa tidak terkontaminasi bakteri patogen. Hal ini ditunjukkan dari pengujian

terhadap sampel daging dan telur, hasil uji menunjukkan semua sampel tidak

mengandung bakteri S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter, meskipun

dalam persyaratan yang ditetapkan dalam SNI bahwa bakteri S.aureus masih

diperbolehkan ada dalam pangan asal hewan sebanyak 1 x 102 koloni/gram,

sedangkan bakteri Salmonella sp dan Campylobacter sp tidak boleh ada dalam

pangan asal hewan.

Bakteri Salmonella merupakan mikroflora normal pada beberapa hewan,

terutama babi dan unggas. Sumber mikroba ini antara lain air, tanah, serangga,

lingkungan pabrik, dapur, feses hewan, daging mentah, unggas mentah dan lain

lain. Pangan asal hewan berupa daging dan telur mentah sering ditemukan

bakteri Salmonella terutama pada kasus sporadik dan wabah Salmonellosis

pada manusia (Schlundt, et al., 2004). Berdasarkan kajian keamanan pangan

sesuai SNI 7388 : 2009 kasus keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini

biasanya terjadi jika manusia menelan pangan yang mengandung Salmonella

dalam jumlah signifikan.

Page 119: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

130

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Jumlah Salmonella yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu antara 107 –

109 koloni/gram. Kontaminasi Salmonella juga dapat terjadi pada ternak.

Kontaminasi pada ternak dapat terjadi sebelum disembelih yaitu akibat

kontaminasi horizontal eksternal pada telur-telur saat pengeraman telur ayam

pedaging sehingga akan dihasilkan daging ayam yang terkontaminasi oleh S.

enteritidis, selama penyembelihan, selama atau setelah pengolahan (Supardi

dan Sukamto, 1999).

Sementara itu, daging olahan sering tercemar bakteri S.aureus, namun pada

surveilans ini tidak ditemukan adanya bakteri S.aureus mencemari pangan

tersebut. Bakteri S.aureus sering ditemukan sebagai mikroflora normal pada kulit

dan selaput lendir manusia. Dapat meyebabkan infeksi baik pada manusia

maupun pada hewan. Walaupun pengolah pangan merupakan sumber

pencemaran pangan yang utama, peralatan dan lingkungan dapat juga menjadi

sumber pencemaran S.aureus. Mencuci tangan dengan teknik yang benar,

membersihkan peralatan dan membersihkan permukaan penyiapan pangan

diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri ke pangan.

Campylobacter jejuni merupakan salah satu bakteri patogen yang mencemari

ayam maupun karkasnya. Cemaran bakteri ini pada ayam tidak menyebabkan

penyakit, tetapi mengakibatkan penyakit yang dikenal dengan nama

campylobacteriosis pada manusia. Penyakit tersebut ditandai dengan diare yang

hebat disertai demam, kurang nafsu makan, muntah dan leukositosis. Menurut

Poloengan et al. (2005), 20−100% daging ayam yang dipasarkan di Jakarta,

Bogor, Sukabumi, dan Tangerang tercemar bakteri Campylobacter jejuni. Oleh

karena itu, berkembangnya industri jasa boga di Indonesia perlu mendapatkan

perhatian, terutama dalam kaitannya dengan penyediaan pangan asal unggas.

Secara umum, hasil uji cemaran mikroba menunjukkan bahwa tingkat

kontaminasi bakteri yang mencemari pangan asal hewan yang berasal dari unit-

unit usaha yang memiliki sertifikat NKV dan beberapa unit usaha yang menuju

NKV di Provinsi Bali, NTB dan NTT relatif rendah. Dengan demikian waktu paruh

Page 120: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

131

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

atau masa simpan daging tersebut relatif lebih lama (bertahan lama pada suhu

ruang) sehingga menyebabkan daging tidak cepat busuk. Hasil uji ini juga

mengindikasikan bahwa status higiene dan sanitasi pada mata rantai produksi

pangan asal hewan memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi yang baik.

Selain diuji terhadap cemaran mikroba, sampel pangan asal hewan juga diuji

terhadap 4 (empat) golongan residu antibiotika yaitu golongan Penicillin,

Tetrasiklin, Aminoglikosida dan Makrolida. Hasil uji menunjukkan bahwa

sebagian besar sampel pangan asal hewan tidak mengandung residu

antibiotika. Hanya 1 sampel yaitu sampel telur ditemukan adanya residu

antibiotika golongan penicillin dan makrolida.

Residu merupakan bahan-bahan obat atau zat kimia dan hasil metabolit yang

tertimbun dan tersimpan di dalam sel, jaringan atau organ serta kandungan yang

tidak diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan sekitar

(Anonimus, 2005). Pangan asal hewan seperti telur lebih banyak mengandung

residu antibiotika dibandingkan daging. Hal ini bisa terjadi mengingat ternak

unggas terutama ayam petelur yang dipelihara secara intensif dan dalam kurun

waktu yang cukup lama sehingga seluruh waktu hidupnya mendapatkan

antibiotika yang ditambahkan dalam pakan maupun dalam minuman. Antibiotika

golongan penisillin merupakan senyawa antibakterial yang cukup potensial dan

efektif terhadap berbagai spesies Gram negatif dan Gram positif. Antibiotika

golongan penisillin juga sering ditambahkan dalam pakan dan efektif untuk

menstimulasi laju pertumbuhan, berat dan komposisi karkas dan efisiensi

konversi pakan pada ternak muda (Soeparno, 1994). Tylosin merupakan

antibiotika golongan makrolida yang diisolasi dari Streptomyces fradie yang

merupakan obat pilihan untuk mengobati penyakit karena infeksi bakteri gram

positif salah satunya adalah untuk mengobati penyakit CRD pada unggas.

Pemakaian antibiotika yang tidak bijaksana untuk pengobatan maupun

pemakaian antibiotika pada hewan sebagai pengobatan , pencegahan penyakit

dan pemacu pertumbuhan dapat menjadi kontribusi terjadinya resistensi

antibiotika baik pada manusia maupun hewan (Barton, 2000). Oleh sebab itu

Page 121: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

132

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

pemakaian antibiotika pada peternakan sebaiknya dikontrol dengan melakukan

pengawasan yang ketat terhadap pemakaian antibiotika di peternakan.

Sementara itu, hasil pengujian hormon trenbolon acetat (TBA) terhadap sampel

daging sapi menunjukkan bahwa nilai kandungan hormon TBA terdeteksi pada

sampel daging sapi dengan nilai konsentrasi berkisar antara 100,02-387,86 ppt.

Nilai kandungan hormon TBA ini masih dibawah batas maksimum residu

(maximum residue limits) TBA yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius

Commisions (CAC) yaitu 2 ppb (2000 ppt) untuk sampel daging sehingga

dikatagorikan negatif. Hasil uji ini juga mengindikasikan bahwa kemungkinan

ternak sapi tidak diberikan hormon trenbolon ataupun kalau diberikan hormon

trenbolon telah mengikuti aturan waktu henti obat (withdrawal times) yang telah

ditetapkan yaitu sekitar 60 hari (Widiastuti, dkk. 2007), sehingga sampel daging

sapi tersebut aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon

trenbolon asetat.

Penggunaan hormon pertumbuhan seperti TBA dipeternakan sapi bertujuan

untuk meningkatkan berat karkas, rata-rata pertumbuhan dan efisiensi pakan.

Trenbolon asetat adalah hormon steroid sintetik yang diimplantasikan secara

subkutan atau diberikan secara oral pada sapi dan domba. Trenbolon asetat

pada daging meninggalkan residu 17β-trenbolon, sedangkan pada hati berupa

17α-trenbolon. Trenbolon memberikan efek negatif terhadap organ reproduksi

mamalia dari berbagai spesies.

Hormon TBA digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru,

Australia, Afrika Selatan, Meksiko dan Chile sejak tahun 1970, namun tidak

digunakan di negara-negara Uni Eropa. Sedangkan di Indonesia penggunaan

dan peredaran TBA masih dilarang dan diklasifikasikan dalam golongan obat

keras berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994.

Widiastuti, dkk (2007) menjelaskan bahwa Indonesia mengimpor daging sapi

dari Australia sehinga pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap residu

hormon tersebut.

Page 122: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

133

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Hasil uji daging sapi terhadap residu logam berat khususnya Timbal (Pb)

menunjukkan nilai (-0,001)-(-0,181) yang dikatagorikan tidak terdeteksi (negatif).

Namun demikian beberapa penelitian menemukan residu Timbal pada beberapa

hati sapi. Menurut Bahri (2008), pencemaran Timbal (Pb) pada pangan hewani

dapat terjadi pada proses praproduksi, produksi, dan proses pasca-produksi.

Praproduksi mencakup proses pembibitan dan pemeliharaan hewan ternak.

Pencemaran pada saat praproduksi bisa saja terjadi melalui udara yang

tercemar dari kendaraan bermotor. Rumput liar yang digunakan sebagai pakan

ternak mengandung kadar Timbal (Pb) yang cukup tinggi, terutama rumput yang

diambil dari lokasi dekat dengan jalan raya karena tingginya emisi Timbal (Pb)

dari kendaraan bermotor.

Oleh karena itu perlu diperhatikan sumber pakan dan lokasi pemeliharaan sapi.

Sumber pakan dan kualitas udara sekitar peterrnakan merupakan faktor resiko

pencemaran timbal (Pb) terhadap sapi. Oleh karena itu, sangat penting untuk

memilih lokasi yang jauh dari jalan raya dan tempat pembuangan sampah baik

untuk lokasi peternakan sapi maupun lokasi sumber pakan sapi. Akan tetapi

masih banyak peternak yang tidak memperdulikan hal ini.

Hasil uji Identifikasi spesies daging babi dan tikus (pemalsuan daging babi dan

tikus) terhadap beberapa daging segar dan daging olahan menunjukkan hasil

negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa sampel daging segar dan daging olahan

tersebut utuh (tidak dicampur) dengan daging babi atau tikus.

Page 123: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

134

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gambaran situasi tingkat

cemaran/kontaminasi mikroba terhadap pangan asal hewan yang berasal dari

unit-unit usaha yang ber-NKV maupun yang menuju NKV di wilayah Provinsi

Bali, NTB dan NTT relatif rendah bila dibandingkan dengan persyaratan yang

ditetapkan dalam SNI 7388;2009. Sampel pangan asal hewan tersebut juga

tidak tercemar mikroba patogen. Hal ini mengindikasikan bahwa unit-unit usaha

tersebut telah menerapkan sanitasi dan hygiene yang baik mata rantai proses

produksi pangan yang merupakan salah satu penilaian kepatuhan dari unit-unit

usaha tersebut dalam menerapkan NKV.

Sementara itu, pangan asal hewan juga masih aman untuk dikonsumsi dari

aspek kandungan residu antibiotika, hormon Trenbolon Acetat (TBA), Logam

berat Timbal (Pb), dan aman dari pencampuran /pemalsuan daging babi dan

tikus.

5.2. Saran

- Disarankan kepada Pemerintah Pusat dan Derah melalui Dinas Peternakan

dan Kesehatan Hewan agar secara rutin melakukan pengawasan dan

penilaian terhadap kepatuhan unit-unit usaha dalam menerapkan NKV.

- Melakukan pembinaan terhadap unit-unit usaha yang menuju NKV sehingga

semua unit usaha yang memproduksi pangan asal hewan memiliki sertifikat

NKV, dengan demikian akan terwujudnya jaminan keamanan, kesehatan

keutuhan dan kehalalan produk hewan yang dihasilkan oleh unit usaha pada

setiap rantai usaha produk hewan, sehingga menjamin kualitas dan keamanan

produk hewan secara nasional.

Page 124: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

135

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2005. Foodborne Disease Salmonellosis. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.

Anonimus, 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasilolahannya. SNI 2897 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.

Anonimus, 2008. Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada daging, telur dan sususecara bioassay. SNI 7424 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.

Anonimus, 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI 7388 :2000. StandarNasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.

Anonimus, 2013. Metode pengujian kadar logam berat (Pb) dan kadmium (Cd) dalam daging,telur, susu dan olahannya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom(SSA). SNI 7853 :2013. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.

Barton, M.D.2000. Antibiotic use in animal feed and its impact on human health. NutritionResearch Review. 13 (2) : 1-19.

Bahri, S., 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia, JurnalPengembangan Inovasi Pertanian, Hal 225- 242.

Poeloengan, Masniari, Noor, Susan Maphilindawati, 2004. Isolasi Campylobacter jejuni padadaging ayam dari pasar tradisional dan supermarket. Prosiding Seminar NasionalTeknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 29-30 September 2003. p.522-526.

Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke dua. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.

Supardi, I. dan Sukamto, 1999. Mikroorganisme Penyebab Penyakit Menular. DalamMikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan Pangan. Edisi Pertama, YayasanAdikarya IKAPI dengan The Ford Foundation. Hal. 157-173

Schlundt, J., H. Toyofuku, J. Jansen dan S.A. Herbst , 2004. Emerging Food-Borne Zoonoses.Rev.Sci.Tech.Off.Int.Epiz 23(2): 512-515, 522-527.

Richard, J.L., 2007. Some major mycotoxins and their mycotoxicosis : An overview. InternationalJournal of food Microbiology 11:3-10.

Widiastuti, R., Indraningsih, T.B. Murdiati, dan R. Firmansyah, 2007. Residu trenbolon padajaringan dan urin dari sapi jantan muda peranakan ongole yang diimplantasi dengantrenbolon acetat. JITV. 12 (1) : 60,67.

Page 125: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

136

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS DALAM RANGKA UPAYA PEMBEBASAN PENYAKITJEMBRANA DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2018

Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana, I Ketut Mayun,I Nengah Mundera, I Wayan Ekaana dan Dati Purnawati

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Penyakit Jembrana (Jembrana disease/JD) merupakan salah satu penyakit hewan menularstrategis (PHMS) yang perlu mendapatkan prioritas dalam pengendalian danpemberantasannya. JD di Bali sudah endemik dan hingga saat ini merupakan salah satukendala dalam pengeluaran sapi bibit dari Bali. Pada bulan Mei sampai dengan Desember2018 telah dilakukan surveilans untuk mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka pemetaanpenyakit dan upaya pembebasan JD di provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan di delapanKabupaten di Bali, berbasis desa dan selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkansebanyak 22.798 sampel serum dan 22.798 sampel darah dengan antikoagulan EDTA. Semuasampel serum diuji ELISA menggunakan antigen Jembrana J Gag 6 histidin, sedangkansampel darah EDTA diuji PCR. Hasil surveilans menunjukkan tidak ditemukan adanya gejalaklinis dan kasus positif JD di semua lokasi surveilans. Hasil uji ELISA menunjukkan dari22.798 sampel serum yang diuji ELISA hanya 2(0.009%) diantaranya seropositif JD.Sedangkan hasil uji PCR terhadap 22.798 sampel darah EDTA, menunjukkan semua sampelnegatif virus JD. Dari hasil surveilans dapat disimpulkan bahwa situasi JD di Bali cukupterkendali dengan prosentase seropositif sangat rendah, dan tidak ditemukan hewan carrier /positif virus JD. Perlu dilakukan surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur,peningkatan pengawasan lalu lintas ternak serta pengendalian dan pemberantasan vektor.

Kata Kunci : Penyakit Jembrana, surveilans, sapi Bali

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sapi Bali adalah salah satu dari tiga ras sapi di dunia , merupakan salah satu

plasma nutfah/ primadona Indonesia dan diharapkan mampu menggantikan

posisi sapi import dalam memenuhi kebutuhan daging sapi di Indonesia. Hal ini

disebabkan karena sapi Bali memiliki beberapa keunggulan antara lain

mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan,

calving interval yang sangat pendek, kualitas daging yang cukup bagus namun

di balik keunggulan yang dimiliki tersebut sapi Bali memiliki kelemahan yaitu

sangat peka terhadap penyakit Jembrana.

Page 126: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

137

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Penyakit Jembrana/Jembrana disease (JD) merupakan salah satu penyakit

virus yang menyerang sapi Bali, disebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae.

(Wilcox et al., 1992). Kasus JD di Bali pertama kali dilaporkan terjadi pada

tahun 1964, hingga saat ini JD endemik di Bali dan telah menyebar ke

beberapa daerah di luar Bali seperti Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan,

Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan

Tengah (Hartaningsih, 2005).

Keberadaan JD di Bali sampai saat ini masih merupakan salah satu kendala

dalam pengiriman sapi bibit ke luar Bali sehingga berdampak dalam

pengembangan peternakan sapi Bali di Provinsi Bali. Hal ini disebabkan karena

berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No: 46 Tahun 2011

mensyaratkan agar semua bibit sapi Bali yang akan diantapulaukan harus

benar-benar bebas JD untuk mencegah penyebaran JD ke luar pulau Bali

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian : SK Mentan No

:4026/Kpts.OT.140/3/2013, JD merupakan salah satu penyakit strategis di

Indonesia yang harus mendapatkan prioritas dalam penanggulangan dan

pemberantasannya. Salah satu upaya pencegahannya adalah dengan cara

vaksinasi. Dalam upaya pencegahan JD di Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali

telah melakukan vaksinasi JD dengan menggunakan vaksin JD Vacc Sp 15,

produksi Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar berturut-turut selama 4 tahun

dari tahun 2001-2004 dengan cakupan vaksinasi kurang dari 70%. Vaksinasi

hanya dapat dilakukan di beberapa daerah saja karena keterbatasan jumlah

vaksin yang tersedia, sehingga cakupan vaksinasi sangat rendah, akibatnya

masih banyak sapi yang berisiko terserang penyakit Jembrana. Dalam kurun

waktu 2005 sampai dengan 2011 vaksinasi JD tidak pernah dilakukan lagi,

Vaksinasi JD dilakukan kembali mulai akhir tahun 2012, tahun 2013 dan 2014

terbatas pada beberapa Kelompok Ternak SIMANTRI dan ternak masyarakat.

Dalam rangka mengetahui situasi JD di Bali, BBVet Denpasar telah melakukan

surveilans dan monitoring JD secara rutin setiap tahun dan melakukan uji

serologis (ELISA) untuk mendeteksi antibodi terhadap JD dan uji PCR untuk

mendeteksi adanya virus JD. Hasil surveilans dan monitoring JD yang

dilakukan BBVet Denpasar, selama lima tahun terakhir menunjukkan trend

Page 127: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

138

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

terjadinya penurunan seropositif dan positif virus JD,. Berdasarkan data

tersebut sangat mungkin dilakukan upaya pembebasan JD di Bali . Selain itu

tidak adanya pemasukan sapi ke provinsi Bali juga sangat mendukung

pembebasan JD di provinsi Bali. Bebasnya JD di Bali akan berdampak positif

terhadap pengembangan peternakan sapi di Bali karena bibit sapi asal Bali

akan dapat dintarpulaukan sehingga akan meningkatkan pendapatan

peternak dan pendapatan asli daerah (PAD) Bali

Upaya pembebasan JD di Bali telah diputuskan oleh Dirjen Peternakan dan

Kesehatan Hewan, pada rapat bersama dengan BBVet Denpasar, BBPMSOH,

dan Pusvetma tanggal 14 Pebruari 2015 di Denpasar Selain itu upaya

pembebasan JD di Bali juga telah disetujui oleh Dinas Peternakan Provinsi

Bali, dan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota se-Bali, Kepala BBVet

Denpasar dan staf , Expert penyakit Jembrana (Dr Hartaningsih, Dr Anak

Agung Gde Putra,) dan ahli epidemiologi Prof Setyawan Budiharta pada rapat

khusus penyakit Jembrana di Denpasar tanggal 3 Maret 2015, Untuk

mengetahui situasi JD di provinsi Bali pada tahun 2018, telah dilakukan

surveilans dan monitoring JD.

1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Sampai saat ini penyakit Jembrana/Jembrana disease (JD) di Bali bersifat

endemik, sehingga ada larangan pengeluaran bibit sapi Bali dari provinsi

Bali.

2. Hasil monitoring BBVet Denpasar selama enam tahun terakhir

menunjukkan rendahnya seropositif JD , namun kasus JD tidak pernah

terjadi.

1.3. Tujuan KegiatanSurveilans dan monitoring ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka upaya pembebasan JD

sehingga bibit sapi asal Bali boleh diantarpulaukan

Page 128: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

139

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

2. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus JD sebagai

dasar penentuan program surveilans selanjutnya

1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah :

1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD di Bali sebagai bahan

masukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam

upaya pembebasan JD di Bali

2. Terpetakannya situasi JD di Bali dalam rangka pembebasan JD

1.5. OutputOutput/keluaran yang diharapkan dari surveilans dan monitoring ini adalah :

1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD, terkait upaya

pembebasan JD di Provinsi Bali .

2. Provinsi Bali bebas JD sehingga bibit sapi asal Bali boleh

diantarpulaukan untuk meningkatkan PAD provinsi Bali dan mendukung

penyediaan bibit sapi Nasional.

II. MATERI DAN METODA

BAHAN DAN ALATBahan dalam surveilans ini meliputi bahan-bahan untuk isolasi PBMC, KIT

untuk ekstraksi DNA, bahan untuk uji ELISA dan PCR, sedangkan alat-alat

dalam surveilans ini meliputi : alat-alat untuk pengambilan sampel darah dan

serum, alat-alat untuk uji ELISA dan PCR

Page 129: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

140

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

METODEProgram pembebasan penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam tiga

tahapan sampling yaitu Langkah pertama preliminary studi, langkah kedua

merupakan survey deteksi penyakit di tingkat kecamatan, desa, sensus tingkat

individu ternak dan tahap ketiga adalah eliminasi ternak carrier serta evaluasi

program pembebasan. Algoritme tahapan pengambilan dan pengujian sampel

upaya pemberantasan penyakit Jembrana di provinsi Bali dapat dilihat sebagai

berikut:

Metode Surveilans

Surveilans Terstruktur

Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah serum dan darah sapi Bali dari

ternak Simantri dan masyarakat di wilayah Bali. Surveilans pembebasan

penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam dua tingkat unit observasi

yaitu :

1. Unit observasi desa

Desa yang akan dilakukan pengambilan sampel dipilih menggunakan metode

detect presence of the disease dari Martin et al (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x[N-(d-1)/2] dengan tingkat kepercayaan 95 %, n adalah besaran sampel, P1

adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah unit sampel

tersebut, d adalah harapan minimal jumlah unit sampel yang terinfeksi dengan

asumsi prevalensi sebesar 1 % dan N adalah jumlah populasi unit observasi

Page 130: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

141

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

yaitu populasi desa di provinsi Bali sebanyak 716 desa.Pemilihan desa

tersebut dilakukan secara random dengan menggunakan metode random

dalam aplikasi online (Ausvet, 2016) sehingga terpilih 287 desa. Selama dua

tahun (2016-2017) semua desa terpilih tersebut telah dilakukan sampling

2. Unit Observasi Ternak

Pengambilan sampel unit ternak yang akan dilakukan dengan menggunakan

metode detect presence of the disease dari Martin et al (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan tingkat kepercayaan 95 % n adalah besaran

sampel, P1 adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah

unit sampel tersebut, d adalah harapan minimal jumlah unit sampel yang

terinfeksi dengan asumsi prevalensi sebesar 1 % dan N adalah jumlah

populasi unit observasi yaitu populasi ternak di masing – masing desa di

provinsi Bali

Pengujian sampel dilakukan secara paralel antara uji ELISA dan PCR, dengan

prosedur uji sebagai berikut :

a. UJI ELISA

Uji ELISA yang digunakan untuk deteksi antibodi JD adalah uji ELISA standar

sesuai SOP BBVet Denpasar (Agustini, et al., 2002). Pengujian sampel serum

dengan uji ELISA dilakukan dengan prosedur kerja sebagai berikut : antigen J

Gag 6 Histidin dilarutkan dengan carbonat coating buffer 1:50 kemudian

ditambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl, mulai dari well B2 sampai

dengan G12. Masukkan 50 µl hanya coating buffer (tanpa antigen) ke dalam

lubang blank A1 dan B1.. Kocok dengan shaker dan diinkubasikan pada suhu

40C selama 24 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA

washer. Blok plate dengan menambahkan ke masing-masing well sebanyak 50

µl larutan skim milk 5% dalam PBST dan plate diinkubasikan selama 1 jam

pada suhu ruangan. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA

washer. Siapkan sampel serum, kontrol positif dan serum kontrol negatif.

fengan cara sebagai berikut: Sampel yang akan diuji diencerkan 1: 100 dalam

Page 131: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

142

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

skim milk 5% dan 50 µl serum tersebut dimasukkan ke dalam masing-masing

lubang test. Serum Kontrol Positif (PM) diencerkan mulai dari pengenceran

1 : 100 hingga 1 : 400 dalam skim milk 5% dan tiap-tiap pengenceran

dimasukkan pada lubang B2, C2 dan D2. Serum Kontrol Negatif (PM)diencerkan 1 :100 dimasukkan ke dalam lubang B3 dan C3. Serum sampel

yang sudah diencerkan dimasukkan masing-masing 50 ul ke well uji dan

dhomogenkan dengan dishaker selanjutnya inkubasikan pada suhu 370C

selama 1 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer.

Encerkan conjugate antibovine Ig G Whole molecule (SIGMA) perbandingan 1 :

1000 dalam PBST buffer. Masukkan 50 µl conjugate yang telah diencerkan

tersebut pada setiap lubang baik yang mengandung serum maupun lubang

blank dan kontrol. Inkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam. Cuci plate

dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer. Tambahkan campuran

satu bagian substrate Hidrogen Peroxidase (HRP) solution B dan 9 bagian

(solution A) atau 2,2- Azino-bis (3-ethylbenzothiazoine-6 sulfonic acid

diamonium salt). Masukkan 50 µl substrate ke dalam setiap well (blank, kontrol

dan serum sampel), diamkan selama 2 menit. Kemudian stop reaksi dengan

menambahkan 50 µl larutan asam oxalat 2 % ke semua well.

Pembacaan hasil uji ELISA dilakukan pada ELISA READER dengan panjang

gelombang 405 nm. Bila nilai OD sampel lebih besar atau sama dengan OD

pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan positif antibodi JD sedangkan

bila nilai OD sampel lebih kecil dari OD pengenceran 1 : 100 maka sampel

dikatakan negatif antibodi JD.

b. UJI POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

DNA virus JD dari PBMC diisolasi dengan menggunakan QIAmp DNA Blood

Kit (Qiagen). Tabung eppendorf yang sudah berisi DNA filtrat diberi label dan

disimpan pada -20oC sampai siap diuji. Sedangkan metoda uji PCR yang

dipakai untuk mendeteksi provirus Jembrana ini adalah metoda PCR yang

dikembangkan oleh Tenaya dkk., (2003 & 2004). Bahan-bahan yang diperlukan

dalam teknik PCR JD antara lain: Master mix, PCR water,Primer JDV–1,

Page 132: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

143

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Primer JDV–3, DNA template, Agarose gel 1%, TAE buffer, dan Ethidium

Bromide. Primer yang digunakan terdiri dari Primer JDV-1 dan Primer JDV–

3.Forward primer (JDV –1) dengan sekuen

5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’.Reverse primer (JDV – 3)

dengan sekuen 5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al.,

1995).

Untuk setiap reaksi PCR digunakan 12.5 µL Master Mix, 1 µL primer JDV-1,

satu uL primer JDV-3, 8.5 µL PCR water dan DNA template sebanyak 2 µL.

Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur ke dalam tabung effendorf volume

500 µL. Campuran tersebut diamplifikasi dengan thermocycler sebanyak 35

siklus dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama 5

menit, Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama

1 menit, Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir

siklus, ada program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi

pemanjangan DNA yang belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di

bawah suhu ruang, biasanya 15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus

adalah selama 2 jam 15 menit.

Analisa dan dokumentasi hasil PCRHasil PCR kemudian dielectrophoresis dengan 1% gel agarose yang

mengandung 5 ug Etidium bromide/ ml. Elektrophoresis dilakukan dengan

voltase 70 volt selama 45 menit. Hasil PCR dalam gel kemudian divisualisasi

dengan sinar UV pada alat UV transluminator dan dianalisa dengan program

Gel Doc untuk melihat adanya band / pita DNA.

Page 133: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

144

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

HASIL

Surveilans JD tahun 2018 dilakukan di 138 desa di 31 kecamatan di 8

Kabupaten di Bali Pada tahun 2018 pengambilan sampel tidak dilakukan di

kota Denpasar karena semua populasi sapi di Kota Denpasar sudah dilakukan

pengambilan sampel tahun 2017. Selama pelaksanaan surveilans tidak

ditemukan sapi yang menunjukkan gejala klinis JD dan berhasil dikumpulkan

sebanyak 22.798 sampel serum dan 22.798 sampel darah EDTA. Hasil

surveilans JD tahun 2018 menunjukkan 2 sampel seropositif JD, namun

setelah dilakukan konfirmasi dengan uji WB menunjukkan seronegatif JD.

Hasil uji PCR tehadap sampel darah EDTA menunjukkan semua sampel

negatif virus JD. Hasil uji ELISA dan PCR dari sampel Kabupaten se- Bali

Tahun 2018 seperti tersaji pada Tabel 1 dan 2. .

Tabel 1. Hasil Uji ELISA JD sampel dari Kabupaten/Kota di Provinsi BaliTahun 2018.

NO KABUPATEN/KOTA JUMLAHSAMPEL

JUMLAHPOSITIF

PERSENTASESEROPOSITIF

(%)1 Badung 1.172 0 0

2 Bangli 2.969 0 0

3 Buleleng 4.468 0 0

4 Gianyar 1.764 0 0

5 Jembrana 572 0 0

6 Karangasem 4.934 0 0

7 Klungkung 2.651 0 0

8 Tabanan 4.268 2 0.05

TOTAL 22.798 2 0.09

Page 134: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

145

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 2. Hasil Uji PCR JD sampel dari Kabupaten/Kota di ProvinsiBali Tahun 2018

NO KABUPATEN/KOTA JUMLAHSAMPEL

JUMLAHPOSITIF

PERSENTASEPOSITIF JD

1 Badung 1.172 0 0

2 Bangli 2.969 0 0

3 Buleleng 4.468 0 0

4 Gianyar 1.764 0 0

5 Jembrana 572 0 0

6 Karangasem 4.934 0 0

7 Klungkung 2.651 0 0

8 Tabanan 4.268 0 0

TOTAL 22.798 0 0

PEMBAHASAN

Saat ini pemerintah sedang melaksanakan program pengembangan ternak

sapi Bali di Indonesia khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Salah satu

alasan dipilihnya sapi Bali untuk dikembangkan adalah karena sapi Bali

memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan dan kualitas

daging yang cukup baik. Pengembangan Sapi Bali di Indonesia diharapkan

dapat membantu memenuhi penyediaan daging sapi Nasional. Terkait hal

tersebut ketersediaan sapi bibit sangat diperlukan untuk mendukung

keberhasilan program penyediaan daging sapi Nasional. Salah satu

persyaratan untuk pengadaan sapi bibit khususnya bibit sapi Bali adalah harus

bebas JD

Keberadaan JD di Bali merupakan kendala utama dalam pengeluaran sapi bibit

untuk diantapulaukan ke luar Bali karena JD endemik di Bali. Dalam rangka

upaya pembebasan JD di Bali maka BBVet Denpasar, melakukan surveilans

JD setiap tahun. Bebasnya JD di Bali akan berdampak terhadap pengeluaran

sapi bibit dari Bali untuk diantarpulaukan. Hasil surveilans JD tahun 2018

Page 135: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

146

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

menunjukkan masih ditemukan adanya seropositif JD di Bali sebanyak 0.009%

(2 dari 22.798 sampel). Seropositif JD tersebut ditemukan pada 2 sampel asal

desa Bantiran Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Menurut informasi

petugas kecamatan, sapi tersebut tidak pernah divaksinasi JD dan tidak

pernah terinfeksi JD sebelumnya. Untuk memastikan apakah antibodi yang

terdeteksi tersebut antibodi JD atau bukan maka dilakukan konfirmasi dengan

uji Western Immunobltting dan PCR. Hasil konfirmasi uji WB dan PCR

menunjukkan negative antibodi dan virus JD. Adanya antibodi yang terdeteksi

dari uji ELISA kemungkinan adalah antibodi Bovine Immunodefisiensi Virus

(BIV). Hal ini terjadi karena antigen J Gag 6 histidine yang digunakan untuk uji

ELISA JD masih menimbulkan cross reaksi antara antibodi JD dan antibodi BIV

Saat ini uji PCR digunakan sebagai “gold standard” untuk diagnosa JD. Hal ini

disebabkan karena primer yang digunakan pada uji PCR yaitu primer JDV-1

dan JDV-3 sangat spesifik , dimana primer tersebut mampu membedakan

antara proviral DNA JDV dan BIV. Selain itu uji PCR mampu mendeteksi

keberadaan proviral DNA setelah hewan sembuh (carrier). Hasil uji PCR inilah

yang diigunakan sebagai acuan untuk menentukan hewan positif JD atau tidak

Hasil surveilans JD 2018 ini membuktikan bahwa situasi JD di Bali cukup

terkendali Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD di Bali

rendah disebabkan karena virus JD dan hewan carrier JD tidak ditemukan di

semua lokasi surveilans JD tahun 2018 di Bali

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanDari hasil surveilans ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :

Situasi JD di Bali cukup terkendali dengan prosentase seropositif JD

sangat rendah hanya 0.009%

Hewan “carrier JD” (positif virus JD) tidak ditemukan di semua lokasi

surveilans)

Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD sangat rendah

disebabkan karena virus JD (hewan carrier JD) tidak ditemukan di semua

lokasi surveilans di Kabupaten /Kota di Bali .

Page 136: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

147

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Saran

Surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur , peningkatan

pengawasan lalu lintas ternak. dan pemberantasan vektor harus dilakukan.,

untuk mencegah terjadinya penyakit Jembrana.

Pembebasan JD di Provinsi Bali harus dilanjutkan sehingga dengan

bebasnya JD di Bali bibit sapi Bali boleh diantarpulaukan untuk memenuhi

kebutuhan bibit sapi Bali di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas dana, kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan

surveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan kabupaten/kota se-Provinsi Bali, beserta staf atas bantuan dan

kerjasamanya dalam membantu pelaksanaan pengambilan sampel. Penulis

juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Medik dan

Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu

dalam pengambilan dan pengujian sampel ini.

Page 137: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

148

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. 2002. Uji Elisa untuk Mendeteksi Antibodi LentivirusMenggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6. .Manual Diagnosa Laboratorik JD. MateriKursus Peningkatan Metode Diagnosa JD ACIAR-BPPV VI.

Hartaningsih, N., Sulistyana, K.,and G.E. Wilcox. (1996). Serological Test for JDV Antibodiesand Antibody Respons of Infected Cattle. In Jembrana Disease and the BovineLentiviruses, ACIAR Proceedings No.75, page 79-84

Hartaningsih, N. 2005. Laporan Hasil Investigasi JD di Kalimantan Timur. Laporan TahunanBalai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Denpasar

Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNA Virus Jembranapada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase Chain Reaction.Buletin Veteriner. 63:44-48, BPPV VI Denpasar.

Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals by PCR.BuletinVeteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.

Wilcox G.E., Kertaydnya G., Hartaningsih N., Dharma D.M.N., Soeharsono S., and RobertsonT (1992). Evidence for viral aetiology of Jembrana disease in Bali cattle. VeterinaryMicrobiology 33: 367-374

Page 138: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

149

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018

Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana,I Ketut Mayun, I Nengah Mundera ,I Wayan Ekaana dan Dati Purnawati

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Sejak Rabies dilaporkan terjadi di Bali tahun 2008, berbagai tindakan pengendalian sudahdilakukan, Vaksinasi merupakan salah satu upaya pencegahan dan pengendalian Rabiesyang dilakukan oleh pemerintah provinsi Bali sejak tahun 2010 dan vaksinasi massal tahun2018 telah memasuki Round 9 (sembilan). Walaupun vaksinasi massal dilakukan setiap tahunnamun kejadian Rabies masih terus terjadi. Serosurveilans untuk mengetahui antibodi Rabiesdi provinsi Bali, NTB dan NTT sudah dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Desember2018. Serosurveilans Rabies di provinsi Bali dilakukan di 9 kabupaten/kota, untuk provinsiNTB dilakukan di Lombok Barat dan Kota Mataram, untuk provinsi NTT dilakukan di limakabupaten yaitu : Flores Timur, Ngada, Ende, Sikka dan Manggarai. Semua sampel serumdiuji ELISA menggunakan KIT ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma Surabaya. Hasilserosurveilans menunjukkan vaksinasi massal Rabies di provinsi Bali terbukti mampumerangsang terbentuknya antibodi Rabies. Hasil uji ELISA terhadap 510 sampel serum yangdiambil di provinsi Bali menunjukkan seropositif Rabies sebesar 40% , Seropositif Rabies diprovinsi NTT sebesar 40.2% sedangkan untuk sampel serum dari Provinsi NTB semua negatifantibodi Rabies. Rincian prosentase seropositif Rabies di masing-masing Kabupaten di provinsiNTT adalah : kabupaten Flores Timur sebesar 25 % , Kabupaten Ngada 100% , kabupatenEnde : 13.8 %, Kabupaten Sikka : 36,5% dan Kabupaten Manggarai sebesar : 26.3% Untukmeningkatkan prosentase seropositif Rabies di Bali dan NTT perlu dilakukan vaksinasi ulangterhadap anjing yang memililiki titer antibodi < 0.5 IU/ml

Kata Kunci : rabies, serosurveilans, vaksinasi

I. PENDAHULUANI.1. Latar Belakang

Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut

menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari

famili Rhabdoviridae (Murphy et.al.,2009; Fischer et al., 2013). Rabies

ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis)

melalui gigitan atau jilatan pada luka.

Di provinsi Bali sumber penularan Rabies diduga berasal dari masuknya anjing

dalam masa inkubasi yang dibawa oleh pelaut asal Sulawesi Selatan (Putra

et.al., 2009). Sejak munculnya kasus rabies di desa Kedonganan kecamatan

Kuta Selatan, kabupaten Badung pada bulan November 2008 berdasarkan

Page 139: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

150

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008

provinsi Bali secara resmi dinyatakan sebagai daerah tertular rabies.

Kejadian Rabies di provinsi NTT khususnya pulau Flores sudah terjadi sejak

tahun 1998 berawal dari kejadian Rabies di Kabupaten Sikka , kemudian

menyebar ke Ende tahun 1999, Ngada Juni 2000, dan Manggarai Juli 2000

Sejak tahun 2008 hingga saat ini kejadian kasus Rabies di Bali masih terjadi

walaupun jumlah kasus sudah menurun. Anjing masih merupakan hewan

penular Rabies (HPR) utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus rabies pada

hewan di Bali periode tahun 2008-2013 semuanya ditularkan oleh anjing

Rabies. (Supartika et.al., 2013). Cepatnya penyebaran rabies di Bali dan

Flores tidak terlepas dari tingginya populasi anjing di kedua daerah tersebut

dan hampir setiap rumah tangga di Bali dan Flores memiliki anjing. Tingginya

angka kepemilikan anjing khususnya di Flores disebabkan karena anjing

memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi yang sangat tinggi serta sangat

dibutuhkan pada upacara adat. Walaupun anjing memiliki nilai ekonomi dan

sosial budaya yang tinggi di pulau Flores namun, sistim pemeliharaan anjing di

Flores, mayoritas masih diliarkan, sehingga sangat berpotensi menjadi sumber

penularan rabies ke hewan lainnya dan ke manusia.

Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan

eliminasi anjing secara selektif dan tertarget terutama anjing liar/diliarkan,

program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR).

Dalam rangka pengendalian Rabies, pemerintah provinsi Bali secara rutin

melakukan vaksinasi massal Rabies setiap tahun Untuk mengetahui

keberhasilan vaksinasi massal Rabies tersebut maka BBVet Denpasar

melakukan serosurveilans Rabies

Page 140: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

151

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1.2. Rumusan Masalah1. Pemerintah provinsi Bali secara rutin telah melakukan vaksinasi massal

Rabies namun kasus rabies masih terus terjadi sehingga perlu diketahui

penyebabnya.

1.3.Tujuan KegiatanKegiatan serosurveilans ini bertujuan untuk

1. Mengetahui respon antibodi Rabies di provinsi Bali dan NTT

1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah:

1. Diiketahuinya respon antibodi Rabies di Bali dan NTT

1.5. Keluaran/OutputOutput yang diharapkan dari kegiatan serosurveilans ini adalah :

1. Tersedianya data dan informasi tentang respon antibodi Rabies , terkait

upaya pembebasan penyakit Rabies di provinsi Bali

II. MATERI DAN METODE

2.1. Materi

2.1.1 Bahan

Bahan yang digunakan pada pelaksanaan surveilans Rabies ini meliputi : KIT

ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya.

2.1.2. Alat

Alat yang digunakan untuk surveilans meliputi : spuite disposible 3 ml, , tabung

effendorf 2 ml , multichanel pipet, micropipet, microtip pipet 300 ul dan 1000 ul,

microshaker, ELISA washer, inkubator, ELISA reader

Page 141: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

152

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

2.2. Metode

2.2.1. Metode Pengambilan sampel

a. Penentuan Lokasi.

Lokasi pengambilan sampel serum di provinsi Bali adalah seluruh

Kabupaten/kota. Pemilihan desa tempat pengambilan sampel ditentukan

secara random disesuaikan dengan jadwal pelaksanaan vaksinasi di

masing-masing kabupaten/kota

Untuk provinsi NTT serosurveilans dilaksanakan di Kabupaten Flores

Timur, Ende, Sikka, Manggarai dan Ngada.

b. Metode Pengambilan sampel

Metode pengambilan sampel di provinsi Bali dilakukan secara acak.

3.2.2. Metode Pengujian Sampel

Sampel serum yang telah dikumpulkan diuji ELISA menggunakan KIT ELISA

Rabies produksi Pusat Veteriner Farma Surabaya dengan prosedur sebagai

berikut :

1. Sebelum dilakukan pengujian, semua sampel serum diinaktivasi

pada suhu 56 °C selama 30 menit.

2. Sampel serum yang akan diuji diencerkan dengan menambahkan

2.5 µl serum kontrol positif ke dalam pelarut PBST sebanyak 247.5

µl pada mikroplate (template), sehingga menghasilkan 50 kali

pengenceran. Urutan sampel serum dalam template mikroplate

didisain sedemikian rupa sehingga enceran sampel dapat

dipindahkan ke dalam sumuran-sumuran pada mikroplate uji.

3. Serum kontrol positif diencerkan dengan cara sebagai berikut :

siapkan 6 tabung dan ke dalam masing-masing tabung

dimasukkan 500 µl PBST. Kecuali pada tabung pertama

ditambahkan sebanyak 990 µl PBST. Selanjutnya ditambahkan 10

ul serum kontrol positif ke dalam tabung pertama campur sampai

Page 142: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

153

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

homogen sehingga diperoleh kontrol positif pengenceran (K4 EU).

Sebanyak 500 ul serum kontrol positif K4 EU dipindahkan ke dalam

tabung kedua yang sudah berisi 500 ul PBST, dicampur sampai

homogen sehingga diperoleh pengenceran K2 EU,. Selanjutnya 500

ul kontrol positif K2 EU dipindahkan kedalam tabung ketiga yang

sudah berisi 500 ul PBST, sehingga diperoleh kontrol positif

pengenceran (K1 EU). Selanjutnya 500 ul pengenceran K1 EU

dimasukkan ke dalam tabung keempat yang telah berisi 500 ul

PBST sehingga diperoleh pengenceran kontrol positif 0.5 EU.

Sebanyak 500 ul kontrol positif pengenceran 0.5 EU ditambahkan

ke dalam tabung kelima yang sudah berisi 500 ul PBST sehingga

diperoleh pengenceran kontrol positif K 0.25 EU Terakhir

tambahkan 500 ul Kontrol positif K 0.25 EU ke dalam tabung

keenam yang telah berisi 500 ul PBST sehingga diperoleh

pengenceran 0.125 EU.

4. Pengenceran kontrol negatif dilakukan dengan cara menambahkan

2.5 ul kontrol negatif ke dalam 247.5 ul PBST , kemudian dicampur

sampai homogen.

5. Pengenceran Kontrol Standar dilakukan dengan cara

menambahkan 2.5 ul kontrol standar 1 EU ke dalam 247.5 ul PBST,

dicampur sampai homogen.

6. Pindahkan enceran serum dengan pipet multichanel ke mikroplate

uji sebanyak 100 µl. Sumuanr H11 dan H12 sebagai kontrol pelarut.

7. Pindahkan masing-masing sebanyak 100 ul serum kontrol positif

secara duplo ke dalam masing-masing sumuran : serum kontrol K4

EU ke dalam sumuran A1 dan A2, serum kontrol positif K2 EU ke

dalam sumuran B1 dan B2, serum kontrol K1 EU ke dalam sumuran

C1 dan C2, serum kontrol 0.5 EU ke dalam sumuran D1 dan D2,

serum kontrol 0.25 EU ke dalam sumuran E1 dan E2, dan serum

kontrol 0.125 EU ke dalam sumuran F1 dan F2.

8. Penambahan kontrol standar dilakukan dengan menambahkan 100

ul kontrol standar yang sudah diencerkan ke dalam sumuran G1

dan G2.

Page 143: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

154

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

9. Penambahan kontrol serum negatif dilakukan dengan cara

memasukkan 100 ul kontrol serum negatif yang sudah diencerkan

ke dalam sumuran H1 dan H2.

10. Tutup mikroplate dengan plastik penutup dan inkubasikan pada

suhu 37°C selama 45-60 menit.

11. Siapkan conjugate/ antibodi sekunder (rec-protein A-HRP) pada

pengenceran 16000 kali dengan PBST.

12. Buang cairan serum pada mikroplate uji dan lakukan pencucian

sebagai mana prosedur ELISA sebanyak minimal 5 kali.

13. Keringkan cairan pencuci yang masih tersisa dalam jumlah kecil

dengan cara membalikkan mikroplate di atas kertas tissu tebal.

14. Tambahkan konjugate yang sudah diencerkan 1:16000 sebanyak

masing-masing 100 µl pada semua sumuran.

15. Tutup mikroplate dengan plastik penutup dan inkubasikan pada

suhu 37°C selama 45-60 menit.

16. Buang cairan dan lakukan pencucian seperti prosedur di atas.

17. Tambahkan substrat sebanyak masing-masing 100 µl pada semua

sumuran. Inkubasikan pada suhu kamar pada kondisi gelap selama

15-30 menit. Selama inkubasi diamati timbulnya warna kebiruan.

Bila warna antara kontrol positif dan negatif bisa dibedakan secara

visual lakukan penghentian dengan penambahan stop solution

sebanyak 100 µl pada semua lubang.

18. Baca Densitas Optic (Optical Density) pada ELISA reader dengan

panjang gelombang 405 nm

Perhitungan Hasil

Perhitungan hasil uji ELISA Rabies dilakukan menggunakan persamaan garis

(Excel)

a. Cara Membuat Kurva.

X = Nilai Equivalent Unit K4 EU; K2 EU; K1 EU; K 0.5 EU; K 0.25

EU; dan K 0.125 EU

Y = nilai Optical Density rata-rata Kontrol positif

Page 144: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

155

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1. Blok X dan Y

2. Arahkan kursor pada chart wizart, klik

3. Pilih XY (scater)

4. Pilih gambar grafik Scater with smooth line and markers

5. Arahkan kursor pada grafik , klik kanan

6. Pilih Add trendline

7. Pilih logaritmic

8. Pilih display equation on chart dan display R-squared value

on chart

b. Keluar persamaan garis mis: Y=(0.660Ln(X) +1.402 dan R2 =

0.978. Persamaan garis dapat diterima apabila R2 mendekati

angka 1 (antara 0.9-1)

c. Masukkan persamaan garis Y-1.402 = 0.660 Ln(X)

d. LnX = (Y – 1.402)/0.660

e. X = Exp (Inverse LnX)

Interpretasi Hasil

Jika Titer antibodi sampel ≥ 0.5 IU maka sampel dikategorikan positif

antibodi Rabies

Jika Titer antibodi sampel < 0.5 IU maka sampel dikategorikan negatif

antibodi Rabies

III. HASIL

Selama pelaksanaan serosurveilans tidak ditemukan anjing yang menunjukkan

gejala klinis yang mengarah ke penyakit Rabies dan berhasil dikumpulkan

sebanyak 995 sampel serum yang terdiri dari 510 sampel serum asal provinsi

Bali, dan 405 sampel dari provinsi NTT dan 80 sampel serum dari provinsi

NTB

Page 145: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

156

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Hasil uji ELISA sampel serum yang diambil dari Bali menunjukkan prosentase

seropositif Rabies sebesar 40% Seropositif Rabies di masing-masing

Kabupaten/kota di Bali bervariasi antara 26.7% - 57.5%. Seropositif Rabies

tertinggi terjadi di Kabupaten Badung (87.5%) sedangkan seropositif Rabies

terendah terjadi di Kota Denpasar (35%). Prosentase seropositif dari masing-

masing Kabupaten Kota di Bali selengkapnya seperti terlihat pada Tabel 1 ,

Gambar 1

Tabel 1. Seropositif Rabies di Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2018

Kabupaten Jumlahserum

SeropositifRabies

SeronegatifRabies

ProsentaseSeropositif (%)

Badung 80 33 37 41.3

Bangli 40 12 28 30

Buleleng 80 33 37 41.3

Denpasar 30 8 22 26.7

Gianyar 60 16 44 26.7

Jembrana 40 23 27 57.5

Karangasem 60 32 28 53.3

Klungkung 40 20 20 50

Tabanan 80 27 53 33.8

Grand Total 510 204 306 40

Page 146: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

157

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Gambar 1. Seropositif Rabies di Kabupaten/kota di Provinsi Bali Tahun 2018

Hasil uji ELISA terhadap sampel serum dari provinsi NTT menunjukkan

seropositif Rabies di provinsi NTT sebesar 40,2% Hasil uji dari masing-masing

sampel serum yang diambil di NTT menunjukkan bahwa seropositif tertinggi

terjadi di Kabupaten Ngada sebesar 100%, sedangkan seropositif terendah

terjadi di kabupaten Flores Timur sebesar 25%. Hasil seropositif Rabies

selengkapnya seperti pada Tabel 2

Tabel 2. Seropositif Rabies di provinsi NTT tahun 2018

No Kabupaten JumlahSampel

JumlahSeropositif

Prosentaseseropositif (%)

1 Flores Timur 80 20 252 Ngada 80 80 1003 Sikka 85 31 36.54 Ende 80 11 13.85 Manggarai 80 21 26.3

TOTAL 405 163 40.2

Page 147: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

158

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Gambar 2. Seropositif Rabies di provinsi NTT Tahun 2018

IV. PEMBAHASAN

Vaksinasi merupakan program pilihan utama dalam pengendalian dan

pemberantasan Rabies di Indonesia. Hasil uji ELISA terhadap 510 sampel

serum dari provinsi Bali, menunjukkan prosentase seropositif Rabies sebesar

40%. Hasil uji ELISA ini mengindikasikan bahwa vaksinasi massal Rabies di

Bali mampu merangsang terbentuknya antibodi terhadap Rabies namun belum

optimal. Prosentase seropositif Rabies di Bali masih di bawah yang

dipersyaratkan oleh OIE yaitu sebesar 70%. Vaksinasi Rabies akan

merangsang sistim imun membentuk antibodi sehingga mampu memberikan

proteksi pada HPR terhadap infeksi Rabies. Rendahnya seropositif Rabies di

Bali tahun 2018, kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain :

interval waktu pelaksanaan vaksinasi dengan pengambilan sampel yang terlalu

lama, serta tidak validnya informasi (data) vaksinasi yang dilaporkan .

Page 148: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

159

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Prosentase seropositive Rabies di masing-masing kabupaten/kota di Bali

sangat bervariasi. Seropositif Rabies tertinggi 57.5% terjadi di Kabupaten

Jembrana . Prosentase seropositif ini erat kaitannya dengan status vaksinasi

dan interval antara waktu vaksinasi dan pengambilan sampel.

Pemerintah provinsi Bali telah melakukan vaksinasi massal Rabies sejak tahun

2010, namun sampai saat ini kasus Rabies pada anjing masih dilaporkan

terjadi. Hal ini diperkuat oleh hasil pengujian FAT yang dilakukan di

laboratorium Patologi BBVet Denpasar tahun 2018 dari 943 sampel otak yang

diperiksa 149 (15.8%) positif virus Rabies . Terjadinya kasus positif Rabies

tersebut erat kaitannya dengan rendahnya titer antibodi terhadap Rabies

sehingga tidak mampu memberikan proteksi. Masih terjadinya kasus positif

Rabies di Bali Tahun 2018 erat kaitannya dengan rendahnya prosentase

seropositif Rabies di Provinsi Bali.

Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTT tahun 2018 menunjukkan hanya

40.2% sampel serum yang diambil seropositif Rabies. Rendahnya seropositif

ini kemungkinan disebabkan karena mayoritas sampel yang diambil berasal

dari anjing yang tidak divaksinasi. Rendahnya seropositif akan perpotensi

sebagai penyebab terjadinya kasus rabies

Vaksinasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk menurunkan insidensi

kasus rabies dan melindungi infeksi virus rabies pada hewan dan manusia

(Mattos dan Rupprecht, 2001). Menurut Taiwo et al., (1998) cakupan vaksinasi

rendah, tingkat kekebalan protektif rendah, serta program vaksinasi yang

menyisakan anjing liar merupakan sumber utama dan potensial dalam

penyebaran virus rabies.

Menurut Ohore et al., 2007 dan Utami , et al., 2008, pembentukan titer antibodi

dipengaruhi beberapa hal, antara lain umur, jenis kelamin, bangsa/ras anjing ,

jenis vaksin, dan periode pascavaksinasi. Semakin pendek jarak pengambilan

sampel dengan periode pelaksanaan vaksinasi maka semakin tinggi titer

antibodi yang terdeteksi, sebaliknya, semakin lama interval waktu pengambilan

Page 149: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

160

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

sampel dengan periode pelaksanaan vaksinasi, semakin rendah titer antibodi

yang terdeteksi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sage et al.,

(1992) dan Cliquet et al., (2003; 2007 ) bahwa anjing yang divaksin setelah

satu tahun titer antibodinya rendah.

Ada kecenderungan titer antibodi lebih tinggi pada anjing yang sudah pernah

divaksinasi dibandingkan dengan anjing yang baru divaksinasi pertama kali .

Menurut Simani et al., 2004 menyatakan bahwa booster penting dilakukan

untuk mempertahankan titer antibodi protektif . Hal ini juga sesuai dengan

yang di laporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon (2010), bahwa satu dosis

vaksin tidak menghasilkan antibodi neutralisasi yang lama sehingga perlu

dilakukan booster. Sistem pemeliharaan anjing di Bali kebanyakan masih

diliarkan sehingga menyebabkan pelaksanaan vaksinasi ulangan secara

massal sangat sulit dilakukan. Kesulitan tersebut meliputi kesulitan melakukan

penangkapan anjing, karena aplikasi vaksin Rabies umumnya melalui suntikan.

Berdasarkan fakta tersebut perlu dipikirkan atau dicarikan alternatif

penggunaan vaksin Rabies lainnya yang lebih mudah aplikasinya namun

mampu memberikan kekebalan lebih lama terutama untuk anjing-anjing yang

diliarkan/tidak diikat. Anjing yang diliarkan perlu mendapatkan vaksinasi Rabies

karena anjing tersebut mempunyai potensi sangat besar untuk menyebarkan

Rabies. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soeharsono (2007),

bahwa anjing liar/anjing geladak (stray dogs) merupakan pelestari Rabies yang

potensial karena hidup bebas sehingga sangat berpotensi menyebarkan

Rabies ke hewan lain, bahkan juga ke manusia.

Menurut Yanuarso, 2017 seroprevalensi akan berpengaruh terhadap herd

immunity dimana herd immunity akan terjadi apabila cakupan vaksinasi dan

seroprevalensi lebih besar dari 80%. Sementara itu jika cakupan vaksinasi dan

seroprevalensi kurang 60% maka akan berisiko terjadinya kejadian luar biasa.

Agustina, 2017 mengatakan bahwa kekebalan kelompok akan terbentuk,

ketika sebagian populasi telah divaksinasi, sehingga populasi yang

divaksinasi tersebut mampu memberikan proteksi terhadap populasi lainnya

yang tidak divaksinasi.

Page 150: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

161

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Walaupun sudah dilakukan vaksinasi massal namun masih banyak anjing yang

belum menunjukkan titer antibodi protektif. Rendahnya titer antibodi yang

terbentuk diduga kuat karena anjing-anjing yang diambil sampel serumnya

tersebut baru pertama kali divaksinasi sehingga belum mampu menghasilkan

titer antibodi protektif. Selain itu interval waktu pelaksanaan vaksinasi dan

pengambilan sampel yang terlalu lama juga berpengaruh terhadap

seroprevalensi.

Keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia masih menjadi kendala utama dalam

pelaksanaan vaksinasi di NTT sehingga tidak bisa mengcover semua populasi

yang ada. Selain itu kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat

terhadap pentingnya vaksinasi Rabies pada HPR, faktor demografi NTT yang

sangat sulit dijangkau, juga berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan

vaksinasi Rabies di NTT. Mengingat vaksinasi merupakan faktor utama yang

mempengaruhi keberhasilan pemberantasan Rabies maka perlu diupayakan

penggunaan vaksin Rabies oral untuk meningkatkan prosentase cakupan

vaksinasi. terutama pada anjing-anjing yang diliarkan /tidak diikat.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil serosurveilans dapat disimpulkan :

Vaksinasi massal Rabies di provinsi Bali dan NTT mampu merangsang

terbentuknya antibodi terhahap Rabies

Prosentase seropositif Rabies di Provinsi Bali sebesar 40%

Prosentase seropositif Rabies di provinsi NTT hanya 40.2%

Page 151: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

162

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SARAN

Mengingat prosentase seropositif Rabies di Bali dan NTT masih di

bawah 70% maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada anjing

yang memiliki titer antibodi dibawah 0.5 IU/ml.

Perlu dilakukan vaksinasi massal Rabies secara periodik sehingga

mampu memberikan proteksi terhadap Rabies

Perlu diperhatikan jarak antara waktu pelaksanaan vaksinasi dan

pengambilan sampel sehingga diperoleh data seropositif yang lebih valid.

Sosialisasi tentang bahaya Rabies, pengawasan lalu lintas HPR dan

pengendalian populasi perlu dilakukan untuk mendukung program

pembebasan Rabies di provinsi Bali dan NTT

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan

serosurveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan kabupaten/kota se-provinsi Bali , Kepala Dinas Peternakan

Kabupaten, Flores Timur, Ngada , Ende, Sikka, dan Manggarai beserta staf,

serta kepada Medik dan Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner

Denpasar yang telah membantu dalam pengambilan dan pengujian sampel.

Page 152: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

163

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous 2010. Laporan Penanggulangan Rabies Provinsi Bali

Agustini, N.L.P., Dilasdita K.P., dan Melyantono, S., 2015. Laporan Teknis SerosurveilansRabies di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur Tahun2015. Laporan Teknis Hasil Surveilans , monitoring dan Pengembangan Metode UjiBalai Besar Veteriner Denpasar Tahun 2015. Hal : 201-216

Chiliquet, F.Verdier,Y.,Sagne,L.Aubert,M. Schereffer,J.L.2003. Neutralising antibody titration in25,000 sera of dogs and cats vaccinated against rabies in France, in the framework ofthe new regulations that offer an alternative to quarantine.

Cliquet, F,. Wasniewski ,M. Guiot ,A.,L., 2007.Comparison of antibody responses aftervaccination with two inactivated rabies vaccines,

Fischer, M., Wemike, K., Freuling, C.M. Muller, T., Avylan, O., Brocher, B., Cliquet, F.,Vasquez-Maron, S., Hostnik, P., Huovialanen, A., Isakson, M., Kooi, E.E., Mooney, J.,Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revila-Fernandez, S., Sunreczak, W., Fooks, A.R.,Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B. 2013. A step Forward in molecular diagnostic ofLyssaviruses Result of a Ring Trial among European Laboratories PLOS ONE. Vol 8Issue 3E5.

Mattos CA, Rupprecht A. 2001. Rhabdoviruses. In: Fields Virology. New York: LippincottWilliam & Wilkins, 1245-1277

Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1/Kpts/PD640/12.2008. Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies)di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Murphy, F.A. Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C, and Studdert, M.J. 2009. Rhabdoviridae inVeterinaty Virology, 3nd Ed. 429-439

Ohore OG.,Emikpe, BO., Oluwayelu, DO., 2007. The seroprofile of Rabies antibodies incompanion urban dogin Ibadan, Nigeria, Journal of Animal and Veterinary Advances6(1) : 53-56

Putra, A.A.G. , Gunata, I.K., Faizah., Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji,G., Putra, A.A.G.,Soegiarto dan Scott-Orr. H. 2009. Situasi Rabies di Bali Enam Bulan PascaProgram Pemberantasan . Buletin Veteriner . Balai Besar Veteriner Denpasar.Vol.: XXI, 74: 13-26.

Sage G., Henry W., Tepsumethanon W, Hemachuda T. 1992. Immune response to rabiesvaccine in Alaskan dogs: failure to achieve a consistently protective antibody respons.Transaction of the royal society for tropical medicine and and hygiene 87: 593596.

Simani S., A.Amirkhani, F.Farahtaj, B.Hooshmand, A.Nadim, J.Sharifion,N.Howaizi, N.Eslami,A.Gholami, A.Janami, and A.Fayas. 2004. Evaluation of The Effectiveness of PreExposure Rabies Vaccination in Iran. Arch Med.7(4) : 251-255.

Soeharsono 2007. Penyakit Zoonotik Pada Anjing dan Kucing. Edisi 1. Penerbit KanisiusJogyakarta.

Sri Utami, Bambang Sumiarto, Heru Susetya. 2008. Status vaksinasi Rabies pada anjing diKota Makasar. J. Sain Vet . Vol 26, No: 2 tahun 2008

Page 153: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

164

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I.G.A.J dan Diarmita, I.K. 2014. Surveilans danmonitoring agen Penyakit Rabies Pada Anjing Di Provinsi Bali, Nusa Tenggara BaratDan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Buletin Veteriner. Balai BesarVeteriner Denpasar . Vol. XXVI, No. 84. Edisi Juni 2014. Hal :46-59

Taiwo VO, Antia RE., Adeniran GA., Adeyemi IG, Alaka OO., Ohore OG., 1998.Rabies in dogand cats in southwestern Nigeria. Laboratory reports Trop. Vet 16:9-13

Tepsumethanon V., B.Lumlertdacha, C. Mitmoonpitak, V.Sitprija, F.X. Meslin,and H.Wilde.2004. Survival of Naturally Infected Rabid Dogs and Cats.Brief Report. ClinicalInfectious Diseases. 39 : 278-280

.WHO, Guidelines for dog rabies control, WHO/VPH/ 83.43 Rev.1, 1987

Widodo J. 2009. Imunologi Vaksin. Chlidren Allergy Centre

Yanuarso, B., 2017. Mengenal Herd Immunity. http//hellosehat.com

Page 154: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

210

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS DAN MONITORING HOG CHOLERADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA

TIMUR TAHUN 2018

I Nyoman Dibia, Ardiana, Lalu Muh. Faesal Suryadinata, Fauzi R.Kurniawan

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilakukan surveilans di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT yang bertujuan untukmendeteksi antigen / kasus dan mengetahui proporsi seropositive antibodi Hog Cholera, baikpada babi yang divaksinasi maupun yang terindikasi terinfeksi penyakit ini. Pengujian dilakukandengan metode Elisa antibodi menggunakan Kit Elisa Hog Cholera. Pada saat surveilansdiperoleh sebanyak 454 sampel darah EDTA babi dari wilayah provinsi Bali, 297 sampel dariNTB dan 590 sampel dari NTT. Seluruh sampel yang diuji tersebut menunjukkan hasil negatifvirus Hog Cholera. Sementara kegiatan pengambilan sampel serum babi juga dilakukan untukmendeteksi antibodi Hog Cholera. Jumlah sampel yang diperoleh di provinsi Bali sejumlah 66sampel serum babi dan 17 sampel (25,76%) diantaranya positif antibodi Hog cholera. Untuk diprovinsi NTB, dari 271 sampel serum yang diuji semuanya negatif antibodi Hog cholera.Sementara di provinsi NTT diperoleh hasil 21 dari 686 sampel (3,06%) positif antibodi Hogcholera.

Kata kunci: Hog cholera,. surveilans, antibodi elisa, RT-PCR

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hog Cholera (HC) atau Classical Swine Fever (CSF) merupakan penyakit hewan

yang sangat menular pada babi yang disebabkan oleh virus HC dari genus

Pestivirus (Ressang, 1986). Virus HC merupakan virus RNA berukuran kira kira

38-44 nm, berbentuk bundar, memiliki amplop (selubung), stabil pada pH 5-10

dan diketahui bersifat imunosupresif. Masa inkubasi pada umumnya berkisar

antara 3- 6 hari dan viremia terjadi segera setelah beberapa jam virus CSF

menginfeksi babi. Babi merupakan satu satunya hewan yang rentan terhadap

CSF. Penyakit ini ditularkan terutama melalui kontak langsung antara babi sakit

dan sehat, juga melalui sekreta dan ekskreta yang segar baik secara langsung

Page 155: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

211

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

maupun tidak langsung. Penyebaran penyakit dipercepat dengan perpindahan

babi sakit ke daerah baru. Kendaraan dan peralatan yang tercemar juga dapat

menularkan virus dari satu peternakan ke peternakan lainnya. Disamping itu,

fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak babi yang dipotong untuk

konsumsi pada stadium permulaan penyakit. Pada stadium ini organ tubuh

mengandung kosentrasi virus yang cukup tinggi dan virus yang berada dalam

daging segar dapat tahan hidup untuk jangka waktu yang panjang. Fakta di

lapangan menunjukkan bahwa salah satu penyebab cepatnya penyebaran

penyakit ini akibat limbah cucian daging yang berasal dari pemotongan babi

yang terinfeksi yang diberikan pada ternak babi lainnya. Tingkat morbiditas dan

mortalitas dapat mencapai 95 – 100%. Penyakit dapat terjadi secara akut tetapi

dapat juga menjadi kronis. Tanda klinis yang pertama terlihat ialah babi tampak

lesu, nafsu makan menghilang, depresi, demam tinggi hingga 41O C, muntah,

dan diare yang berseling dengan konstipasi. Perubahan warna kulit merah

kebiruan dapat ditemukan pada pangkal telinga dan pada daerah perut. Pada

stadium lanjut akan tampak gejala saraf, dimana babi terlihat terhuyung-huyung,

kejang lalu rebah dengan kaki bergerak gerak seperti mendayung sepeda

(Dharma dan Putra, 1997).

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 4026/Kpts/OT.140/4/2013

tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS), Hog

Cholera termasuk dalam 25 jenis penyakit hewan menular strategis yang

menjadi prioritas nasional dalam pengendalian dan penanggulangan di

Indonesia (Direktorat Kesehatan Hewan, 2015). Pada awal tahun 1994 kasus

Hog Cholera pertama kali ditemukan di Provinsi Sumatera Utara. Dalam kurun

waktu 3 tahun kasus Hog Cholera telah menyebar ke beberapa provinsi di

Indonesia. Hog Cholera di Bali dilaporkan pertama kali di Banjar Suwung Batan

Kendal, Desa Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar pada Oktober

1995 yang diperkuat dengan Keputusan Menteri Pertanian No.

888/Kpts/TN.560/9/1997 dan sejak itu penyakit menyebar di seluruh

kabupaten/kota di Bali. Sementara di NTT, kasus penyakit Hog Cholera pertama

kali ditemukan di Tarus, Kabupaten Kupang pada tahun 1997, yang diduga

Page 156: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

212

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

berasal dari lalu lintas ternak babi atau produknya dari Provinsi Timor Timur dan

pada tahun 1998, penyakit ini telah menyebar ke beberapa pulau di NTT

termasuk Pulau Sumba, Pulau Rote, Pulau Sabu dan beberapa kabupaten di

Pulau Timor. Untuk di Nusa Tenggara Barat yang awalnya masih berstatus

bebas Hog Cholera, namun sejak Desember 2012 telah merubah status NTB

menjadi daerah tertular dengan ditemukan adanya kasus Hog Cholera di Desa

Giri Temesi, Kecamatan Gerung , Lombok Barat dan di Desa Tegal Maja,

Kecamatan Tanjung, Lombok Utara.

Ternak babi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, pada umumnya

dikembangkan sebagai peternakan rakyat dan memiliki nilai sosial budaya dan

ekonomi yang tinggi. Kemungkinan munculnya kembali kasus HC menjadi

perhatian pemerintah. Untuk itu perlu dilakukan surveilans yang efektif untuk

mengetahui status daerah terhadap Hog Cholera.

Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut; Bagaimana situasi / status Hog Cholera di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di Tahun 2018 ?

Tujuan kegiatanMengetahui situasi /status Hog Cholera di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2018.

Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi

ilmiah mengenai situasi / status Hog Cholera di Provinsi Bali, NTB dan NTT,

sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan dalam

rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Page 157: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

213

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Out putTermonitornya situasi / status Hog Cholera yang ada di Propinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sesuai tugas dan fungsi Balai Besar

Veteriner untuk menyediakan hasil surveilans Hog cholera sebagai salah satu

penyakit hewan menular strategis prioritas di Indonesia.

Out comeTerwujudnya lingkungan ternak bebas HC di Provinsi Bali, Nusa Tenggara

Barat dan Nusa Tenggara Timur.

ANALISA RISIKO HC DI BALI, NTB DAN NTT

Hog Cholera merupakan penyakit yang sangat signifikan secara ekonomi.

Penyakit ini cepat menyebar dalam populasi babi dan dapat menyerang segala

umur. Besarnya dampak Hog Cholera terhadap populasi babi yang rentan tidak

hanya mempengaruhi industri babi secara local, namun juga internasional

melalui pembatasan perdagangan antar Negara. Karena dampak internasional

ini, Hog Cholera termasuk salah satu penyakit yang harus dilaporkan menurut

OIE. Beberapa faktor risiko penyebaran Hog Cholera di Bali, NTB dan NTT

antara lain manajemen kesehatan hewan belum terimplementasikan secara

optimal, pengawasan lalu lintas ternak babi (pergerakan babi) masih lemah,

pencampuran babi di setiap rantai pasar, status biosekuriti terbatas, dan

minimnya manajemen produk peternakan babi dan hasil sampingannya (by

product).

ANALISA RISIKO KEGIATAN

Pada kegiatan surveilans / monitoring HC diwilayah kerja BBVet Denpasar dapat

diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada Tabel 1.

Page 158: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

214

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring HC di Wilayah Kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar.

No Risiko Solusi1 Jadwal pengambilan sampel tidak

sesuaiMelakukan koordinasi dengandinas peternakan atau yangmenangani peternakan dankesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikandengan kegiatan lain pada Dinas /instansi terkait.

2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengandinas terkait sehingga jumlahsampel minimal terpenuhi.

3 Rusaknya sampel akibat tidaktersedianya sarana penyimpananyang layak (pendingin)

Berkoordinasi dengan dinassetempat untuk dapat menitipkansampel yang diperoleh padakulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan coolerbox beserta ice pack sehinggasampel masih tetap baik sampaidi laboratorium.

4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensifdengan tim pengadaan barangdan jasa BBVet Denpasar terkaitketersediaan bahan pengujian

5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alatpengujian yang rusak. Untuksementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaranpengujian.

Page 159: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

215

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

MATERI DAN METODE

MateriBahan : Serum dan darah EDTA (Buffycoat/PBMC)

Kit Elisa Hog Cholera (VDProCSFV), Pure Link Viral RNA/DNA Mini Kit

(Invitrogen), dan TaqMan One Step RT-PCR Master Mix Reagent Kit

(Applied Biosystem), Primer (Forward dan Reverse) , probe dan metoda

pengujian menggunakan referensi OIE

Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum

venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader. Alat

yang dipakai pada pengujian Real Time RT-PCR ini meliputi:

micropippet,PCR Cabinet, BioSafety Cabinet, Sentrifuge ,Vortex,

Spindown , ABI Prism 7500 (Applied Biosystem), Micro Amp Optical 8

Tube Strip ( Applied Biosystems).

Metode Sampling

Sampel pada kegiatan surveilans HC di provinsi Bali, NTB dan NTT adalah

ternak babi pada peternakan tradisional. Besaran sampel yang diambil

selanjutnya di uji dan di analisis. Sebanyak 1341 sampel darah EDTA babi untuk

uji deteksi antigen dengan metode RT PCR dengan rincian sampel sebagai

berikut : Bali 454 sampel, NTB 297 sampel dan NTT 590 sampel. Sedangkan

untuk mengetahui antibodi Hog Cholera di uji 1023 serum babi dengan metode

ELISA dengan rincian sampel sebagai berikut : Bali 66 serum, NTB 271 serum

dan NTT 686 sampel serum.

Prosedur Uji Real Time-PCR

Ekstraksi RNA

Ekstraksi RNA virus AI dilakukan dengan menggunakan Pure Link Viral

RNA/DNA Mini Kit (Invitrogen), sesuai dengan prosedur pembuat kit. Secara

Page 160: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

216

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

ringkas sebagai berikut : sebanyak 225 L Lisis buffer ke dalam tabung 2 ml

yang berisi 200 L specimen, di vortex dan diinkubasi 56oC elama 15 menit.

Selanjutnya ditambahkan alcohol absolut 250 L lalu di vortex, diinkubasi pada

suhu ruang selama 5 menit. Ditransfer ke dalam spin colum, disentrifus 8000

rpm suhu 4oC, 1 menit. Collection tube diganti kemudian ditambahkan 500 L

washing buffer, disentrifus 8000 rpm suhu 4oC, 1 menit. Selanjutnya collection

tube diganti dan disentrifuse kembali dengan kecepatan 14000 rpm selama 1

menit. Selanjutnya collection tube diganti dengan 1,5 ml recovery tube dan

ditambahkan 50 LRNAse free water. Diamkan dalam suhu ruang selama 1

menit, disentrifus 12000 rpm suhu 4oC . Spin colum dibuang dan tube yang

berisi RNA diberi label, sehingga RNA yang diperoleh siap untuk di uji.

Proses Amplifikasi

Deteksi virus HC dengan uji Real Time-PCR dilakukan menggunakan RT PCR

master mix reagent kit. Pelaksanaan RT-PCR dilakukan dengan mencampurkan

ke dalam tabung PCR bahan komponen one step PCR yang terdiri dari 2x

Reaction mix 12,5 L template RNA 5 L, Primer F (20 M) 0,5 L, Primer R

(20 M) 0,5 L Probe (10 M) 0,5 L, tambahkan Rnase free water (dH2O)

sebanyak 5 L. Kemudian tabung PCR tersebut dimasukan ke dalam mesin

real time PCR ABI Prism 7500 (Applied Biosystem), yang telah diprogram

dengan kondisi suhu: 1) sintesis cDNA 45oC selama 10 menit, 2) pre-denaturasi

95oC selama 10 menit dan dilanjutkan 45 x siklus program dengan kondisi 1)

denaturasi 95oC selama 15 detik, 2) annealing 60oC selama 45 detik dan

extention/ elongasi 72oC selama 1 menit. Hasil amplifikasi akan dibaca oleh

mesin computer dan akan ditampilkan dalam bentuk pola grafik.

Interpretasi hasil

Analisa data dilakukan dengan melihat pada Result yang akan menampilkan

data detektor dan Cycle threshold (Ct ). Cycle threshold (Ct) adalah siklus

flouresence yang dihasilkan dari reaksi yang memotong threshold dan kemudian

juga dilihat data report dan Amplication Plot (AP) nya untuk mengamati hasil

Page 161: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

217

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

running RT-PCR.. Uji dinyatakan valid, jika Ct value control positif kurang dari 40

dan control negative tidak memiliki karakter curve yang sama dengan control

positif. Bila Ct value dari sampel yang diuji bernilai kurang dari 25 dinyatakan

positif kuat.

Prosedur uji Elisa HC Antibodi

Darah babi diambil dari vena jugularis babi, setelah menjendal kemudian serum

dipisahkan dengan cara disentrifus dengan kecepatan 2.500 rpm selama 10

menit. Serum ditampung dalam tabung bertutup kuning (yellow cuptube) dan

disimpan pada suhu -20°C atau -70°C sampai digunakan. Pada saat dilakukan

uji ELISA, sebanyak 200 µl serum sampel masing-masing dipindahkan pada plat

mikrotiter bentuk datar. Inkubasi semua komponen kit pada suhu ruangan. Dan

buka plate yang telah dilapisi CSFV gp55 dari tempatnya. Masukkan 50 µl

dilution buffer ke setiap well yang telah dilapisi dengan antigen CSFV gp55.

Masukkan 50 µl sampel, kontrol positif dan kontrol negative ke dalam well yang

telah berisi dilution buffer (1:2). Tutup plate dan inkubasi selama 60 menit atau

semalaman pada suhu ruangan. Cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing

buffer 1X (300 µl per well) dan buang konten dalam well setiap tahap

pencucian. Setelah itu ditambahkan 100 µl konjugat HRPO anti-CSFV (CSFV-

CAB) ke dalam setiap well. Tutup plate dan inkubasi selama 30 menit pada suhu

ruangan. Cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per

well) dan buang konten dalam well setiap tahap pencucian. Tambahkan 100 µl

TMB Substrat ke dalam setiap well. Tutup plate dan inkubasi selama 15 menit

pada suhu ruangan. Amati densitas perkembangan warna pada kontrol negative.

Stop reaksi enzymatic dengan menambahkan 50 µl stop solution ke setian well

dan baca pada panjang gelombang 450 nm. Validasi dan hitung hasilnya.

Page 162: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

218

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Interpretasi hasil

Hitung % kompetisi (%PC) sampel menggunakan rumus sebagai berikut:

(Rata-rata OD Kontrol negatif – OD sampel)PI = x 100

(Rata-rata OD Kontrol negatif – Rata-rata OD Kontrol positif)

Interpretasi

%PC value ≥40% : Positif antibodi spesifik HC dalam serum.%PC value <40% : Negatif antibodi spesifik HC dalam serum.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Hasil pengujian sampel untuk mendeteksi antigen penyebab Hog Cholera di

Bali, NTB dan NTT pada tahun 2018, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Deteksi virus Hog Cholera dengan metode RT PCR di ProvinsiBali, NTB dan NTT tahun 2018.

Provinsi Kabupaten JumlahSampel

PositifAg

NegatifAg

ProporsiPositif(%)

Buleleng 112 0 112 0Denpasar 47 0 47 0Bangli 88 0 88 0Badung 165 0 165 0

Bali

Klungkung 42 0 42 0Total 454 0 454 0

Page 163: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

219

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Kupang 80 0 80 0Ende 75 0 75 0Manggarai Barat 80 0 80 0Nagekeo 60 0 60 0Ngada 60 0 60 0Sumba Timur 90 0 90 0Flores Timur 75 0 75 0

NusaTenggaraTimur

Lembata 70 0 70 0Total 590 0 590 0Lombok Tengah 91 0 91 0Mataram 106 0 106 0

NusaTenggaraBarat Lombok Barat 100 0 100 0

Total 297 0 297 0

Dalam kegiatan surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan

NTT diperoleh sebanyak 1341 sampel darah EDTA (Buffycoat/PBMC) babi. Di

Provinsi Bali diambil sejumlah 454 sampel dari 5 Kabupaten / Kota yaitu

Kabupaten Buleleng, Klungkung, Bangli, Badung, dan Kota Denpasar. Di

provinsi NTB diambil sejumlah 297 sampel dari kabupaten Lombok Barat 100

sampel, Lombok Tengah 91 sampel dan Kota Mataram 106 sampel. Sedangkan

di provinsi NTT diambil 590 sampel dari kabupaten Kupang 80 sampel, Ende 75

sampel, Manggarai Barat 80 sampel, Nagekeo 60 sampel, Ngada 60 sampel,

Sumba Timur 90 sampel, Flores Timur 75 sampel, dan Lembata 70 sampel.

Hasil laboratorium dari tiga provinsi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada

sampel yang terdeteksi positif virus Hog cholera (0 %).

Kegiatan surveilans Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar juga dimaksudkan untuk melihat proporsi antibodi Hog cholera di

provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2018. Hasil yang diperoleh dalam

kegiatan ini di provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 3).

Page 164: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

220

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 3. Deteksi antibodi Hog Cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT tahun2018.

Provinsi Kabupaten JumlahSampel

SeroPositif

SeroNegatif

ProporsiPositif(%)

Buleleng 0 0 0 0Denpasar 19 1 18 5,26Gianyar 15 5 10 33,33Bangli 6 0 6 0Jembrana 2 0 2 0

Bali

Tabanan 24 11 13 45,83Total 66 17 49 25,76Kupang 65 0 65 0Ende 80 21 59 26,25Manggarai Barat 125 0 125 0Nagekeo 39 0 39 0Ngada 40 0 40 0Sumba Barat 32 0 32 0Sumba Timur 40 0 40 0Flores Timur 65 0 65 0Lembata 70 0 70 0Malaka 45 0 45 0Manggarai 35 0 35 0

NusaTenggaraTimur

Sumba Barat Daya 50 0 50 0Total 686 21 665 3,06Lombok Tengah 92 0 92 0Mataram 93 0 93 0

NusaTenggaraBarat Lombok Barat 86 0 86 0

Total 271 0 271 0

Kegiatan pengambilan sampel dilakukan di provinsi Bali, NTB dan NTT

sebanyak 1023 serum babi. Dari hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan

hasil 38 (3,7%) sampel serum babi yang berasal dari wilayah kerja BBVet

Denpasar positif antibodi Hog cholera. Untuk di provinsi Bali diperoleh hasil 17

Page 165: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

221

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

sampel dari 66 sampel serum positif antibodi Hog cholera (25,76 %). Untuk di

provinsi NTB, dari 271 sampel serum yang diuji, tidak satupun sampel yang

menunjukkan antibodi Hog cholera (0%). Sementara di provinsi NTT diperoleh

hasil 21 dari 686 sampel positif antibodi Hog cholera (3,06 %).

PEMBAHASAN.

Pada tahun 2018 di Provinsi Bali tidak terdeteksi positif virus HC sedangkan

untuk deteksi antibodi mencatat ada 17 sampel seropositif HC dari 66 sampel

yang diuji. Tidak diketahui secara pasti apakah hasil positif antibodi ini

disebabkan karena pemberian vaksinasi anti Hog Cholera atau karena infeksi

alam oleh virus Hog Cholera. Walaupun diyakinin oleh beberapa peternak

bahwa sebagian besar babi-babi mereka tersebut telah pernah dilakukan

vaksinasi terhadap Hog Cholera. Namun mengingat recording vaksinasi babi

babi tersebut tidak mampu telusur, sehingga hasil ini tidak bisa digunakan

sepenuhnya untuk menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan program vaksinasi

terkait upaya pengendalian dan atau pemberantasan. Hasil pengamatan di

lapangan selama tahun 2018 ini menunjukkan bahwa tidak ada dilaporkan kasus

HC oleh petugas di masing masing kecamatan di Bali. Hal ini di dukung oleh

hasil konfirmasi laboratorium bahwa semua sampel darah babi yang diambil

pada saat surveilans, negatif virus HC. Kondisi ini menunjukkan kasus HC di Bali

sudah terkendali dengan baik hingga nol kasus. Supaya kondisi ini tetap terjaga,

maka vaksinasi perlu terus dilakukan hingga mencapai herd immunity untuk

memutus penularan HC.

Hasil surveilans pada tahun 2018 di Provinsi NTT menunjukkan hasil tidak ada

sampel yang terkonfirmasi positif mengandung virus seperti ditunjukkan pada

Tabel 2. Hasil ini, berbeda dengan hasil surveilans HC di NTT yang pernah

dilakukan pada tahun 2017, dimana masih menunjukkan adanya positif antigen

virus. Demikian pula, berdasarkan data Dinas Peternakan Provinsi NTT, pada

wabah kasus HC di Pulau Flores pada tahun 2017 dilaporkan 10.056 kasus

kematian babi akibat HC dengan kerugian ekonomi yang langsung dirasakan

Page 166: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

222

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

masyarakat mencapai 25 miliar (Prisma, 2017). Disebutkan bahwa penyebab

utama penyebarluasan HC di NTT khususnya di Flores karena pergerakan atau

lalu lintas ternak babi antar kabupaten dan antar pulau yang belum dikontrol

secara maksimal. Disamping itu, populasi babi di Flores sangat rentan terhadap

HC karena kurang dari 10 % dari populasi yang tervaksinasi (Dinas Peternakan

Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2017). Pada tahun 2018, hasil surveilans

menunjukkan hanya 3,06 % yang memiliki proporsi positif antibodi HC. Hal ini

menunjukkan bahwa masih banyak ternak babi yang belum memperoleh

vaksinasi Hog Cholera sehingga herd immunity masih sangat rendah. Untuk

melindungi peternakan babi dari Hog Cholera cakupan vaksinasi di suatu daerah

perlu terus ditingkatkan sehingga terbentuk herd immunity yang mampu

melindungi populasi dari infeksi Hog Cholera. Upaya pemberantasan Hog

Cholera di NTT, khususnya di Flores menjadi sangat relevan, mendesak dan

prioritas dalam rangka menjaga Flores sebagai lumbung babi di NTT. Flores

berkontribusi 44% terhadap populasi babi di NTT. Usaha peternakan babi

merupakan salah satu urat nadi perekonomian NTT. Ternak babi juga memiliki

nilai social budaya yang tinggi karena merupakan bagian yang tak terpisahkan

dari kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakat NTT.

Untuk di Nusa Tenggara Barat yang awalnya masih berstatus bebas Hog

Cholera, namun sejak Desember 2012 telah merubah status NTB menjadi

daerah tertular dengan ditemukan adanya kasus Hog Cholera di Desa Giri

Temesi, Kecamatan Gerung , Lombok Barat dan di Desa Tegal Maja,

Kecamatan Tanjung, Lombok Utara.

Berdasarkan hasil pengujian sampel surveilans HC di NTB pada tahun 2018

menunjukkan hasil uji negatif antigen virus HC dan seronegatif untuk masing-

masing uji. Tidak adanya kasus penyakit HC di Nusa Tenggara Barat

kemungkinan besar karena biosekuriti telah dilaksanakan dengan baik, peran

pengawasan lalu lintas ternak beserta produknya memiliki peran yang sangat

berarti. Dari pendokumentasian kasus HC dan hasil surveilans BBVet Denpasar,

sejak tahun 2013 di Provinsi NTB sudah tidak pernah dilaporkannya kasus HC.

Page 167: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

223

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Dengan kondisi tersebut seyogyanya Pemerintah Provinsi NTB segera

melakukan kajian pembebasan HC bersama BBVet Denpasar melalui surveilans

yang efektif yaitu surveilans berbasis risiko. Mengingat dalam pedoman

pengendalian dan penanggulangan Hog Cholera, disebutkan pembagian status

daerah dengan kriteria bebas adalah sebagai berikut: adanya batasan alam

(barrier alami) berupa laut dan tidak pernah dilaporkan kasus HC dalam 3 tahun

terakhir baik secara klinis, epidemiologis dan konfirmasi laboratorium, melalui

surveilans.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan1. Surveilans HC di wilayah kerja BBVet Denpasar baik di Bali, NTB, dan NTT

tahun 2018 menunjukkan tidak terdeteksi adanya antigen virus Hog Cholera.

2. Proporsi hasil positif antibodi Hog cholera pada tahun 2018 di provinsi Bali,

NTB dan NTT berturut turut sebesar 25,76%, 0 %, dan 3,06%.

Saran1. Surveilans untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi maupun melalui

indikator antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar agar tetap dilaksanakan terutama untuk wilayah yang tidak

melakukan program vaksinasi seperti di provinsi NTB. Hal tersebut juga

untuk melihat kemungkinan dilakukan upaya pembuktian wilayah NTB

sebagai wilayah bebas penyakit Hog cholera.

2. Pada peternakan yang terdeteksi positif virus Hog cholera disarankan untuk

melakukan vaksinasi Hog cholera dan pengawasan lalu lintas ternak babi

secara ketat serta mengimplementasikan prinsip-prinsip biosecurity.

3. Mengembangkan sistem surveilans berbasis risiko dan sindromik yang akan

diusulkan untuk dilakukan pada tahun selanjutnya dengan tingkat sensitifitas

dan spesifisitas surveilans yang lebih tinggi untuk dapat mendeteksi virus

Hog cholera.

Page 168: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

224

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta

staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan

surveilans Hog Cholera, sehingga surveilans dapat dilaksanakan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA.

Dharma, D.M.N dan Putra, A.A.G (1997). Penyidikan Penyakit Hewan. Bali Media.

Dibia, N., Melyanto, S.E., Abioga, D.P., Purnatha, N., Suryadinata, L.M.F., Kurniawan F.R.(2017). Surveilans dan Monitoring Hog Cholera di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur tahun 2016. Laporan Teknis Balai Besar VeterinerDenpasar.

Direktorat Kesehatan Hewan (2015). Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan ClassicalSwine Fever. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

Ressang, A. A. (1986). Penyakit Viral pada Hewan. UI-press. Jakarta.

Page 169: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DAN KUKUDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA

TENGGARA TIMUR TAHUN 2018

I Nyoman Dibia, Ardiana, Lalu Muh. Faesal Suryadinata, Fauzi R.Kurniawan

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Deteksi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah dilakukan melalui surveilans dan monitoring diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selama surveilans berbasisrisiko berhasil dikumpulkan sampel sebanyak 412 sampel dengan rincian 148 sampel serum diprovinsi Bali dan 114 sampel serum di Nusa Tenggara Barat dan 150 sampel serum di NusaTenggara Timur. Hasil pengamatan dan pemeriksaan selama pelaksanaan surveilans, tidakditemukan ternak sapi dan babi yang menunjukkan gejala klinis PMK. Demikian pula hasil ujidengan metode ELISA menggunakan Priocheck FMDV NS Elisa Kit menunjukkan semuasampel serum negatif antibodi PMK. Dapat disimpulkan bahwa provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur masih bebas PMK.

Kata Kunci : Surveilans, Penyakit Mulut dan Kuku, Elisa.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit viral yang sangat menular dan

menyerang semua hewan berkuku belah/ genap seperti sapi, kerbau, kambing,

domba dan babi. PMK disebabkan oleh virus yang termasuk genus

Aphthovirus dari family Picornaviridae, berukuran sangat kecil yaitu sekitar 20

milimikron. Virus PMK terdiri dari 7 serotipe yaitu: O, A, C, SAT-1, SAT-2, SAT-

3, dan Asia-1 (OIE, 2014). Penyakit ditularkan melalui kontak langsung antara

hewan sakit dengan yang sehat atau secara kontak tidak langsung melalui

makanan yang tercemar (terutama peternakan yang mempraktekan swill

feeding) atau melalui lalu lintas bahan bahan lain yang tercemar. Masa

inkubasi PMK pada umumnya antara 2-5 hari atau lebih. Penyakit ini ditandai

Page 170: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

dengan adanya pembentukan vesikel / lepuh dan erosi pada mukrosa mulut,

lidah, gusi, nostril, ambing, dan pada kulit diantara kuku (Donaldson, 1993).

Pada hewan ruminansia dapat membawa virus setelah sembuh dan virus tetap

persisten dalam faring sapi selama 3 tahun.

Kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik / mewabah. Tingkat

morbiditas PMK sangat tinggi yakni dapat mencapai 100% tetapi tingkat

kematian penderita sangat rendah. Meskipun demikian kerugian yang

ditimbulkan sangat besar yakni terjadi penurunan berat badan, penurunan

produksi susu, dan hambatan lalu lintas ternak beserta produknya.

Pada tahun 1986, pemerintah menyatakan Indonesia bebas PMK melalui SK

Mentan 260/1986, selanjutnya secara resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan

Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE) pada tahun 1990

seperti tercantum dalam resolusi OIE No. XI tahun 1990. Masuknya PMK ke

negara bebas pada umumnya melalui importasi daging atau importasi ternak.

Mengingat Indonesia berdekatan dengan Negara Negara tertular PMK, maka

masuknya PMK perlu diwaspadai. Disamping itu, wilayah kerja BBVet

Denpasar pada umumnya dikenal sebagai daerah tujuan wisata dunia

sehingga tingginya arus lalu lintas manusia dari daerah tertular PMK ke

Indonesia juga berpotensi menyebarkan PMK. Untuk itu surveilans berbasis

risiko / monitoring dalam rangka mengevaluasi status bebas dan deteksi dini

penyakit Mulut dan Kuku di wilayah kerja BBVet Denpasar (Provinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur ) perlu dilakukan.

Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut; Apakah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan

Nusa Tenggara Timur masih bebas Penyakit Mulut dan Kuku ?

Tujuan Kegiatan

Page 171: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Mendeteksi virus PMK di wilayah kerja BBVET Denpasar yang berisiko melalui

surveilans sindromik dan uji serologis dengan indikator antibodi untuk

membuktikan bahwa Bali, NTB dan NTT masih bebas PMK.

Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi

ilmiah status PMK di wilayah kerja BBVet Denpasar serta dijadikan bahan

pertimbangan dalam rangka peningkatan kewaspadaan dini terhadap PMK

Out putTermonitornya status bebas penyakit Mulut dan Kuku di Propinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Out comeTerwujudnya lingkungan ternak bebas PMK di Provinsi Bali, Nusa Tenggara

Barat dan Nusa Tenggara Timur.

ANALISA RISIKO PMK DI BALI, NTB DAN NTT

Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar belum mampu memenuhi

kebutuhan daging sapi / kerbau secara lokal. Untuk memenuhi kebutuhan

tersebut, Indonesia masih melakukan importasi dalam bentuk daging beku.

Disamping itu, tingginya arus perdagangan internasional yang masuk tentunya

meningkatkan potensi ancaman masuknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) ke

Indonesia termasuk ke wilayah kerja BBVet Denpasar (Bali, NTB dan NTT).

Selama ini sebagian besar wabah PMK di beberapa Negara di dunia selalu

mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan / lalu lintas hewan dan

produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk hewan

tercatat dapat menjadi media pembawa virus PMK antara lain yaitu daging dan

produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan dan produk

hewan, hijauan pakan ternak, jerami, dan beberapa jenis material lainnya dapat

juga berperan dalam penyebaran PMK. Meningkatnya jumlah penumpang

internasional dari daerah / negara tertular juga merupakan salah satu potensi

Page 172: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

ancaman masuknya PMK yang cukup besar. Berdasarkan hasil kajian peneliti

sebelumnya menyatakan bahwa virus PMK dapat disebarkan oleh orang

melalui sepatu, tangan dan pakaian yang tercemar.

ANALISA RISIKO KEGIATAN

Pada kegiatan surveilans / monitoring PMK diwilayah kerja BBVet Denpasar

dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring PMK di Wilayah Kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar.

No Risiko Solusi

1 Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai

Melakukan koordinasi dengandinas peternakan atau yangmenangani peternakan dankesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikandengan kegiatan lain pada Dinas /instansi terkait.

2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengandinas terkait sehingga jumlahsampel minimal terpenuhi.

3 Rusaknya sampel akibat tidaktersedianya sarana penyimpananyang layak (pendingin)

Berkoordinasi dengan dinassetempat untuk dapat menitipkansampel yang diperoleh padakulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan coolerbox beserta ice pack sehinggasampel masih tetap baik sampaidi laboratorium.

4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensifdengan tim pengadaan barangdan jasa BBVet Denpasar terkaitketersediaan bahan pengujian

5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alat

Page 173: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

pengujian yang rusak. Untuksementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaranpengujian.

MATERI DAN METODEMateri

Bahan : Serum hewan peka (sapi dan babi),

Kit Elisa antibodi PMK (PrioCHECK FMDV NS)

Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum

venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader.

Metodea. Metode sampling

Sampel yang diambil dalam surveilans berbasis risiko ini adalah serum ternak

peka PMK pada peternakan di wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans PMK di

provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan rumus Detect present of the

Disease (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95

%, dengan asumsi prevalensi adalah 1 %, serta ukuran populasi di masing-

masing provinsi di atas 10.000 ekor maka diperlukan 299 sampel untuk

mendeteksi setidaknya satu positif dengan peluang 0,95.

b. Metode pengujianPengujian sampel serum untuk mendeteksi antibodi Non Struktural Protein

virus penyebab PMK akibat infeksi alam (OIE, 2014) menggunakan Kit Elisa

antibodi PMK (Priocheck FMDV NSP), dengan prosedur uji sebagai berikut :

Hari pertama proses pengujian

Page 174: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1. ELISA buffer sebanyak 80 µl dimasukkan ke semua well plate yang sudah

dilapisi antigen virus PMK

2. Serum kontrol negatif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well A1 dan B1

3. Serum kontrol positif lemah sebanyak 20 µl dimasukkan ke well C1 dan D1

4. Serum kontrol positif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well E1 dan F1

5. Sampel serum sebanyak 20 µl dimasukkan ke masing masing well yang

masih kosong.

6. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah disediakan

7. Plate uji digoyang dengan pelan

8. Plate uji di inkubasi semalaman (16-18 jam) pada suhu 22 °C

Hari kedua proses pengujian1. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan selanjutnya plate dicuci

menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing-masing

200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang

terakhir.

2. Konjugat sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells

3. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah tersedia.

4. Plate uji diinkubasi selama 60 menit pada suhu 22 °C

5. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan dan cuci plate tersebut

menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing masing

200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang

terakhir.

6. Substrat chromogen (TMB) sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells

7. Plate uji diinkubasi selama 20 menit pada suhu 22 °C

8. Stop solution sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells

9. Mix semua bagian di wells plate uji untuk di ukur

10.Densitas diukur dengan menggunakan ELISA reader dengan panjang

gelombang 450 nm setelah 15 menit

11.Nilai OD450 dihitung sebagai berikut:

Page 175: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

OD450 sampelPI = 100 - x 100

OD450 max

Interpretasi Hasil

1. OD450 max (rata-rata OD450 kontrol negatif) harus >1.000

2. Rata-rata persentase inhibisi kontrol positif lemah harus >50%

3. Rata-rata persentase inhibisi kontrol positif harus >70%

4. Bila tidak menemukan kriteria itu, berarti hasilnya tidak terpakai

5. Bila PI ≥50% = seropositif PMK

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Bali pada tahun 2018

dilakukan di 2 kabupaten/kota yaitu Denpasar dan Badung. Jumlah sampel

yang diambil sejumlah 148 sampel yang terbagi dari seluruh kabupaten yang

disampling. Dari hasil pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau

negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)di provinsi Bali Tahun 2018.

Kab / Kota Kecamatan Desa / Kel Seropositif

Seronegatif

JumlahSampel

Badung Abiansemal Punggul 0 50 50DenpasarSelatan Sesetan 0 50 50

Denpasar

DenpasarTimur Kesiman 0 48 48

Total 0 148 148

Pengambilan sampel di wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada

tahun 2018 dilakukan di tiga kabupaten/kota yaitu Lombok Tengah, Lombok

Timur, dan Kota Mataram. Jumlah sampel yang diambil berjumlah 114 sampel.

Dari hasil pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau negatif antibodi

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti ditunjukkan pada Tabel 3.

Page 176: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 3. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)di Provinsi Nusa Tenggara Barat , Tahun 2018.

Kabupaten Kecamatan Desa / Kel Seropositif

Seronegatif

JumlahSampel

Praya Tengah Kelebuh 0 10 10

KopangMontongGamang

024 24

LombokTengah

Pringgarata Murbaya 0 30 30Mataram Sandubaya Selagalas 0 25 25Lombok Timur Selong Kelayu 0 25 25

Total 0 114 114

Sampel yang diuji dari provinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 150 sampel

serum, yang diambil di tiga kabupaten / kota yaitu Kupang, Malaka, dan

Manggarai Barat. Dari hasil pengujian diperoleh hasil semua sampel negatif

antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti Tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)di provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2018.

Kabupaten Kecamatan Desa / Kel Seropositif

Seronegatif

JumlahSampel

Kupang Kupang Tengah Penfui Timur 0 50 50Tasifeto Barat Derok Faturene 0 25 25

Fatukety 0 18 18Malaka

Kakuluk MesakDualaus 0 7 7MacangTanggar

011 11

ManggaraiBarat

Komodo

Wae Kelambu 0 39 39Total 0 150 150

PEMBAHASAN

Page 177: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Penyakit Mulut dan Kuku merupakan penyakit hewan menular yang

mempunyai dampak ekonomi yang sangat besar, antara lain karena

kehilangan produktivitas, pemusnahan ternak terinfeksi, kehilangan peluang

ekspor dan biaya eradikasi. Telah diketahui secara umum bahwa lalu lintas

ternak dan produk asal ternak serta bahan bahan lainnya yang tercemar virus

merupakan sarana penular / pembawa virus PMK atau sumber penular. Oleh

karenanya, terhadap bahan-bahan tersebut di atas pada saat terjadinya wabah

atau adanya ancaman wabah perlu memperoleh pengawasan yang sangat

ketat. Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (Malaysia, Thailand,

Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja) masih tertular PMK, sehingga selalu

menjadi ancaman yang besar terhadap kemungkinan introduksi PMK ke

Indonesia. Mengingat kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik /

mewabah, dan menyebar sangat cepat serta dapat melintasi batas batas

negara, maka perlu dicermati secara seksama agar Indonesia yang telah

bebas dari PMK tidak tertular kembali, yang pada akhirnya akan sangat

merugikan perekonomian nasional.

Hasil surveilans dan monitoring Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) oleh Balai

Besar Veteriner Denpasar tahun 2018 di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan tidak ada kasus klinis PMK yang

ditemukan di lapangan dan secara serologis semua sampel serum negatif

antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Hasil ini mengukuhkan bahwa Bali,

Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur masih tetap bebas Penyakit

Mulut dan Kuku (PMK). Bebasnya wilayah ini dari Penyakit Mulut dan Kuku

(PMK) karena telah dilakukan tindak pencegahan melalui pengawasan lalu

lintas/ tindak karantina yang sangat ketat terhadap pemasukan atau import

ternak ruminansia dan produknya dari negara tertular Penyakit Mulut dan Kuku

(PMK).

Surveilans PMK di daerah yang memiliki risiko tinggi untuk kemungkinan

masuknya hewan/produk hewan dari negara tertular PMK merupakan kunci

Page 178: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

utama dalam rangka mempertahankan status bebas PMK di Indonesia. Untuk

itu, dipandang perlu penguatan sistem surveilans untuk membangun suatu

sistem deteksi dini (early detection system) yang memiliki sensitivas tinggi

terhadap PMK terutama di daerah / kawasan yang memiliki potensi ancaman

karena penyelundupan hewan atau produk hewan dari negara tertular, dan

lokasi dengan peternakan babi yang pakannya menggunakan sisa hotel (swill

feeding).

Penggunaan Kit pengujian dengan penandaan terhadap protein non struktural

merupakan salah satu langkah dalam meningkatkan sensitivitas surveilans.

Replikasi virus pada hewan yang terinfeksi PMK menginduksi respons imun

terhadap protein non struktural (NS) PMK. Respons terhadap protein NS ini

tidak bersifat spesifik serotype. Infeksi dapat ditunjukkan dengan salah satu

dari tujuh serotipe. Hewan yang tidak terinfeksi PMK tetapi divaksinasi tidak

akan mengembangkan respons antibodi yang terdeteksi terhadap protein NS

pada uji ELISA. Namun demikian, jika vaksin yang digunakan dengan kualitas

rendah, seperti kurangnya inaktivasi dan pemurnian virus, dapat menyebabkan

hasil positif palsu dalam pengujian (Ha et al., 2008; Khounsy and Conlan,

2008; Morissy et al., 2008). Dalam hal ini, identifikasi dan kualitas vaksin

menjadi penting untuk interpretasi hasil yang benar.

Dalam rangka mengantisipasi kemungkinan masuknya PMK ke Indonesia,

mengingat beberapa negara tetangga di Asia Tenggara telah tertular,

dipandang perlu segera ditetapkan rencana aksi darurat yang bertujuan untuk

menguraikan prosedur-prosedur yang perlu dilaksanakan, struktur manajemen

dan peran yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak yang terlibat,

apabila ada dugaan / kasus PMK.

KESIMPULAN DAN SARAN.

Page 179: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

KesimpulanBerdasarkan kegiatan surveilans / monitoring PMK oleh BBVet Denpasar pada

tahun 2018 dapat disimpulkan ;

1. Selama pelaksanaan surveilans, tidak ditemukan ternak yang

menunjukkan gejala klinis PMK.

2. Dari 412 sampel serum yang diuji, tidak terdeteksi antibodi PMK (negatif

antibodi PMK).

3. Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur masih tetap

bebas PMK.

Saran

Mengingat ancaman masuknya PMK ke Indonesia sangat tinggi dan

berlangsung setiap saat, maka kegiatan surveilans / monitoring perlu

dilaksanakan secara berkelanjutan, terutama di daerah-daerah yang berisiko

tinggi dengan metode surveilans yang memiliki sensitivitas yang tinggi

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta

staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan

surveilans penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sehingga surveilans dapat

dilaksanakan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Page 180: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Donaldson, A.I. (1993). Eidemiology of Foot and Mouth Disease the Curent and NewPerspective. Diagnosis and epidemiology of foot and mouth disease in southeastAsia. Aciar Proceeding No 51, 9-15.

Ha, N.T. (2008). The Classical Swine Fever and Foot and Mouth Disease Situation in Vietnam.In Management of Classical Swine Fever and Foot and Mouth Disease in LaO PDR.Aciar Proceedings 128.

Khounsy, S and Conlan, J. (2008). Classical Swine Fever and Foot and Mouth Disease in LaOPDR. In Management of Classical Swine Fever and Foot and Mouth Disease in LaOPDR. Aciar Proceedings 128.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P. (1987). Principles and Methods VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press. USA.

Morrissy, C., Wright, L., Conlan, J., Goff, W., Colling, A., Hammond, J., Johnson, M., Blacksell,S., and Daniels, P. (2008). Diagnostic tests for the control of Classical Swine Feverand Foot and Mouth Disease in South East Asia: An overview. In Management ofClassical Swine Fever and Foot and Mouth Disease in LaO PDR. Aciar Proceedings128.

OIE. (2014). Foot and Mouth Disease. OIE Terrestrial Manual, Chapter 2.1.5.

Page 181: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

192

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN

NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018

I Nyoman Dibia, Ardiana, Lalu Muh. Faesal Suryadinata, Fauzi R.Kurniawan

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilakukan surveilans berbasis risiko di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan NusaTenggara Timur yang bertujuan untuk mengetahui distribusi kasus dan mendeteksi keberadaanvirus Avian Influenza pada unggas dan lingkungan. Pengujian dilakukan dengan metodeisolasi virus pada telur ayam berembrio dan teknik Konvensional / Real Time PolymeraseChain Reaction (RT-PCR). Pada saat surveilans diperoleh sampel unggas (swab nasal dankloaka / lingkungan / organ unggas dari wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT masing-masingsebanyak 3.085 sampel 411 sampel dan 895 sampel. Hasil pengujian sampel menunjukkanproporsi positif virus AI (H9N2) di pasar unggas hidup di Provinsi Bali, NTB dan NTT masing-masing sebesar 0,2%, 0% dan 0,6%. Kondisi ini menunjukkan bahwa Avian Influenza masihbersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Kata kunci: Avian Influenza, Surveilans, Bali, NTB, NTT.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Avian Influenza adalah penyakit hewan menular yang menyerang unggas,

disebabkan oleh virus influenza tipe A, family Orthomyxoviridae. Virus

influenza A dibedakan menjadi sub-sub tipe berdasarkan karakter glikoprotein

pada permukaan virus yang berperan dalam menyusun hemaglutinin (HA) dan

neuraminidase (NA). Secara genetik diketahui ada 16 macam HA (H1-H16)

dan 9 NA (N1-N9). Dengan demikian virus influenza A mempunyai 144 subtipe

kemungkinan. Virus AI memiliki kemampuan mutasi dan reasorsi genetik

sehingga terjadi antigenic drift dan atau antigenic shift yang dapat

mempengaruhi sifat antigenik, patogenesitas dan spesifisitas hospesnya.

Kondisi tersebut akan dapat menyebabkan sistem kekebalan induk semang

sulit mengenali virus yang telah bermutasi tersebut.

Page 182: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

193

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Dugaan kasus pertama HPAI sub tipe H5N1 pada unggas di Indonesia terjadi

di Jawa Tengah, sekitar bulan Agustus 2003 dan baru dikukuhkan

keberadaannya secara definitif pada Januari 2004. Pada awalnya, virus H5N1

yang diisolasi di Indonesia termasuk dalam kelompok keturunan genetik

(clade) 2.1, kemudian berkembang menjadi clade 2.1.3, selanjutnya menjadi

clade 2.1.3.1, 2.1.3.2 dan clade 2.1.3.3. Hasil kajian lapangan dan penelitian

laboratorium menunjukkan bahwa virus H5N1 clade 2.1 patogen pada unggas

dari golongan gallinaceous seperti ayam layer, ayam broiler, ayam kampung

dan puyuh, sedangkan itik dan unggas air lainnya relatif tahan. Sejak akhir

2012, muncul virus clade 2.3.2.1 yang merupakan virus H5N1 introduksi baru

ke Indonesia dan menyebabkan wabah pada itik dan entok. Sampai saat ini AI

bersifat endemik di 32 dari 34 provinsi di Indonesia, kecuali Provinsi Maluku

Utara dan Maluku.

Avian Influenza khususnya HPAI menyebabkan kerugian ekonomi sangat

besar karena morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi, menyebabkan

penurunan produksi telur dan daging, serta penurunan kesempatan berusaha

di bidang peternakan ayam. Dari aspek kesehatan masyarakat, AI merupakan

penyakit zoonosis dan telah menyebabkan kematian manusia. Mengingat virus

AI memiliki sifat yang mudah bermutasi genetik sehingga berpotensi

menimbulkan pandemi influenza yang sangat berbahaya (Direktorat

Kesehatan Hewan, 2016). Untuk itu perlu dilakukan surveilans yang efektif

untuk mengetahui status daerah terhadap Avian Influenza di wilayah kerja

BBVet Denpasar.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut; Bagaimana situasi / status Avian

Influenza di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di

Tahun 2018?

Page 183: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

194

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tujuan kegiatanMengetahui situasi /status Avian Influenza di Provinsi Bali, Nusa Tenggara

Barat dan dan Nusa Tenggara Timur. Tahun 2018.

Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi

ilmiah mengenai situasi / status Avian Influenza di Provinsi Bali, NTB dan

NTT, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan

dalam rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Avian Influenza

di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Out putTermonitornya situasi / status Avian Influenza yang ada di Propinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sesuai tugas dan fungsi Balai

Besar Veteriner untuk menyediakan hasil surveilans Avian Influenza sebagai

salah satu penyakit hewan menular strategis prioritas di Indonesia.

Out comeTerwujudnya lingkungan ternak unggas bebas Avian Influenza di Provinsi Bali,

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

ANALISA RISIKO AVIAN INFLUENZA DI BALI, NTB DAN NTT

Avian Influenza merupakan penyakit yang sangat signifikan secara ekonomi.

Penyakit ini cepat menyebar dalam populasi unggas dan bersifat zoonosis.

Besarnya dampak Avian Influenza terhadap populasi unggas yang rentan tidak

hanya mempengaruhi industri perunggasan secara local, namun juga

internasional melalui pembatasan perdagangan antar Negara. Karena dampak

internasional ini, Avian Influenza termasuk salah satu penyakit yang harus

dilaporkan menurut OIE. Beberapa faktor risiko penyebaran Avian Influenza di

Bali, NTB dan NTT antara lain manajemen kesehatan hewan belum

Page 184: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

195

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

terimplementasikan secara optimal, pengawasan lalu lintas ternak unggas

masih lemah, pencampuran unggas di setiap rantai pasar, status biosekuriti

terbatas, dan minimnya manajemen produk peternakan unggas dan hasil

sampingannya (by product).

ANALISA RISIKO KEGIATAN

Pada kegiatan surveilans / monitoring AI diwilayah kerja BBVet Denpasar

dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring AI di Wilayah Kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar.

No Risiko Solusi

1 Jadwal pengambilansampel tidak sesuai

Melakukan koordinasi dengan dinaspeternakan atau yang menanganipeternakan dan kesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilan sampelsebelum keberangkatan sehingga dapatdisesuaikan dengan kegiatan lain padaDinas / instansi terkait.

2 Target sampel tidakterpenuhi

Melakukan koordinasi dengan dinas terkaitsehingga jumlah sampel minimalterpenuhi.

3 Rusaknya sampel akibattidak tersedianya saranapenyimpanan yang layak(pendingin)

Berkoordinasi dengan dinas setempatuntuk dapat menitipkan sampel yangdiperoleh pada kulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan ke Denpasarmenggunakan cooler box beserta icepack sehingga sampel masih tetap baiksampai di laboratorium.

4 Bahan pengujian belumtersedia

Berkomunikasi secara intensif dengan timpengadaan barang dan jasa BBVetDenpasar terkait ketersediaan bahanpengujian

5 Alat rusak Berkomunikasi dengan Kasubbag RTPterkait perbaikan alat pengujian yangrusak. Untuk sementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVet Denpasar untukkelancaran pengujian.

Page 185: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

196

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

MATERI DAN METODE

Materi1. Bahan dan Alat untuk pengujian Isolasi AI :

- Telur ayam berembrio umur 9-11 hari.- PBS 1x pH 7,4, stok antibiotika (10.000 IU/ml penisilin, 10.000 µg/ml

streptomisin).

- Biohazard Cabinet Containment Level II, inkubator (37°C), sentrifus,gunting, skalpel, pinset, mortar, alu, spuit 1 ml, tabung, kotak lamputeropong telur.

2. Bahan dan Alat untuk pengujian PCR AI :

- Kit ekstraksi (Invitrogen, No Katalog : 2280-050, 12280-096)

- Kit Master Mix (Ag Path – IDTM One Step RT-PCR Kit, P/NAM 1005)

- BSC, Single channel, Tip steril ukuran 1000 µl, 200 µl, 50 µl, Mikrotube2 ml

3. - Primer Type A

IVAF-D161 M :5’-AGATGAGYCTCCTAACCGAGGTCG

IVA.R-D162 :5’-TGCAAAAACATCYTCAAGTCTCTG

IVA.R-D162 :5’-TGCAAACACATCYTCAAGTCTCTG

IVA.R-D162 :5’-TGCAAAGACATCYTCAAGTCTCTG

IVA.R-D162 :5’-TGCAAATACATCYTCAAGTCTCTG

Probe : - Probe Influenza/ 6158014-1/C6

- Primer H5

Clade 2.1.3

Page 186: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

197

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

H5IVA-D148H5 F : 5’-AAACAGAGAGGAAATAAGTGGAGTAAAATT

H5IVA-D148H5 R: 5’-AAAGATAGACCAGCTACCATGATTGC

Clade 2.3.2

Primer IVA-D204 (F) : 5’-ATGGCTTCCTCGGRAACCC

Primer IVA-D205 (R) : 5’-TTYTCCACTATGTAAGACCATTCCG

Probe: - Probe Influenza/ 5712289-1/ A7

- Probe H5/ 5712289-2/ A8

- Primer H7

FLI-H7 Fwd : 5’-AYAGAATACAGATWGACCCAGT-3’

FLI-H7 Rev : 5’-TAGTGCACYGCATGTTTCCA-3’

FLI-H7 Probe : 5’-FAM-TGGTTTAGCTTCGGGGCATCATG-BHQ1-3’

- Primer H9

H9 Fwd : 5’-ATGGGGTTTGCTGCC-3’

H9 Rev : 5’-TTATATACAAATGTTGCAC(T)CTG-3’

H9 Probe : 5’-FAM-TTCTGGGCCATGTCCAATGG-TAMRA-3’

- Primer N1

AI N1 1316F Fwd : 5’-GYGGGAGCAGCATATCYTT-3’

AI N1 1379R Rev : 5’-CCGTCTGGCCAAGACCAA-3’

AI N1 1336P Probe :5’-FAM-TGTGGTGTAAAYAGTGACAC-BHQplus3’

Page 187: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

198

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

- Primer N2IVA-Ntype_N2-F : 5’- GCATGGTCCAGYTCAAGYTG -3’IVA-Ntype_N2-R : 5’- CCYTTCCAGTTGTCTCTGCA -3’

Metode

Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah swab kloaka dan trakea ternak

unggas (ayam, itik, entok) dan swab lingkungan (swab meja tempat penjualan

atau tempat pemotongan karkas unggas, tempat pemotongan ternak unggas,

keranjang unggas hidup yang ada di pasar, lingkungan sekitar pasar unggas

hidup, baju atau celemek pedagang karkas unggas dan peralatan yang

digunakan untuk memotong unggas).

Prosedur Pengujian:

1. Isolasi virus AI pada Telur Ayam berembrioTelur ayam berembrio yang berumur 9-11 hari yang berasal dari ayam

yang tidak divaksinasi AI atau telur SAN disiapkan untuk pengujian,

kemudian diperiksa pada teropong lampu. Dilakukan pemilihan embrio

yang aktif kemudian dibuat batas di atas rongga udara dan disucihamakan

dengan alkohol 70% setelah itu dibor dengan bor grinder atau jarum

venoject. Selanjutnya suspensi jaringan di inokulasi (sebagai inokulum).

Suspensi jaringan sebagai inokulum disuntikkan sebanyak 100 µl langsung

ke dalam ruang allantois. Masing-masing sampel menggunakan 3-5 telur

ayam berembrio. Kemudian lubang ditutup dengan kutex atau lilin,

selanjunya telur diinkubasi selama 5 hari pada suhu 37°C. Pengamatan

dilakukan setiap hari, apabila ada embrio yang mati setelah 24 jam atau 4

hari pasca inokulasi, dikeluarkan dari inkubator dan disimpan dalam kulkas

(4°C) selama 1 sampai 24 jam sebelum cairan allantois dipanen untuk

pengujian.

Selanjutnya telur dikeluarkan dari kulkas kemudian kulit telur didesinfeksi

dengan alkohol 70%. setelah itu kulit telur dibuka dan cairan allantois

ditampung dalam tabung steril untuk selanjutnya dilakukan identifikasi

dengan teknik hemaglutinasi (HA) dan hambatan hemaglutinasi (HI).

Page 188: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

199

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Interpretasi hasilEmbrio ayam yang terinfeksi virus ditandai dengan kematian, kerdil dan

perdarahan seluruh tubuh dan kaki.

2. Uji Hemaglutinasi (HA)Pada semua lubang plat mikrotiter bentuk U ditambahkan 25 µl PBS

setelah itu ditambahkan 25 µl antigen (cairan allantois) dan lakukan

pengenceran secara seri kelipatan dua. Untuk menentukan ketepatan titer

HA dilakukan pengenceran secara seri. Selanjutnya, sebanyak 25 µl PBS

ditambahkan pada semua lubang, dan sebanyak 25 µl suspensi sel darah

merah ayam 1% juga ditambahkan pada semua lubang. Plat diinkubasi

pada suhu kamar (20°C) selama 40 menit atau pada suhu 4°C apabila

ambien suhu tinggi, dan diamati adanya hemaglutinasi dibandingkan

dengan kontrol sel. Jika ada hemaglutinasi pada sumuran mikroplate maka

pengujian dilanjutkan ke uji hambatan hemaglutinasi/hemaglutinasi inhibisi

(HI) sebagai konfirmasi adanya virus AI

Interpretasi hasilTiter antigen dinyatakan sebagai pengenceran tertinggi dari antigen yang

masih mampu mengaglutinasi 100% sel darah merah ayam.

3. Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI)Pada semula lubang plat mikrotiter bentuk U ditambahkan PBS 25 ul,

setelah itu ditambahkan 25 µl serum unggas yang akan diuji pada deret

lubang A1-H1, selanjutnya dilakukan pengenceran secara seri kelipatan

dua sampai lubang 11, lubang 12 sebagai kontrol sel. Kemudian sebanyak

25 ul antigen 4 unit HA ditambahkan pada semua lubang, kecuali deret

lubang 12 sebagai kontrol sel. Kemudian plat diinkubasi pada suhu kamar

Page 189: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

200

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

(18-20°C) selama 30 menit. Selanjutnya sebanyak 25 µl suspensi sel darah

merah ayam 1% ditambahkan pada semua lubang, sambil diayak dan

diinkubasi pada suhu kamar (20°C) selama 40 menit.

Interpretasi hasilTiter serum (HI) adalah pengenceran tertinggi dari serum yang

memperlihatkan hambatan komplek terhadap 4 unit HA antigen. Titer HI >

16 (24) : positif antibodi.

4. Pengujian Real Time PCR AIPERSIAPAN CARRIER RNA

Sebanyak 310 ul RNAse Free Water ditambahkan ke dalam 310 µg

lypolized Carrier RNA. Kemudian dicampurkan dengan baik dan dialiquot ±

20 ul/tabung dan disimpan pada suhu -20˚C.

Menghitung Carrier RNA yang akan dipakai dengan rumus sbb:

1 Sampel Lysis Buffer = 0,21 ml

1 Sampel carrier RNA = 5,88 ml

Cara kerja :Ekstraksi sampel

Sebanyak 200 µl lysis buffer (add carrier RNA) + 200 µl specimen + 25 µl

Proteinase K dimasukkan ke dalam mikrotube. Kemudian mikrotube tersebut

divortex dan diinkubasi pada suhu 56˚C selama 15 menit dan dispin beberapa

detik. Selanjutnya sebanyak 250 µl alkohol absolute (ethanol absolute)

ditambahkan ke dalam mikrotube tersebut dan diinkubasi selama 5 menit pada

suhu ruangan, kemudian divortex dan dispin lagi. Selanjutnya suspensi

ditransfer dalam spin kolom dan disentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm

selama 1 menit. Selanjutnya collection tube diganti dan supernatan dibuang

dan ditambahkan 500 µl washing buffer dan di sentifuse dengan kecepatan

8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya collection tube diganti dan supernatan

dibuang dan ditambahkan 500 µl washing buffer dan di sentifuse dengan

kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya collection tube diganti dan

disentrifuse kembali dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Kemudian

Page 190: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

201

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

collection tube diganti dengan mikrotube 1,5 ml recovery + 50 ul RNAse Free

Water dan diinkubasi selama 1 menit pada suhu ruangan, selanjutnya

disentrifuse lagi dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. RNA siap

dilakukan pengujian.

Pembuatan Master Mix Type A

Pembuatan Master Mix Subtype H5

No Reagen Konsentrasi(Volume)

JumlahSampel (….x)

1 2x ReactionMix

12.5 µl

2 Duplex H5 6.5 µl3 Enzyme 0.5 µl4 NFW 0.5 µl5 Template 5 µl

Total Volume 25 µl

Pembuatan Master Mix Subtype H7

No Reagen Konsentrasi(Volume)

JumlahSampel (….x)

1 2x ReactionMix

12.5 µl

2 Duplex H7 4.25 µl3 Enzyme 1 µl4 NFW 2.25 µl

No Reagen Konsentrasi(Volume)

JumlahSampel(…..x)

1 2x Reaction Mix 12.5 µl2 Premix 3.5 µl3 Enzyme 0.5 µl4 NFW 3.5 µl5 Template 5 µlTotal Volume 25 µl

Page 191: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

202

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

5 Template 5 µlTotal Volume 25 µl

Pembuatan Master Mix Subtype H9

No Reagen Konsentrasi(Volume)

JumlahSampel (….x)

1 2x ReactionMix

12.5 µl

2 Duplex H9 3.75 µl3 Enzyme 1 µl4 NFW 2.75 µl5 Template 5 µl

Total Volume 25 µl

Pengaturan Suhu Amplifikasi Real Time PCR

Step Suhu One-StepRT-PCR Waktu

Hot Start 45 oC 10 MenitDenaturasi 95 oC 10 MenitAmplifikasi (45 kali)- Annealing 95 oC 15 Detik- Elongasi 60 oC 45 etik

Interpretasi Hasil

Uji RT-PCR dinyatakan positif antigen AI bila nilai ct < 40

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dari hasil pengambilan sampel di pasar unggas hidup terpilih dan dari

beberapa kasus kematian unggas di Provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun

2018, diperoleh hasil seperti Tabel 2 sampai Tabel 7.

Page 192: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

203

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 2. Deteksi virus AI dari kabupaten /kota di Provinsi Bali.

Kabupaten Kecamatn Desa / Kel Sampel TypeA* (H5) (H7) (H9) Jumlah

SampelKuta Utara Canggu Ayam 7

Ayam 29KutaSelatan

Jimbaran

Lingkungan 1Kuta Burung 2

Ayam 10

Badung

KutaTuban

Lingkungan 2Ayam 47Itik 5

Bangli Bangli Cempaga

Lingkungan 6Ayam 3 57Itik 5

Buleleng Buleleng Banyuasri

Lingkungan 6Ayam 1 44Itik 10

DenpasarBarat

Pemecutan

Lingkungan 6

Denpasar

DenpasarSelatan

Sesetan Ayam 2Ayam 2 45Bebek 1 5

Abianbase

Lingkungan 6Ayam 1

Gianyar

Babakan

Itik 1Payangan Melinggih

Kelod Burung 2Ayam 1Bebek 5

Pejeng Kaja

Lingkungan 2Sanding

Gianyar

TampakSiring

Tampaksiring Lingkungan 2Blimbingsari Ayam 1Ekasari Ayam 1Manistutu Ayam 251Nusa Sari Ayam 1Tukadaya Lingkungan 50Tuwed Lingkungan 28

Melaya

Warnasari Ayam 1Ayam 65Negara Lelateng

Lingkungan 300

Jembrana

Jembrana Pendem Ayam 50

Page 193: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

204

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Lingkungan 7Perancak Ayam 1 1

Ayam 1 34Itik 20

Klungkung Klungkung SemarapuraKelod

Lingkungan 6Babahan Ayam 2Mengeste Ayam 60

Penebel

Senganan Ayam 70Bajera Ayam 3Selemadeg Ayam 1

Selemadeg

Wanagiri Ayam 1SelemadegTimur

DalangAyam 1

Kaba Kaba Ayam 1Banjar Anyar Ayam 1

Kediri

Pandak Gede Ayam 2Batuaji Ayam 1Timpag Ayam 5

Kerambitan

SembungGede Ayam 1Payangan Ayam 2MargaSelanbawak Ayam 7

Tabanan Tunjuk Ayam 17Pujungan Ayam 75Pupuan Ayam 4Sai Ayam 1Batungsel Ayam 154Belimbing Ayam 3

Tabanan

Pupuan

Padangan Ayam 1Total 0 0 0 9 3.085

Tabel 3. Proporsi sampel terdeteksi positif virus AI di Provinsi Bali.

Positif AINo Kabupaten Negatif

AI TypeA* H5 H7 H9

Jumlahsampel

ProporsiPositif (%)

1 Badung 51 51 02 Bangli 58 58 03 Buleleng 65 3 68 4,44 Denpasar 61 1 62 1,65 Gianyar 67 3 70 4,26 Jembrana 755 1 756 7,67 Klungkung 59 1 60 68 Tabanan 413 413 0

Page 194: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

205

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Total 3076 9 3085 0,2Keterangan : (*) Type A yang bukan subtype H5, H7, dan H9.

Tabel 4. Deteksi virus AI dari kabupaten /kota di Provinsi NTB

Kabupaten Kecamatn Desa /Kel Sampel Type

A* (H5) (H7) (H9) JumlahSampel

Mataram Sandubaya DasanCermen

Ayam 104

LombokTimur

Pringgabaya LabuhanLombok

Ayam 2

Prapen Lingkungan 7

Renteng Lingkungan 5

Praya

Tiwugalih Lingkungan 3

LombokTengah

Praya Barat TanakRarang

Ayam 166

Ayam 95

Entok 3

Bima Woha Tente

Lingkungan 26

Total 0 0 0 0 411

Tabel 5. Proporsi sampel terdeteksi positif virus AI di Provinsi NTB.

Positif AINo Kabupaten Negati

f AI TypeA* H5 H7 H

9

Jumlah

sampel

ProporsiPositif (%)

1 Mataram 104 104 02 Lombok Timur 2 2 03 Lombok

Tengah181 181 0

4 Bima 124 124 0Total 411 411 0

Keterangan : (*) Type A yang bukan subtype H5, H7, dan H9.

Tabel 6. Deteksi virus AI dari kabupaten /kota di Provinsi NTT

Kabupaten Kecamatan Desa / Kel Sampel TypeA* (H5) (H7) (H9) Jumlah

SampelAlak Alak Ayam 2KelapaLima

OesapaAyam 13Ayam 40Kota Lama Fatubesi

Lingkungan 5Ayam 1 12

KotaKupang

Kota Raja Naikoten I

Lingkungan 1 38

Page 195: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

206

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Ayam 1 9Bebek 1Burung 1 10

Oebobo Fatululi

Lingkungan 2 10AmabiOefetoTimur

Oemofa

Ayam 20Ayam 15Fatuleu Camplong I

Lingkungan 5Ayam 120Oefafi

Lingkungan 25Ayam 15

KupangTimur

Oesao

Lingkungan 15Ayam 35

Kupang

Takari Takari

Lingkungan 5Lewoleba Ayam 28LewolebaTengah Lingkungan 6

Lembata Nubatukan

LewolebaTimur Ayam 72Beirafu Ayam 30Malaka Atambua

Barat Lingkungan 18Tulamalae Ayam 2Umanen Ayam 2Metina Lingkungan 6Mokdale Ayam 100

Rote Ndao Lobalain

Namodale Lingkungan 24Ayam 70Ledeana

Lingkungan 2Ayam 15Entok 15

Sabu Raijua Sabu Barat

Ree Madia

Lingkungan 3Ayam 51Amanuban

BaratMnelalete

Lingkungan 6MolloSelatan

KesetnanaAyam 25

TimorTengahSelatan

MolloTengah

OelbubukAyam 25

Total 0 0 0 6 895

Tabel 7. Proporsi sampel terdeteksi positif virus AI di Provinsi NTT.

Positif AINo

Kabupaten Negatif AI Type

A* H5 H7 H9Jumlahsampel

ProporsiPositif (%)

Page 196: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

207

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1 Kota Kupang 134 6 140 4,22 Kupang 255 255 03 Lembata 106 106 04 Malaka 48 48 05 Rote Ndao 134 134 06 Sabu Raijua 105 105 07 Timor Tengah

Selatan107 107 0

Total 889 6 895 0,6Keterangan : (*) Type A yang bukan subtype H5, H7, dan H9.

Pembahasan

Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang serius terhadap ancaman

AI, sampai Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden No.1

Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian

Influenza). Presiden menugaskan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat,

Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Ksehatan, Panglima TNI,

Gubernur dan Bupati / Walikota se Indonesia sesuai dengan kewenangannya

melakukan langkah konkrit dalam pengendalian AI. Kebijakan teknis

pencegahan, pengendalian dan pemberantasan AI di Kementerian Pertanian

dilakukan sesuai Keputusan Dirjennak No. 17/Kpts/PD.640/F/02.04. Kebijakan

diarahkan pada biosekuriti peternakan unggas, pengendalian lalu lintas dan

biosekuriti unggas. Penyebaran AI ke provinsi Bali, NTB dan NTT diperkirakan

melalui karena lalu lintas unggas terinfeksi, produk unggas maupun peralatan

yang terkontaminasi virus AI. Salah satu factor yang diyakinin berperan dalam

penyebaran dan lestarinya AI di Bali, NTB dan NTT adalah pola kegiatan

perniagaan unggas di pasar hewan tradisional atau pasar unggas hidup (live

bird markets).

Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel swab unggas dan lingkungan di

pasar unggas tradisional tahun 2018 menunjukkan bahwa proporsi hasil positif

virus AI sebesar 0,2% (Bali), 0% (NTB) dan 0,6% (NTT). Proporsi positif virus

AI di NTT menunjukkan hasil tertinggi dibandingkan Bali yaitu sebesar 0,6%.

Dari 3085 sampel yang di ambil dari Bali dan diuji RT PCR, 9 diantaranya

positif terdeteksi virus AI dan semuanya terkonfirmasi hanya subtipe H9N2

yaitu di Kabupaten Buleleng (3), Denpasar (1), Gianyar (3), Jembrana (1) dan

Page 197: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

208

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Klungkung (1). Sementara hasil pengujian sampel di NTB semuanya negatip

virus AI baik subtipe H5, H7 maupun H9. Hasil pengujian sampel dari NTT

juga hanya terdeteksi 6 sampel positif virus AI (H9N2) yaitu di Kota Kupang,

sedangkan sampel dari kabupaten lain di NTT tidak satupun yang terdeteksi

positif AI.

Situasi sirkulasi dan penyebaran virus AI di wilayah kerja BBVet Denpasar

sesuai dengan hasil kajian virus AI di Hongkong dan China, yang

menunjukkan bahwa pasar unggas hidup merupakan lingkungan yang

berperan terhadap terjadinya reassortment dari virus AI tersebut. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa sistem perdagangan atau penjualan unggas hidup di pasar,

meningkatkan potensi terjadinya spill over AI dengan adanya pencampuran

unggas dari berbagai macam ras dan jenis dalam satu kandang. Penempatan

unggas dari berbagai macam sumber dalam satu kandang di pasar juga

menjadi salah satu factor risiko terjadinya penularan AI (Yee et al., 2009).

Menurut Brown et al. (2008) daya tahan virus AI di lingkungan berhubungan

dengan tempratur, kelembaban dan kondisi pH lingkungan. Suspensi virus AI

tetap infektif pada temperature 17oC selama lebih dari 100 hari dan dapat

bertahan dalam waktu tak terbatas pada suhu di bawah -50oC (Harder dan

Warner, 2006).

Hasil surveilans AI tahun 2018 ini, berbeda dengan hasil surveilans BBVet

Denpasar tahun 2017, dimana sub tipe H5N1 clade 2.3.2.1 masih terdeteksi

baik di Bali, NTB maupun NTT. Clade ini telah dilaporkan untuk pertama

kalinya oleh Wibawa, et al., (2012), dari kasus penyakit pada itik dengan

tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi di beberapa peternakan itik di Jawa

Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta periode September –

Desember 2012. Lebih lanjut diungkapkan bahwa clade 2.3.2.1 tersebut

merupakan sebuah clade baru virus AI di Indonesia. Hasil surveilans ini juga

mengindikasikan subtype H5N1 baik clade 2.3.2.1 maupun clade 2.1.3 yang

pernah terdeteksi pada tahun tahun sebelumnya tidak masih bersirkulasi di

lingkungan pasar unggas hidup di Bali, NTB dan NTT.

Page 198: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

209

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dalam kegiatan surveilans AI di pasar unggas hidup dan kasus penyakit pada

unggas di provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2018 dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Virus Avian Influenza masih terdeteksi di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar .

2. Proporsi positif virus AI di pasar unggas hidup adalah 0,2% (Bali), 0%

(NTB) dan 0,6% (NTT).

3. Virus avian influenza yang terdeteksi adalah subtipe H9N2, sedangkan

subtipe H5 dan H7 tidak terdeteksi.

SaranSaran saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kajian dari kegiatan

surveilans dan monitoring AI di pasar unggas hidup adalah sebagai berikut ;

1. Pengawasan lalu lintas unggas dan produk turunannya baik antar wilayah

maupun dalam wilker BBVet Denpasar yang melalui pusat rantai

perdagangan yakni pasar unggas hidup, harus diawasi dan dilakukan

tindakan antisipasi terhadap munculnya AI dengan memperkuat biosecurity

pasar tersebut.

2. Perlu dilakukan desinfeksi atau fumigasi menyeluruh pada lokasi pasar

tempat penjualan unggas di seluruh pasar unggas hidup di Wilker BBVet

Denpasar untuk mencegah terjadinya penularan AI .

3. Melakukan Public Awareness atau KIE kepada masyarakan luas tentang

penyakit AI.

4. Kegiatan monitoring dan investigasi harus terus dilakukan sebagai dasar

pemetaan AI dan untuk menganalisis kejadian kasus serta factor-faktor

penyebab kejadian AI tersebut.

Ucapan Terima Kasih

Page 199: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

210

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta

staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan

surveilans Avian Influenza tahun 2018, sehingga surveilans ini dapat

dilaksanakan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA.

Brown, J.D., Goekijan,G., Poulsan, R., Valeika,S. dan stallknecht, D.E. (2008). Avian InfluenzaVirus in Water Infectivity is depend on pH, Salinity and Temperatur. J.Vet.Microbiol.Doi : 10.1016/ j.vetmic. 10.027.

Direktorat Kesehatan Hewan (2016). Profil Kesehatan Hewan Indonesia Menuju ImplementasiOne Health.

Harder, T. C., dan Warner, O., (2006). Avian Influenza. Influenza Report,www.Influenzareport.com.

Wibawa, H., Prijono, W. B., Irianingsih, S.H., Miswati, Y., Rohmah, A., Andhesfha, E.,Dharmayati, N.L.P.I., Rasa, F.S.T. (2012). Investigasi outbreak penyakit pada itik diJawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur: Identifikasi sebuah clade baru virus avianinfluenza sub tipe H5N1 di Indonesia.

Yee, K.S., Carpenter, T.E., Cardona, C.J., 2009. Epidemiology of H5N1 Avian Influenza. J.Comp. immunol., microbiol and infect. dis 32 (2009) p. 325-340.

Page 200: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

177

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS DAN MONITORING IBR DAN BVDDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN

NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018

I Nyoman Dibia, Ardiana, Lalu Muh. Faesal Suryadinata, Fauzi R.Kurniawan

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilakukan surveilans IBR dan BVD di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan NusaTenggara Timur tahun 2018 yang bertujuan untuk mendeteksi keberadaan virus IBR sertamengetahui seroprevalensi antibodi IBR dan BVD pada ternak sapi. Pengujian serologis IBRdan BVD dilakukan menggunakan metode ELISA, sedangkan untuk deteksi virus IBR denganteknik Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Pada saat surveilans diperolehsampel serum dan swab sapi di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT. Jumlah sampel serumsapi yang diambil untuk mendeteksi antibodi BVD dan IBR masing-masing 1.338 sampel dan958 sampel. Untuk mendeteksi keberadaan virus IBR digunakan sampel swab nasal dan swabvagina sebanyak 621 sampel. Hasil pengujian sampel menunjukkan proporsi positif virus IBR diProvinsi Bali, NTB dan NTT sebesar 0%, sedangkan proporsi positif antibody IBR masing-masing sebesar 2,46% (Bali), 4,12% (NTB) dan 4 % (NTT). Proporsi positif antibodi BVDmasing masing sebesar 46.32% (Bali), 68,73% (NTB) dan 15,04% (NTT). Dari sampel swabyang diuji dengan RT PCR semuanya negatif antigen IBR. Secara serologis menunjukkanbahwa reactor IBR dan BVD masih terdeteksi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Kata kunci : Surveilans, IBR, BVD, Bali, NTB, NTT

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam rangka mendukung Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting

(UPSUS SIWAB) untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia, maka

penyakit hewan yang bersifat menular dan mengganggu sistem reproduksi

ternak sapi merupakan kendala yang harus segera diatasi. Dua diantaranya

adalah Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) dan Bovine Viral Diarrhea

(BVD). Mengingat dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar,

Page 201: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

178

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

sehingga kedua penyakit ini dikatagorikan sebagai penyakit hewan menular

strategis di Indonesia.

Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang dapat menginfeksi sapi

pada semua kelompok umur dan jenis kelamin dengan gejala klinis yang

bervariasi, belum diketahui secara pasti kapan virus BVD masuk ke Indonesia,

kemungkinan akhir tahun 1980 an. Sejumlah penelitian mengenai BVD telah

dilaporkan, berkaitan dengan kasus diare atau dikenal sebagai wabah diare

ganas antara lain di Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Timur,

Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT dan NTB. Pada surveilans

serologi yang dilakukan BBVet Denpasar beberapa tahun sebelumnya

dilaporkan adanya antibody BVD pada sapi yang tidak divaksinasi di Bali, NTB

dan NTT. Kondisi ini mengindikasi telah terjadinya paparan virus BVD,

mengingat bahwa tidak pernah dilakukan vaksinasi BVD pada kelompok sapi

tersebut.

Bovine herpes virus type 1 (BHV-1) termasuk dalam family herpesviriae.

Berdasarkan sifat antigenic dan genomic, BVH-1 dibedakan menjadi subtype 1

(BVH-1.1) dan subtype 2 (BVH-1.2). Kedua subtype tersebut dapat

menimbulkan penyakit dengan gejala klinis yang berbeda pada sapi. BVH-1.1

menyebabkan infeksi saluran pernafasan yang disebut Infectious Bovine

Rhinotracheitis (IBR). Subtipe BVH-1.2 seringkali berhubungan dengan

penyakit penyebab gangguan genital yang dikenal sebagai Infectious Pustular

Vulvovaginitis (IPV) pada sapi betina yang dapat mengakibatkan keguguran

atau Infectious Pustular Balanopostitis (IPB) pada sapi jantan. IBR ke

Indonesia tidak diketahui secara pasti, namun secara serologi telah terdeteksi

tahun 1985 yaitu di Jawa NTB, NTT, Bali, Sumatera, dan Kalimantan dengan

prevalensi yang bervariasi dari 1% sampai 65%.

Dampak dan nilai strategis infeksi BVD menimbulkan kerugian bagi para

peternak sapi karena penyakit ini mengakibatkan penurunan produksi susu

dan daging, gangguan reproduksi, abortus, supresi sistem kekebalan tubuh,

Page 202: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

179

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

dan kematian. Infeksi persiten virus BVD pada pedet bersifat carrier dan

merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri atau

virus lainnya. Sementara dampak dan nilai strategis penyakit IBR dapat

mengakibatkan keguguran pada umur kebuntingan lebih dari tiga bulan. Pada

pusat pusat perbibitan, sapi harus terbebas dari infeksi virus IBR, sehingga

penyakit ini mendapat prioritas dalam pendeteksiannya, karena semen sapi

tertular IBR dapat mengandung virus IBR.

Mengingat infeksi virus BVD dan IBR berpotensi menyebabkan kerugian

ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat khususnya peternak sapi dan

pemerintah, untuk itu perlu dilakukan surveilans yang efektif untuk mengetahui

status daerah terhadap BVD dan IBR di wilayah kerja BBVet Denpasar.

Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut; Bagaimana situasi / status IBR dan

BVD di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di

Tahun 2018 ?

Tujuan kegiatanMengetahui situasi / status IBR dan BVD di Provinsi Bali, Nusa Tenggara

Barat dan dan Nusa Tenggara Timur. Tahun 2018.

Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi

ilmiah mengenai situasi / status IBR dan BVD di Provinsi Bali, NTB dan NTT,

sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan dalam

rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan IBR dan BVD di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Page 203: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

180

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Out putTermonitornya situasi / status BVD dan IBR yang ada di Propinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sesuai tugas dan fungsi Balai

Besar Veteriner untuk menyediakan hasil surveilans BVD dan IBR sebagai

salah satu penyakit hewan menular strategis di Indonesia.

Out comeTerwujudnya lingkungan ternak sapi bebas IBR dan BVD di Provinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

ANALISA RISIKO IBR DAN BVD DI BALI, NTB DAN NTT

IBR dab BVD merupakan penyakit yang cepat menyebar dalam populasi sapi.

Penyakit ini terbukti sangat merugikan secara ekonomi. Besarnya dampak IBR

dan BVD terhadap populasi ternak sapi baik secara lokal maupun nasional,

mewajibkan setiap unit perbibitan sapi di Indonesia bebas dari infeksi IBR dan

BVD. Beberapa faktor risiko penyebaran BVD dan IBR di Bali, NTB dan NTT

antara lain manajemen kesehatan hewan belum terimplementasikan secara

optimal, pengawasan lalu lintas ternak sapi masih lemah, dan biosekuriti

terbatas.

ANALISA RISIKO KEGIATAN

Pada kegiatan surveilans / monitoring IBR dan BVD diwilayah kerja BBVet

Denpasar dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan

pada Tabel 1.

Page 204: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

181

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring IBR dan BVD di WilayahKerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

No Risiko Solusi

1 Jadwal pengambilansampel tidak sesuai

Melakukan koordinasi dengan dinaspeternakan atau yang menanganipeternakan dan kesehatan hewanterkait kepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikan dengankegiatan lain pada Dinas / instansiterkait.

2 Target sampel tidakterpenuhi

Melakukan koordinasi dengan dinasterkait sehingga jumlah sampelminimal terpenuhi.

3 Rusaknya sampel akibattidak tersedianya saranapenyimpanan yang layak(pendingin)

Berkoordinasi dengan dinas setempatuntuk dapat menitipkan sampel yangdiperoleh pada kulkas atau freezer,untuk selanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan cooler boxbeserta ice pack sehingga sampelmasih tetap baik sampai dilaboratorium.

4 Bahan pengujian belumtersedia

Berkomunikasi secara intensif dengantim pengadaan barang dan jasa BBVetDenpasar terkait ketersediaan bahanpengujian

5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alat pengujianyang rusak. Untuk sementara waktudapat menggunakan alat yang samadi laboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaran pengujian.

MATERI DAN METODE

MATERI PENGUJIAN IBR Bahan dan Alat untuk pengujian PCR IBR

- Swab Kit ekstraksi (Invitrogen, No Katalog : 2280-050, 12280-096)

- Kit VetmaxTM IBR/BHV-1 Reagents (P/N 4414203) dan PlusqPCR Master Mix (P/N 4415327)

- BSC, Single channel, Tip steril ukuran 1000 µl, 200 µl, 50 µl,Mikrotube 2 ml

Page 205: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

182

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

METODE PENGUJIAN IBR

Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah swab nostril danvagina sapi

Prosedur Pengujian :

PERSIAPAN CARRIER RNASebanyak 310 ul RNAse Free Water ditambahkan ke dalam 310 µglypolized Carrier RNA. Kemudian dicampurkan dengan baik dan dialiquotbeberapa mikron (± 20 ul/tabung) dan disimpan pada suhu -20˚C.

Menghitung Carrier RNA yang akan dipakai sebagai berikut:1 Sampel Lysis Buffer = 0,21 ml1 Sampel carrier RNA = 5,88 ml

CARA KERJA Ekstraksi sampel

Sebanyak 200 µl lysis buffer (add carrier RNA) + 200 µl specimen + 25 µlProteinase K di campur ke dalam mikrotube. Kemudian mikrotube tersebutdivortex dan diinkubasi pada suhu 56˚C selama 15 menit dan dispinbeberapa detik. Selanjutnya sebanyak 250 µl alkohol absolute (ethanolabsolute) ditambahkan ke dalam mikrotube tersebut dan diinkubasi selama5 menit pada suhu ruangan, kemudian divortex dan dispin lagi. Selanjutnyasuspensi ditransfer dalam spin kolom dan disentrifuse dengan kecepatan8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya collection tube diganti dansupernatan dibuang dan ditambahkan 500 µl washing buffer dan disentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. . Selanjutnyacollection tube diganti dan supernatan dibuang dan ditambahkan 500 µlwashing buffer dan di sentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 1menit. Selanjutnya collection tube diganti dan disentrifuse kembali dengankecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Kemudian collection tube digantidengan mikrotube 1,5 ml recovery + 50 ul RNAse Free Water dandiinkubasi selama 1 menit pada suhu ruangan, selanjutnya disentrifuse lagidengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. RNA siap dilakukanpengujian.

Page 206: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

183

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Pembuatan Master Mix untuk sampel dan NTC

No ReagenKonsentra

si(Volume)

JumlahSampel (…..x)

1 2x qPCR Master Mix 12.5 µl2 VetmaxTM IBR/BHV-1

Reagents1 µl

3 XenoTM DNA Control (10,000copies/ µl

1 µl

4 Nuclease-Free Water 2.5 µl5 Template 8 µl

Total Volume 25 µl

Pembuatan Master Mix untuk Kontrol Positif

No Reagen Konsentrasi(Volume)

JumlahSampel(…..x)

1 2x qPCR Master Mix 12.5 µl2 VetmaxTM IBR/BHV-1

Reagents1 µl

4 Nuclease-Free Water 2.5 µl5 VetmaxTM IBR/BHV-1

Reagents Controls8 µl

Total Volume 25 µl

Pengaturan Suhu Amplifikasi Real Time PCR

Step Suhu One-StepRT-PCR Waktu

Hot Start 45 oC 10 MenitDenaturasi 95 oC 10 MenitAmplifikasi (45kali)

Page 207: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

184

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

- Annealing 95 oC 15 Detik- Elongasi 60 oC 45 Detik

Interpretasi Hasil

Uji RT-PCR dinyatakan positif antigen IBR bila nilai ct < 40

MATERI PENGUJIAN BVD

Bahan dan Alat untuk pengujian Elisa BVD

- VDPro® BVD AB ELISA (Median Diagnostics), No Catalog EB-BVD-01

- Multi Channel, Single channel, Tip steril ukuran 1000 µl, 200 µl,50 µl, Distilled Water, Elisa Reader 450 nm

METODE PENGUJIAN BVD

Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah serum sapi

Prosedur Pengujian :

Pada setiap well yang telah dilapisi dengan BVDV E2, dimasukkan 50 µldilution buffer, kemudian ditambahkan 50 µl sampel, kontrol positif dankontrol negative dimasukkan ke dalam well yang telah berisi dilution buffer(1:2). Langkah berikutnya, plate ditutup dan diinkubasi selama 60 menitpada suhu ruangan, kemudian setiap well dicuci sebanyak 3X denganwashing buffer 1X (300 µl per well). Buang konten dalam well setiap tahappencucian, setelah dilakukan pencucian berikutnya ditambahkan 100 µlkonjugat HRPO anti-BVDV E2 ke dalam setiap well. Tutup plate daninkubasi selama 30 menit pada suhu ruangan, kemudian setiap well dicucisebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per well). Dan buangkonten dalam well setiap tahap pencucian, setelah itu menambahkan 100

Page 208: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

185

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

µl TMB Substrat ke dalam setiap well, kemudian plate ditutup dandiinkubasi selama 15 menit pada suhu ruangan. Densitas perkembanganwarna diamati. Pada kontrol negative, setelah terlihat perkembanganwarna dilakukan penambahan stop solution ke dalam setiap well sebanyak50 µl untuk menghentikan reaksi enzymatik dan baca pada panjanggelombang 450 nm, kemudian di validasi dan dihitung hasilnya.

Interpretasi hasil

Penghitungan % kompetisi (S/N) sampel menggunakan rumus sebagaiberikut:

OD sampelSN = x 100

Rata-rata OD Kontrol negatif

InterpretasiS/N value ≤ 0.70 : Positif antibodi spesifik BVD dalam serum.S/N value > 0.70 : Negatif antibodi spesifik BVD dalam serum.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dari pengujian sampel untuk mengetahui antibodi dan antigen IBR dan

antibodi BVD di wilayah kerja BBVet Denpasar diperoleh hasil seperti Tabel 2

sampai Tabel 4.

Tabel 2. Hasil deteksi agen virus IBR di wilayah kerja BBVet Denpasarmenggunakan RT PCR.

PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIF IBR JUMLAHSPESIMEN

BALI BADUNG ABIANSEMAL 0 30

Page 209: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

186

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

BANGLI SUSUT 0 15BULELENG KUBUTAMBAHAN 0 15GIANYAR GIANYAR 0 30JEMBRANA JEMBRANA 0 15KARANG ASEM MANGGIS 0 15KLUNGKUNG BANJARANGKAN 0 15

Total 0 135

MANGGELEWA 0 30DOMPUPEKAT 0 30

KOTA BIMA RABA 0 15LOMBOK TENGAH PUJUT 0 30LOMBOK UTARA PEMENANG 0 30

NUSATENGGARABARAT

SUMBAWA MOYO HULU 0 30Total 0 165

KABOLA 0 16ALORTELUK MUTIARA 0 14

KUPANG FATULEU 0 60MANGGARAIBARAT

KOMODO0 21

MALAKA MALAKA TENGAH 0 30SIKKA TALIBURA 0 30SUMBA BARAT TANA RIGHU 0 30SUMBA TENGAH UMBU RATU NGGAY 0 60

HAHARU 0 2SUMBA TIMURKAHAUNGU ETI 0 28

NUSATENGGARATIMUR

TIMOR TENGAHSELATAN

BATU PUTIH0 30

Total 0 321Grand Total 0 621

Tabel 3. Hasil deteksi antibodi IBR di wilayah kerja BBVet Denpasarmenggunakan ELISA

PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN SEROPOSITIF

JUMLAHSPESIMEN

JEMBRANA PEKUTATAN 20 796BALITABANAN BATURITI 0 15

Total 20 811

Page 210: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

187

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

DOMPU PEKAT 0 67NUSA TENGGARABARAT LOMBOK

TENGAH PUJUT 4 30

Total 4 97

SABU TENGAH 2 41SABU TIMUR 0 5

NUSA TENGGARABARAT

SABU RAIJUA

SABU TENGAH 0 4Total 2 50

Grand Total 26 958Tabel 4. Hasil deteksi antibodi BVD di wilayah kerja BBVet Denpasar

menggunakan ELISA

PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIFANTIBODI

JUMLAHSPESIMEN

BADUNG ABIANSEMAL 13 30BANGLI SUSUT 2 15BULELENG KUBUTAMBAHAN 14 16DENPASAR DENPASAR TIMUR 7 13GIANYAR GIANYAR 16 30

PEKUTATAN 165 361JEMBRANAJEMBRANA 10 15

KLUNGKUNG BANJARANGKAN 12 15BATURITI 6 21

BALI

TABANANPENEBEL 1 15

Total 246 531

DOMPU 23 30MANGGELEWA 19 30WOJA 14 17

DOMPU

PEKAT 44 50MPUNDA 7 15KOTA BIMARABA 13 15JONGGAT 23 30KOPANG 4 24PRINGGARATA 2 6

LOMBOK TENGAH

PUJUT 24 30LOMBOK TIMUR AIKMEL 26 30LOMBOK UTARA PEMENANG 27 48

NUSATENGGARABARAT

SUMBAWA MOYO HULU 18 30Total 244 355

Page 211: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

188

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

KABOLA 1 16ALORTELUK MUTIARA 0 14

KUPANG FATULEU 7 60MANGGARAI BARAT KOMODO 15 30MALAKA MALAKA TENGAH 26 30

SABU TENGAH 0 45SABU RAIJUASABU TIMUR 0 5

SIKKA TALIBURA 1 30SUMBA BARAT TANA RIGHU 1 42SUMBA TENGAH UMBU RATU NGGAY 3 60SUMBA TIMUR KAHAUNGU ETI 0 30

AMANUBANSELATAN 0 30TIMOR TENGAH

SELATANBATU PUTIH 10 30

NUSATENGGARATIMUR

TIMOR TENGAHUTARA

KOTA KEFAMENANU 4 30

Total 68 452Grand Total 558 1338

Pembahasan

Sejak program UPSUS SIWAB dijadikan salah satu program unggulan pada

Kementerian Pertanian. Pemerintah memberikan perhatian yang serius untuk

meningkatan populasi ternak sapi di Indonesia dengan regulasi, sarana dan

prasarana yang memadai. Beberapa komponen terkait telah difasilitasi untuk

mendukung keberhasilan UPSUS SIWAB tersebut, salah satunya adalah

penanganan gangguan reproduksi. Terganggunya sistem reproduksi ternak

akibat infeksi penyakit menular akan sangat merugikan peternak akibat

Page 212: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

189

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

keguguran, penurunan fertilitas bahkan kemajiran. Kebijakan pemerintah

dalam pengendalian BVD dan IBR antara lain dengan meningkatkan tindakan

biosekuriti terhadap pemasukan sapi ke suatu wilayah bebas, dan untuk UPT

perbibitan harus bebas infeksi IBR maupun BVD. Jika ada reactor harus

segera dilakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang terinfeksi persisten virus

BVD maupun infeksi laten IBR.

Dari kegiatan surveilans dan monitoring IBR tahun 2018 diwilayah kerja BBVet

Denpasar menunjukkan bahwa proporsi positif antibodi sebesar 2,71%

dengan proporsi positif antibodi di Bali paling rendah yaitu sebesar 2,46%

dibandingkan NTT sebesar 4 %, sedangkan proporsi tertinggi terdapat di NTB

yaitu sebesar 4,12%. Hasil ini membuktikan bahwa pernah terjadi infeksi alam

pada ternak sapi tersebut, karena sapi yang diambil sampelnya untuk diuji

belum pernah divaksivasi IBR. Hasil proporsi positif antibody IBR pada tahun

2018, sedikit berbeda namun tidak signifikan dengan hasil surveilans dan

monitoring IBR pada tahun 2017 khususnya di Bali, dimana untuk propinsi Bali

sebesar 2,52%, sementara hasil proporsi positip IBR di NTB dan NTT pada

tahun 2018 ini sangat jauh menurun dibandingkan hasil surveilans tahun 2017

yaitu NTB (18,86%) dan NTT (18,18%). Drastisnya penurunan proporsi positif

di NTB dan NTT mengindikasikan manajemen sistem peternakan dalam di

NTB dan NTT sudah jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Sementara dari

621 sampel swab nasal dan vagina yang diuji dari sapi sapi peternak baik di

Bali, NTB dan NTT, tak satupun terkonfirmasi IBR. Hal ini kemungkinan

disebabkan karena terjadinya infeksi laten virus IBR pada sapi sapi tersebut,

walaupun mukosa hidung disebutkan sebagai tempat infeksi laten virus IBR

tersebut. Dalam keadaan laten, virus infeksius tidak dapat diisolasi dari leleran

ingus pada hidung. Setelah terjadi infeksi, virus IBR dapat menyebar dari

infeksi lokal ke system syaraf dengan cara virus memasuki sel syaraf tepi.

Selanjutnya, virus akan mencapai ganglia sensoris seperti ganglia trigeminal

dan lumbosacral dan akhirnya infeksi laten menetap disana (Vogel et al,

2004). Disamping itu, tonsil (Winkler et al., 2000), limfoglandula , peripheral

blood mononuclear cells (PBMCs) serta mukosa mata juga disebutkan sebagai

Page 213: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

190

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

tempat menetapnya infeksi laten. Sekali terinfeksi oleh BHV-1, maka ternak

sapi tersebut akan berpotensi untuk mengeluarkan virus (shedding) selama

hidupnya. Virus laten ini merupakan reservoar dalam inang kebal yang pada

suatu saat akan terekskresikan bila terjadi pengaktifan kembali (reaktivasi)

(Rola et al., 2003).. Stress dapat mengaktifkan kembali virus dalam keadaan

laten Rola et al., 2005)., seperti transportasi yang berkepanjangan (Thiry et al.,

1987), atau pemberian perlakuan dengan kortikosteroid (Rola et al., 2005).

Sementara dari kegiatan surveilans dan monitoring BVD tahun 2018 diwilayah

kerja BBVet Denpasar menunjukkan bahwa proporsi positif antibody sebesar

41,7% dengan proporsi positif antibodi di NTT paling rendah yaitu sebesar

15,04 % dibandingkan Bali sebesar 46,32%, sedangkan proporsi tertinggi

terdapat di NTB yaitu sebesar 68,73%. Sampel yang terdeteksi seropositif

kemungkinan telah terjadi infeksi alam di lapangan karena tidak ada riwayat

vaksinasi BVD pada sapi tersebut. Disamping itu Elisa antibody dapat

mendeteksi adanya persisten infection pada fetus yang dilahirkan oleh induk

yang terinfeksi oleh BVD pada kebuntingan tua (Jalali et al. 2004). Sedangkan

setelah lahir, infeksi alam dapat terjadi melalui kontak dengan udara luar atau

percikan ekskresi yang mencemari pakan ataupun lingkungan dan melalui

kawin alam / inseminasi buatan dari semen yang tercemar virus BVD (Akoso,

1996). Pencegahan terhadap infeksi virus BVD dan IBR dapat dilakukan

melalui program vaksinasi dan pemeriksaan terhadap pejantan yang akan

digunakan sebagai sumber semen dalam program IB. Deteksi dini kasus pada

kelompok ternak di lapangan menjadi bagian penting dalam pencegahan dan

pengendalian penyakit ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanPada tahun 2018, keberadaan infeksi alami virus BVD dan virus IBR masih

terjadi pada ternak sapi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Saran

Page 214: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

191

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Surveilans dan monitoring BVD dan IBR berkelanjutan perlu dilakukan untuk

memantau status kesehatan ternak sapi di wilayah kerja BBVet Denpasar.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta

staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan

surveilans BVD dan IBR tahun 2018, sehingga surveilans ini dapat

dilaksanakan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B. T., (1996). Kesehatan Sapi. Kanisius Yogyakarta. Cetakan ke 6. Hal. 117 -120.

Jalali, A., Torstenson, M., and Linberg, A. (2004). Using a commercial indirect antibodydetection Elisa to identify dams carrying PI fetuses –a complementary measure inBVDV control / eradication programmes Svanova Vet Diagnostic . www.svanova.com(13 Desember 2007).

OIE. (2008). Bovine Viral Diarrhoea. Manual of Standard for Diagnostic Tests and Vaccines.Chapter 2.4.8.

Rola, J., Larska, M and Polak, M.P. (2005). Detection of Bovine herpesvirus-1 from an outbreakof infectious bovine rhinotracheitis. Bull. Vet. Inst. Pulawy 49: 267-271.

Rola, J., Polak, M.P., and Zmudzinski, J.F. (2003). Amplification of DNA BHV-1 isolated fromsemen of naturally infected bulls. Bull. Vet. Inst. Pulawy 47: 71 – 75.

Thiry, E., Saliki, J., Bublot, M., Pastoret, P.P. (1987). Reactivation of infectious bovinerhinotracheitis virus by transport. Comp. Immunol. Microbiol. Infect Dis 10 (1) : 59-63.

Vogel, F.S.F.,Flores, E.F., Weiblen, R., Winkelmann, E.R., Moraes, M.P. and Raganca. J.F.M(2004). Intrapreputial infection of young bulls with Bovine herpesvirus type 1.2 (BHV-1.2): Acute balanoposthitis, latent infection and detection of viral DNA in regional neuraland non-neural tissues 50 days after experimental reactivation. Vet. Microbiol. 98: 185– 196

Page 215: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

192

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Page 216: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

225

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAI PEMBIBITANTERNAK UNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK DENPASAR

DAN DOMPU (BPTU-HPT) TAHUN 2018

Drh. Ni Made Sri Handayani, M.P(Laboratorium Epidemiologi)

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

AbstrakTelah dilaksanakan surveilans di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan TernakDenpasar dan Dompu yang terletak di Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat yangbertujuan untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular serta menyusun rekomendasi yangdapat menjadi masukan dalam upaya menghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi.Sejumlah 501 spesimen dari BPTU-HPT Denpasar dan 350 dari BPTU- Dompu dengan jenisspesimen serum, darah, swab, preparat ulas darah dan feses dikoleksi secara acak sejak bulanJuni sampai Juli 2018 Seluruh sampel diperiksa terhadap penyakit Brucellosis, Jembrana, SE,IBR, BVD, parasit gastrointestinal dan parasit darah. hasil pengujian sampel serum untuk deteksiantibodi penyakit JD, SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Denpasar. Total Sampel seluruhnyasebanyak 851 sampel.Hasil pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi penyakit JD, SE, IBR, Brucellosis dan BVDdi BPTU-HPT Dompu, sebanyak 19 (38%) dari 100 sampel positif antibodi Bovine Viral Diarrhae(BVD). Hasil uji PCR IBR dan JD menunjukkan semua sampel yang diperiksa negatif, demikianpula halnya dengan parasit darah dan parasit gastro intestinal.Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan tata cara pemeliharaan sertapengendalian penyakit yang baik dengan melakukan pendekatan epidemiologi menggunakansuatu program pengendalian yang tepat dan efektif untuk menghasilkan bibit berkualitas.

Kata Kunci : Surveilans, Penyakit Hewan, BPTU-HPT Denpasar dan Dompu

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kerjasama antar Unit Pelayanan Teknis (UPT) lingkup Kementerian

Pertanian yang merujuk pada surat tugas No. 22038/ OT.140/F/07/2013

tentang pelaksanaan Bimbingan teknis UPT Perbibitan Pusat di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka perlu dilakukan suatu program

untuk mencegah, melindungi dan memelihara proses kegiatan produksi sapi

bibit yang sesuai dan berkualitas. Dengan melakukan program surveilans

dan monitoring yang terstruktur akan sangat membantu dan berguna buat

Page 217: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

226

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

BPTU-HPT Bali dalam menghasilkan bibit sapi bali berkualitas dan

tersertifikasi, bebas dari penyakit menular strategis dan memenuhi kriteria

bibit sapi unggul, serta mewujudkan tujuan Renstra setiap tahunnya.

Berdasarkan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) dari Balai Besar Veteriner

Denpasar yaitu monitoring dan surveilans penyakit hewan, laboratorium

kesehatan hewan dan status bebas penyakit hewan menular, diharapkan

Balai Besar Veteriner Denpasar dapat memberikan kontribusi teknis

terhadap UPT Perbibitan pusat yang ada di wilayah kerjanya yakni Balai

Perbibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) dalam

mewujudkan Tugas Pokok BPTUHPT sesuai SK Menteri Pertanian No.13 /

Permentan / OT.140 / 2 / 2007, adalah melaksanakan pelestarian,

pemuliaan, pembibitan, produksi dan pengembangan serta penyebaran hasil

produksi bibit Sapi Bali Murni Unggul secara Nasional.

Untuk memperoleh data yang lebih akurat perlu dilakukan surveilans yang

berkelanjutan. Oleh karena itu tahun 2017 surveilans dan monitoring akan

dilanjutkan untuk memantau situasi penyakit serta mencegah masuknya

penyakit hewan menular sehingga hasilnya dapat meningkatkan performa

BPTU-HPT Bali sebagai salah satu Balai Perbibitan yang menghasilkan

ternak Sapi Bali Bibit yang berkualitas dan tersertifikasi.

1.2. Tujuan.1. Untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular yang ada di BPTU-

HPT Denpasar Bali dan Dompu.

2. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-HPT

Denpasar Bali dan Dompu.

3. Menyusun rekomendasi yang dapat menjadi masukan dalam upaya

menghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi.

1.3. Manfaat.1. Mendapatkan informasi tentang status dan situasi Penyakit Hewan

Menular di UPT BPTU-HPT Denpasar Kabupaten Jembrana dan

Kabupaten Dompu NTB.

Page 218: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

227

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

2. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-HPT

Denpasar dan Dompu

3. Menghasilkan rekomendasi berdasarkan kajian ini untuk meningkatkan

produksi bibit sapi bali yang berkualitas.

1.4. SasaranMendeteksi penyakit hewan menular strategis yang tidak diperbolehkan

pada pusat pembibitan sapi, status penyakit di BPTU-HPT Denpasar dan

Dompu dapat diidentifikasi dan sebagai salah satu usaha kewaspadaan dini

terhadap munculnya penyakit baru.

1.5. Output1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit hewan menular strategis

serta tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi JD dan

SE di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu ;

2. BPTU-HPT Denpasar dan Dompu dapat menghasilkan bibit berkualitas,

unggul dan tersertifikasi.

1.6. Out come1. Adanya data yang lebih lengkap untuk kepentingan pemetaan penyakit

SE di wilayah kerja.

2. Terciptanya lingkungan ternak bebas penyakit hewan menular strategis di

BPTU-HPT Denpasar dan Dompu.

Page 219: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

228

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

1.7. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular StrategisTabel 1. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) di BPTU-HPT

Risiko PemasukanTernak

AsalWilayah

SistemPemeliharaan

StatusVaksinasi

ManajemenResiko

Kriteria Lokasi

Penyakit PHMS(SE,JD,Anthrax,IBR,BVD,Brucellosis diBPTU-HPT

BebasPemetaanSerologispenyakit SE,JD,

Wilayahkabupaten yangpernah tercatatpositif antibodiSE,JD

EndemisAda

Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD,

Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak

Lepas

TidakSurveilansdeteksipenyakit

Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak

Ada

KandangAda

Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD

Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak

Tidak

Surveilansdeteksipenyakit

Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak

Ada

Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD

Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak

Tidak

Lepas

Tidak

Surveilansdeteksipenyakit

Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak

AdaSurveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD

Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternakKandang

TidakSurveilansdeteksipenyakit

Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak

1.8. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans Penyakit Hewan Menulardi BPTU-HPT Denpasar dan Dompu

Berikut ini disajikan pada Tabel 2 analisa risiko kegiatan surveilans penyakit

hewan menular di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu.

Page 220: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

229

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 2. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans PHMS di BPTU-HPT

No Risiko Manajemen Risiko/Solusi1 Jumlah target sampel tidak tercapai Berkoordinasi dengan BPTU-HPT, terkait data

populasi ternak pada lokasi yang akandisampling dan agar dikoordinasikan tentangpentingnya pengambilan sampel yang akandilakukan.

2 Lokasi target tidak sesuai denganunit sampel yang direncanakan

Berkoordinasi dengan BPTU-HPT mengenaikondisi geografis, alur transportasi ke lokasi dankesiapan pemilik ternak pada lokasi yang akandisampling.

3 Waktu pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdirencanakan

Berkoordinasi BPTU-HPT mengenai kepastianwaktu pengambilan sampel sebelum menujulokasi pengambilan sampel.

4 Jadwal transportasi dari Balai keBPTU-HPT yang akan dikunjungitidak sesuai dengan waktu kegiatanyang direncanakan (kendala nonteknis)

Segera berkoordinasi ulang dengan BPTU-HPTterkait mengenai penjadwalan ulang waktukegiatan pengambilan sampel termasuk kepadapeternak agar dapat menyesuaikan perubahanjadwal kegiatan

5 Tidak ada rute transportasi (udara,laut, darat) menuju Kabupaten/Kotayang akan dikunjungi sebagai lokasisurveilans

Transportasi seperti penerbangan dan lainnyaagar dialihkan ke lokasi terdekat dariKabupaten/Kota yang dituju sehingga terjangkauoleh transportasi yang digunakan.

6 Surat pemberitahuan serta jadwalsurvailans dan monitoring tidaksampai/terlambat diterima olehDinas Kabupaten/Kota yang akandituju.

Koordinasi dengan BPTU-HPT atau contactpersonnya sebelum hari keberangkatan dengansarana telekomunikasi yang tersedia mengenaijadwal pengambilan sampel yang akandilakukan.

7 Rusaknya sampel yang diambil dilapangan karena tidak tersedianyasarana penyimpanan (mesinpendingin) yang layak di lokasipengambilan sampel

Sampel dapat kita titipkan pada petugas dilapangan/tempat menginap agar disimpan dalammesin pendingin, selanjutnya dalam perjalananagar menggunakan es batu/ice pack untukmenjaga sampel tetap dalam keadaan baiksampai di laboratorium.

II. MATERI DAN METODE2.1. Materi

Kegiatan Surveilans dan Monitoring penyakit Hewan Menular ini akan

diambil data dan sampel dari individu sapi yang disampling, kelompok sapi

yang dipelihara sesuai kualifikasinya. Sampel yang diambil adalah serum,

darah dan feses Sapi Bali yang dipelihara di padang penggembalaan dan di

kandang isolasi di BPTU-HPT di Denpasar Kabupaten Jembrana Provinsi

Bali dan Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Sampel tersebut akan diuji untuk

beberapa penyakit Hewan Menular seperti penyakit Brucellosis, Jembrana

Disease, Anthrax, SE, BVD, IBR dan identifikasi parasit gastrointestinal serta

Page 221: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

230

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

parasit darah. Bahan dan materi pengujian akan disesuaikan dengan

metode uji yang dilakukan di Balai Besar Veteriner Denpasar.

2.2. Metode2.2.1. Metode sampling

Dalam surveilans dan monitoring penyakit Hewan Menular di BPTU-HPT

Denpasar dan Dompu ini dilakukan pengambilan sampel serum untuk

pemeriksaan Elisa BVD, IBR, SE, Jembrana Desease dan Brucellosis.

Pengambilan sampel swab untuk pemeriksaan PCR IBR dan isolasi SE

(Pasteurella multocida), pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan

PCR Jembrana Desease, pengambilan sampel PUD untuk pemeriksaan

parasit darah (Surra) dan pengambilan sampel feses untuk pemeriksaan

parasit gastro intestinal. Pelaksanaan Surveilans dan monitoring akan

dilakukan dengan pengambilan sampel di lapangan untuk unit ternak.

Estimasi jumlah sampel dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Estimasi Jumlah Sampel dan Distribusi Pengambilan SampelPenyakit Hewan Menular di BPTU-HPT Denpasar danDompu

No Jenis Sampel Jumlah Sampel Jenis Pengujian

1 Serum 100 Elisa JD

2 Serum 50 Elisa IBR

3 Serum 75 PCR IBR

4 Serum 100 RBT Brucella

5 Serum 100 Elisa SE

6 Serum 100 Elisa BVD

7 PUD 50 Identifikasi Anthrax

8 PUD 76 Parasit Darah

9 Feses 100 Parasit Gastro Intestinal

10 Darah 100 PCR JD

TOTAL 851

Page 222: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

231

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Total Jumlah sampel yang diambil dari BPTU-HPT Denpasar dan Dompu

sebanyak 851 sampel.

2.2.2. Metode pengujianPengujian sampel serum, darah dan feses untuk mendeteksi antibodi dan

agen penyakit Hewan Menular dilakukan di laboratorium Bioteknologi

untuk pengujian Elisa dan PCR JD, di Laboratorium Bakteriologi untuk

pengujian Elisa SE dan Brucellosis, di Laboratorium Virologi untuk

pemeriksaan IBR dan BVD serta di Laboratorium Parasitologi untuk

pengujian parasit darah dan parasit gastro intestinal. Pengujian pada

masing-masing laboratorium dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Daftar penyakit yang diuji berdasarkan jenis sampel yang diambildalam surveilans dan monitoring penyakit hewan menular diBPTUHPT Sapi Bali

Jenis SampelPenyakit yangdiuji Serum Darah Feses Swab PUD

Jenis Pengujian

BVD Elisa BVDIBR Elisa IBRJD Elisa dan PCR JDBrucelosis RBPTSE Elisa SEParasit Gastro Identifikasi

ParasitParasit Darah MikroskopisAnthrax Identifikasi

2.3. Analisis DataSemua data sampel, hasil uji dan informasi ditabulasikan dan dianalisis

secara dekriptif.

2.4. Tempat Pelaksanaan KegiatanPelaksanaan surveilans dilaksanakan di paddock/kandang perbibitan

BPTU-HPT Denpasar yang berlokasi di Desa Pangyangan Kecamatan

Page 223: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

232

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Pekutatan Kabupaten Jembrana, Bali dan Kabupaten Manggalewa,

Dompu Nusa Tenggara Barat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. HasilKegiatan surveilans di UPT Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan

Pakan Ternak (BPTU-HPT) pada Tahun 2018 bertujuan untuk mengetahui

situasi penyakit hewan menular yang ada di UPT tersebut. Hasil

pengambilan sampel surveilans di UPT BPTU-HPT Denpasar dan Dompu

berhasil mengumpulkan sampel sebanyak 851 sampel serum, darah, feses

dan swab. Sampel tersebut diperiksa untuk mengetahui berbagai jenis

penyakit hewan menular seperti : JD, IBR, BVD, SE, Anthrax, Brucellosis,

parasit darah dan juga parasit gastro intestinal. Berikut ini disajikan

prevalensi penyakit hewan secara umum di BPTU HPT pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) di BPTU- HPT Denpasar dan Dompu

No JenisPenyakit

JenisPengujian

JenisSampel

JumlahSampel

JumlahPositif/

Seropositif

JumlahNegatif/

SeronegatifElisa JD Serum 100 0 1001

2JDIBR Elisa IBR Serum 50 0 50

3 IBR PCR IBR Serum 75 0 75RBTBrucella

Serum 100 0 10045

BrucellosisSE

Elisa SE Serum 100 0 100IdentifikasiAnthrax

PUD 50 0 506

7

Anthrax

Trypanosomiasis ParasitDarah

PUD 76 0 76

8 Helminthiasis ParasitGastroIntestinal

Feses 100 0 100

9 JD PCR JD Darah 100 0 10010 BVD Elisa BVD Serum 100 19 81

TOTAL 851 19 832

Page 224: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

233

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Hasil uji pemeriksaan serologis terhadap antibodi penyakit hewan menular

seperti JD, SE, Brucellosis, dan BVD pada sapi bali di BPTU-HPT Denpasar

dan Dompu menunjukkan bahwa 19 sampel menunjukkan seropositif antibodi

Bovine Viral Diarrhea (BVD) sedangkan sampel lainnya seronegatif. Hasil uji

PCR untuk pemeriksaan penyakit JD dan IBR, menunjukkan semua sampel

negatif virus Jembrana dan Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), demikian

juga dengan penyakit parasit darah dan parasit gastro intestinal. Hasil uji dari

masing-masing BPTU-HPT di tampilkan dalam Tabel 6 dan 7.

Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) dari BPTU-HPT Denpasar

No JenisPenyakit

JenisPengujian

JenisSampel

JumlahSampel

JumlahPositif/

Seropositif

JumlahNegatif/

SeronegatifElisa JD Serum 100 0 1001 JDPCR JD Serum 100 0 100PCR IBR Swab 25 0 252 IBRElisa IBR Serum 25 0RBTBrucella

Serum 50 0 50

Elisa SE Serum 50 0 50

345

BrucellosisSEBVD

Elisa BVD Serum 50 0 50IdentifikasiAnthrax

PUD 25 0 256

7

Anthrax

Trypanosomiasis ParasitDarah

PUD 26 0 26

8 Helminthiasis ParasitGastroIntestinal

Feses 50 0 50

TOTAL 501 0 501

Page 225: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

234

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) di BPTU- HPT Dompu

No Jenis Penyakit JenisPengujian

JenisSampel

JumlahSampel

JumlahPositif/

Seropositif

JumlahNegatif/

SeronegatifPCR IBR Swab 50 0 501 IBRElisa IBR Serum 25 0 25RBTBrucella

Serum 50 0 50

Elisa SE Serum 50 0 50

234

BrucellosisSEBVD

Elisa BVD Serum 50 19 (38%) 31 (62%)IdentifikasiAnthrax

PUD 25 0 255

6

Anthrax

Trypanosomiasis ParasitDarah

PUD 50 0 50

7 Helminthiasis ParasitGastroIntestinal

Feses 50 0 50

TOTAL 350 19 331

Dari hasil pemeriksaan serologis terhadap 50 sampel serum menunjukkan 19

(38%) sampel seropositif antibodi Bovine Virral Diarrhea (BVD). Hal ini

disebabkan karena penularan, prevalensi antibodi yang tinggi, dan frekuensi

kejadian subklinis atau infeksi yang sulit didiagnosa menghasilkan tingginya

prevalensi antibodi terhadap BVD. Masa inkubasi yang tidak menentu dan

adanya infeksi persisten yang kronis menambah kompleksnya kejadian

penyakit (KAHRS, 1981). Menurut Sudarisman (2009), di Indonesia prevalensi

penyakit BVD pada sapi potong maupun pada sapi perah menunjukkan

prevalensi yang tidak kecil. Seperti ditampilkan pada Tabel berikut ini :

Tabel 8. Seroepidemiologi BVD pada sapi di Indonesia

No Jenis Sapi Jumlah Sampel Positif BVD Prevalensi

1 Sapi Potong 90 25 28%

2 Sapi BIB 110 41 37%

3 Sapi BET 11 5 45%

TOTAL 271 117 43,2%

Sumber: Sudarisman (2009)

Page 226: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

235

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Kejadian ini didukung oleh adanya kasus/wabah pada tahun-tahun yang lalu

seperti dilaporkan oleh WIYONO et al.(1989); SIREGAR (1989) dan DARMADI

(1989) dalam Sudarisman (2011), yang menunjukkan bahwa kasus diare ganas

disebabkan oleh virus BVD. Kejadiannya ada di beberapa daerah di

Indonesia antara lain Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara

Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung,

Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan

Selatan dengan gejala berupa diare dan dikenal dengan diare ganas.

Dalam Sudarisman, 2011 juga menjelaskan bahwa menurut Paton (1995),

Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit viral pada sapi yang

disebabkan oleh virus BVD, mudah ditularkan diantara sapi dan telah menyebar

ke seluruh dunia dan pertama kali ditemukan di Amerika. Virus BVD termasuk

pestivirus yang diklasifikasikan sebagai virus RNA famili Flaviviridae (OIE,

2008). Tanda klinis yang terlihat berupa ulserasi pada mukosa saluran

pencernaan dan diare. Virus BVD termasuk pestivirus yang diklasifikasikan

sebagai virus RNA famili Flaviviridae (OIE, 2008). Melihat tingginya hasil

pengujian serologi BVD di BPTU-HPT Dompu, memerlukan tindakan

penanganan yang serius dan komprehensif agar tidak terjadi wabah. Perlu

diketahui bahwa penularan penyakit ini melalui kontak antar sapi, kejadian kasus

klinis diantara sapi muda mungkin merupakan refleksi banyaknya infeksi dan

ditandai dengan adanya antibodi (Kars, 1981).

Page 227: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

236

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

IV. KESIMPULAN DAN SARAN4.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Ternak sapi bali di BPTU-HPT Denpasar hasil pemeriksaan penyakit JD,

dan IBR dengan metode PCR di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu

menunjukkan semua negatif, demikian pula halnya dengan parasit darah

dan parasit gastro intestinal.

2. Hasil pemeriksaan serologi terhadap penyakit SE, JD, dan Brucellosis

menunjukkan semua hasil Negatif sedangkan pemeriksaan serologi

terhadap penyakit BVD menunjukkan 19 (38%) dari 50 sampel yang diuji

positif.

4.2. SaranSaran yang ingin disampaikan untuk BPTU-HPT Denpasar dan Dompu

adalah:

1. Untuk BPTU-HPT Denpasar dari hasil pepemeriksaan yang semua

negatif menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan dalam tata laksana

pengendalian penyakit.

2. Untuk hasil pemeriksaan serologis BVD di BPTU-HPT Dompu

menunjukkan 38% positif diperlukan penanganan yang lebih intensif

secara ilmiah dan komprehensif agar dimasa mendatang tidak menjadi

permasalahan karena sewaktu-waktu bisa meledak dan sangat

merugikan.

Page 228: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

237

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

V. DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2004.Ivermectin.http://cal.vet.upenn.edu/dxendopar/drug%20pages/fenbendazole.htm. Diakses 24 Januari 2017

Brown, J. D., Goekijan, G., Poulsan, R., Valeika, S., dan Stallknecht, D. E.,2008. Avian Influenza Virus in Water Infectivity is depend on pH, Salinityand Temperature. Vet Microbiol. Doi : 10.1016/j.vetmic.1 VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review- TheNatural History of Anaplasma Marginale. Vet Parasitol. 167:95-1070.027.

Kars, R.F. 1981. Viral diseases of cattle. 1stedition. TheIOWA StateUniversity Press, Ames, Iowa. pp. 89 –106.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods

Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di LimaKecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

OIE. 2008. Bovine Viral Diarrhoea. Manual of Standard for Diagnostic Testsand Vaccines. Chapter 2.4.8.www.oie.int. (14 Maret 2019).

Sudarisman. 2009. Infeksi Virus Bovine Viral Diarahea (BVD) pada Sapi diLapangan. Laporan Balai Besar Penelitian Veteriner.

Sudarisman. 2011. Bovine Diarrhea pada Sapi di Indonesia danpermasalahannya. Balai Besar Penelitian Veteriner.

Page 229: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

238

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA

TIMUR TAHUN 2018

Ni Made Sri Handayani

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Untuk pemenuhan produk pangan asal hewan, produktifitas ternak masih ditemukan masalah,yaitu rendahnya angka kelahiran dan terjadinya gangguan reproduksi dan penyakit gangguanreproduksi. Untuk mengetahui sejauh mana terjadinya gangguan reproduksi pada ternak danpenyebaran penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar,maka tahun 2018 Balai Besar Veteriner Denpasar melaksanakan Surveilans Penyidikan danPengujian Penyakit Gangguan Reproduksi pada ternak sapi/kerbau yang bertujuan untukmendukung program Upsus Siwab serta mengetahui tingkat prevalensi penyakit menular yangberkaitan dengan gangguan reproduksi sehingga dapat menjadi acuan dalam pencegahan danpengendalian terhadap penyakit tersebut. Pengambilan sampel dilakukan dari Bulan Mei hinggaDesember di Provinsi Bali, NTB dan NTT dengan total sampel 412 sampel serum dan swab.Hasil dari 105 sampel serum yang diuji dengan Elisa BVD dan 328 sampel serum yang diuji RBTBrucella menunjukkan semua sampel negatif dan hasil uji 105 sampel swab yang diuji PCR IBRmenunjukkan semua sampel negatif virus IBR. Hasil analisa kuisioner dari 50 respondenmenunjukkan 35 (70%) orang yang memelihara ternak kerbau dan 15 (30%) sapi, dan 100%dipelihara secara ekstensif dan milik sendiri. Pengetahuan peternak terkait siklus birahi semuaresponden menyatakan mengetahui tentang siklus birahi dan 100% responden menyatakanmenghubungi dokter hewan/petugas IB jika ada keluhan tentang ternak mereka, namun 100%responden menyatakan tidak melakukan kawin Ib dan PKB. Hal tersebut disebabkan karenasisten peternakan masih ekstensif sehingga agak menyulitkan dalam mengaplikasikan IB danPKB di daerah Sumba Tengah.

Kata kunci: Surveilance, Penyakit Gangguan reproduksi

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangPencapaian target populasi ternak dilakukan dengan berbagai cara.

Kemampuan reproduksi ternak adalah kunci dalam mengembang biakan

tenak. Adanya penyakit-penyakit yang akan mengganggu kemampuan

reproduksi perlu diketahui dan dipetakan dengan akurat, sehingga upaya

pengendalian, pencegahan dan penangananya bisa membuahkan hasil

yang optimal. Semua upaya itu berujung pada tercapainya derajat

kesehatah ternak yang optimal untuk menghasilkan keturunan-keturunan

Page 230: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

239

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

yang sehat pula sehingga mencapai kemandirian dalam memenuhi

kebutuhan akan daging. Sebagai salah satu Unit Pelayanan Teknis (UPT)

di bawah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Balai Besar Veteriner

Denpasar diharapkan juga memberikan andil dalam penyidikan, pengujian

ataupun pemetaan penyakit yang berkaitan dengan gangguan reproduksi.

Sehingga dengan optimalisasi kerja berbagai elemen dalam mendukung

pencapaian target populasi ternak akan dapat terwujud.

Dengan memperhatikan hal itu, maka kegiatan yang mendukung evaluasi

dan monitoring penyakit gangguan reproduksi perlu terus dilakukan,

disamping kegiatan kegiatan pendukung lainnya seperti kebijakan tunda

potong betina produktif, dan sebagainya. Keberhasilan reproduksi akan

sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong dan kerbau. Namun,

hingga saat ini masih sering dijumpai adanya kasus gangguan reproduksi

yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk, akibatnya berupa

penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet, sehingga

mempengaruhi penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan daging

secara nasional.

Gangguan reproduksi pada sapi potong dan kerbau secara garis besar

disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : cacat anatomi saluran

reproduksi, gangguan fungsional, infeksi organ reproduksi. Gangguan

fungsional salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya

gangguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik).

Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas

hormonal. Penyakit Reproduksi yang disebabkan oleh infeksi menjadi

perhatian utama dalam surveilan dan pengujian yang dilakukan Balai Besar

Veteriner Denpasar. Hal ini mengingat sampai saat ini Balai Besar

Veteriner Denpasar lebih memperkuat dalam pendiagnosaan penyakit

yang disebabkan agen infeksius. Lebih khusus lagi penyakit infeksi yang

spesifik, yaitu yang disebabkan virus dan bakteri.

Penyakit Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella abortus ini seringkali

menyebabkan kejadian keguguran pada ternak yang bunting. Biasanya

Page 231: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

240

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

keguguran terjadi pada umur kebuntingan 7 bulan. Angka kematian induk

sangat kecil atau tidak terjadi, namun kerugian ekonomi yang ditimbulkan

sangat besar berupa keluron anak, anak lahir lemah dan kemudian mati,

dan gangguan alat reproduksi yang menyebabkan kemajiran, dan pada

sapi perah sering terjadi penurunan produksi susu. Spesies bakteri

Brucella yang sering menjadi masalah adalah; Brucella melitensis

menyerang kambing, Brucella abortus menyerang sapi, dan Brucella suis

menyerang babi. Brucellosis ini bisa juga menyerang manusia. Penularan

kepada manusia terjadi karena minum susu yang tidak dimasak sempurna,

karena menolong kelahiran sapi atau mengambil plasenta yang tertinggal.

Penularan Brucellosis biasanya terjadi secara oral, melalui hidung atau

mata. Selain itu penularan dapat juga terjadi secara congenital dimana

anak yang dilahirkan dari induk penderita, cenderung menjadi latent carier

dan akan mengalami abortus pada saat terjadi kebuntingan yang pertama.

Pada saat keguguran, fetus dan membrannya mengandung banyak kuman

dan menjadi sumber penularan. Penyebaran Brucellosis di wilayah kerja

BBVet Denpasar masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa

kabupaten di Nusa Tenggara Timur.

Penyakit IBR merupakan penyakit infeksius yang sangat menular yang

disebabkan oleh Bovine Herpesvirus- 1 (BHV-1). Selain menyebabkan

penyakit pernafasan, virus ini dapat menyebabkan conjunctivitis, aborsi,

encephalitis, dan infeksi sistemik secara umum. Gejala klinis yang

disebakan oleh virus ini dapat dikelompokan menjadi : infeksi saluran

pernafasan. infeksi mata, aborsi , infeksi kelamin, infeksi otak, infeksi

umum pada anak sapi yang baru lahir. Penularan dapat melalui air, pakan,

kontak langsung maupun tidak langsung. Gejala yang nampak dalam

berbagai bentuk, yaitu: Respiratorik bagian atas (demam, anorexia,

depresi, leleran hidung, nodula/bungkulbungkul pada hidung, pharynx,

trachea, batuk, penurunan produksi susu). Konjungtival (hyperlakrimasi

dengan eksudat mukopurulen, konjungtiva merah dan bengkak, adanya

pustula pada konjungtiva dan ulcer nekrotik.

Page 232: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

241

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Dalam Sudarisman, 2011 menjelaskan bahwa menurut Paton (1995),

Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit viral pada sapi yang

disebabkan oleh virus BVD, mudah ditularkan diantara sapi dan telah

menyebar ke seluruh dunia dan pertama kali ditemukan di Amerika. Virus

BVD termasuk pestivirus yang diklasifikasikan sebagai virus RNA famili

Flaviviridae (OIE, 2008). Tanda klinis yang terlihat berupa ulserasi pada

mukosa saluran pencernaan dan diare. Virus BVD termasuk pestivirus

yang diklasifikasikan sebagai virus RNA famili Flaviviridae (OIE, 2008).

Penyakit BVD yang menyerang sapi dengan gejala klinis demam tinggi,

depresi, anorexia, diare, lesi pada mukosa mulut dan sistem pencernaan,

abortus pada 2-9 bulan kebuntingan serta terjadinya kawin berulang.

1.2. MAKSUD DAN TUJUANSecara umum maksud/tujuan dilakukannya Surveilans penyakit gangguan

reproduksi adalah:

1. Mengetahui keberadaan penyakit yang bisa berakibat pada adanya

gangguan reproduksi pada ternak sapi.

2. Memberikan informasi hasil laboratorium tentang adanya agen agen

atau penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan reproduksi

pada sapi.

II. MATERI DAN METODE

2.1. MATERI Bahan yang digunakan dalam penulisan laporan kegiatan ini adalah hasil

pemeriksaan Laboratorium Virologi (IBR dan BVD), Laboratorium

Bakteriologi (Brucellosis) serta dari Laboratorium Patologi untuk peneguhan

diagnosa dengan pemeriksaan Histopatologi. Semua pemeriksaan dilakukan

di laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar.

Page 233: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

242

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

2.2. METODESampel kegiatan lapangan diambil adalah sampel serum dan swab dari

Provinsi Bali, NTB dan NTT yang diperiksa terhadap penyakit BVD, IBR dan

Brucelosis dengan metode PCR (Polymerase Chaine Reaction), Elisa

(Enzim Lynked Immunosorbance Assay) dan RBT (Rose Bengal Test).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASILHasil uji penyakit IBR dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

menunjukkan bahwa dari 105 sampel yang diuji semua sampel negatif virus IBR.

Hasil uji Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan PCR IBR di Tiga LokasiHasil Uji PCR IBRProvin

siKabupaten Hewan Spesimen Jumlah

Positif NegatifBALI Jembrana ( Kec. Jembrana, Desa

Yeh Kuning)Sapi Swab 15 0 15

NTB Lombok Utara (Kec. Pemenang,Desa Pemenang) Sapi

Swab 30 0 30

NTT Sumba Tengah (Kec. URN, DesaPraykaroku Jangga)

Sapi Swab 60 0 60

JUMLAH 105 0 105

Hasil uji Rose Bengal Test (RBT) untuk uji serologi penyakit Brucellosis

menunjukkan bahwa semua sampel negatif antibodi Brucella seperti ditampilkan

pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan RBT BrucellaHasil Uji RBT BrucellaProvinsi Kabupaten Hewan Spesimen Jumlah

Seropositif Seronegatif

BALI Jembrana ( Kec. Jembrana,Desa Yeh Kuning)

Sapi Serum 100 0 100

NTB Lombok Utara (Kec.Pemenang, Desa Pemenang)

Sapi Serum 112 0 115

NTT Sumba Tengah (Kec. URN,Desa Praykaroku Jangga)

Sapi Serum 116 0 116

JUMLAH 328 0 328

Page 234: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

243

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Hasil uji serologis dengan metode Elisa terhadap penyakit Bovine Viral Diarrhae

(BVD) menunjukkan semua sampel negatif antibodi BVD, berikut ditampilkan

pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan BVDHasil Uji Serologi BVDProvinsi Kabupaten Hewan Spesimen Jumlah

Seropositif SeronegatifBALI Jembrana ( Kec. Jembrana,

Desa Yeh Kuning)Sapi Serum 15 0 15

NTB Lombok Utara (Kec.Pemenang, Desa Pemenang)

Sapi Serum 30 0 30

NTT Sumba Tengah (Kec. URN,Desa Praykaroku Jangga)

Sapi Serum 60 0 60

JUMLAH 105 0 105

Pemeriksaan terhadap 538 sampel serum dan swab yang diuji menunjukkan

semua sampel negatif antibodi dan antigen.

Kegiatan surveilans ini selain dengan pemeriksaan laboratorium juga dilakukan

pengisian kuisioner oleh responden. Pengisian kuisioner ini hanya dilakukan di

Kabupaten Sumba Tengah. Berikut pertanyaan kuisioner dari surveilans

penyakit gangguan reproduksi yang dilaksanakan di kabupaten Sumba Tengah.

Dari 50 orang yang dijadikan responden 35 (70%) orang yang memelihara

ternak kerbau, yang 100% dipelihara secara ekstensif dan milik sendiri. Dari 50

responden 47 (94%) responden yang menyatakan ternaknya tidak mengalami

gangguan reproduksi dan 3 (6%) responden menyatakan mengalami gangguan

reproduksi. Dari sejumlah responden yang ternaknya mengalami kasus

gangguan reproduksi menyatakan bahwa tidak semuanya mengalami

kesembuhan dan menunjukkan gejala birahi. Hanya 1 dari 3 (33,3%) responden

yang menyatakan bahwa ternaknya mengalami kesembuhan dan gejala birahi

sedangkan 2 dari 3 (66,7%) responden menyatakan ternaknya tidak mengalami

kesembuhan dan gejala birahi. Dari responden yang menyatakan ternaknya

tidak menunjukkan kesembuhan dan gejala birahi 2 (100%) menyatakan bahwa

ternak tersebut diobati. Dari 50 orang yang dijadikan responden menyatakan

bahwa 50 (100%) orang menyatakan ternaknya tidak di IB dan PKB dan

responden menyatakan bahwa 25 (50%) ternaknya mengalami kebuntingan

sedangkan 25 orang (50%) tidak mengalami kebuntingan. Dari pengetahuan

Page 235: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

244

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

terkait siklus birahi ternak semua responden menyatakan mengetahui tentang

siklus birahi dan 100% responden menyatakan menghubungi dokter

hewan/petugas IB jika ada keluhan tentang ternak mereka.

3.2 PEMBAHASANHasil pemeriksaan terhadap penyakit BVD (Bovine Virus Diarrhea) menunjukkan

semua sampel neghatif virus tersebut. BVD adalah penyakit infeksius pada sapi

yang disebabkan oleh virus dan secara klinis terlihat adanya stomatitis erosif

akut, gastroenteritis dan diarhea. Penyakit ini bisa berdampak terhadap masalah

reproduksi. Dan sapi merupakan spesies yang rentan terhadap penyakit ini.

Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini yang paling menyolok adalah diare

yang profuse dan berair, berbau busuk berisi mukus darah. Sedangkan akibat

yang ditimbulkan yang berkaitan dengan masalah reproduksi adalah pada sapi

bunting dapat mengalami keguguran akibat infeksi, biasanya setelah fase akut

lewat, bahkan bisa sampai 3 bulan setelah kesembuhan. Penyakit ini lebih

umum terjadi pada sapi potong dibanding sapi perah. Jika terjadi wabah

morbiditas mencapai 25% dan kematian dapat mencapai 90 – 100 % dari hewan

yang sakit. Bila penyakit ini memasuki suatu peternakan maka biasanya bersifat

sporadik. Pada peternakan penggemukan biasanya terjadi out break beberapa

hari setelah sapi datang. Cara penularan secara kontak langsung maupun tidak

langsung. Penyebaran yang utama melalui makanan yang tercemar feses, urine

atau leleran hidung. Apabila penyakit sudah masuk pada suatu peternakan,

kasus baru yang terjadi bersifat sporadik. Gejala klinis yang tampak bisa bersifat

akut, sub akut atau kronis. Pengujian BVD secara serologis telah dilakukan

secara rutin di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar dengan metode

Elisa BVD.

Dari pemeriksaan yang dilakukan pada tahun sebelumnya dapat dijelaskan

bahwa penyakit BVD ini telah ditemukan di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar. Namun pada tahun 2018 ini pemeriksaan BVD yang dilakukan Balai

Besar Veteriner Denpasar memberi gambaran hasil yang cukup

menggembirakan, dari semua sampel serum yang diambil dari tiga propinsi

Page 236: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

245

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

dengan uji Elisa BVD semua sampel sebanyak 345 serum semuanya

menunjukkan hasil seronegatif BVD. Hasil ini menggambarkan paparan virus

BVD di alam tidak terjadi lagi di tiga provinsi yang dilakukan pengambilan

sampel.

Penyakit IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis) dapat menimbulkan infeksi

sekunder berupa broncho pneumonia, keguguran dan kematian pada anak sapi.

Mortalitas penyakit rendah dan morbiditas tinggi. Sapi yang sembuh dari infeksi

alami menjadi kebal dalam waktu yang lama. Kekebalan secara pasif yang

diperoleh pedet dari kolostrum dapat menimbulkan kekebalan kurang lebih

empat bulan. Penularannya bisa secara vertikal maupun horizontal. Secara

vertikal dapat melalui infeksi intra uterina, sedangkan horizontal dapat melalui

inhalasi cairan hidung yang mengandung virus dan melalui semen. Penyakit ini

dapat menimbulkan kerugian ekonomi cukup berarti. Kerugian terutama akibat

adanya infeksi sekunder yang dapat menyebabkan pneumonia, keguguran dan

kematian pada anak sapi. Diagnosa laboratorium dapat dilakukan secara

histopatologi dan virologi. Pemeriksaan adanya virus dapat dilakukan secara

isolasi dari usapan vagina atau trachea. Dapat pula menggunakan metode

ELISA dan yang lebih akurat lagi adalah dengan metode PCR. Meskipun bahan

yang digunakan berupa kit Elisa cukup mahal, pengujian dengan metode ini bisa

lebih cepat dan mudah dilakukan dan bisa memberikan gambaran adanya

antibodi maupun antigen IBR pada sapi yang diambil sampelnya. Banyaknya

penyakit yang menunjukkan gejala klinis yang mirip (differensial diagnosa)

dengan penyakit IBR ini menjadi alasan perlunya pemeriksaan laboratorium

untuk mendiagnosa penyakit ini. Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa

banding (differnsial diagnosa) dari penyakit IBR ini antara lain: Pasteurollosis,

Bovine Viral Diarrhea (BVD), Diphteria, Shipping Fever, Rhinitis karena alergi,

dan Malignan Catarrhal Fever (MCF). Untuk lebih memberikan kecepatan dan

ketepatan diagnosa IBR, Balai Besar Veteriner Denpasar juga melakukan

pendiagnosaan IBR dengan metode PCR. Hasilnya bisa dilihat pada Tabel.1

untuk pemeriksaan serum dengan metode ELISA dan untuk pemeriksaan secara

PCR.

Page 237: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

246

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

Hasil pemeriksaan RBT Brucella terhadap 700 sampel menunjukkan semua

sampel yang diuji negatif, Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan

salah satu penyakit hewan menular strategis karena penularannya yang relatif

cepat antar daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalulintas

ternak yang ketat (Ditjennak, 1988). Brucellosis mengakibatkan tingginya angka

keguguran pada sapi, pedet lahir mati/ lemah, infertilitas, sterilitas dan turunnya

produksi susu (Hubbert et al., 1975).

Analisa hasil kuisioner terhadap 50 orang responden yang merupakan pemilik

ternak menunjukkan bahwa masih rendahnya respon terhadap IB hal ini

disebabkan karena sistem peternakan di Sumba tengah masih bersifat ekstensif,

ternak diumbar di padang rumput sehingga menyulitkan dalam pengumpulan

ternak dan melakukan inseminasi buatan (IB).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULANDari hasil pemeriksaan laboratorium dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Hasil uji laboratorium secara serologi dan PCR terhadap penyakit

gangguan reproduksi (BVD, IBR, Brucellosis) semuanya menunjukkan

hasil negatif.

2. Hasil analisa kuesioner dari 50 responden menunjukkan bahwa

peternakmasih belum bisa diaplikasikan disebabkan karena sistem

peternakan ekstensif.

4.2. SARANSaran untuk dinas dan instansi terkait adalah sebagai berikut :

1. Monitoring dan surveilans secara berkelanjutan

2. Untuk merubah sistem kawin alam menuju sistem IB membutuhkan waktu dan

tenaga yang lebih keras dari petugas dinas. .

Page 238: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2019/07/LAPORAN...ii LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018 DAFTAR

247

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018

V. DAFTAR PUSTAKA

DITJENNAK. 1981. Penyakit Keluron Menular (Brucellosis). Pedoman Pengendalian PenyakitMenular. Bina Direktorat Kesehatan Hewan. Dirjen Peternakan. Jakarta.

Hazumi, T., dkk. 2001. Fisiologi dan Gangguan Reproduksi. Japan International CooperationAgencyIndonesia. Singosari.

Hazumi, T., dkk. 2002. Reproduksi Klinik. Japan International Cooperation Agency- Indonesia.Singosari. Hardjopranjoto, S, 1995.

HUBBERT, W.T., W.F. MCCULLOH, and P.R. SCHNURENBERGER. 1975. DiseaseTransmitted from Animals to Man. 6th. Ed. Charles C. Thomas. Publisher. Sprongfield.USA.

Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya. Ratnawati.d., dkk., 2007,Petunjuk Teknis Peanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong, PUSLITBANGNAK,

Pasuruan.

Ressang,A.A., 1988. Penyakit Viral Pada Hewan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).Jakarta

Riady.m., 2006., Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010 Strategi danKendala, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, PUSLITBANGNAK.

Schnurrenberger.P.R., et al., 1991, Ikhtisar Zoonosis, Penerbit ITB Bandung. Subronto, 1993.Ilmu Penyakit Ternak I. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.