LAPORAN TEKNIS -...
Transcript of LAPORAN TEKNIS -...
ii
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
DAFTAR ISI
Halaman
1 KATA PENGANTAR ………………………………………………… i
2 DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ii
I. BAKTERIOLOGI
1. SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR TAHUN 2018…….. 1-9
2. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR TAHUN 2018……… 10-17
3. MONITORING DAN SURVEILANS SEDI WILAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR TAHUN 2018……… 18-28
II. PARASITOLOGI
1. SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAKSAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018.................. 29-46
2. SURVEILANS CYSTICERCOSISDI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2018................................................................................. 47-59
2. SURVEILANS PENYAKIT SURRA/TRYPANOSOMIASISPADA TERNAK DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2018............ 60-74
III. PATOLOGI
1. PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKIT RABIESSECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2018…….………. 75-92
2. SURVEILANS BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHYDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSATENGGARA TIMUR TAHUN 2018…………………………………….. 93-102
IV. KESMAVET
1. PROGRAM MONITORING - SURVEILANS RESIDU DANCEMARAN MIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASALHEWAN DI PROVINSI BALI, NTB dan NTT, TAHUN 2018….. 103-135
iii
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
V. BIOTEKNOLOGI
1. SURVEILANS DALAM RANGKA UPAYA PEMBEBASANPENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALI TAHUN 2018................ 136-148
2. SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2018...................................................................................... 149-164
VI. VIROLOGI
1. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DANKUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2018..........................................……….. 165-176
2. SURVEILANS DAN MONITORING IBR DAN BVDDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DANNUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018............................... 177-191
3. SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DANNUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017................................ 192-209
4. SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2018................................................................. 210-224
VII. PELAYANAN VETERINER
1. SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAIPEMBIBITAN TERNAK UNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK(BPTU-HPT), TAHUN 2018………………………………………………. 225-237
2. SURVEILANS PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKITGANGGUAN REPRODUKSI DI PROVINSI BALI, NTB DANNTT TAHUN 2018………………………………………………….. 238-247
1
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI PROVINSI NTB DAN NTT TAHUN 2018
Ni Luh Dartini, A. An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Ridho Cahyo Saputro
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (Provinsi Bali, NTB, dan NTT) berbedadiantara satu pulau dengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerah bebasAntraks. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa), kasus Antraksterakhir dilaporkan terjadi Tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah. Di Pulau Sumbawa,sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dan kasus terjadi hampir setiap tahun.Tahun 2017 kasus dilaporkan terjadi di Kabupaten Bima. Sedangkan di Nusa Tenggara Timurkasus Antraks di Pulau Flores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dan diKabupaten Ende terjadi pada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antraks kembali dilaporkanterjadi di Kabupaten Sikka dan di Sumba. Kejadian Antraks di Pulau Sabu pernah dilaporkanpada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, serta kasus terakhir terjadi pada bulanAgustus 2011 pada kuda dan manusia. Untuk mengetahui situasi atau deteksi dini adanyabakteri Bacillus anthracis pada ternak, maka tahun 2018 Laboratorium Bakteriologi BBVetDenpasar telah telah menerima sampel dari beberapa kabupaten di Provinsi NTB dan NTT.Sampel preparat ulas darah (PUD) diwarnai dengan polychromatic methylene blue kemudiandiperiksa secara mikroskopis. Hasil uji terhadap 875 sampel dari NTB dan 964 sampel dariNTT tahun 2018, semuanya negatif Bacillus anthracis secara mikroskopis. Kasus positifAntraks ditemukan di Kelurahan Kumbe, Kecamatan Rasana’e Timur, Kota Bima pada 2 ekorsapi, sampel yang diambil diuji di UPTD Kesehatan Hewan Rasana’e Barat, Kota Bima,Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kata Kunci : Antraks, NTB, NTT.
I. PENDAHULUAN
Antraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis
hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.
Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor, dkk. 2001;
Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk
septisemik (Ezzel, 1986). Bila Bacillus anthracis berada dalam lingkungan yang
tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh jumlah oksigen yang
cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan bertahan hidup
puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan mendorong kuman
ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks dilarang
2
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
disembelih. Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak yang
telah tercemar spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi bersifat
endemis apabila tidak ditangani secara baik.
Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Provinsi Bali merupakan
daerah bebas Antraks. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau Sumbawa
merupakan daerah endemis Antraks, dan di Pulau Lombok kasus Antraks
terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah, setelah itu
sampai tahun 2018 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi Antraks di
Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi wilayah
NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba
diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan
Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di
Provinsi NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011,
Manggarai Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende
2012, Sikka 2007, Saburaijua tahun 2011 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany
Suhadi, 2015).
Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di
Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi
umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat
kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahui tingkat kekebalan
kelompok ternak, maka Laboratorium Bakteriologi tahun 2018 bermaksud
melakukan surveilans serologis dengan uji ELISA, namun karena BBVet
Denpasar kesulitan untuk mendapat antigen dan serum kontrol positif serta
serum kontrol negatif, maka pada tahun 2018 surveilans antraks dialihkan
untuk deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis, dengan pengambilan
sampel preparat ulas darah (PUD) kemudian diperiksa secara mikroskopis.
3
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
II. MATERI DAN METODE
MateriBahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah
kerja BBVet Denpasar tahun 2018 antara lain zat warna polychromatic
methyline blue, glass slide, mikroskop dan sebagainya.
MetodeSampel yang diuji adalah semua sampel preparat ulas darah (PUD) yang
diterima Laboratorium Bakteriologi selama tahun 2018. Lokasi, jumlah dan
waktu pengambilan sampel ditentukan oleh bidang pelayanan veteriner BBVet
Denpasar. Bakteri Bacilus anthracis (B.anthracis) dengan pewarnaan Gram’s
adalah gram positif berbentuk batang, dengan ujung siku-siku (Gambar 1).
Gambar 1.B.anthracis pewarnaan polychromatic methylin blue pembesaran 1000X (Gambar Dartini 2017).
4
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
III. HASIL
Hasil pengujian sampel di BBVet Denpasar tahun 2018 menunjukan bahwa
semua sampel PUD (1.839 sampel) dari Provinsi NTB dan NTT negatif Bacillus
anthracis (Tabel 1). Kasus positif Antraks ditemukan di Kelurahan Kumbe,
Kecamatan Rasana’e Timur, Kota Bima pada 2 ekor sapi, pengujian sampel
dilakukan di UPTD Kesehatan Hewan Rasana’e Barat, Kota Bima, Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Antraks Tahun 2018
Hasil Uji AntraksProvinsi Kabupaten Jumlah(-) (+)
Bima 150 150 0Dompu 100 100 0Kota Bima 50 50 0Lombok Barat 100 100 0Lombok Tengah 150 150 0Lombok Timur 150 150 0Lombok Utara 50 50 0Mataram 25 25 0Sumbawa 50 50 0
NTB
Sumbawa Barat 50 50 0Jumlah NTB 875 875 0
Alor 50 50 0Belu 50 50 0Ende 50 50 0Kab Kupang 50 50 0Kota Kupang 50 50 0Lembata 51 51 0Malaka 50 50 0Manggarai 50 50 0Manggarai Barat 50 50 0Ngada 50 50 0Rotendao 50 50 0SBD 50 50 0Sumba Tengah 100 100 0Sumba Timur 50 50 0TTS 60 60 0
NTT
TTU 153 153 0Jumlah NTT 964 964 0
Jumlah Bali, NTB, NTT 1839 1839 0
5
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
IV. PEMBAHASAN
Kasus Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pertama kali dilaporkan
di Pulau Sumbawa pada tahun 1917, di Kecamatan Kempo, Kabupaten
Dompu. Selanjutnya dilaporkan di Pulau Sumbawa tahun 1931 dan Pulau
Lombok tahun 1933. Kasus Antraks di Pulau Lombok terakhir dilaporkan terjadi
pada 26 Januari tahun 1987 di desa Kenyalu, Kecamatan Janapria, Kabupaten
Lombok Tengah pada sapi. Pada saat itu 12 orang dilaporkan tertular Antraks
dan 2 orang diantaranya meninggal. Penyakit dapat dikendalikan dengan baik
sehingga tidak menyebar ke wilayah lainnya (Putra, dkk., 2011). Sejak tahun
1988 sampai 2018 tidak ada lagi laporan kasus Antraks di Pulau Lombok, dan
berdasarkan informasi dari petugas dinas peternakan setempat, bahwa di
Pulau Lombok sudah tidak dilakukan vaksinasi Antraks.
Sedangkan Antraks di Pulau Sumbawa menjadi endemis, dengan kejadian
yang cukup tinggi, kasus dilaporkan terjadi hampir setiap tahun, terutama di
Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Bima dan Kota Bima. Tahun 2016 dilaporkan
terjadi satu kasus antraks di Kabupaten Sumbawa, dan tahun 2017 kasus
dilaporkan terjadi di Dusun Doropila, Desa Rator, Kecamatan Bolo, Kabupaten
Bima pada 3 ekor kambing. Berdasarkan informasi dari staf dan Kepala Bidang
Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Bima,
diketahui bahwa pada tanggal 28 Pebruari 2017, kambing milik bapak Sunardi
di Dusun Doropila, Desa Rator, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, sakit
dengan gejala klinis kejang dan jatuh, karena khawatir kambing tersebut mati,
maka sebelum mati kambing tersebut dipotong yang rencananya akan
dikonsumsi, namun setelah dibuka, terlihat organ limpa kambing tersebut jauh
lebih besar dari limpa kambing normal. Petugas peternakan yang ada di
Kecamatan Bolo curiga bahwa kambing tersebut terinfeksi B.anthracis, untuk
itu telah dibuat preparat ulas darah (PUD) dari goresan organ limpa selanjutnya
membakar semua sisa bangkai dan peralatan yang dipakai dalam proses
pemotongan. Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata 3 ekor
kambing bapak Sunardi telah mati pada akhir bulan Januari 2017 dan semua
6
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
bangkainya sudah dikubur. Informasi kematian sapi yang diduga terinfeksi
B.anthracis juga terjadi pada bulan Desember 2016 yaitu di Dusun Zakaria,
Desa Leu yang merupakan desa tetangga dari Desa Rator. Berdasarkan
laporan Dinas Peternakan Kabupaten Bima dan hasil wawancara dengan
peternak di Desa Rator, Kecamatan Bolo, diketahui bahwa daerah tersebut
merupakan daerah endemis antraks, kasus antraks dilaporkan terjadi hampir
setiap tahun antara lain tahun 1991, 1992, 1994, 1995, 1999, 2000, 2002,
2003. Kasus antraks di Kabupaten Bima dalam 3 tahun terakhir dilaporkan
tahun 2015 pada 2 ekor ternak yaitu di Kecamatan Ambalawi dan Kecamatan
Sangar, tahun 2016 terjadi 2 kasus di Kecamatan Bolo (Dartini, 2017). Kasus
antraks pada tahun 2018 dilaporkan terjadi di Kota Bima Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Kasus terjadi pada ternak sapi milik Dodik Wirawan, di
Kelurahan Kumbe, Kecamatan Rasanae Timur, ada bulan September dan
Nopember 2018. Laporan adanya kasus kematian sapi yang diduga Antraks
diterima BBVet Depasar pada awal bulan Nopember 2018. Setelah BBVet
menerima adanya laporan kasus tersebut maka sebagai tindaklanjut
ditugaskan tim untuk melakukan investigasi ke lokasi kasus. Namun,
sesampainya tim disana, tidak lagi ditemukan ternak sakit atau mati. Sampel
dari ternak yang mati pada tanggal 28 September dan 10 Nopember 2018
sudah diambil oleh petugas dinas dan diperiksa di UPTD Kesehatan Hewan
Rasane Barat, Kota Bima dengan hasil positif B.anthracis. Kecamatan
Rasana’e Timur diketahui sebagai daerah endemis Antraks, beberapa kasus
Antraks pernah dilaporkan menyerang ternak sapi, kuda, dan kambing/domba
(Tabel 2) (Putra, dkk., 2011).
7
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 2. Laporan Kejadian Kasus Antraks di Kota Bima
Hewan terserangKecamatan Desa Bulan Tahun
Sapi Kuda Kambing/domba
? Okt 1999 1? Peb 2001 6 1 6? Peb 2002 1 2? Sept 2002 1 1 1
Kendo ? 2003 1Pantol ? 2003 1
Penana'e ? 2003 1
Rasana'eTimur
Kumbe Mei 2004 2 1Sambinae Peb 2005 1Rasan'e
Barat Paruga Peb 2001 1Jatiwangi Des 2001 1Jatibaru Sept 2002 1Asakota
Rabangodu Sept 2002 1Jumlah 12 3 16
Berdasarkan data laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi
NTT bahwa Antraks di Daratan Timor, pernah dilaporkan terjadi tahun 2003 di
Kota Kupang dan vaksinasi dilakukan juga di Kabupaten Timor Tengah Utara
(Dany Suhadi, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil monitoring BBVet Denpasar
dimana antibody positif ditemukan pada sampel yang diambil di Kota Kupang
dan Kabupaten Timor Tengah Utara pada tahun 2015, sedangkan tahun 2018
semua sampel PUD dari Provinsi NTT negatif B.anthracis.
Situasi Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau
yang menjadi wilayah NTT. Antraks di Pulau Flores tersebar luas hamper
diseluruh kabupaten, |Antraks sering menyerang sapi, kerbau, kuda,
kambing/domba, kadang-kadang babi. Selain menyerang ternak, antraks di
Pulau Flores sering menulari manusia akibat menyemblih dan atau
mengkonsumsi daging terduga Antraks. Kasus Antraks dalam beberapa tahun
terakhir di Pulau Flores dilaporkan terjadi di Manggarai Barat tahun 2008,
Manggarai tahun 2001, Ngada tahun 2009, Nagekeo tahun 2007, Ende tahun
2012, Sikka tahun 2007.
8
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Antraks di Pulau Sumba pertama kali dilaporkan pada tahun 1939 di
Kabupaten Suma Timur. Wabah Antraks di Pulau Sumba pernah dilaporkan
terjadi pada tahun 1963, 1965, 1980 (Putra, dkk., 2011) dan tahun 2007 di
Kabuapten Sumba Barat (Dartini dkk, 2007), di Kecamatan Kodi Mangendo,
sekarang menjadi wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya. Kasus terakhir
dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011. Antraks di Kabupaten
lainnya di Provinsi NTT pernah dilaporkan terjadi di Kabupaten Saburaijua
tahun tahun 2011 (Dartini, dkk, 2011).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa Pulau Sumbawa, Provinsi
NTB masih merupakan daerah endemis Antraks. Untuk mencegah terjadinya
peningkatan kasus maka disarankan untuk melakukan vaksinasi pada ternak
rentan dengan cakupan yang memadai, terutama dilokasi yang sering
dilaporkan terjadinya kasus.
VI. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas dan
staf Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan
Kesehatan hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Nusa Tanggra Barat, serta
Kepala Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Nusa Tanggra Timur, atas bantuan
dan kerjasamanya sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik.
9
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
DAFTAR PUSTAKA
OIE, (2008), Antraks, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.
Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timurdalam Mendukung Monitoring Surveilans Penyakit Hewan Menular strategis danUpaya Bebas Penyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan dan Kesmavet wilayah Bali, NTB,NTT di Denpasar 2-4 Maret 2015.
Dartini dan Mamak Rohmato (2017). Laporan hasil investigasi kasus kematian kambing diKecamatan Bolo, Kabupaten Bima. BBVet Denpasar.
Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection in Animals. Editedby Carton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state University Press, ames, pp.21-25
Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) The application of ELISAto monitor the vaccinal respon of antraks vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV :46A.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks pada hewan danmanusia di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 7-8Nopember 1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia :sampai dimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (2):35-40
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks pada burung unta diPurwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.
Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan Wabah Penyakit Antrakspada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. BalaiPenyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar.
Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusia dan hewan diBogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.
Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di Nusa Tenggara, DirektoratJendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.
10
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2018
Ni Luh Dartini, A.An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Ridho Cahyo Saputro.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Brucellosis merupakan penyakit hewan menular pada sapi, kerbau, babi, kambing domba.Brucellosis pada sapi biasanya disebabkan oleh Brucella abortus, merupakan salah satupenyakit penting secara ekonomi dan bersifat zoonosis. Situasi Brucellosis pada sapi dankerbau di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) bervariasi diantara provinsiyang ada. Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebas Brucellosis. Namun khusus diProvinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas Brucellosis. Situasi Brucellosis diProvinsi NTT, di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular beratbrucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahuidengan pasti prevalensinya. Satu reaktor Brucellosis pernah ditemukan di Kabupaten Endepada tahun 2002. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalamupaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinanmasuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensiBrucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis. Sampel serum yang diterima laboratoriumbakteriologi selama tahun 2018 diuji RBPT sebagai uji skrining, jika positif dilanjutkan denganuji CFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagai reaktor Brucellosis. Hasil pengujian terhadap2.155 sampel serum dari Provinsi Bali, 1.506 sampel serum dari Provinsi NTB semuanyanegatif Brucellosis, sedangkan dari Provinsi NTT ditemukan 2 reaktor Brucellosis yaitu dariKabupaten Belu dan TTU. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Balidan NTB masih bebas Brucellosis, untuk mengetahui prevalensi yang sebenarnya di ProvinsiNTT perlu dilakukan surveilans lebih lanjut.
Kata Kunci : Brucellosis, BPT, CFT, Bali, NTB. NTT.
I. PENDAHULUAN
Brucellosis pada sapi biasanya disebabkan oleh Brucella abortus, merupakan
salah satu penyakit penting secara ekonomi dan bersifat zoonosis (menular ke
manusia). Selain itu, B. abortus dapat digunakan dalam serangan bioteroris
(IOWA Univ. 2009). Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan
menular strategis di Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan
merupakan penyakit yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau
Sumbawa telah dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri
Pertanian Repubik Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002
untuk Pulau Bali, SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok
11
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
di Prop NTB, dan SK Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau
Sumbawa di Prop NTB.
Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas
Brucellosis dengan SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015
tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi
diantara pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan
daerah tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-
pulau lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya.
Brucellosis pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di
Kabupaten Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada
tahun 1996. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi
dini dalam upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan
memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah
tersebut, serta untuk mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum
bebas Brucellosis. Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan
surveilans di wilayah kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur.
II. MATERI DAN METODE
Materi
Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar
tahun 2018 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan
CFT, komplemen, hemolysin, cell darah domba, CFT buffer, dan alat yang
dipergunakan adalah mikroplate, WHO plate, pipet, inkubator, rotary
agglutinator, dan sebagainya.
12
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Metode
Lokasi pengambilan sampel, jumlah dan waktu pengambilan sampel ditentukan
oleh bidang Pelayanan Veteriner BBVet Denpasar. Sampel yang diuji adalah
sampel yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar selama tahun
2018. Sampel diuji dengan menggunakan metode uji Rose Bengal Plate Test
(RBPT), apabila positif dilanjutkan dengan uji Complemen Fixation Test (CFT)
(OIE, 2018).
Prosedur uji RBPT sebagai berikut :
1. Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT
dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.
2. Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada
WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk
serum yang diuji. Kontrol serum negative diteteskan pada lubang nomor 79
dan serum control positif diteteskan pada lubang nomor 80, setelah itu
diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua lubang.
3. Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator
dan lakukan pembacaan hasil.
Prosedur Uji CFT sebagai berikut :
1. Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A
serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10,
lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12A kontrol serum positif. Plate di
waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk kontrol
positif dan negatif)
2. Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 –
H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)
3. Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12
sampai ke lubang H1-12
4. Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke lubang
C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12 sebagai
control antikomplemen ditambahkan 25µl CFT buffer (untuk menyamakan
volume)
13
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
5. Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl
kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama
30 menit.
6. Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45 menit.
7. Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan.
III. HASIL
Hasil Uji 2.155 sampel serum dari Provinsi Bali, 1.506 sampel serum dari
Provinsi NTB semuanya negatif Brucellosis, sedangkan dari Provinsi NTT 2
positif Brucellosis dari 2.224 sampel yang diuji (Tabel 1), Sampel positif
antibodi Brucella abortus ditemukan dari Kabupaten Belu satu (1) sampel dari
100 sampel yang diuji (1 %) dan satu dari Kabupaten Timor Tengah Utara
(TTU) dari 202 sampel yang di uji (0,49 %) (Tabel2).
Tabel 1. Hasil uji serologi Brucellosis di Bali, NTB, dan NTT tahun 2018
Provinsi Jumlah Sampel RBP (-) RBT (+)
Bali 2155 2155 0
NTB 1506 1506 0
NTT 2224 2222 2
Total 5885 5883 2
Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis per Kabupaten/kota Tahun 2018
Provinsi Kabupaten Jumlah sampel RBT (-) RBT (+)BALI Badung 366 366 0BALI Bangli 240 240 0BALI Buleleng 290 290 0BALI Gianyar 220 220 0BALI Jembrana 249 249 0BALI Karangasem 270 270 0BALI Klungkung 280 280 0BALI Tabanan 240 240 0
Jumlah Bali 2155 2155 0NTB Bima 150 150 0NTB Kota Bima 50 50 0NTB Lombok Barat 100 100 0
14
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
NTB Lombok Tengah 304 304 0NTB Lombok Timur 300 300 0NTB Lombok Utara 102 102 0NTB Mataram 50 50 0NTB Sumbawa 150 150 0NTT Dompu 200 200 0NTB Sumbawa Barat 100 100 0
Jumlah NTB 1506 1506 0NTT Alor 109 109 0NTT Belu 100 99 1 (1%)NTT Ende 100 100 0NTT Flores Timur 42 42 0NTT Kab Kupang 100 100 0NTT Kota Kupang 147 147 0NTT Kupang 100 100 0NTT Lembata 51 51 0NTT Malaka 154 154 0NTT Manggarai 50 50 0NTT Manggarai Barat 70 70 0NTT Nagekeo 50 50 0NTT Ngada 100 100 0NTT Rotendao 50 50 0NTT Saburaijua 50 50 0NTT SBD 60 60 0NTT Sikka 50 50 0NTT Sumba Barat 146 146 0NTT Sumba Tengah 180 180 0NTT Sumba Timur 152 152 0NTT TTS 160 160 0NTT TTU 203 202 1 (0,49%)
Jumlah NTT 2224 2222 2 (0,66%)TOTAL 5885 5883 2
15
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
IV. PEMBAHASAN
Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Pulau Bali sudah dinyatakan
bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok, berhasil dibebaskan dari
Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor
444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal selama tiga tahun.
Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa pada tahun 2006
(Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola
pembebasan yang sama dengan Pulau Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua
reaktor yang ditemukan dalam periode waktu pembebasan telah dimusnahkan
atau di potong paksa. Kemudian menyusul Pulau Sumba dinyatakan bebas
brucellosis berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor
52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015.
Hasil pengujian sampel serum terhadap Brucellosis tahun 2018 di Provinsi
Bali, semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi Nusa
Tenggara Barat, sampel serum yang diuji berasal dari Pulau Sumbawa dan
Pulau Lombok, semuanya negatif antibodi brucella. Hal ini mengindikasikan
bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas Brucellosis.
Hasil pengujian sampel dari Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2018
ditemukan 2 reaktor Brucellosis. Reaktor ditemukan di Kabupaten Belu dan
TTU. Kedua daerah ini merupakan daerah tertular brucellosis dengan
prevalensi lebih dari 2%. Pengendalian brucellosis didaerah ini dilakukan
dengan vakisnasi dan pemotongan bersyarat. Pada tahun 2018, jumlah sampel
dari kedua kabupaten ini masih sangat sedikit. Untuk itu perlu dilakukan
surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang memadai sesuai
dengan kaidah epidemiologi sehingga prevalensi yang sebenarnya dapat
diketahui dengan jelas.
16
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Hasil uji brucellosis di daerah lainnya di Provinsi NTT tahun 2018 semuanya
negative. Hal ini perlu dilakukan konfirmasi lebih lajut, seperti diketahui bahwa
reaktor Brucellosis pernah ditemukan di Pulau Flores yaitu di Kabupaten Ende
pada 1 ekor sapi pada tahun 2006 (Dartini, dkk 2007) dan di Kabupaten Alor
pernah ditemukan satu (1) reactor Brucellosis. Brucellosis di Kabupaten
lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata, Kabupaten Saburaijua,
Kabupaten Rotendau masih negatif namun untuk bisa dinyatakan sebagai
wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveilans secara terstruktur dengan
sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi dan dilakukan secara
serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu lintas ternak antar
pulau
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanBerdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas
Brucellosis
2. Perlu dilakukan surveilans lebih intensif di daratan timor untuk
mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat.
3. Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan
Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan
SaranUntuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan
Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang
lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.
17
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
VI. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas
peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan
hewan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur yang telah membantu terselanggaranya surveilans ini.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende danKabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.
OIE (2009). Bovine Brucellosis. OIE Terrestrial Manual . Halaman 1 – 35
OIE (2018). Brucellosis ( Brucella abortus, B.melitensis and B.suis) (Infection with B.abortus,B.melitensis, and B.suis). OIE Terrestrial Manual . Chapter 2.1.4.
Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi danDistribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995.Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.
Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadappendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi NusaTenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.
Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasiakhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, BulletinVeteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.
18
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
MONITORING DAN SURVEILANS SEDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2018
Ni Luh Dartini, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Ridho Cahyo Saputro.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Septicaemia Epizootica (SE) atau sering disebut Haemorrhagic septicaemia (HS) merupakansalah satu penyakit menular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yangbersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika,termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, NusaTenggra Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar,diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE,kecuali di Pulau Lombok dan Kepulauan Nusa Penida telah dinyatakan sebagai wilayah bebasSE. Untuk mengetahui situasi SE terkini SE di Provinsi Bali, NTB dan NTT, maka BBVetDenpasar telah melakukan surveilans melalui pengambilan sampel darah dan organtonsil/swab dari hewan peka terutama sapi dan kerbau. Sampel serum diuji dengan metodeELISA untuk deteksi antibody terhadap SE. Sampel swab /organ dikultur untuk isolasi danidentifikasi Pasteurella multocida (P.multocida). Isolat P.multocida yang dapat diidentifikasidiuji PCR. Hasil surveilans tahun 2018 menunjukkan bahwa rata-rata persentase ternak yangpositif antibodi SE sangat rendah, yaitu di Provinsi Bali 17,91%, Provinsi NTB 8,17% (PulauLombok 0,38% dan Pulau Sumbawa 20,62%), dan Provinsi NTT 25,47%. Satu isolateP.multocida tipe B penyebab SE dapat diidentifikasi dari organ kerbau mati dari Sumba Timur.Secara umum rendahnya persentase ternak yang positif antibodi SE sangat mengkhawatirkanakan terjadinya kasus. Untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau dinas yangmembidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SE dengancakupan yang memadai.
Kata-kata kunci : SE, Antibodi, P.multocida, Bali, NTB, NTT.
19
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
I. PENDAHULUAN
Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di
Indonesia dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri
P.multocida. Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit menular
pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan
fatal (OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum
dibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat
endemis dan terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini
secara ekonomis sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan
juga karena turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan
tingginya biaya untuk penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya
untuk pembelian vaksin, operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.
Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit
yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan
pemberantasannya. Program pengendalian dan pemberantasan SE di
Indonesia secara umum masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah
melalui vaksinasi massal hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah.
Kegiatan ini masih belum efektif karena belum dilakukan secara intensif dan
berkelanjutan. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang
bebas dari SE dapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan
yang terencana, melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup
seluruh populasi, dan dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans
yang intensif. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau
Lombok pada tahun 1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan Surat
Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1997 Nomor 889/Kpts/TN.560/9/97 (Budi
Septiani, 2015).
Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau
Sumba, Provinsi Nusa Tengga Timur (NTT) dan Pulau Nusa Penida, Bali.
Sejak tahun 1984/1985 sampai dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah
20
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
dilakukan program pemberantasan penyakit SE (Haemorrhagic
Septicaemia/HS). Program tersebut dilakukan dengan vaksinasi secara
serentak dengan cakupan mencapai hingga 100% (Ndima, 1986), akan tetapi
kelanjutan program tersebut menjadi tidak jelas, data hasil evaluasi dan
surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian sejak tahun 2002 program
pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai tahun 2014 laporan
kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida, Bali, program
vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah dilakukan
sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992 sampai
sekarang tidak ada laporan kejadian SE di Pulau Nusa Penida, berdasarkan
hasil pembahasan Tim Komisi Ahli Kesehatan Hewan Direktorat Kesehatan
Hewan pada tanggal 4 Desember 2016 diputuskan bahwa Kepulauan Nusa
Penida (Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, dan Pulau Nusa
Lembongan) sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai wilayah bebas
SE dan Surat Keputusan Bebas telah dikeluarkan pada tahun 2018. Untuk
mengetahui situasi dan tingkat kekebalan ternak terhadap SE, maka Balai
Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans pada tahun 2018 di
Provinsi Bali, NTB dan NTT.
II. MATERI DAN METODA
MateriBahan yang digunakan adalah Kit ELISA untuk antibody SE, Kit PCR.
Peralatan yang dipakai antara lain Elisa Reader dan washer, incubator, mesin
PCR, serta alat dan bahan untuk pengambilan sampel di lapangan. Primer
yang dipakai adalah :
1. Primer sequences HS-causing type-B-specific PCRKTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’
2. Primers sequences untuk P.multocida tipe ARGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’
21
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Metode
Sampel yang diuji adalah sampel yang diterima laboratorium Bakteriologi
BBVet Denpasar selama tahun 2018. Waktu dan lokasi pengambilan sampel,
jumlah sampel, serta jenis sampel ditentukan oleh BIdang Pelayanan Veteriner.
Selanjutnya sampel serum untuk deteksi antibody diuji dengan metode ELISA
dan sampel swab/tonsil/organ lainnya untuk isolasi dan identifikasi P.multocida
diuji dengan cara pemupukan pada media agar dan uji biokimia. Apabila ada
yang positif P.multocida dilanjutkan dengan PCR untuk menentukan bahwa
isolate P.multocida tersebut penyebab SE atau bukan (OIE, 2012).
Penentuan Zat Kebal/Antibodi SEMetode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif
pada masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent
assay ( ELISA ) menggunakan antigen P.multocida type B2 strain 0332 (ACIAR
PN9202, VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih
dikategorikan positif/protektif (Widder et al., 1996). Prosedur Elisa sebagai
berikut :
- Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)
- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam
pada suhu 40C.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam
PBS tween pada row 1 sampai 10.
- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11
dan 12.
- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)
- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap
lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.
22
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,
kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.
Isolasi P.multocidaUntuk keperluan isolasi/identifikasi bakteri dari ternak mati sampel yang diambil
adalah organ paru, hati, limpa, jantung, ginjal, sumsum tulang, limfoglandula
atau tonsil. Sedangkan dari rumah potong hewan (RPH) diambil tonsil. Di
wilayah kerja yang tidak mempunyai RPH, sampel swab diambil dari
trachea/nasopharynk/hidung. Sampel organ atau swab dimasukkan kedalam
media transport / disimpan dingin atau organ dalam keadsaan segar dan
dibekukan sampai dibawa ke laboratorium BBVet Denpasar. Di Laboratorium,
dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pada media agar dan uji biokimia
(Carter and Cole., 1990). Prosedur Isolasi sebagai berikut :
- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.
- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media
agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x
0,3 µm.
- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati
morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi
dan pembesaran mikroskop 1000x. P.multocida adalah Gram’s negatif,
ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.
- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar
darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu
370C. P.multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.
- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.
- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan
dengan standard.
- Isolat P.multocida yang didapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk
mengetahui bakteri tersebut penyebab SE atau bukan.
23
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
III. HASIL
Hasil pengujian sampel tahun 2018 dari Provinsi Bali, NTB, dan NTT
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu hasil uji sampel tonsil/organ dan
sampel serum. Selama tahun 2018 dapat diidentifikasi satu (1) P.multocida
type B penyebab SE dari Kabupaten Sumba Timur, NTT (Tabel 1) melalui uji
kultur, biokimia dan PCR (Gambar 1). Hasil pengujian sampel serum selama
tahun 2018 ditemukan 17,91% positif antibodi SE dari Provinsi Bali, sedangkan
dari Provinsi NTB 8,17% (Pulau Lombok 0,38% dan Pulau Sumbawa 20,62%)
dan Provinsi NTT 25,47% (Tabel 2).
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Tonsil/organ untuk Isolasi dan identifikasiP.multocida tahun 2018
P.multocidaProvinsi Kabupaten Jumlah
Sampel (-) (+)Badung 14 14 0Buleleng 1 1 0Denpasar 30 30 0
Bali
Gianyar 6 6 0Bima 20 20 0mataram 10 10 0NTBSumbawa 10 10 0Alor 20 20 0Belu 9 9 0Kota kupang 10 10 0Kupang 20 20 0Sikka 10 10 0
NTT
Sumba Timur 1 0 1Grand Total 161 160 1
24
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 2. Hasil Uji sampel serum untuk antibody SE tahun 2018
ANTIBODI SEPROVINSI KABUPATEN JUMLAH
SAMPEL (-) (+) % (+)BALI Badung 210 182 28 13.33BALI Bangli 140 124 16 11.43BALI Buleleng 210 181 29 13.81BALI Gianyar 210 176 34 16.19BALI Jembrana 190 118 72 37.89BALI Karangasem 210 164 46 21.90BALI Klungkung 180 160 20 11.11BALI Tabanan 180 151 29 16.11
Jumlah 1530 1256 274 17.91Bima 75 52 23 30.67
Dompu 100 70 30 30.00Kota Bima 50 50 0 0.00Sumbawa 50 36 14 28.00
NTB(P.Sumbawa)
Sumbawa Barat 50 50 0 0.00P. Sumbawa 325 258 67 20.62
Lombok Barat 50 49 1 2.00Lombok Tengah 200 199 1 0.50Lombok Timur 195 195 0 0.00Lombok Utara 25 25 0 0.00
NTB(P.Lombok)
Mataram 50 50 0 0.00P.Lombok 520 518 2 0.38
Jumlah NTB 845 776 69 8.17NTT Alor 50 32 18 36.00NTT Belu 100 64 36 36.00NTT Ende 100 42 58 58.00NTT Kab Kupang 50 49 1 2.00NTT Lembata 51 51 0 0.00NTT Malaka 154 84 70 45.45NTT Manggarai 50 50 0 0.00NTT Nagekeo 59 59 0 0.00NTT Ngada 50 50 0 0.00NTT Sumba Tengah 50 35 15 30.00NTT Sumba timur 138 81 57 41.30NTT TTS 60 58 2 3.33NTT TTU 101 100 1 0.99
jumlah 1013 755 258 25.47Grand Total 3388 2787 601 17.74
25
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Gambar 1. A. Hasil PCR P. multocida ;1. Marker, 2. P.multocida kerbau Sumba Timur 2018, 3.P.multocida Sumba Barat 1997, 4. kontrol positif P.multocida tipe b2 (0332), 5. kontrol negatif,6. NTC. B. P.multocida dengan pewarnaan Gram,s.
IV. PEMBAHASAN
Data hasil pengujian sampel yang diterima laboratorium bakteriologi BBVet
Denpasar tahun 2018 menunjukkan bahwa tingkat kekebalan kelompok ternak
yang disampling rata-rata sangat rendah, yaitu 17,91% di Provinsi Bali,
sedangkan dari Provinsi NTB 8,17% (Pulau Lombok 0,38% dan Pulau
Sumbawa 20,62%) dan Provinsi NTT 25,47%. Secara umum keadaan ini
sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. Rendahnya persentase
ternak yang memiliki kekebalan terhadap SE mengakibatkan terjadinya kasus
SE setiap tahun. Hal ini didukung oleh adanya laporan kasus SE secara klinis
setiap tahun di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Untuk dapat menghindari
terjadinya wabah diperlukan minimal 70% ternak memiliki antibodi yang
protektif (Widder, et al., 1996). Hal ini didukung dengan adanya kasus
kematian kerbau di Kabupaten Sumba Timur yang disebabkan oleh SE tahun
2018. Pada tahun 2018 kasus SE juga dilaporkan terjadi di Kecamatan Mada
Pangga, Kabupaten Bima, Provinsi NTB.
A B
26
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Rendahnya cakupan vaksinasi
yang mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat
sedikit (sebagai contoh cakupan vaksinasi SE di Kabupten Bima pada tahun
2018 hanya sekitar 25% (Data Dinas Peternakan Kab. Bima). 2. Mungkin
waktu pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi atau
vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak terdeteksi
karena kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses
penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak
mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun
ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap tahun,
mengindikasikan bahwa, program pengendalian tidak direncanakan dengan
baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya target cakupan vaksinasi yang
memadai dan tidak adanya evaluasi yang berkesinambungan terhadap
program yang dilakukan sehingga keberhasilan program menjadi tidak tercapai
seperti yang pernah dilakukan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini,
2012).
Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan
tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai
spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga
sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung
oleh hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun
2015, ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test
(PMPT) hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain
adalah adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh P.multocida
lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada
et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat
mengandung antibodi protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi
P.multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum pernah
divaksin SE (Putra, 2004). Adanya P.multocida serotype lain yang tidak
merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang pada uji
serologis dengan P.multocida menyebab SE. Di Australia, Sri Langka, dan
27
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
mungkin di tempat lain terdapat P.multocida serotype 11:B tetapi tidak
menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980; Namioka, 1980). Disamping
itu, mungkin juga terdapat strain P.multocida yang tidak ganas dan mampu
bereaksi atau menimbulkan proteksi silang dengan P.multocida penyebab SE.
Dugaan atau terjadinya proteksi atau reaksi silang ini telah banyak dilaporkan
baik yang terjadi diantara serotype / strain dari P.multocida (Cameron and
Bester, 1984; Gupta, 1980; Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar spesies
(Sawada et al., 1985).
V. KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Persentase ternak peka yang memiliki antibodi protektif terhadap SE di
Provinsi Bali, NTB (khususnya Pulau Sumbawa), dan NTT tahun 2018
masih relatif rendah.
2. Konfirmasi kejadian SE secara laboratorium sangat minim.
3. Kasus SE masih terjadi secara sporadis di Pulau Sumbawa dan Sumba.
VI. SARAN
Dalam rangka peneguhan diagnose SE secara laboratories, maka disarankan
kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan / dinas yang menangani
fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk mengirimkan sampel dari
ternak sakit / mati ke laboratorium veteriner dan segera melaporkan kejadian
tersebut kepada instansi terkait serta tetap melakukan vaksinasi dengan
cakupan vaksinasi yang memadai.
VII. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, NTB, dan NTT, Kepala Dinas
Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Hewan
kabupaten/kota diseluruh Bali, NTB, dan NTT, beserta staf atas bantuan dan
informasi yang diberikan.
28
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
DAFTAR PUSTAKA
Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.
Budi Septiani (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTBdalam mendukung monitoring dan Surveilans untuk Mempertahankan Status BebasRabies, SE dan Brucellosis. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesehatan Hewandan Kesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015 diDenpasar tanggal 2-4 Maret 2015.
Dartini N.L. (2012) Hasil Surveilans Penyakit SE di Pulau Sumba Tahun 2004 – 2009. BulletenVeteriner.BBVet Denpasar..XXIV (81): 24-29.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (2013). Pengendalian dan PenanganPenyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB (2013). Pengendalian dan PenanganPenyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTT (2013). Pengendalian dan PenanganPenyakit Hewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi PenyakitSE pada Sapid an Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai PenyidikanPenyakit Hewan Wilayah VI Denpasar.
Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.
Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofP.multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.
OIE (2009). Haemorrhagic Septicaemia. The Center for Food Security&Public Health. Institutefor International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center: 1-5.
Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.
Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.
Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. InternationalWorkshop on Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta,Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996:33.
29
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAK SAPIDAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018
Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, I.G.M. Sutawijaya, Yunanto
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Surveilans parasit gastrointestinal (PGI ) bertujuan untuk mengetahui prevalensi PGI padaternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur(NTT). Sebanyak 1.954 sampel feses telah diambil dan diuji, masing-masing berasal dariProvinsi Bali sebanyak 412 sampel, dari Provinsi NTB 903 sampel dan dari Provinsi NTT 639sampel. Seluruh sampel diuji dengan menggunakan uji apung dan uji sedimentasi metodeWhitlock. Dari seluruh sampel yang diuji, 606 (31.01 %; CI 95% :29.00 – 33.10) diantaranyaterinfestasi oleh satu atau lebih PGI. Prevalensi PGI tertinggi terjadi di Provinsi Bali yaitusebesar 43.69 % (CI 95 %: 38.98 – 48.52), diikuti oleh Provinsi NTB yaitu sebesar 32,12 % (CI95 %: 29.15 – 35.23) dan Provinsi NTT yaitu 21.28 % (18.29 - 24.62). Prevalensi PGI lebihtinggi di musim hujan (43.41%) dibandingkan dengan musim kemarau ( 28.18 %) dan secarastatistic berbeda nyata (P-value<0,001). Pada wilayah basah prevalensi PGI secara signifikanjuga lebih tinggi (36.92 %) dibandingkan dengan wilayah kering (25.35 %) (P-value<0,0001).Ternak kerbau nampak lebih rentan terserang PGI namun tidak berbeda secara signifikan (P-value 0.7089). Jenis parasit yang ditemukan yaitu cacing Trematoda (Fasciola sp.,Paramphistomum sp. dan Paragonimus sp ); Cacing Nematoda (Bunostomum sp, Chabertiasp, Cooperia sp, Mecistocirrus sp, Oesophagostomum sp, Ostertagia sp, Strongyloides sp,Nematodirus sp, Trichostrongylus sp, dan Capillaria sp) dan Koksidia Eimeria sp.
Kata kunci: parasit gastrointestinal (PGI), uji apung, uji sedimentasi, Bali, NTB, NTT
I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
merupakan wilayah kerja Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar. Secara astronomis,
Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang
membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Luas wilayah Provinsi
Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 8 kabupaten, 1 kotamadya,
55 kecamatan, dan 701 desa/kelurahan. Sifat vulkanik Bali telah memberikan
kontribusi untuk kesuburan tanahnya dan rentang tinggi gunungnya memberikan
curah hujan yang tinggi yang mendukung sektor pertanian yang sangat produktif
30
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
(Anonimous, 2016 b). Populasi ternak sapi di Provinsi Bali diperkirakan sebanyak 559
517 ekor dan kerbau hanya 1.686 ekor (Anonimous, 2016).
Provinsi NTB memiliki 10 kabupaten/kota yang tersebar di dua pulau besar yaitu Pulau
Lombok dan Pulau Sumbawa. Sebagai daerah tropis, NTB mempunyai rata-rata
kelembaban yang relatif tinggi, yaitu antara 48 - 95 % (Anonimous, 2014). Luas
wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 20.153,20 km2 ,terletak antara 1150
46’-1190 5’ Bujur Timur dan 80 10’-90 5’ Lintang Selatan. Provinsi NTB mempunyai
kelembaban yang relatif tinggi, yaitu antara 65-87 persen. Jumlah hari hujan
terendah yaitu 0 hari pada bulan Agustus dan September dan yang terbanyak adalah
pada bulan Januari dengan jumlah 24 hari (Anonimous, 2015). Pulau Sumbawa
merupakan wilayah yang beriklim kering, sebagian wilayah mempunyai klimaks
vegetasi padang rumput sebagai padang penggembalaan alami. Berdasarkan
klasifikasi iklim Koppen termasuk kelas Aw, yaitu wilayah yang mempunyai hujan
tropis dengan musim kering yang nyata. Sebagian besar wilayahnya mempunyai
curah hujan rata-rata relatif kecil (1.100-2.300 mm/tahun), dengan musim kemarau
yang relatif lama, yakni bulan April sampai Nopember. Sementara itu, Pulau Lombok
mempunyai iklim yang lebih basah, terutama pada bagian tengah Pulau Lombok
sampai Pegunungan Rinjani dengan curah hujan antara 2.300–3.100 mm/th.
Dari segi potensi secara umum, wilayah Pulau Lombok lebih sesuai untuk
pengembangan peternakan dengan pola intensifikasi. Sementara Pulau Sumbawa
lebih sesuai untuk pengembangan peternakan dengan pola terpadu dan ekstensifikasi.
Hal ini juga didukung oleh luas areal lahan kering, bahwa di Sumbawa 98,8%
merupakan wilayah lahan agroklimat kering (Suratman et , 2003). Populasi ternak sapi
di Provinsi NTB diperkirakan sebanyak 1.100.743 ekor dan kerbau 128.335 ekor
(Anonimous a, 2016).
Provinsi NTT merupakan wilayah kerja BBvet Denpasar yang letaknya paling timur,
terdiri atas 22 kabupaten yang tersebar di tiga pulau besar yaitu Pulau Timor, Pulau
Sumba dan Pulau Flores. Secara geografis, sebagian besar wilayah Provinsi NTT
berada pada rentang ketinggian 100 s.d. 500 meter di atas permukaan laut, dengan
topografi yang berbukit-bukit dengan lahan pertanian sangat terbatas, baik pertanian
basah maupun kering (Anonimous, 2016). Provinsi NTT merupakan wilayah yang
tergolong kering dimana hanya 4 bulan (Januari, Februari, Maret dan Desember) yang
31
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
keadaannya relatif basah dan 8 bulan sisanya relatif kering, dengan curah hujan rata-
rata adalah 1.164 mm/tahun (Anonimous, 2016). Provinsi NTT diperkirakan memiliki
populasi ternak sapi sebanyak 930.997 ekor dan kerbau sebanyak 145.303 ekor (BPS,
2016).
Dalam upaya penyediaan protein hewani nasional keberadaan ternak sapi dan kerbau
menjadi sangat penting. Populasi sapi dan kerbau di Indonesia diperkirakan sebanyak
16 juta ekor (BPS, 2016). Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa
Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah penghasil ternak sapi yang
potensial di Wilayah Indonesia Timur. Pertumbuhan populasi sapi di Indonesia
banyak menemui kendala, salahsatunya adalah tingginya kematian pedet dan
rendahnya produktivitas sapi/kerbau muda dan dewasa, yang salah satu penyebabnya
adalah karena adanya infestasi parasit gastrointestinal, khususnya parasit cacing
(helminthiasis) yang masih cukup tinggi. Hasil surveilans dan monitoring infestasi
parasit gastrointetastinal oleh BBVet Denpasar pada tahun 2014 menunjukkan
prevalensi rata-rata sebesar 38.4% ( 958 dari 2.495) pada sapi/kerbau di Provinsi
Bali, NTB dan NTT, sedangkan helminthiasis prevalensinya sebesar 31,92 %. Pada
Tahun 2015, prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT sebesar 37,56 % (Mastra,
et al, 2015) dan Tahun 2016, prevalensi PGI sebesar 33,96 % (Arsani et. al, 2017).
Kegiatan surveilans/monitoring untuk mengetahui situasi dan penyebaran parasit
gastrointestinal/helmintiasis tetap diperlukan untuk mengetahui penyebaran parasit
tersebut sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian yang lebih
efektif. Seluruh kegiatan ini dilakukan secara sinergis, dan terintegrasi dengan sesuai
dengan arahan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang
muaranya adalah pencegahan dan pengendalian dini penyakit hewan menular
strategis, dan peningkatan sumberdaya bahan makanan asal hewan.
1.2 Rumusan Masalah
1) Penularan penyakit gastrointestinal khususnya helminthiasis diduga masih
cukup tinggi. Secara ekonomi penyakit ini sangat merugikan peternak karena
dapat menurunkan produktivitas, reproduktivitas dan bahkan dapat
menimbulkkan kematian.
32
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
2) Ketersediaan data situasi dan distribusi infestasi parasit
gastrointestinal/helminthiasis pada sapi /kerbau, di Provinsi Bali, NTB dan NTT
perlu terus diupdate.
1.3 Tujuan
1) Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal di
Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2018
2) Hasil surveilans dimaksudkan untuk memberikan gambaran pemetaan penyakit
tersebut kepada pengambil kebijakan sehingga dapat diambil langkah langkah
pencegahan dan pengendalian yang efektif sehingga tingkat kematian ternak
dapat ditekan dan produktivitas ternak dapat ditingkatkan.
1.4 Output
1) Tersedianya informasi tentang prevalensi dan distribusi parasit
gastrointestinal/helminthiasis terkini berdasarkan lokasi, karakteristik hewan
dan lingkungan bermanfaat dalam upaya pencegahan dan pengendalian
penyakit agar lebih terarah.
2) Dengan terbebasnya ternak dari parasit gastrointestinal diharapkan terjadi
penurunan kematian khususnya pada pedet dan peningkatan produktivitas dan
reproduktivitas pada ternak dewasa sehingga dengan demikian dapat
meningkatkan populasi ternak guna mendukung program swasembada daging.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Parasit gastrointestinal (PGI) adalah parasit yang dapat menginfeksi saluran gastro-
intestinal baik manusia maupun hewan. Parasit tersebut dapat hidup di seluruh
bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus hidupnya berada di usus. Dua jenis utama dari
parasit gastrointestinal adalah cacing (penyebab helminthiasis) dan protozoa
(penyebab koksidiosis) pada ternask sapi dan kerbau. Helminthiais mempunyai arti
penting dan tergolong penyakit hewan menular strategis yang mesti mendapatkan
penanganan yang lebih intensif apabila dibadingkan dengan penyakit non strategis.
33
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Pada umumnya ternak sapi/kerbau rentan terhadap berbagai penyakit infeksi parasit
gastrointestinal seperti helminthiasis, koksidiosis dan ektoparasit
(Soulsby 1982). Penelitian tentang penyakit parasit gastrointestinal pada sapi telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Estuningsih, 2004 melaporkan bahwa
prevalensi cacing trematoda Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia mencapai 10 -
80%. Kemudian Mastra (2006) melaporkan seroprevalensi F.gigantica (Fasciolosis)
pada sapi di Bali berkisar 22.3%-72.5%. Kasus Fasciolosis lebih banyak ditemukan
pada sapi muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, konstipasi,
diare, anemia, ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian (Purwanta dkk,
2006), sedangkan pada pedet umur dibawah 6 bulan lebih sering terinfeksi oleh
Toxocara vitulorum dengan prevalensi mencapai 75% (Gunawan dan Putra, 1981).
Demikian juga menurut Soulsby (1982) bahwa pada sapi-sapi umur muda sangat
rentan terhadap infeksi Eimeria sp (koksidiosis), dengan gejala klinis diare berdarah,
dihidrasi, kurus, lemah dan terjadi kematian apabila tidak mendapat penanganan
yang baik.
III. MATERI DAN METODA
3.1 Materia) SampelSampel feses/tinja sapi/kerbau yang diambil langsung dari rectum atau yang baru saja
dikeluarkan saat defekasi. Sampel diawetkan dengan formalin 10%.
b) BahanDi samping sampel tinja dalam penelitian ini juga diperlukan bahan yaitu garam jenuh
dan methyline blue 1%.
c) AlatAlat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal Whitlock
yaitu; syringe 10 ml, silinder pencampur 100 ml, alat pengaduk tinja, tabung
penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung) , tabung pompa penyaring
khusus dengan saringan kecil (untuk Uji Sedimentasi), pipet Pasteur, slide kamar
penghitung telur cacing, ookista koksidia , cawan (conical flask) sedimentasi dan alat
penahan larutan tinja (plug), serta mikroskop binokuler electric.
34
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
3.2 Metode3.2.1 Metode surveilansKegiatan surveilans dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan Desember 2018
untuk mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal, menggunakan survey
representative yaitu suatu teknik mengambil sampel dari sebagian populasi yang
mewakili populasi sasaran yang lebih luas untuk mengumpulkan informasi khusus
mengenai keseluruhan informasi tersebut (Anonimous., 2014).
1) Penentuan sampel sizeKarena surveilans bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi penyakit, maka
jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus:
n = 4 pq/L2 (Martin et al, 1987)
Keterangan:
n = jumlah sampel
p = asumsi prevalensi
q = 1 – p
L = galat
Apabila asumsi prevalensi = 35 %, dan galat yang dinginkan 0,05, maka jumlah
sampel yang diambil :
N = (4x0,35 x0,65)/0,052 = 364
Karena metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling, maka
untuk meningkatkan precisi nilai n dapat dikalikan 3 – 5 kali (Martin et al., 1987).
Pada kegiatan surveilans ini, n dikalikan 3 kali sehingga jumlah sampel yang diambil di
seluruh provinsi adalah 1.092.
2) Populasi targetPopulasi target dalam surveilans ini adalah ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali,
NTB dan NTT.
3) Penentuan lokasi samplingLokasi sampling adalah di seluruh kabupaten/kota se-Bali, dan NTB dan kabupaten
yang mewakili tiga pulau besar di provinsi NTT. Dalam metode multistage random
sampling, idealnya, penentuan lokasi kabupaten, kecamatan, desa dipilih secara
proporsional berdasarkan jumlah populasi agar diperoleh sampel yang representative,
namun keterbatasan dana, waktu dan sumberdaya manusia, sementara BBVet
35
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Denpasar harus melakukan surveilans berbagai jenis penyakit sehingga menyebabkan
surveilans parasit gastrointestinal dilaksanakan secara terpadu dengan penyakit
lainnya. Karena kegiatan ini merupakan kegiatan yang terpadu dengan surveilans
penyakit lain, kondisi ideal yang diharapkan kadang –kadang tidak tercapai.
Disamping keterbatasan waktu, SDM dan dana, kondisi geografis yang sangat sulit
dijangkau menyebabkan sulit untuk melaksanakan sampling sesuai perhitungan atau
design yang telah dibuat.
Dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi, sedapat mungkin diusahakan sampel
yang diambil agar dapat mewakili keadaan sebenarnya di lapangan. Pada tingkat
peternak, semua sapi dan kerbau memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai
sampel karena tidak ada pemilihan sampel berdasarkan umur, jenis kelamin maupun
cara pemeliharaan ternak.
3.2.2 Metode pengambilan sampel feses
Sampel feses diambil dengan cara mengambil langsung dari dalam rectum ternak.
Apabila tidak memungkinkan, sampel feses dapat diambil segera setelah feses
dikeluarkan pada saat ternak defekasi, namun harus dipastikan jangan sampai
tertukar antara feses ternak yang satu dengan yang lainnya.
Volume sampel yang diambil kira-kira sebanyak 10-20 gram. Sampel feses segera
dimasukkan ke dalam container/kantong plastic yang sudah berisi pengawet formalin
10%. Disamping pengambilan feses juga dilakukan wawancara untuk mengetahui
identitas hewan dan data pendukung lainnya.
3.2.3. Pemeriksaan telur nematoda dengan metoda Apung/Floatasi (Whitlock)
Prosedur pemeriksaan telur nematode secara ringkas sebagai berikut:
1) Ke dalam syringe yang berukuran 10 ml diisi air 7 ml, kemudian ditambahkan 3
gram tinja.
2) Seluruh isi syringe kemudian dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang
berisi 50 ml. larutan garam jenuh.
3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata
dengan cara menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun.
36
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
4) Setelah tinja tercampu merata lalu tabung penyaring dimasukan ke dalam
silinder pencampur.
5) Larutan tinja yang telah tersaring kemudian diambil dengan menggunakan pipet
Pasteur.
6) Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke dalam kamar penghitung
telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung
telur cacing. Morfologi telur cacing/ookista koksidia yang ditemukan diidentifikasi
dan dihitung jumlahnya per gram (epg) (Thienpont, et al., 1979, Soulsby, 1982).
7) Cara penghitungan telur cacing
Alat penghitung telur Universal (Universal slide counting chamber) berisi 4 kamar dan
setiap kamar menampung 0.5 ml larutan. Setiap kamar berisi 5 garis/strip vertical dan
setiap kolom memiliki volume 0.1 ml. Dalam penghitungan telur cacing dapat
dipergunakan kamar atau strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya (berat,
sedang, atau ringan). Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan
angka pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah telur
yang ditemukan dikalikan dengan faktor 40 ( Whitlock et al.1980). Cara penghitungan
telur cacing secara rinci dapat dilihat pada table di bawah ini.
Tabel 1. Cara penghitungan telur cacing dengan Teknik Floatasi (Uji Apung)0,1 ml 0,2 ml 0,4 ml 0,5 ml 1,0 ml 2,0 ml (Ova)
Equines x 100 x50 Strongyles
Sheep &
goats
x200 x100 x50 x40 Nematodes
Cattle x20 x10 Nematodes
Dog, pig, man x200 x100 x50 x40 Oocysts,
Nematodes,
Cestodes
Counting strip 1 2 4 5 2 c’bers 4 c’bers
(Faecalmester Kit. Universal Slide. Pat. Pend. J. A. Whitlock & Co)
37
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
3.2.4. Pemeriksaan telur cacing trematoda dilakukan dengan metoda Sedimentasi (Whitlock)
Prosedur pemeriksaan telur cacing trematoda secara ringkas sebagai berikut:
1) Ke dalam syringe pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 9 ml,
ditambahkan 1 gram tinja.
2) Seluruh isi syringe kemudian dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang
berisi 50 ml. air.
3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata
dengan menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah
tinja tercampur merata lalu tabung penyaring khusus dimasukan ke dalan silinder
pencampur sampai batas leher silinder.
4) Cawan (flask) sedimentasi ditaruh dalam posisi terbalik diatas tabung penyaring
khusus. Selanjutnya cawan (flask) sedimentasi dipegang/ditekan dengan kedua
tangan dan dibalik menghadap ke atas.
5) Tabung penyaring khusus dipegang di dalam cawan (flask) sedimentasi.
Kemudian ditambahkan dengan 50 ml air ke dalam cawan (flask) sedimentasi
yang telah berisi larutan tinja dan endapkan selama 6 menit.
6) Selanjutnya, dimasukkan secara pelan pelan plug ke dalam cawan (flask)
sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask) sedimentasi sehingga
cairan supernatant terbuang. Tambahkan 50 ml air bersih ke endapan dalam
cawan (flask) sedimentasi, aduk dengan baik dan kemudian endapkan kembali
selama 6 menit.
7) Alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke dalam
cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask)
sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan larutan tinja
sebanyak 5 ml.
8) Air bersih sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam endapan, diaduk dengan baik
dan kemudian diendapkan kembali selama 6 menit.
9) Selanjutnya plug larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke dalam cawan
(flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan flasksedimentasi
sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan sebanyak 5 ml.
10) Endapan tersebut ditambahkan 2 tetes larutan methylene blue 1% dan diaduk
hingga merata dengan pipet, lalu larutan tersebut segera diisap dengan pipet
Pasteur dan masukan ke dalam slide alat penghitung telur . Telur diidentifikasi
38
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
dan jumlah telur cacing dihitung di bawah mikroskop dengan pembesaran lemah
(40x). Morfologi telur cacing yang ditemukan diidentifikasi dan dihitung jumlahnya
per gram (epg) (Thienpont, et al., 1979, Soulsby, 1982).Telur cacing Fasciola sp.
akan terlihat coklat keemasan dan telur Parampistomum sp.terlihat bening
/terang. Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung telur
cacing. Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip
tergantung pada derajat infeksi parasitnya (berat, sedang, atau ringan).
Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka
pengenceran 1: 5 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah telur
yang ditemukan dikalikan dengan faktor 10 ( Whitlock et al.1980).
3.2.5 Analisis hasil dan statistik
Hasil uji dinyatakan positif apabila ditemukan satu atau lebih PGI pada satu sampel
yang diuji baik menggunakan uji apung maupun uji sedimentasi. Data hasil pengujian
dianalisis menggunakan excel untuk menghitung prevalensi PGI, dan menggunakan
chi-square untuk menghitung signifikansi perbedaan hasil uji pada berbagai
parameter/faktor yang diduga berpengaruh. Jika nilai P > 0.05, artinya tidak berbeda
nyata sementara jika P < 0.05 menunjukkan perbedaaan yang nyata.
IV. HASIL
Dalam kegiatan surveilans PGI pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali, NTB dan
NTT Tahun 2018, sebanyak 1.954 sampel feses telah diambil dan diuji, 606 (31.01 %)
diantaranya terinfestasi oleh satu atau lebih parasit gastrointestinal. Jumlah sampel
dari Provinsi Bali sebanyak 412, 180 (43.69 %) diantaranya positif PGI, dari Provinsi
NTB 903 sampel diuji, 290 (32.12 %) diantaranya positif dan dari Provinsi NTT 639
sampel diuji, 136 (21.28 %) diantaranya positif PGI. Dari 1.954 sampel feses yang
diuji, 123 ekor berasal dari ternak kerbau, sedangkan selebihnya berasal dari ternak
sapi. Sampel berasal dari semua kabupaten di Provinsi Bali dan NTB, sedangkan dari
Provinsi NTT sampel berasal dari 11 kabupaten. Kesebelas kabupaten tersebut sudah
mewakili seluruh pulau besar yang ada di Provinsi NTT. Data hasil uji selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 2 dan data hasil uji dan prevalensi untuk masing-masing
kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 3, 4
dan 5.
39
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 2. Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2018
Provinsi Positif Negatif Jumlah Prev (%) CI 95%Bali 180 232 412 43.69 38.98 - 48.52Nusa TenggaraBarat 290 613 903 32.12 29.15 - 35.23Nusa TenggaraTimur 136 503 639 21.28 18.29 - 24.62Grand Total 606 1348 1954 31.01 29.00 - 33.10
Keterangan: CI=confidence interval
Tabel 3. Prevalensi PGI di Provinsi Bali Tahun 2018
Provinsi Positif Negatif Jumlah Prev (%) CI 95%Badung 40 24 64 62.5 50.25 - 73.33Bangli 18 22 40 45 30.71 - 60.17Buleleng 13 27 40 32.5 20.08 - 47.98Denpasar 1 7 8 12.5 2.24 - 47.09Gianyar 21 42 63 33.33 22.95 - 45.63Jembrana 19 27 46 41.3 28.29 - 55.66Karang Asem 5 25 30 16.67 7.34 - 33.56Klungkung 21 32 53 39.62 27.59 - 53.06Tabanan 42 26 68 61.76 49.88 - 72.39Grand Total 180 232 412 43.69 38.98 - 48.52
Ket.: Prev=prevalensi; CI = confiden interval
Tabel 4. Prevalensi PGI di Provinsi NTB Tahun 2018
Kabupaten Positif Negatif Total Prev. (%) CI 95%Bima 22 32 54 40.74 28.68 – 54.03Dompu 12 38 50 24.00 14.30 – 37.41Kota Bima 28 72 100 28.00 20.14 – 37.49Lombok Barat 11 39 50 22.00 12.75 – 35.24Lombok Tengah 86 93 179 48.04 40.84 – 55.33Lombok Timur 61 124 185 32.97 26.61 – 40.03Lombok Utara 15 90 105 14.29 8.85 – 22.24Mataram 0 25 25 0.00 0.00 – 13.32Sumbawa 43 62 105 40.95 32.03 – 50.52Sumbawa Barat 12 38 50 24.00 14.30 – 37.41Total 290 613 903 32.12 29.15 - 35.23
Ket.: Prev=prevalensi; CI = confiden interval
40
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Seperti terlihat pada Tabel 6, Prevalensi PGI lebih tinggi terjadi pada musim hujan
dibandingkan dengan musim kemarau dan secara statistik nilai ini berbeda nyata
(Chi-sq: 32.1136 P-value < 0,0001), artinya terjadinya infestasi PGI di musim hujan
secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan musim kemarau. Demikian juga
kondisi iklim wilayah berpengaruh nyata terhadap prevalensi PGI dimana pada wilayah
beriklim basah tingkat kejadian kasus lebih tinggi dibandingkan dengan pada wilayah
kering (Chi-sq 36.51; P-value 0.0001). Musim hujan diasumsikan terjadi mulai bulan
November sampai dengan Maret, sedangkan musim kemarau mulai April sampai
dengan Oktober. Kategori wilayah iklim basah dalam kegiatan surveilans adalah
Provinsi Bali dengan Pulau Lombok NTB, sedangkan wilayah iklim kering adalah
Pulau Sumbawa NTB dan wilayah Provinsi NTT. Prevalensi pada ternak kerbau
nampak lebih tinggi dibandingkan dengan hewan sapi akan tetapi secara statistik
tidak berbeda nyata (Chi-sq 0.1393; P-value 0.7089).
Tabel 5. Prevalensi PGI di Provinsi NTT Tahun 2018Kabupaten Positif Negatif Total Prev. (%) CI 95%
Ende 3 47 50 6.00 2.06 – 16.22
Kupang 33 83 116 28.45 21.03 – 37.25
Lembata 0 51 51 0.00 0.00 – 7.00
Malaka 17 47 64 26.56 17.30 – 38.48
Rote Ndao 2 48 50 4.00 1.10 – 13.46
Sikka 1 24 25 4.00 0.71 – 19.54
Sumba Barat 14 11 25 56.00 37.07 – 73.33
Sumba Barat Daya 0 50 50 0.00 0.00 – 7.13
Sumba Tengah 30 64 94 31.91 23.36 – 41.89
Sumba Timur 24 30 54 44.44 32.00 – 57.62
Timor Tengah Utara 12 48 60 20.00 11.83 – 31.78
Total 136 503 639 21.28 18.29 - 24.62
Ket.: Prev=prevalensi; CI = confiden interval
41
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 6. Prevalensi Parasit Gastrointestinal pada Berbagai Parameter Tahun
2018
Parameter pos
jml
sampel
Prev
(%) 95% CI (%)
Chi-square
p-valueOR
Musim:
hujan 158 364 43.41 38.41 - 48.54 32.1136 <0.0001 1.96
kemarau 448 1590 28.18 26.02 – 30.44
Total 606 1954 31.01 29.00 - 33.10
iklimwilayah:
basah 353 956 36.92 33.92 – 40.03 30.5715 <0.0001 1.72
kering 253 998 25.35 22.75 – 28.14
Total 606 1954 31.01 29.00 - 33.10
Jenis hewan :
kerbau 40 123 32.52 24.88 – 41.22 0.1393 0.7089
sapi 566 1831 30.91 28.84 – 33.07
Total 606 1954 31.01 29.00 - 33.10
Ket.: Prev=prevalensi; CI = confiden interval, OR=odd ratio
Tabel 7. Jenis cacing yang ditemukan di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun
2018
BALI (n= 412 Prev (%) NTB (n=903) Prev (%) NTT (n=639) Prev (%)
Bunostomum sp 0 0.00 1 0.11 0 - 1 0.05
Chabertia sp 1 0.24 9 1.00 0 - 10 0.51
Cooperia sp 18 4.37 18 1.99 28 4.38 64 3.28
Eimeria sp 39 9.47 53 5.87 9 1.41 101 5.17
Fasciola sp 16 3.88 15 1.66 6 0.94 37 1.89
Paragonimus sp 0 0.00 1 0.11 0 - 1 0.05
Mecistocirrus sp 10 2.43 25 2.77 13 2.03 48 2.46
Nematodirus sp 1 0.24 0 - 0 - 1 0.05
Oesopagostomum sp 2 0.49 0 - 8 1.25 10 0.51
Ostertagia sp 18 4.37 17 1.88 29 4.54 64 3.28
Paramphistomum sp 91 22.09 171 18.94 44 6.89 306 15.66
Strongyloides sp 0 0.00 1 0.11 2 0.31 3 0.15
Capillaria sp 0 0.00 0 - 1 0.16 1 0.05
Trichostrongylus sp 0 0.00 0 - 3 0.47 3 0.15
Jenis cacingProvinsi dan Prevalensi
Total (n=1954) Prev.(%)
42
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Jenis-jenis parasit yang ditemukan di masing-masing provinsi disajikan pada Tabel 7.
Cacing Trematoda yaitu Paramphistomum sp merupakan parasit gastroin intestinal
yang paling banyak ditemukan di seluruh provinsi dengan prevalensi 15.66 %. Parasit
berikutnya yaitu koksidia Eimeria sp (5.17%), cacing nematode Ostertagia sp dan
Cooperia sp (masing-masing 3,28 %). Trend Prevalensi PGI per bulan dapat dilihat
pada Grafik1. Prevalensi tertinggi tampak terjadi pada Bulan Februari, dan terendah
pada Bulan April.
Grafik 1. Trend Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT per bulan Tahun 2018
V. PEMBAHASANKegiatan surveilans PGI di wilayah kerja BBVet Denpasar Tahun 2018 ini dilakukan di
seluruh kabupaten yang ada di Provinsi Bali dan NTB, sedangkan untuk Provinsi NTT
sampling dilakukan di sebelas kabupaten yang secara keseluruhan sudah mewakili
tiga pulau besar di Provinsi NTT.
Pada Tabel 2 disajikan prevalensi parasit gastrointestinal (PGI) di provinsi Bali, NTB
dan NTT yang menunjukkan angka masih cukup tinggi yaitu sebesar 31.01 % (CI
95%: 29.00-33.10) sedikit lebih tinggi daripada tahun lalu 29.03 % (CI 95%: 27.29-
30.83). Prevalensi PGI di Provinsi Bali, yaitu sebesar 43.69 % (CI 95%: 38.98 - 48.52
) yang lebih tinggi dari tahun 2017 yaitu 33.92 (CI 95%:30.59 - 37.42) (Arsani, et al,
2018). Prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT, masing-masing 32.12 % (CI 95%:
29.15 – 35.23) dan 21.28 % (CI 95%: 18.29-24.62). Apabila dibandingkan dengan
43
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
tahun lalu, prevalensi PGI di Provinsi NTB terjadi penurunan, sedangkan di Provinsi
NTT terjadi peningkatan. Tahun lalu prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT
berturut-turut yaitu 39.34 % (CI 95%: 35.87- 42.93 %) dan 18,44 % (CI 95%: 16.21 –
20.90) (Arsani, et al., 2018). Terjadinya peningkatan ataupun penurunan prevalensi
PGI di masing-masing provinsi diduga ada hubungannya dengan manajemen ataupun
pelayanan pemberian obat cacing / anthelmintik di masing-masing wilayah.
Tingginya prevalensi PGI di Bali dan NTB dibandingkan dengan NTT diduga berkaitan
juga dengan keadaan alam yang cukup berbeda dimana Bali dan NTB relativ lebih
basah dibandingkan dengan NTT. Seperti terklihat pada table 6., Iklim wilayah juga
berpengaruh dimana pada wilayah basah prevalensi lebih tinggi daripada iklim
wilayah yang kering dan secara statistic berbeda sangat signifikan. Kategori wilayah
basah dalam hal ini merupakan wilayah Provinsi Bali dan Pulau Lombok NTB,
sedangkan iklim kering meliputi wilayah Pulau Sumbawa NTB dan seluruh wilayah
Provinsi NTT. Kondisi yang basah dan lembab seperti diketahui merupakan tempat
yang ideal bagi perkembangbiakan parasit.
Pengaruh musim terhadap prevalensi PGI, dimana prevalensi PGI secara signifikan
lebih besar pada saat musim hujan disebabkan oleh suhu yang lebih rendah dan
meningkatnya kelembaban udara disamping adanya ketersediaan air yang cukup di
alam yang berperan dalam mendukung perkembangan siklus hidup cacing. Musim
hujan menyediakan kondisi lingkungan yang mendukung, daya tetas telur dan daya
tahan larva di alam (fase free living), serta membantu dispersi tahap infektif.
Seperti diketahui bahwa siklus hidup cacing nematoda, memerlukan kondisi suhu dan
kelembaban tertentu di alam. Telur cacing yang keluar melalui kotoran hewan
kemudian menetas dan berkembang melalui tahap larva pertama (L1) dan kedua (L2)
menjadi larva infektif (L3). Keberhasilan dan kecepatan perkembangan ini tergantung
pada kondisi cuaca, khususnya kehangatan dan kelembaban, dan memerlukan
minimal 4 hari dan jarang lebih dari 10 hari. Persyaratan suhu bervariasi untuk setiap
jenis cacing, namun sebagian besar membutuhkan sekitar 15 mm hujan selama
beberapa hari (namun juga bergantung pada tingkat penguapan) untuk memberi
kelembaban yang cukup bagi perkembangan selanjutnya. L3 meninggalkan feses
yang bergerak ke padang rumput dan tanah, jarang lebih dari 25 cm dari tempat
mereka disimpan di kotoran. Gerakan menggeliat L3 ke padang rumput dan tanah
memerlukan media air (dari embun, kabut atau hujan) ke daun dan batang rumput
44
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
(dan kurang umum ke dalam tanah). Sebagian besar L3 terkonsentrasi di dekat dasar
padang rumput, jarang lebih tinggi dari 10 cm (Anonimus, 2015). Di bawah kondisi
yang sangat panas dan kering, larva akan kering dan mati dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu. Demikian juga siklus hidup cacing Trematoda memerlukan
air dalam siklus hidupnya karena adanya peranan siput yang hidup di air sebagai
inang perantara.
Perbedaan prevalensi Helminthiasis yang signifikan lebih tinggi pada musim hujan
dibandingkan dengan musim kemarau juga ditemukan pada studi yang dilakukan oleh
Winarso et al (2015) pada sapi potong di Bojonegoro Jawa Timur. Prevalensi total
infeksi nematoda saluran pencernaan dilaporkan sebesar 50.95% (selang 44.91%
hingga 56.99%) di musim kemarau dan meningkat menjadi 67.78% (selang 62.21%
hingga 73.35%) di musim hujan. Prevalensi PGI yang secara signifikan lebih besar
terjadi pada saat musim hujan dapat menjadi petunjuk bahwa program pemberian obat
cacing pada kelompok ternak yang rentan sebaiknya diberikan sebelum musim hujan
sehingga pencegahan dan pengendalian PGI akan lebih efektif.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan1. Prevalensi Parasit gastrointestinal pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali,
NTB dan NTT pada Tahun 2018 sebesar 31.01 % (CI 95 %: 29.00 - 33.10)
2. Musim hujan dan iklim wilayah yang basah merupakan faktor risiko munculnya
kasus PGI.
6.2 Saran-saran1. Untuk mencegah parasit gastrointestinal (PGI) dapat dilakukan dengan cara
menerapkan tata cara beternak yang baik termasuk menjaga kebersihan
kandang, memutus siklus hidup vektor yang berperan sebagai penular parasit
dan memberikan obat cacing atau anti parasit lainnya pada kelompok ternak
yang diduga tertular.
2. Karena musim hujan merupakan faktor risiko meningkatnya prevalensi PGI,
maka disarankan pemberian obat cacing sebagai pencegahan minimal
dilakukan sekali setahun sebelum musim hujan tiba.
45
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada Ka BB-Vet Denpasar atas dukungan dana dan
kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih juga kami sampaikan
kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi peternakan beserta
jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas kerjasamanya yang baik
sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2013. Data Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat Statistik RepublikIndonesia.www.bpps.go.id
Anonimous, 2014. Kondisi geografis Nusa Tenggara Barat. http://www.ntbprov.go.id/hal-kondisi-geografis-nusa-tenggara-barat.html#ixzz4VWhBMpaZ
Anonimous, 2015. Nusa Tenggara Barat dalm Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi NusaTenggara Barat. http://ntb.bps.go.id/webs/pdf_publikasi/Nusa-Tenggara-Barat-Dalam-Angka-2015.pdf
Anonimous, 2016. Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ditjen PDT. www.ditjenpdt.kemendesa.go.id
Anonimous b. 2016. Bali. https://id.wikipedia.org/wiki/Bali.
Anonimus, 2008b.The epidemiology of helmintparasites.http:// www.ilri.org/Info Serv/ Webpub/Fulldocs /X5492e /x5492e04.htl 07 Juni 2008]
Arsani, N.M., Saraswati NKH, Sutawijaya IGM, dan Yunanto (2018). Laporan SurevilansParasit Gastrointestinal pada Ternak Sapid an Kerbau di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2017. Balai Besar Veteriner Denpasar.
BPS, 2016. Populasi Sapi Potong menurut Provinsi, 2009-2016 dan Populasi Kerbau menurutProvinsi, 2009-2016.http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/24#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek3
Estuningsih,SE. 2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacinguntuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal Ilmu Ternak danVeteriner, Volume 9 Nomor1hal.55-60
Gunawan M., 1984 Pengaruh Pengobatan Neoascari Vitulorum dengan Piperazin Citrat padapedet Sapi Bali di Provinsi Bali. Bulletin Veteriner. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar, Ed. Mei, Vol. 1 No. 5
Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., 1987. Principles and Methods Veterinary Epidemiology,IOWA State University Press/ames.USA
Mastra.K. 2006 Prevalensi Antibodi Terhadap Fasciolosis pada sapi bali di Provinsi Bali.Buletin Veteriner.Denpasar. Ed.Desember , Vol. XVIII, No.69.
46
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan, 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali diperusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar. J. Agrisistem 2 (2):63-69.
Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52
Suratman, Enggis Tuherkih, dan Joko Purnomo (2003). Potensi Lahan Untuk PengembanganTernak Ruminansia Berdasarkan Karakteristik Biofisik Lahan Di Propinsi Nusa TenggaraBarat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan,Bogor
Thienpont, D., F. Rochette,O.F.J. Vanparijs, 1979. Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation
Winarso, A., Satrija,F., Ridwan, Y., (2015) Pengaruh Klimat terhadap Infeksi NematodaSaluran Pencernaan pada Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur.Jurnal Kajian Veteriner, Volume 4.
47
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS CYSTICERCOSIS DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018
Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, I.G.M. Sutawijaya, Yunanto
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Surveilans cysticercosis bertujuan untuk mengetahui prevalensi cysticercosis pada ternak sapidan babi yang dipotong di RPH atau yang dijual di pasar pasar di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebanyak 318 sampel daging/organ telahdiambil dan diuji, masing-masing berasal dari Provinsi Bali sebanyak 113 sampel, dari ProvinsiNTB 110 sampel dan dari Provinsi NTT 95 sampel. Sampel daging/organ yang diambil darikarkas di RPH atau yang dijual di pasar, diuji di laboratorium secara makroskopik danmikroskopik. Dari seluruh sampel yang diuji, seluruhnya menunjukkan hasil negativecysticercosis. Prevalensi cysticercosis yang 0.00% dengan confiden interval 0.00-1.19 %,menunjukkan bahwa kasus cysticercosis sudah sangat jarang terjadi. Hal ini ada relevansinyadengan tingkat sosial masyarakat dengan tingkat sanitasi yang sudah sangat lebih baikdibandingkan dengan 2-3 dasawarsa sebelumnya. Untuk meningkatkan sensitivitas hasilsurvey, perlu dilakukan surveilans dengan metode yang lebih sensitive. Disamping itu, untukmelengkapi data surveilans aktif yang dilakukan oleh BBVet Denpasar, juga perlu dilakukanmonitoring dan pelaporan kasus cysticercosis ke sistem i-sikhnas oleh petugas RPH.
Kata kunci: cysticercosis, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
Jenis HewanProvinsi Babi Sapi
Jumlahsampel Positif Prevalensi (%)
CI 95%
Bali 36 77 113 0 0.00 0.00-3.29Nusa Tenggara Barat 11 99 110 0 0.00 0.00-3.37Nusa TenggaraTimur 21 74 95 0 0.00 0.00-3.89
Grand Total 68 250 318 0 0.00 0.00-1.19
Keterangan: CI=confiden interval
48
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
I. PENDAHULUAN
Penyakit Cysticercosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini
sering dijumpai di daerah dimana masyarakatnya mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi daging sapi atau daging babi mentah atau dimasak kurang sempurna.
Selain itu, kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dimana makanan/sumber air
minum sapi dan babi bisa tercemar feses manusia, merupakan factor risiko penularan
penyakit ini.
Cysticercosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh larva (bentuk
metacestoda) cacing pita dari genus Taenia. Beberapa spesies Taenia bersifat
zoonosis dan manusia dapat berperan sebagai induk semang definitif, induk semang
perantara atau keduanya. Manusia merupakan induk semang definitif dari T. solium
dan T. saginata, dan juga sebagai induk semang definitif dari T. asiatica (OIE, 2005).
Pada T. solium dan T. asiatica, manusia juga bisa berperan sebagai induk semang
perantara. Selain manusia, induk semang perantara untuk T. solium adalah babi,
sedangkan induk semang perantara T. saginata adalah sapi. Kasus cysticercosis
sering dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi daging mentah atau
setengah matang. Manusia dapat terinfeksi Cysticercosis/Taeniasis dengan memakan
daging sapi atau daging babi yang mengandung larva (cysticercus). Penularan
Cysticercosis juga dapat melalui makanan atau sumber air minum yang tercemar oleh
telur cacing Taenia spp. Kasus epilepsi dan neurocysticercosis pada manusia diduga
banyak berkaitan dengan taeniasis dan cysticercosis pada hewan. Peranan
pemerintah sangat dibutuhkan dalam program pencegahan dan pengendalian
penyakit ini.
Di Indonesia, kasus penyakit Taeniasis/Cysticercosis pernah ditemukan di Provinsi
Sumatera Utara, Papua, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, NTT dan
Kalimantan Barat (Estuningsih, 2009 dikutip dari Ito et al., 2002a; b; 2003; 2004;
Margono et al., 2001; Simanjuntak et al., 1997 dan Margono et al,2000).
Di Bali, Cysticercosis terjadi, baik pada babi maupun pada sapi. Prevalensi
Cystisercosis pada sapi di empat kabupaten di Bali (Badung, Gianjar, Klungkung dan
Tabanan) tahun 1977 masing-masing adalah 3,3, 16,9, 1,2 dan 8,3% (Estuningsih,
2009 dikutip dari Suroso et al., 2006). DDaallaamm sebuah ssuurrvveeii sseerroollooggiiss ttaahhuunn 11998811,, 2211%%
ddaarrii ssaammppeell sseerruumm ppeenndduudduukk BBaallii yyaanngg ddiiuujjii ppoossiittiiff CCyyssttiisseerrccoossiiss..
49
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Cysticercosis termasuk dalam 25 penyakit hewan menular strategis (PHMS) sesuai
dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 4026/Kpts./OT.140/3/2013, tentang
Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis. Hal ini berarti Pengendalian dan
penanggulangan penyakit tersebut dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kab/Kota sesuai dengan kewenangannya
BBVet Denpasar, sebagai UPT Ditjennak dan Keswan yang memiliki tupoksi
melaksanakan surveilans penyakit hewan menular sudah selayaknya mengambil
inisiatif untuk selanjutnya bersama sama dengan dinas peternakan (yang menangani
fungsi peternakan) melakukan tugas surveilans tersebut guna memberi rasa aman
kepada masyarakat luas khususnya konsumen daging babi/sapi.
Lebih dari 10 tahun, survey tentang penyakit ini tidak pernah dilakukan oleh BBVet
Denpasar sehingga gambaran atau prevalensi penyakit tidak diketahui secara pasti.
Dengan dilakukannya surveilans diharapkan diperoleh informasi mengenai prevalensi
penyakit sehingga dapat dilakukan langkah langkah pencegahan dan pengendalian
penyakit ini.
1.2. Rumusan Masalah
1.1.1. Cysticercosis merupakan penyakit zoonosis yang diduga masih terjadi di
wilayah kerja BBVet Denpasar.
1.1.2. Tidak ada laporan mengenai situasi dan distribusi cysticercosis pada
daging babi dan sapi lebih dari sepuluh tahun terakhir sehingga perlu
dilakukan surveilans.
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1. Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi cysticercosis pada
daging babi dan sapi di rumah potong dan pasar di wilayah kerja BBVet
Denpasar.
1.3.2. Manfaat dari surveilans ini adalah dapat memberikan gambaran kejadian
penyakit tersebut kepada pengambil kebijakan sehingga dapat diambil
langkah langkah pencegahan dan pengendalian yang efektif pada ternak
dan mencegah penularannya pada manusia. Kegiatan ini juga diharapkan
50
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
dapat memberikan rasa aman pada masyarakat sebagai konsumen
daging babi dan sapi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Cysticercosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh larva (bentuk
metacestoda) cacing pita dari genus Taenia. Tahap dewasa cacing ini terjadi di usus
manusia, anjing, atau carnivora liar. Bovine Cysticercosis (Cysticercosis pada sapi)
dan porcine Cysticercosis (Cysticercosis pada babi) disebabkan oleh metacestoda
(cysticerci) cestoda manusia. Bovine Cysticercosis disebabkan oleh Taenia
saginata, sedangkan porcine Cysticercosis disebabkan oleh Taenia solium.
Cysticerci T. solium juga dapat berkembang di CNS dan otot-otot manusia.
Spesies lainnya yaitu Taenia asiatica juga menyebabkan Cysticercosis pada babi,
kistanya dapat ditemukan dalam hati dan jeroan, sementara cacing pita dewasa
ditemukan pada manusia. Cysticercosis dan coenurosis pada kambing domba, dan
kadang-kadang pada ternak lain, kistanya dapat ditemukan di dalam otot, otak,
hati atau rongga peritoneum, disebabkan oleh T. ovis, T. multiceps dan T.
hydatigena, sedangkan cacing pita dewasa ditemukan di usus anjing dan carnivora
liar. Disamping bersifat zoonosis, Cysticercosis juga menyebabkan kerugian
ekonomi melalui terinfeksi daging dan jeroan (OIE, 2014). Kasus epilepsy dan
neurocystecercosis pada manusia diduga banyak berkaitan dengan taeniasis dan
cysticercosis pada hewan. Penularan Cysticercosis dapat melalui makanan atau
sumber air minum yang tercemar oleh telur cacing Taenia spp. Kasus cysticercosis
banyak dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi daging mentah atau
setengah matang.
2.1 Identifikasi Agen
Taenia saginata (cacing pita sapi)
Taenia saginata memiliki panjang 4-8 meter dan dapat bertahan hidup bertahun-tahun,
biasanya tunggal, dalam usus kecil manusia. Scolex ( kepala) tidak memiliki rostellum
atau kait. Segmen gravid memiliki > 14 cabang rahim. Cacing ini dapat meninggalkan
hostnya dan bermigrasi secara spontan dari anus.
51
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Metacestoda (sistiserkus bovis) dari T. saginata biasanya terjadi pada otot lurik ternak
sapi, dan juga kerbau. Kista berbentuk oval, berisi cairan, sekitar 0,5-1 ×
0,5 cm, tembus dan mengandung scolex putih tunggal yang secara morfologis mirip
dengan scolex dari cacing pita yang lain. Kista kadang kadang ditemukan di hati,
paru-paru, ginjal, lemak dan di tempat lain.
Taenia solium (cacing pita babi)
Taenia solium biasanya lebih kecil dari T. saginata, panjangnya kira-kira 1-5 meter dan
dapat bertahan dari beberapa bulan sampai 1 tahun. Scolex ini memiliki rostellum
dengan dua baris kait. Segmen gravid memiliki <14 cabang rahim dan biasanya tidak
meninggalkan host secara spontan, tetapi tetap berada dalam feses.
Metacestodes (C. cellulosae) terjadi pada otot-otot dan sistem saraf pusat babi,
beruang dan anjing. Pada manusia, metacestoda dapat ditemukan pada otot-otot,
jaringan subkutan, system saraf pusat dan kadang-kadang mata.
Kistanya mirip sekali dengan T. saginata, memiliki scolex dengan rostellum dan kait.
(OIE, 2014)
Taenia asiatica (Asian Taenia)
Memiliki ovarium, vagina, otot sfingter dan cirrus kantung seperti pada T. saginata, tapi
T. asiatica memiliki rostellum kecil dan tonjolan posterior pada beberapa segmen dan
16-32 tunas rahim dengan 57-99 ranting rahim pada satu sisi. Metacestoda (C.
viscerotropica) kecil, sekitar 2 mm, dan memiliki rostellum dan dua baris
kait primitif. Cysticercosis ini umumnya terjadi pada parenkim dan permukaan hati babi
peliharaan dan liar (OIE, 2014)
2.2 Cara Penularan dan Siklus Hidup Taenia spp
Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk semang yaitu
induk semang definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi untuk T. saginata
dan babi untuk T. solium). T. saginata tidak secara langsung ditularkan dari manusia
ke manusia, akan tetapi untuk T. solium dimungkinkan bisa ditularkan secara langsung
antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang terinfeksi langsung ke
mulut penderita sendiri atau orang lain.
52
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Gambar 1. Siklus hidup dan Penularan Taenia spp
Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid
yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar bersama feses
dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang
menjadi onkoster (telur yang mengandung larva). Larva onkoster menembus usus dan
masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke
otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis (larva cacing T. saginata).
Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang disebut Cysticercus. Manusia
akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang.
Dinding Cysticercus akan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks
menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa
yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila
proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi.
Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi larva
53
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup
seperti di atas.
Siklus hidup T. solium pada dasarnya sama dengan siklus hidup T. saginata, akan
tetapi induk semang perantaranya adalah babi dan manusia akan terinfeksi apabila
memakan daging babi mentah atau tidak matang dengan sempurna yang
mengandung kista atau tertelan telur cacing. T. saginata menjadi dewasa dalam waktu
10 – 12 minggu dan T. solium dewasa dalam waktu 5 – 12 minggu (OIE, 2005). Telur
T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan (tidak tergantung suhu dan kelembaban)
sampai beberapa minggu bahkan bisa bertahan sampai beberapa bulan. Proglotid T.
saginata biasanya lebih aktif (motile) daripada T. solium, dan bisa bergerak keluar dari
feses menuju ke rumput. Telur T. saginata dapat bertahan hidup dalam air dan atau
pada rumput selama beberapa minggu/bulan.
Pada sapi (C. bovis) mulai mati dalam waktu beberapa minggu, dan setelah 9 bulan
akan mengalami kalsifikasi. Sedangkan, Cysticercus dari spesies lain bisa bertahan
hidup sampai beberapa tahun. Cysticercosis pada babi bisa ditemukan pada
jaringan/otot jantung, hati, otak, daging bagian leher, pipi dan bahu, serta lidah. Pada
manusia, Cysticercus ini sering ditemukan di jaringan bawah kulit, otot skeletal, mata
dan otak. Pada kasus yang serius disebabkan oleh adanya sistiserkus pada jaringan
otak bisa menyebabkan neurocysticercosis dan bisa menyebabkan kejang-kejang
pada manusia.
III. MATERI DAN METODA
3.1. Materi:
a) Sampel
Sampel daging/organ yang diduga mengandung kista metacestoda dari cacingTaenia
b) Bahan :
- Formalin 10%- Mounting solution
c) Alat:
- Pisau- Gunting
54
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
- Cawan petri- Mikroskop stereo- Mikroskop cahaya- Lensa pembesar- Pinset- Kaca preparat- Cover slip- Container/kantong plastik
3.2. Metode
3.2.1. Metode surveilans
Kegiatan surveilans dilakukan di RPH dan pasar untuk mengetahui prevalensiCysticercosis pada daging babi dan sapi di Provinsi Bali, NTB dan NTT.
Pemeriksaan dan pengambilan sampel dilakukan terhadap hewan yang dipotong dimasing-masing RPH. Untuk di pasar, pemeriksaan dan pengambilan sampel di pasardilakukan secara purposive sampling yaitu dilakukan di pedagang daging babi/sapiyang menjual daging/organ yang menjadi predileksi kista metacestoda Taenia (hati,otot lidah, otot masseter, jantung, dan organ lainnya).
Target Sampling
Yang menjadi target sampling surveilans ini adalah daging/organ babi dan sapi hasilpemotongan di RPH dan yang dijual di pasar di Provinsi Bali, NTB dan NTT.
Penentuan lokasi sampling
Lokasi sampling di Provinsi Bali adalah di RPH dan pasar di kabupaten/kota di Bali,NTB dan NTT. Surveilans dilakukan secara terpadu dengan surveilans penyakit yanglain.
3.2.2 Metode pengamatan dan pengambilan sampel daging/organ
- Pengamatan dilakukan terutama terhadap organ-organ predileksi
cysticercus yaitu terhadap otot masseter, otot daging, otot jantung, hati,
otot lidah dan sebaiknya dilakukan juga terhadap organ lainnya.
Pengamatan dilakukan secara makroskopik (mata telanjang) atau dengan
bantuan kaca pembesar.
- Organ-organ yang dicurigai mengandung kista dari cacing pita Taenia
diambil dengan gunting atau pisau, dimasukkan ke dalam kontainer dan
selanjutnya dikirim ke laboratorium dalarn keadaan segar atau diawetkan
55
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
dengan formalin 10%. Hasil pengamatan dan data data pendukung lainnya
dicatat dalam lembar data yang sudah dipersiapkan sebelumnya
(terlampir).
3.3.3 Pemeriksaan Laboratorik
- Sampel daging/organ yang diambil oleh tim surveilans diperiksa/diuji dilaboratorium Parasitologi.
- Pemeriksaan dilakukan baik secara makroskopik maupun mikroskopik
- Setelah dilakukan pengamatan secara makroskopik, sampel yang dicurigaimengandung kista dilanjutkan pengujiannya secara mikroskopik.
- Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya
- Kista dibuka atau dibelah secara hati-hati dengan cara mengiris denganmenggunakan pisau / skalpel, dilakukan di atas kaca preparat.
- Apabila terlihat ada larva / metacestode pada kista yang telah terbuka, sisa-sisa jaringan dipisahkan dan dikeluarkan dari kaca preparat. Selanjutnyatutup kaca preparat dengan cover slip kemudian periksa di bawah mikroskopcahaya secara cermat. Amati dan catat morfologi larva yang dilihat (bentukscolex dan jumlah kait).
- Di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 100-1000 kali dapat dilihatstadium metacestode dari T. solium atau T. saginata.
- Kista dapat berisi larva / metacestode yang telah mati (dalam bentuk sudahmengalami nekrosis, sedang dalam proses pengkejuan, atau telah terjadiproses pengapuran) atau mengandung larva / metacestode yang masihhidup.
IV. HASIL
Seperti terlihat pada Tabel 1., jumlah sampel yang diperoleh dan diuji sebanyak318, yang berasal dari Provinsi Bali sebanyak 113, dari NTB 110 dan dari NTT 96sampel. Sampel yang diperoleh terdiri atas 68 sampel daging/organ babi dan 249daging/organ sapi. Seluruh sampel yang diuji menunjukkan hasil yang negatif.
56
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 1. Hasil surveilans Cysticercosis di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2018.Jenis Hewan
Provinsi Babi SapiJumlahsampel Positif
Prevalensi(%) CI 95 %
Bali 36 77 113 0 0.00 0.00-3.29Nusa Tenggara Barat 11 99 110 0 0.00 0.00-3.37Nusa Tenggara Timur 21 74 95 0 0.00 0.00-3.89Grand Total 68 250 318 0 0.00 0.00-1.19
Pada Tabel 2 dapat dilihat jenis dan jumlah sampel yang diambil di beberapakabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Ada 4 kabupaten/kota yang menjadi lokasisampling di Provinsi Bali, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Buleleng danGianyar. Demikian juga di Provinsi NTB juga dilakukan di empat kabupaten/kota yaitudi Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Bima dan Sumbawa, sedangkan diProvinsi NTT, sampling dilakukan di lima kabupaten yaitu Kota Kupang, KabupatenKupang, Malaka, Sikka dan Alor.
Tabel 2. Hasil surveilans Cysticercosis per Kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTTTahun 2018
Jenis HewanProvinsi/Kab Babi Sapi Jumlah sampel Positif Prevalensi (%) CI 95 %
Bali 36 77 113 0 0.00 0.00-3.29Badung 19 14 33 0 0.00 0.00- 10.43Buleleng 0 30 30 0 0.00 0.00-11.35Denpasar 0 30 30 0 0.00 0.00-11.35Gianyar 17 3 20 0 0.00 0.00-16.11
Nusa TenggaraBarat 11 99 110 0 0.00 0.00-3.37
BIMA 0 26 26 0 0.00 0.00-12.87Lombok Barat 0 30 30 0 0.00 0.00-11.35Mataram 11 18 29 0 0.00 0.00-11.70Sumbawa 25 25 0 0.00 0.00-13.32
Nusa TenggaraTimur 21 74 95 0 0.00 0.00-3.89
ALOR 8 12 20 0 0.00 0.00-16.11Kota Kupang 0 25 25 0 0.00 0.00-13.32KUPANG 0 15 15 0 0.00 0.00-20.39Malaka 10 10 20 0 0.00 0.00-16.11Sikka 3 12 15 0 0.00 0.00-20.39
Grand Total 68 250 318 0 0.00 0.00-1.19
57
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
V. PEMBAHASAN
Kehidupan sosial masyarakat khususnya di Bali, NTB dan NTT saat ini sudah sangat
berubah. Tingkat sanitasi lingkungan sudah sangat baik, dimana setiap rumah tangga
sudah memiliki jamban/WC. Demikian juga cara pemeliharaan ternak babi juga
sebagian besar sudah menerapkan cara pemeliharaan yang semi intensif atau paling
tidak ternak babi dipeliharan dengan cara dikandangkan. Berbeda dengan era Tahun
80-an dan 90-an, sebagian masyarakat masih memelihara ternak babi secara
ekstensif sementara cara hidup masyarakat sendiri juga memiliki tingkat sanitasi
lingkungan yang masih sangat rendah, dimana sebagian masyarakat punya kebiasaan
buang air besar di sembarang tempat.
Hasil surveilans yang menunjukkan tidak ada ditemukan adanya cysticercosis pada
semua sampel daging/organ yang diuji menunjukkan bahwa kasus cysticercosis sudah
sangat jarang terjadi. Hal ini berkaitan dengan perubahan prilaku sosial di mayarakat
yang mempengaruhi praktek sanitasi dan hygiene pada masyarakat yang tentu saja
terjadi peningkatan yang sangat nyata dibandingkan dengan di masa lalu. Kalau di
masa lalu masih banyak ditemukan masyarakat yang buang air sembarangan di
semak semak di dekat lingkungan tempat tinggal mereka. Demikian juga, masyarakat
masih sangat umum memelihara babi dengan cara diliarkan di belakang atau di sekitar
tempat tinggalnya. Hal ini tentu merupakan faktor risiko dimana rantai penularan
cacing taenia atau cysticercus akan terus berulang. Kotoran manusia yang menderita
taeniasis/cysticercosis yang dimakan oleh babi yang berkeliaran akan dapat
menyebabkan babi tertular penyakit tersebut. Daging babi yang berasal dari hewan
yang menderita cysticercosis apabila dimakan oleh manusia akan menyebabkan
manusia tertular. Demikian seterusnya.
Kemungkinan lain yang menyebabkan tidak ditemukannya cysticercosis pada study ini
adalah sensitivitas uji yang sangat rendah sehingga data yang diperoleh tidak
menunjukkan kondisi yang sebenarnya. Diagnosa cysicercosis yang didasarkan pada
pengamatan daging/organ memiliki sensitivitas sekitar 10 – 30 % (Gonzales et al.,
2016). Untuk mengetahui epidemiologi cysticercosis diperlukan metode uji yang lebih
baik. Disamping itu juga diperlukan strategi pengawasan yang lebih sensitif dan
pelaporan data secara terus menerus selama bertahun-tahun dari seluruh stake holder
terutama yang bertugas terdepan dalam pengawasan post mortem di rumah potong
hewan. Saat ini kita memiliki sistem yang sudah terintegrasi dan sudah sangat familiar
di kalangan petugas kesehatan hewan di seluruh lini yaitu Isikhnas (sistem kesehatan
hewan nasional yang terinetgrasi). Sistem tersebut sudah dapat diakses dengan baik
oleh sebagian besar petugas kesehatan hewan di lapangan. Apabila sistem ini dapat
58
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
berjalan dengan baik, seluruh data tentang kesehatan hewan akan dapat diakses dan
hal ini tentu sangat bermanfaat dalam deteksi dini penyakit hewan termasuk
cysticercosis.
Bovine cysticercosis dilaporkan di hampir semua negara, pada tingkat prevalensi yang
berbeda. Di Vietnam, prevalensi sistiserkosis terjadi cukup rendah yaitu 0,94 (95% CI:
0,51-1,68). Di Negara Eropa prevalensi bovine cysticercosis berdasarkan inspeksi
daging juga pada umumnya rendah yaitu di bawah 6,2% (Gonzales et al., 2016).
Sebelum tahun 1990, angka tertinggi, berdasarkan inspeksi daging rutin, dilaporkan di
Turki, Jerman dan Polandia. Di Turki, prevalensi terdeteksi pada tingkat regional
berkisar antara 0,3 hingga 30% antara tahun 1957 dan 1990. Di Jerman Timur dan di
provinsi Olsztyn di Polandia, prevalensi masing-masing 3,5-6,8% dan 3,6%, dilaporkan
selama 1974-1989. Setelah tahun 1990, tingkat prevalensi tertinggi dilaporkan di satu
rumah jagal di Jerman (yaitu 6,5%) pada tahun 1992 dan di Daerah Otonomi Madeira
(yaitu 2,0-5,8%) selama 1993-2005. Prevalensi terendah diidentifikasi di Estonia, yang
melaporkan tidak ada kasus positif pada Tahun 2006, 2008, 2009 dan 2010; diikuti
oleh Swedia dan Inggris dengan kisaran masing-masing 0.0002 % – 0.001 % dan
0.008 %– 0.04 %. Di negara-negara eropa lainnya prevalensinya di bawah 2,0%
dengan beberapa pengecualian (yaitu Italia dan Belanda) (Gonzales et al., 2016).
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KesimpulanPrevalensi Cysticercosis pada ternak sapi dan babi di provinsi Bali, NTB dan NTT
sebesar 0.00 % (CI 95%: 0.00-1.19)
6.2 Saran1. Untuk meningkatkan sensitivitas uji cysticercosis pada ternak, perlu dilakukan
survey dengan metode lain yang lebih sensitif
2. Disamping itu, untuk melengkapi data surveilans aktif yang dilakukan oleh
BBVet Denpasar, juga perlu dilakukan monitoring dan pelaporan cysticercosis
secara terus menerus ke sistem i-sikhnas oleh petugas RPH.
59
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
DAFTAR PUSTAKA
Estuningsih, S.E., 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter.WARTAZOA Vol. 19 No. 2 Th. 2009
Murrell, K.D., Dorny, P., Flisser, A., Geerts, S., Kyvsgaard, N.C., McManus, D., Nash, T.,Pawlowski, Z., 2005. WHO/FAO/OIE Guidelines for the surveillance, prevention andcontrol of taeniosis/cysticercosis. OIE, 12, rue de Prony, 75017 Paris, France.
OIE, 2014. Cysticercosis. OIE Terrestrial Manual 2014 1 Chapter 2.9.5
Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52
Anonymous (1996) Cysticercosis. In Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines.The 3rd Edition, OIE World Organisation for Animal Health, pp. 314-317.
Anonymous (1999) Cysticercosis pada Sapi dan babi. Dalam Manual Standar MetodeDiagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan, DirektoratJenderal Peternakan, Departemen Pertanian, hal. 28-29.
González, M.L., Brecht Devleesschauwer, Sarah Gabriël, Pierre Dorny, and Alberto Allepuz(2016). Epidemiology, impact and control of bovine cysticercosis in Europe: asystematic review. Parasit Vectors. 2016; 9: 81
75
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN PENYAKIT RABIESSECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2018
I Ketut Eli Supartika, Monica Septiani dan Gede Yudi Suryawan
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Rabies di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar cendrung endemis. Untuk itu kegiatansurveilans Rabies secara berkelanjutan masih perlu dilakukan dengan bertujuan: untukmendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit rabies, terkait denganupaya pembebasan rabies di Provinsi Bali, mendeteksi kemungkinan keberadaan virus rabiespada anjing di Provinsi NTB agar daerah ini tetap bebas rabies, mendeteksi virus rabies padaanjing-anjing di wilayah Pulau Flores dan sekitarnya terkait kegiatan pengendalian rabies diProvinsi NTT.
Surveilans penyakit rabies pada anjing khususnya dilaksanakan dengan melakukanpengambilan sampel otak anjing yang berisiko menularkan penyakit rabies. Sampel diperiksadengan metode uji Flourescent Antibody Test (FAT).
Pada tahun 2018 jumlah sampel otak hewan yang diperiksa Balai Besar Veteriner Denpasarsebanyak 1.129 sampel. Di Provinsi Bali, jumlah sampel otak hewan yang diperiksa sebanyak943 sampel, 149/943(15,80%) diantaranya positif rabies. Kasus positif rabies berasal darianjing 147/149 (98,66%) sampel dan kucing 2/149(1,34%). Rata-rata jumlah kasus positifrabies perbulan ada sebanyak 13 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun2017 ada sebanyak 8 kasus per bulan. Kasus rabies paling banyak ditemukan di KabupatenKarangasem sebanyak 42 kasus, disebabkan oleh anjing yang belum divaksin.
Jumlah sampel otak yang berasal dari Provinsi NTB sebanyak 1 sampel otak kerbau, berasaldari Kabupaten Sumbawa, hasilnya negatif rabies. Sedangkan sampel otak anjing darikabupaten/kota di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi NTT diperiksa sebanyak 185 sampel,98/185 (52,97%) sampel positif rabies. Kasus positif rabies ini lebih tinggi dibandingkan dengantahun 2017 sebanyak 37/75 (49,33%).
Hasil surveilens ini menunjukkan bahwa terjadi kecendrungan peningkatan kasus rabies diProvinsi Bali dan Pulau Flores, Lembata, Provinsi NTT. Program vaksinasi masal, kerjasamaantar instansi pemerintah, komunikasi, informasi dan edukasi tentang rabies ke masyarakatmasih perlu ditingkatkan. Sampai saat ini Provinsi NTB masih bebas rabies. Kontrol terhadaplalu lintas hewan penular rabies ke Provinsi NTB dan daerah bebas rabies di Provinsi NTTmasih sangat diperlukan.
Kata kunci: anjing, hewan, otak, rabies, surveilans
76
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi tiga provinsi yaitu :
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Seperti diketahui bahwa dua dari tiga provinsi yang merupakan wilayah kerja
BBVet Denpasar merupakan daerah endemis rabies. Provinsi Nusa Tenggara
Timur, khususnya Pulau Flores dan Lembata dinyatakan terjangkit rabies sejak
tahun 1997, sedangkan Provinsi Bali dinyatakan terjangkit rabies sejak akhir
tahun 2008 (Putra, dkk, 2009) dan sampai saat ini kasus positif rabies rabies
masih sering ditemukan dan ada kecendrungan terjadi peningkatan kasus.
Di Provinsi Bali sejak dilakukannya vaksinasi massal secara serentak tahun
2010, kejadian kasus rabies berfluktuasi sepanjang tahun 2008 sampai dengan
2018 yaitu tahun 2008 (10 kasus), 2009 (80 kasus), 2010 (410 kasus),
2011(90 kasus), 2012 (116 kasus), 2013 (42 kasus), 2014 (129 kasus), 2015
(526 kasus), 2016 (207 kasus), dan 2017 (93 kasus). Kasus rabies lebih
banyak terjadi di Kabupaten Buleleng, Bangli dan Karangasem dan
kebanyakan terjadi pada anjing-anjing yang belum pernah divaksin rabies
(Supartika dkk, 2014).
Secara geografis, Provinsi NTB (yang masih berstatus bebas rabies) namun
berpotensi tertular rabies karena dibatasi oleh dua provinsi tertular rabies yaitu
Propinsi Bali dan pulau Flores, NTT. Hasil surveilans Balai Besar Veteriner
Denpasar tahun 2017, dari 29 sampel otak anjing yang diperiksa berasal dari
Kota Mataram dan Kabupaten Bima tidak ada positif rabies. Sedangkan
sampel otak anjing dari kabupaten/kota di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi
NTT diperiksa sebanyak 75 sampel, 37/75 (49,33%) sampel positif rabies.
Kasus positif rabies ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2016 sebanyak
45/169(26,63%).
Dengan kondisi demikian, sebagai salah satu unit pelayanan teknis (UPT) dari
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
77
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Hewan, Kementerian Pertanian, yang membidangi kesehatan hewan, sudah
merupakan kewajiban bagi BBVet Denpasar untuk membantu pemerintah
daerah dalam penanggulangan rabies di daerah tertular dan mempertahankan
wilayah/ provinsi yang masih dinyatakan bebas rabies. Untuk itu pada tahun
2018, BBVet Denpasar akan melakukan surveilans virologis rabies di Provinsi
Bali, NTB dan NTT.
1.2. Rumusan Masalah.a. Ada kecendrungan penurunan kasus rabies di Provinsi Bali tahun 2017.
b. NTB merupakan daerah berisiko tinggi tertular rabies, terutama di wilayah
yang berbatasan dengan Pulau Flores dan Bali seperti: Sape, Lembar dan
pelabuhan tidak resmi yang ada di pantai wilayah NTB.
c. Rabies di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi NTT masih bersifat endemis.
1.3. Tujuan Kegiatan.Kegiatan surveilans dan monitoring agen penyakit rabies dilaksanakan
dengan tujuan sebagai berikut :
a. Mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies,
terkait dengan upaya pembebasan Rabies di Provinsi Bali
b. Mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus Rabies pada
anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap
bebas Rabies
c. Mendeteksi keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko
tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan
penanggulangan rabies (early detection, early report, early response) di
wilayah Provinsi NTT.
1.4. Manfaat Kegiatana. Terpetakannya keberadaan virus rabies pada anjing di Provinsi Bali
78
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
b. Tersedianya informasi sedini mungkin terkait keberadaan virus Rabies
pada anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB
tetap bebas Rabies
c. Terdatanya keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko
tertular Rabies di Pulau Flores.
1.5. Keluaran/Output.
Output yang diharapkan dari kegiatan surveilans penyakit Rabies adalah
tersedianya data dan informasi tentang keberadaan virus rabies pada anjing di
Provinsi Bali, NTB dan NTT.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Rabies merupakan penyakit viral zoonosis akut, menimbulkan ensefalitis fatal
pada mammalia, disebabkan oleh Lyssavirus dari keluarga Rabdoviridae
(Murphy et al., 2009; Fischer et al., 2013). Wilayah kerja Balai Besar Veteriner
(BBVet) Denpasar meliputi: Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur secara historis merupakan daerah bebas rabies, namun sejak
tahun 1997 wilayah ini mulai tertular rabies dengan munculnya kasus rabies
pertama kali di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Windiyaningsih
et al., 2004). Selanjutnya rabies dilporkan pertama kali di Provinsi Bali pada
akhir tahun 2008 (Supartika et al., 2009). Meningkatnya lalu lintas orang,
hewan, serta barang berdampak pada semakin cepatnya perpindahan hewan
dalam masa inkubasi, selanjutnya berperan dalam penyebaran penyakit
zoonosis seperti rabies di daerah baru (Lankau et al., 2013). Kejadian wabah
rabies di Larantuka, Flores Timur, NTT disebabkan oleh masuknya tiga ekor
anjing dari daerah endemis rabies yaitu dari daerah Butung, pulau Buton,
Sulawesi Selatan pada bulan September 1997 (Windiyaningsih et al., 2004). Di
Provinsi Bali, sumber penularan rabies diduga berasal dari masuknya anjing
dalam masa inkubasi dibawa pelaut berasal dari Sulawesi Selatan (Putra et al.,
2009).
79
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Anjing masih merupakan hewan penular rabies utama di Provinsi Bali. Dari 672
kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2012 semuanya
ditularkan oleh anjing rabies (Supartika et al., 2013). Keberhasilan
pembebasan rabies dari wilayah tertentu sangat tergantung pada seberapa
efektif kegiatan surveilans telah dilaksanakan. Surveilans adalah kegiatan
terstruktur untuk melihat populasi hewan dari dekat untuk menentukan apakah
penyakit spesifik merupakan ancaman sehingga tindakan awal dapat
dilaksanakan secepatnya (Salman, 2013). Surveilans memegang peranan
penting dalam memacu memberikan respon cepat, memonitor dampaknya,
sehingga wabah secara cepat dapat ditindaklanjuti (Townsend et al., 2013).
III. MATERI DAN METODE
3.1. MateriMateri kegiatan surveilans dan monitoring rabies dilaksanakan dengan
melakukan pengambilan sampel otak anjing dengan kriteria sebagai berikut:
Anjing yang mempunyai risiko menularkan rabies (anjing yang tiba-tiba
menggigit orang dan atau hewan lainnya).
Anjing yang menunjukkan gejala klinis rabies dan menunjukkan perubahan
perilaku.
Hasil eliminasi terhadap anjing liar tidak berpemilik yang dilakukan oleh
petugas dinas setempat.
Sampel otak anjing yang diperoleh dari tempat-tempat yang menyediakan
hidangan dari daging anjing (rumah makan RW).
Sampel otak anjing yang mati akibat tertabrak kendaraan di jalan raya. Hal
ini menjadi pertimbangan karena pada umumnya anjing yang terjangkit
rabies akan mengalami perubahan perilaku dan cenderung kehilangan
insting untuk menghindari lalulintas kendaraan.
Anjing yang berasal dari daerah tertular.
Pengambilan sampel di lapangan dalam kegiatan penyidikan dan pengujian
rabies secara virologis dilakukan oleh petugas pengambil sampel Balai Besar
80
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dokter Hewan dan petugas
Puskeswan yang ada di masing-masing wilayah kerja.
3.2. MetodeSampel otak anjing dalam keadaan segar, segar beku atau diberi
pengawet gliserin 50% selanjutnya di uji Flourescent Antibody Test . Sampel
dibuat preparat ulas tipis pada objek gelas, diangin-anginkan pada suhu kamar,
selanjutnya di fiksasi dengan aceton dingin selama 30 menit. Preparat ditetesi
dengan konjugit fluorescein isothiocyanate (FITC) (Bio-Rad) diinkubasi dalam
inkubator suhu 37oC selama 30 menit, dibilas dengan PBS, di tutup dengan
cover glass yang berisi gliserin 10%, selanjutnya diperiksa dibawah mikroskup
flourescent.
IV. HASIL
Tahun 2018 Balai Besar Veteriner Denpasar menerima sampel untuk
pengujian penyakit rabies sebanyak 1.129 sampel yang berasal dari berbagai
hewan, masing-masing 943 sampel berasal dari Provinsi Bali, 1 sampel dari
Provinsi NTB dan 185 sampel dari Provinsi NTT (Grafik 1). Jumlah kasus
rabies pada hewan di Provinsi Bali pada tahun 2018 cendrung meningkat
dibandingkan pada tahun 2017 (Grafik 2). Dari 9 kabupaten/kota di Bali ada
lima kabupaten yang mengalami peningkatan kasus rabies yaitu : Kabupaten
Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangasem dan Klungkung (Grafik 3). Peta
penyebaran kasus positif rabies di provinsi Bali disajikan pada Gambar 1.
Grafik 1. Jumlah sampel otak yang diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasaruntuk pengujian Rabies yang berasal dari Provinsi Bali, NTB danNTT, tahun 2018. (N = 1.129 sampel)
81
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Grafik 2. Perbandingan jumlah kasus rabies tahun 2017 dan 2018 per bulandi Provinsi Bali.
Grafik 3. Perbandingan jumlah kasus rabies tahun 2017 dan 2018 dimasing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
82
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Gambar 1. Peta penyebaran kasus positif rabies di Provinsi Bali tahun 2018.
Anjing masih menjadi penular utama rabies di Bali yaitu sebanyak 147/149
(98,66%). Kasus positif rabies selain menyerang anjing juga telah menyerang
dua ekor kucing masing-masing di Kabupaten Klungkung dan Jembrana 2/149
(1,34%) (Grafik 4). Rata-rata jumlah kasus positif rabies per bulan di Provinsi
83
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Bali ada 13 kasus. Kasus rabies paling banyak ditemukan di Kabupaten
Karangasem sebanyak 42 kasus (Grafik 5).
Grafik 4. Jumlah kasus positif rabies pada hewan di Provinsi Bali Tahun 2018.
Grafik 5. Jumlah kasus rabies di masing-masing Kabupaten/Kota di ProvinsiBali tahun 2018
Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada anjing dan kucing yang belum
divaksin 120/149(80,54%) (Grafik 6), pada anjing berpemilik yang diliarkan
112/149 (75,17%) (Grafik 7).
84
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Grafik 6. Riwayat vaksinasi dari anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun 2018
Grafik 7. Setatus kepemilikan anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun 2018
Jumlah sampel otak yang berasal dari Provinsi NTB sebanyak 1 sampel otak
kerbau, berasal dari Kabupaten Sumbawa, hasilnya negatif rabies. Sampai
dengan tahun 2018 Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies (Gambar
2).
85
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Gambar 2. Peta Provinsi NTB masih dalam status bebas rabies sampai tahun 2018.
Sedangkan sampel otak anjing dari kabupaten/kota di Pulau Flores dan
Lembata, Provinsi NTT diperiksa sebanyak 185 sampel, 98/185 (52,97%)
sampel positif rabies. Kasus positif rabies ini lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun 2017 sebanyak 37/75 (49,33%). Di Provinsi NTT kasus rabies masih
ditemukan di berbagai kabupaten/kota di Pulau Flores dan Lembata (Grafik 8,
86
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Gambar 3). Kasus positif rabies paling banyak terjadi di kabupaten Sikka (60
kasus). Anjing sebagai peluar utama rabies kebanyakan belum divaksin
86/98(87,75%) (Grafik 9) dan berasal dari anjing berpemilik yang kebanyakan
diliarkan 66/98(67,35%) kasus (Grafik 10).
Grafik 8. Jumlah sampel otak hewan yang diperiksa di BBVet Denpasar yangberasal dari berbagai kabupaten di Pulau Flores, Provinsi NTTtahun 2018 (N = 185 sampel)
Gambar 3. Peta penyebaran kasus positif rabies di Pulau Flores dan Lembata,NTT tahun 2018
87
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Grafik 10. Status vaksinasi anjing positif rabies dari kabupaten di Pulau Flores,dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2018
Grafik 11. Status kepemilikan anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2018
88
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
V. PEMBAHASAN
Hasil surveilans tahun 2018 menunjukan adanya peningkatan jumlah kasus
rabies di Provinsi Bali dibandingkan dengan tahun 2017. Tahun 2017 jumlah
kasus positif rabies ada sebanyak 92 kasus sedangkan di tahun 2018 jumlah
kasus positif rabies ada sebanyak 149 kasus. Pada tahun 2018 selain pada
anjing, kasus rabies juga ditemukan pada kucing sebanyak 2 kasus).
Peningkatan jumlah kasus rabies terjadi di lima kabupaten di Provinsi Bali.
Kasus rabies di Provinsi Bali mulai meningkat sejak bulan Januari 2018 sampai
dengan bulan Agustus 2019, menurun di bulan September sampai dengan
Oktober dan mulai meningkat lagi di bulan Nopember dan Desember 2018
(Grafik 2). Kasus rabies tertinggi terjadi di kabupaten Karangasem yaitu
sebanyak 42 kasus (Grafik 3). Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada
anjing dan kucing yang belum divaksin 120/149 (80,54%) kasus, pada anjing
berpemilik yang diliarkan 112/149(75,17%) kasus. Berpluktuasinya peningkatak
kasus positif rabies di Provinsi Bali tidak terlepas dari tingginya populasi anjing
yang diperkirakan 500.000 ekor merupakan tantangan tersendiri dalam rangka
pembebasan Provinsi Bali dari rabies. Sebanyak 61% dari populasi anjing
tersebut adalah anjing berpemilik yang dilepasliarkan. Kepedulian dan
kesadaran masyarakat yang kurang tentang bahaya rabies mengakibatkan
mereka melepas liarkan anjingnya begitu saja yang sangat berpontensi dalam
89
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
penularan virus rabies. Melakukan vaksinasi rabies pada anjing yang diliarkan
tidaklah mudah. Pengendalian populasi anjing melalui elimasi tertarget pada
anjing liar dan yang diliarkan yang belum tervaksinasi rabies oleh pemerintah
juga mendapat penolakan dari pemilik anjing maupun lembaga swadaya
masyarakat melalui media sosial.
Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa tahun 2018
sebanyak 1 sampel otak kerbau, berasal dari Kabupaten Sumbawa. Provinsi
NTB merupakan wilayah status waspada rabies, berbatasan dengan dua
provinsi terjangkit rabies, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bali dan
di sebelah timur dengan Provinsi NTT. Lalu lintas barang/orang yang melintasi
wilayah NTB baik melalui jalur darat, udara dan laut cukup tinggi. Upaya-upaya
untuk memasukkan hewan penular rabies ke daerah ini oleh penyayang hewan
tentu ada oleh karena itu pengawasan ketat terhadap keluar masuknya hewan
penular rabies oleh lembaga karantina hewan perlu ditingkatkan. Disamping itu
surveilans terstruktur, komunikas, informasi dan edukasi tentang bahaya dan
pencegahan rabies kepada masyarakat diseluruh kabupaten/kota di Provinsi
NTB perlu terus ditingkatkan. Provinsi NTB telah dinyatakan secara resmi
sebagai daerah bebas rabies berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor 316/Kpts/PK.320/5/2017.
Di Provinsi NTT, Kenaikan kasus positif rabies juga terjadi di kabupaten/kota di
P. Flores, NTT. Tahun 2017 kasus positif rabies ada sebanyak 37 kasus
meningkat menjadi 98 kasus di tahun 2018. Kasus tertinggi ditemukan di
Kabupaten Sikka (60 kasus) (Grafik 8). Di Pulau Flores penyakit rabies
cendrung bersifat endemis mengingat anjing memiliki nilai ekonomi yang cukup
tinggi. Harga satu ekor anjing dewasa bisa mencapai satu juta per ekor.
Namun, pemeliharaan anjing di daerah ini masih kebanyakan dilepasliarkan. Di
Bali dan NTT, masyarakat memelihara anjing kebanyakan difungsikan sebagai
penjaga rumah, kebun atau untuk kepentingan komersial. Disamping itu
kegiatan vaksinasi masal belum berjalan di Pulau Flores dan sekitarnya
mengingat keterbatasan dana. Di Bali, anjing biasanya dipakai sebagai sarana
pelengkap upacara keagamaan (mecaru), sedangkan di NTT anjing biasanya
90
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
dipotong untuk upacara pesta pernikahan. Umumnya perhatian mereka
terhadap anjingnya sangat kurang. Anjing dibiarkan berkeliaran mencari makan
sendiri pergi ke tempat-tempat pembuangan sampah, pasar atau tempat
upacara keagamaan, serta berkembang biak tidak terkontrol. Anjing liar sangat
sulit ditangkap apa lagi divaksinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Putra
(2011) menyebutkan bahwa anjing yang diliarkan berpotensi 81% sebagai
penular rabies. Jual beli anjing untuk kepentingan ekonomis di NTT dan
upacara keagamaan di Bali juga berperan penting dalam penyebaran rabies di
Bali dan Flores.
Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit yang sulit dientaskan. Salah
satu kendala teknis yang dihadapi dalam pengendalian rabies adalah
banyaknya anjing liar tanpa pemilik atau sengaja diliarkan dan tidak diurus oleh
pemiliknya. Imunisasi terhadap anjing liar secara teknik sangat sulit dilakukan,
sehingga cakupan vaksinasi tidak mencapai harapan. Tidak adanya data yang
akurat tentang jumlah populasi anjing juga sebagai faktor penghambat dalam
perencanaan program pengendalian rabies. Data populasi anjing yang tepat
sangat diperlukan sebagai bahan untuk merencanakan kebutuhan vaksin,
peralatan, tenaga vaksinatur dan biaya operasional dilapangan.
Vaksinasi rabies secara massal dipercaya sebagai cara yang efektif dan cukup
ekonomis dari segi biaya untuk pengendalian rabies. Kegagalan vaksinasi
sangat kompleks, dapat disebabkan oleh kualitas vaksin, penanganan vaksin
yang tidak baik, atau masa kebal yang sudah habis, anjing dalam masa
inkubasi. Kegagalan dalam mengendalikan rabies juga disebabkan karena
cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga
siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak, tidak dapat diputus.
Belum lagi kesulitan lain dalam hal melakukan vaksinasi pada anjing geladak,
karena anjing tersebut sulit ditangkap. Minimnya sarana dan prasarana
penunjang kegiatan vaksinasi di Puskeswan, ketersediaan vaksin, ketiadaan
dana sosialisasi juga berperan dalam belum suksesnya pengendalian rabies.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
91
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Kesimpulan.
1. Penyakit rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa
kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2. Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies.
3. Kasus positif rabies di wilayah kerja BBVet Denpasar lebih banyak
disebabkan oleh anjing yang belum pernah divaksin rabies dan berasal dari
anjing yang berpemilik dan diliarkan.
Saran:
1. Peningkatan kasus rabies di Provinsi Bali, P. Flores dan sekitarnya di NTT
di tahun 2018 ini menjadi momentum yang baik untuk mengevaluasi
kegiatan pengendalian dan pemberantasan rabies di Bali dan NTT di tahun
2019, diantaranya melakukan vaksinasi masal secara intensif, massif dan
dalam waktu yang singkat.
2. Kebijakan depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan
tokoh masyarakat setempat, serta penyuluhan tentang bahaya rabies
secara terus menerus perlu digalakkan agar masyarakat paham betul akan
bahaya rabies.
2. Surveilans terstruktur serta pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan
penular rabies ke wilayah NTB perlu ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
92
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Fischer, M., Wernike, K., Freuling, C.M., Muller, T., Aylan, O., Brochier, B., Cliquet, F.,Vazquez-Moron, S., Hostnik, P., Huovilainen, A., Isakson, M., Kooi, E.A., Mooney, J.,Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revilla-Fernandez, S., Sunreczak, M., Fooks, A.R.,Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B (2013). A Step Forward in Molecular Diagnostic ofLyssaviruses-Results of a Ring Trial among European Laboratories. PLOS ONE. Vol.8. Issue 3. E5
Lankau, E.W., Cohen, N.J., Jentes, E.S., Adam, L.E., Bell, T.R., Blantan, J.D., Buttke, D.,Galland, G.G., Maxted, A.M., Tack, D.M., Waterman, S.H., Ruppecht, C.E. andMarano, N (2013). Prevention and Control of Rabies in an Age of Global Travel: AReview of Travel and Trade Associated Rabies Events, United States, 1998-2012.Zoonoses Public Health. 22: 12071
Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C and Studdert, M.J (2009). Rhabdoviridae. In:Veterinary Virology, 3rd Ed. 429-439.
Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G., Putra,A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr, H. (2009). Situasi Rabies di Bali: Enam BulanPasca Program Pemberantasan. Buletin Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar,Vol. XXI, 74.13-26
Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F.X., Suroso, T and Widarso, H.S. (2004). The RabiesEpidemic on Flores Insland, Indonesia (1998-2003). J. Med. Assoc. Thai. 87(11) 1389-1393
Salman, M.D (2013). Surveillance Tools and Strategies for Animal Disease in Shifting ClimateContext. Anim. Health Res. Rev. 23: 1-4
Supartika, I.K.E., Setiaji, G., Wirata, K., Hartawan, D.H., Putra, A.A.G., Dharma, D.M.N.,Soegiarto dan Djusa, E.R. (2009). Kasus Rabies Pertama Kali di Provinsi Bali. BuletinVeteriner, Vol. XXI; 74. 7-12.
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I. G. J, dan Diarmita, I. K.(2013) . Rabies Pada HewanDi Provinsi Bali Tahun 2008-2012 Bulletein Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar
Townsend, S.E., Lembo, T., Cleaveland, S., Meslin, F.X., Miranda, M.E., Putra, A.A.G.,Haydon, D.T and Hampson, K (2013). Surveillance Guidelines for Disease Elimination:A Case Study of Canine Rabies. Comparative Immunology, Microbiology andInfectious Diseases. 36. 249-261.
93
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHYDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2018
I. Ketut Eli Supartika, Monica Septiani, dan Gede Yudi Suryawan
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAKBovine spongiform encephalopathy (BSE) merupakan penyakit prion zoonosis serta dapatmenimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi perokonomian negara tertular. BalaiBesar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans BSE yang bertujuan untuk mendeteksiberdasarkan pemeriksaan histopatologi dan menganalisa kemungkinan masuknya penyakitBSE pada sapi Bali sebagai tindakan kewaspadaan dini terhadap keberadaan BSE di wilayahkerja BBVet Denpasar.
Informasi dari peternak dan staf dinas peternakan di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menyebutkan bahwa tidak ada indikasi peternaksapi memberikan pakan yang diduga mengandung meat bone meal (MBM) untuk diberikankepada ternak sapi.
Secara histopatologis, 312 sampel medula oblongata dari sapi yang dipotong di rumah potonghewan semuanya negatif BSE, ditandai dengan tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron,gliosis, reaksi astrosit ataupun plak amiloid.
Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini di wilayah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat danNusa Tenggara Timur masih bebas dari BSE.
Kata kunci: BSE, histopatologi, surveilans.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit BSE merupakan penyakit eksotik yang belum pernah dilaporkan di
Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: No.
4026/Kpts/OT.140/ 4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular
Strategis, tanggal 1 April 2013, BSE merupakan satu dari 22 penyakit hewan
menular strategis yang perlu mendapat perhatian dan penanganan prioritas
dari pemerintah. Dari aspek kesehatan hewan meningkatnya lalu lintas
perdagangan hewan dan produknya akan membawa risiko masuknya penyakit
94
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
hewan ke dalam wilayah Indonesia yang dapat mengancam sumberdaya
hewan yang ada di Indonesia (Putri, 2004).
Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Porpinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, merupakan daerah tujuan wisata
banyak mengimpor daging sapi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan
hotel berbintang. Penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak merupakan
sumber potensial penularan penyakit BSE. Disamping itu, intensifikasi
pemeliharaan ternak oleh masyarakat berdampak pada peningkatan
penggunaan konsentrat atau pakan jadi sebagai pakan ternak. Walaupun
belum bisa dibuktikan bahwa konsentrat atau pakan jadi untuk ternak
mempergunakan MBM sebagai bahan baku, akan tetapi tidak ada jaminan pula
bahwa pakan/konsentrat tersebut tidak mempergunakan MBM hasil importasi.
Balai Besar Veteriner Denpasar selama beberapa tahun telah melakukan
surveilan BSE dengan hasil tidak ditemukan adanya indikasi BSE di wilayah
kerja (Supartika dkk, 2010, Hartawan dkk, 2013; Supartika dkk, 2014), namun
demikian dalam rangka melaksanakan PERMENTAN Nomor. 367/Kpts/T
N.530/12/2002, tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas Dari
Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dimana BSE belum ada di
Indonesia namun berpotensi muncul dan menimbulkan kerugian ekonomi,
kemanusiaan, lingkungan dan kesehatan masyarakat maka dipandang perlu
untuk melakukan kegiatan monitoring patologi BSE di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar secara berkesinambungan sebagai pembuktian bahwa
Indonesia masih bebas dari BSE.
1.2. Rumusan Masalah.a. BSE merupakan penyakit zoonosis, keberadaannya di wilayah kerja BBVet
Denpasar perlu dimonitoring agar penyakit ini tidak masuk ke Indonesia
pada umumnya dan wilayah kerja BBVet Denpasar pada khususnya.
b. Indikasi penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat sebagai pakan
ternak juga perlu dipantau karena diduga merupakan sumber potensial
penularan BSE.
95
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1.3. Tujuan KegiatanKegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2018 dilaksanakan dengan tujuan
untuk :
a. Mendeteksi kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak
sapi yang dipotong di RPH.
b. Penelusuran kemungkinan adanya penggunaan limbah hotel dan pakan
jadi/konsentrat yang diberikan ke ternak sapi potong di wilayah kerja Balai
Besar Veteriner Denpasar.
1.4. Manfaat Kegiatan.Manfaat dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2018 adalah :
a. Terdeteksinya kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak
sapi yang dipotong di RPH yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar.
b. Tersedianya data dan informasi tentang penggunaan limbah hotel dan
pakan jadi/kosentrat yang diberikan ke ternak sapi potong.
c. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah
dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit BSE.
1.5. Keluaran/ OutputOutput yang diharapkan dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2017
adalah:
a. Tersedianya data dan informasi tentang kemungkinan adanya BSE secara
histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
b. Tersedianya data untuk pemetaan BSE diwilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar.
c. Tersedianya informasi tentang kemungkinan penggunaanlimbah hotel dan
pakan jadi/konsentrat diberikan ke ternak sapi potong.
96
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
II. TINJAUAN PUSTAKA.
BSE merupakan penyakit neurodegeneratif pada sapi disebabkan oleh prion
yakni “Proteinaceous infectious particles” yang diindentifikasi tahun 1982 oleh
ilmuwan Amerika, Stanley Prusiner. BSE pada sapi menimbulkan gejala klinis
ditandai dengan gejala syaraf dan selalu berakhir dengan kematian. Muncul
pertama kali di Inggris tahun 1986. Penyakit ini menular ke manusia
menibulkan penyakit new varian Creutzfeld Jacob Disease (nvCJD). Masa
inkubasi BSE cukup panjang, menimbulkan penyakit kronis berkelanjutan pada
sistem saraf pusat. Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada gejala klinis
berupa hiperaesthia dan inkoordinasi didukung dengan pemeriksaan
histopatologi berupa adanya degenerasi pada neuron, reaktif astrositosis dan
mikrogliosis. Dampak sosial ekonomi BSE sangat besar, disamping bersifat
zoonosis juga berdampak pada perdagangan internasional. Negara-negara
tertular BSE dilarangan mengekspor produk ternak sapinya ke luar negeri.
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi.Kegiatan analisa risiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2018
dilakukan dengan pengambilan sampel otak sapi (medulla oblongata) di
Rumah Potong Hewan yang berada dibawah pengawasan Pemerintah Daerah/
Dinas Peternakan setempat yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar. Pengambilan sampel otak sapi dilakukan pada bagian obex dari
medulla oblongata. Otak sapi yang diambil sebagai sampel adalah berasal dari
sapi yang berumur 2 tahun keatas.
3.2. Metode.Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada pemeriksaan histopatologik. Pada
kasus BSE, secara histopatologik akan ditemukan lesi pada otak dikenal
97
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
sebagai spongiform encephalophaty. Terjadi degenerasi vakuoler neuron,
gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang (Debeer et al., 2002),
reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid. Surveilans
berbasis risiko akan diterapkan dalam kegiatan surveilans BSE ini. Data
penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat oleh peternak diperoleh
melalui teknik wawancara dengan peternak dan staf petugas dinas peternakan
yang membidangi fungsi peternakan di masing-masing kabupaten/kota di
Provinsi Bali, NTB dan NTT
IV. HASIL
Pengambilan sampel otak sapi untuk pengujian BSE dilakukan di RPH atau
TPH yang berada dibawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang
membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pengambilan sampel
didampingi oleh petugas dari Dinas atau petugas jaga RPH. Untuk wilayah
Provinsi Bali, sampel otak diambil di RPH Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar. Di Provinsi NTB sampel otak diambil di RPH Kota Mataram,
Lombok Barat dan Sumbawa Barat sedangkan di Provinsi NTT diambil di RPH
Oeba di Kota Kupang. Selama tahun 2018, jumlah sampel medulla oblongata
sapi yang di periksa BBVet Denpasar sebanyak 312 sampel. Jumlah sampel
otak yang diambil dan jenis kelamin sapi yang dipotong di masing-masing RPH
kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disajikan pada (Tabel 1)
98
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 1. Jumlah sampel yang diambil, jenis kelamin sapi dan hasilpemeriksaan histopatologi sampel otak yang berasal dari RPHkabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2018.
Jenis Kelamin Hasil UjiNo Prov. Kab./Kota Kecamatan Desa RPH/Pasar Jml
Sampel Jantan Betina BSE(+)
BSE(-)
Bali Badung Abiansemal Mambal Mambal 52 0 52 0 52
Denpasar DenpasarSelatan Sesetan Sanggaran 100 58 42 0 100
Jumlah 152 58 94 0 152
1
NTB LombokBarat Lingsar Lingsar Lingsar 20 20 0 0 20
SumbawaBarat Taliwang Dalam Dalam 15 12 3 0 15
Mataram Cakranegara Majeluk Mejeluk 30 30 0 0 30Jumlah 65 62 3 0 65
2
NTT KotaKupang Kota Lama Oeba Oeba 95 75 20 0 95
Jumlah 95 75 20 0 95
3
Jml.Keseluruhan 312 195 117 0 312
Hasil pengamatan di RPH menunjukkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di
RPH tersebut rata-rata berumur di atas 2 tahun dan kebanyakan berjenis
kelamin betina. Pada pengamatan kegiatan surveilans ditemukan bahwa sapi-
sapi yang dipelihara di Bali dan NTB kebanyakan dikandangkan, sedangkan di
NTT sapi-sapi kebanyakan dilepas pada padang gembalaan. Informasi dari
peternak dan staf dinas peternakan kabupaten/kota yang membidangi fungsi
peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT serta melihat langsung ke lapangan
bahwa peternak tidak ada memberikan pakan komersiil untuk ternak sapinya
apa lagi pemberian pakan unggas komersiil yang diduga mengandung MBM
atau pemberian limbah hotel dan restoran. Sapi-sapi peternak kebanyakan
makan rumput, kadang-kadang diberi pakan tambahan berupa dedak dan
rumput gajah. Pada pemeriksaan sampel medulla oblongata semua sampel
yang berasal dari RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT negatif
BSE. Hasil pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan adanya lesi yang
mengarah ke BSE seperti: degenerasi vakuoler neuron, gliosis, kematian
99
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
neuron tanpa diikuti reaksi radang, reaksi astrosit dan kadang-kadang
menimbulkan plak amyloid (Gambar B).
Gambar A. Mesencefalon sapi positif BSE, terlihat adanya vakuolisasi pada neuron, tanpa adasel radang (H&E, 400X; Sumber: Gubler et al., 2007) B. Histopatologi medula oblongata negatifBSE, tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrosit ataupun plak amyloid(H&E; 200X)
V. PEMBAHASAN
Bovine spongiform encehalopathy merupakan penyakit neurogedegeneratif
fatal dan bersifat zoonosis. Negara-negara yang terjangkit BSE mengalami
kerugian ekonomi yang sangat besar serta berusaha keras untuk
membebaskan kembali negaranya dari penyakit infeksius ini. Indonesia sampai
saat ini merupakan negara bebas BSE. Untuk mempertahankan Indonesia
tetap bebas dari BSE, pemerintah telah mengambil langkah-langkah antara
lain: penghentian importasi hewan ruminansia dan produknya yang berasal dari
negara tertular BSE, pelarangan penggunaan tepung daging dan tulang (TDT)
dan MBM asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia serta melakukan
deteksi dini melalui surveilans dan kajian risiko setiap tahun secara
berkelanjutan. Namun demikian, sejak kasus BSE menurun secara drastis di
sejumlah negara yang pernah terjangkit BSE, pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian
1
3
A B
100
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Republik Indonesia Nomor 23/Permentan/PK.130/4/2015 tentang Pemasukan
dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal Hewan Ke dan Dari Wilayah Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa impor bahan pakan asal hewan harus
berasal dari negara-negara yang bebas BSE.
Hasil surveilan melalui pemeriksaan histopatologi. yang dilakukan oleh Balai
Besar Veteriner Denpasar tahun 2018 di RPH yang ada di kabupaten/kota
yang ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak ditemukan adanya sapi-sapi
yang positif BSE. Pemeriksaan histopatologi merupakan pengujian gold
standar untuk peneguhan penyakit BSE (Cooley et al., 2001). Di Provinsi Bali,
NTB dan NTT tidak ada peternakan sapi berskala besar/komersial. Peternakan
sapi merupakan peternakan rakyat, sebagai usaha sambilan bukan merupakan
usaha pokok. Di Provinsi Bali petani ternak rata-rata memelihara sapi Bali
sebanyak 2 ekor. Pakan yang diberikan adalah rumput, kadang-kadang ada
diberikan dedak atau sedikit mineral blok. Di Provinsi NTB dan NTT ternak sapi
ada yang dikandangkan dan ada juga dilepas di padang pengembalaan. Tidak
ada pemberian pakan komersial yang mengandung MBM atau TDT. Sistem
peternakan sapi yang dilaksanakan oleh sebagian besar peternak sapi di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar sejak dari jaman dahulu telah
menerapkan prinsip-prinsip peternakan organik. Ternak sapi secara alami
diberikan rumput sebagai pakan utama, tidak pernah diberikan pakan yang
berasal dari hewan.
Seperti diketahui bahwa sumber utama penularan BSE adalah melalui
pemberian pakan ternak yang mengandung MBM atau TDT dari ruminansia
yang tercemar prion protein. BSE tidak ditularkan melalui kontak langsung
antar ternak sapi. Di Inggris, pelarangan penggunaan MBM pada pakan ternak
telah menurunkan jumlah kasus BSE secara nyata (Anderson et al., 1996). Di
dalam saluran pencenaan PrPsc oleh sel-sel dendritik usus halus disalurkan ke
organ limfoid skunder (Payer’s patches), limpa, tonsil dan timus untuk
selanjutkan diekspresikan ke sel T dan B (Huang and MacPherson, 2004).
PrPsc selanjutnya melalui mekanisme retrograde transport menuju ke sistem
saraf tepi dan sistem saraf pusat. Akumulasi PrPsc pada otak menimbulkan lesi
101
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
spesifik yaitu: degenerasi neuron, vakuolisasi neural bersifat intrasitoplasmik
tanpa diikuti adanya respon radang, sel-sel astrosit mengalami hipertropi dan
hiperplasia (Scott et al., 1990; Williams and Young, 1993; Wells et al., 1994).
Pada sapi menderita BSE agen penyakit banyak ditemukan di jaringan otak,
spinal cord , retina, bagian distal ileum, tonsil dan trigeminal ganglion.
Hasil pengamatan di RPH kabupaten/kota di Bali, NTB dan NTT didapatkan
data bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif masih tinggi. Para ahli
menyebutkan bahwa jenis kelamin sapi bukan merupakan faktor resiko
penularan penyakit BSE, sehingga baik sapi jantan maupun betina mempunyai
peluang yang sama untuk tertular penyakit BSE selama mendapatkan
perlakuan atau mempunyai resiko paparan yang sama.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan.a. Berdasarkan hasil surveilans BSE yang diadakan di RPH yang ada di
kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disimpulkan bahwa
Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari penyakit BSE.
b. Tidak ada indikasi pemberian konsentrat/pakan komersiil untuk dijadikan
pakan ternak sapi.
2. Saran.Sampai saat ini di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum ditemukan adanya
kasus BSE oleh karena itu pengawasan impor MBM dilakukan secara ketat,
begitu juga terhadap distribusi dan penggunaan MBM tersebut.
102
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R.M., Donnelly, C.A., Ferguson, N.M., Woolhouse, M.E.J., Whatt, C.J., Udy, H.J.,MaWhinney, S., Dunstan, S.P., Southwood, T.R.E., Wilesmith, J.W., Ryan, J.B.M.,Hoinville, L.J., Hillerton, J.E., Austin, A.R and Wells, G.A.H (1996). Transmission dynamicsand epidemiology of BSE in British cattle. Nature. 382. pp. 779-788.
Cooley, W.A., Clark, J.K., Ryder, S.J., Davis, L.A., Farrelly, S.S., and Stack, M.J (2001).Evaluation of a Rapid Western Immunoblotting Procedure for the Diagnosis of BovineSpongiform Encephalopathy (BSE) in the UK. J Comp Pathol. 125(1):64-70.
Debeer, S.O.S., Baron, T.G.M and Bencsik, A.A (2001). Immunohistochemistry of PrPsc withinbovine spongiform encephalopathy brain samples with graded autolysis. The Journal ofHistochemistry & Cytochemistry. 49. pp. 1519-1524.
Gubler, E., Hilbe, M and Ehrensperger, F (2007). Lesion profiles and gliosis in the brainstem of135 Swiss cows with bovine spongiform encephalopathy (BSE). Schweiz ArchTierheilkd.149(3):111-22.
Hartawan, D.H., Wirata, I.K dan Saputra, I.G.N.A.W. (2013). Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Laporan Tahunan. Balai Besar Veteriner DenpasarTahun 2013.
Huang, F.P and MacPherson, G.G (2004). Dendritic cells and oral transmission of priondiseases. Adv. Drug. Deliv. Rev. 56. pp. 901-913.
Putri, T.S.N.H (2004). Langkah Antisipatif Penyakit Eksotis dan Zoonotis dalam PerdaganganInternasional. Wartazoa, Vol. 14 No. 2, pp. 61-64
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Nurlatifah, I., Saraswati, N.K.H, Dharma, D.M.N dan Djusa, E(2010) Surveilans Penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Rumah PotongHewan Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Bulletin Veteriner.Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol. XXII. 76. 33-37
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., dan Uliantara, I.G.A.J (2014) Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur Tahun 2014. Laporan Tahunan. Balai Besar Veteriner DenpasarTahun 2014.
Scott, A.C., Wells, G.A.H., Stack, M.J., White, H. and Dawson, M (1990). Bovine spongiformencephalopathy: detection and quantitation of fibrils, fibril protein (PrP) and vacuolation inbrain. Veterinary Microbiology. 23. pp. 295-304.
Wells, G.A.H., Spencer, Y.I and Haritani. M (1994). Configuration and topographic distributionof PrP in the central nervous system in bovine spongiform encephalopathy: animmunohistochemistry study: Ann NY Acad Sci. 724. pp. 350-352.
Williams, E.S and Young, S (1993). Neuropathology of chronic wasting disease of mule deer(Odocoileus hemionus) and elk (Cervus elaphus nelsoni). Veterinary Pathology. 30. pp. 36-45.
103
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
PROGRAM MONITORING -SURVEILANS RESIDU DAN CEMARANMIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASAL HEWAN DI PROVINSI BALI,
NTB DAN NTT TAHUN 2018
A.A.S.Dewi, Serly.M., Diana M., P.B.Frimananda, Erni. P, N.Riti., A.Kantari.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Persediaan pangan yang aman dan tidak membahayakan kesehatan konsumen melaluipencemaran biologi, kimia atau yang lain adalah hal penting untuk mencapai status gizi yangbaik Perlindungan konsumen dan pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan olehmakanan (foodborne illness) adalah dua elemen penting dalam suatu program keamananpangan dan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri pangan (produsen)dan konsumen. Program Monitoring-Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba (PMSR-CM) tahun2018 ditargetkan untuk mendukung upaya pembinaan dan pengawasan unit usaha produkhewan (sertifikasi nomor kontrol veteriner) terkait dengan kemanan pangan asal hewan.Pengambilan sampel dilakukan di unit usaha produk hewan yang ber-NKV dan yang menujuNKV antara lain : cold storage, distributor, tempat pengolahan daging (TPD), retail/swalayan,rumah potong hewan (RPH-R) dan rumah potong unggas (RPH-U) dengan total jumlah sampeladalah 1896 sampel. Hasil uji menunjukkan bahwa tingkat cemaran mikroba terutama totaljumlah kuman (TPC) relatif rendah yaitu berkisar 2,7x102_2,8x105 koloni/g bila dibandingkandengan persyaratan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam SNI7388:2009 yaitu1x106 koloni/g. Hasil uji terhadap bakteri patogen menunjukkan bahwa semua sampel tidaktercemar bakteri S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter jejuni. Hal ini mengindikasikanbahwa unit usaha produk hewan tersebut telah menerapkan sanitasi dan hygiene yang baikpada mata rantai proses produksi pangan yang merupakan salah satu penilaian kepatuhan dariunit usaha produk hewan dalam menerapkan NKV. Sementara itu hasil uji terhadap residumenunjukkan bahwa hanya 1 (satu) sampel telur mengandung residu antibiotika dan semuasampel khususnya sampel daging sapi tidak mengandung (negatif) residu hormon trenbolonacetat (TBA) dan residu logam berat timbal (Pb). Dalam surveilans ini juga tidak ditemukanadanya pemalsuan (pencampuran) daging babi dan tikus khususnya pada sampel dagingolahan. Dengan demikian pangan asal hewan tersebut aman untuk dikonsumsi.
Kata kunci : Monitoring, surveilans, Residu , Cemaran Mikroba, Pangan Asal Hewan
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan asal hewan seperti daging, telur dan susu adalah pangan yang
mempunyai nilai gizi tinggi. Karena kandungan gizi yang tinggi tersebut pangan
asal hewan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan
perkembangan mikroba, baik mikroba yang menyebabkan kerusakan pada
daging, telur dan susu maupun mikroba yang menyebabkan gangguan
104
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
kesehatan pada manusia yang mengkonsumsi pangan asal hewan tersebut.
Selain bahaya biologis, pangan asal hewan juga memiliki potensi mengandung
bahaya kimiawi dan atau fisik yang dikenal sebagi potentially hazardous foods
(PHF). Oleh sebab itu penanganan produk tersebut harus higienis.
Persediaan pangan yang aman dan tidak membahayakan kesehatan konsumen
melalui pencemaran biologi, kimia atau yang lain adalah hal penting untuk
mencapai status gizi yang baik. Perlindungan konsumen dan pencegahan
terhadap penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne illness) adalah
dua elemen penting dalam suatu program keamanan pangan dan merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri pangan (produsen) dan
konsumen. Terkait dengan kemanan pangan asal hewan, Balai Besar Veteriner
Denpasar setiap tahun melaksanakan pemeriksaan serta pengujian pangan asal
hewan melalui program PMSR-CM .
Program Monitoring-Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba (PMSR-CM)
tahun 2018 ditargetkan untuk mendukung upaya pembinaan dan pengawasan
unit usaha produk hewan (sertifikasi nomor kontrol veteriner), disamping untuk
menyediakan data dan informasi terkait tingkat keamanan produk hewan
(cemaran mikroba dan residu) yang akan beredar dan akan dikonsumsi oleh
masyarakat. Adapun target pengawasan/surveilans untuk pengukuran tingkat
kepatuhan unit usaha meliputi : unit usaha eksportir produk hewan pangan
(dalam bentuk produk hewan segar), unit usaha importir produk hewan pangan
(dalam bentuk hewan segar), unit usaha importir produk hewan pangan (dalam
bentuk bahan jadi maupun bahan baku untuk kebutuhan industri), serta unit
usaha produk hewan untuk tujuan peredaran domestik.
Target kegiatan monitoring-surveilans tahun 2018 untuk pengujian residu dan
cemaran mikroba. Rancangan target sampel disusun berdasarkan matriks
perencanaan sampling (lampiran 1) dengan pendekatan wilayah kerja Balai
Besar Veteriner Denpasar yang disesuaikan dengan data dukung unit usaha
priorotas di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Unit usaha yang belum memiliki
105
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
sertifikat NKV menjadi target prioritas untuk dibina ke arah sertifikat NKV,
sedangkan target surveilans ditentukan prioritasnya dari jumlah unit usaha yang
terdata sudah memiliki sertifikat NKV .
Pelaksanaan kegiatan dimulai dengan tahap perencanaan kegiatan dalam
bentuk penyusunan peta sampling kegiatan di wilayah regional BBVet Denpasar,
pemetaan target sampling disusun dengan melibatkan pengawas kesmavet di
tingkat Provinsi serta dukungan laboratorium UPTD Provinsi Bali, NTB dan NTT.
Dengan pendekatan konsep di atas, diharapkan diperoleh hasil keluaran
kegiatan yang lebih terukur dalam menjamin keamanan produk hewan yang
ASUH. Hal ini dikarenakan pelaksanaan kegiatan difokuskan terhadap unit
usaha yang spesifik dengan ukuran parameter penilaian keamanan yang lebih
spesifik, yang pada akhirnya dapat ditentukan rekomendasi tindak lanjut
pembinaan unit usaha yang lebih implementatif, efektif dan efisien.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan yaitu sampai sejauh mana tingkat kepatuhan unit usaha dalam
menerapkan NKV untuk menyediakan pangan asal hewan yang ASUH.
1.3. Tujuan Kegiatan
a. Mengadakan pemantauan (monitoring) terhadap tingkat residu dan
cemaran mikroba pada produk hewan di setiap rantai unit usaha produk
hewan seperti : Rumah Potong Hewan (RPH), processing plan, tempat
penyimpanan/gudang, tempat penjualan/retail.
b. Mengadakan pengamatan (surveilans) terhadap residu dan cemaran
mikroba yang menjadi fokus risiko tertentu pada jenis produk hewan
tertentu di unit usaha tertentu.
c. Mendukung upaya pembinaan dan pengawasan kepatuhan/seurveilans
sertifikasi unit usaha terkait serta pemenuhan persyaratan teknis
kesehatan masyarakat veteriner.
106
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1.4. Sasaran
Sasaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terwujudnya jaminan
keamanan, kesehatan keutuhan dan kehalalan produk hewan yang dihasilkan
oleh unit usaha pada setiap rantai usaha produk hewan, sehingga menjamin
kualitas dan keamanan produk hewan secara nasional.
1.5. Manfaat
a. Balai Besar Veteriner Denpasar mampu melakukan perancangan konsep
monitoring di wilayah kerja, melakukan pengambilan contoh, serta
melaksanakan pengujian produk asal hewan yang sesuai dengan kaidah
ilmiah yang ditetapkan sehingga diperoleh hasil pengujian yang akurat.
b. Laporan hasil monitoring-surveilans dari hasil pengujian laboratorium
dapat dipakai oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai
dasar untuk mendapatkan gambaran situasi keamanan dan mutu produk
hewan di wilayahnya, yang kemudian secara strategis dapat menentukan
langkah kebijakan dalam rangka mencegah, menurunkan, atau
meminimalkan tingkat kejadian kontaminasi mikroba dan residu bahan
berbahaya pada produk hewan diwilayahnya.
c. Pelaku usaha produk hewan memperoleh manfaat melalui kepastian
pengukuran keamanan dan kualitas produk yang memenuhi persyaratan
teknis dengan dukungan kegiatan ini, sehingga memberikan dampak
positif terhadap kepastian usaha. Pada akhirnya melalui program ini
dapat mendukung upaya Pemerintah dalam memberikan jaminan
keamanan dan ketentraman batin bagi masyarakat konsumen terhadap
ketersediaan produk hewan yang ASUH.
107
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1.6. Analisa resiko PMSR-CM
Tabel 1 .Analisa resiko PMSR-CM
Produk Risiko Sampling unit JenisSampel Ketelusuran
TPC/ALT Pengumpul/Pengemas telur
Telurutuh
Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik
Pengumpul/Pengemas telur
Telurutuh
Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilikSalmonella sp
Pengumpul/Pengemas telur
Telurutuh
Enterobacteriaceae
Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik
Telur ayamkonsumsi
(ayamkomersial)
Residu obat(screeningantibiotik)
Pengumpul/Pengemas telur
Telurutuh
Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik
Residu Hormon* RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam
Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik
E. coli RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam
Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik
Skreening ResiduAB RPH/Cold storage Dg.sapi,
Dg. ayam
Logam berat RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam
Salmonella sp RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam
Karkas
S.sureus RPH/Cold storage Dg.sapi,Dg. ayam
Lokasi unit usaha,pemasok, namapemilik
ALT Retail, distributor Baso,sosis
Nama dan Lokasiunit usaha, bahanbaku daging olahan
Enterobacteriaceae Retail, distributor Baso,sosis
Salmonella sp Retail, distributor Baso,sosis
Olahan daging
S.aureus Retail, distributor Baso,sosis
Nama dan Lokasiunit usaha, bahanbaku daging olahan
Olahan daging Pemalsuan (IDspesies) Retail, distributor Baso,
sosis
Nama dan Lokasiunit usaha, bahanbaku daging olahan
SurveilansAMR padaproduk hewan
Isolat E,coli RPH-U/TPH-U SekumNama dan lokasiunti usaha, pemilik,sumber unggas
108
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1.7. Analisa Resiko Kegiatan Surveilans dan Monitoring PMSR-CM
Tabel 2. Analisa Resiko Kegiatan Surveilans dan Monitoring PMSR-CM
No. Risiko Manajemen Risiko/Solusi1 Jumlah target sampel tidak
tercapaiBerkoordinasi dengan dinas terkaitkepastian jumlah unit usaha yangakan di sampling
2. Waktu pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdirencanakan
Berkoordinasi dengan dinas terkaitserta dinas dinas terkait denganpeternak mengenai kepastianwaktu pengambilan sampelsebelum menuju lokasipengambilan sampel.
3. Jadwal transportasi kekabupaten/kota yang akandikunjungi tidak sesuai denganwaktu kegiatan yang direncanakan( kendala non teknis)
Berkoordinasi ulang dengan dinasterkait mengenai penjadwalanulang waktu kegiatan pengambilansampel termasuk kepada pemilikunit usaha agar dapatmenyesuaikan perubahan jadwalkegiatan.
4. Surat pemberitahuan tentangjadwal surveilans dan monitoringtidak sampai/terlambat diterimaoleh dinas kabupaten/kota yangakan dituju
Koordinasi dengan dinas terkaitatau kontak person sebelum harikeberangkatan dengan saranatelekomunikasi yang tersediamengenai jadwal pengambilansampel yang akan dilakukan .
5. Rusaknya sample yang diambildilapangan karena tidaktersedianya sarana penyimpanana(mesin pendingin) yang layakdilokasi pengambilan sampel
Sampel dapat kita titipkan padadinas terkait/ petugas dilapangan/tempat menginap agardisimpan dalam mesin pendinginselanjutnya dalam perjalanan agarmenggunakan es batu/ice packuntuk menjaga sampel tetap dalamkeadaan baik sampai dilaboratorium.
109
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1.8. Analisa Resiko Pengujian PMSR-CM
Tabel 3. Analisa Resiko Pengujian PMSR-CM
No. Risiko Manajemen Risiko/Solusi1. Bahan kimia yang digunakan
untuk pengujian telah habis/kadaluarsa
Berkoordiansi dengan panitiapengadaan BBVet Denpasar agarbahan kima tersebut segeradiadakan, untuk sementara lakukanpeminjaman pada laboratoriumlaiinya di lingkungan BBvet Denpasar.
2. Peralatan pengujian ada yangrusak/ belum tersedia
Berkoordiansi dengan panitiapengadaan BBVet Denpasar agarperalatan tersebut segera diadakan,untuk sementara lakukan peminjamanpada laboratorium laiinya dilingkungan BBvet Denpasar.
II. MATERI DAN METODA
2. 1 Materi
2.1.1. Bahan
Jenis sampel yang diambil adalah daging sapi, daging babi, daging bebek,
daging olahan, telur ayam dan sekum. Total sampel daging dan telur adalah
1896 dan total sekum adalah 300 sampel.
Sedangkan bahan (media) yang diperlukan untuk pengujian cemaran mikroba
(TPC) mencakup plate count agar (PCA), BPW 0,1%.
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian Salmonella sp antara lain lactose broth,
tetra thionate broth, bismuth sulfit agar, xylose lysine desoxycholate agar,
hektoen enteric agar, triple sugar iron agar, lysine iron agar.
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian E.coli antara lain : Lauryl sulfate
tryptose broth, brilliant green lactose bile broth, Escherichia coli broth, levine’s
eosin methylene blue (L-EMB) agar, plate count agar, MR-VP broth, koser’
citrate broth, tryptone broth, reagen kovac’s, reagen pewarnaan gram, reagen
metyl red indikator, reagen voges proskauer.
110
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian S.aureus dan Campylobacter sp antara
lain : Baird parker agar, egg yolk tellurite emultion, heart infusion broth, TSA,
koagulase plasma kelinci dengan EDTA 0,1%, BPW 0,1%,campylobacter
enrichment broth, modified campy blood-free agar (mCCDA), pepton 0,1%
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian residu antibiotika, residu hormon
trenbolon acetat, logam berat dan identifikasi bakteri Campylobacter jejuni ,
identifikasi spesies babi dan tikus mencakup bakteri (Bacillus cereus ATCC
11778, Bacillus subtilis ATCC 6633, Bacillus stearothermophillus ATCC 7953
dan Kocuria rizophilla ATCC 9341, Campylobacter jejuni ATCC 33560), bacto
pepton, bacto agar, beef extract, yeast extract, glucosa, dextrosa, tryptone, tert
butylmetylether, enzim β- glucoronidase, kit elisa TBA, kit elisa aflatoksin M1,
HNO3, primer babi (Forward 5’ ATG AAA CAT TGG AGT AGT CCT ACT ATT
TAC C 3’, Reverse 5’ CTA CGA GGT CTG TTC CGA TAT AAG G 3’) ukuran
2.1.2. Alat
Peralatan yang dibutuhkan antara lain : pinset, gunting, termos dingin, cawan
petri, incubator, freezer, refrigerator, stomacher, timbangan analitik, anaerobic
jar/incubator CO2, mikro pipet, pipet volumetrik, tabung reaksi, tabung durham,
tabung volumetrik, labu erlenmeyer, ose, api bunsen, pH meter, biosafety
cabinet, laminar air flow, autoclave, gelas ukur, oven, colony counter,
mikroskop, evaporator, homogenizer, elisa reader, AAS, termocycler,
elektroforesis, microwave digestion system, fume hood.
2.2 Metode
2.2.1 Metode surveilans
2.2.1.1 Pemilihan lokasi
Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji cemaran mikroba, residu
antibiotika, residu logam berat, residu hormone trenbolon acetat dan pemalsuan
daging (Identifikasi spesies) adalah unit-unit usaha yang sudah memiliki sertifikat
NKV dan beberapa unit usaha yang belum memiliki sertifikat NKV (didorong
111
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
untuk memiliki sertifikat NKV) yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar (data selengkapnya dalam Tabel 4).
2.2.1.2. Metode sampling
Pemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu
lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya. Alokasi tempat pengambilan
sampel berdasarkan pertimbangan adanya RPH/TPH, retail, distributor dan cold
storage. Pemilihan sampel daging, daging olahan dan telur pada unit-unit
usaha dilakukan secara random sederhana
2.2.1.3 Penanganan dan transportasi sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis. Sampel yang diperoleh disimpan
dan ditransportasikan pada suhu dingin, sedangkan sampel telur diletakkan
dalam wadah telur.
Tabel 4. Nama dan Jenis Unit Usaha yang disampling
1. Provinsi Bali
Nama Unit Usaha No. NKV Jnis UnitUsaha Kab/Kota Jenis
SampelJumlahSampel
PT. CanningIndonesianProduct
TPD-5109030-17 TPD (II) Denpasar Dg.olahan17
Titiles TPD-5109030-16 TPD (III) Denpasar Dg.olahan 22UD. Budi ID-5109031-54 Distributor Denpasar Dg. ayam 20Tiara Dewata KD-5109030-27 Retail Denpasar Dg. sapi 20RPH-KotaDenpasar
RPH-R-5109010-44
RPH-R Denpasar Dg. sapi 21
Titillestari TPD-5109010-21 TPD (II) Denpasar Dg.olahan 25CV. Classic FineFoods ID-5109030 -52 Importir (II) Denpasar Dg. sapi 35
PT. SoejaschBali
TPD-510903030-25
TPD (II) Denpasar Dg. sapi,Dg. ayam 65
PT. Dwi Boga TPD-5109030-24 TPD (III) Denpasar Dg.olahan 68
UD Matu IT-5109031-47 Retail/Pelabelan telur Denpasar Telur
ayam25
PT. HaviIndonesia ID-5109030-42
Distributorbahanmakanan
DenpasarDg.olahan 35
PT. MasuyaGraha TriKencana
- Denpasar Dg. sapi 23
UD DewiUnggas ID-510902045 Distributor Denpasar Dg. ayam 22
112
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
UD Jaya Baru IT-5109030-42 Retail telur Denpasar TelurAyam 20
PT. Dineta Jaya ID-5109010-48 Importir/Distri-butor daging
Denpasar DagingSapi 40
PT. LotteShoppingIndonesia
ID-510901014 Cold Storage(II)
Denpasar Dg danDg.olahan 96
PT. Alam BogaInternusa ID-517101003
Distributormakanan dlmkemasan
DenpasarDg. sapi 40
PT. Aroma DutaRasa Prima TPD-510903015 TPD (II) Denpasar Dg.
olahan 140
PT. Puri PanganUtama ID-5109010-28
Distributor/Coldstorage
Denpasar Dg.Bebek 12
Supra Dinasti - Distributor Denpasar Dg.olahan 30
PT. Lotustrad ID-5103010-11 Importir (Coldstorage ) (I) Badung Dg. sapi 25
PT. Kulina BaliUtama ID-5103010-08
Supplier dagingdan minuman(II)
Badung Dg. Sapi 28
PT. MatahariPutra KD-5103020-19 Retail (Cold
storage (I) Badung Dg danDg.olahan 24
PT. Wahana BogaNusantara ID-5103010-13 Importir (Cold
storage ) (II) Badung Dg. sapi 25
CV. Bayu Lestari ID-5103010-18 Importir (Coldstorage ) (I) Badung Dg. sapi 25
CV. Megah FoodTrading ID-5103020-13 Cold storage
(II) Badung Dg. sapi 39
PT. Satria PanganSejati TPD-5103020-10 TPD (II) Badung Daging 67
PT. Sukanda Jaya ID-5103020-22 Distributor (II) Badung Dg.olahan 106
Carrefour ID-5103020-22Retail/kiosdaging danhasil olahan
Badung Dg danDg.olahan 76
PT. Eloda Mitra ID-5103020-22
Distributormakanandalamkemasan
BadungDagingOlahan 35
RPH MambalTPU Mambal
RPH-R-5103050-32
-
RPH-RTPU Unggas
Badung Dg, sapiSekum
2515
TPU- unggas - TPU -Unggas Denpasar Sekum 100TPU-unggas - TPU-unggas Badung Sekum 50PT. Ciomas AdiSatwa RPU-5102040-09 RPU (II) Tabanan Dg. ayam
Sekum275
UD Rasmin Jaya RPU-5102030-23 RPU (II) Tabanan Dg. ayamSekum
275
PT Kiat AnandaCold storage CS-5104010-56 Cold Storage Gianyar Dg. sapi 39
113
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
2. Provinsi NTB
Nama UnitUsaha No. NKV Jnis Unit
Usaha Kab/Kota JenisSampel
JumlahSampel
UD. Lalo Desa - Retail Sumbawa Dg. sapi 28TPU Unggas - TPU Unggas Bima sekum 50PT. Sukanda Jaya ID-527102002 Distributor Mataram Dg. sapi 25Giant ExpressPanji Tilar
KD-527101104 Mataram Dg. sapi ,Dg.olahan
35
TPU Unggas - TPU Unggas Mataram sekum 50RPH Bangkong - RPH-R Sumbawa Dg. sapi 25TPU Unggas - TPU Unggas Sumbawa Sekum 25
3. Provinsi NTT
Nama Unit Usaha No. NKV Jnis UnitUsaha Kab/Kota Jenis
SampelJumlahSampel
HypermartBundaran PU 5371030012-003 Cold storage Kota
KupangDaging danDg.olahan 30
KFC Flobamora 5371030011-001 Cold storage KotaKupang Dg. ayam 22
Hypermart El Tari 5371030010-005 Cold storage KotaKupang
Daging danDg.olahan 26
KFC Frans Seda 5371040013-007 Cold storage KotaKupang Dg. ayam 22
UD Ratna Mulia - Retail KotaKupang Telur ayam 75
PT. Unggas TimorJaya - Retail Kota
Kupang Telur ayam 25
CV. Aldia - Retail KotaKupang
Daging danDg.olahan 76
RPH Oeba RPH-R KotaKupang Daging sapi 5
2.2.2. Pengujian sampel
a. Cemaran mikroba (TPC, Coliform, E.coli, S.aureus, Salmonella sp
Campylobacter sp. (SNI 2897 : 2008)
Masing-masing sampel ditimbang sebanyak 25 gram, kemudian
dimasukkan dalam mwadah steril, ditambahkan 225 ml BPW 0,1% dan
dihomogenkan selama 1-2 menit (10-1) selanjutnya dibuat pengenceran seri
berkelipatan 10. Dipipet sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran tersebut
dan dituangkan ke dalam cawan petri steril. Kemudian dituangkan 12-15 ml
plate count agar dan diinkubasikan pada suhu 350C selama 24-48 jam
Koloni yang tumbuh dihitung sebagai Total Plate Count (TPC).
114
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Untuk pengujian bakteri Coliform yaitu sampel dari setiap pengenceran 10-
1, 10-2, 10-3 masing-masing diambil 1 ml, dituangkan ke dalam 3 tabung
yang berisi tabung durham dan 9 ml lauryl sulfate trptose broth (LSTB)
Tabung-tabung tersebut diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 350C.
Gas yang terbentuk pada tabung-tabung ini adalah hasil positif dalam uji
pendugaan untuk bakteri Coliform. Selanjutnya dilakukan uji peneguhan
dengan mengambil 1 loop biakan dari tabung LSTB yang positif ke tabung-
tabung brilliant green lactose bile broth (BGLBB) yang diinkubasikan pada
suhu 350C selama 48 ± 2 jam. Bakteri Coliform ditentukan dengan nilai
MPNnya (Most Probable Number) berdasarkan jumlah tabung-tabung yang
mengandung gas pada tabung BGLBB.
Pengujian bakteri E.coli dilakukan dengan mengambil 1 loop dari setiap
tabung LSTB yang positif ke tabung EC broth yang berisi tabung durham
dan diinkubasikan pada suhu 45,50C selama 24-48 jam ± 2 jam. Tabung-
tabung yang menghasilkan gas dinyatakan positif dan diduga bakteri
E.coli. Uji peneguhan dilakukan dengan mengambil 1 loop dari biakan EC
broth yang positif kemudian dibuat goresan pada media L-EMB dan
diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Koloni tersangka dari
masing-masing L-EMB dipindahkan ke PCA miring untuk uji morphologi
dan biokimia. Bakteri E.coli dihitung dengan nilai MPN berdasarkan jumlah
tabung dalam pengenceran EC broth yang positif.
Pengujian Staphylococcus aureus, sampel dari setiap pengenceran
diambil masing-masing sebanyak 1 ml (terbagi dalam 0,4 ml, 0,3 ml, 0,3
ml) dipupuk pada media BPA yang telah ditambahkan egg yolk.,
diinkubasikan pada suhu 350C selama 45-48 jam. Jika dalam pupukan
ditemukan koloni yang khas S.aureus, maka koloni tersebut diisolasi dan
dilarutkan dalam 0,2-0,3 ml BHI broth, kemudian diinkubasikan pada suhu
350C selama 18-24 jam. Sebanyak 0,5 ml koagualse plasma kelinci
ditambahlan ke biakan BHI broth dan diaduk, selanjutnya diinkubasikan
pada suhu 350C dan diperiksa setiap 6 jam untuk melihat terbentuknya
gumpalan.
115
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Pengujian bakteri Salmonella sp (S.enteritidis) sebanyak 25 gram sampel
ditambahkan 225 ml lactose broth, diinkubasikan pada suhu 350C selama
24 jam ± 2 jam. Dari larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam
10 ml tetrathionate broth (TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24
± 2 jam. Dari media tersebut diambil 1 loop digoreskan pada media HE,
XLD dan BSA, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Koloni
yang khas untuk bakteri Salmonella sp diuji pada media TSIA dan LIA.
Koloni yang dicurigai diuji dengan reaksi biokimia dan serologi.
Pengujian bakteri Campylobacter sp, sebanyak 25 gram sampel dan
ditambah 100 ml pepton 0,1%, dicentrifus dingin 16 000 rpm selama 15
menit kemudian supernatannya dibuang. Selanjutnya dipindahkan 3 ml
endapan ke dalam botol sentrifus steril yang berisi 100 ml enrichment
broth. Suspensi tersebut diinkubasikan pada suhu 370C selama 4 jam
dalam kondisi anaerobik. Temperatur inkubasi dinaikkan menjadi 420C
selama 24 jam. Dari suspensi tersebut dibuat pengenceran 1:100 (0,1 ml
dimasukkan ke dalam 9,9 ml pepton 0,1% pepton). Digoreskan 2 ose dari
suspensi ke media agar mCCDA, diinkubasikan pada suhu 420C selama
24-48 jam dalam kondisi anaerobic.
b. Residu antibiotika (bioassay) (SNI 7424 : 2008)
Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dipotong kecil-kecil ditambahkan
pelarut dapar fosfat sebanyak 20 ml dan disentrifus. Setelah disentrifus
diambil supernatannya. Kertas cakram diletakkan di atas media yang telah
ditambahkan bakteri uji sesuai dengan jenis antibiotika yang akan diuji,
kemudian ditetesi dengan suspensi sampel dan kontrol antibiotika
sebanyak 75 ul, diinkubasikan selama 16-18 jam untuk golongan
makrolida dan aminoglikosida pada temperatur 360C ± 10C, golongan
tetrasiklin pada temperatur 300C ± 10C dan golongan penisillin pada
temperatur 550C ± 10C. Diameter hambatan yang terbentuk pada sampel
sebaiknya berada dalam kisaran kurva baku, apabila diameter hambatan
yang terbentuk melebihi nilai kurva baku maka sampel harus diencerkan.
116
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
d. Uji logam berat (Kuantitatif)
Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan diletakkan dalam tabung
microwave. Sampel ditambahkan 5 ml HNO3, kemudian destruksi di dalam
microwave. Selanjutnya pindahkan larutan hasil destruksi ke dalam labu
takar 50 ml. Bilas labu destruksi 3 kali masing-masing dengan 5 ml air
deionisasi. Tepatkan dengan asam nitrat 0,1 M. Selanjutnya sampel
dianalisa dengan Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS).
e. Uji hormon trenbolon
Sebanyak 10 gram sampel di ekstraksi dan dipurifikasi, selanjutnya
dilakukan uji Elisa : ditambahkan 20 ul tiap-tiap larutan standard atau
sampel dan ditambahkan 50 ul larutan enzim conjugate pada masing-
masing lobang plate (well). Selanjutnya ditambahkan 50 ul larutan anti-
trenbolon antibody pada masing-masing well, plate dikocok secara manual
dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian di cuci dengan
aquadest sebanyak 2 kali.
Pada masing-masing well ditambahkan 50 substrat dan 50 ul cromogen,
dikocok pelan-pelan secara manual, diinkubasi pada suhu kamar selama
30 menit dalam ruangan gelap. Selanjutnya ditambahkan 100 ul stop
solution pada masing-masing well. Setelah 30 menit, plate dibaca pada
filter 450 nm.
g. Uji Identifikasi spesies (ID spesies babi dan tikus)
Uji Identifkasi spesies menggunakan metode PCR.
Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan Purelink Viral RNA/DNA
minikit. Volume total reaction mix dalam tube PCR adalah 25 ul yang terdiri
atas 20 ul Master mix dan 5 ul template DNA. Thermocycler disiapkan
dengan program sebagai berikut : predenaturasi (suhu 940C selama 2
menit), denaturasi (suhu 940C selama 30 detik), annealing (550C selama
30 detik), dan ekstensi (720C selama 1 menit) kemudian ditunggu hingga
proses PCR selesai.
117
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Produk PCR kemudian diperiksa dengan elektroforesis gel agarose.
Agarose gel 1% dengan 1 x TBE (Tris Boric EDTA) ditambah 10 ul
ethidium bromide solution. Selanjutnya Run elektroforesis 125 volt, 400
mA selama 35 menit. Visualisasi (untuk melihat pita gen target) digunakan
transluminator ultraviolet dan hasilnya didokumentasikan dengan kamera.
Analisis hasil amplifikasi berdasarkan ukuran dari masing-masing fragmen
atau pita DNA dibandingkan dengan posisi pita dari marker. Hasil
amplifikasi daging babi dengan panjang amplikon 149 bp dan daging tikus
188 bp.
III. HASIL
Hasil uji Total Plate Count (TPC) terhadap 224 sampel pangan asal hewan yang
terdiri atas : daging segar/beku, daging olahan dan telur ayam yang berasal dari
unit-unit usaha produk hewan yang berlokasi di Provinsi Bali, NTB dan NTT nilai
TPC nya berkisar antara 2,7x102_2,8x105 koloni/g untuk sampel daging
segar/beku, 2,0x101-2,8x105 koloni/g untuk sampel daging olahan dan 2,7x102-
9,6x102 koloni/g untuk sampel telur ayam. Hasil selengkapnya tersaji dalam
tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Hasil uji Total Plate Count (TPC) sampel daging dan telur asal unit-unitusaha produk hewan di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018
Provinsi Jenis UnitUsaha
Jenissampel
Jumlahsampel
Nilai TPC(koloni/g)
Interpretasi nilaiTPC
(∑< BMCM)Dg.olahan 45 2,0x101 - 4,8x103 45Dg.ayam 5 1,1x103 - 9,5x103 5
TPD (TempatPengolahanDaging) Dg. babi 5 7,8x102 - 9,6x104 5
Dg.ayam 10 3,1x102 - 2,8x105 10Dg.bebek 2 1,1x103 - 2,0x103 2Dg.sapi 15 4,9x103 - 6,2x103 15Dg.olahan 12 5,9x102 - 1,2x103 12
Distributor
Telurayam
5 4,7x102 - 9,6x102 5
Dg.sapi 5 2,7x102 - 4,8x103 5Retail/swalayanTelurayam
5 2,7x102 - 9,2x102 5
Dg.ayam 5 8,0x103 - 1,3x104 5
Bali
Cold storageDg. babi 5 1,3x103 - 8,6x103 5
118
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Dg.olahan 5 3,9x102 - 7,3x104 5Dg.sapi 19 3,0x102 - 1,9x104 19
Supplier daging Dg.sapi 2 9,9x103 - 1,1x104 2Retail Dg.sapi 2 6,6x104 - 8,7x104 2RPH-R Dg.sapi 2 2,1x104 - 1,7x105 2
NTB
Cold storage Dg.sapi 2 3,2x103 - 8,0x103 2RPH-R Dg.sapi 5 1,8x104 - 1,1x105 5
Dg.sapi 5 7,7x102 - 1,8x103 5DistributorDg.olahan 5 6,0x102 - 3,8x103 5Dg.olahan 16 8,4x103 - 4,7x103 16Dg.ayam 14 1,4x104 - 1,3x105 14
Retail
Telurayam
20 1,2x102 - 8,2x103 20
Dg.ayam 4 1,2x103 - 1,4x104 4
NTT
Cold storageDg.olahan 4 3,5x101 - 9,4x102 4
Total 224 224 (100%)Keterangan : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam StandardNasional Indonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji TPC pada dagingsegar/beku : 1x106 koloni/g, daging olahan : 1x105 koloni/g dan telur segar :1x105 koloni/g.
Dalam tabel 2 dan 3 masing-masing disajikan hasil uji Coliform dan E.coli
sampel daging dan telur. Nilai Coliform terhadap 227 sampel rata-rata <3,6
MPNg dan nilai E.coli terhadap 327 sampel berkisar antara <3,6 – 9,2 MPN/g.
Tabel 2. Hasil uji Coliform sampel daging dan telur asal unit-unit usaha produkhewan di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018
Provinsi Jenis Unit Usaha Jenis Sampel JumlahSampel
NilaiColiform(MPN/g)
Interpretasinilai Coliform(∑< BMCM)
Dg.olahan 40 <3,6 40Dg.ayam 10 <3,6 5Dg.babi 5 <3,6 5
TPD (TempatPengolahan Daging)
Dg.sapi 5 <3,6 5Dg.olahan 25 <3,6 25Dg.sapi 14 <3,6 14Dg.bebek 2 <3,6 2Dg.kambing 2 <3,6 2
Distributor
Telur ayam 5 <3,6 5Dg.sapi 13 <3,6 13Dg.ayam 5 <3,6 5Dg.babi 5 <3,6 5
Cold storage
Dg.olahan 3 <3,6 3Dg.sapi 4 <3,6 4Retail/swalayanDg.olahan 8 <3,6 8Dg.ayam 10 <3,6 10
Bali
RPH-UDg.sapi 2 <3,6 2
119
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Cold storage Dg.sapi 2 <3,6 2NTBDistributor Dg.olahan 5 <3,6 5RPH-R Dg.sapi 2 <3,6 2
Dg.sapi 2 <3,6 2DistributorDg.olahan 5 <3,6 5Dg.olahan 15 <3,6 15Dg.ayam 14 <3,6 14
Retail
Telur ayam 20 <3,6 20
NTT
Cold storage Dg.olahan 4 <3,6 4Total 227 227 (100%)
Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji Coliform pada dagingsegar/beku : 1x102 koloni/g, daging olahan : 10/g, dan telur segar 1x102 koloni/g.
Tabel 3. Hasil uji E.coli sampel daging dan telur asal unit-unit usaha produkhewan di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018
Provinsi Jenis UnitUsaha
JenisSampel
JumlahSampel
NilaiE.coli
(MPN/g)
Interpretasinilai E.coli
(∑ < BMCM )Dg.olahan 43 <3,6 43Dg.ayam 10 <3,6 10Dg.babi 5 <3,6 5
TPD (TempatPengolahanDaging)
Dg.sapi 2 <3,6 2Dg.ayam 10 <3,6 10Dg.olahan 25 <3,6 25Dg.sapi 27 <3,6 27Dg.kambing 2 <3,6 2
Bali
Distributor
Dg.bebek 2 <3,6 2Telur ayam 5 <3,6 5Dg.sapi 9 <3,6 9Dg.olahan 8 <3,6 8
Retail/swalayan
Telur ayam 5 <3,6 5Supplier daging Dg.sapi 5 <3,6 5
Dg.sapi 28 <3,6 28Dg.ayam 6 <3,6 6Dg.babi 5 <3,6 5
Cold storage
Dg.olahan 5 <3,6 5RPH-R Dg.sapi 10 <3,6 10RPH-U Dg.ayam 10 <3,6 10Retail Dg.sapi 5 <3,6 5RPH-R Dg.sapi 5 <3,6 5Cold storage Dg.sapi 5 <3,6 5
NTB
Retail Dg.olahan 5 <3,6 5RPH-R Dg.sapi 5 9,2 5NTTDistributor Dg.olahan 5 <3,6 5
120
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Dg.sapi 5 <3,6 5Dg.olahan 5 <3,6 5Telur ayam 20 <3,6 20Dg.olahan 11 <3,6 11
Retail
Dg.ayam 14 <3,6 14Dg.olahan 4 <3,6 4Dg. sapi 4 <3,6 4
Cold storage
Dg.ayam 12 <3,6 12Total 327 327 (100%)
Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji E.coli pada daging segar/beku :1x101 koloni/g, daging olahan : <3/g, dan telur segar 1x101 koloni/g.
Selanjutnya hasil uji terhadap cemaran bakteri S.aureus, Salmonella sp danCampylobacter sp masing-masing tersaji dalam tabel 4,5 dan 6 di bawah ini.
Tabel 4. Hasil uji S.aureus sampel daging asal unit-unit usaha produk hewan diwilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018
Provinsi Jenis UnitUsaha
JenisSampel
JumlahSampel
NilaiS.aureus(Koloni/g)
Interpretasinilai S.aureus
(∑ <BMCM)Dg.olahan 48 <10 48Dg.sapi 5 <10 5Dg.ayam 10 <10 10
TPD (TempatpengolahanDaging)
Dg.babi 5 <10 5Dg.ayam 10 <10 10Dg.sapi 22 <10 22Dg.bebek 2 <10 2Dg.kambing 2 <10 2
Distributor
Dg.olahan 25 <10 25Dg.sapi 9 <10 9RetailDg.olahan 8 <10 8
Suppier daging Dg.sapi 6 <10 6Dg.sapi 30 <10 30Dg.ayam 6 <10 6Dg.babi 5 <10 5
Cold storage
Dg.olahan 5 <10 5RPH-U Dg.ayam 10 <10 10
Bali
RPH-R Dg.sapi 5 <10 5Distributor Dg.olahan 5 <10 5Retail Dg.sapi 5 <10 5Cold storage Dg.sapi 5 <10 5
NTB
RPH-R Dg.sapi 5 <10 5Dg.olahan 16 <10 16NTT RetailDg.ayam 14 <10 14
121
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Dg.olahan 5 <10 5DistributorDg.sapi 5 <10 5Dg.olahan 4 <10 4Dg.sapi 4 <10 4
Cold storage
Dg.ayam 12 <10 12RPH-R Dg.sapi 5 <10 5
Total 298 298 (100%)
Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji S.aureus pada dagingsegar/beku dan daging olahan : 1x102 koloni/g.
Tabel 5. Hasil uji Salmonella sp sampel daging dan telur asal unit-unit usahaproduk hewan di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT th 2018
Provinsi Jenis UnitUsaha
JenisSampel
JumlahSampel
Hasil UjiSalmonella
sp∑ sesuaiBMCM
Dg.olahan 43 Negatif 43Dg.ayam 10 Negatif 10Dg.babi 5 Negatif 5
TPD (TempatPengolahanDaging)
Dg.sapi 2 Negatif 2Dg.ayam 10 Negatif 10Dg.olahan 25 Negatif 25Dg.sapi 27 Negatif 27Dg.kambing 2 Negatif 2
Bali
Distributor
Dg.bebek 2 Negatif 2Telur ayam 5 Negatif 5Dg.sapi 9 Negatif 9Dg.olahan 8 Negatif 8
Retail/swalayan
Telur ayam 5 Negatif 5Supplier daging Dg.sapi 5 Negatif 5
Dg.sapi 28 Negatif 28Dg.ayam 6 Negatif 6Dg.babi 5 Negatif 5
Cold storage
Dg.olahan 5 Negatif 5RPH-R Dg.sapi 10 Negatif 10RPH-U Dg.ayam 10 Negatif 10Retail Dg.sapi 5 Negatif 5RPH-R Dg.sapi 5 Negatif 5Cold storage Dg.sapi 5 Negatif 5
NTB
Retail Dg.olahan 5 Negatif 5RPH-R Dg.sapi 5 Negatif 5
Dg.olahan 5 Negatif 5NTT
DistributorDg.sapi 5 Negatif 5
122
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Dg.olahan 5 Negatif 5Telur ayam 20 Negatif 20Dg.olahan 11 Negatif 11
Retail
Dg.ayam 14 Negatif 14Dg.olahan 4 Negatif 4Dg. sapi 4 Negatif 4
Cold storage
Dg.ayam 12 Negatif 12Total 327 327
(100%)
Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji Salmonella sp pada dagingsegar/beku, daging olahan dan telur segar : Negatif/25g.
Tabel 6. Hasil uji Campylobacter jejuni sampel daging ayam asal unit- unit usahadi Provinsi Bali dan NTT th 2018
Provinsi Jenis UnitUsaha
Jenissampel
Jumlahsampel
Hasil UjiCampylobacter
∑ sesuaiBMCM
Bali TPD Dg.ayam 5 negatif 5NTT Cold storage Dg.ayam 12 negatif 12Total 17 17 (100%)
Ket : Batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 untuk parameter uji Campylobacter sp pada dagingsegar/beku : Negatif/25g.
Sementara itu hasil uji residu antibiotika terhadap 158 sampel daging dan telur,
menunjukkan sebanyak 1 sampel telur ayam (0,6%) positif mengandung residu
antibiotika golongan penisillin dan golongan makrolida. Hasil selengkapnya
tersaji dalam tabel 7 di bawah ini.
123
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 7. Hasil uji residu antibiotika sampel daging dan telur asal uni-unit usahaproduk hewan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2018
Hasil Uji Residu Antibiotika(∑ posisif)Provi
nsiJenis Unit
UsahaJenis
sampel
Jumlah
sampel
Penisillin
Tetrasiklin
Aminoglikosida
Makrolida
Dg.ayam 7 0 0 0 0Dg.sapi 19 0 0 0 0Dg bebek 2 0 0 0 0Dg.kambing 2 0 0 0 0
Distributor
Telur ayam 5 0 0 0 0Dg.sapi 9 0 0 0 0RetailTelur ayam 5 1 0 0 1Dg.ayam 10 0 0 0 0Dg.babi 5 0 0 0 0
TPD
Dg.sapi 5 0 0 0 0Supplier Dg.sapi 2 0 0 0 0
Dg.sapi 16 0 0 0 0Dg.ayam 5 0 0 0 0Dg.babi 5 0 0 0 0
Coldstorage
Dg.olahan 2 0 0 0 0RPH-U Dg.ayam 4 0 0 0 0
Bali
RPH-R Dg.sapi 4 0 0 0 0Retail Dg.sapi 5 0 0 0 0Coldstorage
Dg.sapi 2 0 0 0 0NTB
RPH-R Dg.sapi 2 0 0 0 0Distributor Dg.sapi 2 0 0 0 0
Telur ayam 20 0 0 0 0Dg.ayam 13 0 0 0 0
Retail
Dg.olahan 1 0 0 0 0Coldstorage
Dg.olahan 4 0 0 0 0
NTT
RPH-R Dg.sapi 2 0 0 0 0Total 158 1
(0,6%)0
(0,0%)0
(0,0%)1
(0,6%)
Dalam tabel 8 tersaji hasil uji residu logam berat Timbal (Pb) terhadap 54
sampel daging sapi. Hasil uji menunjukkan semua sampel (100%) negatif residu
Timbal (Pb). Sedangkan dalam tabel 9 disajikan hasil uji residu hormon
trenbololon acetat (TBA) terhadap 38 sampel daging sapi. Hasil uji menunjukkan
semua sampel (100%) negatif residu hormone TBA.
124
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 8. Hasil uji Residu Logam berat Timbal (Pb) sampel daging sapi asal unit-unit usaha produk hewan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2018
Provinsi Jenis UnitUsaha
Jenissampel
Jumlahsampel
Nilai Absorpsi(ppm)
∑<BMR
Retail Dg.sapi 2 (-0,099) - (-0,111) 2Distributor Dg.sapi 17 (-0,013) - (-0,063) 17Cold storage Dg.sapi 11 (-0,086) - (-0,165) 11Supplierdaging
Dg.sapi 2 (-0,136) - (-0,146) 2
TPD Dg.sapi 2 (-0,017) - (-0,029) 2
Bali
RPH-R Dg.sapi 4 (-0,001) - (-0,099) 4Retail Dg.sapi 2 (-0,122) - (-0,165) 2Cold storage Dg.sapi 2 (-0,003) - (-0,012) 2
NTB
RPH-R Dg.sapi 2 (-0,005) - (-0,004) 2Retail Dg.sapi 2 (-0,115) - (-0,131) 2Distributor Dg.sapi 2 (-0,042) - (-0,181) 2Cold storage Dg.sapi 4 (-0,118) - (-0,169) 4
NTT
RPH-R Dg.sapi 2 (-0,173) - (-0,185) 2Total 54 54
(100%)
Ket : Batas Maksimum Residu (BMR) logam berat (Pb) berdasarkan SNI 7387 :2009, dalam daging sapi : 1,0 mg/kg (ppm)
Tabel 9. Hasil uji Residu Hormon Trenbolon Acetat (TBA) sampel daging sapiasal unit-unit usaha produk hewan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun2018
Provinsi Jenis UnitUsaha
Jenissampel
Jumlahsampel Nilai OD (ppt) ∑<BMR
Retail Dg.sapi 2 284,58 –331,66
2
Distributor Dg.sapi 15 139,05 – 387,86
15
Cold storage Dg.sapi 10 117,02 –336,83
10
Supplierdaging
Dg.sapi 2 278,45 –359,24
2
TPD Dg.sapi 5 135,15 –332,40
5
Bali
RPH-R Dg.sapi 4 100,02 –344,37
4
Retail Dg.sapi 2 126,78 –345,13
2NTB
RPH-R Dg.sapi 2 111,96 –157,55
2
125
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Retail Dg.sapi 2 313,94 –347,44
2
Cold storage Dg.sapi 4 184,30 –317,40
4
NTT
RPH-R Dg.sapi 2 190,76 –340,57
2
Total 38 38 (100%)
Ket : Batas Maksimum Residu (BMR) hormon trenbolon acetat yang ditetapkanCodex Alimentarius Commision (CAC 2003) pada daging : 2 ppb (2000 ppt)
Hasil uji Identifikasi (ID) spesies (pemalsuan daging) babi dan tikus disajikan
dalm tabel 10 dan 11. Sebanyak 121 sampel yang diuji terhadap ID spesies babi
dan sebanyak 105 sampel yang diuji terhadap ID spesies tikus, menunjukkan
hasil negatif.
Tabel 10. Hasil Uji Identifikasi Spesies Babi (Pemalsuan daging babi) sampeldaging asal unit-unit usaha produk hewan di Provinsi Bali, NTb danNTT
Provinsi Jenis UnitUsaha
JenisSampel
JumlahSampel
Hasil Uji IDspesies babi ∑ negatif
Dg.sapi 2 negatif 2RetailDg.olahan 6 negatif 6Dg.olahan 20 negatif 20DistributorDg.sapi 7 negatif 7
TPD Dg.olahan 28 negatif 28Suppierdaging
Dg.sapi 2 negatif 2
Dg.olahan 17 negatif 17
Bali
Cold storageDg.sapi 2 negatif 2
Retail Dg.sapi 2 negatif 2Distributor Dg.olahan 5 negatif 5Cold storage Dg.sapi 2 negatif 2
NTB
RPH Dg.sapi 2 negatif 2Retail Dg.olahan 16 negatif 16
Dg.olahan 4 negatif 2DistributorDg.sapi 2 negatif 2
NTT
Cold storage Dg.olahan 4 negatif 4Total 121 121
(100%)
126
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 11. Hasil Uji Identifikasi Spesies Tikus (Pemalsuan daging tikus) sampeldaging asal unit-unit usaha produk hewan di Provinsi Bali, NTB danNTT th.2018
Provinsi Jenis UnitUsaha
JenisSampel
JumlahSampel
Hasil uji IDspesies tikus ∑ negatif
Distributor Dg.olahan 25 negatif 25Retail Dg.olahan 6 negatif 6
Dg.sapi 12 negatif 12Cold storageDg.olahan 5 negatif 5
Bali
TPD Dg.olahan 28 negatif 28NTB Distributor Dg.olahan 5 negatif 5
Distributor Dg.olahan 4 negatif 4Retail Dg.olahan 16 negatif 16
Dg.sapi 2 negatif 2
NTT
Cold storageDg.ayam 2 negatif 2
Total 105 105(100%)
Selain pengujian terhadap sampel pangan asal hewan (daging dan telur) juga
dilakukan pengujian isolasi dan identifikasi E.coli terhadap 300 sampel sekum
ayam. Hasil uji menunjukkan sebanyak 262 (87,3%) sampel sekum dapat
diisolasi E.coli Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 12 dibawah ini.
Tabel 12. Hasil isolasi dan Identifikasi E.coli pada sekum ayam yang berasal dariRPH-U dan TPH-U di Provinsi Bali dan NTB th 2018
Provinsi Jenis UnitUsaha
Jenissampel
Jumlahsampel
∑E.colipositif
∑ E.coliNegatif
RPH-U Sekum 10 9 1BaliTPH-U Sekum 165 146 19
NTB TPH-U Sekum 125 107 18Total 300 262 (87,3%) 38 (12,7%)
127
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
IV. PEMBAHASAN
Dalam kajian keamanan cemaran mikroba berdasarkan SNI 7388:2009, Angka
Lempeng Total (Total Plate Count), Coliform, Eschericia coli, Staphylococcus
aureus, Salmonella sp, Campylobacter sp dan Listeria monocytogenes adalah
mikroba yang keberadaannya dalam pangan pada batas tertentu dapat
menimbulkan risiko terhadap kesehatan (Anon., 2009).
Total Plate Count (TPC) menunjukkan jumlah mikroba dalam suatu produk. Total
plate Count secara umum tidak terkait dengan bahaya keamanan pangan
namun kadang bermanfaat untuk menunjukkan kualitas, masa simpan/waktu
paruh, kontaminasi dan status higienis pada saat proses produksi. Winarno
(1980) menyatakan bahwa TPC adalah suatu metode yang berfungsi untuk
menentukan kecukupan sanitasi dan kontrol suhu selama proses pengangkutan
dan penyimpanan bahan pangan, menentukan kapan suatu kerusakan bahan
pangan itu dimulai dan untuk menyatakan sumber kontaminasi. Jumlah mikroba
pada daging dapat meningkat karena beberapa faktor antara lain kontaminasi
lingkungan, adanya perkembangan mikroba secara normal di dalam daging,
sanitasi dan higiene yang buruk dan adanya kontaminasi selama proses
penanganan awal hingga penanganan akhir (Purwanti, 2006).
Hasil uji Total Plate Count (TPC) terhadap 224 sampel pangan asal hewan yang
terdiri atas : daging segar/beku, daging olahan dan telur ayam yang berasal dari
unit-unit usaha antara lain : cold storage, retail/swalayan, tempat pengolahan
daging, distributor dan rumah potong hewan yang memiliki sertifikat NKV
maupun yang menuju NKV yang berlokasi di Provinsi Bali, NTB dan NTT, nilai
TPC nya berkisar antara 2,7x102_2,8x105 koloni/g untuk sampel daging
segar/beku, 2,0x101-7,3x104 koloni/g untuk sampel daging olahan dan 2,7x102-
9,6x102 koloni/g untuk sampel telur ayam. Hasil uji menunjukkan bahwa total
jumlah mikroba yang mengkontaminasi pangan tersebut relatif rendah bila
dibandingkan dengan persyaratan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM)
yang ditetapkan dalam SNI 7388:2009 yaitu 1x106 koloni/g untuk daging
segar/beku, 1x105 koloni/g untuk daging olahan dan telur. Relatif rendahnya
128
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
nilai total jumlah kuman, mengindikasikan bahwa tingkat higiene dan sanitasi di
unit-unit usaha tersebut memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik yang
merupakan dasar dari penerapan NKV.
Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang
Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner yang disebut dengan Nomor Kontrol
Veteriner (NKV) adalah Sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah
dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan
keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan. Adapun
pelaku usaha yang wajib memiliki NKV adalah : rumah pemotongan hewan
(RPH-R), rumah pemotongan unggas (RPH-U), usaha budidaya unggas petelur,
usaha pemasukan/usaha pengeluaran (produk hewan), usaha distribusi / usaha
ritel, pelaku usaha yang mengelola gudang pendingin (cold storage), dan
toko/kios daging (meat shop), pelaku usaha yang mengelola unit pendingin susu
(milk cooling centre), dan gudang pendingin susu, pelaku usaha yang
mengemas dan melabel telur.
Hasil pengujian terhadap cemaran Coliform dan E.coli menunjukkan nilai
Coliform terhadap 227 sampel rata-rata <3,6 MPN/g dan nilai E.coli terhadap
327 sampel berkisar antara <3,6 – 9,2 MPN/g. Hasil uji ini mengindikasikan
bahwa tingkat cemaran Coliform dan E.coli juga relatif rendah bila dibandingkan
dengan persyaratan BMCM dalam SNI yaitu 1x102 koloni/g untuk Coliform dan
1x101 koloni/g untuk E.coli.
Kelompok bakteri Coliform terdiri dari beberapa genus bakteri yang termasuk
family Enterobacteriaceae. Bakteri ini merupakan mikroba indikator dan
umumnya tidak bersifat patogen. Keberadaannya mengindikasikan adanya
bakteri patogen lain karena bakteri patogen biasanya berada dalam jumlah
sedikit sehingga sulit untuk memonitor secara langsung. Dari hasil uji Coliform
ini dapat diindikasikan bahwa tidak ada bakteri patogen lain yang mencemari
pangan asal hewan yang disampling di unit-unit usaha.
Sementara itu dalam kajian keamanan, bakteri Escherichia .coli merupakan
bakteri berbentuk batang pendek, gram negatif, ukuran 0,4 um – 0,7 um x 1,4
129
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
um, dan beberapan strain mempunyai kapsul. Terdapat beberapa strain E.coli
yang patogen dan non patogen. Strain patogen E.coli dapat menyebabkan
kasus diare berat pada semua kelompok usia melalui endotoksin yang
dihasilkannya. Sumber pencemaran E.coli adalah feses, saluran pencernaan
hewan atau manusia. Escherichia. coli yang bersifat hemolitik dapat
menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin dari kuman tersebut diabsorbsi
pada sel endothelial dimana reseptor toksin banyak terdapat seperti di ginjal
sehingga akan menimbulkan gejala klinik seperti haemolitik uremik syndrome
(HUS) dan juga disaraf sehingga dapat juga menimbulkan gejala syaraf. Sanitasi
yang baik, memasak daging sampai suhu 650 C merupakan cara untuk
mengontrol E.coli (Anonimus, 2009).
Sementara itu, dari hasil uji terhadap terhadap beberapa bakteri yang
dikatagorikan membahayakan (patogen) seperti S.aureus, Salmonella sp dan
Campylobacter jejuni menunjukkan bahwa sampel daging dan telur yang
diperiksa tidak terkontaminasi bakteri patogen. Hal ini ditunjukkan dari pengujian
terhadap sampel daging dan telur, hasil uji menunjukkan semua sampel tidak
mengandung bakteri S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter, meskipun
dalam persyaratan yang ditetapkan dalam SNI bahwa bakteri S.aureus masih
diperbolehkan ada dalam pangan asal hewan sebanyak 1 x 102 koloni/gram,
sedangkan bakteri Salmonella sp dan Campylobacter sp tidak boleh ada dalam
pangan asal hewan.
Bakteri Salmonella merupakan mikroflora normal pada beberapa hewan,
terutama babi dan unggas. Sumber mikroba ini antara lain air, tanah, serangga,
lingkungan pabrik, dapur, feses hewan, daging mentah, unggas mentah dan lain
lain. Pangan asal hewan berupa daging dan telur mentah sering ditemukan
bakteri Salmonella terutama pada kasus sporadik dan wabah Salmonellosis
pada manusia (Schlundt, et al., 2004). Berdasarkan kajian keamanan pangan
sesuai SNI 7388 : 2009 kasus keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini
biasanya terjadi jika manusia menelan pangan yang mengandung Salmonella
dalam jumlah signifikan.
130
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Jumlah Salmonella yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu antara 107 –
109 koloni/gram. Kontaminasi Salmonella juga dapat terjadi pada ternak.
Kontaminasi pada ternak dapat terjadi sebelum disembelih yaitu akibat
kontaminasi horizontal eksternal pada telur-telur saat pengeraman telur ayam
pedaging sehingga akan dihasilkan daging ayam yang terkontaminasi oleh S.
enteritidis, selama penyembelihan, selama atau setelah pengolahan (Supardi
dan Sukamto, 1999).
Sementara itu, daging olahan sering tercemar bakteri S.aureus, namun pada
surveilans ini tidak ditemukan adanya bakteri S.aureus mencemari pangan
tersebut. Bakteri S.aureus sering ditemukan sebagai mikroflora normal pada kulit
dan selaput lendir manusia. Dapat meyebabkan infeksi baik pada manusia
maupun pada hewan. Walaupun pengolah pangan merupakan sumber
pencemaran pangan yang utama, peralatan dan lingkungan dapat juga menjadi
sumber pencemaran S.aureus. Mencuci tangan dengan teknik yang benar,
membersihkan peralatan dan membersihkan permukaan penyiapan pangan
diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri ke pangan.
Campylobacter jejuni merupakan salah satu bakteri patogen yang mencemari
ayam maupun karkasnya. Cemaran bakteri ini pada ayam tidak menyebabkan
penyakit, tetapi mengakibatkan penyakit yang dikenal dengan nama
campylobacteriosis pada manusia. Penyakit tersebut ditandai dengan diare yang
hebat disertai demam, kurang nafsu makan, muntah dan leukositosis. Menurut
Poloengan et al. (2005), 20−100% daging ayam yang dipasarkan di Jakarta,
Bogor, Sukabumi, dan Tangerang tercemar bakteri Campylobacter jejuni. Oleh
karena itu, berkembangnya industri jasa boga di Indonesia perlu mendapatkan
perhatian, terutama dalam kaitannya dengan penyediaan pangan asal unggas.
Secara umum, hasil uji cemaran mikroba menunjukkan bahwa tingkat
kontaminasi bakteri yang mencemari pangan asal hewan yang berasal dari unit-
unit usaha yang memiliki sertifikat NKV dan beberapa unit usaha yang menuju
NKV di Provinsi Bali, NTB dan NTT relatif rendah. Dengan demikian waktu paruh
131
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
atau masa simpan daging tersebut relatif lebih lama (bertahan lama pada suhu
ruang) sehingga menyebabkan daging tidak cepat busuk. Hasil uji ini juga
mengindikasikan bahwa status higiene dan sanitasi pada mata rantai produksi
pangan asal hewan memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi yang baik.
Selain diuji terhadap cemaran mikroba, sampel pangan asal hewan juga diuji
terhadap 4 (empat) golongan residu antibiotika yaitu golongan Penicillin,
Tetrasiklin, Aminoglikosida dan Makrolida. Hasil uji menunjukkan bahwa
sebagian besar sampel pangan asal hewan tidak mengandung residu
antibiotika. Hanya 1 sampel yaitu sampel telur ditemukan adanya residu
antibiotika golongan penicillin dan makrolida.
Residu merupakan bahan-bahan obat atau zat kimia dan hasil metabolit yang
tertimbun dan tersimpan di dalam sel, jaringan atau organ serta kandungan yang
tidak diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan sekitar
(Anonimus, 2005). Pangan asal hewan seperti telur lebih banyak mengandung
residu antibiotika dibandingkan daging. Hal ini bisa terjadi mengingat ternak
unggas terutama ayam petelur yang dipelihara secara intensif dan dalam kurun
waktu yang cukup lama sehingga seluruh waktu hidupnya mendapatkan
antibiotika yang ditambahkan dalam pakan maupun dalam minuman. Antibiotika
golongan penisillin merupakan senyawa antibakterial yang cukup potensial dan
efektif terhadap berbagai spesies Gram negatif dan Gram positif. Antibiotika
golongan penisillin juga sering ditambahkan dalam pakan dan efektif untuk
menstimulasi laju pertumbuhan, berat dan komposisi karkas dan efisiensi
konversi pakan pada ternak muda (Soeparno, 1994). Tylosin merupakan
antibiotika golongan makrolida yang diisolasi dari Streptomyces fradie yang
merupakan obat pilihan untuk mengobati penyakit karena infeksi bakteri gram
positif salah satunya adalah untuk mengobati penyakit CRD pada unggas.
Pemakaian antibiotika yang tidak bijaksana untuk pengobatan maupun
pemakaian antibiotika pada hewan sebagai pengobatan , pencegahan penyakit
dan pemacu pertumbuhan dapat menjadi kontribusi terjadinya resistensi
antibiotika baik pada manusia maupun hewan (Barton, 2000). Oleh sebab itu
132
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
pemakaian antibiotika pada peternakan sebaiknya dikontrol dengan melakukan
pengawasan yang ketat terhadap pemakaian antibiotika di peternakan.
Sementara itu, hasil pengujian hormon trenbolon acetat (TBA) terhadap sampel
daging sapi menunjukkan bahwa nilai kandungan hormon TBA terdeteksi pada
sampel daging sapi dengan nilai konsentrasi berkisar antara 100,02-387,86 ppt.
Nilai kandungan hormon TBA ini masih dibawah batas maksimum residu
(maximum residue limits) TBA yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius
Commisions (CAC) yaitu 2 ppb (2000 ppt) untuk sampel daging sehingga
dikatagorikan negatif. Hasil uji ini juga mengindikasikan bahwa kemungkinan
ternak sapi tidak diberikan hormon trenbolon ataupun kalau diberikan hormon
trenbolon telah mengikuti aturan waktu henti obat (withdrawal times) yang telah
ditetapkan yaitu sekitar 60 hari (Widiastuti, dkk. 2007), sehingga sampel daging
sapi tersebut aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon
trenbolon asetat.
Penggunaan hormon pertumbuhan seperti TBA dipeternakan sapi bertujuan
untuk meningkatkan berat karkas, rata-rata pertumbuhan dan efisiensi pakan.
Trenbolon asetat adalah hormon steroid sintetik yang diimplantasikan secara
subkutan atau diberikan secara oral pada sapi dan domba. Trenbolon asetat
pada daging meninggalkan residu 17β-trenbolon, sedangkan pada hati berupa
17α-trenbolon. Trenbolon memberikan efek negatif terhadap organ reproduksi
mamalia dari berbagai spesies.
Hormon TBA digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru,
Australia, Afrika Selatan, Meksiko dan Chile sejak tahun 1970, namun tidak
digunakan di negara-negara Uni Eropa. Sedangkan di Indonesia penggunaan
dan peredaran TBA masih dilarang dan diklasifikasikan dalam golongan obat
keras berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994.
Widiastuti, dkk (2007) menjelaskan bahwa Indonesia mengimpor daging sapi
dari Australia sehinga pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap residu
hormon tersebut.
133
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Hasil uji daging sapi terhadap residu logam berat khususnya Timbal (Pb)
menunjukkan nilai (-0,001)-(-0,181) yang dikatagorikan tidak terdeteksi (negatif).
Namun demikian beberapa penelitian menemukan residu Timbal pada beberapa
hati sapi. Menurut Bahri (2008), pencemaran Timbal (Pb) pada pangan hewani
dapat terjadi pada proses praproduksi, produksi, dan proses pasca-produksi.
Praproduksi mencakup proses pembibitan dan pemeliharaan hewan ternak.
Pencemaran pada saat praproduksi bisa saja terjadi melalui udara yang
tercemar dari kendaraan bermotor. Rumput liar yang digunakan sebagai pakan
ternak mengandung kadar Timbal (Pb) yang cukup tinggi, terutama rumput yang
diambil dari lokasi dekat dengan jalan raya karena tingginya emisi Timbal (Pb)
dari kendaraan bermotor.
Oleh karena itu perlu diperhatikan sumber pakan dan lokasi pemeliharaan sapi.
Sumber pakan dan kualitas udara sekitar peterrnakan merupakan faktor resiko
pencemaran timbal (Pb) terhadap sapi. Oleh karena itu, sangat penting untuk
memilih lokasi yang jauh dari jalan raya dan tempat pembuangan sampah baik
untuk lokasi peternakan sapi maupun lokasi sumber pakan sapi. Akan tetapi
masih banyak peternak yang tidak memperdulikan hal ini.
Hasil uji Identifikasi spesies daging babi dan tikus (pemalsuan daging babi dan
tikus) terhadap beberapa daging segar dan daging olahan menunjukkan hasil
negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa sampel daging segar dan daging olahan
tersebut utuh (tidak dicampur) dengan daging babi atau tikus.
134
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gambaran situasi tingkat
cemaran/kontaminasi mikroba terhadap pangan asal hewan yang berasal dari
unit-unit usaha yang ber-NKV maupun yang menuju NKV di wilayah Provinsi
Bali, NTB dan NTT relatif rendah bila dibandingkan dengan persyaratan yang
ditetapkan dalam SNI 7388;2009. Sampel pangan asal hewan tersebut juga
tidak tercemar mikroba patogen. Hal ini mengindikasikan bahwa unit-unit usaha
tersebut telah menerapkan sanitasi dan hygiene yang baik mata rantai proses
produksi pangan yang merupakan salah satu penilaian kepatuhan dari unit-unit
usaha tersebut dalam menerapkan NKV.
Sementara itu, pangan asal hewan juga masih aman untuk dikonsumsi dari
aspek kandungan residu antibiotika, hormon Trenbolon Acetat (TBA), Logam
berat Timbal (Pb), dan aman dari pencampuran /pemalsuan daging babi dan
tikus.
5.2. Saran
- Disarankan kepada Pemerintah Pusat dan Derah melalui Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan agar secara rutin melakukan pengawasan dan
penilaian terhadap kepatuhan unit-unit usaha dalam menerapkan NKV.
- Melakukan pembinaan terhadap unit-unit usaha yang menuju NKV sehingga
semua unit usaha yang memproduksi pangan asal hewan memiliki sertifikat
NKV, dengan demikian akan terwujudnya jaminan keamanan, kesehatan
keutuhan dan kehalalan produk hewan yang dihasilkan oleh unit usaha pada
setiap rantai usaha produk hewan, sehingga menjamin kualitas dan keamanan
produk hewan secara nasional.
135
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2005. Foodborne Disease Salmonellosis. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.
Anonimus, 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasilolahannya. SNI 2897 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.
Anonimus, 2008. Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada daging, telur dan sususecara bioassay. SNI 7424 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.
Anonimus, 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI 7388 :2000. StandarNasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.
Anonimus, 2013. Metode pengujian kadar logam berat (Pb) dan kadmium (Cd) dalam daging,telur, susu dan olahannya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom(SSA). SNI 7853 :2013. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.
Barton, M.D.2000. Antibiotic use in animal feed and its impact on human health. NutritionResearch Review. 13 (2) : 1-19.
Bahri, S., 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia, JurnalPengembangan Inovasi Pertanian, Hal 225- 242.
Poeloengan, Masniari, Noor, Susan Maphilindawati, 2004. Isolasi Campylobacter jejuni padadaging ayam dari pasar tradisional dan supermarket. Prosiding Seminar NasionalTeknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 29-30 September 2003. p.522-526.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke dua. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.
Supardi, I. dan Sukamto, 1999. Mikroorganisme Penyebab Penyakit Menular. DalamMikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan Pangan. Edisi Pertama, YayasanAdikarya IKAPI dengan The Ford Foundation. Hal. 157-173
Schlundt, J., H. Toyofuku, J. Jansen dan S.A. Herbst , 2004. Emerging Food-Borne Zoonoses.Rev.Sci.Tech.Off.Int.Epiz 23(2): 512-515, 522-527.
Richard, J.L., 2007. Some major mycotoxins and their mycotoxicosis : An overview. InternationalJournal of food Microbiology 11:3-10.
Widiastuti, R., Indraningsih, T.B. Murdiati, dan R. Firmansyah, 2007. Residu trenbolon padajaringan dan urin dari sapi jantan muda peranakan ongole yang diimplantasi dengantrenbolon acetat. JITV. 12 (1) : 60,67.
136
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS DALAM RANGKA UPAYA PEMBEBASAN PENYAKITJEMBRANA DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2018
Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana, I Ketut Mayun,I Nengah Mundera, I Wayan Ekaana dan Dati Purnawati
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Penyakit Jembrana (Jembrana disease/JD) merupakan salah satu penyakit hewan menularstrategis (PHMS) yang perlu mendapatkan prioritas dalam pengendalian danpemberantasannya. JD di Bali sudah endemik dan hingga saat ini merupakan salah satukendala dalam pengeluaran sapi bibit dari Bali. Pada bulan Mei sampai dengan Desember2018 telah dilakukan surveilans untuk mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka pemetaanpenyakit dan upaya pembebasan JD di provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan di delapanKabupaten di Bali, berbasis desa dan selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkansebanyak 22.798 sampel serum dan 22.798 sampel darah dengan antikoagulan EDTA. Semuasampel serum diuji ELISA menggunakan antigen Jembrana J Gag 6 histidin, sedangkansampel darah EDTA diuji PCR. Hasil surveilans menunjukkan tidak ditemukan adanya gejalaklinis dan kasus positif JD di semua lokasi surveilans. Hasil uji ELISA menunjukkan dari22.798 sampel serum yang diuji ELISA hanya 2(0.009%) diantaranya seropositif JD.Sedangkan hasil uji PCR terhadap 22.798 sampel darah EDTA, menunjukkan semua sampelnegatif virus JD. Dari hasil surveilans dapat disimpulkan bahwa situasi JD di Bali cukupterkendali dengan prosentase seropositif sangat rendah, dan tidak ditemukan hewan carrier /positif virus JD. Perlu dilakukan surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur,peningkatan pengawasan lalu lintas ternak serta pengendalian dan pemberantasan vektor.
Kata Kunci : Penyakit Jembrana, surveilans, sapi Bali
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sapi Bali adalah salah satu dari tiga ras sapi di dunia , merupakan salah satu
plasma nutfah/ primadona Indonesia dan diharapkan mampu menggantikan
posisi sapi import dalam memenuhi kebutuhan daging sapi di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena sapi Bali memiliki beberapa keunggulan antara lain
mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan,
calving interval yang sangat pendek, kualitas daging yang cukup bagus namun
di balik keunggulan yang dimiliki tersebut sapi Bali memiliki kelemahan yaitu
sangat peka terhadap penyakit Jembrana.
137
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Penyakit Jembrana/Jembrana disease (JD) merupakan salah satu penyakit
virus yang menyerang sapi Bali, disebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae.
(Wilcox et al., 1992). Kasus JD di Bali pertama kali dilaporkan terjadi pada
tahun 1964, hingga saat ini JD endemik di Bali dan telah menyebar ke
beberapa daerah di luar Bali seperti Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan,
Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Tengah (Hartaningsih, 2005).
Keberadaan JD di Bali sampai saat ini masih merupakan salah satu kendala
dalam pengiriman sapi bibit ke luar Bali sehingga berdampak dalam
pengembangan peternakan sapi Bali di Provinsi Bali. Hal ini disebabkan karena
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No: 46 Tahun 2011
mensyaratkan agar semua bibit sapi Bali yang akan diantapulaukan harus
benar-benar bebas JD untuk mencegah penyebaran JD ke luar pulau Bali
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian : SK Mentan No
:4026/Kpts.OT.140/3/2013, JD merupakan salah satu penyakit strategis di
Indonesia yang harus mendapatkan prioritas dalam penanggulangan dan
pemberantasannya. Salah satu upaya pencegahannya adalah dengan cara
vaksinasi. Dalam upaya pencegahan JD di Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali
telah melakukan vaksinasi JD dengan menggunakan vaksin JD Vacc Sp 15,
produksi Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar berturut-turut selama 4 tahun
dari tahun 2001-2004 dengan cakupan vaksinasi kurang dari 70%. Vaksinasi
hanya dapat dilakukan di beberapa daerah saja karena keterbatasan jumlah
vaksin yang tersedia, sehingga cakupan vaksinasi sangat rendah, akibatnya
masih banyak sapi yang berisiko terserang penyakit Jembrana. Dalam kurun
waktu 2005 sampai dengan 2011 vaksinasi JD tidak pernah dilakukan lagi,
Vaksinasi JD dilakukan kembali mulai akhir tahun 2012, tahun 2013 dan 2014
terbatas pada beberapa Kelompok Ternak SIMANTRI dan ternak masyarakat.
Dalam rangka mengetahui situasi JD di Bali, BBVet Denpasar telah melakukan
surveilans dan monitoring JD secara rutin setiap tahun dan melakukan uji
serologis (ELISA) untuk mendeteksi antibodi terhadap JD dan uji PCR untuk
mendeteksi adanya virus JD. Hasil surveilans dan monitoring JD yang
dilakukan BBVet Denpasar, selama lima tahun terakhir menunjukkan trend
138
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
terjadinya penurunan seropositif dan positif virus JD,. Berdasarkan data
tersebut sangat mungkin dilakukan upaya pembebasan JD di Bali . Selain itu
tidak adanya pemasukan sapi ke provinsi Bali juga sangat mendukung
pembebasan JD di provinsi Bali. Bebasnya JD di Bali akan berdampak positif
terhadap pengembangan peternakan sapi di Bali karena bibit sapi asal Bali
akan dapat dintarpulaukan sehingga akan meningkatkan pendapatan
peternak dan pendapatan asli daerah (PAD) Bali
Upaya pembebasan JD di Bali telah diputuskan oleh Dirjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan, pada rapat bersama dengan BBVet Denpasar, BBPMSOH,
dan Pusvetma tanggal 14 Pebruari 2015 di Denpasar Selain itu upaya
pembebasan JD di Bali juga telah disetujui oleh Dinas Peternakan Provinsi
Bali, dan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota se-Bali, Kepala BBVet
Denpasar dan staf , Expert penyakit Jembrana (Dr Hartaningsih, Dr Anak
Agung Gde Putra,) dan ahli epidemiologi Prof Setyawan Budiharta pada rapat
khusus penyakit Jembrana di Denpasar tanggal 3 Maret 2015, Untuk
mengetahui situasi JD di provinsi Bali pada tahun 2018, telah dilakukan
surveilans dan monitoring JD.
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Sampai saat ini penyakit Jembrana/Jembrana disease (JD) di Bali bersifat
endemik, sehingga ada larangan pengeluaran bibit sapi Bali dari provinsi
Bali.
2. Hasil monitoring BBVet Denpasar selama enam tahun terakhir
menunjukkan rendahnya seropositif JD , namun kasus JD tidak pernah
terjadi.
1.3. Tujuan KegiatanSurveilans dan monitoring ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka upaya pembebasan JD
sehingga bibit sapi asal Bali boleh diantarpulaukan
139
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
2. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus JD sebagai
dasar penentuan program surveilans selanjutnya
1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD di Bali sebagai bahan
masukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam
upaya pembebasan JD di Bali
2. Terpetakannya situasi JD di Bali dalam rangka pembebasan JD
1.5. OutputOutput/keluaran yang diharapkan dari surveilans dan monitoring ini adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD, terkait upaya
pembebasan JD di Provinsi Bali .
2. Provinsi Bali bebas JD sehingga bibit sapi asal Bali boleh
diantarpulaukan untuk meningkatkan PAD provinsi Bali dan mendukung
penyediaan bibit sapi Nasional.
II. MATERI DAN METODA
BAHAN DAN ALATBahan dalam surveilans ini meliputi bahan-bahan untuk isolasi PBMC, KIT
untuk ekstraksi DNA, bahan untuk uji ELISA dan PCR, sedangkan alat-alat
dalam surveilans ini meliputi : alat-alat untuk pengambilan sampel darah dan
serum, alat-alat untuk uji ELISA dan PCR
140
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
METODEProgram pembebasan penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam tiga
tahapan sampling yaitu Langkah pertama preliminary studi, langkah kedua
merupakan survey deteksi penyakit di tingkat kecamatan, desa, sensus tingkat
individu ternak dan tahap ketiga adalah eliminasi ternak carrier serta evaluasi
program pembebasan. Algoritme tahapan pengambilan dan pengujian sampel
upaya pemberantasan penyakit Jembrana di provinsi Bali dapat dilihat sebagai
berikut:
Metode Surveilans
Surveilans Terstruktur
Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah serum dan darah sapi Bali dari
ternak Simantri dan masyarakat di wilayah Bali. Surveilans pembebasan
penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam dua tingkat unit observasi
yaitu :
1. Unit observasi desa
Desa yang akan dilakukan pengambilan sampel dipilih menggunakan metode
detect presence of the disease dari Martin et al (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x[N-(d-1)/2] dengan tingkat kepercayaan 95 %, n adalah besaran sampel, P1
adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah unit sampel
tersebut, d adalah harapan minimal jumlah unit sampel yang terinfeksi dengan
asumsi prevalensi sebesar 1 % dan N adalah jumlah populasi unit observasi
141
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
yaitu populasi desa di provinsi Bali sebanyak 716 desa.Pemilihan desa
tersebut dilakukan secara random dengan menggunakan metode random
dalam aplikasi online (Ausvet, 2016) sehingga terpilih 287 desa. Selama dua
tahun (2016-2017) semua desa terpilih tersebut telah dilakukan sampling
2. Unit Observasi Ternak
Pengambilan sampel unit ternak yang akan dilakukan dengan menggunakan
metode detect presence of the disease dari Martin et al (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan tingkat kepercayaan 95 % n adalah besaran
sampel, P1 adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah
unit sampel tersebut, d adalah harapan minimal jumlah unit sampel yang
terinfeksi dengan asumsi prevalensi sebesar 1 % dan N adalah jumlah
populasi unit observasi yaitu populasi ternak di masing – masing desa di
provinsi Bali
Pengujian sampel dilakukan secara paralel antara uji ELISA dan PCR, dengan
prosedur uji sebagai berikut :
a. UJI ELISA
Uji ELISA yang digunakan untuk deteksi antibodi JD adalah uji ELISA standar
sesuai SOP BBVet Denpasar (Agustini, et al., 2002). Pengujian sampel serum
dengan uji ELISA dilakukan dengan prosedur kerja sebagai berikut : antigen J
Gag 6 Histidin dilarutkan dengan carbonat coating buffer 1:50 kemudian
ditambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl, mulai dari well B2 sampai
dengan G12. Masukkan 50 µl hanya coating buffer (tanpa antigen) ke dalam
lubang blank A1 dan B1.. Kocok dengan shaker dan diinkubasikan pada suhu
40C selama 24 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA
washer. Blok plate dengan menambahkan ke masing-masing well sebanyak 50
µl larutan skim milk 5% dalam PBST dan plate diinkubasikan selama 1 jam
pada suhu ruangan. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA
washer. Siapkan sampel serum, kontrol positif dan serum kontrol negatif.
fengan cara sebagai berikut: Sampel yang akan diuji diencerkan 1: 100 dalam
142
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
skim milk 5% dan 50 µl serum tersebut dimasukkan ke dalam masing-masing
lubang test. Serum Kontrol Positif (PM) diencerkan mulai dari pengenceran
1 : 100 hingga 1 : 400 dalam skim milk 5% dan tiap-tiap pengenceran
dimasukkan pada lubang B2, C2 dan D2. Serum Kontrol Negatif (PM)diencerkan 1 :100 dimasukkan ke dalam lubang B3 dan C3. Serum sampel
yang sudah diencerkan dimasukkan masing-masing 50 ul ke well uji dan
dhomogenkan dengan dishaker selanjutnya inkubasikan pada suhu 370C
selama 1 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer.
Encerkan conjugate antibovine Ig G Whole molecule (SIGMA) perbandingan 1 :
1000 dalam PBST buffer. Masukkan 50 µl conjugate yang telah diencerkan
tersebut pada setiap lubang baik yang mengandung serum maupun lubang
blank dan kontrol. Inkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam. Cuci plate
dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer. Tambahkan campuran
satu bagian substrate Hidrogen Peroxidase (HRP) solution B dan 9 bagian
(solution A) atau 2,2- Azino-bis (3-ethylbenzothiazoine-6 sulfonic acid
diamonium salt). Masukkan 50 µl substrate ke dalam setiap well (blank, kontrol
dan serum sampel), diamkan selama 2 menit. Kemudian stop reaksi dengan
menambahkan 50 µl larutan asam oxalat 2 % ke semua well.
Pembacaan hasil uji ELISA dilakukan pada ELISA READER dengan panjang
gelombang 405 nm. Bila nilai OD sampel lebih besar atau sama dengan OD
pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan positif antibodi JD sedangkan
bila nilai OD sampel lebih kecil dari OD pengenceran 1 : 100 maka sampel
dikatakan negatif antibodi JD.
b. UJI POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
DNA virus JD dari PBMC diisolasi dengan menggunakan QIAmp DNA Blood
Kit (Qiagen). Tabung eppendorf yang sudah berisi DNA filtrat diberi label dan
disimpan pada -20oC sampai siap diuji. Sedangkan metoda uji PCR yang
dipakai untuk mendeteksi provirus Jembrana ini adalah metoda PCR yang
dikembangkan oleh Tenaya dkk., (2003 & 2004). Bahan-bahan yang diperlukan
dalam teknik PCR JD antara lain: Master mix, PCR water,Primer JDV–1,
143
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Primer JDV–3, DNA template, Agarose gel 1%, TAE buffer, dan Ethidium
Bromide. Primer yang digunakan terdiri dari Primer JDV-1 dan Primer JDV–
3.Forward primer (JDV –1) dengan sekuen
5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’.Reverse primer (JDV – 3)
dengan sekuen 5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al.,
1995).
Untuk setiap reaksi PCR digunakan 12.5 µL Master Mix, 1 µL primer JDV-1,
satu uL primer JDV-3, 8.5 µL PCR water dan DNA template sebanyak 2 µL.
Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur ke dalam tabung effendorf volume
500 µL. Campuran tersebut diamplifikasi dengan thermocycler sebanyak 35
siklus dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama 5
menit, Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama
1 menit, Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir
siklus, ada program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi
pemanjangan DNA yang belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di
bawah suhu ruang, biasanya 15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus
adalah selama 2 jam 15 menit.
Analisa dan dokumentasi hasil PCRHasil PCR kemudian dielectrophoresis dengan 1% gel agarose yang
mengandung 5 ug Etidium bromide/ ml. Elektrophoresis dilakukan dengan
voltase 70 volt selama 45 menit. Hasil PCR dalam gel kemudian divisualisasi
dengan sinar UV pada alat UV transluminator dan dianalisa dengan program
Gel Doc untuk melihat adanya band / pita DNA.
144
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
HASIL
Surveilans JD tahun 2018 dilakukan di 138 desa di 31 kecamatan di 8
Kabupaten di Bali Pada tahun 2018 pengambilan sampel tidak dilakukan di
kota Denpasar karena semua populasi sapi di Kota Denpasar sudah dilakukan
pengambilan sampel tahun 2017. Selama pelaksanaan surveilans tidak
ditemukan sapi yang menunjukkan gejala klinis JD dan berhasil dikumpulkan
sebanyak 22.798 sampel serum dan 22.798 sampel darah EDTA. Hasil
surveilans JD tahun 2018 menunjukkan 2 sampel seropositif JD, namun
setelah dilakukan konfirmasi dengan uji WB menunjukkan seronegatif JD.
Hasil uji PCR tehadap sampel darah EDTA menunjukkan semua sampel
negatif virus JD. Hasil uji ELISA dan PCR dari sampel Kabupaten se- Bali
Tahun 2018 seperti tersaji pada Tabel 1 dan 2. .
Tabel 1. Hasil Uji ELISA JD sampel dari Kabupaten/Kota di Provinsi BaliTahun 2018.
NO KABUPATEN/KOTA JUMLAHSAMPEL
JUMLAHPOSITIF
PERSENTASESEROPOSITIF
(%)1 Badung 1.172 0 0
2 Bangli 2.969 0 0
3 Buleleng 4.468 0 0
4 Gianyar 1.764 0 0
5 Jembrana 572 0 0
6 Karangasem 4.934 0 0
7 Klungkung 2.651 0 0
8 Tabanan 4.268 2 0.05
TOTAL 22.798 2 0.09
145
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 2. Hasil Uji PCR JD sampel dari Kabupaten/Kota di ProvinsiBali Tahun 2018
NO KABUPATEN/KOTA JUMLAHSAMPEL
JUMLAHPOSITIF
PERSENTASEPOSITIF JD
1 Badung 1.172 0 0
2 Bangli 2.969 0 0
3 Buleleng 4.468 0 0
4 Gianyar 1.764 0 0
5 Jembrana 572 0 0
6 Karangasem 4.934 0 0
7 Klungkung 2.651 0 0
8 Tabanan 4.268 0 0
TOTAL 22.798 0 0
PEMBAHASAN
Saat ini pemerintah sedang melaksanakan program pengembangan ternak
sapi Bali di Indonesia khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Salah satu
alasan dipilihnya sapi Bali untuk dikembangkan adalah karena sapi Bali
memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan dan kualitas
daging yang cukup baik. Pengembangan Sapi Bali di Indonesia diharapkan
dapat membantu memenuhi penyediaan daging sapi Nasional. Terkait hal
tersebut ketersediaan sapi bibit sangat diperlukan untuk mendukung
keberhasilan program penyediaan daging sapi Nasional. Salah satu
persyaratan untuk pengadaan sapi bibit khususnya bibit sapi Bali adalah harus
bebas JD
Keberadaan JD di Bali merupakan kendala utama dalam pengeluaran sapi bibit
untuk diantapulaukan ke luar Bali karena JD endemik di Bali. Dalam rangka
upaya pembebasan JD di Bali maka BBVet Denpasar, melakukan surveilans
JD setiap tahun. Bebasnya JD di Bali akan berdampak terhadap pengeluaran
sapi bibit dari Bali untuk diantarpulaukan. Hasil surveilans JD tahun 2018
146
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
menunjukkan masih ditemukan adanya seropositif JD di Bali sebanyak 0.009%
(2 dari 22.798 sampel). Seropositif JD tersebut ditemukan pada 2 sampel asal
desa Bantiran Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Menurut informasi
petugas kecamatan, sapi tersebut tidak pernah divaksinasi JD dan tidak
pernah terinfeksi JD sebelumnya. Untuk memastikan apakah antibodi yang
terdeteksi tersebut antibodi JD atau bukan maka dilakukan konfirmasi dengan
uji Western Immunobltting dan PCR. Hasil konfirmasi uji WB dan PCR
menunjukkan negative antibodi dan virus JD. Adanya antibodi yang terdeteksi
dari uji ELISA kemungkinan adalah antibodi Bovine Immunodefisiensi Virus
(BIV). Hal ini terjadi karena antigen J Gag 6 histidine yang digunakan untuk uji
ELISA JD masih menimbulkan cross reaksi antara antibodi JD dan antibodi BIV
Saat ini uji PCR digunakan sebagai “gold standard” untuk diagnosa JD. Hal ini
disebabkan karena primer yang digunakan pada uji PCR yaitu primer JDV-1
dan JDV-3 sangat spesifik , dimana primer tersebut mampu membedakan
antara proviral DNA JDV dan BIV. Selain itu uji PCR mampu mendeteksi
keberadaan proviral DNA setelah hewan sembuh (carrier). Hasil uji PCR inilah
yang diigunakan sebagai acuan untuk menentukan hewan positif JD atau tidak
Hasil surveilans JD 2018 ini membuktikan bahwa situasi JD di Bali cukup
terkendali Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD di Bali
rendah disebabkan karena virus JD dan hewan carrier JD tidak ditemukan di
semua lokasi surveilans JD tahun 2018 di Bali
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanDari hasil surveilans ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :
Situasi JD di Bali cukup terkendali dengan prosentase seropositif JD
sangat rendah hanya 0.009%
Hewan “carrier JD” (positif virus JD) tidak ditemukan di semua lokasi
surveilans)
Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD sangat rendah
disebabkan karena virus JD (hewan carrier JD) tidak ditemukan di semua
lokasi surveilans di Kabupaten /Kota di Bali .
147
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Saran
Surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur , peningkatan
pengawasan lalu lintas ternak. dan pemberantasan vektor harus dilakukan.,
untuk mencegah terjadinya penyakit Jembrana.
Pembebasan JD di Provinsi Bali harus dilanjutkan sehingga dengan
bebasnya JD di Bali bibit sapi Bali boleh diantarpulaukan untuk memenuhi
kebutuhan bibit sapi Bali di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar atas dana, kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan
surveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan kabupaten/kota se-Provinsi Bali, beserta staf atas bantuan dan
kerjasamanya dalam membantu pelaksanaan pengambilan sampel. Penulis
juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Medik dan
Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu
dalam pengambilan dan pengujian sampel ini.
148
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. 2002. Uji Elisa untuk Mendeteksi Antibodi LentivirusMenggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6. .Manual Diagnosa Laboratorik JD. MateriKursus Peningkatan Metode Diagnosa JD ACIAR-BPPV VI.
Hartaningsih, N., Sulistyana, K.,and G.E. Wilcox. (1996). Serological Test for JDV Antibodiesand Antibody Respons of Infected Cattle. In Jembrana Disease and the BovineLentiviruses, ACIAR Proceedings No.75, page 79-84
Hartaningsih, N. 2005. Laporan Hasil Investigasi JD di Kalimantan Timur. Laporan TahunanBalai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Denpasar
Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNA Virus Jembranapada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase Chain Reaction.Buletin Veteriner. 63:44-48, BPPV VI Denpasar.
Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals by PCR.BuletinVeteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.
Wilcox G.E., Kertaydnya G., Hartaningsih N., Dharma D.M.N., Soeharsono S., and RobertsonT (1992). Evidence for viral aetiology of Jembrana disease in Bali cattle. VeterinaryMicrobiology 33: 367-374
149
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018
Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana,I Ketut Mayun, I Nengah Mundera ,I Wayan Ekaana dan Dati Purnawati
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Sejak Rabies dilaporkan terjadi di Bali tahun 2008, berbagai tindakan pengendalian sudahdilakukan, Vaksinasi merupakan salah satu upaya pencegahan dan pengendalian Rabiesyang dilakukan oleh pemerintah provinsi Bali sejak tahun 2010 dan vaksinasi massal tahun2018 telah memasuki Round 9 (sembilan). Walaupun vaksinasi massal dilakukan setiap tahunnamun kejadian Rabies masih terus terjadi. Serosurveilans untuk mengetahui antibodi Rabiesdi provinsi Bali, NTB dan NTT sudah dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Desember2018. Serosurveilans Rabies di provinsi Bali dilakukan di 9 kabupaten/kota, untuk provinsiNTB dilakukan di Lombok Barat dan Kota Mataram, untuk provinsi NTT dilakukan di limakabupaten yaitu : Flores Timur, Ngada, Ende, Sikka dan Manggarai. Semua sampel serumdiuji ELISA menggunakan KIT ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma Surabaya. Hasilserosurveilans menunjukkan vaksinasi massal Rabies di provinsi Bali terbukti mampumerangsang terbentuknya antibodi Rabies. Hasil uji ELISA terhadap 510 sampel serum yangdiambil di provinsi Bali menunjukkan seropositif Rabies sebesar 40% , Seropositif Rabies diprovinsi NTT sebesar 40.2% sedangkan untuk sampel serum dari Provinsi NTB semua negatifantibodi Rabies. Rincian prosentase seropositif Rabies di masing-masing Kabupaten di provinsiNTT adalah : kabupaten Flores Timur sebesar 25 % , Kabupaten Ngada 100% , kabupatenEnde : 13.8 %, Kabupaten Sikka : 36,5% dan Kabupaten Manggarai sebesar : 26.3% Untukmeningkatkan prosentase seropositif Rabies di Bali dan NTT perlu dilakukan vaksinasi ulangterhadap anjing yang memililiki titer antibodi < 0.5 IU/ml
Kata Kunci : rabies, serosurveilans, vaksinasi
I. PENDAHULUANI.1. Latar Belakang
Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut
menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari
famili Rhabdoviridae (Murphy et.al.,2009; Fischer et al., 2013). Rabies
ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis)
melalui gigitan atau jilatan pada luka.
Di provinsi Bali sumber penularan Rabies diduga berasal dari masuknya anjing
dalam masa inkubasi yang dibawa oleh pelaut asal Sulawesi Selatan (Putra
et.al., 2009). Sejak munculnya kasus rabies di desa Kedonganan kecamatan
Kuta Selatan, kabupaten Badung pada bulan November 2008 berdasarkan
150
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008
provinsi Bali secara resmi dinyatakan sebagai daerah tertular rabies.
Kejadian Rabies di provinsi NTT khususnya pulau Flores sudah terjadi sejak
tahun 1998 berawal dari kejadian Rabies di Kabupaten Sikka , kemudian
menyebar ke Ende tahun 1999, Ngada Juni 2000, dan Manggarai Juli 2000
Sejak tahun 2008 hingga saat ini kejadian kasus Rabies di Bali masih terjadi
walaupun jumlah kasus sudah menurun. Anjing masih merupakan hewan
penular Rabies (HPR) utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus rabies pada
hewan di Bali periode tahun 2008-2013 semuanya ditularkan oleh anjing
Rabies. (Supartika et.al., 2013). Cepatnya penyebaran rabies di Bali dan
Flores tidak terlepas dari tingginya populasi anjing di kedua daerah tersebut
dan hampir setiap rumah tangga di Bali dan Flores memiliki anjing. Tingginya
angka kepemilikan anjing khususnya di Flores disebabkan karena anjing
memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi yang sangat tinggi serta sangat
dibutuhkan pada upacara adat. Walaupun anjing memiliki nilai ekonomi dan
sosial budaya yang tinggi di pulau Flores namun, sistim pemeliharaan anjing di
Flores, mayoritas masih diliarkan, sehingga sangat berpotensi menjadi sumber
penularan rabies ke hewan lainnya dan ke manusia.
Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan
eliminasi anjing secara selektif dan tertarget terutama anjing liar/diliarkan,
program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR).
Dalam rangka pengendalian Rabies, pemerintah provinsi Bali secara rutin
melakukan vaksinasi massal Rabies setiap tahun Untuk mengetahui
keberhasilan vaksinasi massal Rabies tersebut maka BBVet Denpasar
melakukan serosurveilans Rabies
151
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1.2. Rumusan Masalah1. Pemerintah provinsi Bali secara rutin telah melakukan vaksinasi massal
Rabies namun kasus rabies masih terus terjadi sehingga perlu diketahui
penyebabnya.
1.3.Tujuan KegiatanKegiatan serosurveilans ini bertujuan untuk
1. Mengetahui respon antibodi Rabies di provinsi Bali dan NTT
1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah:
1. Diiketahuinya respon antibodi Rabies di Bali dan NTT
1.5. Keluaran/OutputOutput yang diharapkan dari kegiatan serosurveilans ini adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang respon antibodi Rabies , terkait
upaya pembebasan penyakit Rabies di provinsi Bali
II. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1 Bahan
Bahan yang digunakan pada pelaksanaan surveilans Rabies ini meliputi : KIT
ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya.
2.1.2. Alat
Alat yang digunakan untuk surveilans meliputi : spuite disposible 3 ml, , tabung
effendorf 2 ml , multichanel pipet, micropipet, microtip pipet 300 ul dan 1000 ul,
microshaker, ELISA washer, inkubator, ELISA reader
152
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
2.2. Metode
2.2.1. Metode Pengambilan sampel
a. Penentuan Lokasi.
Lokasi pengambilan sampel serum di provinsi Bali adalah seluruh
Kabupaten/kota. Pemilihan desa tempat pengambilan sampel ditentukan
secara random disesuaikan dengan jadwal pelaksanaan vaksinasi di
masing-masing kabupaten/kota
Untuk provinsi NTT serosurveilans dilaksanakan di Kabupaten Flores
Timur, Ende, Sikka, Manggarai dan Ngada.
b. Metode Pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel di provinsi Bali dilakukan secara acak.
3.2.2. Metode Pengujian Sampel
Sampel serum yang telah dikumpulkan diuji ELISA menggunakan KIT ELISA
Rabies produksi Pusat Veteriner Farma Surabaya dengan prosedur sebagai
berikut :
1. Sebelum dilakukan pengujian, semua sampel serum diinaktivasi
pada suhu 56 °C selama 30 menit.
2. Sampel serum yang akan diuji diencerkan dengan menambahkan
2.5 µl serum kontrol positif ke dalam pelarut PBST sebanyak 247.5
µl pada mikroplate (template), sehingga menghasilkan 50 kali
pengenceran. Urutan sampel serum dalam template mikroplate
didisain sedemikian rupa sehingga enceran sampel dapat
dipindahkan ke dalam sumuran-sumuran pada mikroplate uji.
3. Serum kontrol positif diencerkan dengan cara sebagai berikut :
siapkan 6 tabung dan ke dalam masing-masing tabung
dimasukkan 500 µl PBST. Kecuali pada tabung pertama
ditambahkan sebanyak 990 µl PBST. Selanjutnya ditambahkan 10
ul serum kontrol positif ke dalam tabung pertama campur sampai
153
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
homogen sehingga diperoleh kontrol positif pengenceran (K4 EU).
Sebanyak 500 ul serum kontrol positif K4 EU dipindahkan ke dalam
tabung kedua yang sudah berisi 500 ul PBST, dicampur sampai
homogen sehingga diperoleh pengenceran K2 EU,. Selanjutnya 500
ul kontrol positif K2 EU dipindahkan kedalam tabung ketiga yang
sudah berisi 500 ul PBST, sehingga diperoleh kontrol positif
pengenceran (K1 EU). Selanjutnya 500 ul pengenceran K1 EU
dimasukkan ke dalam tabung keempat yang telah berisi 500 ul
PBST sehingga diperoleh pengenceran kontrol positif 0.5 EU.
Sebanyak 500 ul kontrol positif pengenceran 0.5 EU ditambahkan
ke dalam tabung kelima yang sudah berisi 500 ul PBST sehingga
diperoleh pengenceran kontrol positif K 0.25 EU Terakhir
tambahkan 500 ul Kontrol positif K 0.25 EU ke dalam tabung
keenam yang telah berisi 500 ul PBST sehingga diperoleh
pengenceran 0.125 EU.
4. Pengenceran kontrol negatif dilakukan dengan cara menambahkan
2.5 ul kontrol negatif ke dalam 247.5 ul PBST , kemudian dicampur
sampai homogen.
5. Pengenceran Kontrol Standar dilakukan dengan cara
menambahkan 2.5 ul kontrol standar 1 EU ke dalam 247.5 ul PBST,
dicampur sampai homogen.
6. Pindahkan enceran serum dengan pipet multichanel ke mikroplate
uji sebanyak 100 µl. Sumuanr H11 dan H12 sebagai kontrol pelarut.
7. Pindahkan masing-masing sebanyak 100 ul serum kontrol positif
secara duplo ke dalam masing-masing sumuran : serum kontrol K4
EU ke dalam sumuran A1 dan A2, serum kontrol positif K2 EU ke
dalam sumuran B1 dan B2, serum kontrol K1 EU ke dalam sumuran
C1 dan C2, serum kontrol 0.5 EU ke dalam sumuran D1 dan D2,
serum kontrol 0.25 EU ke dalam sumuran E1 dan E2, dan serum
kontrol 0.125 EU ke dalam sumuran F1 dan F2.
8. Penambahan kontrol standar dilakukan dengan menambahkan 100
ul kontrol standar yang sudah diencerkan ke dalam sumuran G1
dan G2.
154
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
9. Penambahan kontrol serum negatif dilakukan dengan cara
memasukkan 100 ul kontrol serum negatif yang sudah diencerkan
ke dalam sumuran H1 dan H2.
10. Tutup mikroplate dengan plastik penutup dan inkubasikan pada
suhu 37°C selama 45-60 menit.
11. Siapkan conjugate/ antibodi sekunder (rec-protein A-HRP) pada
pengenceran 16000 kali dengan PBST.
12. Buang cairan serum pada mikroplate uji dan lakukan pencucian
sebagai mana prosedur ELISA sebanyak minimal 5 kali.
13. Keringkan cairan pencuci yang masih tersisa dalam jumlah kecil
dengan cara membalikkan mikroplate di atas kertas tissu tebal.
14. Tambahkan konjugate yang sudah diencerkan 1:16000 sebanyak
masing-masing 100 µl pada semua sumuran.
15. Tutup mikroplate dengan plastik penutup dan inkubasikan pada
suhu 37°C selama 45-60 menit.
16. Buang cairan dan lakukan pencucian seperti prosedur di atas.
17. Tambahkan substrat sebanyak masing-masing 100 µl pada semua
sumuran. Inkubasikan pada suhu kamar pada kondisi gelap selama
15-30 menit. Selama inkubasi diamati timbulnya warna kebiruan.
Bila warna antara kontrol positif dan negatif bisa dibedakan secara
visual lakukan penghentian dengan penambahan stop solution
sebanyak 100 µl pada semua lubang.
18. Baca Densitas Optic (Optical Density) pada ELISA reader dengan
panjang gelombang 405 nm
Perhitungan Hasil
Perhitungan hasil uji ELISA Rabies dilakukan menggunakan persamaan garis
(Excel)
a. Cara Membuat Kurva.
X = Nilai Equivalent Unit K4 EU; K2 EU; K1 EU; K 0.5 EU; K 0.25
EU; dan K 0.125 EU
Y = nilai Optical Density rata-rata Kontrol positif
155
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1. Blok X dan Y
2. Arahkan kursor pada chart wizart, klik
3. Pilih XY (scater)
4. Pilih gambar grafik Scater with smooth line and markers
5. Arahkan kursor pada grafik , klik kanan
6. Pilih Add trendline
7. Pilih logaritmic
8. Pilih display equation on chart dan display R-squared value
on chart
b. Keluar persamaan garis mis: Y=(0.660Ln(X) +1.402 dan R2 =
0.978. Persamaan garis dapat diterima apabila R2 mendekati
angka 1 (antara 0.9-1)
c. Masukkan persamaan garis Y-1.402 = 0.660 Ln(X)
d. LnX = (Y – 1.402)/0.660
e. X = Exp (Inverse LnX)
Interpretasi Hasil
Jika Titer antibodi sampel ≥ 0.5 IU maka sampel dikategorikan positif
antibodi Rabies
Jika Titer antibodi sampel < 0.5 IU maka sampel dikategorikan negatif
antibodi Rabies
III. HASIL
Selama pelaksanaan serosurveilans tidak ditemukan anjing yang menunjukkan
gejala klinis yang mengarah ke penyakit Rabies dan berhasil dikumpulkan
sebanyak 995 sampel serum yang terdiri dari 510 sampel serum asal provinsi
Bali, dan 405 sampel dari provinsi NTT dan 80 sampel serum dari provinsi
NTB
156
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Hasil uji ELISA sampel serum yang diambil dari Bali menunjukkan prosentase
seropositif Rabies sebesar 40% Seropositif Rabies di masing-masing
Kabupaten/kota di Bali bervariasi antara 26.7% - 57.5%. Seropositif Rabies
tertinggi terjadi di Kabupaten Badung (87.5%) sedangkan seropositif Rabies
terendah terjadi di Kota Denpasar (35%). Prosentase seropositif dari masing-
masing Kabupaten Kota di Bali selengkapnya seperti terlihat pada Tabel 1 ,
Gambar 1
Tabel 1. Seropositif Rabies di Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2018
Kabupaten Jumlahserum
SeropositifRabies
SeronegatifRabies
ProsentaseSeropositif (%)
Badung 80 33 37 41.3
Bangli 40 12 28 30
Buleleng 80 33 37 41.3
Denpasar 30 8 22 26.7
Gianyar 60 16 44 26.7
Jembrana 40 23 27 57.5
Karangasem 60 32 28 53.3
Klungkung 40 20 20 50
Tabanan 80 27 53 33.8
Grand Total 510 204 306 40
157
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Gambar 1. Seropositif Rabies di Kabupaten/kota di Provinsi Bali Tahun 2018
Hasil uji ELISA terhadap sampel serum dari provinsi NTT menunjukkan
seropositif Rabies di provinsi NTT sebesar 40,2% Hasil uji dari masing-masing
sampel serum yang diambil di NTT menunjukkan bahwa seropositif tertinggi
terjadi di Kabupaten Ngada sebesar 100%, sedangkan seropositif terendah
terjadi di kabupaten Flores Timur sebesar 25%. Hasil seropositif Rabies
selengkapnya seperti pada Tabel 2
Tabel 2. Seropositif Rabies di provinsi NTT tahun 2018
No Kabupaten JumlahSampel
JumlahSeropositif
Prosentaseseropositif (%)
1 Flores Timur 80 20 252 Ngada 80 80 1003 Sikka 85 31 36.54 Ende 80 11 13.85 Manggarai 80 21 26.3
TOTAL 405 163 40.2
158
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Gambar 2. Seropositif Rabies di provinsi NTT Tahun 2018
IV. PEMBAHASAN
Vaksinasi merupakan program pilihan utama dalam pengendalian dan
pemberantasan Rabies di Indonesia. Hasil uji ELISA terhadap 510 sampel
serum dari provinsi Bali, menunjukkan prosentase seropositif Rabies sebesar
40%. Hasil uji ELISA ini mengindikasikan bahwa vaksinasi massal Rabies di
Bali mampu merangsang terbentuknya antibodi terhadap Rabies namun belum
optimal. Prosentase seropositif Rabies di Bali masih di bawah yang
dipersyaratkan oleh OIE yaitu sebesar 70%. Vaksinasi Rabies akan
merangsang sistim imun membentuk antibodi sehingga mampu memberikan
proteksi pada HPR terhadap infeksi Rabies. Rendahnya seropositif Rabies di
Bali tahun 2018, kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain :
interval waktu pelaksanaan vaksinasi dengan pengambilan sampel yang terlalu
lama, serta tidak validnya informasi (data) vaksinasi yang dilaporkan .
159
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Prosentase seropositive Rabies di masing-masing kabupaten/kota di Bali
sangat bervariasi. Seropositif Rabies tertinggi 57.5% terjadi di Kabupaten
Jembrana . Prosentase seropositif ini erat kaitannya dengan status vaksinasi
dan interval antara waktu vaksinasi dan pengambilan sampel.
Pemerintah provinsi Bali telah melakukan vaksinasi massal Rabies sejak tahun
2010, namun sampai saat ini kasus Rabies pada anjing masih dilaporkan
terjadi. Hal ini diperkuat oleh hasil pengujian FAT yang dilakukan di
laboratorium Patologi BBVet Denpasar tahun 2018 dari 943 sampel otak yang
diperiksa 149 (15.8%) positif virus Rabies . Terjadinya kasus positif Rabies
tersebut erat kaitannya dengan rendahnya titer antibodi terhadap Rabies
sehingga tidak mampu memberikan proteksi. Masih terjadinya kasus positif
Rabies di Bali Tahun 2018 erat kaitannya dengan rendahnya prosentase
seropositif Rabies di Provinsi Bali.
Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTT tahun 2018 menunjukkan hanya
40.2% sampel serum yang diambil seropositif Rabies. Rendahnya seropositif
ini kemungkinan disebabkan karena mayoritas sampel yang diambil berasal
dari anjing yang tidak divaksinasi. Rendahnya seropositif akan perpotensi
sebagai penyebab terjadinya kasus rabies
Vaksinasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk menurunkan insidensi
kasus rabies dan melindungi infeksi virus rabies pada hewan dan manusia
(Mattos dan Rupprecht, 2001). Menurut Taiwo et al., (1998) cakupan vaksinasi
rendah, tingkat kekebalan protektif rendah, serta program vaksinasi yang
menyisakan anjing liar merupakan sumber utama dan potensial dalam
penyebaran virus rabies.
Menurut Ohore et al., 2007 dan Utami , et al., 2008, pembentukan titer antibodi
dipengaruhi beberapa hal, antara lain umur, jenis kelamin, bangsa/ras anjing ,
jenis vaksin, dan periode pascavaksinasi. Semakin pendek jarak pengambilan
sampel dengan periode pelaksanaan vaksinasi maka semakin tinggi titer
antibodi yang terdeteksi, sebaliknya, semakin lama interval waktu pengambilan
160
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
sampel dengan periode pelaksanaan vaksinasi, semakin rendah titer antibodi
yang terdeteksi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sage et al.,
(1992) dan Cliquet et al., (2003; 2007 ) bahwa anjing yang divaksin setelah
satu tahun titer antibodinya rendah.
Ada kecenderungan titer antibodi lebih tinggi pada anjing yang sudah pernah
divaksinasi dibandingkan dengan anjing yang baru divaksinasi pertama kali .
Menurut Simani et al., 2004 menyatakan bahwa booster penting dilakukan
untuk mempertahankan titer antibodi protektif . Hal ini juga sesuai dengan
yang di laporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon (2010), bahwa satu dosis
vaksin tidak menghasilkan antibodi neutralisasi yang lama sehingga perlu
dilakukan booster. Sistem pemeliharaan anjing di Bali kebanyakan masih
diliarkan sehingga menyebabkan pelaksanaan vaksinasi ulangan secara
massal sangat sulit dilakukan. Kesulitan tersebut meliputi kesulitan melakukan
penangkapan anjing, karena aplikasi vaksin Rabies umumnya melalui suntikan.
Berdasarkan fakta tersebut perlu dipikirkan atau dicarikan alternatif
penggunaan vaksin Rabies lainnya yang lebih mudah aplikasinya namun
mampu memberikan kekebalan lebih lama terutama untuk anjing-anjing yang
diliarkan/tidak diikat. Anjing yang diliarkan perlu mendapatkan vaksinasi Rabies
karena anjing tersebut mempunyai potensi sangat besar untuk menyebarkan
Rabies. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soeharsono (2007),
bahwa anjing liar/anjing geladak (stray dogs) merupakan pelestari Rabies yang
potensial karena hidup bebas sehingga sangat berpotensi menyebarkan
Rabies ke hewan lain, bahkan juga ke manusia.
Menurut Yanuarso, 2017 seroprevalensi akan berpengaruh terhadap herd
immunity dimana herd immunity akan terjadi apabila cakupan vaksinasi dan
seroprevalensi lebih besar dari 80%. Sementara itu jika cakupan vaksinasi dan
seroprevalensi kurang 60% maka akan berisiko terjadinya kejadian luar biasa.
Agustina, 2017 mengatakan bahwa kekebalan kelompok akan terbentuk,
ketika sebagian populasi telah divaksinasi, sehingga populasi yang
divaksinasi tersebut mampu memberikan proteksi terhadap populasi lainnya
yang tidak divaksinasi.
161
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Walaupun sudah dilakukan vaksinasi massal namun masih banyak anjing yang
belum menunjukkan titer antibodi protektif. Rendahnya titer antibodi yang
terbentuk diduga kuat karena anjing-anjing yang diambil sampel serumnya
tersebut baru pertama kali divaksinasi sehingga belum mampu menghasilkan
titer antibodi protektif. Selain itu interval waktu pelaksanaan vaksinasi dan
pengambilan sampel yang terlalu lama juga berpengaruh terhadap
seroprevalensi.
Keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia masih menjadi kendala utama dalam
pelaksanaan vaksinasi di NTT sehingga tidak bisa mengcover semua populasi
yang ada. Selain itu kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya vaksinasi Rabies pada HPR, faktor demografi NTT yang
sangat sulit dijangkau, juga berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan
vaksinasi Rabies di NTT. Mengingat vaksinasi merupakan faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan pemberantasan Rabies maka perlu diupayakan
penggunaan vaksin Rabies oral untuk meningkatkan prosentase cakupan
vaksinasi. terutama pada anjing-anjing yang diliarkan /tidak diikat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil serosurveilans dapat disimpulkan :
Vaksinasi massal Rabies di provinsi Bali dan NTT mampu merangsang
terbentuknya antibodi terhahap Rabies
Prosentase seropositif Rabies di Provinsi Bali sebesar 40%
Prosentase seropositif Rabies di provinsi NTT hanya 40.2%
162
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SARAN
Mengingat prosentase seropositif Rabies di Bali dan NTT masih di
bawah 70% maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada anjing
yang memiliki titer antibodi dibawah 0.5 IU/ml.
Perlu dilakukan vaksinasi massal Rabies secara periodik sehingga
mampu memberikan proteksi terhadap Rabies
Perlu diperhatikan jarak antara waktu pelaksanaan vaksinasi dan
pengambilan sampel sehingga diperoleh data seropositif yang lebih valid.
Sosialisasi tentang bahaya Rabies, pengawasan lalu lintas HPR dan
pengendalian populasi perlu dilakukan untuk mendukung program
pembebasan Rabies di provinsi Bali dan NTT
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan
serosurveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan kabupaten/kota se-provinsi Bali , Kepala Dinas Peternakan
Kabupaten, Flores Timur, Ngada , Ende, Sikka, dan Manggarai beserta staf,
serta kepada Medik dan Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner
Denpasar yang telah membantu dalam pengambilan dan pengujian sampel.
163
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous 2010. Laporan Penanggulangan Rabies Provinsi Bali
Agustini, N.L.P., Dilasdita K.P., dan Melyantono, S., 2015. Laporan Teknis SerosurveilansRabies di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur Tahun2015. Laporan Teknis Hasil Surveilans , monitoring dan Pengembangan Metode UjiBalai Besar Veteriner Denpasar Tahun 2015. Hal : 201-216
Chiliquet, F.Verdier,Y.,Sagne,L.Aubert,M. Schereffer,J.L.2003. Neutralising antibody titration in25,000 sera of dogs and cats vaccinated against rabies in France, in the framework ofthe new regulations that offer an alternative to quarantine.
Cliquet, F,. Wasniewski ,M. Guiot ,A.,L., 2007.Comparison of antibody responses aftervaccination with two inactivated rabies vaccines,
Fischer, M., Wemike, K., Freuling, C.M. Muller, T., Avylan, O., Brocher, B., Cliquet, F.,Vasquez-Maron, S., Hostnik, P., Huovialanen, A., Isakson, M., Kooi, E.E., Mooney, J.,Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revila-Fernandez, S., Sunreczak, W., Fooks, A.R.,Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B. 2013. A step Forward in molecular diagnostic ofLyssaviruses Result of a Ring Trial among European Laboratories PLOS ONE. Vol 8Issue 3E5.
Mattos CA, Rupprecht A. 2001. Rhabdoviruses. In: Fields Virology. New York: LippincottWilliam & Wilkins, 1245-1277
Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1/Kpts/PD640/12.2008. Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies)di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Murphy, F.A. Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C, and Studdert, M.J. 2009. Rhabdoviridae inVeterinaty Virology, 3nd Ed. 429-439
Ohore OG.,Emikpe, BO., Oluwayelu, DO., 2007. The seroprofile of Rabies antibodies incompanion urban dogin Ibadan, Nigeria, Journal of Animal and Veterinary Advances6(1) : 53-56
Putra, A.A.G. , Gunata, I.K., Faizah., Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji,G., Putra, A.A.G.,Soegiarto dan Scott-Orr. H. 2009. Situasi Rabies di Bali Enam Bulan PascaProgram Pemberantasan . Buletin Veteriner . Balai Besar Veteriner Denpasar.Vol.: XXI, 74: 13-26.
Sage G., Henry W., Tepsumethanon W, Hemachuda T. 1992. Immune response to rabiesvaccine in Alaskan dogs: failure to achieve a consistently protective antibody respons.Transaction of the royal society for tropical medicine and and hygiene 87: 593596.
Simani S., A.Amirkhani, F.Farahtaj, B.Hooshmand, A.Nadim, J.Sharifion,N.Howaizi, N.Eslami,A.Gholami, A.Janami, and A.Fayas. 2004. Evaluation of The Effectiveness of PreExposure Rabies Vaccination in Iran. Arch Med.7(4) : 251-255.
Soeharsono 2007. Penyakit Zoonotik Pada Anjing dan Kucing. Edisi 1. Penerbit KanisiusJogyakarta.
Sri Utami, Bambang Sumiarto, Heru Susetya. 2008. Status vaksinasi Rabies pada anjing diKota Makasar. J. Sain Vet . Vol 26, No: 2 tahun 2008
164
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I.G.A.J dan Diarmita, I.K. 2014. Surveilans danmonitoring agen Penyakit Rabies Pada Anjing Di Provinsi Bali, Nusa Tenggara BaratDan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Buletin Veteriner. Balai BesarVeteriner Denpasar . Vol. XXVI, No. 84. Edisi Juni 2014. Hal :46-59
Taiwo VO, Antia RE., Adeniran GA., Adeyemi IG, Alaka OO., Ohore OG., 1998.Rabies in dogand cats in southwestern Nigeria. Laboratory reports Trop. Vet 16:9-13
Tepsumethanon V., B.Lumlertdacha, C. Mitmoonpitak, V.Sitprija, F.X. Meslin,and H.Wilde.2004. Survival of Naturally Infected Rabid Dogs and Cats.Brief Report. ClinicalInfectious Diseases. 39 : 278-280
.WHO, Guidelines for dog rabies control, WHO/VPH/ 83.43 Rev.1, 1987
Widodo J. 2009. Imunologi Vaksin. Chlidren Allergy Centre
Yanuarso, B., 2017. Mengenal Herd Immunity. http//hellosehat.com
210
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS DAN MONITORING HOG CHOLERADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA
TIMUR TAHUN 2018
I Nyoman Dibia, Ardiana, Lalu Muh. Faesal Suryadinata, Fauzi R.Kurniawan
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan surveilans di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT yang bertujuan untukmendeteksi antigen / kasus dan mengetahui proporsi seropositive antibodi Hog Cholera, baikpada babi yang divaksinasi maupun yang terindikasi terinfeksi penyakit ini. Pengujian dilakukandengan metode Elisa antibodi menggunakan Kit Elisa Hog Cholera. Pada saat surveilansdiperoleh sebanyak 454 sampel darah EDTA babi dari wilayah provinsi Bali, 297 sampel dariNTB dan 590 sampel dari NTT. Seluruh sampel yang diuji tersebut menunjukkan hasil negatifvirus Hog Cholera. Sementara kegiatan pengambilan sampel serum babi juga dilakukan untukmendeteksi antibodi Hog Cholera. Jumlah sampel yang diperoleh di provinsi Bali sejumlah 66sampel serum babi dan 17 sampel (25,76%) diantaranya positif antibodi Hog cholera. Untuk diprovinsi NTB, dari 271 sampel serum yang diuji semuanya negatif antibodi Hog cholera.Sementara di provinsi NTT diperoleh hasil 21 dari 686 sampel (3,06%) positif antibodi Hogcholera.
Kata kunci: Hog cholera,. surveilans, antibodi elisa, RT-PCR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hog Cholera (HC) atau Classical Swine Fever (CSF) merupakan penyakit hewan
yang sangat menular pada babi yang disebabkan oleh virus HC dari genus
Pestivirus (Ressang, 1986). Virus HC merupakan virus RNA berukuran kira kira
38-44 nm, berbentuk bundar, memiliki amplop (selubung), stabil pada pH 5-10
dan diketahui bersifat imunosupresif. Masa inkubasi pada umumnya berkisar
antara 3- 6 hari dan viremia terjadi segera setelah beberapa jam virus CSF
menginfeksi babi. Babi merupakan satu satunya hewan yang rentan terhadap
CSF. Penyakit ini ditularkan terutama melalui kontak langsung antara babi sakit
dan sehat, juga melalui sekreta dan ekskreta yang segar baik secara langsung
211
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
maupun tidak langsung. Penyebaran penyakit dipercepat dengan perpindahan
babi sakit ke daerah baru. Kendaraan dan peralatan yang tercemar juga dapat
menularkan virus dari satu peternakan ke peternakan lainnya. Disamping itu,
fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak babi yang dipotong untuk
konsumsi pada stadium permulaan penyakit. Pada stadium ini organ tubuh
mengandung kosentrasi virus yang cukup tinggi dan virus yang berada dalam
daging segar dapat tahan hidup untuk jangka waktu yang panjang. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa salah satu penyebab cepatnya penyebaran
penyakit ini akibat limbah cucian daging yang berasal dari pemotongan babi
yang terinfeksi yang diberikan pada ternak babi lainnya. Tingkat morbiditas dan
mortalitas dapat mencapai 95 – 100%. Penyakit dapat terjadi secara akut tetapi
dapat juga menjadi kronis. Tanda klinis yang pertama terlihat ialah babi tampak
lesu, nafsu makan menghilang, depresi, demam tinggi hingga 41O C, muntah,
dan diare yang berseling dengan konstipasi. Perubahan warna kulit merah
kebiruan dapat ditemukan pada pangkal telinga dan pada daerah perut. Pada
stadium lanjut akan tampak gejala saraf, dimana babi terlihat terhuyung-huyung,
kejang lalu rebah dengan kaki bergerak gerak seperti mendayung sepeda
(Dharma dan Putra, 1997).
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 4026/Kpts/OT.140/4/2013
tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS), Hog
Cholera termasuk dalam 25 jenis penyakit hewan menular strategis yang
menjadi prioritas nasional dalam pengendalian dan penanggulangan di
Indonesia (Direktorat Kesehatan Hewan, 2015). Pada awal tahun 1994 kasus
Hog Cholera pertama kali ditemukan di Provinsi Sumatera Utara. Dalam kurun
waktu 3 tahun kasus Hog Cholera telah menyebar ke beberapa provinsi di
Indonesia. Hog Cholera di Bali dilaporkan pertama kali di Banjar Suwung Batan
Kendal, Desa Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar pada Oktober
1995 yang diperkuat dengan Keputusan Menteri Pertanian No.
888/Kpts/TN.560/9/1997 dan sejak itu penyakit menyebar di seluruh
kabupaten/kota di Bali. Sementara di NTT, kasus penyakit Hog Cholera pertama
kali ditemukan di Tarus, Kabupaten Kupang pada tahun 1997, yang diduga
212
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
berasal dari lalu lintas ternak babi atau produknya dari Provinsi Timor Timur dan
pada tahun 1998, penyakit ini telah menyebar ke beberapa pulau di NTT
termasuk Pulau Sumba, Pulau Rote, Pulau Sabu dan beberapa kabupaten di
Pulau Timor. Untuk di Nusa Tenggara Barat yang awalnya masih berstatus
bebas Hog Cholera, namun sejak Desember 2012 telah merubah status NTB
menjadi daerah tertular dengan ditemukan adanya kasus Hog Cholera di Desa
Giri Temesi, Kecamatan Gerung , Lombok Barat dan di Desa Tegal Maja,
Kecamatan Tanjung, Lombok Utara.
Ternak babi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, pada umumnya
dikembangkan sebagai peternakan rakyat dan memiliki nilai sosial budaya dan
ekonomi yang tinggi. Kemungkinan munculnya kembali kasus HC menjadi
perhatian pemerintah. Untuk itu perlu dilakukan surveilans yang efektif untuk
mengetahui status daerah terhadap Hog Cholera.
Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut; Bagaimana situasi / status Hog Cholera di
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di Tahun 2018 ?
Tujuan kegiatanMengetahui situasi /status Hog Cholera di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2018.
Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah mengenai situasi / status Hog Cholera di Provinsi Bali, NTB dan NTT,
sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan dalam
rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
213
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Out putTermonitornya situasi / status Hog Cholera yang ada di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sesuai tugas dan fungsi Balai Besar
Veteriner untuk menyediakan hasil surveilans Hog cholera sebagai salah satu
penyakit hewan menular strategis prioritas di Indonesia.
Out comeTerwujudnya lingkungan ternak bebas HC di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur.
ANALISA RISIKO HC DI BALI, NTB DAN NTT
Hog Cholera merupakan penyakit yang sangat signifikan secara ekonomi.
Penyakit ini cepat menyebar dalam populasi babi dan dapat menyerang segala
umur. Besarnya dampak Hog Cholera terhadap populasi babi yang rentan tidak
hanya mempengaruhi industri babi secara local, namun juga internasional
melalui pembatasan perdagangan antar Negara. Karena dampak internasional
ini, Hog Cholera termasuk salah satu penyakit yang harus dilaporkan menurut
OIE. Beberapa faktor risiko penyebaran Hog Cholera di Bali, NTB dan NTT
antara lain manajemen kesehatan hewan belum terimplementasikan secara
optimal, pengawasan lalu lintas ternak babi (pergerakan babi) masih lemah,
pencampuran babi di setiap rantai pasar, status biosekuriti terbatas, dan
minimnya manajemen produk peternakan babi dan hasil sampingannya (by
product).
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring HC diwilayah kerja BBVet Denpasar dapat
diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada Tabel 1.
214
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring HC di Wilayah Kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar.
No Risiko Solusi1 Jadwal pengambilan sampel tidak
sesuaiMelakukan koordinasi dengandinas peternakan atau yangmenangani peternakan dankesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikandengan kegiatan lain pada Dinas /instansi terkait.
2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengandinas terkait sehingga jumlahsampel minimal terpenuhi.
3 Rusaknya sampel akibat tidaktersedianya sarana penyimpananyang layak (pendingin)
Berkoordinasi dengan dinassetempat untuk dapat menitipkansampel yang diperoleh padakulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan coolerbox beserta ice pack sehinggasampel masih tetap baik sampaidi laboratorium.
4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensifdengan tim pengadaan barangdan jasa BBVet Denpasar terkaitketersediaan bahan pengujian
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alatpengujian yang rusak. Untuksementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaranpengujian.
215
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
MATERI DAN METODE
MateriBahan : Serum dan darah EDTA (Buffycoat/PBMC)
Kit Elisa Hog Cholera (VDProCSFV), Pure Link Viral RNA/DNA Mini Kit
(Invitrogen), dan TaqMan One Step RT-PCR Master Mix Reagent Kit
(Applied Biosystem), Primer (Forward dan Reverse) , probe dan metoda
pengujian menggunakan referensi OIE
Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum
venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader. Alat
yang dipakai pada pengujian Real Time RT-PCR ini meliputi:
micropippet,PCR Cabinet, BioSafety Cabinet, Sentrifuge ,Vortex,
Spindown , ABI Prism 7500 (Applied Biosystem), Micro Amp Optical 8
Tube Strip ( Applied Biosystems).
Metode Sampling
Sampel pada kegiatan surveilans HC di provinsi Bali, NTB dan NTT adalah
ternak babi pada peternakan tradisional. Besaran sampel yang diambil
selanjutnya di uji dan di analisis. Sebanyak 1341 sampel darah EDTA babi untuk
uji deteksi antigen dengan metode RT PCR dengan rincian sampel sebagai
berikut : Bali 454 sampel, NTB 297 sampel dan NTT 590 sampel. Sedangkan
untuk mengetahui antibodi Hog Cholera di uji 1023 serum babi dengan metode
ELISA dengan rincian sampel sebagai berikut : Bali 66 serum, NTB 271 serum
dan NTT 686 sampel serum.
Prosedur Uji Real Time-PCR
Ekstraksi RNA
Ekstraksi RNA virus AI dilakukan dengan menggunakan Pure Link Viral
RNA/DNA Mini Kit (Invitrogen), sesuai dengan prosedur pembuat kit. Secara
216
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
ringkas sebagai berikut : sebanyak 225 L Lisis buffer ke dalam tabung 2 ml
yang berisi 200 L specimen, di vortex dan diinkubasi 56oC elama 15 menit.
Selanjutnya ditambahkan alcohol absolut 250 L lalu di vortex, diinkubasi pada
suhu ruang selama 5 menit. Ditransfer ke dalam spin colum, disentrifus 8000
rpm suhu 4oC, 1 menit. Collection tube diganti kemudian ditambahkan 500 L
washing buffer, disentrifus 8000 rpm suhu 4oC, 1 menit. Selanjutnya collection
tube diganti dan disentrifuse kembali dengan kecepatan 14000 rpm selama 1
menit. Selanjutnya collection tube diganti dengan 1,5 ml recovery tube dan
ditambahkan 50 LRNAse free water. Diamkan dalam suhu ruang selama 1
menit, disentrifus 12000 rpm suhu 4oC . Spin colum dibuang dan tube yang
berisi RNA diberi label, sehingga RNA yang diperoleh siap untuk di uji.
Proses Amplifikasi
Deteksi virus HC dengan uji Real Time-PCR dilakukan menggunakan RT PCR
master mix reagent kit. Pelaksanaan RT-PCR dilakukan dengan mencampurkan
ke dalam tabung PCR bahan komponen one step PCR yang terdiri dari 2x
Reaction mix 12,5 L template RNA 5 L, Primer F (20 M) 0,5 L, Primer R
(20 M) 0,5 L Probe (10 M) 0,5 L, tambahkan Rnase free water (dH2O)
sebanyak 5 L. Kemudian tabung PCR tersebut dimasukan ke dalam mesin
real time PCR ABI Prism 7500 (Applied Biosystem), yang telah diprogram
dengan kondisi suhu: 1) sintesis cDNA 45oC selama 10 menit, 2) pre-denaturasi
95oC selama 10 menit dan dilanjutkan 45 x siklus program dengan kondisi 1)
denaturasi 95oC selama 15 detik, 2) annealing 60oC selama 45 detik dan
extention/ elongasi 72oC selama 1 menit. Hasil amplifikasi akan dibaca oleh
mesin computer dan akan ditampilkan dalam bentuk pola grafik.
Interpretasi hasil
Analisa data dilakukan dengan melihat pada Result yang akan menampilkan
data detektor dan Cycle threshold (Ct ). Cycle threshold (Ct) adalah siklus
flouresence yang dihasilkan dari reaksi yang memotong threshold dan kemudian
juga dilihat data report dan Amplication Plot (AP) nya untuk mengamati hasil
217
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
running RT-PCR.. Uji dinyatakan valid, jika Ct value control positif kurang dari 40
dan control negative tidak memiliki karakter curve yang sama dengan control
positif. Bila Ct value dari sampel yang diuji bernilai kurang dari 25 dinyatakan
positif kuat.
Prosedur uji Elisa HC Antibodi
Darah babi diambil dari vena jugularis babi, setelah menjendal kemudian serum
dipisahkan dengan cara disentrifus dengan kecepatan 2.500 rpm selama 10
menit. Serum ditampung dalam tabung bertutup kuning (yellow cuptube) dan
disimpan pada suhu -20°C atau -70°C sampai digunakan. Pada saat dilakukan
uji ELISA, sebanyak 200 µl serum sampel masing-masing dipindahkan pada plat
mikrotiter bentuk datar. Inkubasi semua komponen kit pada suhu ruangan. Dan
buka plate yang telah dilapisi CSFV gp55 dari tempatnya. Masukkan 50 µl
dilution buffer ke setiap well yang telah dilapisi dengan antigen CSFV gp55.
Masukkan 50 µl sampel, kontrol positif dan kontrol negative ke dalam well yang
telah berisi dilution buffer (1:2). Tutup plate dan inkubasi selama 60 menit atau
semalaman pada suhu ruangan. Cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing
buffer 1X (300 µl per well) dan buang konten dalam well setiap tahap
pencucian. Setelah itu ditambahkan 100 µl konjugat HRPO anti-CSFV (CSFV-
CAB) ke dalam setiap well. Tutup plate dan inkubasi selama 30 menit pada suhu
ruangan. Cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per
well) dan buang konten dalam well setiap tahap pencucian. Tambahkan 100 µl
TMB Substrat ke dalam setiap well. Tutup plate dan inkubasi selama 15 menit
pada suhu ruangan. Amati densitas perkembangan warna pada kontrol negative.
Stop reaksi enzymatic dengan menambahkan 50 µl stop solution ke setian well
dan baca pada panjang gelombang 450 nm. Validasi dan hitung hasilnya.
218
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Interpretasi hasil
Hitung % kompetisi (%PC) sampel menggunakan rumus sebagai berikut:
(Rata-rata OD Kontrol negatif – OD sampel)PI = x 100
(Rata-rata OD Kontrol negatif – Rata-rata OD Kontrol positif)
Interpretasi
%PC value ≥40% : Positif antibodi spesifik HC dalam serum.%PC value <40% : Negatif antibodi spesifik HC dalam serum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Hasil pengujian sampel untuk mendeteksi antigen penyebab Hog Cholera di
Bali, NTB dan NTT pada tahun 2018, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Deteksi virus Hog Cholera dengan metode RT PCR di ProvinsiBali, NTB dan NTT tahun 2018.
Provinsi Kabupaten JumlahSampel
PositifAg
NegatifAg
ProporsiPositif(%)
Buleleng 112 0 112 0Denpasar 47 0 47 0Bangli 88 0 88 0Badung 165 0 165 0
Bali
Klungkung 42 0 42 0Total 454 0 454 0
219
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Kupang 80 0 80 0Ende 75 0 75 0Manggarai Barat 80 0 80 0Nagekeo 60 0 60 0Ngada 60 0 60 0Sumba Timur 90 0 90 0Flores Timur 75 0 75 0
NusaTenggaraTimur
Lembata 70 0 70 0Total 590 0 590 0Lombok Tengah 91 0 91 0Mataram 106 0 106 0
NusaTenggaraBarat Lombok Barat 100 0 100 0
Total 297 0 297 0
Dalam kegiatan surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan
NTT diperoleh sebanyak 1341 sampel darah EDTA (Buffycoat/PBMC) babi. Di
Provinsi Bali diambil sejumlah 454 sampel dari 5 Kabupaten / Kota yaitu
Kabupaten Buleleng, Klungkung, Bangli, Badung, dan Kota Denpasar. Di
provinsi NTB diambil sejumlah 297 sampel dari kabupaten Lombok Barat 100
sampel, Lombok Tengah 91 sampel dan Kota Mataram 106 sampel. Sedangkan
di provinsi NTT diambil 590 sampel dari kabupaten Kupang 80 sampel, Ende 75
sampel, Manggarai Barat 80 sampel, Nagekeo 60 sampel, Ngada 60 sampel,
Sumba Timur 90 sampel, Flores Timur 75 sampel, dan Lembata 70 sampel.
Hasil laboratorium dari tiga provinsi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada
sampel yang terdeteksi positif virus Hog cholera (0 %).
Kegiatan surveilans Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar juga dimaksudkan untuk melihat proporsi antibodi Hog cholera di
provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2018. Hasil yang diperoleh dalam
kegiatan ini di provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 3).
220
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 3. Deteksi antibodi Hog Cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT tahun2018.
Provinsi Kabupaten JumlahSampel
SeroPositif
SeroNegatif
ProporsiPositif(%)
Buleleng 0 0 0 0Denpasar 19 1 18 5,26Gianyar 15 5 10 33,33Bangli 6 0 6 0Jembrana 2 0 2 0
Bali
Tabanan 24 11 13 45,83Total 66 17 49 25,76Kupang 65 0 65 0Ende 80 21 59 26,25Manggarai Barat 125 0 125 0Nagekeo 39 0 39 0Ngada 40 0 40 0Sumba Barat 32 0 32 0Sumba Timur 40 0 40 0Flores Timur 65 0 65 0Lembata 70 0 70 0Malaka 45 0 45 0Manggarai 35 0 35 0
NusaTenggaraTimur
Sumba Barat Daya 50 0 50 0Total 686 21 665 3,06Lombok Tengah 92 0 92 0Mataram 93 0 93 0
NusaTenggaraBarat Lombok Barat 86 0 86 0
Total 271 0 271 0
Kegiatan pengambilan sampel dilakukan di provinsi Bali, NTB dan NTT
sebanyak 1023 serum babi. Dari hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
hasil 38 (3,7%) sampel serum babi yang berasal dari wilayah kerja BBVet
Denpasar positif antibodi Hog cholera. Untuk di provinsi Bali diperoleh hasil 17
221
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
sampel dari 66 sampel serum positif antibodi Hog cholera (25,76 %). Untuk di
provinsi NTB, dari 271 sampel serum yang diuji, tidak satupun sampel yang
menunjukkan antibodi Hog cholera (0%). Sementara di provinsi NTT diperoleh
hasil 21 dari 686 sampel positif antibodi Hog cholera (3,06 %).
PEMBAHASAN.
Pada tahun 2018 di Provinsi Bali tidak terdeteksi positif virus HC sedangkan
untuk deteksi antibodi mencatat ada 17 sampel seropositif HC dari 66 sampel
yang diuji. Tidak diketahui secara pasti apakah hasil positif antibodi ini
disebabkan karena pemberian vaksinasi anti Hog Cholera atau karena infeksi
alam oleh virus Hog Cholera. Walaupun diyakinin oleh beberapa peternak
bahwa sebagian besar babi-babi mereka tersebut telah pernah dilakukan
vaksinasi terhadap Hog Cholera. Namun mengingat recording vaksinasi babi
babi tersebut tidak mampu telusur, sehingga hasil ini tidak bisa digunakan
sepenuhnya untuk menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan program vaksinasi
terkait upaya pengendalian dan atau pemberantasan. Hasil pengamatan di
lapangan selama tahun 2018 ini menunjukkan bahwa tidak ada dilaporkan kasus
HC oleh petugas di masing masing kecamatan di Bali. Hal ini di dukung oleh
hasil konfirmasi laboratorium bahwa semua sampel darah babi yang diambil
pada saat surveilans, negatif virus HC. Kondisi ini menunjukkan kasus HC di Bali
sudah terkendali dengan baik hingga nol kasus. Supaya kondisi ini tetap terjaga,
maka vaksinasi perlu terus dilakukan hingga mencapai herd immunity untuk
memutus penularan HC.
Hasil surveilans pada tahun 2018 di Provinsi NTT menunjukkan hasil tidak ada
sampel yang terkonfirmasi positif mengandung virus seperti ditunjukkan pada
Tabel 2. Hasil ini, berbeda dengan hasil surveilans HC di NTT yang pernah
dilakukan pada tahun 2017, dimana masih menunjukkan adanya positif antigen
virus. Demikian pula, berdasarkan data Dinas Peternakan Provinsi NTT, pada
wabah kasus HC di Pulau Flores pada tahun 2017 dilaporkan 10.056 kasus
kematian babi akibat HC dengan kerugian ekonomi yang langsung dirasakan
222
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
masyarakat mencapai 25 miliar (Prisma, 2017). Disebutkan bahwa penyebab
utama penyebarluasan HC di NTT khususnya di Flores karena pergerakan atau
lalu lintas ternak babi antar kabupaten dan antar pulau yang belum dikontrol
secara maksimal. Disamping itu, populasi babi di Flores sangat rentan terhadap
HC karena kurang dari 10 % dari populasi yang tervaksinasi (Dinas Peternakan
Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2017). Pada tahun 2018, hasil surveilans
menunjukkan hanya 3,06 % yang memiliki proporsi positif antibodi HC. Hal ini
menunjukkan bahwa masih banyak ternak babi yang belum memperoleh
vaksinasi Hog Cholera sehingga herd immunity masih sangat rendah. Untuk
melindungi peternakan babi dari Hog Cholera cakupan vaksinasi di suatu daerah
perlu terus ditingkatkan sehingga terbentuk herd immunity yang mampu
melindungi populasi dari infeksi Hog Cholera. Upaya pemberantasan Hog
Cholera di NTT, khususnya di Flores menjadi sangat relevan, mendesak dan
prioritas dalam rangka menjaga Flores sebagai lumbung babi di NTT. Flores
berkontribusi 44% terhadap populasi babi di NTT. Usaha peternakan babi
merupakan salah satu urat nadi perekonomian NTT. Ternak babi juga memiliki
nilai social budaya yang tinggi karena merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakat NTT.
Untuk di Nusa Tenggara Barat yang awalnya masih berstatus bebas Hog
Cholera, namun sejak Desember 2012 telah merubah status NTB menjadi
daerah tertular dengan ditemukan adanya kasus Hog Cholera di Desa Giri
Temesi, Kecamatan Gerung , Lombok Barat dan di Desa Tegal Maja,
Kecamatan Tanjung, Lombok Utara.
Berdasarkan hasil pengujian sampel surveilans HC di NTB pada tahun 2018
menunjukkan hasil uji negatif antigen virus HC dan seronegatif untuk masing-
masing uji. Tidak adanya kasus penyakit HC di Nusa Tenggara Barat
kemungkinan besar karena biosekuriti telah dilaksanakan dengan baik, peran
pengawasan lalu lintas ternak beserta produknya memiliki peran yang sangat
berarti. Dari pendokumentasian kasus HC dan hasil surveilans BBVet Denpasar,
sejak tahun 2013 di Provinsi NTB sudah tidak pernah dilaporkannya kasus HC.
223
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Dengan kondisi tersebut seyogyanya Pemerintah Provinsi NTB segera
melakukan kajian pembebasan HC bersama BBVet Denpasar melalui surveilans
yang efektif yaitu surveilans berbasis risiko. Mengingat dalam pedoman
pengendalian dan penanggulangan Hog Cholera, disebutkan pembagian status
daerah dengan kriteria bebas adalah sebagai berikut: adanya batasan alam
(barrier alami) berupa laut dan tidak pernah dilaporkan kasus HC dalam 3 tahun
terakhir baik secara klinis, epidemiologis dan konfirmasi laboratorium, melalui
surveilans.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan1. Surveilans HC di wilayah kerja BBVet Denpasar baik di Bali, NTB, dan NTT
tahun 2018 menunjukkan tidak terdeteksi adanya antigen virus Hog Cholera.
2. Proporsi hasil positif antibodi Hog cholera pada tahun 2018 di provinsi Bali,
NTB dan NTT berturut turut sebesar 25,76%, 0 %, dan 3,06%.
Saran1. Surveilans untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi maupun melalui
indikator antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar agar tetap dilaksanakan terutama untuk wilayah yang tidak
melakukan program vaksinasi seperti di provinsi NTB. Hal tersebut juga
untuk melihat kemungkinan dilakukan upaya pembuktian wilayah NTB
sebagai wilayah bebas penyakit Hog cholera.
2. Pada peternakan yang terdeteksi positif virus Hog cholera disarankan untuk
melakukan vaksinasi Hog cholera dan pengawasan lalu lintas ternak babi
secara ketat serta mengimplementasikan prinsip-prinsip biosecurity.
3. Mengembangkan sistem surveilans berbasis risiko dan sindromik yang akan
diusulkan untuk dilakukan pada tahun selanjutnya dengan tingkat sensitifitas
dan spesifisitas surveilans yang lebih tinggi untuk dapat mendeteksi virus
Hog cholera.
224
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan
surveilans Hog Cholera, sehingga surveilans dapat dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA.
Dharma, D.M.N dan Putra, A.A.G (1997). Penyidikan Penyakit Hewan. Bali Media.
Dibia, N., Melyanto, S.E., Abioga, D.P., Purnatha, N., Suryadinata, L.M.F., Kurniawan F.R.(2017). Surveilans dan Monitoring Hog Cholera di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur tahun 2016. Laporan Teknis Balai Besar VeterinerDenpasar.
Direktorat Kesehatan Hewan (2015). Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan ClassicalSwine Fever. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Ressang, A. A. (1986). Penyakit Viral pada Hewan. UI-press. Jakarta.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DAN KUKUDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA
TENGGARA TIMUR TAHUN 2018
I Nyoman Dibia, Ardiana, Lalu Muh. Faesal Suryadinata, Fauzi R.Kurniawan
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Deteksi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah dilakukan melalui surveilans dan monitoring diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selama surveilans berbasisrisiko berhasil dikumpulkan sampel sebanyak 412 sampel dengan rincian 148 sampel serum diprovinsi Bali dan 114 sampel serum di Nusa Tenggara Barat dan 150 sampel serum di NusaTenggara Timur. Hasil pengamatan dan pemeriksaan selama pelaksanaan surveilans, tidakditemukan ternak sapi dan babi yang menunjukkan gejala klinis PMK. Demikian pula hasil ujidengan metode ELISA menggunakan Priocheck FMDV NS Elisa Kit menunjukkan semuasampel serum negatif antibodi PMK. Dapat disimpulkan bahwa provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur masih bebas PMK.
Kata Kunci : Surveilans, Penyakit Mulut dan Kuku, Elisa.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit viral yang sangat menular dan
menyerang semua hewan berkuku belah/ genap seperti sapi, kerbau, kambing,
domba dan babi. PMK disebabkan oleh virus yang termasuk genus
Aphthovirus dari family Picornaviridae, berukuran sangat kecil yaitu sekitar 20
milimikron. Virus PMK terdiri dari 7 serotipe yaitu: O, A, C, SAT-1, SAT-2, SAT-
3, dan Asia-1 (OIE, 2014). Penyakit ditularkan melalui kontak langsung antara
hewan sakit dengan yang sehat atau secara kontak tidak langsung melalui
makanan yang tercemar (terutama peternakan yang mempraktekan swill
feeding) atau melalui lalu lintas bahan bahan lain yang tercemar. Masa
inkubasi PMK pada umumnya antara 2-5 hari atau lebih. Penyakit ini ditandai
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
dengan adanya pembentukan vesikel / lepuh dan erosi pada mukrosa mulut,
lidah, gusi, nostril, ambing, dan pada kulit diantara kuku (Donaldson, 1993).
Pada hewan ruminansia dapat membawa virus setelah sembuh dan virus tetap
persisten dalam faring sapi selama 3 tahun.
Kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik / mewabah. Tingkat
morbiditas PMK sangat tinggi yakni dapat mencapai 100% tetapi tingkat
kematian penderita sangat rendah. Meskipun demikian kerugian yang
ditimbulkan sangat besar yakni terjadi penurunan berat badan, penurunan
produksi susu, dan hambatan lalu lintas ternak beserta produknya.
Pada tahun 1986, pemerintah menyatakan Indonesia bebas PMK melalui SK
Mentan 260/1986, selanjutnya secara resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan
Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE) pada tahun 1990
seperti tercantum dalam resolusi OIE No. XI tahun 1990. Masuknya PMK ke
negara bebas pada umumnya melalui importasi daging atau importasi ternak.
Mengingat Indonesia berdekatan dengan Negara Negara tertular PMK, maka
masuknya PMK perlu diwaspadai. Disamping itu, wilayah kerja BBVet
Denpasar pada umumnya dikenal sebagai daerah tujuan wisata dunia
sehingga tingginya arus lalu lintas manusia dari daerah tertular PMK ke
Indonesia juga berpotensi menyebarkan PMK. Untuk itu surveilans berbasis
risiko / monitoring dalam rangka mengevaluasi status bebas dan deteksi dini
penyakit Mulut dan Kuku di wilayah kerja BBVet Denpasar (Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur ) perlu dilakukan.
Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut; Apakah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur masih bebas Penyakit Mulut dan Kuku ?
Tujuan Kegiatan
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Mendeteksi virus PMK di wilayah kerja BBVET Denpasar yang berisiko melalui
surveilans sindromik dan uji serologis dengan indikator antibodi untuk
membuktikan bahwa Bali, NTB dan NTT masih bebas PMK.
Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah status PMK di wilayah kerja BBVet Denpasar serta dijadikan bahan
pertimbangan dalam rangka peningkatan kewaspadaan dini terhadap PMK
Out putTermonitornya status bebas penyakit Mulut dan Kuku di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Out comeTerwujudnya lingkungan ternak bebas PMK di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur.
ANALISA RISIKO PMK DI BALI, NTB DAN NTT
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar belum mampu memenuhi
kebutuhan daging sapi / kerbau secara lokal. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, Indonesia masih melakukan importasi dalam bentuk daging beku.
Disamping itu, tingginya arus perdagangan internasional yang masuk tentunya
meningkatkan potensi ancaman masuknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) ke
Indonesia termasuk ke wilayah kerja BBVet Denpasar (Bali, NTB dan NTT).
Selama ini sebagian besar wabah PMK di beberapa Negara di dunia selalu
mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan / lalu lintas hewan dan
produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk hewan
tercatat dapat menjadi media pembawa virus PMK antara lain yaitu daging dan
produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan dan produk
hewan, hijauan pakan ternak, jerami, dan beberapa jenis material lainnya dapat
juga berperan dalam penyebaran PMK. Meningkatnya jumlah penumpang
internasional dari daerah / negara tertular juga merupakan salah satu potensi
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
ancaman masuknya PMK yang cukup besar. Berdasarkan hasil kajian peneliti
sebelumnya menyatakan bahwa virus PMK dapat disebarkan oleh orang
melalui sepatu, tangan dan pakaian yang tercemar.
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring PMK diwilayah kerja BBVet Denpasar
dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring PMK di Wilayah Kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar.
No Risiko Solusi
1 Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai
Melakukan koordinasi dengandinas peternakan atau yangmenangani peternakan dankesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikandengan kegiatan lain pada Dinas /instansi terkait.
2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengandinas terkait sehingga jumlahsampel minimal terpenuhi.
3 Rusaknya sampel akibat tidaktersedianya sarana penyimpananyang layak (pendingin)
Berkoordinasi dengan dinassetempat untuk dapat menitipkansampel yang diperoleh padakulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan coolerbox beserta ice pack sehinggasampel masih tetap baik sampaidi laboratorium.
4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensifdengan tim pengadaan barangdan jasa BBVet Denpasar terkaitketersediaan bahan pengujian
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alat
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
pengujian yang rusak. Untuksementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaranpengujian.
MATERI DAN METODEMateri
Bahan : Serum hewan peka (sapi dan babi),
Kit Elisa antibodi PMK (PrioCHECK FMDV NS)
Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum
venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader.
Metodea. Metode sampling
Sampel yang diambil dalam surveilans berbasis risiko ini adalah serum ternak
peka PMK pada peternakan di wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans PMK di
provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan rumus Detect present of the
Disease (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95
%, dengan asumsi prevalensi adalah 1 %, serta ukuran populasi di masing-
masing provinsi di atas 10.000 ekor maka diperlukan 299 sampel untuk
mendeteksi setidaknya satu positif dengan peluang 0,95.
b. Metode pengujianPengujian sampel serum untuk mendeteksi antibodi Non Struktural Protein
virus penyebab PMK akibat infeksi alam (OIE, 2014) menggunakan Kit Elisa
antibodi PMK (Priocheck FMDV NSP), dengan prosedur uji sebagai berikut :
Hari pertama proses pengujian
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1. ELISA buffer sebanyak 80 µl dimasukkan ke semua well plate yang sudah
dilapisi antigen virus PMK
2. Serum kontrol negatif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well A1 dan B1
3. Serum kontrol positif lemah sebanyak 20 µl dimasukkan ke well C1 dan D1
4. Serum kontrol positif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well E1 dan F1
5. Sampel serum sebanyak 20 µl dimasukkan ke masing masing well yang
masih kosong.
6. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah disediakan
7. Plate uji digoyang dengan pelan
8. Plate uji di inkubasi semalaman (16-18 jam) pada suhu 22 °C
Hari kedua proses pengujian1. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan selanjutnya plate dicuci
menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing-masing
200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang
terakhir.
2. Konjugat sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells
3. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah tersedia.
4. Plate uji diinkubasi selama 60 menit pada suhu 22 °C
5. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan dan cuci plate tersebut
menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing masing
200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang
terakhir.
6. Substrat chromogen (TMB) sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells
7. Plate uji diinkubasi selama 20 menit pada suhu 22 °C
8. Stop solution sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells
9. Mix semua bagian di wells plate uji untuk di ukur
10.Densitas diukur dengan menggunakan ELISA reader dengan panjang
gelombang 450 nm setelah 15 menit
11.Nilai OD450 dihitung sebagai berikut:
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
OD450 sampelPI = 100 - x 100
OD450 max
Interpretasi Hasil
1. OD450 max (rata-rata OD450 kontrol negatif) harus >1.000
2. Rata-rata persentase inhibisi kontrol positif lemah harus >50%
3. Rata-rata persentase inhibisi kontrol positif harus >70%
4. Bila tidak menemukan kriteria itu, berarti hasilnya tidak terpakai
5. Bila PI ≥50% = seropositif PMK
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Bali pada tahun 2018
dilakukan di 2 kabupaten/kota yaitu Denpasar dan Badung. Jumlah sampel
yang diambil sejumlah 148 sampel yang terbagi dari seluruh kabupaten yang
disampling. Dari hasil pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau
negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)di provinsi Bali Tahun 2018.
Kab / Kota Kecamatan Desa / Kel Seropositif
Seronegatif
JumlahSampel
Badung Abiansemal Punggul 0 50 50DenpasarSelatan Sesetan 0 50 50
Denpasar
DenpasarTimur Kesiman 0 48 48
Total 0 148 148
Pengambilan sampel di wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada
tahun 2018 dilakukan di tiga kabupaten/kota yaitu Lombok Tengah, Lombok
Timur, dan Kota Mataram. Jumlah sampel yang diambil berjumlah 114 sampel.
Dari hasil pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau negatif antibodi
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 3. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)di Provinsi Nusa Tenggara Barat , Tahun 2018.
Kabupaten Kecamatan Desa / Kel Seropositif
Seronegatif
JumlahSampel
Praya Tengah Kelebuh 0 10 10
KopangMontongGamang
024 24
LombokTengah
Pringgarata Murbaya 0 30 30Mataram Sandubaya Selagalas 0 25 25Lombok Timur Selong Kelayu 0 25 25
Total 0 114 114
Sampel yang diuji dari provinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 150 sampel
serum, yang diambil di tiga kabupaten / kota yaitu Kupang, Malaka, dan
Manggarai Barat. Dari hasil pengujian diperoleh hasil semua sampel negatif
antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)di provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2018.
Kabupaten Kecamatan Desa / Kel Seropositif
Seronegatif
JumlahSampel
Kupang Kupang Tengah Penfui Timur 0 50 50Tasifeto Barat Derok Faturene 0 25 25
Fatukety 0 18 18Malaka
Kakuluk MesakDualaus 0 7 7MacangTanggar
011 11
ManggaraiBarat
Komodo
Wae Kelambu 0 39 39Total 0 150 150
PEMBAHASAN
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Penyakit Mulut dan Kuku merupakan penyakit hewan menular yang
mempunyai dampak ekonomi yang sangat besar, antara lain karena
kehilangan produktivitas, pemusnahan ternak terinfeksi, kehilangan peluang
ekspor dan biaya eradikasi. Telah diketahui secara umum bahwa lalu lintas
ternak dan produk asal ternak serta bahan bahan lainnya yang tercemar virus
merupakan sarana penular / pembawa virus PMK atau sumber penular. Oleh
karenanya, terhadap bahan-bahan tersebut di atas pada saat terjadinya wabah
atau adanya ancaman wabah perlu memperoleh pengawasan yang sangat
ketat. Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (Malaysia, Thailand,
Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja) masih tertular PMK, sehingga selalu
menjadi ancaman yang besar terhadap kemungkinan introduksi PMK ke
Indonesia. Mengingat kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik /
mewabah, dan menyebar sangat cepat serta dapat melintasi batas batas
negara, maka perlu dicermati secara seksama agar Indonesia yang telah
bebas dari PMK tidak tertular kembali, yang pada akhirnya akan sangat
merugikan perekonomian nasional.
Hasil surveilans dan monitoring Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) oleh Balai
Besar Veteriner Denpasar tahun 2018 di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan tidak ada kasus klinis PMK yang
ditemukan di lapangan dan secara serologis semua sampel serum negatif
antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Hasil ini mengukuhkan bahwa Bali,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur masih tetap bebas Penyakit
Mulut dan Kuku (PMK). Bebasnya wilayah ini dari Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK) karena telah dilakukan tindak pencegahan melalui pengawasan lalu
lintas/ tindak karantina yang sangat ketat terhadap pemasukan atau import
ternak ruminansia dan produknya dari negara tertular Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK).
Surveilans PMK di daerah yang memiliki risiko tinggi untuk kemungkinan
masuknya hewan/produk hewan dari negara tertular PMK merupakan kunci
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
utama dalam rangka mempertahankan status bebas PMK di Indonesia. Untuk
itu, dipandang perlu penguatan sistem surveilans untuk membangun suatu
sistem deteksi dini (early detection system) yang memiliki sensitivas tinggi
terhadap PMK terutama di daerah / kawasan yang memiliki potensi ancaman
karena penyelundupan hewan atau produk hewan dari negara tertular, dan
lokasi dengan peternakan babi yang pakannya menggunakan sisa hotel (swill
feeding).
Penggunaan Kit pengujian dengan penandaan terhadap protein non struktural
merupakan salah satu langkah dalam meningkatkan sensitivitas surveilans.
Replikasi virus pada hewan yang terinfeksi PMK menginduksi respons imun
terhadap protein non struktural (NS) PMK. Respons terhadap protein NS ini
tidak bersifat spesifik serotype. Infeksi dapat ditunjukkan dengan salah satu
dari tujuh serotipe. Hewan yang tidak terinfeksi PMK tetapi divaksinasi tidak
akan mengembangkan respons antibodi yang terdeteksi terhadap protein NS
pada uji ELISA. Namun demikian, jika vaksin yang digunakan dengan kualitas
rendah, seperti kurangnya inaktivasi dan pemurnian virus, dapat menyebabkan
hasil positif palsu dalam pengujian (Ha et al., 2008; Khounsy and Conlan,
2008; Morissy et al., 2008). Dalam hal ini, identifikasi dan kualitas vaksin
menjadi penting untuk interpretasi hasil yang benar.
Dalam rangka mengantisipasi kemungkinan masuknya PMK ke Indonesia,
mengingat beberapa negara tetangga di Asia Tenggara telah tertular,
dipandang perlu segera ditetapkan rencana aksi darurat yang bertujuan untuk
menguraikan prosedur-prosedur yang perlu dilaksanakan, struktur manajemen
dan peran yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak yang terlibat,
apabila ada dugaan / kasus PMK.
KESIMPULAN DAN SARAN.
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
KesimpulanBerdasarkan kegiatan surveilans / monitoring PMK oleh BBVet Denpasar pada
tahun 2018 dapat disimpulkan ;
1. Selama pelaksanaan surveilans, tidak ditemukan ternak yang
menunjukkan gejala klinis PMK.
2. Dari 412 sampel serum yang diuji, tidak terdeteksi antibodi PMK (negatif
antibodi PMK).
3. Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur masih tetap
bebas PMK.
Saran
Mengingat ancaman masuknya PMK ke Indonesia sangat tinggi dan
berlangsung setiap saat, maka kegiatan surveilans / monitoring perlu
dilaksanakan secara berkelanjutan, terutama di daerah-daerah yang berisiko
tinggi dengan metode surveilans yang memiliki sensitivitas yang tinggi
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan
surveilans penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sehingga surveilans dapat
dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Donaldson, A.I. (1993). Eidemiology of Foot and Mouth Disease the Curent and NewPerspective. Diagnosis and epidemiology of foot and mouth disease in southeastAsia. Aciar Proceeding No 51, 9-15.
Ha, N.T. (2008). The Classical Swine Fever and Foot and Mouth Disease Situation in Vietnam.In Management of Classical Swine Fever and Foot and Mouth Disease in LaO PDR.Aciar Proceedings 128.
Khounsy, S and Conlan, J. (2008). Classical Swine Fever and Foot and Mouth Disease in LaOPDR. In Management of Classical Swine Fever and Foot and Mouth Disease in LaOPDR. Aciar Proceedings 128.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P. (1987). Principles and Methods VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press. USA.
Morrissy, C., Wright, L., Conlan, J., Goff, W., Colling, A., Hammond, J., Johnson, M., Blacksell,S., and Daniels, P. (2008). Diagnostic tests for the control of Classical Swine Feverand Foot and Mouth Disease in South East Asia: An overview. In Management ofClassical Swine Fever and Foot and Mouth Disease in LaO PDR. Aciar Proceedings128.
OIE. (2014). Foot and Mouth Disease. OIE Terrestrial Manual, Chapter 2.1.5.
192
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018
I Nyoman Dibia, Ardiana, Lalu Muh. Faesal Suryadinata, Fauzi R.Kurniawan
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan surveilans berbasis risiko di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan NusaTenggara Timur yang bertujuan untuk mengetahui distribusi kasus dan mendeteksi keberadaanvirus Avian Influenza pada unggas dan lingkungan. Pengujian dilakukan dengan metodeisolasi virus pada telur ayam berembrio dan teknik Konvensional / Real Time PolymeraseChain Reaction (RT-PCR). Pada saat surveilans diperoleh sampel unggas (swab nasal dankloaka / lingkungan / organ unggas dari wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT masing-masingsebanyak 3.085 sampel 411 sampel dan 895 sampel. Hasil pengujian sampel menunjukkanproporsi positif virus AI (H9N2) di pasar unggas hidup di Provinsi Bali, NTB dan NTT masing-masing sebesar 0,2%, 0% dan 0,6%. Kondisi ini menunjukkan bahwa Avian Influenza masihbersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Kata kunci: Avian Influenza, Surveilans, Bali, NTB, NTT.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Avian Influenza adalah penyakit hewan menular yang menyerang unggas,
disebabkan oleh virus influenza tipe A, family Orthomyxoviridae. Virus
influenza A dibedakan menjadi sub-sub tipe berdasarkan karakter glikoprotein
pada permukaan virus yang berperan dalam menyusun hemaglutinin (HA) dan
neuraminidase (NA). Secara genetik diketahui ada 16 macam HA (H1-H16)
dan 9 NA (N1-N9). Dengan demikian virus influenza A mempunyai 144 subtipe
kemungkinan. Virus AI memiliki kemampuan mutasi dan reasorsi genetik
sehingga terjadi antigenic drift dan atau antigenic shift yang dapat
mempengaruhi sifat antigenik, patogenesitas dan spesifisitas hospesnya.
Kondisi tersebut akan dapat menyebabkan sistem kekebalan induk semang
sulit mengenali virus yang telah bermutasi tersebut.
193
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Dugaan kasus pertama HPAI sub tipe H5N1 pada unggas di Indonesia terjadi
di Jawa Tengah, sekitar bulan Agustus 2003 dan baru dikukuhkan
keberadaannya secara definitif pada Januari 2004. Pada awalnya, virus H5N1
yang diisolasi di Indonesia termasuk dalam kelompok keturunan genetik
(clade) 2.1, kemudian berkembang menjadi clade 2.1.3, selanjutnya menjadi
clade 2.1.3.1, 2.1.3.2 dan clade 2.1.3.3. Hasil kajian lapangan dan penelitian
laboratorium menunjukkan bahwa virus H5N1 clade 2.1 patogen pada unggas
dari golongan gallinaceous seperti ayam layer, ayam broiler, ayam kampung
dan puyuh, sedangkan itik dan unggas air lainnya relatif tahan. Sejak akhir
2012, muncul virus clade 2.3.2.1 yang merupakan virus H5N1 introduksi baru
ke Indonesia dan menyebabkan wabah pada itik dan entok. Sampai saat ini AI
bersifat endemik di 32 dari 34 provinsi di Indonesia, kecuali Provinsi Maluku
Utara dan Maluku.
Avian Influenza khususnya HPAI menyebabkan kerugian ekonomi sangat
besar karena morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi, menyebabkan
penurunan produksi telur dan daging, serta penurunan kesempatan berusaha
di bidang peternakan ayam. Dari aspek kesehatan masyarakat, AI merupakan
penyakit zoonosis dan telah menyebabkan kematian manusia. Mengingat virus
AI memiliki sifat yang mudah bermutasi genetik sehingga berpotensi
menimbulkan pandemi influenza yang sangat berbahaya (Direktorat
Kesehatan Hewan, 2016). Untuk itu perlu dilakukan surveilans yang efektif
untuk mengetahui status daerah terhadap Avian Influenza di wilayah kerja
BBVet Denpasar.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut; Bagaimana situasi / status Avian
Influenza di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di
Tahun 2018?
194
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tujuan kegiatanMengetahui situasi /status Avian Influenza di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan dan Nusa Tenggara Timur. Tahun 2018.
Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah mengenai situasi / status Avian Influenza di Provinsi Bali, NTB dan
NTT, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan
dalam rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Avian Influenza
di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Out putTermonitornya situasi / status Avian Influenza yang ada di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sesuai tugas dan fungsi Balai
Besar Veteriner untuk menyediakan hasil surveilans Avian Influenza sebagai
salah satu penyakit hewan menular strategis prioritas di Indonesia.
Out comeTerwujudnya lingkungan ternak unggas bebas Avian Influenza di Provinsi Bali,
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
ANALISA RISIKO AVIAN INFLUENZA DI BALI, NTB DAN NTT
Avian Influenza merupakan penyakit yang sangat signifikan secara ekonomi.
Penyakit ini cepat menyebar dalam populasi unggas dan bersifat zoonosis.
Besarnya dampak Avian Influenza terhadap populasi unggas yang rentan tidak
hanya mempengaruhi industri perunggasan secara local, namun juga
internasional melalui pembatasan perdagangan antar Negara. Karena dampak
internasional ini, Avian Influenza termasuk salah satu penyakit yang harus
dilaporkan menurut OIE. Beberapa faktor risiko penyebaran Avian Influenza di
Bali, NTB dan NTT antara lain manajemen kesehatan hewan belum
195
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
terimplementasikan secara optimal, pengawasan lalu lintas ternak unggas
masih lemah, pencampuran unggas di setiap rantai pasar, status biosekuriti
terbatas, dan minimnya manajemen produk peternakan unggas dan hasil
sampingannya (by product).
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring AI diwilayah kerja BBVet Denpasar
dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring AI di Wilayah Kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar.
No Risiko Solusi
1 Jadwal pengambilansampel tidak sesuai
Melakukan koordinasi dengan dinaspeternakan atau yang menanganipeternakan dan kesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilan sampelsebelum keberangkatan sehingga dapatdisesuaikan dengan kegiatan lain padaDinas / instansi terkait.
2 Target sampel tidakterpenuhi
Melakukan koordinasi dengan dinas terkaitsehingga jumlah sampel minimalterpenuhi.
3 Rusaknya sampel akibattidak tersedianya saranapenyimpanan yang layak(pendingin)
Berkoordinasi dengan dinas setempatuntuk dapat menitipkan sampel yangdiperoleh pada kulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan ke Denpasarmenggunakan cooler box beserta icepack sehingga sampel masih tetap baiksampai di laboratorium.
4 Bahan pengujian belumtersedia
Berkomunikasi secara intensif dengan timpengadaan barang dan jasa BBVetDenpasar terkait ketersediaan bahanpengujian
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan Kasubbag RTPterkait perbaikan alat pengujian yangrusak. Untuk sementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVet Denpasar untukkelancaran pengujian.
196
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
MATERI DAN METODE
Materi1. Bahan dan Alat untuk pengujian Isolasi AI :
- Telur ayam berembrio umur 9-11 hari.- PBS 1x pH 7,4, stok antibiotika (10.000 IU/ml penisilin, 10.000 µg/ml
streptomisin).
- Biohazard Cabinet Containment Level II, inkubator (37°C), sentrifus,gunting, skalpel, pinset, mortar, alu, spuit 1 ml, tabung, kotak lamputeropong telur.
2. Bahan dan Alat untuk pengujian PCR AI :
- Kit ekstraksi (Invitrogen, No Katalog : 2280-050, 12280-096)
- Kit Master Mix (Ag Path – IDTM One Step RT-PCR Kit, P/NAM 1005)
- BSC, Single channel, Tip steril ukuran 1000 µl, 200 µl, 50 µl, Mikrotube2 ml
3. - Primer Type A
IVAF-D161 M :5’-AGATGAGYCTCCTAACCGAGGTCG
IVA.R-D162 :5’-TGCAAAAACATCYTCAAGTCTCTG
IVA.R-D162 :5’-TGCAAACACATCYTCAAGTCTCTG
IVA.R-D162 :5’-TGCAAAGACATCYTCAAGTCTCTG
IVA.R-D162 :5’-TGCAAATACATCYTCAAGTCTCTG
Probe : - Probe Influenza/ 6158014-1/C6
- Primer H5
Clade 2.1.3
197
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
H5IVA-D148H5 F : 5’-AAACAGAGAGGAAATAAGTGGAGTAAAATT
H5IVA-D148H5 R: 5’-AAAGATAGACCAGCTACCATGATTGC
Clade 2.3.2
Primer IVA-D204 (F) : 5’-ATGGCTTCCTCGGRAACCC
Primer IVA-D205 (R) : 5’-TTYTCCACTATGTAAGACCATTCCG
Probe: - Probe Influenza/ 5712289-1/ A7
- Probe H5/ 5712289-2/ A8
- Primer H7
FLI-H7 Fwd : 5’-AYAGAATACAGATWGACCCAGT-3’
FLI-H7 Rev : 5’-TAGTGCACYGCATGTTTCCA-3’
FLI-H7 Probe : 5’-FAM-TGGTTTAGCTTCGGGGCATCATG-BHQ1-3’
- Primer H9
H9 Fwd : 5’-ATGGGGTTTGCTGCC-3’
H9 Rev : 5’-TTATATACAAATGTTGCAC(T)CTG-3’
H9 Probe : 5’-FAM-TTCTGGGCCATGTCCAATGG-TAMRA-3’
- Primer N1
AI N1 1316F Fwd : 5’-GYGGGAGCAGCATATCYTT-3’
AI N1 1379R Rev : 5’-CCGTCTGGCCAAGACCAA-3’
AI N1 1336P Probe :5’-FAM-TGTGGTGTAAAYAGTGACAC-BHQplus3’
198
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
- Primer N2IVA-Ntype_N2-F : 5’- GCATGGTCCAGYTCAAGYTG -3’IVA-Ntype_N2-R : 5’- CCYTTCCAGTTGTCTCTGCA -3’
Metode
Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah swab kloaka dan trakea ternak
unggas (ayam, itik, entok) dan swab lingkungan (swab meja tempat penjualan
atau tempat pemotongan karkas unggas, tempat pemotongan ternak unggas,
keranjang unggas hidup yang ada di pasar, lingkungan sekitar pasar unggas
hidup, baju atau celemek pedagang karkas unggas dan peralatan yang
digunakan untuk memotong unggas).
Prosedur Pengujian:
1. Isolasi virus AI pada Telur Ayam berembrioTelur ayam berembrio yang berumur 9-11 hari yang berasal dari ayam
yang tidak divaksinasi AI atau telur SAN disiapkan untuk pengujian,
kemudian diperiksa pada teropong lampu. Dilakukan pemilihan embrio
yang aktif kemudian dibuat batas di atas rongga udara dan disucihamakan
dengan alkohol 70% setelah itu dibor dengan bor grinder atau jarum
venoject. Selanjutnya suspensi jaringan di inokulasi (sebagai inokulum).
Suspensi jaringan sebagai inokulum disuntikkan sebanyak 100 µl langsung
ke dalam ruang allantois. Masing-masing sampel menggunakan 3-5 telur
ayam berembrio. Kemudian lubang ditutup dengan kutex atau lilin,
selanjunya telur diinkubasi selama 5 hari pada suhu 37°C. Pengamatan
dilakukan setiap hari, apabila ada embrio yang mati setelah 24 jam atau 4
hari pasca inokulasi, dikeluarkan dari inkubator dan disimpan dalam kulkas
(4°C) selama 1 sampai 24 jam sebelum cairan allantois dipanen untuk
pengujian.
Selanjutnya telur dikeluarkan dari kulkas kemudian kulit telur didesinfeksi
dengan alkohol 70%. setelah itu kulit telur dibuka dan cairan allantois
ditampung dalam tabung steril untuk selanjutnya dilakukan identifikasi
dengan teknik hemaglutinasi (HA) dan hambatan hemaglutinasi (HI).
199
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Interpretasi hasilEmbrio ayam yang terinfeksi virus ditandai dengan kematian, kerdil dan
perdarahan seluruh tubuh dan kaki.
2. Uji Hemaglutinasi (HA)Pada semua lubang plat mikrotiter bentuk U ditambahkan 25 µl PBS
setelah itu ditambahkan 25 µl antigen (cairan allantois) dan lakukan
pengenceran secara seri kelipatan dua. Untuk menentukan ketepatan titer
HA dilakukan pengenceran secara seri. Selanjutnya, sebanyak 25 µl PBS
ditambahkan pada semua lubang, dan sebanyak 25 µl suspensi sel darah
merah ayam 1% juga ditambahkan pada semua lubang. Plat diinkubasi
pada suhu kamar (20°C) selama 40 menit atau pada suhu 4°C apabila
ambien suhu tinggi, dan diamati adanya hemaglutinasi dibandingkan
dengan kontrol sel. Jika ada hemaglutinasi pada sumuran mikroplate maka
pengujian dilanjutkan ke uji hambatan hemaglutinasi/hemaglutinasi inhibisi
(HI) sebagai konfirmasi adanya virus AI
Interpretasi hasilTiter antigen dinyatakan sebagai pengenceran tertinggi dari antigen yang
masih mampu mengaglutinasi 100% sel darah merah ayam.
3. Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI)Pada semula lubang plat mikrotiter bentuk U ditambahkan PBS 25 ul,
setelah itu ditambahkan 25 µl serum unggas yang akan diuji pada deret
lubang A1-H1, selanjutnya dilakukan pengenceran secara seri kelipatan
dua sampai lubang 11, lubang 12 sebagai kontrol sel. Kemudian sebanyak
25 ul antigen 4 unit HA ditambahkan pada semua lubang, kecuali deret
lubang 12 sebagai kontrol sel. Kemudian plat diinkubasi pada suhu kamar
200
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
(18-20°C) selama 30 menit. Selanjutnya sebanyak 25 µl suspensi sel darah
merah ayam 1% ditambahkan pada semua lubang, sambil diayak dan
diinkubasi pada suhu kamar (20°C) selama 40 menit.
Interpretasi hasilTiter serum (HI) adalah pengenceran tertinggi dari serum yang
memperlihatkan hambatan komplek terhadap 4 unit HA antigen. Titer HI >
16 (24) : positif antibodi.
4. Pengujian Real Time PCR AIPERSIAPAN CARRIER RNA
Sebanyak 310 ul RNAse Free Water ditambahkan ke dalam 310 µg
lypolized Carrier RNA. Kemudian dicampurkan dengan baik dan dialiquot ±
20 ul/tabung dan disimpan pada suhu -20˚C.
Menghitung Carrier RNA yang akan dipakai dengan rumus sbb:
1 Sampel Lysis Buffer = 0,21 ml
1 Sampel carrier RNA = 5,88 ml
Cara kerja :Ekstraksi sampel
Sebanyak 200 µl lysis buffer (add carrier RNA) + 200 µl specimen + 25 µl
Proteinase K dimasukkan ke dalam mikrotube. Kemudian mikrotube tersebut
divortex dan diinkubasi pada suhu 56˚C selama 15 menit dan dispin beberapa
detik. Selanjutnya sebanyak 250 µl alkohol absolute (ethanol absolute)
ditambahkan ke dalam mikrotube tersebut dan diinkubasi selama 5 menit pada
suhu ruangan, kemudian divortex dan dispin lagi. Selanjutnya suspensi
ditransfer dalam spin kolom dan disentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm
selama 1 menit. Selanjutnya collection tube diganti dan supernatan dibuang
dan ditambahkan 500 µl washing buffer dan di sentifuse dengan kecepatan
8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya collection tube diganti dan supernatan
dibuang dan ditambahkan 500 µl washing buffer dan di sentifuse dengan
kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya collection tube diganti dan
disentrifuse kembali dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Kemudian
201
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
collection tube diganti dengan mikrotube 1,5 ml recovery + 50 ul RNAse Free
Water dan diinkubasi selama 1 menit pada suhu ruangan, selanjutnya
disentrifuse lagi dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. RNA siap
dilakukan pengujian.
Pembuatan Master Mix Type A
Pembuatan Master Mix Subtype H5
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel (….x)
1 2x ReactionMix
12.5 µl
2 Duplex H5 6.5 µl3 Enzyme 0.5 µl4 NFW 0.5 µl5 Template 5 µl
Total Volume 25 µl
Pembuatan Master Mix Subtype H7
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel (….x)
1 2x ReactionMix
12.5 µl
2 Duplex H7 4.25 µl3 Enzyme 1 µl4 NFW 2.25 µl
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel(…..x)
1 2x Reaction Mix 12.5 µl2 Premix 3.5 µl3 Enzyme 0.5 µl4 NFW 3.5 µl5 Template 5 µlTotal Volume 25 µl
202
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
5 Template 5 µlTotal Volume 25 µl
Pembuatan Master Mix Subtype H9
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel (….x)
1 2x ReactionMix
12.5 µl
2 Duplex H9 3.75 µl3 Enzyme 1 µl4 NFW 2.75 µl5 Template 5 µl
Total Volume 25 µl
Pengaturan Suhu Amplifikasi Real Time PCR
Step Suhu One-StepRT-PCR Waktu
Hot Start 45 oC 10 MenitDenaturasi 95 oC 10 MenitAmplifikasi (45 kali)- Annealing 95 oC 15 Detik- Elongasi 60 oC 45 etik
Interpretasi Hasil
Uji RT-PCR dinyatakan positif antigen AI bila nilai ct < 40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari hasil pengambilan sampel di pasar unggas hidup terpilih dan dari
beberapa kasus kematian unggas di Provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun
2018, diperoleh hasil seperti Tabel 2 sampai Tabel 7.
203
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 2. Deteksi virus AI dari kabupaten /kota di Provinsi Bali.
Kabupaten Kecamatn Desa / Kel Sampel TypeA* (H5) (H7) (H9) Jumlah
SampelKuta Utara Canggu Ayam 7
Ayam 29KutaSelatan
Jimbaran
Lingkungan 1Kuta Burung 2
Ayam 10
Badung
KutaTuban
Lingkungan 2Ayam 47Itik 5
Bangli Bangli Cempaga
Lingkungan 6Ayam 3 57Itik 5
Buleleng Buleleng Banyuasri
Lingkungan 6Ayam 1 44Itik 10
DenpasarBarat
Pemecutan
Lingkungan 6
Denpasar
DenpasarSelatan
Sesetan Ayam 2Ayam 2 45Bebek 1 5
Abianbase
Lingkungan 6Ayam 1
Gianyar
Babakan
Itik 1Payangan Melinggih
Kelod Burung 2Ayam 1Bebek 5
Pejeng Kaja
Lingkungan 2Sanding
Gianyar
TampakSiring
Tampaksiring Lingkungan 2Blimbingsari Ayam 1Ekasari Ayam 1Manistutu Ayam 251Nusa Sari Ayam 1Tukadaya Lingkungan 50Tuwed Lingkungan 28
Melaya
Warnasari Ayam 1Ayam 65Negara Lelateng
Lingkungan 300
Jembrana
Jembrana Pendem Ayam 50
204
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Lingkungan 7Perancak Ayam 1 1
Ayam 1 34Itik 20
Klungkung Klungkung SemarapuraKelod
Lingkungan 6Babahan Ayam 2Mengeste Ayam 60
Penebel
Senganan Ayam 70Bajera Ayam 3Selemadeg Ayam 1
Selemadeg
Wanagiri Ayam 1SelemadegTimur
DalangAyam 1
Kaba Kaba Ayam 1Banjar Anyar Ayam 1
Kediri
Pandak Gede Ayam 2Batuaji Ayam 1Timpag Ayam 5
Kerambitan
SembungGede Ayam 1Payangan Ayam 2MargaSelanbawak Ayam 7
Tabanan Tunjuk Ayam 17Pujungan Ayam 75Pupuan Ayam 4Sai Ayam 1Batungsel Ayam 154Belimbing Ayam 3
Tabanan
Pupuan
Padangan Ayam 1Total 0 0 0 9 3.085
Tabel 3. Proporsi sampel terdeteksi positif virus AI di Provinsi Bali.
Positif AINo Kabupaten Negatif
AI TypeA* H5 H7 H9
Jumlahsampel
ProporsiPositif (%)
1 Badung 51 51 02 Bangli 58 58 03 Buleleng 65 3 68 4,44 Denpasar 61 1 62 1,65 Gianyar 67 3 70 4,26 Jembrana 755 1 756 7,67 Klungkung 59 1 60 68 Tabanan 413 413 0
205
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Total 3076 9 3085 0,2Keterangan : (*) Type A yang bukan subtype H5, H7, dan H9.
Tabel 4. Deteksi virus AI dari kabupaten /kota di Provinsi NTB
Kabupaten Kecamatn Desa /Kel Sampel Type
A* (H5) (H7) (H9) JumlahSampel
Mataram Sandubaya DasanCermen
Ayam 104
LombokTimur
Pringgabaya LabuhanLombok
Ayam 2
Prapen Lingkungan 7
Renteng Lingkungan 5
Praya
Tiwugalih Lingkungan 3
LombokTengah
Praya Barat TanakRarang
Ayam 166
Ayam 95
Entok 3
Bima Woha Tente
Lingkungan 26
Total 0 0 0 0 411
Tabel 5. Proporsi sampel terdeteksi positif virus AI di Provinsi NTB.
Positif AINo Kabupaten Negati
f AI TypeA* H5 H7 H
9
Jumlah
sampel
ProporsiPositif (%)
1 Mataram 104 104 02 Lombok Timur 2 2 03 Lombok
Tengah181 181 0
4 Bima 124 124 0Total 411 411 0
Keterangan : (*) Type A yang bukan subtype H5, H7, dan H9.
Tabel 6. Deteksi virus AI dari kabupaten /kota di Provinsi NTT
Kabupaten Kecamatan Desa / Kel Sampel TypeA* (H5) (H7) (H9) Jumlah
SampelAlak Alak Ayam 2KelapaLima
OesapaAyam 13Ayam 40Kota Lama Fatubesi
Lingkungan 5Ayam 1 12
KotaKupang
Kota Raja Naikoten I
Lingkungan 1 38
206
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Ayam 1 9Bebek 1Burung 1 10
Oebobo Fatululi
Lingkungan 2 10AmabiOefetoTimur
Oemofa
Ayam 20Ayam 15Fatuleu Camplong I
Lingkungan 5Ayam 120Oefafi
Lingkungan 25Ayam 15
KupangTimur
Oesao
Lingkungan 15Ayam 35
Kupang
Takari Takari
Lingkungan 5Lewoleba Ayam 28LewolebaTengah Lingkungan 6
Lembata Nubatukan
LewolebaTimur Ayam 72Beirafu Ayam 30Malaka Atambua
Barat Lingkungan 18Tulamalae Ayam 2Umanen Ayam 2Metina Lingkungan 6Mokdale Ayam 100
Rote Ndao Lobalain
Namodale Lingkungan 24Ayam 70Ledeana
Lingkungan 2Ayam 15Entok 15
Sabu Raijua Sabu Barat
Ree Madia
Lingkungan 3Ayam 51Amanuban
BaratMnelalete
Lingkungan 6MolloSelatan
KesetnanaAyam 25
TimorTengahSelatan
MolloTengah
OelbubukAyam 25
Total 0 0 0 6 895
Tabel 7. Proporsi sampel terdeteksi positif virus AI di Provinsi NTT.
Positif AINo
Kabupaten Negatif AI Type
A* H5 H7 H9Jumlahsampel
ProporsiPositif (%)
207
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1 Kota Kupang 134 6 140 4,22 Kupang 255 255 03 Lembata 106 106 04 Malaka 48 48 05 Rote Ndao 134 134 06 Sabu Raijua 105 105 07 Timor Tengah
Selatan107 107 0
Total 889 6 895 0,6Keterangan : (*) Type A yang bukan subtype H5, H7, dan H9.
Pembahasan
Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang serius terhadap ancaman
AI, sampai Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden No.1
Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian
Influenza). Presiden menugaskan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat,
Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Ksehatan, Panglima TNI,
Gubernur dan Bupati / Walikota se Indonesia sesuai dengan kewenangannya
melakukan langkah konkrit dalam pengendalian AI. Kebijakan teknis
pencegahan, pengendalian dan pemberantasan AI di Kementerian Pertanian
dilakukan sesuai Keputusan Dirjennak No. 17/Kpts/PD.640/F/02.04. Kebijakan
diarahkan pada biosekuriti peternakan unggas, pengendalian lalu lintas dan
biosekuriti unggas. Penyebaran AI ke provinsi Bali, NTB dan NTT diperkirakan
melalui karena lalu lintas unggas terinfeksi, produk unggas maupun peralatan
yang terkontaminasi virus AI. Salah satu factor yang diyakinin berperan dalam
penyebaran dan lestarinya AI di Bali, NTB dan NTT adalah pola kegiatan
perniagaan unggas di pasar hewan tradisional atau pasar unggas hidup (live
bird markets).
Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel swab unggas dan lingkungan di
pasar unggas tradisional tahun 2018 menunjukkan bahwa proporsi hasil positif
virus AI sebesar 0,2% (Bali), 0% (NTB) dan 0,6% (NTT). Proporsi positif virus
AI di NTT menunjukkan hasil tertinggi dibandingkan Bali yaitu sebesar 0,6%.
Dari 3085 sampel yang di ambil dari Bali dan diuji RT PCR, 9 diantaranya
positif terdeteksi virus AI dan semuanya terkonfirmasi hanya subtipe H9N2
yaitu di Kabupaten Buleleng (3), Denpasar (1), Gianyar (3), Jembrana (1) dan
208
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Klungkung (1). Sementara hasil pengujian sampel di NTB semuanya negatip
virus AI baik subtipe H5, H7 maupun H9. Hasil pengujian sampel dari NTT
juga hanya terdeteksi 6 sampel positif virus AI (H9N2) yaitu di Kota Kupang,
sedangkan sampel dari kabupaten lain di NTT tidak satupun yang terdeteksi
positif AI.
Situasi sirkulasi dan penyebaran virus AI di wilayah kerja BBVet Denpasar
sesuai dengan hasil kajian virus AI di Hongkong dan China, yang
menunjukkan bahwa pasar unggas hidup merupakan lingkungan yang
berperan terhadap terjadinya reassortment dari virus AI tersebut. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa sistem perdagangan atau penjualan unggas hidup di pasar,
meningkatkan potensi terjadinya spill over AI dengan adanya pencampuran
unggas dari berbagai macam ras dan jenis dalam satu kandang. Penempatan
unggas dari berbagai macam sumber dalam satu kandang di pasar juga
menjadi salah satu factor risiko terjadinya penularan AI (Yee et al., 2009).
Menurut Brown et al. (2008) daya tahan virus AI di lingkungan berhubungan
dengan tempratur, kelembaban dan kondisi pH lingkungan. Suspensi virus AI
tetap infektif pada temperature 17oC selama lebih dari 100 hari dan dapat
bertahan dalam waktu tak terbatas pada suhu di bawah -50oC (Harder dan
Warner, 2006).
Hasil surveilans AI tahun 2018 ini, berbeda dengan hasil surveilans BBVet
Denpasar tahun 2017, dimana sub tipe H5N1 clade 2.3.2.1 masih terdeteksi
baik di Bali, NTB maupun NTT. Clade ini telah dilaporkan untuk pertama
kalinya oleh Wibawa, et al., (2012), dari kasus penyakit pada itik dengan
tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi di beberapa peternakan itik di Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta periode September –
Desember 2012. Lebih lanjut diungkapkan bahwa clade 2.3.2.1 tersebut
merupakan sebuah clade baru virus AI di Indonesia. Hasil surveilans ini juga
mengindikasikan subtype H5N1 baik clade 2.3.2.1 maupun clade 2.1.3 yang
pernah terdeteksi pada tahun tahun sebelumnya tidak masih bersirkulasi di
lingkungan pasar unggas hidup di Bali, NTB dan NTT.
209
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dalam kegiatan surveilans AI di pasar unggas hidup dan kasus penyakit pada
unggas di provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2018 dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Virus Avian Influenza masih terdeteksi di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar .
2. Proporsi positif virus AI di pasar unggas hidup adalah 0,2% (Bali), 0%
(NTB) dan 0,6% (NTT).
3. Virus avian influenza yang terdeteksi adalah subtipe H9N2, sedangkan
subtipe H5 dan H7 tidak terdeteksi.
SaranSaran saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kajian dari kegiatan
surveilans dan monitoring AI di pasar unggas hidup adalah sebagai berikut ;
1. Pengawasan lalu lintas unggas dan produk turunannya baik antar wilayah
maupun dalam wilker BBVet Denpasar yang melalui pusat rantai
perdagangan yakni pasar unggas hidup, harus diawasi dan dilakukan
tindakan antisipasi terhadap munculnya AI dengan memperkuat biosecurity
pasar tersebut.
2. Perlu dilakukan desinfeksi atau fumigasi menyeluruh pada lokasi pasar
tempat penjualan unggas di seluruh pasar unggas hidup di Wilker BBVet
Denpasar untuk mencegah terjadinya penularan AI .
3. Melakukan Public Awareness atau KIE kepada masyarakan luas tentang
penyakit AI.
4. Kegiatan monitoring dan investigasi harus terus dilakukan sebagai dasar
pemetaan AI dan untuk menganalisis kejadian kasus serta factor-faktor
penyebab kejadian AI tersebut.
Ucapan Terima Kasih
210
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan
surveilans Avian Influenza tahun 2018, sehingga surveilans ini dapat
dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA.
Brown, J.D., Goekijan,G., Poulsan, R., Valeika,S. dan stallknecht, D.E. (2008). Avian InfluenzaVirus in Water Infectivity is depend on pH, Salinity and Temperatur. J.Vet.Microbiol.Doi : 10.1016/ j.vetmic. 10.027.
Direktorat Kesehatan Hewan (2016). Profil Kesehatan Hewan Indonesia Menuju ImplementasiOne Health.
Harder, T. C., dan Warner, O., (2006). Avian Influenza. Influenza Report,www.Influenzareport.com.
Wibawa, H., Prijono, W. B., Irianingsih, S.H., Miswati, Y., Rohmah, A., Andhesfha, E.,Dharmayati, N.L.P.I., Rasa, F.S.T. (2012). Investigasi outbreak penyakit pada itik diJawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur: Identifikasi sebuah clade baru virus avianinfluenza sub tipe H5N1 di Indonesia.
Yee, K.S., Carpenter, T.E., Cardona, C.J., 2009. Epidemiology of H5N1 Avian Influenza. J.Comp. immunol., microbiol and infect. dis 32 (2009) p. 325-340.
177
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS DAN MONITORING IBR DAN BVDDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2018
I Nyoman Dibia, Ardiana, Lalu Muh. Faesal Suryadinata, Fauzi R.Kurniawan
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan surveilans IBR dan BVD di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan NusaTenggara Timur tahun 2018 yang bertujuan untuk mendeteksi keberadaan virus IBR sertamengetahui seroprevalensi antibodi IBR dan BVD pada ternak sapi. Pengujian serologis IBRdan BVD dilakukan menggunakan metode ELISA, sedangkan untuk deteksi virus IBR denganteknik Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Pada saat surveilans diperolehsampel serum dan swab sapi di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT. Jumlah sampel serumsapi yang diambil untuk mendeteksi antibodi BVD dan IBR masing-masing 1.338 sampel dan958 sampel. Untuk mendeteksi keberadaan virus IBR digunakan sampel swab nasal dan swabvagina sebanyak 621 sampel. Hasil pengujian sampel menunjukkan proporsi positif virus IBR diProvinsi Bali, NTB dan NTT sebesar 0%, sedangkan proporsi positif antibody IBR masing-masing sebesar 2,46% (Bali), 4,12% (NTB) dan 4 % (NTT). Proporsi positif antibodi BVDmasing masing sebesar 46.32% (Bali), 68,73% (NTB) dan 15,04% (NTT). Dari sampel swabyang diuji dengan RT PCR semuanya negatif antigen IBR. Secara serologis menunjukkanbahwa reactor IBR dan BVD masih terdeteksi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Kata kunci : Surveilans, IBR, BVD, Bali, NTB, NTT
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam rangka mendukung Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting
(UPSUS SIWAB) untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia, maka
penyakit hewan yang bersifat menular dan mengganggu sistem reproduksi
ternak sapi merupakan kendala yang harus segera diatasi. Dua diantaranya
adalah Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) dan Bovine Viral Diarrhea
(BVD). Mengingat dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar,
178
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
sehingga kedua penyakit ini dikatagorikan sebagai penyakit hewan menular
strategis di Indonesia.
Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang dapat menginfeksi sapi
pada semua kelompok umur dan jenis kelamin dengan gejala klinis yang
bervariasi, belum diketahui secara pasti kapan virus BVD masuk ke Indonesia,
kemungkinan akhir tahun 1980 an. Sejumlah penelitian mengenai BVD telah
dilaporkan, berkaitan dengan kasus diare atau dikenal sebagai wabah diare
ganas antara lain di Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT dan NTB. Pada surveilans
serologi yang dilakukan BBVet Denpasar beberapa tahun sebelumnya
dilaporkan adanya antibody BVD pada sapi yang tidak divaksinasi di Bali, NTB
dan NTT. Kondisi ini mengindikasi telah terjadinya paparan virus BVD,
mengingat bahwa tidak pernah dilakukan vaksinasi BVD pada kelompok sapi
tersebut.
Bovine herpes virus type 1 (BHV-1) termasuk dalam family herpesviriae.
Berdasarkan sifat antigenic dan genomic, BVH-1 dibedakan menjadi subtype 1
(BVH-1.1) dan subtype 2 (BVH-1.2). Kedua subtype tersebut dapat
menimbulkan penyakit dengan gejala klinis yang berbeda pada sapi. BVH-1.1
menyebabkan infeksi saluran pernafasan yang disebut Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR). Subtipe BVH-1.2 seringkali berhubungan dengan
penyakit penyebab gangguan genital yang dikenal sebagai Infectious Pustular
Vulvovaginitis (IPV) pada sapi betina yang dapat mengakibatkan keguguran
atau Infectious Pustular Balanopostitis (IPB) pada sapi jantan. IBR ke
Indonesia tidak diketahui secara pasti, namun secara serologi telah terdeteksi
tahun 1985 yaitu di Jawa NTB, NTT, Bali, Sumatera, dan Kalimantan dengan
prevalensi yang bervariasi dari 1% sampai 65%.
Dampak dan nilai strategis infeksi BVD menimbulkan kerugian bagi para
peternak sapi karena penyakit ini mengakibatkan penurunan produksi susu
dan daging, gangguan reproduksi, abortus, supresi sistem kekebalan tubuh,
179
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
dan kematian. Infeksi persiten virus BVD pada pedet bersifat carrier dan
merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri atau
virus lainnya. Sementara dampak dan nilai strategis penyakit IBR dapat
mengakibatkan keguguran pada umur kebuntingan lebih dari tiga bulan. Pada
pusat pusat perbibitan, sapi harus terbebas dari infeksi virus IBR, sehingga
penyakit ini mendapat prioritas dalam pendeteksiannya, karena semen sapi
tertular IBR dapat mengandung virus IBR.
Mengingat infeksi virus BVD dan IBR berpotensi menyebabkan kerugian
ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat khususnya peternak sapi dan
pemerintah, untuk itu perlu dilakukan surveilans yang efektif untuk mengetahui
status daerah terhadap BVD dan IBR di wilayah kerja BBVet Denpasar.
Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut; Bagaimana situasi / status IBR dan
BVD di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di
Tahun 2018 ?
Tujuan kegiatanMengetahui situasi / status IBR dan BVD di Provinsi Bali, Nusa Tenggara
Barat dan dan Nusa Tenggara Timur. Tahun 2018.
Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah mengenai situasi / status IBR dan BVD di Provinsi Bali, NTB dan NTT,
sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan dalam
rangka pencegahan, pengendalian dan pemberantasan IBR dan BVD di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
180
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Out putTermonitornya situasi / status BVD dan IBR yang ada di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sesuai tugas dan fungsi Balai
Besar Veteriner untuk menyediakan hasil surveilans BVD dan IBR sebagai
salah satu penyakit hewan menular strategis di Indonesia.
Out comeTerwujudnya lingkungan ternak sapi bebas IBR dan BVD di Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
ANALISA RISIKO IBR DAN BVD DI BALI, NTB DAN NTT
IBR dab BVD merupakan penyakit yang cepat menyebar dalam populasi sapi.
Penyakit ini terbukti sangat merugikan secara ekonomi. Besarnya dampak IBR
dan BVD terhadap populasi ternak sapi baik secara lokal maupun nasional,
mewajibkan setiap unit perbibitan sapi di Indonesia bebas dari infeksi IBR dan
BVD. Beberapa faktor risiko penyebaran BVD dan IBR di Bali, NTB dan NTT
antara lain manajemen kesehatan hewan belum terimplementasikan secara
optimal, pengawasan lalu lintas ternak sapi masih lemah, dan biosekuriti
terbatas.
ANALISA RISIKO KEGIATAN
Pada kegiatan surveilans / monitoring IBR dan BVD diwilayah kerja BBVet
Denpasar dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan
pada Tabel 1.
181
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring IBR dan BVD di WilayahKerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
No Risiko Solusi
1 Jadwal pengambilansampel tidak sesuai
Melakukan koordinasi dengan dinaspeternakan atau yang menanganipeternakan dan kesehatan hewanterkait kepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikan dengankegiatan lain pada Dinas / instansiterkait.
2 Target sampel tidakterpenuhi
Melakukan koordinasi dengan dinasterkait sehingga jumlah sampelminimal terpenuhi.
3 Rusaknya sampel akibattidak tersedianya saranapenyimpanan yang layak(pendingin)
Berkoordinasi dengan dinas setempatuntuk dapat menitipkan sampel yangdiperoleh pada kulkas atau freezer,untuk selanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan cooler boxbeserta ice pack sehingga sampelmasih tetap baik sampai dilaboratorium.
4 Bahan pengujian belumtersedia
Berkomunikasi secara intensif dengantim pengadaan barang dan jasa BBVetDenpasar terkait ketersediaan bahanpengujian
5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alat pengujianyang rusak. Untuk sementara waktudapat menggunakan alat yang samadi laboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaran pengujian.
MATERI DAN METODE
MATERI PENGUJIAN IBR Bahan dan Alat untuk pengujian PCR IBR
- Swab Kit ekstraksi (Invitrogen, No Katalog : 2280-050, 12280-096)
- Kit VetmaxTM IBR/BHV-1 Reagents (P/N 4414203) dan PlusqPCR Master Mix (P/N 4415327)
- BSC, Single channel, Tip steril ukuran 1000 µl, 200 µl, 50 µl,Mikrotube 2 ml
182
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
METODE PENGUJIAN IBR
Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah swab nostril danvagina sapi
Prosedur Pengujian :
PERSIAPAN CARRIER RNASebanyak 310 ul RNAse Free Water ditambahkan ke dalam 310 µglypolized Carrier RNA. Kemudian dicampurkan dengan baik dan dialiquotbeberapa mikron (± 20 ul/tabung) dan disimpan pada suhu -20˚C.
Menghitung Carrier RNA yang akan dipakai sebagai berikut:1 Sampel Lysis Buffer = 0,21 ml1 Sampel carrier RNA = 5,88 ml
CARA KERJA Ekstraksi sampel
Sebanyak 200 µl lysis buffer (add carrier RNA) + 200 µl specimen + 25 µlProteinase K di campur ke dalam mikrotube. Kemudian mikrotube tersebutdivortex dan diinkubasi pada suhu 56˚C selama 15 menit dan dispinbeberapa detik. Selanjutnya sebanyak 250 µl alkohol absolute (ethanolabsolute) ditambahkan ke dalam mikrotube tersebut dan diinkubasi selama5 menit pada suhu ruangan, kemudian divortex dan dispin lagi. Selanjutnyasuspensi ditransfer dalam spin kolom dan disentrifuse dengan kecepatan8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya collection tube diganti dansupernatan dibuang dan ditambahkan 500 µl washing buffer dan disentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. . Selanjutnyacollection tube diganti dan supernatan dibuang dan ditambahkan 500 µlwashing buffer dan di sentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 1menit. Selanjutnya collection tube diganti dan disentrifuse kembali dengankecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Kemudian collection tube digantidengan mikrotube 1,5 ml recovery + 50 ul RNAse Free Water dandiinkubasi selama 1 menit pada suhu ruangan, selanjutnya disentrifuse lagidengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. RNA siap dilakukanpengujian.
183
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Pembuatan Master Mix untuk sampel dan NTC
No ReagenKonsentra
si(Volume)
JumlahSampel (…..x)
1 2x qPCR Master Mix 12.5 µl2 VetmaxTM IBR/BHV-1
Reagents1 µl
3 XenoTM DNA Control (10,000copies/ µl
1 µl
4 Nuclease-Free Water 2.5 µl5 Template 8 µl
Total Volume 25 µl
Pembuatan Master Mix untuk Kontrol Positif
No Reagen Konsentrasi(Volume)
JumlahSampel(…..x)
1 2x qPCR Master Mix 12.5 µl2 VetmaxTM IBR/BHV-1
Reagents1 µl
4 Nuclease-Free Water 2.5 µl5 VetmaxTM IBR/BHV-1
Reagents Controls8 µl
Total Volume 25 µl
Pengaturan Suhu Amplifikasi Real Time PCR
Step Suhu One-StepRT-PCR Waktu
Hot Start 45 oC 10 MenitDenaturasi 95 oC 10 MenitAmplifikasi (45kali)
184
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
- Annealing 95 oC 15 Detik- Elongasi 60 oC 45 Detik
Interpretasi Hasil
Uji RT-PCR dinyatakan positif antigen IBR bila nilai ct < 40
MATERI PENGUJIAN BVD
Bahan dan Alat untuk pengujian Elisa BVD
- VDPro® BVD AB ELISA (Median Diagnostics), No Catalog EB-BVD-01
- Multi Channel, Single channel, Tip steril ukuran 1000 µl, 200 µl,50 µl, Distilled Water, Elisa Reader 450 nm
METODE PENGUJIAN BVD
Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah serum sapi
Prosedur Pengujian :
Pada setiap well yang telah dilapisi dengan BVDV E2, dimasukkan 50 µldilution buffer, kemudian ditambahkan 50 µl sampel, kontrol positif dankontrol negative dimasukkan ke dalam well yang telah berisi dilution buffer(1:2). Langkah berikutnya, plate ditutup dan diinkubasi selama 60 menitpada suhu ruangan, kemudian setiap well dicuci sebanyak 3X denganwashing buffer 1X (300 µl per well). Buang konten dalam well setiap tahappencucian, setelah dilakukan pencucian berikutnya ditambahkan 100 µlkonjugat HRPO anti-BVDV E2 ke dalam setiap well. Tutup plate daninkubasi selama 30 menit pada suhu ruangan, kemudian setiap well dicucisebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per well). Dan buangkonten dalam well setiap tahap pencucian, setelah itu menambahkan 100
185
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
µl TMB Substrat ke dalam setiap well, kemudian plate ditutup dandiinkubasi selama 15 menit pada suhu ruangan. Densitas perkembanganwarna diamati. Pada kontrol negative, setelah terlihat perkembanganwarna dilakukan penambahan stop solution ke dalam setiap well sebanyak50 µl untuk menghentikan reaksi enzymatik dan baca pada panjanggelombang 450 nm, kemudian di validasi dan dihitung hasilnya.
Interpretasi hasil
Penghitungan % kompetisi (S/N) sampel menggunakan rumus sebagaiberikut:
OD sampelSN = x 100
Rata-rata OD Kontrol negatif
InterpretasiS/N value ≤ 0.70 : Positif antibodi spesifik BVD dalam serum.S/N value > 0.70 : Negatif antibodi spesifik BVD dalam serum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari pengujian sampel untuk mengetahui antibodi dan antigen IBR dan
antibodi BVD di wilayah kerja BBVet Denpasar diperoleh hasil seperti Tabel 2
sampai Tabel 4.
Tabel 2. Hasil deteksi agen virus IBR di wilayah kerja BBVet Denpasarmenggunakan RT PCR.
PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIF IBR JUMLAHSPESIMEN
BALI BADUNG ABIANSEMAL 0 30
186
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
BANGLI SUSUT 0 15BULELENG KUBUTAMBAHAN 0 15GIANYAR GIANYAR 0 30JEMBRANA JEMBRANA 0 15KARANG ASEM MANGGIS 0 15KLUNGKUNG BANJARANGKAN 0 15
Total 0 135
MANGGELEWA 0 30DOMPUPEKAT 0 30
KOTA BIMA RABA 0 15LOMBOK TENGAH PUJUT 0 30LOMBOK UTARA PEMENANG 0 30
NUSATENGGARABARAT
SUMBAWA MOYO HULU 0 30Total 0 165
KABOLA 0 16ALORTELUK MUTIARA 0 14
KUPANG FATULEU 0 60MANGGARAIBARAT
KOMODO0 21
MALAKA MALAKA TENGAH 0 30SIKKA TALIBURA 0 30SUMBA BARAT TANA RIGHU 0 30SUMBA TENGAH UMBU RATU NGGAY 0 60
HAHARU 0 2SUMBA TIMURKAHAUNGU ETI 0 28
NUSATENGGARATIMUR
TIMOR TENGAHSELATAN
BATU PUTIH0 30
Total 0 321Grand Total 0 621
Tabel 3. Hasil deteksi antibodi IBR di wilayah kerja BBVet Denpasarmenggunakan ELISA
PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN SEROPOSITIF
JUMLAHSPESIMEN
JEMBRANA PEKUTATAN 20 796BALITABANAN BATURITI 0 15
Total 20 811
187
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
DOMPU PEKAT 0 67NUSA TENGGARABARAT LOMBOK
TENGAH PUJUT 4 30
Total 4 97
SABU TENGAH 2 41SABU TIMUR 0 5
NUSA TENGGARABARAT
SABU RAIJUA
SABU TENGAH 0 4Total 2 50
Grand Total 26 958Tabel 4. Hasil deteksi antibodi BVD di wilayah kerja BBVet Denpasar
menggunakan ELISA
PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIFANTIBODI
JUMLAHSPESIMEN
BADUNG ABIANSEMAL 13 30BANGLI SUSUT 2 15BULELENG KUBUTAMBAHAN 14 16DENPASAR DENPASAR TIMUR 7 13GIANYAR GIANYAR 16 30
PEKUTATAN 165 361JEMBRANAJEMBRANA 10 15
KLUNGKUNG BANJARANGKAN 12 15BATURITI 6 21
BALI
TABANANPENEBEL 1 15
Total 246 531
DOMPU 23 30MANGGELEWA 19 30WOJA 14 17
DOMPU
PEKAT 44 50MPUNDA 7 15KOTA BIMARABA 13 15JONGGAT 23 30KOPANG 4 24PRINGGARATA 2 6
LOMBOK TENGAH
PUJUT 24 30LOMBOK TIMUR AIKMEL 26 30LOMBOK UTARA PEMENANG 27 48
NUSATENGGARABARAT
SUMBAWA MOYO HULU 18 30Total 244 355
188
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
KABOLA 1 16ALORTELUK MUTIARA 0 14
KUPANG FATULEU 7 60MANGGARAI BARAT KOMODO 15 30MALAKA MALAKA TENGAH 26 30
SABU TENGAH 0 45SABU RAIJUASABU TIMUR 0 5
SIKKA TALIBURA 1 30SUMBA BARAT TANA RIGHU 1 42SUMBA TENGAH UMBU RATU NGGAY 3 60SUMBA TIMUR KAHAUNGU ETI 0 30
AMANUBANSELATAN 0 30TIMOR TENGAH
SELATANBATU PUTIH 10 30
NUSATENGGARATIMUR
TIMOR TENGAHUTARA
KOTA KEFAMENANU 4 30
Total 68 452Grand Total 558 1338
Pembahasan
Sejak program UPSUS SIWAB dijadikan salah satu program unggulan pada
Kementerian Pertanian. Pemerintah memberikan perhatian yang serius untuk
meningkatan populasi ternak sapi di Indonesia dengan regulasi, sarana dan
prasarana yang memadai. Beberapa komponen terkait telah difasilitasi untuk
mendukung keberhasilan UPSUS SIWAB tersebut, salah satunya adalah
penanganan gangguan reproduksi. Terganggunya sistem reproduksi ternak
akibat infeksi penyakit menular akan sangat merugikan peternak akibat
189
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
keguguran, penurunan fertilitas bahkan kemajiran. Kebijakan pemerintah
dalam pengendalian BVD dan IBR antara lain dengan meningkatkan tindakan
biosekuriti terhadap pemasukan sapi ke suatu wilayah bebas, dan untuk UPT
perbibitan harus bebas infeksi IBR maupun BVD. Jika ada reactor harus
segera dilakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang terinfeksi persisten virus
BVD maupun infeksi laten IBR.
Dari kegiatan surveilans dan monitoring IBR tahun 2018 diwilayah kerja BBVet
Denpasar menunjukkan bahwa proporsi positif antibodi sebesar 2,71%
dengan proporsi positif antibodi di Bali paling rendah yaitu sebesar 2,46%
dibandingkan NTT sebesar 4 %, sedangkan proporsi tertinggi terdapat di NTB
yaitu sebesar 4,12%. Hasil ini membuktikan bahwa pernah terjadi infeksi alam
pada ternak sapi tersebut, karena sapi yang diambil sampelnya untuk diuji
belum pernah divaksivasi IBR. Hasil proporsi positif antibody IBR pada tahun
2018, sedikit berbeda namun tidak signifikan dengan hasil surveilans dan
monitoring IBR pada tahun 2017 khususnya di Bali, dimana untuk propinsi Bali
sebesar 2,52%, sementara hasil proporsi positip IBR di NTB dan NTT pada
tahun 2018 ini sangat jauh menurun dibandingkan hasil surveilans tahun 2017
yaitu NTB (18,86%) dan NTT (18,18%). Drastisnya penurunan proporsi positif
di NTB dan NTT mengindikasikan manajemen sistem peternakan dalam di
NTB dan NTT sudah jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Sementara dari
621 sampel swab nasal dan vagina yang diuji dari sapi sapi peternak baik di
Bali, NTB dan NTT, tak satupun terkonfirmasi IBR. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena terjadinya infeksi laten virus IBR pada sapi sapi tersebut,
walaupun mukosa hidung disebutkan sebagai tempat infeksi laten virus IBR
tersebut. Dalam keadaan laten, virus infeksius tidak dapat diisolasi dari leleran
ingus pada hidung. Setelah terjadi infeksi, virus IBR dapat menyebar dari
infeksi lokal ke system syaraf dengan cara virus memasuki sel syaraf tepi.
Selanjutnya, virus akan mencapai ganglia sensoris seperti ganglia trigeminal
dan lumbosacral dan akhirnya infeksi laten menetap disana (Vogel et al,
2004). Disamping itu, tonsil (Winkler et al., 2000), limfoglandula , peripheral
blood mononuclear cells (PBMCs) serta mukosa mata juga disebutkan sebagai
190
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
tempat menetapnya infeksi laten. Sekali terinfeksi oleh BHV-1, maka ternak
sapi tersebut akan berpotensi untuk mengeluarkan virus (shedding) selama
hidupnya. Virus laten ini merupakan reservoar dalam inang kebal yang pada
suatu saat akan terekskresikan bila terjadi pengaktifan kembali (reaktivasi)
(Rola et al., 2003).. Stress dapat mengaktifkan kembali virus dalam keadaan
laten Rola et al., 2005)., seperti transportasi yang berkepanjangan (Thiry et al.,
1987), atau pemberian perlakuan dengan kortikosteroid (Rola et al., 2005).
Sementara dari kegiatan surveilans dan monitoring BVD tahun 2018 diwilayah
kerja BBVet Denpasar menunjukkan bahwa proporsi positif antibody sebesar
41,7% dengan proporsi positif antibodi di NTT paling rendah yaitu sebesar
15,04 % dibandingkan Bali sebesar 46,32%, sedangkan proporsi tertinggi
terdapat di NTB yaitu sebesar 68,73%. Sampel yang terdeteksi seropositif
kemungkinan telah terjadi infeksi alam di lapangan karena tidak ada riwayat
vaksinasi BVD pada sapi tersebut. Disamping itu Elisa antibody dapat
mendeteksi adanya persisten infection pada fetus yang dilahirkan oleh induk
yang terinfeksi oleh BVD pada kebuntingan tua (Jalali et al. 2004). Sedangkan
setelah lahir, infeksi alam dapat terjadi melalui kontak dengan udara luar atau
percikan ekskresi yang mencemari pakan ataupun lingkungan dan melalui
kawin alam / inseminasi buatan dari semen yang tercemar virus BVD (Akoso,
1996). Pencegahan terhadap infeksi virus BVD dan IBR dapat dilakukan
melalui program vaksinasi dan pemeriksaan terhadap pejantan yang akan
digunakan sebagai sumber semen dalam program IB. Deteksi dini kasus pada
kelompok ternak di lapangan menjadi bagian penting dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanPada tahun 2018, keberadaan infeksi alami virus BVD dan virus IBR masih
terjadi pada ternak sapi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Saran
191
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Surveilans dan monitoring BVD dan IBR berkelanjutan perlu dilakukan untuk
memantau status kesehatan ternak sapi di wilayah kerja BBVet Denpasar.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta
staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan
surveilans BVD dan IBR tahun 2018, sehingga surveilans ini dapat
dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B. T., (1996). Kesehatan Sapi. Kanisius Yogyakarta. Cetakan ke 6. Hal. 117 -120.
Jalali, A., Torstenson, M., and Linberg, A. (2004). Using a commercial indirect antibodydetection Elisa to identify dams carrying PI fetuses –a complementary measure inBVDV control / eradication programmes Svanova Vet Diagnostic . www.svanova.com(13 Desember 2007).
OIE. (2008). Bovine Viral Diarrhoea. Manual of Standard for Diagnostic Tests and Vaccines.Chapter 2.4.8.
Rola, J., Larska, M and Polak, M.P. (2005). Detection of Bovine herpesvirus-1 from an outbreakof infectious bovine rhinotracheitis. Bull. Vet. Inst. Pulawy 49: 267-271.
Rola, J., Polak, M.P., and Zmudzinski, J.F. (2003). Amplification of DNA BHV-1 isolated fromsemen of naturally infected bulls. Bull. Vet. Inst. Pulawy 47: 71 – 75.
Thiry, E., Saliki, J., Bublot, M., Pastoret, P.P. (1987). Reactivation of infectious bovinerhinotracheitis virus by transport. Comp. Immunol. Microbiol. Infect Dis 10 (1) : 59-63.
Vogel, F.S.F.,Flores, E.F., Weiblen, R., Winkelmann, E.R., Moraes, M.P. and Raganca. J.F.M(2004). Intrapreputial infection of young bulls with Bovine herpesvirus type 1.2 (BHV-1.2): Acute balanoposthitis, latent infection and detection of viral DNA in regional neuraland non-neural tissues 50 days after experimental reactivation. Vet. Microbiol. 98: 185– 196
192
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
225
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAI PEMBIBITANTERNAK UNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK DENPASAR
DAN DOMPU (BPTU-HPT) TAHUN 2018
Drh. Ni Made Sri Handayani, M.P(Laboratorium Epidemiologi)
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
AbstrakTelah dilaksanakan surveilans di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan TernakDenpasar dan Dompu yang terletak di Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat yangbertujuan untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular serta menyusun rekomendasi yangdapat menjadi masukan dalam upaya menghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi.Sejumlah 501 spesimen dari BPTU-HPT Denpasar dan 350 dari BPTU- Dompu dengan jenisspesimen serum, darah, swab, preparat ulas darah dan feses dikoleksi secara acak sejak bulanJuni sampai Juli 2018 Seluruh sampel diperiksa terhadap penyakit Brucellosis, Jembrana, SE,IBR, BVD, parasit gastrointestinal dan parasit darah. hasil pengujian sampel serum untuk deteksiantibodi penyakit JD, SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Denpasar. Total Sampel seluruhnyasebanyak 851 sampel.Hasil pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi penyakit JD, SE, IBR, Brucellosis dan BVDdi BPTU-HPT Dompu, sebanyak 19 (38%) dari 100 sampel positif antibodi Bovine Viral Diarrhae(BVD). Hasil uji PCR IBR dan JD menunjukkan semua sampel yang diperiksa negatif, demikianpula halnya dengan parasit darah dan parasit gastro intestinal.Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan tata cara pemeliharaan sertapengendalian penyakit yang baik dengan melakukan pendekatan epidemiologi menggunakansuatu program pengendalian yang tepat dan efektif untuk menghasilkan bibit berkualitas.
Kata Kunci : Surveilans, Penyakit Hewan, BPTU-HPT Denpasar dan Dompu
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kerjasama antar Unit Pelayanan Teknis (UPT) lingkup Kementerian
Pertanian yang merujuk pada surat tugas No. 22038/ OT.140/F/07/2013
tentang pelaksanaan Bimbingan teknis UPT Perbibitan Pusat di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka perlu dilakukan suatu program
untuk mencegah, melindungi dan memelihara proses kegiatan produksi sapi
bibit yang sesuai dan berkualitas. Dengan melakukan program surveilans
dan monitoring yang terstruktur akan sangat membantu dan berguna buat
226
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
BPTU-HPT Bali dalam menghasilkan bibit sapi bali berkualitas dan
tersertifikasi, bebas dari penyakit menular strategis dan memenuhi kriteria
bibit sapi unggul, serta mewujudkan tujuan Renstra setiap tahunnya.
Berdasarkan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) dari Balai Besar Veteriner
Denpasar yaitu monitoring dan surveilans penyakit hewan, laboratorium
kesehatan hewan dan status bebas penyakit hewan menular, diharapkan
Balai Besar Veteriner Denpasar dapat memberikan kontribusi teknis
terhadap UPT Perbibitan pusat yang ada di wilayah kerjanya yakni Balai
Perbibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) dalam
mewujudkan Tugas Pokok BPTUHPT sesuai SK Menteri Pertanian No.13 /
Permentan / OT.140 / 2 / 2007, adalah melaksanakan pelestarian,
pemuliaan, pembibitan, produksi dan pengembangan serta penyebaran hasil
produksi bibit Sapi Bali Murni Unggul secara Nasional.
Untuk memperoleh data yang lebih akurat perlu dilakukan surveilans yang
berkelanjutan. Oleh karena itu tahun 2017 surveilans dan monitoring akan
dilanjutkan untuk memantau situasi penyakit serta mencegah masuknya
penyakit hewan menular sehingga hasilnya dapat meningkatkan performa
BPTU-HPT Bali sebagai salah satu Balai Perbibitan yang menghasilkan
ternak Sapi Bali Bibit yang berkualitas dan tersertifikasi.
1.2. Tujuan.1. Untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular yang ada di BPTU-
HPT Denpasar Bali dan Dompu.
2. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-HPT
Denpasar Bali dan Dompu.
3. Menyusun rekomendasi yang dapat menjadi masukan dalam upaya
menghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi.
1.3. Manfaat.1. Mendapatkan informasi tentang status dan situasi Penyakit Hewan
Menular di UPT BPTU-HPT Denpasar Kabupaten Jembrana dan
Kabupaten Dompu NTB.
227
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
2. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-HPT
Denpasar dan Dompu
3. Menghasilkan rekomendasi berdasarkan kajian ini untuk meningkatkan
produksi bibit sapi bali yang berkualitas.
1.4. SasaranMendeteksi penyakit hewan menular strategis yang tidak diperbolehkan
pada pusat pembibitan sapi, status penyakit di BPTU-HPT Denpasar dan
Dompu dapat diidentifikasi dan sebagai salah satu usaha kewaspadaan dini
terhadap munculnya penyakit baru.
1.5. Output1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit hewan menular strategis
serta tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi JD dan
SE di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu ;
2. BPTU-HPT Denpasar dan Dompu dapat menghasilkan bibit berkualitas,
unggul dan tersertifikasi.
1.6. Out come1. Adanya data yang lebih lengkap untuk kepentingan pemetaan penyakit
SE di wilayah kerja.
2. Terciptanya lingkungan ternak bebas penyakit hewan menular strategis di
BPTU-HPT Denpasar dan Dompu.
228
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
1.7. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular StrategisTabel 1. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) di BPTU-HPT
Risiko PemasukanTernak
AsalWilayah
SistemPemeliharaan
StatusVaksinasi
ManajemenResiko
Kriteria Lokasi
Penyakit PHMS(SE,JD,Anthrax,IBR,BVD,Brucellosis diBPTU-HPT
BebasPemetaanSerologispenyakit SE,JD,
Wilayahkabupaten yangpernah tercatatpositif antibodiSE,JD
EndemisAda
Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD,
Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak
Lepas
TidakSurveilansdeteksipenyakit
Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak
Ada
KandangAda
Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD
Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak
Tidak
Surveilansdeteksipenyakit
Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak
Ada
Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak
Tidak
Lepas
Tidak
Surveilansdeteksipenyakit
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak
AdaSurveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternakKandang
TidakSurveilansdeteksipenyakit
Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak
1.8. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans Penyakit Hewan Menulardi BPTU-HPT Denpasar dan Dompu
Berikut ini disajikan pada Tabel 2 analisa risiko kegiatan surveilans penyakit
hewan menular di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu.
229
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 2. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans PHMS di BPTU-HPT
No Risiko Manajemen Risiko/Solusi1 Jumlah target sampel tidak tercapai Berkoordinasi dengan BPTU-HPT, terkait data
populasi ternak pada lokasi yang akandisampling dan agar dikoordinasikan tentangpentingnya pengambilan sampel yang akandilakukan.
2 Lokasi target tidak sesuai denganunit sampel yang direncanakan
Berkoordinasi dengan BPTU-HPT mengenaikondisi geografis, alur transportasi ke lokasi dankesiapan pemilik ternak pada lokasi yang akandisampling.
3 Waktu pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdirencanakan
Berkoordinasi BPTU-HPT mengenai kepastianwaktu pengambilan sampel sebelum menujulokasi pengambilan sampel.
4 Jadwal transportasi dari Balai keBPTU-HPT yang akan dikunjungitidak sesuai dengan waktu kegiatanyang direncanakan (kendala nonteknis)
Segera berkoordinasi ulang dengan BPTU-HPTterkait mengenai penjadwalan ulang waktukegiatan pengambilan sampel termasuk kepadapeternak agar dapat menyesuaikan perubahanjadwal kegiatan
5 Tidak ada rute transportasi (udara,laut, darat) menuju Kabupaten/Kotayang akan dikunjungi sebagai lokasisurveilans
Transportasi seperti penerbangan dan lainnyaagar dialihkan ke lokasi terdekat dariKabupaten/Kota yang dituju sehingga terjangkauoleh transportasi yang digunakan.
6 Surat pemberitahuan serta jadwalsurvailans dan monitoring tidaksampai/terlambat diterima olehDinas Kabupaten/Kota yang akandituju.
Koordinasi dengan BPTU-HPT atau contactpersonnya sebelum hari keberangkatan dengansarana telekomunikasi yang tersedia mengenaijadwal pengambilan sampel yang akandilakukan.
7 Rusaknya sampel yang diambil dilapangan karena tidak tersedianyasarana penyimpanan (mesinpendingin) yang layak di lokasipengambilan sampel
Sampel dapat kita titipkan pada petugas dilapangan/tempat menginap agar disimpan dalammesin pendingin, selanjutnya dalam perjalananagar menggunakan es batu/ice pack untukmenjaga sampel tetap dalam keadaan baiksampai di laboratorium.
II. MATERI DAN METODE2.1. Materi
Kegiatan Surveilans dan Monitoring penyakit Hewan Menular ini akan
diambil data dan sampel dari individu sapi yang disampling, kelompok sapi
yang dipelihara sesuai kualifikasinya. Sampel yang diambil adalah serum,
darah dan feses Sapi Bali yang dipelihara di padang penggembalaan dan di
kandang isolasi di BPTU-HPT di Denpasar Kabupaten Jembrana Provinsi
Bali dan Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Sampel tersebut akan diuji untuk
beberapa penyakit Hewan Menular seperti penyakit Brucellosis, Jembrana
Disease, Anthrax, SE, BVD, IBR dan identifikasi parasit gastrointestinal serta
230
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
parasit darah. Bahan dan materi pengujian akan disesuaikan dengan
metode uji yang dilakukan di Balai Besar Veteriner Denpasar.
2.2. Metode2.2.1. Metode sampling
Dalam surveilans dan monitoring penyakit Hewan Menular di BPTU-HPT
Denpasar dan Dompu ini dilakukan pengambilan sampel serum untuk
pemeriksaan Elisa BVD, IBR, SE, Jembrana Desease dan Brucellosis.
Pengambilan sampel swab untuk pemeriksaan PCR IBR dan isolasi SE
(Pasteurella multocida), pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
PCR Jembrana Desease, pengambilan sampel PUD untuk pemeriksaan
parasit darah (Surra) dan pengambilan sampel feses untuk pemeriksaan
parasit gastro intestinal. Pelaksanaan Surveilans dan monitoring akan
dilakukan dengan pengambilan sampel di lapangan untuk unit ternak.
Estimasi jumlah sampel dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Estimasi Jumlah Sampel dan Distribusi Pengambilan SampelPenyakit Hewan Menular di BPTU-HPT Denpasar danDompu
No Jenis Sampel Jumlah Sampel Jenis Pengujian
1 Serum 100 Elisa JD
2 Serum 50 Elisa IBR
3 Serum 75 PCR IBR
4 Serum 100 RBT Brucella
5 Serum 100 Elisa SE
6 Serum 100 Elisa BVD
7 PUD 50 Identifikasi Anthrax
8 PUD 76 Parasit Darah
9 Feses 100 Parasit Gastro Intestinal
10 Darah 100 PCR JD
TOTAL 851
231
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Total Jumlah sampel yang diambil dari BPTU-HPT Denpasar dan Dompu
sebanyak 851 sampel.
2.2.2. Metode pengujianPengujian sampel serum, darah dan feses untuk mendeteksi antibodi dan
agen penyakit Hewan Menular dilakukan di laboratorium Bioteknologi
untuk pengujian Elisa dan PCR JD, di Laboratorium Bakteriologi untuk
pengujian Elisa SE dan Brucellosis, di Laboratorium Virologi untuk
pemeriksaan IBR dan BVD serta di Laboratorium Parasitologi untuk
pengujian parasit darah dan parasit gastro intestinal. Pengujian pada
masing-masing laboratorium dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Daftar penyakit yang diuji berdasarkan jenis sampel yang diambildalam surveilans dan monitoring penyakit hewan menular diBPTUHPT Sapi Bali
Jenis SampelPenyakit yangdiuji Serum Darah Feses Swab PUD
Jenis Pengujian
BVD Elisa BVDIBR Elisa IBRJD Elisa dan PCR JDBrucelosis RBPTSE Elisa SEParasit Gastro Identifikasi
ParasitParasit Darah MikroskopisAnthrax Identifikasi
2.3. Analisis DataSemua data sampel, hasil uji dan informasi ditabulasikan dan dianalisis
secara dekriptif.
2.4. Tempat Pelaksanaan KegiatanPelaksanaan surveilans dilaksanakan di paddock/kandang perbibitan
BPTU-HPT Denpasar yang berlokasi di Desa Pangyangan Kecamatan
232
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Pekutatan Kabupaten Jembrana, Bali dan Kabupaten Manggalewa,
Dompu Nusa Tenggara Barat.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. HasilKegiatan surveilans di UPT Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan
Pakan Ternak (BPTU-HPT) pada Tahun 2018 bertujuan untuk mengetahui
situasi penyakit hewan menular yang ada di UPT tersebut. Hasil
pengambilan sampel surveilans di UPT BPTU-HPT Denpasar dan Dompu
berhasil mengumpulkan sampel sebanyak 851 sampel serum, darah, feses
dan swab. Sampel tersebut diperiksa untuk mengetahui berbagai jenis
penyakit hewan menular seperti : JD, IBR, BVD, SE, Anthrax, Brucellosis,
parasit darah dan juga parasit gastro intestinal. Berikut ini disajikan
prevalensi penyakit hewan secara umum di BPTU HPT pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) di BPTU- HPT Denpasar dan Dompu
No JenisPenyakit
JenisPengujian
JenisSampel
JumlahSampel
JumlahPositif/
Seropositif
JumlahNegatif/
SeronegatifElisa JD Serum 100 0 1001
2JDIBR Elisa IBR Serum 50 0 50
3 IBR PCR IBR Serum 75 0 75RBTBrucella
Serum 100 0 10045
BrucellosisSE
Elisa SE Serum 100 0 100IdentifikasiAnthrax
PUD 50 0 506
7
Anthrax
Trypanosomiasis ParasitDarah
PUD 76 0 76
8 Helminthiasis ParasitGastroIntestinal
Feses 100 0 100
9 JD PCR JD Darah 100 0 10010 BVD Elisa BVD Serum 100 19 81
TOTAL 851 19 832
233
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Hasil uji pemeriksaan serologis terhadap antibodi penyakit hewan menular
seperti JD, SE, Brucellosis, dan BVD pada sapi bali di BPTU-HPT Denpasar
dan Dompu menunjukkan bahwa 19 sampel menunjukkan seropositif antibodi
Bovine Viral Diarrhea (BVD) sedangkan sampel lainnya seronegatif. Hasil uji
PCR untuk pemeriksaan penyakit JD dan IBR, menunjukkan semua sampel
negatif virus Jembrana dan Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), demikian
juga dengan penyakit parasit darah dan parasit gastro intestinal. Hasil uji dari
masing-masing BPTU-HPT di tampilkan dalam Tabel 6 dan 7.
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) dari BPTU-HPT Denpasar
No JenisPenyakit
JenisPengujian
JenisSampel
JumlahSampel
JumlahPositif/
Seropositif
JumlahNegatif/
SeronegatifElisa JD Serum 100 0 1001 JDPCR JD Serum 100 0 100PCR IBR Swab 25 0 252 IBRElisa IBR Serum 25 0RBTBrucella
Serum 50 0 50
Elisa SE Serum 50 0 50
345
BrucellosisSEBVD
Elisa BVD Serum 50 0 50IdentifikasiAnthrax
PUD 25 0 256
7
Anthrax
Trypanosomiasis ParasitDarah
PUD 26 0 26
8 Helminthiasis ParasitGastroIntestinal
Feses 50 0 50
TOTAL 501 0 501
234
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) di BPTU- HPT Dompu
No Jenis Penyakit JenisPengujian
JenisSampel
JumlahSampel
JumlahPositif/
Seropositif
JumlahNegatif/
SeronegatifPCR IBR Swab 50 0 501 IBRElisa IBR Serum 25 0 25RBTBrucella
Serum 50 0 50
Elisa SE Serum 50 0 50
234
BrucellosisSEBVD
Elisa BVD Serum 50 19 (38%) 31 (62%)IdentifikasiAnthrax
PUD 25 0 255
6
Anthrax
Trypanosomiasis ParasitDarah
PUD 50 0 50
7 Helminthiasis ParasitGastroIntestinal
Feses 50 0 50
TOTAL 350 19 331
Dari hasil pemeriksaan serologis terhadap 50 sampel serum menunjukkan 19
(38%) sampel seropositif antibodi Bovine Virral Diarrhea (BVD). Hal ini
disebabkan karena penularan, prevalensi antibodi yang tinggi, dan frekuensi
kejadian subklinis atau infeksi yang sulit didiagnosa menghasilkan tingginya
prevalensi antibodi terhadap BVD. Masa inkubasi yang tidak menentu dan
adanya infeksi persisten yang kronis menambah kompleksnya kejadian
penyakit (KAHRS, 1981). Menurut Sudarisman (2009), di Indonesia prevalensi
penyakit BVD pada sapi potong maupun pada sapi perah menunjukkan
prevalensi yang tidak kecil. Seperti ditampilkan pada Tabel berikut ini :
Tabel 8. Seroepidemiologi BVD pada sapi di Indonesia
No Jenis Sapi Jumlah Sampel Positif BVD Prevalensi
1 Sapi Potong 90 25 28%
2 Sapi BIB 110 41 37%
3 Sapi BET 11 5 45%
TOTAL 271 117 43,2%
Sumber: Sudarisman (2009)
235
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Kejadian ini didukung oleh adanya kasus/wabah pada tahun-tahun yang lalu
seperti dilaporkan oleh WIYONO et al.(1989); SIREGAR (1989) dan DARMADI
(1989) dalam Sudarisman (2011), yang menunjukkan bahwa kasus diare ganas
disebabkan oleh virus BVD. Kejadiannya ada di beberapa daerah di
Indonesia antara lain Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan dengan gejala berupa diare dan dikenal dengan diare ganas.
Dalam Sudarisman, 2011 juga menjelaskan bahwa menurut Paton (1995),
Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit viral pada sapi yang
disebabkan oleh virus BVD, mudah ditularkan diantara sapi dan telah menyebar
ke seluruh dunia dan pertama kali ditemukan di Amerika. Virus BVD termasuk
pestivirus yang diklasifikasikan sebagai virus RNA famili Flaviviridae (OIE,
2008). Tanda klinis yang terlihat berupa ulserasi pada mukosa saluran
pencernaan dan diare. Virus BVD termasuk pestivirus yang diklasifikasikan
sebagai virus RNA famili Flaviviridae (OIE, 2008). Melihat tingginya hasil
pengujian serologi BVD di BPTU-HPT Dompu, memerlukan tindakan
penanganan yang serius dan komprehensif agar tidak terjadi wabah. Perlu
diketahui bahwa penularan penyakit ini melalui kontak antar sapi, kejadian kasus
klinis diantara sapi muda mungkin merupakan refleksi banyaknya infeksi dan
ditandai dengan adanya antibodi (Kars, 1981).
236
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
IV. KESIMPULAN DAN SARAN4.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Ternak sapi bali di BPTU-HPT Denpasar hasil pemeriksaan penyakit JD,
dan IBR dengan metode PCR di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu
menunjukkan semua negatif, demikian pula halnya dengan parasit darah
dan parasit gastro intestinal.
2. Hasil pemeriksaan serologi terhadap penyakit SE, JD, dan Brucellosis
menunjukkan semua hasil Negatif sedangkan pemeriksaan serologi
terhadap penyakit BVD menunjukkan 19 (38%) dari 50 sampel yang diuji
positif.
4.2. SaranSaran yang ingin disampaikan untuk BPTU-HPT Denpasar dan Dompu
adalah:
1. Untuk BPTU-HPT Denpasar dari hasil pepemeriksaan yang semua
negatif menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan dalam tata laksana
pengendalian penyakit.
2. Untuk hasil pemeriksaan serologis BVD di BPTU-HPT Dompu
menunjukkan 38% positif diperlukan penanganan yang lebih intensif
secara ilmiah dan komprehensif agar dimasa mendatang tidak menjadi
permasalahan karena sewaktu-waktu bisa meledak dan sangat
merugikan.
237
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
V. DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2004.Ivermectin.http://cal.vet.upenn.edu/dxendopar/drug%20pages/fenbendazole.htm. Diakses 24 Januari 2017
Brown, J. D., Goekijan, G., Poulsan, R., Valeika, S., dan Stallknecht, D. E.,2008. Avian Influenza Virus in Water Infectivity is depend on pH, Salinityand Temperature. Vet Microbiol. Doi : 10.1016/j.vetmic.1 VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review- TheNatural History of Anaplasma Marginale. Vet Parasitol. 167:95-1070.027.
Kars, R.F. 1981. Viral diseases of cattle. 1stedition. TheIOWA StateUniversity Press, Ames, Iowa. pp. 89 –106.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods
Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di LimaKecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
OIE. 2008. Bovine Viral Diarrhoea. Manual of Standard for Diagnostic Testsand Vaccines. Chapter 2.4.8.www.oie.int. (14 Maret 2019).
Sudarisman. 2009. Infeksi Virus Bovine Viral Diarahea (BVD) pada Sapi diLapangan. Laporan Balai Besar Penelitian Veteriner.
Sudarisman. 2011. Bovine Diarrhea pada Sapi di Indonesia danpermasalahannya. Balai Besar Penelitian Veteriner.
238
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA
TIMUR TAHUN 2018
Ni Made Sri Handayani
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Untuk pemenuhan produk pangan asal hewan, produktifitas ternak masih ditemukan masalah,yaitu rendahnya angka kelahiran dan terjadinya gangguan reproduksi dan penyakit gangguanreproduksi. Untuk mengetahui sejauh mana terjadinya gangguan reproduksi pada ternak danpenyebaran penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar,maka tahun 2018 Balai Besar Veteriner Denpasar melaksanakan Surveilans Penyidikan danPengujian Penyakit Gangguan Reproduksi pada ternak sapi/kerbau yang bertujuan untukmendukung program Upsus Siwab serta mengetahui tingkat prevalensi penyakit menular yangberkaitan dengan gangguan reproduksi sehingga dapat menjadi acuan dalam pencegahan danpengendalian terhadap penyakit tersebut. Pengambilan sampel dilakukan dari Bulan Mei hinggaDesember di Provinsi Bali, NTB dan NTT dengan total sampel 412 sampel serum dan swab.Hasil dari 105 sampel serum yang diuji dengan Elisa BVD dan 328 sampel serum yang diuji RBTBrucella menunjukkan semua sampel negatif dan hasil uji 105 sampel swab yang diuji PCR IBRmenunjukkan semua sampel negatif virus IBR. Hasil analisa kuisioner dari 50 respondenmenunjukkan 35 (70%) orang yang memelihara ternak kerbau dan 15 (30%) sapi, dan 100%dipelihara secara ekstensif dan milik sendiri. Pengetahuan peternak terkait siklus birahi semuaresponden menyatakan mengetahui tentang siklus birahi dan 100% responden menyatakanmenghubungi dokter hewan/petugas IB jika ada keluhan tentang ternak mereka, namun 100%responden menyatakan tidak melakukan kawin Ib dan PKB. Hal tersebut disebabkan karenasisten peternakan masih ekstensif sehingga agak menyulitkan dalam mengaplikasikan IB danPKB di daerah Sumba Tengah.
Kata kunci: Surveilance, Penyakit Gangguan reproduksi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangPencapaian target populasi ternak dilakukan dengan berbagai cara.
Kemampuan reproduksi ternak adalah kunci dalam mengembang biakan
tenak. Adanya penyakit-penyakit yang akan mengganggu kemampuan
reproduksi perlu diketahui dan dipetakan dengan akurat, sehingga upaya
pengendalian, pencegahan dan penangananya bisa membuahkan hasil
yang optimal. Semua upaya itu berujung pada tercapainya derajat
kesehatah ternak yang optimal untuk menghasilkan keturunan-keturunan
239
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
yang sehat pula sehingga mencapai kemandirian dalam memenuhi
kebutuhan akan daging. Sebagai salah satu Unit Pelayanan Teknis (UPT)
di bawah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Balai Besar Veteriner
Denpasar diharapkan juga memberikan andil dalam penyidikan, pengujian
ataupun pemetaan penyakit yang berkaitan dengan gangguan reproduksi.
Sehingga dengan optimalisasi kerja berbagai elemen dalam mendukung
pencapaian target populasi ternak akan dapat terwujud.
Dengan memperhatikan hal itu, maka kegiatan yang mendukung evaluasi
dan monitoring penyakit gangguan reproduksi perlu terus dilakukan,
disamping kegiatan kegiatan pendukung lainnya seperti kebijakan tunda
potong betina produktif, dan sebagainya. Keberhasilan reproduksi akan
sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong dan kerbau. Namun,
hingga saat ini masih sering dijumpai adanya kasus gangguan reproduksi
yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk, akibatnya berupa
penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet, sehingga
mempengaruhi penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan daging
secara nasional.
Gangguan reproduksi pada sapi potong dan kerbau secara garis besar
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : cacat anatomi saluran
reproduksi, gangguan fungsional, infeksi organ reproduksi. Gangguan
fungsional salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya
gangguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik).
Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas
hormonal. Penyakit Reproduksi yang disebabkan oleh infeksi menjadi
perhatian utama dalam surveilan dan pengujian yang dilakukan Balai Besar
Veteriner Denpasar. Hal ini mengingat sampai saat ini Balai Besar
Veteriner Denpasar lebih memperkuat dalam pendiagnosaan penyakit
yang disebabkan agen infeksius. Lebih khusus lagi penyakit infeksi yang
spesifik, yaitu yang disebabkan virus dan bakteri.
Penyakit Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella abortus ini seringkali
menyebabkan kejadian keguguran pada ternak yang bunting. Biasanya
240
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
keguguran terjadi pada umur kebuntingan 7 bulan. Angka kematian induk
sangat kecil atau tidak terjadi, namun kerugian ekonomi yang ditimbulkan
sangat besar berupa keluron anak, anak lahir lemah dan kemudian mati,
dan gangguan alat reproduksi yang menyebabkan kemajiran, dan pada
sapi perah sering terjadi penurunan produksi susu. Spesies bakteri
Brucella yang sering menjadi masalah adalah; Brucella melitensis
menyerang kambing, Brucella abortus menyerang sapi, dan Brucella suis
menyerang babi. Brucellosis ini bisa juga menyerang manusia. Penularan
kepada manusia terjadi karena minum susu yang tidak dimasak sempurna,
karena menolong kelahiran sapi atau mengambil plasenta yang tertinggal.
Penularan Brucellosis biasanya terjadi secara oral, melalui hidung atau
mata. Selain itu penularan dapat juga terjadi secara congenital dimana
anak yang dilahirkan dari induk penderita, cenderung menjadi latent carier
dan akan mengalami abortus pada saat terjadi kebuntingan yang pertama.
Pada saat keguguran, fetus dan membrannya mengandung banyak kuman
dan menjadi sumber penularan. Penyebaran Brucellosis di wilayah kerja
BBVet Denpasar masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa
kabupaten di Nusa Tenggara Timur.
Penyakit IBR merupakan penyakit infeksius yang sangat menular yang
disebabkan oleh Bovine Herpesvirus- 1 (BHV-1). Selain menyebabkan
penyakit pernafasan, virus ini dapat menyebabkan conjunctivitis, aborsi,
encephalitis, dan infeksi sistemik secara umum. Gejala klinis yang
disebakan oleh virus ini dapat dikelompokan menjadi : infeksi saluran
pernafasan. infeksi mata, aborsi , infeksi kelamin, infeksi otak, infeksi
umum pada anak sapi yang baru lahir. Penularan dapat melalui air, pakan,
kontak langsung maupun tidak langsung. Gejala yang nampak dalam
berbagai bentuk, yaitu: Respiratorik bagian atas (demam, anorexia,
depresi, leleran hidung, nodula/bungkulbungkul pada hidung, pharynx,
trachea, batuk, penurunan produksi susu). Konjungtival (hyperlakrimasi
dengan eksudat mukopurulen, konjungtiva merah dan bengkak, adanya
pustula pada konjungtiva dan ulcer nekrotik.
241
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Dalam Sudarisman, 2011 menjelaskan bahwa menurut Paton (1995),
Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit viral pada sapi yang
disebabkan oleh virus BVD, mudah ditularkan diantara sapi dan telah
menyebar ke seluruh dunia dan pertama kali ditemukan di Amerika. Virus
BVD termasuk pestivirus yang diklasifikasikan sebagai virus RNA famili
Flaviviridae (OIE, 2008). Tanda klinis yang terlihat berupa ulserasi pada
mukosa saluran pencernaan dan diare. Virus BVD termasuk pestivirus
yang diklasifikasikan sebagai virus RNA famili Flaviviridae (OIE, 2008).
Penyakit BVD yang menyerang sapi dengan gejala klinis demam tinggi,
depresi, anorexia, diare, lesi pada mukosa mulut dan sistem pencernaan,
abortus pada 2-9 bulan kebuntingan serta terjadinya kawin berulang.
1.2. MAKSUD DAN TUJUANSecara umum maksud/tujuan dilakukannya Surveilans penyakit gangguan
reproduksi adalah:
1. Mengetahui keberadaan penyakit yang bisa berakibat pada adanya
gangguan reproduksi pada ternak sapi.
2. Memberikan informasi hasil laboratorium tentang adanya agen agen
atau penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan reproduksi
pada sapi.
II. MATERI DAN METODE
2.1. MATERI Bahan yang digunakan dalam penulisan laporan kegiatan ini adalah hasil
pemeriksaan Laboratorium Virologi (IBR dan BVD), Laboratorium
Bakteriologi (Brucellosis) serta dari Laboratorium Patologi untuk peneguhan
diagnosa dengan pemeriksaan Histopatologi. Semua pemeriksaan dilakukan
di laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar.
242
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
2.2. METODESampel kegiatan lapangan diambil adalah sampel serum dan swab dari
Provinsi Bali, NTB dan NTT yang diperiksa terhadap penyakit BVD, IBR dan
Brucelosis dengan metode PCR (Polymerase Chaine Reaction), Elisa
(Enzim Lynked Immunosorbance Assay) dan RBT (Rose Bengal Test).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASILHasil uji penyakit IBR dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
menunjukkan bahwa dari 105 sampel yang diuji semua sampel negatif virus IBR.
Hasil uji Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan PCR IBR di Tiga LokasiHasil Uji PCR IBRProvin
siKabupaten Hewan Spesimen Jumlah
Positif NegatifBALI Jembrana ( Kec. Jembrana, Desa
Yeh Kuning)Sapi Swab 15 0 15
NTB Lombok Utara (Kec. Pemenang,Desa Pemenang) Sapi
Swab 30 0 30
NTT Sumba Tengah (Kec. URN, DesaPraykaroku Jangga)
Sapi Swab 60 0 60
JUMLAH 105 0 105
Hasil uji Rose Bengal Test (RBT) untuk uji serologi penyakit Brucellosis
menunjukkan bahwa semua sampel negatif antibodi Brucella seperti ditampilkan
pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan RBT BrucellaHasil Uji RBT BrucellaProvinsi Kabupaten Hewan Spesimen Jumlah
Seropositif Seronegatif
BALI Jembrana ( Kec. Jembrana,Desa Yeh Kuning)
Sapi Serum 100 0 100
NTB Lombok Utara (Kec.Pemenang, Desa Pemenang)
Sapi Serum 112 0 115
NTT Sumba Tengah (Kec. URN,Desa Praykaroku Jangga)
Sapi Serum 116 0 116
JUMLAH 328 0 328
243
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Hasil uji serologis dengan metode Elisa terhadap penyakit Bovine Viral Diarrhae
(BVD) menunjukkan semua sampel negatif antibodi BVD, berikut ditampilkan
pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan BVDHasil Uji Serologi BVDProvinsi Kabupaten Hewan Spesimen Jumlah
Seropositif SeronegatifBALI Jembrana ( Kec. Jembrana,
Desa Yeh Kuning)Sapi Serum 15 0 15
NTB Lombok Utara (Kec.Pemenang, Desa Pemenang)
Sapi Serum 30 0 30
NTT Sumba Tengah (Kec. URN,Desa Praykaroku Jangga)
Sapi Serum 60 0 60
JUMLAH 105 0 105
Pemeriksaan terhadap 538 sampel serum dan swab yang diuji menunjukkan
semua sampel negatif antibodi dan antigen.
Kegiatan surveilans ini selain dengan pemeriksaan laboratorium juga dilakukan
pengisian kuisioner oleh responden. Pengisian kuisioner ini hanya dilakukan di
Kabupaten Sumba Tengah. Berikut pertanyaan kuisioner dari surveilans
penyakit gangguan reproduksi yang dilaksanakan di kabupaten Sumba Tengah.
Dari 50 orang yang dijadikan responden 35 (70%) orang yang memelihara
ternak kerbau, yang 100% dipelihara secara ekstensif dan milik sendiri. Dari 50
responden 47 (94%) responden yang menyatakan ternaknya tidak mengalami
gangguan reproduksi dan 3 (6%) responden menyatakan mengalami gangguan
reproduksi. Dari sejumlah responden yang ternaknya mengalami kasus
gangguan reproduksi menyatakan bahwa tidak semuanya mengalami
kesembuhan dan menunjukkan gejala birahi. Hanya 1 dari 3 (33,3%) responden
yang menyatakan bahwa ternaknya mengalami kesembuhan dan gejala birahi
sedangkan 2 dari 3 (66,7%) responden menyatakan ternaknya tidak mengalami
kesembuhan dan gejala birahi. Dari responden yang menyatakan ternaknya
tidak menunjukkan kesembuhan dan gejala birahi 2 (100%) menyatakan bahwa
ternak tersebut diobati. Dari 50 orang yang dijadikan responden menyatakan
bahwa 50 (100%) orang menyatakan ternaknya tidak di IB dan PKB dan
responden menyatakan bahwa 25 (50%) ternaknya mengalami kebuntingan
sedangkan 25 orang (50%) tidak mengalami kebuntingan. Dari pengetahuan
244
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
terkait siklus birahi ternak semua responden menyatakan mengetahui tentang
siklus birahi dan 100% responden menyatakan menghubungi dokter
hewan/petugas IB jika ada keluhan tentang ternak mereka.
3.2 PEMBAHASANHasil pemeriksaan terhadap penyakit BVD (Bovine Virus Diarrhea) menunjukkan
semua sampel neghatif virus tersebut. BVD adalah penyakit infeksius pada sapi
yang disebabkan oleh virus dan secara klinis terlihat adanya stomatitis erosif
akut, gastroenteritis dan diarhea. Penyakit ini bisa berdampak terhadap masalah
reproduksi. Dan sapi merupakan spesies yang rentan terhadap penyakit ini.
Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini yang paling menyolok adalah diare
yang profuse dan berair, berbau busuk berisi mukus darah. Sedangkan akibat
yang ditimbulkan yang berkaitan dengan masalah reproduksi adalah pada sapi
bunting dapat mengalami keguguran akibat infeksi, biasanya setelah fase akut
lewat, bahkan bisa sampai 3 bulan setelah kesembuhan. Penyakit ini lebih
umum terjadi pada sapi potong dibanding sapi perah. Jika terjadi wabah
morbiditas mencapai 25% dan kematian dapat mencapai 90 – 100 % dari hewan
yang sakit. Bila penyakit ini memasuki suatu peternakan maka biasanya bersifat
sporadik. Pada peternakan penggemukan biasanya terjadi out break beberapa
hari setelah sapi datang. Cara penularan secara kontak langsung maupun tidak
langsung. Penyebaran yang utama melalui makanan yang tercemar feses, urine
atau leleran hidung. Apabila penyakit sudah masuk pada suatu peternakan,
kasus baru yang terjadi bersifat sporadik. Gejala klinis yang tampak bisa bersifat
akut, sub akut atau kronis. Pengujian BVD secara serologis telah dilakukan
secara rutin di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar dengan metode
Elisa BVD.
Dari pemeriksaan yang dilakukan pada tahun sebelumnya dapat dijelaskan
bahwa penyakit BVD ini telah ditemukan di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar. Namun pada tahun 2018 ini pemeriksaan BVD yang dilakukan Balai
Besar Veteriner Denpasar memberi gambaran hasil yang cukup
menggembirakan, dari semua sampel serum yang diambil dari tiga propinsi
245
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
dengan uji Elisa BVD semua sampel sebanyak 345 serum semuanya
menunjukkan hasil seronegatif BVD. Hasil ini menggambarkan paparan virus
BVD di alam tidak terjadi lagi di tiga provinsi yang dilakukan pengambilan
sampel.
Penyakit IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis) dapat menimbulkan infeksi
sekunder berupa broncho pneumonia, keguguran dan kematian pada anak sapi.
Mortalitas penyakit rendah dan morbiditas tinggi. Sapi yang sembuh dari infeksi
alami menjadi kebal dalam waktu yang lama. Kekebalan secara pasif yang
diperoleh pedet dari kolostrum dapat menimbulkan kekebalan kurang lebih
empat bulan. Penularannya bisa secara vertikal maupun horizontal. Secara
vertikal dapat melalui infeksi intra uterina, sedangkan horizontal dapat melalui
inhalasi cairan hidung yang mengandung virus dan melalui semen. Penyakit ini
dapat menimbulkan kerugian ekonomi cukup berarti. Kerugian terutama akibat
adanya infeksi sekunder yang dapat menyebabkan pneumonia, keguguran dan
kematian pada anak sapi. Diagnosa laboratorium dapat dilakukan secara
histopatologi dan virologi. Pemeriksaan adanya virus dapat dilakukan secara
isolasi dari usapan vagina atau trachea. Dapat pula menggunakan metode
ELISA dan yang lebih akurat lagi adalah dengan metode PCR. Meskipun bahan
yang digunakan berupa kit Elisa cukup mahal, pengujian dengan metode ini bisa
lebih cepat dan mudah dilakukan dan bisa memberikan gambaran adanya
antibodi maupun antigen IBR pada sapi yang diambil sampelnya. Banyaknya
penyakit yang menunjukkan gejala klinis yang mirip (differensial diagnosa)
dengan penyakit IBR ini menjadi alasan perlunya pemeriksaan laboratorium
untuk mendiagnosa penyakit ini. Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa
banding (differnsial diagnosa) dari penyakit IBR ini antara lain: Pasteurollosis,
Bovine Viral Diarrhea (BVD), Diphteria, Shipping Fever, Rhinitis karena alergi,
dan Malignan Catarrhal Fever (MCF). Untuk lebih memberikan kecepatan dan
ketepatan diagnosa IBR, Balai Besar Veteriner Denpasar juga melakukan
pendiagnosaan IBR dengan metode PCR. Hasilnya bisa dilihat pada Tabel.1
untuk pemeriksaan serum dengan metode ELISA dan untuk pemeriksaan secara
PCR.
246
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
Hasil pemeriksaan RBT Brucella terhadap 700 sampel menunjukkan semua
sampel yang diuji negatif, Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan
salah satu penyakit hewan menular strategis karena penularannya yang relatif
cepat antar daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalulintas
ternak yang ketat (Ditjennak, 1988). Brucellosis mengakibatkan tingginya angka
keguguran pada sapi, pedet lahir mati/ lemah, infertilitas, sterilitas dan turunnya
produksi susu (Hubbert et al., 1975).
Analisa hasil kuisioner terhadap 50 orang responden yang merupakan pemilik
ternak menunjukkan bahwa masih rendahnya respon terhadap IB hal ini
disebabkan karena sistem peternakan di Sumba tengah masih bersifat ekstensif,
ternak diumbar di padang rumput sehingga menyulitkan dalam pengumpulan
ternak dan melakukan inseminasi buatan (IB).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULANDari hasil pemeriksaan laboratorium dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hasil uji laboratorium secara serologi dan PCR terhadap penyakit
gangguan reproduksi (BVD, IBR, Brucellosis) semuanya menunjukkan
hasil negatif.
2. Hasil analisa kuesioner dari 50 responden menunjukkan bahwa
peternakmasih belum bisa diaplikasikan disebabkan karena sistem
peternakan ekstensif.
4.2. SARANSaran untuk dinas dan instansi terkait adalah sebagai berikut :
1. Monitoring dan surveilans secara berkelanjutan
2. Untuk merubah sistem kawin alam menuju sistem IB membutuhkan waktu dan
tenaga yang lebih keras dari petugas dinas. .
247
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2018
V. DAFTAR PUSTAKA
DITJENNAK. 1981. Penyakit Keluron Menular (Brucellosis). Pedoman Pengendalian PenyakitMenular. Bina Direktorat Kesehatan Hewan. Dirjen Peternakan. Jakarta.
Hazumi, T., dkk. 2001. Fisiologi dan Gangguan Reproduksi. Japan International CooperationAgencyIndonesia. Singosari.
Hazumi, T., dkk. 2002. Reproduksi Klinik. Japan International Cooperation Agency- Indonesia.Singosari. Hardjopranjoto, S, 1995.
HUBBERT, W.T., W.F. MCCULLOH, and P.R. SCHNURENBERGER. 1975. DiseaseTransmitted from Animals to Man. 6th. Ed. Charles C. Thomas. Publisher. Sprongfield.USA.
Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya. Ratnawati.d., dkk., 2007,Petunjuk Teknis Peanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong, PUSLITBANGNAK,
Pasuruan.
Ressang,A.A., 1988. Penyakit Viral Pada Hewan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).Jakarta
Riady.m., 2006., Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010 Strategi danKendala, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, PUSLITBANGNAK.
Schnurrenberger.P.R., et al., 1991, Ikhtisar Zoonosis, Penerbit ITB Bandung. Subronto, 1993.Ilmu Penyakit Ternak I. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.