Laporan Sintesis Hasil CB
-
Upload
septianm -
Category
News & Politics
-
view
982 -
download
8
description
Transcript of Laporan Sintesis Hasil CB
LAPORAN SINTESIS
Hasil Capacity Building Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dan Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATANPENGARUSUTAMAAN REDD+SATUAN TUGAS PERSIAPAN KELEMBAGAAN REDD+ INDONESIA
DOKUMEN TIM KERJA PENGARUSUTAMAAN REDD+ KE DALAM SISTEM PERENCANAANPEMBANGUNAN
LAPORAN SINTESIS
Tim Kerja Pengarusutamaan REDD+ke Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
DESEMBER 2013
1LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
A. Latar Belakang
Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation+ (REDD+) merupakan
mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan cara memberikan
kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan
serta melakukan perlindungan hutan. Pada COP 13 UNFCCC tahun 2007 di Bali, Pemerintah
Indonesia menyepakati Bali Action Plan yang berisi antara lain kesepakatan mitigasi perubahan
iklim melalui REDD+. Sebagai persiapan pelaksanaan REDD+, telah dilakukan berbagai upaya
di tingkat kebijakan, penyusunan kerangka penerapan dan pembiayaan, hingga pelaksanaan
demonstration activities (DA) di sejumlah daerah.
Sebagai upaya mitigasi perubahan iklim maka REDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang memuat upaya pengurangan emisi GRK dari berbagai sektor.
Dalam Rencana Aksi Nasional tersebutsektor kehutanan dan lahan gambut diharapkandapat
berkontribusi sebesar minimal 22 persen dari 26% total penurunan emisi yang ditargetkan
pada tahun 2020. Hal ini menunjukkan pentingnya kegiatan REDD+ dalam mencapai target
penurunan emisi nasional.
Sebagai landasan dan arah pelaksanaan REDD+ di Indonesia secara rinci, telah disusun rancangan
Strategi Nasional REDD+. Rancangan Strategi Nasional REDD+ ini memiliki lima pilar yang saling
berkaitan, yaitu: (1) kelembagaan dan proses, (2) kerangka hukum dan peraturan, (3) pelaksanaan
program strategis, (4) perubahan paradigma dan budaya kerja, serta (5) pelibatan para pihak.
Secara keseluruhan, Strategi Nasional REDD+ diharapkan menjadi acuan untuk memastikan
bahwa pelaksanaan REDD+ dapat mengatasi emisi yang disebabkanoleh deforestasi dan
degradasi hutan. Selain itu, Strategi Nasional REDD+ diharapkan dapat menjamin tercapainya
penurunan emisi gas rumah kaca nasional dari sektor kehutanan sesuai target yang telah
ditentukan.
Pelaksanaan REDD+ tidak hanya terkait sektor kehutanan saja, tetapi juga berkaitan dengan
sektor pembangunan lainnya. Kebutuhan lahan untuk pertanian, perkebunan, pertambangan,
energi, dan permukiman diidentifi kasi sebagai pemicu terjadinya deforestasi. Oleh karena itu,
intervensi kebijakan dan koordinasi perencanaan lintas sektor sangat perlu dilakukan untuk
mencapai tujuan dan sasaran pelaksanaan REDD+. Tantangan pelaksanaan REDD+ adalah
menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan tanpa mengganggu funsi
dan peran kawasan hutan dan kehutanan terhadap pendapatan dan pertumbuhan ekonomi
nasional.
Dalam perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan REDD+, perlu adanya kajian
keterkaitannya dan implikasinya terhadapsektor pembangunan lain dan pembangunan antar
wilayah (regional). Oleh sebab itu, kegiatan REDD+ harus dapat diarusutamakan ke dalam
perencanaan pembangunan nasional agar terbentuk sinergi, integrasi dan keterpaduan program
dan kegiatan REDD+ dalam mencapai sasaran pembangunan nasional.
Terkait pembangunan bidang ekonomi, telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun
2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-
2025 (MP3EI). Substansi dari MP3EI adalah pengembangan koridor ekonomi Indonesia dengan
menggunakan tiga strategi utama yaitu: (1) pengembangan potensi ekonomi, (2) penguatan
konektivitas antar wilayah dan (3) penguatan kemampuan sumber daya manusia serta ilmu
pengetahuan dan teknologi nasional. Prinsip dasar MP3EI adalah pembangunan berkelanjutan.
Untuk itu, diperlukan harmonisasi antara pelaksanaan MP3EI dengan penurunan GRK khususnya
penurunan emisi karbon yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut
(REDD+).
Terkait dengan hal-hal tersebut, Tim Kerja Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan
Pembangunan pada Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ telah menyusun dua pedoman
yaitu: 1) Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dan
2) Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+. Kedua pedoman ini menjadi dasar dalam
proses penyusunan rencana pembangunan yang berkelanjutan serta pembangunan rendah
karbon. Untuk mengadopsi kedua pedoman tersebut, diperlukan proses penguatan kapasitas
para perencana pembangunan di berbagai sektor pembangunan terkait hutan dan lahan
gambut, baik di Kementerian/Lembaga maupun di daerah.
B. Tujuan
Tujuan penguatan kapasitas perencana adalah :
1. Agar rencana pembangunan daerah berorientasi pada penurunan emisi karbon dari
deforestasi, degradasi hutan, dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati,
peningkatan stok karbon dan pelaksanaan prinsip sustainable forest management.
2. Agar rencana pembangunan daerah berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial.
NOTA KONSEP PRINSIP KRITERIA DAN INDIKATOR SAFEGUARDS REDD+ INDONESIA – PRISAI2
B. Tujjuannn
TuT jujuuananan pppenenenennnnguguguguguatatatatatananananan kkkapapapappasitas ppppppererererererererenenenenenenennccacccc na adalah :
11.11..1 AgAgAgAgAgAgAggararrrrarr rrrrrrrreneenenenene cacacacacaaanananaa pppppememmememmme babababaaangngngngngngngngunununununnunnananannnnnnannaa dddddddaeaeaeaeaeaeeeeea rararararararararaarahhhhhhhh bebebbbbbbeb rorororiririenenenentatatatatasisisisisisi pppppppppadadadaddadada aaaaaaaaa pepepepepepepepepepepepepep nununununununununuununururururururuurruruunanananananannannannnnnnn emememememememememe isisisiissi iii kakakarbrbrbononon dddararariii
dededededededededededeffofoffofofofofofofooorererereerereererereestststststststsststststts asasasasasssaaasa i,i,i,i,i,i,i dddddddddddddegegegegegegegegegeggrarararararaararar dadadadadadadadaasisissssi hhhhhhhhhhhhhututututuututututuu ananananananaaaan,, , , , , , dededededededededeeeengngngngngngngngngngngggganananananananaaaaa ttttteteeee app mmmmmmmmmemememememememmmme pepepepepepepepepepeppepeppppepepp rhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhhrhrhhatatatatatatataatataatattikikikikikikikikikkkikkkikkkkananananananananananaanaanannanaaa kkkkkkkkkkeaeaeaeaeaeaeaaaeaeaeeeaeaae nnenenenenneneneneneneennennenen kakkakakakakakakkkakakakkkaaaak rarararaarararaararrrrr ggagagagagagagaagagg mammammmm n n hah yay ti, , ,,
pepeppepepepepepeepepeeninininnininnin ngngngngngngngngngngggggkakakakakakakakakakaakatatatatatatatatatatatattannnnnnnnnn stststststststststtsttsts okokokokokokokokokokoook kkkkkkkkkkkkkararararararararaaararararara boboboboboboboobbobobbobonnnnnnnnnnnnnnn dadaddadadadaddadadadddannn nn nnnnn pepepepepeepepeepepepepppepelalalalalalaaalalalal kskskskskskskskskskskskssssananananananaanananaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa nnnnnnnnnnnnnnn prprprprprprprprprprprprpprprprpprpriiininininininininnninininini sisisisisisisissisisip p p p pp pppp ppppp p susususususususususuststststssststtstsstststtttts aiaiaiaaaiaiaiaiaaaiaiaaiaiiiaaiaainanananananananannaannnananaaannnnablblblblblbblblbllbllblblble e eeeee ee eeeeee eee fofoffofofofofofoffofofofofoffofoforerererererererererererererererererererereereststststssttststststsssstttstsssssststtttt mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmananananananananananananaananannanannnna agagagagagagagagagagagggagaggaaaa ememememememememememmmmemmmmeemmeme enenenenenenenenneeenenenenentttttt.. . .
2.2.2.22.222.2.222.2.2.2 AgAgAgAgAgAgAgAgAgAgAgAgAgAggAAgA ararararrarararrarr rrrrrrrrrrrrenenenenenenenenenenenene cacacacacacacaccacaaaananananananananananaa pppppppppppppememememememememememe babbababababababbbabababbaaabb ngngngngngngngngnngngngngngngnggunununununununnununununnuunuu anananananananananananannananann dddddddddddddddddaeaeaeaeaeaeaeaeaeaeaeeaeaeeaeaeeaerararararararararaararaaaraaahhhhhhhhhhhhhhhhhh bebebebebebebebebbebebebeeeb rkrkrkrkrkrkkrkrkrkrkkrkrkkrkkkononononononononononononnontrtrtrtrtrtttrtrtrtrttrtrtribibibbibbibibibibibususususususususssussusuu iiiiiiiiiiiii papapapapapapapapaapapapapapapapapapapaapadadadddadadadadaddaadadaadaadaaaadd pppppppppppppppppppeneneneeneneneeneneeneeeene cacacacacacacaacacaaacaccacacaacaaapapapapapapapapapapapappapappapapppapaaapap iaiaiiaiaiaiaiaaiaaaiaiaaannnnnnnnnnnnn tututututuutututuututuuuuutttt jujujujujujujujuujujujjjujujuujujujujujj anananananananananananannananananaaa ppppppppppppppppppppppppememememememememememememememememeemeemmeeeememeemmbbababababbbbbb ngngngngununununnnnnnanananananananananann
bebebebebbebbebebebebebbebeeerkrkrkrkrkrkrkrkrkrrkr elelelelelelelelelelelelanananananananananananananananjujujujujujujujujujuujuujutatatatatatataatatataaaaatatannnnnnnnnnnnnn mememememememememeeememeemememeemememmeencncncncncncncncncncncncnccncncncnccnccakakakakakakakkakakakakakkkakaakaakupupupupuppupupuupuppupuupppupupupuppp aaaaaaaaaaaaaaspspspspspspspspspspspppsppspekeekekekekkekekeeekeekeekekekekekekkke eeeeeeeeeeeeeeeeekokokokokokokokokokokokokkokokokokokkkokk nonononononoonononononoonomimimimimimmmimimimmmm , ,, ,, lililililiiliiiliilingngngngngngngngngngngnnggnggggkkkkukukukukukukukuukuukukukukukungngngngngngngnngngngngngngnggananananannananananannananananannanaa dddddddddddddddddddddanananananannanananannanaa sssssssssssssososososososooosososoososososoo iaiaiaiaaiaiaiaaiaaiaiaaaaiaaaaiaal.l.ll.l.l.ll.l.l.lll..ll
NOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNONOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNONOTNOTNOTNOTTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTOTOTTTTNOTTNOOTOTTTN TTNN TA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KKA KA KA KA KAA KAA KKA KA KAA KA KA KA KAA KKA KKKA KKKKA KKKAAAAA KA KKA KKA KKKKAAA KA KKONSONSONSONSONSONSONSONSONSONSOONSONSONSONSONSONNSNNONSONSONSONSONSONSONSONSONSONSSOONSONSONONSNONSONSONSONSOONSONSONSONSONSONSNONSONSONONNNONOONNNNNNNSONSNNNNNNSOONNNNNOONNNNSNSONSONSONSNNSSSONSO EP EP EP EP EP EP EP EP EP EP EP EPEP EP EPEPPPPPEP EPEP EPEP PEPP EPEP EP PPPEP PPEP P EPEP PPEPEPEPEEP PPPPEEEPP EPEPPEPEPEPPPPP P PRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRPRPRIPRIPRIPRIRIRIPRIRIRIRIPRIPRIIPRIPRIPRIPRRIPRIPRRIPRIPRIRIRIPRIPRIPRIPRIRIPRIPPRPRIPRIRIPRIRIPRRIRIPRIPRIIIIPRIPRIPRIIPRIPRPRRPRIRRPRIPRIRRPRPRIPRIRIIIIPRIRRIIPR NSINSINSINSINSINSINSINSINNSINSINSINSINSINSNSNSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSNSINSIINSINSINNSNSINSISNSINNSINSINNSIINSSINSINSINSINSINNSINSNSSNSN ISIIP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KKP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KKP KP KP KP KP KP KKP KP KP KP KKKKP KP KP KP KP KKKP KKP KKPP KP KP KP KP KKP KP KP KP KKKP KPPP KP KKP KPPPPP KP KPPP KP KP KPP KKPPP KRRRIRITRITRRRITRRITRRRITRRRIIRITRITRITRITRITRITRITRITRITITRITRITRITTRITRITRITRITRITRRRRRIRIRITRITRITRITRITRRRRIRITRITRITRITRITRIRITRITRITITRITITTITRITRITRRITRITRITRIRITRITRITRITRRRIRITTRITTRITRITITRITRITRITTTITRITRITRITRITITTRITR TTRIRITRIRIIRITRITRRITRRR ERERIERIEERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERERIRIERIERIERIERIERIERIERIRIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERRIERIERIERIRIERIERIERIERIERIERIRERRIERIERIERIERIERERIERIRERIRIERIEERRRRERIERIRRERERIERIERIERIEEERIEERIERRRERIEEERIEE A DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA A DA DA DDA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DAA DA DA DA DAA DA DA DA DA DA DA DA D DA DA A DAAA DA DA DA DA DAA DA DAAAA DA DDAA DAA DAA DA DA DAA DA DA DDA DAA DAA DDA DDA DDDDDDDDDDDDDDAANANANANAANAANANANANAANAN AN AN AN AN AN N AN AN AN AN NNNANANAAANAAANANNN ANANANAN ANANANAN NNANANANAN AN AN ANAAN AN ANANANAN ANANANAN AN AN NANAANANNAN NNAAA INDINDINDINDINDINDINDINDINDINDINDINDNDINNDINDINDINDINDINDINDNDNDINDNDDINDINDINDINDINDINDNNDNDNDINDNDNDNDNDNDINDINDINDDINDINDNDNDINDINNDDINDDINDNDNDINDINDNDINDNNDNDINDIINDINNDININININNNDDDNNNDDINDINDNDINNDDNNDDDINNINDDDINDINNNNDNDDDDNNDDDDDNDDNNNDIKAIKIKIKAIKAIIKIKAIKAIKIKKIKAIKAIKAIKAIKIKIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKIKIKIKIKKAIIKIKIKAIIKAKKKKAKAIKAIIKAIKKIKAAKAIKAIIIKAAIKAIKAIKAAKAKAIKAAKKI AAIKKAAKAAIK TORTOTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORORTORTORTORTORTORORRRTORRTORTORTORTTORORORRTORTORRTORTORTORRRTOTORTORTORRRTORRTORTTORTORRTOOORTORRTORTORORORRTOORORRRRRRTORT RORORRRRRRRRRRTORROORRRRTORRORRT RRORTTO SASASASASASASSASASASSSASASASASASASASAASASASASASASASASASASASASSASASASASASSASASASAASASASSASASASSASASSAASSAASASASAAASSSAASASAAASSSSASASSSASSSASASASASSSASSSAASS FEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGEGEGFEGFEGFEGEGFEGEGFEGFEGGFEGFEGFEGFEGFEGFFEGFEFEGEGFEGFEGFEGFEGFEFEFEGFEGEEFEGFEGFEGFEGEGEGFEFEGFEGEFEGFEGFEFEFEGFEFEEEFEGEGFFFFEFFEEGFEGFEFEGFEGFEGEGFEGFFEGEFEGFEGEGEGFEEEGGFEGGFFEFFEFEFFEGFEFEFEFFFEFEFEFEEEEFEEGEGGGUARUARUARUARUARUARUARUARUARUARUARUARUARUAAUARAUARARUARUARUARUARUARUARUARUARUARRUARUARUARRUUAUARUARUARUARARRUARUARUARUARUARUAUAUAUAUAUARRRUARUARUARAARUUARUAAUARUARUAUARUARARUARUUARUAUARUAUARUAARRRAAUAUAAUUUAU RUAAA DSDDSDDDSDSDSDSDDSDSDDSDS DDSSDSDSDSSSSDS DSDSDDDS DSDSDSDSDSDSDSSSDSDDSDSDSSDSDSDSDSDSDS DS DS DDSDSDSSDSSSDSDSDSSDSDSDSDDSSSDDSSDSDSDS DSDSDDSSS DS DDSSDSDS DS DSDSDSSDSDDSSSDDSDDSDSSDSSSS DS DDSDSS SSDSDDS REDREDREDREDREDRREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDRREDRREDREDREDREDREDREDREREDREDEDRRERREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDEDDDEDREREEREDRRREREDREDEDRERREDRERERERRREDRREDEDDREDDDEDEREDEEREEREDREEER DEEEEDREDREDEDD+D+ D+ D+DD+D+ D+D+ D+D+ D+ D+ D+D+ D+D+D+D+ D+D+D+D+D+ D+ D+D+ D+ D+D+D+D+ D+ D+ DD+DDDD+D+++DDDDD+ D+++D+ D+D++++++DDD++DD+ DD+DD+DD++ D+++ INDINDINDINDINDINDINDININDININDINDINDINDINDINDINDINDININDNDININDDDDINDINDINDINDININDINDINDINDINDNDINDNDINDINDINDINDINDDINDINDINDINDNDNDINDNDNDDDNDDDNINDDNDINNINDNNDNDINDDNDINDINDNDININININININDINDINDIIINDINDDDDDINDDNDDINDDDDDDDDDDDONEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONONEONEONENEONEONEONEONENEONENEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONENENEONEONEONEONENEONEONEEOONEONEEONEONEOONNEONEEONENONONEONONEONENEONENONENENENENEONEONEENNEONEONONEONENEONEONENEOO EEEO EEEEEEOOOO EEEEEEEO EEEEEEO SIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIAISIASIASIASIASIASIASIAASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIAAIASSSSISIASIAASIASIASSIASIASISIASIIASIAAASISSSSIAIASIAASSIAS ASIASIASIAAIASSIAAIAS ASSISSSSIASISSISSSSSSSSSISSSSSSS –––––––––––––––––––––––––––––– PRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIIPRIPPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRPRIPRPPPRIIPRIP IPPPPPP SAISAISAISAISAISAISAISSAISASAISAISAISAISAISAISAISAISAISAISASAISAISAISAISAISAISAISAISSAISAISAISAISAISAISAISAISAISSAIAASAAISAAS ISAISSSAIASS IIAIS222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222
3LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
C. Ruang Lingkup
Capacity Building Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dan
Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ bertujuan untuk meningkatkan kemampuan perencana
dan pengguna Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
dan Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+, baik individu, organisasi maupun sistem
yang terkait agar dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan sebagai prinsip dasar
perencanaan pembangunan, melalui pembangunan rendah karbon dalam percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia dengan mengintegrasikan implementasi REDD+
ke dalam proses perencanaan pembangunan dan pelaksanaan MP3EI.
Dalam laporan ini Capacity Building Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan
Pembangunan dan Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ meliputi penguatan pemahaman
dan peningkatan kemampuan perencana di sektor berbasis lahan, serta para pihak terkait, di 11
provinsi prioritas implementasi REDD+, khususnya untuk menginternalisasikan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan dan menurunkan emisi karbon.
D. Peserta
Peserta Capacity Building yaitu individu yang mewakili instansi atau organisasi yang terlibat secara
langsung dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk menyusun dokumen
MP3EI tingkat provinsi dan kabupaten, antara lain:
1. Perwakilan dari Kelompok Kerja RAD-GRK
2. Perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
3. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perizinan) yang menangani bidang
kehutanan
4. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perizinan) yang menangani bidang
pertanian/perkebunan
5. Perwakilan Dinas yang menangani Perencanaan Tata Ruang (Dinas PU)
6. Perwakilan Dinas/Kantor Lingkungan Hidup Daerah (bidang yang menangani perencanaan/
perizinan)
7. Akademisi Bidang Perencanaan, Kehutanan dan Lingkungan Hidup
8. LSM yang bekerja di bidang perubahan iklim, kehutanan, atau bidang lain terkait
9. Bidang yang menangani perencanaan/perizinan pada UPT Kementerian Kehutanan di
Daerah (BPKH, BTN, BKSDA, BPDAS, BP2HP)
10. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perizinan) yang menangani bidang
perindustrian
11. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perijinan) yang menangani bidang
pertambangan dan energi
12. Perwakilan KADIN Provinsi
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING4
13. Perwakilan Badan Penanaman Modal Provinsi
14. Perwakilan Kabupaten yang memiliki kawasan hutan cukup luas
15. Perwakilan Kelompok Kerja MP3EI
E. Proses Capacity Building
Hingga saat ini Capacity Building (CB) telah dilakukan di 11 provinsi sebagaimana disajikan pada
Tabel 1. Proses CB didahului dengan brainstorming dan FGD untuk menguatkan pemahaman
peserta mengenai isu Perubahan Iklim dan REDD+ dalam konteks sistem perencanaan
pembangunan, serta pentingnya REDD+ dalam perbaikan tata kelola kehutanan (forestry
governance). Proses dilanjutkan dengan diskusi mendalam, baik secara kelompok atau pleno,
untuk membahas mengenai: (1) proses pengarusutamaan REDD+ ke dalam RPJMD/RKPD
tinkat Provinsi; (2) Greening MP3EI. Diskusi mendalam dilakukan dengan mengikuti alur pikir
yang dituangkan dalam Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan
Pembangunan dan Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ dengan mengacu pada dokumen-
dokumen perencanaan yang telah ada (RPJMD/RKPD), RAD GRK dan/atau SRAP REDD+.
5LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
No Provinsi Lokasi Tanggal SRAP REDD+ RAD GRK
1 Kalimantan Barat Kantor Bappeda
Provinsi Kalbar
14-5 Februari 2013 Dalam proses
penyusunan
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
27/2012)
2 Sumatera
Selatan
Hotel Arista,
Palembang
19-20 Februari 2013 Dalam Proses
Penyelesaian
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
34/2012)
3 Jambi Hotel Sang Ratu,
Jambi
20-21 Februari 2013 Dalam proses
Penyelesaian
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
36/2012)
4 Aceh Hotel Kuala
Radja, Banda
Aceh
27-28 Februari 2013 Dalam proses
penyusunan
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
85/2012)
5 Sumatera Barat Hotel Axana,
Padang
27-28 Maret 2013 Sudah selesai disusun Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
80/2012)
6 Sulawesi Tengah Kantor Bappeda,
Palu
22-23 Mei 2013 STRADA REDD+ sudah
Disahkan melalui
peraturan Gubernur
(No. 36/2012)
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
30/2012)
7 Riau Kantor Bappeda,
Pekanbaru
7-8 Mei 2013 Dalam proses
penyusunan
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
77/2012)
8 Papua Kantor Bapeda
Provinsi Papua
15-16 Mei 2013 Dalam proses
penyusunan
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
9/2013)
9 Kaltim Hotel Aston
Samarinda
27-28 Mei 2013 Sudah selesai disusun Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
54/2012)
10 Papua Barat Hotel Aston,
Manokwari
20-21 Juni 2013 Sudah selesai Disusun Dalam proses
penyusunan
11 Kalimantan
Tengah
Kantor Bappeda
Provinsi Kalteng
27-28 Juni 2013 STRADA REDD+ sudah
Disahkan melalui
peraturan Gubernur
(No. 10/2012)
Sudah Disahkan melalui
peraturan Gubernur (No.
36/2012)
Tabel 1. Implementasi Capacity Building , Status SRAP REDD+ dan RAD GRK
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING6
F. Hasil Capacity Building
F1. Pengarusutamaan REDD+, Greening MP3EI dan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) diimplementasikan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah melalui proses perencanaan dan penganggaran yang berjenjang
dengan menganut kombinasi antara pendekatan top down dan bottom up planning. Sinergi
rencana pembangunan tersebut dilaksanakan melalui Musrenbang, mulai dari tingkat
desa, hingga musrenbang nasional. Dari keseluruhan alur perencanaan nasional, dokumen
RPJMN merupakan dokumen induk yang menjadi acuan utama dalam penyusunan
RPJMD yang menjadi acuan dalam penyusunan RKP dan RKPD. RPJMN disusun dengan
mempertimbangkan kinerja pembangunan pada saat awal perencanaan, agenda kinerja
Presiden terpilih, serta aspirasi pemangku kepentingan dan daerah pada saat musrenbang
jangka menengah nasional berlangsung. Dengan mekanisme tersebut, diharapkan terjadi
sinergi perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Untuk menjembatani penanganan
isu lintas sektor dan lintas wilayah, RPJMN dan RPJMD secara eksplisit harus memuat program
lintas kementerian/SKPD dan lintas kewilayahan.
Dalam implementasi rencana pembangunan dimungkinkan adanya penetapan kebijakan
untuk merespon isu strategis tertentu yang dituangkan melalui Peraturan Presiden. Rencana
Aksi Nasional GRK (termasuk turunannya, yaitu REDD+) dan MP3EI merupakan dua dokumen
kebijakan nasional yang dalam implementasinya membutuhkan proses adopsi ke dalam Sistem
Perencanaan Nasional yang sedang berjalan. Hal ini menyebabkan perlunya penyesuaian dan
pengintegrasian kebijakan tersebut ke dalam implementasi pembangunan nasional/daerah.
Dalam konteks laporan ini, proses ini dikenal dengan pengarus-utamaan REDD+ ke dalam
SPPN dan Greening MP3EI. Pengarus-utamaan REDD+ ke dalam SPPN diharapkan mampu
menguatkan peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam penurunan emisi karbon yang
berasal dari deforestasi dan degradasi hutan, sedangkan greening MP3EI diharapkan mampu
memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dalam upaya
percepatan dan pembangunan ekonomi. Fokus pengarus-utamaan REDD+ ke dalam Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dan greening MP3EI Bidang REDD+ dalam laporan ini
dibatasi pada 11 Provinsi prioritas implementasi REDD+.
Evaluasi terhadap dokumen/draft/presentasi dokumen SRAP REDD+ yang telah disiapkan
oleh kelompok kerja di 11 Provinsi prioritas menunjukkan ragam format dan substansi yang
dituangkan ke dalam dokumen. Dalam perspektif sistem perencanaan, proses pengarus-
utamaan dinilai akan mengalami kendala akibat berbagai faktor berikut:
7LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
1. Terdapat kesenjangan kerangka pemikiran dalam penyusunan dokumen RAN REDD+
dengan RAD GRK dan SRAP REDD+. RAN REDD+ telah memberikan gambaran mengenai
kesenjangan antara kegiatan dan target pembangunan dengan syarat pencapaian,
baik di tingkat nasional maupun daerah.Secara umum, kesenjangan tersebut bermuara
pada lemahnya kondisi pemungkin yang merupakan ranah kewenangan pusat,
padahal kondisi pemungkin tersebut sangat diperlukan untuk menjalankan rencana
yang tertuang dalam SRAP REDD+.
2. Terdapat kesenjangan antara substansi SRAP REDD+ dengan kewenangan Provinsi
dalam menjalankan urusan pemerintah sesuai PP 38 Tahun 2007. Substansi SRAP
REDD+ yang disusun untuk menyelesaikan akar masalah pembangunan di sektor
berbasis lahan, cenderung akan mengalami “penyesuaian” ketika masuk dalam struktur
birokrasi perencanaan yang bekerja berdasarkan kerangka hukum yang berlaku dan
tupoksi masing-masing sektor, baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten.
3. Terdapat perbedaan format antara strategi dan rencana aksi dalam dokumen SRAP
REDD+ dengan dokumen perencanaan daerah.
4. Terdapat kesenjangan antara substansi SRAP REDD+ dengan kapasitas para aktor
pembangunan di daerah, baik dalam lingkup pemerintah, swasta maupun masyarakat
dalam pelaksanaan REDD+.
Sebagai langkah transisi untuk menata penyediaan kondisi pemungkin bagi perbaikan tata
kelola hutan dan lahan, maka pemfokusan upaya pengarus-utamaan REDD+ pada peran
pemerintah sebaiknya dilakukan sesuai dengan pembagian urusan dan kewenangan
pemerintahan yang berlaku (lihat Gambar 1). Dalam konteks ini, tema pengarusutamaan
diprioritaskan pada nomenklatur yang sudah dikenal dalam SPPN:
1. Penyelesaian tata ruang wilayah Provinsi dan kabupaten/kota.
2. Penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, termasuk penyelesaian konfl ik tenurial dan
penataan ruang kelola masyarakat adat/lokal.
3. Pembenahan sistem perijinan bidang kehutanan, pertambangan, perkebunan/
pertanian, dan pembangunan infratruktur.
4. Pembangunan KPH dan implementasi adi-praktis pengelolaan hutan di tingkat tapak.
5. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
6. Penegakan hukum atas segala bentuk tindakan haram bidang kehutanan.
7. Implementasi adi-praktis pengelolaan lahan di luar kawasan hutan.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING8
Gambar 1. Struktur Hipotetik implementasi REDD+ di Indonesia
F2. Hasil Pengarusutamaan REDD+
Pemerintah Provinsi umumnya menyambut sangat baik proses pengarusutamaan REDD+
ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan. Tidak ada keluhan yang berkaitan dengan
kesulitan proses pengarusutamaan REDD+ dalam dokumen perencanaan pembangunan.
DOMAIN KEBIJAKAN (RPJMN/D: RKP/D: RENSTRA/RENJA K/L/D)
PENENTU KEBIJAKAN(POLICY MAKERS)
KEBIJAKAN &
REGULASI
KAWASAN BUDIDAYA NON
KEHUTANAN
KAWASAN HUTAN TETAP
KONDISI PEMUNGKIN (ENABLING
CONDITION)PENGELOLAAN HUTAN
IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL
HUTAN & PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
KINERJAPENGELOLAAN
HUTAN TINGKAT TAPAK
DOMAIN PENGELOLAAN (RENCANA PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN)
KINERJAREDD+ TINGKAT
WILAYAH
TATA RUANG
YANG MANTAP
KPHK/KPHL/KPHP
SISTEM PERIJINAN
FASILITAS & BIMBINGAN
TEKNIS
TERKENDALINYAKEBAKARAN
HUTAN &AKTIVITAS
HARAM
KINERJA PENGELOLAAN LAHAN KBNK
TINGKAT TAPAK
HUTAN ADAT
HUTAN RAKYAT
PENGELOLAAN HUTAN TINGKAT
TAPAK
KAWASAN TERTENTU
9LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Hasil diskusi dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan menunjukkan bahwa
mereka mengalami kesulitan untuk mengidentifi kasi dan memasukkan akar masalah REDD+
sebagaimana tercantum dalam Stranas REDD+, RAN REDD+, dan SRAP REDD+ ke dalam
program dan kegiatan RAD GRK serta program dan kegiatan tahunan SKPD.
Secara umum isu Perubahan Iklim, khususnya REDD+, masih dipandang dengan berbagai
ragam perspektif sektoral bahkan di beberapa provinsi terfokus pada makna sebagai sistem
insentif semata. Berbagai masalah pembangunan daerah yang bersifat lintas sektor dalam
konteks REDD+ dipahami peserta sebagai persoalan yang terkait erat dengan pemantapan
kawasan hutan dan penataan ruang. Dalam konteks proses pengarusutamaan REDD+, para
pihak masih mengalami kesulitan untuk mengidentifi kasi akar permasalahan, mengingat
hal tersebut umumnya berkenaan dengan kebijakan nasional/provinsi dan konsistensi
implementasinya di tingkat kabupaten/kota atau tapak. Lemahnya kepastian kawasan hutan,
belum selesainya penataan ruang dan realitas penguasaan kehutanan oleh dunia usaha dan
masyarakat di berbagai tempat merupakan pokok masalah yang didiskusikan.
Para pihak yang tergabung dalam Tim Penyusun SRAP REDD+ telah mengidentifi kasi akar
permasalahan pembangunan di sektor berbasis lahan, khususnya di Provinsi Jambi dan
Sumatera Selatan. Tim Penyusun SRAP REDD+ memaknai pengarusutamaan sebagai akar
masalah yang tidak dapat diakomodasikan dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional namun penting untuk dilaksanakan, sehingga perlu dicari mekanisme kelembagaan
lain untuk mewujudkannya, sedangkan WG9 memaknai pengarusutamaan sebagai proses
untuk mengakomodasikan seluruh akar masalah pembangunan di sektor berbasis lahan ke
dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dasar pemikiran WG9 adalah Article 3.4
dari Convention UNFCCC.
Secara umum proses pengarusutamaan dipahami oleh peserta, namun lemahnya pendekatan
holistik dalam sistem perencanaan pembangunan dan carut marut permasalahan kehutanan
yang terlanjur terjadi selama ini cenderung mendorong peserta pada pendekatan perencanaan
yang berbasis tupoksi, berorientasi target dan cenderung mengabaikan “enabling condition”
yang menjadi syarat cukup bagi tercapainya target pembangunan tersebut.
Beberapa hasil penting dari proses capacity building mainstreaming REDD+ dalam sistem
perencanaan pembangunan adalah sebagai berikut:
1. Proses pengarusutamaan sesuai dengan pedoman yang dibuat telah membuka
perspektif baru dalam penyusunan RPJMD dan RKPD mengenai koordinasi perencanaan
pembangunan secara lintas sektor dan lintas wilayah, serta pentingnya identifi kasi akar
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING10
masalah dan pendekatan holistik berbasis rencana tata ruang dan kemantapan kawasan
hutan tetap.
2. Penguatan kapasitas untuk pengarusutamaan REDD+ membutuhkan penguatan
pemahaman atas substansi REDD+ pada sektor penataaan ruang dan sektor berbasis lahan,
serta penguatan pemahaman terhadap proses perencanaan yang didukung oleh “spatial
baseline information” yang kuat mengenai kawasan hutan yang akan dipertahankan
sebagai hutan tetap. Perbedaan pemahaman mengenai pengarusutamaan REDD+
dalam sistem perencanaan pembangunan perlu diantisipasi sejak dini untuk memastikan
keberhasilan REDD+ di tingkat provinsi.
3. Pendekatan sektoral dalam sistem perencanaan dan lemahnya sinergi perencanaan
tingkat nasional, provinsi dengan kabupaten akan menyulitkan proses identifi kasi akar
masalah yang secara umum bermuara pada masalah kebijakan dan tata kelembagaan.
Namun demikian provinsi yang telah memiliki dokumen/draft SRAP REDD+ secara
umum juga memiliki pemahaman yang lebih baik dalam melihat akar permasalahan
pembangunan dalam konteks REDD+ dan penurunan emisi karbon.
4. Dalam perspektif perencanaan pembangunan, selama pendekatan sektoral dalam sistem
perencanaan masih digunakan dan sinergi perencanaan tingkat nasional, provinsi dengan
kabupaten masih lemah, maka usulan pembentukan Lembaga REDD+ Daerah berpotensi
semakin menyulitkan proses penyelesaian akar masalah yang telah diidentifi kasi dalam
SRAP REDD+.
5. Dalam penyusunan SRAP, Satgas REDD+ perlu melakukan pendampingan dengan
melibatkan WG terkait, karena sebenarnya substansi SRAP memiliki muatan keseluruhan
output WG. Pendampingan penyusunan SRAP juga disertai kegiatan monitoring kemajuan
dan perkembangannya, sehingga permasalahan penyusunan SRAP dapat teridentifi kasi.
6. Khusus untuk Provinsi Sumatera Selatan, pemahaman terhadap pendekatan dan proses
pengarusutamaan yang dipaparkan oleh Pokja 9 sudah sangat komprehensif. Pendekatan
dan langkah-langkah yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi hampir seluruhnya sesuai
dengan langkah-langkah yang dipersyaratkan dalam Pedoman Pengarusutamaan REDD+.
Sebagai contoh, telah dilakukannya persandingan antara RAD GRK dengan SRAP REDD+
untuk mencari kesesuaian program dan kegiatan dan kemungkinan adanya gap program
dan kegiatan antara keduanya. Selain itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga
telah berkomitmen (dinyatakan melalui SK Gubernur) untuk mengintegrasikan seluruh
kegiatan RAD GRK dan program dan kegiatan SRAP REDD+ ke dalam RPJMD 2014-2019.
7. Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, capacity building pengarusutamaan REDD+
dan MP3EI direspon sebagai peluang untuk menyusun “grand design” pembangunan
wilayah secara berkelanjutan berbasis pembangunan ekonomi rendah karbon. Kedua
Provinsi perlu didukung pemerintah pusat untuk menyusun rencana induk pembangunan
wilayah tersebut guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya
11LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
kehutanan bagi upaya untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari berbasis modal
sosial yang ada dan mendukung pencapaian tujuan REDD+ pada masa yang datang.
F3. Hasil Greening MP3EI
Dua isu greening paling utama, yakni lingkungan dan keadilan sosial, dapat dimengerti dan
diterima meskipun masih memerlukan pemikiran lebih jauh untuk mengimplementasikannya
dalam rencana pembangunan daerah. Secara umum, ego sektoral masih sangat mewarnai
dialog antar sektor, sehingga melemahkan koordinasi antar sektor. Hal ini masih perlu
mendapatkan perhatian yang sangat serius dalam mengimplementasikan MP3EI yang
lebih hijau. Selain itu, pemahaman peserta mengenai pendekatan yang berbasis insentif
dan disinsentif masih sangat kurang sehingga perlu peningkatan segera. Pada Provinsi
Jambi sudah ada kesadaran bahwa pembangunan sumberdaya manusia setempat melalui
pendidikan merupakan kunci pembangunan jangka panjang.
Beberapa hasil penting dari proses capacity building Greening MP3EI adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan tentang MP3EI tidak merata untuk semua peserta. Disamping itu juga
belum ada dokumen MP3EI yang spesifi k untuk tingkat provinsi. Greening MP3EI masih
banyak menghadapi tantangan, khususnya perubahan paradigm pembangunan yang
belum berbasiskan pada paradigma pembangunan berkelanjutan, namun masih
berorientasi kepada pembangunan sektoral-ekonomi.
2. Terbatasnya sosialisasi kebijakan dan rencana aksi MP3EI dari kementrian terkait dan
belum adanya MP3EI untuk provinsi, mengakibatkan minimnya pemahaman stakeholders
pada tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Berdasarkan kondisi ini, proses capacity
building greening MP3EI bidang REDD+, lebih difokuskan pada diskusi konsep dan isu-
isu pembangunan berkelanjutan. Perlunya visi dan misi pemimpin dalam menjabarkan
pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan, strategi, program, dan kegiatan serta
struktur organisasi pendukungnya.
3. secara umum perencanaan pembangunan masih berorientasi pada target output,
sangat terbatas di dalam penetapan tujuan (dampak) dari aspek ekonomi, lingkungan
dan sosial, dan ukuran (indikator) yang jelas; dan masih terbatas dalam menggunakan
informasi statistik wilayah sebagai bahan perencanaan dan evaluasi kinerja pencapaian
tujuan pembangunan daerah.
4. Secara umum mekanisme greening bidang REDD+ sebagaimana pada pedoman dapat
dipahami peserta, namun koordinasi antar sektor masih perlu mendapat perhatian yang
sangat serius dalam mengimplementasikan MP3EI yang hijau, mengingat investasi skala
besar di daerah umumnya masih didominasi oleh capital intensive yang berasal dari
perusahaan skala besar atau perusahaan asing.
5. Proses greening akan mengalami hambatan (lambat) pada proses legal terkait
penggunaan kawasan hutan untuk sektor di luar kehutanan, masalah ketersediaan data,
dan proses pengambilan keputusan greening dan kendala ketidakpastian tata ruang.
6. Pedoman Greening MP3EI bidang REDD+ statusnya di dalam proses perencanaan
pembangunan daerah masih belum memiliki legalitas, sehingga menjadi suatu
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING12
tantangan pada tataran implementasinya. Ada dua hal tantangan itu yaitu status legal
pedoman greening MP3EI, dan para pihak yang akan melaksanakan greening MP3EI
bidang REDD+.
7. Di Provinsi Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan Aceh diskusi yang lebih mendalam
dalam proses greening adalah mengenai kriteria dan indikator. Ada kesepahaman bahwa
diperlukan perubahan kebijakan dan strategi pembangunan agar beberapa kriteria
dan indikator greening dapat dipenuhi. Kriteria indikator dimaksud adalah a) indikator
nisbah anggaran pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan terhadap
nilai sumberdaya alam yang tereksploitasi dari daerah yang bersangkutan ;b) konfl ik
di masyarakat; c) perimbangan pembagian hasil dari sumberdaya alam, baik langsung
maupun tidak langsung, antara pusat dan daerah; d) partisipasi/ akses masyarakat local/
adat di dalam kegiatan ekonomi/ pembangunan
8. Di Provinsi Kalimantan Barat MP3EI diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan dan
layanan energy/ listrik, dan tuntasnya transportasi (Trans Kalimantan) khususnya di
jalur Kalbar ke Kalteng/ Kaltim. Disamping itu juga digugah agar kebijakan yang lebih
tinggi (PP) tentang pembangunan perbatasan Kalbar dan Malaysia, diprioritaskan untuk
direalisasikan, kemudian baru implementasi MP3EI dengan status Perpres.
9. Diskusi pembangunan pada MP3EI dan REDD+ sangat mendapat perhatian pada isu
kepentingan sektor pada ruang (diperlukan kepastian tata ruang/ RTRW), isu kerusakan
sumberdaya alam dan dampak lingkungan, serta isu keadilan sosial, terutama hak-hak
masyarakat terhadap sumberdaya dan memperoleh manfaat pembangunan tersebut.
10. Pada provinsi yang infrastrukturnya belum berkembang, ada persoalan yang harus
dipahami secara baik dan bijak, bahwa kebutuhan pembangunan infrastruktur sebagai
prasyarat pengembangan wilayah, yang tidak jarang melewati kawasan hutan khususnya
hutan lindung dan konservasi, perlu mendapatkan perhatian dan alokasi ruang namun
tetap tanpa mengorbankan kelestarian dan ekosistem.
G. Evaluasi Proses Capacity Building
Evaluasi proses capacity building dilakukan melalui evaluasi terhadap a) peserta yang hadir
dan keaktifan berkontribusi di dalam diskusi, b) materi capacity building, c) mekanisme atau
pelaksanaan capacity building, d) isu yang muncul pada saat diskusi kelompok maupun panel.
1. Peserta dan Proses Diskusi
Peserta capacity building berasal dari badan perencana, SKPD kehutanan/perkebunan,
pertanian, pertambangan, perdagangan industri, lingkungan hidup, penanaman modal
daerah pada tingkat provinsi dan sebagian dari kabupaten/kota, dan UPT Kementerian
Kehutanan di daerah. Di samping unsur pemerintah, juga dihadiri oleh peserta dari perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat di provinsi maupun kabupaten. Dari sisi target
13LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
keterwakilan peserta, maka capacity building sudah terpenuhi; hal ini berkait kerjasama yang
baik antara WG9 dengan Bappeda sebagai penyelenggara.
Sebagian besar peserta capacity building bukan pengambil keputusan yang dapat secara
langsung menyatakan komitmen mereka untuk mempergunakan dua pedoman tersebut
dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Namun mereka akan berupaya agar dua
pedoman tersebut dapat menjadi dasar dalam penyusunan program dan kegiatan SKPD.
Topik pengarusutamaan REDD+ ke dalam perencanaan pembangunan daerah relatif lebih
banyak mendapat perhatian peserta; peserta lebih banyak mendiskusikan isu-isu terkait topik
REDD+ ini. Hal ini terkait dengan realitas di daerah, pengetahuan tentang isu REDD+ relatif
sudah lebih banyak diperoleh sebagian besar peserta, dan proses sosialisasi ataupun FGD
tentang REDD+ di daerah banyak dilakukan oleh berbagai pihak baik dari Satgas REDD+
maupun dari LSM. Di samping itu peserta yang menjadi anggota pokja (komisi daerah istilah
di Kalteng) RAD GRK atau REDD+ langsung berkepentingan terhadap substansi REDD+
untuk penyusunan dokumen SRAP REDD+ ataupun untuk mendapatkan kejelasan rencana
implementasi dan mekanisme pendanaannya/insentif. Sedangkan, untuk topik MP3EI
peserta relatif lebih banyak memberikan perhatian kepada penyampaian materi oleh nara
sumber dari WG 9 Satgas REDD+. Sehingga proses capacity building juga sekaligus menjadi
sosialisasi MP3EI, pembangunan daerah dalam konteks pembangunan berkelanjutan, dan
metode greening.
2. Materi Capacity Building
Proses capacity building dengan metode brainstorming dan FGD pada topik pengarusutamaan
REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Greening MP3EI bidang
REDD+. Materi capacity building karena pertimbangan alokasi waktu dan prasyarat
peserta sejak awal dirancang bukan untuk tujuan memberikan kemampuan skill di dalam
menggunakan ke 2 jenis pedoman ini. Secara umum substansi materi capacity building
adalah kebijakan dan isu-isu perubahan iklim (REDD+) dan kebijakan serta isu-isu MP3EI;
pedoman pengarusutamaan REDD+ ke dalam perencanaan pembangunan daerah (RPJMD
dan RKPD) serta pedoman greening bidang REDD+.
Materi capacity building sudah memenuhi tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan
capacity building pada dua pedoman dimaksud. Capacity Building pada beberapa provinsi
belum banyak mengupas teknis pengarusutamaan REDD+ dan greening MP3EI, karena
lebih berfokus pada diskusi isu REDD+ dan MP3EI terkait masalah kepastian hukum, otonomi
daerah, penataan dan pemanfaatan ruang yang belum mengakomodir hak-hak masyarakat
adat/ lokal, kordinasi antar sektor, termasuk soal penggunaan kawasan hutan untuk areal
penggunaan lain (APL) seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, infrastruktur dan lain
sebagainya.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING14
3. Mekanisme Pelaksanaan Capacity Building
Mekanisme capacity building dirancang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu
menggunakan pendekatan brainstorming dan FGD, untuk membangun partisipasi peserta
dalam mengungkapkan dan memberikan bahasan terhadap topik dan isu yang dibahas.
Dalam pelaksanaan capacity building dua pedoman ini, setelah mengambil pengalaman di
Provinsi Kalbar, dipandang perlu pihak daerah khususnya Pokja RAD GRK atau SRAP REDD+,
melakukan desiminasi dan sosialisasi program dan kegiatan yang ada pada kedua dokumen
tersebut (RAD-GRK dan SRAP REDD+) kepada seluruh peserta dan proses integrasi program
dan kegiatan REDD+ ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJMD dan
RKPD).
Mekanisme capacity building dipandang cukup untuk mencapai tujuan yaitu membangunan
pemahaman REDD+, keperluan integrasi ke dalam perencanaan pembangunan daerah,
pemahaman kepentingan greening dan/atau pembangunan berkelanjutan. Untuk tujuan
capacity building lebih lanjut, yaitu tujuan praktek, maka diperlukan pengembangan
pelaksanaan, terkait persyaratan peserta yang betul-betul sebagai pelaksana di dalam
perencanaan pembangunan di setiap SKPD, alokasi waktu yang lebih lama, metode latihan
kasus dengan data yang cukup untuk sebuah kasus bahasan.
4. Isu-Isu Pokok Diskusi Pengarusutamaan REDD+ Dan Greening MP3EI
Isu pokok di dalam diskusi secara lebih rinci telah disajikan pada Bab Hasil Capacity Building
(pengarusutamaan REDD+ dan greening MP3EI bidang REDD+). Secara umum, adalah :
Ketidakpastian RTRW provinsi dan kabupaten/ kota dan pemantapan kawasan hutan
tetap, yang dapat menghambat penetapan lokasi, program dan besar kegiatan SRAP/
STRADA REDD+ di lapangan.
Akomodasi kepentingan dan hak-hak masyarakat dalam penataan dan pemanfaatan
ruang, REDD+ maupun pembangunan secara umum, termasuk MP3EI.
Kesesuaian berbagai program dan kegiatan sektoral, RAD GRK, REDD+, MP3EI,
memerlukan koordinasi secara lebih baik, dan didukung oleh data dasar yang akurat
terkait inventarisasi nilai sumberdaya hutan, masyarakat dan ruang.
Memastikan kapasitas daerah dalam perencanaan dan operasionalisasi rencana di
lapangan, dikaitkan dengan kepentingan sektor lain atau para pihak di daerah, maka
diperlukan pendampingan dalam implementasi, monitoring dan evaluasi sampai pada
tingkat lapangan.
Implementasi REDD+ saat ini masih dalam tahap penyiapan kondisi pemungkin. Kendala
yang dihadapi dalam menyiapkan kondisi pemungkin antara lain ketersediaan data dan
informasi termasuk peta yang akurat, kebutuhan ruang untuk kegiatan bukan hutan dan
kehutanan, kebutuhan minimal untuk melakukan konservasi kawasan hutan dan lahan
gambut, kebijakan pemberian akses terhadap kawasan hutan bagi masayarakat adat,
serta kebijakan “one map”.
H. Rekomendasi
1. Penguatan kapasitas untuk pengarusutamaan REDD+ membutuhkan penguatan
pemahaman atas substansi REDD+ pada sektor penataaan ruang dan sektor berbasis lahan,
serta penguatan pemahaman terhadap proses perencanaan yang didukung oleh “spatial
baseline information” yang kuat mengenai kawasan hutan yang akan dipertahankan sebagai
hutan tetap.
2. Disarankan kepada pemerintah daerah provinsi untuk mensosialisasikan pengetahuan pada
capacity building ini ke pemda kabupaten. Cara lain adalah mewajibkan staf perencana
pada SKPD kabupaten untuk mengikuti secara aktif dalam proses capacity building yang
diadakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Pertimbangannya adalah bahwa
SKPD kabupaten merupakan penanggungjawab pelaksanaan REDD+ yang kewenangannya
sudah diberikan kepada mereka.
3. Perlu dipertimbangkan status/legalitas pedoman pengarusutamaan REDD+ dan pedoman
greening MP3EI, di dalam proses perencanaan pembangunan nasional, provinsi dan
kabupaten/kota. Tanpa adanya kejelasan status/legalitas, maka kedua pedoman tersebut
kemungkinan besar hanya menjadi pengetahuan.
4. Desentralisasi anggaran, termasuk anggaran pendidikan yang berorientasi pada peningkatan
sumberdaya manusia, perlu di-reform agar penggunaannya lebih efektif dan sesuai dengan
kebutuhan Daerah.
5. Perlu ada pelatihan khusus mengenai pendekatan insentif dan disinsentif sebagai instrumen
pembangunan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
6. Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Greening MP3EI bidang REDD+, serta program dan kegiatan implementasi REDD+
secara keseluruhan perlu dilandaskan pada konsep pembangunan berkelanjutan untuk
memastikan bahwa REDD+ selaras dan harmonis dengan pembangunan wilayah.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING16
17LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
MODUL GREENING MP3EI DALAM KERANGKA REDD+
LATAR BELAKANG
DESKRIPSI SINGKAT
TUJUAN
MATERI POKOK
PENUTUP
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING18
1. Latar Belakang
Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN), menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan
yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara untuk melaksanakan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut berlangsung
tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi.
Pelaksanaan upaya tersebut dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pernyataan ini adalah RPJPN secara substansi harusnya pembangunan berkelanjutan. Pemerintah
telah membuat kebijakan pembangunan, khususnya terkait 1) Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK),
dan penurunan emisis karbon dari degradasi dan deforestasi hutan (REDD+). 2) Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Kebijakan dan strategi RAN-GRK Indonesia dirumuskan berdasarkan kesiapan yang sudah
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam meratifi kasi kesepakatan UNFCCC. Hal ini kemudian,
dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2010 tentang RAN-GRK. Mengacu pada prinsip-
prinsip UNFCCC tersebut, maka pengurangan emisi dari business as usual (BAU) tahun 2020 akan
dilaksanakan sejalan dengan upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata
6-7%, sebagaimana tertuang di dalam RAN-GRK. Jadi, strategi nasional akan mengkombinasikan
antara target nasional tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7% dan komitmen Indonesia
kepada dunia untuk emisi sebesar 26-41%.
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) adalah skema pemberian
insentif buat usaha-usaha pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan kerusakan
hutan. Pada keputusan Conference of Parties (COP) 13 dan COP 14, peranan hutan dalam mitigasi
perubahan iklim tidak hanya dari sisi negatifnya (mencegah deforestasi dan kerusakan hutan),
tetapi juga dilihat sisi positifnya. Sasaran atau target REDD+ adalah emisi GRK dari hutan dan
gambut turun sebesar 14% dari bagian komitmen nasional sebesar 26% dengan upaya nasional
dan 41% dengan dukungan internasional, pada tahun 2020.
MP3EI adalah dokumen rencana pembangunan ekonomi yang menjadi bagian tidak terpisahkan
dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Undang-Undang No
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, menyatakan bahwa
pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan
yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara untuk melaksanakan
UUD 1945. Melalui MP3EI, pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami
percepatan dan peningkatan dan akan menempatkan Indonesia sebagai Negara maju pada
tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total
perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mencapai kondisi perekonomian
tersebut diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 –
2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan tersebut diharapkan
19LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
akan dibarengi oleh penurunan infl asi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 - 2014 menjadi
3,0 persen pada 2025.
Perubahan paradigma dari pembangunan “business as usual” saat ini yang mengedepankan
pembangunan ekonomi saja menjadi pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting
dengan permasalahan lingkungan global dan lokal yang berkembang saat ini. Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Implementasi REDD+ di Indonesia dapat
berpotensi kurang memberikan kontribusi terhadap pencapaian pembangunan nasional dan
kesejahteraan rakyat jika tidak diletakkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang
dilandaskan pada pilar rasionalitas lingkungan, sosial dan ekonomi nasional.
MP3EI tampaknya lebih focus pada gambaran pertumbuhan ekonomi, belum menggambarkan
perwujudan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan substansi RPPLH dan KLHS, dan
mempertimbangkan MP3EI sebagai perencanaan pembangunan ekonomi, operasionalisasi
pembangunan berkelanjutan MP3EI seharusnya meliputi 4 muatan prinsip pembangunan
berkelanjutan, yaitu (1) keberlanjutan cadangan sumber daya alam yang dieksploitasi, (2)
keberlanjutan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk mendukung pembangunan
ekonomi di masa datang, (3) perkiraan dampak dan resiko lingkungan hidup, dan (4) keselamatan,
mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di wilayah pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan yang
“memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi lingkungan hidup dalam pelaksanaannya.
Pembangunan berkelanjutan, para ahli sepakat mengadopsi pengertian yang telah disepakati
oleh komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Agar kebijakan MP3EI dan Redd+ itu tidak saling meniadakan dan memenuhi prinsip
pembangunan berkelanjutan diperlukan upaya “greening” MP3EI bidang REDD+.
2. Deskripsi Singkat
Modul greening MP3EI mencakup pembahasan atau diskusi tentang kebijakan pembangunan
Indonesia khususnya tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI), Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) juga Reducing
Emission from Degradation and Deforestation Plus (REDD+).
Diskusi berupa posisi MP3EI didalam konteks pemenuhan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Untuk itu juga diuraikan tentang konsep pembangunan berkelanjutan di dalam pembangunan.
MP3EI sebagai bagian dari perencanaan pembangunan, maka pembahasan perencanaan
pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) beserta
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING20
landasannya juga dikupas.
Operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan, maka pembahasan hal ini dikemas di
dalam pembangunan berkeadilan dan ramah lingkungan. Disini diuraikan secara lebih operasional
tentang prinsip pembangunan berkelanjutan beserta ukuran (kriteria dan indikator) yang dipakai
dalam mengukur rencana pembangunan apakah sudah memenuhi prinsip keberlanjutan.
Secara teknis pelaksanaan greening dibahas di dalam topic Mekanisme Greening MP3EI dalam
Perencanaan Pembangunan.
3. Tujuan
1. Sebagai upaya membangun paradigma pembangunan berkelanjutan dalam penyelenggaraan
MP3EI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan
nasional.
2. Sebagai upaya membangun kapasitas berupa pengetahuan para pemangku kepentingan,
dalam perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan daerah, tentang paradigma
pembangunan berkelanjutan dan pengetahuan mekanisme proses operasionalisasinya
ke dalam perencanaan pembangunan. Pengetahuan ini sebagai modal dasar integrasi
pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah
khususnya dalam penyelenggaraan MP3EI.
4. Materi Pokok
1.1 Tinjauan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
1.2 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan
1.3 Pembangunan Berkeadilan dan Ramah Lingkungan
1.4 Mekanisme Greening MP3EI dalam Perencanaan Pembangunan
5. Penutup
Pembahasan melalui berbagai modul greening ini sebagai upaya melengkapi “Pedoman
Greening MP3EI Bidang REDD+”. Pemahaman “Pedoman Greening MP3EI” dan “modul-modul
greening” dibangun melalui melalui diskusi secara interaktif dan terfokus diantara para pemangku
kepentingan di tingkat nasional dan daerah.
Hasil ideal yang diharapkan adalah memberikan hasil proses perencanaan pembangunan
khususnya respon terhadap MP3EI berupa kebijakan (Perpres) MP3EI itu sendiri, ataupun rencana
aksi MP3EI yang akan diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Nasional dan Daerah, serta Rencana Strategis Kementerian/Lembaga Non Kementerian dan
Satuan Kerja Pemerintah Daerah, yang telah teruji pemenuhan keberlanjutannya. Jika rancangan
rencana pembangunan belum mampu memenuhi keberlanjutan maka diperlukan revisi dan
penyesuaian, termasuk rancangan rencana aksi MP3EI maupun Rencana REDD+ itu.
21LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Disadari bahwa kegiatan diskusi yang diselenggarakan ini memiliki keterbatasan, khususnya
waktu pelaksanaan, yang juga berimplikasi pada substansi yang dibahas. Oleh karena itu ukuran
keberhasilan diskusi ini adalah adanya pemahaman yang relatif merata di antara para pemangku
kepentingan tentang konsep pembangunan berkelanjutan di dalam perencanaan pembangunan
khususnya di bidang MP3EI dan REDD +. Ukuran sedikit lebih diharapkan adalah berkembangnya
kesadaran dan sikap kritis terhadap kepentingan pembangunan berkelanjutan.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING22
23LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
MODUL 1:TINJAUAN MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA MP3EI DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang lebih solid, untuk melengkapi
dokumen perencanaan pembangunan, khususnya Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005-2025 (RPJPN) diperlukan adanya masterplan percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia yang memiliki arah yang jelas, strategi yang
tepat, fokus dan terukur. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah menetapkan
Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Substansi dari Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 adalah pengembangan Koridor
Ekonomi Indonesia menggunakan tiga strategi utama yaitu pengembangan potensi
ekonomi, penguatan konektivitas nasional dan penguatan kemampuan sumber daya
manusia dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) nasional.
Upaya pemerintah merealisasikan komitmen nasional untuk berperan dalam pengurangan
emisi gas rumah kaca (GRK) telah dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah melalui
Peraturan Presiden No 61 tahun 2011. Untuk mendukung upaya reduksi emisi GRK
dalam MP3EI, diperlukan upaya integrasi MP3EI dalam perencanaan pembangunan
dengan mempertimbangkan RAN GRK. Disisi lain, terkait perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup nasional, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini sebagai wujud pada amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa pembangunan nasional diselenggarakan
berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan, serta
adanya permasalahan lingkungan hidup yang membutuhkan upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. MP3EI sebagai perencanaan pembangunan bidang ekonomi,
yang menjadi bagian dari perencanaan pembangunan nasional, juga diamanatkan untuk
berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan.
Sebagai upaya membangun paradigma pembangunan berkelanjutan dalam
penyelenggaraan MP3EI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING24
pembangunan nasional, dibutuhkan capacity building paradigma pembangunan
berkelanjutan sebagai modal dasar kapasitas integrasi pembangunan berkelanjutan dalam
perencanaan pembangunan nasional, khususnya dalam penyelenggaraan MP3EI.
1.2 Deskripsi Singkat
Modul Tinjauan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) ini meliputi beberapa materi, yaitu (1) landasan hukum pembangunan berkelanjutan
dan MP3EI serta landasan teori pembangunan berkelanjutan, (2) muatan MP3EI, dan (3)
muatan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam MP3EI.
Materi landasan hukum MP3EI dan pembangunan berkelanjutan serta landasan teori
pembangunan berkelanjutan menjelaskan kebijakan yang telah ditetapkan sebagai
landasan hukum MP3EI dan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam
sistem perencanaan pembangunan. Materi landasan teori pembangunan berkelanjutan
menjelaskan teori-teori pembangunan berkelanjutan yang menjadi prinsip dasar MP3EI.
Materi prinsip Muatan MP3EI menjelaskan latar belakang, prinsip dasar dan prasyarat, strategi
utama, program dan kegiatan, dan inisiatif strategis. Materi muatan prinsip pembangunan
berkelanjutan MP3EI menguraikan keterkaitan tema pembangunan dan kegiatan ekonomi
utama MP3EI dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
1.3 Tujuan
Modul tinjauan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) ini adalah materi yang menjadi bagian dari capacity building greening MP3EI bidang
REDD+ dengan tujuan untuk membangun paradigma pembangunan berkelanjutan
sebagai modal dasar integrasi MP3EI dalam perencanaan pembangunan.
2. Landasan Hukum dan Teori
2.1 Landasan Hukum Pembangunan Berkelanjutan dan MP3EI
Ada beberapa landasan hukum yang menjadi dasar kewajiban untuk menerapkan
pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Berikut beberapa peraturan tersebut dan
penjabarannya:
a. Undang-Undang Dasar 1945
Pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan hidup telah diamanatkan oleh
UUD 1945, yaitu pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4). Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945
secara jelas menyatakan bahwa: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak
untuk memperoleh pelayanan lingkungan hidup serta pelayanan kesehatan yang baik
25LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
merupakan hak asasi manusia. Hadirnya ketentuan pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut
telah menegaskan bahwa norma lingkungan hidup telah mengalami konstitusionalisasi
menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Artinya, segala kebijakan
dan tindakan pemerintahan dalam pembangunan haruslah tunduk kepada ketentuan
mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak boleh
ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan di
bawahnya yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang pro-lingkungan ini.
Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 33 ayat (4) dinyatakan bahwa: perekonomian nasional
diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efi siensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan dan kemajuan ekonomi nasional. Perekonomian nasional
berdasar atas demokrasi ekonomi yang dimaksud haruslah mengandung prinsip
bekerlanjutan dan berwawasan lingkungan. Oleh sebab itu, berbagai undang-undang
di bidang lingkungan hidup haruslah dikelola untuk kepentingan pembangunan
berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan
hidup.
Dengan diterimanya kedua prinsip tersebut menjadi dasar dalam rumusan hukum
tertinggi di Indonesia, menunjukkan bahwa semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang
kita kembangkan haruslah mengacu dan atau tidak boleh bertentangan dengan prinsip
yang diatur dalam UUD 1945. UUD sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan
kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan tertinggi yang harus dijadikan pegangan
bersama dalam segenap aktivitas penyelenggaraan negara.
b. Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Undang-
Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025 (RPJMN).
GBHN tahun 1999-2004 menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan telah
diletakkan sebagai kebijakan. Pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah harapan
yang harus diwujudkan. Hal ini kemudian yang mendasari dibentuknya institusi atau
lembaga yang membidangi lingkungan hidup. Kelembagaan ini mempunyai peranan
penting dalam memberi landasan lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di
Indonesia.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional adalah dokumen pengganti hilangnya
GBHN. Dalam RPJPN, perubahan iklim dan pemanasan global dianggap sebagai tantangan
bagi keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Dalam bidang sumber daya
alam dan lingkungan hidup, RPJPN menyebutkan bahwa jasa-jasa lingkungan adalah
penopang hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan itu adalah keanekaragaman hayati,
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING26
penyerapan karbon, pengaturan air secara alamiah, keindahan alam dan udara bersih.
Oleh sebab itu, aspek lingkungan selain aspek ekonomi dan sosial adalah aspek penting
untuk keberlangsungan pembangunan di Indonesia dan umat manusia. Dalam RPJMN,
pelaksanaan pembangunan dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari pembangunan berkelanjutan,
yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah rencana
pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
c. Undang-Undang tentang lingkungan hidup (UU no. 14/1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan Hidup; UU no. 23/2007 tentang Pengelolaan
Lingkungan hidup; dan UU no.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup).
Undang-Undang No. 14 tahun 1982 mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan
pelaksanaan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang
dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan”. Pasal 4 huruf d undang-undang
ini disebutkan juga bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah
“terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi
sekarang dan mendatang”. Pembangunan berwawasan lingkungan dirumuskan dalam
pasal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa “pembangunan berwawasan lingkungan
adalah upaya sadar dan terencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara
bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu
hidup.
Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini
menggunakan istilah baru lagi yatu “Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan
Lingkungan Hidup. “Konsideran UU no. 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang
mengapa kita harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan
Lingkungan Hidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka
mendayagunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti
diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan
Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Pasal 1 butir
3 menyebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan
lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa
depan.
27LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
UU No. 23 tahun 1997 selanjutnya diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang
no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada UU
ini masih menggunakan istilah pembangunan berkelanjutan, hanya saja menekankan
juga aspek perlindungan. Pasal 1 butir 2 menjelaskan arti perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sementara, rencana perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan
tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
d. Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Undang-Undang ini menjabarkan tentang arah kebijakan-kebijakan pembangunan
bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Arah kebijakan tersebut sebagai
berikut:
Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi.
Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup
dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang
diatur dengan undang-undang.
Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat
lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur dengan undang-undang.
Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan,
keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan
yang tidak dapat balik.
e. Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan tampak dengan
jelas dalam UU no. 41 Tahun 1999. Pasal 3 dari undang-undang ini misalnya menentukan:
“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan:
Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran yang
proporsional.
Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING28 LAPLAPALALLALAA ORAORARAO N SN SSSINTINNTNTNTNTNTTNTTNTTTTTTTTTTEEEEESESESESIESIESIESSISISIESIEEEEE S HSSS HS HS HS HS HS HS HS HSS HHASIASIAASAAAASIASIASIASIL LLLLLLLL LL CAPCAPCAPCAPCAPCAPPPCAPCAPCAPCAPPCAPCAPPCAAPCACACAACAC AACIACIACIACIACICICACICACIIA IICIACIIIIIIIIIIITY TY TYTYTY TY TY TYTYTYTYYYTYTYTYTY YYYTTYYYYYYYYYYYYTYYTYYYY BUIBUIBUBUIBUIBUIBBUIBUIBUIBUIBUIBUBUIBBUIBBBUIBUIUBB LDILDILDILDILDILDLDLDILDIDILDILDIDLDIIIDL ILD NGNGNGNGNGNGGNGGGGNGGNGGGG28282288
lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya
dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap
akibat perubahan eksternal, dan
Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Berdasarkan hal tersebut, undang-undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan yang
berkelanjutan atau “sustainable forest management” .
f. Undang-undang tentang pengelolaan sumber daya alam (UU No. 5 tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok Agraria; UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan;
Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan).
Semua undang-undang ini menekankan tentang pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan atau memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan. Misalnya di pertambangkan
menerapkan konsep Good Mining Practices. Prinsip keberlanjutan mengandung
makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya
kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup, harus
dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuannya
dalam meningkatkan pembangunan.
g. Perpres No 32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Substansi dari
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
adalah pengembangan Koridor Ekonomi Indonesia menggunakan tiga strategi utama
yaitu pengembangan potensi ekonomi, penguatan konektivitas nasional dan penguatan
kemampuan sumber daya manusia dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi)
nasional. MP3EI dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional
yang lebih solid, khususnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-
29LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
2025 (RPJPN). Pembangunan ekonomi melalui MP3EI diharapkan akan menempatkan
Indonesia sebagai Negara maju pada tahun 2025.
2.2 Teori Pembangunan Berkelanjutan
2.2.1 Defi nisi
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian
sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi
lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam
konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang
menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor
lingkungan.1 Selanjutnya berkembang pula berbagai defi nisi dari apa yang dimaksud
dengan pembangunan berkelanjutan. Berikut beberapa defi nisi dari pembangunan
berkelanjutan:
a. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana dalam pembangunan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
b. Laporan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia (2005), pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang berlandaskan tiga tiang utama
(ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
c. Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali
konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa “keragaman
budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati
bagi alam”. Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai
pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan
intelektual, emosional, moral, dan spiritual”. Dalam pandangan ini, keragaman
“pertumbuhan ekonomi” itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu
sendiri terbatas.
d. World Commission on Environment and Development/WCED (1988),
pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang sudah hadir sejak lama sebagai
anti tesis atas konsep pembangunan modern yang eksploitatif. Prinsip utama
pembangunan berkelanjutan adalah sebuah pembangunan yang mencukupi
kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang
untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.
Elemen-elemen pokok pembangunan berkelanjutan menurut WCED (1988) adalah
sebagai berikut:
a. Tercukupinya kebutuhan dasar.
b. Pemanfaatan sumber daya yang hemat dan efi sien karena ada batas sumber daya
lingkungan menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia.
c. Teknologi ramah lingkungan.
1 Lihat Abdurrahman, 2003 “Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia”. Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Denpasar, 14-18 Juli 2003. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING30
d. Demokratisasi dalam pengambilan keputusan atas sumber daya.
e. Pembatasan jumlah penduduk.
Berdasarkan dari defi nisi-defi nisi di atas, maka pada dasarnya pembangunan
berkelanjutan itu memiliki 3 (tiga) kaki, yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan
sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Pemikiran-pemikiran tentang syarat-
syarat tercapainya proses pembangunan berkelanjutan dari berbagai sumber
dideskripsikan pada Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1. Pemikiran-pemikiran tentang syarat-syarat tercapainya proses pembangunan
berkelanjutan
Dimensi
Sumber Pikiran
Brundtland (1987) ICPQL (1996) Becker et al (1997)
Sosial
Pemenuhan kebutuhan dasar
bagi semua
Keadilan sosial, kesetaraan
gender, rasa aman, menghargai
diversitas budaya
Penekanan pada proses
pertumbuhan sosial yang
dinamis, keadilan sosial dan
pemerataan
EkonomiPertumbuhan ekonomi untuk
pemenuhan kebutuhan dasar
Ekonomi kesejahteraan Ekonomi kesejahteraan
LingkunganLingkungan untuk generasi
sekarang dan yang akan dating
Keseimbangan lingkungan yang
sehat
Lingkungan adalah dimensi
sentral dalam proses sosial
Sumber: Gondokusumo (2005)
Tiga aspek di atas, sering juga dikenal 3 (tiga) pro kriteria pembangunan berkelanjutan,
yaitu:
a. Pro-keadilan sosial, artinya keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya
alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan gender.
b. Pro-ekonomi kesejahteraan, artinya pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk
kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi
inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
c. Pro-lingkungan berkelanjutan, artinya etika lingkungan non-antroposentris
menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan
kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan
mengutamakan peningkatan kualitas hidup non-material.
2.2.2 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Memang diakui bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana
31LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan
multi-interpretasi. Beberapa cara pandang tersebut antara lain:
a. Menurut Heal dalam Fauzi (2004) Konsep keberlanjutan ini paling tidak
mengandung dua dimensi: Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan
tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Kedua
adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan
lingkungan.
b. Menurut Pezzey dalam Fauzi (2004) melihat aspek keberlanjutan dari sisi yang
berbeda. Keberlanjutan dari sisi statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya
alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan
dari sisi dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak
terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah.
Berkembangnya multidimensi dan multi-interpretasi ini, maka para ahli sepakat untuk
sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland
yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”2
Mengacu pada konsep keberlanjutan tersebut, maka dapat dirinci menjadi 3
(tiga) aspek pemahaman, yaitu: (a) Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai
pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu
untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri;
(b) Keberlanjutan lingkungan, dimana sistem keberlanjutan secara lingkungan harus
mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya
alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan
keanekaraman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak
termasuk kategori sumber-sumber ekonomi; (c) Keberlanjutan sosial, keberlanjutan
secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan
layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Dari berbagai konsep yang ada, dapat dirumuskan prinsip dasar dari setiap elemen
pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini ada empat komponen yang perlu
diperhatikan yaitu pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi dan perspektif
jangka panjang (Jaya, 2004):
a. Pembangunan yang menjamin pemerataan dan keadilan sosial
Pembangunan yang berorientasi pemerataan dan keadilan sosial harus dilandasi
hal-hal seperti: meratanya distribusi sumber lahan dan faktor produksi, meratanya
peran dan kesempatan perempuan, meratanya ekonomi yang dicapai dengan
keseimbangan distribusi kesejahteraan.
2 Lihat Muhajir, 2010 “REDD di Indonesia Kemana Akan Melangkah?” HuMa: Jakarta
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING32
b. Pembangunan yang menghargai keanekaragaman hayati
Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa
sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa
datang. Keanekaragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan
ekosistem. Pemeliharaan keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan
yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi
berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti.
c. Pembangunan yang menggunakan pendekatan integratif.
Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan
alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak.
Hanya dengan memanfaatkan pengertian tentang kompleksnya keterkaitan
antara sistem alam dan sistem sosial. Dengan menggunakan pengertian ini maka
pelaksanaan pembangunan yang lebih integratif merupakan konsep pelaksanaan
pembangunan yang dapat dimungkinkan.
d. Pembangunan yang meminta perspektif jangka panjang.
Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih dari masa depan, implikasi
pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian
ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pelaksanaan penilaian yang
berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur discounting. Persepsi jangka
panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan.
2.2.3 Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Djajadiningrat (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan
perspektif jangka panjang. Secara ideal keberlanjutan pembangunan membutuhkan
pencapaian keberlanjutan dalam hal:
a. Keberlanjutan ekologis
Keberlanjutan ekologis merupakan prasyarat pembangunan demi keberlanjutan
kehidupan karena akan menjamin keberlanjutan eksistensi bumi. Dikaitkan
33LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
dengan kearifan budaya, masing-masing suku di Indonesia memiliki konsep yang
secara tradisional dapat menjamin keberlangsungan ekologis yang dapat diambil
fi losofi nya terkait harmonisasi dengan alam.
b. Keberlanjutan ekonomi
Keberlanjutan ekonomi yang terdiri atas keberlanjutan ekonomi makro dan
keberlanjutan ekonomi sektoral merupakan salah satu aspek keberlanjutan
ekonomi dalam perspektif pembangunan. Dalam keberlanjutan ekonomi
makro tiga elemen yang diperlukan adalah efi siensi ekonomi, kesejahteraan
ekonomi yang berkesinambungan dan peningkatan pemerataan dan distribusi
kemakmuran. Sementara itu keberlanjutan ekonomi sektoral yang merupakan
keberlanjutan ekonomi makro akan diwujudkan dalam bentuk kebijaksanaan
sektoral yang spesifi k. Kegiatan ekonomi sektoral ini dalam bentuknya yang
spesifi k akan mendasarkan pada perhatian terhadap sumber daya alam yang
bernilai ekonomis sebagai kapital.
c. Keberlanjutan sosial dan budaya
Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dinyatakan dalam keadilan sosial. Hal-
hal yang merupakan perhatian utama adalah stabilitas penduduk, pemenuhan
kebutuhan dasar manusia, pertahanan keanekaragaman budaya dan partisipasi
masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
d. Keberlanjutan politik
Di bidang keberlanjutan politik terdapat pokok pikiran seperti perhatian terhadap
HAM, kebebasan individu, hak-hak sosial, politik dan ekonomi, demokratisasi serta
kepastian ekologis.
e. Keberlanjutan pertahanan dan keamanan
Keberlanjutan di bidang pertahanan dan keamanan adalah keberlanjutan
kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan
gangguan. Persoalan berikutnya adalah harmonisasi antar struktur (suprastruktur
dan infrastruktur) dalam menghadapi atau melaksanakan idealisasi pembangunan
yang berkelanjutan.
3. Muatan MP3EI
3.1 Latar Belakang MP3EI
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI)
yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 adalah sebagai arahan
strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode
15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025 dalam rangka
pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dan melengkapi
dokumen perencanaan. MP3EI dimaksudkan sebagai dokumen pelengkap dari dokumen
perencanaan guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang lebih solid.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING34
MP3EI memiliki fungsi sebagai berikut, (1) Sebagai acuan bagi menteri dan pimpinan
lembaga pemerintah non kementrian untuk menetapkan kebijakan sektoral dalam rangka
pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di bidang
tugas masing-masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis masing-
masing kementrian/lembaga pemerintah non kementrian sebagai bagian dari dokumen
perencanaan pembangunan dan (2) Sebagai acuan penyusunan kebijakan percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota
terkait.
Melalui MP3EI, pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami
percepatan dan peningkatan dan akan menempatkan Indonesia sebagai Negara maju
pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan
nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mencapai kondisi
perekonomian tersebut diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada
periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan
tersebut diharapkan akan dibarengi oleh penurunan infl asi dari sebesar 6,5 persen pada
periode 2011 - 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025.
Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. MP3EI 2011-2025
Gambar 3.1. Aspirasi Pencapaian PDB Indonesia
Untuk mewujudkan aspirasi pencapaian ekonomi Indonesia, diperlukan suatu transformasi
ekonomi yang membutuhkan perubahan pola pikir yang didasarkan pada semangat “not
business as usual”. Perubahan pola pikir paling mendasar adalah bahwa pembangunan
ekonomi membutuhkan kolaborasi pemerintah, badan usaha pemerintah dan pihak
swasta, dengan dilandasi pemahaman adanya keterbatasan kemampuan pemerintah
2010
2025
2045
POB: USD 700 Miliar
Pendapatan/ kapita
USD 3.000
POB: “USD 4,0 - 4,5 triliun
Pendapatan/kapita
diperkirakan” USD
14.250 - 15.500 (negara
berpendapatan tinggi
POB: “USD 15,0 -17,5 triliun
Pendapatan/kapita
diperkirakan” USD
44.500 - 49.000
35LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
dalam pembiayaan pembangunan melalui APBN da APBD. Selain itu, semakin maju
perekonomian suatu negara, maka semakin kecil pula proporsi anggaran pemerintah dalam
pembangunan ekonomi, yang pada akhirnya dinamika ekonomi suatu negara tergantung
pada dunia usaha yang meliputi BUMN, BUMD dan swasta domestik maupun asing. MP3EI
merefl eksikan pentingnya peran dunia usaha dengan menekankan pentingnya evaluasi
regulasi yang dapat mendorong peran tersebut, dan secara khusus peran dunia usaha
terhadap pengembangan indrfastruktur dengan pengembangan konsep Public-Private
Partnership (PPP).
Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia menetapkan sejumlah
program utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategi
dan kebijakan. MP3EI memiliki 8 program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi,
industri, kelautan, pariwisata dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis.
Kedelapan program tersebut mencakup 22 kegiatan ekonomi utama.
Dokumen MP3EI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Perencanaan Pembagunan
Nasional, khususnya menjadi dokumen yang terintegrasi dan komplementer terhadap
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 khususnya untuk
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Selain itu, MP3EI juga dirumuskan
dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING36
Dinamika Perubahan
• Lingkungan global (krisis 2008, BRICS, dll)
• Komitmen internasional (G20, APEC, FTA, ASEAN, Climate Change)
• Perkembangan sosial-economi domestik
Sistem Perencanaan
dan Penganggaran
UU 25/2004-UU 17/2003
RPJPN 2005-2025
RPJMN
2010-2014
RKP/RAPBN
Tuntutan untuk
mempercepat transformasi
ekonomi nasional
Masterplan Percepatan &
Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Rencana Aksi/Proyek
RAN-GRK REDD
RTRWN
Investasi
Swasta dan PPP
ll
1
Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. MP3EI 2011-2025
Gambar 3.2. Posisi MP3EI dalam Rencana Pembangunan Pemerintah dan Isu Strategis
RAN GRK yang merupakan komitmen nasional terhadap perubahan iklim telah menjadi isu
strategis dalam MP3EI. Sejak Conferences of the Parties (COP) ke 13 United Nation Framework
Convention on Climate Cange (UNFCCC) di Bali tahun 2007 dan setelah penandatanganan
letter of intent (LoI) antara Indonesia dengan Norwegia untuk melakukan kerjasama REDD+
dalam rangka mengatasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh degradasi hutan dan
deforestasi serta degradasi lahan gambut di Indonesia, telah memberikan kesempatan
kepada Indonesia untuk melangkah melaksanakan pembangunan karbon rendah (low
carbon development) melalui implementasi REDD+ dalam kerangka RAN GRK.
3.2 Prinsip Dasar
Strategi utama, program dan kegiatan, serta inisiatif strategi yang ada di dalam MP3EI
memiliki prinsip dasar dan prasyarat untuk dapat mewujudkan tujuan MP3EI. Keberhasilan
pelaksanaan MP3EI sangat ditentukan oleh prinsip-prinsip dasar serta prasyarat sebagai
berikut:
Perubahan harus terjadi untuk seluruh komponen bangsa
Perubahan pola pikir dimulai dari pemerintah dengan birokrasinya
37LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Perubahan membutuhkan semangat kerja keras dan keinginan untuk membangun
kerjasama dalam kompetisi yang sehat
Produktivitas, inovasi dan kreatifi tas didorong oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek) menjadi salah satu pilar perubahan
Penigkatan jiwa kewirausahaan menjadi faktor utama pendorong perubahan
Dunia usaha berperan penting dalam pembangunan ekonomi
Kampanye untuk melaksanakan pembangunan dengan mempertimbangkan prinsip-
prinsip pembangunan yang berkelanjutan
Kampanye untuk perubahan pola pikir untuk memperbaiki kesejahteraan dilakukan
secara luas oleh seluruh komponen bangsa
Adapun prasyarat yang dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan MP3EI yaitu meliputi:
Peran pemerintah dan dunia usaha
Reformasi Kebijakan Keuangan Negara
Reformasi birokrasi
Penciptaan konektivitas antar wilayah di Indonesia
Kebijakan ketahanan pangan, air dan energi serta
Jaminan sosial dan Penanggulangan kemiskinan.
Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,
menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
untuk melaksanakan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan
pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam
konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari
pembangunan berkelanjutan, yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional adalah rencana pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
3.3 Strategi Utama
Untuk mencapai keberhasilan MP3EI, selain berlandaskan pada prinsip dasar dan adanya
prasyarat keberhasilan, juga ditentukan oleh strategi MP3EI, yaitu (1) Pengembangan
potensi ekonomi melalui koridor ekonomi, (2) Penguatan konektivitas nasional dan (3)
Penguatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek) nasional.
a. Pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi
Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi diselenggarakan berdasarkan
pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, baik yang telah ada
maupun yang baru. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari pendekatan
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING38
sektoral dan regional. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian
dilakukan dengan mengembangkan kluster industri dan Kawasan Industri Khusus
(KEK). Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan
konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan
ekonomi dengan lokasi kegiatan serta infrastrukur pendukungnya. Secara keseluruhan,
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan konektivitas tersebut menciptakan Koridor
Ekonomi Indonesia.
b. Penguatan konektivitas nasional
Penguatan konektivitas nasional adalah strategi utama MP3EI yang kedua. Keberhasilan
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada
kekuatan konektivitas ekonomi nasional (intra dan inter wilayah) maupun konektivitas
ekonomi internasional Indonesia dengan pasar dunia. Konektivitas nasional merupakan
pengintegrasian 4 (empat) elemen kebijakan nasional yang terdiri dari Sistem Logistik
Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), Pengembanga Wilayah
(RPJMN/RTRWN), Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Hasil dari pengintegrasian
keempat komponen konektivitas nasional tersebut selanjutnya menjadi rumusan visi
konektivitas nasional, yaitu “Terintegrasi secara lokal, terhubung secara global”
c. Penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional
Strategi utama ketiga adalah penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional. Peran
sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi, oleh
karena itu, penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional menjadi salah satu strategi
utama MP3EI. Pada era perekonomian yang bebasis pengetahuan, mesin pertumbuhan
ekonomi sangat bergantung pada kapitalisasi hasil penemuan menjadi produk inovasi.
Untuk mendorong peran kemampuan SDM dan iptek nasional, sistem pendidikan
dan pelatihan haruslah menciptakan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi
dengan cepat terhadap pertumbuhan sains dan teknologi.
3.2 Program dan Kegiatan
Indonesia menjadi salah satu penghasil dan eksportir beberapa komoditas penting sumber
daya alam di dunia. Sampai dengan tahun 2010, komoditas kelapa sawit, Indonesia adalah
penghasil dan eksportir terbesar di dunia, kemudian untuk komoditi kakao dan timah sebagai
produsen terbesar kedua di dunia. Untuk komoditi nikel, Indonesia memiliki cadangan
terbesar keempat di dunia, sedangkan bauksit memiliki cadangan terbesar ketujuh di
dunia, selain itu memiliki komoditas unggulan lainnya, seperti besi baja, tembaga, karet dan
perikanan. Indonesia juga memiliki cadangan energy yang amat besar, misalnya batubara,
panas bumi, gas alam, dan air. Selain kekayaan sumber daya alamnya, ketersediaan sumber
daya manusia, kondisi geografi s serta posisi Indonesia dalam dinamika regional dan global
membentuk karakteristik potensi dan tantangan pembangunan ekonomi Indonesia.
39LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Setelah mempertimbangkan potensi dan tantangan pembangunan ekonomi Indonesia,
melalui sejumlah kesepakatan yang dibangun bersama-sama dengan seluruh pemangku
kepentingan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi menetapkan sejumlah
program utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategi
dan kebijakan. Program utama terdiri atas 8 program, yaitu, (1) Pertanian, (2) Pertambangan,
(3) Energi, (4) Industri, (5) Kelautan, (6) Pariwisata, (7) Telematika, dan (8) Pengembangan
kawasan strategis.
Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, yaitu sebagai
berikut:
Pertanian; Pertanian Pangan, Kelapa Sawit, Karet, Kakao, Perkayuan, Peternakan
Pertambangan; Bouksit, Tembaga, Nikel
Energi; Batubara, Minyak dan Gas
Industry; Peralatan Transportasi, Tekstil, Makanan Minuman, Besi Baja, Alutsista,
Kelautan; Perkapalan, Perikanan
Pariwisata; Pariwisata
Telematika; Telematika
Pengembangan kawasan strategis; Jabodetabek Area, KSN Selat Sun
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING40
22
Kegiatan
Ekonomi
Utama Karet
Kakao
Peternakan
PerkayuanMinyak
dan Gas
Batu-
bara
Nikel
Tembaga
Bauksit
Perikanan
Pariwisata
Pertanian
Pangan
Jabodetabek
Area
KSN
Selat
Sunda
Peralatan
Transportasi
Telematika Perkapalan
Tekstil
Makanan
Minuman
Besi
Baja
Alutsista
Kelapa
Sawit
Gambar 3.3. Kegiatan Ekonomi Utama MP3EI
Kegiatan ekonomi utama ini selanjutnya menjadi muatan pokok penyusunan inisiatif
strategis. Berdasarkan potensi dan tantangan pembangunan ekonomi di masing-masing
Koridor Ekonomi, inisiatif strategis masing-masing Koridor Ekonomi memiliki komponen
dan muatan yang berbeda-beda.
41LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
3.3 Insiatif Strategis
Koridor Ekonomi dibentuk berdasarkan identifi kasi potensi wilayah ekonomi di masing
masing koridor ekonomi, dan selain itu, di setiap Koridor Ekonomi juga memiliki kegiatan
ekonomi utama serta kegiatan ekonomi lainnya. Masing-masing Koridor Ekonomi memiliki
kegiatan ekonomi utama dan kegiatan ekonomi lainnya yang berbeda-beda. Namun secara
keseluruhan, kegiatan ekonomi utama maupun kegiatan ekonomi lainnya, tercakup dalam
22 kegiatan ekonomi MP3EI. Kegiatan ekonomi utama selanjutnya membentuk suatu
inisiatif strategis MP3EI di suatu Koridor Ekonomi. Secara lengkap, muatan inisiatif strategi
MP3EI Koridor Ekonomi terdiri dari kegiatan ekonomi utama, lokus kegiatan, pelaku kegiatan,
infrastruktur pendukung dan besaran nilai investasi kegiatan ekonomi. Keseluruhan muatan
membentuk suatu sistem percepatan dan perluasan pembangunan eknomi di suatu
Koridor Ekonomi.
Land-based Products
& EnergyMining & Energy
Agriculture, Farming
& Fisheries
Industry & Service
Tourism & Food
Security
Natural & Human
Resources
12
4
5
63
Gambar 3.4. Koridor Ekonomi MP3EI
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING42
4. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam MP3EI
MP3EI adalah dokumen rencana pembangunan ekonomi yang menjadi bagian tidak terpisahkan
dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Undang-Undang No
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, menyatakan bahwa
pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara untuk melaksanakan UUD 1945.
Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung
tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi.
Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pernyataan ini adalah substansi dari pembangunan berkelanjutan, yang berarti bahwa Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah rencana pembangunan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional juga didasarkan
pada pertimbangan bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan
prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi prinsip dasar MP3EI sebagai perwujudan amanat
RPJPN. Sebagai prinsip dasar, maka pembangunan berkelanjutan perlu diintegrasikan dalam
muatan-muatan MP3EI, yang saat ini belum tampak di MP3EI. Instrumen integrasi pembangunan
berkelanjutan telah dituangkan dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Instrumen integrasi pembangunan berkelanjutan
dalam PPLH meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan
dan penegakan hukum. Dalam aspek perencanaan pembangunan, khususnya PPLH, telah
ditetapkan instrumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
RPPLH dilaksanakan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. RPPLH menjadi landasan
perencanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Selanjutnya untuk kebijakan,
rencana dan program pembangunan suatu wilayah telah ditetapkan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS) sebagai instrumen pengendalian. RPPLH dan KLHS adalah instrumen PPLH
pada tataran perencanaan pembangunan. Berdasarkan kebijakan KLHS, maka MP3EI adalah
sebuah kebijakan yang menjadi obyek KLHS, namun demikian, digunakannya pembangunan
berkelanjutan sebagai prinsip dasar MP3EI, tetap harus terwujud dalam muatan-muatan MP3EI.
4.1 Tema Pembangunan Koridor Ekonomi
MP3EI memiliki 6 Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu (1) Koridor Ekonomi Sumatera, (2)
Koridor Ekonomi Jawa, (3) Koridor Ekonomi Kalimantan, (4) Koridor Ekonomi Sulawesi, (5)
Koridor Ekonomi Bali Nusa Tenggara dan (6) Koridor Ekonomi Papua- Kepulauan Maluku.
Masing-masing Koridor Ekonomi memiliki tema pembangunan yang berbeda, sesuai
dengan potensi ekonomi wilayah bersangkutan. Tema pembangunan masing-masing
Koridor Ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut:
43LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Koridor Ekonomi Sumatera
Memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan
Lumbung Energi Nasonal”
Koridor Ekonomi Jawa
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”
Koridor Ekonomi Kalimantan
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang
dan Lumbung Energi Nasional”
Koridor Ekonomi Sulawesi
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian,
Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional
Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung
Pangan Nasional”
Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku
Memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi,
dan Pertambangan Nasional”
4.2 Pusat Ekonomi dan Kegiatan Ekonomi Utama
Masing-masing Koridor Ekonomi memiliki pusat ekonomi dan kegiatan ekonomi utama
yang berbeda, sesuai dengan potensi ekonomi wilayah bersangkutan. Kegiatan ekonomi
utama masing-masing Koridor Ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut:
Koridor Ekonomi Sumatera memiliki 11 Pusat Ekonomi, yang merupakan ibukota
provinsi serta kota lain yang memiliki peran ekonomi penting, yaitu Banda Aceh,
Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Tanjungpinang, Pangkal Pinang, Padang, Bandar
Lampung, Bengkulu, dan Serang. Pusat ekonomi tersebut sebagai pusat dari 6 kegiatan
ekonomi utama, yaitu kelapa sawit, karet, batubara, perkapalan, besi baja dan kawasan
strategi nasional (KSN) Selat Sunda.
Di Koridor Ekonomi Jawa terdapat 4 pusat ekonomi, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta dan Surabaya. Kegiatan ekonomi utamanya meliputi makanan-minuman,
tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, telematika, alutsista, dan Jabodetabek Area.
Koridor Ekonomi Kalimantan memiliki 4 pusat ekonomi, yaitu Pontianak, Palangkaraya,
Banjarmasin dan Samarinda. Kegiatan ekonomi utama yang ada di Koridor Ekonomi ini
meliputi besi baja, bouksit, kelapa sawit, batu bara, migas, dan perkayuan, dengan empat
Pusat Ekonomi, yaitu Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin dan Samarinda.
Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki 6 pusat ekonomi, yaitu Makassar, Kendari, Mamuju,
Palu, Gorontalo, dan Manado. Kegiatan ekonomi utama di Koridor Ekonomi ini meliputi
pertanian pangan (padi, jagung, kedelai dan ubi kayu), kakao, perikana, nikel, serta
minyak dan gas bumi (migas).
Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara memiliki 4 pusat ekonomi yang terdapat di Koridor
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING44
Ekonomi Bali-Nusa Tenggara adalah Denpasar, Lombok, Kupang dan Mataram, dengan
tiga kegiatan ekonomi utama yang meliputi pariwisata, perikanan dan peternakan.
Di Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku terdapat tujuh pusat ekonomi, yaitu Sofi fi ,
Ambon, Sorong, Manokwari, Timika, Jayapura, dan Merauke. Kegiatan ekonomi utama
di Koridor Ekonomi ini yaitu pertanian pangan – MIFEE, tembaga, nikel, minyak dan gas
bumi, serta perikanan.
4.3 Kebutuhan Muatan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam MP3EI
Tema ekonomi beserta kegiatan ekonomi utama didasarkan pada potensi wilayah
ekonomi di masing-masing Koridor Ekonomi. Dalam paradigma pembangunan
berkelanjutan, pembangunan ekonomi di setiap Koridor Ekonomi perlu memperhatikan
aspek keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial yang menjadi pilar pembangunan
berkelanjutan di Koridor Ekonomi bersangkutan. Operasionalisasi perwujudan prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam MP3EI didasarkan pada substansi RPPLH dan KLHS
sebagai instrumen pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan,
rencana dan program pembangunan. RPPLH didasarkan pada daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup, serta memperhatikan (1) proses dan fungsi lingkungan hidup,
(2) produktivitas lingkungan hidup, dan (3) keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu sebagai kebijakan perencanaan pembangunan, MP3EI perlu disertai
KLHS yang memuat kajian tentang (1) kapasitas daya dukung dan daya tampung, (2)
perkiraan dampak dan resiko lingkungan hidup, (3) kinerja layanan/jasa ekosistem, (4)
efi siensi pemanfaatan sumber daya alam, (5) tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi
terhadap perubahan iklim, dan (6) tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Selain memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi yang direncanakan, MP3EI juga perlu menggambarkan
perwujudan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan substansi RPPLH dan KLHS, dan
mempertimbangkan MP3EI sebagai perencanaan pembangunan ekonomi, operasionalisasi
pembangunan berkelanjutan dalam muatan-muatan MP3EI seharusnya meliputi 4 muatan
prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) keberlanjutan cadangan sumber daya
alam yang dieksploitasi, (2) Keberlanjutan daya dukung dan daya tampung lingkungan
untuk mendukung pembangunan ekonomi di masa datang, (3) perkiraan dampak dan
resiko lingkungan hidup, dan (4) keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat
terutama masyarakat di wilayah pembangunan. Suatu perencanaan pembangunan
ekonomi dianggap telah mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan apabila memiliki
4 muatan pembangunan berkelanjutan tersebut secara nyata.
Tema pembangunan ekonomi, kegiatan ekonomi utama, serta inisiatif strategis di masing-
masing Koridor Ekonomi serta proyeksi capaian percepatan dan perluasan pembagunan
ekonomi MP3EI memberikan gambaran bahwa 4 muatan pembangunan berkelanjutan
belum terwujud dalam dokumen MP3EI tersebut.
45LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING46
47LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
MODUL 2 :PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,
menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
untuk melaksanakan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan
pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam
konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari
pembangunan berkelanjutan, yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional adalah rencana pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional juga didasarkan pada pertimbangan
bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan.
Perubahan paradigma dari pembangunan business as usual saat ini yang mengedepankan
pembangunan ekonomi saja menjadi pembangunan berkelanjutan menjadi semakin
penting dengan permasalahan lingkungan global dan lokal yang berkembang saat ini.
Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Rencana
Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Implementasi REDD+
di Indonesia dapat berpotensi kurang memberikan kontribusi terhadap pencapaian
pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat jika tidak diletakkan dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan yang dilandaskan pada pilar rasionalitas lingkungan, sosial
dan ekonomi nasional. Oleh karena itu, kapasitas pemangku kepentingan pembangunan
nasional dalam memahami paradigma pembangunan berkelanjutan menjadi modal dasar
tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia melalui pembangunan nasional, termasuk
implementasi REDD+ ataupun MP3EI.
Untuk mendukung integrasi REDD+ dalam pembangunan nasional, khususnya aspek
pengarusutamaan REDD+ dalam perencanaan pembangunan serta greening MP3EI bidang
REDD+, dibutuhkan capacity building paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING48
modal dasar kapasitas integrasi REDD+ dalam perencanaan pembangunan nasional.
1.2 Deskripsi Singkat
Modul Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan ini meliputi
beberapa materi, yaitu (1) landasan hukum dan landasan teori pembangunan berkelanjutan,
(2) pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, dan (3) pembangunan rendah karbon
sebagai tujuan integrasi REDD+ dalam pembangunan nasional.
Materi landasan hukum pembangunan berkelanjutan menjelaskan kebijakan yang telah
ditetapkan sebagai landasan hukum pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam
sistem perencanaan pembangunan. Materi landasan teori pembangunan berkelanjutan
menjelaskan teori-teori pembangunan berkelanjutan yang menjadi dasar penetapan
kebijakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.
Dalam materi pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dijelaskan operasionalisasi
pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan-kebijakan, khususnya kebijakan perencanaan
pembangunan, yaitu dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
(RPJMN) dan kebijakan lingkungan hidup, yaitu dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH).
Materi berikutnya yaitu pembangunan rendah karbon yang menjelaskan peran RAN-
GRK dan REDD+ dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui integrasi
pembangunan rendah karbon dalam perencanaan pembangunan.
1.3 Tujuan
Modul Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan ini adalah
materi yang menjadi bagian capacity building pengarusutamaan REDD+ dalam perencanaan
pembangunan dan greening MP3EI bidang REDD+ dengan tujuan untuk membangun
paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai modal dasar integrasi REDD+ dan
kegiatan MP3EI dalam perencanaan pembangunan.
2. Landasan Hukum dan Teori
2.1 Landasan Hukum
Ada beberapa landasan hukum yang menjadi dasar kewajiban untuk menerapkan
pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Berikut beberapa peraturan tersebut dan
penjabarannya:
a. Undang-undang Dasar 1945
Pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan hidup telah diamanatkan oleh
UUD 1945, yaitu pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4). Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945
49LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
secara jelas menyatakan bahwa: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak
untuk memperoleh pelayanan lingkungan hidup serta pelayanan kesehatan yang baik
merupakan hak asasi manusia. Hadirnya ketentuan pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut
telah menegaskan bahwa norma lingkungan hidup telah mengalami konstitusionalisasi
menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Artinya, segala kebijakan
dan tindakan pemerintahan dalam pembangunan haruslah tunduk kepada ketentuan
mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak boleh
ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan di
bawahnya yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang pro-lingkungan
ini.
Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 33 ayat (4) dinyatakan bahwa: perekonomian nasional
diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efi siensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan dan kemajuan ekonomi nasional. Perekonomian
nasional berdasar atas demokrasi ekonomi yang dimaksud haruslah mengandung
prinsip bekerlanjutan dan berwawasan lingkungan. Oleh sebab itu, berbagai undang-
undang di bidang lingkungan hidup haruslah dikelola untuk kepentingan pembangunan
berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan
hidup.
Dengan diterimanya kedua prinsip tersebut menjadi dasar dalam rumusan hukum
tertinggi di Indonesia, menunjukkan bahwa semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang
kita kembangkan haruslah mengacu dan atau tidak boleh bertentangan dengan prinsip
yang diatur dalam UUD 1945. UUD sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan
kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan tertinggi yang harus dijadikan pegangan
bersama dalam segenap aktivitas penyelenggaraan negara.
b. Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Undang-
undang no. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
GBHN tahun 1999-2004 menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan telah
diletakkan sebagai kebijakan. Pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah harapan
yang harus diwujudkan. Hal ini kemudian yang mendasari dibentuknya institusi atau
lembaga yang membidangi lingkungan hidup. Kelembagaan ini mempunyai peranan
penting dalam memberi landasan lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di
Indonesia.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional adalah dokumen pengganti hilangnya
GBHN. Dalam RPJPN, perubahan iklim dan pemanasan global dianggap sebagai tantangan
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING50
bagi keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Dalam bidang sumber daya
alam dan lingkungan hidup, RPJPN menyebutkan bahwa jasa-jasa lingkungan adalah
penopang hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan itu adalah keanekaragaman hayati,
penyerapan karbon, pengaturan air secara alamiah, keindahan alam dan udara bersih.
Oleh sebab itu, aspek lingkungan selain aspek ekonomi dan sosial adalah aspek penting
untuk keberlangsungan pembangunan di Indonesia dan umat manusia. Dalam RPJMN,
pelaksanaan pembangunan dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari pembangunan berkelanjutan,
yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah rencana
pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
c. Undang-undang tentang lingkungan hidup (UU no. 14/1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan Hidup; UU no. 23/2007 tentang Pengelolaan
Lingkungan hidup; dan UU no.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup).
Undang-undang no. 14 tahun 1982 mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan
pelaksanaan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang
dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan”. Pasal 4 huruf d undang-undang
ini disebutkan juga bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah
“terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi
sekarang dan mendatang”. Pembangunan berwawasan lingkungan dirumuskan dalam
pasal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa “pembangunan berwawasan lingkungan
adalah upaya sadar dan terencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara
bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu
hidup.
Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini
menggunakan istilah baru lagi yatu “Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan
Lingkungan Hidup. “Konsideran UU no. 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang
mengapa kita harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan
Lingkungan Hidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka
mendayagunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti
diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan
Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Pasal 1 butir
3 menyebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan
51LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa
depan.
UU no. 23 tahun 1997 selanjutnya diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-undang
no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada UU
ini masih menggunakan istilah pembangunan berkelanjutan, hanya saja menekankan
juga aspek perlindungan. Pasal 1 butir 2 menjelaskan arti perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sementara, rencana perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya
perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
d. Undang-undang no. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Undang-undang ini menjabarkan tentang arah kebijakan-kebijakan pembangunan
bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Arah kebijakan tersebut sebagai
berikut:
● Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi.
● Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup
dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
● Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang
diatur dengan undang-undang.
● Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat
lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur dengan undang-undang.
● Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan,
keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan
yang tidak dapat balik.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING52
e. Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan tampak dengan
jelas dalam UU no. 41 Tahun 1999. Pasal 3 dari undang-undang ini misalnya menentukan:
“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan:
● Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran yang
proporsional.
● Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya
dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
● Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
● Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap
akibat perubahan eksternal, dan
● Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Berdasarkan hal tersebut, undang-undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan
yang berkelanjutan atau “sustainable forest management” .
f. Undang-undang tentang pengelolaan sumber daya alam (UU no. 5 tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok Agraria; UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan;
Undang-undang no. 11 tahun 1974 tentang Pengairan).
Semua undang-undang ini menekankan tentang pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan atau memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan. Misalnya di pertambangan
menerapkan konsep Good Mining Practices. Prinsip keberlanjutan mengandung
makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya
kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup, harus
dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuannya
dalam meningkatkan pembangunan.
2.2 Teori Pembangunan Berkelanjutan
2.2.1 Defi nisi
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian
sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi
lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam
konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang
menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor
53LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
lingkungan.1 Selanjutnya berkembang pula berbagai defi nisi dari apa yang dimaksud
dengan pembangunan berkelanjutan. Berikut beberapa defi nisi dari pembangunan
berkelanjutan:
a. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana dalam pembangunan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
b. Laporan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia (2005), pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang berlandaskan tiga tiang utama
(ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
c. Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali
konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa “keragaman
budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati
bagi alam”. Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai
pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan
intelektual, emosional, moral, dan spiritual”. Dalam pandangan ini, keragaman
“pertumbuhan ekonomi” itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu
sendiri terbatas.
d. World Commission on Environment and Development/WCED (1988),
pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang sudah hadir sejak lama sebagai
anti tesis antas konsep pembangunan modern yang eksploitatif. Prinsip utama
pembangunan berkelanjutan adalah sebuah pembangunan yang mencukupi
kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang
untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.
Elemen-elemen pokok pembangunan berkelanjutan menurut WCED (1988) adalah
sebagai berikut:
a. Tercukupinya kebutuhan dasar.
b. Pemanfaatan sumber daya yang hemat dan efi sien karena ada batas sumber daya
lingkungan menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia.
c. Teknologi ramah lingkungan.
d. Demokratisasi dalam pengambilan keputusan atas sumber daya.
e. Pembatasan jumlah penduduk.
Berdasarkan dari defi nisi-defi nisi di atas, maka pada dasarnya pembangunan
berkelanjutan itu memiliki 3 (tiga) kaki, yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan
sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Pemikiran-pemikiran tentang syarat-
syarat tercapainya proses pembangunan berkelanjutan dari berbagai sumber
dideskripsikan pada Tabel 1.1 berikut.
1Lihat Abdurrahman, 2003 “Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia”. Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Denpasar, 14-18 Juli 2003. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING54
Tabel 1.1. Pemikiran-pemikiran tentang syarat-syarat tercapainya proses pembangunan
berkelanjutan
Dimensi
Sumber Pikiran
Brundtland (1987) ICPQL (1996) Becker et al (1997)
Sosial
Pemenuhan kebutuhan dasar
bagi semua
Keadilan sosial, kesetaraan
gender, rasa aman, menghargai
diversitas budaya
Penekanan pada proses
pertumbuhan sosial yang
dinamis, keadilan sosial dan
pemerataan
EkonomiPertumbuhan ekonomi untuk
pemenuhan kebutuhan dasar
Ekonomi kesejahteraan Ekonomi kesejahteraan
LingkunganLingkungan untuk generasi
sekarang dan yang akan datang
Keseimbangan lingkungan yang
sehat
Lingkungan adalah dimensi
sentral dalam proses sosial
Sumber: Gondokusumo (2005)
Tiga aspek di atas, sering juga dikenal 3 (tiga) pro kriteria pembangunan berkelanjutan,
yaitu:
a. Pro-keadilan sosial, artinya keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya
alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan gender.
b. Pro-ekonomi kesejahteraan, artinya pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk
kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi
inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
c. Pro-lingkungan berkelanjutan, artinya etika lingkungan non-antroposentris
menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan
kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan
mengutamakan peningkatan kualitas hidup non-material.
2.2.2 Prinsip pembangunan berkelanjutan
Memang diakui bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana
namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan
multi-interpretasi. Beberapa cara pandang tersebut antara laian:
a. Menurut Heal dalam Fauzi (2004) Konsep keberlanjutan ini paling tidak
mengandung dua dimensi: Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan
tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Kedua
adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan
lingkungan.
b. Menurut Pezzey dalam Fauzi (2004) melihat aspek keberlanjutan dari sisi yang
berbeda. Keberlanjutan dari sisi statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya
alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan
55LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
dari sisi dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak
terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah.
Berkembangnya multidimensi dan multi-interpretasi ini, maka para ahli sepakat untuk
sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland
yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”2
Mengacu pada konsep keberlanjutan tersebut, maka dapat dirinci menjadi 3
(tiga) aspek pemahaman, yaitu: (a) Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai
pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu
untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri;
(b) Keberlajutan lingkungan, dimana sistem keberlanjutan secara lingkungan harus
mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya
alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan
keanekaraman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak
termasuk kategori sumber-sumber ekonomi; (c) Keberlanjutan sosial, keberlanjutan
secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan
layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Dari berbagai konsep yang ada, dapat dirumuskan prinsip dasar dari setiap elemen
pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini ada empat komponen yang perlu
diperhatikan yaitu pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi dan perspektif
jangka panjang (Jaya, 2004):
a. Pembangunan yang menjamin pemerataan dan keadilan sosial
Pembangunan yang berorientasi pemerataan dan keadilan sosial harus dilandasi
hal-hal seperti: meratanya distribusi sumber lahan dan faktor produksi, meratanya
peran dan kesempatan perempuan, meratanya ekonomi yang dicapai dengan
keseimbangan distribusi kesejahteraan.
b. Pembangunan yang menghargai keanekaragaman hayati
Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa
sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa
datang. Keanekaragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan
ekosistem. Pemeliharaan keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan
yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi
berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti.
c. Pembangunan yang menggunakan pendekatan integratif.
Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan
alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak.
2 Lihat Muhajir, 2010 “REDD di Indonesia Kemana Akan Melangkah?” HuMa: Jakarta
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING56
Hanya dengan memanfaatkan pengertian tentang kompleksnya keterkaitan
antara sistem alam dan sistem sosial. Dengan menggunakan pengertian ini maka
pelaksanaan pembangunan yang lebih integratif merupakan konsep pelaksanaan
pembangunan yang dapat dimungkinkan.
d. Pembangunan yang meminta perspektif jangka panjang.
Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih dari masa depan, implikasi
pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian
ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pelaksanaan penilaian yang
berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur discounting. Persepsi jangka
panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan.
2.2.3 Indikator pembangunan berkelanjutan
Djajadiningrat (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan
perspektif jangka panjang. Secara ideal keberlanjutan pembangunan membutuhkan
pencapaian keberlanjutan dalam hal:
a. Keberlanjutan ekologis
Keberlanjutan ekologis merupakan prasyarat pembangunan demi keberlanjutan
kehidupan karena akan menjamin keberlanjutan eksistensi bumi. Dikaitkan
dengan kearifan budaya, masing-masing suku di Indonesia memiliki konsep yang
secara tradisional dapat menjamin keberlangsungan ekologis yang dapat diambil
fi losofi nya tekait harmonisasi dengan alam.
b. Keberlanjutan ekonomi
c. Keberlanjutan ekonomi yang terdiri atas keberlanjutan ekonomi makro dan
keberlanjutan ekonomi sektoral merupakan salah satu aspek keberlanjutan
ekonomi dalam perspektif pembangunan. Dalam keberlanjutan ekonomi
makro tiga elemen yang diperlukan adalah efi siensi ekonomi, kesejahteraan
ekonomi yang berkesinambungan dan peningkatan pemerataan dan distribusi
kemakmuran. Sementara itu keberlanjutan ekonomi sektoral yang merupakan
keberlanjutan ekonomi makro akan diwujudkan dalam bentuk kebijaksanaan
sektoral yang spesifi k. Kegiatan ekonomi sektoral ini dalam bentuknya yang
spesifi k akan mendasarkan pada perhatian terhadap sumber daya alam yang
bernilai ekonomis sebagai kapital.
d. Keberlanjutan sosial dan budaya
Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dinyatakan dalam keadilan sosial. Hal-
hal yang merupakan perhatian utama adalah stabilitas penduduk, pemenuhan
kebutuhan dasar manusia, pertahanan keanekaragaman budaya dan partisipasi
masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
e. Keberlanjutan politik
Di bidang keberlanjutan politik terdapat pokok pikiran seperti perhatian terhadap
HAM, kebebasan individu, hak-hak sosial, politik dan ekonomi, demokratisasi serta
kepastian ekologis.
57LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
f. Keberlanjutan pertahanan dan keamanan
Keberlanjutan di bidang pertahanan dan keamanan adalah keberlanjutan
kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan
gangguan. Persoalan berikutnya adalah harmonisasi antar struktur (suprastruktur
dan infrastruktur) dalam menghadapi atau melaksanakan idealisasi pembangunan
yang berkelanjutan.
3. Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan
Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan ke dalam Rencana Pembangunan adalah proses
pengintegrasian konsep, prinsip, strategi, dan pilar pembangunan berkelanjutan ke dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH) yang tercermin baik dalam perencanaan, penganggaran mapun
pelaksanaan kebijakan pembangunan.
3.1 Prinsip Pengarusutamaan
Prinsip pengarusutamaan adalah pencapaian indikator pembangunan berkelanjutan yang
merupakan bagian integral dari pencapaian tujuan pembangunan nasional yang akan
dilaksanakan oleh semua sektor pembangunan dengan mempertimbangkan efi siensi,
efektivitas, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Beberapa prinsip umum yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan
tersebut adalah:
a. Cara berpikir yang integratif
b. Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari
kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam merencanakan,
mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut.
c. Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga
saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambil keputusan dalam
pembangunan adalah kerangka pikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkan
hasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Kondisi ini sering kali membuat
keputusan yang tidak memperhitungkan akibat dan implikasi pada jangka panjang.
d. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati.
Untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk
masa kini dan masa mendatang. Selain itu, tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan
dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang
merata terhadap berbagai tradisi masyarakat, sehingga dapat lebih dimengerti oleh
masyarakat.
e. Distribusi keadilan sosial ekonomi.
Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya
pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan
dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING58
setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan
ekonomi.
3.2 Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional atau Daerah
Dokumen perencanaan pembangunan nasional berupa RPJP 2005-2025 dikukuhkan
dengan UU no. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025. RPJP Nasional merupakan dokumen perencanaan pengganti hilangnya Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN). RPJPN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program
presiden. RPJPN selanjutnya menjadi pedoman bagi penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta acuan bagi penyusunan RPJP Daerah.
Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan aspek
lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam menyusun kerangka strategis, struktur kelembagaan,
strategi dan kebijakan nasional, sektoral dan wilayah, serta dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan pembangunan. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan juga
harus dilakukan dengan memperhatikan permasalahan strategis lingkungan dan sosial
yang ada.
Langkah-langkah kebijakan dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan antara
lain:
a. Melanjutkan proses internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam 3
(tiga) pilar utama pembangunan berkelanjutan.
b. Menjabarkan hal-hal konkrit dalam pilar kerangka kelembagaan terutama untuk
memastikan berbagai pemangku kepentingan dalam kerangka kelembagaan yang tepat
dan dapat mempercepat internalisasi 3 (tiga) prinsip pembangunan berkelanjutan; dan
c. Menyepakati ukuran-ukuran untuk pembangunan berkelanjutan yang tepat dan
dapat digunakan baik di tingkat nasional dan daerah, sehingga prinsip pembangunan
berkelanjutan dapat berjalan nyata di lapangan.
Kebijakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, RPJMN 2004-2009, RPJMN 2010-2014 serta Rencana
Kerja Tahunan telah memfokuskan kebijakan pembangunannya yang selaras dengan
arah pencapaian pembangunan berkelanjutan, yaitu dengan ditetapkannya 4 (four) track strategy: pembangunan yang pro-growth, pro-job, pro-poor dan pro-environment. Ini
menunjukkan bahwa pilar-pilar pembangunan berkelanjutan mendapatkan perhatian
yang sejajar dan perlu dilakukan secara sinergis.
Pada aspek ekonomi, pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan diupayakan dengan
penerapan model pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan atau disebut sebagai
59LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Green Economy yang menitikberatkan pada:
a. Efi siensi penggunaan sumber daya alam termasuk energi terutama sumber daya alam
tidak terbarukan, penurunan emisi karbon serta pengembangan eko-produk dan
teknologi bersih dan rendah karbon.
b. Perubahan struktur ekonomi, pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan dilakukan
dengan menerapkan konsep ini (penerapan efi siensi energi, pemakaian energi
terbarukan, penerapan mekanisme pembangunan bersih, subsidi dan pajak lingkungan,
peningkatan transportasi massal yang rendah karbon, penerapan penangkapan ikan
berkelanjutan, penerapan pola pertanian berkelanjutan, serta pemanfaatan hasil hutan
yang lestari).
Pada aspek sosial telah diupayakan prioritas untuk pembangunan kesehatan, pendidikan,
perumahan, keamanan dan kependudukan dengan mengedepankan prinsip kesetaraan.
Tujuan pembangunan berkelanjutan juga telah disinergikan dalam pencapaian 8 (delapan)
tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals-MDGs) pada tahun 2015.
Pada aspek lingkungan hidup, aspek keberlanjutan dilakukan dengan upaya-upaya:
a. Pengendalian daya dukung dan daya tampung lingkungan, yang juga meliputi upaya
perlindungan terhadap atmosfer, pengendalian pencemaran dan kerusakan air, laut
dan pesisir, udara, serta perlindungan terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) dengan penyusunan serta evaluasi dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action
Plan (IBSAP).
b. Disusun langkah-langkah konkrit untuk menurunkan dampak perubahan iklim dengan
penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN), yang juga akan diikuti dengan Rencana
Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Penyusuan RAN/RAD GRK
ini merupakan momentum yang tepat untuk mewujudkan konsep pembangunan
berkelanjutan dalam bentuk upaya yang nyata.
3.3 Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam Undang-undang no. 32 tahun 2009 tantang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH), PPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu
tertentu. Kebijakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam implementasi
PPLH dilakukan dengan menyusun kerangka strategis, struktur kelembagaan, strategi dan
kebijakan nasional, serta sektoral dan wilayah baik dalam tahapan proses perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan pembangunan. Kriteria pengarusutamaan dilakukan dengan cara
yang terstruktur sebagai berikut:
a. Kegiatannya merupakan upaya integral dalam kegiatan pembangunan sektoral dan
kewilayahan.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING60
b. Kegiatan tidak mengimplikasikan adanya tambahan pendanaan (investasi) yang
signifi kan karena berasaskan koordinasi dan sinergi.
c. Pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sosial kemasyarakatan,
kondisi daya dukung, dan daya tampung lingkungan dalam proses perencanaan dan
pelaksanaannya; dan
d. Pengarusutamaan dilakukan di semua sektor dan wilayah/daerah, dan diprioritaskan
pada kegiatan strategis yang mendukung pelestarian daya dukung dan daya tampung
lingkungan serta memperhatikan asas keadilan dan keberlanjutan sosial.
Adapun upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam menerapkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, antara lain sebagai
berikut:
a. Melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), yang merupakan analisis terhadap
suatu kebijakan dengan melihat potensi dampaknya terhadap lingkungan. KLHS ini
diharapkan menjadi instrumen yang andal, sehingga setiap pengambilan putusan dan
kebijakan pembangunan dapat memperhatikan pengaruhnya terhadap daya dukung
dan daya tampung lingkungan. KLHS akan memperkuat instrumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Amdal) yang selama ini telah diterapkan di tingkat kegiatan/
proyek.
b. Mensinergikan penataan ruang untuk seluruh wilayah dan provinsi dengan mengacu
kepada Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu setiap provinsi
diharuskan melakukan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) selambat-lambatnya
2 tahun setelah UU tersebut disahkan. Selain itu, dalam peraturan perundangan di
bawahnya, seperti PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
dan PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, juga dapat
menjadi pedoman bagi setiap sektor dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan.
c. Penyusunan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dan penguatan indeks
pembangunan berkelanjutan yang merupakan indeks komposit penilaian kualitas
lingkungan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
d. Upaya pengelolaan lingkungan dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan hidup
di media air, udara dan lahan, rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan, melalui upaya
pemantauan dan analisis dampak, penerapan standar baku mutu, pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup, serta peningkatan kualitas kelembagaan dan sumber
daya manusia.
e. Peningkatan keterlibatan masyarakat untuk aktif dalam pembangunan, mengedepankan
kearifan lokal dan pendekatan sosial dalam pelaksanaan pembangunan perekonomian;
serta
f. Pengembangan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan perekonomian yang ramah
lingkungan (green economy) demi keberlanjutan ketersediaan sumber-sumber daya
untuk kebutuhan pembangunan di masa mendatang, yang didukung oleh perubahan
61LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
paradigma pembangunan yang berkelanjutan, melalui peningkatan penerapan
teknologi bersih dan produk yang ramah lingkungan (green product), peningkatan
efi siensi energi, pemanfaatan energi alternatif dengan mengembangkan energi baru
dan terbarukan secara optimal dari potensi sumber daya yang ada, pendanaan dengan
sumber alternatif dan peningkatan insentif bagi para pemangku kepentingan yang
menerapkan pembangunan berkelanjutan.
3.4 Rencana Tindak Lanjut yang Diperlukan
Untuk melaksanakan dan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
tersebut di atas dalam Rencana Pembangunan Nasional dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, diperlukan upaya tindak lanjut ke depan, baik dalam bentuk kebijakan maupun
langkah nyata yaitu:
a. Penyusunan sistem, serta mekanisme yang andal untuk melakukan pengintegrasian
isu pembangunan berkelanjutan ke dalam program-program pembangunan secara
terarah.
b. Peningkatan sinergi antar pemangku kepentingan dalam menjalankan 3 (tiga) pilar
pembangunan berkelanjutan secara serasi dengan mengembangkan dan menerapkan
instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di setiap sektor.
c. Perluasan kesempatan akses seluruh pihak atau subsistem pembangunan untuk
menggerakkan dan membentuk sistem pembangunan berkelanjutan.
d. Penerapan konsep green economy dalam pembangunan nasional dan daerah.
e. Penerapan metode partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan dan program
pembangunan, termasuk keterlibatan masyarakat terutama masyarakat marjinal (miskin,
perempuan, pemuda dan anak-anak).
f. Penerapan pertimbangan struktur dan nilai sosial kemasyarakatan untuk pengentasan
kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam kegiatan/program pembangunan.
g. Penyusunan peraturan-peraturan operasional di bidang lingkungan hidup yang akan
diprioritaskan pada:
■ Pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi mulai dari hulu ke hilir dan lintas
sektoral, yang dititikberatkan pada penetapan daya dukung dan daya tampung
lingkungan.
■ Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
■ Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, serta
■ Penyusunan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup dan indeks kualitas
lingkungan hidup; dan
h. Penerapan sistem dan instrumen pengendalian dan pengelolaan lingkungan untuk
menahan meningkatnya laju degradasi lahan, meningkatkan kualitas air dan udara, serta
pelestarian struktur dan nilai-nilai masyarakat.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING62
4. Pembangunan Rendah Karbon
Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai pengganti
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyebutkan perubahan iklim dan pemanasan
global sebagai tantangan bagi keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang, pemerintah
telah mencanangkan program rendah karbon berupa Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK). Salah satu turunan dari RAN GRK ini adalah program Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (REDD) di sektor kehutanan. Program ini disebabkan
emisi dari tata guna lahan, deforestasi dan kebakaran lahan gambut menyumbang 61% dari total
emisi Indonesia di tahun 2005 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Berikut penjelasan dari
RAN-GRK dan REDD+.
4.1 Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)
Kebijakan dan strategi RAN-GRK Indonesia dirumuskan berdasarkan kesiapan yang sudah
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam meratifi kasi kesepakatan UNFCCC. Hal ini
kemudian, dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2010 tentang RAN-GRK.
Mengacu pada prinsip-prinsip UNFCCC tersebut, maka pengurangan emisi dari business
as usual (BAU) tahun 2020 akan dilaksanakan sejalan dengan upaya mencapai target
pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 6-7%, sebagaimana tertuang di dalam RAN-GRK.
Jadi, strategi nasional akan mengkombinasikan antara target nasional tingkat pertumbuhan
ekonomi sebesar 6-7% dan komitmen Indonesia kepada dunia untuk emisi sebesar 26-41%.
Kebijakan dan strategi RAN-GRK akan dijabarkan sebagai berikut:
4.1.1 Kebijakan RAN-GRK
Kebijakan RAN-GRK difokuskan pada 5 (lima) sektor utama peyumbang emisi
terbesar di Indonesia. Lima bidang utama yang tercakup adalah kehutanan dan lahan
gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, serta limbah. Target penurunan
emisi GRK per bidang dapat dilihat dalam Tabel 4.1, dengan catatan target angka
penurunan dan kegiatan untuk penurunan emisi GRK ini dapat dikaji ulang sesuai
dengan metodologi, data dan informasi yang lebih baik di masa datang.
63LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Tabel 4.1. Target Penurunan Emisi GRK Per Bidang
Sektor
Rencana Penurunan Emisi
(Giga Ton CO2e)Rencana Aksi K/L Pelaksana
26% 41%
Kehutanan dan
lahan gambut0,672 1,039
Pengendalian kebakaran hutan dan
lahan, pengelolaan sistem jaringan
dan tata air, Rehabilitasi hutan dan
lahan, HTI, HR, Pemberantasan illegal
logging, Pencegahan deforestasi, dan
pemberdayaan masyarakat
Kemenhut, KLH, Kemen
PU, dan Kementan
Pertanian 0,008 0,011
Introduksi varietas padi rendah emisi,
efi sisensi air irigasi, penggunaan pupuk
organik.
Kementan, KLH, Kemen
PU,
Energi dan
Transportasi0,038 0,056
Penggunaan bio fuel, mesin
dengan standar efi siensi BBM lebih
tinggi, memperbaiki TDM, Kualitas
transportasi umum dan jalan, demand
site management, efi siensi energi,
Pengembangan renewable enegry.
Kemenhub, Kemen
ESDM, Kemen PU, KLH
Industri 0,001 0,005Efi siensi energi, penggunaan
renewable energy, dan lain-lainKemenperin dan KLH
Limbah 0,048 0,078
Pembangunan TPA, Pengolahan
sampah dengan 3 R dan pengolahan
air limbah terpadu di perkotaan
Kemen PU dan KLH
0,767 1,189
Sumber: RAN GRK (2010)
Dalam penetapan target penurunan emisi, perlu diperhatikan bahwa Business As
Usual tingkat emisi GRK nasional perlu diperhitungkan dengan lebih akurat. Hal ini
mengingat skenario tingkat emisi Business As Usual untuk beberapa bidang masih
perlu dievaluasi. Untuk itu, RAN-GRK perlu untuk terus secara berkala ditinjau dan
dilakukan pemantauan dan evaluasi berdasarkan perkembangan terkini yang terjadi
di Indonesia. Kebijakan RAN-GRK di 5 (lima) sektor utama tersebut, sebagai berikut:
a. Kebijakan Sektor Kehutanan
Rencana Jangka Panjang Kementerian Kehutanan (2006–2025) telah
mengidentifi kasi beberapa strategi yang secara tidak langsung berkaitan dengan
sumber emisi (kebakaran hutan, konservasi hutan, dan manajemen hutan bakau).
Setidaknya terdapat tiga strategi utama yang terkait dengan hal tersebut:
● SFM – Strategi Mitigasi Hutan 1, peningkatan stok karbon hutan dan menghindari
emisi terkait dengan degradasi dan deforestasi yang tidak terencana.
● RED – Strategi Mitigasi Hutan 2, mengurangi jumlah emisi melalui manajemen
konversi lahan hutan.
● Perkebunan – Strategi Mitigasi Hutan 3 - Meningkatkan kapasitas penyerapan
karbon melalui promosi perkebunan di lahan tutupan non hutan.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING64
Strategi tersebut didukung dengan beberapa program, seperti program riset
dan pengembangan hutan, perencanaan makro hutan, stabilisasi area hutan,
dan program manajemen pendukung dan teknis. Lebih lanjut, terdapat pula
dua peraturan menteri; yakni Peraturan Menteri No. 68 Tahun 2008 mengenai
Penyelenggaraan Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan dan Peraturan Menteri No. 39 Tahun 2009 mengenai Tata Cara Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).
Di dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK),
sektor kehutanan memiliki potensi yang besar dalam upaya penurunan emisi GRK,
di antaranya yaitu pengelolaan hutan yang berkelanjutan dari hutan produksi,
hutan konservasi, dan hutan lindung. Serta, pembatasan konversi lahan hutan
menjadi non-hutan dan degradasi kualitas hutan, pengelolaan hutan pada lahan
gambut dan pencegahan kebakaran hutan. Arah kebijakan untuk penurunan
emisi GRK di bidang kehutanan diarahkan untuk mensinergikan program-
program bidang kehutanan seperti;
● Mensinergikan kebijakan, perencanaan, dan program para pemangku
kepentingan di bidang kehutanan.
● Mempertajam kebijakan dan langkah-langkah pengurangan emisi karbon dari
bidang kehutanan yang secara efektif dapat menyelesaikan masalah penyebab
deforestasi dan degradasi hutan.
● Mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan.
● Merevitalisasi ekosistem hutan yang terdegradasi dengan pelibatan masyarakat.
● Menekan laju deforestasi dari berbagai gangguan seperti penebangan liar,
kebakaran hutan, konversi hutan untuk kepentingan non-hutan.
● Mengembangkan hutan tanaman untuk pemenuhan permintaan hasil hutan
kayu untuk keperluan industri kehutanan.
b. Kebijakan Sektor Pertanian
Hubungan antara kegiatan pertanian dengan emisi gas rumah kaca pada dasarnya
berasal dari fungsi penanaman dan perubahan guna lahan sebagai akibat dari
kegiatan pertanian. Beberapa peraturan telah diterbitkan terkait dengan hal ini,
di antaranya; Peraturan Menteri Pertanian 50 Tahun 2007, No. 47 Tahun 2006,
No. 26 Tahun 2007, No. 14 Tahun 2009, dan lainnya. Peraturan–peraturan terkini
memperketat ketentuan untuk penggunaan lahan gambut bagi perkebunan
tertentu, misalnya sawit, tidak hanya mempertimbangkan kedalaman rawa
gambut (< 3m), tetapi juga komposisi tanah di bawah gambut, kematangan
gambut, dan kesuburan lahan gambut. Dengan demikian akan mempengaruhi
jumlah emisi gas rumah kaca.
65LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Pada RAN-GRK, kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk
meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim dan berkontribusi dalam
penurunan emisi GRK. Hal ini dilakukan melalui pensinergian dan pengintegrasian
kebijakan, perencanaan, dan program pada seluruh pemangku kepentingan di
bidang pertanian seperti, dengan Kementerian Pekerjaan Umum (misalnya untuk
ketersediaan air dan infrastruktur), Kementerian Kehutanan (misalnya untuk
REDD+), dan Pemerintah Daerah.
Dalam Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR), kebijakan pada
sektor pertanian secara umum adalah meminimalisasi dampak negatif dari
fenomena alam tersebut agar sasaran pembangunan pertanian tetap dapat
dicapai. Kebijakan juga diarahkan untuk meningkatkan peran sektor pertanian,
terutama subsektor perkebunan dan subsektor pertanian di lahan gambut. Dalam
menurunkan emisi GRK, secara rinci kebijakan yang akan ditempuh adalah;
● Meningkatkan pemahaman petani dan pihak terkait dalam mengantisipasi
perubahan iklim.
● Meningkatkan kemampuan sektor pertanian untuk beradaptasi dengan
perubahan iklim, termasuk di dalamnya membangun sistem asuransi
perubahan iklim.
● Merakit dan menerapkan teknologi tepat guna dalam memitigasi emisi GRK, dan
● Meningkatkan kinerja penelitian dan pengembangan di bidang adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim.
c. Kebijakan Sektor Industri
Dalam Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, sektor yang menjadi salah satu
penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar yaitu sektor industri. Emisi dari sektor
industri berasal dari 3 sumber, yaitu dari penggunaan energi, proses produksi, dan
limbah. Kebijakan bidang industri dalam rangka mendukung mitigasi perubahan
iklim dilakukan dengan mengarahkan agar sektor industri besar seperti semen,
baja, pulp dan kertas, tekstil, dan lain-lain dapat melakukan program penurunan
emisi GRK secara bertahap melalui 3 program yaitu:
● Melakukan efi siensi energi dengan menggunakan teknologi mesin yang lebih
efi sien.
● Menggunakan bahan bakar alternatif.
● Melakukan efi siensi dalam proses produksi.
Maksud dan tujuan dari dibuatnya roadmap sektor industri adalah untuk
memperkirakan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan industri
dengan penekanan khusus pada industri semen. Perhitungan besarnya potensi
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING66
pengurangan dari sektor industri, selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam
menentukan rencana pembangunan ekonomi nasional. Potensi mitigasi yang
dapat dilakukan terkait mitigasi secara teknis, di antaranya yaitu;
● Efi siensi energi: mengurangi konsumsi energi seperti pencahayaan, efi siensi
motor, AC, dan bahan bakar dalam mesin.
● Bahan bakar alternatif: biomassa sebagai limbah pertanian, tanaman bahan
bakar, limbah kota dan industri, termasuk limbah berbahaya.
● Pencampuran bahan: untuk industri semen misalnya menggunakan bahan
pengganti klinker termasuk menggunakan bahan daur ulang.
d. Kebijakan Sektor Energi dan Transportasi
Dalam RAN-GRK arahan kebijakan sektor energi berupa komitmen efi siensi
dalam pemanfaatan energi pada seluruh sektor pengguna energi, yakni sektor
transportasi, industri, rumah tangga, dan komersial. Emisi gas rumah kaca yang
diperoleh dari sektor energi harus dikelola karena sektor ini sangat penting untuk
pembangunan perekonomian Indonesia. Di antaranya untuk ekspor produktif/
tukar pendapatan (valas) asing dan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
negeri. Dalam Renstra Kementerian ESDM 2010-2014 memiliki salah satu arahan
kebijakan berupa peningkatan kesadaran masyarakat melalui diversifi kasi dan
konservasi energi dalam rangka untuk mengurangi gas rumah kaca.
Sementara itu, untuk sektor transportasi Kementerian Lingkungan Hidup
telah mengesahkan beberapa peraturan terkait transportasi sebagai contoh:
standar emisi untuk kendaraan baru dan lama. Pemerintah Provinsi juga perlu
mempersiapakan regulasi dan dokumen lebih detail untuk mitigasi emisi yang
sesuai dengan strategi avoid/reduce–shift–improve yang tertulis di dalam ICCSR.
Sedangkan pada RAN-GRK pendekatan pengurangan emisi dilakukan dengan
beberapa pendekatan seperti trip demand management, shifting, improvement
and green transport.
e. Kebijakan Sektor Pengelolaan Sampah
Pada RAN-GRK terdapat kebijakan pengelolaan limbah sampah dalam rangka
mitigasi perubahan iklim. Hal ini dilakukan dengan pengelolaan sampah melalui
penerapan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), fasilitasi prasarana pengumpulan/
pengangkutan sampah, pembangunan/ peningkatan Tempat Pemrosesan akhir
(TPA) sampah menjadi sanitary landfi ll dan juga pengembangan TPA yang terpadu
dengan teknologi pemanfaatan GRK untuk energi. Kebijakan pengelolaan sampah
ke depan sekurangnya harus menerapkan dua kebijakan utama. Kebijakan
pertama, adalah pengurangan (reduce) sampah di sumber sebanyak mungkin,
digunakan kembali (reuse) dan didaur ulang (recycle) (3R) sebelum diangkut
ke TPA. Kebijakan kedua, yaitu pengelolaan sampah harus dilakukan dengan
67LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
mengintegrasikan partisipasi masyarakat. Dua kebijakan ini digunakan sebagai
prinsip dasar pengelolaan sampah sebagaimana yang dideskripsikan di dalam
undang-undang pengelolaan sampah. Sementara itu, partisipasi aktif masyarakat
dalam program 3R sampah padat dimulai dari tingkat perumahan dengan
mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lebih bersih dan sehat. Partisipasi
industri juga akan dilakukan dengan melaksanakan EPR (Extended Producer
Responsibility), yaitu prinsip untuk produsen dan importir sampah B3.
4.1.2. Strategi RAN-GRK
Perlu dipahami bahwa RAN-GRK mengatur pembagian kegiatan pengurangan emisi
gas rumah kaca ke dalam beberapa bidang. Pada dokumen RAN GRK pemerintah
Indonesia mengklasifi kasikannya dalam berbagai sektor. Juga terdapat beberapa
perbedaan di dalamnya. Pembagian ini kemudian perlu diselaraskan dengan
pengaturan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan pemerintahan,
sebagaimana yang diatur di dalam PP No. 38 Tahun 2007.
Padanan pembagian bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca pada
RAN GRK dengan urusan pemerintahan pada PP No. 38 Tahun 2007 menunjukkan
bahwa seluruh bidang berada pada urusan pemerintahan yang dibagi bersama
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pada Tabel 4.2, keterkaitan antar
bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan pembagian urusan
pemerintahan. Klasifi kasi urusan pemerintahan yang sifatnya wajib maupun pilihan
bagi Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota tergantung pada
karakteristik wilayah masing–masing. Urusan wajib ialah urusan pemerintahan
yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten atau Kota berkaitan dengan pelayanan dasar. Adapun urusan
pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana
aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut dengan
Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Substansi
pada RAN GRK merupakan dasar bagi setiap provinsi dalam mengembangkan
RAD GRK sesuai dengan kemampuan serta keterkaitannya terhadap kebijakan
pembangunan masing–masing provinsi. Kemudian, RAD GRK ditetapkan melalui
Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan proses bottom-
up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi
dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masing–masing.
Lebih lanjut, setiap Pemerintah Provinsi perlu menghitung besar emisi gas rumah
kaca masing–masing, target pengurangan, dan jenis sektor yang akan dikurangi
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING68
emisinya. Namun demikian, Pemerintah Provinsi juga tetap harus memastikan bahwa
pengurangan emisi gas rumah kaca di daerahnya tetap berkontribusi terhadap
target pengurangan di tingkat nasional.
Tabel 4.2. Keterkaitan Bidang Pengurangan Emisi GRK pada RAN dengan Pembagian Urusan
Pemerintahan
Bidang
Pembagian Urusan Pemerintah (PP 37 Tahun 2008)
Urusan Wajib Urusan Pilihan
Pe
ke
rja
an
Um
um
Pe
rum
ah
an
Pe
na
taa
n R
ua
ng
Pe
ren
ca
na
an
Pe
mb
an
gu
na
n
Pe
rhu
bu
ng
an
LH
Pe
rta
nia
n
Ke
hu
tan
an
Pe
rin
du
stri
an
En
erg
i d
an
Su
mb
erd
ay
a M
ine
ral
Pengelolaan Limbah v V
Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut v v v V
Pertanian v v V
Energi dan Transportasi v v v V
Industri v v
Sumber: Disarikan dari PP 38/2007
Secara umum, Pemerintah Pusat melalui Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah
memiliki kewenangan untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
(NSPK) untuk pelaksanaan urusan wajib dan pilihan. NSPK tersebut kemudian
berfungsi sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan setiap urusan wajib serta pilihan
tersebut. Tabel 4.3 di bawah memberikan ilustrasi pembagian kewenangan bagi
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, serta Pemerintah Kota/Kabupaten berdasarkan
PP No. 38 Tahun 2007. Hal tersebut merupakan kerangka penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang juga melingkupi kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca.
69LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Tabel 4.3. Kerangka Pembagian Urusan Pemerintahan
Pemerintah Pusat
a) Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan
b) Pelimpahan sebagian urusan pemerintah kepada Gubernur selaku wakil
pemerintah dalam rangka dekonsentrasi
c) Penugasan sebagian urusan pemerintah kepada Pemda berdasarkan asas tugas
pembantu
Pemerintah Provinsi
a) Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan tingkat provinsi
b) Penugasan sebagian urusan pemerintah kepada pemerintah daerah kabupaten/
kota berdasarkan asas tugas pembantu
Pemerintah Kabupaten/Kota
a) Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintah tingkat kabupaten/kota
b) Penugasan sebagian urusan pemerintah kepada pemerintah desa berdasarkan
asas tugas pembantu
Sumber: RAN GRK (2010)
RAD GRK sebagai bagian tidak terpisahkan upaya penurunan emisi gas rumah kaca
yang direncanakan di dalam RAN GRK. Dilaksanakan dalam kerangka institusi yang
sesuai dan telah ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan
dalam mendukung pelaksanaan RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan
beberapa komponen sebagai berikut, pada Tabel 4.4.
Tabel. 4.4. Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK.
Institusi Tugas/Peran
Kementerian
Koordinator
Perekonomian
a. Melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN GRK dengan melibatkan para
Menteri dan Gubernur terkait dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
b. Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang terintegrasi kepada Presiden, paling sedikit 1
tahun sekali
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan Nasional
a. Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-GRK yang terintegrasi
b. Melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian
c. Menyusun Pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan dalam upaya mencapai target
nasional penurunan emisi GRK
Kementerian
Lingkungan Hidup
a. Mengkoordinasikan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh masing-masing
Kementerian/Lembaga dan Pemda dan melaporkan hasil inventarisasi GRK tersebut
kepada Menteri Koordinator Perekonomian.
b. Menyusun pedoman dan metodologi MRV
Kementerian Dalam
Negeri
a. Memfasilitasi penyusunan RAD-GRK bersama-sama dengan Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional dan Menteri Lingkungan Hidup
Kementerian/Lembaga
a. Melaksanakan RAN-GRK dan inventarisasi GRK pada Kementerian/Lembaga masing-
masing
b. Memantau pelaksanaan RAN GRK secara berkala
c. Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang telah terverifi kasi kepada Menteri Koordinator
Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Men LH secara
berkala, minimal satu tahun sekali
Gubernur/Pemerintah
Daerah
a. Menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK)
yang mengacu pada RAN-GRK dan sesuai dengan priorotas pembangunan daerah
berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat
b. Menetapkan RAD GRK melalui peraturan Gubernur
c. Menyampaikan RAD GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional
penurunan emisi GRK.
Sumber: RAN GRK (2010)
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING70
Penyiapan institusi juga memerlukan pemahaman distribusi kewenangan antar
tingkat pemerintahan yang terkait dengan perubahan iklim. Pemerintah Pusat pada
dasarnya adalah membangun kebijakan umum yang dilengkapi dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) (Nurhadi, 2009). Pemerintah Provinsi, di sisi lain,
adalah perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat di daerah. Dengan demikian,
Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk pengendalian implementasi
kebijakan nasional dan NSPK. Pemerintah Provinsi juga memiliki peran dalam
memfasilitasi isu antar kabupaten/kota. Adapun konteks desentralisasi untuk setiap
sektor pada dasarnya berbeda tergantung konteks kebutuhan sektoral.
4.2 Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+)
4.2.1 Kebijakan REDD+
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) adalah
skema pemberian insentif buat usaha-usaha pengurangan emisi yang berasal
dari deforestasi dan kerusakan hutan. Pada awalnya, skema ini hanya memberikan
insentif pada usaha pengurangan laju deforestasi dan kerusakan hutan yang
kemudian diterjemahkan pada seberapa besar karbon yang bisa ditahan di hutan.
Tapi berdasarkan keputusan Conference of Parties (COP) 13 dan COP 14, peranan
hutan dalam mitigasi perubahan iklim tidak hanya dari sisi negatifnya (mencegah
deforestasi dan kerusakan hutan), tetapi juga dilihat sisi positifnya. Diterjemahkan
dalam skema REDD yang berkembang sekarang berupa usaha-usaha peningkatan
karbon, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan konservasi; dikenal dengan REDD+
(Angelsesn et al, 2008).
Di Indonesia, soal REDD+ baru ada empat peraturan perudang-undangan yang
mengaturnya. Itu pun diatur dalam perundang-undangan setingkat menteri, yaitu:
a. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2010 tentang RAN GRK
b. Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan
Pembentukan Kelembagaan REDD
c. Permenhut P. 68/Menhut-II/2008 tentang Demonstration Activities Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, dan
d. Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).
4.2.2 Strategi REDD+
Sasaran atau target REDD+ adalah emisi GRK dari sektor kehutanan turun sebesar
14% dari bagian komitmen nasional sebesar 26% dengan upaya nasional dan 41%
dengan dukungan internasional, pada tahun 2020. Adapun Visi Misi REDD+ di sektor
kehutanan sebagai berikut:
71LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Visi:
Pembangunan yang bertumpu pada penyelenggaraan kehutanan yang
berkelanjutan dan berkeadilan serta mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.
Misi:
a. Mengurangi laju deforestasi
b. Mengurangi degradasi hutan melalui penerapan prinsip Sustainable Forest
Management (SFM) secara baik dan benar.
c. Menjaga sediaan karbon melalui konservasi hutan
d. Meningkatkan stok karbon
e. Meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat.
f. Meningkatkan investasi dan pemanfaatan lahan berlandaskan prinsip-prinsip
ekonomi hijau.
Keterkaitan visi, misi dan sasaran REDD+ di Indonesia digambarkan pada Gambar
4.1 berikut:
VISI
Pembangunan yang bertumpu pada penyelenggaraan
kehutanan yang bekelanjutan dan berkeadilan serta
mendukung upaya mitigasi perubahan iklim
MISI
1. Mengurangi laju deforestasi
2. Mengurangi degradasi hutan melalui penerapan prinsip social fortest Management (SFM) secara
baik dan benar
3. Menjaga kesediaan karbon melalui konserfasi hutan
4. Meningkatkan stok karbon hutan
5. Meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat
6. Meningkatkan investasi dan pemanfaatan lahan berlandaskan prinsip-prinsip
TARGET/SASARAN
Emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan turun sebesar
minimum 14 persen dari komitmen nasional sebesar 26 persen pada
tahun 2020
Sumber: RAN GRK (2010)
Gambar 4.1. Visi, Misi, dan Sasaran REDD+
Berdasarkan visi, misi, dan sasaran yang ditetapkan dan dengan memperhatikan
kondisi umum, serta peluang serta tantangan yang ada, kebijakan dan strategi
nasional penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) terdiri
dari: (1) Penyempurnaan perencanaan dan pemanfaatan ruang secara terpadu
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING72
dan seimbang dalam upaya menurunkan deforestasi dan degradasi hutan dengan
tetap menjaga pertumbuhan ekonomi nasional; (2) Peningkatan pengawasan dan
pemantauan (control and monitoring); (3) Peningkatan efektifi tas tata kelola hutan;
(4) Pelibatan dan partisipasi para pihak, terutama masyarakat adat dan masyarakat
sekitar hutan dalam penurunan emisi GRK; (5) Peningkatan dan penguatan dasar
hukum pengelolaan hutan (Gambar 4.2).
Strategi 1:
Penyempurnaan perencanaan
dan pementaatan ruang yang
teroadu dan seimbang.
Sasaran:
Penurunan Emisi Minimal 14%
Strategi 2:
Peningkatan
Pengawasan dan Pemantauan
REDD+
Strategi 3:
Peningkatan
Efektivitas Tata
Kelola Hutan
Strategi 4:
Pelibatan dan partisipasi
para pihak dalam
penurunan emisi GRK
Strategi 5:
Penguatan Sistem
Penegakan Hukum
Sumber: Ran GRK (2010)
Gambar 4.2. Lima Kebijakan Strategis Nasional REDD+
Kebijakan strategis 1: Penyempurnaan perencanaan dan pemanfaatan ruang secara
terpadu dan seimbang dalam upaya menurunkan deforestasi dan degradasi hutan
dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi nasional.
Perencanaan dan tata ruang hutan dan lahan yang terpadu dan seimbang adalah
prioritas utama untuk mencapai pembangunan rendah karbon. Dimulai dengan
penundaan izin baru konversi hutan dan lahan gambut untuk jangka waktu tertentu
dan didukung penyusunan peta yang terpadu dan akurat.
Perencanaan tata ruang pemanfaatan hutan pada saat ini lebih cenderung
menempatkan pemanfaatan ekonomi yang tangible dan pemanfaatan untuk
pasokan dan stok karbon dan lingkungan sebagai suatu trade off . Pemanfaatan
ekonomi yang tinggi dengan hasil yang dirasakan dalam jangka pendek seringkali
mengalahkan kepentingan pemanfaatan untuk kebutuhan lingkungan. Sebagai
akibatnya, pemanfaatan ekonomi, baik berupa pemanfaatan hutan untuk produksi
73LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
kayu, budidaya pertanian perkebunan, serta pertambangan telah dirasakan
berlebihan dan meleihi daya dukung ekosistem.
Dalam rangka menurunkan emisi melalui ini, kebijakan yang dipilih adalah:
a. Penundaan/moratorium izin baru konversi hutan dan lahan gambut, termasuk izin
perubahan peruntukan dan/atau fungsi kawasan hutan. Untuk penundaan izin
baru/moratorium disusun dasar peraturan ketentuan yang cukup kuat. Pemberian
penundaan/moratorium izin tersebut tidak diberlakukan bagi pemegang izin
berjalan.
b. Penyusunan peta penggunaan hutan dan lahan secara terpadu dan akurat serta
pemanfaatannya secara efektif bagi penyusunan RTRW.
c. Pembangunan secara terpadu diberbagai sektor, khususnya kehutanan, pertanian,
dan pertambangan menuju ekonomi hijau (green economy) yang memanfaatkan
rendah karbon.
d. Penetapan kawasan-kawasan pusat kegiatan ekonomi dan pemberian izin
investasi yang patuh pada asas pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari
dalam kerangka konsep ekonomi rendah karbon dan ekonomi hijau.
e. Penyelesaian masalah-masalah tenurial, seperti: batas dan status kawasan hutan
yang tidak jelas, masyarakat adat yang tidak memiliki hak kelola formal dalam
pengelolaan hutan, dan konfl ik lahan yang tidak pernah tuntas.
f. Untuk mengurangi laju degradasi hutan dilakukan: penerapan sertifi kasi
pengelolaan hutan lestari dan sistem verifi kasi legalitas kayu (SVLK).
g. Pengarusutamaan pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau dalam
perencanaan pembangunan, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun
kabupaten/kota.
Kebijakan Strategi 2: Peningkatan pengawasan dan pemantauan.
Tersedianya sistem pengawasan dan pemantauan/monitoring kemajuan penurunan
emisi dari REDD+ yang akurat dan up to date sesuai kebutuhan merupakan syarat
penting bagi keberhasilan program REDD+.
Tercapainya penurunan emisi memerlukan pengawasan dan pemantauan (control
and monitoring) kemajuan penurunan emisi untuk terwujudnya keadilan dalam
penerapan strategi nasional REDD+. Pengawasan dan pemantauan hanya dapat
dilakukan apabila tersedia data dan informasi yang akurat dan mutakhir serta dapat
digunakan pengambilan keputusan dan penegakan hukum. Sehubungan dengan
itu, beberapa kegiatan dalam strategi ini, antara lain:
a. Penyempurnaan data dan informasi spasial, terutama data biofi sik dan sosial
ekonomi, yang berkualitas tinggi, transparan, dan shahih, termasuk lahan gambut.
b. Pengembangan alat ukur pemantauan dan evaluasi yang simple, akurat, dan
updated, sehingga dapat digunakan secara transparan dan akuntabel.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING74
c. Penyusunan standar nasional, pengukuran emisi GRK yang sejalan dengan
protokol internasional dan good practices untuk mengukur perubahan stok karbon
di dalam dan di luar kawasan hutan, termasuk lahan gambut.
Pendirian lembaga independen untuk melakukan pengukuran dan pelaporan emisi
GRK dari sektor kehutanan, yang didukung adanya: (i) mekanisme koordinasi untuk
sistem pengukuran karbon dan survei lapangan secara periodik, dan (ii) mekanisme
pelaporan kepada lembaga-lembaga di tingkat nasional dan internasional yang
relevan dan penyediaan informasi yang relevan kepada aktor-aktor pasar karbon.
Kebijakan strategi 3: Peningkatan efektivitas Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut
Tata kelola hutan yang efektif, transparan, dan akuntabel akan menghemat emisi karbon
dan menyumbang penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi (REDD+).
Penurunan emisi dapat pula dilakukan dengan meningkatkan efektivitas
pengelolaan/manajemen hutan dan lahan gambut. Dengan pengelolaan hutan
yang efektif, maka hutan tetap memberikan nilai ekonomi dari penggunaan yang
tangible (tangible use) dan keberlanjutan pasokan dan daya dukung ekosistem
hutan (non tangible use). Terdapat 3 (tiga) unsur pokok dalam peningkatan efektivitas
manajemen hutan dan lahan gambut, yaitu:
a. Meningkatkan administrasi hutan yang efektif melalui penerapan organisasi
pengelolaan hutan dan meningkatkan kapasitas dan integritas pengelolaan
hutan.
b. Tata kelola hutan yang baik, dilakukan antara lain dengan peningkatan
transparansi dalam: (i) proses pembuatan peraturan perundang-undangan; (ii)
proses pengambilan keputusan; (iii) proses pemberian izin di sektor kehutanan;
(iv) pelibatan secara terbuka antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta
masyarakat yang potensial terkena dampak; (v) menyediakan mekanisme resolusi
konfl ik yang efektif untuk mewadahi perbedaan pandangan dan kepentingan.
Transparansi dan partisipasi secara khusus ditingkatkan pada kelompok yang
potensial terkena dampak dengan fokus pada kelompok rentan seperti masyarakat
adat, orang miskin, perempuan, dan anak.
c. Meningkatkan kelengkapan kebijakan hukum (legal policy) melalui: (i)
menyempurnakan UU No.41 tentang Kehutanan, terutama dalam aspek
pembagian kewenangan bertanggungjawab sesuai prinsip desentralisasi,
melengkapi peraturan turunan dan instrumen penerapan hukumnya,
peningkatan sanksi hukum, serta menciptakan mekanisme dan instrumen untuk
mendorong pelestarian oleh pengelola dan masyarakat; (ii) menyempurnakan
dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan di sektor penggunaan
lahan (pertambangan, pertanian, dan tata ruang); (iii) amandemen dan/atau
pembentukan peraturan perundang-undangan terkait perlindungan lahan
75LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
gambut di seluruh sektor (pertambangan, kehutanan, pertanian, infrastruktur
dan industri); (iv) menyempurnakan berbagai aturan teknis untuk memastikan
terjadinya mekanisme check and balances yang konstruktif bagi pelanggar
pemanfaatan hutan dan lahan gambut.
Kebijakan strategi 4: Meningkatkan pelibatan para pihak, terutama masyarakat adat
dan masyarakat sekitar hutan dalam penurunan emisi GRK.
Pelibatan para pihak dalam pengelolaan hutan, terutama masyarakat adat dan
komunitas sekitar hutan, harus nyata untuk meningkatkan manfaat hutan bagi semua
pihak secara adil dan menghindarkan konfl ik, sehingga mendukung pencapaian
sasaran penurunan emisi yang lebih berkelanjutan.
Agar pelaksanaan REDD+ dapat berjalan dengan sukses dan meningkatkan
kesejahteraan para pihak, maka pelibatan para pihak sejak awal secara nyata dan
proporsional sangat penting. Pelibatan para pihak dapat dikelompokkan ke dalam 4
kelompok: (i) pelibatan Pemerintah Daerah; (ii) pelibatan LSM; (iii) pelibatan pelaku
usaha secara adil; dan (iv) pelibatan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan.
a. Pelibatan Pemerintah Daerah. Di era desentralisasi, kewenangan pengelolaan
hutan sebagian sudah dilimpahkan ke daerah. Sehubungan dengan itu, dalam
rangka penurunan emisi GRK dari deforestasi dan degradssi hutan sangat perlu
untuk melibatkan Pemerintah Daerah. Pelibatan harus dilakukan sejak awal, pada
tahap perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan monitoring hasil REDD+.
b. Pelibatan masyarakat, terdiri dari: masyarakat pelaku usaha pengelolaan hutan,
masyarakat yang terkelompok dalam lembaga swadaya masyarakat, masyarakat
adat dan sekitar hutan, serta masyarakat internasional. Pelibatan pelaku
pengelolaan hutan sangat penting karena mereka adalah pengelola hutan yang
men-transform penggunaan/pemanfaatan hutan menjadi nilai fi nansial dan
ekonomi. Pelibatan secara transparan yang disertai dengan adanya ukuran dan
pengukuran beban penyebab/penurunan emisi dan imbalan atas hasil/reward
maupun denda/punishment akan dapat membagi beban dan hasil/reward yang
transparan dan proporsional. Dengan demikian, pelaku usaha akan sukarela
melakukan penurunan emisi karena mendapat manfaat langsung dan tidak
langsung dari penurunan emisi yang dilakukan.
Terkait hal tersebut, maka pelibatan para pihak dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan strategi REDD+ akan dilakukan melalui:
a. Peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, LSM, masyarakat termasuk pelaku
usaha dan kelompok potensial terkena dampak dalam berbagai upaya pelaksanaan
REDD+. Disisi lain, dilakukan peningkatan pemahaman pengambilan keputusan
di tingkat nasional dan sub-nasional akan peran penting pelibatan pemangku
kepentingan agar keputusan yang diambil leih obyektif dan berkualitas.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING76
b. Membangun mekanisme resolusi konfl ik yang efektif.
c. Pengembangan agenda yang komprehensif (lintas sektoral) terkait dengan
pengakuan dan perlindungan hukum atas keberadaan masyarakat di atas.
d. Penyediaan instrumen perlindungan dan pemberdayaan bagi kearifan tradisional
masyarakat adat.
e. Pengembangan sistem dan mekanisme pelibatan masyarakat agar masyarakat
dan masyarakat adat yang tinggal di dalam dan dise kitar kawasan hutan yang
menggantungkan hidupnya tidak terkena dampak negatif dari implementasi
REDD+.
Kebijakan strategis 5: Penguatan sistem penegakan hukum
Penegakan hukum adalah pengawal proses penurunan emisi GRK dan peningkatan
stok karbon yang adil bagi semua pihak sesuai ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku.
Landasan hukum dalam pelaksanaan REDD+ yang masih terlihat lemah telah
mengakibatkan lemahnya penegakan hukum di sektor kehutanan. Sementara
aspek legal policy penting untuk disempurnakan agar manajemen hutan menjadi
lebih efektif. Oleh karena itu, penegakan hukum akan menyempurnakan proses
pencapaian penurunan emisi GRK yang proporsional dan adil. Penegakan hukum
yang efektif, memerlukan terpenuhinya 3 (tiga) prasyarat dalam sistem hukum,
yaitu: (i) kemampuan melakukan pendeteksian (ability to detect); (ii) kemampuan
memberikan tanggapan terhadap hasil pendeteksian; (iii) kemampuan memberikan
hukum. Sehubungan dengan itu, langkah-langkah yang diperlukan dalam strategi
ini, adalah:
a. Pengadaan sarana dan prasarana, pengembangan kapasitas aparatur penegak
hukum, penguatan sistem integritas dan kontrol publik yang memadai serta
koordinasi pelaksanaan ketiga kemampuan di atas harus terpenuhi untuk
mencapai penegakan hukum yang efektif.
b. Penegakan hukum administratif secara tegas dan konsisten terhadap pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK HA/HT.
c. Penguatan penegakan hukum pidana.
d. Peningkatan kapasitas teknis aparat penegak hukum
e. Penguatan pengawasan masyarakat terhadap proses penegakan hukum.
4.2.3 Implementasi REDD+ di Indonesia
Salah satu wujud keseriusan Indonesia dalam menindaklanjuti dan
mengimplementasikan Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) adalah
ditandatanganinya letter of intent (LoI) antara pemerintah Republik Indonesia
dengan Kerajaan Norwegia tentang Kerjasama dalam rangka Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) pada tanggal 26 Mei 2010.
77LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Ada tiga tahap kerjasama dalam kerangka LoI tersebut (DNPI, 2010), sebagai berikut:
Tabel 4.5. Tahapan Kerjasama LoI Indonesia dengan Kerajaan NorwegiaTahapan LoI
Indonesia-NorwegiaWaktu Program
Tahap Persiapan Juli-Desember 2010
■ Penyusunan strategi nasional REDD+
■ Pembentukan lembaga REDD+
■ Penetapan lembaga independen MRV
■ Penetapan instrumen pembiayaan
■ Penetapan provinsi percontohan
Tahap Transformasi 2011-2013
■ Operasional instrumen pembiayaan
■ MRV tier 2 dan kemungkinan meningkatkan ke tier 3
■ Moratorium izin baru konversi hutan alam dan
gambut
■ Pengembangan database hutan yang terdegradasi
untuk investasi
■ Penegakan hukum illegal logging, timber trade, dan
pembentukan Satuan Tindak Kriminal Kehutanan
■ Penyelesaian konfl ik lahan/masalah tenurial
Tahap Pembayaran Kontribusi Mulai 2014
Sumber: Dewan Nasional Perubahan Iklim (2010)
Mekanisme REDD+ adalah pengembangan dari mekanisme REDD yang tidak hanya
berkaitan dengan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga mencakup aspek yang
lebih luas, yakni Sustainable Forest Management (SFM), carbon stock enhancement,
dan forest restoration and rehabilitation. Perlu dicatat bahwa di antara kelompok
negara-negara maju, Norwegia merupakan negara yang menyatakan komitmen
secara resmi untuk mengurangi emisi paling tinggi, dengan target pengurangan
emisi hingga tahun 2020 antara 30% sampai dengan 40%, dengan basis perhitungan
tahun 1990. Oleh karena itu, penandatangan LoI tentang moratorium konversi
hutan alam dan lahan gambut antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan
Norwegia tersebut harus dipahami dalam konteks yang berimbang. LoI moratorium
perlu disikapi secara rasional dan proporsional dengan lebih mengedepankan
kepentingan nasional untuk pembangunan berkelanjutan, bukan sekedar mengejar
kompensasi dana yang jumlahnya tidak seberapa untuk sebuah isu perubahan iklim
yang penuh muatan politik kepentingan. Selain itu, implementasi REDD juga harus
dapat menjawab kekhawatiran terhadap hilangnya akses masyarakat lokal terhadap
sumber daya hutan. Skema REDD hanya dapat terimplementasi secara baik, jika
mendapat dukungan masyarakat. Tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, dapat
dipastikan skema REDD yang disepakati di Kopenhagen hanya eksis di atas kertas.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING78
79LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
MODUL 3:PEMBANGUNAN BERKEADILAN DAN RAMAH LINGKUNGAN
1. Deskripsi Singkat
1. Modul ini membahas konsep tentang pembangunan berkelanjutan yang sedang mekar
yang saat ini menjadi agenda banyak pemerintah, bisnis, lembaga pendidikan, dan lembaga
swadaya masyarakat seluruh dunia. Banyak hal ditulis dalam istilah akademik tentang arti dari
pembangunan berkelanjutan dan perlunya mengintegrasikan prinsip ekologi dan ekonomi
ke dalam pengambilan keputusan personal dan publik.
2. Hanya saja, belum ada defi nisi yang disepakati tentang konsep pembangunan berkelanjutan
dan barangkali hal tersebut tidak perlu. Hal ini karena pembangunan berkelanjutan berkenaan
dengan proses perubahan dan sangat tergantung pada konteks, kebutuhan, dan kepentingan
lokal. Jadi, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang muncul dari dua cara.
Pertama, karena relatif baru dan berkembang saat kita belajar menangkap implikasinya yang
luas bagi semua aspek kehidupan kita. Kedua, karena maknanya muncul dan berkembang
sesuai dengan konteks lokal.
3. Pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan keadilan dalam generasi (intrageneration)
dan antar generasi (intergeneration). Hal ini berarti membutuhkan tindakan untuk
mengentaskan kemiskinan, melindungi lingkungan dan menghindari marginalisasi ekonomi,
yang maknanya memperbaiki kesejahteraan generasi sekarang sementara mempertahankan
kesempatan pembangunan bagi generasi berikutnya.
2. Tujuan Pembelajaran
1. Untuk memahami sepenuhnya kaitan antara lingkungan, sumberdaya alam, dan kesejahteraan.
2. Untuk memperkirakan implikasi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari pembangunan.
3. Untuk mengembangkan defi nisi sendiri yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
3. Materi
3.1 Pengertian
1. Istilah `pembangunan berkelanjutan’ dipopulerkan oleh the World Commission on
Environment and Development (WCED) dalam laporan berjudul Our Common Future pada
tahun 1987.
2. Tujuan dari the World Commission adalah untuk menemukan cara praktis untuk
menjawab problem lingkungan dan pembangunan dunia. Ada tiga tujuan umum:
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING80
a. Untuk mengkaji ulang isu-isu kritis lingkungan dan pembangunan dan untuk
memformulasikan proposal yang realistik yang berkenaan dengan isu-isu tersebut;
b. Untuk mengusulkan bentuk kerjasama internasional yang baru tentang isu-isu
lingkungan dan pembangunan yang akan mempengaruhi kebijakan dan kejadian
ke arah perubahan yang diperlukan;
c. Untuk meningkatkan tingkat pemahaman dan komitmen terhadap tindakan
individual, organisasi sukarela, bisnis, kelembagaan, dan pemerintah.
3. Pembangunan berkelanjutan dengan demikian adalah:
a. kerangkakerja konseptual: suatu cara mengubah pandangan dunia yang utama
menjadi pandangan yang lebih holistik dan berimbang;
b. proses: cara mengaplikasikan prinsip integrasi - lintas ruang dan waktu - pada semua
keputusan; dan
c. tujuan akhir: mengidentifikasi dan mengoreksi masalah deplesi sumberdaya,
perawatan kesehatan, pengucilan sosial, kemiskinan, pengangguran dan sebagainya.
3.2 Dimensi
1. Salah satu hasil yang paling penting dari Our Common Future adalah kesadaran bahwa
isu-isu lingkungan dan pembangunan adalah terkait erat satu terhadap yang lain dan
karenanya perdebatan apakah mendahulukan lingkungan atau pembangunan tidak
selayaknya terjadi. Disimpulkan bahwa:
“Lingkungan dan pembangunan bukanlah tantangan yang terpisah. Pembangunan tidak dapat hidup
pada basis sumberdaya lingkungan yang rusak; lingkungan tidak dapat dilindungi ketika pertumbuhan
mengabaikan biaya kerusakan lingkungan. Berbagai masalah tersebut tidak dapat ditangani secara
terpisah oleh lembaga dan kebijakan yang terfragmentasi. Mereka terkait dalam sebuah sistem kompleks
sebab dan akibat.’’
2. WCED kemudian berpendapat tentang pendekatan terhadap pembangunan yang
memperhatikan hubungan isu ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi. WCED menyebut
pendekatan ini ̀ pembangunan berkelanjutan’ yang didefi nisikan sebagai “pembangunan
yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.’’
3. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan kemajuan yang serentak dan berimbang
dalam empat dimensi yang saling tergantung: sosial, ekonomi, ekologi, dan politik.
Keputusan dalam satu bidang selalu mempengaruhi bidang lainnya. Sebagai contoh,
jika pembangunan ekonomi ingin berkelanjutan:
a. Pembangunan tidak dapat mengabaikan kendala lingkungan atau dilakukan dengan
cara merusak sumberdaya alam;
b. Pembangunan tidak dapat berhasil tanpa diiringi secara paralel dengan
pembangunan sumberdaya sosial;
81LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
c. Pembangunan harus mempertimbangkan kebutuhan semua spesies dan hak
mereka untuk menikmati kualitas hidup yang sama dan berbagi sumberdaya;
d. Pembangunan harus mendukung keadilan antar semua orang sehingga setiap orang
dapat menikmati standar hidup yang sama dan tingkat akses terhadap sumberdaya
dan kualitas hidup yang sama; dan
e. Pembangunan harus mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang.
4. Percepatan pembangunan dapat diterima sejauh tidak mengorbankan keberlanjutan
dari sistem yang kita bangun dalam jangka panjang. Untuk itu, pelaksanaan MP3EI perlu
dipandu oleh beberapa prinsip agar tujuan dari MP3EI dapat tercapai, sementara resiko
yang mengancam keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang dapat dikendalikan
sejauh mungkin. Beberapa prinsip tersebut diturunkan dari pandangan dan keyakinan
bahwa ekonomi konvensional berada dan bekerja di dalam ekonomi sumberdaya sosial
dan ekonomi sumberdaya sosial berada dan bekerja di dalam ekonomi sumberdaya alam
dan lingkungan (Gambar \ref{fi g:greeneconomy}). Tiga prinsip yang perlu diperhatikan
adalah:
a. Pelaksanaan MP3EI harus hemat dalam menggunakan natural capital, tetapi pada
saat yang sama meningkatkan human capital, physical capital, dan financial capital
ekonomi setempat (prinsip ekonomi);
b. Pelaksanaan MP3EI tidak boleh melampaui daya dukung lingkungan (prinsip
lingkungan). Salah satu titik kritis penerapan prinsip ini adalah batas dari lingkungan
yang dimaksud. Daerah Aliran Sungai merupakan salah satu alternatif batas
lingkungan yang layak dipertimbangkan;
c. Pelaksanaan MP3EI harus semakin memperkuat kapital sosial (prinsip sosial). Kapital
sosial sering terabaikan dalam pembangunan sehingga timbul konflik yang dapat
mengancam capaian pembangunan itu sendiri.
5. Atas dasar prinsip ini, kriteria dan indikator dikembangkan untuk tiga bidang, yakni
ekonomi, lingkungan, dan sosial.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING82
NATURAL RESOURCES ECONOMY
SOCIAL RESOURCES
ECONOMY
Absorption of waste
Common culturalinheritance
(arts and skills)
All forms ofsocial cooperation
Production ofminerals
Production ofenergy
Subsistenceagriculture
Unpaid labour inhousehold,
parenting andcommunity service
Reproduction of plantand animal life
THE FORMAL ECONOMYIncomes
Households Business
Consumerspending
Businessreceipts
Goods and services
Land, la
bour, capital
Gambar 3.1. Perluasan Perhitungan Ekonomi (Cato, 2009)
3.3 Mengukur Kelestarian
1. Menyepakati indikator terbaik untuk mengukur keberlanjutan atau kemajuan menuju
pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah tantangan. Indikator adalah ukuran
ringkas yang memberikan informasi tentang keadaan, atau perubahan, suatu sistem.
Indikator memberi kita gambaran tentang bagaimana kita bekerja pada suatu titik
waktu tertentu relatif terhadap apa yang kita telah putuskan. Indikator juga memberikan
umpan balik tentang pengaruh dari tindakan kita dan kebijakan pemerintah. Dan
indikator harus mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi dan isi dari kebijakan.
2. Selintas, mengukur pembangunan berkelanjutan tampaknya mustahil, subjek
yang sangat luas dan merupakan pengaruh dari begitu banyak hal. Kita tahu bahwa
pembangunan berkelanjutan melibatkan variabel ekonomi, variabel sosial dan variabel
lingkungan - yang semuanya harus diukur sampai batas tertentu. Terdapat banyak
indikator tentang ukuran makroekonomi tradisional, seperti produk nasional bruto (GNP)
dan produktivitas, dengan indikator lingkungan, seperti konsumsi air dan emisi polusi,
dan statistik sosial, seperti harapan hidup dan capaian pendidikan. Tetapi indikator mana
yang paling penting untuk pembangunan berkelanjutan?
83LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
3. Ide kunci dari pembangunan berkelanjutan adalah kaitan antara kesejahteraan generasi
sekarang dan kesejahteraan generasi yang akan datang. Untuk membuat hubungan
ini kita dapat menggunakan konsep kapital. Dalam istilah ekonomi, kapital adalah stok
yang digunakan dalam produksi selama beberapa tahun. Kapital dapat diciptakan
melalui investasi, dan dikonsumsi selama tahunan dan akhirnya aus. Konsep kapital
dapat diterapkan pada sustainability, yang memungkinkan kita mengukur semua tipe
kekayaan yang berkontribusi kepada kesejahteraan secara lebih komprehensif.
4. “Pendekatan kapital’’ merupakan kerangka kerja untuk mengukur pembangunan
berkelanjutan yang beroperasi pada prinsip bahwa mempertahankan kesejahteraan dari
waktu ke waktu membutuhkan kepastian bahwa kita mengganti atau mengkonservasi
kekayaan dalam komponennya yang berbeda-beda. Pendekatan kapital menekankan
perlunya untuk fokus pada penentu pembangunan jangka panjang tidak dengan
mengesampingkan kebutuhan saat ini, melainkan menurut prinsip keberlanjutan.
Pendekatan ini memungkinkan kita untuk membahas dan mengevaluasi apakah yang
kita lakukan sekarang akan berhasil dalam jangka pendek, menengah, dan jangka
panjang, dan bagaimana membahas tentang apakah ada kemajuan, kemunduran, atau
kemandegan.
a. Kapital alam dalam bentuk sumberdaya alam, lahan dan ekosistem yang menyediakan
jasa seperti penyerapan limbah.
b. Kapital finansial seperti saham, bond, dan simpanan mata uang.
c. Kapital buatan seperti mesin, bangunan, telekomunikasi, dan tipe infrastruktur
lainnya.
d. Kapital manusia dalam bentuk tenaga yang sehat dan terdidik.
e. Kapital sosial dalam bentuk jaringan kerja sosial dan kelembagaan.
5. Pembangunan berkelanjutan menyaratkan kepastian bahwa kekayaan nasional per
kapita tidak menurun dengan berjalannya waktu dan, bila mungkin, malah meningkat.
Sebagai contoh, jika kita mengonsumsi semua kapital alam kita dan tidak melakukan
apapun untuk melindungi atau meningkatkannya, sumber kemakmuran ini akan
habis, yang mengarah kepada hasil yang tidak berkelanjutan. Pendekatan kapital
memungkinkan pemantauan bahwa stok kapital tidak menurun hingga tingkat terlalu
rendah.
6. Hal di atas terdengar mudah, tetapi mengoptimumkan kapital melibatkan pengambilan
keputusan penting tentang apa yang dapat digunakan hingga habis dan apa yang harus
diawetkan. Satu pertanyaan penting: dapatkah tipe kapital yang berbeda dipertukarkan
satu terhadap yang lain, sepanjang jumlah totalnya terjaga, atau apakah setiap tipe harus
dipertahankan pada level minimum tertentu? Jawaban praktikal terhadap pertanyaan ini
adalah bahwa hal ini tergantung pada masalahnya. Dalam banyak kejadian, kapital kritis
tertentu adalah esensial bagi berfungsinya dunia dan masyarakat kita secara benar, hal-
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING84
hal yang melaksanakan fungsi esensial dan dapat diganti pada margin hanya dengan
biaya yang sangat tinggi.
7. Meskipun tipe lingkungan dari kapital alam esensial adalah yang pertama terlintas di
pikiran, aspek kapital sosial dan kapital manusia dapat kritikal juga. Bila jaringan sosial
dan norma yang merupakan landasan bagi masyarakat hancur, masyarakat terpecah
sebagaimana terjadi dalam kasus konfl ik dan perang. Hal serupa, tanpa pendidikan,
kapital manusia tidak dapat dipertahankan, yang membuat keberlanjutan secara
keseluruhan menjadi tidak mungkin.
3.3.1 Kriteria dan Indikator Ekonomi
Kriteria ekonomi yang digunakan adalah (1) pengembangan potensi ekonomi
wilayah, terdiri atas 4 indikator dan (2) peningkatan konektivitas nasional, terdiri atas
3 indikator. Adapun indikator yang digunakan untuk setiap kriteria adalah sebagai
berikut:
1. Pengembangan potensi ekonomi wilayah dengan indikator
a. PDRB. Ini merupakan indikator kegiatan ekonomi yang paling banyak d igunakan
dan datanya paling tersedia.
b. Stok sumberdaya alam. Pada dasarnya, semua kegiatan ekonomi diawali dari
sumberdaya alam. Stok sumberdaya alam yang lebih tinggi memberi peluang
yang lebih tinggi bagi ekonomi untuk berkembang.
c. Nisbah anggaran pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan
terhadap nilai sumberdaya alam yang tereksploitasi dari daerah yang
bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh stok dari kapital,
baik berupa kapital buatan, kapital alam, kapital manusia, maupun kapital
sosial. Indikator ini dimaksudkan untuk menangkap bagaimana pengurangan
satu jenis kapital diimbangi dengan reinvestasi untuk memupuk kapital lainnya.
2. Peningkatan konektivitas nasional dengan indikator
a. Stok kapital buatan (jembatan, jalan, pelabuhan) per kapita. Konektivitas sangat
ditentukan oleh ketersediaan kapital buatan. Stok kapital buatan per kapita
akan menentukan tingkat keterlayanan atau kemudahan yang dinikmati oleh
seseorang. Harapannya, stok kapital buatan per kapita meningkat dengan
waktu hingga mencapai steady state.
b. Arus barang dan orang per satuan waktu. Melalui pembangunan, arus barang
dan orang per satuan waktu diharapkan dapat meningkat secara signifi kan.
3.3.2 Kriteria dan Indikator Lingkungan
Kriteria lingkungan terdiri dari:
1. Keberlanjutan fungsi pengaturan dengan indikator stok karbon/emisi, tata air,
85LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
biodiversitas, dan habitat.
2. Keberlanjutan fungsi penyediaan dengan indikator ketahanan pangan
ketersediaan hasil hutan
3. Keberlanjutan fungsi kultural dengan indikator terjaganya situs-situs yang
berperan dalam kegiatan ritual dan kultural.
3.3.3 Kriteria dan Indikator Sosial
Kriteria sosial mencakup 1) peningkatan kapital sosial, terdiri atas 6 indikator sosial, 2)
peningkatan keadilan sosial, terdiri atas 4 indikator.
1. Peningkatan kapital sosial dengan indikator. Kapital sosial sebenarnya masih
menjadi perdebatan dan tingkat akumulasinya paling sullit diukur. Indikator
berikut diharapkan dapat mencerminkan tingkat akumulasi kapital sosial,
meskipun beberapa indikator sebenarnya lebih tepat disebut sebagai indikator
kapital manusia.
a. Konfl ik di masyarakat.
b. Tingkat partisipasi dalam kegiatan bersama.
c. Indeks pembangunan manusia (IPM/HDI)
d. Laju pertumbuhan penduduk.
2. Peningkatan keadilan sosial dengan indikator. Keadilan sosial merupakan isu
sentral dari pembangunan. Tidak jarang kegagalan pembangunan bersumber
dari kegagalan dalam melakukan pemerataan hasil pembangunan yang dipacu
pada laju pertumbuhan yang sangat tinggi.
a. Perimbangan pembagian hasil dari sumberdaya alam, baik langsung maupun
tidak langsung, antara pusat dan daerah. Banyak daerah merasa tidak
puas dengan perimbangan pembagian hasil dari sumberdaya alam yang
dieksploitasi di wilayahnya. Semakin kecil bagian daerah semakin eksploitatif
pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi dan berimplikasi semakin jauh dari
prinsip kelestarian.
b. Gini ratio. Ini merupakan indikator pembagian pendapatan yang umum
digunakan. Bila ketimpangan distribusi pendapatan berlangsung lama, maka
kemungkinan akan terjadi ketimpangan akumulasi kapital dan selanjutnya
akan semakin memperparah distribusi pendapatan. Jadi, gini ratio merupakan
peringatan dini kinerja suatu ekonomi.
c. Tingkat pengangguran/ penyerapan tenaga kerja. Ini merupakan indikator
ekonomi yang sering menimbulkan masalah sosial. Masyarakat dengan tingkat
pengangguran yang tinggi secara umum menghadapi problem sosial yang
lebih berat dibandingkan dengan masyarakat dengan tingkat pengangguran
lebih rendah.
d. Partisipasi/ akses masyarakat local/ adat di dalam kegiatan ekonomi/
pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang
penting merupakan memupuk kapital sosial yang akan berdampak pada
kinerja ekonomi.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING86
87LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
MODUL 4:MEKANISME GREENING MP3EI DI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
1. Deskripsi Singkat
1. Modul ini merupakan bagian dari naskah Pedoman Greening MP3EI Bidang Redd+. Meteri ini
menjelaskan proses operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan yang diturunkan ke
dalam prinsip, kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan.
2. Substansi konseptual pembangunan berkelanjutan diuraikan pada modul Pembangunan
Berkeadilan dan Ramah Lingkungan, sedangkan posisi MP3EI dalam konteks perencanaan
pembangunan berkelanjutan dimuat di dalam modul Review MP3EI.
3. Mekanisme greening MP3EI menguraikan kerangka kerja greening terhadap MP3EI, ataupun
rencana aksi yang akan dibuat oleh Kementerian/Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah dalam
rangka merespon MP3EI menurut sektor atau pembangunan daerah.
2. Tujuan Pembelajaran
1. Untuk membangun pemahaman bahwa proses perencanaan pembangunan nasional
maupun daerah, yang implementasinya akan dilaksanakan oleh pemerintah, swasta ataupun
kemitraan antara pemerintah dan swasta seharusnya mempertimbangkan keseimbangan
kepentingan ekonomi, lingkungan dan social.
2. Untuk membangun pemahaman bahwa kegiatan MP3EI harus terbuka untuk ditinjau
pemenuhannya terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan.
3. Untuk membangun pemahaman bersama terhadap prosedur perlaksanaan perencanaan
pembangunan berkelanjutan secara umum dan secara khusus greening MP3EI, rencana aksi
untuk MP3EI oleh K/L ataupun Pemerintah Daerah.
3. Materi
3.1 Pengantar
Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Substansi dari MP3EI 2011-2025
adalah pengembangan koridor ekonomi Indonesia menggunakan tiga strategi utama
yaitu pengembangan potensi ekonomi, penguatan konektivitas nasional dan penguatan
kemampuan sumber daya manusia dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) nasional.
Latar belakang berupa “masalah MP3EI” yang mendorong tumbuhnya gagasan greening
adalah belum dipenuhinya prinsip lingkungan dan keadilan sosial. MP3EI sebagai kebijakan
pembangunan ekonomi dinyatakan sebagai not business as usual juga dinyatakan
sebagai kebijakan pembangunan yang memiliki perubahan mendasar, khususnya
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING88
perubahan perilaku dan pengembangan konektivitas pusat-pusat pertumbuhan melalui
pembangunan infrastruktur dan pengembangan kegiatan ekonomi dengan skala investasi
besar. Meskipun dinyatakan MP3EI memperhatikan keberlanjutan tetapi yang lebih
tampak adalah kepentingan pembangunan ekonomi, sangat kurang mendukung pada
kepentingan lingkungan dan keadilan sosial, sehingga menimbulkan tidak terpenuhinya
prinsip keberlanjutan. Dari perspektif atau landasan pembangunan berkelanjutan maka
MP3EI masih bernuansa business as usual.
Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) pasal 15 bahwa pemerintah wajib memastikan bahwa
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.
Greening MP3EI dilakukan untuk “bukan sekedar mencari pembenaran dengan mengarahkan
pemenuhan prinsip keberlanjutan termasuk juga keselarasan dengan sasaran program
REDD+ khususnya aspek lingkungan dan sosial. Yang lebih mendasar adalah konsistensi
pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan nasional (UU No 25 tahun 2004, pasal
9) maupun amanat RPJPN 2005-2025 (UU No 17 Tahun 2007) yang maknanya bahwa
pembangunan melandaskan pada kerangka pembangunan berkelanjutan”. Berdasarkan
hal ini maka seharusnya setiap kebijakan ,rencana ataupun program pembangunan harus
disusun sedemikian rupa melalui mekanisme dan instrumen yang ada untuk memenuhi
syarat keterujian terhadap kepentingan masyarakat/ rakyat secara keseluruhan pada aspek
ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.
Tujuan penyusunan Pedoman Greening MP3EI Bidang REDD+ adalah “memberikan pedoman
implementasi pemenuhan prinsip, kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan
yang meliputi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi ke dalam kegiatan MP3EI yang akan
dituangkan dalam perencanaan pembangunan di tingkat nasional maupun daerah”.
89LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Kerangka pikir atau konsep pada pedoman greening (dan juga tertuang pada beberapa
modul greening ini) sesungguhnya dapat diadopsi untuk kepentingan perencanaan
pembangunan secara umum pada tingkat nasional/ sektor maupun daerah.
3.1 Kerangka Kerja Prosedur Greening
Mekanisme penggunaan pedoman greening terdiri dari (1) Penggunaan untuk
penyusunan dokumen rencana strategis kementrian/lembaga pemerintah non kementrian
dan (2) Penggunaan untuk penyusunan dokumen rencana percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota,
yang diintegrasikan pada RPJMN atau RPJMD.
Mekanisme kerja penyusunan RPJM, Renstra K/L dilakukan melalui urutan kegiatan sebagai
berikut:
a. Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan /Renstra K/L
b. Penyiapan rancangan rencana kerja
c. Musyawarah perencanaan pembangunan
d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan
Mekanisme kerja greening haruslah merupakan proses pengambilan keputusan yang
melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) seperti para perencana di instansi
pemerintah, swasta, peneliti dari lembaga penelitian dan perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat yang terkait pengelolaan sumberdaya, lingkungan dan pembangunan,
masyarakat khususnya yang potensial terkena dampak negatif.
Kerangka tahapan kerja greening MP3EI menggambarkan proses yang dilakukan melewati
penapisan dengan indikator Redd+ maupun pembangunan berkelanjutan. Kerangka kerja
greening ini terbagi atas dua proses yaitu proses pengambilan keputusan MP3EI (proses
greening MP3EI); proses keputusan optimalisasi alokasi ruang. Kedua proses diuraikan di
bawah ini.
1. Pengambilan keputusan greening MP3EI. Proses ini melalui adopsi kerangka kerja KLHS
untuk mengkaji apakah kegiatan MP3EI memenuhi keberlanjutan atau tidak terpenuhi.
Dengan demikian hasil dari proses ini apakah MP3EI stop karena tidak memenuhi
keberlanjutan atau diteruskan untuk menjadi rencana pembangunan yang siap
diimplementasikan oleh pemerintah, swasta atau masyarakat.
2. Pengambilan keputusan penggunaan ruang optimal diantara alternative MP3EI dan
REDD+. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa kegiatan REDD+ ataupun MP3EI harus
memenuhi keberlanjutan, dan kedua alternative kegiatan itu adalah bebas dipilih untuk
dilaksanakan di lokasi tersebut. Hasil proses ini adalah keputusan penggunaan ruang
yang optimal diantara kedua alternative kegiatan pembangunan tersebut.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING90
Secara umum Pengambilan Keputusan Greening MP3EI mencakup 4 tahap utama :
Tahap 1 : Apakah MP3EI objek greening.
Tahap 2 : Apakah MP3EI memenuhi keberlanjutan
Tahap 3 : Analisis trade off antara MP3EI semula (tanpa greening) dan setelah greening
(dengan greening)
Tahap 4 : Pengambilan keputusan
Adapun Pengambilan Keputusan Optimalisasi mencakup 3 tahap yaitu :
Tahap 1 : Penilaian kriteria/indikator (C/I) kegiatan Redd+ dan MP3EI yang telah lulus
penapisan greening MP3EI.
Tahap 2 : Analisis trade off antara REDD+ dan MP3EI
Tahap 3 : Pengambilan keputusan berdasarkan input analisis trade off .
91LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Kerangka kerja greening secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1.
KEGIATAN
MP3EI
TIDAKSTOP:
MP3EI BUKAN OBJEK
GREENINGKEGIATAN
REDD+
MP3EI
OBJEK
GREENING?
RTRW, SRAP,
AREAL REDD+
TIDAK
YA
YA
I/1
I/2
I/5
I/6
I/7
I/8I/4
II/3
II/2
I/3
APAKAH MP3EI
BERKELANJUTAN
?
PENILAIAN C/I
KEGIATAN REDD+
PENILAIAN C/I
MP3EI -1
(BERKELANJUTAN)
• KONDISI RUANG
• STAKEHOLDERS
ANALISIS GREENING:
• ALTERNATIF LOKASI
• MUATAN MP3EI
• ADAPTASI/ MITIGASI
ANALISIS
TRADE OFF -1
ANALISIS PRASYARAT
PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
STOP:
MP3EI “NOT GREEN”
MP3EI
“GREEN”
PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
OPTIMAL
REDD+ VS MP3EI
ANALISIS
TRADE OFF -2
PENILAIAN C/I
MP3EI-1a
(TANPA GREENING)
PENILAIAN C/I
MP3EI-1b
(DENGAN GREENING)
PR
INS
IP K
EB
ER
LA
NJU
TA
N:
C&
I EK
ON
OM
I-LIN
GK
UN
GA
N-S
OS
IAL
Gambar 4.1. Kerangka tahapan pelaksanaan greening MP3EI
Tahap 1 dianalisis melalui bantuan peta RTRW, rencana areal hutan (termasuk gambut)
untuk dipertahankan sebagai hutan atau areal REDD+, yang di superimpose (overlay)
dengan peta lokasi MP3EI. Jika MP3EI berada di dalam rencana areal REDD+ maka MP3EI di
lokasi ini sebagai objek greening.
Tahap 2 menyangkut penapisan keberlanjutan, yang sesungguhnya mencakup dua
kegiatan yaitu :
a) Analisis kesesuaian ruang
b) Analisis trade off , tetapi untuk penjelasan analisis trade off ini dimasukan pada tahap 3.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING92
Penapisan menurut analisis kesesuaian ruang, mencakup :
a) Kesesuaian aspek legal areal Redd+/ kawasan hutan.
Kesesuaian areal lokasi MP3EI terkait dengan status legal kawasan hutan. Kesesuaian
aspek legal ini menyangkut prinsip kepatuhan terhadap hukum. Jika menurut PP/
Perda RTRW (nasional,provinsi, kabupaten/kota) lokasi MP3EI berada di kawasan hutan
dan mengakibatkan perubahan fungsi kawasan atau penggunaan tata ruang, berarti
perlu analisis greening menyangkut alternatif lokasi MP3EI. Alternatif yang dapat
dikembangkan memilih lokasi baru di luar kawasan hutan, mengusulkan revisi kawasan
hutan melalui revisi RTRW.
b) Kesesuaian dari aspek “sensitivitas” kondisi ruang yang mencakup kondisi biofi sik dan
social budaya terhadap risiko ketidakberlanjutan, pada satuan analisis berupa bentang
alam.
Kondisi biofi sik yang penting diperhatikan adalah : kondisi tingkat kekritisan DAS, fungsi
hutan (hutan konservasi dan lindung, hutan produksi tetap ataupun dapat dikonversi),
tutupan lahan (hutan kerapatan tinggi, sedang dan rendah, semak belukar,dll) kondisi
tanah mineral dan gambut, keberadaan masyarakat adat/ lokal terkait dengan status
lahan masyarakat adat / masyarakat lokal serta sumberdaya yang menjadi sumber
penghidupan masyarakat tersebut, ataupun kebutuhan kegiatan budaya serta
peninggalan budaya, keberadaan dan kondisi habitat satwa.
Analisis sensitivitas dan risiko yang timbul dapat dilakukan menggunakan matriks
yang menghubungkan antara karakteristik kondisi biofi sik dan social budaya tersebut
terhadap karaterisitik kegiatan MP3EI, dan implikasinya terhadap tingkat/derajat risiko
ketidakberlanjutan. Tingkat risiko ini bisa dibuat klasifi kasi yaitu risiko tinggi, sedang dan
rendah. Contoh matriks disajikan pata Tabel 1.
Tabel 1. Ilustrasi identifi kasi potensi keberlanjutan MP3EI menurut tipologi kondisi ruang
AspekTingkat Risiko Ketidakberlanjutan Menurut Kondisi Ruang
Kondisi -1 Kondisi -2 Kondisi -3
Lingkungan Risiko tinggi Risiko sedang Risiko rendah
Sosial Budaya Risiko tinggi Risiko sedang Risiko rendah
Kegiatan MP3EI yang berada di ruang yang mempunyai tingkat ketidakberlanjutan sedang
sampai tinggi, perlu dilanjutkan analisis greening.
Analisis greening adalah kajian atau evaluasi untuk mengatasi atau mengurangi tingkat
risiko ketidakberlanjutan MP3EI. Analisis ini anatara lain mencakup :
a) Analisis alternative lokasi
b) Analisis alternative muatan MP3EI (luas areal, tingkat produksi)
93LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
c) Analisis adaptasi dan mitigasi, yaitu pilihan teknologi seperti teknologi yang menyangkut
rancangan pengolahan tanah/lahan, pola pemilihan dan kombinasi jenis tanaman,
konstruksi jalan dan jembatan, restorasi/rehabilitasi, pola pengelolaan kolaboratif, sistem
insentif dan lain-lain.
Analisis greening dapat dilakukan secara berulang-ulang (iteratif ) sehingga diperoleh
beberapa alternatif. Pada tahap penapisan keberlanjutan ini dilakukan penilaian C/I
keberlanjutan. Indikator keberlanjutan yang dijadikan ukuran mencakup aspek lingkungan
sisal budaya dan ekonomi (prinsip, kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan dilihat
di Modul Pembangunan Berkeadilan dan Ramah Lingkungan). Penilaian C/I dilakukan pada :
a) Kegiatan MP3EI semula (sebelum analisis greening)
b) Kegiatan MP3EI setelah ada upaya greening (beberapa alternatif )
Setelah penilaian C/I, selanjutnya adalah analisis trade off pada tahap 3.
Tahap 3 analisis trade off melalui hasil penilaian adalah untuk menguji apakah upaya greening
berhasil memperbaiki kinerja MP3EI terhadap risiko lingkungan/ ketidakberlanjutan
dibandingkan rancangan / muatan MP3EI semula.
Tahap 4, pengambilan keputusan berdasarkan hasil tahap 2 dan 3 di atas. Mekanisme
pengambilan keputusan melibatkan keikutsertaan para pemangku kepentingan. Teknik
dan kriteria yang digunakan di dalam pengambilan keputusan terhadap informasi hasil
penilaian C/I dan analisis trade off , didasarkan atas “Pengembangan Standar Lokal”. Adapun
alternatif teknik/ metode pengambilan keputusan antara lain teknik pembobotan (rating),
ataupun proses analisis hirarkis (analytical hierarchy process).
Hasil keputusan dua kemungkinan yaitu a) Stop MP3EI “not green”, meskipun telah
diupayakan greening, b) MP3EI “green” dapat diusulkan sebagai rencana pembangunan.
Setelah keputusan MP3EI “green” dilanjutkan dengan proses Pengambilan Keputusan
optimalisasi antara MP3EI “green” dengan alternative Redd+. Proses ini juga melalui penilaian
C/I kinerja kedua usulan itu, yang selanjutnya dilakukan analisis trade off . Penilaian C/I dan
analisis trade off menjadi input di dalam pengambilan keputusan optimalisasi, dengan
“Pengembangan Standar Lokal”.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING94
95LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
MODUL CAPACITY BUILDINGPENGARUSUTAMAAN REDD+ DALAM SISTEM PERENCANAAN NASIONAL
LATAR BELAKANG
Salah satu mandat Working Group 9, Satgas REDD+ (Peraturan Presiden N0. 25 Tahun 2011) adalah
menyusun Pedoman Pengarus-Utamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Nasional yang
bertujuan untuk memberikan panduan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam mengadopsi
Stranas REDD+ yang telah dijabarkan menjadi RAN REDD+ dan/atau SRAP REDD+ dalam penyusunan
kebijakan, strategi, program dan kegiatan pembangunan sebagai bagian dari RAN/RAD GRK.
Mengingat konteks dan ruang lingkupnya yang mengedepankan cara-cara baru dalam mengelola
hutan dan lahan gambut secara terpadu dan lintas sektor (business unusual), implementasi sistem
perencanaan pembangunan semestinya diperbaiki untuk meningkatkan sinergi, efektivitas dan
efi siensi kinerja pembangunan nasional dan daerah. Dalam konteks ini, pembangunan tidak
semata-mata berorientasi pada target, namun harus mampu menjawab kebutuhan prakondisi
(enabling condition) dan masalah yang harus diselesaikan dalam mencapai suatu target, termasuk
meningkatkan manfaatnya bagi masyarakat dan tata lingkungan hidup. Seluruh aktivitas REDD+
terfokus pada perbaikan kinerja sektor pembangunan berbasis lahan, terutama kehutanan dan
pertanian lahan gambut, serta pengendalian dampak negatif terhadap luas kawasan hutan tetap,
keanekaragaman hayati dan penghidupan masyarakat lokal akibat konversi hutan alam dan kawasan
hutan menjadi lahan pertanian, kebun, tambang dan pembangunan infrastruktur lainnya. Modul
ini disusun untuk mengambangkan kapasitas para perencana pembangunan dalam mengadopsi
panduan yang telah disiapkan oleh WG 9 tersebut.
Para perencana pembangunan seyogyanya telah sangat akrab dengan sistem perencanaan
pembangunan nasional, khususnya dalam penyusunan RPJMD dan RKPD Pemerintah Provinsi.
Dalam tugas pokok dan fungsi perencanaan tersebut, pengarusutamaan REDD+ merupakan strategi
pengintegrasian Stranas REDD+ dan RAN REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, tanpa mengabaikan rencana kerja pembangunan pemerintah dan pemerintah daerah
yang telah disusun sebelumnya. Secara operasional pengarusutamaan REDD+ merupakan
proses adopsi RAN REDD+ dan pengembangan inisiatif baru dalam perencanaan, penganggaran
maupun pelaksanaan kebijakan pembangunan. Pengarusutamaan merupakan strategi proses yang
berorientasi jangka panjang dan terfokus pada penyediaan kondisi pemungkin (enabling condition)
bagi pengelolaan hutan dan lahan gambut pada skala lansekap secara berkelanjutan yang didukung
sepenuhnya oleh kebijakan nasional dan daerah, serta tata kepemerintahan pembangunan nasional
yang baik (good governance) dan keberterimaan masyarakat/pelaku pembangunan di seluruh sektor
berbasis lahan.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING96
Modul ini diharapkan mampu memberikan arahan dan memandu para perencana dalam memahami
Pedoman Pengarus-utamaan REDD+ Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
mengadopsinya dalam perencanaan daerah, baik RPJMN maupun RKPD. Pada prinsipnya para
perencana diharapkan mampu mengadopsi secara menyeluruh program/kegiatan REDD+ sebagai
bagian integral dari proses pencapaian tujuan pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh semua
sektor pembangunan, terutama pada sektor pembangunan berbasis lahan yang terkait langsung
dengan isu-isu REDD+. Selain itu, pengarusutamaan dilakukan dengan berlandaskan pada prinsip
efi siensi, efektivitas, keadilan, transparansi dan akuntabilitas program sesuai ketersediaan dana
Pemerintah/Pemerintah Daerah dan dana lain yang mungkin dapat digunakan dalam pembangunan
nasional/daerah.
DESKRIPSI RINGKAS
Secara keseluruhan, modul ini menyajikan pokok dan sub pokok bahasan yang berkaitan dengan
REDD+ dan proses pengarus-utamaannya ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional,
khususnya perencanaan pembangunan di daerah. Modul ini berusaha menjawab beberapa
pertanyaan kunci sebagai berikut:
1. Mengapa REDD+ penting bagi pembangunan nasional/daerah?
2. Adakah landasan hukum dan kebijakan yang kuat bagi implementasi REDD+ dalam pembangunan
nasional?
3. Apa konteks REDD+ dalam perencanaan pembangunan nasional/daerah?
4. Bagaimana REDD+ dapat diadopsi secara menyeluruh ke dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional, khususnya pembangunan daerah?
5. Bagaimana mekanisme pendanaan REDD+ dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional, khusunya pembangunan daerah?
Untuk mewujudkan harapan dalam peningkatan kapasitas perencanaan nasional/daerah, modul ini
dilengkapi, dan merupakan bagian tak terpisahkan, dengan beberapa bacaan wajib, yaitu:
1. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 mengenai RAN-GRK
2. Strategi Nasional REDD+
3. Rencana Aksi Nasional REDD+
4. Pedoman Pengarusutamaan REDD+ Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Selain bacaan wajib tersebut, modul ini dilengkapi dengan berbagai bahan bacaan yang berkaitan
dengan isu perubahan iklim, khususnya REDD+.
TUJUAN
Modul ini disusun untuk meningkatkan kapasitas peserta dalam mengarusutamakan REDD+ dalam
proses perencanaan nasional/daerah. Setelah menggunakan modul ini, para peserta diharapkan
dapat meningkatkan kompetensinya dalam menyusun rencana pembangunan yang mendukung
secara penuh pencapaian tujuan REDD+ pada tingkat nasional/daerah.
97LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK
Berdasarkan tujuan tersebut, materi pokok dan submateri pokok yang disajikan dalam modul ini adalah:
1. Review mengenai Perubahan Iklim, REDD+ dan Pembangunan Nasional/Daerah:
a. Perubahan Iklim dan dampaknya bagi manusia
b. Perubahan Iklim dan Hutan
c. REDD+ sebagai upaya mitigasi perubahan iklim
d. Permasalahan Pembangunan dan Dampaknya Terhadap Hutan
e. REDD+ dan Pembangunan Nasional/Daerah
2. Review mengenai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berkaitan dengan REDD+:
a. Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2011 tentang RAN GRK
b. Stranas dan RAN REDD+
c. Kebijakan REDD+ menuju Good Forestry/Land Governance
3. REDD+ Dalam Pembangunan Nasional/Daerah
a. Ruang Lingkup REDD+
b. Konteks REDD+ dalam Perencanaan Pembangunan Nasional/daerah
c. Kedudukan REDD+ dalam Perencanaan Pembangunan Nasional/Daerah
4. Proses Pengarus-utamaan REDD+ dalam RKPD dan RPJMD
a. Strategi Umum Pengarus-utamaan REDD+
b. Adopsi REDD+ dalam RKPD
c. Adopsi REDD+ dalam RPJMD
d. Mekanisme pendanaan
e. Kebijakan Pendukung
5. Pengawasan dan Evaluasi Implementasi REDD+
a. Tahap Perencanaan
b. Tahap Implementasi
c. Tahap Evaluasi
MATERI POKOK #1
● Judul: Perubahan Iklim, REDD+ dan Pembangunan Nasional/Daerah
● Deskripsi Ringkas
Isu perubahan iklim secara konsisten berusaha dipertahankan momentumnya oleh masyarakat
global melalui berbagai wadah internasional untuk mendapatkan kesepakatan dan
komitmen Negara-negara di dunia dalam upaya menurunkan tingkat emisi global yang kian
mengkhawatirkan. Sangat disadari bahwa perubahan iklim akan memberikan dampak yang
sangat besar bagi kehidupan manusia, mulai dari perubahan tata lingkungan hidup, peningkatan
frekuensi bencana alam dan tuntutan perubahan gaya hidup yang berasosiasi dengannya. Hal ini
membutuhkan kesiapan seluruh Negara di dunia untuk melakukan proses adaptasi dan mitigasi.
Melalui berbagai konvensi internasional, Negara-negara didorong untuk menegosiasikan
kepentingan nasional dan komitmennya dalam memberikan upaya penurunan emisi negaranya
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING98
masing-masing. Salah satu konvensi internasional yang telah diratifi kasi Indonesia yang menjadi
dasar pengaturan perubahan perubahan iklim nasional adalah Konvensi Kerangka Kerja Persatuan
Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework on Climate Change
Convention/UNFCCC)) yang kemudian disahkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994
tentang Pengesahan UNFCCC. Dengan demikian Indonesia telah menambahkan perangkat
hukum nasional yang menjadi landasan bagi pengaturan perubahan iklim dan pembangunan
berkelanjutan. Selanjutnya berbagai produk hukum dan kebijakan telah ditetapkan untuk
memperlengkapi Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim melalui berbagai
perangkat rencana aksi adaptasi maupun mitigasi.
● Tujuan Khusus
Peserta memahami pentingnya Isu Perubahan Iklim, REDD+ dan implikasinya bagi pembangunan
nasional/daerah.
● Pokok-Pokok Materi
1. Dampak negatif perubahan iklim semakin nyata dan terbukti telah menerpa di Indonesia.
Bukti dan dampak negative tersebut baru-baru ini disampaikan melalui the Indonesia Country
Report on Climate Variability and Climate Change yang disusun oleh para ahli dari berbagai
sektor dan institusi terkait, yang berisi ulasan analitis mengenai dampak perubahan iklim
di Indonesia. Bukti-bukti tersebut sesuai dengan hasil kajian secara global yang dilakukan
oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dampak-dampak tersebut memiliki
tantangan terhadap pembangunan dalam aspek lingkungan sosial dan ekonomi secara
berkelanjutan, serta terhadap pencapaian tujuan pembangungan Indonesia. Untuk mengatasi
hal tersebut, kita perlu segera mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke
dalam system perencanaan pembangunan nasional. Kita perlu mempersiapkan masyarakat
agar lebih siap, tahan dan kuat terhadap ancaman yang diakibatkan oleh perubahan iklim.
Menjawab tantangan tersebut masih banyak diperlukan publikasi buku-buku bagi masyarakat
yang haus akan informasi terkait masalah perubahan iklim.
2. Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia pada pertemuan G-20 di Pittsburg menyatakan
komitmennya untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dengan usaha
sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020 dari kondisi
tanpa adanya rencana aksi (business as usual). Sebagai implementasi komitmen penurunan
emisi tersebut, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). RAN GRK merupakan dokumen
rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung
menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional. Kegiatan
RAN GRK meliputi bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi,
industri, pengelolaan limbah dan kegiatan pendukung lain. Persentase terbesar penurunan
emisi diproyeksikan akan berasal dari bidang berbasis lahan yaitu pertanian dan kehutanan,
termasuk didalamnya adalah lahan gambut.
99LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
3. Penyusunan dan peluncuran Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR)
mengejawantahkan hasil-hasil negosiasi di tingkat internasional melalui UNFCCC. Pada
tingkat nasional ICCSR menjadi acuan perumusan RAN-GRK dan Strategi Nasional REDD+.
Strategi Nasional REDD+ perlu dirinci pada tataran teknis ke dalam dokumen Rencana Aksi
Nasional REDD+ (RAN REDD+) untuk diadopsi ke dalam rencana pembangunan nasional dan
APBN untuk memastikan ketersediaan anggaran guna memperbaiki kinerja pembangunan
berbasis sumberdaya hutan dan lahan gambut. Pada tingkat daerah, sesuai dengan amanat
dari pasal 6 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden No.61 Tahun 2011 tentang RAN GRK, tiap-tiap
Provinsi diwajibkan untuk menyusun dokumen Rencana Aksi Daerah GRK (RAD GRK) dengan
berpedoman pada RAN GRK dan prioritas pembangunan daerahnya masing-masing. Khusus
untuk REDD+, Stranas REDD+ dan RAD GRK dituangkan menjadi Strategi dan Rencana Aksi
Propinsi (SRAP) REDD+ di tingkat provinsi untuk kemudian diadopsi ke dalam perencanaan
pembangunan daerah. Keseluruhan proses ini dikenal dengan istilah pengarusutamaan
REDD+.
4. Strategi Nasional REDD+ dibangun untuk mencapai tujuan jangka panjang yang dijabarkan
sebagai berikut: (i) menurunkan emisi GRK yang berasal dari sektor pengguna lahan dan
perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change, and Forestry/LULUCF); (ii)
meningkatkan simpanan karbon; (iii) meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati; dan
(iv) meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan. Kerangka program REDD+
terdiri dari lima pilar strategis yang saling terkait satu sama lain, namun memiliki sasaran
secara keseluruhan mendorong terwujudnya tata kepemerintahan yang baik di seluruh sektor
berbasis lahan, termasuk konektivitasnya dengan Lembaga REDD+ tingkat nasional, propinsi
dan kabupaten.
● Bacaan Khusus
1. Rencana Aksi Nasional untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.
2. Sisi Lain Perubahan Iklim: Mengapa Indonesia Harus Beradaptasi Untuk Melindungi Rakyat
Miskinnya (UNDP Indonesia, 2007).
3. Indonesian Climate Change Sectoral Road Map (December, 2009).
4. Roadmap of Mainstreaming Climate Change Issue into National Development Planning.
5. Peraturan Presiden Nomor. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK.
MATERI POKOK #2
● Judul: Peraturan Perundang-undangan REDD+
● Deskripsi Ringkas
REDD+ (Reducing Emission from Deforestation & Degradation) baik sebagai suatu kegiatan
(activity) maupun mekanisme insentif merupakan suatu isu lintas sektor (cross-cutting issue)
yang secara substansi pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING100
Sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan dan lingkungan hidup adalah sektor-sektor kunci
yang secara riil mempengaruhi keberhasilan penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan dan lahan gambut dalam mengimplementasikan REDD+. Berbagai peraturan perundang-
undangan yang mengatur sektor-sektor tersebut mendefi nisikan ruang lingkup pengaturan
kegiatan REDD+ maupun batas spasial yang menjadi ruang lingkup REDD+. Selain pengaturan
kegiatan di sektor riil, peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang menjadi
tolok ukur penting dalam keberhasilan implementasi REDD+ terutama terkait dengan kesesuaian
pemanfaatan ruang yang disasar menjadi lokus kegiatan REDD+ dengan berbagai kegiatan
sektor riil yang semakin menekan ketersediaan ruang untuk REDD+. Secara khusus Pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan iklim yang dituangkan ke dalam Peraturan
Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK.
● Tujuan Khusus
Peserta memahami berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perubahan iklim
dan REDD+ serta implikasinya dalam pembangunan nasional/daerah.
● Pokok-Pokok Materi
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) dalam konteks
REDD+ membatasi lingkup kegiatan REDD+ yang berada dalam kawasan hutan dan
mengatur pengendalian penggunaan lahan dalam kawasan hutan untuk kegiatan-kegiatan
non kehutanan yang berimplikasi pada kegiatan penurunan tutupan hutan, konversi hutan
dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. UU 41/1999 juga mewajibkan Pemerintah
untuk menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan sebagai upaya pemberian kepastian
hukum dan penyelesaian konfl ik bagi para pemegang kepentingan terutama masyarakat yang
tinggal dalam dan disekitar kawasan hutan. Selain itu, UU 41/1999 juga memberikan ruang
untuk diselenggarakannya kegiatan non-kehutanan di kawasan hutan melalui pemberian izin
pinjam pakai. Dalam keadaan tertentu, disediakan pula ruang untuk perubahan peruntukan
kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan. Dalam hubungannya dengan
implementasi REDD+, berbagai upaya pelepasan kawasan hutan (perkebunan, pemukiman)
untuk kepentingan pembangunan nasional maupun daerah harus dapat dikendalikan dan
dipertanggungjawabkan secara hukum.
2. Perencanaan kehutanan dan pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan berpegang pada
rencana tata ruang wilayah yang pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang (UU 26/2007). UU 26/2007 beserta peraturan pelaksanaannya
memberikan acuan dalam perencanaan, pemanfaatan, pembinaan dan pengawasan alokasi
ruang yang harus menjadi dasar perencanaan pembangunan nasional maupun daerah. Hal
yang sama juga berlaku jika dalam penyusunan RTRW, terdapat usulan perubahan peruntukan
dan fungsi kawasan hutan yang mana harus ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebelum
usulan tersebut dapat dimasukan ke dalam perubahan RTRW yang bersangkutan. Dengan
demikian diperlukan pemahaman dalam mengharmonisasikan ketentuan antara Peraturan
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 10
101LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2012.
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009)
berperan sebagai pengendali dampak pengalokasian ruang beserta pemanfaatannya
terhadap lingkungan. UU 32/2009 memandatkan perlindungan dan pengendalian dampak
lingkungan atas pelaksanaan pembangunan melalui instrumen Rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang
digunakan pada tahap perencanaan pembangunan nasional maupun daerah. Pada tahap
perencanaan, RPPLH menjadi acuan dalam pemanfaatan dan pengeloaan sumber daya alam
di suatu wilayah dengan mempertimbangkan ketersediaan cadangan sumber daya alam,
fungsi lingkungan hidup, pemantauan dan pelestarian sumber daya alam serta adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim. Sedangkan KLHS berperan penting dalam mengkaji suatu kebijakan,
rencana atau program pembangunan yang melibatkan perencana tata ruang wilayah yang
berpotensi berdampak pada lingkungan dan masyarakat. Dalam hubungannya dengan
implementasi REDD+, kedua instrumen ini menjadi alat bantu yang wajib diterapkan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan
terutama untuk pengalokasian ruang dan pemberian izin pemanfaatan sumber daya alam
yang bersifat ekstraktif dan eksploitatif dan berdampak pada penurunan tutupan hutan dan
kerusakan lingkungan hidup.
4. Peraturan perundang-undangan tersebut di atas beserta peraturan pelaksanaannya
merupakan beberapa aturan teknis yang mengawal keberhasilan proses perencanaan
pembangunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam hubungannya dengan pengarusutamaan
REDD+ ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional maupun daerah, seluruh
instrumen yang dimandatkan peraturan perundang-undangan tersebut wajib menjadi
acuan dalam perencanaan pembangunan. Kesemuanya menjadi prasyarat keberhasilan
REDD+. Kebijakan lain yang ditetapkan Pemerintah dalam mendukung pencapaian REDD+
adalah melalui Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut.
5. Dari sisi perencanaan dan penganggaran, maka implementasi perencanaan pembangunan
akan dikembalikan kepada pembagian kewenangan antar susunan dan/atau tingkat
pemerintahan yang harus dibagi habis. Dengan didasari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah maka diperlukan sinergitas dan harmonisasi antara program
dan kegiatan tingkat pusat dan daerah maupun dari sisi penganggaran sehingga dipastikan
optimalisasi pelaksanaan dan pencapaian target dalam program dan kegiatan. Pemetaan pihak
yang bertanggungjawab atas suatu kegiatan di lokus yang spesifi k ditentukan oleh Undang-
Undang juga menentukan beban anggaran yakni APBN ataupun APBD sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kaitannya dengan
implementasi REDD+ bahwa agar seluruh kegiatan REDD+ dapat dikembalikan ke tupoksi
sektoral di Pusat maupun Daerah sehingga seluruh kegiatan dapat diserap seluruhnya dan
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING102
dipertanggungjawabkan.
6. Landasan hukum REDD+ sebagai bagian dari upaya penurunan emisi Indonesia harus dapat
dikembalikan kepada Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah
Kaca (RAN GRK) khusus bidang kehutanan dan lahan gambut. RAN GRK maupun RAD GRK
berisi kegiatan-kegiatan yang sudah terdapat dalam rencana pembangunan nasional (RPJMN/
RKP/Renstra K/L) maupun daerah (RPJMD/RKPD/Renstra SKPD) yang wajib dilaksanakan
Kementerian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah dan diproyeksikan dapat menurunkan
emisi GRK. Dengan demikian, REDD+ harus terintegrasi dalam kegiatan-kegiatan pencapaian
target emisi dalam RAN GRK maupun RAD GRK melalui fungsi debottlenecking, troubleshooting
dan penyiapan kondisi pemungkin.
7. Berdasarkan uraian di atas, pengarusutamaan REDD+ ke dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional merupakan suatu proses integrasi kebijakan REDD+ ke dalam rencana
kerja pemerintah yang melibatkan penerapan ketentuan-ketentuan yang tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Pengkajian dan harmonisasi peraturan perundang-
undangan lintas sektoral menjadi salah satu prasyarat yang dibutuhkan dalam memantapkan
implementasi REDD+ selain penegakkan hukum.
● Bacaan Khusus
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on
Biodiversity.
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Framework
Convention on Climate Change.
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United
Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka
Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim).
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional.
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
10. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
11. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025.
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
15. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
103LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
16. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar
Negeri dan Penerimaan Hibah.
17. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2012.
18. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012.
19. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014.
20. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian.
21. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca
(RAN GRK).
MATERI POKOK #3
● Judul: REDD+ Dalam Pembangunan Nasional/Daerah
● Deskripsi Ringkas
Indonesia sebagai “mega-biodiversity country” yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 130
juta ha (lk. 70 persen dari luas daratan) berpeluang besar untuk mendapatkan manfaat dari
insentif REDD+ sepanjang mampu membuktikan kinerja pengelolaan sumberdaya hutan dan
lahan gambut yang terbukti dapat mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degaradasi
hutan. Selain itu, Indonesia juga berkepentingan untuk mengurangi emisi yang cukup besar dari
sektor kehutanan dan penggunaan lahan dengan menurunkan tingkat deforestasi dan degradasi
hutan secara signifi kan, serta ikut menekan laju pemanasan global karena termasuk salah satu
negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Untuk mendapatkan insentif REDD+
perlu dipahami secara mendalam ruang lingkup REDD+, konteks REDD+ dalam perencanaan
pembangunan nasional/daerah, serta kedudukan REDD+ dalam perencanaan pembangunan
nasional/daerah.
● Tujuan Khusus
Peserta memahami pentingnya REDD+ dalam pembangunan nasional, khususnya sebagai bagian
dari RAN-GRK dan instrumen untuk membenahi tata keperintahan kehutanan dan lahan gambut
di Indonesia.
● Pokok-Pokok Materi
1. Ruang Lingkup REDD+ dapat dilihat dari beberapa perspektif, antara lain: substansi REDD+,
strategi untuk mewujudkan substansi tersebut dan ruang lingkup spasialnya.
2. Secara umum, REDD+ menuntut ketersediaan lahan yang secara legal dialokasikan sebagai
lahan hutan tetap, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, yang harus dikelola secara
berkelanjutan melalui upaya mempertahankan semaksimal mungkin hutan alam, termasuk
hutan adat, yang masih ada, melakukan restorasi ekosisrem dan pembangunan hutan
tanaman, termasuk hutan rakyat. Dengan cara ini, REDD+ akan menyumpangkan penurunan
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING104
emisi karbon yang menjadi tujuan utama adaptasi perubahan iklim.
3. Mekanisme legal yang harus dipatuhi oleh seluruh pelaku pembangunan adalah perencanaan
tata ruang yang secara jangka panjang telah memproyeksikan lahan hutan tetap yang harus
dipertahankan.
4. Agar mampu mewujudkan keberhasilan, pencapaian tujuan REDD+ harus direncanakan secara
terintegrasi untuk mengatasi akar masalah deforestasi dan degradasi hutan yang dihadapi
selama ini, serta dipadukan dengan RAN/RAD GRK dan seluruh dokumen perencanaan
nasional/daerah (RPJMN/D dan RKP/D) yang mengikat secara hukum.
Bacaan Khusus
1. Pedoman Pengarus-utamaan REDD+ dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Bab
II: Ruang Lingkup Pengarus-utamaan)
2. RAN GRK (Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut)
3. Stranas REDD+ (Bab II: Strategi Nasional REDD+)
4. RAN REDD+ (Bab I s/d Bab III)
MATERI POKOK #4
● Judul: Proses Pengarus-utamaan REDD+ Dalam RKPD dan RPJMD
● Deskripsi Ringkas
Dalam rangka menuju visi pembangunan nasional Indonesia (UU No.17/2007), yaitu: “Mewujudkan
Indonesia Asri Lestari”, Pemerintah RI telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca atau RAN GRK, rencana menyeluruh untuk mengurangi emisi sesuai dengan
komitmen 26%/41% Indonesia yang dituangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun
2011 pada bulan September 2011. Pada tanggal 28 Oktober 2011, pemerintah telah meluncurkan
“dokumen rencana kerja pelaksanaan kegiatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai
dengan target nasional”. Rencana ini menargetkan enam sektor: pertanian, kehutanan dan lahan
gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah dan kegiatan pendukung lainnya.
Rencana ini mengidentifi kasi target pengurangan emisi untuk setiap sektor, kegiatan dan tujuan
dalam setiap sektor tersebut dan mengidentifi kasikan kementerian terkait yang bertanggung
jawab untuk setiap kegiatan.
REDD+ adalah sebuah komponen penting RAN GRK dan enam strategi relevan telah diidentifi kasi:
(i) mengurangi deforestasi dan degradasi hutan untuk mengurangi emisi GRK; (ii) meningkatkan
wilayah penanaman hutan untuk meningkatkan penyerapan GRK; (iii) memperbaiki perlindungan
hutan dari kebakaran dan pembalakan liar, dan meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjutan;
(iv) memperbaiki pengelolaan air dan wilayah resapan air dan menstabilisasi tingkat air di
wilayah gambut; (v) mengoptimalkan sumber daya lahan dan air; dan (vi) menerapkan teknologi
pengelolaan lahan dan pemeliharaan pertanian dengan emisi rendah dan penyerapan CO2 yang
optimal.
105LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
● Tujuan Khusus
Peserta mampu melakukan proses pengarus-utamaan REDD+ dalam pembangunan daerah, baik
RKPD berjalan maupun RPJMD yang akan datang.
● Pokok-Pokok Materi
1. REDD+ memiliki sasaran untuk membenahi tata kepemerintahan hutan/lahan di Indonesia,
sehingga memenuhi prinsip-prinsip good governance.
2. Lima akar masalah pembangunan kehutanan dan delapan strategi kunci REDD+ perlu diadopsi
dalam seluruh dokumen perencanaan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Kseluruhan
strategi di atas baru akan secara efektif dapat diadopsi pada saat penyusunan RPJMD,
sedangkan dalam RKPD yang sedang berjalan penyesuaian hanya dimungkinkan sepanjang
dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. RAN REDD+ telah secara kritis menetapkan berbagai program/kegiatan yang harus
diakomodasikan dalam RKPD dan RPJMD. Implementasi berbagai program/kegiatan tersebut
membutuhkan keterpaduan perencanaan antara pusat-daerah dan lintas sektor. Sepanjang
sesuai dengan kewenangan daerah, program/kegiatan RAN REDD+ dapat diakomodasikan
dalam RKPD dan RPJMD.
4. Proses pengarusutamaan REDD+ ke dalam RKP/RKPD adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifi kasi dan mengelompokkan program, kegiatan prioritas dan indikator kinerja
dalam RKP/RKPD yang secara aktual maupun potensial termasuk dalam ruang lingkup
REDD+ dan/atau relevan dengan tujuan REDD+;
b. Menyandingkan hasil identifi kasi dan pengelompokkan program/kegiatan prioritas
K/L dengan program/kegiatan RAN REDD+. Persandingan yang sama dilakukan antara
program kegiatan SKPD dengan SRAP REDD+/RAD GRK bidang kehutanan dan lahan
gambut;
c. Melakukan analisis kesenjangan (gap analysis) antara program/kegiatan prioritas pada
RKP/RKPD dengan program/kegiatan RAN/SRAP REDD+/RAD GRK;
d. Mengisi kesenjangan dengan merevisi dan menambah indikator kinerja di RKP/RKPD
sepanjang implikasinya terhadap lokus, skala dan intensitas program/kegiatan dapat
dipenuhi dengan alokasi anggaran yang ada. Revisi juga dilakukan apabila program/
kegiatan dalam RAN/SRAP REDD+/RAN GRK dapat dijadikan sebagai pendukung bagi
pencapaian target yang telah ditetapkan tanpa mengubah nama program/kegiatan
yang telah ditetapkan. Apabila tidak dapat dipenuhi dengan alokasi anggaran yang telah
ditetapkan, maka alternatif pembiayaannya dapat diidentifi kasi berdasarkan pendanaan
lain yang mungkin tersedia pada tahun 2014 melalui skema keproyekan tertentu atau
dialihkan pada rencana tahun berikutnya.
e. Untuk mensinergikan perencanaan antara pemerintah dan pemerintah daerah, penyatuan
lokus pada KPHK/KPHL/KPHP dan area yang diregister sebagai area REDD+ perlu dilakukan
guna meningkatkan efektivitas dan efi siensi program/kegiatan pembangunan dalam
pengarusutamaan REDD+.
f. Menyediakan alternatif solusi atas hasil analisis kesenjangan dan revisi RKP/RKPD dengan
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING106
menetapkan kebijakan guna menguatkan pelaksanaan kegiatan RAN/SRAP REDD+/RAN
GRK bidang kehutanan dan lahan gambut..
1. Adapun proses pengarusutamaan REDD+ ke dalam RPJMN/RPJMD adalah sebagai
berikut:
a. Mengevaluasi hasil implementasi RPJMN/RPJMD yang telah dilaksanakan
sebelumnya dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan REDD+. Hasil evaluasi
digabungkan dengan hasil identifi kasi basis data, termasuk data spasial,
identifi kasi keberhasilan, termasuk yang ada di masyarakat, serta identifi kasi
kebutuhan dan akar masalah bagi penyediaan kondisi pemungkin (enabling
condition) yang diperlukan untuk implementasi REDD+ hingga di tingkat tapak.
Masalah perlu dipilah menjadi masalah kebijakan/regulasi, masalah kelembagaan/
kepemerintahan dan masalah manajemen atau implementasi adi praktis (best
practices).
b. Mengidentifi kasi kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan untuk
menyelesaikan akar masalah penyediaan kondisi pemungkin untuk mendukung
implementasi REDD+ pada tingkat kebijakan/regulasi, kelembagaan/
kepemerintahan dan manajemen;
c. Merumuskan tujuan dan strategi nasional/daerah untuk implementasi REDD+
dengan mempertimbangkan strategi kunci yang direkomendasikan dalam
panduan ini (Bab 3.1) dan Stranas REDD+. Patut dicermati bahwa sebagian besar
strategi nasional/daerah untuk implementasi REDD+ membutuhkan koordinasi
dan sinergi yang bersifat lintas sektor dan lintas tingkat pemerintahan (pusat-
provinsi, kabupaten/kota).
d. Merumuskan target, indikator kinerja, program/kegiatan dengan menginklusikan
RAN/SRAP REDD+/RAD GRK bidang kehutanan dan lahan.
e. Merumuskan strategi pendanaan dengan mengoptimalkan pemanfaatan dana
non APBN/APBD, baik dana perwalian, dana hibah maupun FREDDI.
f. Menyatukan seluruh hasil perencanaan di atas dalam format RPJMN/RPJMD secara
utuh.
2. Selain melalui dana APBN/APBD, program/kegiatan REDD+ dapat didanai dari dana
hibah langsung, dana perwalian, dana FREDDI atau insentif fi scal yang tersedia.
3. Untuk mendukung implementasi program/kegiatan REDD+ perlu diidentifi kasi dan
ditetapkan kebijakan pendukung.
● Bacaan Khusus
1. Pedoman Pengarus-utamaan REDD+ dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Bab
III s/d Bab V)
2. RAN GRK (Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut)
3. RAN REDD+ (Lampiran-Lampiran)
4. RAD GRK (Bila sudah tersusun)
5. SRAP REDD+ (Bila sudah tersusun)
107LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING
MATERI POKOK #5
● Judul: Pengawasan dan Evaluasi Implementasi REDD+
● Deskripsi Ringkas
Pengawasan dan evaluasi atas pengarusutamaan REDD+ dalam tahap perencanaan dan
implementasi RKP/RKPD dan RPJMN/RPJMD, maupun dalam pembuatan kebijakan yang
memfasilitasi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dilakukan dengan mengefektifkan sistem
pengawasan dan evaluasi yang sudah ada. Sistem dan mekanisme pengawasan ini tersebar
pada berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan bidang dan kegiatan yang diatur.
Pengawasan dan evaluasi dalam pengarusutamaan REDD+ dilakukan pada tahap perencanaan
sedangkan pelaksanaan hal-hal yang telah diarusutamakan ke dalam RKP dan RPJMN akan
dilakukan oleh berbagai Kementerian/Lembaga sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Selain
itu pengawasan dan evaluasi yang dilakukan akan mengacu pada indikator kinerja utama yang
ditetapkan dalam RAN REDD+ yang akan berada dibawah koordinasi dan pengawasan Lembaga
REDD+.
● Tujuan Khusus
Peserta memahami pentingnya pengawasan dan pemantauan, baik pada tahap perencanaan
maupun implementasi REDD+, sebagai dasar evaluasi bagi keberhasilan pencapaian kinerja
terbaiknya.
● Pokok-Pokok Materi
1. Pengawasan dalam pengarusutamaan REDD+ pada dasarnya dilaksanakan terhadap
bagian perencanaan tepatnya ketika proses penyusunan RKP berlangsung. Dalam proses
ini, diarusutamakannya program/kegiatan dalam RAN REDD+ ke dalam RKP yang sedang
disusun akan dilakukan oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Lembaga REDD+. Sedangkan
pengawasan ada tidaknya alokasi anggaran untuk pengarusutamaan REDD+ dilakukan oleh
Kementerian Keuangan serta dibantu oleh Lembaga REDD+ khususnya melalui instrumen
pendanaan REDD+ untuk memberikan alternatif pendanaan bagi kegiatan yang tidak memiliki
alokasi anggaran dari APBN. Proses ini terjadi melalui rapat trilateral sebagai bagian dari proses
penyusunan RKP dan penyusunan APBN. Selain itu, proses pengarusutamaan REDD+ ke dalam
RKPD dapat diawasi baik oleh Lembaga REDD+ Pusat maupun Daerah, Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian/Lembaga Teknis terkait dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
dan Bappeda.
2. Setelah RKP ditetapkan, maka pelaksanaan REDD+ akan dilakukan oleh Kementerian/
Lembaga pelaksana (Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian
Lingkungan Hidup), Kementerian PPN/Bappenas, Lembaga REDD+ Pusat maupun Daerah
(jika ada), Bappeda, kepala SKPD maupun Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan
agar pengarusutamaan REDD+ dapat dieksekusi hingga ke tingkat tapak. Ketika Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) telah terbentuk maka, KPH dapat dijadikan alat pengawasan
pelaksanaan REDD+. Indikator yang menjadi ukuran keberhasilan pengarusutamaan REDD+
adalah tercapainya target program/kegiatan yang diperintahkan oleh RAN REDD+ yang
sebelumnya telah diarusutamakan dan diintegrasikan ke dalam RKP dan RPJMN 2015-2019.
3. Evaluasi pengarusutamaan REDD+ ke dalam RKP maupun RPJMN dilakukan beriringan dengan
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING108
evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan nasional yakni dengan evaluasi terhadap Renja
K/L maupun RKP untuk kemudian disampaikan kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas. Untuk
mencapai proses evaluasi yang efektif dan tepat guna, dibutuhkan pengukuran indikator
kinerja yang jelas sebagaimana dicantumkan dalam RAN REDD+.
4. Evaluasi kegiatan, kinerja maupun penganggaran dapat dilakukan baik oleh BPKP maupun
oleh BPK. Evaluasi terhadap pengarusutamaan kegiatan aksi REDD+ yang berkaitan dengan
mekanisme insentif dan disinsentif yang dananya berasal dari DAK dilakukan di daerah. Untuk
itu Sekretariat Bersama (Sekber) Pemantauan dan Evaluasi DAK di Tingkat Pusat di Kementerian
Dalam Negeri (Ditjen Bina Bangda) yang melakukan pemantauan DAK secara terpadu dan lintas
K/L. Pelaksanaan pemantauan teknis dan evaluasi pemanfaatan DAK ini dilakukan berdasarkan
Surat Edaran Bersama (SEB) 3 Menteri No. 239/2008 yaitu antara Menteri PPN/Kepala Bappenas,
Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Tujuannya adalah agar pemberian insentif
dan disinsentif dapat tepat waktu dan tepat sasaran sesuai dengan penetapan alokasi DAK
dimaksud. Dalam hal ini yang dilaksanakan adalah review laporan, kunjungan lapangan dan
forum koordinasi. Dari hasil pemantauan dan evaluasi tersebut dapat ditetapkan pemberian/
pengenaan insentif dan disinsentif di tahun anggaran selanjutnya.
● Bacaan Khusus
1. Pedoman Pengarus-utamaan REDD+ dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Bab
VI: Pengawasan dan Evaluasi)
2. RAN REDD+ (Lampiran-Lampiran)
3. SRAP REDD+ (Bila sudah tersusun)
LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING110