LAPORAN PENELITIAN TERAPAN TAHUN ANGGARAN …sim.pls.fip.uny.ac.id/sites/default/files/2014_Laporan...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN TERAPAN TAHUN ANGGARAN …sim.pls.fip.uny.ac.id/sites/default/files/2014_Laporan...
LAPORAN PENELITIAN TERAPAN
TAHUN ANGGARAN 2014
PENGEMBANGAN KOMUNITAS SADAR BENCANA TERINTEGRASI
“PKBM” DI KABUPATEN BANTUL DAN SLEMAN
Ketua Penelitian:
RB. SUHARTA, M.Pd
Anggota Penelitian:
Dr. IIS PRASETYO, MM
ENTOH TOHANI, M.Pd
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN TERAPAN TAHUN 2014
1. Judul Penelitian : Pengembangan Komunitas Sadar Bencana Terintegrasi
PKBM di Kabupaten Bantul dan Sleman.
2. Ketua Peneliti
a. Naman Lengkap : RB. Suharta, M.Pd
b. Jabatan : Lektor Kepala
c. Jurusan : PLS
d. Alamat Surat : Kauman Rt 05. Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kab.
Bantul DIY
e. Telp : (0274) 6460532
f. Email : -
3. Tema Payung Penelitian : Pendidikan Luar Sekolah
4. Bidang Keilmuan : Pendidikan
5. Tim Peneliti :
No Nama, Gelar NIP Bidang Keahlian
1. RB. Suharta, M.Pd 19600416 198603 1 002 Kewirausahaan
2. Dr. Iis Prasetyo, MM 19800924 200501 1 002 PSDM
3. Entoh Tohani, M.Pd 19800512 200501 1 001 Perencanaan Pendidikan
6. Mahasiswa yang Terlibat :
No Nama NIM Prodi
1. Anyda Dyah S 10102241020 PLS
2. Nadra Yunia A 10102241026 PLS
3 Khotimah Suci U 10102244032 PLS
7. Lokasi Penelitian : Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
8. Waktu Penelitian : Maret – September 2014 (7 bulan)
9. Dana yang Diusulkan : Rp20.000.000,00 (duapuluh juta rupiah)
Mengetahui; Yogyakarta, 30 Oktober 2014
Ketua Jurusan PLS Peneliti,
Dr. Sujarwo, M.Pd RB. Suharta, M.Pd
NIP 19691030 200312 1 001 NIP 19600416 198603 1 002
Mengetahui,
Dekan FIP
Dr. Haryanto, M.Pd
NIP. 19600902 198702 1 001
ABSTRAK
Akhir-akhir ini kerap terjadi bencana di Indonesia, baik yang disebabkan oleh
faktor alam maupun dampak ulah manusia terhadap alam. Pada bulan Januari tahun
2014 saja tercatat sudah terjadi berbagai macam bencana seperti erupsi gunung berapi,
gempa bumi, banjir, puting beliung dan tanah longsor di Indonesia. Hampir seluruh
kawan Indonesia secara geografis dan geologis merupakan kawasan rawan bencana
karena berada di kawasan cincin api Pasifik dan Sabuk Alpide. Mensikapi hal itu,
bidang ilmu pendidikan perlu berperan aktif dalam rangka meningkatkan kesadaran
masyarakat akan potensi bencana yang mengancam melalui program-program
penguatan masyarakat (community resilient) terhadap bencana berbasis pendidikan.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan desain konseptual
model komunitas sadar bencana terintegrasi PKBM di Kabupaten Bantul dan Sleman.
Tujuan tersebut akan diperoleh melalui beberapa tahapan antara lain: 1) pendeskripsikan
komunitas sadar bencana di Kabupaten Bantul dan Sleman; 2) mendeskripsikan
kegiatan komunitas sadar bencana di Kabupaten Bantul dan Sleman; dan 3)
pengembangan desain konseptual model komunitas sadar bencana terintegrasi PKBM.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan
Research and Development yang dikembangkan oleh Borg and Gall, namun terbatas
sampai pada pengembangan model konseptual tervalidasi. Langkah-langkah yang akan
dilakukan antara lain: 1) studi pendahuluan yang terdiri dari studi kepustakaan dan studi
lapangan melalui studi eksplorasi; 2) mengembangkan desain konseptual komunitas
sadar benana terintegrasi PKBM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Komunitas sadar bencana sudah dapat
menjalankan fungsi dalam rangka penanggulangan bencana alam baik bencana erupsi
Merapi, longsor, maupun banjir di wilayahnya masing-masing. Ada empat komunitas
sadar bencana yang berbasil diidentifikasi meliputi Linmas Anggota Peduli Bencana
Alam (LAPBA), Paguyuban Sabuk Gunung Merapi (PASAG Merapi), di Kabupaten
Sleman dan Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) dan Bumi Langit Institute di
Kabupaten Bantul. 2) komunitas sadar bencana telah melakukan berbagai macam
kegiatan seperti penangan bencana, pelatihan penanggulangan gawat darurat,
penyuluhan kebencanaan, pemetaan wilayah bencana, talkshow, pembuatan video
dokumenter, penyediaan sumber belajar untuk pemanfaatan potensi lokal, pelatihan
pertanian, dan sebagainya yang diarahkan pada penguatan ketahan masyarakat terhadap
bencana; 3) Model konseptual komunitas sadar bencana terintegrasi PKBM dilatar
belakangi oleh masih rendahnya koordinasi antara komunitas sadar bencana dengan
PKBM sebagai satuan pendidikan nonformal yang ada di masyarakat khususnya di
tingkat desa. Integrasi antara komunitas sadar bencana difokuskan pada tiga aspek, yaitu
pengelola, aktivitas/program dan sarana-prasarana.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan
Penelitian Terapan Fakultas Ilmu Pendidikan tahun 2014 yang berjudul Pengembangan
Komunitas Sadar Bencana Terintegrasi PKBM di Kabupaten Bantul dan Sleman.
Peneliti menyadari bahwa kelancaran dalam melaksanakan dan menyelesaikan
penelitian ini tidak lepas dari bantuan yang diberikan oleh beberapa pihak. Oleh karena
itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan kemudahan dalam
pelakasanaan penelitian ini.
2. Ketua jurusan PLS FIP UNY yang telah memberikan kemudahan birokrasi dan
kelonggaran bagi peneliti agar dapat aktif melakukan penelitian di lapangan.
3. Tim peneliti dosen dan mahasiswa yang telah membantu terlaksananya
penelitian ini sampai dengan selesai.
4. Pengelola komunitas sadar bencana di Kabupaten Bantul dan Sleman serta
pengelola PKBM yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini
Penulis menyadari dalam penyusunan penelitian ini masih jauh dari sempurna
dan banyak kekurangan, karena itu diharapkan masukan serta sarannya agar penelitian
ini menjadi lebih baik. Akhir kata penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak. Amin.
Yogyakarta, 30 Oktober 2014
Tim Peneliti
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................................................. iii
PRAKATA .................................................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................................... 6
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................. 14
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................ 16
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 47
LAMPIRAN ................................................................................................................ 48
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di Samudera Pasifik yang
terkenal dengan wilayah cincin api (ring of fire). Tidak hanya di Indonesia, wilayah
cincin api ini menyebar sampai ke Benua Amerika membentuk area tapal kuda dengan
cakupan panjang mencapai 40.000 km. Selain dikenal dengan sebutan cincin api,
wilayah ini juga sering dikenal dengan sebutan sabuk gempa Pasifik dimana sering kali
gempa besar terjadi di wilayah ini. Wilayah cincin api seperti terlihat dalam gambar
berikut:
Sumber: wikipedia.org
(http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Pacific_Ring_of_Fire.png)
Gambar di atas menunjukkan wilayah rawan bencana yang disebabkan oleh
pergeseran lempeng bumi dan aktivitas gunung berapi yang memanjang di Samudera
Pasifik. Disamping itu Indonesia juga negara yang termasuk dalam wilayah Sabuk
Alpide. Sabuk Alpide terbentang dari Jawa ke Sumatera, Himalaya, Mediterania hingga
ke Atlantik. Data menunjukkan 17% gempa besar berada di wilayah sabuk Alpide ini.
Salah satu contoh gempa besar yang terjadi di wilayah sabuk Alpide ada gempa Aceh
pada 26 Desember 2004 dengan magnitude 9,3 SR yang merupakan gempa terbesar
dalam rentang 40 tahun terakhir.
2
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang termasuk dalam wilayah cincin api
Pasifik dan sabuk Alpide. Ditandai dengan keberadaan gunung berapi aktif yang hampir
merata menutupi wilayah ini, mulai dari Selat Sunda sampai ke Jawa Timur. Salah satu
gunung berapi yang masih aktif saat ini adalah Gunung Merapi di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Gunung ini memiliki siklus erupsi yang yang rutin terjadi antara
4-5 tahun sekali. Erupsi Gunung Merapi yang cukup besar terjadi terakhir pada tahun
2010 dengan jumlah korban sebanyak 277 orang meninggal (www.slemankab.go.id),
sedangkan erupsi pada bulan November 2013 adalah gejala awal menuju siklus yang
diperkirakan terjadi pada tahun 2014.
Potensi bencana di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selain erupsi Gunung
Merapi adalah gempa bumi. Posisi DIY yang berada di sisi selatan Pulau Jawa memiliki
potensi gempa bumi cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah utara Pulau Jawa.
Gempa bumi dengan skala besar terjadi pada tahun 2006 yang berpusat di Kabupaten
Bantul dengan magnitude 6,3 SR yang memakan korban jiwa sebanyak 5.700 orang dan
lebih dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggal (news.nationalgegraphic.com).
Peristiwa gempa bumi yang terjadi pada tahun 2006 didahului dengan erupsi Merapi
yang berlangsung selama beberapa minggu pada Bulan Mei tahun 2006.
Berkaca pada pengalaman bencana pada tahun sebelumnya dan berbagai
kejadian bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai wilayah Indonesia,
semestinya dapat dijadikan pelajaran berharga mengenai upaya penanganan bencana
baik sebelu, saat krisis maupun pasca bencana. Potensi bencana yang disebabkan oleh
perubahan iklim dunia juga perlu mendapat perhatian, sehingga fokus antisipasi
bencana di wilayah DIY tidak hanya tertuju pada erupsi Merapi dan gempa bumi.
Fokus penanganan bencana dewasa ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah
bagaimana memberikan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya upaya preventif
dan pengelolaan fase krisis bencana. Hal ini didasari pada kondisi masyarakat di
wilayah lain di Indonesia yang tidak siap ketika menghadapi bencana. Sebagai contoh
ketidak siapan masyarakat adalah kurangnya upaya swadaya masyarakat dalam
mengelola masa-masa krisis bencana ketika mengungsi, yang ditandai dengan
kekurangan pasokan makanan, pakaian, dan kebutuhan logistik lainnya karena
keterlambatan bantuan pemerintah.
3
Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah bagaimana
membentuk kelompok masyarakat sadar bencana yang memiliki pengetahuan cukup
untuk mengatasi berbagai permasalahan kebencanaan. Kecakapan tersebut meliputi
kemampuan menghadapi masa krisis ketika suatu bencana telah terjadi, atau bagaimana
agar suatu bencana bisa dihindari seperti longsor atau banjir karena ulah manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran komnitas sadar bencana di Kabupaten Bantul dan Sleman?
2. Bagaimana gambaran kegiatan komnitas sadar bencana di Kabupaten Bantul dan
Sleman?
3. Bagaimana desain konseptual model komunitas sadar bencana terintegrasi
PKBM di Kabupaten Bantul dan Sleman?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan komnitas sadar bencana di Kabupaten Bantul dan Sleman.
2. Mendeskripsikan kegiatan komnitas sadar bencana di Kabupaten Bantul dan
Sleman.
3. Menghasilkan desain konseptual model komunitas sadar bencana terintegrasi
PKBM di Kabupaten Bantul dan Sleman.
D. Sistematika Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan antara lain:
1. Perencanaan penelitian: peneliti berkoordinasi dengan tim peneliti serta
mahasiswa tentang pelaksanaan penelitian yang akan dilaksnakan. Dalam
koordinasi akan dibahas mengenai lokasi potensial penelitian di dua wilayah
masing-masing di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman. Wilayah
identifikasi meliputi daerah rawan bencana, baik itu berupa gempa bumi, tanah
longsor, maupun erupsi Gunung Merapi.
4
2. Pelaksanaan Penelitian: penelitian akan melibatkan sekurang-kurangnya 4
PKBM di dua wilayah tersebut yang teridentifikasi memiliki potensi bencana
lebih tinggi dibandingkan yang lain. Keberadaan PKBM di satu wilayah juga
menjadi pertimbangan tersendiri dalam menentukan wilayah penelitian.
Pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan penilaian kebutuhan (need
assessment) untuk mengetahui berbagai informasi terkait dengan kondisi
masyarakat, potensi sumber daya, sosial ekonomi, budaya. Sedangkan
identifikasi PKBM akan berkisar tentang kondisi kelembagaan, tata kelola
kelembagaan, studi kelayakan serta seluruh sumberdaya yang potensial
digunakan untuk tujuan pengembangan komunitas sadar bencana.
3. Pengumpulan data: pengumpulan data dilakukan melalui mekanisme
wawancara, observasi serta studi dokumentasi. Pengumpulan data akan
melibatkan dosen dan mahasiswa sebagai pengumpul data dan masyarakat serta
pengelola PKBM sebagai subjek yang diteliti. Tidak menutup kemungkinan
untuk melakukan pengumpulan data dengan melibatkan pihak-pihak terkait
seperti BNPB Kab. Bantul dan Sleman serta aparat pemerintahan lainnya yang
terkait.
4. Pengolahan data dilakukan setelah pengumpulan data, baik itu pada saat
penelitian sedang berlangsung dan setelah proses penelitian selesai
dilaksanakan. Data penelitian bisa berkembang sesuai dengan situasi dan
kondisi lapangan karena sifat kualitatifnya. Karena data merupakan data
kualitatif, sehingga analisis data dilakukan secara kualitatif.
5. Pelaporan: sebagai bentuk pertanggung jawaban, di akhir masa penelitian,
peneliti akan menyusun laporan penelitian disertasi dengan produk-produk
pendukung seperti desain konseptual, SOP pembentukan komunitas sadar
bencana, serta jurnal yang akan diterbitkan atau dipresentasikan dalam seminar
ilmiah nasional atau internasional.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Komunitas Sadar Bencana
Komunitas sadar bencana merupakan kelompok masyarakat yang memiliki
komitmen terhadap lingkungan dan masyarakat khususnya dalam upaya menghadapi
bencana baik bencana alam maupun bencana karena sebab lainnya sehingga tercipta
masyarakat yang memiliki ketahanan dalam melalui dan menghadapi bencana.
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) telah
mendefinisikan komunitas sadar bencara sebagai berikut:
Community disaster awareness (DA) initiatives which inform and train local
populations about how to prepare for natural disasters and emergencies can
reduce a population’s vulnerability to specific hazards. These initiatives need
not require large financial outlays nor do they require the work of a great
number of people. What is required for planning purposes is a DA strategy that
is opportunistic in its timing and which is integrated with other local and
community development strategies (IFRC, 2000:5).
Komunitas sadar bencana dapat berupa aktivitas-aktivitas individu seperti
berkeliling di wilayah pedesaan untuk melaksanakan pertemuan kepedulian terhadap
bencana, atau mengirimkan leaflet atau poster mengenai kesiapsiagaan terhadap
bencana di lingkungan sekitar. Aktivitas selanjutnya yanag lebih komprehensif adalah
melaksanakan serangaian kegiatan yang terencana dan terkoordinasi, kemudian
pendekatan yang lebih efektif pada tingkat komunitas adalah strategi yang terintegrasi
antara kesadaran bencana dengan komunitas yang lebih besar seperti bidang kesehatan
maupun lainnya.
Aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan oleh komunitas sadar bencana antara
lain yang berhubungan dengan berbagai tema seperti: 1) potensi bencana, keadaan
darurat dan bahaya di suatu wilayah, serta dampak yang diakibatkannya; 2) tindakan
atau perilaku penduduk setempat yang dapat menghindari dan mempersiapkan diri
terhadap bencana dan situasi bahaya dengan biaya murah; 3) langkah-langkah yang
dilakukan oleh pemerintah dan pimpinan satuan penanggulangan bencana dalam
berfikir untuk mencegah, mempersiapkan serta memberikan respon terhadap bencana;
dan 4) sistem informasi peringatan bencana publik, rute evakuasi, penampungan
sementara, dan bagaimana serta kapan informasi ini dapat dikomunikasikan.
6
B. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau community learning centre
(CLC) diartikan oleh Unesco (2007:1) sebagai “a local place of learning outside the
formal educatioan system. Located in both villages and other areas, it is usully set up
and managed by local people in order to provide various learning opportunities for
community development and improvement of the quality of life.” Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) merupakan suatu tempat belajar local (setempat) di luar system
pendidikan formal, baik berada di perdesaan maupun di tempat-tempat lain, biasanya
dibangun dan dikelola oleh masyarakat setempat supaya untuk menyediakan berbagai
kesempatan belajar bagi pembangunan masyarakat dan peningkatan kualitas hidup.
Pendapat lain menyatakan bahwa PKBM adalah suatu ikatan/kemitraan
formal/resmi dari satu atau lebih sekolah/pusat, agent-agent swasta atau pemerintah dan
kelompok-kelompok masyarakat, yang bekerja berasma untuk keuntungan warga
belajar, keluarga dan masyarakat. “CLC is a formal partnership of one or more
schools/centres, public or private agencies and community groups, working together for
the benefit of students, families, and community” (Smith, 2005:6). Dari kedua pendapat
di atas dapat dikemukan bahwa PKBM merupakan suatu lembaga yang berada di
tingkat local baik di desa, yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat setempat atau
dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga lainnya atas dasar kemitraan dalam
menyediakan kesempatan-kesempatan belajar bagi peningkatan kualitas hidup dari
warga belajar, keluarga dan masyarakat.
Karakteristik penting yang dimiliki PKBM adalah adanya partisiasi masyarakat
pada untuk terliat dalam setiap tahapan pengambilan keputusan. Sebagaimana
dinyatakan oleh Smith (2005:13) bahwa PKBM terbentuk didasarkan pada adanya
organization yaitu kesatuan individu, kelompok dan organisasi lain yang bekerja sama
menuju tujuan bersama dalam suatu aturan formal maupun informal, dan collaboration
yang menggambarkan terdapat memiliki hubungan baik dan menguntungkan untuk
mencapai tujuan bersama, tanggung jawab bersama, akuntabilitas untuk sukses, dan
berbagi sumber daya dalam suatu struktur yang dikembangkan secara bersama-sama.
Sebagai institusi yang didirikan oleh, dari, dan untuk masyarakat, PKBM
memiliki potensi sebagai institusi yang mandiri. Meskipun pada awalnya berdirinya
banyak PKBM yang bergantung pada bantuan dan dana dari pemerintah, dalam jangka
7
panjang diharapkan pada sebagian besar PKBM akan tumbuh kemandiriannya. Dalam
konteks ini peran dominan pemerintah menjadi berkurang dan peran fasilitasi akan
dapat berjalan seiring dengan kemandirian PKBM. PKBM akan berdiri kokoh atas
kesewadayaan masyarakat.
Perkembangan selanjutnya, PKBM menempati posisi sebagai institusi
pendidikan yang berbasis pada masyarakat (community–based education) yang dalam
aktualisasinya dicirikan adanya (1) dukungan dari masyarakt dalam berbagai bentuk, 2)
keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, 3) kemitraan dimana warga
masyarakat ikut menjamin hubungan yang sejajar dengan pengelola program, dan 4)
kepemilikan dimana warga masyarakat mengendalikan semua keputusan yang berkaitan
dengan program-program pendidikan nonformal.
Keberadaan PKBM di tengah-tengah masyarakat baik yang diinisiatifi oleh
pemerintah, lembaga swasta masyarakat (LSM) atau pun masyarakat sendiri (Unesco,
2007:7) diharapkan dalam perkembangannya menjadi pusat (center) pembelajaran bagi
setiap warga masyarakat. Sebagai pusat, dimungkinkan setiap warga masyarakat tanpa
terkecuali dapat menjangkau untuk memanfaatkannya guna meningkatkan kualitas
dirinya baik pengetahuan, sikap, dan perilakunya melalui proses pembelajaran yang
dilakukan di PKBM. Adanya PKBM pada dasarnya ditujukan untuk terbentuknya
perilaku warga masyarakat untuk aktif belajar selama hidupnya secara terus-menerus
agar dapat menjadi mandiri (self-reliant), meningkatkan kualitas hidupnya, serta
memberikan kontribusi pada pengembangan masyarakatnya (www.unesco.org).
Seiring dengan berjalannya waktu, PKBM diharapkan berkembang sebagai
organisasi penyedia layanan pendidikan sampai pada tingkat pretasi lembaga yang
optimal yaitu: mencapai tataran ekspansi. PKBM dituntut untuk mencapai kondisi yang
menggambarkan adanya pertumbuhan, kemudian mengalami perkembangan dan
akhirnya mampu melakukan perluasan, dan menghindari pelaksanaan program yang
hanya dilakukan secara asal jalan atau hanya bertahan hidup (Helfin Princes, 2006).
Dengan kata lain, PKBM perlu mengarahkan pada pencapaian kinerja yang
menekankan pada pencapaian prestasi yang efektif, terjadinya berbagai perbaikan-
perbaikan, dan terwujudnya jaminan mutu (Bush, T., & Coleman, M. 2006:47-185) baik
pada aspek penyelenggaraan program pendidikan maupun pengelolaan PKBM.
8
Terkait dengan hal di atas, kinerja PKBM dapat dikelompokkan dalam tiga
tahap yaitu: tahap pelaksanaan, tahap peningkatan, dan tahap pembaharuan. Tahap
pelaksanaan (implementing) memberikan gambaran bahwa kinerja PKBM dapat dari
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan PKBM yang menitikberarkan pada pelaksanaan
berbagai kegiatan PKBM yang efektif dan efisien sesuai aturan, pedoman atau arahan
yang berlaku. Pada tahap ini, pengelola dituntut mampu melaksanakan sebuah
pelaksanaan program yang tepat.
Pada tahap peningkatan (improving), PKBM dituntut untuk melaksanakan
berbagai kegiatannya berdasarkan pada hasil kajian mengenai kemajuan kegiatan yang
telah dilaksanakan. PKBM melakukan tinjauan secara mendalam terhadap aspek
kelemahan dan kelebihan kegiatan PKBM untuk menghasilkan berbagai rencana
perbaikan. Berbagai kegiatan PKBM dianalisis dari aspek kualitas dan kuantitasnya.
Tinjauan terhadap aspek kualitas dimaksudkan untuk mengetahui peningkatan atau
kelembahan yang terdapat pada materi program pendidikan, metode (how) yang
digunakan, kelengkapan sarana dan prasarana, kegiatan pengelolaan, mekanisme
pengembangan lingkungan, dan kegiatan PKBM lainnya. Sedangkan kajian aspek
kuantitas lebih menitikberatkan pada peningkatan akses bagi seluruh sasaran lembaga.
Perbaikan atau peningkatan pada proses dan produk lembaga diharapkan menghasilkan
program pendidikan dan layanan PKBM lainnya yang lebih kompetitif, yang semula
tidak maju menjadi maju, dan memperkuat program yang telah maju.
Kondisi yangp paling ideal dari pencapaian kinerja PKBM adalah tercapainya
tahap pembaruan (innovating). Tahap menggambarkan bahwa PKBM dituntut untuk
menghasilkan berbagai kegiatan dan produk yang inovatif dalam rangka menghasilkan
program pendidikan nonformal dan layanan pendidikan lainnya yang lebih berkualitas.
Pada tahap ini, kemampuan melakukan berbagai layanan pendidikan yang spesifik,
kreatif dan inovatif menjadi syarat keberhasilan pencapaian tujuan. Dalam hal ini yang
ditekankan adalah model-model pendidikan luar sekolah, cara-cara yang lebih sempurna
dalam mengelola program.
C. Potensi Bencana di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Dilihat dari kondisi geografis, geologis dan geofisik, maka beberapa wilayah di
Provinsi DIY merupakan derah rawan bencana dengan berbagai karakteristik potensi
9
bencan yang berbeda. Berikut adalah beberapa potensi bencana dan kejadian bencana di
Provinsi DIY berdasarkan data yang dihimpun oleh BAPENAS:
1. Gempa Bumi
Dari data yang ada, DI Yogyakarta sudah mengalami beberapa kali gempa dan
gempa dengan kekuatan di atas 5 skala Richter di DI Yogyakarta dan sekitarnya terjadi
di tahun 1867, 1937, 1943, 1976, 1981, 2001 dan terakhir tahun 2006. Namun gempa
dengan kerusakan dan korban jiwa yang besar terjadi tahun 1867, 1943 dan 2006.
Gempa tahun 1867 menyebabkan runtuhnya Tugu Keraton Yogyakarta, sebagian
Gedung Agung dan Taman Sari. Sementara gempa tahun 1943 mengakibatkan 2800
rumah hancur dan 213 orang meninggal dunia dan 2096 lainnya luka-luka. Dan gempa
yang terjadi di tahun 2006 menewaskan 5.048 jiwa dan melukai 27.808 jiwa. Korban
terbanyak berada di wilayah Bantul dengan jumlah meninggal sebanyak 4.143 orang,
luka berat 8.673 orang serta luka ringan sebanyak 3.353 orang. Sementara jumah rumah
yang rusak sebanyak 240.396 buah.
2. Tsunami
Sebagian besar tsunami disebabkan oleh gempa bumi di dasar laut dengan
kedalaman kurang dari 60 km dan magnitude lebih dari 6 SR. Namun demikian,
tsunami juga dapat diakibatkan oleh tanah longsor dasar laut, letusan gunung berapi
dasar laut, atau jatuhnya meteor ke laut. Untuk wilayah DIY, potensi tsunami terdapat
di wilayah daerah pantai selatan di Kabupaten Bantul, Kulonprogo dan Gunung Kidul.
Sejauh ini baru terjadi tsunami dalam skala kecil di kawasan pantai selatan, dampak
yang dirasakan berupa rusaknya kapal-kapan nelayan serta pemukiman yang ada
disekitarnya serta beberapa fasilitas di area wisata.
3. Letusan Gunung Berapi
Gunung Merapi termasuk wilayah Kabupaten Sleman merupakan gunung api
aktif, bahkan teraktif di dunia karena periodisitas letusannya relatif pendek (3-7 tahun).
Volume guguran kubah lava biasa oleh orang setempat disebut “wedhus gembel” atau
glowing cloud/nueeardente atau awan panas. Bahaya letusan gunung api terdiri atas
bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang langsung
menimpa penduduk ketika letusan berlangsung. Misalnya, awan panas, udara panas
(surger) sebagai akibat samping awan panas dan lontaran material berukuran blok
(bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara tidak langsung dan
10
umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan lahan
pertanian/perkebunan atau rumah dan bahkan lahar dingin.
4. Banjir
Banjir terjadi disamping karena faktor alam juga karena ulah tangan manusia,
diantaranya karena banyaknya sampah yang dibuang sembarangan ke dalam saluran air
(selokan) dan sungai yang menyebabkan selokan dan sungai menjadi dangkal sehingga
aliran air terhambat dan menjadi meluap dan menggenang. Yang kedua, kurangnya daya
serap tanah terhadap air karena tanah telah tertutup oleh aspal jalan raya dan bangunan-
bangunan yang jelas tidak tembus air, sehingga air tidak mengalir dan hanya
menggenang. Bisa jadi daya serap tanah disebabkan ulah penebang-penebang pohon di
hutan yang tidak menerapkan sistem reboisasi (penanaman pohon kembali) pada lahan
yang gundul, sehingga daerah resapan air sudah sangat sedikit. Faktor alam lainnya
adalah karena curah hujan yang tinggi dan tanah tidak mampu meresap air, sehingga
luncuran air sangat deras.
Bencana banjir di DI Yogyakarta memang dirasakan oleh sebagian masyarakat
pada wilayah-wilayah tertentu walaupun prosentasinya kecil, namun tetap potensial
mengingat terdapat sejumlah sungai besar di wilayah DI Yogyakarta dan terdapatnya
kecenderung penyempitan aliran sungai dan menimbulkan kerentanan yang cukup
tinggi terjadinya genangan air. Untuk wilayah DI Yogyakarta, potensi banjir terdapat di
wilayah bagian selatan dan sejumlah wilayah lain yang dialiri oleh sungai-sungai besar.
5. Tanah Longsor
Gerakan tanah atau tanah longsor akibat kondisi tanah yang tidak stabil yang
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu karena tekanan atau beban tanah menahan
benda/bangunan di atasnya, kemiringan tanah yang curam hingga sangat curam
sehingga mendukung longsoran tanah dan curah hujan yang tinggi serta tidak ada
vegetasi yang menahan luncuran air sehingga air mengalir membawa material tanah
bisa terjadi longsoran dan banjir bandang.
Bencana tanah longsor di wilayah DI Yogyakarta terjadi pada beberapa titik
rawan dengan kondisi tanah curam yang biasanya berada pada dinding sungai dan di
sepanjang kawasan pegunungan Menoreh yang berpotensi longsor terutama di musim
penghujan. Salah satu contoh bencana akibat tanah longsor yang pernah terjadi adalah
musibah banjir dan tanah longsor di sungai Belik dan sungai Gajah Wong tanggal 13
11
Desember 2006, dikarenakan oleh kondisi tanah yang labil, kelerengan yang curam,
beban peruntukan lahan dan hujan lebat.
6. Kerangka Pikir
Bencana alam baik yang disebabkan oleh kondisi alam maupun ulah manusia
merupakan kondisi dimana terjadi anomali alam yang berdampak pada kerusakan
lingkungan, fasilitas, bahkan sampai jatuhnya korban jiwa. Fenomena maraknya
bencana alam akhir-akhir ini mendorong masyarakat untuk selalu waspada tidak
terkecuali masyarakat di Provinsi D I Yogyakarta. Potensi bencana yang ada di provinsi
ini menununtut kesiapsiagaan tidak hanya pemerintah, tapi masyarakat umum untuk
bagaimana mampu menghadapi setiap bencana di masa yang akan datang.
Ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana mutlak diperlukan agar tidak
terjadi ekses negatif baik pada masa krisis maupun pasca bencana, karena masalah lebih
besar biasanya muncul pada fase ini. Ketidak siapan masyarakat menyebabkan berbagai
masalah seperti kekuarangan perbekalan di pengungsian, munculnya penyakit pasca
bencana bahkan sampai pada munculnya gejala psikologis pasca bencana.
Manajemen kebencanaan yang saat ini telah dikembangkan oleh pemerintah
melalui pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana di beberapa wilayah
dirasakan tidak efektif karena kurangnya koordinasi dengan masyarakat dan aparat
pemerintahan yang lain. Kondisi ini diperparah dengan ketidak siapan masyarakat
dalam menghadapi bencana di wilayahnya. Ketidak siapan ini bisa disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya: kurangnya pengetahuan dan informasi tentang bencana yang
melada, kurangnya pengetahuan tentang sistem tanggap darurat kebencanaan,
kurangnya kesadaran akan upaya pencegahan bencana, dan lain sebagainya.
Bencana alam yang rutin dihadapi oleh masyarakat di Provinsi DI Yogyakarta
adalah bencana erupsi Gunung Merapi serta gempa bumi yang disebabkan oleh kondisi
geografis, dan geologisnya. Sehingga untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan
buruk yang terjadi, maka perlu dikembangkan suatu komunitas berbasis masyarakat
yang sadar akan potensi bencana serta upaya menghadapinya. Untuk meningkatkan
keefisienan komunitas ini, maka pengintegrasian komunitas dengan lembaga/satuan
pendidikan dapat dikembangkan. Salah satu satuan pendidikan yang potensial untuk
dikembangkan sebagai mitra masyarakat adalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.
Dimana sebagai lembaga pendidikan nonformal yang dibentuk oleh dan untuk
12
masyarakat diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap
pembentukan komunitas sadar bencana ini.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian dalam pengintegrasian komunitas
sadar bencana dengan PKBM adalah: pemetaan kondisi masyarakat di kawasan rawan
bencana, pemetaan kondisi PKBM potensial yang berkedudukan di wilayah rawan
bencana, serta mekanisme operasional dalam upaya pengintegrasian antara komunitas
sadar bencana dengan PKBM. Harapan dari terbentuknya kelompok atau komunitas
sadar bencana ini adalah: terbentuk masyarakat yang memiliki ketahanan tinggi dalam
menghadapi bencana ditandai dengan kesiapsiagaan dan kemandirian masyarakat lokal
ketika suatu bencana terjadi sebelum bantuan dari pihak-pihak baik pemerintah maupun
swasta terdistribusi ke wilayah bencana.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (research
and development). Penerapan pendekatan penelitian dan pengembangan dalam dunia
pendidikan memiliki maksud untuk menghasilkan atau mengembangkan produk/jasa
baik dalam system pembelajaran maupun system penyelenggaraan pendidikan (Borg &
Gall, 1983). Berikut adalah tahapan penelitian yang akan dilaksanakan sebegai berikut:
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret – September 2014. Penelitian
dilaksanakan di dua kabupaten yaitu Kab. Bantul dan Kab. Sleman Daerah Istimewa
Yogyakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan tujuan penelitian itu sendiri.
Didasarkan pada tujuan penelitian, maka subjek penelitian adalah masyarakat di
wilayah yang berpotensi bencana di Kab. Bantul dan Kab. Sleman, khususnya wilayah
yang terkenda gempa bumi tahun 2006 serta wilayah lereng Gunung Merapi. Seperti
dikemukakan oleh Patton dalam Cresswell: Penentuan sampel berdasarkan tujuan lebih
diprioritaskan dibandingkan dengan penentuan sampling probailitas, dengan tujuan
Tahapan Penelitian Kegiatan Indikator
Studi pendahuluan Pelaksanaan kajian teori &
praktek pendidikan
kebencanaan
Penysunan instrumen kajian
Analisis pemetaan kebutuhan
komunitas sadar bencana
Tersintesakan konsep
komunitas sadar bencana;
Prioritas kebutuhan
komunitas sadar bencana
Pengembangan
komunitas sadar
bencana
Konseptualisasi komunitas
sadar bencana teritegrasi
PKBM
Model konseptual
komunitas sadar bencana
terintegrasi PKBM
Pelaporan Penyusunan laporan dan
publikasi karya ilimiah
Laporan; Artikel Jurnal; dan
Bahan Belajar
14
"memilih kasus yang kaya informasi untuk diteliti secara mendalam" (Patton,
1990:169).
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara dan
observasi serta pendokumentasian kegiatan. Wawancara dilakukan terhadap subjek
penelitian melalui dialog tatap muka dengan peneliti. Observasi dilakukan dengan
pendekatan observasi partisipan, dimana peneliti terlibat bersama-sama subjek
penelitian dalam kegiatan yang telah dirancang. Berikutnya adalah pendokumentasian
melalui pengambilan gambar dengan menggunakan alat bantu kamera digital.
E. Instrumen Pengumpul Data
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain: 1) pedoman
wawancara; 2) pedoman observasi; 3) pedoman dokumentasi. Instrumen pengumpulan
data direncakaan terlebih dahulu oleh ketua peneliti. Hasil perencanaan ini berupa
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang kemudian dipilah-pilah dan disesuaikan dengan
jenis data yang harus diperoleh untuk menjawab pertanyaan tersebut. Setelah
pertanyaan dipilah kemudian disesuaikan dengan teknik yang akan digunakan, sehingga
jawaban yang dicari dapat diperoleh melalui teknik yang tepat.
F. Analisis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa kata-
kata atau kalimat yang diperoleh selama penelitian. Analisis data kualitatif dilakukan
melalui prosedur reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan. Adapun untuk
keabsahan data teknik triangulasi sumber dan metode akan digunakan dalam penelitian
ini.
15
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Desa Wonolelo
Desa Wonolelo terletak di Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa ini memiliki perbaasan di sebelah utara dengan
Desa Sitimulyo, sebelah selatan berbatasan denga Desa Wukirsari (Imogiri), sebelah
barat berbatasan denga Desa Bawuran, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa
Muntuk (Dlingo). Desa Wonolelo memiliki luas wilayah 453,4705 Ha yang terdiri
dari 185.7736 Ha daratanatau 40% dari luas lahan dan 267,6969 Ha berupa
perbukitan/pegunungan (60 % dari luas lahan). Dilihat dari penggunaannya, luas
wilayah digunakan sebagian besar untuk areal sawah, pemukinan, dan sisanya
tegalan. Secara rinci penggunaan lahan adalah luas pemukiman 144.2770 Ha, hutan
25 Ha, sawah tadah hujan 120.2450 Ha, sawah pengairan setengah teknis 2.3880
Ha, dan tegalan 96.2796 Ha.
Luas wilayah Desa Wonolelo terbagi dalam 8 wilayah pedukuhan, yaitu
Guyangan, Ploso, Mojosari, Kedungrejo, Purworejo, Bojong, Depok dan Cegokan.
Wilayah Desa Wonolelo ini sesungguhnya merupakan wilayah strategis karena
menghubungkan sebagian wilayah Bantul dengan wilayah Kabupaten Gunung
Kidul. Transportasi dari, dan, ke arah wilayah lain melalui Desa Wonolelo
merupakan kebutuhan agar akses ekonomi terbuka lebar.
Penduduk Desa Wonolelo berjumlah 4.412 orang (Tabel ) yang terdiri dari
penduduk laki-laki sebanyak 2.190 orang, dan penduduk perempuan berjumlah
2.222 orang. Dari jumlah penduduk keseluruh, penduduk miskin nampaknya masih
relatif tinggi sebanyak 1.932 orang atau 137 KK. Berdasarkan tingkat
pendidikannya, mayoritas penduduk Desa ini memiliki tingkat pendidikan dasar dan
menengah pertama (Tabel ).
16
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Desa Wonolelo
Tabel 4.2. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Wonolelo
NO PENDIDIKAN JUMLAH (ORANG)
1 SD 1781
2 SLTP 1582
3 SLTA 822
4 Diploma I –III dan Sarjana / S1
– S3
59
Berdasarkan mata pencaharian, mayoritas penduduk Desa ini merupakan petani
dan buruh tani. Jumlah penduduk sebagai petani mencapai 1.423 orang, sebagai
tukang batu sebanyak 150 orang, sebagai tukang kayu sebanyak 125 orang, sebagai
pengrajin sebanyak 219 orang dan sebagai pegawai negeri sipil sebanyak 66 orang.
Terkait ini, di Desa ini mayoritas penduduk miskin adalah mereka yang bekerja
sebagai petani yang mana keberadaan mereka mencapai 40%. Hal ini dikarenakan
petani di Wonolelo hanya memiliki lahan usaha tani rata-rata 800 m², dengan luas
lahan ini tentu sangat sulit untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Terlebih produktifitas lahan yang relatif rendah. Untuk meningkatkan kesejahteraan
petani diperlukan sistem ekonomi yang terpadu dengan usaha tani, seperti
peternakan, dan juga diperlukan usaha lain yang dekat dengan usaha tani.
Hampir pada semua wilayah di Desa Wonolelo ancaman bencana baik gempa,
tanah longsor, dan kekeringan dapat terjadi. Berikut lebih rinci ancaman bencana
yang mungkin dapat terjadi.
No Padukuhan Jumlah
KK
Jumlah Penduduk
LK Pr Jumlah Orang Miskin
1 Kedungrejo 177 174 184 358 199
2 Cegokan 216 362 371 733 247
3 Mojosari 171 261 264 525 249
4 Depok 187 262 263 525 273
5 Ploso 187 310 332 642 280
6 Purworejo 219 323 313 636 301
7 Bojong 170 269 247 516 194
8 Guyangan 169 229 248 477 189
Total 1496 2190 2222 4412 1932
17
Tabel 4.3. Wilayah Dengan Risiko Tinggi Bencana
Dusun RT Jenis Ancaman Risiko tinggi
Kedungrejo 1 -
2 Gempa, Tanah Longsor, Kekeringan
3 Gempa, Tanah Longsor,
Cegokan 1 Gempa, Kekeringan
2 Gempa, Kekeringan, Angin Ribut
3 Gempa, Tanah Longsor, Kekeringan
4 -
Depok 1 -
2 Gempa, Angin Ribut
3 -
4 Gempa, Kekeringan
Mojosari 1 Gempa, Kekeringan
2 Gempa, Kekeringan, Angin Ribut
3 -
4 Gempa, Angin Ribut
5 Gempa, Angin Ribut
Guyangan 1 Gempa, Banjir, Angin Ribut
2 Gempa, Banjir
3 Gempa, Banjir
Ploso 1 Gempa, Tanah Longsor, Kekeringan
2 Gempa, Kekeringan
3 -
4 Gempa, Tanah Longsor, Angin Ribut
Purworejo 1 Gempa, Angin Ribut
2 Gempa, Angin Ribut
3 Gempa, Kekeringan , Angin Ribut
4 Gempa, Kekeringan
5 -
6 Gempa, Tanah Longsor
Bojong 1 Gempa, Kekeringan, Angin Ribut
2 Gempa, Kekeringan
3 Gempa, Angin Ribut
4 Gempa, Tanah Longsor, Angin Ribut
5 -
2. Desa Wukirsari
Desa Wukirsari adalah wilayah yang terletak di sebelah selatan dari arah kota
Yogyakarta dengan jarak sekitar 16 km. Desa ini memiliki perbatasan di sebelah
Utara dengan Desa Trimulyo, desa Segoroyoso dan desa Wonolelo, sebelah Timur
berbatasan dengan Desa Munthuk dan desa Mangunan (Kecamatan Dlingo), sebelah
barat berbatasan dengan Sungai Opak/ desa Trimulyo, kecamatan Jetis. Desa
Wukirsari terdiri dari 16 dusun (pedukuhan), yaitu Sindet, Singosaren, Bendo,
18
Tilaman, Pundung, Kedungbuweng, Karang Kulon, Giriloyo, Cengkehan, Nogosari
I, Nogosari II, Karangasem, Jatirejo, Dengkeng, Karangtalun.
Wukirsari memiliki luas wilayah sekitar 1.538,55 Ha yang terdiri dari 33 %
wilayah atau sekitar 507,73 Ha merupakan daerah daratan dan 67 % atau sekitar
1.030,82 ha wilayah adalah perbukitan terutama bagian timur. Desa ini berada pada
ketinggian antara 110 s/d 200 dpl. Sebagian besar wilayahnya adalah
pegunungan/perbukitan dengan kondisi kemiringan tanah antara 20º s/d 65º.
Wilayah Wukirsari adalah termasuk daerah dataran rendah dengan kisaran
ketinggian 50 s.d 150 m dari permukaan laut, dan memiliki kondisi iklim yang
stabil khususnya untuk kegiatan pertanian, dengan mengacu dua musim yaitu tropis
dan dan iklim musim penghujan dengan curah hujan yang memadai mampu
menjadikan desa wukirsari sebagai pewaris kehidupan yang agraris.
Penduduk Wukirsari sebanyak 17.318 jiwa atau 5.003 KK dengan jumlah
penduduk perempuan sebanyak 8.496 jiwa atau 49.06% dan penduduk laki-laki
8.822 jiwa atau 50.94%. Menurut struktur umur, sebanyak 2.598 atau 15 %
penduduk di Wukirsari berumur lebih dari 50 tahun yang merupakan usia non
produktif, sedangkan untuk usia produktif antara 15-49 tahun sebesar 8.660 jiwa
atau 50% dan sisanya adalah usia sekolah yaitu 6.060 jiwa atau 35 %. Sedangkan
ditinjau dari tingkat pendidikan, rata-rata pendidikan penduduk desa Wukirsari
belum memenuhi harapan pemerintah desa dalam rangka peningkatan sumber daya
manusia yang dimiliki. Hanya sekitar 345 orang yang mengenyam peguruan tinggi,
lulus SMA sebanyak 3.325 orang, lulus SMP sebanyak 4.722 orang, lulus SD
sebanyak 5.320. selain pendidikan umum warga desa wukirsari juga banyak yang
menempuh pendidikan khusus, yaitu pondok pesantren, madrasah diniyah dan
kursus ketrampilan.
Mata pencaharian penduduk desa wukirsari pada umumnya berkaitan dengan
sektor pertanian, perdagangan dan industri rumah tangga. Jumlah penduduk yang
berprofesi sebagai petani sebanyak 2.840 jiwa (34,09%) dan buruh tani sebanyak
1.168 jiwa (14,02%). Penduduk yang berprofesi disektor perdagangan sebanyak 577
orang sedangkan untuk industri rumah tangga sebanyak 362 orang.
Bagi desa Wukirsari sektor perekonomian meliputi fungsi-fungsi kegiatan
pertanian, kegiatan industri rumah tangga, perdagangan, jasa dan kegiatan budaya
19
tradisional. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2007 mencapai sekitar 77.762 jiwa,
dan sebagian besar bekerja di sektor ekonomi sekunder seperti kerajinan, disusul
sektor ekonomi tersier seperti perdagangan dan jasa pekerjaan di swasta. Selain
memiliki kekayaan seni budaya itu, Wukirsari juga layak dikembangkan menjadi
desa wisata karena memiliki situs purbakala seperti Permakaman Imogiri. Selain itu
terdapat wisata belanja yaitu kerajinan tatah sungging di dusun pucung. Tatah
sungging merupakan proses dalam pembuatan wayang kulit dengan cara ditatah.
Penduduk Wukirsari dihadapkan terhadap beberapa bencana alam yang dapat
berpotensi mengakibatkan kerusakan. Kondisi kawasan bencana dan potensi
bencana disajikan dalam tabel di bawah.
Tabel 4.4. Kondisi Kawasan Bencana dan Potensi Bencana
Permasalahan Penyebab Lokasi Asumsi
penyelesaian
Pemukiman terancam
longsor, bahkan sering
terjadi
Erosi dan
penggundulan
hutan
Karangasem,
jatirejo, dengkeng,
karangkulon,
giriloyo, cengkehan,
nogosari dan
kedungbuweng
Pembuatan
bangket dan
pemindahan
pemukiman
Sayap jembatan rusak
(jebol)
Erosi kali celeng Giriloyo,
karangkulon,
cengkehan, tilaman,
nogosari, jatirejo
Pembuatan
bangket
Jarak antara sungai
dengan rumah warga
hanya sekitar 5 m,
sehingga sangat rawan
longsor sepanjang 500
m
Erosi kali celeng Nogosari,
karangasem
Pembuatan
bangket
Banjir yang terjadi tiap
tahun, menjadi
keresahan warga, air
banjir menggenangi
rumah warga dan.
Kurang lebih 440 KK
tiap tahun selalu
menjadi penerima
dampak banjir
Luapan air sungai
celeng lengsung
melimpah ke
permukiman
warga karena
tidak ada
penahannya
Tilaman, nogosari,
karangasem,
dengkeng
Perlunya bangket
di sepanjang
aliran sungai di
tepian
permukiman
wukirsari
Jarak sungai dan jalan
propinsi bersebelahan
(berdekatan)
Erosi sungai
celeng
Nogosari, dan
karangasem
Pembangunan
bangket jalan
sungai
Permukiman banjir - Adanya Sindet RT 04, 05 Bangket saluran
20
Sumber: Data desa Trimulyo
3. Kecamatan Cangkringan
Cangkringan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kecamatan Cangkringan berada di sebelah Timur
Laut dari Ibukota Kabupaten Sleman. Jarak Ibukota Kecamatan ke pusat
pemerintahan (Ibukota) Kabupaten Sleman adalah 25 Km. Kecamatan Cangkringan
mempunyai luas wilayah 4.799 Ha. Kecamatan Cangkringan termasuk dalam
kawasan lereng Gunung Merapi, yaitu wilayah yang berada di sisi Utara jalan yang
menghubungkan kota Tempel, Turi, Pakem, dan Cangkringan (Ringbelt) sampai
dengan puncak Gunung Merapi. Wilayah ini merupakan wilayah yang memiliki
potensi sumber daya air dan ekowisata yang berorientasi pada kegiatan Gunung
Merapi dan ekosistemnya. Namun, akibat erupsi Merapi tahun 2010, sebagian
wilayah ini telah hancur terkena terjangan awan panas, terutama di wilayah
Kecamatan Cangkringan.
Wilayah Cangkringan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Selo,
Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kemalang dan
Manisrenggo, Kabupaten Klaten, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Ngemplak, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pakem. secara
adminstratif cangkringan terdiri atas Desa Argomulyo, Glagaharjo, Kepuharjo,
Umbulharjo, dan Wukirsari.
Cangkringan memiliki 43 pedukuhan yang tersebat di lima desa. Di Desa
Argomulyo terdapat dukuh Bakalan, Brungkol, Cawisab Banaran, Cangkringan,
Dliring, Gadingan, Gayam, Jaranan, Jetis, Jiwan, Karanglo, Kauman, Kebur kidul,
Kebur lor, Kliwang, Kuwang, Mudal, Panggung, Randusari, Sewon, Suruh, dan dan
dukuh Teplok. Desa Glagaharjo terdiri atas dukuh Banjarsari, Besalen, Gading,
Glagah Malang, Jetis Sumur, Kalitengah Kidul, Kalitengah Lor, Ngancar, Singlar,
dan dukuh Srunen. Kepuharjo memiliki 8 pedukuhan, yakni Batur, Jambu,
Kaliadem, Kepuh, Kopeng, Manggong, Pager Jurang, dan Petung. Umbulharjo
terdiri atas dukuh Balong, Gambretan, Gondang, Karanggeneng, Palemsari,
tahunan (tiap musim
hujan)
perumahan
bumi trimulyo
- Penggundulan
hutan/ lahan
dan sebagian RT 03 drainase dan
pelebaran
saluran
21
Pangukrejo, Pentingsari, Plosokerep, dan dukuh Plosorejo. Sedangkan di Wukirsari
ada dukuh Bedoyo, Bulaksalak, Cakran, Cancangan, Duwet, Glagah Wero,
Gondang, Gungan, Karang pakis, Kiyaran, Kregan, Ngemplak, Ngempringan,
Plupuh, Pusmalang, Rejosari, Salam Krajan, Selorejo, Sembungan, Sempon,
Sintokan, Sruni, Surodadi dan dukuhTanjung.
Kondisi geografis Kecamatan Cangkringan berada di dataran tinggi, yakni di
kaki gunung Merapi sebelah selatan. Ibukota kecamatannya berada pada ketinggian
400 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Cangkringan beriklim seperti
layaknya daerah dataran tinggi di daerah tropis dengan cuaca sejuk sebagai ciri
khasnya. Suhu tertinggi yang tercatat di Kecamatan Cangkringan adalah 32ºC
dengan suhu terendah 18ºC. Bentangan wilayah di Kecamatan Cangkringan berupa
tanah yang berombak dan perbukitan.
Kecamatan Cangkringan dihuni oleh 7.992 KK. Jumlah keseluruhan penduduk
Kecamatan Cangkringan adalah 27.657 orang dengan jumlah penduduk laki-laki
13.361 orang dan penduduk perempuan 14.296 orang dengan kepadatan penduduk
mencapai 524 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk Kecamatan Cangkringan adalah
peternak. Dari data monografi kecamatan tercatat 13.224 orang atau 47.81 %
penduduk Kecamatan Cangkringan bekerja di sektor peternakan.
Sarana dan prasarana perekonomian di Kecamatan Cangkringan antara lain
koperasi berjumlah 3 buah, pasar 5 buah. Usaha industri kecil 4 unit, serta industri
RT berjumlah 425 unit. Rumah makan yang terdaftar ada 11 rumah makan, usaha
yang bergerak dalam usaha perdagangan ada 6 buah, sedang angkutan ada 4. selain
itu di kecamatan ini terdapat 2 buah taman rekreasi, 1 buah hutan lindung, tempat
pertunjukan kesenian 1 buah, tempat rekreasi alam dan sejarah 2 buah, toko
cenderamata 1 buah. Di kecamatan ini juga terdapat 1 buah sanggar kesenian, 5
buah anggota kesenian dan 5 buah anggota seniman. Terdapat wisata agro yang
berada di Jambu, Kepuharjo serta wisata lereng Merapi yang berada di Kinahrejo,
Kepuharjo. The Cangkringan Jogja, Villa and Spa menyediakan lokasi yang
strategis didukung pemandangan alam yang asri, wisatawan dapat menyaksikan
secara jelas Gunung Merapi dan bisa mengabadikannya dari sudut pandang yang
pas. Produksi pertanian yang paling banyak di kecamatan ini adalah padi yang
mencapai 62.344,5 ton pertahun, kemudian disusul kacang tanah, jagung, buah-
22
buahan dan sayuran. Peternakan terbanyak adalah ternak sapi potong, kemudian
kambing dan domba. Unggas yang terbanyak ayam buras, diikuti ayam ras petelur
dan ayam ras pedaging. Hasil produksi perikanan kecamatan ini mencapai 7.598
kg/tahun, yang terbanyak adalah ikan mujahir/nila, disusul lele dan gurameh.
4. Kecamatan Pakem
Pakem adalah sebuah kecamatan diKabupaten Sleman, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah 4.384,08 Ha2.
. Batas kecamatan Pakem
wilayah barat adalah Kecamatan Turi, utara Gumung Merpai, timur kecamatan
Cangkringan, dan wilayah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ngaglik. Jarak
ibukota kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota) Kabupaten Sleman adalah 14
km. Lokasi ibukota Kecamatan Pakem berada di 77.66708’ LS dan 110.42011’ BT.
Kecamatan Pakem berada di dataran tinggi. Ibukota kecamatannya berada pada
ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Pakem beriklim seperti
layaknya dataran tinggi di daerah tropis dengancuaca sejuk sebagai ciri khasnya.
Bentangan wilayah di kecamatan Pakem berupa tanah yang berombak, perbukitan
serta pegunungan.
Kecamatan Pakem terbagi dalam lima Desa yaitu Desa Candibinangun, Desa
Hargobinangun, Desa harjobinangun, Desa Pakembinangun, dan Desa
Purwobinangun. Untuk Desa Purwobinangun terbagi lagi menjadi 16 padukuhan
yang terdiri dari: Beneran, Bunder, Gatep, Jamblangan, Kadilobo, Karanggeneng,
Kardangan, kemiri, Ngelosari, Ngepring, Potro, Sembung, Tawangrejo, Turgo,
Watuadeg, dan Wringin.
Jumlah penduduk di Kecamatan Pakem sebanyak 32.561 jiwa, dengan jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 15.847 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah
16.714 jiwa. Sebagian besar penduduk Pakem adalah petani.
Letak kecamatan Pakem yang berada di lereng Gunung Merapi dan memiliki
obyek wisata Kaliurang membuat sektor perdagangan, jasa, hotel dan restoran
menyumbang 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDRB).
23
B. Deskripsi Komunitas Sadar Bencana
Komunitas sadar bencana yang menjadi unit analisis dalam kegiatan penelitian
ini mencakup dua komunitas di kabupaten Sleman yaitu: LAPBA dan PASAG Merapi,
dan dua komunitas yanga berada di Kabupaten Bantul yaitu Forum Pengurangan Resiko
Bencana (FPRB) dan Bumi Langit Institute. Selain itu, dua PKBM pun dijadikan satuan
kajian penelitian.
1. LABPA
LAPBA adalah organisasi relawan yang keanggotaannya berbasis Masyarakat
lokal Desa Purwobinangun Pakem Sleman yang bertujuan melaksanakan kegiatan
kemanusiaan pengurangan resiko korban baik harta benda maupun jiwa yang
diakibatkan oleh kebencanaan terutama bahaya letusan Gunung Merapi maupun
bencana lain yang disebabkan oleh alam maupun manusia diwilayah desa
Purwobinangun Pakem Sleman pada khususnya dan di wilayah DIY pada
umumnya.
Purwobinangun berdiri pada hari Rabu tanggal 4 September 2002 dengan
dipelopori para anggota Satlinmas Desa Purwobinangun yang sepakat untuk
mewadahi potensi SDM warga masyarakat Desa Purwobinangun Pakem Sleman
Yogyakarta dalam bidang penanggulangan bencana, keamanan, serta sosial
kemasyarakatan lainnya dan yang paling utama adalah berperan aktif dalam
penanggulangan bencana alam Gunung Merapi khususnya di wilayah
Purwobinangun yang memiliki sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan
KRB III gunung Merapi.
Ke depan Jajaran berkeinginan mampu menjadikan personelnya sebagai
kerangka dalam hal penanggulangan bencana letusan gunung Merapi, sehingga
seluruh penanganan kebencanaan diwilayah Purwobinangun dilakukan secara
mandiri oleh personel baik penanganan pengungsi, pendataan pengungsi maupun
pendataan dan distribusi bantuan baik bantuan personel maupun barang.
Selain bergerak dalam rangka penanggulangan kebencanaan alam, keberadaan
yang awal mulanya dibidani oleh para anggota Linmas Desa Purwobinangun
menjadi penting karena selama ini juga mampu berperan sebagai jembatan
komunikasi antara pemerintah melalui Pemerintah Desa Purwobinangun dengan
warga masyarakat terkait dengan pelaksanaan pembangunan desa dan yang paling
24
utama sebagai ujung tombak pelaksanaan antisipasi gangguan keamanan yang
berpotensi terjadi diwilayah Purwobinangun Pakem Sleman.
Hal di atas tidak terlepas dari keberadaan anggotanya yang terdiri unsur Pamong
desa Purwobinangun, Jajaran Linmas, Rescue, PMI, Tagana, TNI-Polri dan para
relawan dari beragam profesi lainnya yang selalu bersama-sama dikoordinir dalam
satu komando dalam setiap penugasan di lapangan. Anggota saat ini berjumlah
lebih dari 100 personel dengan anggota aktif 65 personel yang siap diterjunkan
dilapangan selebihnya adalah anggota cadangan yang apabila dalam kondisi sangat
darurat bersedia membantu. Saat ini organisasi sedang membenahi data organisasi
dengan meregistrasi ulang para anggota kemudian melakukan pemberian Nomor
Induk Anggota (NAL) serta pengadaan Kartu Tanda Anggota (KTA).
Rekruitmen anggota ditentukan oleh satu tim yang terdiri dari Komandan,
Penasihat, dua orang sesepuh dan anggota Bhabinkamtibmas Desa Purwobinangun.
Penyaringan bertujuan untuk mendapatkan anggota yang memiliki jiwa
kerelawanan, loyal terhadap organisasi. Anggota dapat juga diberhentikan
keanggotaanya dari Jajaran bila melakukan tindak kriminal dan tindakan yang
mencemarkan nama baik organisasi. Sumber dana Jajaran dalam menjalankan
kegiatannya dari iuran anggota serta bantuan bantuan dari Pemerintah melalui dinas
terkait.
Para anggota melaksanakan kegiatan pertemuan rutin bulanan setiap tanggal 19
(malam tanggal 20) di balai desa Purwobinangun. Kegiatan pertemuan berisikan
kegiatan membayar iuran untuk kas pembiayaan operasional repeater dan anggota,
serta diadakan absensi malam yang diadakan pada pukul 20.00 wib setiap malam
untuk mengecek kesiapan baik anggota maupun perangkat handy talkie (HT) yang
digunakan anggota. Dalam melaksanakan tugas kemanusiaan dan menjaga
keamanan wilayah Purwobinangun, seluruh anggota jajaran menggunakan
perangkat HT sebagai sarana komunikasi menggunakan frekwensi 15.917 MHz
dengan fasilitas Repeater atau Radio Pancar Ulang yang terpasang di Posko 2 di
Dusun Ngepring Purwobinangun.
Penggunaan fasilitas RPU sangat vital dalam mengemban tugas kemanusiaan
dijajaran anggota sebagai sarana penunjang komunikasi antar sesama anggota baik
yang bertugas di garis depan sebagai Tim Rescue dengan anggota digaris belakang
25
yang bertugas menangani dan mendata korban bencana maupun pengungsi serta
menyediakan logistik. Pelaksanaan tugas ini selalu dalam satu gerak koordinasi atau
komando sehingga terhindar dari kesalahpahaman berkomunikasi dalam
pelaksanaan tugas di lapangan. Komunitas berencana mendirikan repeater cadangan
baru terletak di rumah Bp Darwis Arbiantara Gatep RT 03 RW 30 Purwobinangun
yang menjadi Pos Komando (Posko) Induk di selatan Kantor Desa Purwobinangun
yang merupakan wilayah yang relatif aman sejauh 14 km dari puncak Merapi dapat
mengcover seluruh wilayah Purwobinangun serta memudahkan perawatannya untuk
meminimalisir malfungsi repeater tersebut sehingga menunjang secara maksimal
pelaksanaan tugas anggota di lapangan.
Awal tahun 2012 ini guna meningkatkan koordinasi dalam komunitas, maka
para anggota membangun secara swadaya Posko Induk yang terletak di Dusun
Gatep. Posko tersebu saat ini sudah dipergunakan untuk kegiatan piket malam oleh
para anggota yang terploting per 10 hari sekali dimulai dari jam 19.30 wib – 04.00
wib.
2. Paguyuban Sabuk Gunung Merapi (PASAG MERAPI)
Relawan Pasag Merapi (Paguyuban Sabuk Gunung Merapi), merupakan salah
satu komunitas sadar bencana yang ada di Kecamatan Cangkringan. Pasag Merapi
adalah Paguyuban masyarakat Merapi yang berdiri sejak tahun 2001 mempunyai
visi dan misi yang sama untuk mewujudkan kesadaran, kepedulian dan kemandirian
dalam menjaga kelestarian kawasan Merapi.
Pendirian komunitas ini merupakan perwujudan dari kepedulian masyarakat
yang berada di kawasan Gunung Merapi untuk ikut serta melestarikan kehidupannya
dalam menghadapi ancaman bahaya baik primer, sekunder maupun tersier dari
letusan Gunung Merapi karena walau diyakini siklus erupsi Gunung Merapi terjadi
setiap 4 tahun sekali, tetapi ancaman dari Erupi Gunung Merapi dapat terjadi kapan
saja. Komunitas Pasag Merapi bersama dengan masyarakat yang ada di kawasan
Gunung Merapi berupaya membangun tatanan sosial di kawasan Gunung Merapi.
Pengalaman buruk yang pernah terjadi diharapkan tidak terjadi kembali dimana
pengalaman erupsi Merapi yang terjadi pada masa lampau mengakibatkan bencana
alam yang memakan korban baik jiwa maupun harta serta sejarah penanganan
bencana letusan Gunung Merapi yang tidak baik maka komintas ini muncul.
26
Visi dan misi dari Pasag Merapi yaitu: Terwujudnya masyarakat yang bersatu,
peduli, sadar dan mandiri dalam menjaga kelestarian kawasan merapi. Untuk
mencapai visi ini dirumuskan misi sebagai berikut:
a. Membangun hubungan baik, kerja sama antar anggota dan masyarakat
kawasan Merapi
b. Mendorong masyarakat dalam pelestarian lingkungan yang berguna bagi
semua dan berkelanjutan
c. Mendorong kapasitas serta kemandirian masyarakat serta mengembangkan
ilmu pengetahuan kesiapsiagaan kepada masyarakat luas
d. Membangun jaringan kerja sama dengan segala pihak yang peduli dan sadar
terhadap kelestarian kawasan merapi
e. Meningkatkan sumber daya masyarkat luas di segala bidang kehidupan,baik
ekonomi,sosial dan budaya
f. Melibatkan perempuan dalam kegiatan pelestarian lingkungan di kawasan
Merapi
Cakupan wilayah kerja komunitas ini meliputi wilayah di dua provinsi, dengan 4
kabupaten,12 kecamatan dan 62 desa. Sekretariat pusat berada sesuai dengan
domisili Ketua Umum Pasag Merapi. Sekretariat tingkat Kabupaten berada sesuai
domisili koordinator tingkat Kabupaten, dan kebutuhan sekretariat di tingkat
kecamatan, desa, dusun disesuaikan dengan kebutuhan. Keanggotaan Pasag Merapi
terdiri dari beberapa unsur masyarakat yang berada di kawasan Merapi yang
memiliki kesamaan dalam hal visi dan misi. Anggota Pasag Merapi terdiri dari
individu unsur masyarakat di wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) 1, KRB 2
dan dan KRB 3 yang peduli terhadap pengurangan risiko bencana di kawasan
Gunung Merapi, sedangkan anggota di luar kawasan Merapi dengan syarat tidak
bertentangan dengan visi dan misi. Sampai saat ini jumlah anggota pasag merapi
mencapai 3-4 ribu orang yang meliputi Sleman, Boyolali, Magelang, dan Klaten.
Komunitas Pasag Merapi menjalin kerja sama dengan beberap mitra terkait
bidang kebencanaan, seperti BNPB, BPBD, BPPTK, SAR, pemerintah dan lembaga
lain yang setara dan transparansi serta kegiatan yang tidak bertentangan dengan visi
dan misi Pasag Merapi. Struktur kepengurusan organisasi ini meliputi seorang
koodinator pusa, seorang sekretaris, seorang bendahara, seorang dewan penasehat
pada masing-masing wilayah kerja (Sleman, Magelang, Boyolali, Klaten, dan Mitra
Pasag), empat koordinator pada masing-masing wilayah kerja, dan masing-masing
satu orang pelaksana urusan persatuan (Nyawiji), advokasi dan pemberdayaan
27
perempuan (mrih), pelestarian lingkungan (lestari), dan peningkatan Kapasitas &
pemberdayaan (lestari).
3. Bumi Langit Institute
Bumi langit Institute merupakan komunitas yang berusaha membangun
kehidupan manusia menjadi harmonis dengan alam. Kehadiran lembaga ini
dilatarbelakangi oleh pengalaman seseorang atau pendiri yang merasa terpanggil
untuk memberikan yang terbaik bagi kemakmuran manusia dan kelestarian alam.
Berbekal pengalaman, ilmu pengetahuan yang telah dipelajari, dan dukungan
fasilitas pendanaan yang dimiliki, pendiri lembaga membangun komunitas sadar
bencanan yang menempati lahan seluas tiga hektar di Daerah Wukirsarai, Imogiri,
Bantul.
Komunitas sadar bencana yang bernama Bumi Langit Institute memiliki tujuan
untuk membangun masyarakat yang hidup selaras dengan alam. Bencana mereka
makna sebagai sesuatu yang timbul karena manusia hidup di alam tidak menjaga
kelestarian dan kebersinambuangan dengan alam. Alam tidak dimaknai sebagai
seseuatu yang jahat, namun segala sesuatu yang dapat memberikan kebermanfaatan
kepada manusia apabila manusia melakukan tindakan yang dipandang serasi dan
tidak memusuhi alam. Komunitas ini mendukung atau mencita-citakan hidup
manusia yang permanen/lestari dan berkesinambungan dengan alam yang tetap
terjaga.
Lembaga ini merupakan tempat untuk tempat dimana setiap orang dapat melihat
dan belajar mengenai pentingnya hubungan mutual antara kehidupan manusia
dengan alam lingkungannya. Dalam hubungan yang mutual ini manusia memiliki
tanggung jawab dan peran yang sangat penting dalam menjaga dan menata
lingkungan hidupnya agar selalu utuh dalam keseimbangan; tempat dimana
kebijaksanaan dan keterampilan yang diwariskan dari tradisi-tradisi luhur
kemanusiaan dapat kita pelajari dan aplikasikan kembali dalam kehidupan
keseharian kita. Sebuah tempat dimana teknologi modern hadir sebagai solusi,
bukan awal dari permasalahan.; tempat dimana nilai etika (adab) yang baik menjadi
fondasi dasar dalam hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya,
juga manusia terhadap manusia lainnya; tempat dimana pendekatan hidup adalah
28
kerja sama (koperatif), bukan persaingan (kompetisi), dan tempat yang
menghadirkan kembali makna kemanfaatan yang luas dan kearifan sebagai dasar
dalam semua perencanaan dan tindakan dalam kehidupan manusia (
www.bumilangit.org).
4. Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB)
Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa adalah Badan Penanggulangan
Bencana Desa, yang berperan sebagai fasilitator dan inisiator penyelenggaraan
kegiatan penanggulangan bencana di tingkat desa, yang didirikan di tingkat desa dan
memiliki peran dalam penanggulangan bencana, baik secara tersendiri maupun
secara bersama-sama dengan pihak lain. Landasan yuridis dari Forum PRB Desa ini
adalah Keputusan Kepala Desa. Anggota forum ini adalah stakeholders desa, baik
pemerintah maupun non-pemerintah.
Forum ini memiliki fungsi dan tugas yang mencakup:
a. Merumuskan kepengurusan FPRB Desa dan Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga FPRB Desa.
b. Berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa, agar
berwawasan sadar bencana.
c. Fasilitasi perumusan regulasi dan peraturan bidang penanggulangan bencana
di wilayah Desa Wonolelo, termasuk di antaranya adalah RPB Desa
Wonolelo 2010-2015 dan RAK Desa Wonolelo.
d. Penyelenggaraan dan pengkoordinasian kegiatan penanggulangan bencana di
wilayah desa sesuai RPB Desa Wonolelo 2010-2015 dan RAK Desa
Wonolelo.
e. Perumusan Pedoman dan Pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara.
f. Fasilitasi penetapan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
peraturan desa.
g. Menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana yang ada dan
melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Pemerintah
29
Desa setiap bulan pada kondisi normal, dan pada setiap saat dalam kondisi
darurat bencana.
h. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan penggunaan
dana/sumbangan/bantuan yang masuk ke Forum Pengurangan Risiko
Bencana Desa.
i. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
j. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan
dan Peraturan Desa; dan menyusun pedoman pembentukan Forum
Pengurangan Risiko Bencana Desa.
k. Menyampaikan laporan kerja dan penggunaan anggaran tahunan kepada
pemerintah desa, stakeholders desa, dan masyarakat desa, serta pihak-pihak
lain yang berkepentingan.
Forum ini dalam melakukan aktivitasnya didukung oleh sumberdaya baik
pendanaan maupun fasilitas baik yang bersumber dari desa maupun dari luar desa.
Sumberdaya ini diperoleh dari: a) Swadaya Masyarakat Desa; b) APBDes/ADD; c)
Satker/Musren/Stimulan; d) Proyek Khusus; dan e) Kerjasama Lembaga.
Dalam tataran kehidupan desa, memiliki kedudukan sebagai lembaga desa, yang
dalam menjalankan peranannya akan beririsan dengan lembaga lain di tingkat desa.
Pola hubungan yang tercipta tercermin dalam skema di bawah ini:
30
Gambar 4.1. Skema Kedudukan dan Peranan FPRB Desa diantara Stakeholders
Pembangunan Tingkat Desa
C. Kegiatan Komunitas Sadar Bencana
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang
berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang
dilakukan untuk megurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun
harta. Terkait dengan ini, dideskripsikan mengenai kegiatan yang dilakukan komunitas
sadar bencana yang ditinjau dari sudut pandang pendidikan atau pemberdayaan baik
dalam aspek: pra-bencana/persiapan, rekonstruksi, dan pasca bencana, dan manajemen
pengetahuan kebencanaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap komunitas sadar bencana memiliki
perbedaan dalam membangun masyarakat yang lebih siap menghadapi dan
menyesuaikan diri terhadap munculnya bencana.
1. LAPBA
Program Kegiatan yang telah dilakukan oleh LAPBA Merapi, yaitu bersifat
preventif, pas, dan pasca dalam penanggulangan bencana.
a. Program Preventif Bencana
Program preventif yang ada di adalah Pelatihan Tanggap Darurat Bencana.
Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
31
tentang kebencanaan dan melatih kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi
bencana. Sasaran pelatihan adalah semua anggota komunitas yang berada di wilayah
Desa Purwobinangun Pakem. Proses penentuan program dilakukan dengan cara
rapat yang dihadiri oleh pengurus, pihak dari Desa Purwobinangun dan para kadus
di wilayah tersebut.
Pelatihan dilaksanakan setiap triwulan (setiap tiga bulan sekali) pada minggu
pertama. Materi dari pelatihan adalah suvival, tali temali dan simulasi warga
menghadapi bencana. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelatihan ini diantaranya
adalah BPBD (pemateri), Babinsa (pengarah teknis), Babinkamtibmas (pengarah
teknis), dan pemerintah desa Purwobinangun (penyedia fasilitas). Hasil yang
diperolah dari pelatihan ini adalah masyarakat menjadi lebih tanggap terhadap
bencana dan berkurangnya korban akibat bencana yang terjadi.
b. Evakuasi Bencana
Evakuasi bencana dilaksanakan ketika terjadinya bencana. Proses penentuan
program dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan pihak-pihak yang
berkepentingan dan berwenang, seperti pejabat Desa Purwobinangun, kadus-kadus
dan tokoh masyarakat wilayah tersebut. Sasaran dari evakuasi ini adalah semua
masyarakat yang terindikasi dapat terkena dampak dari bencana beserta hewan
ternak mereka. Evakuasi yang dilakukan seperti mengevakuai warga dan ternak,
distribusi bantuan pengamanan lokasi bencana (perlindungan harta benda) dan
pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan). Pihak-pihak yang terlibat
dalam kegiatan ini antara lain: BNPB, BPBD, SAR, PMI, masyarakat dan
lembaga/organisasai lain yang peduli terhadap terjadinya bencana.
c. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Program ini dilaksanakan pasca bencana terjadi dengan rapat dan koordinasi
yang dilakukan dengan pihak-pihak yang berkepentingan khususnya pihak dari Desa
Purwobinangun. Tujuan dari rehabilitasi dan rekonstruksi adalah melakukan
perbaikan pada semua aspek yang ada di masyarakat dan perbaikan sarana dan
prasarana yang rusak terkena dampak bencana. Pihak-pihak yang terlibat
diantaranya adalah BPBD, Babinsa, Babinkamtibmas, SAR, Pemerintah Desa
Purwobinangun dan Tagana.
32
2. PASAG MERAPI
Program kegiatan yang telah dilakukan oleh Pasag Merapi dalam hal
penanggulangan bencana mencakup yaitu kegiatan bersifat preventif, saat bencana
terjadi, dan pasca dalam penanggulangan bencana.
a. Program Preventif Bencana
Program preventif yang dilakukan Pasag Merapi berbentuk pelatihan, yaitu
Pelatihan Penanggulangan Gawat Darurat (PPGD) dan Pelatihan Wajib Latih
Penanggulangan Bencana (WLPB).
1) Pelatihan Penanggulangan Gawat Darurat (PPGD)
Pelatihan penanggulangan gawart darurat dimaksudkan menumbuhkan
kesadaran masyarakat tentang kawasan bencana Merapi. Sasaran dari program ini
yaitu masyarakat yang berada di kawasan bencana Merapi. Proses penentuan
program dilaksanakan dengan rapat koordinasi antara pengurus Pasag Merapi
dengan pemerintah desa, masyarakat, dan lembaga terkait yang berkompeten
terhadap bidang kebencanaan (BPBD, BPPN). Pihak yang berkompeten dalam
kebencanaan sebagai narasumber teknis sedangkan masyarakat sebagai pelaku
utama. Waktu pelaksanaan biasanya dilakukan setiap 2 bulan sekali, dengan materi
kenbencanaan yang dibahas meliputi pemetaan (peta kerawanan bencana, peta
kapasitas bencana, peta kerentanan), dan pelayanan terpadu masalah kesehatan dan
keselamatan korban bencana. Hasil akhir dari pelatihan tersebut berbentuk Standar
Operasional Prosedur (SOP) penanggulangan bencana.
2) Pelatihan Wajib Latih Penanggulangan Bencana (WLPB)
Tujuan kegiatan pelatihan ini yaitu mewujudkan masyarakat pada KRB I
memiliki ketahanan terhadap bencana. Sedangkan sasran dari program ini yaitu
semua warga yang berada dalam KRB I. Proses penentuan program dilaksanakan
dengan rapat pengurus Pasag Merapi dan berkoordinasi dengan pihak pemerintah
desa, masyarakat, dan lembaga terkait yang berkompeten terhadap bidang
kebencanaan (BPBD, BPPTK, SAR). Dalam kegiatan pelaithan ini, warga/anggota
Pasag Merapi menjadi pelaku utama yang difasilitasi oleh narasumber teknis yang
dipandang berkompeten. Program ini telah dilaksanakan pada tahun 2012, dengan
materi kebencanaan mengenal Gunung Merapi dan ancamannya, menanggulangi
bencana, mengurangi resiko bencana Gunung Merapi, dan prosedur tetap
33
penanggulangan bencana. Hasil akhir yang diperoleh dari pelatihan ini berupa
dokumen penanganan bencana bagi tiap desa.
b. Saat Terjadi Bencana
Kegiatan yang dilakukan ketika terjadi bencana yaitu evakuasi bencana yang
bertujuan untuk mengevakuasi masyarakat agar terhindar dari resiko bencana yang
terjadi. Evakuasi yang dilakukan seperti mengevakuai warga dan ternak, distribusi
bantuan pengamanan lokasi bencana (perlindungan harta benda) dan pemenuhan
kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan). Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan
ini antara lain: BNPB, BPBD, SAR, PMI, masyarakat dan lembaga/organisasai lain
yang peduli terhadap terjadinya bencana.
c. Pasca Bencana
Kegiatan yang dilakukan ketika terjadi pasca bencana yaitu rehabilitasi dan
rekonstruksi. Tujuan dari kegiatan ini yaitu merekonstruksi sarana dan prasarana
yang rusak dan merelokasi tempat tinggal warga yang rusak akibat bencana. Sarana
prasaran yang direkonstruksi seperti fasilitas umum meliputi jaringan listrik dan
komunikasi, akses jalan dan sarana MCK. Tempat tinggal warga yang rusak
kemudian direlokasi menjadi hunian tetap (hutap) masing-masing padukuhan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini seperti pemerintah desa, SAR, Tagana,
BNPB, BPBD dan masyarakat sendiri.
3. Foum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB)
Bencana dan risiko bencana adalah suatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia, maka perlu adanya upaya-upaya yang harus dilakukan untuk dapat
mengurangi risiko bencana mulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsigaan,
peringatan dan perencenaan yang baik untuk menghadapi ancaman bencana yang
mungkin akan terjadi. Kegiatan dilakukan jauh sebelum bencana terjadi, salah
satunya adalah penguatan kapasitas dengan pengetahuan dan pendidikan baik di
masyarakat ataupun sekolah.
FBRB memiliki menjalankan fungsi melakukan kegiatan pendidikan bencana
bagi masyarakat yang ada di Desa Wonolelo, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Wonolelo
adalah salah satu daerah yang rawan terjadi bencana alam seperti tanah longsor,
gempa, angin ribut bahkan banjir. Untuk mengatasi bencana alam tersebut, FPRB
yang beranggotakan perangkat desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, kader
34
posyandu, kader PAUD, tutor dan fasilitator dari PKBM tunas harapan dan lain-lain
memiliki tugas sebagai fasilitator dan inisiator penyelenggaraan kegiatan
penanggulangan bencana di tingkat desa khususnya desa wonolelo agar masyarakat
dapat lebih siap siaga dalam menghadapi bencana yang sewaktu-waktu mungkin
akan terjadi. Adapun kegiatan pendidikan kebencanaan yang dilakukan adalah:
1. Pelatihan mitigasi bencana
Program pelatihan mitigasi bencana adalah suatu pelatihan yang memiliki tujuan
untuk memberikan pengetahuan tentang bahaya bencana dan bagaimana seharusnya
masyarakat menyikapi jika terjadi bencana. Sehingga dengan adanya program ini
dampak dari bencana itu sendiri tidak berbahaya. Untuk sasaranya sendiri anggota
FPRB desa Wonolelo dan masyarakat desa Wonolelo. Dalam pelatihan mitigasi
bencana ini ada beberapa materi yang dibahas antara lain materinya tentang
bagaimana mengindikasi bencana yang akan muncul dan bagaimana
menanggulanginya, pelatihan Pertolongan pertama Gawat Darurat (PPGD),
pemetaan wilayah yang bahaya dan yang aman dari bencana tanah longsor dan
pohon tumbang, dan trauma healing. Dari pelatihan mitigasi bencana ini diharapkan
masyarakat menjadi tahu dan mengerti bagaimana seharusnya berperilaku jika
terjadi tanah longsor atau puting beliung dan juga masyarakat menjadi bersedia
direlokasi ke tempat yang lebih aman. Dalam relokasi ini pun masyarakat
melakukan relokasi secara madiri karena pemerintah desa tidak mau menyediakan
lahan atau tanah untuk tempat tinggal yang baru bagi masyarakat yang direlokasi.
2. Penyuluhan Kebencanaan
Pada awalnya dilakukan penyuluhan atau sosialisasi terkait kebencanaan kepada
masyarakat karena melalui program ini secara langsung dapat disampaikan ke
masyarakat jika ada informasi seputar kebencanaan. Program ini biasanya dilakukan
dengan mendatangi perkumpulan yang sedang diadakan oleh warga, dan pertemuan
karang taruna yang sedang diadakan oleh pemuda yang tujuannya adalah
memberikan edukasi kepada masyarakat, bagaimana pentingnya kesadaran
masyarakat terhadap bencana. Dalam kegiatan ini materi yang dibahas adalah
berkaitan dengan kebencanaan yang diperoleh dari berbagai pelatihan dan sumber
yang dipelajari oleh anggota Forum. Dari program ini diperoleh hasil yaitu
masyarakat sudah mulai menyadari penting nya bangunan rumah yang tahan gempa,
35
sehingga masyarakat sudah tidak berani lagi membuat rumah yang seperti dulu,
pemilihan besi untuk tulangan rumah yang dulu hanya 6 mm sekarang memilih
yang 10 mm agar tulangan kuat. Selain itu, masyarakat mulai membuat desain
rumah yang dilengkapi dengan jalur evakuasi.
3. Talkshow Kebencanaan
Penentuan program ini diawali oleh kegiatan sosialisasi FPRB ke masyarakat
dengan cara mendatangi perkumpulan-perkumpulan yang diadakan oleh masyarakat,
masih belum tentu diikuti atau diketahui oleh semua warga masyarakat. Talkshow
di radio komunitas ini diharapkan masyarakat yang tidak hadir dalam perkumpulan
itu bisa mendengarkan melalui radio komunitas ini dengan waktu pelaksanaan
sebulan sekali dengan narasumber adalah ketua FPRB. Program ini memiliki tujuan
memberikan informasi terutama tentang resiko bencana dan sasaran program ini
agar warga bisa lebih dini mendeteksi adanya bencana sehingga resiko dapat
terkurangi. Dalam talkshow ini membahas materi seputar kebencanaan dan keadaan
alam yang terjadi sekarang ini sehingga masyarakat selalu waspada dan siap siaga.
4. Pembuatan film dokumenter
Pembuatan film dokumenter ini dilatarbelakangi oleh suatu masalah yaitu
adanya konflik antar warga karena pencemaran lingkungan akibat kotoran sapi yang
tidak di kelola dengan benar oleh masyarakat. Pembuatan film dokumenter ini
memiliki tujuan untuk memberikan edukasi atau pendidikan serta informasi tentang
pencemaran lingkungan akibat kotoran sapi. Sasaran dari program ini adalah warga
desa wonolelo terutama warga yang memiliki konflik yang besar akibat pencemaran
kotoran hewan. Adanya film dalam bentuk video dapat sedikitnya membuka pola
pikir masyarakat untuk lebih cinta terhadap lingkungan dengan cara mengurangi
pencemaran lingkungan. Selain itu melalui video ini dapat juga dilihat cara
mengolah kotoran sapi menjadi biogas dan lain-lain.
5. Program penanggulangan kebakaran
Program penanggulangan kebakaran adalah salah satu program pelatihan khusus
untuk anggota FPRB. Program ini ditentukan berdasarkan rapat anggora FPRB Desa
Wonolelo dengan tujuan untuk lebih memahami penanganan kebakaran yang
mungkin terjadi. Materi yang dibahas dalam program ini adalah bagaimana
36
menanggulangi kebakaran yang mungkin terjadi dan bagaimana menangani korban
kebakaran.
6. Pemetaan daerah rawan bencana dan pembuatan jalur evakuasi
Pada awalnya pemetaan daerah rawan bencana dilakukan karena di desa
wonolelo terdapat beberapa titik yang rawan bencana longsor sehingga diadakan
pemetaan wilayah atau daerah rawan longsor agar masyarakat yang masih tinggal di
daerah rawan longsor dapat segera di pindah ketempat yang lebih aman. Setelah
adanya pemetaan kemudian di adakan pemasangan jalur-jalur evakuasi untuk
membantu warga dalam menyelamatkan diri jika terjadi suatu bencana.
7. Relawan tingkat desa
Relawan tingkat desa ini dilakukan oleh FPRB yang bertugas sebagai relawan
dan membantu warga masyarakat yang sedang tertimpa bencana terutama bencana
alam. FPRB selalu siap kapan saja untuk membantu.
Dari berbagai kegiatan ataupun program pendidikan masyarakat terkait
kebencanaan yang dilakukan oleh FPRB tersebut yang dapat efektif dilakukan
adalah sosialisasi terkait kebencanaan di perkumpulan warga, sosialisasi di
pertemuan karang taruna, talkshow tentang kebencanaan melalui radio komunitas
sadewo, pelatihan mitigasi bencana untuk seluruh warga desa Wonolelo dan
pembelajaran anak usia dini melalui lagu dan bermain peran. Dalam melakukan
berbagai kegiatan tersebut tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak seperti Dinsos,
BPBD Bantul, PMI, Tagana dan lain-lain. Program pembelajaran kebencanaan yang
telah berjalan memberikan dampak positif bagi warga yaitu bagi warga yang berada
di daerah rawan longsor mau direlokasi ke tempat yang lebih aman, masyarakat
menjadi lebih siap dengan bencana yang mungkin terjadi.
4. Bumi Langit Institute
Sebagai penyelenggara kegiatan pembelajaran yang memungkinkan setiap orang
ingin mengembangkan nilai, pengetahuan dan keterampilan mengenai kelestarian
lingkunga, komunitas ini menyelenggarakan beberapa kegiatan edukatif yaitu: a)
perjalanan keliling, b) pelatihan permaculture, dan c) penyelenggaraan sistem
energi. Berikut deskripsi masing-masing kegiatan dimaksud:
37
1. Perjalanan keliling.
Perjalanan keliling dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan mengenai
berbagai hal yang disedikan di komunitas kepada para pengunjung. Dalam kegiatan
ini, pihak komunitas dan peserta dapat melakukan diskusi, tanyajawab mengenai
berbagai hal dalam suasana santai, akrab, dan nyaman. Perjalanan route dimulai dari
kunjungan meliihat rumah dan ruang dimana diskusi-diskusi dan pelatihan
diadakan, rumah-rumah tua yang sudah direnovasi menjadi ruang-ruang berkumpul
dan diskusi yang nyaman dan asri yang dikelilingi kebuun-kebun organik,
selanjutnya melihat pusat sistem kehidupan dimana di dalamnnya terdapat Bio Gas
Digester; sebuah sistem pengolahan limbah air, ternak cacing, ternak kelinci, dan
juga kawasan pembibitan. Semuanya berada dalam satu kawasan. Disini anda dapat
melihat langsung bagaimana sistem ini bekerja dan mempelajari saling
keterkaitannya; setelah itu dilanjutkan dengan melihat loaksi di sekitar ini berupa
kolam ikan, kandang bebek & angsa, juga sebuah kolam yang khusus dibangun
untuk proses merendam dan fermentasi (pengawetan) bambu dan kayu.
2. Pertanian terpadu
Permaculture adalah sebuah keilmuan yang terkait dengan cara hidup yang
kreatif dalam menjaga keseimbangan dan keindahan (menyatukan langit dan bumi).
Dimana hubungan Manusia tehadap Alam dan Manusia terhadap Manusia lainnya
semua dijaga (preserved) dan dipelihara (enhanced) dengan prinsip prinsip
o Perencanaan yang baik dan bijaksana
o Penggunaan sumber sumber alam dengan amat hati hati.
o Pendekatan yang beradab (ethical) dengan menghargai semua kehidupan.
Kegiatan permaculture dipandang sebagai suatu upaya yang mampu mengajak
manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat yang sama memenuhi
kebutuhan mahluk lainnya, dalam permacuter sisa menjadi sumber baru bagi
kehidupan lainnya, mengubah cara hidup manusia dari model Konsumtif menjadi
model Kreatif; memungkinkan penemuan kembali cara yang benar dalam
mewujudkan tali hubungan (tali silahturahmi) antara manusia dengan alam dan
manusia dengan manusia lainnya; dan kehidupan Manusia dikembalikan pada
Fitrahnya dan kita kembali hidup sesuai dengan Sunnatullah (ketentuan Allah).
Menurut mereka permaculture adalah sebuah konsep laku dalam mewujudkan
Rahmat Allah bagi seluruh semesta alam (rahmatil alamin).
38
3. Pembaharuan energi.
Salah satu tujuan awal Bumi Langit adalah mewujudkan keseimbangan antara
tubuh dan roh kehidupan. Dalam perilaku keseharian manusia hal ini sangat terkait
erat dengan kemampuan kita dalam memanfaatan secara kreatif sumber-sumber
energi terbarukan (renewable energy) yang berada di alam sekitar kita.
Mendasarkan pada hasil penelitian di atas, kegiatan komunitas sadar bencana
memiliki perbedaan baik pada kegiatan yang bersifat pencegahan (preventif),
penanganan bencana pada waktu terjadi bencana, dan pada masa pemulihan atau
pasca bencana terjadi. Berikut tabel ringkatan kegiatan komunitas sadar bencana.
Tabel 4.5. Kegiatan Komunitas Sadar Bencana
Pra Bencana Saat Bencana Pasca bencana
LAPBA - Pelatihan teknis penanganan
bencana bagi anggota
- Pertemuan rutin bulanan
(koordinasi)
Evakuasi Relokasi dan
Rekonstruksi
PASAG
MERAPI
- Pelatihan Penanggulangan Gawat
Darurat (PPGD)
Evakuasi Relokasi dan
Rekonstruksi
FPRB
- Penyuluhan kebencnaaan
- Pemetaan wilayah bencana
- Talkshow kebencanaan
- Pembuatan video dokumenter dan
lagu anak-anak
Evakuasi Relokasi dan
Rekonstruksi
Bumi
Langit
Institute
- Penyediaan sumber belajar
tentang pemanfaatan potensi
lokal/ ramah lingkungan
- Pelatihan permaculture
- Sosialisasi melalui web
Na Na
Melihat pelaksanaan kegiatan dari masing-masing komunitas, nampaknya hanya
FRB yang memiliki keragaman kegiatan pendidikan dalam upaya menumbuhkan
kesadaran akan bencana alam yang langsung ditujukan kepada kelompok atau warga
masyarakat. Hasil wawancara menunjukkan bahwa Forum ini berupaya memberikan
pemahaman melalui penyuluhan dan komunikasi langsung kepada warga
masyarakat sekitar secara langsung misal menyampaikan materi tentang pentingnya
membangun rumah yang benar dan aman dalam forum pertemuan rukun tetangga
dan karangtaruna desa. Walau disadari bahwa kegiatan talkshow, pembuatan film,
dan lagu masih bersifat insidental. Hal yang relatif sama dilakukan adalah kegiatan
pelatihan yang dilakukan oleh Bumi Langit Institute dimana mereka rutin
menyelenggarakan kegiatan pelatihan bagi warga masyarakat yang umumnya
39
berasal dari luar daerah sekitar; dan pelatihannya pun relatif mahal dalam aspek
pembiayaannya.
D. Model Komunitas Sadar Bencana Terintegrasi PKBM
1. Rasional
Peningkatan kesadaran akan bencana bukan semata-mata tugas dan kewajiban
dari komunitas sadar bencana, namun menjadi tugas dan kewajiban dari semua pihak
termasuk lembaga pendidikan masyarakat. PKBM sebagai lembaga yang berfungsi
memberikan layanan pendidikan nonformal bagi warga masyarakat yang memiliki
kebutuhan belajar atau pendidikan, sudah pasti memiliki kewajiban untuk
mengembangkan kesadaran dan kesiapan warga masyarakat akan resiko bencana dari
lingkungan sekitarnya. PKBM idealnya memiliki layanan pendidikan yang
memungkinkan itu terjadi baik melalui pendidikan, pemberdayaan, dan penyediaan
informasi lainnya. Oleh karena itu, PKBM perlu dilibatkan dalam penanganan bencana
lama bersama-sama komunitas sadar bencana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komunitas sadar bencana belum
memiliki kegiatan yang sifatnya dilakukan bersama-sama atau bermitra dengan PKBM
di lingkungan sekitarnya. PKBM dan komunitas sadar bencana masing-masing
memiliki program yang bersifat sendiri-sendiri atau parsial. Komunitas LAPBA, Pasag
Merapi, dan Bumi Langit Institute belum memiliki kerja sama untuk menjalankan
program penyadaran bencana dengan PKBM terdekat. Hal ini disebabkan ketidaktahuan
akan fungsi PKBM dan memandang bahwa PKBM bukan lembaga yang menangani
masalah bencana. Bahkan di pengelola LAPBA tidak mengetahui PKBM mana yang
ada di lingkungannya. Hal yang berbeda, terjadi pada FPRB yang mana personil
lembaga ini berperan dalam PKBM. Ia menjalankan tugas sebagai salah seorang tutor
yang ada di PKBM Tunas Harapan. Sebagai tutor, informasi mengenai pentingnya
kesadaran akan bencana, ia sampaikan dalam proses pembelajaran pendidikan
kesetaraan yang ada di PKBM tersebut. Hal lainnya adalah Forum pun ikut membantu
menyiarkan program pendidikan yang dimiliki PKBM setempat.
40
Tabel 4.6. Keterkaitan Komunitas dan PKBM
Komunitas Sadar
Bencana
Keterkaitan dengan PKBM Penyebab
LAPBA Belum ada keterkaitan Kurang memiliki
informasi mengenai
PKBM
Pasag Merapi Belum ada keterkaitan;
Secara informal mengetahui
personal pengelola PKBM
terdekat
Fokus pada teknis
kebencanaan
FBRB Sudah ada keterkaitan secara
informal;
sebatas pada peran pengelola
sebagai tutor program kesetaraan
dan PAUD di PKBM Tunas
Harapan;
Penyiaran program PKBM di
radio komunitas
Belum ada pemikiran
untuk bekerja sama yang
lebih lanjut;
Perbedaan kepentingan
Bumi Langit
Institute
Belum ada keterkaitan Lebih berorientasi kepada
internal komunitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak komunitas sadar bencana menyadari
bahwa penanganan bencana alam yang terjadi di masyarakat perlu melibatkan pihak lain
salah satunya PKBM. PKBM dipandang akan mampu memberikan kegiatan edukasi
mengenai kebencanaan misalnya menjadi sumber belajar bagi warga masyarakat yang
menginginkan pengetahuan tentang kebencanaan, mengembangkan desain pembelajaran
masyarakat yang mengarahkan pada peningkatkan kesadaran terhadap bencana,
mengembangkan media pembelajaran kebencanaan, pembelajaran kesehatan
lingkungan, dan sebagainya. Komunitas sadar bencana memandang bahwa kegiatan
penanganan bencana akan mudah dilakukan apabila terjadi kerja sama yang baik dengan
pihak PKBM.
2. Manajemen Informasi Komunitas Sadar Bencana dengan PKBM
Mendasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan sebagimana dalam tabel
bahwa semua komunitas sadar bencana sudah dapat mengelola pengetahuan atau
informasi mengenai kebencanan. Namun demikian, pengelolaan pengetahuan/informasi
yang dilakukan sebatas pada pengelolaan pengetahuan dan informasi yang bersifat
responsif terhadap bencana yang terjadi dan lebih cenderung pada teknis penanganan
bencana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas belum mengembangkan suatu
manajemen pengetahuan yang didasarkan pada kebutuhan komunitas yang menyangkut
41
lebih jauh tupoksi yang sedang diembannya dalam membangun masyarakat yang sadar
dan waspada pada bencana. Begitu pula, pengetahuan yang dihasilkan lebih
diorientasikan kepada warga masyarakat Sebagai misal, pengelolaan pengetahuan yang
terkait dengan kemampuan memanfaatkan potensi alam yang ada di sekitar kawasan
bencana, ketahanan dalam menghadapi bencana.
Tabel 4.8. Pengelolaan Pengetahuan/Informasi Kebencanaan
Pengelolaan
Pengetahuan/
Informasi
Komunitas Sadar Bencana
LAPBA Pasag Merapi FPRB Bumi Langit
Identifikasi
kebutuhan
Pendeteksian
terhadap tanda
bencana erupsi
Merapi
Pendeteksian
terhadap tanda
bencana erupsi
Pandangan
pihak yang
kompeten
Narasumber,
seminar,
sharing internal
Pustaka dan
sharing internal
Analisis
pengetahuan/
informasi
Musyawarah
dengan pihak
yang terlibat
Musyawarah
dengan pihak
yang terlibat
Berdiskusi
bersama
Diskusi sesama
anggota
komunitas
Perumusan
pengetahuan/
informasi
Menekankan
pada tingkat
bahaya bencana
erupsi
Menekankan
pada tingkat
bahaya bencana
erupsi
Menekankan
pada tingkat
bahaya bencana
erupsi
Menekankan
pada kelestarian
alam
Pengemasan
informasi
Pesan tentang
kebencanaan
Dokumen
penanganan
bencana
Bentuk slide,
majalah
dinding, pesan
radio
komunitas.
Paket pelatihan
Penyebaran
informasi
Melalui HT,
handphone dan
radio komunitas
Melalui
pelatihan
Melalui radio
komunitas,
media cetak,
internet
Pelatihan dan
penggunaan
internet
Tindaklanjut
penyebaran
informasi
Respon
antisipasi pada
laporan warga
masyarakat
Dokumen
kontingensi di
setiap desa
Melanjutkan
sosialisasi ke
masyarakat
Kesempatan
terbuka untuk
diskusi bagi
orang lain
Umpan balik Respon warga
yang lebih aktif
mempertanyaka
n potensi
bencana
Respon positif
warga
masyarakat
Peningkatan
pemahaman
warga
masyarakat
Peningkatan
pemahaman
peserta
pelatihan
permaculture
Hasil produk SOP
Penanganan
bencana
SOP
Penanganan
bencana
Film
dokumenter
Lagu anak
tentang gempa
Majalah dan
pustaka
mengenai
permaculture
42
Pemetaan
potensi bencana
3. Integrasi Aktivitas Komunitas Sadar Bencana dengan PKBM
Kegiatan komunitas sadar bencana memiliki perbedaan baik pada kegiatan yang
bersifat pencegahan (preventif), penanganan bencana pada waktu terjadi bencana, dan
pada masa pemulihan atau pasca bencana terjadi. Berikut tabel ringkatan kegiatan
komunitas sadar bencana.
Tabel 4.7. Kegiatan Komunitas Sadar Bencana Potensial Melibatkan PKBM
Komunitas
Sadar Bencana
Integrasi Aktivitas dengan PKBM
LAPBA - Pelatihan teknis penanganan bencana bagi
anggota/relawan
- Pertemuan rutin bulanan (koordinasi)
- Penyuluhan kebencanaan
- Pemetaan wilayah bencana
- Talkshow kebencanaan
PASAG
MERAPI
- Pelatihan Penanggulangan Gawat Darurat (PPGD)
- Pelatihan teknis penanganan bencana bagi
anggota/relawan
- Pertemuan rutin bulanan (koordinasi)
- Penyuluhan kebencanaan
- Pemetaan wilayah bencana
- Talkshow kebencanaan
FPRB
- Pelatihan teknis penanganan bencana bagi
anggota/relawan
- Penyuluhan kebencanaan
- Pemetaan wilayah bencana
- Talkshow kebencanaan
- Pembuatan video dokumenter dan lagu anak-anak
Bumi Langit
Institute
- Penyediaan sumber belajar tentang pemanfaatan potensi
lokal/ ramah lingkungan
- Pelatihan permaculture
- Sosialisasi melalui web
- Pelatihan teknis penanganan bencana bagi
anggota/relawan
- Pertemuan rutin bulanan (koordinasi)
- Penyuluhan kebencanaan
- Pemetaan wilayah bencana
- Talkshow kebencanaan
43
4. Kerangka Model Komunitas Sadar Bencana Terintegrasi PKBM
KOMUNITAS SADAR
BENCANA
PUSAT KEGIATAN
BELAJAR MASYARAKAT
Pengelola
Aktivitas
Pengelola
Aktivitas
Sumber Daya, Sarpras Sumber Daya, Sarpras
Koordinasi
Pelatihan
Sosialisasi
Pertemuan rutin
Talkshow Kebencanaan
Resourcess Sharing
44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Komunitas sadar bencana sudah dapat menjalankan fungsi dalam rangka
penanggulangan bencana alam baik bencana erupsi Merapi, longsor, banjir, dan
sebagainya sudah dapat dilakukan oleh komunitas sadar bencana yang diteliti.
Ada empat komunitas sadar bencana yang berbasil diidentifikasi meliputi
Linmas Anggota Peduli Bencana Alam (LAPBA), Paguyuban Sabuk Gunung
Merapi (PASAG Merapi), di Kabupaten Sleman dan Forum Pengurangan
Resiko Bencana (FPRB) dan Bumi Langit Institute di Kabupaten Bantul.
Komunitas sadar bencana ini sebagian besar diprakarsai oleh masyarakat yang
bekerjasama dengan pemerintahan desa setempat serta serta lembaga
penanggulangan bencana mapupun basarnas.
2. Saat ini komunitas sadar bencana yang ternaung dalam LAPBA, Pasag Merapi,
FPRB dan Bumi Langit Institute telah melakukan berbagai macam kegiatan
seperti penangan bencana, pelatihan penanggulangan gawat darurat, penyuluhan
kebencanaan, pemetaan wilayah bencana, talkshow, pembuatan video
dokumenter, penyediaan sumber belajar untuk pemanfaatan potensi lokal,
pelatihan pertanian, dan sebagainya yang diarahkan pada penguatan ketahan
masyarakat terhadap bencana. Saat ini kegiatan yang dilaksanakan oleh
komunitas sadar bencana belum melibatkan PKBM sebagai lembaga pendidikan
yang diselenggarakan oleh dan untuk masyarakat. Idealnya, komunitas sadar
bencana dapat bekerjasama dengan PKBM sebagai wadah belajar, sehingga
terjadi koordinasi yang baik antar lembaga di lapangan. PKBM sebagai
organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan sebaiknya mampu
memfasilitasi berbagai kebutuhan belajar, khususnya dalam menghadapi
masalah kebencanaan.
3. Model konseptual komunitas sadar bencana terintegrasi PKBM dilatar belakangi
oleh masih rendahnya koordinasi antara komunitas sadar bencana dengan
PKBM sebagai satuan pendidikan nonformal yang ada di masyarakat khususnya
di tingkat desa. Integrasi antara komunitas sadar bencana difokuskan pada tiga
45
aspek, yaitu pengelola, aktivitas/program dan sarana-prasarana. Pengelola dalam
hal ini dituntut memiliki kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat khususnya
dalam penanggulangan bencana. Disatu pihak, pengelola PKBM juga perlu
berkoodinasi dengan anggota/pengelola komunitas sadar bencana dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat. Aspek kedua yaitu aktivitas/program, dimana
pengelola komunitas sadar bencana dapat bekerjasama dengan PKBM dalam
menyelenggarakan berbagai kegiatan khususnya yang berkaitan dengan
pelatihan, pembelajaran, sosialisasi maupun diklat tentang kebencanaan yang
sasaran utamanya adalah masyarakat. Aspek terakhir adalah sumber daya atau
prasarana. Dalam hal ini, komunitas sadar bencana bersama PKBM dapat saling
bekerjasama untuk memanfaatkan setiap sumberdaya yang dimiliki guna
mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana.
B. Saran-saran
1. Anggota komunitas sadar bencana perlu lebih memiliki komitmen yang tinggi
dalam membangunan masyarakat yang lebih siap akan bencana. Komitmen ini
ditunjukkan dengan konsistensi dan keberlanjutan program yang telah
dilaksanakan.
2. Komunitas sadar bencana perlu menjalin kerja sama dengan PKBM dalam
upaya memberdayakan warga masyarakat yang lebih waspada dan tahan
terhadap bencana. Kerjasama antara komunitas sadar bencana dan PKBM dapat
berupa kegiatan-kegiatan berupa pendidikan, pembelajaran, pelatihan, sosialisasi
guna mengoptimalkan PKBM sebagai satuan pendidikan nonformal di
masyarakat.
3. Komunitas sadar bencana perlu memiliki kegiatan pengembangan sadar bencana
yang dilakukan secara terencana mendasarkan pada kebutuhan yang ada dan
bersifat terus menerus. Perlu dilakukan komunikasi intensif antara pengelola
komunitas sadar bencana dengan pengelola PKBM.
46
DAFTAR PUSTAKA
Borg, WR., and Gall, M.D. (1983). Educational Research: An Introduction. London:
Longman Inc
Cohen, L., Manion, L. & Morrison, K. (2005). Research Methods in Education. 5th
Edition. London: RoutledgeFalmer.
Fernandez, I.B. & Sabherwal, R. (2010). Knowledge manajemen: systems and process.
New York: M.E. Sharpe
Patton, M. (1990). Qualitative evaluation and research methods. Beverly Hills, CA:
Sage.
Richard A. Lovett. (2006). Deadly Java Quake Highlights "Ring of Fire" Dangers.
National Geographic News. Online pada:
http://news.nationalgeographic.com/news/2006/05/060530-java-quake.html
Smith, William J. (2005). The community learning centre, from values to result: Key
issues and challenges for building and sustaining school-community
collaboration. Quebec: LEARN.
Unesco. (2008). CLC management handbook. Diakses dari www.unesco.org. diakses
pada tanggal 12 Agustus 2008.
Unesco. (2007). Strengthening community learning centre through linkages and
networks: a synthesis of six country reports. Bangkok: Unesco Asia and
Pasific Regional Bureau for Education.
Unesco. (-----). CLC management handbook. www.unesdoc.unesco.org. diakses pada
tanggal 12 Agustus 2008.
www. Slemankab. Go.id. (2010). Jumlah Korban Meninggal Bencana Erupsi Merapi.
http://www.slemankab.go.id/1677/jumlah-korban-meninggal-bencana-
erupsi-merapi-per-tanggal-2-desember-2010-mencapai-277-orang.slm
Kuesioner sadar bencana 1
INSTRUMEN PENGKAJIAN
PENGEMBANGAN KOMUNITAS SADAR BENCANA TERINTEGRASI
PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT (PKBM) DI DIY
I. PENGANTAR
Komunitas sadar bencana menjadi penting untuk memberikan pemahaman dan
keseiapan kepada warga masyarakat mengenai berbagai dampak negatif yang dapat
ditimbulkan dari bencana yang ada di lingkungan sekitar. Komunitas sadar bencana
merupakan sarana untuk mengkaji, mencari solusi, dan melakukan tindakan pencegahan
atau penyesuaian terhadap potensi bencana yang mungkin timbul sekaligus menjadikan
warga masyarakat memiliki kesadaran akan bencana yang dapat terjadi. Terkait dengan
ini, kebermaknaan komunitas praktek perlu dipahami dengan baik oleh semua pihak yang
terlibat.
Di sisi lain, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang memiliki fungsi
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran bagi warga masyarakat guna meningkatkan
kesejahteraan hidup warga masyarakat dan lingkungannya. Terkait dengan
pengembangan kesadaran warga masyarakat mengenai kebencanaan dan kemampuan
warga masyarakat dalam mengadapatasi dan mencegah terjadi bencana yang mungkin
dapat timbul, PKBM dapat menjalankan fungsi pendidikan kebencanaan. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah kebencanaan perlu diatasi oleh semua pihak.
Instrumen ini dikembangkan sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan
pelaksanaan kegiatan Komunitas Sadar Bencana yang menekankan pada pembelajaran
bermakna dan keterlibatan PKBM dalam rangka mewujudkan masyarakat yang siap dan
sadar bencana. Melalui instrumen ini, diharapkan diperoleh berbagai informasi penting
yang dapat dijadikan sebagai masukan untuk pengembangan Komunitas Sadar Bencana
yang harapannya dapat terus bermakna dan berkesinambungan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, dimohon Bapak/Ibu/Saudara dapat memberikan informasi
terhadap pelaksanaan kegiatan Komunitas Sadar Bencana yang sudah atau sedang
dilaksanakan dengan cara memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang
tercantum dalam kuesioner ini. Mohon maaf apabila dalam pengisian kuesioner ini
menyita tenaga dan waktu Bapak/Ibu/Saudara dan mudah-mudah kebaikan
Bapak/Ibu/Saudara dalam memberikan informasi menjadi amal kebaikan dan mendapat
balasan yang baik dari Tuhan Yang Mahas Esa.
Yogyakarta, Juli 2014
Peneliti,
Kuesioner sadar bencana 2
II. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama
2. Umur
3. Jenis Kelamin
4. Pendidikan Terakhir
5. Pekerjaan
6. Alamat
III. PETUNJUK PENGISIAN
Bapak/Ibu/Saudara dimohon memberikan informasi atau keterangan yang relevan
terhadap setiap pertanyaan yang ada dan sesuai dengan kenyataan yang dialami.
IV. PERTANYAAN
A. Apa saja pontensi atau bencana yang sering atau dapat muncul dalam kehidupan
bermasyarakat?
................................................................................................................................
................................................................................................................................
................................................................................................................................
................................................................................................................................
................................................................................................................................
................................................................................................................................
B. Apa saja identitas KOMUNITAS SADAR BENCANA yang dimiliki?
Nama Komunitas Sadar
Bencana
:
Mulai Berdiri, Ijin Pendirian :
Lokasi :
Jumlah Anggota :
Fasilitas yang dimiliki :
Kuesioner sadar bencana 3
C. Apa TUJUAN pendirian Komunitas Sadar Bencana?
................................................................................................................................
................................................................................................................................
................................................................................................................................
................................................................................................................................
Kuesioner sadar bencana 4
D. Jelaskanlah apa saja PROGRAM KOMUNITAS SADAR BENCANA yang telah atau sedang dilakukan?
N
o
Nama Program
Komunitas
Sadar Bencana
Proses
Penentuan
Program
Waktu
Pelaksana
an
Tujuan atau
Sasaran Program
Materi
Kebencanaan yang
dibahas
Hasil yang
diperoleh
Pihak yang
terlibat dan
perannya
1
2
3
4
5
Kuesioner sadar bencana 5
E. Jelaskanlah AKTIVITAS BELAJAR BERSAMA DALAM KOMUNITAS SADAR
BENCANA?
1. Bagaimana kelompok melakukan aktivitas berlajar bersama dalam hal
kebencanaan?
2. Apakah aktivitas belajar dalam kelompok dilakukan secara terencana?
Sudahkah ada rencana belajar atau program belajar secara periodik?
3. Mengenai apa saja topik bencana yang dipilih?
4. Bagaimana menentukan topik belajar kebencanaan dipilih?
5. Bagaimana menentukan rencana pembelajaran sesuai dengan topik
kebencanaan yang dipilih?
6. Siapa dan dari mana narasumber yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran
kebencanaan? Bagaiaman kompetensi mereka?
7. Bagaimana interaksi anggota dan nasumber dalam pembelajaran
kebencanaan? Apakah dalam suasana kooperatif dan akrab?
8. Fasilitas belajar apa yang digunakan dalam pembelajaran kebencanaan?
Dari mana diperoleh fasilitas tersebut?
9. Bagaimana mengetahui hasil atau manfaat belajar bersama mengenai
kebencanaan? Apa saja manfaat belajar bersama tentang kebencanaan?
10. Apa saja kesulitan dalam mengadakan kegiatan belajar bersama?
Kuesioner sadar bencana 6
F. Bagaimana PENGELOLAAN INFORMASI dan/atau PENGETAHUAN
tentang kebencanaan yang dilakukan oleh KOMUNITAS SADAR
BENCANA?
No Kegiatan Pengelolaan Cara yang dilakukan Hasil yang diperoleh
1 Pengumpulan
informasi atau
pengetahuan tentang
keberncanaan
2 Analisis dan
perumusan informasi
atau pengetahuan
tentang keberncanaan
3 Pengemasan
informasi/pengetahuan
tentang keberncanaan
4 Penyebaran
informasi/pengetahuan
baik ke internal
maupun ke pihak luar
5 Umpanbalik dari
penyebaran
informasi/pengetahuan
tentang kebencanaan
6 Tindaklanjut
penyebaran
informasi/pengetahuan
tentang kebencanaan
7 Bentuk
hasil/produk/manfaat
yang dihasilkan dari
pengelolaan informasi
atau pengetahuan
Kuesioner sadar bencana 7
G. Apakah Komunitas Sadar Bencana memiliki keterkaitan dengan Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)? Apa yang mendasarinya?
................................................................................................................................
...............................................................................................................................
................................................................................................................................
................................................................................................................................
H. Apa saja bentuk keterlibatan baik berupa pemikiran, fasilitas,
pendanaan, dll dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dalam
mendukung keberfungsian Komunitas Sadar Bencana?
No Bentuk Keterlibatan Tujuan yang ingin dicapai atau
Masalah yang diatasii
Hasil yang dirasakan
1
2
3
4
5
I. Apakah dimungkinkan Komunitas Sadar Bencana berintegrasi dengan
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang ada di lingkungan
sekitar? Bagaimana sinergi tersebut sebaiknya dilakukan?
................................................................................................................................
................................................................................................................................