LAPORAN PENELITIAN - repositori.unud.ac.id file1 laporan penelitian rancangan peraturan daerah...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN - repositori.unud.ac.id file1 laporan penelitian rancangan peraturan daerah...
1
LAPORAN PENELITIAN
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG
TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNANKEPARIWISATAANDAERAH
2015-2030
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi
Daftar Tabel
BAB I PENDAHULUAN........................................................... 6
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................... 6 1.2 Identifikasi Masalah ..................................................... 7
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademis 8 1.4 Metode....................................................................... 9
a. Pendekatan ............................................................. 9 b. Sumber Bahan Hukum ........................................... 11 c. Pengumpulan Bahan Hukum .................................. 13
d. Analisis .................................................................. 13
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS.............. 14 2.1 Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan ....................... 14
2.2 Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan Penyusunan Norma Hukum Kepariwisataan ................
16
2.3 Kajian terhadap Praktik Penyelenggara, Kondisi Yang
ada, Serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat ....
15 2.4 Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru
yang akan diaur dalam Peraturan Daerah Terhadap aspek Kehidupan masyarakat dan dampaknya
terhadap aspek beban keuangan Negara. .....................
19
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ...........................
38 3.1 Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang
Memuat Kondisi Hukum yang ada ...............................
38 3.2. Kajian Terhadap Peraturan Daerah kabupaten Badung
yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan ............................................................
63
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 72
4.1 Landasan Filosofis ....................................................... 72
4.2 Landasan Sosiologis .................................................... 73
4.3 Landasan Yuridis ......................................................... 74
3
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
76 5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk
Pengembangan Kepariwisataan.....................................
76
5.2. Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan. ..........
77
BAB VI PENUTUP ..................................................................... 84
6.1 Kesimpulan .................................................................. 84
6.2 Saran ........................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 85
LAMPIRAN
Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung
Tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (Rippda)
Kabupaten Badung.
4
DAFTAR TABEL
No Nama Tabel hal 1 Tabel 2.1Kawasan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun
2009
20 2 Tabel 2.2Daftar DTW, Jenis Wisata, dan Lokasi Per
Kecamatandi Kabupaten Badung
21 3 Tabel 2.3Daftar DTW yang berpotensi untuk dikembangkan
di Kabupaten Badung
22 4 Tabel 2.4Jumlah Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung
Tahun 2005-2011
23
5 Tabel 2.5Perkembangan Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar, dan Cateringdi Kabupaten Badung Tahun
2006-2011
24 6 Tabel 2.6Daftar Biro Perjalanan Wisata dan Cabang
di Kabupaten Badung Tahun 2011
25 7 Tabel 2.7Daftar Konsultan Pariwisata di Kabupaten Badung
Tahun 2011
27
8 Tabel 2.8 Data Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Kabupaten Badung
28
9 Tabel 2.9 Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Kab. BadungTahun 2007-2011
28
10 Tabel 2.10 Pengeluaran Wisatawan Mancanegara Tahun 2010 29 11 Tabel 2.11 Pengeluaran Wisatawan Nusantara Tahun 2010 30
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Secara filosofis Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Badung dilandasi oleh pemikiran bahwa pembangunan nasional
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di
dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada hakekatnya adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan,
kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat
Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Secara filosofis, pembangunan kepariwisataan memerlukan
perencanaan induk, yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam
menjamin keberlanjutan penyelenggaraan kepariwisataan. Untuk itu maka
penyelenggaraan kepariwisataan perlu diatur dan dibina demi kelangsungan
dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus
untuk mewujudkan pengelolaan kepariwisataan yang serasi, selaras dan
seimbang. Melalui penetapan rencana induk pembangunan kepariwisataan
(RIPPDA) diharapkan dapat menopang dan menunjang tujuan
pembangunan di Kabupaten Badung yang berlandaskan prinsip Tri Hita
Karana.
Dari aspek sosiologis, paradigma pembangunan kepariwisataan yang
bertumpu semata mata pada aspek ekonomis sudah saatnya ditinggalkan
dan diganti dengan paradigm baru pembangunan kepariswisataan yang
berbasis pada keserasian antara manfaat ekonomi dengan keseimbangan
lingkungan, sosial dan budaya. Paradigma baru memandang kepariwisataan
sebagai salah satu sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dengan
tidak mengorbankan aspek lingkungan yang bersifat eksploitatif.
Pembangunan kepariwisataan dilakukan dengan pendekatan yang
konprehensif dari hulu, sejak sebelum pembangunan tersebut berpotensi
memunculkan dampak negatif, sampai kehilir, yaitu pada fase
kepariwisataan tersebut sudah berkembang dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat maupun pemerintah. Pembangunan kepariwisataan dengan
paradigma baru tersebut dilakukan melalui kegiatan penyusunan rencana
induk dan penetapan rencana induk tersebut menjadi peraturan daerah.
Penetapan peraturan daerah tentang rencana induk pembangunan
kepariwisataan akan memperkuat paradigma baru pembangunan
kepariwisataan yang sejalan dengan konsep pembangunan berlandaskan Tri
Hita Karana.
6
Dari aspek yuridis Pemerintah Kabupaten Badung sampai akhir tahun
2014 memiliki beberapa ketentuan regulasi terkait dengan keperiwisataan,
namun belum memiliki Peraturan Daerah tentang Rencana Induk
Pengembangan Pembangunan Kepariwisataan.
Dengan latar belakang pemikiran secara filosofis, sosiologis, dan
yuridis tersebut di atas, maka penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pembangunan
Kepariwisataan dipandang perlu guna mendapatkan kajian yang mendalam
dan konprehensif baik secara teoritik maupun pemikiran ilmiah dalam
merumuskan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Pembangunan Kepariwisataan.
1.2.Identifikasi Masalah
Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu
pengaturan menyangkut dua isu pokok, yakni penormaan materi muatan
dan prosedur pembentukan. Kajian ini focus pada upaya penyusunan
naskah akademik rancangan peraturan daerah, oleh karena itu berada pada
isu penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan sebagai
suatu aturan yang mengandung norma hukum.
Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yakni : a)
landasan, b) asas-asas dalam pengaturan, c) batas-batas kewenangan
pengaturan dan d) ruang lingkup materi muatan pengaturan.
Dikaitkan dengan isu pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Badung,
maka kajian ini dapat diidentifikasi permasalahannya sebagai berikut:
1. Destinasi :
a. Ketimpangan pembangunan antar wilayah Badung bagian Utara,
Tengah, dan Selatan.
b. Pelanggaran atas kawasan suci, sempadan jurang, dan sempadan
pantai.
c. Pelanggaran tata ruang wilayah.
d. Pengelolaan limbah yang belum mengikuti standar baku
pengelolaan.
e. Kemacetan lalu lintas, terutama di wilayah Badung bagian selatan.
f. Terbatasnya sumber daya air permukaan dan penggunaan sumber
daya tanah yang tidak terkendali.
g. Alih fungsi lahan pertanian menjadi fasilitas penunjang pariwisata.
h. Kebersihan lingkungan daya tarik yang tidak terjaga.
i. Bangunan gedung usaha pariwisata mengabaikan langgam
arsitektur tradisional Bali.
7
j. Rendahnya pemahaman dan interpretasi daya tarik wisata (DTW).
k. Aksessibiltas menuju ke beberapa DTW masih minim.
l. Kemacetan lalu lintas di wilayah Badung Utara sebagai akibat
adanya pasar tumpah.
m. Alternative moda transportasi (angkutan laut) untuk mengatasi
kemacetan lalu lintas sekaligus sebagai atraksi wisata.
n. Rawan bencana seperti : tsunami, banjir dan longsor.
2. Industri Pariwisata
a. Ketersediaan akomodasi wisata yang melebihi kapasitas terutama
di wilayah Badung Selatan.
b. Masifnya perkembangan akomodasi (villa illegal).
c. Peningkatan SDM pariwisata yang berbasis masyarakat masih
sangat rendah.
d. Hygine sanitasi belum diterapkan secara optimal.
e. Kurang tertatanya lay-out bangunan restoran.
f. Persaingan usaha yang kurang sehat.
3. Pemasaran
a. Belum optimalnya pemasaran pariwisata yang berbasis IT.
b. Citra pariwisata kurang baik.
c. Keterpaduan antara stackholders pariwisata dalam pemasaran
belum optimal.
d. Pengembangan pasar untuk agrowisata, ekowisata dan desa wisata
belum berjalan dengan baik.
e. Peningkatan kualitas pariwisata melalui peningkatan lama tinggal
(length of stay) dan daya beli (spending power) wisatawan.
4. Kelembagaan
a. Pengolalaan dan penataan DTW belum optimal.
b. Desa wisata yang telah ditetapkan belum berkembang secara
optimal.
1.3.Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang diungkapkan
diatas, tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik dirumuskan
sebagai berikut:
8
1. Tujuan penyusunan naskah akademik ini yakni :
a. Untuk merumuskan landasan ilmiah penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Badung tentang
pembangunan kepariwisataan.
b. Untuk merumuskan arah dan cakupan ruang lingkup materi bagi
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten
Badung tentang pembangunan kepariwisataan.
2. Kegunaan penyusuanan naskah akademik ini, yakni :
a. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi
pembuat Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten
Badung tentang pembangunan kepariwisataan.
b. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pembuatan Peraturan Daerah Pemerintah
Kabupaten Badung tentang pembagunan kepariwisataan.
1.4.Metode
Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan penelitian, sehingga metode yang digunakan dalam penyusunan
naskah akademik yakni penelitian hukum yang berbasiskan metode
penelitian hukum. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode
yuridis normatif dan metode yuridis empiris.
Dalam penyusunan akademik ini dilakukan penelitian hukum dengan
metode yuridis normatif dengan melakukan studi pustaka yang menelaah
(terutama bahan hukum primer yang berupa Peraturan Perundang-
undangan dan dokumen hukum lainnya). Dalam penelitian ini juga
dilakukan wawancara, untuk verifikasi bahan hukum primer dan diskusi
(focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Berdasarkan metode
penelitian hukum di atas, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian
ini antara lain:
a. Pendekatan
Penelitian hukum mengenal beberapa metode pendekatan, yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan
kasus (case approach)1
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik
ranperda ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),
9
pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analitis (analytical
approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pembangunan kepariwisatan antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5657).
b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang(
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739).
d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966).
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059).
f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833).
h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025
10
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).
i. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun
2011Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar,Badung, Gianyar, Dan Tabanan.(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 121) j. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.(Lembaran Daerah
Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor5).
k. Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung.(Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).
Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan
menelaah konsep-konsep para ahli mengenai kepariwisataan, pengelolaan
pariwisata dan konsep-konsep lain yang terkait. Pendekatan analitis
(analytical approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan
menguraikan aturan hukum yang terkait dengan pembangunan
kepariwsataan sehingga mendapatkan komponen-komponen pengelolaan
pariwisata atau unsur-unsurnya untuk dapat ditetapkan dalam suatu
persoalan tertentu. Pendekatan filsafat (philosophical approach) adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah asas-asas yang terkandung
dan/atau melandasi kaidah hukum kepariwisataan.
b. Sumber Bahan Hukum.
Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer
dan hukum bahan hukum sekunder2. Bahan hukum primer adalah segala
dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini, bahan
hukum primer yang dipergunakan dalam penyusunan naskah akademik ini
terdiri atas:
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5657).
11
b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739).
d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966).
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059).
f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833).
h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).
i. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar,
Badung, Gianyar, Dan Tabanan.(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 121)
j. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.(Lembaran Daerah
Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 5).
k. Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung.(Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).
12
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperi hasil
penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan
penelitian ini.
Bahan hukum informatif berupa informasi dari lembaga atau pejabat,
baik dari lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung maupun para pihak
yang membidangi tentang kepariwisataan. Bahan ini digunakan sebagai
penunjang dan untuk mengkonfirmasi bahan hukum primer dan sekunder.
c. Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara:
a. Studi dokumenter dan kepustakaan untuk bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.
b. Untuk bahan informatif dilakukan dengan studi lapangan yaitu
wawancara dan FGD (focus group discussion).
d..Analisis
Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan
interpretasi secara hermeneutikal yaitu Berdasarkan pemahaman tata
bahasa (gramatikal) yakni Berdasarkan makna kata dalam konteks
kalimatnya, aturan hukum dipahami dalam konteks latar belakang sejarah
pembentukannya (historikal) dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin
diwujudkannya (teleologikal) yang menentukan isi hukum positif itu (untuk
menemukan ratio legis-nya) serta dalam konteks hubungannya dengan
aturan hukum positif yang lainnya (sistimatikal) dan secara kontekstual
merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan kenyataan
ekonomi (sosiologikal) dengan mengacu pandangan hidup serta nilai-nilai
cultural dan kemanusiaan fundamental (philosophical) dalam proyeksi ke
masa depan (futurelogikal)3 .
13
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
2.1.Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan
Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa Kepariwisataan adalah keseluruhan
kegiatan yangterkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensiserta
multidisiplin yang muncul sebagai wujudkebutuhan setiap orang dan
negara serta interaksiantara wisatawan dan masyarakat setempat,
sesamewisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, danpengusaha.
Pembangunan adalah suatu proses perubahan kearah yang lebih baik
yang di dalamnya meliputiupaya-upaya perencanaan, implementasi
danpengendalian,dalam rangka penciptaan nilai tambahsesuai yang
dikehendaki.Pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan
rencana pembangunankepariwisataan dengan memperhatikan
keanekaragaman,keunikan, dan kekhasan budaya dan alam,
sertakebutuhan manusia untuk berwisata.Pembangunan kepariwisataan
nasional meliputi:
a. Destinasi Pariwisata;
b. Pemasaran Pariwisata;
c. Industri Pariwisata; dan
d. Kelembagaan Kepariwisataan.
Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yangberada dalam satu
atau lebih wilayah administrative yang di dalamnya terdapat Daya Tarik
Wisata,Fasilitas Umum, Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas,serta masyarakat
yang saling terkait dan melengkapiterwujudnya Kepariwisataan.Daya Tarik
Wisata adalah segala sesuatu yangmemiliki keunikan, keindahan, dan nilai
yang berupakeanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasilbuatan
manusia yang menjadi sasaran atau tujuankunjungan
wisatawan.Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis saranadan prasarana
transportasi yang mendukungpergerakan wisatawan dari wilayah asal
wisatawan keDestinasi Pariwisata maupun pergerakan di dalamwilayah
Destinasi Pariwisata dalam kaitan denganmotivasi kunjungan
wisata.Prasarana Umum adalah kelengkapan dasar fisiksuatu lingkungan
yang pengadaannyamemungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasidan
berfungsi sebagaimana semestinya.Fasilitas Umum adalah sarana
pelayanan dasar fisiksuatu lingkungan yang diperuntukkan bagimasyarakat
umum dalam melakukan aktifitaskehidupan keseharian.Fasilitas Pariwisata
adalah semua jenis sarana yangsecara khusus ditujukan untuk
14
mendukungpenciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatanwisatawan
dalam melakukan kunjungan ke DestinasiPariwisata.
Pemasaran Pariwisata adalah serangkaian prosesuntuk menciptakan,
mengkomunikasikan,menyampaikan produk wisata dan mengelola
relasidengan wisatawan untuk mengembangkan Kepariwisataan dan
seluruh pemangkukepentingannya. Industri Pariwisata adalah kumpulan
UsahaPariwisata yang saling terkait dalam rangkamenghasilkan barang
dan/atau jasa bagi pemenuhankebutuhan wisatawan dalam
penyelenggaraanpariwisata.Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan
unsurbeserta jaringannya yang dikembangkan secaraterorganisasi, meliputi
Pemerintah, PemerintahDaerah, swasta dan masyarakat, sumber
dayamanusia, regulasi dan mekanisme operasional, yangsecara
berkesinambungan guna menghasilkanperubahan ke arah pencapaian
tujuan di bidangKepariwisataan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang No. 10
Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan pasal 8 menyebutkan bahwa
Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk
pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk
pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan
kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan
kabupaten/kota.Rencana induk pembangunan kepariwisataan
kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Daerah
kabupaten/kota.Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan
dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan.Rencana induk
pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
meliputiperencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi
pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011
Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun
2010-2025 menyebutkanRencana Induk Pembangunan
KepariwisataanNasional yang selanjutnya disebut denganRIPPARNAS adalah
dokumen perencanaanpembangunan kepariwisataan nasional untuk
periode15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2010sampai dengan
tahun 2025.RIPPARNAS menjadi pedoman penyusunan Rencana
IndukPembangunan Kepariwisataan Provinsi.RIPPARNAS dan Rencana
Induk PembangunanKepariwisataan Provinsi menjadi pedomanpenyusunan
Rencana IndukPembangunanKepariwisataan Kabupaten/Kota.Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten yang selanjutnya
disebut dengan RIPPDAKabupaten adalah dokumen perencanaan
pembangunan kepariwisataan daerah untuk periode 10 (lima belas) tahun
terhitung sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2025.
15
2.2. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan
norma.
Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
secara teoritik meliputi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik yang bersifat formal dan Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil. Asas pembentukan
perundang-undangan yang baik dan bersifat formal dituangkan dalam Pasal
5 UU Nomor 12 Tahun 2011 (khususnya dalam pembentukan Peraturan
Daerah, asas-asas tersebut diatur pula dalam pasal 137 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU
Pemda), “Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan” yang meliputi :
1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan; dan
7. Keterbukaan.
Sedangkan asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No 12
Tahun 2011 (khususnya berkenaan dengan peraturan daerah diatur dalam
Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni materi muatan Peraturan
Perundang-undangan mengandung asas:
1. Pengayoman;
2. Kemanusiaan;
3. Kebangsaan;
4. Kekeluargaan;
5. Kenusantaraan;
6. Bhineka tunggal ika;
7. Keadilan;
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan.Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011, yang
dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara
lain:
16
a. Dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah.
b. Dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain
asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik.
Relevansi asas-asas formal pembentukan perundang-undangan yang
baik dengan pengaturan penyelenggaraan pembangunan kepariwisataandi
Kabupaten Badung dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kejelasan tujuan. Pengaturan Pembanguanan Kepariwisataan
di Pemerintah Kabupaten Badung bertujuan:
1) meningkatkan kualitas dan kuantitas Destinasi Pariwisata;
2) mengkomunikasikan Destinasi Pariwisata Indonesia dengan
menggunakan media pemasaran secara efektif, efisien dan
bertanggung jawab
3) mewujudkan Industri Pariwisata yang mampu menggerakkan
perekonomian nasional; danmengembangkan Kelembagaaan
Kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu
1) mensinergikan Pembangunan Destinasi Pariwisata, Pemasaran
Pariwisata, dan Industri Pariwisata secara profesional, efektif dan
efisien
2) Ketegasan mengenai larangan dalam pembangunan kepariwisataan
3) Ketertiban dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan;
4) Kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab instansi terkait di
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dalam pembangunan
kepariwisataan.
Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:
Pengaturan Pembangunan Kepariwisataan dengan Peraturan Daerah
dilakukan Bupati Badung dengan persetujuan bersama DPRD Kabupaten
Badung. Rangcangan dapat berasal dari Bupati atau dari DPRD Kabupaten
Badung, dalam konteks ini Rancangan Perda tentang Pembangunan
Kepariwisataan Daerah ini merupakan inisiatif Bupati Kabupaten Badung.
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan.Pengaturan
pembanguanan kepariwisataan dapat dengan Peraturan Daerah.Adapun
materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembanguanan
kepariwisataan, seperti kajian dalam bab-bab berikutnya dalam kajian
naskah akademis ini.
Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan dengan
dibentuknya peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan
daerah, harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofi, yakni ada
jaminan keadilan dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di
Kabupaten Badung; (2) yuridis, ada jaminan kepastian hukum dalam
17
penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten
Badung, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, penyelenggaraan
pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung memang
dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi
masyarakat, termasuk substansinya tidak bertentangan dengan
kepentingan umum.
Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan.Asas ini dapat diwujudkan
sepanjang penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah
Kabupaten Badung memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Keenam, kejelasan rumusan.Asas ini dapat terwujud dengan
pembentukan Peraturan daerah tentang penyelenggaraan pembangunan
kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung, sesuai persyaratan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan
daerah tentang pembangunan kepariwisataan menjamin kepastian.
Ketujuh, keterbukaan.Proses pembentukan Peraturan Daerah ini
harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin
haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta
kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah
dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi
masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Daerah memberikan
informasi tentang proses pembentukan Peraturan daerah tentang
pembangunan kepariwisataan ini.
Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dengan pengaturan pembangunan kepariwisataan
dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, keadilan.Peraturan Daerah tentang pembangunan
kepariwisataan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi
setiap warga masyarakat tanpa kecuali.Tuntutan keadilan mempunyai dua
arti, dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku
umum.Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita
keadilan dalam masyarakat. Demikian pula dalam penyusunan norma
hukum pembangunan kepariwisataan dimaksudkan untuk berlaku umum.
Agar mendapatkan rumusan norma hukum tentang pembangunan
kepariwisataansesuai dengan aspirasi keadilan yang berkembang dalam
masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik.
Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan.Berdasarkan asas ini materi muatan peraturan daerah
18
tentang pembangunan kepariwisataan tidak berisi ketentuan-ketentuan
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah
keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan
kewajibannya.
Ketiga, ketertiban dan kepastian hukum.Agar peraturan daerah
tentang pembangunan kepariwisataan dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.Jaminan kepastian
hukum mempunyai dua arti.Pertama, kepastian hukum dalam arti
kepastian pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan
dilaksanakan dengan pasti oleh negara.Kedua, kepastian hukum dalam arti
kepastian orientasi, yakni hukum harus sedemikian jelas sehingga
masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman
padanya.Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan
kewajibannya.Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum
adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti norma
hukum pembangunan kepariwisataan harus sedemikian jelas sehingga
masyarakat dan pemerintah daerah serta hakim dapat berpedoman
padanya, terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan
kewajiban dalam kaitannya dengan pembangunan kepariwisataan,
termasuk norma hukum tentang sanksi atas pelanggarannya tidak boleh
berlaku surut.
Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam
konteks penyusunan norma hukum pembangunan kepariwisataan harus
ada keseimbangan beban dan manfaat, atau kewajiban dengan hak yang
didapatkannya. Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara
aparatur dan masyarakat ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.
2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang ada Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat.
Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan kepariwisataan di Kabupaten Badung diuraikan dalam beberapa aspek dibawah ini.
1. Destinasi Pariwisata
Destinasi pariwisata yang terdapat di Kabupaten Badung meliputi daya
tarik wisata (DTW) dan kawasan pariwisata. Sebanyak 33 DTW tersebar di
semua kecamatan, dan umumnya berupa wisata alam, wisata budaya, dan
wisata buatan. Seluruh DTW tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan
Bupati Badung Nomor 7 Tahun 2005, tanggal 7 Februari 2005 tentang Daya
19
Tarik Wisata di Kabupaten Badung. Daerah Badung Selatan memiliki
potensi wisata alam, sebagian besarnya berupa wisata pantai, taman bakau,
dan pelestarian penyu. Sedangkan wisata budayanya berupa Pura dan desa
tradisional, dan wisata buatan berupa Monumen GWK dan Tempat Rekreasi
Water Boom Park and Spa.
Wilayah-wilayah yang dijadikan sebagai kawasan pariwisata di
Kabupaten Badung meliputi 3 (tiga) kawasan, yaitu Nusa Dua, Kuta, dan
Tuban. Ketiga kawasan tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi Daerah No. 16 Tahun 2009, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali.
Selengkapnya ditampilkan pada Tabel 2.1 yang memaparkan Kawasan
Pariwisata, dan Tabel 2.2 yang memaparkan DTW di Kabupaten Badung,
serta Tabel 2.3 yang memaparkan DTW yang berpotensi untuk
dikembangkan.
Tabel 2.1. Kawasan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun 2009
No Nama
Kawasan Desa/Kel Kecamatan Batas Fisik
1. Nusa Dua Benoa Jimbaran
Unggasan Pecatu
Kuta Selatan
Kuta Selatan Kuta
Selatan Kuta
Selatan
Utara: Batas selatan Bandara Ngurah Rai ;
Timur: Pantai Timur Kel (Tuban, Jimbaran dan Benoa) ;
Selatan: Pantai Selatan Kel (Benoa, Ungasan, Pecatu) ;
Barat: Pantai Barat Desa (Pecatu, Jimbaran dan
Tuban).
2. Kuta Kuta Kerobokan Canggu
Kuta Kuta Utara Kuta Utara
Utara: Batas utara kel./desa (Canggu dan Kerobokan) ; Timur: Batas Timur Kel.
(Kerobokan dan Kuta) ; Selatan: Batas selatan Kel.
Kuta ; Barat: Pantai Barat Kel/desa
(Kerobokan dan Kuta).
3. Tuban Tuban Kuta Utara: Jalan Bakungsari,
Mertasari dan Tujungmekar-By Pass ;
Timur: By pass Ngurah Rai ; Selatan: Batas utara
Bandara Udara Ngurah Rai ; Barat: Pantai Barat Kel.
20
Kuta dan Tuban.
Sumber : Perda Provinsi Bali Nomor 16/2009 tentang RTRW Provinsi Bali
Tabel 2.2 Daftar DTW, Jenis Wisata, dan Lokasi Per Kecamatan
di Kabupaten Badung
No. Nama DTW Jenis Wisata Lokasi
Desa/Kel. Kecamatan
1. Kawasan Luar Pura Uluwatu
Wisata Budaya
Pecatu Kuta
Selatan
2. Pantai Nyang-Nyang Wisata Alam Pecatu
Kuta Selatan
3. Pantai Padang-Padang Wisata Alam Pecatu
Kuta Selatan
4. Pantai Labuan Sait Wisata Alam Pecatu
Kuta Selatan
5. Pantai Suluban Wisata Alam Pecatu
Kuta
Selatan
6. Pantai Batu Pageh Wisata Alam Unggasan
Kuta
Selatan
7. Pantai Samuh Wisata Alam Benoa
Kuta
Selatan
8. Pantai Geger Sawangan Wisata Alam Benoa
Kuta
Selatan
9. Pantai Nusa Dua Wisata Alam Benoa
Kuta Selatan
10. Pantai Tanjung Benoa Wisata Alam
Tanjung Benoa
Kuta Selatan
11. Pelestarian Penyu di Deluang Sari
Wisata Alam Tanjung Benoa
Kuta Selatan
12. Taman Rekreasi Hutan Bakau
Wisata Alam Tanjung Benoa
Kuta Selatan
13. Pantai Jimbaran Wisata Alam Jimbaran
Kuta Selatan
14.
Garuda Wisnu Kencana
(GWK)
Wisata
Budaya Jimbaran
Kuta
Selatan
15. Pantai Kedonganan Wisata Alam Tuban Kuta
16. Pantai Kuta Wisata Alam Kuta Kuta
17. Waterboom
Wisata Buatan
Kuta Kuta
18. Pantai Legian Wisata Alam Legian Kuta
19.
Monumen Tragedi
Kemanusiaan
Wisata
Budaya Kuta Kuta
20. Pantai Peti Tenget Wisata Alam Kerobokan Kuta Utara
21. Pantai Berawa Wisata Alam Tibubeneng Kuta Utara
21
No. Nama DTW Jenis Wisata Lokasi
Desa/Kel. Kecamatan
22. Pantai Canggu Wisata Alam Canggu Kuta Utara
23. Pantai Seseh Wisata Alam Munggu Mengwi
24. Pura Sadha Kapal
Wisata Budaya
Kapal Mengwi
25.
Kawasan Luar Pura Taman
Ayun
Wisata
Budaya Mengwi Mengwi
26.
Kawasan Pura Keraban
Langit
Wisata
Budaya Sading Mengwi
27. Desa Wisata Baha Wisata Alam Baha Mengwi
28. Bumi Perkemahan Blahkiuh
Wisata Remaja
Blahkiuh Abiansemal
29. Alas Pala Sangeh Wisata Alam Sangeh Abiansemal
30. Tanah Wuk Wisata Alam Sangeh Abiansemal
31. Air Terjun Nungnung Wisata Alam Pelaga Petang
32. Wisata Agro Pelaga Wisata Alam Pelaga Petang
33. Kawasan Luar Pura Puncak Tedung
Wisata Alam Pelaga Petang
Sumber : Profil Pariwisata Kabupaten Badung, 2012
Tabel 2.3
Daftar DTW yang berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Badung
No. Nama Objek Wisata Jenis Wisata Lokasi
Kecamatan Desa/Kel.
1. Pantai Dreamland Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu
2. Pantai Blue Point Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu
3. Pantai Bingin Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu
4. Pantai Tegal Wangi Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu
5. Water Park Wisata Buatan Kuta Selatan Pecatu
6. Pantai Gunung Payung Wisata Alam Kuta Selatan Ungasan
7. Pantai Pandawa Wisata Alam Kuta Selatan Kutuh
8. Water Sport Wisata Alam Kuta Selatan Tanjung Benoa
9. Selancar Air Wisata Alam Kuta Kuta
10. Pantai Echo Wisata Alam Kuta Utara Tibubeneng
11. Pantai Batu Bolong Wisata Alam Kuta Utara Canggu
12. Pantai Pererenan Wisata Alam Mengwi Pererenan
13. Pantai Batu Ngaus Wisata Alam Mengwi Cemagi
14. Pantai Mangening Wisata Alam Mengwi Cemagi
Sumber : Profil Pariwisata Kabupaten Badung, 2012
22
2. Industri Pariwisata
Industri pariwisata di Kabupaten Badung dibentuk oleh perusahaan
yang bergerak pada bidang akomodasi wisata (hotel dan restoran), BPW (biro
perjalanan wisata), , tourist attraction, dan pusat oleh-oleh. Perkembangan
industri pariwisata di Kabupaten Badung saat ini terbilang sangat cepat. Hal
ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang melakukan
perjalanan, ditambahnya jalur-jalur penerbangan dengan rute-rute baru,
investasi besar-besaran dibidang pariwisata seperti pembukaan destinasi
wisata dengan produk-produknya yang baru, meningkatnya pembangunan
sarana akomodasi, sampai pada perbaikan infrastruktur.
Industri Pariwisata Kabupaten Badung lebih banyak berkembang di
Kawasan Badung Selatan (Kelurahan Kuta Utara, Kuta dan Kuta Selatan).
Perkembangan akomodasi wisata serta pusat oleh-oleh sangat signifikan
dalam 10 tahun terakhir.
a. Akomodasi dan Restoran
Berdasarkan Tabel 2.4. akomodasi wisata yang terdapat di Kabupaten
Badung terus mengalami peningkatan. Data pada tahun 2012
menunjukkan, akomodasi terbanyak adalah pondok wisata sebanyak 647
unit dengan jumlah kamar 2.870 kamar. Kemudian hotel melati sebanyak
642 unit dengan jumlah kamar sebanyak 19.248 kamar, dan hotel bintang
sebanyak 98 unit dengan jumlah kamar sebanyak 16.360 kamar. Maka,
total kamar yang tersedia di Kabupaten Badung adalah 40.806 kamar.
Tabel 2.4 Jumlah Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung Tahun 2005-2011
No
.
Tahu
n
Jenis Akomodasi Wisata (Unit) Total
Kamar
Hote
l Bin
tang
Jmlh
Kama
r
Hotel
Melat
i
Jmlh
Kama
r
Pondo
k
Wisata
Jmlh
Kama
r
Kon
dote
l
Jmlh
Kama
r
1. 2005 90 14.92
2 337 8.368 143 689 1 30
24.00
9
2. 2006 94 15.35
0 347 8.618 165 799 3 102
24.86
9
3. 2007 94 15.35
0 379 9.260 239 1.323 3 102
26.035
4. 2008 96 16.01
6 472
10.528
325 1.730 3 102 28.37
6
5. 2009 98 16.36
0 505
11.463
395 1.986 7 775 30.58
4
6. 2010 98 16.36
0 541
12.65
7 475 2.296 13 1.700
33.01
3
7. 2011 98 16.36
0 596
15.56
1 599 2.696 15 1.793
36.41
0
8. 2012*) 98 16.36
0 642
19.24
8 647 2.870 18 2.328
40.80
6
23
Sumber : Badung dalam Angka. 2012 dan Disparda Kab. Badung, 2012, *)
Hingga Juni 2012
Selanjutnya, Tabel 2.5. menampilkan jumlah restoran, rumah makan,
bar, dan catering, yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Pertambahan terbanyak berupa restoran dari 150 unit dan 16.543 kursi
pada tahun 2006, menjadi 384 unit dan 32.395 kursi pada tahun 2011,
atau rata-rata bertambah 45 unit/tahun dan 3.170 kursi/tahun. Demikian
juga dengan fasilitas penunjang akomodasi lainnya terus bertambah
walaupun tidak sebanyak restoran.
Tabel 2.5.
Perkembangan Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar, dan Catering di Kabupaten Badung Tahun 2006-2011
No
.
T a h u
n
Restoran Rumah Makan B a r Catering
Jumlah
Jumla
h
Kursi
Jumlah
Jumla
h
Kursi
Jumlah
Jumla
h
Kursi
Jumlah
Jumla
h
Kotak
1. 2006 158 16.543 436 25.437 311 9.914 4 400
2. 2007 205 20.241 443 25.897 324 10.346 4 400
3. 2008 236 22.299 451 26.208 336 11.096 4 400
4. 2009 273 24.667 453 26.298 343 11.380 5 3.400
5. 2010 330 28.735 458 26.485 346 11.555 5 3.400
6. 2011 384 32.395 470 27.129 351 11.747 6 3.500
Pertumbuhan
Rata-Rata
(2006-2011)
19,73 13,23 1,54 1,32 2,54 3,36 24,17 142,16
Sumber : Badung dalam Angka, 2012
b. Biro Perjalanan Wisata (BPW)
Jumlah BPW yang terdapat di Kabupaten Badung adalah sebanyak 95
perusahaan atau 29,7 % dari total BPW yang terdapat di Provinsi Bali.
Meskipun pada tahun 2011 jumlahnya mengalami peningkatan menjadi 320
perusahaan, namun masih tidak dapat kembali seperti pada tahun 2009
yang mencapai 611 perusahaan.
24
Tabel 2.6 Daftar Biro Perjalanan Wisata dan Cabang
di Kabupaten Badung Tahun 2011
No Kelompok dan Nama BPW
1 All Star Bali Wisata
2 Alliance Vast
3 Alia Travel Sense
4 Asia Koleksi Travel
5 Anek Bintang Surya
6 Amanda Legian Tours
7 Abad Bali Wisata
8 Adi Tours And Travel
9 Bali Bahagia Holiday Tour & Travel PT
10 Bahagia Dewata Wisata
11 Bali Bersama Prima Sakti
12 Bali Dorada Tours
13 Bali Duta Express
14 Bali Pesona Wisata
15 Bali Megah Wisata
16 Bali ITO PT
17 Bali Suzuya
18 Bali Segara Utama
19 Bali Cipta Bahari T&T
20 Bali Rasa Sayang T&T
21 Bali Intan Graha
22 Bali Damai T&T
23 Bali Arrow
24 Bali Becik
25 Bali Untukmu
26 Bali Partners Tour & Travel
27 Bali Tri Dinamik
28 Bali Mara Wisata T&T
29 Baliku Beda
30 Bali Wish International
31 Baliaga T&T
32 Bali Surga Liburan
33 Be Wish International
34 BPW Satriavi ( Aerotravel)
35 Bravo Indonesia
36 Carefree Bali Holiday
37 Coconut Bali Tours PT.
38 Cosmo Bali
39 Catur Lintas Wisata
40 Ceria T&T PT
No Kelompok dan Nama BPW
41 Cempaka Krisna Jaya
42 Calvinku Internasional
43 Cendrawasih Ceria Internasional
44 Dongan Sahuta T&T
45 Giri Puncak Sari PT.
46 Golden Rama Express
47 Gajah Bali Wisata
48 Harum Indah Sari
49 Halo Bali
50 Indo Net Travel
51 Inti Citra Selaras
52 Intra Jasatamasya Era Wisata
53 Jatra Idola Tour
54 Jelajah Turunan Enam
55 Kaya Bali Tour & Travel
56 Kuta Emas
57 Kuta Cemerlang Bali Jaya
58 Kharisma Gayatri Mandiri
59 Kirana Bali Wisata
60 Khrisna Tohpati Perdana
61 Kuta Cemerlang Bali Convex
62 Lotusindo Asia Tour
63 Look Asia Bali
64 Mava Holidays
65 Maju Ika Jaya
66 Modernika Citra Wisata
67 Natourin Wisata
68 Nusa Dua Inti Raya
69 Naga Perkasa Mandiri
70 Oleg Bali Internasional
71 Purana Mitra Selaras PT.
72 Paradise Bali Indah
73 Prima Agung Wisata
74 Pateo Permata Wisata
75 Pranayama Ayumjay
76 Padma Nuansa Wisata T&T
77 Pearl Tour & Travel
78 Pollow Indonesia
79 Prima Indo Wisata
25
No Kelompok dan Nama BPW
80 Rama Wira Perdana
81 Rivon Angkasa Jaya Abadi
82 Sarana Nusa Wisata
83 Sinar Wahana Bali
84 STO Travel
85 Selamat Jalan Tour Bali
86 Siam Moters International Travel
87 Susana Tour & Travel
88 Top Bali Citra Wisata
89 Tria Uma Wisata
90 Tropical Sejahtera
91 Trinita Dunia Wisata
92 Valencia Intan Permata
93 Varia Indo Perdana Wisata PT.
94 Windys Bali Dewata Agung
95 Wina Graha Wisesa Travel
26
c. MICE
Perkembangan MICE di Kabupaten Badung sudah mencapai hasil yang
cukup menggembirakan. Adanya elemen-elemen pariwisata terkait seperti
Dinas Pariwisata yang juga telah bekerja sama dengan Bali Hotels
Association, INCCA (Indonesia Congress and Convention Association), ASITA,
Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI), dan institusi serupa, membuat
Kabupaten Badung menjadi tujuan MICE di dunia nantinya. Hal ini
terbukti dengan banyaknya kegiatan dunia yang diselenggarakan di
Kabupaten Badung seperti UNFCC dan Asian Beach Games di Nusa Dua.
Perkembangan dunia MICE di Bali dan khususnya Kabupaten Badung telah
menjamah sektor perhotelan, hal ini dibuktikan dimana hampir semua
hotel bintang 5 memiliki fasilitas standard meeting seperti meeting venue,
dan departemen yang mengatur khusus berlangsungnya MICE di hotel
tersebut.
d. Konsultan Pariwisata
Menurut penjelasan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
terdapat definisi Konsultan Pariwisata, yaitu usaha yang menyediakan
saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan,
pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang kepariwisataan.
Kegiatan usaha jasa konsultan pariwisata meliputi: studi kelayakan;
perencanaan; pengawasan; manajemen; dan penelitian.Lingkup usaha jasa
konsultan pariwisata meliputi bidang: usaha jasa pariwisata; pengusahaan
obyek dan daya tarik wisata; serta usaha sarana wisata.
Usaha jasa konsultan pariwisata diselenggarakan oleh badan usaha
yang berbentuk perseroan terbatas (PT) atau koperasi yang maksud dan
tujuannya tercantum dalam akte pendirian. Usaha jasa konsultan
pariwisata terbuka untuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
dan undang-undang yang berlaku. Berikut adalah Konsultan Pariwisata
yang terdapat di Kabupaten Badung.
Tabel 2.7
Daftar Konsultan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun 2011
No Konsultan Pariwisata
1 Exotic Konsulting Indonesia
2 Globalindo Nusantara
3 Success 569
Sumber : Data Direktori Dinas Pariwisata Prov. Bali, 2011
27
3. Pemasaran Pariwisata
a. Kunjungan Wisatawan
Jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Kabupaten Badung
melalui Bandara Ngurah Rai setiap tahun mengalami peningkatan,
sedangkan jumlah wisatawan nusantara mengalami peningkatan yang
signifikan. Pada tahun 2009 wisatawan nusantara yang datang sebanyak
212.375 orang, pada tahun 2011 sebanyak 509.328 orang atau mengalami
peningkatan lebih dari 2 (dua) kali lipat. Sedangkan wisatawan
mancanegara yang datang pada tahun 2007 sebanyak 1.668.531 orang dan
pada Tahun 2011 sebanyak 2.826.709 atau meningkat sebesar 69,41%.
Jumlah data kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke
Kabupaten Badung dapat dilihat padaTabel 2.7.
Tabel 2.8 Data Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Kabupaten Badung
Tahun 2009-2011
No. Bulan Tahun
2009 2010 2011
1 Januari 20.100 18.112 22.533
2 Pebruari 20.135 18.480 24.529
3 Maret 15.356 17.775 20.616
4 April 11.710 17.151 28.688
5 Mei 16.324 10.995 28.215
6 Juni 5.722 27.062 36.878
7 Juli 20.846 27.483 34.234
8 Agustus 17.712 17.187 27.606
9 September 19.113 23.252 89.815
10 Oktober 19.245 21.355 50.155
11 Nopember 19.478 26.696 87.952
12 Desember 26.634 26.949 58.107
JUMLAH 212.375 252.497 509.328
Sumber : Badung dalam Angka, 2012
Tabel 2.9.
Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Kab. Badung Tahun 2007-2011
No. Bulan Jumlah
2007 2008 2009 2010 2011
1. Januari 109.875 140.275 164.962 170.170 209.093
2. Februari 118.483 153.757 139.282 182.566 207.195
3. Maret 119.458 153.534 159.315 192.745 207.907
4. April 125.393 147.836 179.889 185.675 224.704
28
5. Mei 129.039 160.223 182.337 200.608 209.058
6. Juni 145.500 171.301 189.734 225.976 245.652
7. Juli 164.972 183.325 224.955 253.696 283.524
8. Agustus 167.031 187.879 222.760 244.616 258.337
9. September 152.804 181.314 208.220 231.329 258.440
10. Oktober 146.385 181.084 211.132 231.221 247.565
11. November 142.124 164.920 175.489 198.279 221.603
12. Desember 147.467 166.851 211.142 218.281 253.591
JUMLAH 1.668.531 1.992.299 2.269.217 2.535.162 2.826.709
Sumber : Badung dalam Angka, 2012
b. Jumlah Pengeluaran Wisatawan
Menurut data Neraca Satelit Pariwisata Daerah (NESPARDA)
Kabupaten Badung Tahun 2010 yang diterbitkan oleh BPS Kabupaten
Badung, tercatat bahwa sebanyak 1,795 juta orang wisatawan nusantara
dan 1,67 juta orang wisatawan mancanegara ke Kabupaten Badung pada
tahun yang sama, yaitu tahun 2010.Pengeluaran wisatawan nusantara per
harinya adalah Rp. 409.000,00, dengan lama tinggal selama 5,06 hari.
Sedangkan lama tinggal wisatawan mancanegara di Kabupaten
Badung adalah 6,08 hari dengan pengeluaran sebesar US$128,14. Maka
disimpulkan jika total pengeluaran wisatawan nusantara pada tahun 2010
adalah sebesar Rp. 3,72 triliun, sedangkan pengeluaran wisatawan
mancanegara adalah sebesar Rp. 13,08 triliun (asumsi Rp. 9.000,00/$).
Tabel 2.10. Pengeluaran Wisatawan Mancanegara Tahun 2010
No. Rincian Pengeluaran Jumlah
(juta rupiah) Distribusi
1. Akomodasi 5.570.074,41 42,57
2. Makanan dan Minuman 941.291,55 7,19
3. Penerbangan Domestik 4.515.304,21 34,51
4. Transport Lokal 166.872,95 1,28
5. Belanja 619.297,25 4,73
6. Hiburan 212.144,61 1,62
7. Kesehatan dan Kecantikan 138.146,99 1,06
8. Pendidikan 14.392,28 0,11
9. Paket Wisata Lokal 61.043,62 0,47
10. Tamasya 97.066,05 0,74
11. Pramuwisata 41.909,85 0,32
12. Souvenir 475.480,78 3,63
13. Lainnya 230.228,91 1,76
Total 13.083.253,47 100,00
Sumber : Nesparda Kabupaten Badung, 2010
29
Tabel 2.11
Pengeluaran Wisatawan Nusantara Tahun 2010
No. Rincian Pengeluaran Jumlah
(juta rupiah) Distribusi
1. Akomodasi 838.733,99 22,53
2. Makanan dan Minuman 259.080,14 6,96
3. Angkutan Darat 135.672,39 3,64
4. Angkutan K.A. 852,81 0,02
5. Angkutan Air 13.547,87 0,36
6. Angkutan Udara 1.761.823,99 47,32
7. Bahan Bakar Pelumas 123.649,15 3,32
8. Sewa Kendaraan 29.084,26 0,78
9. Jasa Perbaikan Kendaraan 7.323,31 0,20
10. Paket Perjalanan 222.177,22 5,97
11. Pramuwisata 1.040,01 0,03
12. Pertunjukan Seni 402,70 0,01
13. Museum dan Jasa Kebudayaan 8.969,30 0,24
14. Jasa Hiburan Rekreasi 46.989,90 1,26
15. Belanja/Cinderamata 207.488,36 5,57
16. Lainnya 66.522,93 1,79
Total 3.723.358,32 100,00
Sumber : Nesparda Kabupaten Badung, 2010
Berdasarkan Tabel di atas, yang memaparkan tentang distribusi
pengeluaran wisatawan mancanegara, disimpulkan jika pengeluaran
terbesar wisman terdistribusi pada akomodasi, yaitu sebesar 42,57%.
Kemudian disusul penerbangan domestik, sebesar 34,51%, serta
pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 7,19%. Sedangkan
Tabel 2.10. , yang memaparkan tentang distribusi pengeluaran wisatawan
nusantara, disimpulkan jika pengeluaran terbesar wisnus terdistribusi pada
angkutan udara sebesar 47,32%, disusul akomodasi sebesar 22,53%, %,
serta pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 6,96%.
4. Kelembagaan Kepariwisataan
Kelembagaan Kepariwisataan merupakan suatu integrasi antara
pemerintah, organisasi, pelaku pariwisata, peraturan, dan teknis
pelaksanaan, yang berlangsung secara terus-menerus, agar tujuan
kepariwisataan dapat tercapai. Organisasi kepariwisataan yang ada di
Kabupaten Badung terdiri dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia
(PHRI), BPPD, Pengelola DTW, dan POKDARWIS.
30
D. Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.
Pariwisata telah diakui sebagai lokomotif pembangunan ekonomi
dibanyak negara berkembang di dunia, dan para ahli menjadikan industri tanpa asap (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan.
Sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata dianggap sebagai sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat signifikan di bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan, serta memberi
kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya (Sharpley, 2002).
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, digariskan dengan tegas bahwa kepariwisataan merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya
yang hidup di masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Hal ini selanjutnya dijabarkan dalam PP Nomor 50
tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025, dimana terdapat empat hal pokok yang menjadi
perhatian dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia, yakni aspek: destinasi; industri; pemasaran dan promosi; serta kelembagaan.
Penegasan serta penjabaran tersebut mengindikasikan tentang
pentingnya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata sedemikian rupa agar pembangunannya dapat berkelanjutan dan
memberikan manfaat optimal kepada masyarakat.Perencanan dan pengelolaan destinasi maupun daya tarik wisata secara profesional dan
berkelanjutan, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan akan menentukan tiga hal pokok berikut, yakni: a) keunggulan daya tarik destinasi tersebut bagi pasar wisatawan; b) manfaatnya secara ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat dan daerah; serta c) daya saingnya di antara pasar destinasi pariwisata international (Damanik &
Teguh, 2012). Sejumlah alasan penting kenapa prinsip-prinsip keberlanjutan
(sustainability) perlu diterapkan dalam pengelolaan destinasi pariwisata khususnya di Indonesia: pertama semakin tajamnya kompetisi destinasi di
tingkat global maupun nasional; kedua tingginya variasi dan ketimpangan perkembangan destinasi pariwisata di tanah air; dan ketiga rendahnya daya saing pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara-negara
tetangga. Apabila destinasi pariwisata tidak dikelola secara professional dalam kerangka keberlanjutan, maka akan sulit diharapkan destinasi
tersebut memiliki daya saing tinggi dalam jangka panjang (Osmanovic, Kenjic, & Zrnic, 2010).
Mengelola destinasi pariwisata agar dapat berkelanjutan sangat ditentukan oleh pandangan ke depan dari kebijakan (forward-looking policies) dan philosopi manajemen yang dianut, yang mampu membangun
hubungan harmonis antara masyarakat lokal, sektor usaha swasta, dan
31
pemerintah. Keharmonisan hubungan tersebut berkaitan erat dengan praktik-praktik pembangunan guna meningkatkan manfaat ekonomi yang selaras dengan perlindungan terhadap alam, sosial budaya, dan
lingkungan, sehingga kehidupan masyarakat lokal maupun destinasi dapat meningkat kualitasnya (Edgell, Allen, Smith, & Swanson, 2008).
Pertanyaannya adalah apakah mungkin destinasi pariwisata tersebut berkelanjutan secara ekonomi bagi pelaku usaha pariwisata dan
masyarakat lokal, sementara dalam waktu yang bersamaan pembangunan tersebut sangat peka terhadap isu-isu lingkungan, budaya dan sosial? Menurut Edgell, S.L,. (2006) jawaban singkatnya adalah sangat mungkin,
karena kebijakan pariwisata berkelanjutan harus ditentukan oleh kondisi alam dan lingkungan terbangun, disertai dengan perlindungan terhadap
keberlanjutan masyarakat lokal. Edgell, selanjutnya menguraikan bahwa lebih dari sekedar kepentingan ekonomi, kebijakan pembangunan destinasi
pariwisata harus fokus pada prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, yakni: (1) memanfaatkan secara optimum sumberdaya lingkungan, memelihara proses-preses ekologi essential, dan melakukan konservasi
terhadap natural heritage dan keragaman biologi; (2) menghargai keaslian nilai-nilai sosial budaya dari komunitas lokal, melakukan konservasi
terhadap bangunan dan living cultural heritage serta nilai-nilai tradisional, berkontribusi pada pemahaman antar budaya dan adanya sikap saling
menghargai; dan (3) memastikan dalam jangka panjang akan memberikan manfaat sosial ekonomi secara layak kepada semua pemangku kepentingan dengan distribusi yang adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan
kesempatan memperoleh penghasilan, serta berkontribusi kepada upaya pengentasan kemiskinan.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari seluruh stakeholders serta kepemimpinan politik yang kuat untuk
memastikan adanya partisipasi yang luas dalam membangun konsensus bersama. Pembangunan berkelanjutan merupakan proses yang terus
menerus dan membutuhkan monitoring yang tidak pernah berhenti terhadap dampak-dampak yang ditimbulkannya.
Dari perspektif manajemen destinasi pariwisata, karakteristik produk
wisata yang berbeda dengan produk jasa lainnya, membutuhkan implementasi pengelolaan yang ketat dan berbeda, karena pada dasarnya
manajemen destinasi pariwisata bertujuan untuk menjamin kualitas destinasi itu sendiri dan kepuasan berwisata. Secara singkat, tujuan
pengelolaan destinasi dapat dibagi menjadi dua: pertama untuk melindungi asset, dan sumberdaya wisata dari penurunan mutu dan manfaat bagi pengelola, masyarakat lokal, maupun wisatawan; kedua meningkatkan
daya saing destinasi pariwisata melalui tawaran pengalaman berwisata yang berkualitas kepada wisatawan. Semakin tinggi kualitas pengalaman yang
dapat ditawarkan, maka semakin tinggi pula potensi daya saing destinasi tersebut. Daya saing yang tinggi inilah menjadi faktor kunci yang
menjamin keberlanjutan perkembangan destinasi tersebut, karena jumlah wisatawan dan pengeluarannya akan terus meningkat, sehingga memberikan dampak positif kepada pelaku usaha, komunitas lokal,
32
pemerintah, dan lingkungan setempat (RAMBOLL Water & Environment, 2003).
Sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan destinasi
pariwisata yang dilakukan secara professional, antara lain: (1) meningkatnya kepuasan wisatawan sebagai akibat dari semakin baiknya
kualitas pelayanan berwisata di destinasi; (2) meningkatnya daya saing destinasi, sehingga dapat menarik investor lebih banyak untuk
menanamkan modalnya; (3) jaminan atas keberlanjutan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan semakin kuat; (4) ter-ciptanya kemitraan yang semakin kuat dari para pemangku kepentingan; dan (5) perbaikan serta
inovasi secara terus menerus atas seluruh atribut destinasi pariwisata (European Communities, 2003; Kim & Lee, 2004; Anonim, 2007; Damanik
& Teguh, 2012). Berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan
pariwisata berkelanjutan di Kabupaten Badung dengan berbagai manfaat di bidang ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan hidup bagi masyarakat lokal dimana pembangunan tersebut dilaksanakan, maka diperlukan
sejumlah kebijakan pemerintah yang akan dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Kepariwisataan. Peraturan yang akan
disusun diharapkan dapat mencarikan solusi terhadap berbagai isu penting mengenai kepariwisataan di Kabupaten Badung, yang selanjutnya
dikelompokkan sesuai dengan Peraturan PemerintahNomor 50 Tahun 2011 dan dituangkan dalam aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup, sebagai berikut:
1.Aspek Ekonomi
a. Adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah Kabupaten Badung Bagian Utara, Tengah dan Selatan, yang berdampak pula terhadap
ketim-pangan pendapatan masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Tingkat pendapatan per kapita masyarakat di Badung Selatan bisa jauh lebih tinggi daripada saudara-saudaranya di utara, sehingga
ketimpangan ini apabila dibiarkan dapat memicu terjadinya berbagai permasalahan di bidang sosial dan keamanan di wilayah tersebut.
b. Ketersedian akomodasi wisata yang melebihi kapasitas (over supply) terutama di Badung Selatan. Hal ini berdampak pada semakin
rendahnya rataan harga kamar (average room rate), sehingga berpengaruh terhadap yield dari usaha jasa akomodasi tersebut.
Dalam jangka panjang hal ini berakibat pada turunnya keuntungan pengusaha, rendahnya take home pay karyawan, serta menurunnya pendapatan pajak pemerintah.
c. Masifnya perkembangan akomodasi (villa) illegal yang juga memperparah kondisi supply jasa akomodasi di Kabupaten Badung.
Selain memperburuk kondisi persaingan yang akan menekan harga kamar, potensi pajak pemerintah menjadi hilang, karena pengusaha
jasa akomodasi yang illegal tersebut akan berusaha untuk menghindari pajak pemerintah.
d. Pengembangan pasar untuk agrowisata, ekowisata dan desa wisata
belum dilakukan. Selain konsep produk dari ke tiga jenis wisata
33
tersebut belum jelas, variasi kegiatan wisata yang dapat dilakukan juga belum berkembang dengan baik. Hal tersebut berdampak pada masih sulitnya menyusun konsep pemasaran yang tepat dari produk-
produk wisata yang sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan di Badung. Belum lagi permasalahan keterpaduan
antara stakeholders pariwisata dalam pemasaran yang belum terintegrasi, sehingga kegiatan pemasaran destinasi pariwisata di
Kabupaten Badung dirasakan juga belum optimal. Pemanfaatan IT dalam pemasaran produk wisata di Badung perlu terus ditingkatkan, mengingat media ini relatif mudah dan murah serta sudah menjadi
kebutuhan primer bagi sebagian besar masyarakat dunia. e. Peningkatan kualitas pariwisata melalui peningkatan lama tinggal
(length of Stay) dan daya beli (spending power) wisatawan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui peningkatan variasi produk dan
kualitas daya tarik wisata yang ada, sehingga wisatawan bisa tinggal lebih lama pada destinasi di Kabupaten Badung.Pengeluarannyapun akan semakin banyak, karena berbagai variasi produk yang bisa
mereka beli. f. Kemacetan lalu lintas terutama di Badung Selatan, serta alternatif
moda trasportasi (angkutan laut) untuk mengatasi kemacetan sekaligus sebagai tambahan variasi atraksi wisata di Badung.
Terfokusnya pembangunan sarana wisata di Badung selatan, berdampak buruk pada semakin tingginya intensitas kendaraan yang lalu lalang di wilayah tersebut, sehingga kemacetan lalu lintas tidak
dapat dihindari. Hal ini menimbulkan inefisiensi di bidang ekonomi, pencemaran udara, stress, dan dampak buruk lainnya. Dibutuhkan
kebijakan yang bernas untuk mencari solusi terhadap persoalan yang semakin lama semakin memburuk tersebut, salah satunya adalah
membangun moda trasportasi laut yang menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lainnya di Badung maupun Kabupaten lainnya.
g. Peningkatan SDM Pariwisata yang berbasis masyarakat belum optimal. Disinyalir oleh banyak pihak, bahwa SDM pariwisata terutama yang bersumber dari masyarakat lokal masih perlu ditingkatkan
kualitasnya. Peningkatan kualitas SDM ini merupakan keniscayaan, mengingat tingkat persaingan pariwisata yang semakin tajam.
Kemampuan pengelolaan (manajemen) daya tarik wisata yang ada di masyarakat (terutama di perdesaan) harus ditingkatkan secara
berkelanjutan, sehingga mampu mengintepretasikan dengan baik daya tarik wisata yang ada di wilayah mereka, serta menghasilkan aktivitas wisata variatif yang dapat memberikan pengalaman berwisata unik
kepada wisatawan.
2.Aspek Sosial Budaya a. Pelanggaran atas kawasan suci, sempadan jurang, dan sempadan
pantai. Pembangunan sarana wisata yang dilakukan investor di beberapa kawasan pariwisata di Kabupaten Badung yang mengabaikan bhisama kawasan suci, dapat melukai perasaan Umat
Hindu di Bali. Gangguan perasaan ini dapat menimbulkan berbagai
34
persoalan di bidang sosial budaya, misalnya perasaan terganggu dan tidak nyaman mereka dalam melakukan persembahyangan karena keberadaan fasilitas wisata yang terlalu dekat dengan Pura yang
merupakan tempat suci umat Hindu. Demikian pula kecenderungan para pengusaha yang membangun fasilitas wisatanya di tepi jurang
dan melanggaar sempadan, yang bisa sangat berbahaya karena adanya kemungkinan longsor misalnya. Pembangunan sarana wisata
seperti hotel, maupun restoran dan sarana wisata lainnya di banyak tempat di Badung juga tidak sedikit yang mengabaikan keselamatan dan estetika lingkungan, karena dibangun sangat berdekatan dengan
bibir pantai (melanggar sempadan pantai). Bahkan di wilayah Canggu ada hotel besar yang sengaja menutup (memagari) pantai,
dengan alasan sudah mendapat dukungan Desa Adat. Hal-hal semacam ini perlu diatur dalam Peraturan Daerah agar tidak menjadi
contoh buruk bagi daerah lainnya di Badung. b. Pelanggaran tata ruang wilayah. Banyak kasus di Kabupaten Badung
yang wilayahnya sudah tidak cocok lagi dengan peruntukannya
sesuai dengan ketentuan yang diatur pemerintah. Misalnya jalur hijau yang berubah menjadi kawasan permukiman dan kawasan
perdagangan atau kawasan lainnya. Kondisi demikian tentu dapat mengacaukan tata ruang wilayah yang dapat berakibat buruk pada
aktivitas manusia yang ada di dalamnya. c. Alih fungsi lahan pertanian ke fasilitas pariwisata. Bali sempat
memperoleh predikan daerah yang mampu berswasembada beras.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, hal tersebut sudah tidak lagi terdengar. Hal ini tentu terjadi sebagai akibat dari alih fungsi lahan
pertanian yang konon terjadi lebih dari 1.000 ha setiap tahun. Pembangunan sarana prasarana wisata yang masif terjadi di Badung
sebagai dampak dari pesatnya pertumbuhan kepariwisataan di Bali berakibat pada dialihkannya fungsi lahan pertanian tersebut menjadi fungsi lainnya. Padahal budaya pertanian di Bali dengan subak serta
budaya turunannya menjadi daya tarik wisata yang dikagumi wisatawan dan menjadi sumberdaya wisata yang tiada habis-
habisnya. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam bentuk pembuatan kebijakan yang dapat
melindungi alih fungsi lahan tersebut, misalnya pembuatan Perda Pertanian Abadi dengan mengkonservasi daerah-daerah pertanian yang masih tersisa di Kabupaten Badung.
d. Langgam bangunan gedung usaha pariwisata mengabaikan arsitektur tradisional Bali. Saat ini banyak bangunan sarana
pariwisata maupun jenis bangunan lainnya khususnya yang ada di Kabupaten Badung, mengabaikan ciri khas bangunan Bali. Jika hal
tersebut terus terabaikan maka Bali bisa kehilangan karakternya sebagai daerah tujuan wisata dengan branding wisata budaya.
3. Aspek Lingkungan a. Pengelolaan limbah belum mengikuti standar baku pengelolaan.
Pesatnya pembangunan sarana wisata, khususnya di Badung selatan
35
akan menyisakan limbah sebagai konsekuensi aktivitas yang dilakukannya. Bagi sarana wisata yang bertaraf international, masalah limbah mampu mereka atasi, sehingga hasil olahannya telah
memenuhi persyaratan baku mutu limbah yang layak untuk dibuang ke lingkungan atau dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, seperti
untuk menyiram tanaman. Namun tidak sedikit sarana wisata lain yang hasil pengolahan limbahnya belum mampu memenuhi baku
mutu lingkungan, bahkan diduga tidak sedikit sarana wisata yang tidak mengolah sama sekali limbah yang dihasilkannya.
b. Terbatasnya sumber daya air permukaan dan penggunaan sumber
daya tanah yang tidak terkendali. Hal ini merupakan masalah sangat serius terutama di Badung selatan yang pembangunan sarana
wisata maupun permukimannya sangat masif. Keterbatasan ketersediaan air permukaan yang mampu disupply oleh perusahaan
air minum, memaksa pengusaha di bidang pariwisata maupun masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan membuat sumur dalam. Hal ini sangat berbahaya, karena apabila
tidak terkendali, maka interusi air laut tidak akan terhindarkan. c. Kebersihan lingkungan daya tarik wisata yang tidak terjaga. Di
beberapa daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Badung masalah sampah menjadi persoalan serius, terutama sampah plastik. Perilaku
masyarakat yang belum sadar terhadap masalah kebersihan lingkungan memperparah kondisi tersebut. Mereka dengan tanpa risih akan membuang sampah pada lokasi yang sepatutnya tidak
pantas dibuangi sampah. Di Pura Luhur Uluwatu misalnya, walaupun di areal pura cukup bersih, namun pemedek dengan
seenaknya membuang sampah ke arah jurang di sisi utara pura. Di lokasi daya tarik wisata lain, misalnya Pantai Kuta, masalah sampah
terutama saat musim angin barat tiba juga hampir-hampir tidak tertangani. Ke dua contoh tersebut membutuhkan penanganan serius dengan pembuatan sistem penanganan sampah terpadu,
sehingga masalah sampah di DTW dapat tertangani dengan tuntas. d. Kemacatan lalu lintas di Badung Utara akibat pasar tumpah. Pasar
tradisional dimana masyarakat menggelar barang dagangannya sampai ke pinggir jalan raya, serta para pembeli yang tidak sabar
ingin cepat-cepat memperoleh barang yang dibutuhkannya, mengakibatkan aktivitas jual beli di pasar tersebut “tumpah” ke jalan raya. Kondisi pasar seperti ini dijumpai di beberapa wilayah Badung
Utara ( Pasar Sibang Gede,Pasar Mambal, Pasar Blahkiuh), yang menghambat laju kendaraan wisatawan menuju daya tarik wisata
yang ingin mereka kunjungi. e. Ketersediaan parkir yang sangat minim pada wilayah yang
pariwisatanya berkembang pesat. Pada saat puncak-puncak kunjungan dimana wisatawan datang dalam jumlah banyak dan bersamaan waktunya, kendaraan mereka tidak bisa ditampung di
areal parkir yang tersedia, sehingga kemacetan tidak bisa dihindarkan. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan keamanan,
36
stress, dan terutama terhambatnya wisatawan menuju destinasi berikutnya yang mereka ingin kunjungi.
f. Rawan bencana seperti: tsunami, banjir dan longsor. Pada musim
hujan saat intensitas turunnya air hujan demikian tinggi, banjir sudah menjadi langganan di Bali dan pada beberapa wilayah Badung
khususnya. Demikian juga tanah longsor terutama di Badung Utara yang kondisi topografinya berbukit, serta tanah yang labil. Di Wilayah
Badung Selatan yang topografinya landai dengan ketinggian sampai 0 dpl, memiliki potensi yang cukup tinggi terjadi tsunami saat ada gempa bumi. Kondisi ini perlu diantisipasi terutama berkaitan
dengan mekanisme peringatan dini dan penanganan pasca bencana. g. Higiene sanitasi belum diterapkan dengan optimal. Hal ini
merupakan persoalan yang sangat serius terutama pada usaha pariwisata yang berhubungan dengan makanan dan minuman,
seperti seafood cafe misalnya. Sudah cukup sering kejadian dimana guide maupun travel agent mengeluh (complain) kepada pengelola cafe karena tamu mereka sakit perut sampai dirawat di rumah sakit
setelah mereka mengkonsumsi makanan di cafe tersebut. Selain merugikan para pengelola cafe karena mereka dimintai biaya
perawatan tamu selama mereka dirawat di rumah sakit, yang terburuk adalah citra pariwisata Bali menjadi kurang baik.
Pemerintah seharusnya menetapkan dengan tegas dan ketat standar higiene dan sanitasi bagi pengusaha restoran, rumah makan, cafe, atau dengan sebutan lain yang berusaha di wilayah Badung.
Pengawasan terhadap penerapan higiene dan sanitasi lingkungan inipun harus dilakukan secara berkesinambungan.
h. Kurang tertatanya lay out bangunan restoran. Lay out bangunan restoran atau rumah makan perlu diatur agar bisa memenuhi paling
tidak standar minimum yang dibutuhkan. Hal ini akan berpengaruh terhadap keamanan dan kenyamanan wisatawan yang berkunjung,
selain dapat menimbulkan citra positif terhadap restoran dan rumah makan tersebut.
37
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
3.1.Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat
Kondisi Hukum yang ada.
Kajian berupa evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, dilakukan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Rencana Induk
Pembangunan Pariwisata Kabupaten Badung, serta untuk mengetahui posisi dari peraturan daerah yang baru, guna menghindari terjadinya
tumpang tindih pengaturan. Kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang memuat kondisi hukum yang ada, mempergunakan
pendekatan perundangan-undangan dengan melihat jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kewenangan pemerintah kabupaten tentang pengaturan kepariwisataan.
Dengan mempergunakan rujukan ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan perundang-undangan dan
rumusan norma yang berkaitan dengan kewenangan kabupaten bidang kepariwisataan, ditampilkan dalam tabel berikut dibawah ini
Matrik 1.Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang Berkaitan Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang Kepariwisataan.
No Peraturan Perundang-
Undangan
Rumusan Normanya Analisis
1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Pasal 18 ayat 6 Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan perundang-
undangan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan
Pemerintah daerah Kabupaten Badung mempunyai
wewenang untuk menetapkan
peraturan daerah tentang untuk
melaksanakan otonomi. Dengan demikian
Pemerintah Kabupaten Badung,
mempunyai wewenang untuk
menetapkan Peratuuran Daerah tentang Rencana
Induk Pembangunan
Pariwisata
38
Kabupaten Badung
2 Undang-Undang Nomor 69 Tahun
1958 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Tingkat II Dalam
Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor
122, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
1655);
BAB II TENTANG URUSAN
RUMAH TANGGA DAN KEWAJIBAN DAERAH
Pasal 4 (2) Apabila daerah yang
dibentuk menurut pasal 1 adalah suatu Daerah Swapraja, maka
dengan tidak mengurangi ketentuan
dimaksud dalam ayat 1, untuk sementara waktu
sampai diadakan ketentuan lain, segala urusan rumah-tangga
Daerah Swapraja yang bersangkutan itu
menurut peraturan-peraturan yang ada
tidak merupakan urusan Pemerintah Pusat, menjadi urusan
daerah tingkat II yang bersangkutan;
Berdasarkan ketentuan ini
Pemerintah Kabupaten Badung
mempunyai kewenangan untuk
mengatur urusan rumah tangga termasuk
didalamnya urusan kepariwisataan
3 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725).
Pasal 5
(5)Penataan ruang berdasarkan nilai
strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis
nasional, penataan ruang kawasan strategis
provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Pasal 11
(1)Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam enyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan
Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Badung
mempunyai wewenang untuk
melakukan perencanaan tata
ruang wilayah kabupaten.
Kegiatan penyusunan
RIPPDA merupakan satu kegiatan yang
selaras dengan perencanaan tata ruang wilayah
kabupaten.
39
penataan ruang wilayah
kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota; b. pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d.kerja sama penataan ruang antar kabupaten/ kota.
(2)Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. perencanaan tata
ruang wilayah kabupaten/ kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten/kota; dan
c. pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten/kota. (3)Dalam pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah
kabupaten/kota melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan
40
strategis kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota. (4)Dalam melaksanakan
kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota
mengacu pada pedoman bidang penataan ruang
dan petunjuk pelaksanaannya.
(5)Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah
daerah kabupaten/kota: a. menyebarluaskan
informasi yang berkaitan dengan
rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka
pelaksanaan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota; dan
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang. (6) Dalam hal pemerintah
daerah abupaten/kota tidak dapat memenuhi
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang,
pemerintah daerah provinsi dapat
41
mengambil langkah penyelesaian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739).
Pasal 55
(1)Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat
kabupaten/kota dilaksanakan secara
terpadu yang dikoordinasi oleh dinas
yang membidangi kelautan dan perikanan.
(2)Jenis kegiatan yang
dikoordinasikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. penilaian setiap
usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku
kepentingan sesuai dengan perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil terpadu; b. perencanaan
antarinstansi, dunia
usaha, dan masyarakat;
c. program akreditasi skala
kabupaten/kota; d. rekomendasi izin
kegiatan sesuai
dengan kewenangan tiap-tiap dinas
otonom atau badan daerah; serta
e. penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala
kabupaten/kota.
Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini,
kabupaten mempunyai
wewenang untuk mengelola wilayah
pesisir yang dilaksanakan secara terpadu oleh dinas
yang membidanginya.
42
(3)Pelaksanaan kegiatan sebagaimana imaksud
pada ayat (2) diatur oleh bupati/walikota.
4 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (
Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4966 )
Pasal 8
(1)Pembangunan kepariwisataan
dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan
kepariwisataan yang terdiri atas rencana
induk pembangunan kepariwisataan nasional,
rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi,
dan rencana induk pembangunan
kepariwisataan kabupaten/kota.
(2)Pembangunan
kepariwisataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian integral dari rencana pembangunan
jangka panjang nasional
Pasal 9
(1)Rencana induk
pembangunan kepariwisataan nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah. (2)Rencana induk
pembangunan kepariwisataan provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan
Daerah provinsi. (3)Rencana induk
pembangunan
Undang-Undang No
10 Tahun 2009, memberi wewenang
kepada daerah kabupaten untuk menetapkan
rencana induk pembangunan
kepariwisataan kabupaten/kota
dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
43
kepariwisataan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
(4)Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan. (5)Rencana induk
pembangunan
kepariwisataan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) meliputi perencanaan
pembangunan industri pariwisata, destinasi
pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.
Pasal 29
Pemerintah provinsi berwenang:
a. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan
kepariwisataan provinsi; b. mengoordinasikan
penyelenggaraan kepariwisataan di
wilayahnya; c. melaksanakan
pendaftaran, pencatatan,
dan pendataan pendaftaran usaha
pariwisata; d. menetapkan destinasi
pariwisata provinsi; e. menetapkan daya tarik
wisata provinsi;
f. memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan
44
produk pariwisata yang berada di wilayahnya;
g. memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik
wisata provinsi; dan h. mengalokasikan
anggaran kepariwisataan.
5 Undang-
Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (
Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059
).
Pasal 63
(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat
kabupaten/kota; b. menetapkan dan
melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH
kabupaten/kota; d. menetapkan dan
melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber
daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat
kabupaten/kota; f. mengembangkan dan
melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup; h. memfasilitasi
penyelesaian
Salah satu
kewenangan Kabupaten yakni
menetapkan kebijakan tingkat
kabupaten berkaitan dengan pengelolan
lingkungan hidup pembentukan
RIPPDA Kabupaten, berkaitan dengan
kebijakan tingkat kabupaten yang substansi materinya
berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan. Dengan demikian Undang-
Undang Pengelolan Lingkungan Hidup relevan dirujuk
sebagai ketentuan mengingat dalam
Ranperda Rippda yang akan dibentuk.
45
sengketa; i. melakukan
pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai
tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota; l. mengelola informasi
lingkungan hidup
tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota; n. memberikan
pendidikan, pelatihan,
pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin
lingkungan pada tingkat
46
kabupaten/kota; dan p. melakukan
penegakan hukum lingkungan hidup
pada tingkat kabupaten/kota.
6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2015
tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24,
Tambahan Lembaran Negara
Republik
Pasal 12 (1). ... (2). ...
(3)Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian; d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.
Urusan Pemerintahan Pilihan adalah
Urusan Pemerintahan yang
wajib diselenggarakan
oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.
Pendapatan Asli
Daerah Kabupaten Badung salah
satunya bersumber dari sektor Pariwisata.
Pariwisata bagi
Pemerintah kabupaten Badung,
merupakan salah satu penghasil devisa, dengan
demikian salah satu urusan pilihan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah
Kabupaten Badung adalah urusan pilihan bidang
pariwisata.
Dengan demikian Undang-undang ini
relevan dipergunakan sebagai salah satu
ketentuan mengingat dari
rencana
47
Indonesia Nomor 5657)
pembentukan RIPPDA Kabupaten
Badung.
7 Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi
dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4737);
Pasal 7
(1) ... (2) ...
(3)Urusan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
adalah urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi,kekhasan dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
(4)Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a.kelautan dan perikanan;
b. pertanian; c. kehutanan;
d.energi dan sumber daya mineral; e.pariwisata;
f. industri; g. perdagangan;dan
h. ketransmigrasian. (5).Penentuan urusan
pilihan ditetapkan oleh pemerintahan daerah.
Berdasarkan Lampiran Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tanggal 9
Juli 2007, pada hurup Q diatur pembagian urusan pemerintahan bidang
pariwisata. Kewenangan
Pemerintahan Daerah
Berdasarkan ketentuan Pasal 6
Peraturan Daerah Kabupaten Badung
No. 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang
Menjadi Kewenangan
Kabupaten Badung, Pariwisata
ditetapkan sebagai salah satu urusan pilihan.
Dalam menentukan
Pariwisata sebagai urusan
pilihan,salah satu kewenangan yang dimiiki oleh
pemerintahan daerah kabuapten
adalah penetapan kebijakan skala
kabupaten berupa RIPP Kabupaten.
Dalam Peraturan ini tidak dijelaskan apa
yang dimaksud dengan RIPP,
namun berdasarkan kelaziman dalam penetapan
kebijakan kepariwisataan,
RIPP ini lazim diterjemahkan atau
dibaca Rencana Induk Pembangunan
Pariwisata.
Dari analisis ini,
48
kabupaten diatur sebagai berikut :
1. ... 2. ...
3. Sub Bidang Kebijakan Bidang Kepariwisataan.
1. Kebijakan 1. Pelaksanaan
kebijakan
nasional,provinsi dan penetapan
kebijakan skala kabupaten:
a. RIPP Kabupaten.
b. ...
c. ... d. Pelaksanaan
kebijakan nasional dan
provinsi serta penetapan
pedoman pengembangan destinasi
pariwisata skala
kabupaten. 4....
5.Sub Bidang Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
1. Rencana induk pengembangan
sumber daya kebudayaan dan
pariwisata nasional skala kabupaten.
2. Pelaksanaan
kebijakan nasional/provinsi dan
penetapan kebijakan kabupaten dalam
pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan
pariwisata skala kabupaten.
maka dapat dikatakan,
Peraturan Pemerintah Nomor
38 tahun 2007, dapat dipergunakan
sebagai salah satu ketentuan mengingat dalam
Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Badung tentang RIPPDA
Kepariwisataan.
49
3. Pelaksanaan kebijakan nasional
/provinsi dan penetapan kebijakan
kabupaten penelitian kebudayaan dan
pariwisata skala kabupaten.
8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya, (
Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5168 ).
Pasal 64
Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 61 dan Pasal 62 harus
memperhatikanpemanfaatannya bagi kepentingan sosial,
pendidikan,pengembangan ilmu pengetahuan, agama,
kebudayaan,dan/atau pariwisata.
Pasal 67
(1)Setiap orang dilarangmemindahkan
Cagar Budayaperingkat nasional, peringkat
provinsi, atauperingkat kabupaten/kota, baik seluruh maupunbagian-
bagiannya, kecuali dengan izin
Menteri,gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengantingkatannya.
Pasal 72
(1)Pelindungan Cagar Budaya dilakukan
denganmenetapkan batas-batas
keluasannya danpemanfaatan ruang melalui sistem
Zonasiberdasarkan hasil kajian.
(2)Sistem Zonasi
Cagar Budaya pemanfaatannya
dapat untuk kepentingan sosial,
pendidikan, pengembangan ilmu
pengetahuan, agama, kebudayaan,
dan/atau pariwisata.
Bupati mempunyai
kewenangan berkaitan dengan pemanfaatan cagar
budaya untuk kepentingan
pariwisata. Berdasarkan
ketentuan ini, maka UU No 11 Tahun 2010, relevan
dirujuk sebagai salah satu
ketentuan mengingat dalam
Rancangan perda yang akan dibentuk.
50
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)ditetapkan
oleh: a.Menteri apabila telah
ditetapkan sebagai CagarBudaya nasional
atau mencakup 2 (dua) provinsiatau lebih; b.gubernur apabila
telah ditetapkan sebagai CagarBudaya
provinsi atau mencakup 2
(dua)kabupaten/kota atau lebih; atau c.bupati/wali kota
sesuai dengan keluasan Situs
Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya
diwilayah kabupaten/kota.
Pasal 109
(2)Setiap orang yang tanpa
izin gubernur atau izin bupati/wali kota,
membawa Cagar Budaya ke luarwilayah provinsi
atau kabupaten/kota sebagaimanadimaksud dalam Pasal 69 ayat (2)
dipidana denganpidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/ataudenda paling
sedikit Rp1.000.000,00 (satu jutarupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000,00(seratus juta rupiah).
9 Peraturan
Pemerintah Republik
Indonesia Nomor
Pasal 4
(1)RIPPARNAS menjadi pedoman bagi
pembangunan
RIPPARNAS dan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan
51
50 Tahun 2011 Tentang Rencana
Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional Tahun
2010-2025.((Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4562).
kepariwisataan nasional.
(2)RIPPARNAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi pedoman penyusunan
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Provinsi. (3)RIPPARNAS dan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) menjadi pedoman penyusunan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kabupaten/Kota.
Provinsi dipergunakan
menjadi pedoman penyusunan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kabupaten. Persoalan hukum
yang ditemui sampai saat
dilakukan kajian ini, Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Bali,
sampai saat ini belum ditetapkan.
Dengan demikian Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan
Provinsi Bali, tidak dipergunakan sebagai salah satu
ketentuan mengingat dari
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kabupaten Badung.
10 Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelengaraan Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 21).
Pasal 153 (1)Peraturan zonasi
kabupaten/kota merupakan penjabaran
dari ketentuan umum peraturan zonasi yang ditetapkan dalam
rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota. (2)Peraturan zonasi
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan peraturan daerah
kabupaten/kota.
Ketentuan ini menunjukkan
bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten
mempunyai wewenang untuk menetapkan
peraturan daerah tentang Rencana
Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kabupaten Badung. Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang
52
(3)Peraturan zonasi kabupaten/kota
merupakan dasar dalam pemberian
insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan
pengenaan sanksi di tingkat kabupaten/kota.
Pasal 154 (1)Peraturan zonasi
kabupaten/kota memuat zonasi pada
setiap zona peruntukan.
(2)Zona peruntukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan suatu bagian wilayah atau
kawasan yang ditetapkan dalam
rencana tata ruang untuk mengembankan suatu fungsi tertentu
sesuai dengan karakteristik zonanya.
(3)Ketentuan zonasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. ketentuan kegiatan
dan penggunaan
ruang yang diperbolehkan,
diperbolehkan dengan syarat, dan
yang tidak diperbolehkan;
b. ketentuan intensitas
pemanfaatan ruang paling sedikit terdiri
atas: 1. koefisien dasar
bangunan maksimum;
2. koefisien lantai
bangunan maksimum;
Penyelengaraan Penataan Ruang
relevan dirujuk sebagai salah satu
ketentuan mengingat dalam
Perda RIPPDA Kabupaten Badung yang akan dibentuk.
53
3. ketinggian bangunan
maksimum; dan 4. koefisien dasar
hijau minimum. c. ketentuan prasarana
dan sarana minimum sebagai kelengkapan dasar
fisik lingkungan yang mendukung
berfungsinya zona secara optimal; dan
d. ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan
pemanfaatan ruang pada kawasan cagar
budaya, kawasan rawan bencana,
kawasan keselamatan operasi
penerbangan, dan kawasan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan. (4)Selain ketentuan zonasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam wilayah kota memuat
ketentuan lain yang dibutuhkan untuk
mengendalikan perkembangan
penggunaan lahan campuran, sektor informal, dan
pertumbuhan gedung pencakar langit.
11 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun
2011 tentang Rencana Induk
Pembangunan
Pasal 4 (1)RIPPARNAS menjadi
pedoman bagi
pembangunan kepariwisataan
nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
50 Tahun 2011 Kabupaten Badung
mempunai
54
Kepariwisataan Nasional Tahun
2010-2025 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
4562).
(2)RIPPARNAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi pedoman penyusunan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi.
(3)RIPPARNAS dan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi pedoman penyusunan Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan
Kabupaten/Kota.
wewenang untuk menetapkan
Peraturan Daerah berkaitan dengan
RIPPDA Kabupaten.
12 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48.Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
5285).
Pasal 1
Angka 1 Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada
setiap orang yang melakukan Usaha
dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha
dan/atau Kegiatan.
Angka 2
Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Amdal,
adalah kajian mengenai dampak penting suatu
Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan
Usaha pariwisata
merupakan usaha yang menediakan barang dan /atau
jasa bagi pemenuhan
kebutuhan wisatawan dan
penyelenggaraan pariwisata. Dalam kasus-kasus
tertentu, berkaitan dengan usaha
pariwisata wajib memperhatikan dan
memenuhi Izin Lingkungan. Dengan demikian,
Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan relevan dipergunakan sebagai salah satu
ketentuan mengingat dalam
Rancangan
55
Usaha dan/atau Kegiatan.
Angka 3 Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan
dan pemantauan terhadap Usaha dan/atau Kegiatan
yang tidak berdampak penting terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.
Angka 4
Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk
aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan
hidup serta menyebabkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
Peraturan Daeah tentang Rencana
Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah Tahun
2015-2030 yang akan dibentuk.
13 Peraturan Presiden
Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 2014 Tentang
Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 45 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Denpasar,
Badung,
Pasal 2 Pengaturan penataan
ruang diselenggarakan untuk:
a. mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan
penataanruang; b. memberikan kepastian
hukum bagi seluruh pemangku
c. kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
d. serta hak dan kewajibannya dalam
penyelenggaraan
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 45 Tahun 2011
memberikan kewenangan kepada
Kabupaten untuk melakukan penataan ruang
termasuk didalammnya
menata kawasan
56
Gianyar, Dan Tabanan.(Lemba
ran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor
121).
penataan e. ruang; dan
f. mewujudkan keadilan bagi seluruh
pemangku kepentingan
g. dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang.
Pasal 3
Pengaturan penataan ruang disusun dan
ditetapkan olehPemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerahkabupaten/kota
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 4
(1). ... (2). ... (3)Pengaturan penataan
ruang oleh pemerintah daerahkabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3meliputi
penyusunan dan penetapan:
a. rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota,
rencana tata (7) ruangkawasan
strategiskabupaten/kota, rencana detail
(8) tata ruang
kabupaten/kota termasuk peraturan
zonasi (9) yang ditetapkan dengan
peraturan daerah (10) kabupaten/kota; dan a. ketentuan tentang
perizinan, bentuk dan besaran insentif
sebagai kawasan pariwisata yang
dituangkan dalam RIPPDA Kabupaten.
57
(11) dan disinsentif, serta sanksi administratif,
yang ditetapkan dengan peraturan
bupati/walikota.
Pasal 5 (1)Selain penyusunan dan
penetapan peraturan
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4,
Pemerintah, pemerintah daerahprovinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota dapatmenetapkan
peraturan lain di bidang penataan ruang
sesuaikewenangan berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan.
14 Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 5
Tahun 2005 tentang
Persyaratan Arsitektur Bangunan
Gedung. (Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2005
Nomor 5).
Pasal 21
Gubernur
mengkoordinasikan pengendalian persyaratan
arsitektur bangunan gedung, penggunaan symbol fungsi, dan
symbol keagamaan dengan pemerintah
kabupaten/kota
Untuk menjamin
kepastian dan ketertiban hukum
dalam penyelenggaraan
bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus
diselenggarakan secara tertib dan
terkendali. Karena pengendalian
langsung tentang persyaratan arsitektur
bangunan sesuai dengan semangat
otonomi daerah sebagaimana diatur
dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka
Kabupaten/Kota
58
harus membuat peraturan daerah
kabupaten/kota yang memat
ketentuan tentang persyaratan
arsitektur bangunan gedung dengan mengadopsi,
menjabarkan, dan lebih memperinci
subsansi Peraturan Daerah ini agar
memiliki kekhasan sesuai potensi daerah dan lebih
mudah ditetapkan. Keseluruhan
maksud dan tujuan pengaturan tersebut
dilandasi oleh asas kemanfaatan,
keselamatan , keseimbangan, dan keserasian
bangunan gedung dengan
lingkungannya, bagi kepentingan
masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.
15 Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi
Bali.(Lembaran Daerah Provinsi
Bali Tahun 2009 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi
Bali Nomor 15).
Pasal 91
(7) Instansi pelaksana program pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan oleh:
a. pemerintah; b. pemerintah
provinsi; c. pemerintah
kabupaten/kota;
d. dunia usaha; e. Kerjasama
Pemerintah dan
Melalui Peraturan Daerah Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009. Pemerintah
Provinsi memberikan
kewenangan penyelenggaraan
pemanfaatan ruang kepada kabupaten. Berdasarkan hal
tersebut diatas, maka Perda Provinsi
Bali No 16 Tahun
59
Swasta (KPS); dan f. masyarakat.
Pasal 131
(1) Pemerintah provinsi
menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
(2) Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan
penataan ruang, pemerintah provinsi memberikan
kewenangan penyelenggaraan
penataan ruang kepada pemerintah
kabupaten/kota.
2009 relevan dipergunakan
sebagai salah satu ketentuan
mengingat Ranperda RIPPDA
Kabupaten Badung yang akan dibentuk.
16 Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 2
Tahun 2012 tentang
Kepariwisataan Budaya Bali. (Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2012
Nomor 2, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 2).
Pasal 11
(3) Dalam
mengembangkan destinasi pariwisata
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pemerintah Provinsi
dapat bekerja sama dengan
Kabupaten/Kota.
Pasal 20
Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
bekerjasama untuk melakukan promosi
kepariwisataan Bali.
Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012
tentang Kepariwisataan
Budaya Bali, memberikan arah dan sejalan dengan
Ranperda RIPPDA yang akan dibentuk.
17 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung No. 4
Pasal 6 (1)Urusan pilihan
sebagimana dimaksud dalam Pasal 4
Rumusan ketentuan ini
menentukan, Pemerintah
60
Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan yang Menjadi
Kewenangan Kabupaten
Badung.(Lembaran Daerah Kabupaten
Badung Tahun 2008 Nomor 4,
Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Nomor
4).
berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi,kekhasan, dan
potensi yang ada di daerahyang bersangkutan;
(2)Berdasarkan analisis terhadap Produk
Domestik Regional Bruto(PDRB) mata
pencaharian penduduk, pemanfaatan lahan dan pengembangan potensi
yang ada di daerah, maka urusan pilihan
yang dilaksanakan meliputi bidang:
a. pariwisata; b.pertanian;
c. perdagangan d. ... Selanjutnya dalam
Lampiran Peraturan Daerah ini ditentukan
sebagai berikut : A. Urusan
Pemerintahan Bidang Pariwisata.
Sub Bidang Kebijakan
Bidang kepariwisataan. Sub-sub bidang
Kebijakan. Urusan Pemerintahan
Daerah Kabupaten. 1. Pelaksanaan
kebijakan
nasional,propinsi dan penetapan
kebijakan skala kabupaten:
a. RIPP Kabupaten
b. ...
2. Pelaksanaan Bidang Kepariwisataan
Daerah Kabupaten
Badung menentukan
Pariwisata sebagai salah
satu urusan pilihan.
Berdasarkan urusan pilihan
ini, Pemerintah Kabupaten
Badung mempunai kewenangan
untuk menyusun
RIPPDA Kabupaten.
61
3. Kebikaan bidang Pariwisata:
i. Rencana induk pengembangan
sumber daya kebudayaan dan
pariwisata nasional skala kabupaten
18 Peraturan
Daerah Kabupaten
Badung No. 2 Tahun 2012
tentang Kepariwisataan.(Lembaran
Daerah Kabupaten
Badung Tahun 2012 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Badung Nomor
2).
Pasal 8
(1)Pembangunan
Kepariwisataan dilakukan berdasarkan
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah.
(2)Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), mencakup visi dan misi serta tahapan sasaran yang
akan diwujudkan, kebijakan dan strategi
untuk pemberdayaan masyarakat,
pembangunan daya tarik wisata, pembangunan destinasi
pariwisata, pembangunan usaha
pariwisata, pemasaran pariwisata serta
pengorganisasian kepariwisataan dalam rangka mewujudkan
tujuan penyelenggaraan kepariwisataan.
(3)Penyusunan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan melibatkan pemangku kepentingan.
Peraturan Daerah
Kabupaten Badung No. 2 Tahun 2012,
sejalan dan searah dengan Ranperda
RIPPDA yang akan dibentuk.
62
Pasal 11
Pemerintah Daerah bersama lembaga yang
terkait menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan kepariwisataan untuk mendukung pembangunan
kepariwisataan.
19 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013
tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten
Badung.(Lembaran Daerah Kabupaten
Badung Tahun 2013 Nomor 26,
Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Nomor
25).
Pasal 3
Penataan Ruang Wilayah Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan
Kabupaten Badung sebagai Pusat
Kegiatan Nasional dan destinasi pariwisata
internasional yang berkualitas, berdaya saing dan berjatidiri
budaya Bali melalui sinergi pengembangan Wilayah
Badung Utara, Badung Tengah dan Badung
Selatan secara berkelanjutan berbasis kegiatan
pertanian, jasa dan kepariwisataan menuju
kesejahteraan Masyarakat sebagai implementasi dari
falsafah Tri Hita Karana.
Peraturan Daerah Kabupaten Badung
No. 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Badung, searah
dan sejalan dengan Rancangan RIPPDA
Kabupaten Badung yang akan dibentuk.
3.2.Kajian Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Badung yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan.
Penelusuran terhadap beberapa Peraturan Daerah Kabupaten Badung,
yang memuat kondisi hukum terkait dengan kepariwisataan, sejalan dan searah dengan RIPPDA Kabupaten Badung dapat ditampilkan pada matrik dibawah ini.
63
Matrik 2.Peraturan Daerah Kabupaten Badung yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan.
N
o
Peraturan Daerah Rumusan
Normanya
Analisis
1 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No.
4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi
Kewenangan Kabupaten Badung;
Pasal 6 (1)Urusan pilihan
sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan
kondisi,kekhasan, dan potensi yang ada di daerahyang
bersangkutan; (2)Berdasarkan
analisis terhadap Produk Domestik
Regional Bruto(PDRB) mata pencaharian penduduk,
pemanfaatan lahan dan pengembangan
potensi yang ada di daerah, maka urusan
pilihan yang dilaksanakan meliputi bidang:
a. pariwisata; b.pertanian;
c. perdagangan d. ...
Selanjutnya dalam Lampiran Peraturan Daerah ini ditentukan
sebagai berikut : A. Urusan
Pemerintahan Bidang Pariwisata.Sub Bidang
Kebijakan Bidang kepariwisataan. Sub-sub bidang
Kebijakan.
Urusan Pemerintahan
Peraturan Daerah
Kabupaten Badung No. 4 Tahun 2008,
menentukan salaah satu
urusan pilihan yang
dijalankan oleh Pemerintah
Daerah kabupaten
Badung adalah Urusan
Kepariwisataan.
Salah satu kebijakaan
bidang Pariwisata di
Kabupaten Badung, yang menjadi
kewenangan dari
Pemerintah Kabupaten
Badung yakni membentuk Rencana
induk pengembanga
n sumber daya kebudayaan
dan pariwisata nasional skala kabupaten.
64
Daerah Kabupaten.
1.Pelaksanaan kebijakan
nasional,propinsi dan penetapan kebijakan
skala kabupaten: a. RIPP Kabupaten b. ...
2. Pelaksanaan Bidang Kepariwisataan
3. Kebikaan bidang Pariwisata:
i. Rencana induk pengembangan sumber daya
kebudayaan dan pariwisata nasional
skala kabupaten.
2 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No.2
Tahun 2012 tentang Kepariwisataan.(Lembaran Daerah Kabupaten
Badung Tahun 2012 Nomor 2,Tambahan
LembaranDaerah Kabupaten Badung
Nomor 2).
Pasal 8
(1)Pembangunan Kepariwisataan dilakukan
berdasarkan Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan
Daerah. (2)Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), mencakup visi dan misi serta tahapan sasaran
yang akan diwujudkan,
kebijakan dan strategi untuk
pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya
tarik wisata, pembangunan
destinasi pariwisata,
Peraturan Daerah
Kabupaten Badung No. 2 Tahun 2012,
sejalan dan searah dengan
Ranperda RIPPDA yang
akan dibentuk.
65
pembangunan usaha pariwisata,
pemasaran pariwisata serta
pengorganisasian kepariwisataan
dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan
kepariwisataan. (3)Penyusunan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan.
Pasal 11
Pemerintah Daerah bersama lembaga yang
terkait menyelenggarakan
penelitian dan pengembangan
kepariwisataan untuk mendukung pembangunan
kepariwisataan.
3 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Badung.(Lembaran Daerah Kabupaten
Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Badung Nomor 25).
Pasal 3
Penataan Ruang
Wilayah Kabupaten bertujuan untuk
mewujudkan Kabupaten
Badung sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan destinasi pariwisata
internasional yang berkualitas,
berdaya saing dan
Peraturan Daerah Kabupaten
Badung No. 26 Tahun
2013 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten
Badung, searah dan
sejalan
66
berjatidiri budaya Bali melalui sinergi
pengembangan Wilayah Badung
Utara, Badung Tengah dan Badung Selatan
secara berkelanjutan berbasis kegiatan pertanian, jasa dan
kepariwisataan menuju
kesejahteraan Masyarakat sebagai
implementasi dari falsafah Tri Hita Karana.
dengan Rancangan
RIPPDA Kabupaten
Badung yang akan
dibentuk.
4 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2013
tentang Pengelolaan Sampah. ( Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Daerah kabupaten Badung
Nomor 7).
Pasal 4
Pengelolaan Sampah bertujuan untuk
meningkatkan kebersihan, kesehatan
masyarakat dan kualitas lingkungan yang kondusif serta
menjadikan sampah sebagai sumber daya
yang potensial.
Tujuan
pengelolaan sampah
dalam Perda ini sejalan
dengan tujuan pengembanga
n kepariwisataa
n yang akan dibentuk yang
dituangkan dalam
RIPPDA Kabupaten Badung.
5 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013
tentang Kawasan Tanpa Rokok. ( Lembaran Daerah
Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Daerah kabupaten
Badung Nomor 8).
Pasal 10
Tempat umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g meliputi :
a.pasar modern; b.pasar tradisional;
c.tempat wisata; d.tempat hiburan;
e.hotel; f.restoran; g.tempat rekreasi;
h.halte; i.terminal angkutan
67
umum; j.terminal angkutan
barang; k.pelabuhan; dan
l.bandara.
6 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 9 Tahun 2010 tentang Izin Ganguan. (
Lembaran Daerah Kabupaten Badung
Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Nomor 9).
Pasal 2
(1) Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah
ini dalam rangka pembinaan,pengend
alian dan pengawasan
terhadap kegiatan usaha/ tempat usahaguna
terciptanya iklim usaha yang
kondusif di daerah. (2) Tujuan
ditetapkannya Peraturan Daerah ini untuk
memberikan legalitas,dasar
hukum dan kepastian hukum
dalam pelaksanaan kewenangan daerahdalam
pemberian perizinan kepada masyarakat
dan sebagai upaya untukmencegah
timbulnya gangguan terhadap kesehatan, keselamatan,ketentr
aman dan/ atau kesejahteraan
terhadap kepentingan umum.
Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten
Badung Nomor : 9 Tahun 2010
Tanggal: 23 Nopember
Tujuan
ditetapkannya Peraturan Daerah ini
untuk mencegah
timbulnya gangguan
terhadap kesehatan, keselamatan,
ketentraman dan/ atau
kesejahteraan terhadap
kepentingan umum, searah dengan
Ranperda tentang
RIPPDA Kabupaten
Badung yang akan dibentuk.
68
2010 Tentang: Izin
Gangguan Tempat-tempat usaha
lainnya yang wajib memiliki Izin
Gangguan sebagaimana dimaksud pada angka
I nomor 21 adalah :
43.Usaha di bidang pariwisata yaitu :
1)Restoran, rumah makan, kafe;
2) Bar;
3) Bilyar; 4) Diskotik;
5) Club malam; 6) Panti pijat;
7)Bioskop, sinema; 8)Bola etangkasan;
9) Barber shop; 10) Karaoke; 11)Hotel bintang,
Hotel melati; 12)Hotel transit;
13) Losmen; 14)Penginapan
remaja; 15)Pondok wisata; 16)Mandala wisata;
17) Wisma; 18) ...
7 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 12 Tahun 2013
Tentang Retribusi Tempat Penjualan
Minuman Beralkohol. ( Lembaran Daerah Kabupaten Badung
Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Daerah kabupaten
Pasal 3
(1)Objek Retribusi adalah pemberian
izin tempat penjualan minuman
beralkohol disuatu tempat tertentu.
(2)Tempat tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
69
Badung Nomor 12). a.pengecer minuman
beralkohol golongan B
dan/atau golongan C
ditempatlainnya termasuk toko Bebas Bea (duty
free shop); b.penjual minuman
beralkohol golongan B
dan/atau golongan C
untukdiminum langsung ditempat,
meliputi: 1.Hotel berbintang
: -Hotelberbintang
3, -Hotel
berbintang 4,
dan -Hotel
berbintang 5. 2.Restoran, Bar,
termasuk Pub, Karaoke dan Klab malam.
c.pengecer dalam kemasanminuman
beralkohol untuk tujuan kesehatan.
70
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
4.1.Landasan Filosofis
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 menentukan landasan filosofis merupakan pertimbangan atau
alasanyang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentukmempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan citahukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsaIndonesia yang
bersumber dari Pancasila dan PembukaanUndang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pertimbangan filosofis sebagaimana dimaksudkan
diatas,pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang dimuat dalam
Peraturan DaerahKabupaten Badung tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan yag dibentuk mengacu pada prinsip pengembangan
kepariwisataan.
Prinsip pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Badung yang
tertuang dalam Peraturan Daerah ini, terdiri atas :
a. nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai landasan filosofis pembangunan
kepariwisataan Bali.
b. pariwisata berkelanjutan.
c. berbasis pemberdayaan masyarakat.
d. pendayagunaan potensi local.
e. keterpaduan antarsektor dan antarwilayah.
f. memberikan kepuasan kepada wisatawan.
g. mematuhi kode etik pariwisata dunia.
Berdasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan kepariwisataan seperti
yang disebutkan diatas, visi Pembangunan Kepariwisataan Daerah adalah
Kabupaten Badung sebagai destinasi pariwisata yang berkualitas, berdaya
saing global, berkelanjutan, dan berbasis budaya lokal berlandaskan Tri
Hita Karana.
Dengan visi Kabupaten Badung sebagai destinasi pariwisata yang
berkualitas, berdaya saing global, berkelanjutan, dan berbasis budaya lokal
berlandaskan Tri Hita Karana, misi yang diemban dalam pembangunan
kepariwisataan di Kabupaten Badung,dirumuskan sebagai berikut :
a. Mengembangkan Kabupaten Badung sebagai pintu gerbang
pariwisata Bali dan destinasi pariwisata berkualitas yang memiliki
daya tarik wisata pantai, wisata bahari, MICE, wisata perdesaan,
71
agrowisata, ekowisata dan kuliner sehingga memberikan
pengalaman yang berkesan bagi wisatawan.
b. Mengembangkan industri pariwisata yang berdaya saing global
melalui peningkatan kualitas produk, layanan, kepedulian terhadap
lingkungan alam, sosial dan budaya, sertifikasi dan akreditasi
usaha, serta mewujudkan investasi di bidang industri pariwisata
secara selektif dan terbatas dengan prioritas pengembangan usaha
kecil dan menengah yang mempertimbangkan daya dukung (carrying
capacity).
c. Meningkatkan citra kepariwisataan Kabupaten Badung sebagai
destinasi pariwisata berkualitas melalui pemasaran yang terpadu
dan inovatif dengan target pasar wisatawan yang berkualitas.
d. Mewujudkan tata kelola kepariwisataan secara terintegrasi dan
berbasis masyarakat yang didukung oleh sumber daya manusia
yang profesional.
4.2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasanyang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untukmemenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empirismengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakatdan negara.
Fakta empiris yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan dituangkan dalam tujuan dan sasaran pembangunan
kepariwisataan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
pada umumnya, dan masyarakat Kabupaten Badungpada khususnya.
Tujuan Pembangunan Kepariwisataan Daerah meliputi:
a. Destinasi Pariwisata.
1. Terwujudnya kawasan pantai yang bersih, indah, aman dan
nyaman sebagai basis keunggulan daya saing kepariwisataan
Badung.
2. Meningkatnya keragaman daya tarik wisata serta terwujudnya
perkembangan pariwisata secara merata sesuai daya dukung.
3. Meningkatnya kualitas higiene dan sanitasi, kelestarian lingkungan
dan keanekaragaman hayati, serta kelestarian budaya untuk
meningkatkan citra destinasi.
4. Meningkatnya aksesibilitas dan daya dukung kawasan.
5. Meningkatnya kontribusi pariwisata bagi pelestarian tradisi dan
budaya, peningkatan kapasitas sosial dan perekonomian
masyarakat lokal secara berkeadilan.
b. Industri Pariwisata.
72
1. Terwujudnya struktur industri pariwisata yang kuat dan produk
pariwisata berdaya saing tinggi serta berkelanjutan.
2. Terwujudnya manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang
kredibel dan berdaya saing tinggi.
3. Meningkatnya kesempatan berusaha dan akses pasar terhadap
produk industri kecil dan menengah dan usaha pariwisata skala
mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal.
c. Pemasaran Pariwisata.
1. Meningkatnya citra kepariwisataan Kabupaten Badung sebagai
destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing.
2. Terciptanya komunikasi dan relasi yang baik dengan wisatawan
dan pasar-pasar utama serta semakin bertumbuhnya pasar baru
yang sedang berkembang guna meningkatkan jumlah kunjungan
wisatawan secara berkelanjutan.
d. Kelembagaan Pariwisata.
1. Meningkatnya peran organisasi kepariwisataan baik di lingkungan
pemerintah maupun swasta sebagai pilar strategis pembangunan
kepariwisataan yang berdaya saing dan berkelanjutan.
2. Terwujudnya sumberdaya manusia pariwisata di lingkungan
pemerintah yang berkemampuan tinggi dan profesional, serta di
tingkat dunia usaha dan masyarakat yang kompeten dan
mempunyai kemampuan kewirausahaan.
3. Terwujudnya tata kelola kepariwisataan yang baik dan bertanggung
jawab, mencakup aspek perencanaan, koordinasi, implementasi,
dan pengendalian.
4. Terbangunnya jejaring kerja (networking) dan kerjasama yang
harmonis antarpemangku kepentingan dalam rangka
meningkatkan kualitas pengelolaan pariwisata.
Selain tujuan pembangunan kepariwisataan daerah seperti tersebut
diatas, landasan sosiologis pengaturan Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Daerah Kabupaten Badung, dituangkan sebagai sasaran
pembangunan kepariwisataan,diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat terdiri atas:
a. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan
mancanegara.
b. Peningkatan lama tinggal.
c. Peningkatan jumlah pengeluaran wisatawan.
d. Penyeimbangan pengembangan kepariwisataan di wilayah Badung
Selatan dan Badung Utara melalui wisata perdesaan, agrowisata,
ekowisata dan wisata jenis lainnya yang berbasis alam perdesaan
dan pertanian.
73
4.3. Landasan Yuridis Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 menentukan landasan landasan yuridis merupakan pertimbangan
atau alasanyang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untukmengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosonganhukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yangakan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastianhukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridismenyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansiatau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
PeraturanPerundang-Undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu,antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yangtidak harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan yang lebihrendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya
lemah,peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atauperaturannya
memang sama sekali belum ada.
Persoalan hukum tentang Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Daerah Kabupaten Badung yang akan dibentuk, dari sisi
landasan yuridis berhubungan dengan kekosongan hukum dan
peraturannya memang sama sekali belum ada,dimana Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah Kabupaten
Badung yang diharapkan berfungsi sebagai rencana induk kepariwisataan,
belum terbentuk sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (3).
74
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH
5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan.
Naskah Akademik ini berfungsi mengarahkanruang lingkup materi
muatan Rancangan PeraturanDaerah Kabupaten Badung tentang Rencana
Induk Pengembangan Kepariwisataan yang akan dibentuk. Sasaran yang
akan diwujudkan dalam pengaturan Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan ini, terdiri atas tujuan dan sasaran pembangunan
kepariwisataan daerah Kabupaten Badung.
Adapun tujuanpembangunan kepariwisataan daerah Kabupaten
Badung yang akan diwujudkandalam pengaturan Rencana Induk
Pengembangan Kepariwisataan inimeliputi:
a. Destinasi Pariwisata.
1. Terwujudnya kawasan pantai yang bersih, indah, aman dan
nyaman sebagai basis keunggulan daya saing kepariwisataan
Badung;
2. Meningkatnya keragaman daya tarik wisata serta terwujudnya
perkembangan pariwisata secara merata sesuai daya dukung;
3. Meningkatnya kualitas higiene dan sanitasi, kelestarian lingkungan
dan keanekaragaman hayati, serta kelestarian budaya untuk
meningkatkan citra destinasi;
4. Meningkatnya aksesibilitas dan daya dukung kawasan; dan
5. Meningkatnya kontribusi pariwisata bagi pelestarian tradisi dan
budaya, peningkatan kapasitas sosial dan perekonomian
masyarakat lokal secara berkeadilan.
b. Industri Pariwisata.
1. Terwujudnya struktur industri pariwisata yang kuat dan produk
pariwisata berdaya saing tinggi serta berkelanjutan.
2. Terwujudnya manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang
kredibel dan berdaya saing tinggi.
3. Meningkatnya kesempatan berusaha dan akses pasar terhadap
produk industri kecil dan menengah dan usaha pariwisata skala
mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal.
c. Pemasaran Pariwisata.
1. Meningkatnya citra kepariwisataan Kabupaten Badung sebagai
destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing; dan
75
2. Terciptanya komunikasi dan relasi yang baik dengan wisatawan
dan pasar-pasar utama serta semakin bertumbuhnya pasar baru
yang sedang berkembang guna meningkatkan jumlah kunjungan
wisatawan secara berkelanjutan.
d. Kelembagaan Pariwisata.
1. Meningkatnya peran organisasi kepariwisataan baik di lingkungan
pemerintah maupun swasta sebagai pilar strategis pembangunan
kepariwisataan yang berdaya saing dan berkelanjutan.
2. Terwujudnya sumberdaya manusia pariwisata di lingkungan
pemerintah yang berkemampuan tinggi dan profesional, serta di
tingkat dunia usaha dan masyarakat yang kompeten dan
mempunyai kemampuan kewirausahaan.
3. Terwujudnya tata kelola kepariwisataan yang baik dan bertanggung
jawab, mencakup aspek perencanaan, koordinasi, implementasi,
dan pengendalian.
4. Terbangunnya jejaring kerja (networking) dan kerjasama yang
harmonis antarpemangku kepentingan dalam rangka
meningkatkan kualitas pengelolaan pariwisata.
Sedangkan sasaran pembangunan kepariwisataan daerah, yang akan
diwujudkandalam dalam pengaturan Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan ini meliputi:
a. peningkatan jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan
mancanegara.
b. peningkatan lama tinggal.
c. peningkatan jumlah pengeluaran wisatawan.
d. penyeimbangan pengembangan kepariwisataan di wilayah Badung
Selatan dan Badung Utara melalui wisata perdesaan, agrowisata,
ekowisata dan wisata jenis lainnya yang berbasis alam perdesaan dan
pertanian.
5.2. Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan Rencana Induk
Pengembangan Kepariwisataan.
Ruang lingkup materi muatan, arah dan jangkauan pengaturan
Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Kabupaten Badung
mencakup:
76
a. Ketentuan umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011,Lampiran II
menentukan ketentuan umum tersebut sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian
istilah, dan frasa.
2. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan
Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab,
ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal.
3. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
4. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi.
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam
batasanpengertian atau definisi.
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau
beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab.
5. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi,
singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing
uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan
huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
6. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah
kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal
atau beberapa pasal selanjutnya.
7. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan
dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang
akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan
rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah
berlaku tersebut.
8. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang
undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan
Perundangundangan yang lain karena disesuaikan dengan
kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.
9. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata
atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian
atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.
10. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di
dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka
rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan
pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau
77
definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang
dilaksanakan tersebut.
11. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim
berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka
batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak
perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan
lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
12. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan
atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis
dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur,
penjelasan maupun dalam lampiran.
13. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum
mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan
lebih dahulu dari yang berlingkup khusus.
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang
diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu.
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan secara berurutan.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan diatas, maka
ketentuan umum yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Daerah ini, antara lain:
1. Daerah adalah Kabupaten Badung.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Badung.
3. Bupati adalah Bupati Badung.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung.
5. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015-
2030, yang selanjutnya disingkat RIPPARDA Tahun 2015-2030
adalah pedoman utama bagi perencanaan, pengelolaan, dan
pengendalian pembangunan kepariwisataan di tingkat kabupaten
yang berisi prinsip, visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, strategi,
dan program yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan
dalam pembangunan kepariwisataan.
6. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk
tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
78
7. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.
8. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul
sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi
antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan,
pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.
9. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
10. Destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam
satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya
tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta
masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya
kepariwisataan.
11. Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling
terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi
pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan
pariwisata.
12. Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau
jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan
pariwisata.
13. Fasilitas penunjang pariwisata adalah produk dan pelayanan yang
dibutuhkan untuk menunjang terpenuhinya kebutuhan berwisata
wisatawan.
14. Pemasaran pariwisata adalah serangkaian proses untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan produk wisata,
dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk mengembangkan
kepariwisataan dan seluruh pemangku kepentingannya.
15. Kelembagaan kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta
jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber
daya manusia, regulasi, dan mekanisme operasional yang secara
berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke arah
pencapaian tujuan di bidang kepariwisataan.
16. Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam,
79
budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan
kunjungan wisatawan.
17. Kawasan daya tarik wisata (KDTW) adalah kawasan yang berada di
luar Kawasan Pariwisata yang memiliki lebih dari satu daya tarik
wisata.
18. Kawasan pariwisata (KP) adalah adalah kawasan strategis pariwisata
yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah administrasi
desa/kelurahan yang di dalamnya terdapat potensi daya tarik wisata,
aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas
pariwisata serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling
mendukung dalam perwujudan kepariwisataan.
19. Kawasan strategis pariwisata (KSP) adalah adalah kawasan yang
memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk
pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam
satu atau lebihaspek,seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan
budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan
hidup, serta pertahanan dan keamanan.
20. Kawasan pengembangan pariwisata (KPP) adalah suatu ruang
pariwisata yang mencakup luasan area tertentu sebagai suatu
kawasan dengan komponen kepariwisataannya, serta memiliki
karakter atau tema produk wisata tertentu yang dominan dan
melekat kuat sebagai komponen pencitraan kawasan tersebut.
21. Berwawasan lingkungan adalah konsep pembangunan berkelanjutan
yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya
manusia dengan cara menyelaraskan aktivitas manusia dengan
kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.
22. Berbasis masyarakat adalah konsep pengembangan dengan
melibatkan masyarakat Daerah dan dapat dipertanggungjawabkan
dari aspek sosial dan lingkungan hidup.
23. Pariwisata perdesaan adalah suatu kegiatan pariwisata di wilayah
perdesaan yang menawarkan daya tarik wisata berupa suasana
perdesaan, baik kehidupan sosial, ekonomi, adat-istiadat, arsitektur
bangunan, maupun struktur tata ruang desa yang unik dan menarik.
24. Agrowisata adalah suatu kegiatan pariwisata yang memanfaatkan
usaha pertanian dan segala aktivitas terkait sebagai daya tarik wisata
untuk tujuan rekreasi dan edukasi, serta memberikan nilai tambah
bagi usaha pertanian tersebut.
80
25. Ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan
kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk
perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan
dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran,
berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap
pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan
lindung, kawasan terbuka, kawasan alam, serta kawasan budaya.
26. Wisata edukasi adalah kegiatan wisata yang menawarkan
pengalaman pembelajaran langsung terkait daya tarik wisata yang
dikunjungi, bermuatan pendidikan dan pengetahuan.
27. Zonafikasi adalah pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi
beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan.
b.Materi Pokok Yang Diatur.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II
menentukan materi pokok yang akan diaturdisusun dengan
berpedomanpada kriteria sebagai berikut:
1. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab
ketentuanumum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi
pokok yangdiatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal
ketentuan umum.
2. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih
kecildilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
3. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,
sepertipembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
4. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam
hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama,
tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
5. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung,
Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
Berdasarkan pada pedoman kriteria diatas, materi pokok yang diatur
dalam Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah Kabupaten
Badung meliputi :
No Bab Tentang Pasal
1 I Ketentuan Umum 1
2 II Kedudukan, Ruang Lingkup, DanJangka Waktu Perencanaan
2- 5
3 III Prinsip, Visi dan Misi 6 – 8
81
4 IV Tujuan, Sasaran dan Kebijakan 9 - 11
5 V Strategi Pembangunan Kepariwisataan 12 – 16
6 VI Rencana Pengembangan Perwilayahan Pariwisata 17 –40
7 VII Rencana Program Pembangunan Pariwisata 41 – 44
8 VIII Indikasi Program Pembangunan Kepariwisataan Daerah
45
9 IX Pengawasan dan Pengendalian 46
10 X Ketentuan Penutup 47-48
c. Ketentuan Sanksi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran
II khususnya berkaitan dengan pengaturan sanksi pidana menentukan jika
diperlukan. Hal ini berarti pengaturan sanksi pidana dalam Peraturan
Daerah tidak bersifat mutlak, tergantung dari kebutuhan. Dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Daerah yang akan dibentuk tidak memerlukan pengaturan
tentang sanksi pidana.
d. Ketentuan Peralihan.
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakanhukum
atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkanPeraturan Perundang-
undangan yang lama terhadap PeraturanPerundang-undangan yang baru,
yang bertujuan untuk:
1. menghindari terjadinya kekosongan hukum.
2. menjamin kepastian hukum.
3. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak
perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
4. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Berdasarkan kajian pada landasan yuridis,ditemukan bahwa belum
ada pengaturan berupa Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah. Dengan tidak
adanya peraturan daerah tentang Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan, maka tidak ada kajian berupa penyesuaian pengaturan
tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan
Peraturan Daerah lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang
baru. Dengan demikian, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung
tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah ini tidak
mengatur tentang Ketentuan Peralihan.
82
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan, dapat ditarik kesimpulan;
a. Bahwa Kabupaten Badung belum mempunyai Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah.
b. Berdasarkan keseluruhan pengkajian secara normatif dan praktek
empiris, maka perlu disusun PeraturanDaerah tentang Rencana
Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah.
c. Dasar kewenangan daerah untuk membentuk Peraturan Daerah
diatur dalam Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur Untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah
juga ditentukan secara tegas dalamPasal 8 ayat (1) danPasal 9 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
6.2. Saran
a. Menyiapkan segera Peraturan Bupati sebagai bentuk pendelegasian
kewenangan mengatur.
b. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat
dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk
Pengembangan Kepariwisataan Daerah,sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam
Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Pasal partisipasi masyarakat dalam bentuk :
a. konsultasi publik;
b. musyawarah;
c. kemitraan;
d. penyampaian aspirasi;
e. pengawasan; dan/atau
f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
83
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. http. Retrieved December 15, 2013, from
www.ret.gov.au/tourism /decuments/tourism industri development_ best_practice_destination _manag ement-planning_framework.
Bernard Arief Sidharta, “Penelitian hukum normative” analisis
penelitian philosophical dan dogmatical”, dalam Soelistyowati Irianto dan Sidharta, eds., 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
C.F.G Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2, Alumni, Bandung.
Damanik, J., & Teguh, F. 2012. Manajemen Destinasi Pariwisata: Sebuah Pengantar Ringkas. Yogyakarta: Kepel Press.
Edgell, D. L., Allen, M. D., Smith, G., & Swanson, J. R. 2008. Tourism
Policy and Planning: Yesterday, Today and Tomorrow. Great Britain: Elsevier
Inc. Edgell, S. L. 2006. Managing Sustainable Tourism: A Legacy for the
Future. Binghamton, NY: The Haworth Hospitality Press.
European Communities, 2003. A Manual for Evaluating the Quality Performance of Tourist Destinations and Services. Enterprise DG
Publication, Luxembourg.
Kim, D. K., & Lee, T. H. 2004. Public and Private Partnership for Facilitating Tourism Investment in the APEC Member Economies. Seoul: Korea
Asia-Pacific Economic Coorporation. Osmanovic, J., Kenjic, V., & Zrnic, R. 2010. Destination Management:
Concensus for Competitiveness. Tourism & Hospitality Management Organisation Conference Proceedings.
Peter Mahmud Marzuki;2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama
Offset.
LAMPIRAN
1. KONSEP AWAL RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA (RIPPDA) KABUPATEN BADUNG.