LAPORAN PENELITIAN - repositori.unud.ac.id file1 laporan penelitian rancangan peraturan daerah...

83
1 LAPORAN PENELITIAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNANKEPARIWISATAANDAERAH 2015-2030 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015

Transcript of LAPORAN PENELITIAN - repositori.unud.ac.id file1 laporan penelitian rancangan peraturan daerah...

1

LAPORAN PENELITIAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG

TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNANKEPARIWISATAANDAERAH

2015-2030

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

2015

2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi

Daftar Tabel

BAB I PENDAHULUAN........................................................... 6

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................... 6 1.2 Identifikasi Masalah ..................................................... 7

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademis 8 1.4 Metode....................................................................... 9

a. Pendekatan ............................................................. 9 b. Sumber Bahan Hukum ........................................... 11 c. Pengumpulan Bahan Hukum .................................. 13

d. Analisis .................................................................. 13

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS.............. 14 2.1 Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan ....................... 14

2.2 Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan Penyusunan Norma Hukum Kepariwisataan ................

16

2.3 Kajian terhadap Praktik Penyelenggara, Kondisi Yang

ada, Serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat ....

15 2.4 Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru

yang akan diaur dalam Peraturan Daerah Terhadap aspek Kehidupan masyarakat dan dampaknya

terhadap aspek beban keuangan Negara. .....................

19

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ...........................

38 3.1 Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang

Memuat Kondisi Hukum yang ada ...............................

38 3.2. Kajian Terhadap Peraturan Daerah kabupaten Badung

yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan ............................................................

63

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 72

4.1 Landasan Filosofis ....................................................... 72

4.2 Landasan Sosiologis .................................................... 73

4.3 Landasan Yuridis ......................................................... 74

3

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

76 5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk

Pengembangan Kepariwisataan.....................................

76

5.2. Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan. ..........

77

BAB VI PENUTUP ..................................................................... 84

6.1 Kesimpulan .................................................................. 84

6.2 Saran ........................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 85

LAMPIRAN

Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung

Tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (Rippda)

Kabupaten Badung.

4

DAFTAR TABEL

No Nama Tabel hal 1 Tabel 2.1Kawasan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun

2009

20 2 Tabel 2.2Daftar DTW, Jenis Wisata, dan Lokasi Per

Kecamatandi Kabupaten Badung

21 3 Tabel 2.3Daftar DTW yang berpotensi untuk dikembangkan

di Kabupaten Badung

22 4 Tabel 2.4Jumlah Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung

Tahun 2005-2011

23

5 Tabel 2.5Perkembangan Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar, dan Cateringdi Kabupaten Badung Tahun

2006-2011

24 6 Tabel 2.6Daftar Biro Perjalanan Wisata dan Cabang

di Kabupaten Badung Tahun 2011

25 7 Tabel 2.7Daftar Konsultan Pariwisata di Kabupaten Badung

Tahun 2011

27

8 Tabel 2.8 Data Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Kabupaten Badung

28

9 Tabel 2.9 Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Kab. BadungTahun 2007-2011

28

10 Tabel 2.10 Pengeluaran Wisatawan Mancanegara Tahun 2010 29 11 Tabel 2.11 Pengeluaran Wisatawan Nusantara Tahun 2010 30

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Secara filosofis Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Badung dilandasi oleh pemikiran bahwa pembangunan nasional

adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di

dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada hakekatnya adalah pembangunan

manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat

Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan,

kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat

Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.

Secara filosofis, pembangunan kepariwisataan memerlukan

perencanaan induk, yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam

menjamin keberlanjutan penyelenggaraan kepariwisataan. Untuk itu maka

penyelenggaraan kepariwisataan perlu diatur dan dibina demi kelangsungan

dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus

untuk mewujudkan pengelolaan kepariwisataan yang serasi, selaras dan

seimbang. Melalui penetapan rencana induk pembangunan kepariwisataan

(RIPPDA) diharapkan dapat menopang dan menunjang tujuan

pembangunan di Kabupaten Badung yang berlandaskan prinsip Tri Hita

Karana.

Dari aspek sosiologis, paradigma pembangunan kepariwisataan yang

bertumpu semata mata pada aspek ekonomis sudah saatnya ditinggalkan

dan diganti dengan paradigm baru pembangunan kepariswisataan yang

berbasis pada keserasian antara manfaat ekonomi dengan keseimbangan

lingkungan, sosial dan budaya. Paradigma baru memandang kepariwisataan

sebagai salah satu sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dengan

tidak mengorbankan aspek lingkungan yang bersifat eksploitatif.

Pembangunan kepariwisataan dilakukan dengan pendekatan yang

konprehensif dari hulu, sejak sebelum pembangunan tersebut berpotensi

memunculkan dampak negatif, sampai kehilir, yaitu pada fase

kepariwisataan tersebut sudah berkembang dan dirasakan manfaatnya oleh

masyarakat maupun pemerintah. Pembangunan kepariwisataan dengan

paradigma baru tersebut dilakukan melalui kegiatan penyusunan rencana

induk dan penetapan rencana induk tersebut menjadi peraturan daerah.

Penetapan peraturan daerah tentang rencana induk pembangunan

kepariwisataan akan memperkuat paradigma baru pembangunan

kepariwisataan yang sejalan dengan konsep pembangunan berlandaskan Tri

Hita Karana.

6

Dari aspek yuridis Pemerintah Kabupaten Badung sampai akhir tahun

2014 memiliki beberapa ketentuan regulasi terkait dengan keperiwisataan,

namun belum memiliki Peraturan Daerah tentang Rencana Induk

Pengembangan Pembangunan Kepariwisataan.

Dengan latar belakang pemikiran secara filosofis, sosiologis, dan

yuridis tersebut di atas, maka penyusunan Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pembangunan

Kepariwisataan dipandang perlu guna mendapatkan kajian yang mendalam

dan konprehensif baik secara teoritik maupun pemikiran ilmiah dalam

merumuskan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang

Pembangunan Kepariwisataan.

1.2.Identifikasi Masalah

Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu

pengaturan menyangkut dua isu pokok, yakni penormaan materi muatan

dan prosedur pembentukan. Kajian ini focus pada upaya penyusunan

naskah akademik rancangan peraturan daerah, oleh karena itu berada pada

isu penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan sebagai

suatu aturan yang mengandung norma hukum.

Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yakni : a)

landasan, b) asas-asas dalam pengaturan, c) batas-batas kewenangan

pengaturan dan d) ruang lingkup materi muatan pengaturan.

Dikaitkan dengan isu pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Badung,

maka kajian ini dapat diidentifikasi permasalahannya sebagai berikut:

1. Destinasi :

a. Ketimpangan pembangunan antar wilayah Badung bagian Utara,

Tengah, dan Selatan.

b. Pelanggaran atas kawasan suci, sempadan jurang, dan sempadan

pantai.

c. Pelanggaran tata ruang wilayah.

d. Pengelolaan limbah yang belum mengikuti standar baku

pengelolaan.

e. Kemacetan lalu lintas, terutama di wilayah Badung bagian selatan.

f. Terbatasnya sumber daya air permukaan dan penggunaan sumber

daya tanah yang tidak terkendali.

g. Alih fungsi lahan pertanian menjadi fasilitas penunjang pariwisata.

h. Kebersihan lingkungan daya tarik yang tidak terjaga.

i. Bangunan gedung usaha pariwisata mengabaikan langgam

arsitektur tradisional Bali.

7

j. Rendahnya pemahaman dan interpretasi daya tarik wisata (DTW).

k. Aksessibiltas menuju ke beberapa DTW masih minim.

l. Kemacetan lalu lintas di wilayah Badung Utara sebagai akibat

adanya pasar tumpah.

m. Alternative moda transportasi (angkutan laut) untuk mengatasi

kemacetan lalu lintas sekaligus sebagai atraksi wisata.

n. Rawan bencana seperti : tsunami, banjir dan longsor.

2. Industri Pariwisata

a. Ketersediaan akomodasi wisata yang melebihi kapasitas terutama

di wilayah Badung Selatan.

b. Masifnya perkembangan akomodasi (villa illegal).

c. Peningkatan SDM pariwisata yang berbasis masyarakat masih

sangat rendah.

d. Hygine sanitasi belum diterapkan secara optimal.

e. Kurang tertatanya lay-out bangunan restoran.

f. Persaingan usaha yang kurang sehat.

3. Pemasaran

a. Belum optimalnya pemasaran pariwisata yang berbasis IT.

b. Citra pariwisata kurang baik.

c. Keterpaduan antara stackholders pariwisata dalam pemasaran

belum optimal.

d. Pengembangan pasar untuk agrowisata, ekowisata dan desa wisata

belum berjalan dengan baik.

e. Peningkatan kualitas pariwisata melalui peningkatan lama tinggal

(length of stay) dan daya beli (spending power) wisatawan.

4. Kelembagaan

a. Pengolalaan dan penataan DTW belum optimal.

b. Desa wisata yang telah ditetapkan belum berkembang secara

optimal.

1.3.Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang diungkapkan

diatas, tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik dirumuskan

sebagai berikut:

8

1. Tujuan penyusunan naskah akademik ini yakni :

a. Untuk merumuskan landasan ilmiah penyusunan Rancangan

Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Badung tentang

pembangunan kepariwisataan.

b. Untuk merumuskan arah dan cakupan ruang lingkup materi bagi

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten

Badung tentang pembangunan kepariwisataan.

2. Kegunaan penyusuanan naskah akademik ini, yakni :

a. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi

pembuat Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten

Badung tentang pembangunan kepariwisataan.

b. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang

berkepentingan dalam pembuatan Peraturan Daerah Pemerintah

Kabupaten Badung tentang pembagunan kepariwisataan.

1.4.Metode

Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan suatu

kegiatan penelitian, sehingga metode yang digunakan dalam penyusunan

naskah akademik yakni penelitian hukum yang berbasiskan metode

penelitian hukum. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode

yuridis normatif dan metode yuridis empiris.

Dalam penyusunan akademik ini dilakukan penelitian hukum dengan

metode yuridis normatif dengan melakukan studi pustaka yang menelaah

(terutama bahan hukum primer yang berupa Peraturan Perundang-

undangan dan dokumen hukum lainnya). Dalam penelitian ini juga

dilakukan wawancara, untuk verifikasi bahan hukum primer dan diskusi

(focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Berdasarkan metode

penelitian hukum di atas, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian

ini antara lain:

a. Pendekatan

Penelitian hukum mengenal beberapa metode pendekatan, yaitu

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan

perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan

kasus (case approach)1

Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik

ranperda ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),

9

pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analitis (analytical

approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan

dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pembangunan kepariwisatan antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5657).

b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang(

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).

c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil( Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4739).

d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966).

e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5059).

f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).

g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4833).

h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana

Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025

10

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).

i. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun

2011Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar,Badung, Gianyar, Dan Tabanan.(Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 121) j. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang

Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.(Lembaran Daerah

Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor5).

k. Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung.(Lembaran

Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan

Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).

Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan

menelaah konsep-konsep para ahli mengenai kepariwisataan, pengelolaan

pariwisata dan konsep-konsep lain yang terkait. Pendekatan analitis

(analytical approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan

menguraikan aturan hukum yang terkait dengan pembangunan

kepariwsataan sehingga mendapatkan komponen-komponen pengelolaan

pariwisata atau unsur-unsurnya untuk dapat ditetapkan dalam suatu

persoalan tertentu. Pendekatan filsafat (philosophical approach) adalah

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah asas-asas yang terkandung

dan/atau melandasi kaidah hukum kepariwisataan.

b. Sumber Bahan Hukum.

Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer

dan hukum bahan hukum sekunder2. Bahan hukum primer adalah segala

dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini, bahan

hukum primer yang dipergunakan dalam penyusunan naskah akademik ini

terdiri atas:

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5657).

11

b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).

c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4739).

d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966).

e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5059).

f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).

g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4833).

h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana

Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).

i. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014

Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011

Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar,

Badung, Gianyar, Dan Tabanan.(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 121)

j. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang

Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.(Lembaran Daerah

Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 5).

k. Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung.(Lembaran

Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan

Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).

12

Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperi hasil

penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan

penelitian ini.

Bahan hukum informatif berupa informasi dari lembaga atau pejabat,

baik dari lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung maupun para pihak

yang membidangi tentang kepariwisataan. Bahan ini digunakan sebagai

penunjang dan untuk mengkonfirmasi bahan hukum primer dan sekunder.

c. Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara:

a. Studi dokumenter dan kepustakaan untuk bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder.

b. Untuk bahan informatif dilakukan dengan studi lapangan yaitu

wawancara dan FGD (focus group discussion).

d..Analisis

Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan

interpretasi secara hermeneutikal yaitu Berdasarkan pemahaman tata

bahasa (gramatikal) yakni Berdasarkan makna kata dalam konteks

kalimatnya, aturan hukum dipahami dalam konteks latar belakang sejarah

pembentukannya (historikal) dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin

diwujudkannya (teleologikal) yang menentukan isi hukum positif itu (untuk

menemukan ratio legis-nya) serta dalam konteks hubungannya dengan

aturan hukum positif yang lainnya (sistimatikal) dan secara kontekstual

merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan kenyataan

ekonomi (sosiologikal) dengan mengacu pandangan hidup serta nilai-nilai

cultural dan kemanusiaan fundamental (philosophical) dalam proyeksi ke

masa depan (futurelogikal)3 .

13

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1.Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan

Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa Kepariwisataan adalah keseluruhan

kegiatan yangterkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensiserta

multidisiplin yang muncul sebagai wujudkebutuhan setiap orang dan

negara serta interaksiantara wisatawan dan masyarakat setempat,

sesamewisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, danpengusaha.

Pembangunan adalah suatu proses perubahan kearah yang lebih baik

yang di dalamnya meliputiupaya-upaya perencanaan, implementasi

danpengendalian,dalam rangka penciptaan nilai tambahsesuai yang

dikehendaki.Pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan

rencana pembangunankepariwisataan dengan memperhatikan

keanekaragaman,keunikan, dan kekhasan budaya dan alam,

sertakebutuhan manusia untuk berwisata.Pembangunan kepariwisataan

nasional meliputi:

a. Destinasi Pariwisata;

b. Pemasaran Pariwisata;

c. Industri Pariwisata; dan

d. Kelembagaan Kepariwisataan.

Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yangberada dalam satu

atau lebih wilayah administrative yang di dalamnya terdapat Daya Tarik

Wisata,Fasilitas Umum, Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas,serta masyarakat

yang saling terkait dan melengkapiterwujudnya Kepariwisataan.Daya Tarik

Wisata adalah segala sesuatu yangmemiliki keunikan, keindahan, dan nilai

yang berupakeanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasilbuatan

manusia yang menjadi sasaran atau tujuankunjungan

wisatawan.Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis saranadan prasarana

transportasi yang mendukungpergerakan wisatawan dari wilayah asal

wisatawan keDestinasi Pariwisata maupun pergerakan di dalamwilayah

Destinasi Pariwisata dalam kaitan denganmotivasi kunjungan

wisata.Prasarana Umum adalah kelengkapan dasar fisiksuatu lingkungan

yang pengadaannyamemungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasidan

berfungsi sebagaimana semestinya.Fasilitas Umum adalah sarana

pelayanan dasar fisiksuatu lingkungan yang diperuntukkan bagimasyarakat

umum dalam melakukan aktifitaskehidupan keseharian.Fasilitas Pariwisata

adalah semua jenis sarana yangsecara khusus ditujukan untuk

14

mendukungpenciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatanwisatawan

dalam melakukan kunjungan ke DestinasiPariwisata.

Pemasaran Pariwisata adalah serangkaian prosesuntuk menciptakan,

mengkomunikasikan,menyampaikan produk wisata dan mengelola

relasidengan wisatawan untuk mengembangkan Kepariwisataan dan

seluruh pemangkukepentingannya. Industri Pariwisata adalah kumpulan

UsahaPariwisata yang saling terkait dalam rangkamenghasilkan barang

dan/atau jasa bagi pemenuhankebutuhan wisatawan dalam

penyelenggaraanpariwisata.Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan

unsurbeserta jaringannya yang dikembangkan secaraterorganisasi, meliputi

Pemerintah, PemerintahDaerah, swasta dan masyarakat, sumber

dayamanusia, regulasi dan mekanisme operasional, yangsecara

berkesinambungan guna menghasilkanperubahan ke arah pencapaian

tujuan di bidangKepariwisataan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang No. 10

Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan pasal 8 menyebutkan bahwa

Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk

pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk

pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan

kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan

kabupaten/kota.Rencana induk pembangunan kepariwisataan

kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Daerah

kabupaten/kota.Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan

dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan.Rencana induk

pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

meliputiperencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi

pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011

Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun

2010-2025 menyebutkanRencana Induk Pembangunan

KepariwisataanNasional yang selanjutnya disebut denganRIPPARNAS adalah

dokumen perencanaanpembangunan kepariwisataan nasional untuk

periode15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2010sampai dengan

tahun 2025.RIPPARNAS menjadi pedoman penyusunan Rencana

IndukPembangunan Kepariwisataan Provinsi.RIPPARNAS dan Rencana

Induk PembangunanKepariwisataan Provinsi menjadi pedomanpenyusunan

Rencana IndukPembangunanKepariwisataan Kabupaten/Kota.Rencana

Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten yang selanjutnya

disebut dengan RIPPDAKabupaten adalah dokumen perencanaan

pembangunan kepariwisataan daerah untuk periode 10 (lima belas) tahun

terhitung sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2025.

15

2.2. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan

norma.

Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang

secara teoritik meliputi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

yang baik yang bersifat formal dan Asas Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil. Asas pembentukan

perundang-undangan yang baik dan bersifat formal dituangkan dalam Pasal

5 UU Nomor 12 Tahun 2011 (khususnya dalam pembentukan Peraturan

Daerah, asas-asas tersebut diatur pula dalam pasal 137 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU

Pemda), “Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan

perundang-undangan” yang meliputi :

1. Kejelasan tujuan;

2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

4. Dapat dilaksanakan;

5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6. Kejelasan rumusan; dan

7. Keterbukaan.

Sedangkan asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No 12

Tahun 2011 (khususnya berkenaan dengan peraturan daerah diatur dalam

Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni materi muatan Peraturan

Perundang-undangan mengandung asas:

1. Pengayoman;

2. Kemanusiaan;

3. Kebangsaan;

4. Kekeluargaan;

5. Kenusantaraan;

6. Bhineka tunggal ika;

7. Keadilan;

8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

9. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat

berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-

undangan yang bersangkutan.Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai

dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan

dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011, yang

dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara

lain:

16

a. Dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman

tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak

bersalah.

b. Dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain

asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik.

Relevansi asas-asas formal pembentukan perundang-undangan yang

baik dengan pengaturan penyelenggaraan pembangunan kepariwisataandi

Kabupaten Badung dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan tujuan. Pengaturan Pembanguanan Kepariwisataan

di Pemerintah Kabupaten Badung bertujuan:

1) meningkatkan kualitas dan kuantitas Destinasi Pariwisata;

2) mengkomunikasikan Destinasi Pariwisata Indonesia dengan

menggunakan media pemasaran secara efektif, efisien dan

bertanggung jawab

3) mewujudkan Industri Pariwisata yang mampu menggerakkan

perekonomian nasional; danmengembangkan Kelembagaaan

Kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu

1) mensinergikan Pembangunan Destinasi Pariwisata, Pemasaran

Pariwisata, dan Industri Pariwisata secara profesional, efektif dan

efisien

2) Ketegasan mengenai larangan dalam pembangunan kepariwisataan

3) Ketertiban dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan;

4) Kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab instansi terkait di

Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dalam pembangunan

kepariwisataan.

Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:

Pengaturan Pembangunan Kepariwisataan dengan Peraturan Daerah

dilakukan Bupati Badung dengan persetujuan bersama DPRD Kabupaten

Badung. Rangcangan dapat berasal dari Bupati atau dari DPRD Kabupaten

Badung, dalam konteks ini Rancangan Perda tentang Pembangunan

Kepariwisataan Daerah ini merupakan inisiatif Bupati Kabupaten Badung.

Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan.Pengaturan

pembanguanan kepariwisataan dapat dengan Peraturan Daerah.Adapun

materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembanguanan

kepariwisataan, seperti kajian dalam bab-bab berikutnya dalam kajian

naskah akademis ini.

Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan dengan

dibentuknya peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan

daerah, harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofi, yakni ada

jaminan keadilan dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di

Kabupaten Badung; (2) yuridis, ada jaminan kepastian hukum dalam

17

penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten

Badung, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, penyelenggaraan

pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung memang

dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi

masyarakat, termasuk substansinya tidak bertentangan dengan

kepentingan umum.

Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan.Asas ini dapat diwujudkan

sepanjang penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah

Kabupaten Badung memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat

dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Keenam, kejelasan rumusan.Asas ini dapat terwujud dengan

pembentukan Peraturan daerah tentang penyelenggaraan pembangunan

kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung, sesuai persyaratan teknik

penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata

atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti,

sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan

daerah tentang pembangunan kepariwisataan menjamin kepastian.

Ketujuh, keterbukaan.Proses pembentukan Peraturan Daerah ini

harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin

haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta

kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah

dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi

masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Daerah memberikan

informasi tentang proses pembentukan Peraturan daerah tentang

pembangunan kepariwisataan ini.

Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik dengan pengaturan pembangunan kepariwisataan

dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, keadilan.Peraturan Daerah tentang pembangunan

kepariwisataan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi

setiap warga masyarakat tanpa kecuali.Tuntutan keadilan mempunyai dua

arti, dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku

umum.Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita

keadilan dalam masyarakat. Demikian pula dalam penyusunan norma

hukum pembangunan kepariwisataan dimaksudkan untuk berlaku umum.

Agar mendapatkan rumusan norma hukum tentang pembangunan

kepariwisataansesuai dengan aspirasi keadilan yang berkembang dalam

masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik.

Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan.Berdasarkan asas ini materi muatan peraturan daerah

18

tentang pembangunan kepariwisataan tidak berisi ketentuan-ketentuan

yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama,

suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah

keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan

kewajibannya.

Ketiga, ketertiban dan kepastian hukum.Agar peraturan daerah

tentang pembangunan kepariwisataan dapat menimbulkan ketertiban dalam

masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.Jaminan kepastian

hukum mempunyai dua arti.Pertama, kepastian hukum dalam arti

kepastian pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan

dilaksanakan dengan pasti oleh negara.Kedua, kepastian hukum dalam arti

kepastian orientasi, yakni hukum harus sedemikian jelas sehingga

masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman

padanya.Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan

kewajibannya.Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum

adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti norma

hukum pembangunan kepariwisataan harus sedemikian jelas sehingga

masyarakat dan pemerintah daerah serta hakim dapat berpedoman

padanya, terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan

kewajiban dalam kaitannya dengan pembangunan kepariwisataan,

termasuk norma hukum tentang sanksi atas pelanggarannya tidak boleh

berlaku surut.

Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam

konteks penyusunan norma hukum pembangunan kepariwisataan harus

ada keseimbangan beban dan manfaat, atau kewajiban dengan hak yang

didapatkannya. Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara

aparatur dan masyarakat ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.

2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang ada Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat.

Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada serta

permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan kepariwisataan di Kabupaten Badung diuraikan dalam beberapa aspek dibawah ini.

1. Destinasi Pariwisata

Destinasi pariwisata yang terdapat di Kabupaten Badung meliputi daya

tarik wisata (DTW) dan kawasan pariwisata. Sebanyak 33 DTW tersebar di

semua kecamatan, dan umumnya berupa wisata alam, wisata budaya, dan

wisata buatan. Seluruh DTW tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan

Bupati Badung Nomor 7 Tahun 2005, tanggal 7 Februari 2005 tentang Daya

19

Tarik Wisata di Kabupaten Badung. Daerah Badung Selatan memiliki

potensi wisata alam, sebagian besarnya berupa wisata pantai, taman bakau,

dan pelestarian penyu. Sedangkan wisata budayanya berupa Pura dan desa

tradisional, dan wisata buatan berupa Monumen GWK dan Tempat Rekreasi

Water Boom Park and Spa.

Wilayah-wilayah yang dijadikan sebagai kawasan pariwisata di

Kabupaten Badung meliputi 3 (tiga) kawasan, yaitu Nusa Dua, Kuta, dan

Tuban. Ketiga kawasan tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah

Provinsi Daerah No. 16 Tahun 2009, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Bali.

Selengkapnya ditampilkan pada Tabel 2.1 yang memaparkan Kawasan

Pariwisata, dan Tabel 2.2 yang memaparkan DTW di Kabupaten Badung,

serta Tabel 2.3 yang memaparkan DTW yang berpotensi untuk

dikembangkan.

Tabel 2.1. Kawasan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun 2009

No Nama

Kawasan Desa/Kel Kecamatan Batas Fisik

1. Nusa Dua Benoa Jimbaran

Unggasan Pecatu

Kuta Selatan

Kuta Selatan Kuta

Selatan Kuta

Selatan

Utara: Batas selatan Bandara Ngurah Rai ;

Timur: Pantai Timur Kel (Tuban, Jimbaran dan Benoa) ;

Selatan: Pantai Selatan Kel (Benoa, Ungasan, Pecatu) ;

Barat: Pantai Barat Desa (Pecatu, Jimbaran dan

Tuban).

2. Kuta Kuta Kerobokan Canggu

Kuta Kuta Utara Kuta Utara

Utara: Batas utara kel./desa (Canggu dan Kerobokan) ; Timur: Batas Timur Kel.

(Kerobokan dan Kuta) ; Selatan: Batas selatan Kel.

Kuta ; Barat: Pantai Barat Kel/desa

(Kerobokan dan Kuta).

3. Tuban Tuban Kuta Utara: Jalan Bakungsari,

Mertasari dan Tujungmekar-By Pass ;

Timur: By pass Ngurah Rai ; Selatan: Batas utara

Bandara Udara Ngurah Rai ; Barat: Pantai Barat Kel.

20

Kuta dan Tuban.

Sumber : Perda Provinsi Bali Nomor 16/2009 tentang RTRW Provinsi Bali

Tabel 2.2 Daftar DTW, Jenis Wisata, dan Lokasi Per Kecamatan

di Kabupaten Badung

No. Nama DTW Jenis Wisata Lokasi

Desa/Kel. Kecamatan

1. Kawasan Luar Pura Uluwatu

Wisata Budaya

Pecatu Kuta

Selatan

2. Pantai Nyang-Nyang Wisata Alam Pecatu

Kuta Selatan

3. Pantai Padang-Padang Wisata Alam Pecatu

Kuta Selatan

4. Pantai Labuan Sait Wisata Alam Pecatu

Kuta Selatan

5. Pantai Suluban Wisata Alam Pecatu

Kuta

Selatan

6. Pantai Batu Pageh Wisata Alam Unggasan

Kuta

Selatan

7. Pantai Samuh Wisata Alam Benoa

Kuta

Selatan

8. Pantai Geger Sawangan Wisata Alam Benoa

Kuta

Selatan

9. Pantai Nusa Dua Wisata Alam Benoa

Kuta Selatan

10. Pantai Tanjung Benoa Wisata Alam

Tanjung Benoa

Kuta Selatan

11. Pelestarian Penyu di Deluang Sari

Wisata Alam Tanjung Benoa

Kuta Selatan

12. Taman Rekreasi Hutan Bakau

Wisata Alam Tanjung Benoa

Kuta Selatan

13. Pantai Jimbaran Wisata Alam Jimbaran

Kuta Selatan

14.

Garuda Wisnu Kencana

(GWK)

Wisata

Budaya Jimbaran

Kuta

Selatan

15. Pantai Kedonganan Wisata Alam Tuban Kuta

16. Pantai Kuta Wisata Alam Kuta Kuta

17. Waterboom

Wisata Buatan

Kuta Kuta

18. Pantai Legian Wisata Alam Legian Kuta

19.

Monumen Tragedi

Kemanusiaan

Wisata

Budaya Kuta Kuta

20. Pantai Peti Tenget Wisata Alam Kerobokan Kuta Utara

21. Pantai Berawa Wisata Alam Tibubeneng Kuta Utara

21

No. Nama DTW Jenis Wisata Lokasi

Desa/Kel. Kecamatan

22. Pantai Canggu Wisata Alam Canggu Kuta Utara

23. Pantai Seseh Wisata Alam Munggu Mengwi

24. Pura Sadha Kapal

Wisata Budaya

Kapal Mengwi

25.

Kawasan Luar Pura Taman

Ayun

Wisata

Budaya Mengwi Mengwi

26.

Kawasan Pura Keraban

Langit

Wisata

Budaya Sading Mengwi

27. Desa Wisata Baha Wisata Alam Baha Mengwi

28. Bumi Perkemahan Blahkiuh

Wisata Remaja

Blahkiuh Abiansemal

29. Alas Pala Sangeh Wisata Alam Sangeh Abiansemal

30. Tanah Wuk Wisata Alam Sangeh Abiansemal

31. Air Terjun Nungnung Wisata Alam Pelaga Petang

32. Wisata Agro Pelaga Wisata Alam Pelaga Petang

33. Kawasan Luar Pura Puncak Tedung

Wisata Alam Pelaga Petang

Sumber : Profil Pariwisata Kabupaten Badung, 2012

Tabel 2.3

Daftar DTW yang berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Badung

No. Nama Objek Wisata Jenis Wisata Lokasi

Kecamatan Desa/Kel.

1. Pantai Dreamland Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu

2. Pantai Blue Point Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu

3. Pantai Bingin Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu

4. Pantai Tegal Wangi Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu

5. Water Park Wisata Buatan Kuta Selatan Pecatu

6. Pantai Gunung Payung Wisata Alam Kuta Selatan Ungasan

7. Pantai Pandawa Wisata Alam Kuta Selatan Kutuh

8. Water Sport Wisata Alam Kuta Selatan Tanjung Benoa

9. Selancar Air Wisata Alam Kuta Kuta

10. Pantai Echo Wisata Alam Kuta Utara Tibubeneng

11. Pantai Batu Bolong Wisata Alam Kuta Utara Canggu

12. Pantai Pererenan Wisata Alam Mengwi Pererenan

13. Pantai Batu Ngaus Wisata Alam Mengwi Cemagi

14. Pantai Mangening Wisata Alam Mengwi Cemagi

Sumber : Profil Pariwisata Kabupaten Badung, 2012

22

2. Industri Pariwisata

Industri pariwisata di Kabupaten Badung dibentuk oleh perusahaan

yang bergerak pada bidang akomodasi wisata (hotel dan restoran), BPW (biro

perjalanan wisata), , tourist attraction, dan pusat oleh-oleh. Perkembangan

industri pariwisata di Kabupaten Badung saat ini terbilang sangat cepat. Hal

ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang melakukan

perjalanan, ditambahnya jalur-jalur penerbangan dengan rute-rute baru,

investasi besar-besaran dibidang pariwisata seperti pembukaan destinasi

wisata dengan produk-produknya yang baru, meningkatnya pembangunan

sarana akomodasi, sampai pada perbaikan infrastruktur.

Industri Pariwisata Kabupaten Badung lebih banyak berkembang di

Kawasan Badung Selatan (Kelurahan Kuta Utara, Kuta dan Kuta Selatan).

Perkembangan akomodasi wisata serta pusat oleh-oleh sangat signifikan

dalam 10 tahun terakhir.

a. Akomodasi dan Restoran

Berdasarkan Tabel 2.4. akomodasi wisata yang terdapat di Kabupaten

Badung terus mengalami peningkatan. Data pada tahun 2012

menunjukkan, akomodasi terbanyak adalah pondok wisata sebanyak 647

unit dengan jumlah kamar 2.870 kamar. Kemudian hotel melati sebanyak

642 unit dengan jumlah kamar sebanyak 19.248 kamar, dan hotel bintang

sebanyak 98 unit dengan jumlah kamar sebanyak 16.360 kamar. Maka,

total kamar yang tersedia di Kabupaten Badung adalah 40.806 kamar.

Tabel 2.4 Jumlah Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung Tahun 2005-2011

No

.

Tahu

n

Jenis Akomodasi Wisata (Unit) Total

Kamar

Hote

l Bin

tang

Jmlh

Kama

r

Hotel

Melat

i

Jmlh

Kama

r

Pondo

k

Wisata

Jmlh

Kama

r

Kon

dote

l

Jmlh

Kama

r

1. 2005 90 14.92

2 337 8.368 143 689 1 30

24.00

9

2. 2006 94 15.35

0 347 8.618 165 799 3 102

24.86

9

3. 2007 94 15.35

0 379 9.260 239 1.323 3 102

26.035

4. 2008 96 16.01

6 472

10.528

325 1.730 3 102 28.37

6

5. 2009 98 16.36

0 505

11.463

395 1.986 7 775 30.58

4

6. 2010 98 16.36

0 541

12.65

7 475 2.296 13 1.700

33.01

3

7. 2011 98 16.36

0 596

15.56

1 599 2.696 15 1.793

36.41

0

8. 2012*) 98 16.36

0 642

19.24

8 647 2.870 18 2.328

40.80

6

23

Sumber : Badung dalam Angka. 2012 dan Disparda Kab. Badung, 2012, *)

Hingga Juni 2012

Selanjutnya, Tabel 2.5. menampilkan jumlah restoran, rumah makan,

bar, dan catering, yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Pertambahan terbanyak berupa restoran dari 150 unit dan 16.543 kursi

pada tahun 2006, menjadi 384 unit dan 32.395 kursi pada tahun 2011,

atau rata-rata bertambah 45 unit/tahun dan 3.170 kursi/tahun. Demikian

juga dengan fasilitas penunjang akomodasi lainnya terus bertambah

walaupun tidak sebanyak restoran.

Tabel 2.5.

Perkembangan Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar, dan Catering di Kabupaten Badung Tahun 2006-2011

No

.

T a h u

n

Restoran Rumah Makan B a r Catering

Jumlah

Jumla

h

Kursi

Jumlah

Jumla

h

Kursi

Jumlah

Jumla

h

Kursi

Jumlah

Jumla

h

Kotak

1. 2006 158 16.543 436 25.437 311 9.914 4 400

2. 2007 205 20.241 443 25.897 324 10.346 4 400

3. 2008 236 22.299 451 26.208 336 11.096 4 400

4. 2009 273 24.667 453 26.298 343 11.380 5 3.400

5. 2010 330 28.735 458 26.485 346 11.555 5 3.400

6. 2011 384 32.395 470 27.129 351 11.747 6 3.500

Pertumbuhan

Rata-Rata

(2006-2011)

19,73 13,23 1,54 1,32 2,54 3,36 24,17 142,16

Sumber : Badung dalam Angka, 2012

b. Biro Perjalanan Wisata (BPW)

Jumlah BPW yang terdapat di Kabupaten Badung adalah sebanyak 95

perusahaan atau 29,7 % dari total BPW yang terdapat di Provinsi Bali.

Meskipun pada tahun 2011 jumlahnya mengalami peningkatan menjadi 320

perusahaan, namun masih tidak dapat kembali seperti pada tahun 2009

yang mencapai 611 perusahaan.

24

Tabel 2.6 Daftar Biro Perjalanan Wisata dan Cabang

di Kabupaten Badung Tahun 2011

No Kelompok dan Nama BPW

1 All Star Bali Wisata

2 Alliance Vast

3 Alia Travel Sense

4 Asia Koleksi Travel

5 Anek Bintang Surya

6 Amanda Legian Tours

7 Abad Bali Wisata

8 Adi Tours And Travel

9 Bali Bahagia Holiday Tour & Travel PT

10 Bahagia Dewata Wisata

11 Bali Bersama Prima Sakti

12 Bali Dorada Tours

13 Bali Duta Express

14 Bali Pesona Wisata

15 Bali Megah Wisata

16 Bali ITO PT

17 Bali Suzuya

18 Bali Segara Utama

19 Bali Cipta Bahari T&T

20 Bali Rasa Sayang T&T

21 Bali Intan Graha

22 Bali Damai T&T

23 Bali Arrow

24 Bali Becik

25 Bali Untukmu

26 Bali Partners Tour & Travel

27 Bali Tri Dinamik

28 Bali Mara Wisata T&T

29 Baliku Beda

30 Bali Wish International

31 Baliaga T&T

32 Bali Surga Liburan

33 Be Wish International

34 BPW Satriavi ( Aerotravel)

35 Bravo Indonesia

36 Carefree Bali Holiday

37 Coconut Bali Tours PT.

38 Cosmo Bali

39 Catur Lintas Wisata

40 Ceria T&T PT

No Kelompok dan Nama BPW

41 Cempaka Krisna Jaya

42 Calvinku Internasional

43 Cendrawasih Ceria Internasional

44 Dongan Sahuta T&T

45 Giri Puncak Sari PT.

46 Golden Rama Express

47 Gajah Bali Wisata

48 Harum Indah Sari

49 Halo Bali

50 Indo Net Travel

51 Inti Citra Selaras

52 Intra Jasatamasya Era Wisata

53 Jatra Idola Tour

54 Jelajah Turunan Enam

55 Kaya Bali Tour & Travel

56 Kuta Emas

57 Kuta Cemerlang Bali Jaya

58 Kharisma Gayatri Mandiri

59 Kirana Bali Wisata

60 Khrisna Tohpati Perdana

61 Kuta Cemerlang Bali Convex

62 Lotusindo Asia Tour

63 Look Asia Bali

64 Mava Holidays

65 Maju Ika Jaya

66 Modernika Citra Wisata

67 Natourin Wisata

68 Nusa Dua Inti Raya

69 Naga Perkasa Mandiri

70 Oleg Bali Internasional

71 Purana Mitra Selaras PT.

72 Paradise Bali Indah

73 Prima Agung Wisata

74 Pateo Permata Wisata

75 Pranayama Ayumjay

76 Padma Nuansa Wisata T&T

77 Pearl Tour & Travel

78 Pollow Indonesia

79 Prima Indo Wisata

25

No Kelompok dan Nama BPW

80 Rama Wira Perdana

81 Rivon Angkasa Jaya Abadi

82 Sarana Nusa Wisata

83 Sinar Wahana Bali

84 STO Travel

85 Selamat Jalan Tour Bali

86 Siam Moters International Travel

87 Susana Tour & Travel

88 Top Bali Citra Wisata

89 Tria Uma Wisata

90 Tropical Sejahtera

91 Trinita Dunia Wisata

92 Valencia Intan Permata

93 Varia Indo Perdana Wisata PT.

94 Windys Bali Dewata Agung

95 Wina Graha Wisesa Travel

26

c. MICE

Perkembangan MICE di Kabupaten Badung sudah mencapai hasil yang

cukup menggembirakan. Adanya elemen-elemen pariwisata terkait seperti

Dinas Pariwisata yang juga telah bekerja sama dengan Bali Hotels

Association, INCCA (Indonesia Congress and Convention Association), ASITA,

Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI), dan institusi serupa, membuat

Kabupaten Badung menjadi tujuan MICE di dunia nantinya. Hal ini

terbukti dengan banyaknya kegiatan dunia yang diselenggarakan di

Kabupaten Badung seperti UNFCC dan Asian Beach Games di Nusa Dua.

Perkembangan dunia MICE di Bali dan khususnya Kabupaten Badung telah

menjamah sektor perhotelan, hal ini dibuktikan dimana hampir semua

hotel bintang 5 memiliki fasilitas standard meeting seperti meeting venue,

dan departemen yang mengatur khusus berlangsungnya MICE di hotel

tersebut.

d. Konsultan Pariwisata

Menurut penjelasan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,

terdapat definisi Konsultan Pariwisata, yaitu usaha yang menyediakan

saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan,

pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang kepariwisataan.

Kegiatan usaha jasa konsultan pariwisata meliputi: studi kelayakan;

perencanaan; pengawasan; manajemen; dan penelitian.Lingkup usaha jasa

konsultan pariwisata meliputi bidang: usaha jasa pariwisata; pengusahaan

obyek dan daya tarik wisata; serta usaha sarana wisata.

Usaha jasa konsultan pariwisata diselenggarakan oleh badan usaha

yang berbentuk perseroan terbatas (PT) atau koperasi yang maksud dan

tujuannya tercantum dalam akte pendirian. Usaha jasa konsultan

pariwisata terbuka untuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN) yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

dan undang-undang yang berlaku. Berikut adalah Konsultan Pariwisata

yang terdapat di Kabupaten Badung.

Tabel 2.7

Daftar Konsultan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun 2011

No Konsultan Pariwisata

1 Exotic Konsulting Indonesia

2 Globalindo Nusantara

3 Success 569

Sumber : Data Direktori Dinas Pariwisata Prov. Bali, 2011

27

3. Pemasaran Pariwisata

a. Kunjungan Wisatawan

Jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Kabupaten Badung

melalui Bandara Ngurah Rai setiap tahun mengalami peningkatan,

sedangkan jumlah wisatawan nusantara mengalami peningkatan yang

signifikan. Pada tahun 2009 wisatawan nusantara yang datang sebanyak

212.375 orang, pada tahun 2011 sebanyak 509.328 orang atau mengalami

peningkatan lebih dari 2 (dua) kali lipat. Sedangkan wisatawan

mancanegara yang datang pada tahun 2007 sebanyak 1.668.531 orang dan

pada Tahun 2011 sebanyak 2.826.709 atau meningkat sebesar 69,41%.

Jumlah data kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke

Kabupaten Badung dapat dilihat padaTabel 2.7.

Tabel 2.8 Data Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Kabupaten Badung

Tahun 2009-2011

No. Bulan Tahun

2009 2010 2011

1 Januari 20.100 18.112 22.533

2 Pebruari 20.135 18.480 24.529

3 Maret 15.356 17.775 20.616

4 April 11.710 17.151 28.688

5 Mei 16.324 10.995 28.215

6 Juni 5.722 27.062 36.878

7 Juli 20.846 27.483 34.234

8 Agustus 17.712 17.187 27.606

9 September 19.113 23.252 89.815

10 Oktober 19.245 21.355 50.155

11 Nopember 19.478 26.696 87.952

12 Desember 26.634 26.949 58.107

JUMLAH 212.375 252.497 509.328

Sumber : Badung dalam Angka, 2012

Tabel 2.9.

Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Kab. Badung Tahun 2007-2011

No. Bulan Jumlah

2007 2008 2009 2010 2011

1. Januari 109.875 140.275 164.962 170.170 209.093

2. Februari 118.483 153.757 139.282 182.566 207.195

3. Maret 119.458 153.534 159.315 192.745 207.907

4. April 125.393 147.836 179.889 185.675 224.704

28

5. Mei 129.039 160.223 182.337 200.608 209.058

6. Juni 145.500 171.301 189.734 225.976 245.652

7. Juli 164.972 183.325 224.955 253.696 283.524

8. Agustus 167.031 187.879 222.760 244.616 258.337

9. September 152.804 181.314 208.220 231.329 258.440

10. Oktober 146.385 181.084 211.132 231.221 247.565

11. November 142.124 164.920 175.489 198.279 221.603

12. Desember 147.467 166.851 211.142 218.281 253.591

JUMLAH 1.668.531 1.992.299 2.269.217 2.535.162 2.826.709

Sumber : Badung dalam Angka, 2012

b. Jumlah Pengeluaran Wisatawan

Menurut data Neraca Satelit Pariwisata Daerah (NESPARDA)

Kabupaten Badung Tahun 2010 yang diterbitkan oleh BPS Kabupaten

Badung, tercatat bahwa sebanyak 1,795 juta orang wisatawan nusantara

dan 1,67 juta orang wisatawan mancanegara ke Kabupaten Badung pada

tahun yang sama, yaitu tahun 2010.Pengeluaran wisatawan nusantara per

harinya adalah Rp. 409.000,00, dengan lama tinggal selama 5,06 hari.

Sedangkan lama tinggal wisatawan mancanegara di Kabupaten

Badung adalah 6,08 hari dengan pengeluaran sebesar US$128,14. Maka

disimpulkan jika total pengeluaran wisatawan nusantara pada tahun 2010

adalah sebesar Rp. 3,72 triliun, sedangkan pengeluaran wisatawan

mancanegara adalah sebesar Rp. 13,08 triliun (asumsi Rp. 9.000,00/$).

Tabel 2.10. Pengeluaran Wisatawan Mancanegara Tahun 2010

No. Rincian Pengeluaran Jumlah

(juta rupiah) Distribusi

1. Akomodasi 5.570.074,41 42,57

2. Makanan dan Minuman 941.291,55 7,19

3. Penerbangan Domestik 4.515.304,21 34,51

4. Transport Lokal 166.872,95 1,28

5. Belanja 619.297,25 4,73

6. Hiburan 212.144,61 1,62

7. Kesehatan dan Kecantikan 138.146,99 1,06

8. Pendidikan 14.392,28 0,11

9. Paket Wisata Lokal 61.043,62 0,47

10. Tamasya 97.066,05 0,74

11. Pramuwisata 41.909,85 0,32

12. Souvenir 475.480,78 3,63

13. Lainnya 230.228,91 1,76

Total 13.083.253,47 100,00

Sumber : Nesparda Kabupaten Badung, 2010

29

Tabel 2.11

Pengeluaran Wisatawan Nusantara Tahun 2010

No. Rincian Pengeluaran Jumlah

(juta rupiah) Distribusi

1. Akomodasi 838.733,99 22,53

2. Makanan dan Minuman 259.080,14 6,96

3. Angkutan Darat 135.672,39 3,64

4. Angkutan K.A. 852,81 0,02

5. Angkutan Air 13.547,87 0,36

6. Angkutan Udara 1.761.823,99 47,32

7. Bahan Bakar Pelumas 123.649,15 3,32

8. Sewa Kendaraan 29.084,26 0,78

9. Jasa Perbaikan Kendaraan 7.323,31 0,20

10. Paket Perjalanan 222.177,22 5,97

11. Pramuwisata 1.040,01 0,03

12. Pertunjukan Seni 402,70 0,01

13. Museum dan Jasa Kebudayaan 8.969,30 0,24

14. Jasa Hiburan Rekreasi 46.989,90 1,26

15. Belanja/Cinderamata 207.488,36 5,57

16. Lainnya 66.522,93 1,79

Total 3.723.358,32 100,00

Sumber : Nesparda Kabupaten Badung, 2010

Berdasarkan Tabel di atas, yang memaparkan tentang distribusi

pengeluaran wisatawan mancanegara, disimpulkan jika pengeluaran

terbesar wisman terdistribusi pada akomodasi, yaitu sebesar 42,57%.

Kemudian disusul penerbangan domestik, sebesar 34,51%, serta

pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 7,19%. Sedangkan

Tabel 2.10. , yang memaparkan tentang distribusi pengeluaran wisatawan

nusantara, disimpulkan jika pengeluaran terbesar wisnus terdistribusi pada

angkutan udara sebesar 47,32%, disusul akomodasi sebesar 22,53%, %,

serta pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 6,96%.

4. Kelembagaan Kepariwisataan

Kelembagaan Kepariwisataan merupakan suatu integrasi antara

pemerintah, organisasi, pelaku pariwisata, peraturan, dan teknis

pelaksanaan, yang berlangsung secara terus-menerus, agar tujuan

kepariwisataan dapat tercapai. Organisasi kepariwisataan yang ada di

Kabupaten Badung terdiri dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia

(PHRI), BPPD, Pengelola DTW, dan POKDARWIS.

30

D. Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.

Pariwisata telah diakui sebagai lokomotif pembangunan ekonomi

dibanyak negara berkembang di dunia, dan para ahli menjadikan industri tanpa asap (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan.

Sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata dianggap sebagai sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat signifikan di bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan, serta memberi

kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya (Sharpley, 2002).

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, digariskan dengan tegas bahwa kepariwisataan merupakan

bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya

yang hidup di masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Hal ini selanjutnya dijabarkan dalam PP Nomor 50

tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025, dimana terdapat empat hal pokok yang menjadi

perhatian dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia, yakni aspek: destinasi; industri; pemasaran dan promosi; serta kelembagaan.

Penegasan serta penjabaran tersebut mengindikasikan tentang

pentingnya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata sedemikian rupa agar pembangunannya dapat berkelanjutan dan

memberikan manfaat optimal kepada masyarakat.Perencanan dan pengelolaan destinasi maupun daya tarik wisata secara profesional dan

berkelanjutan, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan akan menentukan tiga hal pokok berikut, yakni: a) keunggulan daya tarik destinasi tersebut bagi pasar wisatawan; b) manfaatnya secara ekologi,

ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat dan daerah; serta c) daya saingnya di antara pasar destinasi pariwisata international (Damanik &

Teguh, 2012). Sejumlah alasan penting kenapa prinsip-prinsip keberlanjutan

(sustainability) perlu diterapkan dalam pengelolaan destinasi pariwisata khususnya di Indonesia: pertama semakin tajamnya kompetisi destinasi di

tingkat global maupun nasional; kedua tingginya variasi dan ketimpangan perkembangan destinasi pariwisata di tanah air; dan ketiga rendahnya daya saing pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara-negara

tetangga. Apabila destinasi pariwisata tidak dikelola secara professional dalam kerangka keberlanjutan, maka akan sulit diharapkan destinasi

tersebut memiliki daya saing tinggi dalam jangka panjang (Osmanovic, Kenjic, & Zrnic, 2010).

Mengelola destinasi pariwisata agar dapat berkelanjutan sangat ditentukan oleh pandangan ke depan dari kebijakan (forward-looking policies) dan philosopi manajemen yang dianut, yang mampu membangun

hubungan harmonis antara masyarakat lokal, sektor usaha swasta, dan

31

pemerintah. Keharmonisan hubungan tersebut berkaitan erat dengan praktik-praktik pembangunan guna meningkatkan manfaat ekonomi yang selaras dengan perlindungan terhadap alam, sosial budaya, dan

lingkungan, sehingga kehidupan masyarakat lokal maupun destinasi dapat meningkat kualitasnya (Edgell, Allen, Smith, & Swanson, 2008).

Pertanyaannya adalah apakah mungkin destinasi pariwisata tersebut berkelanjutan secara ekonomi bagi pelaku usaha pariwisata dan

masyarakat lokal, sementara dalam waktu yang bersamaan pembangunan tersebut sangat peka terhadap isu-isu lingkungan, budaya dan sosial? Menurut Edgell, S.L,. (2006) jawaban singkatnya adalah sangat mungkin,

karena kebijakan pariwisata berkelanjutan harus ditentukan oleh kondisi alam dan lingkungan terbangun, disertai dengan perlindungan terhadap

keberlanjutan masyarakat lokal. Edgell, selanjutnya menguraikan bahwa lebih dari sekedar kepentingan ekonomi, kebijakan pembangunan destinasi

pariwisata harus fokus pada prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, yakni: (1) memanfaatkan secara optimum sumberdaya lingkungan, memelihara proses-preses ekologi essential, dan melakukan konservasi

terhadap natural heritage dan keragaman biologi; (2) menghargai keaslian nilai-nilai sosial budaya dari komunitas lokal, melakukan konservasi

terhadap bangunan dan living cultural heritage serta nilai-nilai tradisional, berkontribusi pada pemahaman antar budaya dan adanya sikap saling

menghargai; dan (3) memastikan dalam jangka panjang akan memberikan manfaat sosial ekonomi secara layak kepada semua pemangku kepentingan dengan distribusi yang adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan

kesempatan memperoleh penghasilan, serta berkontribusi kepada upaya pengentasan kemiskinan.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari seluruh stakeholders serta kepemimpinan politik yang kuat untuk

memastikan adanya partisipasi yang luas dalam membangun konsensus bersama. Pembangunan berkelanjutan merupakan proses yang terus

menerus dan membutuhkan monitoring yang tidak pernah berhenti terhadap dampak-dampak yang ditimbulkannya.

Dari perspektif manajemen destinasi pariwisata, karakteristik produk

wisata yang berbeda dengan produk jasa lainnya, membutuhkan implementasi pengelolaan yang ketat dan berbeda, karena pada dasarnya

manajemen destinasi pariwisata bertujuan untuk menjamin kualitas destinasi itu sendiri dan kepuasan berwisata. Secara singkat, tujuan

pengelolaan destinasi dapat dibagi menjadi dua: pertama untuk melindungi asset, dan sumberdaya wisata dari penurunan mutu dan manfaat bagi pengelola, masyarakat lokal, maupun wisatawan; kedua meningkatkan

daya saing destinasi pariwisata melalui tawaran pengalaman berwisata yang berkualitas kepada wisatawan. Semakin tinggi kualitas pengalaman yang

dapat ditawarkan, maka semakin tinggi pula potensi daya saing destinasi tersebut. Daya saing yang tinggi inilah menjadi faktor kunci yang

menjamin keberlanjutan perkembangan destinasi tersebut, karena jumlah wisatawan dan pengeluarannya akan terus meningkat, sehingga memberikan dampak positif kepada pelaku usaha, komunitas lokal,

32

pemerintah, dan lingkungan setempat (RAMBOLL Water & Environment, 2003).

Sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan destinasi

pariwisata yang dilakukan secara professional, antara lain: (1) meningkatnya kepuasan wisatawan sebagai akibat dari semakin baiknya

kualitas pelayanan berwisata di destinasi; (2) meningkatnya daya saing destinasi, sehingga dapat menarik investor lebih banyak untuk

menanamkan modalnya; (3) jaminan atas keberlanjutan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan semakin kuat; (4) ter-ciptanya kemitraan yang semakin kuat dari para pemangku kepentingan; dan (5) perbaikan serta

inovasi secara terus menerus atas seluruh atribut destinasi pariwisata (European Communities, 2003; Kim & Lee, 2004; Anonim, 2007; Damanik

& Teguh, 2012). Berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan

pariwisata berkelanjutan di Kabupaten Badung dengan berbagai manfaat di bidang ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan hidup bagi masyarakat lokal dimana pembangunan tersebut dilaksanakan, maka diperlukan

sejumlah kebijakan pemerintah yang akan dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Kepariwisataan. Peraturan yang akan

disusun diharapkan dapat mencarikan solusi terhadap berbagai isu penting mengenai kepariwisataan di Kabupaten Badung, yang selanjutnya

dikelompokkan sesuai dengan Peraturan PemerintahNomor 50 Tahun 2011 dan dituangkan dalam aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup, sebagai berikut:

1.Aspek Ekonomi

a. Adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah Kabupaten Badung Bagian Utara, Tengah dan Selatan, yang berdampak pula terhadap

ketim-pangan pendapatan masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Tingkat pendapatan per kapita masyarakat di Badung Selatan bisa jauh lebih tinggi daripada saudara-saudaranya di utara, sehingga

ketimpangan ini apabila dibiarkan dapat memicu terjadinya berbagai permasalahan di bidang sosial dan keamanan di wilayah tersebut.

b. Ketersedian akomodasi wisata yang melebihi kapasitas (over supply) terutama di Badung Selatan. Hal ini berdampak pada semakin

rendahnya rataan harga kamar (average room rate), sehingga berpengaruh terhadap yield dari usaha jasa akomodasi tersebut.

Dalam jangka panjang hal ini berakibat pada turunnya keuntungan pengusaha, rendahnya take home pay karyawan, serta menurunnya pendapatan pajak pemerintah.

c. Masifnya perkembangan akomodasi (villa) illegal yang juga memperparah kondisi supply jasa akomodasi di Kabupaten Badung.

Selain memperburuk kondisi persaingan yang akan menekan harga kamar, potensi pajak pemerintah menjadi hilang, karena pengusaha

jasa akomodasi yang illegal tersebut akan berusaha untuk menghindari pajak pemerintah.

d. Pengembangan pasar untuk agrowisata, ekowisata dan desa wisata

belum dilakukan. Selain konsep produk dari ke tiga jenis wisata

33

tersebut belum jelas, variasi kegiatan wisata yang dapat dilakukan juga belum berkembang dengan baik. Hal tersebut berdampak pada masih sulitnya menyusun konsep pemasaran yang tepat dari produk-

produk wisata yang sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan di Badung. Belum lagi permasalahan keterpaduan

antara stakeholders pariwisata dalam pemasaran yang belum terintegrasi, sehingga kegiatan pemasaran destinasi pariwisata di

Kabupaten Badung dirasakan juga belum optimal. Pemanfaatan IT dalam pemasaran produk wisata di Badung perlu terus ditingkatkan, mengingat media ini relatif mudah dan murah serta sudah menjadi

kebutuhan primer bagi sebagian besar masyarakat dunia. e. Peningkatan kualitas pariwisata melalui peningkatan lama tinggal

(length of Stay) dan daya beli (spending power) wisatawan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui peningkatan variasi produk dan

kualitas daya tarik wisata yang ada, sehingga wisatawan bisa tinggal lebih lama pada destinasi di Kabupaten Badung.Pengeluarannyapun akan semakin banyak, karena berbagai variasi produk yang bisa

mereka beli. f. Kemacetan lalu lintas terutama di Badung Selatan, serta alternatif

moda trasportasi (angkutan laut) untuk mengatasi kemacetan sekaligus sebagai tambahan variasi atraksi wisata di Badung.

Terfokusnya pembangunan sarana wisata di Badung selatan, berdampak buruk pada semakin tingginya intensitas kendaraan yang lalu lalang di wilayah tersebut, sehingga kemacetan lalu lintas tidak

dapat dihindari. Hal ini menimbulkan inefisiensi di bidang ekonomi, pencemaran udara, stress, dan dampak buruk lainnya. Dibutuhkan

kebijakan yang bernas untuk mencari solusi terhadap persoalan yang semakin lama semakin memburuk tersebut, salah satunya adalah

membangun moda trasportasi laut yang menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lainnya di Badung maupun Kabupaten lainnya.

g. Peningkatan SDM Pariwisata yang berbasis masyarakat belum optimal. Disinyalir oleh banyak pihak, bahwa SDM pariwisata terutama yang bersumber dari masyarakat lokal masih perlu ditingkatkan

kualitasnya. Peningkatan kualitas SDM ini merupakan keniscayaan, mengingat tingkat persaingan pariwisata yang semakin tajam.

Kemampuan pengelolaan (manajemen) daya tarik wisata yang ada di masyarakat (terutama di perdesaan) harus ditingkatkan secara

berkelanjutan, sehingga mampu mengintepretasikan dengan baik daya tarik wisata yang ada di wilayah mereka, serta menghasilkan aktivitas wisata variatif yang dapat memberikan pengalaman berwisata unik

kepada wisatawan.

2.Aspek Sosial Budaya a. Pelanggaran atas kawasan suci, sempadan jurang, dan sempadan

pantai. Pembangunan sarana wisata yang dilakukan investor di beberapa kawasan pariwisata di Kabupaten Badung yang mengabaikan bhisama kawasan suci, dapat melukai perasaan Umat

Hindu di Bali. Gangguan perasaan ini dapat menimbulkan berbagai

34

persoalan di bidang sosial budaya, misalnya perasaan terganggu dan tidak nyaman mereka dalam melakukan persembahyangan karena keberadaan fasilitas wisata yang terlalu dekat dengan Pura yang

merupakan tempat suci umat Hindu. Demikian pula kecenderungan para pengusaha yang membangun fasilitas wisatanya di tepi jurang

dan melanggaar sempadan, yang bisa sangat berbahaya karena adanya kemungkinan longsor misalnya. Pembangunan sarana wisata

seperti hotel, maupun restoran dan sarana wisata lainnya di banyak tempat di Badung juga tidak sedikit yang mengabaikan keselamatan dan estetika lingkungan, karena dibangun sangat berdekatan dengan

bibir pantai (melanggar sempadan pantai). Bahkan di wilayah Canggu ada hotel besar yang sengaja menutup (memagari) pantai,

dengan alasan sudah mendapat dukungan Desa Adat. Hal-hal semacam ini perlu diatur dalam Peraturan Daerah agar tidak menjadi

contoh buruk bagi daerah lainnya di Badung. b. Pelanggaran tata ruang wilayah. Banyak kasus di Kabupaten Badung

yang wilayahnya sudah tidak cocok lagi dengan peruntukannya

sesuai dengan ketentuan yang diatur pemerintah. Misalnya jalur hijau yang berubah menjadi kawasan permukiman dan kawasan

perdagangan atau kawasan lainnya. Kondisi demikian tentu dapat mengacaukan tata ruang wilayah yang dapat berakibat buruk pada

aktivitas manusia yang ada di dalamnya. c. Alih fungsi lahan pertanian ke fasilitas pariwisata. Bali sempat

memperoleh predikan daerah yang mampu berswasembada beras.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, hal tersebut sudah tidak lagi terdengar. Hal ini tentu terjadi sebagai akibat dari alih fungsi lahan

pertanian yang konon terjadi lebih dari 1.000 ha setiap tahun. Pembangunan sarana prasarana wisata yang masif terjadi di Badung

sebagai dampak dari pesatnya pertumbuhan kepariwisataan di Bali berakibat pada dialihkannya fungsi lahan pertanian tersebut menjadi fungsi lainnya. Padahal budaya pertanian di Bali dengan subak serta

budaya turunannya menjadi daya tarik wisata yang dikagumi wisatawan dan menjadi sumberdaya wisata yang tiada habis-

habisnya. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam bentuk pembuatan kebijakan yang dapat

melindungi alih fungsi lahan tersebut, misalnya pembuatan Perda Pertanian Abadi dengan mengkonservasi daerah-daerah pertanian yang masih tersisa di Kabupaten Badung.

d. Langgam bangunan gedung usaha pariwisata mengabaikan arsitektur tradisional Bali. Saat ini banyak bangunan sarana

pariwisata maupun jenis bangunan lainnya khususnya yang ada di Kabupaten Badung, mengabaikan ciri khas bangunan Bali. Jika hal

tersebut terus terabaikan maka Bali bisa kehilangan karakternya sebagai daerah tujuan wisata dengan branding wisata budaya.

3. Aspek Lingkungan a. Pengelolaan limbah belum mengikuti standar baku pengelolaan.

Pesatnya pembangunan sarana wisata, khususnya di Badung selatan

35

akan menyisakan limbah sebagai konsekuensi aktivitas yang dilakukannya. Bagi sarana wisata yang bertaraf international, masalah limbah mampu mereka atasi, sehingga hasil olahannya telah

memenuhi persyaratan baku mutu limbah yang layak untuk dibuang ke lingkungan atau dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, seperti

untuk menyiram tanaman. Namun tidak sedikit sarana wisata lain yang hasil pengolahan limbahnya belum mampu memenuhi baku

mutu lingkungan, bahkan diduga tidak sedikit sarana wisata yang tidak mengolah sama sekali limbah yang dihasilkannya.

b. Terbatasnya sumber daya air permukaan dan penggunaan sumber

daya tanah yang tidak terkendali. Hal ini merupakan masalah sangat serius terutama di Badung selatan yang pembangunan sarana

wisata maupun permukimannya sangat masif. Keterbatasan ketersediaan air permukaan yang mampu disupply oleh perusahaan

air minum, memaksa pengusaha di bidang pariwisata maupun masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan membuat sumur dalam. Hal ini sangat berbahaya, karena apabila

tidak terkendali, maka interusi air laut tidak akan terhindarkan. c. Kebersihan lingkungan daya tarik wisata yang tidak terjaga. Di

beberapa daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Badung masalah sampah menjadi persoalan serius, terutama sampah plastik. Perilaku

masyarakat yang belum sadar terhadap masalah kebersihan lingkungan memperparah kondisi tersebut. Mereka dengan tanpa risih akan membuang sampah pada lokasi yang sepatutnya tidak

pantas dibuangi sampah. Di Pura Luhur Uluwatu misalnya, walaupun di areal pura cukup bersih, namun pemedek dengan

seenaknya membuang sampah ke arah jurang di sisi utara pura. Di lokasi daya tarik wisata lain, misalnya Pantai Kuta, masalah sampah

terutama saat musim angin barat tiba juga hampir-hampir tidak tertangani. Ke dua contoh tersebut membutuhkan penanganan serius dengan pembuatan sistem penanganan sampah terpadu,

sehingga masalah sampah di DTW dapat tertangani dengan tuntas. d. Kemacatan lalu lintas di Badung Utara akibat pasar tumpah. Pasar

tradisional dimana masyarakat menggelar barang dagangannya sampai ke pinggir jalan raya, serta para pembeli yang tidak sabar

ingin cepat-cepat memperoleh barang yang dibutuhkannya, mengakibatkan aktivitas jual beli di pasar tersebut “tumpah” ke jalan raya. Kondisi pasar seperti ini dijumpai di beberapa wilayah Badung

Utara ( Pasar Sibang Gede,Pasar Mambal, Pasar Blahkiuh), yang menghambat laju kendaraan wisatawan menuju daya tarik wisata

yang ingin mereka kunjungi. e. Ketersediaan parkir yang sangat minim pada wilayah yang

pariwisatanya berkembang pesat. Pada saat puncak-puncak kunjungan dimana wisatawan datang dalam jumlah banyak dan bersamaan waktunya, kendaraan mereka tidak bisa ditampung di

areal parkir yang tersedia, sehingga kemacetan tidak bisa dihindarkan. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan keamanan,

36

stress, dan terutama terhambatnya wisatawan menuju destinasi berikutnya yang mereka ingin kunjungi.

f. Rawan bencana seperti: tsunami, banjir dan longsor. Pada musim

hujan saat intensitas turunnya air hujan demikian tinggi, banjir sudah menjadi langganan di Bali dan pada beberapa wilayah Badung

khususnya. Demikian juga tanah longsor terutama di Badung Utara yang kondisi topografinya berbukit, serta tanah yang labil. Di Wilayah

Badung Selatan yang topografinya landai dengan ketinggian sampai 0 dpl, memiliki potensi yang cukup tinggi terjadi tsunami saat ada gempa bumi. Kondisi ini perlu diantisipasi terutama berkaitan

dengan mekanisme peringatan dini dan penanganan pasca bencana. g. Higiene sanitasi belum diterapkan dengan optimal. Hal ini

merupakan persoalan yang sangat serius terutama pada usaha pariwisata yang berhubungan dengan makanan dan minuman,

seperti seafood cafe misalnya. Sudah cukup sering kejadian dimana guide maupun travel agent mengeluh (complain) kepada pengelola cafe karena tamu mereka sakit perut sampai dirawat di rumah sakit

setelah mereka mengkonsumsi makanan di cafe tersebut. Selain merugikan para pengelola cafe karena mereka dimintai biaya

perawatan tamu selama mereka dirawat di rumah sakit, yang terburuk adalah citra pariwisata Bali menjadi kurang baik.

Pemerintah seharusnya menetapkan dengan tegas dan ketat standar higiene dan sanitasi bagi pengusaha restoran, rumah makan, cafe, atau dengan sebutan lain yang berusaha di wilayah Badung.

Pengawasan terhadap penerapan higiene dan sanitasi lingkungan inipun harus dilakukan secara berkesinambungan.

h. Kurang tertatanya lay out bangunan restoran. Lay out bangunan restoran atau rumah makan perlu diatur agar bisa memenuhi paling

tidak standar minimum yang dibutuhkan. Hal ini akan berpengaruh terhadap keamanan dan kenyamanan wisatawan yang berkunjung,

selain dapat menimbulkan citra positif terhadap restoran dan rumah makan tersebut.

37

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

3.1.Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat

Kondisi Hukum yang ada.

Kajian berupa evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, dilakukan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Rencana Induk

Pembangunan Pariwisata Kabupaten Badung, serta untuk mengetahui posisi dari peraturan daerah yang baru, guna menghindari terjadinya

tumpang tindih pengaturan. Kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang memuat kondisi hukum yang ada, mempergunakan

pendekatan perundangan-undangan dengan melihat jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kewenangan pemerintah kabupaten tentang pengaturan kepariwisataan.

Dengan mempergunakan rujukan ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan perundang-undangan dan

rumusan norma yang berkaitan dengan kewenangan kabupaten bidang kepariwisataan, ditampilkan dalam tabel berikut dibawah ini

Matrik 1.Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang Berkaitan Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang Kepariwisataan.

No Peraturan Perundang-

Undangan

Rumusan Normanya Analisis

1 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Pasal 18 ayat 6 Pemerintahan daerah berhak menetapkan

peraturan daerah dan peraturan perundang-

undangan lain untuk melaksanakan otonomi

dan tugas pembantuan

Pemerintah daerah Kabupaten Badung mempunyai

wewenang untuk menetapkan

peraturan daerah tentang untuk

melaksanakan otonomi. Dengan demikian

Pemerintah Kabupaten Badung,

mempunyai wewenang untuk

menetapkan Peratuuran Daerah tentang Rencana

Induk Pembangunan

Pariwisata

38

Kabupaten Badung

2 Undang-Undang Nomor 69 Tahun

1958 tentang Pembentukan

Daerah-daerah Tingkat II Dalam

Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor

122, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor

1655);

BAB II TENTANG URUSAN

RUMAH TANGGA DAN KEWAJIBAN DAERAH

Pasal 4 (2) Apabila daerah yang

dibentuk menurut pasal 1 adalah suatu Daerah Swapraja, maka

dengan tidak mengurangi ketentuan

dimaksud dalam ayat 1, untuk sementara waktu

sampai diadakan ketentuan lain, segala urusan rumah-tangga

Daerah Swapraja yang bersangkutan itu

menurut peraturan-peraturan yang ada

tidak merupakan urusan Pemerintah Pusat, menjadi urusan

daerah tingkat II yang bersangkutan;

Berdasarkan ketentuan ini

Pemerintah Kabupaten Badung

mempunyai kewenangan untuk

mengatur urusan rumah tangga termasuk

didalamnya urusan kepariwisataan

3 Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang. ( Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,

Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4725).

Pasal 5

(5)Penataan ruang berdasarkan nilai

strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis

nasional, penataan ruang kawasan strategis

provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis

kabupaten/kota.

Pasal 11

(1)Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota

dalam enyelenggaraan penataan ruang meliputi:

a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan

terhadap pelaksanaan

Berdasarkan

ketentuan Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Badung

mempunyai wewenang untuk

melakukan perencanaan tata

ruang wilayah kabupaten.

Kegiatan penyusunan

RIPPDA merupakan satu kegiatan yang

selaras dengan perencanaan tata ruang wilayah

kabupaten.

39

penataan ruang wilayah

kabupaten/kota dan kawasan strategis

kabupaten/kota; b. pelaksanaan

penataan ruang wilayah kabupaten/kota;

c. pelaksanaan penataan ruang

kawasan strategis kabupaten/kota; dan

d.kerja sama penataan ruang antar kabupaten/ kota.

(2)Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota

dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah

kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. perencanaan tata

ruang wilayah kabupaten/ kota;

b. pemanfaatan ruang wilayah

kabupaten/kota; dan

c. pengendalian

pemanfaatan ruang wilayah

kabupaten/kota. (3)Dalam pelaksanaan

penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah

kabupaten/kota melaksanakan:

a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;

b. perencanaan tata ruang kawasan

40

strategis kabupaten/kota;

c. pemanfaatan ruang kawasan strategis

kabupaten/kota; dan

d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis

kabupaten/kota. (4)Dalam melaksanakan

kewenangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota

mengacu pada pedoman bidang penataan ruang

dan petunjuk pelaksanaannya.

(5)Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah

daerah kabupaten/kota: a. menyebarluaskan

informasi yang berkaitan dengan

rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka

pelaksanaan penataan ruang

wilayah kabupaten/kota; dan

b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang

penataan ruang. (6) Dalam hal pemerintah

daerah abupaten/kota tidak dapat memenuhi

standar pelayanan minimal bidang penataan ruang,

pemerintah daerah provinsi dapat

41

mengambil langkah penyelesaian sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

3 Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Kecil ( Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan

Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4739).

Pasal 55

(1)Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat

kabupaten/kota dilaksanakan secara

terpadu yang dikoordinasi oleh dinas

yang membidangi kelautan dan perikanan.

(2)Jenis kegiatan yang

dikoordinasikan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi: a. penilaian setiap

usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku

kepentingan sesuai dengan perencanaan

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil terpadu; b. perencanaan

antarinstansi, dunia

usaha, dan masyarakat;

c. program akreditasi skala

kabupaten/kota; d. rekomendasi izin

kegiatan sesuai

dengan kewenangan tiap-tiap dinas

otonom atau badan daerah; serta

e. penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala

kabupaten/kota.

Berdasarkan

ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini,

kabupaten mempunyai

wewenang untuk mengelola wilayah

pesisir yang dilaksanakan secara terpadu oleh dinas

yang membidanginya.

42

(3)Pelaksanaan kegiatan sebagaimana imaksud

pada ayat (2) diatur oleh bupati/walikota.

4 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor

10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (

Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,

Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4966 )

Pasal 8

(1)Pembangunan kepariwisataan

dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan

kepariwisataan yang terdiri atas rencana

induk pembangunan kepariwisataan nasional,

rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi,

dan rencana induk pembangunan

kepariwisataan kabupaten/kota.

(2)Pembangunan

kepariwisataan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

bagian integral dari rencana pembangunan

jangka panjang nasional

Pasal 9

(1)Rencana induk

pembangunan kepariwisataan nasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan

Pemerintah. (2)Rencana induk

pembangunan kepariwisataan provinsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan

Daerah provinsi. (3)Rencana induk

pembangunan

Undang-Undang No

10 Tahun 2009, memberi wewenang

kepada daerah kabupaten untuk menetapkan

rencana induk pembangunan

kepariwisataan kabupaten/kota

dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.

43

kepariwisataan kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)

diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.

(4)Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),

dan ayat (3) dilakukan dengan melibatkan

pemangku kepentingan. (5)Rencana induk

pembangunan

kepariwisataan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) meliputi perencanaan

pembangunan industri pariwisata, destinasi

pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.

Pasal 29

Pemerintah provinsi berwenang:

a. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan

kepariwisataan provinsi; b. mengoordinasikan

penyelenggaraan kepariwisataan di

wilayahnya; c. melaksanakan

pendaftaran, pencatatan,

dan pendataan pendaftaran usaha

pariwisata; d. menetapkan destinasi

pariwisata provinsi; e. menetapkan daya tarik

wisata provinsi;

f. memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan

44

produk pariwisata yang berada di wilayahnya;

g. memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik

wisata provinsi; dan h. mengalokasikan

anggaran kepariwisataan.

5 Undang-

Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (

Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 140, Tambahan

Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5059

).

Pasal 63

(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup, pemerintah

kabupaten/kota bertugas dan berwenang:

a. menetapkan kebijakan tingkat

kabupaten/kota; b. menetapkan dan

melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;

c. menetapkan dan melaksanakan

kebijakan mengenai RPPLH

kabupaten/kota; d. menetapkan dan

melaksanakan

kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;

e. menyelenggarakan inventarisasi sumber

daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat

kabupaten/kota; f. mengembangkan dan

melaksanakan kerja sama dan kemitraan;

g. mengembangkan dan menerapkan instrumen

lingkungan hidup; h. memfasilitasi

penyelesaian

Salah satu

kewenangan Kabupaten yakni

menetapkan kebijakan tingkat

kabupaten berkaitan dengan pengelolan

lingkungan hidup pembentukan

RIPPDA Kabupaten, berkaitan dengan

kebijakan tingkat kabupaten yang substansi materinya

berkaitan dengan pengelolaan

lingkungan. Dengan demikian Undang-

Undang Pengelolan Lingkungan Hidup relevan dirujuk

sebagai ketentuan mengingat dalam

Ranperda Rippda yang akan dibentuk.

45

sengketa; i. melakukan

pembinaan dan pengawasan

ketaatan penanggung jawab

usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan

lingkungan dan peraturan

perundang-undangan;

j. melaksanakan standar pelayanan minimal;

k. melaksanakan kebijakan mengenai

tata cara pengakuan keberadaan

masyarakat hukum adat, kearifan lokal,

dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan

perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup pada tingkat

kabupaten/kota; l. mengelola informasi

lingkungan hidup

tingkat kabupaten/kota;

m. mengembangkan dan melaksanakan

kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat

kabupaten/kota; n. memberikan

pendidikan, pelatihan,

pembinaan, dan penghargaan;

o. menerbitkan izin

lingkungan pada tingkat

46

kabupaten/kota; dan p. melakukan

penegakan hukum lingkungan hidup

pada tingkat kabupaten/kota.

6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan

Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5587),

sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2015

tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah Menjadi

Undang-Undang (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24,

Tambahan Lembaran Negara

Republik

Pasal 12 (1). ... (2). ...

(3)Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:

a. kelautan dan perikanan;

b. pariwisata;

c. pertanian; d. kehutanan;

e. energi dan sumber daya mineral;

f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.

Urusan Pemerintahan Pilihan adalah

Urusan Pemerintahan yang

wajib diselenggarakan

oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.

Pendapatan Asli

Daerah Kabupaten Badung salah

satunya bersumber dari sektor Pariwisata.

Pariwisata bagi

Pemerintah kabupaten Badung,

merupakan salah satu penghasil devisa, dengan

demikian salah satu urusan pilihan yang

diselenggarakan oleh Pemerintah

Kabupaten Badung adalah urusan pilihan bidang

pariwisata.

Dengan demikian Undang-undang ini

relevan dipergunakan sebagai salah satu

ketentuan mengingat dari

rencana

47

Indonesia Nomor 5657)

pembentukan RIPPDA Kabupaten

Badung.

7 Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan

antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi

dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun

2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor

4737);

Pasal 7

(1) ... (2) ...

(3)Urusan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)

adalah urusan pemerintahan yang

secara nyata ada dan berpotensi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan kondisi,kekhasan dan

potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

(4)Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

a.kelautan dan perikanan;

b. pertanian; c. kehutanan;

d.energi dan sumber daya mineral; e.pariwisata;

f. industri; g. perdagangan;dan

h. ketransmigrasian. (5).Penentuan urusan

pilihan ditetapkan oleh pemerintahan daerah.

Berdasarkan Lampiran Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tanggal 9

Juli 2007, pada hurup Q diatur pembagian urusan pemerintahan bidang

pariwisata. Kewenangan

Pemerintahan Daerah

Berdasarkan ketentuan Pasal 6

Peraturan Daerah Kabupaten Badung

No. 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang

Menjadi Kewenangan

Kabupaten Badung, Pariwisata

ditetapkan sebagai salah satu urusan pilihan.

Dalam menentukan

Pariwisata sebagai urusan

pilihan,salah satu kewenangan yang dimiiki oleh

pemerintahan daerah kabuapten

adalah penetapan kebijakan skala

kabupaten berupa RIPP Kabupaten.

Dalam Peraturan ini tidak dijelaskan apa

yang dimaksud dengan RIPP,

namun berdasarkan kelaziman dalam penetapan

kebijakan kepariwisataan,

RIPP ini lazim diterjemahkan atau

dibaca Rencana Induk Pembangunan

Pariwisata.

Dari analisis ini,

48

kabupaten diatur sebagai berikut :

1. ... 2. ...

3. Sub Bidang Kebijakan Bidang Kepariwisataan.

1. Kebijakan 1. Pelaksanaan

kebijakan

nasional,provinsi dan penetapan

kebijakan skala kabupaten:

a. RIPP Kabupaten.

b. ...

c. ... d. Pelaksanaan

kebijakan nasional dan

provinsi serta penetapan

pedoman pengembangan destinasi

pariwisata skala

kabupaten. 4....

5.Sub Bidang Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata.

1. Rencana induk pengembangan

sumber daya kebudayaan dan

pariwisata nasional skala kabupaten.

2. Pelaksanaan

kebijakan nasional/provinsi dan

penetapan kebijakan kabupaten dalam

pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan

pariwisata skala kabupaten.

maka dapat dikatakan,

Peraturan Pemerintah Nomor

38 tahun 2007, dapat dipergunakan

sebagai salah satu ketentuan mengingat dalam

Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Badung tentang RIPPDA

Kepariwisataan.

49

3. Pelaksanaan kebijakan nasional

/provinsi dan penetapan kebijakan

kabupaten penelitian kebudayaan dan

pariwisata skala kabupaten.

8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2010 tentang Cagar Budaya, (

Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan

Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5168 ).

Pasal 64

Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana

dimaksuddalam Pasal 61 dan Pasal 62 harus

memperhatikanpemanfaatannya bagi kepentingan sosial,

pendidikan,pengembangan ilmu pengetahuan, agama,

kebudayaan,dan/atau pariwisata.

Pasal 67

(1)Setiap orang dilarangmemindahkan

Cagar Budayaperingkat nasional, peringkat

provinsi, atauperingkat kabupaten/kota, baik seluruh maupunbagian-

bagiannya, kecuali dengan izin

Menteri,gubernur, atau bupati/wali kota sesuai

dengantingkatannya.

Pasal 72

(1)Pelindungan Cagar Budaya dilakukan

denganmenetapkan batas-batas

keluasannya danpemanfaatan ruang melalui sistem

Zonasiberdasarkan hasil kajian.

(2)Sistem Zonasi

Cagar Budaya pemanfaatannya

dapat untuk kepentingan sosial,

pendidikan, pengembangan ilmu

pengetahuan, agama, kebudayaan,

dan/atau pariwisata.

Bupati mempunyai

kewenangan berkaitan dengan pemanfaatan cagar

budaya untuk kepentingan

pariwisata. Berdasarkan

ketentuan ini, maka UU No 11 Tahun 2010, relevan

dirujuk sebagai salah satu

ketentuan mengingat dalam

Rancangan perda yang akan dibentuk.

50

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)ditetapkan

oleh: a.Menteri apabila telah

ditetapkan sebagai CagarBudaya nasional

atau mencakup 2 (dua) provinsiatau lebih; b.gubernur apabila

telah ditetapkan sebagai CagarBudaya

provinsi atau mencakup 2

(dua)kabupaten/kota atau lebih; atau c.bupati/wali kota

sesuai dengan keluasan Situs

Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya

diwilayah kabupaten/kota.

Pasal 109

(2)Setiap orang yang tanpa

izin gubernur atau izin bupati/wali kota,

membawa Cagar Budaya ke luarwilayah provinsi

atau kabupaten/kota sebagaimanadimaksud dalam Pasal 69 ayat (2)

dipidana denganpidana penjara paling lama 5

(lima) tahun dan/ataudenda paling

sedikit Rp1.000.000,00 (satu jutarupiah) dan paling banyak

Rp100.000.000,00(seratus juta rupiah).

9 Peraturan

Pemerintah Republik

Indonesia Nomor

Pasal 4

(1)RIPPARNAS menjadi pedoman bagi

pembangunan

RIPPARNAS dan

Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan

51

50 Tahun 2011 Tentang Rencana

Induk Pembangunan

Kepariwisataan Nasional Tahun

2010-2025.((Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4562).

kepariwisataan nasional.

(2)RIPPARNAS sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) menjadi pedoman penyusunan

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan

Provinsi. (3)RIPPARNAS dan

Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) menjadi pedoman penyusunan

Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Kabupaten/Kota.

Provinsi dipergunakan

menjadi pedoman penyusunan

Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Kabupaten. Persoalan hukum

yang ditemui sampai saat

dilakukan kajian ini, Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Bali,

sampai saat ini belum ditetapkan.

Dengan demikian Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan

Provinsi Bali, tidak dipergunakan sebagai salah satu

ketentuan mengingat dari

Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Kabupaten Badung.

10 Peraturan Pemerintah

Nomor 15 Tahun 2010 tentang

Penyelengaraan Penataan Ruang (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun

2010 Nomor 21).

Pasal 153 (1)Peraturan zonasi

kabupaten/kota merupakan penjabaran

dari ketentuan umum peraturan zonasi yang ditetapkan dalam

rencana tata ruang wilayah

kabupaten/kota. (2)Peraturan zonasi

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan peraturan daerah

kabupaten/kota.

Ketentuan ini menunjukkan

bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten

mempunyai wewenang untuk menetapkan

peraturan daerah tentang Rencana

Induk Pembangunan

Kepariwisataan Kabupaten Badung. Peraturan

Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010

tentang

52

(3)Peraturan zonasi kabupaten/kota

merupakan dasar dalam pemberian

insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan

pengenaan sanksi di tingkat kabupaten/kota.

Pasal 154 (1)Peraturan zonasi

kabupaten/kota memuat zonasi pada

setiap zona peruntukan.

(2)Zona peruntukan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan suatu bagian wilayah atau

kawasan yang ditetapkan dalam

rencana tata ruang untuk mengembankan suatu fungsi tertentu

sesuai dengan karakteristik zonanya.

(3)Ketentuan zonasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi: a. ketentuan kegiatan

dan penggunaan

ruang yang diperbolehkan,

diperbolehkan dengan syarat, dan

yang tidak diperbolehkan;

b. ketentuan intensitas

pemanfaatan ruang paling sedikit terdiri

atas: 1. koefisien dasar

bangunan maksimum;

2. koefisien lantai

bangunan maksimum;

Penyelengaraan Penataan Ruang

relevan dirujuk sebagai salah satu

ketentuan mengingat dalam

Perda RIPPDA Kabupaten Badung yang akan dibentuk.

53

3. ketinggian bangunan

maksimum; dan 4. koefisien dasar

hijau minimum. c. ketentuan prasarana

dan sarana minimum sebagai kelengkapan dasar

fisik lingkungan yang mendukung

berfungsinya zona secara optimal; dan

d. ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan

pemanfaatan ruang pada kawasan cagar

budaya, kawasan rawan bencana,

kawasan keselamatan operasi

penerbangan, dan kawasan lainnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-

undangan. (4)Selain ketentuan zonasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam wilayah kota memuat

ketentuan lain yang dibutuhkan untuk

mengendalikan perkembangan

penggunaan lahan campuran, sektor informal, dan

pertumbuhan gedung pencakar langit.

11 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun

2011 tentang Rencana Induk

Pembangunan

Pasal 4 (1)RIPPARNAS menjadi

pedoman bagi

pembangunan kepariwisataan

nasional.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

50 Tahun 2011 Kabupaten Badung

mempunai

54

Kepariwisataan Nasional Tahun

2010-2025 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor

4562).

(2)RIPPARNAS sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) menjadi pedoman penyusunan

Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Provinsi.

(3)RIPPARNAS dan

Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi pedoman penyusunan Rencana

Induk Pembangunan Kepariwisataan

Kabupaten/Kota.

wewenang untuk menetapkan

Peraturan Daerah berkaitan dengan

RIPPDA Kabupaten.

12 Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang

Izin Lingkungan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun

2012 Nomor 48.Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor

5285).

Pasal 1

Angka 1 Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada

setiap orang yang melakukan Usaha

dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL

dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha

dan/atau Kegiatan.

Angka 2

Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Amdal,

adalah kajian mengenai dampak penting suatu

Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang

diperlukan bagi proses pengambilan keputusan

tentang penyelenggaraan

Usaha pariwisata

merupakan usaha yang menediakan barang dan /atau

jasa bagi pemenuhan

kebutuhan wisatawan dan

penyelenggaraan pariwisata. Dalam kasus-kasus

tertentu, berkaitan dengan usaha

pariwisata wajib memperhatikan dan

memenuhi Izin Lingkungan. Dengan demikian,

Peraturan Pemerintah Nomor

27 Tahun 2012 tentang Izin

Lingkungan relevan dipergunakan sebagai salah satu

ketentuan mengingat dalam

Rancangan

55

Usaha dan/atau Kegiatan.

Angka 3 Upaya Pengelolaan

Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan

Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan

dan pemantauan terhadap Usaha dan/atau Kegiatan

yang tidak berdampak penting terhadap

lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan

tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.

Angka 4

Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk

aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan

hidup serta menyebabkan dampak terhadap

lingkungan hidup.

Peraturan Daeah tentang Rencana

Induk Pembangunan

Kepariwisataan Daerah Tahun

2015-2030 yang akan dibentuk.

13 Peraturan Presiden

Republik Indonesia

Nomor 51 Tahun 2014 Tentang

Perubahan atas Peraturan

Presiden Nomor 45 Tahun 2011

Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan

Perkotaan Denpasar,

Badung,

Pasal 2 Pengaturan penataan

ruang diselenggarakan untuk:

a. mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan

penataanruang; b. memberikan kepastian

hukum bagi seluruh pemangku

c. kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab

d. serta hak dan kewajibannya dalam

penyelenggaraan

Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 51 Tahun 2014

Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden

Nomor 45 Tahun 2011

memberikan kewenangan kepada

Kabupaten untuk melakukan penataan ruang

termasuk didalammnya

menata kawasan

56

Gianyar, Dan Tabanan.(Lemba

ran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor

121).

penataan e. ruang; dan

f. mewujudkan keadilan bagi seluruh

pemangku kepentingan

g. dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang.

Pasal 3

Pengaturan penataan ruang disusun dan

ditetapkan olehPemerintah, pemerintah daerah

provinsi, dan pemerintah daerahkabupaten/kota

sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 4

(1). ... (2). ... (3)Pengaturan penataan

ruang oleh pemerintah daerahkabupaten/kota

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3meliputi

penyusunan dan penetapan:

a. rencana tata ruang

wilayah kabupaten/kota,

rencana tata (7) ruangkawasan

strategiskabupaten/kota, rencana detail

(8) tata ruang

kabupaten/kota termasuk peraturan

zonasi (9) yang ditetapkan dengan

peraturan daerah (10) kabupaten/kota; dan a. ketentuan tentang

perizinan, bentuk dan besaran insentif

sebagai kawasan pariwisata yang

dituangkan dalam RIPPDA Kabupaten.

57

(11) dan disinsentif, serta sanksi administratif,

yang ditetapkan dengan peraturan

bupati/walikota.

Pasal 5 (1)Selain penyusunan dan

penetapan peraturan

sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4,

Pemerintah, pemerintah daerahprovinsi, dan

pemerintah daerah kabupaten/kota dapatmenetapkan

peraturan lain di bidang penataan ruang

sesuaikewenangan berdasarkan ketentuan

peraturan perundangundangan.

14 Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 5

Tahun 2005 tentang

Persyaratan Arsitektur Bangunan

Gedung. (Lembaran

Daerah Provinsi Bali Tahun 2005

Nomor 5).

Pasal 21

Gubernur

mengkoordinasikan pengendalian persyaratan

arsitektur bangunan gedung, penggunaan symbol fungsi, dan

symbol keagamaan dengan pemerintah

kabupaten/kota

Untuk menjamin

kepastian dan ketertiban hukum

dalam penyelenggaraan

bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus

diselenggarakan secara tertib dan

terkendali. Karena pengendalian

langsung tentang persyaratan arsitektur

bangunan sesuai dengan semangat

otonomi daerah sebagaimana diatur

dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, maka

Kabupaten/Kota

58

harus membuat peraturan daerah

kabupaten/kota yang memat

ketentuan tentang persyaratan

arsitektur bangunan gedung dengan mengadopsi,

menjabarkan, dan lebih memperinci

subsansi Peraturan Daerah ini agar

memiliki kekhasan sesuai potensi daerah dan lebih

mudah ditetapkan. Keseluruhan

maksud dan tujuan pengaturan tersebut

dilandasi oleh asas kemanfaatan,

keselamatan , keseimbangan, dan keserasian

bangunan gedung dengan

lingkungannya, bagi kepentingan

masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.

15 Peraturan Daerah Provinsi

Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Provinsi

Bali.(Lembaran Daerah Provinsi

Bali Tahun 2009 Nomor 16, Tambahan

Lembaran Daerah Provinsi

Bali Nomor 15).

Pasal 91

(7) Instansi pelaksana program pemanfaatan ruang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan oleh:

a. pemerintah; b. pemerintah

provinsi; c. pemerintah

kabupaten/kota;

d. dunia usaha; e. Kerjasama

Pemerintah dan

Melalui Peraturan Daerah Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009. Pemerintah

Provinsi memberikan

kewenangan penyelenggaraan

pemanfaatan ruang kepada kabupaten. Berdasarkan hal

tersebut diatas, maka Perda Provinsi

Bali No 16 Tahun

59

Swasta (KPS); dan f. masyarakat.

Pasal 131

(1) Pemerintah provinsi

menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

(2) Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan

penataan ruang, pemerintah provinsi memberikan

kewenangan penyelenggaraan

penataan ruang kepada pemerintah

kabupaten/kota.

2009 relevan dipergunakan

sebagai salah satu ketentuan

mengingat Ranperda RIPPDA

Kabupaten Badung yang akan dibentuk.

16 Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 2

Tahun 2012 tentang

Kepariwisataan Budaya Bali. (Lembaran

Daerah Provinsi Bali Tahun 2012

Nomor 2, Tambahan

Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 2).

Pasal 11

(3) Dalam

mengembangkan destinasi pariwisata

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pemerintah Provinsi

dapat bekerja sama dengan

Kabupaten/Kota.

Pasal 20

Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota dapat

bekerjasama untuk melakukan promosi

kepariwisataan Bali.

Peraturan Daerah

Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012

tentang Kepariwisataan

Budaya Bali, memberikan arah dan sejalan dengan

Ranperda RIPPDA yang akan dibentuk.

17 Peraturan Daerah

Kabupaten Badung No. 4

Pasal 6 (1)Urusan pilihan

sebagimana dimaksud dalam Pasal 4

Rumusan ketentuan ini

menentukan, Pemerintah

60

Tahun 2008 tentang Urusan

Pemerintahan yang Menjadi

Kewenangan Kabupaten

Badung.(Lembaran Daerah Kabupaten

Badung Tahun 2008 Nomor 4,

Tambahan Lembaran

Daerah Kabupaten Badung Nomor

4).

berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan kondisi,kekhasan, dan

potensi yang ada di daerahyang bersangkutan;

(2)Berdasarkan analisis terhadap Produk

Domestik Regional Bruto(PDRB) mata

pencaharian penduduk, pemanfaatan lahan dan pengembangan potensi

yang ada di daerah, maka urusan pilihan

yang dilaksanakan meliputi bidang:

a. pariwisata; b.pertanian;

c. perdagangan d. ... Selanjutnya dalam

Lampiran Peraturan Daerah ini ditentukan

sebagai berikut : A. Urusan

Pemerintahan Bidang Pariwisata.

Sub Bidang Kebijakan

Bidang kepariwisataan. Sub-sub bidang

Kebijakan. Urusan Pemerintahan

Daerah Kabupaten. 1. Pelaksanaan

kebijakan

nasional,propinsi dan penetapan

kebijakan skala kabupaten:

a. RIPP Kabupaten

b. ...

2. Pelaksanaan Bidang Kepariwisataan

Daerah Kabupaten

Badung menentukan

Pariwisata sebagai salah

satu urusan pilihan.

Berdasarkan urusan pilihan

ini, Pemerintah Kabupaten

Badung mempunai kewenangan

untuk menyusun

RIPPDA Kabupaten.

61

3. Kebikaan bidang Pariwisata:

i. Rencana induk pengembangan

sumber daya kebudayaan dan

pariwisata nasional skala kabupaten

18 Peraturan

Daerah Kabupaten

Badung No. 2 Tahun 2012

tentang Kepariwisataan.(Lembaran

Daerah Kabupaten

Badung Tahun 2012 Nomor 2,

Tambahan Lembaran Daerah

Kabupaten Badung Nomor

2).

Pasal 8

(1)Pembangunan

Kepariwisataan dilakukan berdasarkan

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah.

(2)Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), mencakup visi dan misi serta tahapan sasaran yang

akan diwujudkan, kebijakan dan strategi

untuk pemberdayaan masyarakat,

pembangunan daya tarik wisata, pembangunan destinasi

pariwisata, pembangunan usaha

pariwisata, pemasaran pariwisata serta

pengorganisasian kepariwisataan dalam rangka mewujudkan

tujuan penyelenggaraan kepariwisataan.

(3)Penyusunan Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan melibatkan pemangku kepentingan.

Peraturan Daerah

Kabupaten Badung No. 2 Tahun 2012,

sejalan dan searah dengan Ranperda

RIPPDA yang akan dibentuk.

62

Pasal 11

Pemerintah Daerah bersama lembaga yang

terkait menyelenggarakan penelitian dan

pengembangan kepariwisataan untuk mendukung pembangunan

kepariwisataan.

19 Peraturan Daerah

Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013

tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten

Badung.(Lembaran Daerah Kabupaten

Badung Tahun 2013 Nomor 26,

Tambahan Lembaran

Daerah Kabupaten Badung Nomor

25).

Pasal 3

Penataan Ruang Wilayah Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan

Kabupaten Badung sebagai Pusat

Kegiatan Nasional dan destinasi pariwisata

internasional yang berkualitas, berdaya saing dan berjatidiri

budaya Bali melalui sinergi pengembangan Wilayah

Badung Utara, Badung Tengah dan Badung

Selatan secara berkelanjutan berbasis kegiatan

pertanian, jasa dan kepariwisataan menuju

kesejahteraan Masyarakat sebagai implementasi dari

falsafah Tri Hita Karana.

Peraturan Daerah Kabupaten Badung

No. 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten Badung, searah

dan sejalan dengan Rancangan RIPPDA

Kabupaten Badung yang akan dibentuk.

3.2.Kajian Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Badung yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan.

Penelusuran terhadap beberapa Peraturan Daerah Kabupaten Badung,

yang memuat kondisi hukum terkait dengan kepariwisataan, sejalan dan searah dengan RIPPDA Kabupaten Badung dapat ditampilkan pada matrik dibawah ini.

63

Matrik 2.Peraturan Daerah Kabupaten Badung yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan.

N

o

Peraturan Daerah Rumusan

Normanya

Analisis

1 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No.

4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi

Kewenangan Kabupaten Badung;

Pasal 6 (1)Urusan pilihan

sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 berpotensi untuk

meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sesuai dengan

kondisi,kekhasan, dan potensi yang ada di daerahyang

bersangkutan; (2)Berdasarkan

analisis terhadap Produk Domestik

Regional Bruto(PDRB) mata pencaharian penduduk,

pemanfaatan lahan dan pengembangan

potensi yang ada di daerah, maka urusan

pilihan yang dilaksanakan meliputi bidang:

a. pariwisata; b.pertanian;

c. perdagangan d. ...

Selanjutnya dalam Lampiran Peraturan Daerah ini ditentukan

sebagai berikut : A. Urusan

Pemerintahan Bidang Pariwisata.Sub Bidang

Kebijakan Bidang kepariwisataan. Sub-sub bidang

Kebijakan.

Urusan Pemerintahan

Peraturan Daerah

Kabupaten Badung No. 4 Tahun 2008,

menentukan salaah satu

urusan pilihan yang

dijalankan oleh Pemerintah

Daerah kabupaten

Badung adalah Urusan

Kepariwisataan.

Salah satu kebijakaan

bidang Pariwisata di

Kabupaten Badung, yang menjadi

kewenangan dari

Pemerintah Kabupaten

Badung yakni membentuk Rencana

induk pengembanga

n sumber daya kebudayaan

dan pariwisata nasional skala kabupaten.

64

Daerah Kabupaten.

1.Pelaksanaan kebijakan

nasional,propinsi dan penetapan kebijakan

skala kabupaten: a. RIPP Kabupaten b. ...

2. Pelaksanaan Bidang Kepariwisataan

3. Kebikaan bidang Pariwisata:

i. Rencana induk pengembangan sumber daya

kebudayaan dan pariwisata nasional

skala kabupaten.

2 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No.2

Tahun 2012 tentang Kepariwisataan.(Lembaran Daerah Kabupaten

Badung Tahun 2012 Nomor 2,Tambahan

LembaranDaerah Kabupaten Badung

Nomor 2).

Pasal 8

(1)Pembangunan Kepariwisataan dilakukan

berdasarkan Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan

Daerah. (2)Rencana Induk

Pembangunan

Kepariwisataan Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), mencakup visi dan misi serta tahapan sasaran

yang akan diwujudkan,

kebijakan dan strategi untuk

pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya

tarik wisata, pembangunan

destinasi pariwisata,

Peraturan Daerah

Kabupaten Badung No. 2 Tahun 2012,

sejalan dan searah dengan

Ranperda RIPPDA yang

akan dibentuk.

65

pembangunan usaha pariwisata,

pemasaran pariwisata serta

pengorganisasian kepariwisataan

dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan

kepariwisataan. (3)Penyusunan

Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan dengan melibatkan

pemangku kepentingan.

Pasal 11

Pemerintah Daerah bersama lembaga yang

terkait menyelenggarakan

penelitian dan pengembangan

kepariwisataan untuk mendukung pembangunan

kepariwisataan.

3 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Badung.(Lembaran Daerah Kabupaten

Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah

Kabupaten Badung Nomor 25).

Pasal 3

Penataan Ruang

Wilayah Kabupaten bertujuan untuk

mewujudkan Kabupaten

Badung sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan destinasi pariwisata

internasional yang berkualitas,

berdaya saing dan

Peraturan Daerah Kabupaten

Badung No. 26 Tahun

2013 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kabupaten

Badung, searah dan

sejalan

66

berjatidiri budaya Bali melalui sinergi

pengembangan Wilayah Badung

Utara, Badung Tengah dan Badung Selatan

secara berkelanjutan berbasis kegiatan pertanian, jasa dan

kepariwisataan menuju

kesejahteraan Masyarakat sebagai

implementasi dari falsafah Tri Hita Karana.

dengan Rancangan

RIPPDA Kabupaten

Badung yang akan

dibentuk.

4 Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2013

tentang Pengelolaan Sampah. ( Lembaran

Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 7, Tambahan

Lembaran Daerah kabupaten Badung

Nomor 7).

Pasal 4

Pengelolaan Sampah bertujuan untuk

meningkatkan kebersihan, kesehatan

masyarakat dan kualitas lingkungan yang kondusif serta

menjadikan sampah sebagai sumber daya

yang potensial.

Tujuan

pengelolaan sampah

dalam Perda ini sejalan

dengan tujuan pengembanga

n kepariwisataa

n yang akan dibentuk yang

dituangkan dalam

RIPPDA Kabupaten Badung.

5 Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013

tentang Kawasan Tanpa Rokok. ( Lembaran Daerah

Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 8,

Tambahan Lembaran Daerah kabupaten

Badung Nomor 8).

Pasal 10

Tempat umum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g meliputi :

a.pasar modern; b.pasar tradisional;

c.tempat wisata; d.tempat hiburan;

e.hotel; f.restoran; g.tempat rekreasi;

h.halte; i.terminal angkutan

67

umum; j.terminal angkutan

barang; k.pelabuhan; dan

l.bandara.

6 Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 9 Tahun 2010 tentang Izin Ganguan. (

Lembaran Daerah Kabupaten Badung

Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran

Daerah Kabupaten Badung Nomor 9).

Pasal 2

(1) Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah

ini dalam rangka pembinaan,pengend

alian dan pengawasan

terhadap kegiatan usaha/ tempat usahaguna

terciptanya iklim usaha yang

kondusif di daerah. (2) Tujuan

ditetapkannya Peraturan Daerah ini untuk

memberikan legalitas,dasar

hukum dan kepastian hukum

dalam pelaksanaan kewenangan daerahdalam

pemberian perizinan kepada masyarakat

dan sebagai upaya untukmencegah

timbulnya gangguan terhadap kesehatan, keselamatan,ketentr

aman dan/ atau kesejahteraan

terhadap kepentingan umum.

Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten

Badung Nomor : 9 Tahun 2010

Tanggal: 23 Nopember

Tujuan

ditetapkannya Peraturan Daerah ini

untuk mencegah

timbulnya gangguan

terhadap kesehatan, keselamatan,

ketentraman dan/ atau

kesejahteraan terhadap

kepentingan umum, searah dengan

Ranperda tentang

RIPPDA Kabupaten

Badung yang akan dibentuk.

68

2010 Tentang: Izin

Gangguan Tempat-tempat usaha

lainnya yang wajib memiliki Izin

Gangguan sebagaimana dimaksud pada angka

I nomor 21 adalah :

43.Usaha di bidang pariwisata yaitu :

1)Restoran, rumah makan, kafe;

2) Bar;

3) Bilyar; 4) Diskotik;

5) Club malam; 6) Panti pijat;

7)Bioskop, sinema; 8)Bola etangkasan;

9) Barber shop; 10) Karaoke; 11)Hotel bintang,

Hotel melati; 12)Hotel transit;

13) Losmen; 14)Penginapan

remaja; 15)Pondok wisata; 16)Mandala wisata;

17) Wisma; 18) ...

7 Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 12 Tahun 2013

Tentang Retribusi Tempat Penjualan

Minuman Beralkohol. ( Lembaran Daerah Kabupaten Badung

Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran

Daerah kabupaten

Pasal 3

(1)Objek Retribusi adalah pemberian

izin tempat penjualan minuman

beralkohol disuatu tempat tertentu.

(2)Tempat tertentu

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah:

69

Badung Nomor 12). a.pengecer minuman

beralkohol golongan B

dan/atau golongan C

ditempatlainnya termasuk toko Bebas Bea (duty

free shop); b.penjual minuman

beralkohol golongan B

dan/atau golongan C

untukdiminum langsung ditempat,

meliputi: 1.Hotel berbintang

: -Hotelberbintang

3, -Hotel

berbintang 4,

dan -Hotel

berbintang 5. 2.Restoran, Bar,

termasuk Pub, Karaoke dan Klab malam.

c.pengecer dalam kemasanminuman

beralkohol untuk tujuan kesehatan.

70

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

4.1.Landasan Filosofis

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2011 menentukan landasan filosofis merupakan pertimbangan atau

alasanyang menggambarkan bahwa peraturan yang

dibentukmempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan citahukum

yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsaIndonesia yang

bersumber dari Pancasila dan PembukaanUndang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan pertimbangan filosofis sebagaimana dimaksudkan

diatas,pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang dimuat dalam

Peraturan DaerahKabupaten Badung tentang Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan yag dibentuk mengacu pada prinsip pengembangan

kepariwisataan.

Prinsip pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Badung yang

tertuang dalam Peraturan Daerah ini, terdiri atas :

a. nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai landasan filosofis pembangunan

kepariwisataan Bali.

b. pariwisata berkelanjutan.

c. berbasis pemberdayaan masyarakat.

d. pendayagunaan potensi local.

e. keterpaduan antarsektor dan antarwilayah.

f. memberikan kepuasan kepada wisatawan.

g. mematuhi kode etik pariwisata dunia.

Berdasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan kepariwisataan seperti

yang disebutkan diatas, visi Pembangunan Kepariwisataan Daerah adalah

Kabupaten Badung sebagai destinasi pariwisata yang berkualitas, berdaya

saing global, berkelanjutan, dan berbasis budaya lokal berlandaskan Tri

Hita Karana.

Dengan visi Kabupaten Badung sebagai destinasi pariwisata yang

berkualitas, berdaya saing global, berkelanjutan, dan berbasis budaya lokal

berlandaskan Tri Hita Karana, misi yang diemban dalam pembangunan

kepariwisataan di Kabupaten Badung,dirumuskan sebagai berikut :

a. Mengembangkan Kabupaten Badung sebagai pintu gerbang

pariwisata Bali dan destinasi pariwisata berkualitas yang memiliki

daya tarik wisata pantai, wisata bahari, MICE, wisata perdesaan,

71

agrowisata, ekowisata dan kuliner sehingga memberikan

pengalaman yang berkesan bagi wisatawan.

b. Mengembangkan industri pariwisata yang berdaya saing global

melalui peningkatan kualitas produk, layanan, kepedulian terhadap

lingkungan alam, sosial dan budaya, sertifikasi dan akreditasi

usaha, serta mewujudkan investasi di bidang industri pariwisata

secara selektif dan terbatas dengan prioritas pengembangan usaha

kecil dan menengah yang mempertimbangkan daya dukung (carrying

capacity).

c. Meningkatkan citra kepariwisataan Kabupaten Badung sebagai

destinasi pariwisata berkualitas melalui pemasaran yang terpadu

dan inovatif dengan target pasar wisatawan yang berkualitas.

d. Mewujudkan tata kelola kepariwisataan secara terintegrasi dan

berbasis masyarakat yang didukung oleh sumber daya manusia

yang profesional.

4.2. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasanyang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untukmemenuhi

kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.Landasan sosiologis

sesungguhnya menyangkut fakta empirismengenai perkembangan masalah

dan kebutuhan masyarakatdan negara.

Fakta empiris yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan dituangkan dalam tujuan dan sasaran pembangunan

kepariwisataan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat

pada umumnya, dan masyarakat Kabupaten Badungpada khususnya.

Tujuan Pembangunan Kepariwisataan Daerah meliputi:

a. Destinasi Pariwisata.

1. Terwujudnya kawasan pantai yang bersih, indah, aman dan

nyaman sebagai basis keunggulan daya saing kepariwisataan

Badung.

2. Meningkatnya keragaman daya tarik wisata serta terwujudnya

perkembangan pariwisata secara merata sesuai daya dukung.

3. Meningkatnya kualitas higiene dan sanitasi, kelestarian lingkungan

dan keanekaragaman hayati, serta kelestarian budaya untuk

meningkatkan citra destinasi.

4. Meningkatnya aksesibilitas dan daya dukung kawasan.

5. Meningkatnya kontribusi pariwisata bagi pelestarian tradisi dan

budaya, peningkatan kapasitas sosial dan perekonomian

masyarakat lokal secara berkeadilan.

b. Industri Pariwisata.

72

1. Terwujudnya struktur industri pariwisata yang kuat dan produk

pariwisata berdaya saing tinggi serta berkelanjutan.

2. Terwujudnya manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang

kredibel dan berdaya saing tinggi.

3. Meningkatnya kesempatan berusaha dan akses pasar terhadap

produk industri kecil dan menengah dan usaha pariwisata skala

mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal.

c. Pemasaran Pariwisata.

1. Meningkatnya citra kepariwisataan Kabupaten Badung sebagai

destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing.

2. Terciptanya komunikasi dan relasi yang baik dengan wisatawan

dan pasar-pasar utama serta semakin bertumbuhnya pasar baru

yang sedang berkembang guna meningkatkan jumlah kunjungan

wisatawan secara berkelanjutan.

d. Kelembagaan Pariwisata.

1. Meningkatnya peran organisasi kepariwisataan baik di lingkungan

pemerintah maupun swasta sebagai pilar strategis pembangunan

kepariwisataan yang berdaya saing dan berkelanjutan.

2. Terwujudnya sumberdaya manusia pariwisata di lingkungan

pemerintah yang berkemampuan tinggi dan profesional, serta di

tingkat dunia usaha dan masyarakat yang kompeten dan

mempunyai kemampuan kewirausahaan.

3. Terwujudnya tata kelola kepariwisataan yang baik dan bertanggung

jawab, mencakup aspek perencanaan, koordinasi, implementasi,

dan pengendalian.

4. Terbangunnya jejaring kerja (networking) dan kerjasama yang

harmonis antarpemangku kepentingan dalam rangka

meningkatkan kualitas pengelolaan pariwisata.

Selain tujuan pembangunan kepariwisataan daerah seperti tersebut

diatas, landasan sosiologis pengaturan Rencana Induk Pengembangan

Kepariwisataan Daerah Kabupaten Badung, dituangkan sebagai sasaran

pembangunan kepariwisataan,diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat terdiri atas:

a. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan

mancanegara.

b. Peningkatan lama tinggal.

c. Peningkatan jumlah pengeluaran wisatawan.

d. Penyeimbangan pengembangan kepariwisataan di wilayah Badung

Selatan dan Badung Utara melalui wisata perdesaan, agrowisata,

ekowisata dan wisata jenis lainnya yang berbasis alam perdesaan

dan pertanian.

73

4.3. Landasan Yuridis Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2011 menentukan landasan landasan yuridis merupakan pertimbangan

atau alasanyang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untukmengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosonganhukum

dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yangakan diubah, atau

yang akan dicabut guna menjamin kepastianhukum dan rasa keadilan

masyarakat. Landasan yuridismenyangkut persoalan hukum yang

berkaitan dengan substansiatau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk

PeraturanPerundang-Undangan yang baru.

Beberapa persoalan hukum itu,antara lain, peraturan yang sudah

ketinggalan, peraturan yangtidak harmonis atau tumpang tindih, jenis

peraturan yang lebihrendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya

lemah,peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atauperaturannya

memang sama sekali belum ada.

Persoalan hukum tentang Rencana Induk Pengembangan

Kepariwisataan Daerah Kabupaten Badung yang akan dibentuk, dari sisi

landasan yuridis berhubungan dengan kekosongan hukum dan

peraturannya memang sama sekali belum ada,dimana Peraturan Daerah

tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah Kabupaten

Badung yang diharapkan berfungsi sebagai rencana induk kepariwisataan,

belum terbentuk sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (3).

74

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN PERATURAN DAERAH

5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan.

Naskah Akademik ini berfungsi mengarahkanruang lingkup materi

muatan Rancangan PeraturanDaerah Kabupaten Badung tentang Rencana

Induk Pengembangan Kepariwisataan yang akan dibentuk. Sasaran yang

akan diwujudkan dalam pengaturan Rencana Induk Pengembangan

Kepariwisataan ini, terdiri atas tujuan dan sasaran pembangunan

kepariwisataan daerah Kabupaten Badung.

Adapun tujuanpembangunan kepariwisataan daerah Kabupaten

Badung yang akan diwujudkandalam pengaturan Rencana Induk

Pengembangan Kepariwisataan inimeliputi:

a. Destinasi Pariwisata.

1. Terwujudnya kawasan pantai yang bersih, indah, aman dan

nyaman sebagai basis keunggulan daya saing kepariwisataan

Badung;

2. Meningkatnya keragaman daya tarik wisata serta terwujudnya

perkembangan pariwisata secara merata sesuai daya dukung;

3. Meningkatnya kualitas higiene dan sanitasi, kelestarian lingkungan

dan keanekaragaman hayati, serta kelestarian budaya untuk

meningkatkan citra destinasi;

4. Meningkatnya aksesibilitas dan daya dukung kawasan; dan

5. Meningkatnya kontribusi pariwisata bagi pelestarian tradisi dan

budaya, peningkatan kapasitas sosial dan perekonomian

masyarakat lokal secara berkeadilan.

b. Industri Pariwisata.

1. Terwujudnya struktur industri pariwisata yang kuat dan produk

pariwisata berdaya saing tinggi serta berkelanjutan.

2. Terwujudnya manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang

kredibel dan berdaya saing tinggi.

3. Meningkatnya kesempatan berusaha dan akses pasar terhadap

produk industri kecil dan menengah dan usaha pariwisata skala

mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal.

c. Pemasaran Pariwisata.

1. Meningkatnya citra kepariwisataan Kabupaten Badung sebagai

destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing; dan

75

2. Terciptanya komunikasi dan relasi yang baik dengan wisatawan

dan pasar-pasar utama serta semakin bertumbuhnya pasar baru

yang sedang berkembang guna meningkatkan jumlah kunjungan

wisatawan secara berkelanjutan.

d. Kelembagaan Pariwisata.

1. Meningkatnya peran organisasi kepariwisataan baik di lingkungan

pemerintah maupun swasta sebagai pilar strategis pembangunan

kepariwisataan yang berdaya saing dan berkelanjutan.

2. Terwujudnya sumberdaya manusia pariwisata di lingkungan

pemerintah yang berkemampuan tinggi dan profesional, serta di

tingkat dunia usaha dan masyarakat yang kompeten dan

mempunyai kemampuan kewirausahaan.

3. Terwujudnya tata kelola kepariwisataan yang baik dan bertanggung

jawab, mencakup aspek perencanaan, koordinasi, implementasi,

dan pengendalian.

4. Terbangunnya jejaring kerja (networking) dan kerjasama yang

harmonis antarpemangku kepentingan dalam rangka

meningkatkan kualitas pengelolaan pariwisata.

Sedangkan sasaran pembangunan kepariwisataan daerah, yang akan

diwujudkandalam dalam pengaturan Rencana Induk Pengembangan

Kepariwisataan ini meliputi:

a. peningkatan jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan

mancanegara.

b. peningkatan lama tinggal.

c. peningkatan jumlah pengeluaran wisatawan.

d. penyeimbangan pengembangan kepariwisataan di wilayah Badung

Selatan dan Badung Utara melalui wisata perdesaan, agrowisata,

ekowisata dan wisata jenis lainnya yang berbasis alam perdesaan dan

pertanian.

5.2. Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan Rencana Induk

Pengembangan Kepariwisataan.

Ruang lingkup materi muatan, arah dan jangkauan pengaturan

Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Kabupaten Badung

mencakup:

76

a. Ketentuan umum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011,Lampiran II

menentukan ketentuan umum tersebut sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian

istilah, dan frasa.

2. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan

Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab,

ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal.

3. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.

4. Ketentuan umum berisi:

a. batasan pengertian atau definisi.

b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam

batasanpengertian atau definisi.

c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau

beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang

mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan

tersendiri dalam pasal atau bab.

5. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi,

singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing

uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan

huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.

6. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah

kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal

atau beberapa pasal selanjutnya.

7. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan

dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang

akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan

rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah

berlaku tersebut.

8. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang

undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan

Perundangundangan yang lain karena disesuaikan dengan

kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.

9. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata

atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian

atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.

10. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di

dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka

rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan

pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau

77

definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang

dilaksanakan tersebut.

11. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim

berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka

batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak

perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan

lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.

12. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan

atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis

dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur,

penjelasan maupun dalam lampiran.

13. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum

mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan

lebih dahulu dari yang berlingkup khusus.

b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang

diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu.

c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya

diletakkan berdekatan secara berurutan.

Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan diatas, maka

ketentuan umum yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pengembangan

Kepariwisataan Daerah ini, antara lain:

1. Daerah adalah Kabupaten Badung.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Badung.

3. Bupati adalah Bupati Badung.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD

adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung.

5. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015-

2030, yang selanjutnya disingkat RIPPARDA Tahun 2015-2030

adalah pedoman utama bagi perencanaan, pengelolaan, dan

pengendalian pembangunan kepariwisataan di tingkat kabupaten

yang berisi prinsip, visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, strategi,

dan program yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan

dalam pembangunan kepariwisataan.

6. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk

tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan

daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

78

7. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung

berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,

pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.

8. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul

sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi

antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan,

pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.

9. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.

10. Destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam

satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya

tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta

masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya

kepariwisataan.

11. Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling

terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi

pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan

pariwisata.

12. Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau

jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan

pariwisata.

13. Fasilitas penunjang pariwisata adalah produk dan pelayanan yang

dibutuhkan untuk menunjang terpenuhinya kebutuhan berwisata

wisatawan.

14. Pemasaran pariwisata adalah serangkaian proses untuk

menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan produk wisata,

dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk mengembangkan

kepariwisataan dan seluruh pemangku kepentingannya.

15. Kelembagaan kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta

jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi

Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber

daya manusia, regulasi, dan mekanisme operasional yang secara

berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke arah

pencapaian tujuan di bidang kepariwisataan.

16. Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,

keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam,

79

budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan

kunjungan wisatawan.

17. Kawasan daya tarik wisata (KDTW) adalah kawasan yang berada di

luar Kawasan Pariwisata yang memiliki lebih dari satu daya tarik

wisata.

18. Kawasan pariwisata (KP) adalah adalah kawasan strategis pariwisata

yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah administrasi

desa/kelurahan yang di dalamnya terdapat potensi daya tarik wisata,

aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas

pariwisata serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling

mendukung dalam perwujudan kepariwisataan.

19. Kawasan strategis pariwisata (KSP) adalah adalah kawasan yang

memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk

pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam

satu atau lebihaspek,seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan

budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan

hidup, serta pertahanan dan keamanan.

20. Kawasan pengembangan pariwisata (KPP) adalah suatu ruang

pariwisata yang mencakup luasan area tertentu sebagai suatu

kawasan dengan komponen kepariwisataannya, serta memiliki

karakter atau tema produk wisata tertentu yang dominan dan

melekat kuat sebagai komponen pencitraan kawasan tersebut.

21. Berwawasan lingkungan adalah konsep pembangunan berkelanjutan

yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya

manusia dengan cara menyelaraskan aktivitas manusia dengan

kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.

22. Berbasis masyarakat adalah konsep pengembangan dengan

melibatkan masyarakat Daerah dan dapat dipertanggungjawabkan

dari aspek sosial dan lingkungan hidup.

23. Pariwisata perdesaan adalah suatu kegiatan pariwisata di wilayah

perdesaan yang menawarkan daya tarik wisata berupa suasana

perdesaan, baik kehidupan sosial, ekonomi, adat-istiadat, arsitektur

bangunan, maupun struktur tata ruang desa yang unik dan menarik.

24. Agrowisata adalah suatu kegiatan pariwisata yang memanfaatkan

usaha pertanian dan segala aktivitas terkait sebagai daya tarik wisata

untuk tujuan rekreasi dan edukasi, serta memberikan nilai tambah

bagi usaha pertanian tersebut.

80

25. Ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan

kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk

perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan

dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran,

berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap

pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan

lindung, kawasan terbuka, kawasan alam, serta kawasan budaya.

26. Wisata edukasi adalah kegiatan wisata yang menawarkan

pengalaman pembelajaran langsung terkait daya tarik wisata yang

dikunjungi, bermuatan pendidikan dan pengetahuan.

27. Zonafikasi adalah pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi

beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan.

b.Materi Pokok Yang Diatur.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II

menentukan materi pokok yang akan diaturdisusun dengan

berpedomanpada kriteria sebagai berikut:

1. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab

ketentuanumum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi

pokok yangdiatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal

ketentuan umum.

2. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih

kecildilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.

3. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,

sepertipembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

4. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam

hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama,

tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.

5. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung,

Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.

Berdasarkan pada pedoman kriteria diatas, materi pokok yang diatur

dalam Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah Kabupaten

Badung meliputi :

No Bab Tentang Pasal

1 I Ketentuan Umum 1

2 II Kedudukan, Ruang Lingkup, DanJangka Waktu Perencanaan

2- 5

3 III Prinsip, Visi dan Misi 6 – 8

81

4 IV Tujuan, Sasaran dan Kebijakan 9 - 11

5 V Strategi Pembangunan Kepariwisataan 12 – 16

6 VI Rencana Pengembangan Perwilayahan Pariwisata 17 –40

7 VII Rencana Program Pembangunan Pariwisata 41 – 44

8 VIII Indikasi Program Pembangunan Kepariwisataan Daerah

45

9 IX Pengawasan dan Pengendalian 46

10 X Ketentuan Penutup 47-48

c. Ketentuan Sanksi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran

II khususnya berkaitan dengan pengaturan sanksi pidana menentukan jika

diperlukan. Hal ini berarti pengaturan sanksi pidana dalam Peraturan

Daerah tidak bersifat mutlak, tergantung dari kebutuhan. Dalam Peraturan

Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk Pengembangan

Kepariwisataan Daerah yang akan dibentuk tidak memerlukan pengaturan

tentang sanksi pidana.

d. Ketentuan Peralihan.

Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakanhukum

atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkanPeraturan Perundang-

undangan yang lama terhadap PeraturanPerundang-undangan yang baru,

yang bertujuan untuk:

1. menghindari terjadinya kekosongan hukum.

2. menjamin kepastian hukum.

3. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak

perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

4. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Berdasarkan kajian pada landasan yuridis,ditemukan bahwa belum

ada pengaturan berupa Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang

Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah. Dengan tidak

adanya peraturan daerah tentang Rencana Induk Pengembangan

Kepariwisataan, maka tidak ada kajian berupa penyesuaian pengaturan

tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan

Peraturan Daerah lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang

baru. Dengan demikian, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung

tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah ini tidak

mengatur tentang Ketentuan Peralihan.

82

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang telah di lakukan, dapat ditarik kesimpulan;

a. Bahwa Kabupaten Badung belum mempunyai Peraturan Daerah

tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah.

b. Berdasarkan keseluruhan pengkajian secara normatif dan praktek

empiris, maka perlu disusun PeraturanDaerah tentang Rencana

Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah.

c. Dasar kewenangan daerah untuk membentuk Peraturan Daerah

diatur dalam Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur Untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,

Daerah membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD

dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Peraturan Daerah

tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah

juga ditentukan secara tegas dalamPasal 8 ayat (1) danPasal 9 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

6.2. Saran

a. Menyiapkan segera Peraturan Bupati sebagai bentuk pendelegasian

kewenangan mengatur.

b. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat

dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk

Pengembangan Kepariwisataan Daerah,sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam

Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Pasal partisipasi masyarakat dalam bentuk :

a. konsultasi publik;

b. musyawarah;

c. kemitraan;

d. penyampaian aspirasi;

e. pengawasan; dan/atau

f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

83

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. http. Retrieved December 15, 2013, from

www.ret.gov.au/tourism /decuments/tourism industri development_ best_practice_destination _manag ement-planning_framework.

Bernard Arief Sidharta, “Penelitian hukum normative” analisis

penelitian philosophical dan dogmatical”, dalam Soelistyowati Irianto dan Sidharta, eds., 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

C.F.G Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2, Alumni, Bandung.

Damanik, J., & Teguh, F. 2012. Manajemen Destinasi Pariwisata: Sebuah Pengantar Ringkas. Yogyakarta: Kepel Press.

Edgell, D. L., Allen, M. D., Smith, G., & Swanson, J. R. 2008. Tourism

Policy and Planning: Yesterday, Today and Tomorrow. Great Britain: Elsevier

Inc. Edgell, S. L. 2006. Managing Sustainable Tourism: A Legacy for the

Future. Binghamton, NY: The Haworth Hospitality Press.

European Communities, 2003. A Manual for Evaluating the Quality Performance of Tourist Destinations and Services. Enterprise DG

Publication, Luxembourg.

Kim, D. K., & Lee, T. H. 2004. Public and Private Partnership for Facilitating Tourism Investment in the APEC Member Economies. Seoul: Korea

Asia-Pacific Economic Coorporation. Osmanovic, J., Kenjic, V., & Zrnic, R. 2010. Destination Management:

Concensus for Competitiveness. Tourism & Hospitality Management Organisation Conference Proceedings.

Peter Mahmud Marzuki;2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama

Offset.

LAMPIRAN

1. KONSEP AWAL RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA (RIPPDA) KABUPATEN BADUNG.