Laporan Penelitian 2014 3

309
Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia 1 Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan pembangunan di Indonesia pada hakekatnya bertujuan untuk mencapai suatu wujud masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera, maju, berdaya saing, berkeadilan, damai dan demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut harus didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin (Bappenas, 2006). Berdasarkan tujuan ini maka hasil akhir dari pembangunan nasional pada satu sisi harus dinikmati oleh masyarakat yakni masyarakat harus lebih baik hidupnya dan lebih sejahtera, dan pada sisi lain pembangunan harus menciptakan manusia pelaku atau subyek pembangunan yang mandiri dan tangguh. Apakah pembangunan yang telah berlangsung mampu menghasilkan manusia yang tangguh atau belum, namun dalam keberlanjutan proses pembangunan hingga saat ini, kebutuhan akan manusia tangguh baik kualitas maupun kuantitasnya itu tetap mendesak dan utama di dalam proses pembangunan itu sendiri. Melihat fakta, Wurdjinem (2001) mengatakan bahwa pembangunan nasional umumnya dan pembangunan ekonomi khususnya mengalami perkembangan dan kemajuan yang cukup menggembirakan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya pendapatan perkapita penduduk yang pada awal pembangunan sekitar US $ 100 menjadi sekitar US $ 530 pada tahun 1989, dan pada tahun 1993 menjadi US $ 700 kemudian mengalami kenaikan pada tahun 1996 menjadi US $ 884. Peningkatan pendapatan per kapital ini terus berlanjut yakni pada tahun 2005 mencapai US $ 1.256, tahun 2006 US $ 1.662, tahun 2007 US $ 1.947 dan tahun 2008 US $ 2.250 (angka sementara). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan dikatakan dapat mencapai keberhasilan. Namun jika dilihat, keberhasilan pembangunan di atas barulah bersifat makro. Dari sisi pemerataan dan perimbangan hasil-hasil pembangunan, masih terdapat ketimpangan-ketimpangan pada sektoral dan regional. Akibat ini muncul dari penerapan model pembangunan seperti model kota-desa yang pada dasarnya lebih menitikberatkan pada sektor industri dan investasi dalam skala besar. Hasilnya, kota dijadikan sebagai pusat perdagangan, pusat ekonomi, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat sosial

description

Laporan Hasil Kajian Kementerian Koperasi dan UKM RI guna pengembangan UKM sebagai sektor strategis di Indonesia sekaligus mendukung program NAWACITA Bapak Presiden Jokowi Dodo

Transcript of Laporan Penelitian 2014 3

  • Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia

    1

    Bab 1

    Pendahuluan

    1.1. Latar Belakang

    Pelaksanaan pembangunan di Indonesia pada hakekatnya bertujuan untuk

    mencapai suatu wujud masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera, maju, berdaya saing,

    berkeadilan, damai dan demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk

    mencapai tujuan tersebut harus didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri,

    beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan,

    menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan

    berdisiplin (Bappenas, 2006). Berdasarkan tujuan ini maka hasil akhir dari pembangunan

    nasional pada satu sisi harus dinikmati oleh masyarakat yakni masyarakat harus lebih baik

    hidupnya dan lebih sejahtera, dan pada sisi lain pembangunan harus menciptakan manusia

    pelaku atau subyek pembangunan yang mandiri dan tangguh. Apakah pembangunan yang

    telah berlangsung mampu menghasilkan manusia yang tangguh atau belum, namun dalam

    keberlanjutan proses pembangunan hingga saat ini, kebutuhan akan manusia tangguh baik

    kualitas maupun kuantitasnya itu tetap mendesak dan utama di dalam proses

    pembangunan itu sendiri.

    Melihat fakta, Wurdjinem (2001) mengatakan bahwa pembangunan nasional

    umumnya dan pembangunan ekonomi khususnya mengalami perkembangan dan kemajuan

    yang cukup menggembirakan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya pendapatan perkapita

    penduduk yang pada awal pembangunan sekitar US $ 100 menjadi sekitar US $ 530 pada

    tahun 1989, dan pada tahun 1993 menjadi US $ 700 kemudian mengalami kenaikan pada

    tahun 1996 menjadi US $ 884. Peningkatan pendapatan per kapital ini terus berlanjut yakni

    pada tahun 2005 mencapai US $ 1.256, tahun 2006 US $ 1.662, tahun 2007 US $ 1.947

    dan tahun 2008 US $ 2.250 (angka sementara). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan

    dikatakan dapat mencapai keberhasilan. Namun jika dilihat, keberhasilan pembangunan di

    atas barulah bersifat makro.

    Dari sisi pemerataan dan perimbangan hasil-hasil pembangunan, masih terdapat

    ketimpangan-ketimpangan pada sektoral dan regional. Akibat ini muncul dari penerapan

    model pembangunan seperti model kota-desa yang pada dasarnya lebih menitikberatkan

    pada sektor industri dan investasi dalam skala besar. Hasilnya, kota dijadikan sebagai pusat

    perdagangan, pusat ekonomi, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat sosial

  • Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia

    2

    budaya serta memiliki fasilitas-fasilitas lebih baik dari pedesaan. Kota juga dijadikan fokus

    utama dalam penanaman modal dan investasi dimana sebagai pusat berdirinya pabrik-

    pabrik yang membuat penduduk desa tergiur untuk datang dan hidup di kota. Dalam

    perkembangannya kota akan dipadati kaum urban dari pedesaan untuk mencari peluang

    kerja tanpa berbekal keterampilan dan keahlian serta mempunyai tingkat pendidikan yang

    relatif rendah. Semua akibat ini muncul dari suatu konsep pembangunan yang bias urban

    dan mengabaikan kaum tertinggal di pedesaan. Dampak lanjutannya adalah kini muncul

    masalah diperkotaan seperti yang disebut dengan pemulungan dan kemiskinan.

    Suatu fenomena yang juga muncul di wilayah perkotaan adalah kaum migran di

    kota umumnya menginginkan peluang kerja di sektor formal. Sementara peluang kerja

    formal yang tersedia di kota masih terbatas, sehingga ini menimbulkan permasalahan

    keterbatasan penampungan tenaga kerja atau pengangguran. Pengangguran kini terus

    bertambah dan oleh karena itu harus dicarikan alternatif pemecahannya yaitu melalui

    peluang kerja di sektor informal. Data BPS (2007) menunjukkan total angkatan kerja

    109.941.359 orang dengan perincian di sektor formal 104.796.103 orang dan di sektor

    informal 5.145.256 orang. Tahun 2008, menurut data sementara BPS, angkatan kerja

    mencapai 111.477.447 orang, pada sektor formal 106.260.302 orang dan sektor informal

    sebanyak 5.217.144 orang. Jumlah pekerja yang masuk ke sektor informal diperkirakkan

    kemungkinan terus bertambah melihat lapangan kerja di sektor formal yang masih terbatas.

    Menurut Manning dan Tadjudin (1996) faktor lain yang menjadi daya tarik orang

    bekerja di sektor informal antara lain : (a) sektor ini pada umumnya merupakan pekerjaan

    yang tidak mengikat, dan merupakan bidang kerja yang sangat mudah dimasuki tanpa

    memenuhi persyaratan seperti syarat akademik. Sektor informal yang merupakan usaha

    mandiri di antaranya adalah pedagang kaki lima, pengemudi becak, porter, pemulung dan

    sebagainya. Pemulung menurut Yakob Rebong dan Yoto Widodo (1996), adalah bentuk

    aktivitas dalam pengumpulan bahan-bahan bekas yang masih bisa dimanfaatkan (didaur

    ulang). Aktivitas tersebut terbagi kedalam 3 klasifikasi di antaranya agen, pengepul dan

    pemulung.

    Pemulungan atau pengumpulan bahan-bahan bekas (limbah) yang masih bisa

    dimanfaatkan merupakan kegiatan usaha yang relatif sulit untuk diidentifikasi atau

    dikelompokkan sebagai kegiatan ekonomi karena usaha ini kelihatannya sangat sederhana.

    Jika diteliti lebih jauh ternyata kegiatan tersebut tidak berbeda dengan kegiatan eksploitasi

    sumberdaya alam renewable lainnya seperti nelayan, petani garam dan lain-lain yang

    menghasilkan produk bernilai ekonomi. Kegiatan mengumpulkan bahan-bahan bekas

  • Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia

    3

    diantaranya kertas, kardus, besi, plastik dan lain-lain, kemudian dijual kepada para lapak.

    Bahan-bahan yang dikumpulkan selanjutnya didaur ulang menjadi barang-barang yang

    dapat dimanfaatkan manusia dan benilai ekonomis. Dalam kegiatan tersebut pemulung

    bahkan mampu menghasilkan nilai tambah yang relatif tinggi karena biaya produksi yang

    diperlukan mereka sangat rendah bahkan mendekati nol. Demikian juga peralatan yang

    digunakan sangat sederhana sehingga nilainya sebagai aset produksi juga sangat rendah

    sehingga hampir tidak dapat diperhitungkan.

    Pada dasarnya pengembangan terhadap sebuah usaha atau kegiatan ekonomi

    sehingga dapat mencapai tingkat keberhasilan tertentu, secara internal membutuhkan

    kemampuan baik teknis maupun finansial dari pelakunya. Pelaku usaha dituntut memiliki

    kemampuan secara teknis yaitu keahlian dalam mengelola usaha, menggunakan dan

    mengembangkan teknik produksi (teknologi) yang lebih baik sehingga mampu mencapai

    produksi yang lebih tinggi, serta memiliki kemampuan mendanai usahanya. Pada kegiatan

    ekonomi dan usaha bisnis yang sudah maju, kemampuan di atas telah terbentuk meskipun

    dalam tingkatan beragam menurut karakteristik, tingkat atau skala usaha tertentu

    bersangkutan.

    Meskipun telah maju, kegiatan ekonomi atau usaha bisnis dimaksud seringkali masih

    membutuhkan dukungan dan bantuan pihak luar (eksternal) sehingga lebih maju dan

    berhasil. Bantuan secara eksternal dapat berupa pendanaan (dalam bentuk berbagai

    bantuan dan kredit), pembinaan untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia

    pelaku usaha berupa pelatihan dan kursus keterampilan, bantuan pengembangan teknologi,

    kerjasama untuk mencapai pasar serta berbagai bantuan lainnya. Sering kali berbagai

    bantuan di atas dikemas dalam paket-paket program pemberdayaan yang bertujuan

    meningkatkan kemampuan pelaku dan produktivitas usaha yang dijalankan sehingga

    menghasilkan output dan pengembalian yang lebih tinggi.

    Pada kelompok masyarakat pemulung yang kegiatan usahanya sangat rendah

    tingkatannya, kemampuan internal yang melekat pada pelaku usaha (pemulung) pada

    dasarnya belum terbentuk. Dalam lingkungan usaha seperti ini, peningkatan kemampuan

    pengelolaan usaha sangat utama harus mengalir dari pihak luar dalam berbagai bentuk

    pembinaan dan pemberdayaan. Suatu kondisi keterbatasan yang turut mengikat kemajuan

    usaha di kalangan pemulung adalah kehidupan keluarga dengan tingkatan sosial dan

    ekonomi yang sangat rendah. Kondisi ini membentuk perilaku pemulung yang dapat saja

    menjadi kendala ketika mereka dihadapkan dengan kondisi-kondisi dinamis yaitu aspek-

    aspek kelayakan yang dibutuhkan pada sebuah usaha yang maju. Dalam situasi seperti ini

  • Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia

    4

    peranan pihak dan atau lembaga pemberdayaan kepada masyarakat baik dari lembaga

    pemerintah maupun swasta menjadi sentral.

    Sekarang ini di jumlah TPA di Indonesia sebanyak 352 unit dengan jumlah

    pemulung diperkirakan mencapai 1.256.804 orang. Umumnya pemulung terkonsentrasi

    pada beberapa kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya,

    Makasar dan Manado. Besarnya jumlah pemulung telah menimbulkan permasalahan baik

    dikalangan mereka sendiri maupun lingkungannya. Untuk mengatasi dampak dari

    keberadaan mereka terhadap lingkungan dan memberdayakan mereka sebagai bagian dari

    warga masyarakat, Pemerintah Daerah dan LSM pada beberapa daerah seperti di Jakarta,

    Bandung dan Manado telah melaksanakan berbagai bentuk pendidikan, pelatihan dan

    penyuluhan yang diarahkan agar usaha pemulung menjadi kegiatan ekonomi produktif yang

    akan dapat mengangkat harkat hidup mereka dan berdampak positif bagi lingkungannya.

    Namun demikian usaha tersebut belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik karena

    banyaknya permasalahan yang bersifat struktural terkait dengan karakter, produktifitas dan

    legalitas usaha ini.

    1.2. Perumusan Masalah

    Konsep pembangunan telah meletakkan manusia di posisi sentral sebagai subyek

    yang menggerakkan pembangunan itu sendiri. Manusia subyek pembangunan itu harus

    tangguh dan mandiri dalam menjalankan proses pembangunan. Di sisi lain hasil-hasil

    pembangunan yang dicapai juga harus mensejahterakan rakyat banyak. Akan tetapi

    disadari bahwa pembangunan telah menyisahkan banyak ketimpangan sebagai akibat

    pelaksanaan konsepsi pembangunan "bias urban". Ketimpangan memunculkan masalah

    ketidaktersediaan lapangan kerja yang mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan.

    Kepadatan penduduk di perkotaan sering tinggi dimana kepadatan terjadi sebagai akibat

    migrasi masyarakat mencari lapangan pekerjaan dan peluang yang lebih baik di kota.

    Secara spesifik, masalah "pemulungan" yang kini muncul diperkotaan dan menimbulkan

    masalah sosial dan juga keamanan adalah sebagai salah satu akibat ketimpangan

    pembangunan di atas. Masalah pemulungan kemudian meluas dan identik dengan masalah

    kemiskinan, masalah kelompok masyarakat marjinal, masalah kebersihan lingkungan, dan

    upaya-upaya penciptaan lapangan kerja dan lapangan usaha di kalangan kaum miskin.

    Fakta, "pemulungan" telah terjadi, tetapi bagaimana pemecahannya?

    Tujuan pembangunan yang memiliki landasan idiil dan konstitusional telah

    menetapkan suatu dasar bahwa masyarakat harus disejahterakan. Oleh karena itu

  • Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia

    5

    pemulung adalah bagian dari masyarakat yang memiliki hak hidup dan turut menikmati

    hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Konsepsi pembangunan juga meletakkan manusia

    Indonesia sebagai subyek pembangunan yang harus diperankan secara utama di dalam

    proses pembangunan. Berdasarkan konsep ini, kaum pemulung yang sesuai fakta adalah

    "kelompok tanpa kemampuan sumberdaya" atau "marjinal" harus diperankan di dalam

    proses pembangunan. Untuk memberikan peran, kaum pemulung harus diberdayakan,

    dibina dan dilatih sesuai bidang penghidupannya sehingga mereka bangkit, mampu dan

    mandiri untuk berperan di dalam pembangunan itu.

    Landasan hukum UUD 1945 pasal 27 menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak

    atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dasar hukum ini dapat

    digunakan sebagai dasar bahwa kaum pemulung adalah juga warga negara yang memiliki

    harkat dan martabat yang sama di hadapan setiap warga Negara lainnya. Olah kerana itu

    mereka memiliki hak untuk hidup dan mendapat pekerjaan yang layak atau dipekerjakan

    dengan layak bagi penghidupannya.

    Sebagai kelompok marjinal, pemulung dianggap sebagai golongan sosial rendah yang

    sering terisolasi dari pergaulan dan interaksi sosial masyakat. Mereka sering terpinggirkan

    dan terlepas dari perhatian kelompok masyarakat yang maju. Di dalam konsep psikologi

    sosial, manusia adalah individu yang memiliki jiwa, cita-cita dan harapan, memiliki ide-ide,

    ingin mencapai sesuatu yang baik. Manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup

    berdampingan, saling tolong menolong dan membutuhkan satu sama lainnya serta

    berinteraksi dengan lingkungan (Dwi Susilo, 2008). Konsepsi ini menunjukkan kaum

    pemulung adalah juga individu manusia yang memiliki jiwa, cita-cita dan harapan, memiliki

    ide-ide untuk mencapai hidup yang lebih baik. Karena itu kaum pemulung harus dirangkul

    dan diberikan tempat di dalam interaksi sosial, dipahami jiwa, ide dan cita-citanya, dibantu,

    dan diperankan dalam lingkungan masyarakat. Terhadap lingkungan, kehadiran pemulung

    disebut sebagai pahlawan kebersihan.

    Dari aspek ekonomi, pemulung adalah sumberdaya yang harus dianfaatkan. Mereka

    adalah tenaga-tenaga produktif dan mampu menghasilkan produksi dan nilai tambah bagi

    perekonomian. Oleh karena itu adalah tidak baik jika tenaga-tenaga produktif tersebut

    dibiarkan menganggur dan menjadi beban pembangunan. Karena sebagai faktor produksi

    yang memiliki ciri berbeda dengan faktor produksi lainnya, tenaga kerja pemulung adalah

    sumberdaya yang jika diabaikan penggunaannya atau menganggur, akan menimbulkan

    masalah-masalah sosial dan masalah lainnya.

    Secara teknis di dalam aktivitas pemulung, usaha pemulungan merupakan usaha

  • Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia

    6

    yang sangat sederhana sehingga memungkinkan kelompok yang paling marjinal dalam

    masyarakat (para gelandangan) sekalipun masih dapat memasuki kegiatan usaha tersebut.

    Usaha pemulungan tersebut terbagi kedalam 3 klasifikasi diantaranya agen, pengepul

    (lapak) dan pemulung. Sesuai dengan karakter usaha dan pelaku usahanya, para pemulung

    sama sekali tidak memiliki bargaining untuk berhadapan dengan mitra usahanya yaitu para

    lapak yang umumnya bertindak sebagai patron. Akibatnya, muncul suatu pola hubungan

    kerja di antara mereka yang disebut Patron-Client Leadership. Pola ini telah menjadi salah

    satu ciri khas dalam lapangan usaha tersebut.

    Dalam kondisi pola hubungan patron-client ini pemulung harus menerima kenyataan

    bahwa mereka hanyalah kelompok yang lemah yang hanya difungsikan sebagai penerima

    harga (price taker). Sedangkan pemilik lapak akan bertindak sebagai price maker. Sesuai

    konsepsi ekonomi, posisi pelaku price maker lebih kuat. Mereka akan mengambil

    keputusan-keputusan yang menguntungkan dirinya dan memaksimumkan keuntungan

    bisnisnya. Keputusan-keputusan yang diambil dapat sepihak tanpa mempertimbangkan

    keadaan pelaku yang dikuasainya. Di lain pihak, pemulung sebagai price taker hanya

    pengikut di dalam pasar dan secara individu mereka tidak mampu dan tidak memiliki

    bargaining dalam menentukan harga maupun keputusan-keputusan dasar di pasar yang

    bisa membuka peluang keuntungan bagi mereka. Dalam kondisi seperti ini cukup kuat

    diduga bahwa para pemulung tidak akan mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya,

    karena sebagian besar nilai tambah dari kegiatan usaha mereka akan menjadi bagian dari

    keuntungan para pemilik modal.

    Pola hubungan pemulung dan lapak yang Patron-Client Leadership ini makin tumbuh

    menjadi mapan. Kemapanan pola hubungan ini sebenarnya terjadi dipengaruhi oleh dua

    faktor utama yaitu: (1) kondisi dan potensi pemulung yang sangat marjinal yaitu tidak

    memiliki keahlian, tidak memiliki modal bahkan tidak memiliki tempat tinggal serta; (2)

    penguasaan pasar dan teknologi produksi oleh para pemilik lapak. Jika kondisi ini terus

    terjadi, para pemulung akan selamanya menjadi kelompok masyarakat yang tetap miskin,

    terpinggirkan dan termajinalkan. Keadaan ini tentu dari berbagai sisi pandang seperti yang

    dikemukakan di atas tidak relevan. Karena itu bagaimana memberdayakan kelompok ini

    agar keluar dari kondisi mereka sekarang ? Model pengembangan usaha pemulungan

    seperti apakah yang dapat mengubah pola usaha yang ada sehingga mereka dapat bekerja

    layaknya manusia yang memiliki harkat dan martabat ?

    Disisi lain ada kebijakan baru tentang persampahan melalui Undang-undang

    Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan dengan paradigma baru

  • Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia

    7

    produsen sampah (rumah tangga, industri, pasar, dll) ikut bertanggung jawab untuk

    memilah sampah menjadi golongan sampah organik, anorganik dan bahan limbah

    berbahaya (B3). Sementara TPA kelak hanya menerima residu sampah (sisa sampah yang

    tidak dapat diolah lagi), karena itu sampah terlebih dahulu harus diolah kembali sesuai azas

    3R (Reuse, Reduce, Recycle) oleh badan usaha. Dengan demikian ke depan pola aktivitas

    pemulung akan berkurang.

    Adanya permasalahan-permasalahan mendasar dalam kelompok pemulung sebagai

    kelompok masyarakat yang paling marjinal, menuntut adanya model pembangunan yang

    spesifik dari kelompok tersebut. Model pembangunan spesifik dimaksud diharapkan dapat

    menginternalisasi berbagai kendala eksternal yang selama ini menghambat pembangunan

    kelompok, yang kemudian akan menjadi cikal bakal pembangunan koperasi. Terdapat

    begitu banyak faktor-faktor yang perlu dianalisis dalam proses penyusunan format model

    tersebut, maka diperlukan adanya suatu kajian yang komprehensif dengan memperhatikan

    semua potensi, peluang, masalah dan kendala pemberdayaan kelompok marjinal tersebut.

    Secara umum, model tersebut mengemukakan pemberdayaan pemulung dalam

    mengembangkan koperasi sehingga turut memperoleh nilai tambah dari daur ulang serta

    mampu menyediakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan luar sekolah.

    1.3. Tujuan dan Manfaat

    Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka tujuan dan

    manfaat dari kajian ini adalah sebagai berikut :

    1.3.1. Tujuan Kegiatan

    Merumuskan model pengembangan pemulung baik dari aspek usaha maupun

    aspek kelembagaan yang memungkinkan pemulung meningkatkan akses

    terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan serta pendidikan, sehingga

    dapat meningkatkan potensi ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.

    1.3.2. Manfaat Kegiatan

    Sebagai bahan acuan pemberdayaan pemulung yang dapat dimanfaatkan oleh

    Pemerintah serta stakeholder lainnya.

  • Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia

    8

    1.4. Ruang Lingkup

    1.4.1. Lingkup Kegiatan

    Mengumpulkan dan mengklasifikasikan data dan informasi yang berkaitan dengan:

    1. Analisis usaha pemulung dan usaha daur ulang.

    2. Rumusan model spesifik pengembangan pemulung.

    3. Identifikasi potensi usaha pemulung.

    4. Identifikasi sebaran pemulung.

    5. Identifikasi potensi dan karakteristik pemulung.

    6. Identifikasi peraturan perundang-undangan.

    7. Identifikasi potensi dan pengembangan wilayah.

    8. Identifikasi teknologi yang dapat diterapkan dalam daur ulang.

    9. Simulasi kelompok.

    10. Rumusan pola pengembangan pemulung dari aspek usaha dan kelembagaan.

    1.4.2. Lingkup Lokasi

    Kajian ini memiliki lingkup lokasi nasional dengan mengambil beberapa sample di 5

    (lima) propinsi yaitu DKI Jakarta (TPA Bantar Gebang), Jawa Barat (Sarimukti), Jawa

    Tengah (Jatibarang), Banten (Rawa Kucing) dan Sumatera Utara (Terjun dan Namo

    Bintang).

    1.5. Kerangka Pikir

    Hakikat pembangunan nasional telah menetapkan bahwa pembangunan nasional

    diarahkan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur di mana dihasilkan masyarakat

    Indonesia yang mampu, kuat, memiliki kapasitas sumberdaya manusia lebih tinggi,

    menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja tinggi, berdisiplin, sehat,

    mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, dan berkesadaran hukum dan

    lingkungan. Manusia Indonesia sebagai hasil pembangunan yang berciri-ciri seperti di atas

    disebut sebagai manusia Indonesia ideal. Manusia Indonesia ideal tersebut dilindungi

    hukum dan didorong untuk berpartisipasi maksimal dalam pembangunan nasional.

    Pemulung adalah warga negara dimana sesuai hahikat pembangunan mereka harus

    menjadi manusia Indonesia ideal. Karena itu pemulung harus diikutsertakan di dalam

    pembangunan sehingga proses pembangunan yang berlangsung dapat mendewasakan dan

    menciptakan mereka sebagai manusia ideal. Lebih dari itu, pemulung ideal akan mampu

  • Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung 2014 I Bagian Pengkajian dan Pengembangan Kemenkop UKM Republik Indonesia

    9

    memberikan kontribusi positif dalam pembangunan pada umumnya dan khususnya pada

    bidang/sektor ekonomi yang dimasukinya.

    Fakta manunjukkan bahwa pemulung adalah para pekerja yang pekerjaannya

    mengumpulkan barang-barang bekas yang masih dapat dimanfaatkan (didaur ulang).

    Pemulung dikatagorikan sebagai kelompok masyarakat yang majinal, miskin, golongan

    ekonomi lemah, bagian dari masyarakat penganggur, dan tidak memiliki kemampuan dan

    kontribusi dalam pembangunan. Dalam keadaan seperti ini, untuk menciptakan mereka

    sebagai manusia Indonesia ideal yang kemudian dapat berpartisipasi dalam pembangunan,

    maka pemulung perlu diberdayakan. Pemberdayaan terhadap pemulung meliputi

    pemberdayaan sumberdaya manusianya, dan pemberian kesempatan kepada mereka untuk

    melakukan usaha-usaha produktif sesuai bidang pekerjaan yang digeluti.

    Untuk dapat melakukan pemberdayaan tersebut, diperlukan suatu potret kondisi

    eksisting pemulung yang sebenarnya. Kehidupan pemulung adalah sebuah kehidupan yang

    kompleks, penuh dengan persoalan baik dilihat dari sisi individu atau pribadi seseorang

    maupun secara bermasyarakat, pada satu sisi dapat diterima masyarakat dan pada sisi lain

    ditolak, kehidupan yang diliputi eksploitasi dan persaingan tetapi menghasilkan nilai tambah

    ekonomi, kehidupan yang dicekam stress dan beban, dan kehidupan yang keras dan

    berlatar-belakang sosial budaya yang berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah

    lainnya.

    Berdasarkan kompleksitas kehidupan pemulung tersebut maka pemotretan kondisi

    eksisting dalam kajian ini mencakup : kondisi fisik pemulung, kesehatan fisik dan mental,

    pendidikan, aktivitas keseharian, kondisi ekonomi dan usaha, kondisi psikologis dan sosial

    kelembagaan, kondisi hukum, kebijakan-kebijakan yang terkait, kondisi fisik TPA dan

    kelembagaannya serta berbagai aspek lain yang terkait dengannya. Kondisi-kondisi ini

    secara luas perlu dijabarkan untuk menjelaskan secara mendalam apa yang dialami

    masyarakat pemulung saat ini dan aspek atau faktor potensi dan kedala apa saja yang

    dapat dijadikan dasar dalam rangka merumuskan model pemberdayaan yang layak bagi

    mereka. Dalam kajian ini yang dimaksud dengan model pemberdayaan pemulung adalah

    pola-pola pemberdayaan pemulung yang dilihat dari aspek ekonomi, hukum, sosial/

    kelembagaan, psikologi, dan teknologi.

    Setelah ditemukan kondisi eksisting maka langkah selanjutnya dilakukan analisis dan

    assessment terhadap pemulung di masing-masing TPA sesuai aspek-aspek tersebut di atas,

    untuk menentukan pola pemberdayaan dan langkah-langkah pemberdayaan SDM, yang

    mencakup pembinaan dan peningkatan kualitas SDM, pendidikan, kesehatan dan pencitraan

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    pemulung serta aspek-aspek lainnya. Juga pola pemberdayaan dan langkah-langkah

    pengembangan di atas mencakup pemilihan jenis-jenis usaha yang layak dilakukan oleh

    pemulung dimana pada hakekatnya kesemuanya itu ditujukan untuk mencapai Manusia

    Pemulung Indonesia yang disebut ideal. Konsep berpikir seperti yang diuraikan di atas

    secara jelas dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut.

    Gambar 1.1. Kerangka Pikir Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung

    Existing Condition

    10

    PEMULUNG IDEAL

    Sebagai warga : Hidup layak

    Memiliki Bargaining position Mandiri/tangguh Mampu melakukan aktivitas usaha

    Identifikasi :

    Data demografis (deskripsi umum):

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    11

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    12

    Bab 2

    Deskripsi Umum

    2.1. Hakekat dan Makna Pembangunan dan Implikasi terhadap

    Pemulung

    Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

    berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara

    untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam

    Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan pembangunan nasional tersebut antara

    lain melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

    kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan

    ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi, dan keadilan sosial

    (Propenas 2004 - 2009).

    Sebagai penjiwaan dalam pelaksanaan pembangunan dimaksud, keseluruhan

    semangat, arah, dan gerak pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan semua sila

    Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan utuh, yang meliputi :

    1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mencakup tanggung jawab bersama dari semua

    golongan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk secara

    terus-menerus dan bersama-sama meletakkan landasan spiritual, moral, dan etika

    yang kokoh bagi pembangunan nasional.

    2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mencakup peningkatan martabat serta

    hak dan kewajiban asasi warga negara serta penghapusan penjajahan,

    kesengsaraan, dan ketidakadilan dari muka bumi.

    3. Sila Persatuan Indonesia, mencakup peningkatan pembinaan bangsa di semua

    bidang kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara sehingga rasa

    kesetiakawanan semakin kuat dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan

    bangsa.

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    13

    4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

    Permusyawaratan/Perwakilan, mencakup upaya makin menumbuhkan dan

    mengembangkan sistem politik Demokrasi Pancasila yang makin mampu

    memelihara stabilitas nasional yang dinamis, mengembangkan kesadaran dan

    tanggung jawab politik warga negara serta menggairahkan rakyat dalam proses

    politik.

    5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mencakup upaya

    mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yang dikaitkan dengan

    pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya

    kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sistem ekonomi

    yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

    Berdasarkan pokok pikiran di atas, maka hakikat pembangunan nasional adalah

    pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat

    Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan nasional.

    Pembangunan nasional dilaksanakan merata di seluruh tanah air dan tidak hanya untuk

    suatu golongan atau sebagian dari masyarakat, tetapi untuk seluruh masyarakat, serta

    harus benar-benar dapat dirasakan seluruh rakyat sebagai perbaikan tingkat hidup yang

    berkeadilan sosial, yang menjadi tujuan dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.

    Pembangunan nasional dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah,

    bertahap, dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka

    mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajad dengan bangsa lain yang telah maju.

    Pembangunan nasional memiliki arti pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat,

    dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi aspek politik, ekonomi,

    sosial budaya, dan pertahanan keamanan, dengan senantiasa harus merupakan

    perwujudan Wawasan Nusantara serta memperkukuh Ketahanan Nasional, yang

    diselenggarakan dengan membangun bidang-bidang pembangunan, yang diselaraskan

    dengan sasaran jangka panjang yang ingin diwujudkan. Pembangunan nasional

    merupakan pencerminan kehendak untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan

    dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan

    kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis

    berdasarkan Pancasila. Pembangunan nasional diarahkan untuk mencapai kemajuan dan

    kesejahteraan lahir batin, termasuk terpenuhinya rasa aman, rasa tenteram, dan rasa

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    14

    keadilan serta terjaminnya kebebasan mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab

    bagi seluruh rakyat. Pembangunan nasional menghendaki keselarasan hubungan antara

    manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia dan antara manusia dengan

    lingkungan alam sekitarnya.

    Pembangunan nasional dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah.

    Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk

    mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang. Kegiatan

    masyarakat dan kegiatan pemerintah saling menunjang, saling mengisi dan saling

    melengkapi dalam satu kesatuan menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional.

    Pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat terdiri dari tingkat mikro individu atau

    pribadi rakyat; tingkat agregat-nasional dimulai di tingkat kelompok masyarakat, desa-

    kelurahan, kecamatan, kabupaten-kota, propinsi sampai nasional; dan tingkat global-

    internasional mencakup pembangunan antar negara dan bangsa.

    Pada suatu negara demokrasi, pembangunan berlangsung sendiri berdasarkan

    kemauan, kebutuhan, dan kemampuan rakyat, kemudian dilakukan mandiri oleh rakyat,

    serta selanjutnya dimanfaatkan sendiri hasil dan dampaknya untuk rakyat. Dalam tahap

    dan pemahaman ini disebut: (1) secara politik: demokrasi telah berjalan; (2) secara sosial

    terjadi peranserta aktif masyarakat; (3) secara ekonomi mekanisme pasar berperan

    (market work-mechanism); (4) secara hukum proses pembangunan berjalan sesuai

    hukum dan peraturan (law and order); dan (5) secara administrasi publik pembangunan

    dikelola secara baik (good governed, terjadi good governance dan good government).

    Sementara itu pada negara yang sedang dalam masa transisi menuju negara

    demokrasi, maka pembangunan belum dapat sepenuhnya berlangsung sesuai harapan

    tersebut di atas. Pemerintah sebagai penggerak pembangunan berfungsi membantu

    rakyat untuk melaksanakan pembangunannya sendiri. Dalam hal ini pemberdayakan

    masyarakat berarti memihak, mempersiapkan dan melindungi (empowerment) rakyat.

    Berdasarkan hakikat dan makna pembangunan di atas maka sesuai tujuan kajian

    ini, beberapa aspek penting yang perlu mendapat perhatian utama dari pelaksanaan

    pembangunan adalah (1) pencapaian tujuan masyarakat adil dan makmur, (2)

    pembangunan yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, (3) seluruh masyarakat

    benar-benar menikmati tujuan pembangunan dalam wujud perbaikan tingkat hidup yang

    berkeadilan sosial, (4) pembangunan didukung oleh manusia Indonesia sebagai subjek

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    15

    pembangunan yang mampu dan berdaya, dan (5) pembangunan dilaksanakan secara

    bersama oleh masyarakat dan pemerintah dimana pemerintah berkewajiban

    mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang menunjang, sedangkan

    masyarakat terlibat secara individu dan berkelompok secara berjenjang dari tingkat desa

    hingga nasional dan global dalam pembangunan bangsa.

    Dari aspek-aspek di atas, aspek manusia sebagai subyek pembangunan

    merupakan dasar untuk menggerakan dan mendorong terciptanya tujuan pembangunan

    yang diinginkan. Dengan demikian kapasitas sumberdaya manusia yang lebih tinggi,

    mampu secara fisik dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja

    tinggi, berdisiplin, sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air,

    dan berkesadaran hukum dan lingkungan merupakan pelaku ideal yang diharapkan dalam

    pembangunan (Bappenas, 2006). Pentingnya aspek sumberdaya manusia ini sesuai

    dengan modal dasar pembangunan nasional bahwa penduduk Indonesia yang berjumlah

    besar adalah sumberdaya manusia yang potensial dan produktif bagi pembangunan

    nasional. Demikian juga modal dasar sumberdaya alam yang beraneka ragam dan dapat

    didayagunakan secara bertanggung jawab demi kemakmuran rakyat, dapat dikelola oleh

    sumberdaya manusia yang berdaya untuk tujuan pencapaian kemakmuran.

    Jika makna dan hakikat pembangunan yang dirumuskan di atas begitu ideal, maka

    keberadaan tenaga-tenaga produktif pemulung merupakan sumberdaya manusia dan

    tenagakerja produktif yang potensial untuk diberdayakan dalam bidangnya guna

    mencapai tujuan masyarakat sejahtera dengan tingkat hidup yang bebih baik.

    Pemberdayaan terhadap pemulung dilihat sebagai proses menuju pengambilan peran dari

    setiap warga negara dalam pembangunan, dan pemerintah sebagai penyelenggara

    negara mengambil fungsi yaitu membantu masyarakat golongan rendah untuk

    melaksanakan pembangunannya sendiri. Pelaksanaan pemberdayaan ini merupakan

    wujud dari fungsi memihak, mempersiapkan dan melindungi pemulung dan menciptakan

    sumberdaya mereka yang berkapasitas tangguh untuk terjun di dalam pembangunan.

    2.2. Dinamika Pembangunan di Berbagai Bidang

    2.2.1. Bidang Ekonomi

    Perkembangan Ekonomi Sebelum Krisis

    Kartasasmita (1997) menyatakan, perkembangan perekonomian nasional pada

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    16

    masa ORBA di awali dengan income per kapita penduduk yang sangat rendah hanya

    sekitar US$ 70 sehingga saat itu Indonesia termasuk salah satu negara termiskin di dunia.

    Laju pertumbuhan penduduk cukup tinggi yaitu antara 2 - 3 persen sedangkan laju

    pertumbuhan ekonomi semakin menurun. Jumlah penduduk miskin cukup besar mencapai

    70 juta orang atau 60 persen dari seluruh penduduk. Namun setelah pembangunan

    berlangsung beberapa tahun, laju pertumbuhan ekonomi mulai meningkat dan mencapai

    rata-rata 6,8 persen dengan laju pertumbuhan penduduk telah dapat ditekan rata-rata di

    bawah 2 persen per tahun, sehingga pendapatan per kapita meningkat lebih dari 11 kali

    (dinyatakan dalam US$ pada harga yang berlaku) menjadi di atas US$ 800. Sejalan

    dengan kenaikan pendapatan per kapita ini, jumlah penduduk miskin telah berkurang

    menjadi 25,9 juta orang atau 13,7 persen dari seluruh penduduk. Upaya penanggulangan

    kemiskinan ini telah dilanjutkan dan ditingkatkan antara lain dengan tambahan program

    khusus seperti IDT dan dengan program Takesra/Kukesra.

    Pada tahun 1994, laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen dan tahun

    1995 mencapai 8,1 persen. Pertumbuhan itu telah melampaui sasaran yang ditargetkan

    yaitu sebesar 7,1 persen. Dengan pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,6 persen

    per tahun dan pertumbuhan ekonomi seperti di atas, pendapatan nasional nominal per

    kapita telah mencapai US$ 920 pada tahun 1994 dan US$ 1.023 pada tahun 1995.

    Pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat seperti tersebut di atas diperoleh terutama atas

    dukungan dari pertumbuhan sektor industri pengolahan.

    Pertumbuhan ekonomi disertai dengan perubahan struktur ekonomi yang makin

    seimbang dan kukuh, tercermin pada struktur produksi, struktur penerimaan devisa,

    struktur penerimaan negara, dan struktur ketenagakerjaan. Di awal pembangunan masa

    ORBA, struktur produksi masih rentan dan didominasi oleh sektor pertanian. Pangsa

    sektor pertanian terhadap PDB hampir mencapai 50 persen sedangkan industri

    pengolahan di bawah 10 persen. Namun dalam tahun 1995, keseimbangan kedua sektor

    itu telah berubah yaitu pangsa sektor pertanian telah menurun menjadi 17,2 persen

    sedangkan pangsa sektor industri pengolahan meningkat menjadi 24,3 persen, sehingga

    tatanan perekonomian menjadi lebih kukuh.

    Struktur tenaga kerja juga telah mengalami perubahan dan menuju ke arah yang

    makin seimbang. Pada tahun 1971, pekerja yang bekerja di sektor pertanian, industri

    pengolahan, dan sektor lainnya adalah masing-masing 66,3 persen, 6,8 persen, dan 26,9

    persen. Dalam tahun 1995, pekerja yang bekerja di sektor pertanian, industri, dan sektor

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    17

    lainnya telah berubah menjadi masing-masing 47,3 persen, 10,7 persen, dan 42,0 persen.

    (Angkatan kerja pada tahun 1971 berdadarkan usia penduduk di atas 10 tahun, dan pada

    tahun 1995 berdasarkan usia penduduk di atas 15 tahun). Ini memunjukkan terjadi

    perubahan struktur menjadi semakin kuat dan seimbang antar sektor ekonomi.

    Perkembangan Ekonomi Setelah Krisis

    Bappenas (2006) menyajikan data perkembangan pertumbuhan ekonomi

    beberapa tahun terakhir setelah krisis sebagaimana terlihat pada Tabel 2.1. Pertumbuhan

    ekonomi tahun 2004 sebesar 5,1 persen terutama didorong oleh konsumsi masyarakat

    dan pembentukan modal tetap bruto yang meningkat masing-masing sebesar 4,9 persen

    dan 15,7 persen. Sedangkan dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2004

    didorong oleh sektor pertanian dan industri yang masing-masing tumbuh sebesar 4,1

    persen dan 6,2 persen; sedangkan sektor lainnya tumbuh sebesar 4,9 persen.

    Tabel 2.1. Ringkasan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2001 - 2006.

    PDB/Sektor Tahun

    2001 2002 2003 2004 2005 2006

    PDB 3.8 4.4 4.9 5.1 5.8 5.5 PDB Migas -5.3 -1.3 -2.9 -4.4 -4.5 -1.3

    PDB Non-Migas 5.1 5.1 5.8 6.2 6.8 6.1

    1. Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan 4.1 3.2 4.3 4.1 1.7 3.0 2. Pertambangan dan penggalian 0.3 1.0 -0.9 -4.6 -0.8 2.2

    3. Industri pengolahan 3.3 5.3 5.3 6.2 5.8 4.6

    4. Listrik, gas, dan air bersih 7.9 8.9 5.9 5.9 8.8 5.9 5. Bangunan 4.6 5.5 6.7 8.2 7.2 9.0

    6. Perdagangan, hitel dan restoran 4.4 3.9 5.3 5.8 9.2 6.1

    7. Pengangkutan dan komunikasi 8.1 8.4 11.6 12.7 13.3 13.6 8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 6.6 6.4 7.0 7.7 8.4 5.6

    9. Jasa-jasa 3.2 3.8 3.9 4.9 4.9 6.2

    1. Konsumsi Rumahtangga 3.5 3.8 3.9 4.9 3.7 3.2 2. Konsumsi Pemerintah 7.6 13.0 10.0 1.9 0.6 9.6

    3. Pembentukan Modal Tetap Bruto 6.5 4.7 1.0 15.7 12.4 2.9

    4. Ekspor barang dan jasa 0.6 -1.2 8.2 8.2 9.5 9.2

    5. Impor barang dan jasa 4.2 -4.2 2.7 24.9 14.1 7.6

    Sumber : Bappenas, 2006

    Pertumbuhan ekonomi tahun 2005 sebesar 5,8 persen adalah relatif tinggi, namun

    cenderung melambat. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh

    sektor industri pengolahan terutama non-migas yang tumbuh sebesar 6,8 persen serta

    sektor tersier terutama pengangkutan dan komunikasi; perdagangan, hotel, dan

    restauran; serta keuangan dan jasa perusahaan yang masing-masing tumbuh sebesar

    13,3 persen; 9,2 persen, dan 8,4 persen. Sementara itu sektor pertanian hanya tumbuh

    1,7 persen antara lain karena berkurangnya luas lahan pertanian.

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    18

    Pada perkembangan Sisi Pengeluaran, lemahnya daya dorong konsumsi rumah

    tangga antara lain tercermin menurunnya indeks keyakinan konsumen dan perdagangan

    eceran (retail). Dalam bulan Oktober 2005, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang

    dikumpulkan oleh Danareksa Research Institute mencapai 89,5; menurun dari 107,5 yang

    dicapai pada akhir Desember 2004. Indeks yang sama yang dikumpulkan oleh Bank

    Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan kecenderungan yang

    sama. Indeks Keyakinan Konsumen yang dikumpulkan oleh Bank Indonesia pada bulan

    September 2005 turun menjadi 90,1 dari 119,1 pada Desember 2004. Bahkan dalam

    bulan Oktober 2005 turun lagi menjadi 76,9.

    Pada tahun 2006, perekonomian tumbuh makin baik dengan prioritas tetap

    diberikan pada upaya untuk mendorong investasi. Secara keseluruhan tahun 2006,

    ekonomi tumbuh 5,5 persen; sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 2005 (5,7 persen).

    Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor pertanian, pertambangan

    dan penggalian, industri pengolahan, dan sektor-sektor lainnya yang meningkat 3,0

    persen, 2,2 persen, 4,6 persen, dan 6,5 persen. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan

    ekonomi didorong oleh ekspor barang dan jasa serta pengeluaran pemerintah yang

    tumbuh tinggi yaitu sebesar 9,2 persen dan 9,6 persen, pertumbuhan konsumsi rumah

    tangga yang terjaga sebesar 3,2 persen; dan investasi yang meningkat 2,9 persen.

    Membaiknya konsumsi rumah tangga antara lain tercermin dari meningkatnya

    indeks keyakinan konsumen dan perdagangan eceran (retail). Pada bulan November

    2006, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang dikumpulkan oleh Danareksa Research

    Institute mencapai 91,6; meningkat 15,1 persen dibandingkan Desember 2005. Indeks

    yang sama yang dikumpulkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS)

    juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Indeks Keyakinan Konsumen yang

    dikumpulkan oleh Bank Indonesia pada bulan November 2006 meningkat menjadi 101,5

    atau naik 17,3 persen dibandingkan bulan Desember 2005.

    Catatan akhir tahun yang dikeluarkan oleh Kadin (2007) menyebutkan bahwa

    pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2007 diperkirakan mencapai atau setidaknya

    mendekati target yang ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2007. Momentum

    percepatan pertumbuhan sudah kembali hadir, sebagaimana ditandai oleh pertumbuhan

    produk domestik bruto (PDB) yang praktis selama enam triwulan berturut-turut

    menunjukkan peningkatan terus menerus. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    19

    Indonesia diperkirakan sekitar 6,2 persen, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan Asean-

    5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam) sebesar 5,9 persen.

    Kestabilan makro ekonomi cukup terjaga dengan kecenderungan membaik. Hal ini

    antara lain tercermin dari nilai tukar Rupiah yang relatif tak bergejolak, kecenderungan

    penurunan suku bunga, dan laju inflasi yang jauh lebih rendah dari tahun 2006. Kinerja

    neraca pembayaran (balance of payments) juga membaik di segala lini: akun

    perdagangan barang (trade account), akun semasa (current account), maupun akun

    modal (capital account).

    Dari gambaran di atas, bisa disimpulkan bahwa secara umum dan agregat, kinerja

    perekonomian Indonesia selama tahun 2007 menunjukkan kemajuan yang cukup baik.

    Namun, jika kita telaah lebih mendalam dan rinci, gambarannya tak sebaik "tampak luar".

    Jika dilihat pola pertumbuhan sektoral maka selama lima tahun terakhir pola

    pertumbuhan sektoral menunjukkan kesenjangan yang masih cenderung lebar antara

    sektor tradable dan non-tradable. Sektor tradable tumbuh relatif jauh di bawah

    pertumbuhan PDB; sebaliknya sektor non-tradable menunjukkan pertumbuhan yang

    selalu lebih tinggi dari PDB.

    Dengan pengecualian sektor pertanian pada triwulan III 2007 yang tumbuh

    "menakjubkan" (8,9 persen), seluruh unsur sektor tradable (pertanian, pertambangan &

    penggalian, dan industri manufaktur) mengalami tekanan. Sementara primadona sektor

    non-tradable yaitu subsektor komunikasi tumbuh di atas 20 persen dan subsektor

    transportasi udara yang tumbuh rata-rata di atas 10 persen. Subsektor lain dalam sektor

    non-tradeble tumbuh di atas PDB dan cukup konsisten. Ini berarti pertumbuhan tinggi di

    sektor non-tradable terjadi secara relatif merata.

    Bertolak dari pola demikian, maka bisa disimpulkan bahwa ada faktor struktural

    yang membuat pola pertumbuhan sektoral semakin kontras: tradable versus non-

    tradable. Di Indonesia industrialisasi masih menuju pematangan di tahap industrializing.

    Dengan kata lain, peranan sektor industri manufaktur sebetulnya masih bisa dipacu

    hingga mencapai sekitar 35 persen dari PDB. Jika peranan sektor industri manufaktur

    masih di bawah 30 persen tetapi sudah mandeg, bahkan turun walau sangat tipis, berarti

    ada tanda-tanda kita mengalami "deindustrialisasi" dini. Ini menandakan kualitas

    pertumbuhan sektoral tidak optimal, sehingga sulit diharapkan memberikan sumbangan

    berarti bagi penurunan angka pengangguran dan kemiskinan serta perbaikan

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    20

    ketimpangan.

    Jika kita telusuri lebih lanjut, ternyata gambaran pembentukan modal tetap kian

    kurang menjanjikan bagi terpeliharanya landasan pertumbuhan ekonomi jangka panjang

    yang kokoh. Sekitar 76 persen dari pembentukan modal tetap adalah dalam bentuk

    konstruksi (bangunan), sedangkan yang dalam bentuk mesin dan alat transport masing-

    masing hanya 6,4 persen untuk domestik dan 17,2 persen untuk luar negeri (impor). Agar

    investasi memberikan kontribusi yang lebih signifikan bagi penyerapan tenaga kerja,

    maka porsi mesin harus lebih didorong.

    Pengeluaran pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi dan investasi, tampaknya

    kurang bisa diharapkan, mengingat pada tahun 2007 dan 2008 APBN harus menanggung

    beban subsidi yang sangat berat akibat tingginya harga minyak dan kemerosotan

    produksi minyak di dalam negeri. Juga beban yang masih cukup besar untuk pembayaran

    bunga utang dalam negeri dan luar negeri. Ditambah lagi dengan kendala birokrasi yang

    membuat masih tersendatnya realisasi anggaran investasi pemerintah.

    Perekonomian Indonesia 2008 diperkirakan hanya tumbuh sedikit lebih tinggi dari

    tahun 2007, namun hampir tertutup kemungkinan bisa mencapai target APBN 2008

    sebesar 6,8 persen. Pertumbuhan maksimum diperkirakan hanya sekitar 6,5 persen. Hal

    ini juga disebabkan oleh kendala di sisi supply (supply constraints) yang sudah barang

    tentu tak bisa diatasi dalam jangka pendek. Keterbatasan infrastruktur akan menjadi

    kendala yang kian dirasakan. Volume dan kualitas pasokan listrik praktis tak akan

    bertambah, sementara tarif listrik untuk industri akan terus dinaikkan. Sama halnya

    dengan kapasitas pelabuhan dan jalan yang juga tak akan beranjak dari kondisi sekarang.

    Sementara itu, peluang pemompaan dana APBN akan terkendala oleh rendahnya

    efektivitas pengeluaran pemerintah pusat maupun daerah.

    Beberapa rekomendasi KADIN untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi pada

    tahun 2008 adalah mengimplementasikan program revitalisasi pertanian dan pedesaan.

    Mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta

    suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki, guna menjamin

    terwujudnya food and energy security. Menghilangkan segala hambatan yang membuat

    produksi dalam negeri kian tersisih di pasar domestik. Mengamankan target lifting minyak

    mentah agar tekanan defisit APBN bisa diminimalisasikan; seraya mendorong diversifikasi

    energi, terutama meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Meningkatkan dan

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    21

    mempercepat pembangunan serta perbaikan kondisi infrastruktur di luar Jawa.

    Menetapkan regulasi ruang lingkup dan koordinasi pemerintah tentang logistik (siapa

    yang mengkoordinir) agar mampu mendukung supply chain dari sektor-sektor yang

    berorientasi ekspor dan agar dapat terintegrasi dengan sistem produksi global.

    Memperdalam fixed capital formation dengan meningkatkan secara signifikan porsi

    investasi dalam bentuk permesinan. Menempatkan posisi UMKM sebagai pelaku ekonomi

    dalam pembangunan nasional untuk menciptakan industri pendukung/penunjang

    pertumbuhan industri nasional. Pada waktu bersamaan, pemerintah dituntut untuk

    meningkatkan akses UMKM terhadap kredit dan instrumen pembiayaan lainnya.

    2.2.2. Bidang Sosial

    Perkembangan yang penting pada bidang sosial di Indonesia tahun 1998 dimulai

    dengan reformasi yang membawa perubahan terhadap tantanan kehidupan. Reformasi

    merupakan suatu proses perbaikan dengan melakukan koreksi terhadap unsur-unsur yang

    rusak, dengan tetap mempertahankan elemen budaya dasar yang masih fungsional,

    tanpa merubah bentuk masyarakat dan budaya secara total dan mendasar. Transformasi

    adalah perubahan yang sifatnya lebih cepat, total, mendasar dan menyeluruh. Sedangkan

    deformasi merupakan kerusakan pada keteraturan sosial tersebut.

    Perubahan yang cepat tersebut harus mampu mempertahankan "cultural

    continuity", dan disini suatu unsur yang amat perlu dipertahankan adalah kesepakatan-

    kesepakatan nilai (commonality of values) yang pernah dicapai selama lebih dari 60 tahun

    silam. Akibat gejala sosiologis fundamental, maka terjadi pergeseran-pergeseran yang

    diantaranya sebagai berikut :

    1. Pergeseran Struktur Kekuasan : Otokrasi menjadi Oligarki, yaitu kekuasaan terpusat

    pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari

    sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, dsb).

    2. Krisis dalam representative democracy dan civil society : kebencian Sosial yang

    Tersembunyi (Socio-Cultural Animosity).

    Pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik

    Orba dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas antar suku, agama, kelas

    sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertikal antara kelas atas dan bawah

    tetapi justru lebih sering horizontal, antara rakyat kecil, sehingga konflik yang

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    22

    terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (tidak fungsional tetapi

    disfungsional). Kita menjadi "self destroying nation".

    Konflik sosial yang terjadi di Indonesia bukan hanya konflik terbuka (manifest

    conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah "hidden atau latent conflict" antara

    berbagai golongan.

    Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber dari perbedaan

    ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu,

    sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik tersembunyi ini

    bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung

    dihampir seluruh pranata sosialisasi (agent of socialization) di masyarakat (mulai

    dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa,

    organisasi politik dan sebagainya).

    Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture).

    Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan

    kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih

    mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif).

    Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu "socio-cultural policy" dan

    "socio-cultural" planning - yang berdasarkan analisis sosiologis-antropologis yang

    mendalam dan metode pemecahan masalah yang dipelajari dari berbagai

    pengalaman bangsa yang lain - amat kita perlukan.

    Kemiskinan dan ketidak-adilan sering "jatuh bersamaan" dengan identitas sosial

    tertentu. Karena kebencian sosial yang tersembunyi, maka timbul suatu budaya

    merebaknya pengangguran. Secara sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak

    memiliki status sosial yang jelas (statusless), sehingga tidak memiliki standar pola perlaku

    yang pantas atau tidak pantas dilakukan, cenderung mudah melepaskan diri dari

    tanggungjawab sosial. Dalam kondisi yang ekstrim penganggur tidak peduli terhadap

    keteraturan sosial, dan bahkan menginginkan terjadinya "kekacauan sosial" (social

    disorder atau bahkan chaos) agar mendapat keutungan dari ketidak-teraturan itu. Saat ini

    ada gumpalan massa penganggur yang jumlahnya 9,5 juta (pada tahun 2003). Mereka

    banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik sebagai alat penekan dan pembenaran aspirasi

    politik mereka, sehingga demonstrasi saat ini tidak selalu merupakan ekspresi dari aspirasi

    rakyat yang murni.

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    23

    2.2.3. Tingkat Kemiskinan Indonesia

    Kemiskinan biasanya dikenali dari ketidakmampuan sebuah keluarga untuk

    memenuhi kebutuhan dasar dan berbagai kaitan yang mencitrakan orang tersebut

    menjadi miskin. Beberapa konsep kemiskinan yang dikenal sekarang adalah :

    Garis Kemiskinan. Garis kemiskinan dikaitkan dengan kebutuhan konsumsi

    minimum sebuah keluarga atau sering disebut sebagai kemiskinan primer. Indikasi

    dari kemiskinan ini adalah 2 per 3 dari pendapatan sebuah keluarga habis digunakan

    buat makan.

    Kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut adalah keluarga yang hidup dibawah

    garis kemiskinan.

    Kemiskinan relatif adalah keluarga yang hidup di atas garis kemiskinan tetapi

    rentan terjerembab ke kubangan garis kemiskinan.

    Kemiskinan massal atau kantong kemiskinan adalah kemiskinan yang

    melanda satu wilayah, hal ini merupakan masalah yang lebih kompek.

    Menurut World bank, keluarga yang berpenghasilan kurang dari $1 maka

    dimasukkan dalam katagori miskin.

    Chamber (1983) menyatakan bahwa kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi-

    lokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi, juga ditandai dengan

    ketiadaan sarana bepergian. Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka

    tidak memiliki penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan

    cara menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi,

    barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan

    yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan bantuan hukum bagi

    mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan merekapun tidak memperoleh

    pelayanan publik yang memadai dan optimal. Kemiskinan kemudian lebih ditafsirkan

    sebagai suatu kondisi ketiadaan akses pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya

    melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup.

    Konsep yang amat dekat dengan konsep kemiskinan adalah impoverishment (hal-

    hal yang menyebabkan sesorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses

    impoverishment adalah sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang

    secara sismtimatik direproduski dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti

    kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumberdaya rakyat, inflasi, penggangguran dan

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    24

    politik utang luar negeri. Proses inilah yang dikenal sebagai proses pelemahan

    (disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan kebudayaan khususnya bagi

    kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan terpinggirkan.

    2.2.3.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia, 1996-2005

    Jumlah dan persentase penduduk miskin pada beberapa tahun terakhir yaitu

    periode tahun 1996 - 2005 cukup berfluktuasi meskipun terlihat adanya kecenderungan

    menurun pada periode tahun 2000 - 2005. Pada Tabel 2.2 disajikan perkembangan data

    jumlah penduduk miskin tersebut. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin

    meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun

    1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari

    17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama (BPS, 2006).

    Pada periode 1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57

    juta, yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun 2002. Secara

    relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 23,43 persen pada tahun

    1999 menjadi 18,20 persen pada tahun 2002. Penurunan jumlah penduduk miskin juga

    terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002

    menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Persentase penduduk miskin turun dari 18,20

    persen pada tahun 2002 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.

    Tabel 2.2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia

    Menurut Daerah, Tahun 1996 - 2005.

    Tahun

    Jumlah Penduduk Miskin (Jt org) Persentase Penduduk Miskin

    Kota Desa Kota+ Desa

    Kota Desa Kota+ Desa

    1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47

    1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23

    1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43

    2000 12.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14

    2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41

    2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20

    2003 12.20 25.10 37.57 13.57 20.23 17.42

    2004 11.40 24.80 36.10 12.13 20.11 16.66

    2005 12.40 22.70 35.10 11.37 19.51 15.97

    Sumber : BPS, 2006

    2.2.3.2. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Februari 2005-Maret 2006

    Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta

    (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    25

    berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar

    3,95 juta. Pertambahan penduduk miskin di daerah perdesaan sedikit lebih tinggi dari

    pada daerah perkotaan. Selama periode Februari 2005-Maret 2006, penduduk miskin di

    daerah perdesaan bertambah 2,06 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 1,89

    juta orang (Tabel 2.3). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan

    perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Februari 2005, sebagian besar (64,67

    persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2006

    persentase ini turun sedikit menjadi 63,41 persen.

    Tabel 2.3. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah, Februari 2005 - Maret 2006

    Daerah/ Tahun

    Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln) Jumlah

    penduduk miskin (juta)

    Persentase

    penduduk miskin

    Makanan Bukan

    Makanan Total

    Perkotaan Februari 2005 Maret 2006

    103 992 126 527

    46 807 48 797

    150 799 175 324

    12.40 14.29

    11.37 13.36

    Perdesaan Februari 2005

    Maret 2006

    84 014

    103 180

    33 245

    28 076

    117 259

    131 256

    22.70

    24.76

    19.51

    21.90

    Kota+Desa Februari 2005

    Maret 2006

    91 072

    114 619

    38 036

    38 228

    129 108

    152 847

    35.10

    39.05

    15.97

    17.75

    Sumber : BPS, 2006

    2.2.3.3. Perubahan Garis Kemiskinan Februari 2005-Maret 2006

    Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan,

    karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita

    per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak

    penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin. Selama Februari 2005-Maret 2006,

    Garis Kemiskinan naik sebesar 18,39 persen, yaitu dari Rp.129.108,- per kapita per bulan

    pada Februari 2005 menjadi Rp.152.847,- per kapita per bulan pada Maret 2006. Dengan

    memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan

    Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan

    komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan

    (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Februari 2005,

    sumbangan GKM terhadap GK sebesar 70,54 persen, tetapi pada bulan Maret 2006,

    peranannya meningkat sampai 74,99 persen. Meningkatnya peranan GKM terhadap GK ini

    sebagian besar akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang juga

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    26

    digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen selama periode Februari 2005-Maret

    2006.

    Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada bulan

    Maret 2006, persentase pengeluaran beras terhadap total pengeluaran sebulan untuk

    penduduk miskin sebesar 23,10 persen, bahkan di daerah perdesaan persentase ini

    mencapai 26,08 persen. Sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan

    mencapai 34,91 persen di perdesaan dan 25,98 persen di perkotaan. Dengan demikian

    kenaikan harga beras akan berpengaruh besar kepada penduduk miskin. Selain beras,

    barang-barang kebutuhan pokok lain yang berpengaruh besar terhadap Garis Kemiskinan

    adalah gula pasir (4,66 persen di perdesaan, 3,88 persen di perkotaan), minyak kelapa

    (2,47 persen di perdesaan, 1,98 persen di perkotaan), telur (1,81 persen di perdesaan,

    2,70 persen di perkotaan), dan mie instant (2,01 persen di perdesaan, 2,14 persen di

    perkotaan). Untuk komoditi bukan makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang

    besar, yaitu 6,27 persen di perdesaan dan 6,54 persen di perkotaan. Biaya untuk listrik,

    angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah

    perkotaan, yaitu masing-masing sebesar 3,60 persen, 3,20 persen dan 2,46 persen,

    sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).

    2.2.3.4. Pergeseran Penduduk Miskin Februari 2005-Maret 2006

    Terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin selama periode

    Februari 2005-Maret 2006 (Tabel 2.4). Sekitar 56,51 persen penduduk miskin pada bulan

    Februari 2005 tetap tergolong sebagai penduduk miskin pada Maret 2006, tetapi sisanya

    berpindah posisi menjadi hampir miskin (19,37 persen), hampir tidak miskin (17,66

    persen) dan tidak miskin (6,45 persen). Hal ini bisa terjadi karena secara umum

    penduduk miskin dapat dibedakan menjadi dua yaitu miskin kronis (chronic poor) dan

    miskin sementara (transient poor). Miskin kronis adalah penduduk miskin yang

    berpenghasilan jauh di bawah garis kemiskinan dan biasanya tidak memiliki akses yang

    cukup terhadap sumber daya ekonomi, sedangkan miskin sementara adalah penduduk

    miskin yang berada dekat garis kemiskinan. Jika terjadi sedikit saja perbaikan dalam

    ekonomi, kondisi penduduk yang termasuk kategori miskin sementara ini bisa meningkat

    dan statusnya berubah menjadi penduduk tidak miskin.

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    27

    Tabel 2.4. Pergeseran Penduduk Miskin, Februari 2005-Maret 2006 (persen)

    Kondisi Maret 2006 Kondisi Feb 2005

    Miskin Hampir Miskin Hampir Tidak

    Miskin Tidak Miskin

    TOTAL

    Miskin 56.51 19.37 17.66 6.45 100

    Hampir Miskin 30.29 26.37 30.76 12.58 100

    Hampir Tidak Miskin 11.82 16.22 41.00 30.96 100

    Tidak Miskin 2.29 3.60 21.77 72.34 100

    TOTAL 17.75 13.02 27.84 41.39 100

    Keterangan : Miskin : < GK (Garis Kemiskinan), Hampir Miskin : 1,00-1,25 GK, Hampir Tidak Miskin : 1,25-1,50 GK

    Tidak Miskin : >1,50 GK

    Sumber : BPS, 2006

    Pergeseran posisi penduduk miskin pada periode Februari 2005-Maret 2006 ini

    dapat dicermati dari distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok 40 persen terendah.

    Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dari kelompok penduduk 40 persen terendah

    (desil 1- desil 4) menunjukkan peningkatan selama Februari 2005 - Maret 2006. Pada

    desil 1, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan naik 44,43 persen (Rp.45.970,-), pada

    desil 2 naik 30,87 persen (Rp. 42.115,-), pada desil 3 meningkat 27,45 persen

    (Rp. 44.206,-), dan pada desil 4 naik 25,21 persen (Rp. 46.146,-). Adanya peningkatan

    pengeluaran yang cukup besar ini menyebabkan status mereka berubah dari miskin

    menjadi menjadi tidak miskin. Program PKPSBBM berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT)

    yang diberikan kepada rumah tangga miskin dan hampir miskin sebesar Rp. 100.000,- per

    bulan (sekitar Rp. 25.000,-/orang/bulan), diduga merupakan salah satu sumber

    pendapatan yang diperoleh rumah tangga miskin untuk menutupi peningkatan

    pengeluaran akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

    Perubahan besar terjadi pada penduduk hampir miskin dan hampir tidak miskin.

    Sekitar 30,29 persen penduduk hampir miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi

    miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82 persen penduduk hampir

    tidak miskin di bulan Februari 2005 juga jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006.

    Bahkan 2,29 persen penduduk tidak miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret

    2006. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2006 yang sebesar

    39,1 juta berasal dari penduduk miskin lama (19,8 juta), penduduk hampir miskin (9,9

    juta), penduduk hampir tidak miskin (7,3 juta) dan penduduk tidak miskin (2,1 juta) yang

    terjatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Dengan memperhatikan pergeseran

    posisi ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah penduduk miskin selama periode

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    28

    Februari 2005 hingga Maret 2006 terjadi karena adanya pergeseran penduduk yang

    penghasilannya berada tidak jauh dari garis kemiskinan.

    2.3. Pemberdayaan Masyarakat

    2.3.1. Pengertian

    Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan

    yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik

    sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan

    kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan

    masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan

    membangun bangunan atas atau system pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan

    sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan

    sistem pengetahuan, system politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan

    menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat

    tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996). Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu

    masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi

    menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses

    pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless).

    Pemberdayaan diartikan sebagai suatu proses dan suatu mekanisme dimana

    individu, organisasi dan masyarakatnya menjadi ahli bagi masalah yang mereka hadapi.

    Teori pemberdayaan menyatakan bahwa konsep pemberdayaan berlaku tidak hanya bagi

    individu sebagai kelompok, organisasi dan masyarakat, namun juga bagi individu itu

    sendiri. Di tingkat individu, pemberdayaan merupakan pengembangan psikologis yang

    menggabungkan persepsi kendali personal, pendekatan proaktif pada kehidupan dan

    pengetahuan kritis akan lingkungan sosiopolitis. Pada tingkat organisasi, pemberdayaan

    mencakup proses dan struktur yang meningkatkan keahlian para anggotanya untuk

    mempengaruhi perubahan di tingkat masyarakat (Zimmerman, 1995). Di tingkat

    masyarakat, pemberdayaan berarti tindakan kolektif untuk meningkatkan kualitas hidup

    suatu masyarakat dan hubungan antara organisasi masyarakat (Perkins dan Zimmerman,

    1995 dan Zimmerman, 1995) dalam Randy R. Wrihatnolo (2007).

    Menurut Prijono dan Pranarka (1996), dalam konsep pemberdayaan, manusia

    adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    29

    memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau

    memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan

    pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada

    kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.

    Menurut Sumodiningrat (1999), pemberdayaan masyarakat merupakan upaya

    untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka

    miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang

    saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang

    menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan

    bahwa terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat, yakni dalam proses

    pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia

    (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat.

    Masyarakat menentukan jenis usaha yang sesuai kondisi wilayah sehingga dapat

    menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat. Upaya

    pemberdayaan masyarakat ini kemudian berlanjut pada pemberdayaan ekonomi rakyat.

    Upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama haruslah dimulai dengan

    menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.

    Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat,

    memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang

    sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya

    untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan

    kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

    Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki

    oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif,

    selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi

    langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta

    pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat

    masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1997).

    Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu

    anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya

    modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain

    yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri. Pemberdayaan yang

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    30

    dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan sektor informal, khususnya

    kelompok pemulung sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan

    penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan upaya

    peningkatan kualitas sumberdaya yang mereka miliki.

    2.3.2. Kelompok Sosial (Community Development), Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan

    Menurut Setiarso (2007) community dalam arti komunitas bermakna sebagai :

    1. Kelompok sosial yang bertempat tinggal di lokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan

    sejarah yang sama.

    2. Kesatuan pemukiman yang diatasnya terdapat kota kecil/town, kota atau kota

    besar/city.

    Sedangkan community development pada garis besarnya dapat ditinjau dalam dua

    pengertian yaitu sebagai berikut :

    1. Dalam arti luas bermakna sebagai perubahan sosial berencana dengan sasaran

    perbaikan dan peningkatan bidang ekonomi dan sosial.

    2. Dalam arti sempit adalah perubahan social berencana di lokasi tertentu : dusun,

    kampung, desa, kota kecil dan kota besar, dikaitkan dengan proyek yang

    berhubungan dengan upaya pemenuhan dari kebutuhan lokal, sepanjang mampu di

    kelola sendiri dan dengan bantuan sementara dari pihak luar.

    Jadi esensi community development yang kemudian mengilhami model

    pembangunan yang berpusat pada rakyat, adalah upaya pemberdayaan (empowerment)

    terhadap rakyat berdasarkan integrasi ide-ide kemandirian. Disimpulkan bahwa

    masyarakat adalah pelaku yang menentukan tujuan, mengontrol sumberdaya dan

    mengarahkan proses pendayagunaan sumberdaya. Titik tekanannya terletak pada

    kewenangan komunitas mengelola sumberdaya dalam mewujudkan kepentingannya.

    Kegiatan ini dirancang berdasarkan prakarsa dan partisipasi masyarakat dengan orientasi

    kebutuhan, potensi dan kemampuan komunitas lokal, namun memperhatikan variasi dan

    perbedaan yang ada dalam komunitas.

    Menurut Moeljarto (2005) titik berat dari community development terletak pada

    pembangunan masyarakatnya, dengan titik tekan pada pembentukan kader

    pembangunan yang diharapkan dapat menopang tercapainya masyarakat yang

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    31

    berswasembada. Asasnya adalah pembangunan integral, kekuatan sendiri dan

    pemufakatan bersama.

    1. Asas pembangunan integral adalah pembangunan yang seimbang dari semua segi

    masyarakat sehingga menjamin perkembangan yang selaras dan tidak berat sebelah,

    tetapi perlu diingat bahwa untuk masa permulaan titik beratnya terutama harus

    diletakkan dalam pembangunan ekonomi.

    2. Asas kekuatan sendiri bahwa tiap usaha pertama-tama harus didasarkan kepada

    kekuatan atau kemampuan sendiri dan tidak hanya menunggu pemberian dari

    pemerintah.

    3. Asas pemufakatan bersama diartikan bahwa pembangunan harus dilaksanakan di

    lapangan yang benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh masyarakat yang

    bersangkutan, sedangkan keputusan melaksanakan suatu proyek bukan berdasarkan

    atas perintah atasan, melainkan merupakan putusan bersama dari anggota-anggota

    masyarakat.

    Menurut Davidson, Carl dan Voss (2003) community development berarti usaha

    yang terorganisir untuk memperbaiki konsisi kehidupan komunitas dan peningkatan

    kemampuan berintegrasi dan berkembang secara mandiri, dengan unsurnya: program

    berencana, pembangkitan tekad, tidak tergantung pada bantuan pihak luar. Menurut

    Nelson dan Ramsay berpendapat bahwa community development adalah proses

    pendidikan untuk bertindak, masyarakat disiapkan untuk mewujudkan tujuan komunitas

    secara demokratis. Pemimpin berperan sebagai agen untuk membentuk pengalaman

    belajar bagi komunitas dari pada sebagai penggerak tercapainya sasaran program.

    Menurut Sumitro (2005) community development adalah program yang berusaha

    menjangkau masyarakat yang kondisi sosial ekonominya masih dalam keadaan relative

    rendah dan sulit untuk berkehidupan memenuhi syarat kelayakan dan kesejahteraan.

    Konsep pemberdayaan telah mengubah konsep pembangunan dan sekaligus

    strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di daerah pedesaan,

    permukiman kumuh serta daerah urban. Perubahan ini sering disebut sebagai perubahan

    paradigma dari mulai tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran

    pelaksanaannya. Pemberdayaan menjadi konsep kunci untuk menanggulangi kegagalan

    pelaksanaan pembangunan selama ini. Pembangunan sebelumnya, ternyata membuat

    orang semakin miskin semakin banyak. Gagasan modernisasi pun rontok karena tidak

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    32

    dapat meneteskan hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat miskin, dan

    pembangunan ternyata tidak mampu mengentaskan kemiskinan dan pembangunan juga

    malah merusak lingkungan hidup.

    2.3.3. Pemberdayaan sebagai Strategi dalam Pembangunan Sosial

    Berbagai fakta empiris menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi

    tidak menjamin dapat terciptanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pertumbuhan

    ekonomi merupakan fakta yang bersifat "tersentralisasi", sedangkan pemerataan

    pembangunan sosial lebih bersifat " terdistribusi " untuk semua lapisan masyarakat.

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep trickle down effect yang cenderung

    bersifat top down dianggap sebagai paradigma konvensional, sebaliknya model-model

    pembangunan sosial yang lebih bersifat bottom up dengan strategi pemenuhan

    kebutuhan masyarakat bawah, agaknya lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan.

    Namun demikian pada kenyataannya konsep top-down juga tidak dapat

    menyentuh seluruh kehidupan masyarakat luas, tetapi bottom up juga tidak akan menjadi

    kebijakan satu-satunya karena keinginan masyarakat sangat banyak dan bervariasi. Oleh

    karena itu konsep terbaik dalam pembangunan mayarakat adalah kemauan dan

    kesungguhan untuk mengintegrasikan antara konsep community organization

    (pengorganisasian komunitas) dan pengembangan komunitas sebagai satu kesatuan yang

    saling komplementer. Dua konsep tersebut dapat digabungkan menjadi konsep baru yang

    disebut community building, dimana konsep tersebut menjalankan fungsinya sebagai

    pengembangan sekaligus pengorganisasian masyarakat secara bersamaan dan bersinergi.

    Isu kegagalan akibat dominasi paradigma pembangunan ekonomi yang kurang

    seimbang dengan pembangunan sosial menjadi lebih transparan setelah World Summit

    for Social Development pada tahun 1995 di Kopenhagen, Denmark yang diprakarsai oleh

    PBB. Konferensi ini menampilkan tiga isu pokok untuk mengatasi kesenjangan terhadap

    kesejahteraan manusia global, regional dan nasional. Ketiga isu tersebut meliputi :

    Penanggulangan kemiskinan.

    Peningkatan produktifitas kerja dan mengurangi penggangguran.

    Meningkatkan integrasi sosial.

    Dimensi Pembangunan Sosial

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    33

    Dimensi pembangunan sosial meliputi peningkatan produktivitas, pelayanan sosial,

    pelayanan kesejahteraan sosial dan pembangunan masyarakat. Peningkatan Produktifitas.

    Pembangunan ekonomi terkait dengan erat dengan pembangunan sumberdaya (human

    resources development), maka dalam pembangunan sosial, sekaligus yang membedakan

    dengan konteks pembangunan sosial adalah terutama dalam hal pengorganisasiannya.

    Pembangunan sosial lebih mengarah pada pemeliharaan penghasilan yang berprinsip

    bahwa manusia sebagai faktor produksi harus tetap sebagai subyek dalam peningkatan

    kesejahteraan masyarakat, bukan hanya sebagai obyek dari aktifitas ekonomi, atau obyek

    dari segelintir kelompok yang mendominasi aktifitas ekonomi.

    Pelayanan Sosial. Pelayanan sosial dalam arti luas mencakup beberapa sektor

    pembangunan, yaitu ruang lingkup pembangunan kesejahteraan rakyat yang merupakan

    sub sistem pembangunan nasional. Dalam hal ini Kamerman dan Kahn (1979)

    menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial ini harus mencakup 6

    (enam) hal yaitu pendidikan, kesehatan, pemeliharaan penghasilan, pelayanan kerja,

    perumahan dan pelayanan sosial. Dengan demikian dalam konteks pembangunan sosial,

    pelayanan sosial ditujukan untyuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama di sektor

    pendidikan, kesehatan, pelayanan kerja dan perumahan, sementara untuk pemeliharaan

    penghasilan dan pelayanan sosial personal dapat berupa subsistem tersendiri sebagai

    bagian dari dimensi pembangunan sosial.

    Pelayanan Kesejahteraan Sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial merupakan

    subsistem dari pelayanan sosial yang intinya kepada pelayanan sosial personal dengan

    sasaran mencakup : (1) kelompok khusus yang mencakup kelompok usia lanjut, anak

    terlantar, korban ketergantungan obat, (2) kelompok marginal dalam konteks ekonomi

    ekonomi atau masalah pembangunan, (3) kelompok minoritas, seperti komunitas adat

    terpencil, dan (4) kelompok yang mengalami kecacatan.

    Pembangunan Masyarakat. Hakekat pembangunan masyarakat adalah community

    base development atau pembangunan masyarakat dari bawah. Ditinjau dari sisi

    pemerintah pembangunan masyarakat merupakan hasil dari perencanaan yang sitematis

    dari atas yang menempatkan masyarakat sebagai pelaksana (subyek pembangunan).

    Kendati demikian, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan sangat sulit

    dilaksanakan. Ini berbeda dengan pembangunan masyarakat yang dilakukan oleh

    lembaga swadaya masyarakat yang dapat melepaskan diri dari keterikatan struktur

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    34

    organisasi pemerintah, baik vertikal maupun horizontal, sehingga LSM lebih leluasa dalam,

    membangun masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan aktual masyarakat.

    Pembangunan masyarakat antara pemerintah dan LSM harus saling

    komplementer, karena pemerintah maupun LSM saling mempunyai keterbatasan-

    keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk menjangkau masyarakat luas. Untuk

    konteks Indonesia, konsep community development lebih memungkinkan untuk

    menerapkan model pendekatan locallity development yang terbatas pada tingkat lokal

    secara geografis. Konsep locallity development, diharapkan mampu menggerakkan warga

    masyarakat yang memiliki kesamaan kebutuhan dan kepentingan dibandingkan dengan

    konsep wilayah yang lebih luas. Namun demikian tidak semua masalah dapat diatasi di

    tingkat lokal sehingga perlu diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat yang lebih

    luas, baik regional maupun nasional.

    Pembangunan masyarakat dipandang sangat penting berdasarkan pertimbangan-

    pertimbangan sebagai berikut :

    Masyarakat yang sehat merupakan produk dari masyarakat yang aktif

    Proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebih baik

    dibandingkan dengan perencanaan yang berasal dari penguasa.

    Proses partisipasi dalam pembangunan masyarakat merupakan pencegahan berbagai

    sikap masa bodoh dari individu-individu dalam masyarakat.

    Proses pemberdayaan yang kuat dalam upaya-upaya kemasyarakatan merupakan

    dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis.

    Permasalahan pertambahan penduduk yang semakain meningkat, industrialisasi,

    pemanfaatan teknologi yang semakin tinggi untuk segala aktivitas ekonomi, pembagian

    kerja dan kelas sosial yang makin heterogen, semakin banyaknya pekerja asing serta arus

    globalisasi dari negara-negara maju, sistem informasi yang menembus ruang dan waktu

    akan mengubah wajah Indonesia di masa depan. Kesemuanya itu dapat mengabaikan

    masyarakat miskin apalagi dengan semakin kuatnya politisi menentukan perencanaan dan

    kebijakan pemerintah dibandingkan dengan ilmuwan akan menyebabkan kebijakan

    pemerintah sering berbenturan dengan kebutuhan masyarakat.

    Oleh karena itu komitmen dan konsistensi pemerintah dalam meningkatkan

    pertumbuhan ekonomi dengan cara-cara yang adil dan tanpa mengecualikan masyarakat

    miskin akan meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari oleh hak-hak

  • Kajian Model Pengembangan Usaha

    di Kalangan Pemulung

    35

    azasi manusia, nondiskriminasi dan memberikan perlindungan kepada mereka yang

    kurang beruntung merupakan hakekat paradigma pembangunan sosial, yang tujuan

    akhirnya adalah memperbaiki kualitas hidup seluruh rakyat dengan aspirasi-aspirasi dan

    harapan, memberantas kemiskinan absolut serta partisipasi masyarakat secara nyata.

    2.3.4. Kebijakan dan Implementasi Pemberdayaan Masyarakat

    Pemberdayaan masyarakat bertalian erat dengan upaya penanggulangan masalah-

    masalah pembangunan, seperti halnya pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan.

    Pemerintah dalam menangani masalah di atas telah mengupayakan sejumlah kebijakan

    yang diaplikasikan dalam berbagai program untuk menanggulangi masalah yang muncul

    sebagai akibat bias pembangunan melalui program-program pemberdayaan.

    Pemerintah pada masa ORBA telah menerapkan sejumlah strategi di dalam

    pembangunan ekonomi yaitu dalam rangka menghadapi tantangan kesenjangan, yaitu

    kesenjangan antarwilayah, kesenjangan antarsektor kegiatan ekonomi, dan kesenjangan

    antarmanusia pembangunan. Strategi mana yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan,

    diterapkan melalui kebijaksanaan pembangunan lintas-daerah, lintas-sektor, dan antara

    daerah dan sektor. Dalam perkembangannya untuk mempertahankan pertumbuhan

    ekonomi dan menciptakan pemerataan, kebijakan pembangunan makin diarahkan kepada

    peranserta aktif masyarakat melalui penyelenggaraan otonomi daerah. Penanggulangan

    terhadap masalah kesenjangan dan pemerataan pembangunan telah dilakukan melalui

    berbagai arah kebijakan pembangunan yaitu kebijakan pembangunan sektoral melalui

    bantuan pembangunan sektoral (DIP), pembangunan regional melalui bantuan

    pembangunan daerah (DADPD), dan pembangunan khusus.

    Pada masa reformasi, pemerintah meneruskan kebijakan yang telah ada dengan

    perubahan-perubahan dan perbaikan. Secara khusus dalam menghadapi krisis ekonomi,

    pemerintah mengambil kebijakan khusus yang antara lain dilaksanakan untuk

    menanggulangi dampak krisis. Kebijakan penanggulangan dampak krisis disebut dengan

    kebijakan Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net). Dalam era reformasi, pemerintah

    menunculkan suatu arah baru dalam pembangunan yaitu melalui pemantapan Otonomi

    Daerah. Otonomi Daerah menurut UU No. 5 Tahun 1974 adalah hak, wewenang dan