Laporan Pendahuluan Fraktur Ante Brachial

23
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR ANTE BRACHIAL DI RUANG A3 (BEDAH PRIA) RSDK SEMARANG A. PENGERTIAN Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Smeltzer & bare. 2001:2357) Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. (Reeves,Roux & Lockhart. 2001:248) Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Rasjad,Chairuddin. 2004:840) Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. (Price & Wilson. 1995:1183) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan, tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Arif Mansjoer. 2000:346) Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges E, Marilyn. 1999:761) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa dan biasanya disertai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi.

Transcript of Laporan Pendahuluan Fraktur Ante Brachial

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR ANTE BRACHIAL

DI RUANG A3 (BEDAH PRIA) RSDK SEMARANG

A. PENGERTIAN

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Smeltzer & bare. 2001:2357)

Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. (Reeves,Roux & Lockhart. 2001:248)

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Rasjad,Chairuddin. 2004:840)Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. (Price & Wilson. 1995:1183)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan, tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Arif Mansjoer. 2000:346)

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges E, Marilyn. 1999:761)Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa dan biasanya disertai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi.Fraktur Antebrachial adalah fraktur yang terjadi pada tulang radius dan ulna. B. KLASIFIKASI1) Menurut Komplitnya

a. Fraktur KomplitBila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang.b. Fraktur Tidak Komplit

Bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.2) Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.a. Garis patah melintang atau horisontal

b. Garis patah oblic

c. Garis patah spiral

d. Kompresi : trauma aksial, fleksi pada tulang spongiosa.

e. Avulasi : trauma tarikan atau fraksi pada otot insersianya di tulang.

3) Menurut jumlah garis patah

a. Fraktur kompulsif : garis patah lebih dari satu atau saling berhubungan

b. Fraktur segmentasi : garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan

c. Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulangyang berlainan tempatnya.

4) Menurut hubungan antara fragmen tulang dengan adanya dunia luar

a. Fraktur tertutup : bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar

b. Fraktur terbuka : bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena ada perlukaan di kulit.

5) Menurut bergeser atau tidaknya

a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser)

Garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser

b. Fraktur displaced (bergeser)Terjadinya pergeseran fragmen-fragmne fraktur6) Klasifikasi fraktur berdasarkan faktor fisiologis

a. Greenstick fracture

Fraktur ini terjadi pada tulang anak-anak yang lunak. Tulang tersebut patah pada sisi luar (cortex) dan efek bengkoknya sering terlihat pada sisi yang lainnya.

b. Fraktur patologis

Fraktur patologis disebabkan oleh karena penyakit sehingga tulang menjadi lemah dan mudah patah hanya dengan sedikit tekanan. 7) Klasifikasi fraktur berdasarkan foto X-ray

a. Fraktur melintang (tranverse fracture)

Fraktur ini disebakan oleh tekanan langsung. Pada kondisi ini posisi ujung tulang bergeser dan membentuk sudut. Sudut disebabkan oleh karena adanya tekanan tetapi pergeseran disebabkan oleh adanya tarikan dari otot yang menempel pada tulang yang berbeda.

b. Fraktur melingkar (spiral fracture)

Terjadi pada saat kaki melintir atau membelit dengan telapak kaki menahan, misalnya kecelakaan pada kaki saat bermain ski. Jika patah tulang pada kaki, lakukan foto X-ray secara hati-hati karena kadang-kadang fibula terlihat utuh , padahal terjadi fraktur pada disekitar lutut dan harus dipastikan bahwa urat syaraf yang ada disekitarnya dapat bekerja dengan baik sebelum dan sesudah dipasang gip.

c. Fraktur miring (Oblique fracture)

Saat terjadi patah tulang miring, seringkali posisi tulang terangkat lebih tinggi. Ujung tulang menjadi runcing dan dapat merobek jaringan lainnya, sehingga fraktur ini akan berkembang menjadi fraktur yang disertai komplikasi.

d. Communited frakture

Fraktur communited adalah fraktur yang terjadi dimana tulang patah menjadi beberapa bagian, sebagian tulang menjadi lebih kecil dengan sedikit aliran darah. Walaupun fraktur sembuh dalam waktu yang lama, kadangkala tidak dapat di satukan tanpa tindakan pembedahan. Patah tulang seperti ini disebabkan oleh tekanan yang besar. Kerusakan jaringan lunak sangat banyak dan disertai pembengkakan.

e. Fraktur terjepit (impacted fracture)

Fraktur terjepit terjadi pada orang lanjut usia yang disebabkan oleh karena jatuh dan ujung tulang saling berbenturan oleh adanya tekanan atau disebabkan oleh kontraksi otot. Tanda-tanda adanya patah tulang terlihat adanya puncak pada bagian atas tibia yang seharusnya dalam posisi horisontal, tapi kadang posisinya bergeser ke belakang. Contoh paling sering adalah terjadinya fraktur pada pergelangan tangan.

f. Fraktur tertekan (depressed fracture)

Fraktur tertekan terjadi ketika tulang pipih terbentur dengan benda keras, akan menekan tulang ke dalam (fraktur tertekan). Dua bagian tulang tulang sering mengalami fraktur ini adalah tulang tengkorak dan tulang pelvis.

g. Fraktur bintang (stellate fracture)

Fraktur bintang disebabkan karena tulang pipih terbentur dengan benda keras, pada satu titik, misalnya karena tendangan atau peluru yang masuk ke dalam tempurung lutut. Hal ini akan mengahasilkan retakan yang berbentuk bintang seperti halnya pecahan kaca yang pecah karena batu. Kasus patah tulang ini adalah yang sering terjadi, tetapi semua ini hanya penggambaran kasus fraktur tersebut, namun tidak dapat menjelaskan secara pasti bagaimana kasus ini terjadi. C. ETIOLOGI

Trauma

Langsung (kecelakaan lalulintas)

Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang)

Patologis : Metastase dari tulang Degenerasi

Spontan,terjadi tarikan otot yang sangat kuat

Beberapa fraktur biasanya terjadi karena disebabkan benturan tubuh, jatuh, atau kecelakaan. Tulang bisa patah karena otot-otot tidak dapat mengabsorbsi energi, seperti berjalan kaki terlalu jauh (pada fraktur fatique). Fraktur juga dapat disebabkan karena proses penyakit yang mengakibatkan kelemahan tulang (Long, 1996). Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002: 2357).Fraktur antebrachial pada orang dewasa yang tersering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang dapat mencederai, baik pengendaranya maupun pejalan kakinya. Selain itu, perkelahian dengan menggunakan tongkat juga sering menjadi penyebab fraktur jenis ini.

D. PATOFISIOLOGITrauma langsung, trauma tidak langsung dan patologis menyebabkan terjadinya fraktur (terputusnya kontinuitas tulang). Hal ini mengakibatkan kerusakan jaringan tulang sehingga ujung saraf terbuka terjadi pelepasan mediator kunci (bradikinin, histamin, prostlagandin) yang akan merangsang saraf dan menimbulkan nyeri.

Terapi fiksasi diperlukan pada kerusakan jaringan tulang dimana daerah fraktur harus dimobilisasikan pada fraktur terbuka terjadi kerusakan jaringan kulit yang memungkinkan sebagai jalan masuknya mikroorganisme kedalam tubuh. Fraktur membutuhkan prosedur penatalaksanaan dan pengobatan serta perawatan secara optimal untuk meminimalkan perubahan intregitas tubuh dimana dapat terjadi kecacatan atau abnormalitas bagian tubuh tertentu (Smeltzer, 2002: 2386).

Jika tulang sudah patah, maka jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut, bekuan akan membentuk jaringan granulasi, dimana sel-sel pembentuk tulang primitif berdiferensiasi menjadi kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan mensekresi fosfat, yang merangsang deposisi kalsium dan terbentuk lapisan tebal (kalus) disekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen satunya dan menyatu dan terjadi penyambungan tulang (Price, 1995: 1187).

E. MANIFESTASI KLINIK

Nyeri

Deformitas

Krepitasi

Bengkak

Peningkatan temperatur lokal

Pergerakan abnormal

Ecchimosis

Kehilangan fungsi

F. KOMPLIKASI

Komplikasi pada fraktur bisa di bagi menjadi dua yaitu komplikasi awal dan komplikasi lambat (Smeltzer, 2002: 2365).

1. Komplikasi awal yang meliputi :

a. Syock hipovolemik atau traumatik

Hal ini disebabkan karena perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak.

b. Sindrom emboli lemak

Terjadi dalam 24 jam atau lebih. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah karena tekanan sumsum tulang belakang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah.

c. Sindrom kompartemen

Disebabakan karena perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan untuk kehidupan jaringan.

2. Komplikasi lambat yang meliputi :

a. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan

Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan tulang.

b. Nekrosis avaskuler tulang

Terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati.

c. Reaksi terhadap alat fiksasi interna

Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang terjadi, namun pada kenyataannya kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala infeksi.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANGDengan radiografi dapat melihat adanya cedera (Long, 1996: 360). Sedangkan menurut Doenges (2000: 762) pemeriksaan penunjang diagnostik yang sering dilakukan untuk penderita fraktur adalah:

1. Pemeriksaan rontgen untuk menentukan lokasi, luas, dari fraktur atau trauma.

2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI untuk memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3. Arteriogram dilakukan bila kerusakan vascular dicurigai.

4. Hitung darah lengkap: Hematokrit mungkin meningkat atau menurun bila ada perdarahan, sel darah putih meningkat akibat respon stress normal setelah trauma.

5. Creatinin terutama pada trauma otot meningkatkan beban Creatinin untuk clearens ginjal.

6. Profil coagulation yaitu perubahan dapat terjadi pada kehilangan multiple atau cedera hati.

H. PENATALAKSANAAN

1. Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, immobilisasi dan dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasia) Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula. Reduksi ini ada 3 yaitu reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka.i. Reduksi tertutup

Yaitu mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual.

ii. Traksi

Traksi digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuikan dengan spasme otot yang terjadi.

iii. Reduksi terbuka

Reduksi terbuka dilakukan dengan jalan penbedahan atau biasa disebut ORIF (Open Reduction Internal Fixation). ORIF adalah suatu tindakan pembedahan pada fragmen tulang yang patah yang bertujuan untuk memasang alat fiksasi interna yang meliputi pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam. Tindakan ini bertujuan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya. Keuntungannya adalah antara lain reposisi fragmen-fragmen tulang yang patah, kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai, dan tidak perlu berulangkali memasang gips atau alat stabilitas lainnya, serta perawatan di rumah sakit dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan. Sedangkan kerugian-kerugiannya adalah membutuhkan anestesi dan adanya bahaya infeksi pada pembedahan. Fiksasi internal dilaksanakan dalam teknis aseptik yang sangat ketat dan klien dalam beberapa saat mendapatkan antibiotik untuk pencegahan pasca pembedahan.

Secara umum tujuan ORIF adalah proteksi fiksasi sampai sembuh. Logam yang mudah rusak dan patah tidak dapat dipakai sebagai pengganti penyambung tulang. Bila alat fiksasi patah maka penyembuhan tulang akan terganggu. Mobilisai klien dengan menggunakan fiksasi internal pada umumnya lebih cepat daripada yang memakai fiksasi eksternal. b) Imobilisasi fraktur

Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan yang benar. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips dan bidai traksi kontinue.

c) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi

2. Tindakan Operatif

Reposisi TertutupFiksasi eksterna, setelah posisi baik berdasarkan kontrol mikro intra operasi maka dipasang alat fiksasi eksterna. Resposisi terbuka dan fiksasi internal (ORIF: Open Reduction and Internal Fixation).

Indikasi ORIF :

a) Fraktur yamg tidak bisa sembuh atau bahaya nekrosis tinggi

b) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup, misalnya fraktur dislokasi

c) Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan.misalnya: frakktur ante brachii

d) Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasiI. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan spasme otot; gerakan fragmen tulang; edema; cedera jaringan lunak; alat traksi/imobilisasi.2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler; nyeri; terapi imobilisasi3. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan kulit; trauma jaringan; terpajan pada lingkungan; prosedur invasif; traksi tulang4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk; fraktur terbuka; bedah perbaikan; pemasangan traksi; pen; perubahan sirkulasi; imobilisasi fisik5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot6. Gangguan eliminasi konstipasi berhubungan dengan dampak immobilisasi7. Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diriJ. INTERVENSI 1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan spasme otot; gerakan fragmen tulang; edema; cedera jaringan lunak; alat traksi/imobilisasi. (Doenges, 2000: 764-765).

Tujuan

: Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam klien mampu mengontrol nyeri, dengan kriteria hasil :

Nyeri yang dirasakan hilang

Menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam aktivitas dan istirahat tidur dengan tepat

Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

Intervensi:

a. Kaji skala nyeri klien.

b. Kaji tingkat perkembangan nyeri klien.

c. Jelaskan pada klien tentang penyebab timbulnya nyeri dan cara untuk mengatasinya.

d. Ajarkan dan anjurkan pada klien teknik relaksasi.

e. Berikan atau ciptakan suasana nyaman dan tenang agar klien dapat beristirahat.

f. Untuk sementara anjurkan pada klien untuk membatasi pergerakan.

g. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai program.2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler; nyeri; terapi imobilisasi. (Doenges, 2000: 769).

Tujuan

: kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan dengan kriteria hasil :

Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin

Mempertahankan posisi fungsinal

Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit

Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitasIntervensi:

a. Kaji kemampuan rentang gerak dan kekuatan otot klien pada ekstremitas.

b. Ajarkan range of motion (ROM) secara aktif maupun pasif secara bertahap sesuai dengan kemampuan klien.

c. Kolaborasi dengan bagian fisioterapi untuk latihan aktivitas lebih lanjut.

d. Ajarkan klien dalam menggunakan alat bantu.

e. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah klien melakukan latihan.3. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan kulit; trauma jaringan; terpajan pada lingkungan; prosedur invasif; traksi tulang. (Doenges, 2000: 773-774).

Tujuan: Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperaawatan dengan kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi (dolor, kalor, rubor, tumor dan fungsiolaesa)

Luka kering jahitan menutup rapat

Luka sembuh tepat waktu

Intervensi:

a. Monitor atau kaji adanya tanda-tanda infeksi.

b. Jaga kebersihan daerah sekitar operasi.

c. Monitor TTV khususnya bila ada peningkatan suhu tubuh untuk mengetahui adanya peradangan daerah operasi.

d. Perhatikan cairan yang keluar dari drain baik warna dan banyaknya.

e. Ganti balutan dengan teknik aseptik dan antiseptik.

f. Kolaborasi pemberian obat antibiotik sesuai dengan indikasi.4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk; fraktur terbuka; bedah perbaikan; pemasangan traksi; pen; perubahan sirkulasi; imobilisasi fisik (Doenges, 2000: 771-773).

Tujuan: Tidak terjadi gangguan integritas kulit setelah dilakukan tindakan keperaawatan dengan kriteria hasil :

Tidak ada lesi, kemerahan dan nyeri tekan pada daerah yang mengalami penekanan. Penyembuhan luka sesuai waktunya

Menunjukkan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit sehingga memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.

Intervensi:

a. Kaji jika ada tanda-tanda dekubitus misal adanya kemerahan, lesi dan nyeri tekan.

b. Lakukan tirah baring tiap 2 jam sesuai dengan kemampuan klien.

c. Lakukan masage pada daerah yang tertekan 2 kali sehari dengan menggunakan body lotion.d. Pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot (Carpenito, 2000: 337).

Tujuan

: Klien dapat melakukan perawatan diri secara optimal

Kriteria hasil : Klien terlihat bersih

Intervensi:

a. Kaji kebersihan diri klien dari kepala sampai kaki.

b. Ganti linen.

c. Tingkatkan kemampuan merawat diri dengan pendidikan kesehatan tentang perawatan diri pada keluarga klien

d. Mandikan klien.6. Gangguan eliminasi konstipasi berhubungan dengan dampak immobilisasi (Doenges, 2000: 1015).

Tujuan

: Klien dapat bab secara spontan

Kriteria hasil : Klien bisa bab secara spontan

Konsistensi abdomen lunak

Intervensi:

a. Kaji kebiasaan bab klien.

b. Kaji kebiasaan makan dan minum klien

c. Anjurkan klien untuk makan makanan tinggi serat, missal sayur-sayuran dan buah-buahan.

d. Anjurkan klien untuk banyak minum (1,5 liter/hari).

e. Jelaskan bahwa klien bisa bab dengan aman.

f. Kolaborasi pemberian dulkolak sesuai program sampai masalah dapat teratasi.

7. Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, klien memiliki rentang respon adaptif, dengan kriteria hasil :

Tampak relaks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat ditangani.

Mengakui dan mendiskusikan rasa takut.

Menunjukkan rentang perasaan yang tepat.

Intervensi :

a. Dorong ekspresi ketakutan/marah

b. Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah

c. Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan.

d. Dorong penggunaan menejemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. (2000). Handbook of nursing diagnosis (Buku saku diagnosa keperawatan) (Edisi 6). Alih bahasa Monica Ester. Jakarta: EGC.

Doenges, M.E. (2000). Nursing care plans: Guilelines for planning and documenting patient care (Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien) (Edisi 3). Alih bahasa I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC.

Kim, M.J., Mc. Farland, G.K., Mc. Lane, A.M. (1994). Pocket guide to nursing diagnosis (Diagnosa keperawatan) (Edisi 5). Alih bahasa Ni Luh GedeYasmin Asih. Jakarta: EGC.

Price, S.A. & Wilson, L.M. (1995). Clinical concepts of disease process (Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit) (Edisi 4). buku II. Alih bahasa Peter Anugrah. Jakarta: EGC.

Long, B.C. (1996). Essential of medical surgical nursing: A nursing process approach (Perawatan medikal bedah: Suatu proses pendekatan keperawatan). Volume II. Alih bahasa Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Bandung: Yayasan IAPK Bandung.

Sjamsuhidayat, R. & Wim De Jong. (1998). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Brunner & Suddarth,s textbook of medical surgical nursing (Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth). Volume III. Alih bahasa Agung Waluyo et All. Jakarta: EGC.Reeves, Charlene J. Roux, Gayle & Lockhart, Robin. (2001). Keperawatan Medical Bedah, Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Merdeka.LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR ANTE BRACHIAL

DI RUANG A3 (BEDAH PRIA) RSDK SEMARANG

DISUSUN OLEH :

ISNAINI NURUL ARIFAH 1.1.20493

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN SEMARANG

POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG

2007