LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

12
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran hewan coba sebagai hewan model dalam penelitian- penelitian ilmiah telah menjadi sejarah panjang dalam upaya para peneliti menyelamatkan manusia dan lingkungannya. Salah satu hewan coba yang banyak digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus novergicus). Tikus putih banyak digunakan pada penelitian-penelitian toksikologi, metabolisme lemak, obat-obatan maupun mekanisme penyakit infeksius. Tikus putih baik digunakan dalam penelitian karena mudah dipelihara, mudah berkembang biak sehingga cepat mendapatkan hewan coba yang seragam dan mudah dikelola di laboratorium. Penelitian tentang obat-obatan dan keracunan banyak menggunakan hewan coba tikus dan mencit, karena mudah diperiksa melalui organ-organ utama yang berperan yaitu hati dan ginjal (Leickteig, et al., 2007). Oleh karena itu organ hati dan ginjal harus dalam keadaan sehat baik secara klinis, patologi anatomi maupun histopatologi, jika menggunakan tikus sebagai hewan model. Penetapan status sehat hanya berdasarkan inspeksi banyak dilakukan terutama pada peneliti-peneliti pemula. Langkah-langkah dalam melakukan nekropsi sesuai dengan metode Hussein (2008). Sebelum nekropsi, tikus dieuthanasia dengan menggunakan ether di dalam kotak plastik. Nekropsi dilakukan sesuai prosedur nekropsi pada mamalia, kemudian seluruh

description

patologi sistemik veteriner

Transcript of LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

Page 1: LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peran hewan coba sebagai hewan model dalam penelitian-penelitian ilmiah telah menjadi

sejarah panjang dalam upaya para peneliti menyelamatkan manusia dan lingkungannya. Salah

satu hewan coba yang banyak digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus novergicus).

Tikus putih banyak digunakan pada penelitian-penelitian toksikologi, metabolisme lemak, obat-

obatan maupun mekanisme penyakit infeksius. Tikus putih baik digunakan dalam penelitian

karena mudah dipelihara, mudah berkembang biak sehingga cepat mendapatkan hewan coba

yang seragam dan mudah dikelola di laboratorium. Penelitian tentang obat-obatan dan keracunan

banyak menggunakan hewan coba tikus dan mencit, karena mudah diperiksa melalui organ-

organ

utama yang berperan yaitu hati dan ginjal (Leickteig, et al., 2007). Oleh karena itu organ hati dan

ginjal harus dalam keadaan sehat baik secara klinis, patologi anatomi maupun histopatologi, jika

menggunakan tikus sebagai hewan model. Penetapan status sehat hanya berdasarkan inspeksi

banyak dilakukan terutama pada peneliti-peneliti pemula.

Langkah-langkah dalam melakukan nekropsi sesuai dengan metode Hussein (2008).

Sebelum nekropsi, tikus dieuthanasia dengan menggunakan ether di dalam kotak plastik.

Nekropsi dilakukan sesuai prosedur nekropsi pada mamalia, kemudian seluruh organ dalam

diperiksa secara patologi anatomi (makroskopik). Organ-organ dalam seperti hati, ginjal, paru-

paru dan usus diperiksa.

1.2 Tujuan

- Untuk mengetahui metode nekropsi yang tepat

- Untuk mengetahui adanya abnormalitas organ

- Untuk mengetahui keadaan normal organ

1.3 Manfaat

- Mengetahui metode nekropsi yang tepat

- Mengetahui adanya abnormalitas organ

- Mengetahui keadaan normal organ

Page 2: LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Signalement

Nama : Kekewirausahaan

Jenis hewan : Tikus (Ratus Norwegicus)

Kelamin : Betina

Ras/breed : Mencit

Warna bulu/kulit : Putih

Umur : < 1 tahun

Berat badan : < 100 gr

Tanda kusus : Berwarna putih

2.2 Nekropsi Tikus

Euthanasia tikus dilakukan dengan cara dislokasi leher. Pada saat nekropsi tikus, ditemukan keadaan abnormal pada hepar. Ditemukan benjolan berwarna kuning di hepar. Belum diketahui penyebab benjolan kuning tersebut di hepar.

Hasil pengamatan yang dilakukan hanya ditemukan organ hati yang dalam kondisi kurang baik (abnormal) dimana terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati meskipun belum menyeluruh.

Page 3: LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

Sirosis hepatik adalah fase lanjut penyakit hati kronis yang ditandai proses peradangan, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan penambahan jaringan ikat difus (fibrosis) dengan terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati (Setiawan, 2007).

Etiologi

Konsumsi alcohol Virus hepatitis (tipe B, C, D) Penyakit hati metabolik (Hemochromatosis, Porphyria, Defisiensi α1 antitripsin

Steatohepatitis non alkoholik) Penyakit hati cholestatic

- Sirosis bilier primer- Sirosis bilier sekunder (penyebab yang mungkin : gallstones, strictures, infeksi

parasit)- Primary sclerosing cholangitis (terkait dengan kolitis ulseratif dan

cholangiocarcinoma)- Sindrom Budd-Chiari- Gagal jantung kongestif yang berat dan Severe congestive heart failure dan

constrictive pericarditis Obat dan herbal (Isoniazid, metildopa, amiodaron, metotrexat, henothiazine, estrogen,

steroid anabolik, black cohosh, jamaican bush tea)

Hati merupakan sistem penyaringan darah dari vena portal dan arteri hepatik. Darah memasuki hati melalui triad portal mengalir melewati lobus hepar yang merupakan unit terkecil dalam sistem ini dan juga ke vena sentral. Lobus hepar berbentuk heksagonal dan terdiri dari cabang-cabang terkecil vena portal dan arteri hepatik. Di lobus hepatik, hepatosit terangkai pada plate dari perifer sampai vena sentral. Arteri hepatik mensuplai oksigen ke triad portal. Hepatosit perifer yang lebih banyak menerima oksigen dibandingkan dengan sel didekat vena sentral. Darah arteri dan vena dari portal triad melewati lobus hepatik menuju vena sentral melalui sinusoid hepatik. Setelah melewati lobus hepatik, darah berkumpul di vena sentral, bersatu di vena hepatik kemudian memasuki vena cava inferior.

Pada kelainan hepatoselular, sel stellate yang normalnya menyimpan retinoid seperti vitamin A, menjadi teraktivasi dan melepas retinoidnya serta memacu pembentukan fibroblast. Zat ini kemudian menjadi sumber utama kolagen dan matriks protein lain yang berproliferasi selama fibrosis. Adanya materi fibrosa diantara sinusoid akan mengganggu aliran darah yang melewati lobus hepatik. Apabila kemudian terjadi penumpukan jaringan fibrosa maka tahanan aliran darah portal meningkat. Hasilnya yaitu terjadi pengerasan dan peningkatan tekanan darah portal. Tekanan normal vena portal adalah 5-10 mmHg. PHT terjadi bila tekanan vena portal lebih besar 10 mmHg daripada tekanan vena cava inferior.

Page 4: LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

Terdapat juga fakta yang menyebutkan bahwa sirosis terjadi karena adanya perubahan pada mediator vasodilatasi dan vasokonstriksi yang mengatur aliran darah pada sinusoid hepar. Kombinasi antara penurunan produksi (Nitric Oxide) NO sebagai vasodilator dan meningkatnya endotelin sebagai vasokonstriktor yang akan menyebabkan peningkatan tahanan aliran darah dan peningkatan aliran darah pada vaskularisasi limfa (Sease et al, 2008).

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki – laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala – gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epitaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih bewarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa,sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Sudoyo, 2006).

Disamping itu, ditemukan adanya kanker paru-paru yang merupakan pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan paru. Patogenesis kanker paru belum benar-benar dipahami. Sepertinya sel mukosal bronkial mengalami perubahan metaplastik sebagai respon terhadap paparan kronis dari partikel yang terhirup dan melukai paru. Sebagai respon dari luka selular, proses reaksi dan radang akan berevolusi. Sel basal mukosal akan mengalami proliferasi dan terdiferensiasi menjadi sel goblet yang mensekresi mukus. Sepertinya aktivitas metaplastik terjadi akibat pergantian lapisan epitelium kolumnar dengan epitelium skuamus, yang disertai dengan atipia selular dan peningkatan aktivitas mitotik yang berkembang menjadi displasia ukosal.

Peran hewan coba sebagai hewan model dalam penelitian-penelitian ilmiah telah menjadi sejarah panjang dalam upaya para peneliti menyelamatkan manusia dan lingkungannya. Salah satu hewan coba yang banyak digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus novergicus). Tikus putih banyak digunakan pada penelitian-penelitian toksikologi, metabolisme lemak, obat-obatan maupun mekanisme penyakit infeksius. Tikus putih baik digunakan dalam penelitian karena mudah dipelihara, mudah berkembang biak sehingga cepat mendapatkan hewan coba yang seragam dan mudah dikelola di laboratorium. Penelitian tentang obat-obatan dan keracunan banyak menggunakan hewan coba tikus dan mencit, karena mudah diperiksa melalui organ-organ utama yang berperan yaitu hati dan ginjal (Leickteig, et al., 2007). Oleh karena itu organ hati dan ginjal harus dalam keadaan sehat baik secara klinis, patologi anatomi maupun histopatologi, jika menggunakan tikus sebagai hewan model. Penetapan status sehat hanya berdasarkan inspeksi banyak dilakukan terutama pada peneliti-peneliti pemula. Jika secara klinis sehat, tetapi ternyata di dalam tubuh hewan coba terdapat parasit, tentu akan dapat mengacaukan hasil penelitian atau validitas penelitian diragukan. Hal ini sangat berpengaruh terutama jika

Page 5: LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

parasit tersebut terkait dengan fokus penelitian, misalnya infeksi Cysticercus pada hati akan sangat mempengaruhi hasil penelitian tentang fungsi hati. Infeksi Cysticercus secara klinis tidak menunjukkan gejala, sebagaimana pada tikus yang digunakan sebagai penelitian pendahuluan. Kejadian sistiserkosis terutama pada hepar banyak dilaporkan terdapat di India (Preet dan Prakash, 2002). Di Indonesia belum banyak dilaporkan tentang kejadian sistisrkosis pada tikus. Mengingat tikus merupakan makanan kucing dimana manusia sangat dekat dengan kucing, maka Cysticercosis menjadi objek penelitian yang penting baik dari aspek hewan kesayangan maupun hewan coba. Sebagai hewan kesayangan, maka kucing sangat mungkin sebagai inang definitif dari Cysticercus sp pada tikus.

Lesi infeksi Cysticercus ditandai dengan adanya gelembung putih pada permukaan jaringan hepar. Setiap tikus mengandung lesi tersebut bervariasi antara 1 sampai 3 gelembung. Setelah diperiksa di bawah mikroskop tampak skolek dan rostelum Cysticercus sp. Identifikasi terhadap spesies Cysticercus sp tersebut belum dapat ditentukan. pemilihan tikus sebagai hewan coba sangat menentukan validitas hasil penelitian. Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan inspeksi, adanya infeksi Cysticercus pada tikus sulit diketahui. Tetapi ada laporan penelitian untuk mengetahui adanya infeksi Cysticercus pada tikus dilakukan dengan cara memeriksa cairan plasma darah atau cairan peritoneal. Pada tikus yang terinfeksi Cysticercus terjadi peningkatan ion chlorin dalam plasma dan dapat digunakan sebagai teknik diagnosis (Preet dan Prakash, 2002). Adanya infeksi Cysticercus pada tikus menunjukkan adanya kesalahan manajemen pemeliharaan tikus percobaan. Oleh karena itu sistem pemeliharaan hewan coba sangat penting memperhatikan lingkungan, pakan, air minum serta faktor-faktor penyebab kontaminasi dalam kandang (Muthalib, 2008; Smith dan Mangkoewidjojo, 1987). Penelitian sistisekosis yang dihubungkan dengan perubahan tingkah laku dalam perkawinan rodensia (Gourbal et al.,2004) merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tikus sebagai hewan model. Dilaporkan bahwa infeksi Cysticercus pada mencit jantan menyebabkan mencit betina menolak untuk dikawini. Hasil pemeriksaan histopatologi hati tikus yang terinfeksi Cysticercus memperlihatkan terjadi perubahan berupa hilangnya jaringan hepar akibat invasi Cysticercus, nekrosis disertai infiltrasi sel-sel radang baik di sekitar.

Page 6: LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

2.3 Hasil Nekropsi

Organ Hasil

Colon Normal, tidak ada kelainan

Uterus Normal, tidak ada kelainan

Hepar Terdapat benjolan (nodul) berwarna kekuningan

Ginjal Normal, tidak ada kelainan

Jantung Normal, tidak ada kelainan

Usus halus Normal, tidak ada kelainan

Page 7: LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus
Page 8: LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil nekropsi tersebut dapat disimpulkan bahwa gejala klinis yang terlihat pada sampel tikus tersebut adanya nodul pada hepar berwarna kuning. Untuk mengetahui penyebab dari nodul pada hepar tersebut diperlukan pemeriksaan pada Laboratorium Patologi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada hasil nekropsi organ yang lain tidak ditemukan abnormalitas.

3.2 Saran

Sebaiknya untuk praktikum selanjutnya praktikan lebih teliti lagi.

Page 9: LAPORAN PATSIS Hewan Coba Ratus Norwegicus

DAFTAR PUSTAKA

Hussein FN. 2008. Anesthesia and Euthanasia in Laboratory Animals. Workshop on the Care and Use of Lab An Res. Collaboration Fac.Vet.Med. Airlangga Univ. and Fac.Vet. Med. UPM. Surabaya.

Kiernan JA. 2001. Histological and Histochemical Methods. 3rd Ed. Toronto. Arnold Pub. Pp. 330-354.

Lacy, Charles F., et al, 2009. Drug Information Handbook, 18th Edition, Lexi Comp Inc, North America

Lickteig AJ, Fisher CD, Augustine LM, Aleksunes LM, Besselsen DG, Slitt AL, Manautou JE, Cherrington NJ. 2007. Efflux Transporter Expression and Acetaminophen Metabolite Excretion Are Altered in Rodent Models of Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Drugs, Metabolism and Disposition

McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F., and Lange, J.D., 1995. Pathophysiology of Disease, an Introduction to Clinical Medicine, 1st edition, Connecticut : Appleton & Lange

Pagana, K.D. & Pagana, T.J. 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test. 2nd ed. Missouri: Mosby, Inc.

Preet S, Prakash S. 2002. Cysticercosis in Rat Infected with Cysticercus fasciolaris (Rud): the Possible Role of Plasma and Cystic Anions in Diagnosis. J Parasitic Disease. 24(2): 135-139

Sease, J.M., Timm, E.G., and Stragand, J.J. 2008. Portal Hypertension and Cirrhosis. In : DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Ed. 7th, New York : McGrawhill Co

Setiawan, Poernomo Budi.2007. Sirosis Hati. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., and Setiati, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam I, edisi keempat, Jakarta: Balai Penerbit FKUI