LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia
Transcript of LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia
LAPORAN KEGIATAN
FORUM NASIONAL VJARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA (JKKI)
KELOMPOK KEBIJAKAN HIV/AIDS
Bandung, 24 - 27 September 2014
“Mengintegrasikan Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan”
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... i
RINGKASAN ..................................................................................................................................... 1
1. PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 3
A. TUJUAN............................................................................................................................ 4
B. AGENDA KEGIATAN......................................................................................................... 4
2. PEMAPARAN MATERI DAN DISKUSI ..................................................................................... 7
3. PELATIHAN PENULISAN POLICY BRIEF ................................................................................. 18
4. PERTEMUAN INTERNAL PENELITI 8 UNIVERSITAS – PKMK FK UGM ................................ 18
5. BLENDED LEARNING BATCH II.............................................................................................. 19
6. PENUTUP................................................................................................................................ 21
1
RINGKASAN
Kelompok kerja kebijakan HIV & AIDS pada acara Forum Nasional V Jaringan Kebijakan
Kesehatan Nasional di Bandung mengangkat tema Mengintegrasikan Upaya
Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan. Pokja kebijakan AIDS ini
terbentuk untuk merespon kebijakan dan program penanggulangan HIV & AIDS yang telah
atau sedang dilakukan, tantangannya dalam pengembangan dan implementasi kebijakan
selama ini, dan kontribusi setiap lembaga baik nasional maupun internasional dalam
penanganannya. Melalui pokja ini, berbagai isu hasil penelitian dari para peneliti universitas,
aktifis AIDS, pemerintah, dan komunitas didiskusikan secara kritis terkait upaya
pengintegrasian penanggulangan HIV dan AIDS dalam kerangka Sistem Kesehatan
Indonesia. Pokja ini dihadiri sebanyak 62 orang dari berbagai latar belakang, termasuk dari
masyarakat sipil (Contact Bandung, LSM Grapik, Cemara plus, PKBI, Srikandi Pasundan dan
Masyarakat Indonesia Sehat). Pemangku kepentingan HIV dan AIDS lain yang terlibat adalah
KPA Jakarta, Mitra Pembangunan Internasional (CHAI, Kinerja (USAID)) dan Akademisi dari
Universitas Padjajaran, Universitas Gadjahmada, Atmajaya Jakarta dan UPI Bandung.
Sesi Pokja Kebijakan HIV & AIDS dalam Fornas V Bandung diawali dengan Launching Hasil
Kajian Kebijakan HIV & AIDS oleh PKMK UGM. Isu-isu pokok yang muncul dalam diskusi,
antara lain:
• Integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan adalah jawaban
sekaligus tantangan dalam momentum perubahan politik pemerintah baru Indonesia
dan fokus perubahan prioritas pembangunan global pasca MDGs. Komitmen dari
pemangku kepentingan dan strategi pembiayaan penanggulangan AIDS yang
berkelanjutan merupakan persoalan kunci pengintegrasian kebijakan AIDS dalam sistem
kesehatan.
• Kebijakan desentralisasi menjadi proses pengembangan kewenangan daerah dalam
semangat subsidiaritas dalam penanggulangan AIDS di daerah. Penting adanya
kejelasan peran KPA sebagai fungsi koordinasi penanggulangan AIDS antar SKPD dan
2
lembaga yang terkait, sehingga dapat memutus rantai ketimpangan peran yang justru
memicu terjadinya kelambatan respon dari para pemangku kepentingan.
• Pengembangan program daerah perlu akses data yang memadai yang sejauh ini justru
program bersifat vertikal sebagai dampak dari dominiasi pusat baik dari segi program,
pembiayaan, dan data. Kualitas program didaerah sangat ditentukan oleh ketersediaan
data yang valid dan kontekstual.
• Semua anggota SKPD dan lembaga yang menjadi anggota KPA bertanggungjawab
mengalokasikan dana untuk program penanggulangan AIDS yang dikoordinasikan oleh
KPA. Dalam pelayanan kesehatan (service delivery), Dinkes dalam mengambil
kepemimpinan termasuk dalam pengalokasian dana kepada anggota-anggota SKPD
yang lain dan bertanggungjawab dalam penggunaan dana tersebut secara akuntabel
dan transparan.
• Pada tingkat layanan, kebijakan komprehensif untuk mengurangi stigma dan
diskriminasi dan mendorong partisipasi masyarakat menjadi penting sebagai pendukung
untuk strategi layanan medis. Penguatan sistem komunitas, penguatan SDM layanan,
dan jejaring penanggulangan AIDS menjadi signfikan untuk efektifas penanggulangan
AIDS.
• Penanggulangan AIDS menjadi bagian tidak terpisahkan dari jaminan kesehatan
nasional. Pembiayaan AIDS perlu masuk dalam skema JKN yang perlu terus dimonitor
dan diadvokasi lebih lanjut untuk memastikan adanya implementasi cakupan layanan
AIDS.
3
1. PENDAHULUAN
Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia tahun ini diselenggarakan di
Bandung, dengan mengambil tema “Tantangan Kebijakan Kesehatan dalam Pemerataan
Kesehatan di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masih Tingginya Hambatan dalam
Pencapaian MDG 4, 5 dan 6”. Forum ini merupakan momentum yang cukup strategis untuk
berkontribusi dalam perbaikan kebijakan kesehatan ke depan. Dalam forum ini terdapat 6
kelompok kerja yang terlibat di dalamnya, yaitu Kelompok Kerja Kebijakan HIV dan AIDS,
Kebijakan Pembiayaan, Kebijakan KIA, Kebijakan Gizi, Kebijakan Kesehatan Jiwa Masyarakat
dan Kebijakan Pelayanan Kesehatan.
Tahun 2015 merupakan tahun yang sangat strategis bagi penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia. Pertama, tahun depan merupakan awal pemerintahan baru yang memiliki visi dan
misi kesehatan yang berbeda dengan pemerintahan yang saat ini. Kedua, tahun ini juga
merupakan awal dari pelaksanaan Rencana Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS
2014-2019. Ketiga, tahun 2015 merupakan tahun awal untuk pelaksanaan model pendanaan
program penanggulangan AIDS yang baru. Adanya perubahan-perubahan ini menuntut kita
untuk selalu memantau dan mengawal pelaksanaan program penanggulangan AIDS agar
semakin mampu untuk merealisasikan tujuan dari penanggulangan AIDS itu sendiri yaitu
menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru; menurunkan hingga meniadakan
kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS; meniadakan
diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS (ODHA); meningkatkan kualitas hidup
ODHA; dan mengurangi dampak sosial ekonomi dari HIV dan AIDS pada individu, keluarga
dan masyarakat (Permenkes No. 21 tahun 2013).
Salah satu agenda kebijakan strategis yang ingin dikembangkan dalam upaya
penanggulangan AIDS ke depan seperti termuat dalam rancangan SRAN 2015-2019 adalah
memperkuat integrasi upaya penanggulangan AIDS ini ke dalam sistem kesehatan.
Munculnya agenda ini merupakan bentuk kesadaran akan kenyataan bahwa upaya yang
selama ini dilakukan masih mencerminkan pendekatan vertikal dan sangat didominasi oleh
4
pusat baik pemerintah maupun mitra pembangunan internasional. Hal ini bisa terjadi karena
sumber pembiayaan utama untuk penanggulangan AIDS masih sangat didominasi oleh
pusat. Pendekatan yang selama ini dilakukan belum menunjukkan pelaksanaan sistem
kesehatan yang terdesentralisasi. Peran daerah masih terbatas pada pelaksana program
nasional pada satu sisi dan kebijakan daerah yang telah dibuat belum dilaksanakan secara
konsisten pada sisi yang lain.
A. TUJUAN
Kelompok Kerja Kebijakan HIV dan AIDS pada Fornas V JKKI membuka diskusi paralel bagi
para akademisi, pemerhati, pemangku kepentingan dan pegiat penanggulangan AIDS
dengan tujuan:
1. Menyajikan hasil penelitian terkait dengan dengan upaya penanggulangan AIDS dan
sistem kesehatan.
2. Membahas tentang strategi dan format integrasi upaya penanggulangan AIDS ke
dalam sistem kesehatan untuk memperkuat pencapaian tujuan penanggulangan AIDS
dan menjamin keberlangsungan upaya ini di masa depan.
3. Menyediakan rekomendasi kontekstual dan operasional bagi integrasi upaya
penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan.
4. Memperkuat jaringan peneliti dan pengamat kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia
sebagai upaya untuk melakukan monitoring terhadap kinerja implementasi kebijakan
AIDS di Indonesia
B. AGENDA KEGIATAN
24 September 2014
Sesi Paralel 1 : Launching Penelitian: Kajian Dokumen Kebijakan dan Program Penanggulangan AIDS dan Sistem Kesehatan di Indonesia
Pembicara: Suharni, MA Moderator: Iko Safika, Ph.D Pembahas:
5
1. Irawati Atmosukarto, MPP – Sekretariat KPAN 2. dr. Nadia Tarmizi, M.Epid - Kementerian Kesehatan 3. Prof. Irwanto – PPH Atma Jaya Jakarta 4. Dr. Irwan Julianto, MPH - Wartawan Senior Kesehatan
Sesi Paralel 2 : Pembiayaan Program HIV dan AIDS: Menuju Universal Access Layanan
HIV dan AIDS Moderator: Ignatius Praptoraharjo, Ph.D Pembicara:
1. dr. Nadia Tarmizi, M.Epid – Kementerian Kesehatan Strategi Pembiayaan Penanggulangan AIDS untuk mencapai Universal Access
2. Edo Nasution - PKNI Eksklusi Kelompok Populasi Kunci dalam Kepesertaan JKN
3. dr. Silwanus Sumule - Dinas Kesehatan Provinsi Papua Strategi Penanggulangan AIDS dalam Konteks Otonomi Khusus di Provinsi Papua
4. Amila Megraini, SE, MBA – PPK UI Struktur Pembiayaan Program Penanggulangan HIV dan AIDS: Analisis Nasional AIDS Spending 2014
5. Aang Sutrisno – Migunani Politik Ekonomi Kebijakan Penanggulangan AIDS di Indonesia: Analisis Pemanfaatan Dana Bantuan Hibah untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia.
25 September 2014
Sesi Paralel 3 : Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019 Pembicara: dr. Suriadi Gunawan, MPH – Sekretariat KPAN Moderator : Simplexius Asa, SH, MH Pembahas:
1. Setia Perdana – GWL Ina 2. Aldo Napitu - OPSI 3. dr. Trijoko Yudopuspito, MSc.PH – Kemenkes 4. Hersumpana, MA – PKMK FK UGM
Sesi Paralel 4 : Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS Moderator: Dr. dr. Windu Purnomo, MS Pembicara:
1. Shanti Riskiyani, SKM, M.Kes
6
Anak Tiri Mengatur Anak Kandung: Hambatan KPA Prov Sulsel dalam Penanggulangan HIV dan AIDS
2. Simplexius Asa, SH, MH Urgensi Sosialisasi dalam Pembentukan dan Penerapan Peraturan Daerah tentang HIV dan AIDS
3. Siradj Okta, SH, LLM Forensik HIV: Prekondisi Kriminalisasi dalam Kebijakan AIDS Nasional
4. Esthi Susanti H, M.Si Refleksi pengalaman implementasi dan advokasi kebijakan hiv-aids selama 22 tahun
5. Kurniawan Rachmadi, SKM, M.Si. Efek Samping Kebijakan Penarikan Obat d4T di Indonesia
6. Adiatma Y.M Siregar Biaya Perawatan HIV / AIDS di Indonesia Berdasarkan Saat Dimulainya Perawatan dan Tingkat Kesakitan
7. Ranu Sewdas Keterlibatan Publik Dalam Penentuan Prioritas Untuk Pengendalian HIV & AIDS di Jawa Barat
Sesi Paralel 5 : Layanan Program Penanggulangan HIV dan AIDS Moderator: Melkior Tappy, SKM, MPH Pembicara:
1. dr. Nyoman Sutarsa, MPH Barriers to integrating HIV and AIDS Servicies into CHC in Bali Province
2. Anindita Gabriella, M.Psi Layanan Kesehatan Jiwa dalam Penanggulangan HIV dan AIDS
3. Lita Sri Andayani, SKM M.Kes Kajian Perlunya Peningkatan Peran Bidan KIA dalam upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Janin
4. Dewi Rokhmah, SKM, M.Kes Implikasi Mobilitas Penduduk dan Gaya Hidup Seksual terhadap Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Jember
5. Sudirman Nasir, Ph.D Peran Pendamping dalam Mengadvokasi Pengurangan Perlakuan Diskriminatif yang dialami ODHA dalam mengakses layanan HIV dan AIDS di Kota Makassar
6. Rozar Prawiranegara HIV-AIDS Priority Setting using AFR-MCDA in West Java, Indonesia
7
2. PEMAPARAN MATERI DAN DISKUSI
Sesi Paralel 1: Hasil Kajian Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang
dilakukan oleh PKMK FK UGM 2014 merupakan upaya untuk memetakan upaya
penanggulangan AIDS selama 25 tahun terakhir. Selain penelaahan dokumen sekunder,
kajian ini juga dilengkapi dengan hasil dari kunjungan lapangan ke 5 provinsi, yakni Sumatera
Utara, Jawa Timur, Bali, Makasar dan Papua. Hasil kajian ini menyoroti adanya kesenjangan
yang besar antara banyaknya produk hukum dengan implementasinya di lapangan. Titik
lemah dari implementasi kebijakan tersebut terletak pada penjabaran operasional di
lapangan yang tidak diikuti dengan alokasi sumber daya baik dari tenaga yang kompeten,
alokasi dana yang cukup dan pengembangan program di tingkat masyarakat basis. Satu
kesimpulan lagi yang muncul dari kajian tersebut adalah kesenjangan terjadi sebagai akibat
dari kontestasi antar lintas sektor maupun program. Dominasi pusat dengan pendekatan
vertikal masih menjadi pola dalam interrelasi antar sektor maupun internal. Dengan
demikian, belum terjadi integrasi secara struktural, masih adanya ego sektoral cenderung
menjadi faktor penentu terjadinya fragmentasi dan tidak terintegrasinya kebijakan di semua
tingkatan, nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, lahirnya kebijakan banyak
dipengaruhi oleh kepentingan politik ekonomi global terhadap Indonesia. Seperti misalnya
pembentukan komisi HIV dan AIDS di Depkes karena pengaruh PBB dan WHO.
Epidemiologi HIV dan AIDS di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan
infeksi baru. Data IBBS tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi di kalangan pria risti, ibu
rumah tangga, kelompok LSL dan anak-anak remaja semakin meningkat dibandingkan
dengan WPS dan penasun. Peningkatan prevalensi pada Ibu rumah tangga, kelompok LSL
dan anak-anak remaja merupakan tantangan untuk pengembangan pengetahuan dan
pendidikan masyarakat terkait AIDS serta pentingnya aspek pencegahan dan promosi
kesehatan. Pada aspek intervensi, layanan masing-masing sektor cenderung bermain sendiri
dengan intervensi yang berbeda-beda dan belum semua komponen sistem kesehatan
dipenuhi. Monitoring implementasi penanggulangan AIDS cenderung bersifat parsial dan
lebih memenuhi kepentingan proyek daripada kebutuhan pemanfaat. Fokus cenderung
8
dominan pada upaya treatment dan kurang pada pencegahan. Padahal seperti yang
tertuang dalam SRAN 2010-2014, bahwa skema pembiayaan upaya penanggulangan HIV dan
AIDS adalah promosi (50%), PDP (28%), mitigasi dampak (13%).
Catatan dari Kemenkes atas hasil kajian dokumen Kebijakan AIDS yang dipaparkan adalah
perlunya elaborasi lebih lanjut mengenai kerangka berpikir integrasi upaya penanggulangan
HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan. Bagaimana integrasi kebijakan AIDS dengan sistem
kesehatan dan sistem-sistem yang lain; seperti sistem keamanan, sistem pendidikan dan
seterusnya? Menurut Kemenkes, desentralisasi bukan merupakan suatu masalah, justru
sebaliknya memberikan solusi pembagian kewenangan daerah seperti prinsip sudsidiaritas
dan partisipasi masyarakat lebih luas dalam pengembangan sistem kesehatan masyarakat.
Disampaikan juga bahwa kesimpulan dari kajian tersebut, masih bersifat deskriptif, sistem
kesehatan belum terlalu terlihat, dengan demikian masih membutuhkan analisis mendalam.
Terkait dengan bahasan sistem kesehatan, respon kesehatan terhadap HIV tidak
independen, karena upaya penanggulangan AIDS berinteraksi dengan suprasistem lain.
Keberadaan KPA sebagai lembaga tetap diperlukan karena adanya suprasistem yang
membutuhkan intervensi. Dalam konteks disain kebijakan kesehatan di luar sistem
9
kesehatan nasional, misalnya sistem penganggaran dan seterusnya mereka juga
berinteraksi dengan sistem kesehatan. Hal ini tentu saja penting juga untuk dicermati agar
review yang dilakukan seimbang. Kajian masih terlalu fokus pada KPA, kementrian
kesehatan dan dinas kesehatan kurang tereksplorasi.
Pembahas dari KPAN menyampaikan catatannya bahwa review ini belum berhasil
menangkap perkembangan yang terjadi di lapangan dari kinerja KPA nasional, daerah, dinas
dan LSM. Sebenarnya dalam periode 2011- 2013, perkembangan dan perbaikan sudah banyak
terjadi. Dalam kajian juga belum terlalu tercermin mengenai aspek integrasi kebijakan AIDS
dalam sistem kesehatan, masih sangat fokus pada kajian dokumen dan literatur yang sudah
ada. Analisis mendalam belum terlalu kelihatan. Paparan banyak memberikan masukan ke
KPA tetapi mengatasnamakan sistem kesehatan nasional, Kemkes, dan KPA Nasional.
Secara umum, hasil kajian kebijakan AIDS di Indonesia cukup baik dan perlu diberikan
apresiasi, meski sebagian membutuhkan perbaikan. Prof. Irwanto dari PPH Atmajaya
menegaskan bahwa adanya kesenjangan antara produk kebijakan dengan implementasinya
karena tidak didukung dalam praktik oleh kecukupan kompetensi aparat, kesiapan
mekanisme implementasi dan lingkungan yang mendukung. Permasalahan adanya
kontestasi dan perbedaan pandangan lebih didasarkan pada alasan pragmatis, sehingga
argumentasi yang didasarkan bukti-bukti data tidak menjadi dasar penjelasan yang tepat.
Argumentasi yang berbasiskan moral politik maupun moral ekonomi menjadikan kebijakan
AIDS tidak efektif.
Ketidaksinambungan sebuah kebijakan dengan apparatus, kapasitas SDM dan lembaga
menjadikan penanggulangan AIDS berjalan lambat sebagai dampak dari argumentasi moral.
Kemudian Advokasi cenderung fokus pada persoalan kesehatan sementara stigma dan
diskriminasi tidak diadvokasi dengan baik. Dalam perspektif aparat masih kuat sekali budaya
keeping out people, jika memiliki pandangan yang berbeda. Akses pada sistem kesehatan
yang lebih luas masih tumpul karena kurangnya kerjasama dengan isu terkait, seperti kusta,
disabilitas, dan gender.
10
Perspektif masyarakat tentang AIDS tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah seperti yang
digarisbawahi oleh Dr. Irwan Julianto dari Kompas bahwa sejak awal dari sisi komunikasi
memang ada persoalan dalam memandang HIV dan AIDS. Masyarakat mengalami kepanikan
karena AIDS seperti yang terlihat dalam pandangan masyarakat yang muncul dalam
pemberitaan media sejak diketemukan kasus AIDS pertama di Bali tahun 1987. Oleh
karenanya, Harm reduction menjadi penting. Terkait kasus pekerja seks antara supply
demand dan demand reduction selalu dibenturkan dengan harm reduction. Akan tetapi
faktanya menunjukkan pemikiran untuk mengurangi supply tidak akan mengurangi
permintaan. Ketiganya harus bersinergi. Persoalan moral masih mendominasi pandangan
masyarakat sehingga kondisi ini membutuhkan edukasi yang serius agar pemahaman dan
pengetahuan terkait HIV dan AIDs yang benar lebih dominan.
Sesi Paralel 2: Dalam sesi diskusi Kebijakan Pembiayaan Upaya penanggulangan HIV dan
AIDS menuju universal access, Kemenkes RI tetap memiliki optimisme mampu melakukan
pencegahan dan pengurangan dampak epidemi HIV dan AIDS. Setelah 27 tahun upaya
penanggulangan HIV dan AIDS, data menunjukkan prevalensi infeksi baru meningkat.
Namun sebenarnya, perubahan-perubahan telah banyak dicapai dan secara arah strategi
pembangunan kesehatan ke depan Kemenkes telah memasukkan HIV dan AIDS sebagai
bagian dalam skema program di bawah Pengawasan dan Perlindungan Penyakit Menular.
Secara konseptual untuk keberlanjutan penanggulanan HIV dan AIDS sudah dikembangkan
LKB sebagai layanan komprehensif HIV dan IMS yang mendekatkan layanan preventif, dan
CST hingga ke fasyankes primer. Data Kemenkes menunjukkan jumlah layanan CST
meningkat pada tahun 2006 terdapat 75 rumah sakit, kemudian tahun 2013 meningkat
menjadi 398 rumah sakit ditambah 15 Puskesmas. Faktor pembiayaan masih menjadi
tantangan serius ke depan. Pembiayaan untuk sektor kesehatan secara umum masih kecil
sekitar di bawah 2%. Meskipun demikian dapat dilihat bahwa komitmen pemerintah dari
waktu ke waktu mengalami peningkatan yang dapat dilihat dari porsi pembiayaan untuk HIV
dan AIDS yang sekarang mencapai sekitar 42 %. Untuk obat ARV dari program bahkan sudah
ditanggung oleh APBN, mencapai 80 %. Di masa mendatang, harapan untuk program
11
penanggulangan HIV dan AIDS adalah integrasinya dalam sistem kesehatan. Tujuan dari
integrasi ini adalah akan memberikan jaminan layanan kesehatan yang berkelanjutan.
Pembicara kedua dalam sesi ini menyampaikan bahwa isu pembiayaan menjadi
permasalahan utama untuk dipikirkan bagaimana mencari solusinya setelah donor
mengurangi bantuan. Data NASA menunjukkan bahwa selama ini memang sebagian besar
pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS berasal dari donor, secara keseluruhan
mencapai 80%. Akan tetapi jika dipecah setiap item sebenarnya pemerintah Indonesia sudah
memberikan alokasi yang semakin meningkat. Ke depan, Indonesia tidak bisa lagi
menggantungkan diri pada donor, oleh karena adanya perubahan status Indonesia yang
meningkat menjadi negara yang dikategorikan ke dalam lower middle income country. Hal ini
secara otomatis berkonsekuensi pada pengurangan donor karena sudah dianggap sebagai
negara dengan kemampuan finansial yang semakin baik. Jika dibandingkan dengan negara-
negara tetangga Indonesia dalam porsi pembiayaan domestic, pembiayaan untuk program
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia masih terhitung rendah, mencapai sekitar 42%
jika dibandingkan Philipina yang mencapai 52% dan Vietnam yang mencapai 17% dengan
kategori yang sama.
Lain halnya dengan kebijakan pembiayaan di Papua dengan adanya OTSUS, anggaran untuk
pembiayaan sektor kesehatan mencapai 15%. Alokasi ini cukup besar akan tetapi
permasalahannya adalah pada keterbatasan sumber daya dalam implementasinya baik dari
sisi sumber daya manusia maupun program. Strategi pembiayaan di Papua memang sangat
ditunjang dengan keberadaan kebijakan OTSUS, disamping potensi penggalian pembiayaan
dari sektor swasta yang belum banyak tergali.
Dari sisi penerima layanan, perwakilan kelompok kunci menyatakan bahwa masih adanya
perlakukan yang kurang adil dalam mengakses layanan. Pecandu masih mendapatkan
perlakuan yang tidak adil. Salah satu contoh ketidakadilan ini adalah kelompok pecandu
masih mendapatkan stigma sosial dan untuk pengobatannya tidak dapat masuk dalam
skema pembiayaan JKN.
12
Sesi Paralel 3: Diskusi mengenai SRAN 2015 – 2019 secara subtansi tidak banyak perubahan
dari SRAN sebelumnya. KPAN menegaskan bahwa dari hasil midterm review di masa akhir
SRAN 2010 – 2014 sesuai indikator kinerjanya disimpulkan bahwa sejauh ini program berhasil
menahan laju epidemi HIV, dimana perkembangan jumlah infeksi baru telah melambat.
Dengan latar belakang kajian tersebut berbagai pilihan strategi untuk penanggulangan HIV
dan AIDS dipilih dan dielaborasi sebagai masukan dalam penyusunan draft SRAN 2015-2019.
Draft SRAN 2015-2019 yang sedang dalam proses finalisasi tersebut diharapkan akan selesai
akhir tahun ini dimana tantangan yang perlu dipertimbangkan ke depan meliputi komitmen
pimpinan daerah, alokasi dana APBN dan APBD serta mobilisasi dana CSR, perluasan
cakupan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, keberlanjutan program
dan pencegahan HIV di kalangan LSL dan LBT. Beberapa tanggapan yang muncul dari para
pembahas dalam sesi ini, antara lain tentang pentingnya penekanan peran komunitas
kelompok/populasi kunci dalam SRAN yang akan datang. Peran komunitas yang meliputi
program outreach, monitoring program, dan kemampuan untuk advokasi. Penguatan sistem
kesehatan (Health System Strengthening) melalui penguatan sistem komunitas serta
penguatan sistem pendanaan lokal, perlu dipertimbangkan dalam draft SRAN tersebut.
Harapannya strategi yang dipilih dalam SRAN 2015-2019 ini wajib menurunkan epidemic HIV,
tidak sekedar mampu menahan laju epidemi HIV seperti pada periode SRAN sebelumnya.
13
Pembahas dari PKMK FK UGM menyatakan masalah integrasi merupakan masalah yang
krusial dalam penyusunan SRAN ini. Bentuk-bentuk integrasi yang direkomendasikan dalam
SRAN 2015-2019 antara lain meliputi integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS
dengan pembangunan kesehatan khususnya dilakukan dalam strategi nasional dan
operasional, integrasi pembiayaan dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan
sektor lain di dalam anggaran pemerintah (APBD), integrasi layanan HIV ke dalam layanan
kesehatan dasar dan rujukan, integrasi perlindungan sosial untuk ODHA dan populasi kunci
terkait dengan HIV ke dalam sistem asuransi sosial, integrasi penyediaan obat dan
perlengkapan diagnostik ke dalam sistem pengadaan logistik yang ada di setiap level
pemerintahan dan integrasi sistem informasi HIV ke dalam sistem informasi kesehatan.
Namun tetap disadari adanya berbagai tantangan dalam integrasi tersebut seperti
fragmentasi kelembagaan, pendanaan yang bersifat project-oriented, tarik menarik
kepentingan politik ekonomi dengan data epidemiologi HIV dan keterbatasan SDM.
Tantangan ini tentunya juga harus dipertimbangkan dalam SRAN tersebut. Berbagai bentuk
integrasi tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja upaya penanggulangan HIV dan
AIDS di masa mendatang terutama ketika pendanaan luar negeri semakin berkurang
Sesi Paralel 4: Sesi ini mengambil tema Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS,
dimana materi diskusi diawali dengan pemaparan 7 free abstract yang berasal dari para
peneliti universitas dan peserta Blended Learning Tahap II. Hal yang menjadi sorotan dari
beberapa materi pemaparan tersebut, ternyata sejauh ini tata kelola program
penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola
yang baik. Misalnya prinsip transparansi, kesetaraan dan pengawasan, efisiensi dan
efektifitas serta penegakan hukum.
Hasil riset dari Simplexius (Universitas Nusa Cendana) menunjukkan lemahnya sosialisasi
Perda HIV dan AIDS menjadi penyebab ketidakefektifan perda tersebut. Masyarakat
seharusnya dilibatkan dalam sosialisasi sejak pra legislasi yaitu sejak suatu PERDA dirancang,
sosialisasi legislasi atau pasca legislasi yaitu sosialisasi isi (content) dan struktur materi, serta
sosialisasi continuum / regular, dimana sosialisasi secara kontinyu dan berlanjut sampai pada
14
efek culture of law yaitu menghasilkan perilaku baru yang membudaya sehingga
menciptakan ketaatan yang sukarela dan kontiunum terhadap suatu perda.
Esthi Susanti, sebagai salah satu peserta Blended Learning dari Jawa Timur menegaskan
bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi kunci lebih bersifat temporal/
proyek sehingga yang dicapai hanya perubahan pengetahuan tanpa mengejar perubahan
perilaku. Akibatnya menciptakan suatu kondisi ketergantungan terhadap program atau
menghasilkan efek sesaat. Oleh karena itu sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS seharusnya
dimulai pada usia dini atau sekolah dengan tujuan membentuk mental dan karakter serta
perilaku aman untuk dapat melindungi diri dari HIV dan AIDS. Senada dengan yang
dinyatakan dalam hasil riset Sewdas Ranu, dkk, yang menyatakan bahwa keterlibatan peran
publik begitu penting dalam mendukung penanggulangan HIV dan AIDS. Selama ini publik
kurang dilibatkan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS khususnya dalam sistem
perencanaan daerah, misalnya LSM, akademisi, konsultan dan organisasi profesional kurang
dilibatkan dalam Musrenbang sehingga perencanaan kurang berbasis data dan fakta yang
aktual.
Dari aspek efisiensi dan efektifitas, hasil riset yang dilakukan oleh Siregar Y.M. Adiatma
menunjukkan bahwa perlu diperhatikan dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan
memberikan sosialisasi yang kuat kepada ODHA dan penyelenggara penanggulangan HIV
dan AIDS. Menurutnya sebelum pemberian ART, biaya pengobatan ODHA didominasi oleh
biaya tes laboratorium (>65%), dan setelah inisiasi ART, oleh obat antiretroviral (≥60%). Biaya
rata-rata per pasien menurun seiring dengan berjalannya perawatan. Tingkat CD4 yang lebih
tinggi saat dimulainya perawatan diasosiasikan dengan biaya tes laboratorium dan
perawatan infeksi oportunistik yang lebih rendah. Biaya transportasi mendominasi biaya
pasien dalam mengakses layanan HIV (>40%). Hal ini berarti dengan mengkonsumsi ARV,
seorang ODHA akan mampu menekan biaya infeksi oportunistik dan biaya pasien dalam
mendapatkan layanan dan hanya mengeluarkan biaya transportasi. Untuk itu, akses
terhadap ARV harus lebih dekat dengan masyarakat sehingga dapat menekan biaya
transportasi.
15
Terkait dengan peran dan posisi KPAD, hasil riset dari Shanti R, dkk menyoroti posisi KPAD
yang dianalogikan sebagai anak tiri. Walaupun yang menjadi ketua KPA provinsi adalah
gubernur, namun KPA provinsi bukanlah bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah.
Seolah-olah sebagai anak tiri, KPA provinsi merasa sulit ketika harus mengkoordinir SKPD
yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah daerah yang dianalogikan sebagai anak
kandung untuk penanggulangan AIDS di daerah. Penelitian ini menunjukkan bahwa posisi
KPAD masih problematis dan penanggulangan AIDS di daerah masih sangat bergantung
pada peran pimpinan tiap SKPD yang menjadi anggota KPA. Dengan demikian penguatan
posisi KPA perlu dilakukan untuk lebih mendukung tata kelola penanggulangan AIDS yang
efektif.
Hasil riset dari Okta Siradj menyoroti pelaksanaan prinsip tata kelola penanggulangan HIV
dan AIDS tentang penegakan hukum. Secara global, eksistensi kriminalisasi penularan HIV
diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan AIDS. Faktanya, studi terhadap 18
Undang-undang dan 4 peraturan daerah menunjukkan adanya kriminalisasi terkait penularan
HIV di Indonesia, disamping adanya pasal penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum
pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum positif, kriminalisasi
memiliki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik HIV, pengadilan tidak dapat
membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada korban. Namun, forensik HIV
seperti pemanfaatan phylogenetic analysis memerlukan standar yang ekstensif agar memiliki
kualifikasi pembuktian di pengadilan. Pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional perlu
mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan anggaran dalam mengantisipasi
penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan eksekutif di tingkat
penyidikan maupun yudikatif di tingkat pengadilan terkait forensik HIV perlu dilakukan
secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim pidana dengan sistem pembuktian negatif
perlu dikawal oleh masyarakat sipil. Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan
modal advokasi dekriminalisasi dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.
Sesi Paralel 5: Beberapa isu yang muncul dalam sesi Layanan Upaya Penanggulangan HIV
dan AIDS adalah minimnya sumber daya yang dapat memberikan layanan. Persoalan sumber
16
daya ini banyak dihadapi oleh fasyankes di tingkat primer. Selain itu, problem mutasi nakes
merupakan tantangan penting dalam rangka integrasi layanan HIV di puskesmas. Oleh
karena itu, integrasi pada sisi birokrasi menjadi hal penting juga, Biro Kepegawaian Daerah
perlu memahami tugas dan peran nakes dalam proses mutasi, selain itu semestinya semua
nakes wajib hukumnya mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan menangani pasien HIV
dan AIDS.
Persoalan sumber daya nakes di tingkat primer juga dialami oleh bidan. Hasil penelitian Lita
Sri Andayani dari FKM USU Medan sejauh ini setiap program seperti PMTCT yang terbebani
adalah tenaga kesehatan di lapangan dan kurang merangkul tenaga dokter ahli kebidanan.
Permasalahan ini penting dalam upaya peningkatan kualitas layanan program
penanggulangan HIV dan AIDS. Integrasi dan layanan berkelanjutan PMTCT pada bidan perlu
dikerjasamakan lintas sektoral. Pelatihan materi PMTCT bagi bidan perlu memasukkan
materi terkait dengan komunikasi interpersonal dan kemampuan konseling serta
penyusunan PO.
Beberapa poin pokok dari presentasi dan diskusi sesi layanan yang penting untuk
dikembangkan ke depan menjawab permasalahan terkait layanan meliputi hal-hal berikut;
17
perlunya mengembangkan advokasi yang lebih baik untuk meningkatkan keterpaduan antar
program di layanan kesehatan primer. Komitmen politik yang jelas dan finansial untuk
memudahkan upaya integrasi layanan program HIV dan AIDS di layanan primer. Hal ini tidak
terlepas dari beban tanggung jawab nakes di layanan primer yang sering overlapping tetapi
terbatas sumber dayanya.
Free paper selanjutnya mengangkat mengenai isu kesehatan jiwa. Isu kesehatan tidak dapat
dilepaskan dari aspek psikologis atau kesehatan jiwa. Layanan kesehatan jiwa perlu
peningkatan sumber daya dan profesionalisme psikiater. Rasio tenaga psikiater di Indonesia
masih sangat jauh dari pemenuhan kebutuhanya. Stigma terhadap orang dengan masalah
kesehatan jiwa dan gangguan jiwa perlu dikurangi sama halnya dengan orang dengan HIV.
Peran KPAD dalam mengadvokasi terkait perlakuan diskriminatif terhadap ODHA perlu
ditingkatkan.
Pemaparan selanjutnya mengenai kasus pekerja migran yang prevalensinya mengalami
peningkatan. Sebagai penderita ODHA dibutuhkan intervensi melalui program pemerintah
lintas sektor dan bekerja sama dengan tokoh kunci di komunitas berisiko untuk melakukan
18
sosialisasi dan edukasi terkait HIV dan AIDS dan upaya pencegahannya mulai dari daerah
asal, daerah transit dan daerah tujuan pekerja migran.
3. PELATIHAN PENULISAN POLICY BRIEF
Kegiatan ini merupakan bentuk tindak lanjut dari sesi panel Forum Nasional V Jaringan
Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan pada 26 September 2014 di Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Pokja Kebijakan HIV dan AIDS berpartisipasi
dalam kegiatan ini dengan mengirimkan perwakilan dari komunitas dan pegiat HIV dan AIDS
di Bandung (LSM Kontak, Grapik, Komunitas Indonesia Sehat, PKBI, Komunitas Cemara,
Srikandi Pasundan) sejumlah 13 orang. Dari Tim Kebijakan HIV dan AIDS PKMK FK UGM
secara khusus telah menyiapkan 2 policy brief tentang peran perguruan tinggi dalam
menerjemahkan hasil penelitian menjadi kebijakan publik dan peningkatan keterlibatan
tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam promosi kondom sebagai pencegahan HIV dan
IMS dalam setiap hubungan seks berisiko. Kedua policy brief ini telah disebarluaskan kepada
para peserta forum nasional yang hadir.
Dalam pelatihan penulisan policy brief ini, kemudian disepakati dari kelompok kerja HIV dan
AIDS akan menuliskan 1 policy brief mengenai monitoring pelaksanaan JKN yang inklusif
terhadap kelompok marginal dan terpinggirkan. Tema ini dipilih oleh karena dalam sesi panel
besar dalam forum nasional ini, isu ini seringkali mengemuka dilontarkan oleh para peserta.
Isu marginalitas kelompok ODHA dalam kepesertaan BPJS mengemuka dan dirasakan
menjadi salah satu masalah strategis untuk diadvokasikan lebih lanjut agar tidak ada
pengecualian dalam implementasi BPJS. Monitoring pelaksanaan JKN yang inklusif ini
disepakati untuk dilakukan selama setahun sampai dengan pertemuan JKKI ke VI yang
diselanggarakan di Padang pada tahun 2015.
4. PERTEMUAN INTERNAL PENELITI 8 UNIVERSITAS – PKMK FK UGM
Memanfaatkan kesempatan dalam pertemuan forum nasional di Bandung, para peneliti dari
8 universitas bersama dengan Tim Inti PKMK FK UGM mengadakan pertemuan untuk
19
mendiskusikan perkembangan analisis data dan penulisan laporan penelitian tahap pertama
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Dalam Sistem Kesehatan Nasional. Selain itu,
tim inti juga membagikan hasil konsultasi dengan Prof Richard Coker, Prof Wiku Adisasmito
dan Consultative Group terkait dengan design penelitian kebijakan dan program HIV dan
AIDS yang sedang dilakukan. Hal mendasar yang perlu menjadi perhatian bersama dari
forum konsultatif tersebut adalah penyesuaian dalam kerangka konseptual penelitian.
Pertemuan internal ini juga dihadiri oleh Bapak Steve Wignall dari CHAI di awal pertemuan
dan Bapak Trijoko dari Kemenkes. Ada 3 agenda yang menjadi diskusi dalam pertemuan ini,
yaitu :
Sharing dari Tim Inti mengenai hasil konsultasi dengan Prof Richard Coker, Prof Wiku
dan anggota Consultative Group.
Sharing dari masing-masing tim peneliti universitas mengenai perkembangan analisis
data dan penyusunan laporan penelitian tahap pertama, setelah dikirimkan panduannya.
Membuat kesepakatan Rencana Tindak Lanjut, termasuk timeline & re-commitment.
Beberapa poin yang muncul ketika mendiskusikan mengenai perkembangan analisis data
dan penulisan laporan adalah dari Provinsi Bali, merasakan bahwa hasil analisis datanya
masih merupakan deskripsi saja, belum menjawab bagaimana interaksi dari masing-masing
sub sistem. Pengalaman dari Provinsi Makasar, banyak pra kondisi yang mempengaruhinya
tapi sifatnya masih sangat personalize bukan institutionalize.
Di akhir pertemuan, disepakati timeline atas aktifitas-aktifitas dalam penelitian tahap
pertama. Penelitian tahap pertama ini disepakati akan diakhiri pada bulan Januari 2015
dengan selesainya laporan dari masing-masing universitas dan juga 1 laporan kompilasi.
5. BLENDED LEARNING BATCH II
Kelompok kerja Kebijakan AIDS PKMK FK UGM masih melanjutkan kegiatannya setelah usai
mengikuti setting agenda dalam Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia,
yaitu Tatap Muka I Blended Learning Batch II. Kursus ini diikuti oleh 13 peserta terpilih dari
20
berbagai kota di Indonesia. Peserta Blended learning ini diseleksi dari sekitar 50 peserta
lebih yang berminat dengan mengirimkan lamaran dan paper. Peserta yang terseleksi
kemudian mendapatkan kesempatan mengikuti Forum Nasional JKKI, baik melakukan
presentasi oral maupun poster. Salah satu peserta blended learning dari Dinas Kesehatan
Bima, NTB mendapatkan penghargaan dengan memenangkan sesi presentasi poster.
Kursus ini mengembangkan materi dasar mengenai Sistem Kesehatan, Perluasan Sistem
Kesehatan, Penguatan Sistem Komunitas, Materi layanan Kesehatan, Kebijakan dan
Jaringan, dan Ketrampilan mengembangkan analisis kebijakan dengan pengembangan
ketrampilan melakukan advokasi dan penulisan Policy Brief. Kursus tatap muka akan
dilanjutkan dengan metode pembelajaran jarak jauh selama 8 kali pertemuan. Pada saat
melakukan pembelajaran jarak jauh, dapat melibatkan komunitas masing-masing peserta
supaya lebih banyak orang yang dapat mengikuti sesi pembelajaran ini.
Di akhir masa kursus ini, peserta akan diberikan kesempatan untuk mengembangkan riset
atau aksi penanggulangan HIV dan AIDS. Yang terbaik akan mendapatkan seed grant untuk
mengembangkan risetnya dan menyampaikan hasilnya dalam forum Nasional JKKI
selanjutnya.
21
6. PENUTUP
Forum Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke V di Bandung merupakan momentum
historis bagi pembangunan arah kesehatan Indonesia kedepan dengan perubahan paradigm
arah pembangunan global dan pembangunan sistem kesehatan Indonesia ke depan pada
pemerintahan yang baru. Indonesia dalam mencapai kriteria Goal 4,5 dan 6 dari MDGs
mendapatkan raport merah. Kondisi ini merupakan tantangan serius bagi semua pihak
dalam mengembangkan sistem kesehatan untuk mewujudkan kualitas dan derajat
kesehatan masyarakat.
Salah satu tantangan ke depan dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS adalah
bagaimana mengintegrasikan layanan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan. Semua pihak
memberikan penegasan perlunya mengembangkan sistem kesehatan yang mengutamakan
pencegahan dan promosi kesehatan, yang diikuti aspek kuratif, rehabilitatif dan paliatif.
Keterpaduan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan merupakan
jawaban terhadap tantangan dan permasalahan pengelolaan dan pembiayaan yang lebih
terjamin dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan keterpaduan ini, pemerintah miliki
kewajiban dalam peningkatan anggaran kesehatan termasuk anggaran untuk
penanggulangan AIDS dalam APBN dan APBD yang kemudian didistribusikan ke SKPD sesuai
dengan Tupoksinya dalam penanggulangan AIDS.
Jaminan Kesehatan Nasional menjadi harapan bagi perwujudan integrasi pembiayaan AIDS
untuk mendapatkan akses universal coverage. Oleh karenanya, Penanggulangan AIDS perlu
mendapatkan jaminan pembiayaan yang fair mulai dari pencegahan, Perawatan, Dukungan
dan Pengobatan, serta mitigasi dampak. Advokasi pengurangan diskriminasi pada
komunitas terkait AIDS dan orang terlantar untuk dijamin oleh BPJS dan monitoring
pelaksanaan komitmen dari pemerintah untuk jaminan kepada komunitas ini perlu
diperkuatkan.