LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

23
LAPORAN KEGIATAN FORUM NASIONAL V JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA (JKKI) KELOMPOK KEBIJAKAN HIV/AIDS Bandung, 24 - 27 September 2014 “Mengintegrasikan Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan”

Transcript of LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

Page 1: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

LAPORAN KEGIATAN

FORUM NASIONAL VJARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA (JKKI)

KELOMPOK KEBIJAKAN HIV/AIDS

Bandung, 24 - 27 September 2014

“Mengintegrasikan Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan”

Page 2: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... i

RINGKASAN ..................................................................................................................................... 1

1. PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 3

A. TUJUAN............................................................................................................................ 4

B. AGENDA KEGIATAN......................................................................................................... 4

2. PEMAPARAN MATERI DAN DISKUSI ..................................................................................... 7

3. PELATIHAN PENULISAN POLICY BRIEF ................................................................................. 18

4. PERTEMUAN INTERNAL PENELITI 8 UNIVERSITAS – PKMK FK UGM ................................ 18

5. BLENDED LEARNING BATCH II.............................................................................................. 19

6. PENUTUP................................................................................................................................ 21

Page 3: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

1

RINGKASAN

Kelompok kerja kebijakan HIV & AIDS pada acara Forum Nasional V Jaringan Kebijakan

Kesehatan Nasional di Bandung mengangkat tema Mengintegrasikan Upaya

Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan. Pokja kebijakan AIDS ini

terbentuk untuk merespon kebijakan dan program penanggulangan HIV & AIDS yang telah

atau sedang dilakukan, tantangannya dalam pengembangan dan implementasi kebijakan

selama ini, dan kontribusi setiap lembaga baik nasional maupun internasional dalam

penanganannya. Melalui pokja ini, berbagai isu hasil penelitian dari para peneliti universitas,

aktifis AIDS, pemerintah, dan komunitas didiskusikan secara kritis terkait upaya

pengintegrasian penanggulangan HIV dan AIDS dalam kerangka Sistem Kesehatan

Indonesia. Pokja ini dihadiri sebanyak 62 orang dari berbagai latar belakang, termasuk dari

masyarakat sipil (Contact Bandung, LSM Grapik, Cemara plus, PKBI, Srikandi Pasundan dan

Masyarakat Indonesia Sehat). Pemangku kepentingan HIV dan AIDS lain yang terlibat adalah

KPA Jakarta, Mitra Pembangunan Internasional (CHAI, Kinerja (USAID)) dan Akademisi dari

Universitas Padjajaran, Universitas Gadjahmada, Atmajaya Jakarta dan UPI Bandung.

Sesi Pokja Kebijakan HIV & AIDS dalam Fornas V Bandung diawali dengan Launching Hasil

Kajian Kebijakan HIV & AIDS oleh PKMK UGM. Isu-isu pokok yang muncul dalam diskusi,

antara lain:

• Integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan adalah jawaban

sekaligus tantangan dalam momentum perubahan politik pemerintah baru Indonesia

dan fokus perubahan prioritas pembangunan global pasca MDGs. Komitmen dari

pemangku kepentingan dan strategi pembiayaan penanggulangan AIDS yang

berkelanjutan merupakan persoalan kunci pengintegrasian kebijakan AIDS dalam sistem

kesehatan.

• Kebijakan desentralisasi menjadi proses pengembangan kewenangan daerah dalam

semangat subsidiaritas dalam penanggulangan AIDS di daerah. Penting adanya

kejelasan peran KPA sebagai fungsi koordinasi penanggulangan AIDS antar SKPD dan

Page 4: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

2

lembaga yang terkait, sehingga dapat memutus rantai ketimpangan peran yang justru

memicu terjadinya kelambatan respon dari para pemangku kepentingan.

• Pengembangan program daerah perlu akses data yang memadai yang sejauh ini justru

program bersifat vertikal sebagai dampak dari dominiasi pusat baik dari segi program,

pembiayaan, dan data. Kualitas program didaerah sangat ditentukan oleh ketersediaan

data yang valid dan kontekstual.

• Semua anggota SKPD dan lembaga yang menjadi anggota KPA bertanggungjawab

mengalokasikan dana untuk program penanggulangan AIDS yang dikoordinasikan oleh

KPA. Dalam pelayanan kesehatan (service delivery), Dinkes dalam mengambil

kepemimpinan termasuk dalam pengalokasian dana kepada anggota-anggota SKPD

yang lain dan bertanggungjawab dalam penggunaan dana tersebut secara akuntabel

dan transparan.

• Pada tingkat layanan, kebijakan komprehensif untuk mengurangi stigma dan

diskriminasi dan mendorong partisipasi masyarakat menjadi penting sebagai pendukung

untuk strategi layanan medis. Penguatan sistem komunitas, penguatan SDM layanan,

dan jejaring penanggulangan AIDS menjadi signfikan untuk efektifas penanggulangan

AIDS.

• Penanggulangan AIDS menjadi bagian tidak terpisahkan dari jaminan kesehatan

nasional. Pembiayaan AIDS perlu masuk dalam skema JKN yang perlu terus dimonitor

dan diadvokasi lebih lanjut untuk memastikan adanya implementasi cakupan layanan

AIDS.

Page 5: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

3

1. PENDAHULUAN

Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia tahun ini diselenggarakan di

Bandung, dengan mengambil tema “Tantangan Kebijakan Kesehatan dalam Pemerataan

Kesehatan di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masih Tingginya Hambatan dalam

Pencapaian MDG 4, 5 dan 6”. Forum ini merupakan momentum yang cukup strategis untuk

berkontribusi dalam perbaikan kebijakan kesehatan ke depan. Dalam forum ini terdapat 6

kelompok kerja yang terlibat di dalamnya, yaitu Kelompok Kerja Kebijakan HIV dan AIDS,

Kebijakan Pembiayaan, Kebijakan KIA, Kebijakan Gizi, Kebijakan Kesehatan Jiwa Masyarakat

dan Kebijakan Pelayanan Kesehatan.

Tahun 2015 merupakan tahun yang sangat strategis bagi penanggulangan HIV dan AIDS di

Indonesia. Pertama, tahun depan merupakan awal pemerintahan baru yang memiliki visi dan

misi kesehatan yang berbeda dengan pemerintahan yang saat ini. Kedua, tahun ini juga

merupakan awal dari pelaksanaan Rencana Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS

2014-2019. Ketiga, tahun 2015 merupakan tahun awal untuk pelaksanaan model pendanaan

program penanggulangan AIDS yang baru. Adanya perubahan-perubahan ini menuntut kita

untuk selalu memantau dan mengawal pelaksanaan program penanggulangan AIDS agar

semakin mampu untuk merealisasikan tujuan dari penanggulangan AIDS itu sendiri yaitu

menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru; menurunkan hingga meniadakan

kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS; meniadakan

diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS (ODHA); meningkatkan kualitas hidup

ODHA; dan mengurangi dampak sosial ekonomi dari HIV dan AIDS pada individu, keluarga

dan masyarakat (Permenkes No. 21 tahun 2013).

Salah satu agenda kebijakan strategis yang ingin dikembangkan dalam upaya

penanggulangan AIDS ke depan seperti termuat dalam rancangan SRAN 2015-2019 adalah

memperkuat integrasi upaya penanggulangan AIDS ini ke dalam sistem kesehatan.

Munculnya agenda ini merupakan bentuk kesadaran akan kenyataan bahwa upaya yang

selama ini dilakukan masih mencerminkan pendekatan vertikal dan sangat didominasi oleh

Page 6: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

4

pusat baik pemerintah maupun mitra pembangunan internasional. Hal ini bisa terjadi karena

sumber pembiayaan utama untuk penanggulangan AIDS masih sangat didominasi oleh

pusat. Pendekatan yang selama ini dilakukan belum menunjukkan pelaksanaan sistem

kesehatan yang terdesentralisasi. Peran daerah masih terbatas pada pelaksana program

nasional pada satu sisi dan kebijakan daerah yang telah dibuat belum dilaksanakan secara

konsisten pada sisi yang lain.

A. TUJUAN

Kelompok Kerja Kebijakan HIV dan AIDS pada Fornas V JKKI membuka diskusi paralel bagi

para akademisi, pemerhati, pemangku kepentingan dan pegiat penanggulangan AIDS

dengan tujuan:

1. Menyajikan hasil penelitian terkait dengan dengan upaya penanggulangan AIDS dan

sistem kesehatan.

2. Membahas tentang strategi dan format integrasi upaya penanggulangan AIDS ke

dalam sistem kesehatan untuk memperkuat pencapaian tujuan penanggulangan AIDS

dan menjamin keberlangsungan upaya ini di masa depan.

3. Menyediakan rekomendasi kontekstual dan operasional bagi integrasi upaya

penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan.

4. Memperkuat jaringan peneliti dan pengamat kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia

sebagai upaya untuk melakukan monitoring terhadap kinerja implementasi kebijakan

AIDS di Indonesia

B. AGENDA KEGIATAN

24 September 2014

Sesi Paralel 1 : Launching Penelitian: Kajian Dokumen Kebijakan dan Program Penanggulangan AIDS dan Sistem Kesehatan di Indonesia

Pembicara: Suharni, MA Moderator: Iko Safika, Ph.D Pembahas:

Page 7: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

5

1. Irawati Atmosukarto, MPP – Sekretariat KPAN 2. dr. Nadia Tarmizi, M.Epid - Kementerian Kesehatan 3. Prof. Irwanto – PPH Atma Jaya Jakarta 4. Dr. Irwan Julianto, MPH - Wartawan Senior Kesehatan

Sesi Paralel 2 : Pembiayaan Program HIV dan AIDS: Menuju Universal Access Layanan

HIV dan AIDS Moderator: Ignatius Praptoraharjo, Ph.D Pembicara:

1. dr. Nadia Tarmizi, M.Epid – Kementerian Kesehatan Strategi Pembiayaan Penanggulangan AIDS untuk mencapai Universal Access

2. Edo Nasution - PKNI Eksklusi Kelompok Populasi Kunci dalam Kepesertaan JKN

3. dr. Silwanus Sumule - Dinas Kesehatan Provinsi Papua Strategi Penanggulangan AIDS dalam Konteks Otonomi Khusus di Provinsi Papua

4. Amila Megraini, SE, MBA – PPK UI Struktur Pembiayaan Program Penanggulangan HIV dan AIDS: Analisis Nasional AIDS Spending 2014

5. Aang Sutrisno – Migunani Politik Ekonomi Kebijakan Penanggulangan AIDS di Indonesia: Analisis Pemanfaatan Dana Bantuan Hibah untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia.

25 September 2014

Sesi Paralel 3 : Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019 Pembicara: dr. Suriadi Gunawan, MPH – Sekretariat KPAN Moderator : Simplexius Asa, SH, MH Pembahas:

1. Setia Perdana – GWL Ina 2. Aldo Napitu - OPSI 3. dr. Trijoko Yudopuspito, MSc.PH – Kemenkes 4. Hersumpana, MA – PKMK FK UGM

Sesi Paralel 4 : Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS Moderator: Dr. dr. Windu Purnomo, MS Pembicara:

1. Shanti Riskiyani, SKM, M.Kes

Page 8: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

6

Anak Tiri Mengatur Anak Kandung: Hambatan KPA Prov Sulsel dalam Penanggulangan HIV dan AIDS

2. Simplexius Asa, SH, MH Urgensi Sosialisasi dalam Pembentukan dan Penerapan Peraturan Daerah tentang HIV dan AIDS

3. Siradj Okta, SH, LLM Forensik HIV: Prekondisi Kriminalisasi dalam Kebijakan AIDS Nasional

4. Esthi Susanti H, M.Si Refleksi pengalaman implementasi dan advokasi kebijakan hiv-aids selama 22 tahun

5. Kurniawan Rachmadi, SKM, M.Si. Efek Samping Kebijakan Penarikan Obat d4T di Indonesia

6. Adiatma Y.M Siregar Biaya Perawatan HIV / AIDS di Indonesia Berdasarkan Saat Dimulainya Perawatan dan Tingkat Kesakitan

7. Ranu Sewdas Keterlibatan Publik Dalam Penentuan Prioritas Untuk Pengendalian HIV & AIDS di Jawa Barat

Sesi Paralel 5 : Layanan Program Penanggulangan HIV dan AIDS Moderator: Melkior Tappy, SKM, MPH Pembicara:

1. dr. Nyoman Sutarsa, MPH Barriers to integrating HIV and AIDS Servicies into CHC in Bali Province

2. Anindita Gabriella, M.Psi Layanan Kesehatan Jiwa dalam Penanggulangan HIV dan AIDS

3. Lita Sri Andayani, SKM M.Kes Kajian Perlunya Peningkatan Peran Bidan KIA dalam upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Janin

4. Dewi Rokhmah, SKM, M.Kes Implikasi Mobilitas Penduduk dan Gaya Hidup Seksual terhadap Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Jember

5. Sudirman Nasir, Ph.D Peran Pendamping dalam Mengadvokasi Pengurangan Perlakuan Diskriminatif yang dialami ODHA dalam mengakses layanan HIV dan AIDS di Kota Makassar

6. Rozar Prawiranegara HIV-AIDS Priority Setting using AFR-MCDA in West Java, Indonesia

Page 9: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

7

2. PEMAPARAN MATERI DAN DISKUSI

Sesi Paralel 1: Hasil Kajian Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang

dilakukan oleh PKMK FK UGM 2014 merupakan upaya untuk memetakan upaya

penanggulangan AIDS selama 25 tahun terakhir. Selain penelaahan dokumen sekunder,

kajian ini juga dilengkapi dengan hasil dari kunjungan lapangan ke 5 provinsi, yakni Sumatera

Utara, Jawa Timur, Bali, Makasar dan Papua. Hasil kajian ini menyoroti adanya kesenjangan

yang besar antara banyaknya produk hukum dengan implementasinya di lapangan. Titik

lemah dari implementasi kebijakan tersebut terletak pada penjabaran operasional di

lapangan yang tidak diikuti dengan alokasi sumber daya baik dari tenaga yang kompeten,

alokasi dana yang cukup dan pengembangan program di tingkat masyarakat basis. Satu

kesimpulan lagi yang muncul dari kajian tersebut adalah kesenjangan terjadi sebagai akibat

dari kontestasi antar lintas sektor maupun program. Dominasi pusat dengan pendekatan

vertikal masih menjadi pola dalam interrelasi antar sektor maupun internal. Dengan

demikian, belum terjadi integrasi secara struktural, masih adanya ego sektoral cenderung

menjadi faktor penentu terjadinya fragmentasi dan tidak terintegrasinya kebijakan di semua

tingkatan, nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, lahirnya kebijakan banyak

dipengaruhi oleh kepentingan politik ekonomi global terhadap Indonesia. Seperti misalnya

pembentukan komisi HIV dan AIDS di Depkes karena pengaruh PBB dan WHO.

Epidemiologi HIV dan AIDS di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan

infeksi baru. Data IBBS tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi di kalangan pria risti, ibu

rumah tangga, kelompok LSL dan anak-anak remaja semakin meningkat dibandingkan

dengan WPS dan penasun. Peningkatan prevalensi pada Ibu rumah tangga, kelompok LSL

dan anak-anak remaja merupakan tantangan untuk pengembangan pengetahuan dan

pendidikan masyarakat terkait AIDS serta pentingnya aspek pencegahan dan promosi

kesehatan. Pada aspek intervensi, layanan masing-masing sektor cenderung bermain sendiri

dengan intervensi yang berbeda-beda dan belum semua komponen sistem kesehatan

dipenuhi. Monitoring implementasi penanggulangan AIDS cenderung bersifat parsial dan

lebih memenuhi kepentingan proyek daripada kebutuhan pemanfaat. Fokus cenderung

Page 10: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

8

dominan pada upaya treatment dan kurang pada pencegahan. Padahal seperti yang

tertuang dalam SRAN 2010-2014, bahwa skema pembiayaan upaya penanggulangan HIV dan

AIDS adalah promosi (50%), PDP (28%), mitigasi dampak (13%).

Catatan dari Kemenkes atas hasil kajian dokumen Kebijakan AIDS yang dipaparkan adalah

perlunya elaborasi lebih lanjut mengenai kerangka berpikir integrasi upaya penanggulangan

HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan. Bagaimana integrasi kebijakan AIDS dengan sistem

kesehatan dan sistem-sistem yang lain; seperti sistem keamanan, sistem pendidikan dan

seterusnya? Menurut Kemenkes, desentralisasi bukan merupakan suatu masalah, justru

sebaliknya memberikan solusi pembagian kewenangan daerah seperti prinsip sudsidiaritas

dan partisipasi masyarakat lebih luas dalam pengembangan sistem kesehatan masyarakat.

Disampaikan juga bahwa kesimpulan dari kajian tersebut, masih bersifat deskriptif, sistem

kesehatan belum terlalu terlihat, dengan demikian masih membutuhkan analisis mendalam.

Terkait dengan bahasan sistem kesehatan, respon kesehatan terhadap HIV tidak

independen, karena upaya penanggulangan AIDS berinteraksi dengan suprasistem lain.

Keberadaan KPA sebagai lembaga tetap diperlukan karena adanya suprasistem yang

membutuhkan intervensi. Dalam konteks disain kebijakan kesehatan di luar sistem

Page 11: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

9

kesehatan nasional, misalnya sistem penganggaran dan seterusnya mereka juga

berinteraksi dengan sistem kesehatan. Hal ini tentu saja penting juga untuk dicermati agar

review yang dilakukan seimbang. Kajian masih terlalu fokus pada KPA, kementrian

kesehatan dan dinas kesehatan kurang tereksplorasi.

Pembahas dari KPAN menyampaikan catatannya bahwa review ini belum berhasil

menangkap perkembangan yang terjadi di lapangan dari kinerja KPA nasional, daerah, dinas

dan LSM. Sebenarnya dalam periode 2011- 2013, perkembangan dan perbaikan sudah banyak

terjadi. Dalam kajian juga belum terlalu tercermin mengenai aspek integrasi kebijakan AIDS

dalam sistem kesehatan, masih sangat fokus pada kajian dokumen dan literatur yang sudah

ada. Analisis mendalam belum terlalu kelihatan. Paparan banyak memberikan masukan ke

KPA tetapi mengatasnamakan sistem kesehatan nasional, Kemkes, dan KPA Nasional.

Secara umum, hasil kajian kebijakan AIDS di Indonesia cukup baik dan perlu diberikan

apresiasi, meski sebagian membutuhkan perbaikan. Prof. Irwanto dari PPH Atmajaya

menegaskan bahwa adanya kesenjangan antara produk kebijakan dengan implementasinya

karena tidak didukung dalam praktik oleh kecukupan kompetensi aparat, kesiapan

mekanisme implementasi dan lingkungan yang mendukung. Permasalahan adanya

kontestasi dan perbedaan pandangan lebih didasarkan pada alasan pragmatis, sehingga

argumentasi yang didasarkan bukti-bukti data tidak menjadi dasar penjelasan yang tepat.

Argumentasi yang berbasiskan moral politik maupun moral ekonomi menjadikan kebijakan

AIDS tidak efektif.

Ketidaksinambungan sebuah kebijakan dengan apparatus, kapasitas SDM dan lembaga

menjadikan penanggulangan AIDS berjalan lambat sebagai dampak dari argumentasi moral.

Kemudian Advokasi cenderung fokus pada persoalan kesehatan sementara stigma dan

diskriminasi tidak diadvokasi dengan baik. Dalam perspektif aparat masih kuat sekali budaya

keeping out people, jika memiliki pandangan yang berbeda. Akses pada sistem kesehatan

yang lebih luas masih tumpul karena kurangnya kerjasama dengan isu terkait, seperti kusta,

disabilitas, dan gender.

Page 12: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

10

Perspektif masyarakat tentang AIDS tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah seperti yang

digarisbawahi oleh Dr. Irwan Julianto dari Kompas bahwa sejak awal dari sisi komunikasi

memang ada persoalan dalam memandang HIV dan AIDS. Masyarakat mengalami kepanikan

karena AIDS seperti yang terlihat dalam pandangan masyarakat yang muncul dalam

pemberitaan media sejak diketemukan kasus AIDS pertama di Bali tahun 1987. Oleh

karenanya, Harm reduction menjadi penting. Terkait kasus pekerja seks antara supply

demand dan demand reduction selalu dibenturkan dengan harm reduction. Akan tetapi

faktanya menunjukkan pemikiran untuk mengurangi supply tidak akan mengurangi

permintaan. Ketiganya harus bersinergi. Persoalan moral masih mendominasi pandangan

masyarakat sehingga kondisi ini membutuhkan edukasi yang serius agar pemahaman dan

pengetahuan terkait HIV dan AIDs yang benar lebih dominan.

Sesi Paralel 2: Dalam sesi diskusi Kebijakan Pembiayaan Upaya penanggulangan HIV dan

AIDS menuju universal access, Kemenkes RI tetap memiliki optimisme mampu melakukan

pencegahan dan pengurangan dampak epidemi HIV dan AIDS. Setelah 27 tahun upaya

penanggulangan HIV dan AIDS, data menunjukkan prevalensi infeksi baru meningkat.

Namun sebenarnya, perubahan-perubahan telah banyak dicapai dan secara arah strategi

pembangunan kesehatan ke depan Kemenkes telah memasukkan HIV dan AIDS sebagai

bagian dalam skema program di bawah Pengawasan dan Perlindungan Penyakit Menular.

Secara konseptual untuk keberlanjutan penanggulanan HIV dan AIDS sudah dikembangkan

LKB sebagai layanan komprehensif HIV dan IMS yang mendekatkan layanan preventif, dan

CST hingga ke fasyankes primer. Data Kemenkes menunjukkan jumlah layanan CST

meningkat pada tahun 2006 terdapat 75 rumah sakit, kemudian tahun 2013 meningkat

menjadi 398 rumah sakit ditambah 15 Puskesmas. Faktor pembiayaan masih menjadi

tantangan serius ke depan. Pembiayaan untuk sektor kesehatan secara umum masih kecil

sekitar di bawah 2%. Meskipun demikian dapat dilihat bahwa komitmen pemerintah dari

waktu ke waktu mengalami peningkatan yang dapat dilihat dari porsi pembiayaan untuk HIV

dan AIDS yang sekarang mencapai sekitar 42 %. Untuk obat ARV dari program bahkan sudah

ditanggung oleh APBN, mencapai 80 %. Di masa mendatang, harapan untuk program

Page 13: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

11

penanggulangan HIV dan AIDS adalah integrasinya dalam sistem kesehatan. Tujuan dari

integrasi ini adalah akan memberikan jaminan layanan kesehatan yang berkelanjutan.

Pembicara kedua dalam sesi ini menyampaikan bahwa isu pembiayaan menjadi

permasalahan utama untuk dipikirkan bagaimana mencari solusinya setelah donor

mengurangi bantuan. Data NASA menunjukkan bahwa selama ini memang sebagian besar

pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS berasal dari donor, secara keseluruhan

mencapai 80%. Akan tetapi jika dipecah setiap item sebenarnya pemerintah Indonesia sudah

memberikan alokasi yang semakin meningkat. Ke depan, Indonesia tidak bisa lagi

menggantungkan diri pada donor, oleh karena adanya perubahan status Indonesia yang

meningkat menjadi negara yang dikategorikan ke dalam lower middle income country. Hal ini

secara otomatis berkonsekuensi pada pengurangan donor karena sudah dianggap sebagai

negara dengan kemampuan finansial yang semakin baik. Jika dibandingkan dengan negara-

negara tetangga Indonesia dalam porsi pembiayaan domestic, pembiayaan untuk program

penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia masih terhitung rendah, mencapai sekitar 42%

jika dibandingkan Philipina yang mencapai 52% dan Vietnam yang mencapai 17% dengan

kategori yang sama.

Lain halnya dengan kebijakan pembiayaan di Papua dengan adanya OTSUS, anggaran untuk

pembiayaan sektor kesehatan mencapai 15%. Alokasi ini cukup besar akan tetapi

permasalahannya adalah pada keterbatasan sumber daya dalam implementasinya baik dari

sisi sumber daya manusia maupun program. Strategi pembiayaan di Papua memang sangat

ditunjang dengan keberadaan kebijakan OTSUS, disamping potensi penggalian pembiayaan

dari sektor swasta yang belum banyak tergali.

Dari sisi penerima layanan, perwakilan kelompok kunci menyatakan bahwa masih adanya

perlakukan yang kurang adil dalam mengakses layanan. Pecandu masih mendapatkan

perlakuan yang tidak adil. Salah satu contoh ketidakadilan ini adalah kelompok pecandu

masih mendapatkan stigma sosial dan untuk pengobatannya tidak dapat masuk dalam

skema pembiayaan JKN.

Page 14: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

12

Sesi Paralel 3: Diskusi mengenai SRAN 2015 – 2019 secara subtansi tidak banyak perubahan

dari SRAN sebelumnya. KPAN menegaskan bahwa dari hasil midterm review di masa akhir

SRAN 2010 – 2014 sesuai indikator kinerjanya disimpulkan bahwa sejauh ini program berhasil

menahan laju epidemi HIV, dimana perkembangan jumlah infeksi baru telah melambat.

Dengan latar belakang kajian tersebut berbagai pilihan strategi untuk penanggulangan HIV

dan AIDS dipilih dan dielaborasi sebagai masukan dalam penyusunan draft SRAN 2015-2019.

Draft SRAN 2015-2019 yang sedang dalam proses finalisasi tersebut diharapkan akan selesai

akhir tahun ini dimana tantangan yang perlu dipertimbangkan ke depan meliputi komitmen

pimpinan daerah, alokasi dana APBN dan APBD serta mobilisasi dana CSR, perluasan

cakupan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, keberlanjutan program

dan pencegahan HIV di kalangan LSL dan LBT. Beberapa tanggapan yang muncul dari para

pembahas dalam sesi ini, antara lain tentang pentingnya penekanan peran komunitas

kelompok/populasi kunci dalam SRAN yang akan datang. Peran komunitas yang meliputi

program outreach, monitoring program, dan kemampuan untuk advokasi. Penguatan sistem

kesehatan (Health System Strengthening) melalui penguatan sistem komunitas serta

penguatan sistem pendanaan lokal, perlu dipertimbangkan dalam draft SRAN tersebut.

Harapannya strategi yang dipilih dalam SRAN 2015-2019 ini wajib menurunkan epidemic HIV,

tidak sekedar mampu menahan laju epidemi HIV seperti pada periode SRAN sebelumnya.

Page 15: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

13

Pembahas dari PKMK FK UGM menyatakan masalah integrasi merupakan masalah yang

krusial dalam penyusunan SRAN ini. Bentuk-bentuk integrasi yang direkomendasikan dalam

SRAN 2015-2019 antara lain meliputi integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS

dengan pembangunan kesehatan khususnya dilakukan dalam strategi nasional dan

operasional, integrasi pembiayaan dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan

sektor lain di dalam anggaran pemerintah (APBD), integrasi layanan HIV ke dalam layanan

kesehatan dasar dan rujukan, integrasi perlindungan sosial untuk ODHA dan populasi kunci

terkait dengan HIV ke dalam sistem asuransi sosial, integrasi penyediaan obat dan

perlengkapan diagnostik ke dalam sistem pengadaan logistik yang ada di setiap level

pemerintahan dan integrasi sistem informasi HIV ke dalam sistem informasi kesehatan.

Namun tetap disadari adanya berbagai tantangan dalam integrasi tersebut seperti

fragmentasi kelembagaan, pendanaan yang bersifat project-oriented, tarik menarik

kepentingan politik ekonomi dengan data epidemiologi HIV dan keterbatasan SDM.

Tantangan ini tentunya juga harus dipertimbangkan dalam SRAN tersebut. Berbagai bentuk

integrasi tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja upaya penanggulangan HIV dan

AIDS di masa mendatang terutama ketika pendanaan luar negeri semakin berkurang

Sesi Paralel 4: Sesi ini mengambil tema Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS,

dimana materi diskusi diawali dengan pemaparan 7 free abstract yang berasal dari para

peneliti universitas dan peserta Blended Learning Tahap II. Hal yang menjadi sorotan dari

beberapa materi pemaparan tersebut, ternyata sejauh ini tata kelola program

penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola

yang baik. Misalnya prinsip transparansi, kesetaraan dan pengawasan, efisiensi dan

efektifitas serta penegakan hukum.

Hasil riset dari Simplexius (Universitas Nusa Cendana) menunjukkan lemahnya sosialisasi

Perda HIV dan AIDS menjadi penyebab ketidakefektifan perda tersebut. Masyarakat

seharusnya dilibatkan dalam sosialisasi sejak pra legislasi yaitu sejak suatu PERDA dirancang,

sosialisasi legislasi atau pasca legislasi yaitu sosialisasi isi (content) dan struktur materi, serta

sosialisasi continuum / regular, dimana sosialisasi secara kontinyu dan berlanjut sampai pada

Page 16: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

14

efek culture of law yaitu menghasilkan perilaku baru yang membudaya sehingga

menciptakan ketaatan yang sukarela dan kontiunum terhadap suatu perda.

Esthi Susanti, sebagai salah satu peserta Blended Learning dari Jawa Timur menegaskan

bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi kunci lebih bersifat temporal/

proyek sehingga yang dicapai hanya perubahan pengetahuan tanpa mengejar perubahan

perilaku. Akibatnya menciptakan suatu kondisi ketergantungan terhadap program atau

menghasilkan efek sesaat. Oleh karena itu sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS seharusnya

dimulai pada usia dini atau sekolah dengan tujuan membentuk mental dan karakter serta

perilaku aman untuk dapat melindungi diri dari HIV dan AIDS. Senada dengan yang

dinyatakan dalam hasil riset Sewdas Ranu, dkk, yang menyatakan bahwa keterlibatan peran

publik begitu penting dalam mendukung penanggulangan HIV dan AIDS. Selama ini publik

kurang dilibatkan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS khususnya dalam sistem

perencanaan daerah, misalnya LSM, akademisi, konsultan dan organisasi profesional kurang

dilibatkan dalam Musrenbang sehingga perencanaan kurang berbasis data dan fakta yang

aktual.

Dari aspek efisiensi dan efektifitas, hasil riset yang dilakukan oleh Siregar Y.M. Adiatma

menunjukkan bahwa perlu diperhatikan dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan

memberikan sosialisasi yang kuat kepada ODHA dan penyelenggara penanggulangan HIV

dan AIDS. Menurutnya sebelum pemberian ART, biaya pengobatan ODHA didominasi oleh

biaya tes laboratorium (>65%), dan setelah inisiasi ART, oleh obat antiretroviral (≥60%). Biaya

rata-rata per pasien menurun seiring dengan berjalannya perawatan. Tingkat CD4 yang lebih

tinggi saat dimulainya perawatan diasosiasikan dengan biaya tes laboratorium dan

perawatan infeksi oportunistik yang lebih rendah. Biaya transportasi mendominasi biaya

pasien dalam mengakses layanan HIV (>40%). Hal ini berarti dengan mengkonsumsi ARV,

seorang ODHA akan mampu menekan biaya infeksi oportunistik dan biaya pasien dalam

mendapatkan layanan dan hanya mengeluarkan biaya transportasi. Untuk itu, akses

terhadap ARV harus lebih dekat dengan masyarakat sehingga dapat menekan biaya

transportasi.

Page 17: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

15

Terkait dengan peran dan posisi KPAD, hasil riset dari Shanti R, dkk menyoroti posisi KPAD

yang dianalogikan sebagai anak tiri. Walaupun yang menjadi ketua KPA provinsi adalah

gubernur, namun KPA provinsi bukanlah bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah.

Seolah-olah sebagai anak tiri, KPA provinsi merasa sulit ketika harus mengkoordinir SKPD

yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah daerah yang dianalogikan sebagai anak

kandung untuk penanggulangan AIDS di daerah. Penelitian ini menunjukkan bahwa posisi

KPAD masih problematis dan penanggulangan AIDS di daerah masih sangat bergantung

pada peran pimpinan tiap SKPD yang menjadi anggota KPA. Dengan demikian penguatan

posisi KPA perlu dilakukan untuk lebih mendukung tata kelola penanggulangan AIDS yang

efektif.

Hasil riset dari Okta Siradj menyoroti pelaksanaan prinsip tata kelola penanggulangan HIV

dan AIDS tentang penegakan hukum. Secara global, eksistensi kriminalisasi penularan HIV

diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan AIDS. Faktanya, studi terhadap 18

Undang-undang dan 4 peraturan daerah menunjukkan adanya kriminalisasi terkait penularan

HIV di Indonesia, disamping adanya pasal penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum

pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum positif, kriminalisasi

memiliki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik HIV, pengadilan tidak dapat

membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada korban. Namun, forensik HIV

seperti pemanfaatan phylogenetic analysis memerlukan standar yang ekstensif agar memiliki

kualifikasi pembuktian di pengadilan. Pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional perlu

mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan anggaran dalam mengantisipasi

penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan eksekutif di tingkat

penyidikan maupun yudikatif di tingkat pengadilan terkait forensik HIV perlu dilakukan

secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim pidana dengan sistem pembuktian negatif

perlu dikawal oleh masyarakat sipil. Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan

modal advokasi dekriminalisasi dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.

Sesi Paralel 5: Beberapa isu yang muncul dalam sesi Layanan Upaya Penanggulangan HIV

dan AIDS adalah minimnya sumber daya yang dapat memberikan layanan. Persoalan sumber

Page 18: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

16

daya ini banyak dihadapi oleh fasyankes di tingkat primer. Selain itu, problem mutasi nakes

merupakan tantangan penting dalam rangka integrasi layanan HIV di puskesmas. Oleh

karena itu, integrasi pada sisi birokrasi menjadi hal penting juga, Biro Kepegawaian Daerah

perlu memahami tugas dan peran nakes dalam proses mutasi, selain itu semestinya semua

nakes wajib hukumnya mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan menangani pasien HIV

dan AIDS.

Persoalan sumber daya nakes di tingkat primer juga dialami oleh bidan. Hasil penelitian Lita

Sri Andayani dari FKM USU Medan sejauh ini setiap program seperti PMTCT yang terbebani

adalah tenaga kesehatan di lapangan dan kurang merangkul tenaga dokter ahli kebidanan.

Permasalahan ini penting dalam upaya peningkatan kualitas layanan program

penanggulangan HIV dan AIDS. Integrasi dan layanan berkelanjutan PMTCT pada bidan perlu

dikerjasamakan lintas sektoral. Pelatihan materi PMTCT bagi bidan perlu memasukkan

materi terkait dengan komunikasi interpersonal dan kemampuan konseling serta

penyusunan PO.

Beberapa poin pokok dari presentasi dan diskusi sesi layanan yang penting untuk

dikembangkan ke depan menjawab permasalahan terkait layanan meliputi hal-hal berikut;

Page 19: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

17

perlunya mengembangkan advokasi yang lebih baik untuk meningkatkan keterpaduan antar

program di layanan kesehatan primer. Komitmen politik yang jelas dan finansial untuk

memudahkan upaya integrasi layanan program HIV dan AIDS di layanan primer. Hal ini tidak

terlepas dari beban tanggung jawab nakes di layanan primer yang sering overlapping tetapi

terbatas sumber dayanya.

Free paper selanjutnya mengangkat mengenai isu kesehatan jiwa. Isu kesehatan tidak dapat

dilepaskan dari aspek psikologis atau kesehatan jiwa. Layanan kesehatan jiwa perlu

peningkatan sumber daya dan profesionalisme psikiater. Rasio tenaga psikiater di Indonesia

masih sangat jauh dari pemenuhan kebutuhanya. Stigma terhadap orang dengan masalah

kesehatan jiwa dan gangguan jiwa perlu dikurangi sama halnya dengan orang dengan HIV.

Peran KPAD dalam mengadvokasi terkait perlakuan diskriminatif terhadap ODHA perlu

ditingkatkan.

Pemaparan selanjutnya mengenai kasus pekerja migran yang prevalensinya mengalami

peningkatan. Sebagai penderita ODHA dibutuhkan intervensi melalui program pemerintah

lintas sektor dan bekerja sama dengan tokoh kunci di komunitas berisiko untuk melakukan

Page 20: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

18

sosialisasi dan edukasi terkait HIV dan AIDS dan upaya pencegahannya mulai dari daerah

asal, daerah transit dan daerah tujuan pekerja migran.

3. PELATIHAN PENULISAN POLICY BRIEF

Kegiatan ini merupakan bentuk tindak lanjut dari sesi panel Forum Nasional V Jaringan

Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan pada 26 September 2014 di Fakultas

Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Pokja Kebijakan HIV dan AIDS berpartisipasi

dalam kegiatan ini dengan mengirimkan perwakilan dari komunitas dan pegiat HIV dan AIDS

di Bandung (LSM Kontak, Grapik, Komunitas Indonesia Sehat, PKBI, Komunitas Cemara,

Srikandi Pasundan) sejumlah 13 orang. Dari Tim Kebijakan HIV dan AIDS PKMK FK UGM

secara khusus telah menyiapkan 2 policy brief tentang peran perguruan tinggi dalam

menerjemahkan hasil penelitian menjadi kebijakan publik dan peningkatan keterlibatan

tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam promosi kondom sebagai pencegahan HIV dan

IMS dalam setiap hubungan seks berisiko. Kedua policy brief ini telah disebarluaskan kepada

para peserta forum nasional yang hadir.

Dalam pelatihan penulisan policy brief ini, kemudian disepakati dari kelompok kerja HIV dan

AIDS akan menuliskan 1 policy brief mengenai monitoring pelaksanaan JKN yang inklusif

terhadap kelompok marginal dan terpinggirkan. Tema ini dipilih oleh karena dalam sesi panel

besar dalam forum nasional ini, isu ini seringkali mengemuka dilontarkan oleh para peserta.

Isu marginalitas kelompok ODHA dalam kepesertaan BPJS mengemuka dan dirasakan

menjadi salah satu masalah strategis untuk diadvokasikan lebih lanjut agar tidak ada

pengecualian dalam implementasi BPJS. Monitoring pelaksanaan JKN yang inklusif ini

disepakati untuk dilakukan selama setahun sampai dengan pertemuan JKKI ke VI yang

diselanggarakan di Padang pada tahun 2015.

4. PERTEMUAN INTERNAL PENELITI 8 UNIVERSITAS – PKMK FK UGM

Memanfaatkan kesempatan dalam pertemuan forum nasional di Bandung, para peneliti dari

8 universitas bersama dengan Tim Inti PKMK FK UGM mengadakan pertemuan untuk

Page 21: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

19

mendiskusikan perkembangan analisis data dan penulisan laporan penelitian tahap pertama

Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Dalam Sistem Kesehatan Nasional. Selain itu,

tim inti juga membagikan hasil konsultasi dengan Prof Richard Coker, Prof Wiku Adisasmito

dan Consultative Group terkait dengan design penelitian kebijakan dan program HIV dan

AIDS yang sedang dilakukan. Hal mendasar yang perlu menjadi perhatian bersama dari

forum konsultatif tersebut adalah penyesuaian dalam kerangka konseptual penelitian.

Pertemuan internal ini juga dihadiri oleh Bapak Steve Wignall dari CHAI di awal pertemuan

dan Bapak Trijoko dari Kemenkes. Ada 3 agenda yang menjadi diskusi dalam pertemuan ini,

yaitu :

Sharing dari Tim Inti mengenai hasil konsultasi dengan Prof Richard Coker, Prof Wiku

dan anggota Consultative Group.

Sharing dari masing-masing tim peneliti universitas mengenai perkembangan analisis

data dan penyusunan laporan penelitian tahap pertama, setelah dikirimkan panduannya.

Membuat kesepakatan Rencana Tindak Lanjut, termasuk timeline & re-commitment.

Beberapa poin yang muncul ketika mendiskusikan mengenai perkembangan analisis data

dan penulisan laporan adalah dari Provinsi Bali, merasakan bahwa hasil analisis datanya

masih merupakan deskripsi saja, belum menjawab bagaimana interaksi dari masing-masing

sub sistem. Pengalaman dari Provinsi Makasar, banyak pra kondisi yang mempengaruhinya

tapi sifatnya masih sangat personalize bukan institutionalize.

Di akhir pertemuan, disepakati timeline atas aktifitas-aktifitas dalam penelitian tahap

pertama. Penelitian tahap pertama ini disepakati akan diakhiri pada bulan Januari 2015

dengan selesainya laporan dari masing-masing universitas dan juga 1 laporan kompilasi.

5. BLENDED LEARNING BATCH II

Kelompok kerja Kebijakan AIDS PKMK FK UGM masih melanjutkan kegiatannya setelah usai

mengikuti setting agenda dalam Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia,

yaitu Tatap Muka I Blended Learning Batch II. Kursus ini diikuti oleh 13 peserta terpilih dari

Page 22: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

20

berbagai kota di Indonesia. Peserta Blended learning ini diseleksi dari sekitar 50 peserta

lebih yang berminat dengan mengirimkan lamaran dan paper. Peserta yang terseleksi

kemudian mendapatkan kesempatan mengikuti Forum Nasional JKKI, baik melakukan

presentasi oral maupun poster. Salah satu peserta blended learning dari Dinas Kesehatan

Bima, NTB mendapatkan penghargaan dengan memenangkan sesi presentasi poster.

Kursus ini mengembangkan materi dasar mengenai Sistem Kesehatan, Perluasan Sistem

Kesehatan, Penguatan Sistem Komunitas, Materi layanan Kesehatan, Kebijakan dan

Jaringan, dan Ketrampilan mengembangkan analisis kebijakan dengan pengembangan

ketrampilan melakukan advokasi dan penulisan Policy Brief. Kursus tatap muka akan

dilanjutkan dengan metode pembelajaran jarak jauh selama 8 kali pertemuan. Pada saat

melakukan pembelajaran jarak jauh, dapat melibatkan komunitas masing-masing peserta

supaya lebih banyak orang yang dapat mengikuti sesi pembelajaran ini.

Di akhir masa kursus ini, peserta akan diberikan kesempatan untuk mengembangkan riset

atau aksi penanggulangan HIV dan AIDS. Yang terbaik akan mendapatkan seed grant untuk

mengembangkan risetnya dan menyampaikan hasilnya dalam forum Nasional JKKI

selanjutnya.

Page 23: LAPORAN KEGIATAN - Kebijakan AIDS Indonesia

21

6. PENUTUP

Forum Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke V di Bandung merupakan momentum

historis bagi pembangunan arah kesehatan Indonesia kedepan dengan perubahan paradigm

arah pembangunan global dan pembangunan sistem kesehatan Indonesia ke depan pada

pemerintahan yang baru. Indonesia dalam mencapai kriteria Goal 4,5 dan 6 dari MDGs

mendapatkan raport merah. Kondisi ini merupakan tantangan serius bagi semua pihak

dalam mengembangkan sistem kesehatan untuk mewujudkan kualitas dan derajat

kesehatan masyarakat.

Salah satu tantangan ke depan dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS adalah

bagaimana mengintegrasikan layanan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan. Semua pihak

memberikan penegasan perlunya mengembangkan sistem kesehatan yang mengutamakan

pencegahan dan promosi kesehatan, yang diikuti aspek kuratif, rehabilitatif dan paliatif.

Keterpaduan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan merupakan

jawaban terhadap tantangan dan permasalahan pengelolaan dan pembiayaan yang lebih

terjamin dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan keterpaduan ini, pemerintah miliki

kewajiban dalam peningkatan anggaran kesehatan termasuk anggaran untuk

penanggulangan AIDS dalam APBN dan APBD yang kemudian didistribusikan ke SKPD sesuai

dengan Tupoksinya dalam penanggulangan AIDS.

Jaminan Kesehatan Nasional menjadi harapan bagi perwujudan integrasi pembiayaan AIDS

untuk mendapatkan akses universal coverage. Oleh karenanya, Penanggulangan AIDS perlu

mendapatkan jaminan pembiayaan yang fair mulai dari pencegahan, Perawatan, Dukungan

dan Pengobatan, serta mitigasi dampak. Advokasi pengurangan diskriminasi pada

komunitas terkait AIDS dan orang terlantar untuk dijamin oleh BPJS dan monitoring

pelaksanaan komitmen dari pemerintah untuk jaminan kepada komunitas ini perlu

diperkuatkan.