Laporan Kasus - SGBhgjgjh

download Laporan Kasus - SGBhgjgjh

of 20

description

yfuyfyghiouo89908-

Transcript of Laporan Kasus - SGBhgjgjh

BAB IPENDAHULUANSindrom Guillain-Barr (SGB) adalah penyakit langka dimana terjadinya pengerusakan sistem saraf oleh tubuh yang menyebabkan kelemahan otot dan bahkan kelumpuhan. GBS dapat menyebabkan gejala yang berlangsung selama beberapa minggu. Sebagian besar pasien dapat sembuh dari penyakit ini, akan tetapi sebagian lainnya dapat mengalami kerusakan saraf permanen. Walaupun penyakit ini termasuk jarang, dilaporkan ada orang telah meninggal karena GBS yang disebabkan oleh gagal nafas. (CDC- Center for Disease Control and Prevention, 2012)Sindrom Guillain-Barr (GBS) adalah neuropati perifer dengan onset akut, dan ditandai dengan kelemahanmotorikdengan cepat. Penyakit ini diduga sebagai penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi sebelumnya, terutama infeksi saluran pernapasan dan gastrointestinal. (McGrogan, Madle, Seaman, & Vries, 2009)Di Amerika Serikat, dilaporkan sekitar 3.000 sampai 6.000 orang mengalami SGB setiap tahunnya. (CDC- Center for Disease Control and Prevention, 2012)Sebuah penelitian kohort dilakukan dari tahun 2000- 2004 di Amerika Serikat didapatkan 4.954 pasien didiagnosis dengan SGB. Insidensinya bervariasi antara 1,65 dan 1,79 per 100.000 penduduk. Sebanyak 11% pasien SGB mengalami komplikasi paru dan 9,1% menerima intubasi endotrakeal, yang merupakan prediktor kematian. Prediktor kematian lain termasuk usia yang lebih tua, komplikasi jantung, dan sepsis.(Alshekhlee, Hussain, Sultan, & Katiriji, 2008)Keterkaitan antara vaksinasi dan terjadinya kasus GBS pernah diusulkan, meskipun bukti tidak kuat. Meningkatnya kejadian GBS sekitar 1 kasus per 1 juta dilatarbelakangi olehprogram baru vaksinasi flu babi Jersey pada tahun 1976, dan dari sekitar 1 kasus per seribu terkait dengan vaksinasi rabies. (McGrogan, Madle, Seaman, & Vries, 2009)Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinicmelakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Daripengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulithitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. PenelitianChandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hamper sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-lakidan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan Aprils/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.(Japardi, 2002)Pengobatan untuk GBS berupa plasmaparesis dan pemberian immunoglobulin intravena. Kedua perawatan dianggap sama-sama berkhasiat, tetapi penelitian menunjukkan bahwa imunoglobulin intravena mungkin lebih murah karena pasien mengalami komplikasi lebih sedikit dan membutuhkan waktu perawatan yang lebih singkat. (McGrogan, Madle, Seaman, & Vries, 2009)

BAB IILAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama:NRUmur:24 tahunPekerjaan:MahasiswiAlamat:Kb. Tanjong - PidieAgama : IslamRiwayat Pernikahan:Belum menikah

2. ANAMNESISa.Keluhan utama:kedua kaki tidak bisa digerakkan tiba-tibab.Keluhan Tambahan : Demam.c.Riwayat Penyakit Sekarang Os. datang dengan keluhan, kelemahan kedua tungkai bawah sejak 2 hari yang lalu. Kelemahan tersebut dirasakan perlahan - lahan dan Juga sakit kepala sehingga tidak mampu untuk berjalan. Os. Juga mengeluhkan demam sudah 4 hari SMRS serta mengeluhkan batuk - batuk, pilek, tidak nafsu makan, mual dan nyeri kepala.Riwayat pengobatan demam tidak ada. Pasien hanya beristirahat di rumah. Riwayat vaksinansi tidak ada. a. Riwayat Penyakit DahuluSebelumnya pasien pernah mendapat serangan penyakit seperti ini saat pasien berusia 14 tahun, dan dirawat di rumah sakit selama 1 minggu. Keluhan membaik.b. Riwayat Penyakit KeluargaKeluarga pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama. c. Riwayat Kebiasaan Sosial-

3. PEMERIKSAAN FISIKVital SignTekanan darah:90/60 mmHgNadi:64 kali/menitFrekuensi Pernafasan:20 kali/menitTemperatur:36,6 C

Status NeurologisGCS: E4M6V5Mata:Pupil isokor (3mm/3mm), RCL (+/+), RCTL (+/+)T.R. Meningeal: Brudzinsky I negativeBrudzinsky II negativeKernig negativeLasegue negativeNervus Cranialis:N. I dalam batas normal N. II dalam batas normalN. III dalam batas normalN. IVdalam batas normalN. V dalam batas normalN. VI dalam batas normalN. VII dalam batas normalN. VIII dalam batas normalN. IX dalam batas normalN. X dalam batas normalN. XI dalam batas normalParesse N. XII (bicara pelo)Motorik:5555/55553333/3333Sensorik:Hipestesi kedua pergelangan kaki dan tanganAutonom :dalam batas normalRefleks Fisiologis:Refleks Patologis:(-/-)4. PEMERIKSAAN PENUNJANGLaboratorium:Haemoglobin:13,8 gr/dlHaematokrit:43%Eritrosit:4,9x 106Leukosit:10,4x 103Trombosit:148x 106Diftell:0/0/0/89/4/7AGDA:pH:7,52pCO2:37,20pO2:59Bikarbonat:30Total CO2:31,5Kelebihan Basa:7,6Saturasi O2:92,5Na/K/Cl:142/3,9/106Ur/Cr:33/0,24

MRITidak tampak kelainan pada Brain MRI.

5. ASSESSMENT Diagnosis Klinis:Sindrom Guillain BarreDiagnosis Patologi:NeuropatiDiagnosis Etiologi:AutoimunDiagnosis Topis:Saraf perifer

6. PLANNINGDiagnostik: EMG, konsul mata. Teurapeutik:IVFD RL 20 gtt/iInj. Ranitidin 1 ampul/12jamInj. Metylprednisolon 4mg 3x1 tabSohobion 5000 1x1Monitoring:Tanda- tanda gagal nafasEdukasi: Minum obat teratur Awasi tanda-tanda gagal nafas

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISISindrom Guillain Barre merupakan inflamasi demielinisasi polineuropati akut yang ditandai oleh kelemahan motorik, paralisis, dan hiporefleksia simetris, asendens dan progresif dengan atau tanpa disertai gejala sensorik atau otonom. (Dewanto, Suwono, Riyanto, & Turana, 2009). Sindrom Guillain Barre adalah suatu keadaan poliradikuloneuropati dengan manifestasi klinis yang bervariasi. (Doarn, Ruts, & Jacobs, 2008) Keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah rasa kebas yang simetris, kelemahan umum, dan arefleksia. SGB ialah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi. (Japardi, 2002)SBG merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi dimana system imunitas tubuh menyerang tubuh yang menyerang sarafnya sendiri. Kelainan tersebut ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik dan otonom. Namun terdapat varian SGB yang melibatkan saraf cranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa. (Munandar, 2008).Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukupsering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderitadan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaandapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yangbaik.Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathicpolyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post InfectiousPolyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, GuillainBarre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain BarreSyndrome.

II. ETIOLOGIDahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata bukan vuris bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang adalah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune responde maupun immune mediated process(Mahar & Priguna, 2000).Sindrom terlihat diceetuskan oleh infeksi virus aau bakteri akut, seperti infeksi saluran pernafasan atau infeksi saluran gastrointestinal yang muncul 1 atau 3 minggu sebelumnya. Antibody yang dihasilkan pada saat infeksi menyerang selubung myelin yang melapisi sel sel neuron dan kemudian menyebabkan paralisis, kelemahan otot dan kelemahan fungsi sensoris. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, kehamilan, atau setelah pembedahan pada bulan sebelum terjadinya sindrom(Mahar & Priguna, 2000).Infeksi respiratorik atau gastrointestinal ringan mendahului gejala neuropati selama 1-3 minggu pada 60% kasus. Yang khas adalah ISPA yang tidak dapat digolongkan, tetapi hampir semua demam karena infeksi dan imunisasi dilaporkan mendahului SGB. Pada beberapa tahun belakangan ini, dari studi serologis diketahui bahwa organisme C.jejuni merupakan infeksi pendahulu SGB yang paling sering diidentifikasi. Hal-hal lain yang dapat mendahului SGB atau penyakit yang berkaitan antara lain meliputi eksantema viral dan penyakit viral lainnya (CMV, EBV, HIV), infeksi bakteri selain Campylobacter (M.pneumoniae, penyakit Lyme), paparan terhadap agen trombolitik dan limfoma (terutama penyakit Hodgkin). Pemberian vaksin antirabies yang kuno dan vaksin influenza A/ New Jersey (babi) yang diberikan pada akhir tahun 1976, berkaitan dengan sedikit peningkatan SGB dan setidaknya 1 program vaksinasi influenza berikutnya telah dikaitkan dengan sedikit peningkatan kasus. Trauma dan operasi bedah dapat mendahului neuropati, tetapi penyebab yang berkaitan belum diketahui secara pasti. Sedangkan pada sepertiga pasien tidak memiliki pencetus/ penyakit yang mendahului. (Lihat Tabel 1)Tabel 1. Penyakit-Penyakit yang Mendahului dan yang Dihubungkan dengan Sindroma Guillain Barr AkutInfeksi ViralCytomegalovirus*InfluenzaCocksackieVirus Epstein Barr* CampakEchoHuman Immunodeficiency virusGondongParainfluenzaVirus Herpes simpleksRubellaRespiratory Herpes ZoosterHepatitis virusInfeksi BakterialCampylobacter jejuni*BrucellosisTularensisMycoplasma pneumoniaeLegionella TuberculosisShigellaSalmonellaTyphoidYersinia enterocoliticaBorrelia burgdorferi (Penyakit Lyme)ListeriaPasteurellaPenyakit SistemikLimfomaPenyakit tiroidSarkoidosisPenyakit AddisonLeukemiaTumor padat (kanker paru)Systemic lupus erythematosusLain-lainPembedahanTraumaVaksinasi

* : paling sering dalam kategori tersebut(Japardi, 2002).

III. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGITidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana SGB terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Saat ini diketahui bahwa SGB merupakan penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organism pengganggu. Namun pada SGB, system imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson perifer bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana system imun tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang menyebutkan bahwa organism (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah system saraf, sehingga system imun mengenalnya sebagai sel sel asing. Organism tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibody melawan komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin (Japardi, 2002).Akson adalah suatu perpanjangan sel sel saraf, berbentuk panjang dan tipis berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastic(Dewanto, Suwono, Riyanto, & Turana, 2009).Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakansaraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahanpertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudiantimbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihatbeberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, danselubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam,sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur (Dewanto, Suwono, Riyanto, & Turana, 2009).Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalahinfiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo danepineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannyaberat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkanmakrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin darisel schwan dan akson (Japardi, 2002).Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi. Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.(5) Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf (Dewanto, Suwono, Riyanto, & Turana, 2009).IV. MANIFESTASI KLINISa. Pola KelemahanWalaupun SGB akut secara tipikal dimulai dengan parestesi pada ujung jari tangan dan kaki, namun gambaran yang predominan adalah neuropati motorik. Parestesi biasanya mengikuti dalam waktu beberapa hari dengan kelemahan tungkai bilateral, simetris, dengan derajat bervariasi, ditandai dengan kesulitan berjalan dan pasien secara khas mengungkapkan kesulitan saat menaiki tangga atau bangkit dari kursi. Kelemahan lengan, tangan dan wajah, okuler atau otot-otot orofaring dapat terjadi sesuai dengan keparahan penyakit. Walaupun ditekankan adanya kelemahan bilateral dan simetris, namun kami menemukan bahwa hampir selalu terdapat kelemahan yang asimetris dengan derajat yang bervariasi. Walaupun asimetrinya minimal, namun hal ini masih nyata pada pasien.(Japardi, 2002)Secara jarang, sindrom dimulai dengan kelemahan hebat pada salah satu sisi anggota gerak, yang berlangsung dalam jam, dan kadang-kadang beberapa hari sebelum anggota gerak sisi lain pada segmen yang sama ikut terkena. Dahulu SGB dideskripsikan dengan menekankan kelemahan tungkai yang diikuti dengan paralisis ascendens dengan predileksi otot-otot anggota gerak distal, namun pengalaman kami menunjukkan bahwa kelemahan proksimal lebih sering dan lebih nyata daripada distal. Berlawanan dengan sebagian besar kelainan miopati dan neuromuscular junction lain, pada SGB otot-otot proksimal jarang terkena secara tersendiri dalam jangka waktu yang lama. Lengan dan tangan biasanya ikut terkena beberapa jam sampai hari setelah tungkai, walaupun kelemahan tungkai dan tangan dapat terjadi secara bersamaan. Varian kasus menggambarkan kelemahan terbatas pada tungkai, atau dimulai dari tangan atau bahu diikuti tungkai setelah beberapa hari. Pada penelitian retrospektif kami, 14 % kasus merupakan kelemahan descendens, dimulai dari saraf kranial atau dari lengan kemudian ke tungkai. Hampir 15 % kasus SGB yang berkembang secara komplit mempunyai kelemahan lengan dan tungkai yang sama. Anggota gerak yang lemah flaksid dan proporsional dengan kelemahannya. Fasikulasi atau myokimia terdapat pada sebagian kecil kasus (Dewanto, Suwono, Riyanto, & Turana, 2009).Keterlibatan saraf kranial umum dijumpai pada SGB dan telah diketahui secara luas bahwa N VII adalah yang paling sering terkena pada 50 % kasus SGB tipikal / khas. Kelemahan wajah terjadi lebih sering jika kelemahan anggota gerak berat, sehingga jika didapatkan kuadriplegi tanpa kelemahan wajah, diagnosis SGB perlu dipertimbangkan kembali. Seperti kelemahan anggota gerak, diplegia wajah sering asimetris dan kadang-kadang unilateral. Adanya kelemahan wajah tidak otomatis menunjukkan keterlibatan saraf kranial lain atau mengarah ke kegagalan nafas. Disfagia merupakan gejala yang jarang, namun kelemahan orofaring terjadi pada sepertiga sampai setengah jumlah pasien selama perjalanan penyakit, menyebabkan risiko aspirasi. Kelemahan wajah biasanya muncul jika kemampuan menelan terganggu (Japardi, 2002)Oftalmoparesis dalam bentuk yang bervariasi terjadi pada 10 % sampai 20 % pasien, kira-kira 3% sampai 5% saat onset; dan nervus abducens adalah yang paling sering terlibat. Kelemahan abduksi okuler seringkali bilateral dan asimetris. Ptosis dan abnormalitas pupil jarang didapatkan jika tidak ada oftalmoplegi. Pasien-pasien yang terkena SGB dalam bentuk yang hebat dapat mengalami paralisis semua saraf kranial, biasanya disertai dengan gagal nafas dan kuadriplegia sehingga menimbulkan keadaan locked-in.(Japardi, 2002).Kegagalan nafas, terutama diakibatkan kelemahan diafragma, merupakan komplikasi serius yang paling sering dijumpai pada SGB akut, dan ventilasi mekanik diperlukan pada hampir sepertiga kasus. Pasien-pasien ini umumnya kuadriparesis. Kelemahan elevasi bahu dan fleksi leher muncul paralel dengan kelemahan diafragma dan kegagalan nafas serta kelemahan orofaring. Sebagai akibat kelemahan otot-otot respirasi, terdapat pengurangan volume tidal dan kapasitas vital yang diikuti dengan atelektasis. Pasien dapat mengalami kesulitan batuk dan mengeluarkan sekresi dahak, khususnya jika kelemahan orofaring juga ada. Atelektasis menyebabkan shunting arterio-venosa dan hipoksia, diikuti peningkatan frekuensi nafas dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan (sternokleidomastoideus dan otot-otot tambahan pada toraks dan abdomen). Takipneu menurunkan kadar karbon dioksida, sehingga pada kondisi kompensasi respiratorik awalnya ditemukan hipoksia ringan dengan kadar karbondioksida yang nenurun. Hiperkapneu terus berlangsung sampai otot-otot respirasi menjadi lelah. Dalam kondisi ini pasien dapat dengan cepat mengalami dekompensasi dan terjadi henti nafas. Jika pasien tidak membutuhkan ventilator mekanik sampai 2 minggu setelah onset penyakit, maka alat tersebut tidak diperlukan lagi jika tak ada komplikasi berat lain yang terjadi. Pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan waktu perawatan lebih lama, lebih lama waktu pulihnya, lebih tinggi angka kematiannya, dan lebih sering mengalami sisa defisit secara signifikan jika dibandingkan mereka yang tidak membutuhkan respirasi mekanik (Munandar, 2008)

b. Abnormalitas SensorikParestesi jari-jari tangan dan kaki merupakan gejala awal pada lebih dari setengah kasus pasien SGB. Kebanyakan keluhan seperti kena paku dan jarum, ditusuk-tusuk, atau sensasi geli, mirip dengan sensasi anggota gerak jatuh tertidur. Gejala sensorik secara khas mendahului 1-2 hari sebelum kelemahan dan menyebar ke pergelangan kaki dan pergelangan tangan selama perjalanan penyakit. Selama parestesi berlangsung dan kehilangan rasa sensorik terus berjalan, tangan dan kaki dideskripsikan pasien sebagai tebal dan mati rasa. Gejala sensorik lebih simetris dibandingkan dengan kelemahan motorik, dan ujung jari umumnya mengalami pasrestesi segera setelah kedua kaki terkena. Parestesi wajah atau trunkus dapat terjadi walaupun jarang. Sebagian kecil pasien mengalami hilang rasa yang nyata pada trunkus, seringkali dalam pola eschutcheon atau pola seperti pita, tapi pernah dilaporkan pula dalam pola diskret yang menyerupai kelainan medula spinalis. Pasien-pasien ini umumnya tidak menyadari di tingkat mana dia mengalami hilang rasa, sampai dilakukan pemeriksaan, dan hasil pemeriksaannya pun hanya samar-samar. Dalam praktek kami telah dilakukan MRI secara rutin untuk menyingkirkan kemungkinan myelopati pada pasien-pasien di mana level hilang rasanya jelas. Kelainan sensorik yang paling sering adalah terganggunya rasa getar, dan sensasi posisi sendi tungkai dan kaki, walaupun sensasi pinprick juga berkurang jika jaras sensorik besar ikut terganggu. Hilang rasa proprioseptif yang hebat dapat menimbulkan ataksia sensorik (Japardi, 2002).Nyeri adalah gejala yang umum dijumpai pada SGB, diderita oleh 60%-70% pasien. Seringkali gejala ini tak diperhatikan oleh tenaga medis atau tersamar oleh kelemahan atau masalah medis lain yang lebih serius. Nyeri dapat mendahului kelemahan dan parestesi, karakteristiknya berupa nyeri di otot-otot besar panggul, tungkai atas atau punggung, nyeri radikuler yang menyebar dari punggung ke salah satu atau kedua tungkai, atau rasa terbakar. Sensasi disestesi di kaki atau tangan yang berhubungan dengan parestesi yang tak nyeri(Japardi, 2002).Berkurang atau menghilangnya refleks-refleks tendo dalam merupakan gambaran inti SGB, hal ini mungkin merefleksikan proses demyelinisasi, dispersi, dan desinkronisasi saraf-saraf aferen besar bermyelin yang merupakan bagian dari lengkung refleks. Hampir dua pertiga pasien mengalami arefleks saat awal dirawat, walaupun hilangnya refleks dapat pula tertunda sampai kelemahan dan parestesi menjadi nyata. Persistensi refleks selama perjalanan penyakit ditemukan kurang 5 % dari keseluruhan kasus, dan bila ini ditemukan, sebaiknya akurasi diagnosis perlu ditinjau kembali. Jika tungkai lebih lemah daripada lengan, refleks tungkai lebih dulu menghilang. Refleks masih dijumpai pada anggota gerak yang kelemahannya ringan, walaupun refleks selalu menghilang jika anggota gerak terlalu lemah untuk melawan gravitasi, refleks yang meningkat pada anggota gerak yang lemah harus selalu dicurigai sebagai mielopati (Japardi, 2002).c. Disfungsi OtonomSejumlah gangguan sistem saraf otonom terjadi pada SGB; beberapa bentuk terjadi pada 65 % kasus dalam penelitian retrospektif yang kami lakukan. Disautonomia lebih sering terjadi pada pasien dengan kelemahan hebat dan kegagalan respirasi, namun disfungsi otonom dapat terjadi pada kasus-kasus yang ringan. Manifestasi yang paling sering diketahui adalah sinus takikardi, bradikardi, dan aritmia supraventrikuler lain (jarang terjadi : aritmia ventrikuler), hipertensi, hipotensi, vagal spells, ileus, dan retensi urine. Emboli pulmoner,hipoksia, infeksi, dan komplikasi medis lain sebaiknya disingkirkan lebih dulu sebelum menganggap gangguan kardiovaskuler yang dijumpai sebagai disautonom (Japardi, 2002).V. PEMERIKSAAN FISIKPada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.

VI. DIAGNOSISKriteria diagnosis GBS diterbitkan pada tahun 1978 oleh komite NationalInstitute of Neurological and Communicative Diseases(NINCDS). Kriteria tersebut meliputi gambaran klinis yang bersifat progresif, relatif simetri dan gejala atau tanda-tanda gangguan sensorik ringan,kadar protein dalam cairan serebrospinal, dan fitur electrodiagnostic, yang menggambarkan perlambatan dari konduksi saraf (Japardi, 2002).Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute ofNeurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: Terjadinya kelemahan yang progresif HiporefleksiII. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:a. Ciri-ciri klinis: Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu. Relatif simetris Gejala gangguan sensibilitas ringan Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan seringbilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yangmempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasusneuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,dapat memanjang sampai beberapa bulan. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,hipertensi dangejala vasomotor. Tidak ada demam saat onset gejala neurologisb. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadipeningkatan pada LP serial Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 Varian:Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala, jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa: Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

VII. TATALAKSANASampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah: 1. Sistem pernapasanGagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB. Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator) bila vital capacity turun dibawah 50%. 2. FisioterapiFisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolapsparu. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.3. ImunoterapiTujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.a. Plasma exchange therapy (PE)Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange. b. Imunoglobulin IVIntravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. Ig juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg.c. KortikosteroidKebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Tetapi, digunakan pada SGB tipe CIDP.Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan. Mortalitas pasien Sindrom Guillain Barre adalah 3-5%.XIII. KOMPLIKASIKomplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dankontraktur pada sendi.IX. PROGNOSIS Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi padasebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai beberapatahun. Menurut National Institute of Neurological Disorders and Stroke sekitar 30% penderita masih mengalami gejala sisa setelah 3 tahun (gejala sisa ringan dapat menetap pada penderita). Keluaran penderita akan menjadi sangat baik bila gejala-gejala dapat hilang dalam waktu 3 minggu sejak muncul gejala tersebut muncul.2 Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic Inflammantory DemyelinatingPolyradiculoneuropathy (CIDP).

BAB IV KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barr (GBS) adalah neuropati perifer dengan onset akut, dan ditandai dengan kelemahanmotorikdengan cepat. Penyakit ini diduga sebagai penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi sebelumnya, terutama infeksi saluran pernapasan dan gastrointestinal.Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Kematian pada SGB disebabkan oleh gagal nafas dan aritmia.

DAFTAR PUSTAKA

Alshekhlee, A., Hussain, Z., Sultan, B., & Katiriji, B. (2008). Guillain Barre Syndrome: Incidence and Mortality Rates in US Hospitals. Neurology , 1608-13.CDC- Center for Disease Control and Prevention. (2012, Agustus 23). Retrieved Juni 30, 2014, from Guillanin-Barre Syndrome (GBS): http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine/guillainbarre.htmDewanto, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., & Turana, Y. (2009). Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Doarn, P. A., Ruts, L., & Jacobs, B. C. (2008). Clinical Features, Pathogenesis, and Treatment of Guillain Barre Syndrome. Lancet Neurology Journal , 939-50.Japardi, I. (2002). Sindroma Guillain Barre. Medan: USU Digital Library.Mahar, M., & Priguna, P. (2000). Sindroma Guillain Barre : Neurologi Klinis Dasar, Cetakan ke 8. . Jakarta: Dian Rakyat.McGrogan, A., Madle, G. C., Seaman, H. E., & Vries, C. S. (2009). The Epidemiology of Guillain Barre Syndrome Worldwide. Neuroepidemiology , 150-63.Munandar, A. (2008). Laporan Kasus Sindroma Guillain Barre dan Tifus Abdominalis. . Jakarta: Unit Neurologi RS Husada.

1