Laporan Kasus

61
BAB I PENDAHULUAN Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat 1 . Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. BPH akan timbul seiring dengan bertambahnya usia, sebab BPH erat kaitannya dengan proses penuaan 2 . Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun 1 . Selain itu yang menyebabkan pembesaran kelenjar prostat, adalah bertambahnya zat prostaglandin dalam jaringan prostat, beta sitosterol yang berperan menghambat pembentukan prostaglandin. Oleh karena itu, kelenjar prostat dapat juga disembuhkan oleh beta sitosterol 2 . Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli 1

description

BPH

Transcript of Laporan Kasus

Page 1: Laporan Kasus

BAB I

PENDAHULUAN

Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering

diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign

prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat

hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat1. Kelenjar prostat

adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak

maupun ganas. BPH akan timbul seiring dengan bertambahnya usia, sebab BPH

erat kaitannya dengan proses penuaan2. Hiperplasia prostat benigna ini dapat

dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat

hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun1. Selain itu yang menyebabkan

pembesaran kelenjar prostat, adalah bertambahnya zat prostaglandin dalam

jaringan prostat, beta sitosterol yang berperan menghambat pembentukan

prostaglandin. Oleh karena itu, kelenjar prostat dapat juga disembuhkan oleh beta

sitosterol2.

Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang

menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari

pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang

menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal

sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh

pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO).

Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli

maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas

maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa

LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding

symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi

meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus

(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi

retensi urine1.

1

Page 2: Laporan Kasus

Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien

BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi

disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam

proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh

pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih

berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain

(estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan

diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung.

Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis

protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam

memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu

meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik

sedangkan protein growth factor dikenal sebagai faktor intrinsik yang

menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat1.

Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan

pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di

berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas

terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia

di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian dokter di daerah terpencilpun diharapkan

dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya1.

2

Page 3: Laporan Kasus

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identifikasi

Nama : Tn. CM

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 70 tahun

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Status : Sudah menikah

Pekerjaan : Buruh

Alamat : Tanjung Raja Bingin Teluk Lubuk Linggau

Tanggal masuk : 05 Agustus 2014

Tanggal pemeriksaan : 06 Agustus 2014

2.2. Anamnesis

Keluhan Utama:

Sulit untuk buang air kecil sejak kurang lebih 1 bulan sebelum masuk

rumah sakit.

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, penderita merasakan sulit untuk

buang air kecil. Penderita merasakan pancaran air kencing lemah, menetes

sedikit-sedikit, terasa sakit dan harus mengedan saat kencing. Penderita

mengaku masih ada sisa urin setelah kencing dan disertai perasaan tidak

puas. Dalam sehari, penderita dapat berkali-kali buang air kecil dengan

selang waktu ½ - 1 jam sekali. Selain itu, penderita terbangun pada malam

hari untuk kencing lebih dari 3 kali tiap malam. Penderita menyangkal

mengalami demam, pusing, mual, muntah, nyeri pinggang, kencing

berdarah dan kencing berpasir. Riwayat adanya trauma juga disangkal.

3

Page 4: Laporan Kasus

Kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita berobat

ke dokter dan dilakukan pemasangan kateter. Apabila kateter dilepaskan,

penderita kembali merasakan sulit untuk buang air kecil.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit jantung tidak ada.

Riwayat penyakit kencing manis tidak ada. Riwayat penyakit dengan

keluhan yang sama juga tidak ada.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:

Riwayat penyakit jantung, kencing manis, dan riwayat penyakit

dengan keluahan yang sama dalam keluarga disangkal oleh penderita.

IPSS (International prostat sympthom score)

1. Merasa masih terdapat sisa urin setelah kencing (3)

2. Harus kencing lagi padahal setengah jam yang lalu baru kencing (4)

3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai lagi berkali-kali (4)

4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing (4)

5. Merasakan pencaran urin lemah (3)

6. Harus mengejan dalam memulai kencing (4)

7. 1 bulan terakhir berapa kali terbangun dari tidur malam hanya

untuk kencing (5)

8. Dengan keluhan seperti ini bagaimana Anda menikmati hidup

(Tidak bahagia)

2.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

- Keadaan umum : tampak sakit sedang

- Kesadaran : E4M6V5

- Tekanan darah : 130/80 mmHg

- Nadi : 87 x/menit

- Pernapasan : 21 x/menit

4

Page 5: Laporan Kasus

- Suhu : 36,7 0C

- Kulit : ikterik (-), sianosis (-)

- Kepala :

Normocephali, rambut hitam dan tidak mudah rontok, sudut nasolabialis

simetris.

a. Mata : edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera

ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+),

b. Hidung : sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)

c. Mulut dan Tenggorokkan : mukosa bibir anemis (-), sianosis (-), lidah

kotor (-), papil atrophi (-), tonsil T1/T1,

faring hipermis (-)

d. Telinga : nyeri tekan tragus (-/-), gangguan pendengaran (-/-)

- Leher :

Inspeksi : simetris, massa (-)

Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-)

JVP : 5-2 cmH2O

- Thorax :

Simetris, gerak napas tertinggal (-/-), pektus ekskavatum (-)

Pulmo :

a. Inspeksi : sela iga melebar (-/-), otot bantuan napas (-/-)

b. Palpasi : vokal fremitus hemitoraks dextra = sinistra

c. Perkusi : sonor, batas paru-hepar ICS VI

d. Auskutasi : vesikuler (+/+) normal, ronki (-/-), wheezing (-/-)

Cor :

a. Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

b. Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra

c. Perkusi : batas kiri atas : ICS II Linea midclavicula sinistra

batas kanan atas : ICS II Llinea parasternalis dextra

batas kiri bawah : ICS V Linea midclavicula sinistra

5

Page 6: Laporan Kasus

batas kanan bawah : ICS IV Linea parasternalis dextra

d. Auskultasi : S1/S2 (+) reguler, murmur (-), gallop (-)

- Abdomen

Inspeksi : datar, lemas, massa (-)

Palpasi : nyeri tekan (-), teraba massa (-), hepar-lien tidak teraba

Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

- Ekstremitas

a. Superior : akral hangat, edema (-/-) sianosis (-/-), CRT < 2 detik

b. Inferior : akral hangat, edema (-/-), pitting edema (-/-), sianosis (-/-),

CRT < 2 detik

- Urogenitalia

Lihat status lokalis.

Status Lokalis:

Urologikus:

a. Regio Costo Vertebrae Angle Dextra et Sinistra

Inspeksi : bulging (-/-)

Palpasi : ballotement (-/-)

Perkusi : nyeri ketok (-/-)

b. Regio Suprapubic

Inspeksi : bulging (-), scar (-)

Palpasi : nyeri tekan (-)

c. Regio Genetalia Eksterna

Inspeksi : MUE normal, terpasang kateter uretra No. 16f , urin jernih,

darah (-), pus (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba massa (-)

d. Regio Anal

Inspeksi : Tidak ada luka dan tidak tampak adanya benjolan

Palpasi : Nyeri tekan (-).

6

Page 7: Laporan Kasus

Rectal toucher : Tonus sfingter ani cukup, ampula rekti tidak kolaps,

mukosa rectum licin, teraba massa di jam 12, kenyal,

permukaan licin, simetris, batas atas tidak dapat

diraba, sulcus medianus tidak teraba, batas lateral

teraba pembesaran 3-4 cm.

Handscoon : feces (-), darah (-), lendir (-).

2.4. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Dilakukan pemeriksaan pada tanggal 05 agustus 2014.

1. Hematologi

- Hb : 12,2 gr/l

- Leukosit : 5.700 / ul

- Trombosit : 123.000 / ul

- Hematokrit : 39 %

- Golongan darah : A, Rh (+)

- BT : 4 menit

- CT : 8 menit

2. Kimia Darah

- BSS : 120 mg/dl

- Ureum : 40 mg/dl

- Creatinin : 0,9 mg/dl

7

Page 8: Laporan Kasus

b. Pemeriksaan EKG

Pemeriksaan EKG dilakukan pada tanggal 05 Agustus 2014.

Dari hasil pemeriksaan EKG didapatkan hasil gambaran normal.

c. Pemeriksaan Foto Rontgen Thorax

Dari hasil pemeriksaan foto rontgen didapatkan hasil gambaran normal.

8

Page 9: Laporan Kasus

2.5. Diagnosis Banding

Temuan Klinis BPH Ca ProstatStriktur Uretra

Urolitiasis Kasus

Kesulitan berkemih + +/- + + +Pancaran kemih menurun

+ +/- + + +

Frekuensi kemih abnormal

+ +/- + + +

Berkemih tidak lampias

+ +/- + + +

Disuria + +/- + + +Urin keluar menetes diakhir berkemih

+ +/- + + +

Pancaran kemih bercabang

- - + - -

Hematuria - +/- + +/- -Nyeri pelvis - +/- + - -Nocturia + - - - +Urgensi + - - - +Mengedan saat miksi + - - - +Riwayat trauma - - + - -

Hasil colok dubur

Teraba prostat simetris,

konsistensi kenyal

Teraba prostat asimetris,

konsistensi keras

- -

Teraba prostat

simetris, konsistensi

kenyal

2.6. Diagnosis Kerja

Benign Prostatic Hyperplasia.

2.7. Penatalaksanaan

a. Medikamentosa

- IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro)

- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)

- Kateterisasi dengan kateter No.16f

b. Tindakan operasi

Rencana prostatektomi terbuka dengan pendekatan suprapubik

transvesika.

c. Rencana post operasi

- Kontrol paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui

kemungkinan terjadi penyulit.

9

Page 10: Laporan Kasus

- Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir

operasi.

2.8. Follow Up

08 Agustus 2014

s/ - pasien mengeluh nyeri pada luka operasi

- nafsu makan menurun

o/ - Tekanan darah :110/70 mmHg

- Nadi : 84 x/menit

- Pernafasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,5 º C

- KU : sedang

- KS : CM

- Luka bekas operasi tampak tenang. DC 3 way (+), drainase (+). Urin

kuning bercampur darah.

a/ Post-op open prostatektomi hari ke 1

th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg

- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV

- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)

- Kateterisasi dengan kateter No.16f

- Drain ±100cc

09 Agustus 2014

s/ - Nyeri pada luka operasi berkurang

o/ - Tekanan darah :110/70 mmHg

- Nadi : 86 x/menit

- Pernafasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,5 º C

- KU : sedang

- KS : CM

- DC 3 way (+), drainase (+),Urin kuning bercampur darah.

a/ Post-op open prostatektomi hari ke 2

10

Page 11: Laporan Kasus

th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg

- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)

- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)

- Kateterisasi dengan kateter No.16f

- Drain ± 10cc

10 Agustus 2014

s/ - Nyeri pada luka operasi berkurang

o/ - Tekanan darah :130/90 mmHg

- Nadi : 85 x/menit

- Pernafasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,5 º C

- KU : sedang

- KS : CM

- DC 3 way (+), drainase (+),Urin kuning bercampur darah.

a/ Post-op open prostatektomi hari ke 3

th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg

- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)

- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)

- Kateterisasi dengan kateter No.16f

- Drain ± 10cc

11 Agustus 2014

s/ - Tidak ada

o/ - Tekanan darah :120/80 mmHg

- Nadi : 80 x/menit

- Pernafasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,5 º C

- KU : sedang

- KS : CM

- DC 3 way (+), drainase (+),Urin kuning bercampur darah.

a/ Post-op open prostatektomi hari ke 4

11

Page 12: Laporan Kasus

th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg

- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)

- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)

- Kateterisasi dengan kateter No.16f

- Drain ± 10cc

12 Agustus 2014

s/ - Tidak ada

o/ - Tekanan darah :130/80 mmHg

- Nadi : 84 x/menit

- Pernafasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,5 º C

- KU : sedang

- KS : CM

- DC 3 way (+), drainase (+),Urin kuning bercampur darah.

a/ Post-op open prostatektomi hari ke 5

th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg

- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)

- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)

- Kateterisasi dengan kateter No.16f

- Drain ± 70 cc

13 Agustus 2014

s/ - Tidak ada

o/ - Tekanan darah :130/80 mmHg

- Nadi : 84 x/menit

- Pernafasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,5 º C

- KU : sedang

- KS : CM

- DC 3 way (+),Urin kuning.

a/ Post-op open prostatektomi hari ke 6

12

Page 13: Laporan Kasus

th/ - Cefadroxil 2 x 500 mg (p.o)

- Asam mefenamat 3 x 500mg (p.o)

14 Agustus 2014

s/ - Tidak ada

o/ - Tekanan darah :130/80 mmHg

- Nadi : 84 x/menit

- Pernafasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,5 º C

- KU : sedang

- KS : CM

- DC 3 way (+),Urin kuning.

a/ Post-op open prostatektomi hari ke 7

th/ - Cefadroxil 2 x 500 mg (p.o)

- Asam mefenamat 3 x 500mg (p.o)

- Kateter dilepas

15 Agustus 2014

s/ - Tidak ada

o/ - Tekanan darah :120/80 mmHg

- Nadi : 84 x/menit

- Pernafasan : 20 x/menit

- Suhu : 36,5 º C

- KU : sedang

- KS : CM

a/ Post-op open prostatektomi hari ke 8

th/ - Cefadroxil 2 x 500 mg (p.o)

- Asam mefenamat 3 x 500mg (p.o)

- Pasien boleh pulang

2.9. Prognosis

Quo ad vitam : bonam.

Quo ad functionam : dubia.

13

Page 14: Laporan Kasus

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Prostat

a. Lokasi dan Deskripsi

Prostata merupakan organ kelenjar fibromuskular yang

mengelilingi uretra pars protatica (Gambar 3.1 dan 3.2). Prostata

mempunyai panjang kurang lebih 1 ¼ inchi (3 cm) dan terletak di antara

collum vesicae di atas dan diaphragma urogenitale di bawah (Gambar

3.2)3.

Gambar 3.1. Potongan sagital pelvis laki-laki3.

Prostata dikelilingi oleh capsula fibrosa. Di luar capsula terdapat

selubung fubrosa, yang merupakan bagian lapisan visceral fascia pelvis

(Gambar 3.2). Prostata yang berbentuk kerucut mempunyai basis protatae

yang terletak di superior dan berhadapan dengan collum vesicae, dan

apex prostata yang terletak di inferior dan berhadapan dengan

diaphragma urogenitale. Kedua ductus ejaculatorius menembus bagian

atas facies posterior prostatae untuk bermuara ke urethra pars prostatica

pada pinggir lateral utriculus prostaticus (Gambar 3.2)3.

14

Page 15: Laporan Kasus

A B

C

Gambar 3.2. Potongan koronal prostata (A), potongan sagital (B), potongan horizontal (C)3.

Perhatikan muara ductus ejaculatorius pada pinggir utriculus prostaticus.

Hubungan3:

1. Ke superior: Basis protatae berhubungan dengan collum vesicae. Otot

polos prostata terus melanjut tanpa terputus dengan otot polos collum

vesicae. Urethra masuk pada bagian tengah basis prostatae (Gambar

3.1).

2. Ke inferior: Apex prostatae terletak pada facies superior diaphragma

urogenitale. Urethra meninggalkan prostata tepat di atas apex pada

facies anterior (Gambar 3.2).

3. Ke anterior: Facies anterior prostatae berbatasan dengan symphisis

pubica, dipisahkan oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat di dalam

spatium retropubicum (cavum Retzius). Selubung fibrosa prostata

dihubungkan dengan aspek posterior os pubis oleh ligamenta

puboprostatica. Ligamenta ini terletak di samping kanan dan kiri linea

mediana dan merupakan penebalan fascia pelvis (Gambar 3.1).

15

Page 16: Laporan Kasus

4. Ke posterior: Facies posterior prostatae (Gambar 3.1 dan 3.2)

berhubungan erat dengan facies anterior ampulla recti dan dipisahkan

dari rectum oleh septum rectovesicale (fascia Denonvillier). Septum

ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio

retrovesicalis peritonealis, yang semula meluas ke bawah sampai ke

corpus perineale.

5. Ke lateral: Facies lateralis prostatae difiksasi oleh serabut anterior

musculus levator ani pada saat serabut ini berjalan ke posterior dari

pubis (Gambar 3.2).

b. Struktur Prostat

Kelenjar prostata yang jumlahnya banyak tertanam di dalam

campuran otot polos dan jaringan ikat, dan ductusnya bermuara ke

urethra pars prostatica3.

Prostata secara tidak sempurna terbagi menjadi 5 lobus (Gambar

3.2). Lobus anterior terletak di bagian depan urethra dan tidak

mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius atau medianus adalah

kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara urethra dan ductus

ejaculatorius. Permukaan atas lobus medius berhubungan dengan

trigonum vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar. Lobus

posterior terletak di belakang urethra dan di bawah ductus ejaculatorius,

juga mengandung kelenjar. Lobi prostatae dexter dan sinister terletak di

samping urethra dan dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh alur

vertikal dangkal yang terdapat pada facies posterior prostatae. Lobi

laterales mengandung banyak kelenjar3.

c. Fungsi Prostat

Fungsi prostata adalah menghasilkan cairan tipis seperti susu yang

mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke

semen pada waktu ejakulasi. Bila otot polos pada capsula dan stroma

berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak kelenjar diperas masuk ke

16

Page 17: Laporan Kasus

urethra pars prostatica. Sekret prostata bersifat alkalis dan membantu

menetralkan suasana asam di dalam vagina3.

d. Perdarahan

1. Arteriae: cabang arteria vesicalis inferior dan arteria rectalis media3.

2. Venae: membentuk plexus venosus prostaticus, yang terletak di antara

capsula prostatica dan selubung fibrosa (Gambar 3.2). Plexus venosus

prostaticus menampung darah dari vena dorsalis profunda penis dan

sejumlah venae vesicales, selanjutnya bermuara ke vena illiaca

interna3.

e. Aliran Limf

Pembuluh limf dari prostata mengalirkan cairan limf ke nodi iliaci

interni3.

f. Persarafan

Persarafan prostat berasal dari plexus hypogasticus inferior. Saraf

simpatis merangsang otot polos prostata saat ejakulasi3.

3.2. Definisi Benign Prostatic Hyperplasia

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pertumbuhan berlebihan

sel-sel prostat yang tidak ganas dimana kelenjar prostat membesar dengan

cepat2. Sebenarnya yang terjadi adalah hiperplasi kelenjar periuretral yang

mendesak jaringan prostat yang sebenarnya ke arah perifer. Hiperplasi

kelenjar prostat bukan kelainan pra-ganas4.

Gambar 3.3.Hiperplasia prostat4. (A) Prostat normal: uretra (1), daerah kelenjar periuretra (2), kelenjar prostat (3).

(B) Hiperplasia prostat: uretra yang terjepit (1), hiperplasia kelenjar periuretra menjadi hipertropia prostat (2), kelenjar prostat yang sebenarnya yang tertekan menjadi sebagai

simpai dan disebut simpai bedah.

17

Page 18: Laporan Kasus

3.3. Etiologi Benign Prostatic Hyperplasia

Pembesaran jinak prostata sering ditemukan pada laki-laki berusia

lebih dari 50 tahun. Penyebabnya mungkina karena ketidakseimbangan

pengendalian hormon kelenjar3. Dengan bertambahnya usia, akan terjadi

perubahan keseimbangan testosteron estrogen karen produksi testosteron

menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan

adiposa di perifer4.

Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek

perubahan juga terjadi perlahan. Pada tahap awal, setelah terjadi

pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat

meningkat, dan setrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke

dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang

disebut trabekulasi. Mukosa dapat menerobos keluar di antara serat detrusor.

Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar

disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi

otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan

akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk

berkontraksi sehingga terjadi retensi urin4.

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab

terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa

hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar

dihidrostestosteron (DHT) dan proses aging (penuaan). Beberapa hipotesis

yang diduga sebagai penyebab timbulknya hiperplasia prostat adalah: (1)

teori dehidrostestosteron, (2) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-

testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4)

berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem sel5.

3.4. Epidemiologi Benign Prostatic Hyperplasia

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah

dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan ini terus

berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomik4.

18

Page 19: Laporan Kasus

Oleh karena itulah dengan meningkatnya usia harapan hidup,

meningkat pula prevalensi BPH. Office of Health Economic Inggris telah

mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales

beberapa tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar

80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu

setengah kalinya pada tahun 2031. Bukti histologis adanya benign prostatic

hyperplasia (BPH) dapat diketemukan pada sebagian besar pria, bila mereka

dapat hidup cukup lama. Namun demikian, tidak semua pasien BPH

berkembang menjadi BPH yang bergejala (symptomatic BPH). Prevalensi

BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%.

Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59

tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 tahun

mencapai angka sekitar 43%1. Pada lelaki usia 80 tahun sekitar 80% dan

sekitar 50% dari angka kejadian tersebut akan menyebabkan gejala dan

tanda klinis4.

Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti,

tetapi sebagai gambaran hospital prevalence pada dua rumah sakit besar di

Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat

1040 kasus1.

3.5. Patofisiologi Benign Prostatic Hyperplasia

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan

tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada

permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi

menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan

hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi,

nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena

detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi

sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan

yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan

rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi

19

Page 20: Laporan Kasus

meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan

berat keluhan klinis4.

Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin

sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung

kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini

berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita

tidak mampu lagi untuk miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada

suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekana

intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi

dari tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks.

Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter,

hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila

terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga

lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid4.

Gambar 3.4. Bagan pengaruh hiperplasia prostat pada saluran kemih5.

Karena selalu terdapat sisa urin, dapat membentuk batu endapan di

dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan

menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistisis dan

bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis (Gambar 3.4)4.

20

Hiperplasia Prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Tekanan intravesikal ↑

Vesika urinaria- Hipertropi otot detrusor- Trabekulasi- Selula- Divertikel vesika urinaria

Ginjal dan Ureter- Refluks vesiko-ureter- Hidroureter- Hidronefrosis- Pionefrosis- Pilonefritis- Gagal ginjal

Page 21: Laporan Kasus

Gambar 3.5. Patofisiologi obstruksi uretra oleh striktur dan penyulit uretritis purulen atau ruptur uretra4.

Atropi ginjal (1), piolonefritis (2), hidronefrosis (3), hidroureter (4), hipertropi otot detrusor dan trabekulasi (5), divertikulum (6), retensi urin akut dan/atau kronik (7), sistolitiasis (8), karsinoma

kandung kemih (9), epididimoorkitis (10), sistisis (11), prostatitis (12), abses prostat (13), uretrolitiasis (14), karsinoma uretra (15), abses periuretra (16), ekstravasasi urin (17),

fistel uretra (18), striktur uretra (19), prolaps rektum (20), hernia inguinalis (21).

3.6. Gambaran Klinis Benign Prostatic Hyperplasia

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih

maupun keluhan di luar saluran kemih5.

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih sebelah atas (LUTS = lower urinary

tract symptom) terdiri atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.

Tabel 3.1. Gejala obstruksi dan iritatif dari BPH5.Obstruksi Iritasi

Hesitansi FrekuensiPancaran miksi lemah NokturiIntermitensi UrgensiMiksi tidak puas disuriMenetes setelah miksi

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih

sebelah bawah, para ahli urologi membuat sistem skoring yang subjektif

dan dapat dihitung sendiri berupa WHO PSS (prostatic symptom score).

21

Page 22: Laporan Kasus

Tabel 3.2. WHO IPSS4.Pertanyaan Jawaban dan Skor

Keluhan pada bulan terakhir

Tidak ada

sama sekali

< 20% < 50% 50% > 50%Hampir selalu

a. Adakah anda merasa buli-buli tidak kosong setelah BAK?

0 1 2 3 4 5

b. Berapa kali anda hendak BAK lagi di dalam 2 jam setelah BAK?

0 1 2 3 4 5

c. Berapa kali terjadi bahwa arus berkemih berhenti sewaktu BAK?

0 1 2 3 4 5

d. Berapa kali terjadi anda tidak dapat menahan BAK?

0 1 2 3 4 5

e. Berapa kali terjadi arus lemah sekali sewaktu BAK?

0 1 2 3 4 5

f. Berapa kali terjadi anda mengalami kesulitan memulai BAK?

0 1 2 3 4 5

Bangun tidur untuk BAKTidak pernah

1x 2x 3x 4x 5x

g. Berapa kali anda bangun untuk BAK di waktu malam hari?

0 1 2 3 4 5

h. Andaikata cara BAK seperti yang anda alami sekarang ini akan seumur hidup tetap seperti ini, bagaimana perasaan anda?

Senang sekali

Senang Pada

umumnya puas

Campuran antara

puas dan tidak puas

Pada umumnya

tidak puas

Tidak bahagia

Jumlah Skor:0 = baik sekali1 = baik2 = kurang baik

3 = kurang4 = buruk5 = buruk sekali

Dari skor tersebut, dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3

derajat, yaitu (1) ringan: skor 0 – 7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat

skor 20-355.

22

Page 23: Laporan Kasus

b. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih

bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan

di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam

yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis5.

c. Gejala di luar saluran kemih

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan vesika urinaria yang

terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat

retensi urin. Kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari

oleh pasien yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoks5.

Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus

sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam

rektum dan prostat. Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan

konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya

kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas

dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba

benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat

asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula

diketahui batu prostat bila teraba krepitasi4.

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa

urin setelah miksi spontan. Sisa ditentukan dengan mengukur urin yang

masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui

dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin

lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan

intervensi pada hipertrofi prostat4.

23

Page 24: Laporan Kasus

Tabel 3.3. Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis4.Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin

IPenonjolan prostat, batas atas mudah

diraba< 50 ml

IIPenonjolan prostat jelas, batas atas

dapat dicapai50 – 100 ml

III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 mlIV Retensi urin total

Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran

urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri4.

Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran

maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran

menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15

ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesikal tidak

dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih4.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga

mengganggu faat ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan

urolitiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi

maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur4.

3.7. Pemeriksaan Pencitraan Benign Prostatic Hyperplasia

Dengan pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan

pielografi intravena, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan,

misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung

kemih. Kalau dibuat foto setelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran

prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung

kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan

apabila dasar vesika urinaria pada gambar sistogram tampak terangkat atau

ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila

fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita

sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd4.

Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal

(transrectal ultrasonography = TRUS). Selain itu untun mengetahui

pembesaran prostat, pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menentukan

24

Page 25: Laporan Kasus

volume vesika urinaria, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain

seperti divertikulum, tumor, dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal,

dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat.

Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi

suprapubik. CT scan dan MRI jarang dilakukan4.

Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan

hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria.

Pemeriksaan untuk ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di

dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang

dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu,

sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan

mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke

dalam uretra4.

3.8. Diagnosis Banding Benign Prostatic Hyperplasia

Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas

leher kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi uretra. Setiap

kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut.

Kelemah detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih

neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropatia diabetes, bedah

radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat

penenang, obat penghambat reseptor ganglion, dan parasimpatolitik.

Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi

uretra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher

kandung kemih, batu di uretra, atau striktur uretra, kelainan tersebut dapat

dilihat dengan sistoskopi.

25

Page 26: Laporan Kasus

Tabel 3.4. Diagnosis banding obstruksi saluran kemih karena hipertrofi prostat4.

Kelemahan detrusor VU Kekakuan leher VU Resistensi uretraGangguan neurologik- Kelainan medula

spinalisFibrosis

Hipertrofi prostat ganas atau jinak

- Neuropati diabetes melitus

Kelainan yang menyumbat uretra

- Pascabedah radikal di pelvis

Uretralitiasis

- Farmakologik (obat penenang, penghambat alfa, parasimpatolitik)

Uretritis akut atau kronik

3.9. Penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia

WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan

miksi dengan skor WHO PSS (prostate symptom score). Skor ini dihitung

berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi4.

Terapi nonbedah dianjurkan bila WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk

itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi

bedah dianjurkan bila WHO PSS bernilai lebih dari 25 atau bila timbul

obstruksi4.

Di dalam praktek, pembagian besar prostat derajat I – IV digunakan

untuk menentukan cara penanganan. Penderita derajat I biasanya belum

memerlukan tindakan bedah, cukup diberikan tindakan konservatif, misal

dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prasozin, dan

terasozin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek

positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak memengaruhi proses hiperplasia

prostat sedikit pun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk

pengobatan yang lama4.

Derajat II merupaja indikasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.

Biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (TUR =

transurethral resection). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar

8%. Kadang derajat II dapat dicoba dengan pengobatan konservatif4.

Pada derajat III, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh ahli bedah

berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga

26

Page 27: Laporan Kasus

reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan

terbuka4.

Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik

atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut

bagian bawah menurut pfannenstiel, kemudian prostat dienukleasi dari

dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk

mengangkat batu vesika urinaria atau divertikelektomi apabila ada

divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut

Millin dikerjakan melalui sayatan kulit pfannenstiel dengan membuka

simpai prostat tanpa membuka kandung kemih, kemudikan prostat

dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yaitu tanpa membuka

kandung kemih, sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila

membuka vesika. Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai jika diperlukan

tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam kandung kemih. Kedua cara

pembedahan terbuka tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara TUR,

yaitu morbiditasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa

memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku (Gambar

3.5). Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi4.

Pada hipertrofi derajat IV, tindakan pertama yang harus segera

dikerjakan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan

memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih

lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR

atau pembedahan terbuka4.

27

Page 28: Laporan Kasus

Gambar 3.6 Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk dokter umum dan spesialis non urologi1.

DRE: digital rectal examination, IPSS: international prostatic symptom score, QoL: quality of life, PVR: post voiding residual urine, TAUS: transabdominal ultrasonography, TRUS: transrectal

ultrasonography.

28

Page 29: Laporan Kasus

Gambar 3.7. Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk spesialis urologi1. DRE: digital rectal examination, IPSS: international prostatic symptom score, QoL: quality of life,

PVR: post voiding residual urine, IVP: intravenous pyelography, TAUS: transabdominal ultrasonography, TRUS: transrectal ultrasonography, dan BPO: benign prostatic enlargement.

29

Page 30: Laporan Kasus

Gambar 3.8. Prostatektomi4.A. Perineal: kandung kemih (1), prostat (2), simfisis (3), diafragma urogenital (4), penis

dengan uretra dan korpus kavernosus (5), rektum (6), peritoneum parietal (7), rongga perut (8).

B. Suprapubik transvesikal. Bedah melalui kandung kemih, tetapi bukan melalui laparotomi karena rongga perut tidak dibuka.

C. Retropubik melalui cavum Retzius antara kandung kemih dan simfisis. Rongga perut maupun kandung kemih tidak dibuka (pendekatan Millin).

D. Endokskopik transuretral tanpa sayatan kulit (TUR).

Penderita dengan keadaan umum tidak memungkinkan untuk

dilakukan pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan

memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini

adalah gejala hipotensi, seperti pusing, lemas, palpitasi, dan rasa lemah4.

Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat

antiandrogen yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif

ini ialah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping

obat4.

Pengobatan lain yang invasif minimal adalah pemanasan prostat

dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui anena

yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transurethral

microwave thermotherapy (TUMT) ini, diperoleh hasil perbaikan kira-kira

75% untuk gejala objektif4.

30

Page 31: Laporan Kasus

Pada penanggulangan invasif minimal lain yang disebut transurethral

ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP) digunakan cahaya

laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.

Uretra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan balon yang

dikembangkan didalamnya (transurethral balloon dilatation = TUBD) yang

biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara4.

3.10. Pembedahan pada Hiperplasia Prostat

Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang

paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau

terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama

untuk melihat hasil terapi.

Pembedahan ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi

prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI).

Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang:

1. tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa

2. mengalami retensi urin

3. infeksi saluran kemih berulang

4. hematuria

5. gagal ginjal

6. timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran

kemih bagian bawah

A. Pembedahan Terbuka

Beberapa macam teknik operasi terbuka adalah metode dari Millin

yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostate melalui pendekatan retropubik

infrafesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau

transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang

masih banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai

terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilalui melalui pendekatan

suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin).

31

Page 32: Laporan Kasus

Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sagat besar (>100

gram).

Penyulit dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah:

inkontinensia urin (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-

80%), dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Dibandingkan dengan TURP

dan BNI, penyulit yang terjadi berupa striktura uretra dan ejakulasi

retrograd lebih banyak dijumpai pada prostatektomi terbuka. Perbaikan

gejala klinis sebanyak 85-100%, dan angka mortalitas sebanyak 2%.

1. Retropubik Infravesika

Keuntungan :

Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada

subservikal

Mortaliti rate rendah

Langsung melihat fossa prostat

Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli

Perdarahan lebih mudah dirawat

Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu

selama bila membuka vesika

Kerugian :

Dapat memotong pleksus santorini

Mudah berdarah

Dapat terjadi osteitis pubis

Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal

Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus

dikerjakan dari dalam vesika

Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis

2. Suprapubik Transvesika

Keuntungan :

Baik untuk kelenjar besar

Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat

32

Page 33: Laporan Kasus

Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan

penyulit : batu buli, batu ureter distal, divertikel, uretrokel, adanya

sistostomi, retropubik sulit karena kelainan os pubis, kerusakan

sphingter eksterna minimal.

Kerugian :

Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding

vesica sembuh

Sulit pada orang gemuk

Sulit untuk kontrol perdarahan

Merusak mukosa kulit

Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :

Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neckstenosis

4%)

Inkontinensia (<1%)

3. Transperineal

Keuntungan :

Dapat langssung pada fossa prostat

Pembuluh darah tampak lebih jelas

Mudah untuk pinggul sempit

Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :

Impotensi

Inkontinensia

Bisa terkena rektum

Perdarahan hebat

Merusak diagframa urogenital 

33

Page 34: Laporan Kasus

B. Pembedahan Endourologi

Saat ini tindakan TURP merupakan operasi paling banyak dikerjakan

di seluruh dunia. Oprerasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi

pada kulit perut, massa mondok lebih cepat, dan memberikan hasil yang

tidak banyak berbeda dengan tindakan operasi terbuka. Pembedahan

endourologi transuretra dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik

TURP (Transurethral Resection of the Prostate) atau dengan memakai

energi Laser. Operasi terhadap prostat berupa reseksi (TURP), insisi

(TUIP), atau evaporasi.

1. TURP (Reseksi Prostat Transuretra)

Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan

mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang direseksi

tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan

adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi

hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan

harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik

sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh

darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat

menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air

atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan

pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah

meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan

mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal.

Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.

Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator

harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di

samping itu beberapa operator memasang sistosomi suprapubik terlebih

dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke

sirkulasi sitemik. Penggunaan cairan non ionik lain selain H2O yaitu

glisin dapat mengurangi resiko hiponatremia pada TURP, tetapi karena

34

Page 35: Laporan Kasus

harganya cukup mahal beberapa klinik urologi di Indonesia lebih

memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi.

Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,

hiponatremia, atau retensi urin oleh karena bekuan darah. Komplikasi

pasca bedah dini antara lain perdarahan, infeksi lokal ataupun sistemik

sedangkan komplikasi pasca bedah lanjut dapat berupa inkontinensi,

disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, striktur uretra.

2. Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP)

Pada hiperplasi prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada

pembesaran lobus medius dan pada pasien yang umurnya masih muda

hanya dilakukan insisi kelenjar prostat atau TUIP atau insisi leher buli-

buli atau BNI (bladder neck incision). Sebelum melakukan tindakan ini,

harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan

melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi

transrektal, dan pengukuran kadar PSA.

3. Elektrovaporisasi prostat

Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya

saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin

diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar

prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan

pada saat operasi, dan massa mondok di rumah sakit lebih singkat.

Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang tidak terlalu

besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.

4. Pembedahan dengan laser (Laser Prostectomy)

Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986,

yang dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4 jenis

energi yang dipakai yaitu Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, dan

diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre, atau

interstitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-65 derajat celcius akan

35

Page 36: Laporan Kasus

mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C mengalami

vaporasi.

Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian laser ternyata

lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis,

penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama.

Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.

Kekurangannya adalah, tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan

patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan disuria

pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung

dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih rendah

daripada pasca TURP.

Penggunaan pembedahan dengan dengan energi laser telah

berkembang dengan pesat akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai

Nd:YAG menunjukan hasil yang hampir sama dengan cara desobstruksi

TURP, terutama dalam perbaikan skor miksi dan pancaran urine.

Meskipun demikian efek lebih lanjut dari laser masih belum diketahui

dengan pasti. Tehnik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi

antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan

tindakan TURP karena kesehatannya.

36

Page 37: Laporan Kasus

BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki 70 tahun datang ke RS Sobirin dengan keluhan sejak

kurang lebih 1 bulan yang lalu, penderita merasakan sulit untuk buang air kecil.

Penderita merasakan pancaran air kencing lemah, menetes sedikit-sedikit, terasa

sakit, dan harus mengedan saat kencing. Penderita mengaku masih ada sisa urin

setelah kencing disertai perasaan tidak puas. Dalam sehari, penderita dapat

kencing berkali-kali dengan selang waktu ½ - 1 jam sekali. Selain itu, penderita

terbangun pada malam hari untuk kencing lebih dari 3 kali tiap malam. Penderita

menyangkal mengalami pusing, mual, muntah, nyeri pinggang, kencing darah,

demam, dan kencing berpasir. Riwayat adanya trauma juga disangkal. Kurang

lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita berobat ke dokter dan

dilakukan pemasangan kateter. Apabila kateter dilepaskan, penderita kembali

merasakan sulit untuk kencing.

Dari keluhan utama dan riwayat perjalanan penyakit ini dapat dipikirkan

beberapa diagnosis untuk keluhan seperti yang dirasakan oleh pasien ini dengan

usia 70 tahun, yaitu benign prostatic hyperplasia (BPH) dan carsinoma prostat.

Diagnosis banding berupa striktur uretra dengan gejala yang sama dapat

disingkirkan dengan didapatkan informasi bahwa riwayat trauma disangkal oleh

penderita, serta dari segi usia, kejadian striktur uretra ditemukan pada penderita

dengan usia < 45 tahun.

Dari hasil pemeriksaan status lokalis urologikus regio costo vertebrae angle

dextra et sinistra diketahui bulging (-/-), ballotement (-/-), dan nyeri ketok (-/-)

yang menunjukkan bahwa kemungkinan telah terjadi hidronefrosis dapat

disingkirkan. Pada regio suprapubic juga diketahui bulging (-), scar (-), nyeri

tekan (-) serta regio genetalia eksterna ditemukan MUE normal, terpasang kateter

uretra No. 16, urin jernih, darah (-), pus (-). Untuk pemeriksaan rektal toucher,

tonus sfingter ani cukup, ampula rekti tidak kolaps, mukosa rectum licin, teraba

massa di jam 12, kenyal, permukaan licin, simetris, batas atas tidak dapat diraba,

sulcus medianus tidak teraba, batas lateral teraba pembesaran 3-4 cm.

37

Page 38: Laporan Kasus

Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah maupun kimia darah dalam batas

normal sehingga kemungkinan terjadi infeksi pada pasien ini dapat disingkirkan

serta kemungkinan terjadi pembentukan batu secara primer juga dapat

disingkirkan dengan hasil ureum dalam batas normal, yaitu 40 mg/dl.

Berdasarkan hasil temuan baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun

hasil pemeriksaan penunjang, maka dapat disimpulkan bahwa pasien ini

mengalami Benign Prostatic Hiperplasia. Penderita ini direncanakan akan

dilakukan prostatektomi terbuka dengan pendekatan suprapubik transvesika.

Namun, sebelum dilakukan tindakan prostatektomi terbuka ini, keadaan umum

pasien perlu distabilkan terutama pada tekanan darah karena kemungkinan

komplikasi perdarahan hebat dapat terjadi dengan pemasangan IVFD RL gtt

XX/menit dan untuk profilaksis diberikan antibiotik cefotaxim 2 x 1 gr IV

(skintest) serta pemasangan kateter. Prognosis pada pasien ini untuk quo ad vitam,

yaitu bonam, dan quo ad functionam, yaitu dubia.

DAFTAR PUSTAKA

38

Page 39: Laporan Kasus

1. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2003. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Diunduh dari: http://www.iaui.or.id/. Diakses pada 1 Oktober 2012; 00:18.

2. Amalia R. 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak. Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.

3. Snell RS. 2006. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis, Prostata. Dalam: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Terjemahan oleh: Sugiharto, L. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 350-352; 372-374.

4. Sjamsuhidajat R., de Jong W. 2005. Bagian III: Tindakan Bedah Organ dan Sistem Organ, Prostat. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 782-786.

5. Purnomo BB. 2009. Hiperplasia Prostat. Dalam: Dasar-dasar Urologi. Edisi 2. Sagung Seto, Jakarta, Indonesia, hal 69-85.

BORANG PORTOFOLIO

39

Page 40: Laporan Kasus

Nama Peserta : dr. Apresia Kharisma Lady Fadilah

Nama Wahana : RS. dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas

Topik : Benign Prostat Hyperplasi

Tanggal (Kasus) : 05 Agustus 2014 No. RM : 00078641

Nama Pasien : Tn. CM Umur Pasien : 70 tahun

Tanggal Presentasi : 6 September 2014 Pendamping : dr. Hj. Evi Damayanti

Tempat Presentasi : Ruang Aula RS. dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas

Obyektif Presentasi :

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi

(Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 06 Agustus 2014)

Keluhan Utama : Sulit untuk buang air kecil sejak kurang lebih 1 bulan sebelum

masuk rumah sakit.

Riwayat Perjalanan Penyakit

40

Page 41: Laporan Kasus

Sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, penderita merasakan sulit untuk buang air kecil.

Penderita merasakan pancaran air kencing lemah, menetes sedikit-sedikit, terasa sakit dan

harus mengedan saat kencing. Penderita mengaku masih ada sisa urin setelah kencing dan

disertai perasaan tidak puas. Dalam sehari, penderita dapat berkali-kali buang air kecil

dengan selang waktu ½ - 1 jam sekali. Selain itu, penderita terbangun pada malam hari untuk

kencing lebih dari 3 kali tiap malam. Penderita menyangkal mengalami demam, pusing,

mual, muntah, nyeri pinggang, kencing berdarah dan kencing berpasir. Riwayat adanya

trauma juga disangkal.

Kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita berobat ke dokter dan

dilakukan pemasangan kateter. Apabila kateter dilepaskan, penderita kembali merasakan sulit

untuk buang air kecil.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit jantung tidak ada. Riwayat penyakit

kencing manis tidak ada. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama juga tidak ada.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:

Riwayat penyakit jantung, kencing manis, dan riwayat penyakit dengan keluahan yang

sama dalam keluarga disangkal oleh penderita.

Tujuan : Penatalaksanaan Benign Prostat Hyperplasi

Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara Membahas : Diskusi Presentasi & diskusi Email Pos

Data Utama Untuk Bahan Diskusi

Diagnosis / Gambaran Klinis : Benign Prostat Hyperplasi

Daftar Pustaka

1.Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2003. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Diunduh

dari: http://www.iaui.or.id/. Diakses pada 1 Oktober 2012; 00:18.

2.Amalia R. 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak. Tesis, Program

Pasca Sarjana Program Studi Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro, Semarang,

41

Page 42: Laporan Kasus

Indonesia.

3.Snell RS. 2006. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis, Prostata. Dalam: Anatomi Klinik untuk

Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Terjemahan oleh: Sugiharto, L. EGC, Jakarta, Indonesia, hal.

350-352; 372-374.

4.Sjamsuhidajat R., de Jong W. 2005. Bagian III: Tindakan Bedah Organ dan Sistem Organ,

Prostat. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 782-786.

5.Purnomo BB. 2009. Hiperplasia Prostat. Dalam: Dasar-dasar Urologi. Edisi 2. Sagung Seto,

Jakarta, Indonesia, hal 69-85.

Hasil Pembelajaran

1. Definisi Benign Prostat Hyperplasi

2. Epidemiologi Benign Prostat Hyperplasi

3. Etiologi Benign Prostat Hyperplasi

4. Manifestasi Klinis Benign Prostat Hyperplasi

5. Pemeriksaan Penunjang Benign Prostat Hyperplasi

6. Penatalaksanaan Benign Prostat Hyperplasi

7. Prognosis Benign Prostat Hyperplasi

42

Page 43: Laporan Kasus

43