Laporan Kasus
-
Upload
miranti-dwi-hartanti -
Category
Documents
-
view
54 -
download
0
description
Transcript of Laporan Kasus
BAB I
PENDAHULUAN
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering
diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat1. Kelenjar prostat
adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak
maupun ganas. BPH akan timbul seiring dengan bertambahnya usia, sebab BPH
erat kaitannya dengan proses penuaan2. Hiperplasia prostat benigna ini dapat
dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun1. Selain itu yang menyebabkan
pembesaran kelenjar prostat, adalah bertambahnya zat prostaglandin dalam
jaringan prostat, beta sitosterol yang berperan menghambat pembentukan
prostaglandin. Oleh karena itu, kelenjar prostat dapat juga disembuhkan oleh beta
sitosterol2.
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang
menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari
pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang
menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal
sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh
pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO).
Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli
maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas
maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa
LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi
retensi urine1.
1
Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien
BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi
disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam
proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh
pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih
berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain
(estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan
diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung.
Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis
protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam
memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu
meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik
sedangkan protein growth factor dikenal sebagai faktor intrinsik yang
menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat1.
Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan
pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di
berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas
terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia
di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian dokter di daerah terpencilpun diharapkan
dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya1.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identifikasi
Nama : Tn. CM
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 70 tahun
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Tanjung Raja Bingin Teluk Lubuk Linggau
Tanggal masuk : 05 Agustus 2014
Tanggal pemeriksaan : 06 Agustus 2014
2.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Sulit untuk buang air kecil sejak kurang lebih 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, penderita merasakan sulit untuk
buang air kecil. Penderita merasakan pancaran air kencing lemah, menetes
sedikit-sedikit, terasa sakit dan harus mengedan saat kencing. Penderita
mengaku masih ada sisa urin setelah kencing dan disertai perasaan tidak
puas. Dalam sehari, penderita dapat berkali-kali buang air kecil dengan
selang waktu ½ - 1 jam sekali. Selain itu, penderita terbangun pada malam
hari untuk kencing lebih dari 3 kali tiap malam. Penderita menyangkal
mengalami demam, pusing, mual, muntah, nyeri pinggang, kencing
berdarah dan kencing berpasir. Riwayat adanya trauma juga disangkal.
3
Kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita berobat
ke dokter dan dilakukan pemasangan kateter. Apabila kateter dilepaskan,
penderita kembali merasakan sulit untuk buang air kecil.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit jantung tidak ada.
Riwayat penyakit kencing manis tidak ada. Riwayat penyakit dengan
keluhan yang sama juga tidak ada.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga:
Riwayat penyakit jantung, kencing manis, dan riwayat penyakit
dengan keluahan yang sama dalam keluarga disangkal oleh penderita.
IPSS (International prostat sympthom score)
1. Merasa masih terdapat sisa urin setelah kencing (3)
2. Harus kencing lagi padahal setengah jam yang lalu baru kencing (4)
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai lagi berkali-kali (4)
4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing (4)
5. Merasakan pencaran urin lemah (3)
6. Harus mengejan dalam memulai kencing (4)
7. 1 bulan terakhir berapa kali terbangun dari tidur malam hanya
untuk kencing (5)
8. Dengan keluhan seperti ini bagaimana Anda menikmati hidup
(Tidak bahagia)
2.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : E4M6V5
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 87 x/menit
- Pernapasan : 21 x/menit
4
- Suhu : 36,7 0C
- Kulit : ikterik (-), sianosis (-)
- Kepala :
Normocephali, rambut hitam dan tidak mudah rontok, sudut nasolabialis
simetris.
a. Mata : edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+),
b. Hidung : sekret (-/-), napas cuping hidung (-/-)
c. Mulut dan Tenggorokkan : mukosa bibir anemis (-), sianosis (-), lidah
kotor (-), papil atrophi (-), tonsil T1/T1,
faring hipermis (-)
d. Telinga : nyeri tekan tragus (-/-), gangguan pendengaran (-/-)
- Leher :
Inspeksi : simetris, massa (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-)
JVP : 5-2 cmH2O
- Thorax :
Simetris, gerak napas tertinggal (-/-), pektus ekskavatum (-)
Pulmo :
a. Inspeksi : sela iga melebar (-/-), otot bantuan napas (-/-)
b. Palpasi : vokal fremitus hemitoraks dextra = sinistra
c. Perkusi : sonor, batas paru-hepar ICS VI
d. Auskutasi : vesikuler (+/+) normal, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Cor :
a. Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
b. Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
c. Perkusi : batas kiri atas : ICS II Linea midclavicula sinistra
batas kanan atas : ICS II Llinea parasternalis dextra
batas kiri bawah : ICS V Linea midclavicula sinistra
5
batas kanan bawah : ICS IV Linea parasternalis dextra
d. Auskultasi : S1/S2 (+) reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, massa (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), teraba massa (-), hepar-lien tidak teraba
Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
- Ekstremitas
a. Superior : akral hangat, edema (-/-) sianosis (-/-), CRT < 2 detik
b. Inferior : akral hangat, edema (-/-), pitting edema (-/-), sianosis (-/-),
CRT < 2 detik
- Urogenitalia
Lihat status lokalis.
Status Lokalis:
Urologikus:
a. Regio Costo Vertebrae Angle Dextra et Sinistra
Inspeksi : bulging (-/-)
Palpasi : ballotement (-/-)
Perkusi : nyeri ketok (-/-)
b. Regio Suprapubic
Inspeksi : bulging (-), scar (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
c. Regio Genetalia Eksterna
Inspeksi : MUE normal, terpasang kateter uretra No. 16f , urin jernih,
darah (-), pus (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba massa (-)
d. Regio Anal
Inspeksi : Tidak ada luka dan tidak tampak adanya benjolan
Palpasi : Nyeri tekan (-).
6
Rectal toucher : Tonus sfingter ani cukup, ampula rekti tidak kolaps,
mukosa rectum licin, teraba massa di jam 12, kenyal,
permukaan licin, simetris, batas atas tidak dapat
diraba, sulcus medianus tidak teraba, batas lateral
teraba pembesaran 3-4 cm.
Handscoon : feces (-), darah (-), lendir (-).
2.4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan pada tanggal 05 agustus 2014.
1. Hematologi
- Hb : 12,2 gr/l
- Leukosit : 5.700 / ul
- Trombosit : 123.000 / ul
- Hematokrit : 39 %
- Golongan darah : A, Rh (+)
- BT : 4 menit
- CT : 8 menit
2. Kimia Darah
- BSS : 120 mg/dl
- Ureum : 40 mg/dl
- Creatinin : 0,9 mg/dl
7
b. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan EKG dilakukan pada tanggal 05 Agustus 2014.
Dari hasil pemeriksaan EKG didapatkan hasil gambaran normal.
c. Pemeriksaan Foto Rontgen Thorax
Dari hasil pemeriksaan foto rontgen didapatkan hasil gambaran normal.
8
2.5. Diagnosis Banding
Temuan Klinis BPH Ca ProstatStriktur Uretra
Urolitiasis Kasus
Kesulitan berkemih + +/- + + +Pancaran kemih menurun
+ +/- + + +
Frekuensi kemih abnormal
+ +/- + + +
Berkemih tidak lampias
+ +/- + + +
Disuria + +/- + + +Urin keluar menetes diakhir berkemih
+ +/- + + +
Pancaran kemih bercabang
- - + - -
Hematuria - +/- + +/- -Nyeri pelvis - +/- + - -Nocturia + - - - +Urgensi + - - - +Mengedan saat miksi + - - - +Riwayat trauma - - + - -
Hasil colok dubur
Teraba prostat simetris,
konsistensi kenyal
Teraba prostat asimetris,
konsistensi keras
- -
Teraba prostat
simetris, konsistensi
kenyal
2.6. Diagnosis Kerja
Benign Prostatic Hyperplasia.
2.7. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
- IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro)
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)
- Kateterisasi dengan kateter No.16f
b. Tindakan operasi
Rencana prostatektomi terbuka dengan pendekatan suprapubik
transvesika.
c. Rencana post operasi
- Kontrol paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan terjadi penyulit.
9
- Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir
operasi.
2.8. Follow Up
08 Agustus 2014
s/ - pasien mengeluh nyeri pada luka operasi
- nafsu makan menurun
o/ - Tekanan darah :110/70 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 º C
- KU : sedang
- KS : CM
- Luka bekas operasi tampak tenang. DC 3 way (+), drainase (+). Urin
kuning bercampur darah.
a/ Post-op open prostatektomi hari ke 1
th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV
- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)
- Kateterisasi dengan kateter No.16f
- Drain ±100cc
09 Agustus 2014
s/ - Nyeri pada luka operasi berkurang
o/ - Tekanan darah :110/70 mmHg
- Nadi : 86 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 º C
- KU : sedang
- KS : CM
- DC 3 way (+), drainase (+),Urin kuning bercampur darah.
a/ Post-op open prostatektomi hari ke 2
10
th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)
- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)
- Kateterisasi dengan kateter No.16f
- Drain ± 10cc
10 Agustus 2014
s/ - Nyeri pada luka operasi berkurang
o/ - Tekanan darah :130/90 mmHg
- Nadi : 85 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 º C
- KU : sedang
- KS : CM
- DC 3 way (+), drainase (+),Urin kuning bercampur darah.
a/ Post-op open prostatektomi hari ke 3
th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)
- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)
- Kateterisasi dengan kateter No.16f
- Drain ± 10cc
11 Agustus 2014
s/ - Tidak ada
o/ - Tekanan darah :120/80 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 º C
- KU : sedang
- KS : CM
- DC 3 way (+), drainase (+),Urin kuning bercampur darah.
a/ Post-op open prostatektomi hari ke 4
11
th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)
- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)
- Kateterisasi dengan kateter No.16f
- Drain ± 10cc
12 Agustus 2014
s/ - Tidak ada
o/ - Tekanan darah :130/80 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 º C
- KU : sedang
- KS : CM
- DC 3 way (+), drainase (+),Urin kuning bercampur darah.
a/ Post-op open prostatektomi hari ke 5
th/ - IVFD RL/D5% (1:1) gtt XV/menit (makro) + drip Tramadol 50 mg
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr IV (skintest)
- Inj. Asam Traneksamat 3 x 500 mg (iv)
- Kateterisasi dengan kateter No.16f
- Drain ± 70 cc
13 Agustus 2014
s/ - Tidak ada
o/ - Tekanan darah :130/80 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 º C
- KU : sedang
- KS : CM
- DC 3 way (+),Urin kuning.
a/ Post-op open prostatektomi hari ke 6
12
th/ - Cefadroxil 2 x 500 mg (p.o)
- Asam mefenamat 3 x 500mg (p.o)
14 Agustus 2014
s/ - Tidak ada
o/ - Tekanan darah :130/80 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 º C
- KU : sedang
- KS : CM
- DC 3 way (+),Urin kuning.
a/ Post-op open prostatektomi hari ke 7
th/ - Cefadroxil 2 x 500 mg (p.o)
- Asam mefenamat 3 x 500mg (p.o)
- Kateter dilepas
15 Agustus 2014
s/ - Tidak ada
o/ - Tekanan darah :120/80 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 º C
- KU : sedang
- KS : CM
a/ Post-op open prostatektomi hari ke 8
th/ - Cefadroxil 2 x 500 mg (p.o)
- Asam mefenamat 3 x 500mg (p.o)
- Pasien boleh pulang
2.9. Prognosis
Quo ad vitam : bonam.
Quo ad functionam : dubia.
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Anatomi Prostat
a. Lokasi dan Deskripsi
Prostata merupakan organ kelenjar fibromuskular yang
mengelilingi uretra pars protatica (Gambar 3.1 dan 3.2). Prostata
mempunyai panjang kurang lebih 1 ¼ inchi (3 cm) dan terletak di antara
collum vesicae di atas dan diaphragma urogenitale di bawah (Gambar
3.2)3.
Gambar 3.1. Potongan sagital pelvis laki-laki3.
Prostata dikelilingi oleh capsula fibrosa. Di luar capsula terdapat
selubung fubrosa, yang merupakan bagian lapisan visceral fascia pelvis
(Gambar 3.2). Prostata yang berbentuk kerucut mempunyai basis protatae
yang terletak di superior dan berhadapan dengan collum vesicae, dan
apex prostata yang terletak di inferior dan berhadapan dengan
diaphragma urogenitale. Kedua ductus ejaculatorius menembus bagian
atas facies posterior prostatae untuk bermuara ke urethra pars prostatica
pada pinggir lateral utriculus prostaticus (Gambar 3.2)3.
14
A B
C
Gambar 3.2. Potongan koronal prostata (A), potongan sagital (B), potongan horizontal (C)3.
Perhatikan muara ductus ejaculatorius pada pinggir utriculus prostaticus.
Hubungan3:
1. Ke superior: Basis protatae berhubungan dengan collum vesicae. Otot
polos prostata terus melanjut tanpa terputus dengan otot polos collum
vesicae. Urethra masuk pada bagian tengah basis prostatae (Gambar
3.1).
2. Ke inferior: Apex prostatae terletak pada facies superior diaphragma
urogenitale. Urethra meninggalkan prostata tepat di atas apex pada
facies anterior (Gambar 3.2).
3. Ke anterior: Facies anterior prostatae berbatasan dengan symphisis
pubica, dipisahkan oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat di dalam
spatium retropubicum (cavum Retzius). Selubung fibrosa prostata
dihubungkan dengan aspek posterior os pubis oleh ligamenta
puboprostatica. Ligamenta ini terletak di samping kanan dan kiri linea
mediana dan merupakan penebalan fascia pelvis (Gambar 3.1).
15
4. Ke posterior: Facies posterior prostatae (Gambar 3.1 dan 3.2)
berhubungan erat dengan facies anterior ampulla recti dan dipisahkan
dari rectum oleh septum rectovesicale (fascia Denonvillier). Septum
ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio
retrovesicalis peritonealis, yang semula meluas ke bawah sampai ke
corpus perineale.
5. Ke lateral: Facies lateralis prostatae difiksasi oleh serabut anterior
musculus levator ani pada saat serabut ini berjalan ke posterior dari
pubis (Gambar 3.2).
b. Struktur Prostat
Kelenjar prostata yang jumlahnya banyak tertanam di dalam
campuran otot polos dan jaringan ikat, dan ductusnya bermuara ke
urethra pars prostatica3.
Prostata secara tidak sempurna terbagi menjadi 5 lobus (Gambar
3.2). Lobus anterior terletak di bagian depan urethra dan tidak
mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius atau medianus adalah
kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara urethra dan ductus
ejaculatorius. Permukaan atas lobus medius berhubungan dengan
trigonum vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar. Lobus
posterior terletak di belakang urethra dan di bawah ductus ejaculatorius,
juga mengandung kelenjar. Lobi prostatae dexter dan sinister terletak di
samping urethra dan dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh alur
vertikal dangkal yang terdapat pada facies posterior prostatae. Lobi
laterales mengandung banyak kelenjar3.
c. Fungsi Prostat
Fungsi prostata adalah menghasilkan cairan tipis seperti susu yang
mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke
semen pada waktu ejakulasi. Bila otot polos pada capsula dan stroma
berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak kelenjar diperas masuk ke
16
urethra pars prostatica. Sekret prostata bersifat alkalis dan membantu
menetralkan suasana asam di dalam vagina3.
d. Perdarahan
1. Arteriae: cabang arteria vesicalis inferior dan arteria rectalis media3.
2. Venae: membentuk plexus venosus prostaticus, yang terletak di antara
capsula prostatica dan selubung fibrosa (Gambar 3.2). Plexus venosus
prostaticus menampung darah dari vena dorsalis profunda penis dan
sejumlah venae vesicales, selanjutnya bermuara ke vena illiaca
interna3.
e. Aliran Limf
Pembuluh limf dari prostata mengalirkan cairan limf ke nodi iliaci
interni3.
f. Persarafan
Persarafan prostat berasal dari plexus hypogasticus inferior. Saraf
simpatis merangsang otot polos prostata saat ejakulasi3.
3.2. Definisi Benign Prostatic Hyperplasia
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pertumbuhan berlebihan
sel-sel prostat yang tidak ganas dimana kelenjar prostat membesar dengan
cepat2. Sebenarnya yang terjadi adalah hiperplasi kelenjar periuretral yang
mendesak jaringan prostat yang sebenarnya ke arah perifer. Hiperplasi
kelenjar prostat bukan kelainan pra-ganas4.
Gambar 3.3.Hiperplasia prostat4. (A) Prostat normal: uretra (1), daerah kelenjar periuretra (2), kelenjar prostat (3).
(B) Hiperplasia prostat: uretra yang terjepit (1), hiperplasia kelenjar periuretra menjadi hipertropia prostat (2), kelenjar prostat yang sebenarnya yang tertekan menjadi sebagai
simpai dan disebut simpai bedah.
17
3.3. Etiologi Benign Prostatic Hyperplasia
Pembesaran jinak prostata sering ditemukan pada laki-laki berusia
lebih dari 50 tahun. Penyebabnya mungkina karena ketidakseimbangan
pengendalian hormon kelenjar3. Dengan bertambahnya usia, akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron estrogen karen produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan
adiposa di perifer4.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek
perubahan juga terjadi perlahan. Pada tahap awal, setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat
meningkat, dan setrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke
dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trabekulasi. Mukosa dapat menerobos keluar di antara serat detrusor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar
disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi
otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin4.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrostestosteron (DHT) dan proses aging (penuaan). Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulknya hiperplasia prostat adalah: (1)
teori dehidrostestosteron, (2) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4)
berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem sel5.
3.4. Epidemiologi Benign Prostatic Hyperplasia
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah
dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan ini terus
berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomik4.
18
Oleh karena itulah dengan meningkatnya usia harapan hidup,
meningkat pula prevalensi BPH. Office of Health Economic Inggris telah
mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales
beberapa tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar
80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu
setengah kalinya pada tahun 2031. Bukti histologis adanya benign prostatic
hyperplasia (BPH) dapat diketemukan pada sebagian besar pria, bila mereka
dapat hidup cukup lama. Namun demikian, tidak semua pasien BPH
berkembang menjadi BPH yang bergejala (symptomatic BPH). Prevalensi
BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%.
Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59
tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 tahun
mencapai angka sekitar 43%1. Pada lelaki usia 80 tahun sekitar 80% dan
sekitar 50% dari angka kejadian tersebut akan menyebabkan gejala dan
tanda klinis4.
Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti,
tetapi sebagai gambaran hospital prevalence pada dua rumah sakit besar di
Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat
1040 kasus1.
3.5. Patofisiologi Benign Prostatic Hyperplasia
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan
hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi,
nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi
sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan
yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi
19
meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan
berat keluhan klinis4.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung
kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita
tidak mampu lagi untuk miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada
suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekana
intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi
dari tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks.
Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga
lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid4.
Gambar 3.4. Bagan pengaruh hiperplasia prostat pada saluran kemih5.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat membentuk batu endapan di
dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistisis dan
bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis (Gambar 3.4)4.
20
Hiperplasia Prostat
Penyempitan lumen uretra posterior
Tekanan intravesikal ↑
Vesika urinaria- Hipertropi otot detrusor- Trabekulasi- Selula- Divertikel vesika urinaria
Ginjal dan Ureter- Refluks vesiko-ureter- Hidroureter- Hidronefrosis- Pionefrosis- Pilonefritis- Gagal ginjal
Gambar 3.5. Patofisiologi obstruksi uretra oleh striktur dan penyulit uretritis purulen atau ruptur uretra4.
Atropi ginjal (1), piolonefritis (2), hidronefrosis (3), hidroureter (4), hipertropi otot detrusor dan trabekulasi (5), divertikulum (6), retensi urin akut dan/atau kronik (7), sistolitiasis (8), karsinoma
kandung kemih (9), epididimoorkitis (10), sistisis (11), prostatitis (12), abses prostat (13), uretrolitiasis (14), karsinoma uretra (15), abses periuretra (16), ekstravasasi urin (17),
fistel uretra (18), striktur uretra (19), prolaps rektum (20), hernia inguinalis (21).
3.6. Gambaran Klinis Benign Prostatic Hyperplasia
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan di luar saluran kemih5.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah atas (LUTS = lower urinary
tract symptom) terdiri atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.
Tabel 3.1. Gejala obstruksi dan iritatif dari BPH5.Obstruksi Iritasi
Hesitansi FrekuensiPancaran miksi lemah NokturiIntermitensi UrgensiMiksi tidak puas disuriMenetes setelah miksi
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah, para ahli urologi membuat sistem skoring yang subjektif
dan dapat dihitung sendiri berupa WHO PSS (prostatic symptom score).
21
Tabel 3.2. WHO IPSS4.Pertanyaan Jawaban dan Skor
Keluhan pada bulan terakhir
Tidak ada
sama sekali
< 20% < 50% 50% > 50%Hampir selalu
a. Adakah anda merasa buli-buli tidak kosong setelah BAK?
0 1 2 3 4 5
b. Berapa kali anda hendak BAK lagi di dalam 2 jam setelah BAK?
0 1 2 3 4 5
c. Berapa kali terjadi bahwa arus berkemih berhenti sewaktu BAK?
0 1 2 3 4 5
d. Berapa kali terjadi anda tidak dapat menahan BAK?
0 1 2 3 4 5
e. Berapa kali terjadi arus lemah sekali sewaktu BAK?
0 1 2 3 4 5
f. Berapa kali terjadi anda mengalami kesulitan memulai BAK?
0 1 2 3 4 5
Bangun tidur untuk BAKTidak pernah
1x 2x 3x 4x 5x
g. Berapa kali anda bangun untuk BAK di waktu malam hari?
0 1 2 3 4 5
h. Andaikata cara BAK seperti yang anda alami sekarang ini akan seumur hidup tetap seperti ini, bagaimana perasaan anda?
Senang sekali
Senang Pada
umumnya puas
Campuran antara
puas dan tidak puas
Pada umumnya
tidak puas
Tidak bahagia
Jumlah Skor:0 = baik sekali1 = baik2 = kurang baik
3 = kurang4 = buruk5 = buruk sekali
Dari skor tersebut, dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3
derajat, yaitu (1) ringan: skor 0 – 7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat
skor 20-355.
22
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih
bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan
di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam
yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis5.
c. Gejala di luar saluran kemih
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan vesika urinaria yang
terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat
retensi urin. Kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari
oleh pasien yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoks5.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus
sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam
rektum dan prostat. Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan
konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya
kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas
dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba
benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat
asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula
diketahui batu prostat bila teraba krepitasi4.
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa
urin setelah miksi spontan. Sisa ditentukan dengan mengukur urin yang
masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui
dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin
lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan
intervensi pada hipertrofi prostat4.
23
Tabel 3.3. Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis4.Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
IPenonjolan prostat, batas atas mudah
diraba< 50 ml
IIPenonjolan prostat jelas, batas atas
dapat dicapai50 – 100 ml
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 mlIV Retensi urin total
Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran
urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri4.
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran
maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran
menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15
ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesikal tidak
dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih4.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
mengganggu faat ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan
urolitiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi
maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur4.
3.7. Pemeriksaan Pencitraan Benign Prostatic Hyperplasia
Dengan pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan
pielografi intravena, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan,
misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung
kemih. Kalau dibuat foto setelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran
prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung
kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan
apabila dasar vesika urinaria pada gambar sistogram tampak terangkat atau
ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila
fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita
sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd4.
Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal
(transrectal ultrasonography = TRUS). Selain itu untun mengetahui
pembesaran prostat, pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menentukan
24
volume vesika urinaria, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain
seperti divertikulum, tumor, dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal,
dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat.
Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi
suprapubik. CT scan dan MRI jarang dilakukan4.
Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan
hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria.
Pemeriksaan untuk ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di
dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang
dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu,
sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan
mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke
dalam uretra4.
3.8. Diagnosis Banding Benign Prostatic Hyperplasia
Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas
leher kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi uretra. Setiap
kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut.
Kelemah detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih
neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropatia diabetes, bedah
radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat
penenang, obat penghambat reseptor ganglion, dan parasimpatolitik.
Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi
uretra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher
kandung kemih, batu di uretra, atau striktur uretra, kelainan tersebut dapat
dilihat dengan sistoskopi.
25
Tabel 3.4. Diagnosis banding obstruksi saluran kemih karena hipertrofi prostat4.
Kelemahan detrusor VU Kekakuan leher VU Resistensi uretraGangguan neurologik- Kelainan medula
spinalisFibrosis
Hipertrofi prostat ganas atau jinak
- Neuropati diabetes melitus
Kelainan yang menyumbat uretra
- Pascabedah radikal di pelvis
Uretralitiasis
- Farmakologik (obat penenang, penghambat alfa, parasimpatolitik)
Uretritis akut atau kronik
3.9. Penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia
WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan
miksi dengan skor WHO PSS (prostate symptom score). Skor ini dihitung
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi4.
Terapi nonbedah dianjurkan bila WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk
itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi
bedah dianjurkan bila WHO PSS bernilai lebih dari 25 atau bila timbul
obstruksi4.
Di dalam praktek, pembagian besar prostat derajat I – IV digunakan
untuk menentukan cara penanganan. Penderita derajat I biasanya belum
memerlukan tindakan bedah, cukup diberikan tindakan konservatif, misal
dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prasozin, dan
terasozin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek
positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak memengaruhi proses hiperplasia
prostat sedikit pun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk
pengobatan yang lama4.
Derajat II merupaja indikasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (TUR =
transurethral resection). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar
8%. Kadang derajat II dapat dicoba dengan pengobatan konservatif4.
Pada derajat III, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh ahli bedah
berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
26
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan
terbuka4.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik
atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut
bagian bawah menurut pfannenstiel, kemudian prostat dienukleasi dari
dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk
mengangkat batu vesika urinaria atau divertikelektomi apabila ada
divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut
Millin dikerjakan melalui sayatan kulit pfannenstiel dengan membuka
simpai prostat tanpa membuka kandung kemih, kemudikan prostat
dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yaitu tanpa membuka
kandung kemih, sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila
membuka vesika. Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai jika diperlukan
tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam kandung kemih. Kedua cara
pembedahan terbuka tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara TUR,
yaitu morbiditasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa
memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku (Gambar
3.5). Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi4.
Pada hipertrofi derajat IV, tindakan pertama yang harus segera
dikerjakan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan
memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR
atau pembedahan terbuka4.
27
Gambar 3.6 Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk dokter umum dan spesialis non urologi1.
DRE: digital rectal examination, IPSS: international prostatic symptom score, QoL: quality of life, PVR: post voiding residual urine, TAUS: transabdominal ultrasonography, TRUS: transrectal
ultrasonography.
28
Gambar 3.7. Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk spesialis urologi1. DRE: digital rectal examination, IPSS: international prostatic symptom score, QoL: quality of life,
PVR: post voiding residual urine, IVP: intravenous pyelography, TAUS: transabdominal ultrasonography, TRUS: transrectal ultrasonography, dan BPO: benign prostatic enlargement.
29
Gambar 3.8. Prostatektomi4.A. Perineal: kandung kemih (1), prostat (2), simfisis (3), diafragma urogenital (4), penis
dengan uretra dan korpus kavernosus (5), rektum (6), peritoneum parietal (7), rongga perut (8).
B. Suprapubik transvesikal. Bedah melalui kandung kemih, tetapi bukan melalui laparotomi karena rongga perut tidak dibuka.
C. Retropubik melalui cavum Retzius antara kandung kemih dan simfisis. Rongga perut maupun kandung kemih tidak dibuka (pendekatan Millin).
D. Endokskopik transuretral tanpa sayatan kulit (TUR).
Penderita dengan keadaan umum tidak memungkinkan untuk
dilakukan pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini
adalah gejala hipotensi, seperti pusing, lemas, palpitasi, dan rasa lemah4.
Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat
antiandrogen yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif
ini ialah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping
obat4.
Pengobatan lain yang invasif minimal adalah pemanasan prostat
dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui anena
yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transurethral
microwave thermotherapy (TUMT) ini, diperoleh hasil perbaikan kira-kira
75% untuk gejala objektif4.
30
Pada penanggulangan invasif minimal lain yang disebut transurethral
ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP) digunakan cahaya
laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.
Uretra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan balon yang
dikembangkan didalamnya (transurethral balloon dilatation = TUBD) yang
biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara4.
3.10. Pembedahan pada Hiperplasia Prostat
Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang
paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau
terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama
untuk melihat hasil terapi.
Pembedahan ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi
prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI).
Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang:
1. tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa
2. mengalami retensi urin
3. infeksi saluran kemih berulang
4. hematuria
5. gagal ginjal
6. timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran
kemih bagian bawah
A. Pembedahan Terbuka
Beberapa macam teknik operasi terbuka adalah metode dari Millin
yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostate melalui pendekatan retropubik
infrafesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau
transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang
masih banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai
terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilalui melalui pendekatan
suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin).
31
Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sagat besar (>100
gram).
Penyulit dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah:
inkontinensia urin (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-
80%), dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Dibandingkan dengan TURP
dan BNI, penyulit yang terjadi berupa striktura uretra dan ejakulasi
retrograd lebih banyak dijumpai pada prostatektomi terbuka. Perbaikan
gejala klinis sebanyak 85-100%, dan angka mortalitas sebanyak 2%.
1. Retropubik Infravesika
Keuntungan :
Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada
subservikal
Mortaliti rate rendah
Langsung melihat fossa prostat
Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
Perdarahan lebih mudah dirawat
Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu
selama bila membuka vesika
Kerugian :
Dapat memotong pleksus santorini
Mudah berdarah
Dapat terjadi osteitis pubis
Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus
dikerjakan dari dalam vesika
Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis
2. Suprapubik Transvesika
Keuntungan :
Baik untuk kelenjar besar
Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
32
Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan
penyulit : batu buli, batu ureter distal, divertikel, uretrokel, adanya
sistostomi, retropubik sulit karena kelainan os pubis, kerusakan
sphingter eksterna minimal.
Kerugian :
Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding
vesica sembuh
Sulit pada orang gemuk
Sulit untuk kontrol perdarahan
Merusak mukosa kulit
Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neckstenosis
4%)
Inkontinensia (<1%)
3. Transperineal
Keuntungan :
Dapat langssung pada fossa prostat
Pembuluh darah tampak lebih jelas
Mudah untuk pinggul sempit
Langsung biopsi untuk karsinoma
Kerugian :
Impotensi
Inkontinensia
Bisa terkena rektum
Perdarahan hebat
Merusak diagframa urogenital
33
B. Pembedahan Endourologi
Saat ini tindakan TURP merupakan operasi paling banyak dikerjakan
di seluruh dunia. Oprerasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi
pada kulit perut, massa mondok lebih cepat, dan memberikan hasil yang
tidak banyak berbeda dengan tindakan operasi terbuka. Pembedahan
endourologi transuretra dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) atau dengan memakai
energi Laser. Operasi terhadap prostat berupa reseksi (TURP), insisi
(TUIP), atau evaporasi.
1. TURP (Reseksi Prostat Transuretra)
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan
mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang direseksi
tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan
adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi
hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan
harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh
darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat
menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air
atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan
pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah
meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan
mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal.
Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator
harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di
samping itu beberapa operator memasang sistosomi suprapubik terlebih
dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke
sirkulasi sitemik. Penggunaan cairan non ionik lain selain H2O yaitu
glisin dapat mengurangi resiko hiponatremia pada TURP, tetapi karena
34
harganya cukup mahal beberapa klinik urologi di Indonesia lebih
memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi.
Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia, atau retensi urin oleh karena bekuan darah. Komplikasi
pasca bedah dini antara lain perdarahan, infeksi lokal ataupun sistemik
sedangkan komplikasi pasca bedah lanjut dapat berupa inkontinensi,
disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, striktur uretra.
2. Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP)
Pada hiperplasi prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada
pembesaran lobus medius dan pada pasien yang umurnya masih muda
hanya dilakukan insisi kelenjar prostat atau TUIP atau insisi leher buli-
buli atau BNI (bladder neck incision). Sebelum melakukan tindakan ini,
harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan
melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi
transrektal, dan pengukuran kadar PSA.
3. Elektrovaporisasi prostat
Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya
saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin
diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar
prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan
pada saat operasi, dan massa mondok di rumah sakit lebih singkat.
Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang tidak terlalu
besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.
4. Pembedahan dengan laser (Laser Prostectomy)
Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986,
yang dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4 jenis
energi yang dipakai yaitu Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, dan
diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre, atau
interstitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-65 derajat celcius akan
35
mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C mengalami
vaporasi.
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian laser ternyata
lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis,
penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama.
Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.
Kekurangannya adalah, tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan
patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan disuria
pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung
dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih rendah
daripada pasca TURP.
Penggunaan pembedahan dengan dengan energi laser telah
berkembang dengan pesat akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai
Nd:YAG menunjukan hasil yang hampir sama dengan cara desobstruksi
TURP, terutama dalam perbaikan skor miksi dan pancaran urine.
Meskipun demikian efek lebih lanjut dari laser masih belum diketahui
dengan pasti. Tehnik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi
antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan
tindakan TURP karena kesehatannya.
36
BAB IV
ANALISIS KASUS
Seorang laki-laki 70 tahun datang ke RS Sobirin dengan keluhan sejak
kurang lebih 1 bulan yang lalu, penderita merasakan sulit untuk buang air kecil.
Penderita merasakan pancaran air kencing lemah, menetes sedikit-sedikit, terasa
sakit, dan harus mengedan saat kencing. Penderita mengaku masih ada sisa urin
setelah kencing disertai perasaan tidak puas. Dalam sehari, penderita dapat
kencing berkali-kali dengan selang waktu ½ - 1 jam sekali. Selain itu, penderita
terbangun pada malam hari untuk kencing lebih dari 3 kali tiap malam. Penderita
menyangkal mengalami pusing, mual, muntah, nyeri pinggang, kencing darah,
demam, dan kencing berpasir. Riwayat adanya trauma juga disangkal. Kurang
lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita berobat ke dokter dan
dilakukan pemasangan kateter. Apabila kateter dilepaskan, penderita kembali
merasakan sulit untuk kencing.
Dari keluhan utama dan riwayat perjalanan penyakit ini dapat dipikirkan
beberapa diagnosis untuk keluhan seperti yang dirasakan oleh pasien ini dengan
usia 70 tahun, yaitu benign prostatic hyperplasia (BPH) dan carsinoma prostat.
Diagnosis banding berupa striktur uretra dengan gejala yang sama dapat
disingkirkan dengan didapatkan informasi bahwa riwayat trauma disangkal oleh
penderita, serta dari segi usia, kejadian striktur uretra ditemukan pada penderita
dengan usia < 45 tahun.
Dari hasil pemeriksaan status lokalis urologikus regio costo vertebrae angle
dextra et sinistra diketahui bulging (-/-), ballotement (-/-), dan nyeri ketok (-/-)
yang menunjukkan bahwa kemungkinan telah terjadi hidronefrosis dapat
disingkirkan. Pada regio suprapubic juga diketahui bulging (-), scar (-), nyeri
tekan (-) serta regio genetalia eksterna ditemukan MUE normal, terpasang kateter
uretra No. 16, urin jernih, darah (-), pus (-). Untuk pemeriksaan rektal toucher,
tonus sfingter ani cukup, ampula rekti tidak kolaps, mukosa rectum licin, teraba
massa di jam 12, kenyal, permukaan licin, simetris, batas atas tidak dapat diraba,
sulcus medianus tidak teraba, batas lateral teraba pembesaran 3-4 cm.
37
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah maupun kimia darah dalam batas
normal sehingga kemungkinan terjadi infeksi pada pasien ini dapat disingkirkan
serta kemungkinan terjadi pembentukan batu secara primer juga dapat
disingkirkan dengan hasil ureum dalam batas normal, yaitu 40 mg/dl.
Berdasarkan hasil temuan baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun
hasil pemeriksaan penunjang, maka dapat disimpulkan bahwa pasien ini
mengalami Benign Prostatic Hiperplasia. Penderita ini direncanakan akan
dilakukan prostatektomi terbuka dengan pendekatan suprapubik transvesika.
Namun, sebelum dilakukan tindakan prostatektomi terbuka ini, keadaan umum
pasien perlu distabilkan terutama pada tekanan darah karena kemungkinan
komplikasi perdarahan hebat dapat terjadi dengan pemasangan IVFD RL gtt
XX/menit dan untuk profilaksis diberikan antibiotik cefotaxim 2 x 1 gr IV
(skintest) serta pemasangan kateter. Prognosis pada pasien ini untuk quo ad vitam,
yaitu bonam, dan quo ad functionam, yaitu dubia.
DAFTAR PUSTAKA
38
1. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2003. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Diunduh dari: http://www.iaui.or.id/. Diakses pada 1 Oktober 2012; 00:18.
2. Amalia R. 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak. Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.
3. Snell RS. 2006. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis, Prostata. Dalam: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Terjemahan oleh: Sugiharto, L. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 350-352; 372-374.
4. Sjamsuhidajat R., de Jong W. 2005. Bagian III: Tindakan Bedah Organ dan Sistem Organ, Prostat. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 782-786.
5. Purnomo BB. 2009. Hiperplasia Prostat. Dalam: Dasar-dasar Urologi. Edisi 2. Sagung Seto, Jakarta, Indonesia, hal 69-85.
BORANG PORTOFOLIO
39
Nama Peserta : dr. Apresia Kharisma Lady Fadilah
Nama Wahana : RS. dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas
Topik : Benign Prostat Hyperplasi
Tanggal (Kasus) : 05 Agustus 2014 No. RM : 00078641
Nama Pasien : Tn. CM Umur Pasien : 70 tahun
Tanggal Presentasi : 6 September 2014 Pendamping : dr. Hj. Evi Damayanti
Tempat Presentasi : Ruang Aula RS. dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi
(Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 06 Agustus 2014)
Keluhan Utama : Sulit untuk buang air kecil sejak kurang lebih 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit.
Riwayat Perjalanan Penyakit
40
Sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, penderita merasakan sulit untuk buang air kecil.
Penderita merasakan pancaran air kencing lemah, menetes sedikit-sedikit, terasa sakit dan
harus mengedan saat kencing. Penderita mengaku masih ada sisa urin setelah kencing dan
disertai perasaan tidak puas. Dalam sehari, penderita dapat berkali-kali buang air kecil
dengan selang waktu ½ - 1 jam sekali. Selain itu, penderita terbangun pada malam hari untuk
kencing lebih dari 3 kali tiap malam. Penderita menyangkal mengalami demam, pusing,
mual, muntah, nyeri pinggang, kencing berdarah dan kencing berpasir. Riwayat adanya
trauma juga disangkal.
Kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita berobat ke dokter dan
dilakukan pemasangan kateter. Apabila kateter dilepaskan, penderita kembali merasakan sulit
untuk buang air kecil.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit jantung tidak ada. Riwayat penyakit
kencing manis tidak ada. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama juga tidak ada.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga:
Riwayat penyakit jantung, kencing manis, dan riwayat penyakit dengan keluahan yang
sama dalam keluarga disangkal oleh penderita.
Tujuan : Penatalaksanaan Benign Prostat Hyperplasi
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas : Diskusi Presentasi & diskusi Email Pos
Data Utama Untuk Bahan Diskusi
Diagnosis / Gambaran Klinis : Benign Prostat Hyperplasi
Daftar Pustaka
1.Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2003. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Diunduh
dari: http://www.iaui.or.id/. Diakses pada 1 Oktober 2012; 00:18.
2.Amalia R. 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak. Tesis, Program
Pasca Sarjana Program Studi Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro, Semarang,
41
Indonesia.
3.Snell RS. 2006. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis, Prostata. Dalam: Anatomi Klinik untuk
Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Terjemahan oleh: Sugiharto, L. EGC, Jakarta, Indonesia, hal.
350-352; 372-374.
4.Sjamsuhidajat R., de Jong W. 2005. Bagian III: Tindakan Bedah Organ dan Sistem Organ,
Prostat. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 782-786.
5.Purnomo BB. 2009. Hiperplasia Prostat. Dalam: Dasar-dasar Urologi. Edisi 2. Sagung Seto,
Jakarta, Indonesia, hal 69-85.
Hasil Pembelajaran
1. Definisi Benign Prostat Hyperplasi
2. Epidemiologi Benign Prostat Hyperplasi
3. Etiologi Benign Prostat Hyperplasi
4. Manifestasi Klinis Benign Prostat Hyperplasi
5. Pemeriksaan Penunjang Benign Prostat Hyperplasi
6. Penatalaksanaan Benign Prostat Hyperplasi
7. Prognosis Benign Prostat Hyperplasi
42
43