LAPORAN KASUS

37
BAGIAN ILMU BEDAH LONG CASE FAKULTAS KEDOKTERAN MEI2013 UNIVERSITAS HASANUDDIN CRANIOSYNOSTOSIS Oleh: A. Muh. Hadi 110 207 046 Zarvia Utami C 111 07 042 Andi Suginna C 111 08 354 Hendra Santoso C 111 08 110 Ibnu Munzir Supervisor: DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH SUBDIVISI BEDAH SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN

Transcript of LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU BEDAH LONG CASE FAKULTAS KEDOKTERAN MEI2013UNIVERSITAS HASANUDDIN

CRANIOSYNOSTOSIS

Oleh:

A. Muh. Hadi 110 207 046

Zarvia Utami C 111 07 042

Andi Suginna C 111 08 354

Hendra Santoso C 111 08 110

Ibnu Munzir

Supervisor:

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU BEDAH SUBDIVISI BEDAH SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. Fatima Azzahra

Jenis Kelamin : Perempuan

Tgl. Lahir : 20-01-2013

RM : 60 35 05

Tgl. MRS : 09 April 2013

Kamar : Lontara 4 Anak Atas Belakang HCU bed 2

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Demam

Anamnesis terpimpim :

o Dialami sejak ± 5 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam mendadak

tinggi, kejang (-), mulut penuh dengan bintik-bintik putih sejak ± 1 bulan yang lalu

sebelum masuk rumah sakit. Batuk (-), lendir (-), sesak (-), mual (-), muntah (-).

Anak mau minum susu.

o Riwayat di rawat di RS Awal Bross 2x,

1. Pada saat lahir karena premature dirawat di inkubator ± 1 hari

2. Pada saat usia ± 1 bulan karena menurut ayahnya pasien tidak kontak mata

pasien dengan orang tua. Dilakukan CT-Scan kepala dan didapatkan hasil

tanda brain swelling DD/Hipoxic Ischemic Enchephalopaty + cavum

septum pellucidum resisten.

o Riwayat melahirkan anak laki-laki, premature, usia kehamilan 7 bulan, kembar, BBL

1600 gram, PBL lupa, normal, langsung menangis.

o Riwayat berobat di dokter Spesialis Anak kemudian dirujuk ke RSWS.

o BAB : Baik, kuning

BAK : Kuning, lancar

III. PEMERIKSAAN FISIS

o Status Generalisata :

oSakit Sedang/ gizi baik/ sadar GCS 15 (E4M6V5)

o Status Vitalis :

oTekanan Darah : 100/60 mmHg

oNadi : 106 x/menit

oPernapasan : 42 x/menit

oSuhu : 38,9 oC

o Status Regional:

o Kepala : Anemis (-), ikterik (-), stomatitis (-), limfadenopati (-)

o Thorax :

I : Simetris kiri = kanan

P : MT (-), NT (-)

P : Sonor, batas paru hepar ICS V kanan

A : BP : vesikuler, BT : Rh-/- , Wh-/-

o Jantung :

I : Ictus cordis tidak tampak

P : Ictus cordis tidak teraba

P : Pekak, batas jantung kesan normal

A : BJ I/II murni reguler, bising jantung (-)

o Abdomen :

I : Perut datar, ikut gerak napas

A : Peristaltik (+) kesan normal \

P : Hepar teraba 2 cm, BAC konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi

tajam. Massa tumor (-) Nyeri tekan (-). Lien tidak teraba

P : timpani (+)

IV. STATUS NEUROLOGIS

NERVUS KRANIALIS

N. Olfactorius (N.I) Dalam batas normal

N. Optikus (N.II) KANAN

Dalam batas normal

KIRI

Dalam batas normal

N. Okulomotorius (N.III)

Pupil

Bentuk/diameter

Refleks cahaya langsung

Refleks cahaya tidak langsung

Diplopia

Strabismus

Nystagmus

Isokor

Bulat/2,5 mm

+

+

-

-

-

Isokor

Bulat/2,5 mm

+

+

-

-

-

N. Trochlearis (N.IV)

Pergerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal

N. Trigeminus (N.V) Tidak dilakukan pemeriksaaan

N. Abdusens (N.VI)

Pergerakan bola mata Kesemua arah Kesemua arah

N. Facialis (N.VII)

Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

N.Vestibulocochlearis (NVIII) Tidak dilakukan pemeriksaan

N. Glossopharyngeus (N.IX)

Tidak dilakukan pemeriksaan

N. Vagus (N.X)

Menelan Tidak ada kelainan

N. Accesorius (N.XI)

Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

N. Hypoglossus (N.XII)

Tidak ada kelainan

Sensibilitas dan Sistem saraf otonom: Dalam batas normal

Tonus : + +

+ +

Kekuatan : Sulit dinilai

Refleks Fisiologis : N N

N N

Refleks Patologis :

V. PEMERIKASAAN PENUNJANG

Laboratorium (29/04/2013)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

RBC 5,02 4.50 - 5.50x 106 /uL

WBC 14,12 4.00 - 11.0 X 103 /uL

HGB 13,7 12.0 - 16.0 g/dl

HCT 41,3 40,0-50,0 %

PLT 316 150 - 450x 103 / uL

CT 8 4-10 ‘

BT 2 1-7 ‘

PT 12,4 10,8 – 14,4 “

APTT 24,4 26,4 – 37,6 “

Ureum 7 10-50 mg/dl

- -

- -

Creatinin 0,3 < 1,3 mg/dl

SGOT 38 <38 U/L

SGPT 34 <45 U/L

Natrium 131 136-145 mmol/L

Kalium 3,8 3,5-5,1 mmol/L

Klorida 98 97-111 mmol/L

CT-Scan kepala (09/04/2013)

Kesan : Hipoplasia cerebri regio frontalis bilateral

VI. RESUME

Seorang anak perempuan usia 1 bulan, masuk rumah sakit dengan keluhan

demam. Dialami ± 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang (-) mulut penuh dengan

bintik-bintik putih (+) sejak ± 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Riwayat batuk (-),

sesak (-), lendir (-), muntah (-), mual (-), anak malas minum susu. Bab : biasa,

kuning. Bak : lancar, kuning.

Dari pemeriksaan fisis, pada regio Abdomen didapatkan hepar teraba 2 cm BAC

konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam. Dari pemeriksaan neurologis tidak

didapatkan adanya kelainan. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan CT-Scan

dengan kesan Hipoplasia cerebri regio frontalis bilateral.

VII. DIAGNOSIS

Craniosinostosis

VIII. TERAPI

BAB I

PENDAHULUAN

Craniosynostosis adalah anomali dari sutura, berasal dari fusi prematur tulang tengkorak,

yang menyebabkan keterbatasan volume tengkorak. Berdasarkan Hukum Virchow, penutupan

sutura yang prematur mencakup pertumbuhan perpendicular kearah garis sutura yang terbatas,

yang diperparah dengan pertumbuhan berlebihan secara paralel kearah sutura. Craniosinostosis

dapat mengenai berbagai sutura di tulang kepala: metopik, sagital, lambdoidal atau coronal.

Craniosynostosis dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Insidens pada anak-anak, sekitar 1

per 1.800 kelahiran. Untuk menghindari peninggian tekanan intrakranial dan gangguan tumbuh

kembang. Koreksi bedah harus dilakukan pada tahun pertama kehidupan.

Sindrom Apert, Crouzon, Pfeiffer, Saethre-Chotzen dan Carpenter menggambarkan

sindrom Craniosinostosis yang diteliti oleh ahli bedah plastik. Sindrom Craniosinostosis familial

ini memberikan beberapa ciri-ciri umum, termasuk midface hypoplasia,pertumbuhan basis crania

yang abnormal, wajah yang abnormal serta lengan dan tungkai yang abnormal. Pada faktanya,

gambaran craniofacial dari berbagai sindrom ini secara klinis sama, sehingga kelainan pada jari

tangan dapat menjadi pembeda diantara bermacam-macam sindrom tersebut. Meskipun jelas

bahwa sinostosis tulang-tulang cranial secara signifikan termasuk ke dalam perkembangan

craniofacial yang abnormal pada anak-anak yang terkena sindrom ini, kemungkinan terdapat

adanya defek mesenkim pada basis crania yang juga bertanggung jawab terhadap deformitas

craniofacial

BAB II

TINJAUAN PUSAKA

2.1 Definisi

Craniosynostosis adalah suatu keadaan dimana terjadinya fusi dini sutura tengkorak.

Craniosynostosis primer mengacu pada fusi prematur dari satu atau lebih sutura cranial akibat

kelainan perkembangan. Penyebabnya adalah diduga sebagai anomaly perkembangan dasar

temgkorak otak. Craniosynostosis sekunder mengacu pada penutupan sutural prematur akibat

dari penyebab lain seperti kompresi intrauterine dari tengkorak, efek teratogen atau kurangnya

pertumbuhan otak

2.2 Epidemiologi

Insiden craniosynostosis adalah satu di 2.000 untuk satu di 2.500, yang meliputi kasus

sindromik dan non-sindromik. Dalam kasus non-sindromik, craniosynostosis merupakan temuan

terisolasi, tidak ada kelainan lain yang hadir. Craniosynostosis Non-sindromik jauh lebih umum

daripada craniosynostosis sindromik. Biasanya craniosynostosis terisolasi adalah sporadis (bukan

keluarga).

2.3 Anatomi

Tulang-tulang pipih tengkorak (frontal, parietal, temporal, dan oksipital) berkembang

dengan baik pada bulan kelima kehamilan. Pada waktu lahir, tulang-tulang tersebut dipisahkan

satu sama lainnya oleh perekat tipis dan jaringan penyambung, yaitu sutura. Di tempat-tempat

pertemuan lebih dari dua tulang, suturanya lebar dan dikenal sebagai ubun-ubun (fontanella).

Biasanya fontanella anterior menutup pada usia 20 bulan manakala fontanella posterior menutup

pada usia 3 bulan.

Craniosynostosis adalah suatu kondisi di mana sutura bergabung terlalu dini,

menyebabkan masalah dengan pertumbuhan otak dan tengkorak normal.  Penutupan prematur

sutura juga dapat menyebabkan tekanan di dalam kepala untuk meningkat dan tengkorak atau

tulang wajah untuk mengubah dari penampilan normal dan simetris.

Gambar 1: Anatomi kepala

2.4 Patofisiologi

Etiologi pasti Craniosinostosis dari anak-anak yang terkena sindrom ini masih belum

jelas. Pengetahuan genetik molekuler memberikan wawasan menuju hubungan yang mungkin

antara mutasi yang teridentifikasi dari gen Fibroblast Growth Factor Receptor (FGFR) dengan

berbagai penyakit skeleton yang bersifat autosom dominan. Fibroblast Growth Factor ikut serta

dalam regulasi, proliferasi, differensiasi dan migrasi sel dan berperan dalam morfogenesis

normal tulang melalui cell signaling pathways yang kompleks. Transduksi sinyal dari Fibroblast

Growth Factor ke sitoplasma dimediasi oleh sejumlah reseptor tirosin kinase transmembran yang

dikenal sebagai Fibroblast Growth Factor Receptor (FGFR). Mutasi 3 dari 4 gen FGFR yang

diketahui berlokasi pada kromosom 8, 10q dan 4p telah teridentifikasi pada sindrom Pfeiffer,

Apert, Crouzon dan Jackson Weiss. Akondroplasia, kelainan skeletal yang menyebabkan

dwarfisme, juga dihubungkan dengan mutasi dari FGFR 1 dan FGFR2, sementara sindrom

Crouzon dan Apert dihubungkan dengan mutasi dari FGFR kompleks. 4

2.5 Gambaran Klinis

Secara klinis, pemeriksaan dengan seksama akan menuntun pada suatu diagnosis

Mikrocephal biasanya adalah suatu craniosynostosis sekunder

Scaphocephal

o penggabungan yang bersifat prematur dari sutura sagitalis adalah craniosynostosis

yang paling umum, meliputi lebih dari setengah dari keseluruhan kasus. Hal ini

paling sering terjadi pada bayi-bayi prematur

o Gambaran khas pada kepala adalah elongasi pada diameter anterior – posterior

dan pemendekan pada diameter bipaietal. Lengkungan dari sutura sagitalis teraba.

Anterior plagiocephal – gabungan prematuritas dari satu sutura coronalis

Brachycephal

o penggabungan yang bersifat prematur dari keseluruhan sutura coronalis

menghasilkan peningkatan dalam diameter biparietal. Abnormalitas ini adalah

sering berupa kumpulan syndrome. Terjadi pemendekan diameter tulang kepala di

anterior – posterior.

o Karena sutura coronalis berkembang dan bergabung dengan sutura- sutura di

dasar tengkorak sehingga hipoplasia wajah bilateral bagian tengah dan atas dapat

terjadi. Daerah orbita dapat berbentuk elips ( misalnya harlequin), dan lengkungan

daerah supraorbital tidak terbentuk dengan sempurna.

o Keadaan ini perlu diperhatikan ketika merecanakan operasi untuk brachycephali

Posterior plagiocephali

o Sebagian besar kasus posterior plagiocephali adalah craniosynostosis pada sutura

lambdoid (< 2%) atau pembentukan posisinya (vast majority)

Gambar 2: Plagiochephali

2.6 Diagnosis

Seringkali dokter dapat menentukan sutura tengkorak ditutup sebelum waktunya dengan

pemeriksaan fisik. Untuk konfirmasi, roentgen atau computerized tomography (CT) scan kepala

mungkin dilakukan. Menentukan sutura yang terlibat sangat penting dalam membuat diagnosis

craniosynostosis yang benar. Craniosynostosis dapat disebabkan oleh kelainan genetik yang

mendasari, atau mungkin karena lain faktor non-genetic. Pengujian genetika mungkin berguna

untuk diagnosis pralahir, konfirmasi diagnosis, dan untuk memberikan informasi kepada anggota

keluarga lainnya.

Diagnosis prenatal tersedia oleh villus chorionic sampling (CVS) atau amniosentesis jika

mutasi telah diidentifikasi dalam induk yang telah dipengaruh. Amniocentesis dilakukan setelah

minggu kelima belas dari kehamilan dan CVS biasanya dilakukan pada minggu kesepuluh dan

kedua belas kehamilan. Craniosynostosis dapat terlihat oleh USG janin.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Roentgenogram sederhana

Digunakan untuk menilai anatomi tulang dengan baik dan sangat berguna dalam

mengidentifikasi abnormalitas bentuk kepala seperti dolichocephaly, brachycephaly, dan

plagiocephaly. Selain itu, roentgenogram juga dapat digunakan untuk menentukan penutupan

sutura dini. Sutura yang normal dapat terlihat gambaran pinggir yang bergerigi tajam,

nonlinear, garis lusen. Sutura pada pasien craniosynostosis biasanya terlihat pinggiran

sklerotik yang timbul atau tidak terlihat langsung.

Gambar 3: Tampak gambaran sinostosis coronal. Diameter anteroposterior (AP) memendek

(brachycephaly) dengan sebagian sutura coronal yang telah menyatu dan sutura sagittal

melebar.

Gambar 4: Tampak gambaran coronal synostosis dengan diameter anteroposterior kepala

pendek (brachycephaly), sebagian sutura coronal menyatu

USG (Ultrasonography)

Melalui USG, deformitas kranial pada sindrom Pfeiffer dapat dideteksi di dalam uterus.

Dari literatur dikatakan terdapat beberapa perkembangan dalam deteksi craniosynostosis

pada prenatal dengan menggunakan USG 3D (3-dimensional) berbanding 2D. Terdapat suatu

kasus yang dilaporkan oleh Krakow et al dimana temuan pada USG 2D prenatal

menunjukkan suatu craniosynostosis yang konsisten. Dengan USG 3D, didapatkan posisi

penyatuan sutura dan panjang sutura dapat dilihat, dimana dengan USG konvensional tidak

bisa. Walaupun begitu, USG adalah ‘user dependent’ dan oleh itu personal yang tidak

berpengalaman bisa saja tidak menemukan kelainan craniosynostosis.

Computed Tomography

CT scan menyediakan metode yang lebih detail visualisasi patologi dan anatomi

intrakranial detail dari calvaria dan parenkim otak. Berbeda dengan roentgenogram,

basis tengkorak dapat divisualisasikan dengan baik, dan jaringan keras dan lunak dari

kerangka kraniofasial dapat dipelajari secara detail.

Gambar 7: Gambaran 3D CT Scan menunjukkan brachycephaly. Tampak sutura coronal

menyatu dan sutura lambdoid terbuka.

2.8 Aspek Fungsional

Untuk memahami secara penuh penatalaksanaan bedah pada anak-anak dengan sindrom

craniosynostosis ini, penting untuk mengetahui proses pertumbuhan craniofacial dan bagaimana

hubungannya dengan fungsi tertentu dari aspek perkembangan. Pertumbuhan craniofacial yang

normal ditunjukkan oleh 2 proses : penggantian dan remodeling tulang. Selama tahun pertama

kehidupan, otak berkembang 3 kali lipat dalam hal ukuran dan tumbuh dengan cepat kira-kira

sampai usia 6 atau 7 tahun. Pertumbuhan otak menyebabkan penggantian pada tulang frontal,

parietal dan occipital yang melapisi dalam keadaan fungsional sutura yang terbuka, dan ini

menstimulasi pertumbuhan tulang dan remodeling pada tulang tengkorak dan fossa crania.

Pertumbuhan dan maturasi dari wajah mengikuti gradient craniocaudal, yang berlangsung dari

akhir masa kanak-kanak sampai dewasa, dengan maturasi dari bagian atas wajah, diikuti dengan

maturasi bagian tengah wajah dan akhirnya mandibula. Aspek fungsional dari perkembangan,

yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan abnormal dari

craniofacial, dijelaskan secara terpisah di bawah ini. 4

2.9 Penatalaksanaan Bedah

Pembedahan craniofacial merupakan ilmu bedah rekonstruksi pada tulang tengkorak,

tulang wajah serta jaringan lunak dari wajah. Penatalaksanaan bedah pada pasien dengan

sindrom craniosynostosis tercatat sejak akhir abad ke 19, dimana pada awalnya teknik-teknik

yang digunakan dimaksudkan hanya untuk mengoreksi aspek fungsional dari deformitas. Teknik

yang paling awal, craniectomy linier dan fragmentasi calvaria crania, masih berguna untuk

sebagian kasus deformitas yang lebih berat untuk memproteksi otak dan mata sementara waktu,

hingga prosedur craniofacial yang lebih definitif dapat dilakukan. Craniectomy sederhana atau

morcellization dilakukan pada penderita bayi, namun sayangnya, disertai oleh reosifikasi dalam

jumlah yang tinggi dan hanya akan memberikan hasil paling sederhana jika mobilisasi bulbus

okuli dan midface telah dilakukan secara bersamaan. Sebagai tambahan tulang yang ter-

reosifikasi memiliki kualitas buruk, sehingga tindakan koreksi definitif lebih sulit dilakukan.

Pada tahun 1967, Tessier pertama kali mempublikasikan hasil koreksinya pada region forehead

dan supraorbita yang mengalami resesi dengan menggunakan pendekatan intracranial yang

memungkinkan osteotomi, mobilisasi dan reposisi secara akurat. Saat ini, pendekatan

penanganan bedah untuk anak dengan sindrom craniosynostosis disertai dengan defisiensi

midface memerlukan remodeling frontoorbital dan calvaria crania dini, prosedur advancement

midface dengan atau tanpa distraksi (Le Fort III atau monoblok) dan pembedahan orthognatic

sekunder untuk mengoreksi berbagai deformitas dentofacial (Le Fort I, osteotomi mandibular).4,9

Intervensi bedah untuk mengoreksi deformitas craniofacial pada pasien dengan sindrom

craniosynostosis dapat dibagi menjadi prosedur yang dilakukan pada awal kehidupan (4-12

bulan) untuk membebaskan sutura, dekompresi calvaria crania, serta pembentukan kembali/

advancement orbita atas, dan prosedur yang dilakukan pada usia lebih tua (4-12 tahun) untuk

pembedahan deformitas midface dan rahang. Waktu dan sekuens yang tepat bagi masing-masing

prosedur bedah yang disebutkan sebelumnya tergantung pada kebutuhan fungsional dan

psikologikal dari pasien. Pembahasan yang paling konroversial berputar sekitar waktu

dilakukannya osteotomi midface. Dua pendekatan yang saat ini dilakukan : (a) menunggu sampai

pertumbuhan seluruh midface dan lower face sempurna sebelum melakukan osteotomi dan

advancement definitif. Atau (b) Melakukan advancement midface pada saat anak-anak dengan

menyadari bahwa advancement kedua akan diperlukan saat pertumbuhan mandibular sempurna.

Karena advancement midface biasanya dilakukan menggunakan teknik distraksi, komplikasi

kehilangan darah dan infeksi telah berhasil ditekan, menyebabkan prosedur tersebut lebih umum

pada anak-anak. 4

Advancement Frontoorbital

Tujuan utama pembedahan advancement frontoorbital ada 3 : (a) untuk membebaskan

tulang yang mengalami synostosis dan dekompresi calvaria crania (b) untuk membentuk ulang

calvaria crania dan advancement tulang frontal dan (c) advancement batang supraorbital yang

mengalami retrusi, menghasilkan peningkatan proteksi terhadap bulbus okuli dan perbaikan

penampakan estetik. Prosedur ini dilakukan melalui suatu insisi koronal. Dengan bekerja sama

dengan tim bedah saraf, craniotomi frontal dilakukan untuk membebaskan sutura yang

mengalami synostosis dan tulang frontal yang mengalami elevasi. Contoh jelasnya, anak

mungkin telah menjalani craniotomi frontal oleh tim dokter bedah saraf untuk membebaskan

sutura coronal saat diduga terdapat peningkatan tekanan intrakranial. Reosifikasi biasanya terjadi

pada usia 1 tahun. Sekali tulang frontal dipindahkan, maka otak akan secara perlahan mengalami

retraksi, menghadap batangan supraorbital yang mengalami retrusi dan di advanced dengan cara

tongue-in-groove dan diamankan dengan plate atau sutura yang resorbabel. 4

Gambar 2a Gambar 2b

Advancement frontorbital. 2a: Garis osteotomi untuk advancement forehead dan supraorbita. 2b:Advancement frontoorbital dengan cara tongue-in-groove dan fiksasi dengan wire

Remodelling calvaria crania tergantung pada bentuk kepala preoperatif, untuk

turricephaly yang parah, dilakukan pembentukan total calvaria crania; prosedur ini

memungkinkan reduksi signifikan puncak vertical dari tengkorak. Untuk anak-anak dengan

turricephaly sedang, hanya 1/3 anterior calvaria crania yang diremodelling. Batang supraorbital

dan forehead di advance ke dalam suatu posisi overcorrected untuk memungkinkan adanya

ruang bagi otak untuk tumbuh.4

Melanjutkan prosedur advancement frontoorbital awal dan remodeling calvaria crania ini,

anak kemudian disesuaikan dengan basis usia 6-12 bulan oleh tim craniofacial. Pertumbuhan

selanjutnya dari calvaria crania dan midface dipantau ketat dengan CT scan 3 dimensi, dan juga

observasi klinis. Meskipun advancement frontoorbital menghasilkan dekompresi yang sangat

baik dari craniosynostosis dan perbaikan moderat dari bentuk calvaria crania pada awal periode

post operatif, pertumbuhan terbatas yang berlanjut pada region calvaria crania dan midface

seringkali member hasil yang buruk secara estetik dalam waktu lama pada pasien-pasien sindrom

ini. Jika tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, exorbitisme yang berat, atau

perkembangan abnormal dari bentuk calvaria crania, kadang0kadang operasi advancement

frontoorbital dan prosedur remodeling calvaria crania yang kedua bahkan ketiga diindikasikan. 4

Koreksi bedah untuk deformitas midface

Upaya yang pertama kali dilakukan untuk mengoreksi deformitas midface pada pasien-

pasien sindrom craniosynostosis dilakukan oleh Sir Harold Gillies, yang melakukan prosedur

prosedur Le Fort III. Prosedur tersebut, pada awalnya ditinggalkan oleh Gillies, lalu kemudian

dipopulerkan oleh Tessier. 4

Gambar 3a Gambar 3b

Advancement Le Fort III. 3a:Garis osteotomi. 3b:Advancement dan stabilisasi dengan bone grafts dan miniplates

Dapat dilakukan prosedur Le Fort III saja atau jika seluruh gigi permanen telah

mengalami erupsi, dapat dilakukan bersamaan dengan bedah advancement Le Fort I. Prosedur

bedah advancement dari bagian Le Fort III dalam penyesuaian dengan batangan frontal,

dikembangan oleh Ortiz Monasterio. 4

Gambar 4a Gambar 4b

Advancement monobloc. 4a:garis osteotomi monobloc. 4b:Advancement dari midface,orbita dan tulang frontal dan stabilisasi dengan bone grafts dan miniplates

Prosedur monobloc, meskipun menghasilkan keuntungan karena secara bersamaan

mengoreksi deformitas supraorbital dan midface, dihubungkan dengan kehilangan darah yang

lebih banyak dan tingkat infeksi yang lebih tinggi, yang lebih mirip hasil hubungan langsung

antara cavum cranial dan cavum nasal. Resiko yang tinggi ini membuat prosedur monobloc pada

periode neonates merupakan kontraindikasi. Saat ini, prosedur Le Fort III melalui pendekatan

subcranial mungkin merupakan prosedur pilihan untuk mengoreksi deformitas midface;

meskipun hasil yang baik dengan monobloc, khususnya melalui distraksi telah dilaporkan.

Waktu yang tepat untuk melakukan koreksi menyisakan kontroversi diantara ahli bedah

craniofacial. Sebagian center craniofacial menganjurkan koreksi bedah secara dini antara usia 4

s/d 7 tahun; sementara yang lain memilih untuk menunggu sampai tercapai kematangan skeletal

semasa pubertas, terkecuali jika obstruksi jalan napas atau exorbitisme berat mengharuskan

pembedahan dini segera. Penganut pendapat penundaan koreksi bedah menghubungkan dengan

bukti tingginya insiden rekurensi maloklusi kelas III pada pasien-pasien yang menjalani

pembedahan paling awal (4-9 tahun), seringkali membutuhkan prosedur Le Fort III sekunder

pada usia belasan tahun. Penganut bedah koreksi dini dari deformitas midface percaya bahwa

perbaikan estetik secara keseluruhan akan memberikan efek positif yang berarti secara psikologis

dan meningkatkan kepercayaan diri pada anak-anak ini, dan mereka menerima prosedur Le Fort

III atau osteotomi monobloc sekunder sebagai langkah standar pada penanganan pasien-pasien

ini. 4

Distraksi Osteogenesis dari Midface

Pada tahun-tahun terakhir, alternative prosedur Le Fort III atau monobloc 1 tahap

dikembangkan. Karena pembungkus jaringan lunak yang melapisi dapat secara fisik mengurangi

jumlah tindakan advancement yang mungkin dan berpengaruh terhadap kekambuhan tulang.

Advancement melalui distraksi osteogenesis bertahap, awalnya penggunaannya pada skeleton

appendikular dan mandibula telah dilakukan. Prosedur tersebut melibatkan Le Fort III standar

atau osteotomi monobloc, tanpa advancement akut, dengan penempatan semiburied external atau

semiburied distractor.

Gambar 5

CT scan 3 dimensi menggambarkan sebuah distraktor buried Le Fort III setelah advancement monobloc.Ujung distal plat difiksasi dengan baut dan sekrub ke segmen facial yang mobile sementara ujung proksimal plat difiksasi

ke tulang temporal yang stabil.

Gambar 6

Distraktor external tipe halo. Kerangka difiksasi ke tulang temporal dengan sekrup. Batangan vertical menghubungkan alat tersebut dengan segmen Le Fort yang mobile melalui peralatan dental. Aktivasi dari peralatan

lengkap akan menarik segmen ke depan sebagai bentuk tulang baru

Alat ini yang memungkinkan peregangan atau adaptasi dari jaringan lunak atau

advancement dari wajah secara perlahan sementara tulang baru terbentuk pada celah osteotomi.

Pada hari ke 5 s/d 7 post operasi, saat callus awal telah terbentuk pada lokasi osteotomi, alat

tersebut teraktivasi, memungkinkan terjadinya advancement 1 mm per hari sampai kemajuan

pergerakan yang diinginkan tercapai. Hal ini diikuti oleh periode beberapa bulan selama tulang

yang baru terbentuk pada celah osteotomi dimungkinkan untuk menguat (mengalami kalsifikasi

osteoid). Kemudian dilakukan pelepasan distraksi. 4

Keuntungan dari distraksi diantaranya : (1) Kehilangan darah yang sedikit dan waktu

operasi yang singkat pada prosedur awal (2) Advancement yang lebih besar (s/d 20 mm atau

lebih) dibanding dengan standar teknih advancement (maksimum 6-10 mm) (3) tidak

memerlukan pencangkokan tulang karena tulang baru terbentuk pada celah osteotomi (karena itu

dinamakan distraksi osteogenesis) (4) Resiko infeksi yang lebih rendah dengan prosedur

monobloc, dan (5) Kekambuhan yang jarang. Kerugiannya meliputi : (1) Dibutuhkan waktu yang

lama untuk distraksi dan konsolidasi (2) Memerlukan prosedur kedua untuk melepas alat buried

tersebut dan (3) Perlu menggunakan alat eksternal untuk waktu yang lama. 4

Secara keseluruhan, distraksi osteogenesis telah meningkatkan hasil yang dapat diperoleh

untuk advancement midface dan pada saat yang bersamaan meminimalkan komplikasi. 4

Pembedahan Orthognatic

Pola yang abnormal dari pertumbuhan wajah pada anak-anak dengan sindrom

craniosynostosis seringkali menyebabkan deformitas dentofacial yang berat. Maloklusi kelas III,

sekunder dari retrusi midface, merupakan deformitas yang paling umum ditemukan dan

seringkali berkembang. Walaupun penanganan bedah midface yang sesuai telah dilakukan. Tim

yang menangani abnormalitas rahang ini meliputi orthodontist, dokter gigi dan ahli bedah

craniofacial. Sebagai akibat dari komplesi pertumbuhan maksilla dan mandibula dan beberapa

terapi orthodonthic prabedah yang dibutuhkan, koreksi bedah meliputi paling tidak osteotomi Le

Fort I dengan sliding genioplasty yang mungkin diindikasikan. Prosedur bedah ini paling tidak

dilakukan antara usia 14-18 tahun, disaat tulang wajah telah matang. 4

Pembentukan Kontur Facial Akhir

Pada komplesi pertumbuhan wajah dan seluruh osteotomi mayor, iregularitas kontur dari

tulang wajah masih dapat ada. Prosedur pembentukan kontur akan dilakukan pada saat ini.

Prosedur ini diantaranya memperhalus iregularitas, menambahkan bone grafts atau bone

substitute pada area yang berbeda ( contohnya semen Ca Carbonat) dan menutup jaringan lunak

seperti midface atau canthus. 4

Masalah dapat terjadi selama dan setelah operasi. Diantaranya obstruksi jalan nafas,

edema cerebral, perdarahan intrkranial, hydrocephalus, kerusakan otak, epilepsy, meningitis,

abses otak, infeksi tulang, dll. Beberapa dari masalah ini dapat menjadi fatal terkecuali pasien

dirawat dengan tepat. Meski operasi dilakukan dengan penuh kewaspadaan oleh tim bedah yang

berpengalaman masih terdapat tingkat mortalitas sebanyak 1% dan insiden komplikasi berat

sekitar 10% jika seluruh operasi craniofacial dimasukkan. 10

2.10 Kesimpulan

Pada waktu lampau, anak-anak dengan sindrom craniosynostosis mendapat stigma

sebagai anak-anak yang dipertanyakan mentalnya karena penampakan craniofacial mereka,

disaat pada faktanya, mereka seringkali memiliki intelegensi yang normal. Ditemukannya teknik-

teknik pembedahan craniofacial, meskipun masih jauh dari sempurna, memberikan kepada anak-

anak ini penampakan wajah yang lebih normal dan kesempatan untuk tumbuh, berkembang dan

bergabung secara sosial dengan sebaya mereka. Penggunaan teknik-teknik operasi craniofacial

yang lebih baru, termasuk pembedahan endoskopik dan osteodistraksi, diharapkan dapat

meningkatkan hasil yang dicapai dengan komplikasi yang lebih sedikit. Osteogenesis distraksi

telah memberikan hasil yang menjanjikan pada cranium dan midface. 4

Bagaimanapun, masa depan sebenarnya dari anak-anak dengan sindrom craniosynostosis

berada di tangan genetika molekuler. Kemajuan dalam bidang ini telah memungkinkan

identifikasi gen-gen dan mutasi yang berhubungan untuk berbagai sindrom craniosynostosis.

Pada akhirnya, kemampuan untuk melakukan screening secara genetik dari mutasi DNA ini akan

memungkinkan keluarga yang bersangkutan melakukan konseling dan mungkin, di masa yang

akan datang, menjalani terapi genetik untuk mengoreksi mutasi tersebut. 4