LAPORAN KASUS
-
Upload
ayunita-littlestar -
Category
Documents
-
view
361 -
download
46
Transcript of LAPORAN KASUS
LAPORAN KASUS
TRAUMA TUMPUL ABDOMEN
Oleh:
AYUNITA TRI W
RUMAH SAKIT dr. SOEBANDI
JEMBER
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cidera.
Trauma abdomen adalah keadaan pada abdomen baik bagian dalam ataupun luar
yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma tumpul abdomen yaitu trauma
abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh
pukulan, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi, atau sabuk pengaman. Trauma
tumpul abdomen sering kali ditemui pada unit gawat darurat. Sebanyak 75%
kasus trauma tumpul abdomen adalah sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas,
baik itu kendaraan dengan kendaraan maupun kendaraan dengan pejalan kaki.
Sedangkan trauma abdomen akibat pukulan sebanyak 15% dan jatuh sebanyak
9%. Selebihnya adalah sebagai akibat dari child abuse dan domestic violence.
Pasien dengan trauma tumpul abdomen memerlukan penatalaksanaan
yang cepat dan efisien. Pada trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang
tersering mengalami cedera. Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus
dianggap cedera abdominal sampai terbukti lain.
Sampai saat ini cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih
merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah (preventable death) pada
penderita dengan dengan trauma batang tubuh (trunk). Kurangnya data mengenai
riwayat kesehatan pasien, kronologis kejadian, luka atau trauma lain yang dapat
mengalihkan perhatian, dan perubahan status mental sebagai akibat dari cedera
kepala atau intoksikasi, membuat trauma tumpul abdomen sulit untuk didiagnosis
dan ditatalaksana. Pasien dengan trauma tumpul abdomen biasanya datang dengan
cedera abdominal dan extraabdominal yang memerlukan perawatan lanjut yang
rumit.
2
BAB II
TRAUMA TUMPUL ABDOMEN
2.1 Anatomi abdomen
1. Anatomi abdomen luar
a. Abdomen depan
Melihat bahwa abdomen untuk sebagian berhubungan dengan thorax
bagian bawah, maka abdomen pada bagian superior dibatasi oleh garis
antara papila mamae, bagian inferior oleh ligamentum inguinale dan
simfisis pubis, dan lateral oleh garis aksilaris anterior.
b. Pinggang
Daerah ini berada antara linea axilaris anterior dan linea aksilaris
posterior, dan pada bagian superior dibatasi oleh SIC 6 dan inferior
dibatasi oleh krista iliaka. Berbeda dengan dinding abdomen depan
yang tipis, otot-otot dinding abdomen di bagian pinggang lebih tebal
dan dapat merupakan perintang terhadap luka tembus, khususnya luka
tusuk.
c. Punggung
Daerah ini bertempat di belakang linea axilaris posterior dari ujung
scapula sampai krista iliaka. Sama dengan otot-otot dinding abdomen
di samping, otot punggung dan paraspinal bertindak sebagian sebagai
perintang luka tembus.
2. Anatomi abdomen dalam
a. Rongga peritoneum
Rongga peritoneum dibagi dalam bagain atas dan bagian bawah.
Abdomen atas atau daerah thoracoabdominal yang ditutup oleh bagian
bawah dari bagian thorax yang bertulang, meliputi diafragma, hati,
lien, colon transversum. Adanya tulang costa membuat daerah ini sulit
3
untuk dicapai dengan palpasi dan pemeriksaan lengkap. Karena
diafragma naik ke SIC 4 saat ekspirasi penuh, patah costa bawah atau
atau luka tembus di daerah itu dapat mencederai isi abdomen.
Abdomen bawah berisikan usus halus dan usus besar, uterus (jika
gravid), dan VU (jika distended). Perforasi organ-organ ini
berhubungan dengan penemuan pada pemeriksaan fisik dan biasanya
selalu bermanifestasi dengan nyeri dari peritonitis.
b. Rongga pelvis
Rongga pelvis yang dikelilingi tulang pelvis, berada di bagian bawah
ruang retroperitoneum dan berisikan VU, urethra, pembuluh-pembuluh
iliaka, rectum, usus halus dan genitalia interna wanita (ovarium, tuba
falopii, dan uterus). Sama seperti daerah thoracoabdominal,
pemeriksaan untuk mengetahui cedera pada struktur pelvis dipersulit
oleh tulang-tulang di atasnya.
c. Rongga retroperitoneum
Daerah ini meliputi aorta abdominalis, vena cava inferior, sebagian
besar dari duodenum, pankreas, ginjal, dan saluran kencing, colon
ascenden dan colon descenden. Cedera pada daerah ini sulit dikenali
dengan pemeriksaan fisik maupun DPL. Evaluasi struktur pada region
ini memerlukan CT scan, angiography, dan intravenous pyelogram.
2.2. Mekanisme trauma
Trauma tumpul abdomen paling sering mengakibatkan cedera pada
lien (40-45%), kemudian diikuti cedera pada hepar(35-45%) dan usus halus (5-
10%). Sebagai tambahan 15% mengalami hematoma retroperitoneal.
Beberapa mekanisme patofisiologi dapat menjelaskan trauma tumpul
abdomen. Secara garis besar trauma tumpul abdomen (non penetrtaing trauma)
dibagi menjadi 3 yaitu :
4
1. Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti
bergerak, sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke
depan. Organ-organ terjepit dari belakang oleh bagian belakang
thorakoabdominal dan kolumna vetebralis dan di depan oleh struktur yang
terjepit. Trauma abdomen menggambarkan variasi khusus mekanisme trauma
dan menekankan prinsip yang menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat
pemindahan energi mempengaruhi kerusakan jaringan. Pada tabrakan, maka
penderita akan secara refleks menarik napas dan menahannya dengan menutup
glotis. Kompresi abdominal mengkibatkan peningkatan tekanan intrabdominal
dan dapat menyebabkan ruptur diafragma dan translokasi organ-organ
abdomen ke dalam rongga thorax. Transient hepatic kongestion dengan darah
sebagai akibat tindakan valsava mendadak diikuti kompresi abdomen ini dapat
menyebabkan pecahnya hati. Keadaan serupa dapat terjadi pada usus halus
bila ada usus halus yang closed loop terjepit antra tulang belakang dan sabuk
pengaman yang salah memakainya.
2. Trauma sabuk pengaman (seat belt)
Sabuk pengaman tiga titik jika digunakan dengan baik, mengurangi
kematian 65%-70% dan mengurangi trauma berat sampai 10 kali. Bila tidak
dipakai dengan benar, sabuk pengaman dapat menimbulkan trauma. Agar
berfungsi dengan baik, sabuk pengamna harus dipakai di bawah spina iliaka
anterior superior, dan di atas femur, tidak boleh mengendur saat tabrakan dan
harus mengikat penumpang dengan baik. Bila dipakai terlalu tinggi (di atas
SIAS) maka hepar, lien, pankreas, usus halus, diodenum, dan ginjal akan
terjepit di antara sabuk pengaman dan tulang belakang, dan timbul burst injury
atau laserasi. Hiperfleksi vetebra lumbalis akibat sabuk yangterlalu tinggi
mengakibatkan fraktur kompresi anterior dan vetebra lumbal.
3. Cedera akselerasi / deselerasi.
Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilasi organ,
seperti pedikel ginjal, ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ
5
yang distabilisasi tetap bergerak. Shear force terjadi bila pergerakan ini terus
berlanjut, contoh pada ginjal dan limpa denga pedikelnya, pada hati terjadi
laserasi hati bagian sentral, terjadi jika deselerasi lobus kanan dan kiri sekitar
ligamentum teres.
2.3. Riwayat trauma
Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang cedera
dalam tabrakan kendaraan bermotor. Keterangan ini dapat diberikan oleh
penderita, penumpang lain, polisi atau petugas medis gawat darurat di lapangan.
Keterangan mengenai tanda-tanda vital, cedera yang kelihatan, dan respon
terhadap perawatan pre-hospital juga harus diberikan oleh para petugas yang
memberikan perawatan pre-hospital. Pada trauma tumpul abdomen terutama yang
merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas, petugas medis harus menanyakan
hal-hal sebagai berikut :
- fatalitas dari kejadian ?
- tipe kendaraan dan kecepatan ?
- apakah kendaraan terguling ?
- bagaimana kondisi penumpang lainnya ?
- lokasi pasien dalam kendaraan ?
- tingkat keparahan rusaknya kendaraan ?
- deformitas setir ?
- apakah korban menggunakan sabuk pengaman? Tipe sabuk pengaman?
- apakah airbag di samping dan depan korban berfungsi ketika kejadian?
- apakah ada riwayat pengunaan alkohol dan obat-obatan sebelumnya?
Parahnya cedera pada pejalan kaki bervariasi tergantung pada
kecepatan dan ukuran kendaraan yang menabraknya. Tinggi bemper versus
ketinggian penderita merupakan faktor kritis dalam trauma. Pada orang dewasa
dengan posisi berdiri, benturan awal dengan bemper biasanya mengenai tungkai
dan pelvis. Trauma lutut terjadi sama seringnya dengan seperti trauma pelvis.
6
Anak-anak lebih mungkin terkena truma dada dan abdomen. Pejalan kaki sering
mengalami trias cedera yaitu kaki, batang tubuh, dan cranium, sebagai akibat dari
mekanisme trauma yaitu benturan bemper, benturan kaca depan dan kap mobil,
serta benturan kepala dengan tanah. Cedera pada salah satu bagian ini
memerlukan evaluasi yang lebih segera dibandingkan cedera pada bagian tubuh
lain.
Riwayat dan kronologis kejadian memang penting, tapi mekanisme
sendiri tidak bisa menentukan apakah diperlukan laparotomi emergency atau
tidak. Mekanisme dan kronologis kejadian harus disertai dengan data lain seperti
vital sign prehospital, pemeriksaan fisik, tes diagnostik, dan kondisi kesehatan
yang mendasari.
2.4. Evaluasi primer dan penatalaksanaan
Initial resuscitation dan penatalaksanaan pasien trauma berdasarkan
pada protokol Advanced Trauma Life Support. Penilaian awal (Primary survey)
mengikuti pola ABCDE, yaitu Airway, Breathing, Circulation, Disability (status
neurologis), dan Exposure.
A. Intial assesment
Trauma tumpul abdomen akan muncul dalam manifestasi yang sangat
bervariasi, mulai dari pasien dengan vital sign normal dan keluhan minor hingga
pasien dengan shock berat. Bisa saja pasien datang dengan gejala awal yang
ringan walaupun sebenarnya terdapat cedera intraabdominal yang parah. Jika
didapati bukti cedera extraabdominal, harus dicurigai adanya cedera
intraabdominal, walaupun hemodinamik pasien stabil dan tidak ada keluhan
abdominal. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, resusitasi dan
penilaian harus dilakukan segera. Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan
secara teliti dan sistematis, dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi, dan
palpasi. Penemuannya positif dan negatif harus dicatat dengan teliti dalam rekam
medik.
7
1. Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua untuk memudahkan penilaian.
Bila dipasang pakaian Pneumatic Anti Shock Garment dan hemodinamik
penderita stabil, segmen abdominal dikempeskan sambil tekanan darah
penderita dipantau dengan teliti. Penurunan tekanan darah sistolik lebih adari
5 mmHG adalah tanda untuk menambah resusitasi cairan sebelum meneruskan
pengempesan (deflasi). Perut depan dan belakang, dan juga bagian bawah
dada dan perineum, harus diperiksa apakah ada goresan, robekan, ekomosis,
luka tembus, benda asing yang tertancap, keluarnya omentum atau usus kecil,
dan status hamil. Seat belt sign, dengan tanda konstitusi atau abrasi pada
abdomen bagian bawah, biasanya sangat berhubungan dengan cedera
intraperitoneal. Adanya distensi abdominal, yang biasanya berhubungan
dengan pneumoperitoneum, dilatasi gaster, atau ileus sebagai akibat dari iritasi
peritoneal merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Adanya kebiruan
yang melibatkan region flank, punggung bagian bawah (Grey Turner sign)
menandakan adanya perdarahan retroperitoneal yang melibatkan pankreas,
ginjal, atau fraktur pelvis. Kebiruan di sekitar umbilicus (Cullen sign)
menandakan adanya perdarahan peritoneal biasanya selalu melibatkan
perdarahan pankreas, akan tetapi tanda-tanda ini biasanya baru didapati
setelah beberapa jam atau hari. Fraktur costa yang melibatkan dada bagian
bawah, biasanya berhubungan dengan cedera lien atau liver.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak.
Penurunan suara usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena
perdarahan atau ruptur organ berongga. Cedera pada struktur berdekatan
seperti tulang iga, tulang belakang atau tulang panggul juga dapat
mengakibatkan ileus meskipun tidak ada cedera intraabdominal, sehingga
tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intrabdominal. Adanya
suara usus pada thorax menandakan adanya cedera pada diafragma.
8
3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat
menunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat
menunjukkan adanya bunyi timpani di kuadran atas akibat dari dilatasi
lambung akut atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan untuk mengeraskan dinding abdomen (voluntary
guarding) dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans
muskuler (involuntary guarding) adalah tanda yang andal dari iritasi
peritoneum. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan apakah didapati nyeri
serta menentukan lokasi nyeri tekan superficial, nyeri tekan dalam, atau nyeri
lepas tekan. Nyeri lepas tekan biasanya menandakan adanya peritonitis yang
timbul akibat adanya darah atau isi usus. Pada truma tumpul abdomen perlu
juga disertai kecurigaan adanya fraktur pelvis. Untuk menilai stabilitas pelvis,
yaitu dengan cara menekankan tangan pada tulang-tualng iliaka untuk
membangkitkan gerakan abnormal atau nyeri tulang yang menandakan adanya
fraktur pelvis.
Walaupun melalui pemeriksaan fisik dapat dideteksi cedera
intraperitoneal, keakuratan pemeriksaan fisik pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen hanya berkisar antara 55–65%. Tidak adanya tanda dan gejala yang
ditemukan dalam pemeriksaan fisik tidak menyingkirkan adanya cedera yang
serius, sehingga diperlukan pemeriksaan yang lebih spesifik lagi untuk
menghindarkan missed injury.
Walaupun tidak ditemukan tanda dan gejala, adanya perubahan
sensoris atau cedera extraabdominal yang disertai nyeri pada pasien trauma
tumpul abdomen harus lebih mengarahkan kepada cedera intrabdominal. Lebih
dari 10% pasien dengan cedera kepala tertutup, disertai dengan cedera
intraabdominal, dan 7% pasien trauma tumpul dengan cedera extraabdominal
memiliki cedera intraabdominal, walaupun tanpa disertai rasa nyeri.
9
Pada pasien sadar tanpa cedera luar yang terlihat, gejala yang paling
terlihat dari trauma tumpul abdomen adalah nyeri dan peritoneal findings. Pada
90% kasus, pasien dengan cedera visceral datang dengan nyeri lokal atau nyeri
general. Tanda-tanda ini bukan merupakan tanda yang spesifik, karena dapat pula
ditemukan pada isolated thoracoabdominal wall constitution atau pada fraktur
costa bawah. Dan yang paling penting, tidak adanya nyeri pada pasien sadar dan
stabil lebih menandakan tidak adanya cedera. Meskipun demikian, cedera
intrabdominal bisa didapati pada pasien sadar dan tanpa nyeri.
Hipotensi pada trauma tumpul abdomen sering sebagai akibat dari
perdarahan organ padat abdomen atau cedera vasa abdominal. Walaupun sumber
perdarah extraabdominal (misalnya, laserasi kulit kepala, cedera dada, atau fraktur
tulang panjang) harus segera diatasi, tapi evaluasi cavitas peritoneal juga tidak
boleh diabaikan. Pasien dengan cedera kepala ringan tidak bisa menyebabkan
shock, kecuali pada pasien dengan cedera intracranial, atau pada bayi dengan
perdarahan intracranial atau cephalohematoma.
Pemeriksaan rectal jarang menunjukkan adanya darah atau
subcutaneous emphysema, tapi jika didapati, tanda tersebut berkaitan dengan
cedera abdomen. Evaluasi tonus rectal merupakan bagian yang sangat penting
untuk pasien dengan kecurigaan cedera spinal. Palpasi high-riding prostate
mengarahkan indikasi pada cedera uretra.
B. Studi Laboratorium
Blood typing
Pada pasien trauma harus dilakukan pengecekan golongan darah dan cross-
match, sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu diperlukan transfusi, terlebih
pada pasien dengan perdarahan yang mengancam jiwa.
Hematocrit
10
Hematocrit dapat berguna sebagai dasar penilaian pada pasien trauma
abdomen, terlabih untuk jika diukur secara berkala untuk melihat perdarah
yang terus berlangsung.
Hitung leukosit
Pada trauma tumpul abdomen akut, hitung leukosit tidak spesifik. Ephinefrin
yang dilepaskan tibuh pada saat trauma dapat menyebabkan demarginasi dan
dapat meningkatkan jumlah leukosit mencapai 12000-20000/mm3 dengan
pergeseran ke kiri yang moderat.
Enzim pankreas
Kadar amilase dan lipase dalam serum tidak terlalu memiliki arti penting
untuk menunjang diagnostik. Kadar amilase dan lipase yang normal dalam
serum tidak dapt menyingkirkan kecurigaan adanay trauma pankreas.
Peningkatan mungkin mengarah pada cedera pankreas, tapi juga mungkin dari
cedera abdomen non pankreas. Jika ada kecurigaan cedera pankreas, masih
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, misal CT scan.
Tes fungsi hati
Cedera hepar bisa meningkatkan kadar transaminase dalam serum, akan tetapi
peningkatan ini tidak akan terjadi pada konstitusi minor. Pasien denagn
komorbid seperti pada pasien dengan alcohol induced liver disease bisa
memiliki kadar transaminase yang abnormal
Analisis toksikologi
Skrening rutin penyalahgunaan obat dan alkohol belum dilakukan pada
penatalaksanaan trauma tumpul abdomen, terlebih pada pasien dengan status
mental normal.
Urinalisis
Gross hematuri mengarah pada adanya cedera ginjal serius dan membutuhkan
investigai yang lebih lanjut. Diperlukan juga pemeriksaan terhadap adanya
hematuri mikro yang dapat mengindikasikan cedra serius. Oleh karena itu,
penting dialakukan pemeriksaan mikroskopik atau urinalisis dipstick pada
11
semua pasien trayma tumpul abdomen. Adanya nyeri abdomen dan hematuri
memiliki tingkat sensitifitas 64% dan 94% spesifik untuk cedera
intraabdominal yang telah dibuktilkan melalui CT scan.
2.5. Studi Diagnostik Khusus
A. Radiologi
Foto radiologi dapat menyampaikan informasi penting untuk
penatalaksanaan pasien trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan radiologi
diindikasikan pada pasien stabil, jika dari pemeriksaan fisik dan lab tidak bisa
disimpulkan diagnosik.
Pasien yang tidak kooperatif, dapat mengganggu hasil tes radiologi dan
dapat beresiko mengalami cedera spinal. Penyebab dari pasien yang tidak
koopertatif ini harus dievaluasi, misalnya karena hipoksia atau cedera otak. Demi
kelancaran, pasien tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberi sedatif.
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP,
dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen
foto abdomen 3 posisi (telentang, setengah tegak dan lateral dekubitus) berguna
untuk melihat adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar
lumen di retroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk
dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan adanya
kemungkinan cedera retroperitoneal. Foto polos abdomen memiliki kegunaan
yang terbatas, dan sudah digantikan oleh CT-scan dan US
B. Computed Tomography ( CT-scan )
CT merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transport
penderita ke scanner, pemberian kontras oral maupun intravena, dan scanning dari
abdomen atas bawah dan juga panggul. Proses ini makan waktu dan hanya
digunakan pada penderita dengan hemodinamik normal. CT-scan mampu
12
memberikan informasi yang berhubungan dengan cedera organ tertentu dan
tingkat keparahannya, dan juga dapat mendiagnosis cedera retroperitoneum dan
organ panggul yang sukar diakses melalui pemeriksaan fisik maupun DPL.
Kotraindikasi relatif terhadap penggunaan CT meliputi penundaan karena
menunggu scanner, pendrita yang tidak kooperatif, dan alergi terhdap bahan
kontras.
Keuntungan CT-scan :
1. non invasive
2. mendeteksi cedera organ dan potensial untuk penatalaksanaan non operatif
cedera hepar dan lien
3. mendeteksi adanya perdarahan dan mengetahui dimana sumber perdarahan
4. retroperitoneum dan columna vetebra dapat dilihat
5. imaging tambahan dapat dilakukan jika diperlukan
Kelemahan CT-scan
1. kurang sensitif untuk cedera pankreas, diafragma, usus, dan mesenterium
2. diperlukan kontras intra vena
3. mahal
4. tidak bisa dilakukan pada pasien yang tidak stabil
13
Gambar 1. Blunt abdominal trauma with splenic injury and hemoperitoneum
Gambar 2. Blunt abdominal trauma with liver laceration
C. Ultrasound
Ultrasound digunakan untuk mendeteksi adanya darah intraperitonum
setelah terjadi trauma tumpul. US difokuskan pada daerah intraperitoneal dimana
sering didapati akumulasi darah, yaitu pada
1. kuadran kanan atas abdomen (Morison's space antara liver ginjal kanan)
2. kuadran kiri ats abdomen (perisplenic dan perirenal kiri)
3. Suprapubic region (area perivesical)
4. Subxyphoid region (pericardiumhepatorenal space)
Daerah anechoic karena adanya darah dapat terlihat paling jelas jika
dibandingkan dengan organ padat di sekitarnya. Banyak penelitian retrospektif
menyatakan manfaat US pada pasien dengan hemodinamik yang stabil atau tidak
stabil untuk mendeteksi adanya perdarahan intraperitoneal. Beberapa RCT
menunjukkan penggunaan FAST untuk diagnostik akan menghasil pasien dengan
hasil perawatan yang lebih baik.
Keuntungan US :
1. portabel
2. dapat dilaksanakan dengan cepat
3. tingkat sesitifitas sebesar 65-95% dalam mendeteksi paling sedikit 100 ml
cairan intraperitoneal.
14
4. spesifik untuk hemoperitoneum
5. tanpa radiasi atau kotras
6. mudah dilakuakn pemeriksaan serial jika diperlukan
7. tekniknya mudah dipelajari
8. non invasif
9. lebih murah dibandingkan CT-scan atau peritoneal lavage
Kelemahan US
1. cedera parenkim padat, retroperitoneum, atau diafragma tidak bisa dilihat
dengan baik
2. kualitas gambar akan dipengaruhi pada pasien yang tidak kooperatif,
obesitas, adanya gas usus, dan udara subkutan
3. darah tidak bisa dibedakan dari ascites
4. tidak sensitif untuk mendeteksi cedera usus.
Gambar 3. Morison pouch normal (tidak ada cairan bebas)
Gambar 4. Cairan bebas di Morison pouch.
Metode pemeriksaan ultrasound pada kasus trauma tumpul abdomen
adalah FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma ). Tujuan primer dari
FAST adalah mengidentifikasi adanyan hemoperitonium pada pasien dengan
kecurigaan cidera intra-abdomen. Indikasi FAST adalah pasien yang secara
hemodinamik unstable dengan kecurigaan cedera abdomen dan pasien-pasien
15
serupa yang juga mengalami cedera ekstra-abdominal signifikan (ortopedi, spinal,
thorax, dll.) yang memerlukan bedah non-abdomen emergensi.
FAST sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang hadir pada saat itu di
IGD/ ICU sebagai prosedur bedside sementara resusitasi dapat terus berlangsung.
FAST direkomendasikan menggunakan 3,5 atau 5 MHz ultrasound sector
transducer probe dan gray scale ‘B mode’ ultrasound scanning. Scan dimulai dari
sub-xiphoid region di sagittal plane. Probe kemudian digerakkan ke kanan untuk
memeriksa Morrison’s pouch (hepato-renal) (sagittal plane). Setelah itu, probe
digerakkan ke arah kiri untuk untuk menilai kavum spleno-renal (sagittal plane).
Pada keadaan ini, direkomendasikan agar bladder diisikan dengan 200-300 ml
dengan larutan normal steril melalui kateter urin yang kemudian diklem. Cara ini
akan memberikan excellent sonological window untuk memvisualisasi pelvis
(transverse plane). Pada pasien yang dicurigai mengalami cedera bladder, hindari
prosedur pengisian di atas. Gantikan dengan meletakkan kantong berisi saline di
atas hipogastrium, dengan demikian akan menimbulkan acoustic window untuk
pelvis. Waktu total yang dibutuhkan untuk seluruh prosedur ini sebaiknya antara
5-8 menit.
16
D. Diagnostic Peritoneal Lavage
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) memiliki peran besar pada
penatalaksanaan trauma tumpul abdomen. DPL paling berguna pada pasien yang
memiliki resiko tinggi cedera organ berongga, terutama jika dari CT-scan dan
USG hanya terdeteksi sedikit cairan, dan pada pasien dengan demam yang nyata,
peritonitis, atau keduanya. Keadaan ini berlangsung selama 6-12 jam setelah
cedera organ berongga.
Secara tradisional, DPL dialakukan melalui 2 tahap, tahap pertama
adalah aspirasi darah bebas intraperitoneal (diagnostic peritoneal tap,DPT). Jika
darah yang teraspirasi 10 ml atau lebih, hentikan prosedur karena hal ini
menandakan adanya cedera intraperitoneal. Jika dari DPT tidak didapatkan darah,
lakukan peritoneal lavage dengan normal saline dan kirim segera hasilnya ke lab
utuk dievaluasi.
Pasien yang memerlukan laparotomy segera merupakan satu-satunya
kontra indikasi untuk DPL atau DPT. Riwayat operasi abdomen, infeksi abdomen,
koagulopati, obesitas dan hamil trimester 2 atau 3 merupakn kontra indikasi
relatif.
Keuntungan DPL/DPT
1. triase pasien trauma multisistem dengan hemodinamik yang tidak stabil,
melalui pengeluaran perdarahan intapertoneal
2. dapat mendeteksi perdarahan minor pada pasien dengan hemodinamik
stabil.
Kelemahan dan komplikasi DPL / DPT
1. infeksi lokal atau sistemik ( pada kurang dari 0,3% kasus)
2. cedera intaperitoneal
3. positif palsu karena insersi jarum melalui dinding abdomen dengan
hematoma atau pada gangguan hemostasis
17
Interpertasi DPL
Pada trauma tumpul abdomen, aspirasi darah sebanyak 10 ml atau
lebih pada DPT menunjukkan kecurigaan lebih dari 90% terhadap adanya cedera
intaperitoneal. Jika hasil lavage pasien yang dikirim ke lab menunjukkan RBC
lebih dari 100.000/mm3 maka dapat dikatakan positif untuk cedera intraabdominal.
Jika hasil aspirasi positif dan adanya peningkatan RBC pada lavge menunjukkan
adanya cedera, terutama viscera padat dan struktur vaskular, namun hal ini tidak
cukup untuk mengindikasikan laparotomi.
Pada pasien dengan fraktur pelvis, harus diwaspadai adanya positif
palsu pada DPL. Walaupun demikian pada lebih dari 85% kasus, pasien fraktur
pelvis dengan aspirasi positif pada DPT mengindikasikan adanya cedera
intraperitoneal. Aspirasi negatif pada pasien fraktur pelvis dengan hemodinamik
yang tidak stabil menunjukkan adanya perdarahan retroperitoneal, jika demikian
perlu dilakukan angiography dengan embolisasi.
Peningkatan WBC baru terjadi setelah 3–6 jam setelah cedera,
sehingga tidak terlalu penting pada interpretasi DPL. Peningkatan amilase juga
tidak spesifik dan tidak sensitif untuk cedra pankreas.
2.5. Penatalaksanaan lanjutan
Pasien trauma tumpul abdomen harus dievalusi lanjut apakah
diperlukan perawatan operatif atau tidak. Setelah melakukan resusitasi dan
penatalaksanaan awal berdasarkan protokol ATLS, harus dipertimbangkan
indikasi untuk laparotomi melalui pemeriksaan fisik, ultrasound (US), computed
tomography (CT), dan DPT/DPL
18
Algoritma Prosedur Pemeriksaan pada Trauma Tumpul Abdomen
A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, penatalaksanaan
bergantung pada ada tidaknya perdarahan intraperitoneal. Pemeriksaan difokuskan
pada US abdomen atau DPT untuk membuat keputusan.
Walaupun ada banyak penelitian retrospektif dan beberapa penelitian
prespektif mendukung penggunaan US sebagai alat untuk skrening trauma,
beberapa ahli masih mempertanyakan US pada penatalaksanaan trauma. Mereka
menekankan pada tingkat sensitifitas dan adanya kemungkinan hasil negatif pada
penggunaan US untuk mendeteksi cedera intraperitoneal. Walaupun demikian
kebanyakan trauma center memakai Focused Assesment with Sonography for
Trauma (FAST) untuk mengevaluasi pasien yang tidak stabil. FAST dilakukan
secepatnya setelah primary survey, atau ketika kliknisi bekerja secara paralel,
biasanya dilakukana bersamaan dengan primary survey, sebagai bagian dari C
(Circulation) pada ABC.
19
Jika tersedia US, sangat disarankan penggunaan FAST pada semua
pasien dengan trauma tumpul abdomen. Jika hasil FAST jelek, misalnya kualitas
gambar yang tidak bagus, maka selanjutnya perlu dilakukan DPT. Jika US dan
DPT menunjukkan adanya hemoperitoneum, maka diperlukan laparotomi
emergensi. Hemoperitoneum pada pasien yang tidak stabil secara klinis, tanpa
cedera lain yang terlihat, juga mengindikasikan untuk dilakukan laparotomi. Jika
melalui US dan DPT tidak didapati adanya hemoperitoneum, harus dilakukan
investigasi lebih lanjut terhadap lokasi perdarahan. Pada penatalaksanaan pasien
tidak stabil dengan fraktur pelvis mayor, harus diingat bahwa US tidak bisa
membedakan hemoperitoneum dan uroperitoneum
X-ray dada harus dilakukan sebagai bagian dari initial evalutiaon
karena dapat menunjukkan adanay perdarah pada cavum thorax. Radiography
antero-posterior pelvis bisa menunjukkanadanya fraktur pelvis yang
membutuhkan stabilisasi segera dan kemungkinan dilakukan angiography untuk
mengkontrol perdarahan.
B. Pasien dengan hemodinamik yang stabil
Penilaian klinis pada pasien trauma tumpul abdomen dengan kondisi
sadar dan bebas dari intoksikasi, pemeriksaan abdomen saja biasanya akurat tapi
tetap tidak sempurna. Satu penelitian prospective observational terhadap pasien
dengan hemodinamik stabil, tanpa trauma external dan dengan pemeriksaan
abdomen yang normal, ternyata setelah dibuktikan melalui CT-scan ditemukan
sebanyak 7,1% kasus abnormalitas.
US dan CT sering digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma
tumpul abdomen yang stabil. Jika pada US awal tidak terdetekdi adanya
perdarahan intraperitoneal, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik, US, dan CT
secara serial. Pemeriksaan fisik serial dilakukan jika hasil pemeriksaan dapat
dipercaya, misal pada pasien dengan sensoris normal, dan cedera yang
20
mengganggu. Penelitian prospective observational terhadap 547 pasien
menunjukkan US kedua (FAST) yang dilakukan selama 24 jam dari trauma,
meningkatkan sensitifitas terhadap cedra intraabdominal,
Jika US awal mendeteksi adanya darah di intraperitoneal, maka
kemudian dilakukan CT scan untuk memperoleh gambaran cedera intraabdominal
dan menaksir jumlah hemoperitoneum. Keputusan apakah diperlukan laparotomy
segera atau hanya terapi non operatif tergantung pada cedera yang terdetaksi dan
status klinis pasien. CT abdominal harus dilakukan pada semua pasien dengan
hemodinamik stabil, tapi tidak untuk pasien dengan perubahan sensoris dan status
mental karena cedera kepala tertutup, intoksikasi obat dan alkohol, atau cedera
lain yang mengganggu.
2.6. Indikasi Klinis Laparotomi
Laparotomi segera diperlukan setelah terjadinya trauma jika terdapat
indikasi klinis sebagai berikut :
1. kehilangan darah dan hipotensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan
pada pasien yang tidak bisa stabil setelah resusitasi, dan jika ada
kecurigaan kuat adanya cedera intrabdominal
2. adanya tanda - tanda iritasi peritoneum
3. bukti radiologi adanya pneumoperitoneum konsisten
4. dengan ruptur viscera
5. bukti adanya ruptur diafragma
6. jika melalui nasogastic drainage atau muntahan didapati adanya GI
bleeding yang persisten dan bermakna.
21
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Data Pasien
Nama : Sdr. Abdullah
Usia : 18 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Kertosari, 11/02 Pakusari
Status perkawinan : Belum menikah
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMP
Suku : Madura
Agama : Islam
Tanggal MRS : 24/11/2012
3.1 Anamnesis
Keluhan utama :
nyeri perut kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasie pengendara sepeda motor terjatuh ditikungan. Helm (+), pingsan (-),
darah dari telinga (-), darah dari hidung (-), mual muntah (+). Pasie
terjatuh dan perut terbentur setir motor.
Riwayat Penyakit Dahulu :
o Riwayat Penyakit Jantung (-)
o Riwayat Penyakit Ginjal (-)
o Riwayat Penyakit Diabetes (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
o Riwayat Penyakit jantung (-)
22
o Riwayat Penyakit DM (-)
o Riwayat alergi obat-obatan (-)
3.2 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Lemah, CM
GCS: 4 5 6
Vital Sign:
TD : 130/90 mmHg
Nadi : 104 x/menit, reguler, isi nadi cukup, kualitas cukup
RR : 24 x/menit
T : 36,5 derajat menggunakan suhu aksila
Kepala:
Inspeksi: Conjunctiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, pupil isokor +/+, reflek
cahaya +/+
Palpasi: hematom -, krepitasi -
Leher
Inspeksi : normocolli
Palpasi : limfonodi tidak teraba membesar, tidak ada deviasi
trachea, JVP tidak meningkat
Thorax
- Pulmo:
Inspeksi : bentuk dada normal, simetris (+/+), retraksi (-/-),
ketinggalan gerak (-/-).
Palpasi : Vokal fremitus sinistra dan dextra sama
Perkusi : sonor (+) pada pulmo dextra dan sinistra
Auskultasi: suara dasar : vesikuler pada kedua lapang paru
ronkhi halus (-/-), wheezing (-/-)
- Cor:
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
perkusi: Kanan atas : ICS II Sinistra
Kiri atas : ICS II Dextra
23
Kanan bawah : ICS IV Dextra
Kiri bawah : ICS V medial Sinistra
palpasi: Ictus cordis tidak teraba
auskultasi: S1- S2 reguler, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : flat, benjolan regio illiaka sinistra 11x8 cm, jejas (+),
sikatrik (-)
Auskultasi : Bising Usus (+), normal
Palpasi : defens muscular, nyeri tekan R. illiaka sinistra (+), hepar
dan lien tidak teraba, teraba panas di R. Illiaka Sinistra.
Perkusi : timpani, pekak hepar (+)
Extremitas
oedem (-/-), ekstrimitas hangat (+/+), nadi kuat.
Gerakan B / B
B / B
Kekuatan otot 5 / 5
5 / 5
Status Lokalis
24
25
3.3 Pemeriksaan Penunjang
DARAH LENGKAP HasilNilai Normal(Laki-laki)
Hemoglobin 14 g/dl 13,5-18
Hematokrit 45,1% 40-54
Leukosit 14.700 sel/cmm 4.000-11.000
Trombosit 360.000 sel/cmm 150.000-450.000
PPT 11,2
Kontrol 11,2 Beda dengan kontrol <2 detik
APTT 25,1
Kontrol 28,9 Beda dg kontrol <7 detik
SGOT 20 10 – 35 U/L
SGPT 18 9 – 43 U/L
Albumin 4,6 3,4 – 4,8 gr/dL
Natrium 133,5 135 – 155 mmol/L
Kalium 3,07 3,5 – 5,0 mmol/L
Chlorida 101,8 90 – 110 mmol/L
Calsium 2,15 2,15– 2,57 mmol/L
Magnesium 0,77 0,73 –1,06 mmol/L
Fosfor 1,17 0,85-1,60 mmol/L
BOF dan LLD
26
Kesan:
Tampak adanya gambaran dilatasi usus dan udara bebas
27
3.4 Diagnosis
Hematoma intra abdomen ec. Trauma tumpul abdomen
3.5 Tata Laksana
O2 3-4 liter/menit
Inf. RL 20 tpm
Inj. Ranitidine 3x1 mg
Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. Antrain 3x1
Tranexid 3x500 mg
Cek lab DL cito
BOF, LLD
Observasi KU
3.6 Follow Up
Minggu 25/11/12
S Nyeri seluruh lapang perut
O Ku: Lemah Kes: CM
- TD: 110/80 mmHg
- N: 100x/menit
- RR: 20 x/menit
- T: 37,2
Tho: C/P: s1s2 tunggal/ves +/+, Rh-/-, Wh -/-
Abd: flat, Bu (+), pekak hepar (-), defens muscular, nyeri tekan
Status lokalis
28
Benjolan di Regio Illiaca S 3 jari dibawah umbilicus, defans muscular
(+), nyeri tekan (+) seluru lapang perut (nyeri skala 5).
A Peritonitis ec. Lesi vaskuler + Hematoma R. Illiaca Sinistra
P Inf. RL 20 tpm
Inj. Ranitidine 3x1 mg
Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. Antrain 3x1
MSS 6x100 cc
NGT Klem, sementara puasa
Pro CT-scan abdomen
Hasil Lab 25/11/2012
Darah Lengkap HasilNilai Normal(Laki-laki)
Hemoglobin 14,7 g/dl 13,5-18
Leukosit 9.800 sel/cmm 4.000-11.000
Hasil USG:
Keterangan: evaluasi hematoma regio inguinal sinistra
Observasi oleh perawat 26/11/2012
00.05 Gelisah (++), nyeri perut
TD: 100/60
N: 88 x/menit
RR: 28 x/menit
Terapi: ketorolac 1x1a, ranitidine 1x1a
00.15 Pasien makin gelisah, NGT dilepas
29
03.00 Pasien sesak
Td: 80/50 mmhg
N: 100 x/menit
RR: 30 x/menit
Lapor PPDS bedah:
- Oksigen 8 lpm
- Ekstra ketorolac 1a
03.30 Pasien apneu
TD: 50/palpasi
Dilakukan RJP 5 siklus
Pasien meninggal didepan keluarga dan perawat
Laporan kematian:
Meninggal pukul 03,30
Suspek fat emboli karena Lesi vaskular
30
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
o Pada pasien dengan cedera intraabdominal perlu dilakukan konsultasi
segera dengan ahli bedah. Bila fungsi vital pasien bisa diperbaiki, maka
evaluasi dan penanganan akan bervariasi sesuai dengan cederanya.
o Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus
segera dinilai kemungkinan perdarahan intraabdominal maupun
kontaminasi GI tract dengan melakukan DPL, ataupun FAST. Pasien
peritonitis dengan hemodinamik normal bisa dinilai dengan CT scan,
dengan keputusan operasi didasarkan pada organ yang terkena dan
beratnya trauma.
o Indikasi untuk laparotomi ditegakkan melalui pemeriksaan fisik,
ultrasound (US), computed tomography (CT), dan DPT/DPL
31
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support.
Terjemahan IKABI (Ikatan Ahli Bedah Indonesia). First Impression :USA
Jong, Wim de. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 . EGC : Jakarta
Marijata. 2006. Pengantar Dasar Bedah Klinis. Unit Pelayanan Kampus
fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada : Yogyakarta
Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah Bagian 1. EGC : Jakarta
Sandy Craig, MD. 2006. Abdominal Blunt Trauma. E-Medicin
32