Slide Jurnal-reading Anestesi (resusitasi jantung dan koagulasi)
Laporan Jurnal Anestesi Surya
description
Transcript of Laporan Jurnal Anestesi Surya
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf
pusat (SSP). Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari yang ringan yaitu
menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya
kesadaran, keadaan anestesi, koma, dan mati.
Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan
respons terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat hipnotik
menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang
menyerupai tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
Efek sedasi juga merupakan efek samping beberapa golongan obat lain
yang tidak termasuk obat golongan depresan SSP. Walaupun obat tersebut
merupakan penekanan SSP, secara tersendiri obat tersebut memperlihatkan efek
yang lebih spesifik pada dosis yang jauh lebih kecil daripada dosis yang
dibutuhkan untuk mendepresi SSP secara umum.
Beberapa obat dalam golongan hipnotik dan sedative, khususnya golongan
benzodiazepine diindikasikan juga sebagai pelemas otot, antiepilepsi, antiansietas
(anticemas), dan sebagai penginduksi anestesi.
Benzodiazepine merupakan suatu jenis obat yang memiliki lima efek
farmakologis utama yakni: anxiolitik, sedasi, antikonvulsan, merelaksasi otot
rangka melalui mediasi sumsum tulang belakang (spinal cord), dan dapat
menyebabkan amnesia anterogade (menerima atau mengkode informasi baru).
Potensi amnestik benzodiazepione lebih besar bila dibandingkan dengan efek
sedatifnya sehingga pasien lebih sering mengalami durasi efek amnestik yang
lebih lama jika dibandingkan dengan efek sedasi. Informasi yang telah tersimpan
(amnesia retrogade) tidak terpengaruh oleh benzodiazepine.
Benzodiazepine tidak dapat memberikan cukup efek relaksasi otot rangka
dalam suatu prosedur pembedahan, selain itu obat ini juga tidak mempengaruhi
2
dosis obat-obatan pemblokade neuromuskuler. Karena semua khasiat tersebut,
terutama dalam mengatasi kecemasan dan insomnia, maka benzodiazepine telah
digunakan secara meluas di seluruh dunia. Sebagai contoh, diperkirakan sekitar
4% populasi telah menggunakan “obat tidur” selama satu tahun, dan 0,4% dari
populasi menggunakan obat-obatan hipnotik selama lebih dari satu tahun.
Meskipun benzodiazepine efektif dalam mengatasi insomnia akut, penggunaannya
dalam mengatasi insomnia kronik justru tidak terlalu efektif. Jika dibandingkan
dengan barbiturat, benzodiazepine memiliki kecenderungan menghasilkan
toleransi, lebih sulit disalahgunakan, memiliki batasan keamanan yang lebih
besar, dan tidak terlalu banyak menghasilkan interaksi obat-obatan yang efeknya
serius. Tidak seperti barbiturat, benzodiazepine tidak menginduksi produksi enzim
hati mikrosomal. Benzodiazepine memiliki efek adiksi yang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan opioid, kokain, amfetamin, atau barbiturat.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Benzodizepin merupakan salah satu obat yang bekerja di sistem saraf
pusat, bersifat hipnotik dan sedatif.
Benzodiazepine telah menggantikan barbiturat sebagai medikasi
preoperatif dan penginduksi sedasi selama proses pemantauan perawatan
anestesia. Dalam hal ini, midazolam telah menggantikan diazepam sebagai
golongan benzodiazepine yang paling sering diberikan dalam periode perioperatif
sebagai medikasi preoperatif dan sedasi interavena (IV). Selain itu, karena waktu
paruh diazepam dan lorazepam terlalu panjang, sehingga hanya midazolam yang
dapat diberikan pada prosedur operasi yang membutuhkan waktu lama dan harus
segera dipulihkan dari keadaan anestesia. Namun karena waktu paruhnya yang
sangat panjang, maka lorazepam merupakan pilihan yang cukup menarik dalam
memfasilitasi sedasi pasien yang dirawat di unit perawatan kritis. Tidak seperti
obat-obatan intravena lain yang diberikan guna menghasilkan efek sistem saraf
pusat (SSP), benzodiazepine, sebagai suatu kelas/golongan obat, memiliki efek
farmakologis antagonis yang spesifik terhadap flumazenil.
2.2 HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR DAN AKTIVITAS
Secara struktur, obat-obatan golongan benzodiazepine memiliki bentuk
dan metabolit yang serupa. Istilah benzodiazepine berasal dari struktur kimia yang
tersusun atas sebuah cincin benzene yang bersatu degan tujuh buah cincin
diazepine. Karena semua benzodiazepine mengandung sebuah subtituen 5-aryl
dan sebuah cincin 1,4-diazepine, maka istilah yang tepat untuk menjelaskan
strukturnya adalah 5-aryl-1,4-benzodiazepine.
4
2.3 MEKANISME AKSI
Benzodiazepine dapat menimbulkan efek farmakologis dengan cara
memfasilitasi aksi gamma-aminobutyric acid (GABA), suatu neurotransmiter
inhibitor utama di SSP. Benzodiazepine tidak mengaktivasi reseptor
GABAA namun memperkuat afinitas reseptor untuk GABA. Akibat adanya
peningkatan afinitas reseptor GABA untuk neurotransmiter inhibisi yang
terinduksi oleh benzodiazepine, maka terjadi peningkatan jumlah gerbang saluran
klorida yang terbuka sehingga meningkatkan konduktansi klorida, menghasilkan
hiperpolarisasi membran sel postsynaptic, dan mengubah neuron postsynaptic
sehingga menjadi lebih resisten terhadap eksitasi. Resistensi terhadap eksitasi
dianggap sebagai mekanisme yang berperan pada benzodiazepine dalam
menimbulkan efek anxiolitik, sedasi, amnesia anterograde, potensiasi alkohol,
antikonvulsan dan relaksan otot rangka.
Kemungkinan besar efek sedatif benzodiazepine merefleksikan aktivasi
reseptor GABAAsubunit α-1, sedangkan aktivitas anxiolitik terjadi karena aktivasi
reseptor α-2. Reseptor GABAAyang mengandung α-1 merupakan subtipe reseptor
yang paling banyak ditemukan pada otak (terutama di korteks serebral, korteks
serebelar, thalamus), jumlahnya mencapai sekitar 60% dari semua jenis reseptor
GABAA yang ada di otak. Jumlah reseptor GABAA subunit α-2 tidak sebanyak
subunit α-1, dan reseptor ini lebih sering ditemukan pada hippocampus dan
amygdala. Distribusi anatomis dari reseptor ini konsisten efek minimal obat
tersebut di luar SSP (efek sirkulasinya sangat minimal). Di masa depan, kita
mungkin bisa mendesain suatu jenis benzodiazepine yang selektif bekerja pada
5
reseptor subunit α-2 sehingga obat tersebut hanya dapat menghasilkan efek
anxiolitik tanpa menimbulkan sedasi. Signifikansi fisiologis dari substansi
endogen yang bekerja pada reseptor GABAA hingga saat ini masih belum
diketahui secara pasti.
Reseptor GABAA merupakan suatu makromolekul besar yang secara fisik
terdiri atas banyak lokasi pengikatan molekul (terutama pada subunit α, β,
gamma) seperti GABA, benzodiazepine, barbiturate, etonamide, propofol,
neurosteroid, dan alkohol. Benzodiazepine, barbiturate, etonamide, propofol,
neurosteroid, dan alkohol dapat saling berinteraksi dan memberikan efek
sinergistik yang dapat meningkatkan kemampuan inhibisi pada SSP yang
dimediasi oleh reseptor GABAA. sifat ini dapat menjelaskan sinergi farmakologis
dari masing-masing substansi tadi, serta resiko terjadinya overdosis jika masing-
masing obat-obatan tadi digunakan secara kombinasi, dan hal ini dapat
menyebabkan depresi SSP yang mengancam jiwa. Sinergi tersebut merupakan
dasar farmakologi terjadinya toleransi silang/cross-tolerance antara berbagai
golongan obat yang berbeda dan hal ini konsisten dengan dengan penggunaan
klinis benzodazepine sebagai obat pilihan pertama untuk mengatasi detoksikasi
alkohol. Sebaliknya, benzodiazepine memiliki built in ceiling effect (efek batas
dosis tertinggi) yang dapat mencegah inhibisi GABA secara berlebihan ketika
telah mencapai efek maksimum. Rendahnya toksisitas dari benzodiazepine dan
keamanan klinisna disebabkan oleh adanya batasan efek terhadap neurotransmisi
GABAergic/GABAergik.
6
Perbedaan onset dan durasi aksi di antara semua jenis benzodiazepine
merefleksikan perbedaan potensi (afinitas ikatan), kelarutan lemak, dan
farmakokinetika (uptake, distribusi, metabolisme, dan eliminasi). Semua
benzodiazepine sangat larut dalam lemak dan sangat kuat terikat pada protein
plasma, terutama pada albumin. Hipoalbuminemia yang disebabkan oleh sirosis
hepatis atau gagal ginjal kronik dapat meningkatkan jumlah fraksi benzodiazepine
yang tidak berikatan (unbound fraction), sehingga dapat memperkuat efek klinis
obat ini. Apabila dilakukan pemberian secara oral, maka benzodiazepine dapat
diserap dengan baik oleh traktus gastrointestinal. Sedangkan pemberian secara
injeksi intravena dapat membuat obat ini mudah memasuki SSP dan organ-organ
lain yang perfusinya baik.
Sistem Transporter Nucleoside
Benzodiazepine dapat menurunkan proses degradasi adenosine dengan
cara menghambat transporter nucleoside. Transporter nucleoside merupakan
molekul yang berperan dalam mekanisme penghancuran adenosine melalui
reuptake ke dalam sel. Adenosine merupakan regulator yang penting dalam fungsi
jantung (menurunkan kebutuhan oksigen jantung dengan cara menurunkan denyut
jantung dan meningkatka hantaran oksigen dengan cara vasodilatasi koroner) dan
efek fisiologisnya bersifat kardiproteksi selama proses iskemia miokardial.
Elektroensefalogram/Electroencephalogram
Efek benzodiazepine pada elektroensefalogram (EEG) menyerupai efek
barbiturate, yakni menurunkan aktivitas α serta meningkatkan aktivitas β yang
voltasenya rendah dan cepat. Pada benzodiazepine, pergeseran dari aktivitas α ke
β lebih sering terjadi pada area frontal dan rolandic, sedangkan penyebaran di
daerah posterior tidak terjadi, dan hal ini berbeda dengan barbiturate. Namun,
secara umum efek benzodiazepine menyerupai barbiturate, karena tidak ada
gambaran toleransi ketika dipantau dengan EEG. Berbeda dengan barbiturate dan
propofol, midazolam tidak dapat menghasilkan isoelektrik EEG.
7
2.4 EFEK SAMPING
Kelelahan dan pusing merupakan efek samping yang sering ditemukan
pada pasien yang mendapat benzodiazepine dalam waktu lama. Sedasi yang dapat
mengganggu aktivitas biasanya dapat menghilang dalam waktu dua minggu.
Pasien harus diinstruksikan agar menggunakan benzodiazepine sebelum makan
dan tidak boleh digunakan bersama antasida karena makanan dan antasida dapat
menurunkan absorpsi benzodiazepine dari traktus gastrointenstinal. Pemberian
benzodiazepine secara kronik tidak mempengaruhi tekanan darah sistemik, denyut
jantung, atau ritme jantung. Meskipun efek ventilasi bisa tidak ditemukan, namun
sebaiknya penggunaan obat ini tidak dilakukan pada pasien yang mengalami
penyakit paru-paru kronik dengan manifestasi gejala berupa hipoventilasi dan/atau
penurunan oksigenasi arterial. Penurunan koordinasi motorik dan gangguan fungsi
kognitif dapat terjadi, terutama ketika benzodiazepine digunakan bersama
penggunaan obat depresan SSP lainnya. Pemberian benzodiazepine secara akut
dapat menyebabkan amnesia anterograde, terutama bila digunakan bersama
alkohol. Sebagai contoh, telah ada laporan yang menunjukkan terjadinya amnesia
berat pada para pelancong yang mengonsumsi triazolam bersama alkohol agar
bisa tidur ketika sedang melakukan perjalanan di atas pesawat yang melewati
beberapa zona waktu yang berbeda.
2.5 Interaksi Obat
Benzodiazepine dapat memperkuat efek sinergistik sedatif ketika
digunakan bersama depresan SSP lainnya seperti alkohol, anestetik inhalan atau
injeksi, opioid, dan agonis α-2. Dosis anestetik inhalan dan injeksi dapat
diturunkan apabila kita menggunakan benzodiazepine. Meskipun benzodiazepine,
terutama midazolam, dapat mem-potensiasi efek depresan ventilasi opioid, aksi
analgesik opioid justru dapat diturunkan oleh benzodiazepine. Sehingga efek
antagonisme benzodiazepine terhadap fulamzenil dapat meningkatkan efek
analgesik opioid.
8
Aksis Hipothalamus-Hipofisis-Adrenal
Benzodiazepine dapat menginduksi supresi aksis hipotalamus-hipofisis-
adrenal yang ditandai oleh penurunan kortisol dalam darah pasien yang
mengonsumsinya. Pada hewan, alprazolam dapat menyebabkan inhibisi hormon
adrenokortikotropik dan sekresi kortisol. Efek supresi ini lebih besar jika
dibandingkan dengan jenis benzodiazepine lainnya, sehingga alprazolam memiliki
khasiat yang unik dalam mengatasi depresi mayor.
Ketergantungan
Meskipun diberikan dalam dosis terapeutik, benzodiazepine dapat
menyebabkan ketergantungan yang ditandai oleh timbulnya gejala fisik atau
fisiologis begitu dosis diturunkan atau dihentikan. Gejala ketergantungan dapat
terjadi setelah penggunaan benzodiazepine potensi rendah dalam jangka waktu >6
bulan. Gejala-gejala penarikan/putus obat/withdrawal (iritabilitas, insomnia,
gemetar) dapat terjadi begitu obat dihentikan. Gejala penarikan dapat timbul
sekitar 1-2 hari pada penggunaan benzodiazepine kerja cepat, sedangkan pada
benzodiazepine kerja lambat, gejala itu timbul dalam 2 – 5 hari.
Usia
Penuaan dan penyakit hati lebih mempengaruhi glucoronidation jika
dibandingkan dengan jaras metabolik oksidatif. Sedangkan lorazepam, oxazepam,
dan temazepam hanya dimetabolisme dengan cara glukoronidasi dan tidak
memiliki metabolt aktif. Karena alasan ini, benzodiazepine jenis itu (lorazepam
dll) lebih sering digunakan pada orang tua jika dibandingkan dengan
benzodiazepine jenis lain seperti diazepam, yang apabila dimetabolisme oleh
enzim mikrosomal hati, bisa menghasilkan metabolit aktif. Orang tua juga lebih
sensitif terhadap benzodiazepine, hal ini merefleksikan bahwa peningkatan respon
obat terhadap usia dipengaruhi oleh farmakodinamika dan farmakokinetika.
Reaksi oksidasi benzodiazepine dapat dipengaruhi oleh pemberian obat lain
selama periode perioperatif.
9
Penggunaan benzodiazepine dalam waktu yang lama dapat mengakselerasi
proses penurunan fungsi kognitif pada orang tua. Gejala penarikan/putus obat
benzodiazepine yang dapat timbul pada orang tua antara lain adalah kebingunan.
Kebingungan pasca-operasi lebih sering ditemukan pada orang tua yang
menggunakan benzodiazepine secara kronik (penggunaan harian selama > 1
tahun) jika dibandingkan dengan pasien yang menggunakan benzodiazepine
jangka pendek atau tidak pernah menggunakannya sama sekali.
Agregasi Platelet
Benzodiazepine dapat menghambat faktor-faktor yang menginduksi
agregasi platelet. Hambatan agregasi platelet yang terinduksi oleh midazolam,
merefleksikan adanya perubahan konformasi pada membran platelet ketika
berinteraksi dengan benzodiazepine
2.6 Jenis – Jenis Benzodiazepin
1. MIDAZOLAM
Midazolam merupakan suatu benzodiazepine yang larut dalam air. Obat
ini memiliki cincin midazole pada strukturnya, dan hal tersebut berkontribusi
dalam menghasilkan stabilitas obat dalam cairan akua serta menyebabkn
metabolisme yang cepat. Benzodiazepine ini telah menggantikan penggunaan
diazepam sebagai medikasi pre-operatif dan sedasi. Jika dibandingkan dengan
diazepam, midazolam memiliki potensi sekitar dua hingga tiga kali lebih besar.
Midazolam memiliki afinitas ikatan dengan reseptor benzodiazepine sekitar dua
kali lebih besar dari diazepam. Jika dibandingkan dengan benzodiazepine lainnya,
midazolam memiliki efek amnesiak yang jauh lebih besar dari efek sedasinya .
sehingga pasien bisa saja siuman ketika diberikan midazolam, namun tetap
amnestik terhadap kejadian dan percakapan selama beberapa jam.
Sediaan Komersial
Nilai pK midazolam adalah sekitar 6.15, dengan nilai sebesar itu,
midazolam memiliki sediaan dalam bentuk garam yang dapat larut dalam air.
10
Larutan parenteral midazolam yang digunakan secara klinis harus berada dalam
larutan buffer dengan pH bersifat asam, sekitar 3,5. Hal ini sangat penting karena
midazolam memiliki ciri khas berupa fenomena pembukaan cincin yang sangat
bergantung pada kadar pH. Pada pH <4, cincin midazolam tetap terbuka sehingga
dapat tetap larut dalam air. Jika pH larutan >4, terutama ketika telah memasuki
pH fisiologis tubuh, maka otomatis cincin midazolam dapat tertutup dan menjadi
bersifat sangat larut pada lemak.
Karena adanya sifat larut dalam air, sehingga kita harus memperhatikan
jenis pelarut yang dapat digunakan untuk membuat sediaan midazolam. Sebaiknya
kita tidak membuat sediaan yang dapat mengiritasi vena atau mengganggu
absorpsi obat. Midazolam sangat cocok bila dicampurkan dengan larutan Ringer
dan dapat dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang bersifat asam, seperti
opioid dan antikolinergik.
Farmakokinetika
Midazolam dapat diabsorpsi oleh traktus gastrointestinal dengan sangat
cepat serta mudah melewati sawar darah otak. Meskipun mudah memasuki otak,
midazolam dianggap memiliki efek equilibration yang lambat (sekitar 0.9 sampai
5.6 menit) jika dibandingkan dengan obat-obatan lain seperti propofol dan
thiopental. Dengan pertimbangan ini, maka dosis intravena midazolam yang akan
diberikan, harus disesuaikan terlebih dahulu agar dapat mencapai efek klinis
puncak, sebelum dilakukan pemberian dosis berikutnya. Hanya sekitar 50%
konsentrasi midazolam yang dapat mencapai sirkulasi sistemik ketika diberikan
secara oral, hal ini menunjukkan adanya efek first-pass hepatic. Seperti
kebanyakan benzodiazepine, midazolam memiliki ikatan yang sangat kuat
terhadap protein plasma; ikatan ini tidak bergantung pada konsentrasi midazolam
dalam plasma. Durasi aksi yang singat dari midazlam meskipun diberikan dalam
dosis tunggal dapat terjadi karena obat ini memiliki kelarutan yang sangat tinggi
dalam lemak, sehingga sangat mudah diredistribusi dari otak ke jaringan yang
inaktif sekaligus dihantarkan lagi ke hati untuk segera dibuang. Karena memiliki
waktu paruh yang lebih pendek dari diazepam dan lorazepam, maka midazolam
menjadi obat pilihan pertama dalam infus kontinyu (berkelanjutan).
11
Waktu eliminasi midazolam adalah sekitar 1 hingga 4 jam, lebih pendek
dari diazepam. Waktu paruh eliminasi ini dapat memanjang hingga dua kali lipat
pada orang tua, hal ini terjadi karena adanya penurunan aliran darah hati dan
aktivitas enzim. Volume distribusi (Vd) midazolam dan diazepam memiliki nilai
yang sama, hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kelarutan dalam lemak dan
kekuatan ikatan protein kedua obat tersebut hampir sama besarnya. Orang tua dan
pasien obesitas memiliki Vd yang lebih besar karena adanya peningkatan
distribusi obat ke jaringan lemak perifer. Proses pembersihan midazolam lebih
cepat dari diazepam, hal ini sesuai dengan waktu paruhnya. Karena itu,
midazolam memiliki efek SSP yang jauh lebih singkat jika dibandingkan dengan
diazepam. Oleh karena itu, tes fungsi mental pasien dapat segera normal hanya
dalam jangka waktu sekitar 4 jam setelah pemberian midazolam.
Prosedur cardiopulmonary bypass dapat menurunkan konsentrasi plasma
midazolam. Perubahan ini berhubungan dengan adanya redistribusi cairan ke
dalam jaringan tubuh. Sehingga ketika telah memasuki jaringan tubuh yang
mengandung banyak protein, maka midazolam jadi lebih sulit melepaskan diri.
Oleh karena itu, waktu paruh midazolam menjadi jauh lebih panjang ketika
dilakukan prosedur cardioplumonary bypass.
Metabolisme
Midazolam dimetabolisme secara cepat oleh enzim cytochrome P-450
(CYP3A4) hati dan usus halus menjadi metabolit aktif dan inaktif. Metabolit
utama dari midazolam adalah 1-hydroxymidazolam. Konsentrasi metabolit ini
mencapai sekitar separuh dari semua metabolit yang dihasilkan dari metabolisme
midazolam. Metabolit aktif tersebut dikonjugasikan secara cepat menjadi 1-
hydroxymidazolam glucoronide dan kemudian dibuang melalui ginjal. Metabolit
glucoronide ini memiliki aktivitas farmakologis yang substansial apabila
konsentrasinya tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien-pasien gagal ginjal
yang mendapat terapi midazolam intravena dalam waktu yang lama. Pada pasien-
pasien seperti itu, metabolit glucoronide memiliki efek sedatif yang sinergistik
dengan senyawa utama midazolam. Metabolit midazolam lainnya yang aktif
12
secara farmakologis seperti 4-hydroxymidazolam, tidak terlalu banyak ditemukan
pada pemberian midazolam secara intravena.
Metabolisme midazolam dapat mengalami perlambatan bila diberikan
bersama obat-obatan yang dapat menghambat enzim cytochrome P-450
(cimetidine, erythromycin, calcium channel blocker, obat-obatan anti-jamur)
sehingga kita tidak bisa memperkirakan efek depresi SSP dari midazolam. Enzim
cytochrome P-450 3A juga mempengaruhi metabolisme fentanyl. Dengan
pertimbangan ini, proses pembersihan midazolam oleh hati dapat dihambat oleh
fentanyl yang diberikan selama proses anestesia umum.
Secara umum, laju bersihan hati dari midazolam adalah sekitar lima kali
lebih besar jika dibandingkan dengan lorazepam dan sepuluh kali lebih besar jika
dibandingkan dengan diazepam.
Bersihan Ginjal
Waktu paruh eliminasi, Vd, dan bersihan midazolam tidak dipengaruhi
oleh gagal ginjal. Hal ini konsisten dengan metabolisme midazolam yang terjadi
di hati.
Efek pada Sistem Organ
Sistem saraf pusat
Seperti benzodiazepine lainnya, midazolam dapat menurunkan kebutuhan
oksigen metabolisme serebral (CMRO2) dan aliran darah serebral yang analog
terhadap barbiturat dan propofol. Namun berbeda dengan semua obat-obatan
tersebut, midazolam tidak dapat menghasilkan isoelektik pada EEG, sehingga
memperkuat ceiling effect obat ini yang dapat menurunkan CMRO2 apabila dosis
midazolam ditingkatkan. Modazolam dapat menyebabkan perubahan dalam aliran
darah serebral regional terutama pada area – area yang berkaitan dengan fungsi
kesadaran, perhatian, dan memori. Respon vasomotor serebral terhadap karbon
dioksida bisa tetap dipertahankan selama pasien berada di bawah pengaruh
anestesia midazolam. Midazolam juga tidak meningkatkan tekanan intrakranial
13
apabila diberikan dalam dosis 0.15 hingga 0.27 mg/kg IV. Dengan demikian,
midazolam bisa menjadi pilihan alternatif sebagai induksi anestesia pada pasien
yang mengalami patologi intrakranial. Namun ada bukti yang menunjukkan
bahwa pasien yang mengalami trauma kepala berat dengan ICP <18 mmHg justru
mengalami peningkatan ICP (tekanan intrakranial) ketika diberikan midazolam
(0.15 mg/kg IV) secara cepat. Serupa dengan thiopental, induksi anestesia dengan
menggunakan midazolam tidak dapat mencegah peningkatan ICP yang
berhubungan dengan laringoskopi direk selama intubasi trakeal. Meskipun
midazolam dapat meningkatkan keluaran hasil klinis neurologis setelah adanya
iskemia yang inkomplit, hingga saat ini belum ada bukti yang menunjukkan
bahwa benzodiazepine memiliki efek neuroprotektif.
Midazolam merupakan antikonvulsan yang poten dalam mengatasi status
epileptikus. Pemanjangan sedasi pada bayi yang dirawat di unit perawatan kritis
(4 hingga 11 hari) dengan menggunakan midazolam dan fentanyl, memiliki
keterkaitan dengan ensefalopati ketika terjadi putus obat benzodiazepine. Eksitasi
paradoksal dapat terjadi pada sekitar <1% pasien yang mendapat terapi kombinasi
midazolam dan antagonis benzodiazepine, flumazenil.
Ventilasi
Midazolam dapat menurunkan ventilasi ketika diberikan pada dosis 0.15
mg/kg IV, dan efek penurunan seperti itu juga dapat ditemukan pada pemberian
diazepam dengan dosis 0,3 mg/kg IV. Pasien yang mengalami penyakit paru
obstruktif kronis dapat mengalami depresi pernapasan yang lebih hebat apabila
mendapat midazolam. Apnea transien dapat terjadi setelah pemberian injeksi
midazlam dosis tinggi ( > 0,15 mg/kg IV), terutama ketika diberikan bersama
medikasi pra-operasi seperti opioid. Pada orang sehat, midazolam tidak
memberikan efek depresi ventilasi, namun ketika diberikan kombinasi midazolam
0,05 mg/kg IV dan fentanyl 2 μg/kg IV, kita dapat menemukan hipoksemia
dan/atau hipoventilasi. Midazolam, 0,05 atau 0,075 mg/kg IV, dapat menekan
ventilasi istirahat pada orang sehat, sedangkan pada anestesia spinal (anestesia
setinggi T6) justru dapat menstimulasi ventilasi istirahat, dan penggunaan obat-
obatan kombinasi dapat memberikan efek sinergistik dalam menekan ventilasi
14
istirahat. Benzodiazepine juga dapat menekan refleks menelan dan menurunkan
aktivitas jalan napas bagian atas.
Sistem Kardiovaskuler
Jika dibandingkan dengan diazepam, 0,5 mg/kg IV, maka midazolam, 0,2
mg/kg IV, untuk induksi anestesia dapat menurunkan tekanan darah sistemik dan
meningkatkan denyut jantung yang nilainya jauh lebih besar. Sebaliknya,
perubahan hemodinamik yang dipengaruhi oleh midazolam ini menyerupai efek
hemodinamik yang dihasilkan oleh thiopental, 3 hingga 4 mg/kg IV. Curah
jantung tidak terpengaruh oleh midazolam, hal ini menunjukkan bahwa perubahan
tekanan darah terjadi karena penurunan resistensi pembuluh darah sistemik.
Dengan pertimbangan ini, maka benzodiazepine dapat bermanfaat dalam
memperbaiki curah jantung pada pasien yang mengalami gagal jantung kongestif.
Pada keadaan hipovolemia, pemberian midazolam dapat memperparah penurunan
tekanan darah, seperti yang dilakukan oleh obat-obatan induksi anestesia lainnya.
Midazolam tidak dapat mencegah respon tekanan darah dan denyut jantung yang
diinduksi oleh intubasi trakeal, faktanya, stimulus mekanik seperti itu dapat
diimbangi oleh efek penurunan tekanan darah yang berasal dari pemberian
midazolam intravena dalam dosis besar. Efek midazolam dalam tekanan darah
sistemik berhubungan secara langsung dengan konsentrasi plasma
benzodiazepine. Namun, nampaknya konsentrasi plasma plateau (ceiling effect)
juga mempengaruhi tekanan darah sistemik.
Penggunaan Klinis
Midazolam merupakan benzodiazepine yang paling sering digunakan
untuk medikasi preoperatif pada pasien pediatrik, sedasi intravena, dan induksi
anestesia. Jika dikombinasikan dengan obat-obatan lain, midazolam dapat
digunakan untuk mempertahankan keadaan anestesia. Seperti diazepam,
midazolam merupakan antikonvulsan yang poten untuk mengatasi kejang grand
mal, yang ditimbulkan oleh toksisitas sistemik dari anestetik lokal.
15
Medikasi Preoperatif
Midazolam merupakan medikasi preoperatif yang paling sering digunakan
pada pasien anak. Midazolam sirup (2 mg/ml) sangat efektif dalam menimbulkan
sedasi dan anxiolisis pada dosis 0.25 mg/kg, dengan efek ventilasi dan saturasi
oksigen yang minimal. Bahkan efek tersebut tetap minimal meskipun diberikan
pada dosis 1 mg/kg. Midazolam, yang diberikan dalam dosis 0.5 mg/kg secara
oral selama 30 menit sebelum induksi anestesia, dapat memberikan efek sedasi
dan anxiolisis pada pasien anak tanpa menimbulkan kesulitan ketika pasien akan
dibangunkan di akhir prosedur. Meskipun direkomendasikan agar midazolam oral
diberikan sekurang-kurangnya 20 menit sebelum pembedahan, terdapat bukti
yang menunjukkan bahwa amnesia anterograde yang signifikan lebih sering
ditemukan pada pasien yang mendapat midazolam 0,5 mg/kg dalam 10 menit
sebelum prosedur pembedahan dimulai.
Sedasi Intravena
Midazolam pada dosis 1,0 hingga 2,5 mg IV (onset dalam 30 hingga 60
detik, waktu untuk mencapai efek puncak 3 hingga 5 menit, durasi sedasi 15
hingga 80 menit) sudah cukup efektif untuk menimbulkan sedasi pada anestesia
regional. Jika dibandingkan dengan diazepam, midazolam memiliki onset kerja
yang lebih cepat, efek amnesia yang lebih besar, efek sedasi yang lebih kecil, serta
masa pemulihannya lebih cepat. Nyeri injeksi dan thrombosis vena yang
diakibatkan oleh midazolam jauh lebih jarang ditemukan jika dibandingkan
dengan injeksi diazepam.
Efek samping utama midazolam adalah depresi ventilasi yang disebabkan
oleh penurunan rangsangan hipoksik. Efek depresi ventilasi midazolam jauh lebih
besar bila dibandingkan dengan diazepam dan lorazepam. Depresi ventilasi yang
diinduksi oleh midazolam dapat diperparah (efek sinergistik) oleh adanya opioid
dan obat-obatan depresan SSP lainnya. Penderita penyakit paru obstruktif kronik
dapat mengalami depresi ventilasi yang parah apabila diberikan benzodiazepine.
16
Induksi Anestesia
Anestesia dapat diinduksi dengan menggunakan midazolam 0,1 hingga 0,2
mg/kg, selama 30 hingga 60 detik. Meskipun begitu, thiopental bisanya dapat
memberikan induksi anestesia sekitar 50% hingga 100% lebih cepat jika
dibandingkan dengan midazolam.
Onset ketidaksadaran (interaksi sinergistik) dapat semakin dipermudah
terutama jika dilakukan pemberian opioid dosis kecil (fentanyl, 50 hingga 100 μg
IV atau ekuivalennya) sekitar 1 hingga 3 menit sebelum pemberian midazolam.
Dosis midazolam yang dibutuhkan untuk induksi anestesia IV akan jauh lebih
sedikit apabila medikasi preoperatif dilakukan bersama kombinasi obat-obatan
depresan SSP lain. Orang tua membutuhkan lebih sedikit dosis midazolam
intravena jika dibandingkan dengan orang muda.
Pada pasien sehat yang mendapat benzodiazepine dosis rendah, depresi
kardiovaskuler yang berkaitan dengan pengaruh obat jarang sekali terjadi. Ketika
terjadi respon kardiovaskuler yang signifikan, maka kemungkinan besar hal
tersebut disebabkan oleh vasodilatasi perifer. Sama seperti depresi ventilasi,
perubahan kardiovaskuler yang diakibatkan oleh benzodiazepine dapat diperparah
oleh adanya penggunaan depresan SSP lainnya seperti propofol dan thiopental.
Mempertahankan Kondisi Anestesia
Midazolam dapat diberikan sebagai suplemen terhadap opioid, propofol,
dan/atau anestetik inhalasi selama kondisi anestesia. Kebutuhan akan anestetik
inhalasi dari anestetik volatil dapat diturunkan dengan menggunakan midazolam.
Proses siuman yang terjadi setelah anestesia umum dengan menggunakan induksi
midazolam jauh lebih cepat sekitar 1 hingga 2,5 kali lebih cepat bila dibandingkan
dengan thiopental.
Proses siuman yang bertahap pada pasien yang mendapat midazolam
jarang sekali disertai gejala-gejala seperti mual, muntah, atau eksitasi tiba-tiba.
Satu jam setelah pembedahan, pasien akan benar-benar memasuki kesadaran
penuh.
17
Sedasi Postoperatif
Pemberian midazolam intravena dalam jangka panjang (loading dose 0,5
hingga 4 mg IV dan dosis maintenance 1 hingga 7 mg/jam IV) guna menimbulkan
sedasi pada pasien yang diintubasi dapat mempengaruhi saturasi jaringan periferal
dan proses pembersihan metabolit obat tidak lagi terpengaruh oleh redistribusi ke
dalam jaringan periferal dan lebih dipengaruhi oleh metabolisme hati. Pasien yang
memiliki konsentrasi midazolam yang tinggi dalam darahnya membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk siuman. Penggunaan midazolam dapat mengurangi
dosis opioid yang digunakan sehingga pasien bisa lebih cepat siuman.
Gerakan Paradoksal Pita Suara
Gerakan paradoksal pita suara terjadi karena adanya obstruksi non-organik
pada jalan napas bagian atas dan stridor yang timbul di periode pasca-operasi.
Midazolam 0.5 hingga 1 mg intravena bisa menjadi terapi yang efektif guna
mengatasi gerakan paradoksal pada pita suara.
2. DIAZEPAM
Diazepam merupakan benzodiazepine yang sangat larut dalam lemak, dan
memiliki masa kerja yang lebih panjang dari midazolam.
Sediaan Komersial
Diazepam tidak dapat larut dalam air, hanya pelarut organik (propylene
glycol, natrium benzoate) yang dapat melarutkannya. Larutannya mudah melekat,
dengan kadar pH 6.6 hingga 6.9. Pengenceran dengan menggunakan air atau
larutan salin dapat menimbulkan gambaran berawan pada larutan namun tidak
mempengaruhi potensi obat. Injeksi melalui rute intramuskuler atau intravena
dapat menimbulkan rasa nyeri. Ada sediaan diazepam yang berada dalam
formulasi kacang kedelai yang dapat digunakan dalam rute intravena. Formulasi
seperti itu dapat menurunkan rasa nyeri yang timbul saat injeksi.
18
Farmakokinetika
Diazepam sangat mudah diabsorpsi oleh traktus gastrointestinal pada
pemberian secara oral, dan pada orang dewasa, konsentrasi puncak dapat tercapai
dalam 1 jam, sedangkan pada anak-anak, konsentrasi puncak dapat tercapai dalam
15 hingga 30 menit. Uptake diazepam ke otak terjadi dengan sangat cepat, yang
kemudian diikuti oleh redistribusi ke lokasi-lokasi yang inaktif, terutama pada
lemak, karena benzodiazepine sangat larut dalam lemak. Vd diazepam sangat luas,
merefleksikan tingginya uptake diazepam ke jaringan. Wanita yang memiliki
banyak kandungan lemak, memiliki Vd diazepam yang jauh lebih besar dari pria.
Diazepam dapat melewati sawar plasenta, sehingga janin bisa saja memiliki
konsentrasi diazepam yang lebih atau sama tingginya dengan konsentrasi yang
dimiliki oleh ibunya. Durasi aksi benzodiazepine tidak berhubungan dengan kerja
reseptor namun ditentukan oleh laju metabolisme dan eliminasi.
Ikatan Protein
Ikatan protein benzodiazepine sebanding dengan kelarutannya dalam
lemak. Oleh karena itu, diazepam sangat mudah berikatan dengan protein. Sirosis
hati atau gagal ginjal dapat menyebabkan penurunan ikatan diazepam pada protein
sehingga bisa meningkatkan insidensi efek samping obat. Tingginya ikatan
dengan protein dapat membatasi khasiat hemodialisis dalam mengatasi overdosis
diazepam.
Metabolisme
Diazepam dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati dengan
menggunakan jalur oksidatif N-demethylation. Dua metabolit utama diazepam
adalah desmethyldiazepam dan oxazepam, dan metabolit yang konsentrasinya
lebih sedikit adalah temazepam. Desmethyldiazepam lebih lambat dimetabolisme
jika dibandingkan dengan oxazepam serta hanya sedikit lebih poten dari
diazepam. Oleh karena itu, kemungkinan besar efek samping berupa rasa pusing
yang timbul dalam 6 hingga 8 jam setelah pemberian diazepam, dapat bertahan
lama karena adanya efek dari metabolit-metabolit tersebut. Resirkulasi
19
enterhepatik dapat memberikan kontribusi dalam rekurensi sedasi. Konsentrasi
plasma diazepam pada saat resirkulasi enterohepatik tidak terlalu signifikan secara
klinis dan kemungkinan besar terjadi karena efek bersihan dari konjugasi asam
glucoronic. Desmethyldiazepam dieksresi melalui urin dalam bentuk metabolit
teroksidasi dan terkonjugasi. Diazepam tidak bisa dieksresi secara langsung
melalui urin. Benzodiazepine tidak menginduksi enzim hati.
Cimetidine
Cimetidine dapat menghambat enzim mikrosomal hati P-450 sehingga hal
tersebut dapat memperpanjang paruh waktu eliminasi diazepam dan
desmethyldiazepam. Efek sedasi bisa mengalami pemanjangan jika diazepam
diberikan secara bersamaan dengan cimetidine.
Waktu Paruh Eliminasi
Pada orang sehat, waktu paruh eliminasi diazepam adalah sekitar 21
hingga 37 jam. Sirosis hati dapat memperpanjang waktu paruh tersebut hingga
mencapai lima kali lipat. Waktu paruh eliminasi diazepam dapat meningkat secara
progresif seiring dengan bertambahnya usia, dan hal ini konsisten dengan
peningkatan sensitivitas pasien terhadap efek sedatif obat. Pemanjangan waktu
paru eliminasi pada pasien sirosis hati terjadi karena adanya penurunan ikatan
obat terhadap protein, sehingga dapat meningkatkan Vd diazepam. Jika
dibandingkan dengan lorazepam, diazepam memiliki waktu paru eliminasi yang
lebih panjang namun dengan durasi kerja uang lebih singkat karena obat ini
terurai lebih cepat dari reseptor GABAA jika dibandingkan dengan lorazepam,
sehingga diazepam lebih mudah diredistribusi ke jaringan yang inaktif.
Desmethyldiazepam yang merupakan metabolit utama diazepam, memiliki
waktu paruh eliminasi sekitar 48 hingga 96 jam. Sehingga penggunaan diazepam
secara kronik dapat menyebabkan akumulasi metabolit tersebut yang dapat
berakibat pada pemanjangan gejala somnolen. Oleh karena itu ketika diazepam
dihentikan penggunaannya, maka dibutuhkan waktu lebih dari seminggu agar
semua senyawa metabolit benar-benar bersih dari plasma darah.
20
Efek pada Sistem Organ
Diazepam, seperti benzodiazepine lainnya, dapat memberikan efek
minimal pada ventilasi dan sirkulasi sistemik. Fungsi ginjal dan hati juga tidak
terpengaruh oleh obat ini. Diazepam tidak meningkat insidensi mual dan muntah.
Obat ini juga tidak mempengaruhi respon hormon stres (katekolamin, vasopresin,
kortisol).
Ventilasi
Diazepam memberikan efek depresi minimal pada ventilasi, di mana
peningkatan PaCO2hanya dapat terdeteksi ketika dosisnya mencapai 0.2 mg/kg
IV. Sedikit peningkatan PaCO2 terjadi karena adanya penurunan volume tidal.
Meskipun begitu, diazepam dalam dosis kecil (<10 mg IV) jarang menyebabkan
apnea. Kombinasi diazepam dan depresan SSP lainnya (opioid, alkohol) atau
pemberian obat ini pada pasien yang menderita penyakit paru obstruktif dapat
menimbulkan depresi pernapasan.
Sistem Kardiovaskuler
Diazepam yang diberikan dalam dosis 0.5 hingga 1 mg/kg IV dalam
induksi anestesia dapat menurunkan tekanan darah sistemik, curah jantung, dan
resistensi pembuluh darah sistemik yang polanya menyerupai aktivitas tidur. Kita
dapat menemukan penurunan denyut jantung yang dimediasi oleh respon
baroreseptor. Pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan end-diastolic
ventrikel kiri, maka pemberian diazepam dapat menurunkannya dalam porsi kecil.
Diazepam tidak memiliki aksi langsung terhadap sistem saraf simpatetik dan tidak
menimbulkan hipotensi ortostatik.
Insidensi dan besarnya penurunan tekanan darah masih jauh lebih kecil
bila dibandingkan dengan efek yang ditimbulkan oleh barbiturate. Meskipun
begitu, pasien bisa saja mengalami hipotensi yang tidak dapat diprediksi.
Penambahan nitro oksida setelah induksi anestesia dengan menggunakan
diazepam tidak berhubungan dengan efek samping yang timbul pada jantung.
Oleh karena itu, nitro oksida dapat diberikan bersama dengan diazepam untuk
21
memastikan agar pasien tidak siuman ketika prosedur operasi sedang berlangsung.
Hal sebaliknya terjadi pada penggunaan nitro oksida yang dikombinasikan dengan
opioid, kombinasi ini dapat menyebabkan depresi miokardial dan penurunan
tekanan darah sistemik. Pemberian diazepam 0,125 mg hingga 0,5 mg/kg IV yang
diikuti dengan injeksi fentanyl, 50 μg/kg IV, dapat menimbulkan penurunan
resistensi pembuluh darah dan tekanan darah sistemik, di mana hal tersebut tidak
terjadi pada penggunaan opioid secara tunggal.
Otot Rangka
Diazepam memiliki efek relaksan otot rangka pada neuron spinal
internuncial dan tidak mempengaruhi neuromuscular junction. Namun efek
relaksan otot rangka benzodiazepine dapat mengalami toleransi.
Overdosis
Intoksikasi SSP dapat terjadi apabila konsentrasi diazepam dalam plasma
mencapai >1000 ng/ml. Meskipun terjadi overdosis diazepam masif, namun
sekuele serius tidak akan terjadi apabila fungsi jantung dan paru-paru masih
terjamin serta tidak ada keterlibatan penggunaan obat-obatan lain seperti alkohol.
Penggunaan Klinis
Diazepam hingga saat ini masih menjadi obat oral yang sering digunakan
sebagai medikasi preoperatif pada orang dewasa dan merupakan golongan
benzodiazepine yang dipilih untuk mengatasi delirium tremens dan kejang yang
terinduksi oleh anestetik lokal. Relaksasi otot rangka yang ditimbulkan oleh otot
rangka sering digunakan dalam mengatasi penyakit lumbar disc dan bisa dipakai
untuk pasien yang mengalami tetani. Midazolam saat ini telah menggantikan
peran diazepam dalam sedasi IV dan medikasi preoperatif pada anak.
Aktivitas Antikonvulsan
Pemberian diazepam, 0,25 mg/kg IV, pada hewan dapat melindungi hewan
tersebut dari serangan kejang yang diakibatkan oleh anestetik lokal. Diazepam,
22
0,1 mg/kg IV, cukup efektif dalam mengatasi aktivitas kejang yang ditimbulkan
oleh lidocaine, delirium, tremens, dan status epileptikus.
Khasiat diazepam sebagai antikonvulsan menggambarkan kemampuannya
dalam memfasilitasi aksi inhibisi dari neurotransmiter GABA. Berbeda dengan
barbiturate, yang dapat menghambat aktivitas kejang secara nonselektif pada SSP,
diazepam memiliki aksi yang selektif pada sistem limbik, terutama hippocampus.
Jika diazepam diberikan guna mengatasi kejang, maka sebaiknya diberikan juga
obat antiepilepsi yang memiliki masa kerja yang lebih lama, seperti fosphenytoin.
3. LORAZEPAM
Lorazepam memiliki stuktur yang menyerupai oxazepam, yang
membedakannya hanya keberadaan sebuah atom klorida tambahan pada posisi
ortho di molekul 5-phenyl moiety. Lorazepam memiliki efek sedatif dan amnesik
yang jauh lebih besar dari midazolam dan diazepam, sedangkan efek ventilasi,
sistem kardiovaskuler, dan pengaruhnya pada otot rangka, menyerupai
benzodiazepine lainnya.
Farmakokinetika
Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glucoronic pada hati guna
membentuk metabolit inaktif yang dapat diekskresikan melalui ginjal. Hal ini
berbeda dengan pembentukan metabolit diazepam dan midazolam yang aktif
secara farmakologis. Waktu paruh eliminasi obat ini mencapai 10 hingga 20 jam,
dan mayoritas diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk lorazepam glucoronide.
Jika dibandingkan dengan midazolam, lorazepam lebih lambat mengalami proses
pembersihan oleh tubuh.
Karena terjadi pembentukan metabolit glucoronide maka lorazepam tidak
sepenuhnya bergantung pada enzim mikrosomal hati, sehingga metabolisme
lorazepam tidak terlalu dipengaruhi oleh fungsi hati, penambahan usia, atau pun
obat-obatan yang menghambat enzim P-450 seperti cimetidine.
23
Sehingga waktu paruh eliminasi lorazepam tidak akan mengalami
pemanjangan pada pasien tua atau pada pasien yang mendapat terapi cimetidine.
Lorazepam memiliki onset aksi yang lebih lambat dari midazolam atau diazepam
karena rendahnya kelarutan zat ini dalam lemak serta lambatnya zat ini memasuki
SSP.
Penggunaan Klinis
Lorazepam dapat diabsorpsi dengan baik pada pemberian secara oral
maupun injeksi IM. Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma maksimal dari
lorazepam akan tercapai pada 2 hingga 4 jam dan akan bertahan pada kadar
terapeutik selama 24 sampai 48 jam. Dosis lorazepam oral yang
direkomendasikan untuk medikasi preoperatif adalah 50 μg/kg, dan tidak boleh
melebihi 4 mg. Dengan dosis tersebut, amnesia anterograde dapat bertahan selama
6 jam, dan efek sedasinya tidak akan terlalu eksesif. Durasi kerja lorazepam yang
terlalu panjang merupakan salah satu kekurangan lorazepam, sehingga jarang
digunakan sebagai medikasi preoperatif apabila kita menginginkan agar pasien
lebih cepat siuman.
Infus intravena lorazepam dapat menunjukkan onset kerja dalam 1 hingga
2 menit, dan efek puncaknya terlihat dalam 20 hingga 30 menit, efek sedasinya
akan bertahan selama 6 sampai 10 jam. Obesitas dapat memperpanjang efek
sedasi lorazepam.
Karena memiliki onset yang lambat maka lorazepam jarang digunakan
sebagai (a) induksi anestesia intravena, (b) sedasi intravena selama anestesia
regional, atau (c) sebagai antikonvulsan. Meskipun tidak larut dalam air, dan
membutuhkan pelarut seperti polyethilene glycol atau propylene glycol, namun
lorazepam jarang menimbulkan rasa nyeri ketika diinjeksi serta tidak terlalu
sering menimbulkan trombosis vena seperti yang terjadi pada diazepam.
Lorazepam dapat digunakan sebagai medikasi preoperatif dengan
pertimbangan lebih ekonomis. Resiko keterlambatan siuman dari sedasi dapat
24
mengalami peningkatan terutama jika digunakan sebagai sedasi postoperatif dan
efek amnestiknya dapat bertahan hingga beberapa hari.
4. OXAZEPAM
Oxazepam merupakan salah satu metabolit aktif diazepam yang tersedia
secara komersial. Durasi kerja obat ini sedikit lebih singkat jika dibandingkan
dengan diazepam karena oxazepam dikonversi menjadi metabolit yang tidak aktif
secara farmakologis dengan mengkonjugasikannya dengan asam glucoronic.
Waktu paruh eliminasi obat ini adalah sekitar 5 hingga 15 jam. Seperti lorazepam,
durasi aksi oxazepam tidak dipengaruhi oleh disfungsi hati atau pun pemberian
cimetidine.
Absorpsi oral oxazepam relatif lebih lambat. Sehingga obat ini tidak bisa
digunakan untuk mengatasi insomnia yang manifestasinya berupa kesulitan tidur.
Sebaliknya, oxazepam dapat digunakan untuk mengatasi insomnia yang
manifestasinya berupa sering bangun tengah malam atau pemendekan durasi tidur.
5. ALPRAZOLAM
Alprazolam memiliki efek anti-anxietas yang sangat signifikan, terutama
pada pasien yang mengalami anxietas primer dan serangan panik. Karena efek ini
maka alprazolam dapat menjadi alternatif midazolam dalam medikasi preoperatif.
Obat ini memiliki efek inhibisi hormon adrenokortikotropik yang jauh lebih besar
bila dibandingkan dengan golongan benzodiazepine lainnya.
6. CLONAZEPAM
Clonazepam merupakan benzodiazepine yang sangat larut dalam lemak
dan dapat terserap dengan baik pada pemberian secara oral. Clonazepam
dimetabolisme menjadi metabolit terkonjugasi dan tak terkonjugasi yang tidak
aktif lalu kemudian diekskresikan melalui urin. Waktu paruh eliminasi obat ini
adalah 24 hingga 48 jam. Clonazepam sangat efektif dalam mengontrol dan
mencegah kejang, terutama mioklonik dan spasme infantil.
25
7. FLURAZEPAM
Flurazepam memiliki sifat kimia dan farmakologis yang menyerupai
benzodiazepine lainnya, namun obat ini lebih sering digunakan untuk mengatasi
insomnia. Setelah pemberian sekitar 15 hingga 30 mg secara oral pada orang
dewasa, efek hipnotiknya akan timbul dalam 15 hingga 25 menit lalu bertahan
selama 7 sampai 8 jam. Periode pergerakan mata secara cepat (REM) dapat
diturunkan oleh obat ini. Metabolit utama flurazepam adalah desalkylflurazepam.
Metabolit ini secara farmakologis cukup aktif dan memiliki waktu paruh eliminasi
yang sangat panjang, sehingga dapat bermanifestasi dalam bentuk sedasi
sepanjang hari (hangover). Selain itu, pengulangan dosis flurazepam dapat
menyebabkan akumulasi metabolit, yang menimbulkan sedasi kumulatif. Pasien
tua sangat rentan terhadap efek samping obat ini.
8. TEMAZEPAM
Temazepam merupakan benzodiazepine yang dapat diberikan secara oral
guna mengatasi insomnia. Pada pemberian oral, obat ini dapat diabsorpsi secara
sempurna, namun konsentrasi puncak obat baru terbentuk ketika telah mencapai
2,5 jam setelah pemberian. Metabolisme obat ini terjadi di hati dan menghasilkan
metabolit yang dikonjugasikan dengan asam glucoronic. Waktu paruh eliminasi
zat ini adalah sekitar 15 jam.
Temazepam, yang diberikan secara oral 15 hingga 30 mg, tidak
mempengaruhi proporsi pergerakan mata yang cepat (REM) saat tidur. Meskipun
memiliki waktu paruh eliminasi yang relatif panjang, temazepam yang dapat
digunakan sebagai terapi insomnia, tidak memberikan efek pusing residual pada
pagi hari. Toleransi atau tanda-tanda putus obat tidak terjadi, meskipun obat ini
digunakan selama 30 hari berturut-turut.
9. TRIAZOLAM
Triazolam merupakan benzodiazepine yang dapat digunakan untuk
mengatasi insomnia. Konsentrasi puncak obat ini dalam plasma dapat tercapai
dalam 1 jam setelah pemberian oral dengan dosis 0.25 mg hingga 0.5 mg. Waktu
26
paruh eliminasi obat ini adalah 1,7 jam, dengan waktu paruh seperti itu, triazolam
merupakan benzodiazepine yang memiliki durasi kerja paling singkat. Dua
metabolit utama triazolam memiliki efek hipnotik yang lebih kecil, dan waktu
paruh eliminasinya adalah <4 jam. Karena alasan tersebut, maka efek residual
atau efek sedasi kumulatif triazolam jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan
benzodiazepine lainnya.
Triazolam tidak mempengaruhi proporsi pergerakan mata yang cepat
ketika sedang tidur. Namun insomnia rebound, dapat terjadi apabila kita
menghentikan penggunaannya. Amnesia anterograde dapat terjadi ketika obat ini
digunakan untuk mengatasi masalah tidur selama perjalanan melintasi beberapa
zona waktu yang berbeda. Pada orang tua, triazolam dapat memberikan efek
sedasi atau gangguan psikomotir yang jauh lebih besar dari yang dialami oleh
orang muda. Hal ini terjadi karena penurunan proses pembersihan obat ini oleh
tubuh dan peningkatan konsentrasi plasma. Karena alasan inilah sehingga
direkomendasikan agar pada orang tua, dosis triazolam diturunkan hingga sebesar
50%.
1O. FLUMAZENIL
Flumazenil, suatu derivat 1,4-imidazobenzodiazepine, merupakan
antagonis yang spesifik dan ekslusif terhadap benzodiazepine. Agen ini memiliki
afinitas yang sangat kuat terhadap reseptor benzodiazepine, dengan sedikit
aktivitas agonis. Sebagai antagonis kompetitif, flumazenil dapat mencegah atau
membalikkan efek agnois benzodiazepine. Flumazenil juga efektif sebagai
antagonis efek benzodiazepine pada depresi ventilasi yang terjadi karena
penggunaan kombinasi benzodiazepine dan opiod. Metabolisme flumazenil
dilakukan oleh enzim mikrosomal hati.
Dosis dan Pemberian
Dosis flumazenil harus dititrasi secara individual agar dapat mencapai
level kesadaran yang sesuai. Dosis awal yang dianjurkan adalah 0,2 mg IV (8
hingga 15 μg/kg IV), dengan dosis seperti itu, flumazenil dapat membalikkan efek
27
benzodiazepine pada SSP dalam 2 menit. Jika diperlukan, dosis sebesar 0,1 mg IV
(dengan dosis total 1 mg IV) dapat diberikan dalam interval 60 detik. Secara
umum, dosis total 0,3 hingga 0.6 mg IV sudah cukup adekuat untuk menurunkan
tingkat sedasi pada pasien yang disedasi dengan menggunakan benzodiazepine,
sedangkan dengan dosis total 0,5 mg sampai 1 mg IV sudah cukup untuk
menghilangkan efek terapeutik benzodiazepine secara komplit. Kegagalan
flumazenil dengan dosis lebih dari 5 mg untuk menyadarkan pasien yang tidak
sadar akibat overdosis obat yang tidak diketahui jenisnya mengindikasikan adanya
zat selain benzodiazepine yang terlibat atau terdapat kelainan organik fungsional
yang mendasari ketidaksadaran tersebut. Durasi aksi flumazenil adalah sekitar 30
hingga 60 menit, dan dosis suplemental dapat diberikan untuk mempertahankan
tingkat kesadaran. Salah satu alternatif pemberian flumazenil guna
mempertahankan tingkat kesadaran adalah dengan menggunakan infus flumazenil
dosis rendah, 0,1 sampai 0,4 mg/jam.
Pemberian flumazenil sebaikanya tidak diberikan pada pasien yang
diterapi dengan menggunakan obat antiepileptik karena hal ini dapat mepresipitasi
serangan kejang akut.
Efek Samping
Pada pasien postoperatif, antagonisme flumazenil tidak menyebabkan
kecemasan akut, hipertensi, takikardia, ataupun peningkatan respon stres
neuroendokrin. Flumazenil tidak mempengaruhi fungsi dan hemodinamika
jantung serta jumlah kebutuhan (MAC) anestetik volatil.
HIPNOTIK-SEDATIF KERJA CEPAT
Zaleplon, zolpidem, dan zopiclone memiliki aksi yang menyerupai
aktivitas benzodiazepine di kompleks reseptor GABA. Obat – obatan ini memiliki
reseptor subunit GABA yang lebih selektif, sehingga khasiatnya lebih baik dalam
mengatasi gangguan tidur. Obat-obatan ini juga memiliki lebih sedikit efek
samping jika dibandingkan dengan benzodiazepine konvensional. Karena adanya
variasi dalam ikatan reseptor subunit GABA, maka tiga obat ini menunjukkan
28
perbedaan dalam mempengaruhi stadium tidur. Zaleplon (10 mg secara oral) dapat
dieliminasi secara cepat sehingga efek sampingnya jauh lebih sedikit ketika
digunakan dalam dosis tunggal sebelum tidur. Zolpidem (10 mg secara oral) dan
zopiclone (7,5 mg secara oral) memiliki masa eliminasi yang jauh lebih lambat.
Sehingga kedua obat ini memiliki efek samping yang relatif lebih banyak dari
zaleplon.
29
BAB III
KESIMPULAN
Benzodiazepin merupakan sekelompok obat golongan psikotropika yang
mempunyai efek antianxietas atau dikenal sebagai minor tranquilizer, dan
psikoleptika. Benzodiazepin memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu
anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan
amnesia retrograde.
Golongan Benzodiazepin menggantikan penggunaan golongan Barbiturat
yang mulai ditinggalkan, Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu
rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin
dosis aman yang lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.
Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai
premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi.
Berdasarkan kecepatan metabolismenya, benzodiazepine dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok yaitu short acting, long acting, ultra short acting.
Secara umum penggunaan terapi benzodiazepine bergantung kepada waktu
paruhnya, dan tidak selalu sesuia dengan indikasi yang dipasarkan.
Benzodiazepine yang bermanfaat sebagai antikonvulsi harus memiliki waktu
paruh yang panjang, dan dibutuhkan cepat masuk ke dalam otak agar dapat
mengatasi status epilepsi secara cepat. Sebagai ansietas, benzodiazepine harus
memiliki waktu paruh yang panjang, meskipun disertai risiko neuropsikologik
disebabkan akumulasi obat.
30
Daftar Pustaka
1. Hines roberta, dan Marchall katherine. 2008. Stoelting's Anesthesia and Co-
Existing Disease Ed5. New York: Churchill Livingstone
2. Gery Schmitz, dkk. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta: EGC
3. Sweetman Sean C. Martindale The complete Drug Reference. Thirty-sixth
edition. 2006.London-Chicago : Pharmaceutical Press. 2006.
4. Morgan G.E, et al. Clinical Anesthesiology. Fourth edition. New York: Lange
Medical Books – McGraw Hill Companies. 2006
5. Kaplan and Saddock. 2010. Sinopsis Psikiatri. Tangerang : Binarupa Aksara.
6. Katzung, Bertram G. 2006. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition.
San Fransisco: McGraw-Hill
7. Goodman & Gillman . 2007. Dasar Farmakologi dan Terapi ed. 10. Jakarta:
EGC
8. Tjay, Tanhoan & Kirana Rahardja. 2008. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex
Media Komputindo
9. Charney, Dennis S., Mihic, S.John, Harris, R. Adron. 2006. Goodman and
Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics 11th Ed. San Fransisco:
McGraw-Hill
10. Sedatif dan hipnotik. Januari 2O13. Available :
http://www.scribd.com/doc/39461342/sedatif-n-hipnotik
11. Midazolam. Januari 2013. Available :
http://www.drugs.com/ingredient/propofol.html