LAPORAN AKHIR TAHUN PROGRAM INSINAS RISET PRATAMA …
Transcript of LAPORAN AKHIR TAHUN PROGRAM INSINAS RISET PRATAMA …
LAPORAN AKHIR TAHUN
PROGRAM INSINAS RISET PRATAMA INDIVIDU
TEMA KHUSUS: PENGEMBANGAN PANGAN FUNGSIONAL
BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL
RUJUKAN TEMA:
Proses Pengolahan, meliputi Optimasi Formulasi Produk, Ekstraksi,
Sintesa, Diversifikasi, Fortifikasi, Mixing, dan lain-lain
(WBS 2 W.P 2.6)
Sediaan Pangan Fungsional dari Rumput Laut Hijau
(Caulerpa lentillifera) sebagai Imunomodulator pada Balita
Tahun ke -2 dari rencana 3 tahun
Ketua/Anggota Tim:
Dr. Sofa Fajriah
Dr. Akhmad Darmawan
Rizna Triana Dewi, PhD
Dr. Ellya Sinurat
Dr. Sri Handayani, M.Si., Apt.
Megawati, M.Si
Hariyanti, M.Si., Apt.
Revika Rachmaniar, M.Farm., Apt.
Yati Maryati, M.Si
Dr. Abdi Wira Septama
Lia Meliawati, S.Si
PUSAT PENELITIAN KIMIA LIPI
Desember 2019
ii
iii
RINGKASAN
Indonesia merupakan salah satu negera dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi
dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan menengah lainnya. Anak yang
mengalami stunting umumnya memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal, rentan
terhadap penyakit, dan menurun produktivitasnya. Salah satu upaya untuk menurunkan
stunting pada balita diantaranya memperbaiki sistem imun tubuh. Imunomodulator
membantu tubuh untuk mengoptimalkan fungsi sistem imun yang merupakan sistem utama
pertahanan tubuh. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem kekebalan
tubuh, salah satu diantaranya adalah melalui konsumsi sediaan pangan fungsional yang
menggunakan sumber daya alam lokal, dalam hal penelitian ini menggunakan bahan baku
laut yang berfungsi sebagai imunomodulator. Pada penelitian ini dilakukan penelitian
mengenai sediaan pangan fungsional dari rumput laut hijau jenis Caulerpa lentilifera
(anggur laut) sebagai imunomodulator. Metode yang akan digunakan meliputi ekstraksi
dengan teknik maserasi, pemurnian dan identifikasi senyawa-senyawa bioaktif diantaranya
-glukan sebagai imunomodulator dari rumput laut hijau C. lentilifera dengan teknik
kromatografi dan spektroskopi, pengujian aktivitas imunomodulator dilakukan secara in
vitro terhadap sel makrofag RAW264.7 dan melakukan formulasi sebagai pangan fungsional
dalam bentuk sediaan serta scale up untuk komersialisasi produk. Hasil penelitian yang telah
dilakukan pada tahun pertama telah teridentifikasi senyawa polisakarida sulfat dari rumput
laut hijau C. lentilifera dan teruji secara in vitro sebagai imunomodulator dengan
meningkatnya persen fagositosis sel makrofag RAW 264.7 pada konsentrasi 10 sampai 100
g/mL. Pada tahun ke-2, telah dilakukan formulasi dalam bentuk biskuit dan uji keamanan
pangannya dan hasilnya sesuai dengan peraturan yang berlaku (SNI Biskuit 2011). Selain
itu, penelitian telah dilakukan uji imunomodulator secara in vivo terhadap ekstrak aktif dan
biskuit dengan hasil keduanya mampu meningkatkan indeks fagositosis dengan dosis
masing-masing sebesar 250 dan 400 mg/kgbb.
iv
PRAKATA
Kegiatan penelitian tentang ”Sediaan Pangan Fungsional dari Rumput Laut
Hijau (Caulerpa lentillifera) sebagai Imunomodulator pada Balita” merupakan kegiatan
penelitian yang bekerjasama dengan Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Fakultas Farmasi dan
Sains UHAMKA yang dimaksudkan untuk melakukan penelitian mengenai sediaan pangan
fungsional dari rumput laut hijau jenis Caulerpa lentilifera (anggur laut) sebagai
imunomodulator pada Balita. Kegiatan penelitian ini merupakan kegiatan tahun kedua dari
3 tahun yang direncanakan. Hasil pada tahun ke-2 yang telah kami lakukan diantaranya
formulasi produk biskuit, uji imunomodulator secara in vivo dan uji keamanan pangan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dana melalui program
Kementerian RISTEKDIKTI melalui Program INSINAS Bidang Prioritas Flagship LIPI-
Pengembangan Pangan Fungsional Berbasis Sumberdaya Lokal semoga kegiatan penelitian
ini berjalan dengan lancar. Kepada semua pihak baik untuk kegiatan laboratorium, analisa,
dan kegiatan administrasi yang telah membantu kegiatan ini kami mengucapkan terima
kasih. Semoga laporan akhir tahun ke-2 ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Serpong, 30 November 2019
Tim Peneliti
v
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul i
Lembar Pengesahan ii
Ringkasan iii
Prakata iv
Daftar Isi v
Daftar Tabel vi
Daftar Gambar vii
Daftar Lampiran viii
Abstrak 1
BAB 1 Pendahuluan 1
BAB 2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 3
BAB 3 Metode Penelitian 4
BAB 4 Hasil dan Luaran yang dicapai 11
BAB 5 Rencana tahap berikutnya 36
BAB 6 Kesimpulan dan Saran 36
Referensi 36
Lampiran 38
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Kelompok untuk uji total leukosit, limfosit dan monosit 8
Tabel 3.2 Data perlakuan untuk uji kadar 1L - 1β 9
Tabel 4.1 Hasil analisis proksimat Caulerpa lentillifera Makassar 11
Tabel 4.2 Posisi pita infra merah spesifik ekstrak Caulerpa lentillifera 16
Tabel 4.3 Hasil analisis ekstrak kasar dan murni Caulerpa lentillifera 19
Tabel 4.4 Hasil pengamatan perilaku hewan 23
Tabel 4.5 Hasil rata-rata berat badan mencit jantan 24
Tabel 4.6 Hasil berat rata-rata mencit betina 24
Tabel 4.7 Hasil pengamatan organ fisik 25
Tabel 4.8 Hasil analisis berat organ 26
Tabel 4.9 Pengolahan bahan baku 27
Tabel 4.10 Pengembangan formula 28
Tabel 4.11 Uji hedonik 30
Tabel 4.12 Aktivitas imunostimulan rumput laut 30
Tabel 4.13 Index fagositosis biskuit 34
Tabel 4.14 Angka titer antibody 34
Tabel 4.15 Hasil analisa keamanan pangan 34
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Pengaruh perlakuan insoluble fraction dari rumput laut hijau Caulerpa
lentillifera terhadap fagositosis sel RAW 264.7 pada konsentrasi uji
10-100 µg/mL dibanding kontrol sel
3
Gambar 3.1 Tahapan kegiatan penelitian sediaan pangan fungsional dari rumput
laut hijau
6
Gambar 4.1 Pengujian hasil pemurnian polisakarida 15
Gambar 4.2 Overlay hasil FTIR 16
Gambar 4.3a Analisis monomer ekstrak kasar Caulerpa lentillifera 21
Gambar 4.3b Analisis monomer ekstrak murni Caulerpa lentillifera 21
Gambar 4.4 Analisis NMR ekstrak kasar (kanan) dan ekstrak murni (kiri) Caulerpa
lentillifera
22
Gambar 4.5 Hasil analisa uji titer antibodi 31
Gambar 4.6 Persentase rata-rata perubahan volume kaki pada tikus yang disuntik
sel darah merah domba
32
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Hasil pengujian dari sucofindo 38
Lampiran 2 Lampiran hasil analisa keamanan pangan dari Lab. Saraswanti 39
Lampiran 3 Publikasi 40
1
BAB 1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi
kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi di
dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, atau dalam 1000 hari pertama
kehidupan. Sayangnya, stunting baru terdeteksi setelah anak berusia 2 tahun. Indonesia
merupakan salah satu negera dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi dibandingkan
dengan negara-negara berpendapatan menengah lainnya. Di dunia, Indonesia menduduki
posisi ke-17 dari 117 negara, walaupun data kasus ini sudah menunjukkan penurunan
dibanding tahun 2013. Data prevalensi stunting pada 2014 adalah 32,9 persen dengan
target 2019 sebesar 28,0 persen. Sedangkan, capaian pada 2016 adalah 26,1 persen atau
9 juta anak. Pekerjaan rumah besar yang perlu dilakukan adalah mencegah terjadinya
stunting (nasional.kompas.com). Salah satu upaya untuk menurunkan stunting pada balita
diantaranya memperbaiki sistem imun tubuh.
Imun adalah bagian terpenting dari sistem pertahanan tubuh (Baratawidjaja &
Rengganis, 2004). Sistem imun melindungi tubuh dari masuknya berbagai
mikroorganisme seperti bakteri dan virus yang banyak terdapat di lingkungan hidup.
Dengan adanya sistem imun, tubuh mampu mempertahankan diri dari infeksi yang dapat
disebabkan oleh mikroorganisme, dimana mikroorganisme akan selalu mencari inang
untuk diinfeksi. Penurunan sistem imun akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Imunomodulator merupakan senyawa yang dapat mempengaruhi sistem imun dengan
cara meningkatkan atau menekan faktor-faktor yang berperan dalam sistem imun (Stites
& Terr, 1990). Imunomodulator membantu tubuh untuk mengoptimalkan fungsi sistem
imun yang merupakan sistem utama yang berperan dalam pertahanan tubuh di mana
kebanyakan orang mudah mengalami gangguan sistem imun. Saat ini, penelitian
mengenai imunomodulator alami lebih banyak tertuju dari bahan alam darat, sedangkan
yang bersumber dari laut belum banyak dilakukan, salah satunya dari rumput laut.
Indonesia merupakan produsen rumput laut terbesar di dunia dengan memasok
sekitar 50% kebutuhan dunia yang mencapai 1,9 juta ton/tahun rumput laut kering.
Terdapat sekitar 782 jenis rumput laut yang tumbuh di perairan Indonesia, 56 jenis di
antaranya bermanfaat dan memiliki nilai ekonomis penting (Dwiyitno, 2011). Rumput
laut atau dikenal dengan makroalgae merupakan salah satu organisme perairan yang
menjadi sumber daya hayati laut. Rumput laut terdiri dari berbagai jenis yaitu rumput laut
2
merah (Rhodophyta), rumput laut coklat (Phaeophyceae), rumput laut hijau
(Chlorophyceae) dan rumput laut hijau-biru (Chyonophyceae). Pemanfaatan rumput laut
secara ekonomis di Indonesia masih terbatas pada beberapa spesies tertentu, yakni
Gracillaria sp. dan Euchema sp., sedangkan potensi pemanfaatan rumput laut di
Indonesia sangat besar. Salah satu jenis rumput laut yang jarang dimanfaatkan adalah
Caulerpa sp (Merdekawati dan Susanto, 2009).
Caulerpa lentilifera (anggur laut) merupakan salah satu jenis rumput laut hijau
(Chlorophyceae) yang dikenal sebagai anggur laut dan dapat dimakan sebagai lalapan
serta sudah dibudidayakan di Indonesia (Takalar, Sulawesi Selatan) dan diekspor ke
Jepang. Selain sebagai konsumsi, anggur laut tersebut digunakan sebagai
imunostimulator, anti bakteri, anti mikroba, anti jamur dan anti tumor (Maeda* et al.,
2012; Roohinejad et al., 2017; Sharma & Rhyu, 2014). Aktivitas antioksidan dan
kandungan fenolik yang tinggi juga terdapat pada C. Lentilifera (Shevchenko et al., 2009;
Konishi et al., 2012). Kandungan metabolit sekunder dari C. lentilifera diantaranya
klionasterol, 1,4 -glukan dan 1,3--glukan (Maeda et al., 2012). Senyawa glukan ini
salah satunya berperan penting sebagai imunomodulator. Produk pangan fungsional
sebagai imunomodulator dari bahan laut khususnya dari rumput laut hijau belum banyak
dikembangkan. Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan penelitian untuk
mengidentifikasi senyawa-senyawa bioaktif sebagai imunomodulator dari rumput laut
hijau C. Lentilifera, menguji aktivitas imunomodulator, serta melakukan formulasi
sebagai pangan fungsional dalam bentuk sediaan.
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun pertama telah teridentifikasi
senyawa polisakarida sulfat dari rumput laut hijau C. lentilifera dan teruji secara in vitro
sebagai imunomodulator dengan meningkatnya persen fagositosis sel makrofag RAW
264.7 pada konsentrasi 10 sampai 100 g/mL (Gambar 1.1). Pada tahun ke-2, telah
dilakukan formulasi dalam bentuk biskuit dan uji keamanan pangannya dan hasilnya
sesuai dengan peraturan yang berlaku (SNI Biskuit 2011). Selain itu, penelitian telah
dilakukan uji imunomodulator secara in vivo terhadap ekstrak aktif dan biskuit dengan
hasil keduanya mampu meningkatkan indeks fagositosis dengan dosis masing-masing
sebesar 250 dan 400 mg/kgbb.
Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan penelitian lanjutan untuk melakukan
perbesaran skala dengan melihat tekno ekonomi sebagai pangan fungsional dalam bentuk
biskuit untuk balita. Dari penelitian ini diharapkan adanya nilai tambah dari rumput laut
3
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
KS LPS 500ng/ml
RLME10µg/ml
RLME25µg/ml
RLME50µg/ml
RLME100µg/ml
Pen
ingk
atan
Ph
ago
cyto
sis
(%)
Insoluble fraction dari C. lentilifera
hijau C. Lentilifera sebagai pangan fungsional yang dapat berfungsi sebagai
imunomodulator khususnya untuk balita.
Gambar 1.1 Pengaruh perlakuan insoluble fraction dari rumput laut hijau Caulerpa
lentilifera terhadap fagositosis sel RAW 264.7 pada konsentrasi uji 10-
100 µg/ml dibanding kontrol sel
b. Deskripsi teknologi yang akan dihasilkan dan manfaatnya
Hasil penelitian dari kegiatan ini menghasilkan prototipe produk biskuit yang
mempunyai nilai tambah dapat meningkatkan sistem imun tubuh yang telah teruji secara
in vitro dan in vivo. Selain itu, prototype produk ini juga telah teruji kemanan pangannya
sesuai dengan SNI Biskuit tahun 2011. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu pemerintah untuk menurunkan angka stunting dengan cara meningkatkan
sistem imun anak.
BAB 2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mengidentifikasi kandungan dari rumput laut hijau C. lentillifera
Melakukan formulasi sebagai pangan fungsional dalam bentuk sediaan dan membuat
prototype produk untuk membantu menurunkan angka stunting pada balita Indonesia
Menguji aktivitas imunomodulator secara in vivo dari produk formulasi
Menguji keamanan produk pangan diantaranya uji toksisitas akut, uji logam berat, dll
Melakukan perbesaran skala produksi (Scale up)
4
Manfaat penelitian
Rumput laut hijau dari jenis Caulerpa lentilifera mempunyai potensi besar sebagai
sumber makanan dan minuman fungsional seiring dengan makin tingginya
kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan. Keberadaan pangan
fungsional tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat atau konsumen, tetapi juga bagi
pemerintah maupun industri pangan. Bagi konsumen, pangan fungsional
bermanfaat untuk mencegah penyakit, meningkatkan imunitas, memperlambat
proses penuaan, serta meningkatkan penampilan fisik.
Bagi industri pangan, pangan fungsional akan memberikan kesempatan yang tidak
terbatas untuk bebas berinovasi dan memformulasikan produk-produk yang beda
dari yang ada dan yang mempunyai nilai tambah bagi masyarakat. Selanjutnya bagi
pemerintah, adanya pangan fungsional akan menurunkan biaya pemeliharaan
kesehatan masyarakat serta sosialsiasi akan pentting hidup sehat berbahan alami.
Penelitian ini diharapkan diperoleh produk sediaan pangan fungional dari rumput
laut hijau C. Lentilifera yang mempunyai nilai tambah sebagai imunomodulator
sehingga dapat dikeembangkan sampai ke produk komersialisasi, dimana
ketersediaannya sangat banyak dijumpai di perairan laut Indonesia.
BAB 3. METODE PENELITIAN
a. Telaah literatur/pustaka
Penelitian mengenai sediaan pangan fungsional dari rumput laut hijau Caulerpa
lentilifera belum ada yang melakukan. Penelitian yang sudah dilakukan diantaranya:
- Uji aktivitas imunomodulator dari polisakarida sulfat rumput laut hijau C. lentilifera
mempunyai aktivitas secara in vitro terhadap sel makrofag RAW 264.7 (Maeda*
et al., 2012).
- Kandungan metabolit sekunder dari C. lentilifera diantaranya klionasterol, 1,4 -
glukan dan 1,3--glukan (Maeda et al., 2012).
- Aktivitas biologi dari C. lentilifera diantaranya sebagai imunostimulator, anti
bakteri, anti mikroba, anti jamur dan anti tumor (Maeda* et al., 2012; Roohinejad
et al., 2017; Sharma & Rhyu, 2014). Aktivitas antioksidan dan kandungan fenolik
yang tinggi juga terdapat pada C. Lentilifera (Shevchenko et al., 2009; Konishi et
al., 2012).
5
Berdasarkan telaah literatur di atas, potensi rumput laut hijau baru diteliti secara in vitro,
sedangkan produk dari C. lentilifera belum ada yang mengembangkan khususnya sebagai
sediaan pangan fungsional.
b. Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) hasil riset dan pengembangan
- Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) hasil riset dan pengambangan tahun ke-2 dari
formulasi sediaan pangan fungsional sebagai imunomodulator untuk menurunkan angka
stunting pada balita dalam bentuk prototipe dan uji toksisitas akut untuk mengetahui
keamanan produk. Pada tahap ini, Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) sudah meningkat
pada level 6.
c. Peta rencana pengembangan teknologi menurut TKT (1-9 tahap)
- Peta rencana pada penelitian ini diilustrasikan pada Gambar 2. Pada tahun 2018,
kegiatan penelitian terdiri dari persiapan bahan baku, proses ekstraksi, fraksinasi, dan uji
aktivitas imunomodulator dari ekstrak dan fraksi rumput laut hijau Caulerpa lentilifera.
Pada tahap ini, Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) masih dalam level 3 dimana telah
dilakukan studi literatur baik teori maupun empiris dari penelitian terdahulu tentang prinsip dasar
yang akan dikembangkan bahwa rumput laut hijau C. lentilifera mempunyai aktivitas sebagai
imunomodulator terhadap sel makrofag RAW RAW 264.7 (Maeda et al., 2012).
- Pada tahun ke-2, penelitian yang dilakukan terdiri dari formulasi sediaan pangan
fungsional sebagai imunomodulator untuk menurunkan angka stunting pada balita dalam
bentuk prototipe dan uji toksisitas akut untuk mengetahui keamanan produk. Pada tahap
ini, Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) sudah meningkat pada level 6.
- Pada tahun ke-3, kegiatan penelitian meningkat menjadi perbesaran skala dari
hasil formulasi tahun ke-2. Pada tahap ini, Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT)
diharapkan meningkat menjadi level 8.
6
Gambar 3.1. Tahapan kegiatan penelitian sediaan pangan fungsional dari rumput
laut hijau
d. Metode Penelitian
Penelitian ini melibatkan empat instansi yaitu Pusat Penelitian Kimia LIPI dan
Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia yang fokus pada formulasi produk dan uji mutu
produk pangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang fokus pada penyediaan bahan
baku rumput laut hijau Caulerpa lentilifera hingga proses ekstraksi dan uji responden,
dan Fakultas Farmasi UHAMKA pada uji toksisitas akut dan imunomodulator secara in
vivo.
Tahapan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Proses ekstraksi rumput laut hijau C. Lentilifera budidaya (Takalar, Makassar)
Serbuk rumput laut hijau C. lentilifera dimaserasi menggunakan etanol
Residu selanjutnya diekstraksi kembali dengan air pada suhu 80ºC.
2. Filtrat ditambahkan etanol 4:1 sehingga diperoleh ekstrak air dan endapan. Ekstrak
air selanjutnya dilakukan uji toksisitas akut dan imunomodulator secara in vivo.
3. Analisis proksimat, analisis total gula, monomer, kandungan sulfat, dan identifikasi
dari simplisia dan ekstrak
4. Uji toksisitas akut/sub kronik dari ekstrak aktif
-Persiapan bahan
baku
-Ekstraksi
-Fraksinasi
-Uji aktivitas
imunomodulator
-Formulasi sediaan
pangan fungsional
dan uji aktivitasnya
-Uji kemanan pangan
(toksisitas akut,
logam berat, dll)
-
- Perbesaran
skala/scale up
2018 2019
2020
K
O
M
E
R
S
I
A
L
I
S
A
S
I
7
a. Prinsip pengujian : Bahan uji diberikan secara oral dengan dosis bertingkat
pada beberapa kelompok hewan uji. Dilakukan pengamatan efek toksis dan
kematian hewan yang mati selama pengujian dan yang hidup diotopsi dievaluasi
secara makroskopis
b. Tujuan : Untuk mengetahui / memperoleh informasi tentang spektrum
toksisitasnya Penetapan LD 50 sehingga dapat diperoleh informasi tentang
derajad toksisitasnya ; Data yang diperoleh merupakan informasi penting untuk
merancang uji toksisitas subkronis (dosis target organ dll)
c. Metode : Metode yang digunakan adalah yang paling umum dipakai yaitu
metode Litchifield dan Wilcoxon (1949), metode Weil Cs (1952) hasil dari uji
diestrapolasi menurut Paget & Barnes (1964) dan kriteria toksisitas Gleason MN
(1969). Pada pengujian ini digunakan hewan coba mencit ♂ dan ♀ strain DDY
umur 2-3 bulan, dengan Berat badan 20 – 30 gram. Jumlah mencit yang
digunakan 6 ekor ♂ dan 6ekor ♀ (pada tiap kelompoknya). Pengamatan
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bahan uji. Dilakukan autopsi untuk
pemeriksaan organ tubuh secara makroskopik guna mengungkap kerusakan
struktur organ (hati, paru, jantung, ginjal, ataupun lambung) yang dapat
menjelaskan gejala gangguan fungsinya. Hasil pengamatan dianalisa secara
statistik.
5. Pembuatan formulasi sediaan
Pada pembuatan formulasi sediaan dalam bentuk biskuit untuk balita dilakukan di
STFI Bandung. Bahan-bahan yang digunakan untuk formulasi biskuit dari rumput
laut hijau Caulerpa lentillifera sebagai berikut:
Komponen Jumlah Satuan
Tepung Terigu Rendah Protein 150 gram
Unsalted butter suhu ruang 120 gram
Rumput laut hijau 120 gram
Gula Halus/Stevia 30 gram
Prosedur umum yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Rumput laut diblender sampai halus
Unsalted butter dikocok hingga lembut
8
Tepung dimasukkan ke dalam unsalted butter yang telah halus (massa 1)
Rumput laut yang telah halus dimasukkan ke dalam massa 1 kemudian diaduk
hingga homogeny (Massa 2)
Massa 2 disimpan dalam nlemari es kurang lebih 30 menit
Massa 2 dicetak dan disusun di atas loyang yang telah diolesi mentega dan tepung
Panggang dalam oven suhu 170ºC selama 25-30 menit.
6. Uji imunomodulator secara in vivo
a. Pembuatan Supensi Na-CMC 0.5 %
Lima ratus miligram Na-CMC ditimbang, kemudian dilarutkan dalam sebagianakuades
hangat, diaduk dan ditambah akuades sambil terus diaduk memakai batang pengaduk.
Setelah larut semua sisa akuades ditambahkan sampai didapatkan volume larutan Na-
CMC 100 ml dengan memakai labu takar 100 ml.
b. Aklitimasi Hewan Uji
Hewan uji terlebih dahulu diadaptasikan (aklitimasi) terhadap lingkungan selama 2
minggu. Hewan uji terdiri dari mencit galur DDY setiap kelompok terdiri dari 5 hewan
uji. Menurut WHO minimal hewan uji untuk satu kelompok uji adalah 5 ekor.
3.5.3 Uji Peningkatan Total Leukosit, Persentase Limfosit dan Monosit Mencit sebanyak
24 ekor dibagi dalam 4 kelompok perlakuan berdasarkan dosis ektrak etanol jinten hitam
yang diberikan. Pemberian ekstrak diberikan selama 14 hari berturut secara oral. Setiap
hari ke – 7, hari ke 14 dan hari ke 21. Darah diambil melalui pleksus retro orbital mata
mencit.
Tabel 3.1. Kelompok untuk uji total leukosit, limfosit dan monosit
No Kelompok Perlakuan Pengambilan
Darah
1. Kontrol diberikan Na-CMC 0.5% 0.5
ml/kgBB selama 14 hari berturut -
turut
Hari ke - 7, ke - 14,
dan Ke 21
2. Dosis Rendah diberikan sampel dosis rendah selama
14 hari berturut – turut
Hari ke - 7, ke - 14,
dan Ke 21
3. Dosis Sedang
diberikan sampel dosis sedang selama
14 hari berturut – turut
Hari ke - 7, ke - 14,
dan Ke 21
4. Dosis Tinggi diberikan sampel dosis tinggi selama
14 hari berturut – turut
Hari ke - 7, ke - 14,
dan Ke 21
9
c. Uji Kadar Interleukin 1β (IL-1β)
Pada uji kadar IL-1β dilakukan pemberian sampel secara oral dengan dosis.
Selanjutnya pada hari ke – 5, dua jam setelah pemberian sampel diberikan LPS 20
μg/mencit. Darah mencit diambil 6 jam kemudian, melalui pleksus retro orbital mata
mencit (Manu dan Kuttan, 2008).
Tabel 3.2. Data Perlakuan untuk uji kadar IL - 1β
No Kelompok Perlakuan Pengambilan Darah
1. Kontrol diberikan Na-CMC 0.5% 0.5
ml/kgBB selama 5 hari berturut -
turut
Hari ke – 5
2. LPS Diberikan LPS 20 μg/mencit pada
hari ke 5
Hari ke – 5
3. Dosis Rendah diberikan sampel dosis rendah selama
5 hari berturut - turut. Hari ke – 5 dua
jam setelah pemberian sampel,
diberikan LPS 20 μg/mencit
Hari ke – 5
4. Dosis Sedang
diberikan sampel dosis sedang selama
5 hari berturut - turut. Hari ke – 5 dua
jam setelah pemberian sampel,
diberikan LPS 20 μg/mencit
Hari ke – 5
5. Dosis Tinggi diberikan sampel dosis tinggi selama 5
hari berturut - turut. Hari ke – 5 dua
jam setelah pemberian sampel,
diberikan LPS 20 μg/mencit
Hari ke – 5
d. Pengambilan darah
Darah diambil dari setiap hewan uji melalui pleksus retro orbital mata mencit. Sampel
darah untuk uji total leukosit dimasukkan ke dalam tabung vacutainer EDTA dan sampel
darah untuk uji IL-1β dimasukkan ke tabung vacutainer EDTA yang berbeda. Darah
untuk uji IL-1β disentrifus pada 3000 rpm selama 20 menit, plasma yang muncul
dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf disimpan pada suhu – 20o C sampai waktu
pemeriksaan IL-1β dengan ELISA.
e. Perhitungan Total Leukosit
Penghitungan jumlah leukosit total dilakukan menggunakan hemositometer dengan
pengenceran 1:20. Untuk memperoleh pengenceran 1:20 sampel darah dihomogenkan,
10
kemudian dihisap dengan menggunakan pipet leukosit dan aspirator sampai tera 0,5.
Selanjutnya, larutan Turk dihisap hingga tera 11, aspirator dicabut kemudian
dihomogenkan secara manual, yaitu dengan cara memutar membentuk angka 8.
Selanjutnya sampel dibuang sekitar 2-3 tetes, setelah itu dimasukkan ke dalam kamar
hitung Neubauer dan ditutup dengan gelas penutup kemudian diperiksa denganmikroskop
perbesaran 40 x 10. Leukosit dihitung pada empat kotak besar di tiap sudut tiap sisi kamar
hitung. Sel yang menempel di garis pemisah sebelah kiri dan di garis atas kotak persegi
ikut dihitung, sel yang menempel di kedua sisi kotak lain tidak ikut dihitung (Anandika,
2011). Karena kedalaman kamar kamar hitungNeubauer adalah 0,1 mm dan luas adalah
4 mm2 (terdiri dari 4 kamar masing-masing dengan luas 1 mm2 jadi total 4 mm2 ). Maka
volume kotak adalah 0,4 mm3 (Kulisic, 2006)
Jumlah total leukosit per mm3 = N x faktor pengenceran
Volume Kotak
N : Jumlah total leukosit dari 4 kamar hitung
f. Analisa Persentase Monosit dan Limfosit
Sampel darah segar diteteskan pada gelas objek dan dibuat preparat apus. Setelah
dibiarkan mengering di udara, preparat apus kemudian difiksasi dengan methanol selam
5 menit. Preparat kemudian diwarnai dengan pewarna Giemsa denganpengenceran 1 : 9
selama 30 menit.. Selanjutnya preparat dicuci menggunaan aquades dan dibiarkan
mengering. Setelah kering preparat diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran
100 x dengan dibubuhi minyak emersi pada permukaan sediaan apus tersebut. Pertama –
tama dihitung sampai 100 sel leukosit, kemudian dari 100 sel leukosit dihitung jumlah
monosit dan limfosit. Lalu ditentukan persentase monosit dan limfosit dari total 100
leukosit tersebut dengan rumus sebagai berikut (Handajani dan Dharmawan , 2009).
% Limfosit =∑ limfosit
100 × 100 %
% Monosit =∑ Monosit
100 × 100 %
g. Pengukuran kadar IL-1β dengan ELISA
Sebanyak 0.1 ml sampel, kontrol dan standar dimasukkan ke dalam microplate yang telah
dilapisi anti - mouse IL - 1β antibodi kemudian diinkubasi selama 90 menit pada suhu 37o
C lalu membuang isi plate dan keringkan menunggunakan handuk, Tambahkan 0.1 ml
11
biotinylated anti mouse IL - 1β antibody inkubasi pada suhu 37 o C selama 60 menit lalu
mencuci microplate dengan 0.01M PBS sebanyak 3 kali. Tambahkan 0,1ml larutan ABC
diinkubasi pada suhu 37 o C selama 30 menit lalu mencuci microplate dengan 0.01M PBS
sebanyak 5 kali.
Menambahkan 90 ul dengan TMB Color developing agen dan didiamkan selama 30 menit
pada suhu ruangan di tempat yang gelap. Ditambahkan 0.1 ml TMB stop solution. Dibaca
optical density absorbasi dengan ELISA reader yang diatur pada 450 nm.
h. Analisa Statistik
Analisa jumlah total leukosit, presentase monosit, presentase limfosit dan kadar IL-1β
menggunakan ANOVA (Analysis Of Variance) dengan menggunakan program SPSS
17,0 for windows taraf kepercayaan sebesar 95% dengan (α= 0,05).
BAB 4. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
a. Tabel Luaran
No Luaran Status
Draft Submitted/
Review
Accepted/
Publish
1 Prosiding International terindeks 100
2 Jurnal Internasional 100
3 Paten 100
4 Prototipe Lab
4.1 Analisis Proksimat
Analisis proksimat menggunakan tepung Caulerpa lentillifera yang berasal dari
Makassar, Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.1. Analisis proksimat dilakukan sebagai
langkah awal penilaian kualitas dari bahan yang akan digunakan pada penelitian lanjutan
terutama pada standar komposisi yang seharusnya terkandung di dalamnya. Analisis
komposisi proksimat tersebut harus mencakup, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar
protein, kadar karbohidrat, dan kadar serat. Tiga komposisi terbesar pada Caulerpa
lentillifera yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu, kadar abu (46,41%), kadar
karbohidrat (26,56%), dan kadar air (17,09%).
Tabel 4.1 Hasil Analisis Proksimat Caulerpa lentillifera Makassar
No Analisis Proksimat Hasil (%)
1 Kadar Air 17,09±0,27
12
2 Kadar Abu 46,41±1,12
3 Kadar Lemak 1,10±0,02
4 Kadar Protein 9,18±0,27
5 Kadar Karbohidrat 26,56±0,12
6 Kadar Serat 8,49±1,10
Secara umum, rumput laut memiliki kadar abu yang tinggi karena polisakarida dan
protein pada dinding sel nya memiliki kandungan mineral dan senyawa inorganik lainnya.
Kadar abu yang biasanya dimiliki oleh rumput laut berkisar antara 8-40%. Hasil kadar
abu pada sampel yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan
dengan dengan Caulerpa lentillifera yang berasal dari Malaysia (Matanjun & Mohamed,
2009, Tabel 4.2) dan dari Thailand (Ratana-arporn & Chirapart, 2006, Tabel 4.3) dengan
hasil 37,15±0,64% dan 24,21±1,70% secara berurutan. Perbedaan kadar abu dalam
spesies dapat disebabkan oleh habitat yang berbeda di mana mereka tumbuh yang
mungkin memiliki konsentrasi yang berbeda dari senyawa anorganik dan garam di
lingkungan air dan metode mineralisasi yang berbeda pada spesies yang dipengaruhi oleh
suhu dan pH (Mwalugha, Wakibia, Kenji, & Mwasaru, 2015).
Total kandungan lemak pada rumput laut pada umumnya berkisar antara 1-8%
dari berat kering dengan variasi yang sangat banyak antar spesies. Peran lemak pada
rumput laut adalah sebagai tempat penyimpanan energi, termasuk penyimpanan karbon,
komposisi struktural membran seluler dan intraseluler, dan juga sebagai pensinyalan sel.
Kandungan lemak pada rumput laut lebih rendah dibandingkan dengan tanaman darat
atau bahkan mikroalga. Hasil kadar lemak pada Caulerpa lentillifera yang digunakan
pada penelitian ini memiliki hasil yang sama dengan Malaysia yaitu 1,10±0,02% dan
1,11±0,05% secara berurutan. Namun kandungan lemak pada Caulerpa lentillifera dari
Thailand memiliki kadar yang lebih rendah yaitu hasil 0,86±0,10%. Adanya perbedaan
kandungan lemak pada rumput laut dengan spesies yang sama diperkirakan dipengaruh
oleh usia, tahapan perkembangan dan juga variasi ekologinya (Terme, Boulho, Kucma,
Bourgougnon, & Bedoux, 2018).
Protein rumput laut mengandung beberapa asam amino tertentu, yang biasanya sangat
bergantung pada waktu panennya. Selain itu, kadar protein yang berbeda pada setiap
rumput laut juga bergantung pada area atau habitat nya. Berdasarkan hal tersebut,
sehingga kadar protein pada satu spesies yang sama juga sangat bervariasi. Pada rumput
13
laut hijau kadar protein berkisar antara 14-26%. Hasil kadar karbohidrat pada sampel
yang digunakan pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan dengan
Caulerpa lentillifera yang berasal dari Malaysia dan dari Thailand dengan hasil
10,41±0,26% dan 12,49±0,30% secara berurutan (Černá, 2011).
Di antara beberapa komposisi penyusun rumput laut, karbohidrat adalah komposisi
yang paling penting pada rumput laut sehubungan dengan kemampuan bioaktifitasnya
yang telah diteliti pada beberapa penelitian. Rumput laut mengandung sejumlah besar
polisakarida, terutama polisakarida struktural yang terdapat pada dinding sel.
Polisakarida minor lain juga ditemukan di dinding sel rumput laut hijau yaitu polisakarida
yang mengandung sulfat. Hasil kadar karbohidrat pada sampel yang digunakan pada
penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan dengan Caulerpa lentillifera yang
berasal dari Malaysia dan dari Thailand dengan hasil 38,66±0,96% dan 59,27±0,10%
secara berurutan. Didapatkan bahwa kandungan karbohidrat Caulerpa lentillifera yang
terdapat di perairan Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan dua wilayah
lainnya. Meskipun demikian, kandungan karbohidat Caulerpa lentillifera pada penelitian
ini masih dalam kisaran yang diinginkan. Kandungan karbohidrat dalam alga berkisar
dantara 20% hingga 40% dari total massa sel (Juneja, Ceballos, & Murthy, 2013)
Meskipun sampai saat ini belum ada alasan yang paling tepat sebenarnya mengenai
adanya perbedaan komposisi dalam Caulerpa lentillifera yang diperoleh dari Indonesia,
Malaysia, dan Thailand saat ini, namun yang menjadi alasan paling mendekati adanya
perbedaan komposisi ini dikarenakan adanya perbedaan pada masing-masing individu
rumpur laut waktu panen, iklim/musim dan juga kondisi habitat Caulerpa lentillifera di
empat wilayah ini (Ito & Hori, 2009).
Rumput laut harus berinteraksi dengan lingkungan biotik dan abiotiknya dan hal
inilah yang menyebabkan adanya perbedaan komposisi pada hasil analisis proksimat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan komposisi karbohidrat pada rumput laut
hijau adalah intensitas cahaya dan kadar CO2 dan berbagai nutrien penting lainnya yang
dibutuhkan untuk proses pembentukan karbohidrat atau disebut juga proses fotosintesis.
Pengaruh spesifik biasanya terjadi pada dinding sel rumput laut yang menjadi lokasi
utama pembentukan karbohidrat. (Popper, Ralet, & Domozych, 2014).
4.2 Ekstraksi dan Pemurnian Polisakarida
14
Tahapan awal sebelum dilakukan ekstraksi adalah proses maserasi dengan
menggunakan etanol. Proses maserasi ini bertujuan untuk menghilangkan pigmen
(klorofil) dan protein yang ada pada Caulerpa lentillifera (Cho, Yang, Kim, & You,
2010). Selanjutnya, ekstraksi polisakarida sulfat dari rumput laut hijau Caulerpa
lentillifera dilakukan menggunakan air dengan suhu sekitar 70–80oC. Hasil rendemen
ekstrak kasar yang didapatkan sebesar 4,16 gram dengan persen hasil 4,16% (w/v) dari
berat awal sampel kering sebesar 100 gram.
Ekstraksi polisakarida sulfat biasanya dilakukan dengan menggunakan berbagai
pelarut; yaitu metanol, etanol, dan aseton, dan juga air. Namun beberapa pelarut tertentu
dilarang digunakan pada di industri makanan atau obat, terutama metanol. Sehingga
metode ekstraksi polisakarida sulfat dari rumput laut yang aman menggunakan ekstraksi
air (Imjongjairak et al., 2015).
Selanjutnya, ekstrak kasar polisakarida yang telah didapatkan, dimurnikan dengan
menggunakan kromatografi penukar ion menggunakan resin DEAE-Sepharose.
Kromatografi penukar ion banyak digunakan untuk memisahkan polisakarida
berdasarkan sifat ionik yang berbeda. Pemurnian dengan DEAE-Sepharose ini akan
berpengaruh pada hasil, sifat kimia termasuk kadar gula, berat molekul dan komposisi
monosakarida. Pemurnian ini, diharapkan akan didapatkan sampel polisakarida sulfat
yang diinginkan adalah polisakarida yang memiliki gugus sulfat. (Wu, Fu, Brennan,
Brennan, & Chun, 2016).
Sampel ekstrak kasar sebanyak satu gram dilarutkan dalam aquades dan dipastikan
seluruh padatan larut dengan sempurna menggunakan pemanasan pada suhu 70-80oC.
Kemudian larutan ekstrak kasar tersebut dimasukkan ke dalam kolom kromatografi yang
sebelumya telah dimasukkan resin DEAE-sepharose sebagai penukar ion. Pemurnian ini
menggunakan eluen NaCl dengan variasi konsentrasi yang meningkat dari 0,5–2,5 M.
Pada proses pemurnian, fraksi pada tiap 10 mL diuji dengan menggunakan fenol-H2SO4
untuk menentukan proses pengendapan ekstrak murni. Hasil pengukuran absorbansi dari
pemurnian polisakarida sulfat dilihat pada gambar 4.1 berikut.
15
Penentuan fraksi ini, berdasarkan nilai absorbansi pada setiap 10 mL larutan yang
ditampung dan kemudian diuji secara spektrofotometer dengan panjang gelombang 490
nm. Pada pemurnian ini, terdapat tiga fraksi yang dipilih berdasarkan nilai absorbansi
dengan nilai yang paling tinggi. Absorbansi yang tinggi diharapkan nantinya memiliki
kandungan polisakarida yang tinggi saat dilakukan proses pengendapan menggunakan
etanol. Fraksi 1 (CL1), fraksi 2 (CL2), dan fraksi 3 (CL3) dielusi dengan menggunakan
NaCl dengan peningkatan konsentrasi dimulai dari 0,5 M – 2,5 M. Semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan maka fraksi yang didapatkan diharapkan akan memiliki
kepadatan muatan yang tinggi, yang disebabkan karena adanya gugus sulfat pada rantai
polisakarida tersebut (Nie, Shi, Ding, & Tao, 2006).
Setelah itu, ketiga fraksi tersebut kemudian ditambahkan dengan etanol, dan
diendapkan selama semalaman pada suhu 4oC. Endapan kemudian di sentrifugasi dan
dikeringkan. Pada proses pemurnian ini, fraksi 1 (CL1), fraksi 2 (CL2), dan fraksi 3
(CL3), masing-masing memperoleh endapan sebesar 16,5 mg; 72,7 mg; dan 18,8 mg.
Sehingga jika total keseluruhan persen hasil pada proses pemurnian ini didapatkan
sebesar 14,8%. Proses ektraksi dan pemurnian dapat dilihat pada Lampiran 1.
4.3 Karakterisasi Hasil Ektraksi
4.3.1 Analisis gugus fungsi dengan FTIR
Data spektrum infra merah digunakan untuk mengetahui jenis gugus fungsi spesifik
yang ada dalam molekul suatu senyawa. Pada penelitian ini data spektrum infra merah
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Ab
sorb
ansi
(A
)
Nomor Fraksi
Gambar 4.1 Pengujian hasil pemurnian polisakarida
CL1
CL2 CL3
16
digunakan untuk mengetahui beberapa gugus penting yaitu jenis monomer penyusun
polisakarida, gugus ester sulfat dan juga posisi ester sulfat. Dengan mengetahui berbagai
gugus tersebut, akan menjadi acuan pada karakterisasi lainnya.
Pada penelitian ini, ekstrak kasar dan murni Caulerpa lentillifera dihaluskan
bersamaan dengan KBr (1:100) lalu diberi tekanan hingga 7000 Pa hingga menjadi pelet
yang berbentuk transparan. Pelet tersebut kemudian dianalisis pada spektrum infra merah
pada bilangan gelombang 4000-500 cm-1.
Spektra FTIR dari ekstrak kasar dan murni Caulerpa lentilifera ditunjukkan pada
Gambar 4.2 dan Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Posisi pita infra merah spesifik ekstrak Caulerpa lentillifera
Ekstrak Kasar CL1 CL2 CL3 Signal
characteristics
3435,88 3435,59 3435,46 3435,88 Peregangan O-H
2924,40 2928,02 2929,37 2931,34 Peregangan C-H
1638,10 1639,29 1636,35 1634,65 Ikatan O-H
1418,79 1411,75 1410,74 1408,24 Peregangan S=O
(Gugus Sulfat Ester)
Gambar 4.2 Overlay hasil FTIR; ekstrak kasar (hitam), fraksi 1 ekstrak murni
(hijau), fraksi 2 ekstrak murni (merah), dan fraksi 3 ekstrak murni (biru)
3900 2900 1000
1100
1400 1600 800
17
1155,97 1161,88 1154,91 1154,91
Ikatan C-OH pada
oligosakarida
seperti pada manosa
dan galaktosa
1080,10
1021,06
1075,45
1024,16 1102,93 Ikatan glikosidik
(C-O-C) 1052,52
1022,59
800,20 - - - -
- 814,91 812,00 812,28 Gugus Sulfat
Spektrum ekstrak kasar dan murni (CL1, CL2, dan CL3) menunjukkan berbagai
bilangan gelombang yang menunjukkan beberapa kelompok gugus fungsional. Pada
ketiga sampel tersebut, terdapat bilangan gelombang yang diamati pada kisaran 3400 cm-
1 dan dapat ditetapkan sebagai ikatan kuat dari peregangan O-H. Hal ini berarti, senyawa
tersebut memiliki gugus hidroksil bebas dan menunjukkan pita untuk peregangan O-H.
Untuk gula, diferensiasi gugus hidroksil primer dan sekunder oleh frekuensi OH tidak
dapat dilaukan, karena pergeseran frekuensi yang disebabkan oleh ikatan hidrogen. FTIR
dapat digunakan hanya untuk mendeteksi ikatan hidrogen, yang mungkin antara satu
molekul dan lainnya (intermolekul) atau dalam satu molekul (intramolekul).
Ketiga sampel juga memiliki bilangan gelombang pada 2900 cm-1 dalam spektrum
FTIR menunjukkan adanya peregangan C-H. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa seluruh
sampel tersebut merupakan polisakarida. Hal ini disebabkan karena spektrum FTIR
dalam wilayah bilangan gelombang 500 cm-1 hingga 3000 cm-1 digunakan untuk analisis
data dikarenakan merupakan daerah fingerprint untuk polisakarida sulfat (Fernando et al.,
2017). Bilangan gelombang pada 1630-1640 cm-1 menunjukkan kelompok getaran
peregangan pada kelompok asam karboksilat (C=O) pada aldehid yang menjadi gugus
penting dalam karbohidrat. Selanjutnya, ketiga sampel tersebut memiliki kandungan
sulfat seperti yang ditunjukkan oleh bilangan gelombang pada 1405-1420 cm-1 yang
menunjukkan peregangan S=O. Bilangan tersebut menunjukkan gugus ester sulfat.
Berdasarkan bilangan gelombang tersebut, diperkirakan bahwa sampel merupakan
golongan polisakarida sulfat.
Pada bilangan gelombang pada 1150-1155 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C-OH
dalam oligosakarida spesifik seperti pada mannose dan galactose (Chandra et al., 2017).
Semua spektrum FTIR polisakarida sulfat dengan puncak bilangan gelombang berkisar
pada 1.035 cm-1 mewakili getaran peregangan jembatan glikosida (C─O─C). Ikatan
18
glikosidik juga menunjukkan bilangan gelombang antara 1200 dan 900 cm-1 secara
spesifik sebagai jembatan β C1-O-C4’ (Sekkal, Dincqb, Legrandb, & Huvenneb, 1995).
Selain itu, spektrum FTIR dalam bilangan gelombang 810-820 cm-1 menunjukkan gugus
sulfat pada C-6 galaktosa yang diperkirakan terkait dengan senyawa D-galaktosa-6-sulfat
(Pereira, Sousa, Coelho, Amado, & Ribeiro-claro, 2003). Berdasarkan hasil, ketiga fraksi
dari ekstrak murni adalah serupa, dan dapat diputuskan sebagai senyawa yang sama.
Absorpsi karakteristik polisakarida sulfat dari rumput laut Caulerpa lentillifera dalam
spektrum FT-IR juga ditemukan panjang gelombang pada wilayah 3600-3200 cm-1 yang
dikelompokkan pada gugus fungsi O-H, dan pada panjang gelombang 2920 cm-1
dikelompokkan pada gugus fungsi C-H. Selanjutnya, ditemukan panjang gelombang pada
1200-1000 cm-1 dikelompokkan pada gugus fungsi C-O-C dan C-O-H. Gugus karboksil
(COO-) ditunjukkan pada 1640 dan 1417 cm-1 yang timbul dari gugus C=O asimetris dan
getaran peregangan C-O simetris. Gugus sulfasi (SO3-) ditunjukkan pada panjang
gelombang 1240 dan 816 cm-1 menunjukkan adanya kelompok S=O asimetris dan C-O-
S simetris yang beruhubungan dengan kelompok C-O-SO3. Berdasarkan analisis ini
dinyatakan juga bahwa polisakarida yang terdapat pada Caulerpa lentillifera
mengandung gugus sulfat (Sun et al., 2017).
Pada analisis FTIR menggunakan Caulerpa racemosa terdapat kemiripan hasil dengan
Caulerpa lentillifera yang dilakukan pada penelitian ini. Caulerpa racemosa terdeteksi
memiliki gugus sulfat ester pada pada bilangan gelombang 1253 cm-1 dan juga ditemukan
kesamaan wilayah fingerprint pada senyawa penyusun dengan Caulerpa lentillifera yaitu
gugus sulfat yang diperkirakan berasal dari senyawa galaktosa-6-sulfat pada bilangan
gelombang 823 cm-1 (Ghosh et al., 2004).
Berdasarkan hasil ini, genus Caulerpa cenderung memiliki monomer penyusun yaitu
galaktosa. Caulerpa lentillifera adalah salah satu rumput laut hijau yang menjadi sumber
polisakarida sulfat yang nantinya dapat digunakan sebaga bahan bioaktif dalam
pengobatan.
4.3.2 Analisis Total Gula dan Sulfat menggunakan spektrofotometer
Analisis kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan metode H2SO4-fenol.
Penggunaan metode ini dapat memberikan estimasi terbaik dalam menganalisis
kandungan gula pada suatu sampel. Kandungan fenol dalam asam sulfat digunakan untuk
penentuan mikro kolorimetri kuantitatif gula dan turunan metilnya, oligosakarida, dan
19
polisakarida. Metode ini sederhana, cepat, dan sensitif, sehingga dapat memberikan hasil
yang baik. Pereaksi yang digunakan murah dan stabil, dan hanya membutuhkan satu
kurva standar untuk setiap sampel. Warna yang dihasilkan bersifat permanen dan tidak
perlu memberikan perlakuan khusus. Metode ini menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang 490 nm untuk gula heksosa (Dubois, et al 1956). Analisis ini
menggunakan ekstrak kasar dan murni dari polisakarida sulfat dengan variasi konsentrasi
100 ppm. Sebagai standard, digunakan xylosa dan galaktosa karena diperkirakan
monomer gula tersebut yang terdapat pada esktrak. Variasi konsentrasi standard yang
digunakan adalah 5, 10, 15, 20, 25 ppm (Lampiran 3).
Analisis kadar sulfat pada penelitian ini menggunakan metode turbidimeter BaCl2 –
gelatin. Prosedur analisis ini memiliki keunggulan yaitu kecepatan dan kesederhanaan
dalam penganalisisian. Prosedur ini juga membutuhkan sejumlah kecil sampel karena
diketahui bahwa banyak polisakarida sulfat yang sulit untuk diekstraksi dalam jumlah
yang cukup besar (Dodgson & Price, 1962). Analisis kadar sulfat ini juga diikuti dengan
pengukuran menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 360 nm dengan
menggunakan larutan K2SO4 sebagai standard. (Lampiran 4). Hasil analisis total gula dan
kadar sulfat dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Analisis Ekstrak Kasar dan Murni Caulerpa lentillifera
No Sampel Total Gula (%) Sulfat (%)
1 Ekstrak Kasar 35,63 ± 1,28 2,75 ± 0,21
2 Ekstrak Murni 40,51 ± 1,23 5,44 ± 0,25
Perhitungan total karbohidrat pada Tabel 4.5 berdasarkan hasil absorbansi standard
yang terlampir pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil grafik uji total karbohidrat dapat
dilihat bahwa total karbohidrat dalam ekstrak murni memiliki jumlah yang lebih besar
jika dibandingkan dengan ekstrak kasar. Kandungan galaktosa pada ekstrak murni
memiliki jumlah yang besar dibandingkan dengan ekstrak kasar (Lampiran 3).
Berdasarkan Tabel 4.3, ekstrak kasar pada konsentrasi memiliki total karbohidrat yang
didapatkan yaitu sebesar 35,63% sedangkan pada ekstrak murni, total karbohidrat yang
didapatkan yaitu 40,51%.
Berdasarkan hasil analisis ini didapatkan bahwa di dalam hasil ekstraksi, terdapat
kandungan sulfat. Perhitungan total sulfat pada Tabel 4.6 berdasarkan hasil absorbansi
20
pengujian standard K2SO4 yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan hasil pada
Tabel 4.3, kandungan sulfat pada ekstrak murni lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak
kasar. Kandungan sulfat pada ekstrak kasar didapatkan sebesar 2,75% dan pada ekstrak
murni didapatkan kandungan sulfat sebesar 5,44%.
4.3.3 Analisis monomer gula menggunakan HPLC
Polisakarida sulfat dari rumput laut hijau banyak terdapat monomer-monomer gula
seperti rhamnosa, xylosa, glukosa, galaktosa, mannosa, dan arabinosa. Selain itu,
keberadaan gugus sulfat juga menjadi faktor penting pada polisakarida yang telah
dimurnikan menggunakan metode ini. Analisis untuk karakter tersebut biasanya
menggunakan Spektrofotometer atau HPLC, dengan menggunakan berbagai metode
Pada analisis ini standard monosakarida yang digunakan adalah glukosa galaktosa,
xylosa, arabinosa, manosa, fruktosa, dan maltosa. Sampel ekstrak kasar dan esktrak halus
dihidrolisis terlebih dahulu untuk memecah rantai polisakarida menjadi oligomer
penyusunnya. Selanjutnya sampel dan larutan standar tersebut diukur dengan
menggunakan HPLC Shimadzu dengan kolom Hi-Plex untuk karbohidrat. Pengukuran
dilakukan secara kualitatif yaitu dengan melihat waktu retensi yang muncul untuk melihat
jenis monosakarida yang ada pada sampel dan juga dilakukan secara kuantitaif dengan
mengetahui luas puncak area untuk nantinya mengetahui kadar monosakarida yang
terkandung dalam sampel dengan menggunakan larutan standard sebagai perbandingan.
Analisis HPLC dari standar dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan ekstrak kasar dan
murni Caulerpa lentilifera ditunjukkan pada Gambar 4.3a dan 4.3b
21
Penentuan waktu retensi dari tiap puncak berdasarkan pada interaksi gugus hidroksil
pada masing-masing monomer yang terpisah di sampel dengan kolom yang digunakan.
Analisis HPLC pada ekstrak kasar (Gambar 4.3a) menunjukkan adanya satu puncak
dominan yang muncul paling awal yang diperkirakan merupakan oligosakarida yang
tidak terhidrolisis dengan sempurna. Kemudian diikuti oleh dua puncak lainnya pada hasil
analisis. Penentuan monomer melalui HPLC ini disesuaikan dengan standar monomer
gula yang telah dianalisis sebelumnya dan didapatkan waktu retensinya. Berdasarkan
waktu retensi pada standar, didapatkan bahwa ada dua puncak yang terdeteksi sebagai
glukosa dengan waktu retensi pada 8,988 menit dan juga galaktosa dengan waktu retensi
adalah 9,579 menit.
Pada ekstrak murni hasil HPLC (Gambar 4.3b) menunjukkan beberapa puncak pada
hasil analisis tersebut. Sama seperti pada ekstrak kasar, pada ekstrak murni juga terdapat
satu puncak dominan yang muncul paling awal yang diperkirakan merupakan
oligosakarida yang tidak terhidrolisis dengan sempurna. Lalu diikuti ada beberapa puncak
yang muncul, namun hanya satu puncak yang terdeteksi berdasarkan dari hasil analisis
standar monomer. Satu monomer penyusun itu yaitu galaktosa dengan waktu retensi yang
Glu
kosa
- 8
.988
Gal
akto
sa -
9.5
79
MV
1.00
2.00
3.00
Minutes
2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00
Gala
ktosa
- 9
.577
MV
0.00
2.00
4.00
6.00
Minutes
2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00
Gambar 4.3.a Analisis monomer Ekstrak Kasar Caulerpa lentillifera
Gambar 4.3.b Analisis monomer Ekstrak Murni Caulerpa lentillifera
22
dibutuhkan adalah 9,577 menit. Puncak-puncak kecil yang muncul berdekatan dengan
puncak yang dominan diperkirakan merupakan disakarida. Namun, dikarenakan tidak
adanya waktu retensi yang memiliki kemiripan dengan standard, maka senyawa tersebut
tidak dapat diprediksi lebih lanjut. Secara kuantitatif, pada ekstrak kasar, monomer
dengan kadar terbanyak yaitu galaktosa dengan 598,99 ppm dan glukosa dengan 380,31
ppm. Namun, galaktosa tertinggi diperoleh oleh ekstrak murni dengan kadar 886,63 ppm.
Polisakarida yang larut dalam air dari rumput laut genus Caulerpa paling banyak
terdiri dari glukan dan polisakarida sulfat. Polisakarida sulfat dari Caulerpa adalah
heteropolisakarida yang terdiri dari monosakarida yang berbeda. Polisakarida pada genus
Caulerpa pada umumnya terdiri dari galaktosa dan rhamnosa (Hayakawa et al., 2000).
4.3.4 Analisis 1H-NMR
Analisis menggunakan NMR dapat digunakan untuk melakukan analisis struktural
primer mono-, oligo-,atau polisakarida oleh spektroskopi 1H-NMR. Dalam spektrum
karbohidrat 1H-NMR telah didapatkan bahwa kandunagan polisakarida terdapat pada
rentang daerah 3 - 4 ppm. Penggunaan 1H-NMR ini juga digunakan untuk
mengidentifikasi gula dan dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi gula spesifik
(Duus, Gotfredsen, & Bock, 2000).
Berdasarkan puncak yang terdapat pada Gambar 4.4. Puncak yang terjadi pada rentang
daerah 1 – 2 ppm menunjukkan adanya indikasi ikatan CH3 yang diprediksi berasal dari
rhamnosa. Kemudian puncak pada rentang daerah 3 – 4 menunjukkan adanya pergeseran
kimia pada atom H yang terikat pada O-C, yang mengindikasikan adanya kandungan
polisakarida. Selanjutnya pada daerah 5 – 6 ppm diindikasikan menunjukkan adanya
proton anomerik sulfat. (Bush, 1988; Hounsell, Feeney, Scudder, Tang, & Feizi, 1986).
Gambar 4.4 Analisis NMR Ekstrak Kasar (kanan) dan Ekstrak Murni (Kiri)
Caulerpa lentillifera
23
4.4 Toksisitas sub kronik dari ekstrak aktif
Pada uji toksisitas subakut ini, dibagi menjadi empat kelompok hewan uji.
Empat kelompok tersebut terdiri dari, satu kelompok kontrol normal ( diberi Na
CMC 0,5%) berisi 10 ekor mencit (5 Jantan dan 5 betina) dan tiga kelompok dosis
perlakuan (diberi ekstrak air anggur laut dengan dosis 250 mg/kgBB, 500
mg/kgBB, dan 1000 mg/kgBB) berisi 10 ekor mencit (5 Jantan dan 5 betina).
Untuk kelompok hewan menggunakan kontrol normal dan tiga varian
dosis uji. Dosis terendah untuk pengujian toksisitas subakut diambil dari dengan
dosis pertama 250 mg/kgBB lalu dosis dikalikan dua untuk dosis kedua dan ketiga
sehingga dosis kedua 500 mg/kgBB dan dosis ketiga 1000 mg/kgBB. Pengamatan
dilakukan selama 28 hari meliputi: gejala toksik, berat badan, bobot organ
relative, uji hematologi, makropatologi dan histopatologi organ.
A. Pengamatan Gejala Toksik Hewan Uji
Hasil pengamatan dilakukan setiap hari selama 28 hari untuk melihat
adanya perubahan pada bulu dan mata, adanya kejang, diare, lemas, berjalan
mundur dan berjalan dengan perut. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Perilaku Hewan
Perlakuan
Gerak-gerik
Fisik
Kejang
Diare
Lemas Jalan
Mundur
Jalan dengan
Perut
Bulu
Mata
K - - - - - - -
D1 - - - - - - -
D2 - - - - - - -
D3 - - - - - - -
Pengamatan fisik gejala toksik klinis diamati setiap hari selama 28 hari.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air anggur laut selama
24
28 hari tidak menimbulkan gejala toksik, baik pada mencit jantan maupun mencit
betina. Kematian pada mencit juga tidak terjadi pada penelitian ini. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak air anggur laut dalam jangka waktu
lebih panjang tidak menimbulkan gejala toksik maupun kematian.
B. Hasil Pengamatan Berat Badan Hewan
Penimbangan berat badan dilakukan setiap hari selama 28 hari dari hari
ke-0 sampai hari ke-28 untuk menentukan volume sediaan yang akan diberikan.
Hasil pengamatan rata-rata berat badan mencit jantan dan betina dapat dilihat pada
tabel 7.
Tabel 4.5. Hasil Rata-rata Berat Badan Mencit Jantan
Hari Rata-rata Berat Badan (gram) ± SE
Normal Dosis I Dosis II Dosis III
0 32,00±1,52 30,40±1,96 23,40±3,76 22,00±0,09
7 33,00±1,14 29,51±2,10 27,31±2,94 26,06±1,21
14 35,03±1,68 32,23±4,36 28,80±2,79 29,94±1,75
21 35,51±1,66 34,14±1,74 32,88±2,07 31,77±2,11
28 35,37± 2,00 34,99±1,77 31,23±1,59 31,09±1,38
Tabel 4.6. Hasil Berat Rata-rata Mencit Betina
Hari Rata-rata Berat Badan (gram) ± SE
Normal Dosis I Dosis II Dosis III
0 27,40±1,66 25,60±1,60 29,20±1,80 29,80±2,75
7 29,17±1,43 27,97±1,36 30,08±3,62 31,74±3,38
14 29,97±1,63 31,05±1,72 29,91±1,20 32,88±2,21
21 28,79±2,12 32,54±1,15 29,94±1,41 35,39±1,68
28 28,37±1,76 33,85±1,63 29,71±1,01 33,14±2,04
25
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata berat badan mencit
kelompok control normal maupun mencit kelompok uji (P> 0,05). Perbedaan jenis
kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05).
C. Hasil Hematologi Hewan Uji
Perhitungan jumlah WBC, RBC, HGB, HCT, MCV, MCH, MCHC, dan
PLT menggunakan alat hematology analyzer. Pengambilan darah dilakukan
dengan mengambil darah pada jantung saat pembedahan hewan. Darah diambil
menggunakan spuit 5 mL. Kemudian darah dimasukkan ke dalam tabung EDTA.
Selanjutnya sampel darah diperiksa di alat hematology analyzer.
Parameter hematologi kelompok normal dengan kelompok uji
menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan (P> 0,05) pada mencit jantan
maupun mencit betina.Rata-rata berat badan mencit jantan maupun betina
mengalami kenaikan yang tidak signifikan, adapun penurunan berat badan namun
tidak signifikan (P> 0,05).
D. Hasil Pengamatan Organ Secara Makroskopik
Di hari ke-29 seluruh hewan dibedah untuk dilakukan pengamatan
morfologi organ dan penimbangan seluruh organ serta diambil dan ditimbang
organ hati dan ginjal. Berat organ dapat dilihat pada tabel 16-24.
Pengamatan makropatologi organ dapat dilihat pada tabel 16.
Tabel 4.7. Hasil Pengamatan Organ Fisik
Perlakuan Pengamatan
Warna Permukaan Konsistensi
Hati
K Merah
kecoklatan
Licin Kenyal
D1 Merah
kecoklatan
Licin Kenyal
D2 Merah
kecoklatan
Licin Kenyal
D3 Merah
Kecoklatan
Licin Kenyal
26
Ginjal
K Merah
kecoklatan
Licin Kenyal
D1 Merah
kecoklatan
Licin Kenyal
D2 Merah
kecoklatan
Licin Kenyal
D3 Merah
Kecoklatan
Licin Kenyal
Hasil pengamatan makroskopis pada hati dan ginjal menunjukkan warna
hati merah kecoklatan dengan permukaan licin dan kenyal. Tidak ada perbedaan
organ hati dan ginjal pada mencit kelompok control normal maupun mencit
kelompok uji. Efek toksik terhadap pemberian bahan uji terhadap struktur ginjal
dan hati pada penelitian ini dievaluasi dari bobot ginjal dan hati dan perubahan
morfologi pada ginjal dan hati. Struktur morfologi ginjal dan hati tidak
menunjukkan adanya perbedaan warna yang mencolok antara kelompok uji
maupun kelompok kontrol normal. Hal tersebut memungkinkan bahwa ekstrak air
anggur laut selama 28 hari tergolong aman digunakan dan belum memengaruhi
pada struktur morfologi hati dan ginjal mencit.
Tabel 4.8. Hasil Analisis Berat Organ
Perlakuan Jenis Kelamin Hati (g) Ginjal (g)
Kontrol Normal Jantan 2,41± 0,23 0,73± 0,07
Kontrol Normal Betina 2,12± 0,34 0,60± 0,19
Dosis 250 mg/kgBB Jantan 3,54± 0,41 0,63± 0,11
Dosis 250 mg/kgBB Betina 2,11± 0,25 0,68± 0,08
Dosis 500 mg/kgBB Jantan 1,98± 0,19 0,86± 0,16
Dosis 500 mg/kgBB Betina 1,98± 0,14 0,61± 0,06
Dosis 1000
mg/kgBB
Jantan 2,42± 0,37 0,74± 0,11
27
Dosis 1000
mg/kgBB
Betina 2,10± 0,14 0,87± 0,12
Perbedaan yang tidak signifikan secara statistik (P> 0,05) dari berat
relative organ ginjal dan hati ditemukan pada kelompok kontrol normal dan
kelompok uji yang menunjukkan tidak adanya efek toksik dari bahan uji pada
mencit betina sehingga disimpulkan bahwa pemberian ekstrak air anggur laut
masih dapat ditolerir tubuh sehingga tidak mempengaruhi bobot organ yang
bermakna. Perbedaan yang tidak signifikan juga terdapat pada berat ginjal mencit
jantan (P> 0,05) namun untuk berat organ hati terdapat perbedaan yang signifikan
(P< 0,05). Sehingga dilanjutkan dengan analisis Mann Whitney dan Kruskall
Wails. Antara kelompok mencit jantan dosis 250 mg/kgBB dan dosis 1000
mg/kgBB (P< 0,05) yaitu 0,047 sehingga perbedaan berat organ hati dalam dua
kelompok tersebut ada perbedaan yang signifikan. Berat organ ginjal rata-rata
masih dalam batas normal namun berat organ hati rata-rata diatas normal.
4.5 Formulasi rumput laut hijau menjadi biskuit
Tabel 4.9. Pengolahan bahan baku
Rumput laut basah
Prosedur Hasil
Sortasi basah rumput laut basah 10 Kg
Proses pengeringan dengan sinar matahari selama 4 hari
Proses pengeringan dengan oven suhu 70 °C sampai kering selama 24
jam
Penimbangan rumput laut kering 143,31 gram
Pembuatan serbuk rumput laut dengan ukuran partikel yang lolos di
mesh: 113,46 gram
Tertahan #28 (ukuran partikel > 700 µm) = 24.22 gram
lolos #28 dan tertahan di mesh #60 (Ukuran partikel 250 - 700 µm) =
26.52 gram
Lolos #60 dan tertahan di mesh #150 (Ukuran partikel 105 - 250 µm)
= 35.27 gram
Lolos #150 = 32.45 gram (Ukuran partikel < 105 µm)
Rendemen serbuk rumput laut yang diperoleh 1,13%
28
Rumput laut kering
Prosedur Hasil
Bahan rumput laut kering, disortasi kering lalu dicuci bersih 1 Kg
Proses pengeringan rumput laut kering yang telah dicuci bersih pada
suhu 70 °C selama 24 jam
Penimbangan rumput laut kering 514,2 gram
Rendemen rumput laut yang diperoleh 51,42%
Tabel 4.10. Pengembangan formula
Tanggal pelaksanaan 13-Jun-19 13-Jun-19
Formula F1 F2
(gram) (%) (gram) (%)
Komponen
Rumput Laut 6 17,65 10 10,10
Tepung 10 29,41 35 35,35
Butter salted 16 47,06 48 48,48
Gula tepung 2 5,88 6 6,06
Bobot adonan 34 99
Hasil
Kekerasan Keras keras
Rasa Asin Asin
Melted - -
Bau Bau rumput laut Bau rumput laut
Karena dari rasa dan bau tidak menyenangkan bagi konsumen maka formula butter
salted coba diubah menggunakan mentega
Tanggal pelaksanaan 13-Jun-19
Formula F3
(gram) (%)
Komponen
Rumput Laut 15 15,63
Tepung 30 31,25
Mentega 31 32,29
Gula tepung 20 20,83
Bobot adonan 96
Hasil
Kekerasan keras
Rasa Asin
Melted -
Bau Bau Rumput Laut
Karena dari rasa dan bau tidak menyenangkan bagi konsumen maka formula
mentega diubah menggunakan butter unsalted
29
Tanggal pelaksanaan 14-Jun-19 14-Jun-19 14-Jun-19 14-Jun-19
Formula F4 F5 F6 F7
(gram) (%) (gram) (%) (gram) (%) (gram) (%)
Komponen
Rumput Laut 10 13,33 1,5 3,85 3 7,69 6 15,38
Tepung 30 40,00 20 51,28 18,5 47,44 15,5 39,74
Butter unsalted 25 33,33 12,5 32,05 12,5 32,05 12,5 32,05
Gula tepung 10 13,33 5 12,82 5 12,82 5 12,82
Bobot adonan 75 39 39 39
Hasil
Kekerasan ++++ +++ +++ +++
Rasa Asin dari rumput laut Manis biskuit Sedikit asin dari
rumput laut
lebih asin dari
F6
Melted - Melted - -
Bau Amis rumput laut
Bau butter dan tidak
tercium bau rumput
laut
Bau rumput laut
Bau rumput laut
lebih kuat dari
F6
Biskuit rumput laut dengan menggunakan butter unsalted berhasil memperbaiki rasa.
Kami variasikan konsentrasi rumput laut yang digunakan, tetapi jika konsentrasi rumput
laut ditingkatkan akan menimbulkan rasa dan bau yang tidak menyenangkan. Konsentrasi
rumput laut yang dapat diterima adalah konsentrasi rumput laut pada formula 5 (1.5 gram
dalam 39 gram adonan atau 3.85%). Oleh sebab itu kami kembali variasikan formula 5
berupa variasi perbandingan tepung dan butter unsalted untuk mendapatkan tekstur yang
cocok untuk balita, seperti pada formula 5(1), 5(2), dan 5(3).
Tanggal pelaksanaan 18-Jun-19 18-Jun-19 18-Jun-19 14-Jun-19
Formula Formula 5 (1) Formula 5 (2) Formula 5(3) F5
(gram) (%) (gram) (%) (gram) (%) (gram) (%)
Komponen
Rumput Laut 1,5 3,85 1,5 3,85 1,5 3,85 1,5 3,85
Tepung 7,5 19,23 12,5 32,05 17,5 44,87 20 51,28
Butter unsalted 25 64,10 20 51,28 15 38,46 12,5 32,05
Gula tepung 5 12,82 5 12,82 5 12,82 5 12,82
Bobot adonan 39 39 39 39
Hasil
Kekerasan + ++ +++ +++
Rasa Manis biskuit Manis biskuit Manis biskuit Manis biskuit
Melted melted melted melted lebih lama Melted
Bau
bau rumput laut
tidak tercium, bau
butter +++
bau rumput laut
tidak tercium, bau
butter ++
bau rumput laut
tidak tercium, bau
butter +
Bau butter dan tidak
tercium bau rumput
laut
Tekstur agak sedikit
berminyak tidak berminyak tidak berminyak tidak berminyak
30
Dari turunan formula 5, ketiga formula dapat diterima. Hanya dari segi tekstur yang
berbeda. Dari segi kekerasan, tekstur, rasa, bau, dan melted, Formula 5(2) lebih baik dari
semua formula.
Formula yang direkomendasikan setelah dilakukan trial and error adalah Formula 5, 5(1),
dan 5(2)
Tabel 4.11. Uji hedonik
4.6. Aktivitas imunostimulan rumput laut dari ekstrak aktif dan biskuit
Uji imunomodulator dilakukan dengan metode carbon clerence dengan
menggunakan carbon sebagai antigen yan diberikan secara intravena. Parameter yang
digunakan untuk melihat efek imunomodulator adalah nilai indeks fagositosis dihitung
berdasarkan perbandingan antra nilai rata rata slope carbon clerence kelompok kontrol
uji dengan nilai rata rata slop carbon clerence kelompok kontrol negatif. Identiikasi
karbon dalam darah dilakukan menggunakan spektrofoometer Uv-Vis pada panjang
gelombang 650 nm. Penambilan darah hewan dilakukan pada menit ke 0, 4, 8, 12 dan 16
setelah penyuntikan carbon seperti tabel 4.12 dibawah ini.
Tabel 4.12. Aktivitas imunostimulan rumput laut
No Kelompok Konstanta
Fagositosis (K)
Indeks
Fagositosis (IF)
Bioaktivitas
Imnunomodulator
1 Kontrol Negatif 0,0023
1,00 Tidak Ada Efek
Imunomodulator
2 Kontrol Positif 0,0036 1,57
Imunomodulator
Kuat
3 Dosis I 0,0040
1,74
Imunomodulator
Kuat
4 Dosis II 0,0029
1,26
Imunomodulator
lemah
5 Dosis III 0,0025
1,09
Tidak ada efek
Imunomodulator
Formula 5 (1) Formula 5 (2) Formula 5(3)
RR
Kekerasan Rapuh Agak padat Lebih padat
Rasa
Enak, tidak terasa rumput
lautnya
Enak, tidak terasa rumput
lautnya
Enak, tidak terasa
rumput lautnya
Melted Melted Melted lebih lama Melted lebih lama lagi
Bau Bau tidak mengganggu Bau tidak mengganggu Bau tidak mengganggu
31
Pada tabel diatas, ekstrak anggur laut menunjukan bahwa aktifitas imunomodulator
terbaik yaitu pada dosis I (250 mg/kgBB) dengan nilai indeks fagositosis sebesar 1,711
hasil menunjukan perbedaan dibandingkan dengan kontrol negatif sedangkan jika
dibandingkan dengan kontrol positif tidak menunjukan berbeda bermakna. Dosis II (300
mg/kgBB) menghasilkan aktifitas imunomodulator sedang dengan nilai indeks
fagositosis sebesar 1,261 hasil ini menunjukan perbedaan bermakna dibandingan dengan
kontrol negatif dan memiliki perbedaan bermakna dengan kontrol positif. Dosis III (400
mg/kgBB) menghasilkan aktifitas imunomodulator sedang dengan nilai indeks
fagositosis sebesar 1,053 yang artinya memiliki perbedaan bermakna jika di bandingkan
dengan kontrol negatif dan memiliki perbedaan bermakna dengan kontrol positif.
Parameter kedua dalam uji imunostimulan adalah titer antibodi. Uji titer antibodi
bertujuan untuk melihat respon imun humoral. Imunitas humoral yang dimediasi oleh
antibodi. Antibodi berfungsi sebagai efektor respon humoral dengan mengikat dan
menetralkan antigen, atau dengan memfasilitasi eliminasi antigen yang dapat dihancurkan
oleh fagosit. Pengamatan dilakukan dengan melihat titer antibodi hemaglutinasi
pengenceran tertinggi serum darah mencit yang memberikan reaksi positif hemaglutinasi.
Reaksi hemaglutinasi terjadi bila antigen direaksikan dengan antibodi spesifiknya,
sehingga membentuk gumpalan yang akhirnya mengendap dan terlihat cairan jernih
diatasnya.
Gambar 4.5. Hasil analisa uji titer antibodi
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
Kontrol negatif Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3 Kontrol Positif
Hari ke-5
Hari ke-8
* *
**
*
+ +
+
+
** *
+
32
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa ekstrak anggur laut pada dosis 1 (250 mg/kgBB)
menunjukan nilai titer antibodi yang tinggi dan berbeda secara signifikan dibanding
dengan kelompok dosis lainnya (300, dan 400 mg.kg BB). Ekstrak air anggur laut
memberikan efek imunostimulan dengan titer tertinggi secara berturut-turut pada dosis
250 mg/kgBB, 300 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak anggur laut dapat memberikan aktivitas imunomodulator, hal ini
diduga berkaitan dengan komponen salah satu senyawa yang terdapat pada ekstrak air
anggur laut yaitu polisakarida sulfat, yang merupakan senyawa yang prospek cukup baik
dalam meningkatkan sistem imun.
Parameter ketiga dari uji imunostimulan adalah uji delay type hypersensitivity. Efek
imunomodulator ekstrak air anggur laut ditentukan menggunakan uji respon
hipersensitivitas dengan cara mengukur volume pembengkakan telapak kaki hewan uji
(foot paw swelling test). Pada penelitian ini hewan yang digunakan adalah tikus, hal ini
dilakukan untuk mempermudah pengamatan terhadap pembengkakan telapak kaki hewan
uji setelah dipapar dengan antigen. Pada penelitian ini, dosis ekstrak rumput laut yang
digunakan adalah 125, 150, dan 200 mg/kg BB. Respon imun spesifik seluler dapat dilihat
dari parameter pembengkakan kaki tikus. Metode uji ini mempunyai keuntungan
diantaranya memungkinkan komponen respon imun diukur pada spesies yang sama
dibawah kondisi ideal, relatif sederhana dan tidak mahal.
Gambar 4.6. Persentase rata-rata perubahan volume kaki pada tikus yang disuntik sel
darah merah domba
0
10
20
30
40
50
60
70
2 J A M 4 J A M 6 J A M 2 4 J A M
RA
TA-R
ATA
PER
SEN
TASE
UD
EM
(%)
WAKTU (MENIT)
kontrol negatif
kontrol positif
ekstrak 125
Ekstrak 150
Ekstrak 200
33
Hasil penelitian kelompok dosis 125 mg/kg BB. Perubahan volume kaki pada jam
ke-24 untuk melihat reaksi hipersensitivitas yang berlangsung lambat. Hasil penelitian
menunjukkan peningkatan volume kaki jam ke-24 lebih rendah dibandingkan jam ke-4.
Peningkatan volume kaki kelompok dosis lebih tinggi dibandingkan kontrol negatif,
namun lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol positif kecuali pada kelompok dosis
125. Peningkatan volume kaki kelompok dosis 125 pada jam ke-24 lebih besar
dibandingkan kontrol positif, kemungkinan karena waktu paruh levamisol hidroklorida
yaitu pada jam ke-4. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan volume kaki paling besar
terjadi pada jam ke-2 sampai jam ke-4, hal ini berbeda dengan beberapa jurnal penelitian
dimana reaksi hipersensitivitas tipe lambat berlangsung antara jam ke-12 sampai jam ke-
24. Berdasarkan teori reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV), peningkatan volume
kaki tidak terjadi selama 6-12 jam dan mencapai intensitas maksimal sesudah 24-72.
Peningkatan volume kaki yang lebih cepat kemungkinan karena telah terjadi reaksi
hipersensitivitas tipe I atau reaksi arthus (tipe III) disebabkan pencetusan awal dari
hipersensitivitas tipe lambat yang sering diikuti oleh respon imun humoral, selain itu
jumlah antigen yang lebih besar dapat merangsang pembentukan antibodi sedangkan
dosis sensitisasi antigen yang lebih kecil biasanya lebih berhasil dalam pembentukan
hipersensitivitas tipe lambat.
Dari ketiga parameter pengujian imunomulator diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa ekstrak anggur laut pada dosis kecil (250 mg/kg BB untuk mencit dan 125 mg/kg
BB untuk tikus) dapat meningkatkan fungsi sel sel imunitas hewan uji terhadap paparan
antigen. Hasil ini menunjukan bahwa rumput laut dapat digunakan sebagai
imunostimulan.
Penelitian selanjutnya adalah penentuan aktifitas imumomodulator formula biscuit
yang mengandung ekstrak rumput laut yang dilakukan secara in vivo dengan
menggunakan hewan uji yaitu mencit dan tikus. Metode pengujian aktifitas
immunomodulator adalah uji fagositosis dan uji titer antibodi. Levamisol digunakan
sebagai pembanding positif. Sampel biscuit yang digunakan dalam penelitian ini adalah
biscuit yang mengandung dosis rumput laut sebesar 400 mg/kg BB. Dosis ini dipilih
berdasarkan nilai konversi dari dosis optimum pada pengujian imunostimulan yang
menggunakan ekstrak rumput laut.
34
Tabel 4.13. Index fagositosis biskuit
Sampel Index Fagositosis
NaCMC 0.5% 1
Biskuit (400 mg/kgBB) 1.07
Levamisol (100 mg/kgBB) 1.5
Tabel 4.14 Angka titer antibody
Sampel Titer antibodi
hari ke-5 hari ke-8
NaCMC 0.5% 2.2 2.2
Biskuit (400 mg/kgBB) 2.32 2.33
Levamisol (100 mg/kgBB) 2.81 2.81
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa biscuit rumput laut dengan dosis rumput laut
sebesar 400 mg/kg BB memunyai efek imunostimulan terhadap hewan uji. Walaupun
hasilnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan pembanding positif yaitu
levamisole.
4.7. Pengujian keamanan pangan dari prototipe biskuit
Pengujian kemanan pangan dilakukan di Laboratorium Sucofindo dan Saraswanti dengan
hasil sbb.
35
Tabel 4.15. Hasil analisa keamanan pangan
Analisa Biskuit rumput laut SNI
Moisture content (%) 1.85%
Ash content (%) 0.65%
Protein (%) 5.12 Min. 5
Fat content (%) 40.90
Carbohydrate (%) 51.14
Raw Fiber 0.34
Calorie (Kcal/100 g) 593.14
Hg Not detected Maks. 0.05
Cd 0.03 Maks. 0.2
As 0.455 Maks. 0.5
Sn 0.03 Maks. 40
Pb 0.19 Maks. 0.5
ALT 0 Maks. 1 x 104
Coliform 1.9 20
Escherichia coli 0 <3
Salmonella sp. Negatif Negatif
Staphylococcus aureus <10 Maks. 1 x 102
Bacillus cereus <10 Maks. 1 x 102
Kapang Khamr <10 Maks. 2 x 102
Gula 25.39
Asam Lemak Bebas 0.345 Maks. 1.0
36
Kadar Garam 0.30
Rasa Manis Normal
Warna Hijau Kecokelatan Normal
Bau Normal Normal
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Rumput laut hijau dari spesies Caulerpa lentillifera mengandung ekstrak
polisakarida sulfat yang dilihat dari berbagai analisis yaitu FTIR, total gula dan
sulfat, HPLC, dan NMR
2. Berdasarkan hasil analisis, monomer yang menjadi penyusun polisakarida sulfat
Caulerpa lentillifera diperkirakan adalah glukosa, galaktosa, dan rhamnosa
3. Dari turunan formula 5, ketiga formula dapat diterima. Hanya dari segi tekstur
yang berbeda. Dari segi kekerasan, tekstur, rasa, bau, dan melted, Formula 5(2)
lebih baik dari semua formula.
4. Ekstrak rumput laut pada dosis 250 mg/kgBB mampu meningkatkan respon
imunitas sel imun hewan uji terhadap paparan antigen sedangkan biskuit pada
dosis 400 mg/kgBB
5. Ekstrak rumput laut pada dosis 250 mg/kgBB dan biskuit pada dosis 400
mg/kgBB secara signifikan mampu meningkatkan pembentukan antibodi pada
hewan uji setelah dipapar antigen pada hari ke-5 dan hari-8
6. Uji keamanan pangan menunjukkan bahwa biskuit dari rumput laut hijau C.
lentillifera sesuai dengan SNI biskuit tahun 2011.
REFERENSI
Baratawidjaja, K.G. & Rengganis, I. (2010). Imunologi Dasar, Edisi IX, hal 418, Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Yogyakarta
Camelini, C.M., Maraschin, M., de Mendonça, M.M., Zucco, C., Ferreira, A.G., Tavares,
L.A. (2005). Strucutral characterization of β-glucans of Agaricus brasiliensis in different
stages of fruiting body maturity and their use in nutraceutical products. Biotechnology
Letters., 27, 1295–1299
37
Dwiyitno. ( 2011). Rumput Laut sebagai Sumber Serat Panagan Potensial. Squalen, 6
(1), 9-17
http://nasional.kompas.com/read/2017/09/29/19390011/optimisme-indonesia-atasi-stunting-pada-anak/diakses 1 Desember 2017
Konishi, T., Nakata, I., Miyagi, Y., Tako, M. (2012). Extraction of -1,3Xylan from
Green Seaweed, Caulerpalentillifera . J. Appl. Glycosci.: Advance Publication.
Maeda, R., Ida, T., Ihara, H., Sakamoto, T. (2012). Induction of apoptosis in MCF-7 cells
by β-1,3-xylooligosaccharides prepared from Caulerpa lentillifera. Biosci. Biotechnol.
Biochem., 76 (5), 1032-1034.
Maeda, R.*, Ida, T., Ihara, H., Sakamoto, T. (2012). Immunostimulatory Activity of
Polysaccharides Isolated from Caulerpa lentillifera on Macrophage Cells. Biosci.
Biotechnol. Biochem., 76 (3), 501-505
Merdekawati, W dan Susanto, A.B. (2009). Kandungan dan Komposisi Pigmen Rumput
Laut serta Potensinya untuk Kesehatan. Squalen, 4, 2.
Roohinejad, S., Koubaa, M., Barba, F.J., Saljoughian, S., Amid, M., Greiner, R. (2017).
Application of seaweeds to develop new food products with enhanced shelf-life, quality
and health-related beneficial properties. Food Research International, 99, 1066-1083.
Sharma, B.R. and Rhyu, D.Y. (2014). Anti-diabetic effects of Caulerpa lentillifera:
stimulation of insulin secretion in pancreatic β-cells and enhancement of glucose uptake
in adipocytes. Asian Pac J. Trop. Biomed, 4, 7, 575-580.
Shevchenko, N.M., Burtseva, Y.V., Zvyagintseva, T.N., Makar′eva, T.N., Sergeeva, O.S.,
Zakharenko, A.M., Isakov, V.V., ThiLinh, N., XuanHoa, N., Ly, B.M., Huyen, P.V.
(2009). Polysaccharides and sterols from green algae Caulerpa lentillifera and C.
sertularioides. Chemistry of Natural Compounds, 45, 1, 1-5.
S-H. Young and V. Castranova, Toxicology of 13-Beta-Glucans (Taylor & Francis,
Boca Raton, 2005), pp 1-34.
Stites, D.P. & Terr, A.I. (1990). Basic and Clinical Immunology, Seven Edition,
Appleton and Lange, U.S.A.
38
LAMPIRAN
1. Hasil Pengujian dari Sucofindo
39
2. Lampiran Hasil Analisa Keamanan Pangan dari Lab. Saraswanti
40
3. Publikasi
a. Published pada IOP Conference Series: Material Science and Engineering
41
b. Accepted pada Journal Materials Science and Chemistry
Antioxidant Activity of Sulfated Polysaccharide Extract from Green Seaweed
(Caulerpa lentillifera) Makassar, Indonesia
Ilmi Fadhilah Rizki1,a, Ellya Sinurat2,b, Sofa Fajriah3,c and Endang Saefudin1,d* 1Chemistry Departement, Faculty of Mathematics and Natural Science, Universitas
Indonesia, Indonesia 2Research and Development Center for Marine and Fisheries Product Processing and
Biotechnology, Ministry of Marine and Fisheries, Indonesia 3Research Center for Chemistry, Indonesian Institute of Sciences, Indonesia
[email protected], [email protected], [email protected], d*[email protected]
Keywords: Caulerpa lentillifera, Antioxidant activity, Sulfated Polysaccharide
Abstract. Caulerpa lentillifera belong to Caulerpa genus which is commonly found in
tropical and subtropical water. The biggest constituent of seaweed is polysaccharide that
has some biological activities as a potential medicine. Therefore, this research aimed to
extract and evaluate the antioxidant activity from Caulerpa lentillifera polysaccharide.
The extraction was carried out by using water extraction. First, the sample was added
with ethanol and soaked overnight at room temperature. On the following day, the sample
was added with aquades and placed in a water bath at 75oC for three hours. After that,
ethanol was added to precipitate the extract. The crude polysaccharide extract percent
yield obtained 4.16 %. The crude extract purified by using a column with DEAE-
Sepharose with percent yield obtained 14.8 %. Both crude and pure extracts were
characterized by analyzing the total carbohydrate and sulfate by using spectrophotometer,
functional group by using FT-IR spectroscopy and sugar component by using HPLC.
Antioxidant activity was analyzed by using the FRAP method for both crude and pure
extract. Moreover, the polysaccharide crude extract gives higher antioxidant activity than
the purified extract.
42
c. Under reviewed di International Food Research Journal
In vitro immunomodulatory effect of Caulerpa lentillifera extract on nitric oxide (NO)
production and phagocytosis activity of RAW 264.7 murine macrophage cells
Sofa Fajriah1*, Sri Handayani1, Ellya Sinurat2, Megawati Megawati1, Akhmad
Darmawan1, Hariyanti Hariyanti2, Rizna Triana Dewi1, Abdi Wira Septama1
1Research Center for Chemistry, Indonesian Institute of Sciences, Kawasan PUSPIPTEK
Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten, Indonesia
2Research and Development Center for Marine and Fisheries Product Processing and
Biotechnology, Jl KS Tubun Petamburan VI, Slipi, Central Jakarta, 10260, Indonesia
3Faculty of Pharmacy and Sciences, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Jl Limau II,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jakarta
Abstract: Objectives: Caulerpa lentillifera is edible macroalgea which possess several biological
properties. This marine plant also contains beneficial secondary metabolites that can be used for treatment
and prevent several deficiencies. This study was performed to identify active compounds in C. lentillifera
and evaluated its immunomodulatory effect on nitric oxide (NO) production and phagocytosis of RAW
264.7 murine macrophage cells. Methods: Extraction and column chromatography was applied to isolated
active component from sample. Alamar blue inclusion method was used to determine cytotoxicity and
proliferation of RAW 264.7 after treated with sample. Griess assay using colourimetric commercial kits
was selected to evaluate NO production. Phagocytosis effect of samples was determined using phagocytic
kit. Results: C. lentillifera contained sulfated polysaccharide. C. lentillifera extract did not show any
cytotoxic effect against RAW 264.7 macrophage. One hundred µg/mL of extract increased the production
of NO. This extract revealed suspected-giant cells formation as a results of phagocytosis activity. The
extract of C. lentillifera also enhanced phagocytosis activity of murine macrophage against E. coli.
Conclusions: C. lentillifera extract enhanced activity of RAW 264.7 murine macrophage by increasing NO
production and phagocytosis activity. This extract also caused suspected-giants’ cells as indicator of
phagocytosis effect. This result provides an insight that the potency of C. lentillifera extract as
immunostimulant.
Keywords: Caulerpa lentillifera, immunomodulatory, macrophage, nitric oxide, phagocytosis
43
d. Paten terdaftar P00201911773
Deskripsi
FORMULASI BISKUIT BERBASIS RUMPUT LAUT (Caulerpa
lentillifera) SEBAGAI IMUNOMODULATOR
Abstrak
Invensi ini berkaitan dengan penyediaan pangan fungsional berupa biskuit rumput laut
hijau C. Lentillifera yang mudah dikonsumsi oleh balita sehingga dapat menjadi
imunomodulator untuk mencegah stunting. Tahapan-tahapan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut yaitu mencuci rumput laut hijau C. Lentillifera, mengeringkan
rumput laut hijau C. Lentillifera, dan membuat biskuit rumput laut hijau C. Lentillifera
menggunakan basis berupa butter unsalted, tepung terigu rendah protein, dan gula tepung.
Hasil pengujian pada invensi ini menunjukkan bahwa biskuit rumput laut C. Lentillifera
menunjukkan aktivitas sebagai imunomodulator.
44
45
46