Laporan Akhir Penggunaan Microscopic Observation Drug ... · PDF fileSampai saat ini belum ada...
Transcript of Laporan Akhir Penggunaan Microscopic Observation Drug ... · PDF fileSampai saat ini belum ada...
1
Laporan Akhir
Penggunaan Microscopic Observation Drug susceptibility assay (MODS) untuk
diagnosis dan tes sensitivitas TB pada pasien TB dan TB-HIV di Yogyakarta:
analisis fisibilitas dan cost-efektivitas
(The use of Microscopic Observation Drug susceptibility assay (MODS) for Diagnosis
and susceptibility testing of TB in TB and TB-HIV patients in Yogyakarta: feasibility &
cost-effective analysis)
Dr. Yanri WIjayanti Subronto, PhD, SpPD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito
Jl. Kesehatan no. 1
Yogyakarta 55284
Tel: 0274 – 553119
Ning Rintiswati, SU
Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara
Yogyakarta 55281
2
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan dunia karena
menyebabkan 1,7 kematian per tahun dan 8 juta kasus baru. Indonesia menduduki
rangking ketiga setelah China dan India dalam hal jumlah penderita TB di dunia. Adanya
strain M. tuberculosis yang resisten terhadap beberapa dan banyak obat anti-TB
(multidrug dan extensive drug resistant) menambah beratnya upaya penanggulangan TB.
Selain itu, TB merupakan infeksi oportunistik yang banyak diderita pasien dengan HIV
yang mana hal ini memperburuk luaran untuk pasien, baik klinis TB maupun HIV-nya.
Salah satu penyebab kegagalan penanggulangan TB adalah tidak tersedianya
metode diagnostik dan tes sensitivitas obat yang cepat, simple dan dapat diandalkan. Saat
ini diagnosis menggunakan pemeriksaan sputum BTA yang tingkat keberhasilannya
sekitar 60%, sementara kultur M. tuberculosis memerlukan waktu cukup lama untuk
sampai dinyatakan positif sehingga terjadi keterlambatan pemberian terapi. Sehingga saat
ini diperlukan alat diagnsotik cepat dan sederhana dengan haga terjangkau.
Metode pemeriksaan Microscopic Observation Drug Susceptibility (MODS)
akhir-akhir ini dilaporkan sebagai tes diagnostik yang cukup cepat dan sederhana.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MODS mempunyai sensitivitas 97,8 & dan
sensitivitas 99,6% terhadap standard baku. Hasil kultur dengan MODS memerlukan
waktu yang cukup pendek dan memakan biaya yang cukup murah. Akan tetapi sampai
sekarang belum pernah ada penelitian di Indonesia yang melihat fisibilitas dan cost-
efektivitas dari metode ini.
3
Perumusan Masalah
TB merupakan masalah kesehatan di dunia dan di Indonesia, terlebih lagi hingga
saat ini belum ada metode diagnostik yang cepat, sederhana, dengan harga yang
terjangkau. Sementra TB juga merupakan sering juga merupakan infeksi oportunistik
pada yang sering terjadi pada penderita HIV. Diagnosis TB baik pada pasien HIV
maupun non-HIV masih lebih cukup sulit sehingga diperlukan metode yang cepat, lebih
sensitifve tapi tetap sedehana dan cukup terjangkau. Metode pemeriksaan dengan MODS
akhir-akhir ini diketahui mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik
dengan waktu yang pendek, metode yang sederhana dan harga cukup terjangkau.
Sampai saat ini belum ada penelitian tentang fisibilitas dan cost-efektivitas
metode MODS yang dilakukan di Indonesia.
Penelitian ini berusaha untuk melihat fisibiitas dan cost-efektivitas dari MODS di
laboratorium di Yogyakarta. Apabila metode ini terbukti bisa dikerjakan di laboratorium
di sini, mungkin bisa diupayakan untuk menjadi kebijakan dari tingkat pusat.
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari fisibilitas penggunaan metode MODS di laboratorium di Yogyakarta
2. mempelajari cost-efektivitas metode MODS untuk diagnosis TB
3. mempelajari penerimaan/persepsi dari para tehnisi laboratorium
4
Tinjauan Pustaka
Tuberkulosis(TB) masih menjadi masalah kesehatan yang utama baik di Indonesia
maupun di dunia. Setiap tahun terjadi sekitar 8 juta infeksi / kasus baru dengan kematian
sekitar 3 juta. TB, bersama Malaria dan HIV/AIDS merupakan tiga penyebab utama
kesakitan dan kematian di dunia sehingga banyak sekali program yang ditujukan untuk
ketiganya (program ATM = AIDS, Tuberculosis, Malaria).
Meskipun TB sudah diketahui sejak tahun 1882 oleh Robert Koch tetapi sampai sekarang
masih menjadi masalah kesehatan utama. Dan terlebih sejak adanya epidemi HIV, kasus
TB menjadi bertambah lebih banyak ditemukan di beberapa negara. Salah satu kendala
lain dalam penanggulangan TB adalah tidak adanya alat diagnostik yang cepat, sederhana
dan dapat diandalkan. Saat ini diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik
BTA (bakteri tahan asam) sputum dan dengan standar bakunya dengan kultur
Lowenstein-Jensen (L-J). Pemeriksaan BTA mikroskopik sering memberikan hasil
negative, sedangkan pemeriksaan kultur L-J memerlukan waktu 6-8 minggu hingga
koloni terlihat dan menyatakan positif atau negative. Beberapa tahun terakhir ini banyak
pusat penelitian melakukan berbagai penelitian untuk mencari alat / metode diagnostik
TB yang cepat dan sederhana.
Metode kultur cair MODS (Microscopic-observed drug susceptibility assay) akhir-akhir
ini diketahui bisa untuk diagnosis TB secara lebih cepat dibanding metode kultur lain
dengan harga yang lebih murah. Metode kultur cair yang disebut dengan MODS ini
ditemukan oleh Luz Caviedes saat melakukan eksperimen di laboratorium di Lima, Peru.
MODS ini dikembangkan berdasarkan atas tiga prinsip utama, yaitu: 1. M. Tuberculosis
tumbuuh lebih cepat pada media cair daripada media padat; 2. pada media cair, M.
5
Tuberculosis tumbuh dengan karakteristik tangles and cording, yaitu membentuk cord
factor, yang dapat terlihat di bawah mikroskop; 3. penambahan obat-obat anti-TB dalam
media kultur sejak awal dapat digunakan sebagai tes sensitivitas sampel sputum sekaligus
bersamaan (Caviedes & Moore, 2007). Setelah ditemukan, metode ini diteliti lebih lanjut
sebagai penelitian operasional di Peru dengan melibatkan 3760 sampel sputum dari
pasien TB, suspek TB dan TB-HIV dan membandingkan tiga metode kultur yaitu MODS,
automated technique dan kultur L-J. Hasilnya didapatkan sensitivitas untuk ketiga
metode tersebut, secara berurutan 97,8%, 89% dan 84%. Waktu yang diperlukan untuk
sampai konfirmasi hasil adalah 7 hari (MODS), 13 hari (autmomated technique) dan 26
hari (kultur L-J). Waktu untuk hasil sensitivitas obat adalah 7 hari (MODS), 22 hari
(automated technique) dan 68 hari (kultur L-J) (Moore et al., 2006). Bwanga et al.
melakukan penelitian meta analisis tentang berbagai metode tes sensitivitas obat-TB pada
kasus multidrug resistance TB. Didapatkan 18 penelitian yang dikaji dengan rincian studi
menggunakan tehnik pemeriksaan RNA (4 penelitian), MODS (6 penelitian), genotype
MTB-DR (3 penelitian) dan genotype MTBDR plus (5 penelitian). Dari hasil kajian
tersebut didapatkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas ke-empat metode pemeriksaan
tersebut adalah cukup tinggi, rata-rata di atas 90%, sehingga dapat digunakan untuk
diagnosis cepat MDR-TB (Bwanga et al., 2009).
Di Indonesia, diagnosis TB adalah dengan menggunakan pemeriksaan BTA mikroskopik
secara SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) dan secara teori dilakukan konfirmasi dengan kultur
BTA pada media padat Lowenstein-Jensen. Beberapa hambatan dari metode tersebut
adalah tidak kembalinya pasien untuk diambil sputumnya untuk kedua kalinya dan
lamanya waktu untuk mendapatkan hasil kultur sehingga tidak banyak dokter yang
6
langsung memintakan kultur BTA. Hal ini perlu mendapat perhatian dan dicarikan
solosinya. Metode MODS seperti yang diulas di atas mungkin bisa digunakan untuk
membantu masalah tersebut. Akan tetapi metode tersebut belum pernah diujikan di
Indonesia, baik untuk uji fisibilitas di laboratorium maupun operasionalnya. Penelitian ini
dilakukan untuk mempelajari fisibilitas dan operasional MODS untuk digunakan di
Indonesia.
7
Materi dan Metode
Desain penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian operasional untuk mempelajari
fisibilitas, cost-efektivitas, kepraktisan dan penerimaan metode pemeriksaan MODS
untuk digunakan di laboratorium di Indonesia.
Sampel penelitian: sputum dari penderita TB dengan atau tanpa koinfeksi HIV
Subyek penelitian: pasien TB dengan atau tanpa koinfeksi HIV
Responden: tehnisi laboratorium mikrobiologi
Jalannya penelitian:
1. Dilakukan persiapan dan studi standarisasi di Laboratorium Mikrobiologi FK-
UGM
2. Dilakukan pelatihan untuk tehnisi laboratoriium dari Balai Laboratorium
Kesehatan (BLK) Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan BLK
Semarang
3. Pemeriksaan oleh para tehnisi dari ketiga laboratorium dengan sumber sampel
sputum dari Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito, BP4 Propinsi DIY dan
BP4 Semarang
4. Subyek penelitian diambil dari Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito, BP4
Yogyakarta dan Semarang. Sampel sputum diambil dari masing-masing subyek
untuk kemudian dikiirim ke laboratorium mikrobiologi di Bagian Mikrobiologi
FK-UGM, Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Semarang.
5. Di masing-masing laboratoriuml sampel penelitian akan dilakukan homogenisasi
untuk kemudian dibagi menjadi 3, yaitu 1. untuk pemeriksaan BTA dengan
8
pengecatan ZN dengan protokol standar.; 2. untuk pemeriksaan kultur
Lowenstein-Jensen; 3. untuk pemeriksaan kultur MODS.
6. Pada tahap akhir penelitian dilakukan Focus Group Discussion tentang persepsi
dan penilaian terhadap metode pemeriksaan MODS.
Protokol pemeriksaan: protokol penanganan sampel dan kultur dengan Lowensten Jensen
aalah sesuai protokol standar dan perotokol metode MODS terlampir.
Analisa Data: data yang didapat berupa 1. data klinis pasien TB dengan atau tanpa HIV;
2. hasil pemeriksaan mikroskopis BTA; 3. hasil pemeriksaan kultur MODS; 4. hasil
pemeriksaan keultur Lowensterin-Jensen; 5. waktu tumbuh dari kultur L-J dan MODS; 6.
biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan; 7. hasil Focus Group Discussion untuk
persepsi terhadap MODS
Beberapa Definisi Operasional.
Studi Fisibilitas akan dinilai dari:
1. ada tidaknya alat dan bahan yang diperlukan
2. kepraktisan metode
3. penerimaan dan persepsi metode ini oleh tehnisi laboratorium
Studi Cost-efektivitas akan dinilai dari:
1. harga bahan dan alat
2. peralatan yang digunakan
3. waktu untuk melaksanakan pemeriksaan
4. jam orang yang diperlukan
Hasil Penelitian
Tahap Pertama
9
STANDARDISASI PROTOKOL
1.Pemilihan Metode Dekontaminasi dan dekonsentrasi
Proses dekontaminasi dekonsentrasi dilakukan denagn maksud untuk mengurangi
pertumbuhan bakteri flora normal dan kontaminan pada specimen. Telah dilakukan
beberapa pengujian cara homogenisasi dan dekontaminasi untuk MODS yakni
menggunakan Petrof Methods, NAOH-Na citrat-NALC dan modifikasi cara Kubica.
Masing-masing metode dilakukan untuk 10 sampel berbeda. Evaluasi dilakukan dengan
menginokulasi sisa pellet pada medium agar darah dan Mac. Conkey. Cara
dekontaminasi yang dipilih adalah yang paling rendah jumlah kuman yang tumbuh pada
kedua medium tersebut. Diantara ketiga metode yang paling sesuai adalah NaOH/Na
citrate-NALC.
2. Standardisasi Metode inokulasi
Menurut Luz Caviedes dkk terdapat 3 prinsip utama metode MODS yakni : bahwa
M.tuberculosis tumbuh lebih cepat pada medium cair daripada pada medium padat,
pada medium cair akan membentuk tali (cord) yang dapat diamati lebih awal, dan
pemeriksaan uji kepekaan kuman dapat dilakukan pada medium cair.
Pada penelitian ini dilakukan beberapa protokol yang berbeda dalam hal:
- kontainer : plate 24 lubang, plate 96 lubang dan botol tutup ulir ukuran 3 ml
- perbandingan pellet (hasil dekontaminasi dan dekonsentrasi) dengan medium cair
- inkubasi : menggunakan CO2 dan tanpa CO2
- konsentrasi PANTA
- cara inokulasi pada plate
10
setelah uji coba pada l12 sampel dapat ditentukan bahwa cara yang paling ideal adalah
dengan plate 24 lubang dengan perbandingan pellet yang telah dilarutkan menjadi 2 ml
ditambah medium 5, 2 ml MB7H9+OADC(mengandung 200ul PANTA) yang
dibagikan pada masing-masing sumuran @ 900ul. Inkubasi tidak perlu menggunakan
CO2, konsentrasi PANTA ditingkatkan menjadi 4%, dan cara inokulasi pada plate.
Protokol Kerja yang sudah disepakati terlampir.
Tahap Kedua
PELATIHAN
Salah satu kegiatan yang direncanakan dalam proposal penelitian adalah Pelatihan
petugas laboratorium dari Laboratorium Kesehatan Daerah (BLK) dan Balai Pengobatan
Penyakit Paru-Paru (BP4) di propinsi DIY dan sekitarnya. Tujuan pelatihan adalah untuk
memberi pengetahuan dan ketrampilan yang baru kepada petugas laboratoriumtentang
metode kultur M. tuberculosis dengan media cair. Setelah pelatihan, diharapkan petugas
tersebut ikut dalam terlibat dalam penelitian dengan menggunakan sampelnya sendiri dan
kemudian kami wawancara untuk mengetahui persepsi para petugas terhadap metode
tersebut. Dalam wawancara juga ditanyakan kemungkinan metode tersebut bisa
diterapkan dalam laboratorium mereka.
Jumlah peserta adalah 12 orang yang bersal dari BP4 Semarang, BLK Semarang, BP4
Jogjakarta, BLK Jogjakarta, dan BBKPM Surakarta. Peserta tambahan adalah dari Univ
Padjajaran / RS Hasan Sadikin, Bandung. Pelatihan diadakan selama 2 hari dimana pada
hari pertama diberikan materi secara ringkas tentang Tuberculosis, metode diagnosis
mikrobiologis untuk M. Tuberculosis, serta metode MODS. Setalah teori, peserta
menjalani praktikum, dimana yang pertama adalah pembuatan media dan hmogenisasi.
11
Hari kedua, peserta menjalani praktikum dengan melihat hasil dari kultur yang sudah
tersedia di bawah mikronskop inverted. Pengisi materi adalah Dr. Yanri, Bu NIng
Rintiswati, Sdr. Linda dan Sdr. Sunyi (Materi pelatihan terlampir).
Pada akhir pelatihan dilakukan diskusi khusus untuk penelitian yang akan
dikerjakan oleh masing-masing laboratorium.
Tahap Ketiga
Implementasi Metode MODS di BLK Jateng dan BLK DIY dan Pengambilan Data
Penelitian
Setelah dilakukan pelatihan dilakukan uji coba metode MODS sesuai protokol yang telah
dikembangkan di laboratorium Mikrobiologi FK UGM di BLK Jawa Tengah dan BLK
DIY. Semua bahan dan peralatan yang diperlukan telah dikirim ke BLK dan BP4
Yogyakarta dan Semarang.
1. Hasil pemeriksaan BTA, kultur MODS dan kultur Lowenstein-Jensen di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM
Laboratorium Mikrobiologi FK-UGM melakukan pemeriksaan mikroskopik, MODS dan
L-J terhadap 138 sampel. Dari 138 sampel, 103 memenuhi syarat untuk analisis. Ke 103
sampel ini diperoleh dari … 103 penderita suspek TB paru, …. 3 ( %) dengan HIV pos.
Sebanyak 7 pasien dengan HIV dengan suspek TB tidak bisa mengeluarkan sputum untuk
pemeriksaan.
12
Tabel 1. Hasil pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J di laboratorium Mikrobiologi
FK-UGM
No Hasil Pemeriksaan Frekuensi %
1 Mikroskopik pos, MODS pos, LJ neg 16/103 15.53
2 Mikroskopik pos, MODS pos, LJ pos 35/103 33.98
3 Mikroskopik neg, MODS pos, LJ pos 6/103 5.82
4 Mikroskopik pos, MODS neg, LJ pos 3/103 2.91
5 Mikroskopik neg, MODS neg, LJ pos 6/103 5,82
6 Mikroskopik pos, MODS neg, LJ neg 5/103 4.85
7 Mikroskopik neg, MODS neg, LJ neg 32/103 30.19
Pemeriksaan MODS disini menggunakan metode yang telah dimodifikasi yaitu dengan
cara melakukan pengecatan ZN dari botol kultur MODS dan mencari cord-factor. Total
mikroskopik positif adalah 59 dari 103 sampel (57,28%). Total hasil L-J positif adalah 50
(48,54%) dan MODS positif 57 atau 55,33%. Dari hasil tersebut proporsi terbesar adalah
dari pemeriksaan ketiganya positif (33,98%). Proporsi hasil mikroskopik negatif, L-J
positif dengan MODS positif atau negatif adalah sama, yaitu 5,82%. Proporsi
mikroskopik negative, MODS negative dan L-J negative adalah 30,19%. Pada kelompok
mikroskopik negatif, pemeriksaan MODS, bersama L-J meningkatkan 5,82% positivity.
Kontaminasi
13
Kontaminasi merupakan masalah yang sering terjadi pada pemeriksaan kultur. Media
OADC yang digunakan dalam metode MODS merupakan metode yang ‟kaya‟ sehingga
dapat mempercepat pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan. Hal ini kadang
menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme kontaminan. Sehingga prosentase kontaminasi
pada MODS sedikit lebih tinggi daripada L-J (10.86% vs 7.25%). Sementara prosentase
kontaminasi pada kedua metode hanya 7.25%. Sehingga total prosentase kontaminasi
adalah 25.36%. Prosentase yang tinggi tersebut terjadi terutama pada awal penelitian
yang kemudian dapat diatasi sejalan dengan waktu penelitian. Metode MODS sebenarnya
mempunyai kelebihan berupa minimalisasi kontaminasi dengan cara kultur dalam
‟sealed-plate‟ dan hanya melihat pertumbuhan koloni di bawah inverted microscop tanpa
membuka ‟plate‟. Hanya saja perlu diingat bahwa tidak semua laboratorium mempunyai
fasilitas inverted microscope dan harga plate (terutama yang sekali pakai) relatif mahal.
Tabel 2. Prosentase kontaminasi pada pemeriksaan MODS dan L-J
No Pemeriksaan Juml
%
1 MODS 15/138 10.86
2 LJ 10/138 7.25
3 LJ, MODS 10/138 7.25
4 Total kontaminasi 35/138 25.36
2. Hasil pemeriksaan di BLK DIY dan Semarang
Setelah mendapatkan training tentang MODS dan tentang penelitian ini maka kedua BLK
mulai melakukan pemeriksaan MODS terhadap sampel peneletian yang datang dari BP4
Yogyakarta dan Semarang yang telah ditunjuk sebagai institusi yang bekerja sama.
14
BLK Yogyakarta berhasil mendapatkan 14 sampel yang dapat diperiksa. Ke 14 sampel
ini diperoleh dari pasien suspek TB paru ,…. % tanpa ada pasien dengan HIV positif.
untuk ketiga metode pemeriksaan, dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J di BLK Yogyakarta
no Hasil Pemeriksaan (n=14) Jumlah (%)
1 Mikroskopik pos, MODS pos, LJ pos 0
2 Mikroskopik pos, MODS neg, LJ pos 0
3 Mikroskopik neg, MODS pos, LJ pos 2 (14.28)
4 Mikroskopik neg, MODS neg. LJ pos 0
5 Mikroskopik neg, MODS neg, LJ neg 12(85.71)
Total diperiksa 14
LJ AFB (n=14) MODS
Positif 20 0 2
Negatif 142 14 12
Kontaminasi
14 14 14
Tolong dijelaskan bahwa secara prinsip sampel kurang banyak, belum bisa mewakili
yang AFB pos.
Dari table tersebut terlihat bahwa pada sampel dengan mikroskopik negatif, pemeriksaan
MODS dan L-J meningkatkan 14,28% positivitas. Sementara sebanyak 85,71% adalah
negatif dengan ketiga metode pemeriksaan. Jumlah sample tersebut di atas terlalu sedikit
sehingga belum bisa mewakili populasi AFB positif.
15
BLK Semarang mendapatkan 20 sampel penelitian tetapi hanya 17 yang dapat dianalisis
mikrobiologis. Ke 17 sampel ini diperoleh dari penderita TB paru dan … % adalah HIV
positif.
Tabel 4. Pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J di BLK Semarang
L-J AFB (n=17) MODS
Positif 150 0 02
Negatif 217 17 175
Kontaminasi
Kalau ada kontaminasi sebaiknya dimasukan juga aja.
Tabel 4. Pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J di BLK Semarang
no Hasil Pemeriksaan (n=17) Jumlah (%)
1 Mikroskopik pos, MODS pos, LJ pos 15 (88.23)
2 Mikroskopik pos, MODS neg, LJ pos 0
3 Mikroskopik pos, MODS pos, LJ neg 2 (11.76)
4 Mikroskopik neg, MODS pos, LJ pos 0
5 Mikroskopik neg, MODS neg. LJ pos 0
6 Mikroskopik neg, MODS neg, LJ neg 0
Total diperiksa 17
Didapatkan bahwa 15 dari 17 sampel (88,23%) mendapatkan hasil mikroskopik positif,
MODS positif dan L-J positif. Pada kelompok mikroskopik negatif, pemeriksaan MODS
dan L-J tidak banyak menaikkan tingkat positivitas; hanya 2 (11,76%) dengan MODS
positif L-J negatif.
3. Biaya dan waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J
16
Biaya bahan untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan ada tertulis dalam table
dibawah ini.
Tabel 5. Harga dan lama pemeriksaan mikrokopik, MODS, dan L-J
No Pemeriksaan Harga pemeriksaan
(Rp per sampel)
Lama pemeriksaan
1 Mikroskopik
(SPS)
30.000,- 2-3 hari
2 LJ 25.000,- 4-6 minggu
3 MODS 50.000,- 10-14 hari
SPS = sewaktu-pagi-sewaktu
17
Kalau bias table dibuat lebih informatif seperti ini :
Table 6. Rincian Biaya bahan-bahan unutuk pemeriksaan 100 spesimen BTA, LJ dan
MODS
No Bahan ZN LJ MODS
Satuan 1000
pemeriksaan
70 pemeriksaan 300
pemeriksaan
1. Bahan habis pakai Slide Tabung reaksi
2. Bahan cair & reagens H2SO4, Telur 6 butir
Malacite green …
gram
Botl 7h9 (…
gram) Rp.
500.000
3 Total
3.4 Total harga / jumlah
pemeriksaan
30.000 25.000 50.0000
Lama pemeriksaan didefinisikan sebagai lamanya waktu yang diperlukan antara saat
inokulasi hingga dinyatakan positif. Untuk pemeriksaan MODS, cord factor sudah bisa
mulai terlihat pada hari ke-empat sejak inokulasi dan konfirmasi hasil adalah pada hari
ke-sepuluh hingga ke-empatbelas. Sementara pada kultur L-J, waktu yang tercepat untuk
bisa terlihat koloni adalah 4 minggu. Perlu dicatat bahwa ada kemungkinan sebagian
hasil kultur L-J yang dinyatakan negatif pada minggu ke-4 tersebut akan menjadi positif
pada minggu-minggu berikutnya (minggu ke-6-8 sesuai pedoman WHO).
Perbedaan utama dari kultur MODS dan L-J adalah bentuk media, dimana MODS adalah
dengan bentuk media cair dan bening, sementara L-J adalah berupa media solid. Pada
kultur L-J, diperlukan waktu yang panjang untuk sampai hasil dibaca, yaitu sampai
terbentuknya koloni di permukaan media. Sementara dengan media cair dan bening,
pertumbuhan kuman dan penbentukan cord factor sudah bisa terlihat pada 1 minggu
pertama.
18
Untuk biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan per sampel, kultur dengan L-J adalah
lebih murah dibandingkan MODS. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut adalah
bahan baku dan alat yang digunakan. Bahan baku untuk kultur L-J adalah sudah „home
made atau in-house made) yang artinya sudah tersedia dan cukup mudah penyiapannya.
Tempat/wadah yang digunakan juga cuma berupa botol gelas yang bisa dipakai ulang.
Sementara bahan baku kultur MODS berbeda dengan L-J. Untuk komponen OADC,
bahan baku sudah berupa semacam paket yang harganya sekitar Rp. 800.000,- yang bisa
digunakan untuk sekitar 100 sampel. Komponen yang cukup mahal lain adalah PANTA
yaitu campuran bari beberapa antobiotika, yang harganya sekitar Rp. 1.2000.000,- yang
bida untuk 100 sampel. Sehingga dari dua komponen tersebut harga per sampel adalah
Rp. 20.000,-. Tempat untuk kultur MODS adalah dengan „24-well sealed-plate´yang
harganya sekitar Rp. 40.000,- yang bisa digunakan untuk 2 sampel. Apabila ditambahkan
semua maka harga per sampel adalah sekitar Rp. 40.000,-. Apabila ditambah hal-hal kecil
lain, maka total biaya per sampel adalah Rp. 50.000,-.
Perlu mendapat perhatian adalah harga kultur MODS yang relatif lebih tinggi ini adalah
untuk mendapatkan hasil yang cukup jauh lebih cepat dibandingkan dengan kultur L-J (4-
10 hari vs 4-6 minggu).
4. Fisibilitas penggunaan MODS di laboratorium
Untuk menilai fisibilitas metode MODS untuk dilaboratorium dilakukan beberapa
penilaian secara obyektif dan subyektif. Penilaian obyektif adalah terhadap ketersediaan
dan atau kemudahan adanya alat dan bahan (sebagian sudah diulas di atas). Sementara
19
penilaian secara subyektif adalah dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD)
pada tehnisi laboratorium.
Secara obyektif, MODS memerlukan peralatan yang belum menjadi standar dan tersedia
di semua laboratorium di Indonesia, yaitu inverted microscope dan 24-well sealed-plate
sehingga perlu dilakukan modifikasi protokol MODS untuk bisa digubakan. Selain itu,
para tehnisi belum terbiasa melihat „cord factor‟ di bawah mikroskop, sehingga perlu
pelatihan dan praktek terus menerus supaya terbiasa.
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan terhadap 5 tehnisi laboratorium BLK Jawa
Tengah yang terlibat dalam penelitian ini.
Diskusi dilakukan di ruang laboratorium dalam suasana yang cukup nyaman. Tujuan
FGD adalah untuk:
1. mendapatkan gambaran persepsi para tehnisi terhadap metode kultur cair MODS
(modifikasi). Persepsi yang ditanyakan adalah meliputi aspek kemudahan,
kepraktisan, keamanan, dan kemungkinan menganjurkan untuk tehnisi lain di
masa mendatang.
2. mendapatkan data tentang ”waktu” yang dibutuhkan untuk mengerjakan
pemeriksaan sampel, dari mulai persiapan bahan hingga penanganan limbah
Hasil Focus Group Discussion adalah:
a. Secara umum para tehnisi mengatakan bahwa metode kultur cair modifikasi ini
cukup mudah untuk dipelajari dan dilakukan. Akan tetapi mereka juga mengatakan
bahwa mereka perlu pelatihan yang lebih intensif selama beberapa hari sampai
merasa cukup terampil.
20
b. Untuk persiapan bahan, metode MODS bisa cukup mudah karena bahan-bahan
sudah berupa kit sehingga tidak perlu meracik dan menimbang berbagai bahan.
Selain itu tehnisi sedikit mengalami kesulitan untuk membagi sampel dan
memasukkannya dalam sumuran plate, dikatakan bahwa hal tersebut hanya karena
‚belum terbiasa‟.
c. Secara umum persepsi tentang „kemudahan“ antara kultur Lowenstein-Jensen dan
MODS adalah bahwa metode MODS lebih mudah dibanding L-J.
d. Untuk metode L-J dikatakan „lebih repot“ terutama kalau terjadi kontaminasi,
dimana harus melakukan pemisahan kultur kemudian dilakukan dekontaminasi.
Pada tahun 2009, kejadian kontaminasi dengan L-J adalah sekitar 5%.
e. Untuk masalah „keamanan kerja“ dirasa tidak ada perbedaan antara kultur L-J dan
MODS. Pemeriksaan MODS sebenarnya lebih aman bila dilakukan dengan plate
yang tertutup karena tidak perlu ada kontak aerosol dengan spesimen. Di BLK Jawa
Tengah tidak terdapat masker (yang selalu mudah diakses) yang dispossible, dan
tingkat laboratorium mikrobiologi adalah BSC level 3
f. Hasil FGD tentang „waktu“ yang dibutuhkan untuk pemeriksaan. Pertanyaan yang
diajukan adalah untuk menghitung beban kerja dalam arti alokasi waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan 10 sampel dengan pengecatan ZN, kultur
MODS dan kultur L-J. Secara ringkas, waktu yang dibutuhkan untuk masing-
masing pekerjaan adalah sebagai berikut (Tabel 7):
Tabel 76. Waktu yang diperlukan untuk persiapan bahan hingga pembacaan hasil
ZN MODS L-J
21
Persiapan bahan 1 jam 4 jam 4 jam
Penanganan spesimen 0,25 jam 1 jam 2- 3 jam
Proses (pewarnaan /
inokulasi)
1 jam 0,25 jam 0,25 jam
Pembacaan hasil 0,25 – 0,5 jam 0,5 jam (3x dalam
2 minggu)
0,25 jam (8x dalam
2 bulan)
Penanganan limbah 0,5 jam 2 jam 2 hari x 1 jam
TOTAL
WAKTUTotal waktu
SAMPAI TERBACA
HASILkerja
3 jam 8 jam 15 menit 10 jam 15 menit
Total waktu dengan
wkaktu tunggu
1 hari 14 hari 2 bulan
Pada akhirnya, secara umum para tehnisi menyatakan bahwa mereka pada prinsipnya
bersedia menggunakan metode MODS untuk pemeriksaan M. tuberculosis. Lebih jauh
pada tehnisi bersedia menganjurkan metode ini untuk tehnisi laboratorium lain apabila
akan menjadi prosedur standar nasional.
Kesimpulan
Telah dilakukan penelitian tentang kemungkinan penggunaan metode kultur cair
(modifikasi) MODS pada sampel sputum penderita TB dengan atau tanpa koinfeksi HIV.
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Metode pemeriksaan M. tuberculosis dengan kultur cair MODS memberikan hasil
yang lebih cepat daripada kultur media padat Lowenstein-Jensen (4-10 hari vs 4-6
minggu)
2. Metode pemeriksaan M. tuberculosis dengan kultur cair MODS meningkatkan
angka positivitas 5.82% dari pemeriksaan mikroskopik
22
3. Biaya untuk pemeriksaan MODS lebih tinggi daripada kultur L-J tetapi dengan
waktu diagnosis yang lebih pendek
4. Metode kultur cair modifikasi MODS dirasa „lebih praktis‟ dibanding kultur L-J,
dan memerlukan waktu yang lebih pendek untuk persiapan bahan hingga
pembacaan hasil
5. Pemeriksaan dengan metode kultur cair modifikasi MODS ini memerlukan alat
„inverted microscop‟ yang belum secara luas tersedia di laboratorium di Indonesia
6. Angka kontaminasi dengan metode kultur cair MODS cukup tinggi. Perlunya
ketrampilan para tehnisi untuk mengatasi hal tersebut
Implikasi penelitian ini terhadap program nasional untuk TB dan HIV adalah bahwa
diagnosis TB dengan MODS merupakan metode yang perlu dipertimbangkan dalam
diagnosis TB baik dengan atau tanpa HIV. Akan tetapi masih diperlukan beberapa
persiapan untuk bisa diimplementasikan di Indonesia, antara lain fasilitas inverted
microscope, pelatihan dan sosialisasi kepada tehnisi dan klinisi serta advokasi kepada
pengambil kebijakan.