LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN...

168
i LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PEMULA ANALISIS PERAN KOPERASI DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT (STUDI KASUS: KOPERASI WANA LESTARI MENOREH KULON PROGO) TAHUN KE-1 DARI RENCANA 1 TAHUN KETUA/ANGGOTA TIM Chandra Fitra Arifianto, S.Psi.,M.M 0429068402 (Ketua) Veritia,S.E.,M.M 0411087804(Anggota) Dibiayai oleh: Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Penguatan Riset dan Pengembangan KementrianRiset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Sesuai dengan kontrak penelitian Nomor: 121/A5/SPKP/LPPM/UNPAM/III/2018 UNIVERSITAS PAMULANG TANGERANG SELATAN NOVEMBER 2018

Transcript of LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN...

i

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN DOSEN PEMULA

ANALISIS PERAN KOPERASI DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI

MASYARAKAT

(STUDI KASUS: KOPERASI WANA LESTARI MENOREH KULON PROGO)

TAHUN KE-1 DARI RENCANA 1 TAHUN

KETUA/ANGGOTA TIM

Chandra Fitra Arifianto, S.Psi.,M.M 0429068402 (Ketua)

Veritia,S.E.,M.M 0411087804(Anggota)

Dibiayai oleh:

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat

Direktorat Penguatan Riset dan Pengembangan KementrianRiset,

Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Sesuai dengan kontrak penelitian

Nomor: 121/A5/SPKP/LPPM/UNPAM/III/2018

UNIVERSITAS PAMULANG

TANGERANG SELATAN

NOVEMBER 2018

ii

iii

RINGKASAN

ANALISIS PERAN KOPERASI DALAM PENGEMBANGANEKONOMI

MASYARAKAT

(STUDI KASUS: KOPERASI WANA LESTARI MENOREH KULON

PROGO)

Chandra Fitra Arifianto

Manajemen, Fakultas Ekonomi,Universitas Pamulang

[email protected]

Veritia

Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang

[email protected]

Abstrak

Sektor kehutanan perlu melakukan sertifikasi untuk menciptakan hutan yang

lestari, maka perlu peranan pihak ketiga, yakni koperasi. Tujuan penelitian untuk

melihat peran Kopersi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dalam pelaksanaan

sertifikasi FSC, peran KWLM dalam Pengembangan Ekonomi Masyarakat dan

peran pihak eksternal dalam Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Kulon

Progo, DIYogyakarta.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode studi kasus pada KWLM.

Wawancara dilakukan secara mendalam dengan responden penelitian sejumlah 10

subyek (5 anggota dan 5 non anggota KWLM).Keakuratan data dan informasi

diperkuat dengan beberapa narasumber utama, dan direview oleh beberapa ahli.

Sumber data terdiri dari dokumen, arsip, wawancara, pengamatan langsung,

observasi partisipan dan perangkat fisik. Untuk mengukur validitasnya, penelitian

ini menggunakan face validity. Hasil jawabanselanjutnya dicrosscheck kembali

oleh ahlinya.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa, pertama, KWLM sudah memenuhi

standar sertifikasi FSC sesuai dengan tuntutan permintaan pasar dan konsumen

dunia. Terkait pengembangan ekonomi masyarakat, terdapat beberapa prinsip

menurut Bruce (2001) yang perlu diperbaiki diantaranya: kebutuhan strategi

komprehensif, membangun SDM, membangun kapasitas lokal, integrasi tujuan

ekonomi, dan memberdayakan masyarakat. Terakhir, peranan pihak eksternal

yakni PT. SOBI diperlukan bagi kelanjutan KWLM. Terutama dalam

menjembatani proses sertifikasi (FSC dan SVLK) produk hasil hutan dan

memasarkan kayu anggota KWLM.

Kata Kunci: Koperasi, Hutan, Pengembangan Ekonomi

Masyarakat,KWLM

iv

ANALYSIS COOPERATIVE ROLE IN COMMUNITY ECONOMIC

DEVELOPMENT

(CASE STUDY: KOPERASI WANA LESTARI MENOREH KULON

PROGO)

Chandra Fitra Arifianto

Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang

[email protected]

Veritia

Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang

[email protected]

Abstract

The forestry sector needs to be certified to create sustainable forests,

so it needs a third party role, namely cooperatives. The purpose of this

research is to see the role of Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) in

implementing FSC certification, the role of KWLM in Community

Economic Development and the role of external parties in Community

Economic Development in Kulon Progo, DIYogyakarta.

This research is qualitative with a case study method at KWLM.

Interviews were conducted in depth with research respondents totalling 10

subjects (5 members and 5 non-KWLM members). Data and information

accuracy was strengthened with several key informants, and reviewed by

several experts. Data sources consist of documents, archives, interviews,

direct observation, participant observation and physical devices. To measure

its validity, this study uses face validity. The results of the next answer are

crosschecked again by the experts.

This study concludes that, first, KWLM has met FSC certification

standards in accordance with the demands of the world market and

consumers. Regarding community economic development, there are several

principles according to Bruce (2001) that need to be improved including:

the need for a comprehensive strategy, building human resources, building

local capacity, integrating economic objectives, and empowering

communities. Finally, the role of external parties, namely PT. SOBI is

needed for the continuation of KWLM. Especially in bridging the

certification process (FSC and SVLK) forest products and marketing

KWLM membertimber.

Keywords: Cooperative, Forestry, Community Economic

Development, KWLM

v

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil'aalamin,

Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha

Penyayang. Tanpa karunia-Nya, mustahillah laporan penelitian ini terselesaikan

tepat waktu mengingat tugas dan kewajiban lain yang bersamaan hadir. Penulis

benar-benar merasa tertantang untuk mewujudkan laporan penelitian ini

sebagai bagian kecil peran penulis dalam mengembangkan khasanah keilmuan

dan pengembangan perekonomian masyarakat. Penelitian ini disusun atas dasar

kegundahan penulis terhadap ketidakmaksimalannya peran koperasi dalam

meningkatkan perekonomian masyarakat. Sangatlah miris, dimana banyak

koperasi yang hanya difungsikan tempat pengepul uang. Sehingga diharapkan

hasil penelitian ini mampu untuk dijadikan referensi pilihan di dalam

mengembangkan ekonomi masyarakat. Terselesaikannya penyusunan laporan

penelitian ini juga tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak. Karena itu, penulis

menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan

Pendidikan Tinggi karena telah memberikan dana penelitian ini. Dengan

kepercayaan tersebut, penulis berkeyakinan bahwa itu dapat mendukung penulis

dalam upaya meningkatkan kualitas penelitian dan mampu mengembangkan ke

arah penelitian yang lebih baik lagi. Penulis juga menyampaikan ucapan terima

kasih kepada Universitas Pamulang dan juga Lembaga Penelitian dan

Pengmbangan Masyarakat (LPPM) Universitas Pamulang yang telah secara

berkala membimbing penulis di dalam merencanakan, mempersiapkan, hingga

melaporkan hasil penelitian ini. Semua bentuk kemudahan yang telah diberikan

benar-benar bermanfaat bagi penulis untuk belajar menjadi pribadi yang lebih

baik. Selain itu, penulis juga perlu untuk menyampaikan rasa terima kasih yang

mendalam kepada Telapak, Koperasi Wana Lestari Menoreh dan PT Sosial Bisnis

yang telah menyediakan sekelumit waktunya untuk bersedia menjadi obyek

penelitian. Tak lupa juga, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada

segenap pihak yang telah memberikan semua bantuan, motivasi, dan saran-

sarannya. Meskipun telah berusaha untuk menghindarkan kesalahan, penulis

menyadari juga bahwa laporan ini masih mempunyai kelemahan dan

kekurangannya. Karenanya, penulis berharap agar pembaca berkenan

menyampaikan kritikan. Dengan segala pengharapan dan keterbukaan, penulis

menyampaikan rasa terima kasih dengan setulus-tulusnya atas kritik yang akan

diberikan. Ini merupakan perhatian agar penulis dapat menuju kesempurnaan.

Akhir kata, penulis berharap agar laporan penelitian ini dapat membawa manfaat

kepadapembaca.Secarakhusus,penulisberharapsemogapenelitianinidapat

vi

menginspirasi koperasi-koperasi yang ada untuk dapat berkembang menjadi

lebih baiklagi.

Tangerang Selatan, September 2018

Penulis

vii

DAFTAR ISI

HALAMANSAMPUL ........................................................................................................ i

HALAMANPENGESAHAN ............................................................................................ ii

RINGKASAN ................................................................................................................... iii

PRAKATA ......................................................................................................................... v

DAFTARISI.................................................................................................................... vii

DAFTARTABEL ............................................................................................................. x

DAFTARGAMBAR ......................................................................................................... xi

DAFTARLAMPIRAN .................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakangMasalah ................................................................................ 1

1.2 BatasanMasalah ........................................................................................... 5

1.3 PerumusanMasalah ...................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LandasanTeori ............................................................................................. 7

2.1.1 Hutan ............................................................................................... 7

2.1.2 Kehutanan ....................................................................................... 8

2.1.3. ManajemenHutan .............................................................................. 9

2.1.4 SertifikasiKayu .............................................................................. 11

2.1.5 Koperasi ........................................................................................ 13

2.1.6 Pengembangan Masyarakat(CommunityDevelopment) ................ 15

2.1.7 Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Community Economic

Development) ................................................................................ 16

2.1.8 Keterkaitan Koperasi Dan Pengembangan Ekonomi

Masyarakat .................................................................................... 19

viii

2.2 KerangkaPemikiran ................................................................................... 20

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 TujuanPenelitian ...................................................................................... 22

3.2 ManfaatPenelitian ..................................................................................... 22

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 DesainPenelitian ....................................................................................... 24

4.2 Populasi Sampel Dan MetodePengumpulan Data.....................................24

4.3 Variabeldan Pengukurannya ..................................................................... 27

BAB V HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

5.1 Koperasi Wana LestariMenoreh ............................................................... 29

5.1.1 GambaranKWLM ......................................................................... 29

5.1.2 Visi danMisi KWLM .................................................................... 32

5.1.3 StrukturOrganisasi KWLM ........................................................... 32

5.1.4 KarakteristikResponden ................................................................ 35

A. AnggotaKWLM ....................................................................... 34

B. BukanAnggota KWLM ............................................................ 37

C. Narasumber Ahli ...................................................................... 38

5.2 Analisis Peran KWLM Pada Proses Sertifikasidari FSC .......................... 39

5.2.1 Peran KWLM Dalam Proses Sertifikasi Kayu .............................. 39

5.2.1.1 Hak dan KewajibanAnggotaKWLM.................................42

5.2.1.2 KegiatanKWLM ................................................................ 45

5.2.2 FSC

5.2.2.1 Latar BelakangFSC ........................................................... 45

5.2.2.2 Visidan Misi ...................................................................... 48

5.2.2.3 Prinsipdan Kriteria ............................................................ 49

ix

5.2.2.4 Aktor Yang Terlibat DalamSertifikasiHutan .................... 50

5.2.2.5 KlasifikasiSertifikasiHutan ............................................... 50

5.2.2.6 Jenis SertifikasiKayuFSC ................................................. 52

5.2.3 PembahasandanKesimpulan .......................................................... 54

5.3 Analisis Peran KWLM Dalam PengembanganEkonomiMasyarakat ....... 61

5.3.1 AnggotaKWLM ............................................................................ 61

5.3.2 BukanAnggotaKWLM .................................................................. 92

5.3.3 Pembahasandan Kesimpulan ......................................................... 95

5.4 Analisis Peran Pihak Eksternal Dalam Pengembangan Ekonomi

Masyarakat .............................................................................................. 103

5.4.1 GambaranPT.SOBI ..................................................................... 105

5.4.2 VisidanMisi ................................................................................. 105

5.4.3 StrukturOrganisasi ...................................................................... 106

5.4.4 Model BisnisBaruBerkelanjutan ................................................. 107

5.4.5 Pembahasandan Kesimpulan ....................................................... 111

BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

6.1 Rencana PenelitianTahunKedua ............................................................. 113

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan ............................................................................................ 114

7.2 Saran ...................................................................................................... 114

DAFTARPUSTAKA ....................................................................................... 116

LAMPIRAN ..................................................................................................... 122

x

DAFTAR TABEL

Tabel

Keterangan

Hal

5.1 Karakteristik Anggota KWLM 36

5.2 Karakteristik Bukan Anggota KWLM 37

5.3 Narasumber Para Ahli 38

5.4 10 Prinsip FSC 49

5.5 Analisis Hasil Temuan 98

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Keterangan Hal

1.1 Peta BadanTeritoriTelapak 03

2.1 KerangkaPemikiran 20

4.1 TahapanPenelitian 28

5.1 StrukturOrganisasi KWLM 32

5.2 StrukturManajemen 34

5.3 StrukturKaryawan Wilayah 35

5.4 Sertifikasi Kelompok FSCUntuk KWLM 63

5.5 StrukturOrganisasi PT.SOBI 106

5.6 Model SistemKerjaPT.SOBI 109

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Keterangan

1 Dokumentasi Penelitian

2 Transkrip Wawancara AnggotaKWLM

3 Transkrip Wawancara Bukan AnggotaKWLM

4 JobdeskPT.SOBI

5 Sertifikat FSCKWLM

6 RAT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Keberadaan hutan sangat penting bagi kehidupan di muka bumi ini.

Kehidupan generasi mendatang sangat bergantung dengan keberadaan hutan

tersebut. Agar keberadaaan dan manfaat hutan terus lestari, diperlukan

pengelolaan hutan yangbaik.

Hampir setengah dari area daratan di Indonesia dikelilingi oleh hutan,

yaitu sekitar 90 juta hektar hutan. Indonesia sendiri adalah salah satu negara

pengekspor kayu tropis terbesar di seluruh dunia, mengekspor berbagai produk

kayu dengan berbagai jenisnya, termasuk plywood, furniture, pulp and paper.

Pasar terbesar untuk ekspor hasil kayu tersebut adalah Cina, Eropa, Jepang, dan

Korea (https://www.illegal-logging.info, 2017).

Mirisnya, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah kasus

pembalakan liar (Illegal Logging) yang tinggi. Akibatnya, negara berpotensi

merugi ratusan triliun rupiah. Sejak 2004 hingga 2012 telah terjadi 2.494 kasus

pembalakan liar. Hutan yang rusak di Indonesia akibat pembalakan liar dan

pertambangan ilegal mencapai 41 juta hektar dari total 130,68 juta hektar secara

nasional. Sementara luas areal kebakaran hutan dan lahan mencapai kisaran

40.000 hektar. Dalam laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

mencatat ada 90 kasus perusakan kehutanan sejak tahun 2014

(http://www.pikiran-rakyat.com, 2016).

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup, di Indonesia saat ini diperkirakan

lebih dari 51 juta m³ kayu bulat per tahun dihasilkan dari kegiatan pencurian kayu.

Pencurian kayu tersebut terjadi di berbagai lokasi hutan, terutama di lokasi bekas

areal tebangan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sudah tersedia jaringan jalan

angkutan kayu. Setiap tahun bisa dikatakan volume pencurian kayu meningkat.

Semakin meningkatnya volume pencurian tersebut, deforestasi hutan Indonesia

2

diperkirakan sudah mencapai lebih dari 2,4 juta hetkar per tahun

(http://www.menlh.go.id,2017).

Untuk itu, Pemerintah melalui Kementrian Kehutanan bekerja sama

dengan kementrian lainnya seperti Perdagangan, Perindustrian, Keuangan, Luar

negeri dan Koordinator Perekonomian resmi memberlakukan adanya sertifikat

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sejak Januari 2013 lalu kepada para

pelaku usaha sektor kehutanan. Jika tidak dilakukan akan dikenakan sanksi pidana

(http://www.mongabay.co.id, 2013). Hal ini dilakukan agar bisa menekan

pembalakan liar, perdagangan ilegal, serta mewujudkan tata kelola kehutanan

menuju hutan yang lestari. Legalitas asal usul kayu penting untuk masuk ke pasar

dunia seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Cina maupun Australia dimana

negara-negara tersebut sangat mementingkan adanya “FairTrade”.

Hasil penelitian Guan dan Gong (2015) menyatakan bahwa kebijakan/

regulasi memiliki efek signifikan dan positif dalam perdagangan bilateral untuk

seluruh produk kehutanan antara Cina dan rekan negara-negaranya. Banyak

pengawasan rantai pasokan, baik dari publik maupun swasta, menggunakan

sistem sertifikasi kesukarelaan, seperti Forest Stewardship Council (FSC) dan

Program Pendukungan Sertifikasi Hutan (Program Endorsement of Forest

Certification/PEFC) untuk mengidentifikasi keberlanjutan atau legalnya produk

tersebut (Brack dan Bailey, 2013 dalam Guan dan Gong,2015).

Brack (2014 dalam Guan dan Gong, 2015) juga menyatakan bahwa

sertifikasi sistem tersebut hampir sulit untuk dilaksanakan di negara berkembang

dan akhirnya banyak bermunculan skema sistem sertifikasi legal yang lebih

mudah dikembangkan untuk memenuhi permintaan secara hukum (walaupun

tidak benar-benar lestari/keberlanjutan) produk-produk baik itu dari sektor publik

danswasta.

Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan sertifikat Sistem Verifikasi

Legalitas Kayu (SVLK) ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Bantuan

dari berbagai pihak, terutama pihak ketiga yakni Lembaga Swadaya Masyarakat

3

(LSM), Masyarakat dan Koperasi sangat diperlukan untuk keberhasilan program

sertifikasi ini. Salah satu LSM yang berjuang misalnya adalah LSM yang

bergerak di sektor lingkungan, Telapak. Telapak adalah sebuah perkumpulan yang

terdiri dari individu-individu mulai dari aktivis, pemimpin kelompok masyarakat,

petani, nelayan, dan masyarakat yang memiliki visi dan misi menuju

keberlanjutan danintegritas.

Organisasi ini melakukan aktivitasnya melalui koperasi dan

mengembangkan perusahaan atau usaha komunitas lokal seperti percetakan,

media masa, pertanian organik, kehutanan, dan perikanan yang berkelanjutan.

Misinya adalah memengaruhi kebijakan publik terkait dengankonservasi,

mendirikan komunitas dengan pengelolaan sumber daya alam dan menghentikan

perusakan lingkungan serta juga ikut dalam proses penguatan komunitas yang

tinggal di sekitar sumber daya alam (www.telapak.org,2017).

Keberadaan dan aktivitas anggota Telapak tersebar di berbagai wilayah di

Indonesia dan bekerja bersama komunitas di Sumatera, Jawa, Bali Nusra,

Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Berikut peta badan teritori Telapak

pada gambar 2.1 di bawah ini:

Gambar 1.1

Peta Badan Teritori Telapak

Sumber : (www.telapak.org, 2017)

4

Kegiatan aktivitas Telapak dilakukan dengan membantu mendirikan

koperasi di berbagai wilayah. Perbedaannya dengan koperasi pada umumnya

adalah koperasi binaan Telapak difasilitasi dalam pembuatan sertifikasi Sistem

Verifikasi Legal Kayu (SVLK). Salah satunya adalah Koperasi Wana Lestari

Menoreh (KWLM) di Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia. Koperasi ini awalnya

dibentuk melalui program Community Logging.

Koperasi di Kulon Progo merupakan alternatif penggerak naiknya

perekonomian dan koperasi ini tetap diminati oleh masyarakat di Kabupaten

Kulon Progo. Data BPS tahun 2014 menyatakan terdapat 365 unit koperasi

dengan jumlah anggota sebanyak 85.870 orang dengan mampu melakukan

simpanan yang mencapai Rp. 144,57 Milyar dan volume usahanya mencapai Rp.

210,39 Milyar (BPS, 2016). Kekayaan koperasi terlihat dari besarnya cadangan,

dana yang tersedia dan hutang. Secara umum, tahun 2015 koperasi di Kulon

Progo mengalami stagnasi dibandingkan tahun 2014. Besarnya cadanganmenurun

3 persen, dana yang tersedia meningkat 62,47 persen dan hutang yang

menunjukkan masyarakat yang semakin paham menggunakan fasilitas koperasi

meningkat 4,23 persen (BPS, 2016).

Koperasi merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan

kehidupan ekonomi masyarakat selama lebih dari 160 tahun. Dogarawa (2005)

menjelaskan bahwa koperasi telah dipertimbangkan memiliki mekanisme yang

berguna untuk mengelola risiko para anggotanya di pertanian atau koperasi yang

sejenis, membantu gaji/upah penerimanya aman untuk masa depan lewat iuran

yang ringan yang dikurangi dari sumber daya, menguatkan masyarakat lewat

penyediaan pekerjaan dan pembayaran pajak lokal. Secara umum, koperasi

menyediakan peningkatan ekonomi dan juga meningkatkan kehidupan masyarakat

juga.

Pentingnya peranan koperasi dalam membantu meningkatkan ekonomi

masyarakat lokal menjadikan KWLM perlu untuk didirikan. Khususnya untuk

masyarakat petani hutan di kawasan hutan rakyat pegunungan Menoreh,

5

Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. KWLM memiliki visi untuk

mewujudkan alam sekitar yang lestari dan berkelanjutan serta meningkatkan

pendapatan masyarakat secara adil. Sedangkan misinya ialah menciptakan

lapangan pekerjaan dan memberdayakan masyarakat sesuai fungsi aspek

kelestarian yakni fungsi produksi, ekologi dan sosial.

Mewujudkan alam yang lestari berarti harus patuh dengan hukum. Untuk

memenuhi itu, pengusaha atau petani hutan harus memiliki sertifikasi untuk

produknya. Sertifikasi kayu ini tidaklah mudah dan memerlukan biaya yang besar.

Sehingga masih banyak pengusaha hutan atau petani hutan yang masih

mengabaikan sertifikasi pada produk mereka. Padahal legalitas kayu ini dituntut

oleh para buyer di pasar perdagangan dunia untuk mempertanggungjawabkan

produk kayu yang dijual tidak merusak lingkungan dan kekayaan alam. Sesuai

visi dan misinya, KWLM tentu diharapkan membantu meringankan para petani

hutan untuk mendapatkan sertifikasi kayu dan mengembangkan pembangunan

masyarakat lokal khususnya Petani HutanMenoreh.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat sektor kehutanan perlu

melakukan sertifikasi untuk menciptakan hutan yang lestari dan mengembangkan

masyarakat lokal perlu peranan dari pihak ketiga, seperti koperasi. Dengan

demikian peneliti sangat tertarik untuk mengambil judul: ANALISIS PERAN

KOPERASI DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT

(STUDI KASUS: KOPERASI WANA LESTARI MENOREH KULONPROGO)

1.2 BatasanMasalah

Agar penelitian ini tidak melebar terlalu jauh, maka peneliti melakukan

pembatasan masalah. Pembatasan ini dilakukan agar penelitian fokus dan hasil

penelitiannya sesuai dengan yang diharapkan. Berikut beberapa pembatasan

masalah yang dilakukan pada penelitian ini:

1. Obyek penelitian hanya dilakukan pada Koperasi Wana Lestari Menoreh,

Kulon Progo,Yogyakarta

6

2. Responden terdiri dari anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh dan yang

bukan anggotakoperasi

3. Penelitian ini hanya membahas sektorkehutanan.

4. Pihak eksternal yang di teliti hanya dari LSM: Telapak dan PT. SOSIAL

BISNIS Indonesia (SOBI)

5. Penelitian ini hanya melihat 9 prinsip pengembangan ekonomi masyarakat

dari Bruce (2001)

6. Sertifikasi yang digunakan berdasarkan acuan dari sertifikasi internasional

yaitu dari Forest Stewardship Council(FSC)

1.3 PerumusanMasalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka peneliti

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Kulon

Progo dalam menjalankan sertifikasi kayu dari Forest Stewardship

Council (FSC)?

2. Bagaimanakah peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dalam

pengembangan ekonomimasyarakat?

3. Bagaimanakah peran Pihak Eksternal dalam pengembangan ekonomi

masyarakat?

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. LandasanTeori

2.1.1 Hutan

Berbagai definisi mengenai hutan dari para pakar dengan sudut pandang

berbeda-beda. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, hutan adalah komunitas

hidup yang terdiri dari asosiasi pohon dan vegetasi secara umum serta hewan lain.

Lebih khusus, hutan adalah komunitas tumbuhan yang lebih didominasi oleh

pohon dan tumbuhan berkayu dengan tajuk yang rapat (Wanggai, 2009).

Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga menyebutkan beberapa

terminologi yang berkaitan dengan pengertian hutan, yakni:

a. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan

oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan

tetap.

b. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak

dibebani hak atastanah.

c. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak

atastanah.

d. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah hukum

adat

e. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

dalam memproduksi kayu dan hasil hutanlainnya.

f. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan untuk mengatus tata

air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,

dan memelihara kesuburantanah.

g. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khastertentu,

8

yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa sertaekosistem.

h. Hutan konversi adalah areal hutan yang ditunjuk untuk dikonversi

menjadi areal pertanian, industri, perkebunan, dan pemukiman. Hasil

hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya serta jasa

yang berasal darihutan.

i. Kawasan hutan suaka alam, adalah hutan dengan ciri khas tertentu,

yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistem, yang juga

berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggakehidupan.

j. Kawasan hutan pelestarian alam, adalah hutan dengan ciri khas

tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan

dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati

danekosistem.

2.1.2 Kehutanan

Dengan berkembangnya peradaban manusia yang diiringi dengan semakin

meningkatnya kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan atau kayu bakar telah

memacu penebangan hutan yang semakin intensif. Dengan meningkatnya

kebutuhan kayu bakar, kebutuhan lahan untuk bercocok tanan dan bermukim,

diiringi kekurangan akan kayu yang kian hari kian terasa memacu manusia

memanfaatkan hutan untuk mencukupi kebutuhan hidup (Wanggai, 2009).

Kemudian akhirnya timbul perusakan dan penebangan hutan secara liar

dan beralihnya fungsi hutan yang dilakukan manusia untuk mencukupi

kebutuhannya. Kerusakan hutan dan komoditas kayu menjadi penting dalam

kehidupan sehari-hari untuk mendorong manusia mengelola hutan sehingga dapat

mencukupi kebutuhan hidup. Sehingga muncul konsep kehutanan (Wanggai,

2009).

9

Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 kehutanan adalah sistem

pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan

yang diselenggarakan secara terpadu. Dalam pasal 2 Undang-Undang Kehutanan

juga disebutkan penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk mengatur hutan agar

bermanfaat sebesa-besarnya bagi kemakmuran rakyat, keadilan, kebersamaan,

keterbukaan, dan keterpaduan.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan berkeadilan,

dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang

kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuan sehingga dapat

meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Penyelenggaraan kehutanan juga

harus memperhatikan asas kebersamaan. Maksudnya agar dalam penyelenggaraan

kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan

dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat, pemerintah

dan pengusaha untuk pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi. Sama

halnya dengan penyelenggaraan kehutanan dengan asas keterbukaan,

dimaksudkan agar setiap kegiatan kehutanan, mengikut sertakan masyarakat dan

memperhatikan aspirasi masyarakat (Wanggai, 2009:36).

2.1.3 ManajemenHutan

Praktik –praktik manajemen hutan secara asal-asalan bisa menimbulkan

berbagai kerusakan lingkungan hutan yang sangat parah, seperti punahnya

biodiversifitas, sumber plasma nutfah, lembaga adat setempat, mata pencaharian

penduduk sekitar hutan, dan sebagainya. Padahal kita tahu hutan tropis yang kita

miliki merupakan salah satu paru-paru dunia, sehingga negara-negara lain sangat

menekankan upaya pelestarian hutan tropis dan pembangungan yang

berkelanjutan (Salikin, 2003).

Sekarang pengelolaan hutan diarahkan untuk mengelola hutan secara

berkelanjutan agar hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan yang

akan datang. Kebijakan pembangunan kehutanan telah mengalami pergeseran

10

paradigma dan penyesuaian dalam kebijakan, yang awalnya adalah

menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi kehutanan, kini diarahkan pada: 1)

Pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup, 2) Keuntungan pengusaha atau

perusahaan bergeser kepada keuntungan sosial, 3) Kelestarian produksi bergeser

pada kelestarian ekosistem dan 4) produksi kayu bergeser pada produksi non kayu

(Salikin, 2003: 89).

Ada berbagai definisi dan pemahaman tentang pengelolaan hutan secara

berkelanjutan, di antaranya Organisasi Perdagangan Kayu Tropik Internasional

(ITTO) menyatakan bahwa: “Pengelolaan hutan secara berkelanjutan adalah

proses mengelola hutan permanen untuk mencapai satu atau beberapa tujuan,

yang dikaitkan dengan prosukdi hasil dan jasa hutan secara terus-menerus dengan

mengurangi dampak lingkungan fisik dan sosial yang tidak diinginkan” (Coto dan

Tarumingkeng, 1995 dalam Pongtuluran,2015).

Sedangkan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dalam Salikin (2003)

mendefinisikan bahwa: “Pengelolaan hutan secara berkelanjutan sebagai bentuk

pengelolaan hutan yang memiliki sifat „hasil yang lestari‟ ditunjukkan oleh

terjaminnya keberlangsungan fungsi produksi hutan, fungsi ekologis hutan dan

fungsi sosial ekonomi budaya hutan bagi masyarakat lokal”.

Hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam manajemen hutan untuk

menghasilkan kayu Wanggai (2009: 54) menambahkan adalah hubungan antara

komponen hayati dan lingkungan yang dikaitkan dengan keputusan tentang

teknik-teknik pengelolaan yang ditujukan untuk menghasilkan sejumlah volume

kayu dengan mutu tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Jadi dalam

pengelolaan hutan harus juga memikirkan tahapan yang harus dilakukan dalam

sistem pengelolaan hutan yang baik, seperti 1) tahap regenerasi baik di

persemaian atau dalam hutan, 2) tahap penanaman dan pemeliharaan, 3) tahap

penebangan, (4) tahap konversi kayu menjadi bahan jadi dan 5) tahap pemasaran,

termasuk transportasi dan penjualan hasil kepada konsumen.

11

2.1.4 SertifikasiKayu

Isu-isu global warming (pemanasan global), climate change (perubahan

iklim) merupakan isu penting dunia yang tidak bisa dihindarkan. Hal-hal tersebut

bisa terjadi di antaranya karena banyaknya kerusakan hutan, seperti akibat

pembalakan liar (illegal logging) dan penggundulan hutan tropis.

Tujuan sertifikasi pada umumnya adalah sebagai perangkat untuk

pemenuhan kepuasan pelanggan/pasar, yang membutuhkan jaminan atas kualitas

produk dan jasa, yang dicerminkan oleh suatu standar. Di Indonesia, sertifikasi

mempunyai tujuan yang lebih dari sekedar pemenuhan kebutuhan pasar.

Sertifikasi di Indonesia dimanfaatkan juga sebagai piranti membina pelaku

industri untuk lebih meningkat di dalam daya saing produk dan jasanya (Setyarso,

2009).

Di kehutanan, sertifikasi produk kayu sudah ada sejak lama sebagai

persyaratan standar perdagangan, tetapi sertifikasi hutan baru ramai di

perkenalkan sejak tahun 1990 dengan munculnya standar pengelolaan hutan

lestari yang dikeluarkan oleh International Tropical Timber Organisations(ITTO).

Namun Setyarso (2009) menambahkan, sertifikasi hutan tidak selalu dapat

segera dimengerti dan diterima. Sertifikasi hutan selalu melibatkan audit atau

pemeriksaan oleh pihak ketiga secara ketat, dan untuk melewatinya, pengelola

hutan harus mengeluarkan energi ekstra.

Upaya-upaya sertifikasi melalui mekanisme pasar telah menunjukkan hasil

yang signifikan. Hingga akhir tahun 2008 telah terdapat sekitar 325 juta hektar

hutan bersertifikat ekolabel, 102 juta ha mengikuti skema FSC, dan 223 juta ha

mengikuti skema PEFC, CSA dan SFI. Ini setara dengan 20 % luas hutan di dunia

dan sekitar USD 70 milyar bisnis dari perdagangan internasional setiap tahunnya.

Di tingkat internasional, lembaga pengembang sistem sertifikasi hutan

FSC (Forest Stewardship Council) dibentuk oleh konstituen-nya. Beberapa

lembagapengembangsistemsertifikasiintenasionallainnyasepertiPEFC(Pan

12

European Certification Council), SFI (Sustainable Forest Initiative) dan CSA

(Canadian Standard Association) juga berperan penting. Jaringan GTFN maupun

market lingkages international dikembangkan pula diantaranya oleh WWF-

Indonesia, TFF (Tropical Forest Foundation) dan TFT (Tropical Forest Trust).

Di Indonesia, menurut Setyarso (2009) perjalanan sertifikasi hutan tidak

begitu lancar. Hal ini dikarenakan hampir semua operasi hutan berada di kawasan

hutan negara dan para pengusaha harus memenuhi semua persyaratan wajib yang

diterapkan oleh aturan nasional maupun daerah, dan sifat sukarela dari sertifikat

ekolabel menjadikan pengusaha menempatkan isu ini menjadi bukan prioritas.

Kelestarian pengelolaan hutan dikalahkan oleh jaminan keamanan berusaha yang

banyak diperankan oleh pemerintah.

Inisiatif sertifikasi untuk pengelolaan hutan lestari ditandai dengan

bekerjanya Kelompok Kerja Ekolabel pada tahun 1994. Tahun 1998, dibentuk

Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia yang menjalankan implementasi sertifikasi

ekolabel di Indonesia. Hingga saat ini telah bersertifikat sekitar 1.7 juta ha hutan

di Indonesia, baik melalui skema LEI maupun skema internasional seperti FSC,

baik yang berskala besar maupun yang bersifat pengelolaan hutan berbasis

masyarakat.

Mulai tahun 2002, diberlakukan aturan verifikasi oleh LPI (Lembaga

Penilai Independen) terhadap HPH/IPUHHK yang berlaku wajib dari pemerintah,

sebagai bagian dari pembinaan pemerintah terhadap pemegang ijin pemanfaatan

atas kawasan hutan negara. Selain itu, atas hasil diplomasi internasional,

disepakati untuk menyusun kembali definisi mengenai kayu legal, standar

legalitas kayu, dan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK atau SVSK). Verifikasi

legalitas kayu diperlukan untuk merespon kebutuhan perdagangan internasional

yang telah diterapkan oleh beberapa Negara Konsumen (Due dilligent dari Uni

Eropa, Green Konyuho dari Jepang dan Lacey Act dari Amerika Serikat). Di

Indonesia, SVLK dipergunakan sebagai salah satu perangkat untuk meningkatkan

keamanan berusaha dan kinerja pemerintah di bidangkehutanan.

13

2.1.5 Koperasi

Koperasi mengandung arti “kerja sama”. Koperasi (cooperative)

bersumber dari kata co-operation yang artinya “kerja sama”. Arti kerja sama bisa

berbeda-beda tergantung dari cabang ilmunya (Sitio dan Tamba, 2001). Koperasi

berkenaan dengan manusia sebagai individu dan kehidupan dalam masyarakat.

Manusia tidak dapat melakukan kerja sama sebagai satu unit, dia memerlukan

orang lain dalam suatu kerangka kerja sosial (social framework). Karakter

koperasi berdimensi ganda (ekonomi dan sosial). Menurut Sitio dan Tamba

(2001) koperasi berkaitan dengan fungsi-fungsiberikut:

● Fungsi sosial, yaitu cara manusia hidup, bekerja dan bermain dalam

masyarakat.

● Fungsi ekonomi, yaitu cara manusia membiayai kelangsungan hidupnya

dengan bekerja dalammasyarakat.

● Fungsi politik, yaitu cara manusia memerintah dan mengatur diri mereka

sendiri melalui berbagai hukum danperaturan.

● Fungsi etika, yaitu cara manusia berperilaku dan meyakini kepercayaan

mereka, falsafah hidup mereka dan cara berhubungan dengan Tuhan

mereka.

Untuk pengembangan koperasi biasanya memerlukan suatu prinsip-prinsip

dimana merupakan sumber dari norma-norma hukum yang dianut setiap koperasi.

Setiap koperasi di berbagai negara memiliki kriteria hukum sendiri sehingga

belum tentu setiap koperasi memiliki prinsip koperasi yang sama. Biasanya

koperasi dikaitkan dengan upaya kelompok-kelompok individu, yang ingin

mewujudkan tujuan-tujuan umum atau sasaran-sasaran konkritnya melalui

kegiatan-kegiatan ekonomis, yang dilaksanakan secara bersama bagi kemanfaatan

bersama.

Berikut terdapat beberapa definisi koperasi, seperti ILO (International

Labour Organization) dalam Sitio dan Tamba (2001), yaitu: sebuah asosiasi dari

orang-orang yang biasanya memiliki keterbatasan arti, dimana seseorang tersebut

14

sudah sukarela bergabung bersama untuk menerima suatu ekonomi lewat formasi

demokrasi untuk mengontrol suatu bisnis organisasi, membuat kontribusi yang

adil melalui modal yang diminta dan menerima laba yang adil dari suatu risiko

dan keuntungan yang diambil. Sedangkan Wibowo dan Subagyo (2017)

mendefinisikan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang sorang

atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip

koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas

kekeluargaan.

Prinsip koperasi merupakan suatu satu kesatuan sebagai landasan

kehidupan koperasi, di Indonesia menurut Wibowo dan Subagyo (2017: 17)

prinsip koperasi terdiri dari:

a. Keanggotaan bersifat sukarela danterbuka

Maksudnya setiap anggota secara sukarela memberikan modalnya

sendiri-sendiri untuk digabungkan sebagai usaha bersama berdasarkan

asas kekeluargaan dan keanggotaan bersifat terbuka. Keanggotaan

koperasi tidak boleh ada unsur paksaan. Sedangkan sifat terbuka

berarti dalam keanggotaan tidak dilakukan pembatasan atau

diskriminasi dalam bentuapaun.

b. Pengelolaan dilakukan secarademokratis

Karena setiap keanggotaan koperasi bebas berpendapat, dengan aturan

yang jelas berdasarkan prinsip koperasi sebagai gerakan ekonomi

rakyat berdasarkan asas kekeluargaan.

c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan

besarnya jasa usaha masing-masinganggota.

Setiap hasil usaha (SHU) adalah jasa dari masing-masing anggota dan

modal dari masing-masing anggota, sehingga pembagian SHU setiap

anggota harus dibayar secara tunai. Pembagian SHU kepada anggota

dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki

seseorang tetapi juga berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota

15

terhadap koperasi. Ketentuan ini merupakan perwujudan nilai

kekeluargaan dan keadilan.

d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadapmodal

Pemberian balas jasa di dalam anggota koperasi terbatas oleh besarnya

modal yang tersedia. Apabila modal sedikit pembelian balas jasanya

juga sedikit dan begitu pulasebaliknya.

e. Kemandirian

Setiap anggota mempunyai peran, tugas dan tanggung jawab masing-

masing atas setiap usaha itu sendiri, selain itu anggota koperasi

dituntut berperan secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas dan

bisa mengelola koperasi dan usaha itusendiri.

f. PendidikanPerkoperasian

Maksudnya pendidikan perkoperasian memberikan bekal kemampuan

organ koperasi dan anggota, melalui usaha-usaha pendidikan

perkoperasian dan partisipasi anggota sangat berharga dan dianjurkan

dalam berkehidupan koperasi.

g. Kerjasama AntarKoperasi

Adanya hubungan kerjasama antar koperasi satu dengan koperasi

lainnya untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian

nasional yang merupakan usaha bersama dan dengan adanya kerjasama

antar koperasi dapat mewujudkan kesejahteraan koperasi di Indonesia.

2.1.6 Pengembangan Masyarakat (CommunityDevelopment)

Berbagai definisi mengenai Pengembangan masyarakat (Community

Development). Langkah awal dari pengertian pengembangan masyarakat adalah

berasal dari kata “community” atau komunitas/masyarakat. Masyarakat bisa

16

merujuk untuk kata tempat (tempat komunitas/masyarakat) atau kumpulan dari

beberapa individu dengan memiliki minat yang sama (Philips dan Pittman, 2009).

Mattessich dan Monsey (2004: 56) dalam Philips dan Pittman (2009)

mendeskripsikan pengembangan masyarakat adalah orang-orang yang tinggal di

dalam wilayah yang didefinisikan secara geografis dan memiliki hubungan sosial

dan psikologis satu sama lain dan dengan tempat dimana mereka tinggal.

Sedangkan National Research Council (1975, dalam Mattessich dan Monsey,

2004: 56 dalam Philips dan Pittman, 2009) menyatakan pengembangan

masyarakat adalah pengelompokan orang yang tinggal berdekatan satu sama lain

dan disatukan oleh kepentingan bersama dan saling membantu.

Dari berbagai definisi tersebut, pengembangan masyarakat fokus kepada

modal sosial atau kapasitas sosial. Modal sosial atau kapasitas sosial

menggambarkan kemampuan warga untuk mengatur dan memobilisasi sumber

daya mereka untuk mencapai tujuan telah ditentukan oleh konsensus (Christenson

dan Robinson, 1989 dalam Mattesich dan Monsey, 2004: 61 dalam Philips dan

Pittman, 2009). Atau sumber daya yang disematkan dalam hubungan sosial

diantara orang-orang dan organisasi yang memfasilitasi kerjasama dan kolaborasi

di masyarakat (Committee for Economic Development 1995 dalam Mattesich dan

Monsey, 2004: 62 dalam Philips dan Pittman, 2009).

2.1.7 Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Community Economic

Development)

Seperti pengembangan masyarakat, pembangungan ekonomi telah

berkembang menjadi bidang yang luas dan multidisiplin. Asosiasi nasional para

profesional pembangunan ekonomi memberikan definisi berikut (AEDC,

1984:181 dalam Philips dan Pittman, 2009): pembangunan ekonomi adalah proses

menciptakan kekayaan melalui membilisai manusia, keuangan, modal, fisik, dan

sumber daya alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat dipasarkan.

Peran pengembang ekonomi adalah memengaruhi prosesuntuk keuntungan

17

masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan basis pajak. Tujuan

pengembangan masyarakat adalah untuk menghasilkan aset yang dapat digunakan

untuk memperbaiki masyarakat dan tujuan pembangunan ekonomi adalah

memobilisasi aset-aset ini untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Kedua

definisi tersebut mengacu pada aset modal masyarakat yang sama; sumber daya

manusia, keuangan dan fisik (lingkungan atau sumber dayaalam).

Strategi Pengembangan Ekonomi Masyarakat (CED) yang umum seperti

revitalisasi kota, pengembangan bisnis dan pengembangan usaha sosial. Douglas

(1994, dalam Gibson, 2005) menambahkan bahwa Pengembangan Ekonomi

Masyarakat telah berpengalaman dalam berbagai tujuan selama lebih dari 4

dekade yang lalu. Tidak seperti disiplin ilmu tradisional, Pengembangan Ekonomi

Masyarakat tidak perlu adanya penggabungan ilmu yang luas. Jadi hal ini dapat

dipelajari sebagai proses oleh anggota masyarakat lokal sehingga dapat

menghasilkan kekuatan untuk mengubah kondisi sosial, ekonomi atau budayanya.

Di dalam proses tersebut, perlu adanya keterlibatan masyarakat lokal dalam

berusaha untuk mencapai prioritas atau tujuan yang disusunnya sendiri. Tujuan

tersebut umumnya didasarkan dari kondisi geografis, pengalaman dan nilai –nilai

yang dianut (Cabaj, 2004; Ketilson dkk., 1992; Brown, 1997 dalam Gibson,

2005).

Berikutnya, Bruce (2000 dalam Gibson, 2005) menentukan agar

Pengembangan Ekonomi Lokal tersebut dapat bekerja efektif, perlu tersusun atas

9 (sembilan) prinsip, antaralain:

1. Kebutuhan untuk mempunyai strategi multi-pandang dankomprehensif

2. Kebutuhan untuk memperkuat kepemilikanmasyarakat

3. Kebutuhan untuk akses yang aman dalam memperoleh kredit untuk bisnis

lokal

4. Kebutuhan untuk membangun sumber daya manusia (pengembangan

kepemimpinan, penghapusan buta huruf, dukungan dalam penempatan

kerja,dsb.)

18

5. Kebutuhan untuk meningkatkan kapasitaslokal

6. Kebutuhan untuk mengintegrasikan tujuan sosial danekonomi

7. Kebutuhan untuk memperluas pemberdayaanmasyarakat

8. Kebutuhan untuk memiliki kemampuan manajemenkeuangan

9. Kebutuhan proses untuk selalu diarahkan dengan perencanaan strategis

dananalisis

Jika Pengembangan Ekonomi masyarakat mencakup 9 prinsip di atas, Bruce

(2000 dalam Gibson, 2005) meyakini bahwa kinerjanya akan lebih berhasil

daripada yang tidak memedulikan 9 prinsiptersebut.

Selain itu, terdapat beberapa jenis pengembangan ekonomi masyarakat

menurut Henderson dan Vercseg (2010) yang diistilahkan sebagai “Perusahaan

sosial” yang lebih sering digunakan untuk merujuk semua istilah ekonomi

berbasis masyarakat dan dapat dilihat dari kerangka seperti berikutini:

● Community Business (Bisnis komunitas): organisasi ini berbasis

masyarakat yang memiliki tujuan sosial. Didirikan kebanyakan di daerah

tertinggal, mereka menjual barang dan jasa; setiap keuntungan

diinvestasikan kembali ke dalam bisnis masyarakat. Bisnis ini

dikendalikan oleh orang-orang lokal dan juga dijalankan olehmereka.

● Social enterprise (Usaha sosial): digunakan untuk pengembangan

ekonomi masyarakat. Perusahaan sosial telah menggantikan istilah

“bisnis komunitas”. Komitmen terhadap tujuan sosial dan lingkungan

tetap ada, namun lebih banyak perhatian diberikan kepada peran sentral

para pemimpin secaraindividu.

● Development Trust (Pengembangan kepercayaan): organisasi ini menjual

tujuan sosial dan mengelola kepemilikan bangunan dan lahan (aset)

untuk mewujudkan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan jangka

panjang dimasyarakat.

● Asset based community (Pengembangan komunitas berbasis aset):

pendekataninirelatifbaruuntukpengembanganmasyarakat.

19

Pengembangan terjadi ketika orang-orang memahami potensi semua aset

lokal mereka. Dorongan utama dari pendekatan ini adalah pada aset fisik

dan potensi mereka untuk menghasilkan pendapatan.

● Cooperatives (Koperasi): selama 50 tahun terakhir, koperasi terutama

koperasi perumahan telah menjadi bagian penting dalam ekonomi sosial

di Eropa. Inti dari pembentukan koperasi adalah kepemilikan anggota.

Namun sama pentingnya dalam konteks pengembangan masyarakat yaitu

adanya komitmen untuk berkontribusi terhadap manfaatmasyarakat.

● Credit Unions (Serikat kredit): serikat kredit memberikan kesempatan

untuk penghematan dan pinjaman berbunga rendah kepada anggota.

Mereka berbasis masyarakat, menjalankan koperasi secara demokratis.

Mereka murah murah untuk dijalankan dan uang dapat disimpan di

masyarakat. Credit Unions adalah alternatif untuk menghindarirentenir.

● Local Exchange Trading Schemes (LETS); skema perdagangan valuta

asing: jaringan kerjasama ini saling menguntungkan dimana barang dan

jasa dipertukarkan tanpa memerlukanuang.

● Perbankan memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi

masyarakat.

2.1.8 Keterkaitan Koperasi dan Pengembangan EkonomiMasyarakat

Menurut Mutis (2004) Pertumbuhan koperasi berbeda-beda di tiap

koperasi. Ada koperasi yang bertumbuh dengan angka pertumbuhan yang tinggi.

Ada juga yang kecil karena manajemennya tidak baik sehingga pertumbuhan rill

negatif. Koperasi yang mempunyai angka pertumbuhan tinggi tentu dapat

memberikan aneka bentuk pemerataan kepada para anggotanya. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa koperasi yang baik dan efisien dapat menggerakkan aspek

pertumbuhan dan pemerataan. Aneka angka pertumbuhan juga menunjukkan

koperasi yang baik akan selalu memacu produktivitas tertentu.

Tumbuhnya Koperasi yang positif secara tidak langsung akan terjadi

pengembangan ekonomi di masyarakat di sekitar koperasi berada.

20

Sehingga agar koperasi menumbuhkan pertumbuhan ekonomi, koperasi

harus mempunyai pertumbuhan yang rill, dilihat dari angka pertumbuhan aset

(hartanya), pertumbuhan sisa hasil usaha, volume usaha seperti simpan pinjam,

produksi, penyaluran barang-barang atau jasa serta cadangan dan modal sendiri

perlu bertumbuh tinggi dari pada angka inflasi tahunan. Sebaiknya juga angka

pertumbuhan anggotanya dalam setahun sebaiknya lebih tinggi dari angka

pertumbuhan tenaga kerja di sekitar koperasi (Mutis, 2004).

2.2. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini, peneliti memberikan gambaran kerangka pemikiran

sebagai berikut:

Sumber: data olahan (2017)

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran

Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) memiliki peran penting di

dalam pengembangan ekonomi masyarakat di Desa Gerbosari, Kulon Progo. Di

dalam upayanya untuk membantu meningkatkan pengembangan ekonomi

masyarakat tersebut, KWLM didukung oleh pihak eksternal (seperti PT Sosial

Bisnis Indonesia/SOBI) dalam kasus sertifikasi kayu. Lewat proses sertifikasi

tersebut, anggota KWLM dan masyarakat sekitar memperoleh manfaatnya. PT

21

SOBI membantu dan memonitor keberlangsungan sertifikasi. Tak hanya itu, PT

SOBI juga berperan untuk memasarkan produk kayu bersertifikasi milik KWLM.

Secara tidak langsung, keberadaan PT SOBI memiliki pengaruh terhadap

pengembangan ekonomi masyarakat. Sehingga harapan terjaganya nilai-nilai

sosial dan kearifan lokal yang telah dijalankan masyarakat, terciptanya

peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mendukung pelestarian

sumber daya alam.

Gibson (2005) menyepakati bahwa saat ini, koperasi siap berperan lebih di

dalam pengembangan ekonomi pada masyarakat lokal. KWLM yang didirikan

atas swadaya masyarakat sendiri pada tahun 2008 memang berhasil dalam

mengembangkan masyarakat sekitarnya. Gibson (2005) juga merasakan bahwa

prinsip-prinsip koperasi dirasa memiliki pengaruh yang terintegrasikan di dalam

masyarakat tersebut. Sehingga Pengembangan Ekonomi Lokal serta merta dapat

tumbuh seiring dengan berkembangnya koperasi itusendiri.

22

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 TujuanPenelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka

tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis tentang peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM)

dalam membuat dan menjalankan proses sertifikasi kayu dari Forest

Stewardship Council(FSC).

2. Menganalisis tentang peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM)

dalam pengembangan ekonomimasyarakat.

3. Menganalisis tentang peran Pihak Eksternal dalam pengembangan

ekonomimasyarakat.

3.2 ManfaatPenelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

a. Bagi Koperasi Wana Lestari Menoreh

Memberikan informasi peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM)

dalam proses pembuatan dan menjalankan sertifikasi Forest Stewardship

Council (FSC) dan juga dampak yang dilihat dari aspek (sosial, ekonomi

dan lingkungan) yang berguna untuk evaluasi ke depannya. Serta hasil

penelitian ini bisa dijadikan bahan informasi untuk pembelajaran koperasi

lain yang sejenis.

b. BagiPemerintah

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, pembelajaran dan

masukan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan terkait sektor

kehutanan.

23

c. BagiAkademisi

Sebagai bahan keilmuan untuk menambah khasanah pengetahuan,

referensi dan menyajikan informasi mengenai peranan Koperasi dan

dampak sertifikasi kayu bagi pengembangan masyarakat khususnya

masyarakat di sekitarhutan.

d. BagiPeneliti

Hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan memperluas

pengetahuan peneliti dalam riset ekonomi tentang peranan koperasi dalam

sertifikasi kayu dalam pengembangan masyarakat di sekitar hutan.

e. PenelitiBerikutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk

digunakan sebagai acuan dasar dalam penelitian selanjutnya.

24

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah studi kasus. Yin

(2000) menjelaskan bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang (1)

menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, (2) batas-batas antara

fenomena di dalam konteks tak tampak tegas, (3) multi sumber bukti

dimanfaatkan. Penelitian ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan penelitian

yang digunakan, yaitu “bagaimana” dan “mengapa”. Pertanyaan-pertanyaan

tersebut pada dasarnya lebih bersifat eksplanatoris dan lebih mengarah ke

penggunaan strategi-strategi studikasus.

4.2 Populasi Sampel dan Metode PengumpulanData

Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah

purposive sampling yaitu penarikan sampel berdasarkan pertimbangan dimana

sampel yang dipilih didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu. Sampel yang dipilih

yaitu masyarakat sekitar pegunungan Menoreh, baik yang menjadi anggota

Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dan bukan anggota KWLM di

Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Selain itu peneliti juga perlu untuk

mendapatkan informasi dan data dari stakeholder eksternal (Telapak, supplier, PT

Sosial Bisnis Indonesia (SOBI), dan konsumen).

Di dalam keperluan penelitian studi kasus, data atau bukti bisa berasal dari

enam sumber, yaitu: dokumen, arsip, wawancara, pengamatan langsung, observasi

partisipan dan perangkat fisik. Namun tidak semua sumber akan relevan pada

semua studi kasus (Yin, 2000). Berkenaan dengan masalah pemilihan data mana

yang akan dipakai, Yin (2000) memberikan prinsip yang harus diperhatikan. Hal

ini mencakup penggunaan: (1) berbagai sumber bukti, yaitu bukti dari dua atau

lebihsumber,tetapimenyatudenganserangkaianfaktaatautemuanyangsama,

(2) data dasar, yaitu kumpulan formal bukti yang berlainan dengan laporan akhir

25

studi kasus tersebut, (3) keterkaitan bukti, yaitu keterkaitan yang eksplisit antara

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, data yang dikumpulkan, dan konklusi yang

ditarik. Pengacuan pada prinsip tersebut akan meningkatkan kualitas sebuah studi

kasus.

Penelitian ini menggunakan metode pengumpul data berupa wawancara

mendalam (depth interview) dan observasi dengan atau terhadap subjek penelitian

yang terpilih. Penelitian ini juga akan didukung oleh foto-foto atau dokumentasi.

Observasi

Observasi merupakan metode yang paling dasar dan paling tua dari ilmu-

ilmu sosial karena dalam cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam proses

mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif maupun

kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah observasi diarahkan

pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan

mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.

Wawancara

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk

mencapai tujuan tertentu. Wawancara dilakukan untuk memperoleh pengetahuan

tentang makna-makna subyektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik

yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu-isu lain yang

ampuh untuk mengungkapkan kenyataan hidup, apa yang dipikirkan atau

dirasakan orang tentang berbagai aspek kehidupan (Nasution, 1982; Pawito,2007)

Nasution (1982) menjelaskan keuntungan dari wawancara, antara lain: (1)

memperoleh keterangan sedalam-dalamnya tentang suatu masalah, (2) peneliti

dapat dengan cepat memperoleh informasi yang diinginkannya, (3) peneliti dapat

memastikan bahwa respondenlah yang memberi jawaban, (4) di dalam proses

wawancara, peneliti dapat berusaha agar pertanyaan benar-benar dipahami oleh

responden, (5) wawancara memungkinkan fleksibilitas dalam cara-cara bertanya

(Gulö, 2000), (6) peneliti dapat menilai validitas jawaban berdasarkangerak-

26

gerik, nada dan air muka responden, (7) informasi yang diperoleh melalui

wawancara akan lebih dipercayai kebenarannya karena salah tafsiran dapat

diperbaiki sewaktu wawancara dilakukan, dan (8) responden lebih bersedia

mengungkapkan keterangan-keterangan yang tidak sudi diberikannya dalam

angket tertulis.

Selain itu, wawancara juga memiliki kelemahan seperti diungkapkan

Nasution (1982): (1) adanya kesangsian tentang validitas jawaban yang diperoleh

melalui wawancara, khususnya bila mengandung unsur nilai-nilai, (2) perubahan

pada diri interviewer akan mempengaruhi validitas dan reliabilitas data, (3) data

dipengaruhi ketrampilan interviewer, (4) membutuhkan usaha lebih di dalam

pengolahan hasil wawancara, (5) belum ada sistem tertentu tentang cara mencatat

hasil wawancara, (6) membutuhkan lebih banyak biaya dan waktu apabila

responden berada di lokasi yang jauh, dan (7) menemui responden tidak mudah.

Penelitian ini sendiri menggunakan jenis wawancara dengan pedoman

terstandar yang terbuka karena memudahkan peneliti dalam melihat isu-isu yang

diliput secara runtut. Sehingga peneliti dapat terbantu menyalurkan ide-ide dengan

mempersiapkan pertanyaan wawancara terlebih dahulu secara rinci.

Untuk mengukur validitasnya, penelitian ini menggunakan face validity

dimana pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada subyek terlebih dahulu

dipelajari oleh Telapak selaku penginisiasi kemunculan KWLM tersebut.

Pimpinan Telapak telah melakukan pengabsahan terhadap pertanyaan-pertanyaan

tersebut. Mereka ditetapkan oleh peneliti sebagai panelahli.

Foto

Di dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan foto sebagai

kelengkapan sumber bukti. Dipilihnya foto sebagai salah satu cara untuk menutupi

kekurangan pada observasi terhadap lingkungan fisik subyek. Hingga pada taraf

tertentu, foto dianggap mewakili hal-hal yang tidak dapat dituliskan dengan kata-

kata dan juga dapat menggambarkan situasi yang sebenarnya dimana kita

27

kemudian akan mendapatkan sebuah deskripsi atau gambaran yang lebih bersifat

visual.

4.3 Variabel DanPengukurannya

Penelitian ini dilakukan karena peneliti melihat bahwa pengembangan

ekonomi masyarakat sangat diperlukan bagi keberlanjutan (sustainability).

Keberadaan hutan rakyat seharusnya memang untuk kesejahteraan masyarakat

tersebut. Meskipun begitu, kebanyakan pihak kurang tahu bagaimana melihatnya

dan mengukurnya. Lalu alat atau indikator apakah yang tepat untuk digunakan.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 9 prinsip CED sebagai indikatornya.

Vazquez dkk. (2014) menekankan bahwa di dalam penelitian kualitatif

perlu adanya panel ahli di dalam meninjau awal indikator yang ditujukan

penelitian tersebut. Setelah tahapan tersebut, analisis terhadap respons akan

dilakukan, penelusuran kuesioner tahap awal yang kemudian dilakukan

penelusuran kuesioner kedua yang lebih pokok terhadap persoalan. Jadi peneliti

tidak serta merta melakukan pencarian data tanpa didukung atau divalidasi oleh

panel ahli. Berikut tahapan-tahapan yang akan dijalankan dapat dilihat pada

gambar 3.1 di bawah ini:

28

Gambar 4.1

TahapanPenelitian

Sumber: Vazquez dkk.(2014)

29

BAB V

HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

5.1 Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM), KulonProgo.

5.1.1. Gambaran Koperasi Wana Lestari Menoreh, KulonProgo.

Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM), yang anggotanya terdiri dari

masyarakat petani hutan di kawasan hutan rakyat Pegunungan Menoreh,

Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, didirikan pada tanggal 2

Agustus 2008, di balai desa Gerbosari. KWLM sendiri disahkan secara hukum

yaitu pada tanggal 3 April 2009, yaitu Badan Hukum Nomor: 29/BH/XV.3/2009.

Koperasi KWLM adalah koperasi yang berbasis masyarakat. Koperasi ini berdiri

atas inisiasi dari organisasi Telapak.

Organisasi Telapak adalah salah satu organisasi Lembaga Swadaya

Masyarakat yang sangat peduli dengan kelestarian hutan. Sebelum

mengembangkan koperasi hutan di Jawa, Telapak telah mengembangkan koperasi

hutan di daerah Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang bernama Koperasi

Hutan Jaya Lestari (KHJL). Koperasi KHJL dibentuk berdasarkan adanya

permasalahan terkait dengan maraknya kasus illegal logging, agak berbeda

dengan KWLM yang dibentuk karena ingin mengembangkan adanya pengelolaan

hutan yang ramah lingkungan. Namun kedua koperasi tersebut di bentuk melalui

program CommunityLogging.

30

Untuk menjalankan program Community logging tersebut, pada bulan

April 2007, Telapak bersama lembaga lokal setempat yaitu Yayasan Bina Insan

Mandiri (YABIMA) dan lembaga Credit Union (CU) Kharisma bertemu dan

sepakat untuk melakukan sosialisasi Community Logging di desa-desa dengan

melibatkan pemerintahan Desa. Sosialisasi community logging tersebut

mendapatkan respon yang baik oleh masyarakat, maka pada tanggal 1-6 April

2007 disepakati diadakan pelatihan fasilitator di Boro, Kalibawang. Pelatihan

yang dilakukan berupa simulasi dalam suatu workshop tentang materi pelatihan

community logging dan sertifikasi hutan. Lokasi sosialisasi ditetapkan di

kecamatan Kalibawang dan Samigaluh yang terdiri dari sebelas desa. Sosialisasi

tersebut dilakukan selama delapan bulan di dusun-dusun di sebelas desa tersebut.

Sosialisasi ini juga dihadiri kader dusun yang didampingi oleh kepaladesa.

Pertemuan dan diskusi diadakan kembali pada tanggal 12-19 Juni 2008.

Saat itu para kader dusun memutuskan untuk membentuk suatu Lembaga

Koperasi dengan nama “Wana Lestari Menoreh”. Pertemuan selanjutnya

dilakukan untuk menyusun draf AD/ART Koperasi Wana Lestari Menoreh dan

membentuk pengurus dan perwakilan kader dari sebelas desa dilakukan pada

tanggal 3-12 Juli 2008. Pada 2 Agustus 2008 terbentuklah koperasi Wana Lestari

Menoreh dengan badan pendiri terdiri 20orang.

Saat ini, pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan untuk proses menuju

sertifikasi diprioritaskan di 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Samigaluh,

Kalibawang, dan Giripurwo, yang terdiri dari 15 desa dengan total potensi luas

31

hutan rakyatnya 8.300 ha. Saat ini koperasi telah melakukan pengelolaan hutan

rakyat seluas 827 ha. Dengan jumlah anggota koperasi sebanyak 1.530 orang

(Wawancara Pribadi, 2018). Adapun pengelolaan hutan dan pengolahan kayu

yang disepakati di koperasi Wana Lestari Menoreh terdapat 4 jenis pohon

yaitu Jati, Mahoni, Sengon, danSonokeling.

5.1.2. Visi dan Misi Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM), Kulon

Progo.

Berikut adalah visi Koperasi Wana Lestari Menoreh:

Membangun Kulon Progo secara bersama untuk mewujudkan lingkungan alam

sekitar yang lestari dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

secara adil.

Sedangkan Koperasi WanaLestari Menoreh memiliki misi sebagai

berikut:

1. Menciptakan lapanganpekerjaan.

2. Memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dengan budi

daya kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan danperikanan.

Misi tersebut dilakukan dengan memperhatikan 3 aspek, yakni:

a. Fungsi Ekologi, mengutamakan aspek kelestarian alam, menebang kayu dengan

menetapkan Jatah Tebangan Tahunan (JTT) dan mengeksplorasi sumber daya

alam tegakan berdasarkan kearifan lokal, serta melindungi hewan atau satwa

langka, situs dan mataair.

32

b. Fungsi Ekonomi, mengupayakan kenaikan harga potensi-potensi sumber daya

alam dengan jalan membangun jaringan pasar baik lokal, nasional, maupun

internasional dengan jalan memperpendek jalurpasar.

c. Fungsi Sosial, meningkatkan nilai tawar, menumbuhkan kewirausahaan sosial

dan mengembangkan jiwa enterpreneurship serta kesetaraan gender yang taat

pada peraturan perundang-undangan (KWLM,2018).

5.1.3. Struktur Organisasi Koperasi Wana Lestari Menoreh, KulonProgo.

Berikut adalah struktur organisasi KWLM dapat dilihat pada gambar 5.1

di bawahini:

Sumber: KWLM, 2018

Gambar.5.1

Struktur Organisasi KWLM

Berdasarkan struktur tersebut, maka: Rapat Anggota Tahunan (RAT)

merupakan struktur tertinggi dalam koperasi yang berhak atas amandemen

Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rapat Tahunan (ART) koperasi, memilih dan

menetapkan pengurus dan pengawas.

33

Pengurus dipilih dan ditetapkan dalam RAT dan berkewajiban mengontrol

manajemen, rapat pengurus minimal satu kali dalam sebulan, dan juga membuat

laporan pertanggung jawaban pengurus yang dsampaikan dalam RAT. Sedangkan

pengawas dipilih dan ditetapkan saat RAT. Pengawas berkewajiban mengawasi

jalannya koperasi termasuk kinerja pengurus, menilai keberhasilan atau kegagalan

manajemen, dan juga membuat laporan yang disampaikan dalam RAT.

Terdapat juga pengurus wilayah dalam struktur koperasi karena KWLM

akan ditingkatkan menjadi berbadan hukum nasional. Untuk memudahkan

pelayanan dan pelaporan maka dibentuklah koperasi wilayah, cakupan wilayah

bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Bisa saja menjadi perkabupaten (jika dirasa

mampu mandiri) tapi bisa saja luasannya 2/3 kabupaten terdekat, tergantung

kebutuhan. Koperasi Wilayah akan dipimpin oleh kepala wilayah. Kepala

Wilayah ditetapkan oleh pengurus atas usulan anggota di wilayah masing-masing

dan sekaligus bisa diangkat menjadi manajer wilayah.

Berdasarkan pertanggungjawabannya, maka Karyawan akan dibagi

menjadi 2 yaitu karyawan koperasi dan karyawan di tingkat wilayah. Karyawan

koperasi dipimpin oleh seorang direktur dan dibantu oleh beberapa manajer.

Sedangkan staf bisa saja diangkat tergantung dengan kebutuhan. Karyawan di

tingkat wilayah akan dipimpin oleh manajer wilayah dan dibantu oleh beberapa

staf.

Selanjutnya berikut adalah struktur manajemen koperasi yang ada di

KWLM, dapat dilihat pada gambar 5.2 di bawah ini:

34

Sumber: KWLM,2018.

Gambar 5.2.

Struktur Manajemen

Dalam struktur manajemen koperasi ini akan dikelola oleh karyawan yang

nantinya akan disebut karyawan pusat. Karyawan pusat mendapatkan sumber

pembiayaan seberapa persen dari bagian fee yang didapat koperasi dari PT. SOBI.

Karyawan Pusat akan diangkat dan diperhentikan oleh pengurus dan nantinya

akan ditetapkapkan dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT). Besaran gaji/honor

akan ditetapkan oleh pengurus dengan mempertimbangkan Upah Minimum

Provinsi (UMP).

Sedangkan untuk karyawan wilayah, maka akan ditetapkan dan

diberhentikan pengurus atas usulan kepala wilayah. Biaya operasional untuk

tingkat wilayah (honor karyawan wilayah dll) akan ditanggung oleh besaran

pembagian fee yang didapat dari wilayah masing-masing. Untuk honor harus

mempertimbangkan UMP di wilayah tersebut.

35

Terkait adanya penambahan wilayah baru berdasarkan atas kepentingan

Telapak dan PT. SOBI, maka pembiayaan awal menjadi tanggung jawab

organisasi Telapak dan PT. SOBI sampai dipandang wilayah itu mampu.

Bantuan/pinjaman wilayah akan menjadi tanggung jawab masing- masing wilayah

yang pengajuannya dapat diajukan melalui kantor pusat koperasi. Berikut adalah

struktur karyawan wilayah, dapat dilihat pada gambar di bawahini:

Sumber: KWLM, 2018

Gambar 5.3.

Struktur Karyawan Wilayah

5.1.4. Karakteristik Responden

A. Anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh Kulonprogo

Berikut adalah karakteristik subyek penelitian yang merupakan anggota

KWLM dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut ini:

36

Tabel 5.1

Karakteristik Anggota KWLM

Subyek Initial Jenis

Kela

min

Usia

(Tahun)

Pendidikan Pekerjaan Lama

Menjadi

Anggota

KWLM (Tahun)

1 SY L 51 S-1 Petani/Kary.K WLM

10

2 SH L 51 SLTA Petani 9

3 BT L 42 SLTA Petani 6

4 SW P 56 SLTA Petani 9

5 SD L 62 SLTA Petani/Pensiun Dep.Peternakan

3

Sumber: Wawancara Pribadi, 2018

Berdasarkan tabel 5.1, dapat dilihat bahwa narasumber mayoritas

berkelamin laki-laki. Hanya ada subyek berjenis kelamin perempuan, yakni SW.

Apabila dilihat dari usia, usia tertua adalah SD, yakni 62 Tahun, sedangkan

termuda adalah subyek 3, BT, berumur 42 tahun. Mayoritas narasumber

berpendidikan SLTA, hanya subyek 1, yakni SY yang telah berpendidikan S-1.

Dilihat dari pekerjaan, hampir semua narasumber adalah seorang petani. Namun

SY selain menjadi anggota KWLM juga menjadi karyawan KWLM. SY juga

yang paling lama menjadi anggota KWLM, yakni sudah 10 tahun. Diikuti subyek

2 dan 4 yang telah menjadi anggota selama 9 tahun. Sedangkan hanya SD yang

baru bergabung dengan KWLM kurang lebih 3tahun.

37

B. Bukan Anggota Koperasi Wana Lestari MenorehKulonprogo

Berikut adalah subyek dari penelitian ini yang terdiri dari bukan anggota

KWLM dapat dilihat pada tabel 5.2 di bawah ini:

Tabel 5.2

Karakteristik Bukan Anggota KWLM

Subyek Initial Jenis

Kelamin

Usia

(Tahun)

Pendidikan Pekerjaan Alasan

Belum

Menjadi

Anggota KWLM

6 ST L 40 SD Petani Lahan Sedikit

7 GN L 57 SLTA Petani Belum Tertarik

8 LS L 47 SLTA Petani Belum Tertarik

9 NW P 39 SLTA Petani Belum Tertarik

10 PT L 43 STM Petani&

Kepala Dusun K

Belum

Tertarik

Sumber: Wawancara Pribadi, 2018.

Berdasarkan tabel 5.2 di atas, bisa dilihat bahwa narasumber terdiri dari

empat laki-laki dan satu perempuan. Jadi mayoritas narasumber adalah laki-laki.

Untuk usia, paling tua adalah subyek 7, yakni GN, berusia 57 tahun. Sedangkan

yang termuda adalah subyek 9, yakni NW, berusia 39 tahun. Dari tingkat

pendidikan 3 narasumber merupakan lulusan SLTA, namun ada satu lulusan STM

yakni subyek 10 (PT) dan satu narasumber hanya berpendidikan lulusan SD,

yakni ST (subyek 6). Dari pekerjaan, semua subyek merupakan petani, hanya

subyek 10 yang juga menjadi kepala dusun. Dari empat subyekmenyatakan

38

alasan belum bergabung dengan KWLM adalah karena belum ada ketertarikan,

hanya satu yakni subyek 6 yang meyatakan hanya memiliki lahan sedikit sehingga

belum mau bergabung dengan KWLM.

C. Narasumber Para Ahli

Berikut adalah narasumber para ahli dalam penelitian ini dapat dilihat pada

tabel 5.3 di bawah ini:

Tabel 5.3

Narasumber Para Ahli

No Nama Organisasi Metode

Komunikasi

Waktu

1 David Bruce Mount Allison University

Email 14-02-2018

2 Astan Jaya Telapak Wawancara Pribadi

16-02-2018

3 B.Sad Windratmo

PT.SOBI wilayah Wawancara Pribadi

19-02-2018

4 R.Damarsono Ketua KWLM Wawancara Pribadi

20-02-2018

5 Silverius Oscar Unggul

PT.SOBI Pusat Wawancara Pribadi

06-06-2018

Sumber: Wawancara Pribadi, 2018.

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis sudah berkonsultasi dengan

para ahli. Misalnya saja, untuk memantapkan teori, penulis melakukan

komunikasi lewat surat elektronik kepada ahlinya, yakni David Bruce dari Mount

Allison di Kanada. Sambil melengkapi teori-teori yang ada, penulis juga

melakukan wawancara pribadi yang sangat intens, dengan Bapak Astan Jaya

Tamburaka mewakili organisasi LSM lingkungan Telapak. Lalu penulis juga

melakukan wawancara pribadi yang mendalam dengan Bapak B. Sad Windratmo,

padatanggal19Februari2018diKWLM,Kulonprogo.Demikianjugapenulis

39

melakukan wawancara pribadi yang mendalam dengan ketua koperasi Wana

Lestari Menoreh saat itu, yakni Bapak R. Damarsono, pada tanggal 20 Februari

2018. Terakhir, penulis melakukan wawancara dengan Bapak Silverius Oscar

Unggul, sebagai komisaris dari PT. SOBI tanggal 06 Juni 2018 di Jakarta Selatan.

5.2 Analisis Peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Dalam

Proses Sertifikasi Kayu dari Forest Stewardship Council (FSC)

5.2.1. Peran KWLM Dalam Proses SertifikasiKayu

Hingga saat ini KWLM telah beranggotakan 1.530 orang yang tersebar di

18 desa di Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Kalibawang, dan Kecamatan

Girimulyo,Nanggulan. Total luas Kelola hutan rakyat KWLM saat ini sebesar

827 hektar. Anggota KWLM hampir semua adalah petani hutan yang menetap di

kawasan hutan rakyat Pegungungan Menoreh (Wawancara Pribadi,2018).

Harapan terbentuknya KWLM adalah; Terjaganya nilai-nilai sosial dan

kearifan lokal yang telah dijalankan masyarakat, terciptanya peningkatan

kesejahteraan masyarakat petani hutan untuk mendukung pelestarian sumber

daya alam di Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta melalui pengembangan

usaha pengelolaan hutan dan pengolahankayu.

Pengelolaan hutan yang baik agar terus bisa menjaga kelestarian hutan

sangatlah penting, oleh karena itu bagi KWLM pengelolaan hutan bertujuan

untuk:

40

1. Meningkatkan mutu pengelolaan lahan hutan rakyat anggota KWLM di

KabupatenKulonprogo.

2. Memfasilitasi akses pasar bagi para anggota dimana pasar yang dituju

adalah yang mampu membeli kayu dengan harga yang lebihbaik.

3. Meningkatkan kesejahteraananggota.

4. Membina anggota agar memiliki kemampuan melakukan pengelolaan

hutan secaralestari.

5. Menjembatani tukar pengalaman dan wawasan di antara paraanggota.

6. Mendapatkan Sertifikat FSC untuk semua anggota hutan rakyat untuk

pengelolaan yang lestari dan memiliki pasar dengan permintaan yang

sangattinggi.

Untuk bisa menjadi anggota KWLM haruslah memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

a) Menandatangani surat pernyataan kesanggupan anggota untuk

melaksanakan visi dan misikoperasi.

b) Membayar iuran pokok sebesar Rp 50,000 (bisa dicicil sebanyak 4 kali)

dan simpanan wajib sebesar Rp 5,000 setiapbulannya.

c) Memiliki lahan atau mengelola lahan yang ditumbuhi pohon kayu, yang

dibuktikan dengan surat kepemilikan berupa salinan (fotocopy) sertifikat,

letter C, letter D atau SPPT. Bila lahan yang dikelola bukan atasnamanya

41

sendiri, maka harus dilengkapi dengan surat keterangan dari kepala dusun

setempat.

d) Menyerahkan database inventarisasi potensi di lahannya yang meliputi

data pohon kayu, produksi pertanian, produksi ternak, dan produksi

perikanan.

KWLM akan selalu memperbarui rencana manajemen secara berkala

untuk mengetahui perubahan-perubahan penting yang terjadi di area yang

dikelola oleh anggota Koperari Wana Lestari Menoreh. Paling tidak, rencana

manajemen akan dievaluasi setiap limatahun.

Namun dua tahun setelah berdirinya KWLM, terjadi perkembangan pesat

pada penjualan kayu lestari dan keberlanjutan hutan. Dimana konsumen atau

calon buyer lokal maupun internasional menginginkan kayu dari pengelolaan

yang lestari. Maka di tahun 2010, KWLM mengundang kelompok-kelompok

petani hutan untuk menyosialisasikan sertifikat FSC (Forest Stewardship

Council). Disini KWLM dibantu oleh LSM Telapak untuk mengaplikasikan

sertifikasi seperti yang telah dilakukan di Koperasi Hutan Jaya Lestari

(KHJL), Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. KWLM mendapatkan

sertifikasi FSC pada tanggal 15 Maret2011.

Untuk proses sertifikasi FSC pada satu koperasi memerlukan biaya yang

lumayan besar, yakni sekitar 150 juta rupiah. Maka untuk mengatasi masalah

tersebut, di tahun 2016, KWLM menjadi bagian dari PT.SOBI (Sosial Bisnis

Indonesia) yang akan menaungi beberapa koperasi untuk memiliki sertifikat

42

kayu lestari. Sertifikat FSC grup itu sendiri sudah dimiliki KWLM pada

tanggal 11 Mei 2017 dan berlaku hingga tahun 2022. (Wawancara pribadi,

2018).

5.2.1.1. Hak dan Kewajiban AnggotaKWLM

Anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh memiliki hak sebagai berikut:

1.Mendapatkan informasi tentang PT.SOBI, RPH, FSC, SLA dan SOP.

2.Mendapatkan bimbingan pengelolaan hutan lestari.

3.Mendapatkan SHU dari kegiatanKWLM.

4. Mengajukankeluhan.

5. Menegosiasikan harga wajar untuk biaya pemeliharaan danpenanaman,

6.Mendapatkan 10 bibit untuk setiap 1 pohon yangditebang.

Adapun para anggota KWLM memiliki kewajiban sebagai berikut:

Kewajiban yang bersifat keanggotaan:

1. Membayar iuran rutin dan iuran keanggotaan serta iuran lainnya kepada

KWLM.

2. Memberikan informasi yang benar mengenai data keanggotaan dan lahan milik

kepada manajemen PT. SOBI dan pihak lain seijinPT.SOBI.

3. Menunjukkan bukti kepemilikan lahan yang sah dan bersedia menyerahkan

salinannya.

4. Melaporkan kepada KWLM jika ada perubahan datakeanggotaan.

43

5. Melaporkan kepada KWLM apabila menebang atau menjual pohon secara

pribadi atau bila hendak mengalihfungsikan lahanmilik.

6. Menghadiri pertemuan, rapat, sosialisasi /pelatihan, dan undangan kegiatan

lainnya yang diadakanKWLM.

7. Mengikuti aturan lain yang ditetapkan anggota PT. SOBI selama menjadi

bagianKWLM.

Sedangkan anggota KWLM juga memiliki kewajiban untuk pengelolaan

hutan, berikut adalah diantara kewajibannya:

1. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan milik sesuai ketentuan yang diberikan

oleh KHJ.

2. Mengikuti petunjuk teknis yang diberikan oleh PT.SOBI dalam hal kegiatan

pemanenan dan pengangkutan kayutebangan.

3. Hanya menebang pohon yang sudah mencapai diameter minimum yang telah

ditentukan olehRPH.

4. Melakukan pemanenan kayu sesuai dengan jatah tebang tahunanPT.SOBI.

5.Tidak melakukan tebanghabis.

6. Melakukan penanaman kembali tanaman yang ditebang,

7. Tidak melakukan penebangan pohon di sekitar sumber air/mata airtersebut.

8. Tidak mengganggu keberadaan tanaman dan satwa liar yang ditemukan di lahan

milik, terutama yang dilindungi olehUndang-Undang.

44

9. Mengikuti seluruh standar kriteria dan indikator yang berkaitan dengan segala

konsekuensi dan sanksi apabila di kemudian hari melanggar standar sertifikasi

ekolabeltersebut.

10. Memberikan akses kepada FSC atau Forest Stewardship Council (FSC) atas

informasi data dan dokumen berkaitan dengan sistem sertifikasi dalam bentuk

assesment, monitoring dan evaluasi.

Persyaratan lain ketika ingin mendaftarkan diri menjadi anggota KWLM

adalah calon anggota harus menyerahkan dokumen resmi kepemilikan lahan yang

diakui dan didaftarkan. Dokumen tersebut diantaranya:

1. Sertifikat tanah

2. Girik

3. SPPT

4. Surat keterangan kepala desa

5. Dokumen pendukung lain seperti ahliwaris.

Selain dokumen tersebut di atas, batas letak lahanpun harus cukup jelas.

Sehingga prinsip tentang hak tenur dan hak guna serta tanggung jawab seperti

yang disyaratkan dapat terpenuhi. Keterlacakan asal usul sumber bahan bakunya

dapat dipertanggungjawabkan dan berkelanjutan, dengan adanya kepastian

kepemilikan lahan anggota yang dikelola. Kepastian kepemilikan lahan dalam

pengelolaan hutan jati, mahoni, sonokeling dan sengon yang nantinya akan

menjadi berbagai produk kayu, dapat dipertanggungjawabkan dan berkelanjutan

dengan mudahnya terlacak terkait asal usul sumber bahan baku tersebut.

45

5.2.1.2. Kegiatan Koperasi Wana LestariMenoreh

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Koperasi Wana Lestari Menoreh

(KWLM) berbeda dengan Koperasi Serba Usaha pada umumnya. Karena KWLM

sangat memprioritaskan pada beberapa kegiatan untuk membangun pengelolaan

hutan rakyat serta persiapan untuk sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari.

Kegiatan sebelum terbentuknya koperasi yang dilakukan adalah

diantaranya: adanya sosialisasi community logging yang dilakukan bersama

organisasi Telapak, lalu setelah terbentuknya koperasi maka diadakan pelatihan

inventarisasi hutan rakyat.

Adapun kegiatan – kegiatan yang dilakukan setelah KWLM terbentuk,

diantaranya: 1) Pembuatan dokumen Standar Operasional Prosedur, Rencana

Kerja dan Rencana Pengelolaan Hutan Rakyat, 2) Pelatihan Inventarisasi potensi

pohon milik anggota, 3) Inventarisasi potensi pohon milik anggota, 4) Pelatihan

manajemen koperasi dan keuangan, 5) Pembuatan dan penjualan pupukkompos,

6) Pelatihan pembibitan, 7) Pembuatan pembibitan, dan 8)Pemanenan.

5.2.2. Forest Stewardship Council (FSC)

5.2.2.1. Latar BelakangFSC

Sejak tahun 80-an, organisasi non-pemerintah internasional dibantu oleh

media melancarkan aksi kampanye yang menunjukkan keprihatinan publik

terhadap kehancuran hutan terutama di daerah Amazon dan daerah tropis lainnya,

serta tebang habis besar-besaran yang terjadi di Amerika belahan utara. Upaya-

upaya kampanye tersebut semakin besar dan difokuskan untuk mempengaruhi dua

46

sektor sekaligus, yakni sektor kepemerintahan dan sektor bisnis atau pasar

(Setyarso, 2009).

Keprihatinan akan maraknya kegiatan deforestasi tersebut, meluasnya

dampak degradasi lingkungan serta meningkatnya konflik sosial di berbagai

belahan dunia sehingga berbagai pihak khususnya para kalangan bisnis di bidang

perkayuan dan kehutanan, perwakilan asosiasi dan organisasi hak asasi manusia

dan lingkungan mengadakan pertemuan di California di tahun 1990,

melatarbelakangi berdirinya Forest Stewardship Council (FSC).

(https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-belakang-fscakses 17 Pebruari 2018).

Kelompok multipihak ini menyepakati adanya kebutuhan untuk

membangun sistem yang dapat mengidentifikasi hutan yang dikelola secara

bertanggung jawab sehingga menghasilkan produk yang dapat

dipertanggungjawabkan pula secara lingkungan, sosial dan ekonomi. Konsep dan

nama FSC muncul untuk pertama kalinya pada pertemuan ini. Dua tahun

berselang setelah pertemuan tersebut, yaitu pada tahun 1992, barulah PBB

menyelenggarakan Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (KTT

Bumi) yang diadakan di Rio de Janeiro.(https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-

belakang-fscakses 17 Pebruari 2018).

KTT Bumi menghasilkan komitmen terkait pengelolaan hutan, yaitu

Agenda 21 dan Prinsip Pengelolaan Hutan yang meskipun tidak mengikat secara

hukum namun menyediakan platform yang penting bagi banyak organisasi non-

pemerintah untuk hadir dan memberikan dukungan bagi munculnya konsep

inovatif terkait skema sertifikasi hutan non-pemerintah yang independen dan

47

berskala internasional (https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-belakang-fsc, akses

17 Pebruari 2018).

Di sisi lain menurut Setyarso (2009) advokasi dilakukan secara gencar

melalui badan-badan internasional, dan untuk produk kayu tropis, ITTO menjadi

sasaran utama. Hingga saat ini, upaya advokasi tersebut telah menjadikan negara-

negara Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat mengumumkan berlakunya

persyaratan sertifikat legalitas kayu untuk perdagangan internasionalnya, dan

diimbangi oleh konvensi negara-negara adikuasa yang tergabung di dalam

kelompok G8.

Kemudian di tahun 1993, sebuah kongres pendirian FSC diadakan di

Toronto, Kanada. Sekretariat FSC dibuka di Oaxaca, Meksiko dan FSC didirikan

sebagai badan hukum di Meksiko pada bulan Februari 1994. Sekretariat FSC

pindah ke Bonn,Jerman pada tahun 2003 (https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-

belakang-fsc akses 17 Februari 2018).

Upaya-upaya sertifikasi melalui mekanisme pasar telah menunjukkan hasil

yang signifikan. Hingga akhir tahun 2008 telah terdapat sekitar 325 juta hektar

hutan bersertifikat ekolabel, 102 juta ha mengikuti skema FSC, dan 223 juta ha

mengikuti skema PEFC, CSA dan SFI. Ini setara dengan 20% luas hutan di dunia

dan sekitar USD 70 milyar bisnis dari perdagangan internasional setiap tahunnya

(Setyarso, 2009).

Jumlah sertifikat FSC di seluruh dunia yang telah diterbitkan baik untuk

skema pengelolaan hutan (FSC-FM) maupun lacak balak (FSC-COC) juga terus

48

meningkat melewati total 30.000 sertifikat di tahun 2016; 1000 sertifikat

pengelolaan hutan untuk hutan rakyat telah dikeluarkan pada tahun 2011

(https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-belakang-fscakses 17 Pebruari 2018).

5.2.2.2. Visi danMisi

FSC memiliki visi dan misi sebagai berikut:

a. Melindungi LingkunganHidup

Pengelolaan hutan dan lingkungan yang tepat, penting untuk memastikan

pengelola hutan serta pengusaha produk kayu dan non-kayu mampu

mempertahankan keanekaragaman hayati hutan, menjaga fungsi hutan dan proses

ekologi yang berkelanjutan.

b. Bermanfaat SecaraSosial

Pengelola hutan membantu masyarakat lokal dan masyarakat luas untuk dapat

menikmati manfaat jangka panjang hutan, menyediakan insentif yang layak untuk

masyarakat lokal agar masyarakat terlibat dalam mempertahankan sumber daya

hutan dan mengikuti rencana manajemen jangkapanjang.

c. Menguntungkan SecaraEkonomis

Pengelolaan hutan yang menguntungkan secara ekonomis berarti pengelolaan

hutan dilakukan sedemikian rupa agar menguntungkan secara ekonomis tanpa

mengorbankan ekosistem, keanekaragaman sumber daya hutan, maupun

masyarakat yang terkena dampak. Tarik menarik kepentingan antara

menghasilkan keuntungan finansial dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan

yang bertanggung jawab dapat diatasi melalui upaya pemasaran produkyang

49

variatif dan promosi nilai lebih produk yang dihasilkan (https://id.fsc.org/id-

id/about-fsc/visi-misi-01akses 16 Maret 2018).

5.2.2.3. Prinsip dan Kriteria

FSC menawarkan 10 prinsip yang kemudian dijabarkan dalam 56 kriteria.

Prinsip dan kriteria tersebut mengandung unsur-unsur penting dan norma umum

dalam pengelolaan hutan yang mengutamakan aspek ramah lingkungan,

bermanfaat secara sosial dan menguntungkan secara ekonomis bagi para petani

hutan kayu. 10 prinsip FSC tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.4

10 Prinsip FSC

No Prinsip

1 Kepatuhan akan hukum dan prinsip FSC

2 Penguasaan dan penggunaan hak dan tanggung jawab

3 Hak-hak masyarakat adat

4 Hubungan masyarakat dan hak pekerja

5 Manfaat dari Hutan

6 Dampak lingkungan

7 Rencana Manajemen

8 Pemantauan dan penilaian

9 Pemeliharaan hutan bernilai konservasi tinggi

10 Perkebunan

Sumber: www.fsc.org, 2018.

50

5.2.2.4. Aktor Yang Terlibat Dalam SertifikasiHutan

Menurut Setyarso (2009), terdapat aktor-aktor yang terlibat di dalam

sertifikasi dapat secara umum dapat dipilah ke dalam pihak atau lembaga sebagai

berikut:

1. Lembaga pengembang sistem sertifikasi (atauverifikasi)

2. Lembaga akreditasi terhadap lembaga asesor/penilai/verifikasiindependen

3. Lembaga asesor/penilai/verifikasiindependen

4. Asesor/penilai/verifikasi independen danprofesional

5. Lembaga penyelesaian keberatan atas hasilsertifikasi/verifikasi

6. Lembaga lain, misalnya Lembaga Pemantau Independen, Forum

Komunikasi Daerah

7. (FKD), Lembaga Pelatihan Kompetensi, dan Lembaga Pemberi Sertifikat

(pada skema verifikasiwajib)

8. Unit manajemen/usaha kehutanan yang menjadi pemohon atau obyek

sertifikasi/verifikasi

5.2.2.5. Klasifikasi SerifikasiHutan

Sertifikasi hutan diklasifikasikan sebagai berikut (Setyarso,2009) :

1. Klasifikasi Menurut Pihak PemberiSertifikat

a) Sertifikasi oleh pihak pertama (self-declaration); pengelola atau

pemilik pabrik mengeluarkanpernyataan bahwa produk (kayu) atau

jasa (misalnya wisata) yang dihasilkan telah melalui skema

pengelolaan yang baik. Contoh: sebagian pengelola hutanatau

51

pabrik menuliskan pernyataan bahwa kinerjanya telah mengikuti

visi dan misi perusahaan.

b) Sertifikasi oleh Pihak Kedua (second-party verification); pihak

kedua (pemerintah atau industri konsumen) menyatakan bahwa

produk atau jasa yang dihasilkan oleh pemegang ijin/lisensinya

telah memenuhi standar kinerja tertentu. Contoh:pemberian

serttifikat pengelolaan hutan alam oleh Depertemen Kehutanan

kepada pemegang IUPHHK yang kinerjanya baik. Pemerintah

dapat mewajibkan seluruh IUPHHK untuk menjalani sertifikasi ini,

dan oleh karenanya disebut sertifikasi wajib (mandatory

verification)

c) Sertifikasi pihak ketiga (third-party certification): pihak ketiga

yang independen diminta untuk melakukan asesmen dan memberi

(atau tidak memberi) sertifikat yang menyatakan bahwa suatu

pengelola (hutan) telah memenuhi standar kinerja tertentu. Contoh:

pemberian sertifikat ekolabel oleh lembaga sertifikasi (misalnya

Smartwood, SGS, MAL, TUV), yang menyatakan bahwa unit

manajemen yang bersangkutan telah memenuhi standar

pengelolaan hutan lestari tertentu (LEI, FSC). Sertifikasi ini

bersifat sukarela dan oleh karenanya sering diklasifikasikan

sebagai voluntary certification.

2. Klasifikasi Menurut PosisiProduk

a) Sertifikasi kinerja hutan, dengan obyek unit manajemenhutan

52

b) Sertifikasi produk (standard quality), dengan obyek hasilhutan.

Standard produk biasanya dikeluarkan oleh Badan Standardisasi

Nasional (BSN) dengan kode Standar Nasional Indonesia (SNI)

c) Sertifikasi lacak balak untuk hasil hutan di dalam perpindah-

tanganan

d) Sertifikasi menyeluruh (life-cycle certification) yang menyangkut

baik unit manajemen maupun lacak balak hasilhutan

3. Klasifikasi menurut penguasaan dan asal-usul hasilhutan

a) Sertifikasi asal lokasi panenan (legal origin verification), yang

menyatakan bahwa hasil hutan (kayu) berasal dari petak tebang

yangsah

b) Sertifikasi pemenuhan legalitas kayu (legal compliance

verification) yang menyatakan bahwa hasil hutan (kayu) berasal

dari hutan, dan ditebang, dan atau diperoleh, atau dan dikuasai, dan

atau dipindah-tangankan dengan telah memenuhi seluruh syarat

legal yangberlaku

c) Sertifikasi lacak balak ekolabel (ecolabel chain of custody), yang

menyatakan bahwa hasil hutan (kayu) diperoleh dari unit

manajemen yang lestari (bersertifikatekolabel).

5.2.2.6. Jenis SertifikasiFSC

Sistem sertifikasi FSC berfungsi untuk memastikan hutan untuk dikelola

secara bertanggung jawab. Oleh karena itu dibuatlah beragam sertifikasi sebagai

bentuk kehati-hatian untuk menjamin dan memastikan asal usul sumber bahan

53

baku kayu yang digunakan dalam proses produksi, mulai dari ditebang, dipotong,

dibentuk, diolah, dikemas, dan diangkut sampai ke tangan konsumen.

Dalam proses rantai produksi sangat dimungkinkan adanya pencampuran

bahan baku kayu yang berasal dari sumber yang baik dan yang tidak. Sumber

yang baik adalah dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab

(https://id.fsc.org/id-id/sertifikasi-fsc/jenis-sertifikasi-di-fscakses 16 Maret2018).

Berikut penjelasan sistem sertifikasi FSC dan pengembangannya:

1.) Sertifikasi Pengelolaan Hutan atau dikenal dengan FM-FSC. FM merupakan

singkatan dari Forest Management. Sertifikat FM-FSC diberikan kepada

pengelola konsesi hutan atau pemilik lahan yang telah diverifikasi dengan sistem

sertifikasi FM-FSC menggunakan Prinsip dan Kriteria FSC untuk praktik

pengelolaan hutan.

2.) Sertifikasi Lacak Balak, atau dikenal dengan CoC-FSC. CoC merupakan

singkatan dari Chain of Custody. CoC-FSC berlaku untuk produsen, manufaktur,

dan pedagang hasil hutan bersertifikat FSC. Chain of Custody memastikan bahan

baku produk berasal dari sumber/hutan yang bersertifikat FSC dan proses

produksi di sepanjang rantai supply tidak tercampur bahan baku lain yang tidak

bersertifikat, kecuali ControlledWood.

3.) FSC Controlled Wood dikembangkan agar perusahaan/manufaktur yang belum

bersertifikat FSC tidak mengambil kayu dari sumber yang tidak

diterima (unacceptable). Kayu bersertifikat Chain of Custody hanya dapat

dicampur dengan FSC Controlled Wood, untuk produk berlabel FSCMix.

54

4.) Sertifikasi untuk hutan berbasis masyarakat (Small, Low Intensity, Forest

Community Based Operation).

5.) FSC Recycle.

6.) Ecosystem Services

(https://id.fsc.org/id-id/sertifikasi-fsc/jenis-sertifikasi-di-fscakses 17 Maret 2018)

5.2.3. Pembahasan dan Kesimpulan

Sertifikasi pada umumnya memiliki tujuan sebagai perangkat untuk

pemenuhan kepuasan pelanggan/pasar, yang membutuhkan jaminan atas kualitas

produk dan jasa, yang dicerminkan oleh standar tertentu. Di Indonesia sertifikasi

mempunyai tujuan lebih dari sekedar pemenuhan kebutuhan pasar.

Menurut Jurgens (2006) Kebutuhan pasar akan produk hutan yang

bersertifikat dan legal dipicu oleh beberapa faktor, termasuk di dalamnya adalah

kebijakan pembelian dari perusahaan dan kebijakan pemerintah terkait dengan

peraturan impor.

Kebijakan pemerintah memiliki pengaruh besar terhadap permintaan baik

langsung maupun tidak langsung. Pertama,Pengaruh langsung terhadap kebijakan

pembelian publik yang mempengaruhi penggunaan kayu pada proyek konstruksi

publik. Pada beberapa negara, hal ini menggambarkan besarnya impor produk

perkayuan dari Indonesia. Kebijakan pembelian publik yang mensyaratkan

penggunaan kayu legal atau kayu dengan sumber yang lestari untuk kontrak-

kontrak konstruksi publik mengakibatkan banyaknya perusahaan mencari sumber

55

kayu yang legal dan berasal dari sumber yang lestari. Contohnya, Pemerintah

Inggris, Belanda dan Belgia memiliki persyaratan yang ketat untuk dalam aspek

legalitas dan kelestarian dari produk kayu yang digunakan pada kontrak-kontrak

mereka. Hal ini menggambarkan adanya persyaratan pembelian publik telah

berpengaruh besar terhadap pasar kayu Indonesia dan sangat mungkin untuk

berkembang (Jurgens, 2006).

Kedua, Pengaruh tidak langsung terhadap larangan perdagangan produk

kayu dari sumber ilegal, dimana peraturan-peraturan tersebut berpengaruh

terhadap pembeli swasta dan publik secara bersamaan. Sebagai usaha untuk

merespon kebijakan pembangunan dan mempromosikan kegiatan lebih lanjut,

Aliansi telah bekerja sama dengan pemerintah di negara-negara importer (Jurgens,

2006).

Akhirnya Para pembeli mencari kayu yang dapat memberikan bukti

legalitas atau kelestarian sumbernya dapat juga dialihkan pada pemasok kayu

dengan resiko yang lebih rendah, atau melakukan tekanan terhadap para pemasok

mereka untuk melakukan sertifikasi atau verifikasi legalitas (Jurgens,2006)

Jurgens (2006) juga memberikan contoh beberapa perusahaan Eropa dan

Amerika Utara telah memilih untuk mengalihkan pembelian dari Indonesia

sebagai akibat dari tekanan LSM lokal. Mengingat sebagian besar produk

perkayuan dari Indonesia dapat digantikan dengan produk perkayuan dari negara

lain, banyak perusahaan memelihara reputasi mereka di bidang lingkungan

denganmemilihpemasokdarinegara-negarayangmemilikikontroversirendah.

56

Sebagai contoh, berkaitan dengan skorsing FSC terhadap Perhutani, banyak

pedagang Jerman mengalihkan pembelian furnitur ke bahan Eucalyptus yang

memiliki sertifikasi dari FSC di Amerika Latin. Hal ini juga terjadi setelah

kampanye Greenpeace di tahun 2004, empat pembeli besar produk perkayuan dari

Indonesia di Inggris menghentikan pembelian kayu dari Indonesia. Saat itu B&Q

membeli melakukan pembelian plywood dalam skala besar dari Brasil dan Travis

Perkins, pembeli utama untuk kayu tropis, mengalihkan pembeliannya dari

Indonesia ke Ghana yang memiliki sumber kayu legal yang terverifikasi.

Sertifikasi di Indonesia dimanfaatkan juga sebagai piranti membina pelaku

industri untuk lebih meningkat di dalam daya saing poduk dan jasanya (Setyarso,

2009). Di Indonesia, perjalanan sertifikasi hutan tidak begitu lancar. Ini

dikarenakan hampir semua operasi hutan berada di kawasan hutan negara dan

para pengusaha harus memenuhi semua persyaratan wajib yang diterapkan oleh

aturan nasional maupun daerah, dan sifat sukarela dari sertifikasi ekolabel

menjadikan pengusaha menempatkan isu ini menjadi bukan prioritas. Kelestarian

pengelolaan hutan dikalahkan oleh jaminan keamanan berusaha yang banyak

diperankan oleh pemerintah (Setyarso,2009).

Inisiatif sertifikasi untuk pengelolaan hutan lestari ditandai dengan

bekerjanya Kelompok Kerja Ekolabel pada tahun 1994. Kelompok ini bertugas

mempersiapkan sistem dan perangkat kelembagaannya, dan pada tahun 1998

akhirnya terbentuk Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia yang menjalankan

implementasi sertifikasi ekolabel di Indonesia. Hingga saat ini telah tersertifikat

sekitar 1.7 juta ha hutan di Indonesia, baik melalui skema LEI maupun skema

57

internasional seperti FSC, baik yang berkala besar maupun yang bersifat

pengelolaan hutan berbasis masyarakat.Kemudian diberlakukan aturan verifikasi

(penilaian) oleh LPI (lembaga penilai independen) terhadap HPH/IPUHHK yang

berlaku wajib dari pemerintah, sebagai bagian dari pembinaan pemerintah

terhadap pemegang ijin pemanfaatan atas kawasan hutan Negara, di tahun 2002.

Kemudian dilanjutkan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang

dipergunakan sebagai salah satu perangkat untuk meningkatkan keamanan

berusaha dan kinerja pemerintah di bidang kehutanan (Setyarso, 2009). Jadi di

Indonesia, selain harus memiliki sistem sertifikasi wajib dari pemerintah seperti

SVLK, juga perlu memiliki standar sertfikasi yang internasional seperti FSC

(wawancara pribadi PT. SOBI Kulonprogo, 19 Pebruari2018).

Dalam awal perjalanan skema sertifikasi hutan, terdapat pandangan bahwa

sertifikasi yang diberlakukan di atas hutan-hutan yang dikelola berbasis

masyarakat dapat lebih mudah dan murah untuk diterapkan. Ini ditandai dengan

standar dan proses assessment /penilaian /verifikasi yang lebih ringkas. Tetapi di

dalam kenyataannya, sertifikasi untuk hutan yang dikelola berbasis masyarakat ini

tidak terlalu lancar. Ini dikarenakan bahwa harus ada perubahan kelembagaan

masyarakat yang tadinya tidak tertulis menjadi sepenuhnya harus

terdokumentasikan, proses pengelolaan sejak perencanaan sampai dengan

pengaturan hasil yang harus dikemas ke dalam standar operasi, dan kapasitas

pelaku-pelaku di dalam kelompok yang sangat beragam (Setyarso, 2009).

Pendampingan- pendampingan yang dilakukan biasanya memakan waktu

lebih dari dua tahun sebelum suatu hutan berbasis kelola masyarakat lulus

58

sertifikasi. Meskipun biaya pelaksanaan sertifikasi telah diupayakan seringan

mungkin (melalui sertifikasi kelompok, bukan individual, dan perpanjangan masa

berlaku sertifikat), tetapi biaya pendampingan masih dirasakan terlalu mahal.

Oleh karena itu, biaya-biaya untuk pendampingan harus digali dari sumber-

sumber eksternal, bukan dari hasil usaha masyarakat (Setyarso, 2009).

Hal ini juga terjadi di KWLM, dimana beberapa narasumber

menginginkan pendampingan bukan hanya sekadar memberikan bibit pohon. Tapi

juga mendampingi hingga bibit tersebut bisa tumbuh dan hidup. Namun memang

kendala teknis di lapangan, seperti perlu biaya lebih dan tenaga ekstra dari para

pengelola membuat kurangnya pendampingan di KWLM. Sejalan dengan Jurgens

(2006) maka KWLM berada di bawah PT.SOBI agar bisa meringankan biaya

pendampingan-pendampingantersebut.

Namun Jurgens (2006) menyatakan bahwa Permintaan produk hutan

lestari tidak secara langsung menjadi sebuah kemauan untuk membayar harga

tambahan dari ongkos produksi secara lestari. Faktanya menunjukkan bahwa

sebuah harga premium sampai dengan 15% bahkan telah dibayar oleh para

pembeli secara tidak langsung untuk kayu hutan alam yang bersertifikatFSC.

Contohnya adalah PT. Irma Sulindo menunjukkan minat untuk mencapai

standar sertifikasi sebagai persyaratan pada para pembeli yang dikoordinasi oleh

WWF bersedia membayar sekitar US $ 1.250/m3 untuk produk bersertifikat. Bisa

dikatakan harga nilai jual kayu yang bersertifikasi memiliki harga jauh di atas

kayu-kayu yang tidak lestari. Berdasarkan contoh tersebut, bisa dikatakan dengan

59

memiliki standar sertifikasi kayu internasional, dapat membuat masyarakat sekitar

Gunung Menoreh ingin bergabung menjadi bagian dari anggota koperasi KWLM.

Setyarso (2009) menyatakan di tingkat internasional, lembaga

pengembang sistem sertifikasi hutan FSC (Forest Stewardship Council) dibentuk

oleh konstituennya dan peran Organisasi Non Pemerintah/LSM/ornop sangat

besar di sini. Beberapa lembaga pengembang sistem sertifikasi internasional yang

lain misalnya PEFC (Pan European Certification Council), SFI (Sustainable

Forest Initiative), CSA (Canadian Standard Association) mempunyai intensitas

konsultasi yang tinggi terhadap aspirasi yang dibawakan olehOrnop.

Di Indonesia, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) disiapkan oleh suatu

kelompok kerja yang terdiri atas unsur-unsur non-pemerintah, dan kemudian

berdiri sebagai yayasan pada tahun 1998. Sejak tahun 2004 LEI berubah menjadi

organisasi berbasis konstituen yang independent. Jaringan GFTN maupun market

linkages internasional dikembangkan di Indonesia antara lain oleh WWF-

Indonesia, TFF (Tropical Forest Foundation) dan TFT (Tropical Forest Trust)

(Setyarso, 2009).

Di dalam menyusun standar legalitas kayu (legal compliance) dan

membangun SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu), atau SVSK (Sistem

Verifikasi Sahnya Kayu) di Indonesia, diterapkan proses dialog multi-pihak.

Peran ornop menjadi sangat penting di dalam penyiapan standar maupun sistem

verifikasi untuk timber legal compliance ini (Setyarso,2009).

60

Lebih lanjut, Setyarso (2009) juga menyatakan bahwa Ornop memberikan

peran dalam bentuk: a. Memberikan informasi tambahan yang menyangkut

kondisi dan kinerja unit manajemen yang dinilai; b. Memantau proses dan sistem

verifikasi; c. Mengajukan keberatan jika dimiliki bukti-bukti yang valid atas

kekurangan yang melekat pada hasilverifikasi.

Hal ini sudah dilakukan oleh organisasi Telapak, dimana Telapak berperan

penting dalam berdirinya Koperasi Hutan Lestari terutama di KWLM, Kulon

Progo. Telapak telah melakukan sosialisasi berupa memfasilitasi seminar,

kunjungan kerja dan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman komunitas lokal.

Telapak juga menginisiasi terbentuknya koperasi dan juga memfasilitasi

sosialisasi yang dipimpin oleh perwakilan masyarakat sekitar gunung Menoreh.

Tahapan fasilitasi juga melibatkan perluasan anggota dan bantuan operasional

teknis terkait manajemen hutan berdasarkan standar FSC

(https://www.telapak.org/id/dampak/bisnis-berkelanjutan-terkini/akses 5Maret

2018).

Sehingga bisa dikatakan Telapak sebagai ornop atau LSM lingkungan

yang telah menginisiasi, mendampingi KWLM hingga mendirikan koperasi dan

memiliki sertifikasi kayu memiliki peranan yang sangat penting. KWLM

menggunakan sertivikasi kayu SVLK dimana diwajibkan oleh pemerintah dan

memilih sertifikasi kayu standar Internasional yakni FSC sudah tepat. Hal ini bisa

dibuktikan dengan meningkatnya pengguna sertifikasi FSC secara global. Di

tahun 2017 saja, terdapat 84 negara dengan total sertifikasi 1.526. Sedangkan total

sertifikasi FSC area hutan berjumlah 195.170.660. Untuk sertifikasi Chainof

61

Custody secara global, total negara yang bergabung adalah 121 negara, dan

seluruh total sertifikasi adalah 33.550.(https://id.fsc.org/id-id/sertifikasi-fsc/fsc-

dalam-angka akses 5 Maret 2018).

5.3. Analisis Peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Dalam

Pengembangan EkonomiMasyarakat

5.3.1. Anggota KWLM, KulonProgo.

Pengembangan ekonomi masyarakat (Community Economic Development

/CED) dalam penelitian ini dilihat dari sembilan kebutuhan yang diperlukan

masyarakat untuk mengembangkan ekonominya menurut Bruce (2001). Para

subyek penelitian ini berjumlah 5 orang anggota dari KWLM, berikut

penjelasannya:

1. Kebutuhan Memiliki Strategi yangKomprehensif

KWLM adalah koperasi serba usaha yang khusus didirikan untuk menjaga

kelestarian hutan disekitar gunung Menoreh, Kulon Progo, DI Yogyakarta.

Koperasi ini berdiri benar-benar dari masyarakat. Mereka dilibatkan dari awal

untuk berdirinya koperasi ini, sehingga ada rasa memiliki untuk kekuatan koperasi

ini.

Sesuai visinya KWLM ingin mewujudkan lingkungan alam sekitar yang

lestari dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat secara adil.

Maka KWLM mengikuti standar pengelolaan hutan lestari sesuai yang diminta

Pemerintah Indonesia dan juga tuntutan dari pasar dunia, yakni perlu adanya

62

sertifikasi Kayu Internasional. Agar pembeli tahu bahwa kayu yang dibelinya

berasal dari hutan yang dikelola secara lestari dan bertanggung jawab, tidak

merusak lingkungan.

Dengan demikian KWLM mematuhi kewajibannya kepada pemerintah

Indonesia dengan memiliki Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Sertifikat SVLK sudah dimiliki KWLM yang akan berakhir di tahun 2022

(Wawancara pribadi, 2018). Sedangkan sebagai tindakan sukarela, KWLM

mengikuti sertifikasi standar internasional yakni Forest Stewardship Council

(FSC). Sertifikat FSC sudah dimiliki dari tahun 2011 dan berakhir di tahun 2016.

Seiring jalan, karena mahalnya biaya sertifikasi, maka KWLM menjadi bagian

dari PT. SOBI, yang mengusahakan certification group. Sehingga KWLM bisa

bergabung dengan koperasi-koperasi lain untuk mendapatkan sertifikasi kayu. Hal

ini dilakukan untuk meringankan biaya dan bisa menaikkan skala produksi

permintaan pembeli kayu. Sekitar awal 2017, KWLM sudah mendapatkan

sertifikasi group (Wawancara pribadi, 2018). Berikut adalah sertifikasi kelompok

FSC terbaru untuk koperasiKWLM:

63

Gambar 5.4

Sertifikasi Kelompok FSC KWLM

Banyak kegiatan yang sudah dilakukan KWLM untuk meningkatkan

kinerja koperasi. Hal ini diketahui dan dianggap sebagai strategi dari KWLM bagi

anggotanya. Tiga subyek KWLM menyatakan hal yang sama bahwa dengan

menebang satu pohon dan diberikan tiga bibit baru merupakan salah satu strategi

KWLM. Berikut salah satu kutipannya:

64

“Aada. Karena gini, dulu kami bertanam kayu hutan rakyat itu tanamnya kalau misalkan

ada penanaman kembali itu karena kami punya dana untuk membeli bibit, lalu KWLM

kan mensupport bibit sehingga kami selalu ada tanaman baru di lahan. Itu akan selalu

regenerasi terus jadi petani itu punya tanaman terus. Terus KWLM juga memberikan dari

koperasi ada pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas misalkan, kalau di petani

itu kan kalau sudah tanam dibiarkan toh.” (Subyek 1, 2018)

Selain pemberian bibit tanaman, dua subyek juga menyatakan bahwa

pelatihan yang diberikan KWLM juga merupakan strategi. Misalnya saja ada

pelatihan penanaman, penyiraman dan lainnya. Strategi KWLM lainnya adalah

mencarikannya pembeli kayu, subyek merasakan adanya kenaikan harga kayu

dengan harga bersaing di pasaran, Sedangkan tiga subyek menyatakan bahwa

sertifikasi kayu merupakan strategi KWLM. Berikut salah satu kutipannya:

“Sertifikasi, cari pembeli, perubahan kenaikan harga kayu, sempat beberapa kali naik,

lebih baik daripada lokal” (Subyek 3, 2018)

Strategi–strategi perencanaan program kegiatan KWLM tersebut sudah

dibicarakan dan direncanakan oleh para pengurus dan pengelola koperasi.

Perencanaan yang baik adalah yang melibatkan para anggotanya terutama

pengurus dan pengelola koperasi, dua anggota yang hanya merasa anggota biasa

merasakan tidak pernah ada pelibatan anggota untuk menyusun perencanaan

strategi terkait program di KWLM.

Efek yang dirasakan para subyek dengan dijalankannya strategi tersebut

diantaranya dua subyek menyatakan pemahaman tentang nilai kayu dan harga

kayu meningkat, lalu petani akan mendapatkan harga kayu yang bagus

dibandingkan membeli dari pedagang biasa, dan juga petani bisa menanam kayu

dengan baik.

65

Berdasarkan temuan di atas bisa dikatakan bahwa KWLM mempunyai

strategi yang komprehensif. Hal ini sesuai dengan Bruce (2001) bahwa

pengembangan ekonomi masyarakat harus multi fungsi, memiliki strategi yang

komprehensif atau selalu ada pengembangan sistem.

Strategi KWLM tersebut bisa dilihat dari visi, misi, dan tujuan dari

terbentuknya KWLM yang berkelanjutan dan lestari. Kemudian, untuk jangka

panjang, KWLM telah memikirkan perlunya sertifikasi kayu bagi petani hutan.

KWLM memenuhi kewajibannya dengan memenuhi standar sertifikasi kayu yang

diwajibkan pemerintah yakni SVLK dan sertifikasi standar internasional yakni,

FSC. Dengan menggandeng pemerintah yakni dinas Koperasi, Ornop seperti

Telapak dan Pihak swasta, yakni PT.SOBI, akan mempermudah KWLM

menjalankan kegiatannya sesuai visi dan misinya. Strategi, pemberian bibit gratis

untuk penebangan satu pohon bagi para petani hutan dan pemberian beberapa

pelatihan untuk para anggota sangat memberikan manfaat untuk anggota KWLM.

Hal tesebut juga didukung oleh Nielsen (2006) yang meneliti tentang

program kesehatan dan keamanan berbasis masyarakat. Sallis & Owen (1997)

Coggan dkk. (2000) dalam Nilsen (2006) menyatakan bahwa CED membutuhkan

strategi yang bertujuan untuk memaksimalkan dampak dari program melalui

masyarakat dengan mengambil keuntungan dari sinergi mereka. Nielsen (2006)

juga menambahkan bahwa program tersebut perlu ada intervensi yang beragam.

66

2. Kebutuhan Memperkuat KepemilikanKomunitas

Suatu organisasi atau komunitas akan menjadi kuat bila anggotanya

memiliki rasa memiliki yang dalam. Terutama akan terlihat, jika ada

permasalahan-permasalahan atau isu-isu terutama negatif yang bisa memicu

perpecahan atau ketidakharmonisan organisasi atau komunitas. Salah satu cara

agar anggota merasa memiliki adalah dengan keikutsertaannya dalam

pengambilan suatu keputusan dari segala masalah.

Dua subyek menyatakan tidak pernah mendengar isu negatif di KWLM,

semua berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan mereka bukanlah pengurus

koperasi sehingga tidak tahu banyak mengenai apa yang terjadi di koperasi.

Sedangkan yang lainnya menyatakan ada beberapa isu, namun semua bisa

diselesaikan di koperasi yakni pada rapat-rapat pengurus. Berikut contoh

kutipannya:

“Isu ya nanti dirapatkan tapi cuma ditingkat koperasi saja anggota tidak ikut, karena itu

bukan kasus yang berat gitu loh, itu cuma pengurus saja.” (Subyek 1, 2018)

Isu-isu yang pernah ada di KWLM hanyalah isu atau masalah yang masih

dalam kategori ringan dan bisa diselesaikan secara musyawarah. Isu-isu yang

pernah ada tersebut diantaranya, pertama, masalah pembebanan biaya pungli

pengambilan kayu yang ditebang. Jika membeli dengan pedagang, biaya pungli

seperti membuka portal agar bisa jalan adalah tanggung jawab pedagang. Jika

menjual dengan koperasi, awalnya anggota tidak tahu. Namun akhirnya anggota

koperasi paham juga dengan isu tersebut. Jika kayu dibeli secara publikasi berarti

67

yang membayar adalah koperasi, kalau dibeli secara putus di kebun berarti

anggota sendiri yang membayar (Wawancara pribadi,2018).

Yang kedua, adalah masalah pohon yang tumbuh di wilayah lahan

perbatasan milik orang lain. Yang ketiga, isu terkait telatnya pembayaran

penjualan kayu dan hasil tebangan kayu mengenai lahan tetangga. Lalu ada juga

isu telatnya pembayaran hasil penjualan kayu, namun semua diselesaikan dengan

baik dan musyawarah. KWLM akan selalu menyelesaikan semua permasalahan

atau isu yang ada bersama-sama dengan para anggota khususnya para pengurus.

Kepemilikan koperasi akan semakin kuat, jika anggota tahu untuk apa

mereka menanam pohon. Semua subyek mengerti bahwa menanam pohon adalah

investasi untuk mereka di masa depan. KWLM sudah memberikan pemahaman

pentingnya investasi terutama pohon, pada saat melakukan sosialisasi. Berikut

salah satu contoh kutipan tersebut:

“Paling kita ke anggota jelasinnya lebih mudah dengan menanam pohon itu menabung,

jadi kalau menabung ada yang konvensional pake celengan bambu, koperasi menjelaskan

tentang kayu itu, kita akan tau persis dan detil dengan edukasi dari koperasi, petani akan

tahu rinciannya berapa, akan dapat duit berapa, tapi kalo misalnya hanya dijual tanpa

hitungan ya bisa dibohongi, tetapi tidak semua anggota dapat memahami,” (Subyek 3,

2018)

Berdasarkan temuan di atas, anggota KWLM sudah memahami bahwa

menanam pohon itu adalah menabung atau investasi untuk masa yang akan

datang. Jika mereka sudah memahami hal tersebut, tentu akan memberikan

kekuatan dalam bagian dari KWLM. Kekuatan terus semakin bertambah, di kala

koperasi diterpa berbagai isu atau masalah, ketika permasalahan tersebut

diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, serta banyak anggota yang terlibat

di dalamnya, maka para anggota akan merasa salingmemiliki.

68

Hal tersebut dikuatkan oleh Laverack (2007) dalam Laverack and

Mohammadi (2011) bahwa proses kepemilikan perlu isu-isu dimana akan muncul

kepedulian dari anggota komunitasnya. Resolusi dari isu-isu atau masalah tersebut

bisa lewat partisipasi, membangun kapasitas, dan perencanaan dimana akan

mempermudah aksi yang spesifik untuk mendapatkan tujuan mereka. Bruce

(2001) menambahkan dengan adanya penguatan kepemilikan masyarakat akan

menciptakan masyarakat yang adil dan bisa mengembangkan investasi dan

properti masyarakat golongan pendapatan rendah, dalam hal ini para petani hutan

di sekitar Gunung Menoreh, Daerah IstimewaYogyakarta.

3. Kebutuhan Akses Kredit Yang Aman Untuk BisnisLokal

Koperasi Wana Lestari Menoreh masuk ke dalam jenis kopersi Serba

Usaha (KSU) dimana usaha fokus ke penjualan kayu dari hutan masyarakat.

Karena KWLM bukan koperasi simpan pinjam, maka tidak ada kegiatan simpan

pinjam keuangan bagi anggotanya.

Namun KWLM memahami, para petani hutan memiliki permasalahan

kehidupan terutama terkait keuangan yang beragam. Maka untuk menjebatani hal

tersebut, KWLM menggandeng Koperasi Cukata (Cukat, tanpa Batas) untuk

membantu anggota KWLM menyelesaikan permasalahan keuangan. Koperasi

Cukata merupakan koperasi simpan pinjam.

Kedua koperasi ini bersinergi untuk membangun masyarakat khususnya

wilayah Samigaluh, Kalibawang dan Girimulyo. Dalam usahanya, koperasi ini

lebih mengedepankan nilai sosial yang dibangun dengan mengangkat kearifan

69

lokal yang selama ini sangat dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini sangat efektif

dalam kegiatan pengelolaan hutan secara lestari, dan secara umum dapat

mempertahankan budaya lokal dalam upaya melestarikan hutan.

(http://www.plutjogja.com/koperasi-wana-lestari-menoreh-dan-koperasi-cukata/

akses 1 April 2018).

Berdasarkan wawancara, dari lima subyek, empat subyek mengetahui

bahwa KWLM membantu akses simpan pinjam atau kredit kepada lembaga

koperasi lain yaitu Cukata. Berikut salah satu kutipannya:

“Saya kira belum pernah, belum pernah bantuan finansial nya, atau kalau dalam bentuk

yang ada hubungannya dngan finansial mungkin pinjaman dari kayu yang saya punya

memberikan jaminan untuk pinjaman. Kayu sebagai jaminan pinjaman untuk meminjam

di lembaga lain simpan pinjam. Itu saya pernah, Cukata itu loh.” (Subyek 1, 2018)

Namun ada satu subyek yang tidak mengetahui adanya koperasi simpan

pinjam Cukata. Hal ini dikarenakan beliau belum pernah menggunakan akses

kredit tersebut. Berikut pernyataannya:

“Belum pernah denger Cukata, jadi belum tau maksudnya.” (Subyek 5, 2018)

Bantuan yang dilakukan KWLM terkait akses kredit adalah, KWLM akan

menjamin kayu yang akan diagunkan untuk pinjaman uang anggotanya. Jika

sudah ada penjaminan, maka Cukata baru akan mengeluarkan bantuan pinjaman

uang tersebut. Kayu yang dijaminkan adalah kayu yang sudah layak tebang

berukuran diameter 25-30Cm.

Dua subyek sudah menggunakan akses tersebut dan merasakan

manfaatnya. Salah satu manfaatnya adalah anggota dipermudah meminjam uang

70

dengan jaminan kayu, di lembaga simpan pinjam lain belum ada yang mau

menerima kayu sebagai jaminannya. Berikut kutipannya:

“Belum pernah pak, itu dikoperasi lain di Kulon Progo belum pernah, itu hanya ada di

koperasi KWLM yg memberikan jaminan pohon miliknya itu.” (Subyek 1, 2018)

Sedangkan tiga subyek belum pernah menggunakan akses bantuan

keuangan tersebut, sehingga belum merasakan manfaatnya. Namun mereka

mengetahuinya.

Dapat disimpulkan KWLM sudah memenuhi kebutuhan akses kredit untuk

para anggotanya. Walau KWLM merupakan koperasi serba usaha, tetapi

berinisiatif untuk bekerjasama dengan koperasi credit union karena KWLM

memahami permasalahan keuangan para petani hutan beragam. Tidak ada

koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan lain yang mau memberikan kredit

dengan kayu sebagai jaminannya. Tetapi CU Cukata percaya dan mau

bekerjasama dengan KWLM. Hal ini bisa jadi karena adanya kepercayaan yang

tinggi dari Cukata kepadaKWLM.

Hal ini sejalan dengan Bruce (2001) yang menyatakan masyarakat harus

mendapatkan akses kredit yang aman untuk bisnis, untuk pengembangan usaha

dan rumah yang terjangkau. Sedangkan Mashigo (2007); Zeller (1994); Islam dan

Maitra (2012); Vicarelli (2010); Morduch (1995); Gertler, Levine dan Moretti

(2009), dalam Biyase dan Fisher (2017) menyepakati bahwa akses ke kredit dapat

memainkan peran penting dalam kehidupan berpenghasilan rendah atau rumah

tangga miskin karena memungkinkan mereka untuk mengatasi lebih baik dengan

berbagai jenis guncangan (seperti sakit, kekurangan gizi, kelaparan, kejahatan,

71

pengangguran, krisis keuangan dan alam bencana), sehingga memperbaiki

masalahsosio-ekonomi.

4. Kebutuhan Membangun Sumber DayaManusia

Sumber Daya Manusia (SDM) bagi suatu organisasi atau komunitas sangat

penting keberadaannya. SDM merupakan aset berharga bagi suatu organisasi,

begitu juga SDM bagi Koperasi Wana Lestari Menoreh. Anggota koperasi yang

terdiri dari pengurus, pengelola dan anggota biasa ini adalah petani hutan. Jadi

KWLM perlu membangun kemampuan, keahlian dan pengetahuan mereka terkait

dengan bidang mereka yakni kehutanan.

Apalagi sesuai dengan visi KWLM adalah ingin mewujudkan lingkungan

alam yang lestari dan berkelanjutan dan misinya memberikan lapangan pekerjaan,

memberdayakan masyarakat serta meningkatkan pendapatan masyarakat dengan

memperhatikan ekologi, sosial dan ekonomi maka sudah pasti kegiatan atau

program yang dibuat KWLM adalah untuk memenuhi hal tersebut.

Kegiatan pelatihan yang telah diselenggarakan diantaranya adalah: 1)

Pelatihan inventarisasi hutan rakyat, 2) Pembuatan dokumen Standar Operasional

Prosedur, Rencana Kerja dan Rencana Pengelolaan Hutan Rakyat, 3) Pelatihan

Inventarisasi potensi pohon milik anggota, 4) Pelatihan Manajemen Koperasi dan

Keuangan, 5) Pembuatan dan Penjualan Pupuk Kompos, 6) Pelatihan pembibitan,

7) Pembuatan pembibitan, 8) Pemanenan, 9) Pengecetan Furnitur, 10)Pelatihan

K3, 11) Pelatihan penggunaan HP android (Wawancara Pribadi,2018).

72

Semua subyek mengetahui ada pelatihan yang diberikan kepada para

anggota koperasi. Satu subyek menyatakan bahwa pelatihan sudah

diselenggarakan KWLM secara rutin tiap tahun, namun satu subyek menyatakan

sebaliknya bahwa pelatihan yang diselenggarakan KWLM belum rutin dalam

setahun. Rata-rata subyek menyatakan pelatihan masih dirasakan kurang bagi

mereka. Berikut salah satu kutipannya:

“Hmmm,, sebetulnya enggak cukup pelatihan yang diberikan. Tapi kami gini sebetulnya

pelatihan itu kan bukan mesti dikumpulkan di koperasi lalu di beri pelatihan. Kadang-

kadang kami kan pas penebangan itu kami anggota di ikutkan. Gini loh cara penebangan

yang baik yang bagus, misalkan anggota kan jadi.. lalu kami ajak ke tempat penebangan

ini loh kalau mau nebang harus pakai alat pelindung diri ada talinya, jadi ribet pak harus

pakai topi harus ini tapi anggota jadi paham karena itu dilakukan kalau ketemu dan

kegiatan jadi anggota gak harus di kantor.” (Subyek 1, 2018)

Dari pernyataan di atas juga bisa terlihat bahwa subyek menginginkan ada

perubahan terkait metode penyampaian materi pelatihan. Misalnya saja beberapa

pelatihan yang diselenggarakan KWLM diadakan di ruang kantor KWLM,

contohnya saja pelatihan K3 terkait Alat Pelindung Diri (APD). Satu subyek

mengharapkan bukan hanya teori di kantor namun bisa juga pelatihan diadakan di

lokasi lapangan dan dipraktikkan. Sehingga anggota pelatihan tidak merasakan

bosan, apalagi mayoritas anggota KWLM sudah tidak muda lagi. Subyek lain

menginginkan setelah pelatihan, misalnya saja penanaman bibit pohon ada

pendampingan, minimal pengawasan dari hasil pelatihan. Karena kenyataannya

dari penanaman bibit pohon yang ditanam, banyak yang tidak hidup alias gagal.

Beberapa pelatihan yang diberikan KWLM juga dirasakan kurang

manfaatnya, misalnya saja anggota diberikan pelatihan pengecatan furnitur.

Memang bagus tujuan KWLM agar mendorong petani hutan juga bisa

73

berwirausaha bukan hanya menjual kayu saja tapi juga memproduksi suatu

produk dari kayu. Namun ternyata, kurang berguna bagi anggota karena mayoritas

mereka hanya menanam pohon dan menabungnya untuk investasisaja.

Namun secara keseluruhan bisa dikatakan pelatihan-pelatihan yang

diberikan KWLM bermanfaat. Karena anggota merasakan dampaknya seperti

meningkatnya pemahaman anggota terkait standar operasional dan prosedur

terkait pengelolaan hutan lestari dan bertanggung jawab. Hampir semua subyek

juga menyatakan hal yang sama bahwa warga masyarakat yang ikut menjadi

anggota KWLM memiliki peranan penting untuk pengembangan KWLM. Tanpa

warga yang bergabung di koperasi tentu koperasi KWLM tidak bisa berdiri dan

berkembang. Berikutkutipannya:

“Penting, karena gini kalau anggota tidak mengembangkan KWLM misalkan dalam

mengelola hutan itu tidak di tekuni sebaik-baiknya nanti koperasi mau nebang apa?

Gituloh, kalau koperasi tidak nebang punya anggota berarti koperasi kan tidak punya

keuntungan juga, tidak punya data kegiatan-kegiatan juga keuntungan. Makanya anggota

itu penting harus bisa mengelola lahan sendiri dngan sebaik-baiknya, lalu

mengembangkan apa yaa pengelolaan lahannya itu menjadi supaya berkesinambungan

supaya dari tahun ke tahun itu tetap ada hasil.” (Subyek 1, 2018)

Selain mengadakan pelatihan-pelatihan, untuk mengembangkan SDM di

koperasi itu sendiri juga diperlukan kepemimpinan yang baik. Empat subyek

menyatakan hal yang sama kepemimpinan di KWLM sudah baik misalnya saja,

memiliki gaya kepemimpinan yang demokrasi, tidak ada unsur paksaan,

komunikasi terbuka dan lancar, serta tidak ada korupsi, kolusi dan nepotisme

(KKN). Hanya satu subyek yang meyatakan tidak paham dengan kepemimpinan

yang ada saat itu. Berikut kutipannya:

74

“Kurang jelas.. gak tau ya dengan yang baru. Dulu kan pernah ada pembentukan

pengurus baru. Gak ada masalah ya bagus bagus aja yaa.. bisa menjalankan tugas

tugasnya.” (Subyek 5,2018)

Pengembangan ekonomi dan sosial membutuhkan organisasi. Tetapi

organisasi itu juga menuntut kehadiran adanya ketrampilan khusus untuk

memajukan organisasi, dikenal dengan kepemimpinan. Ketrampilan ini mencakup

wujud seperti mengusulkan visi dan tujuan kepada orang yang mengikuti,

menempatkan nilai-nilai etis dan ikut membangun agar organisasi bisa terus abadi

(Anglin, 2011).

Pemimpin di koperasi dalam hal ini adalah ketua koperasi tidak terlalu

berperan dalam hal operasional, karena untuk pelaksanaan operasional koperasi

banyak dilakukan oleh pengurus dan pengelola koperasi. Jadi ketua koperasi

berperan sebagai pengambil keputusan dan pengawasan pelaksanaan semua

kegiatan koperasi. Saat penelitian ini masa kepemimpinan ketua Koperasi KWLM

yakni bapak R. Damarsono berakhir di bulan Maret 2018.

Berdasarkan hal tersebut di atas, sebaiknya penyusunan program

pelatihan-pelatihan yang akan diadakan oleh KWLM dipetakan atau dibuat

prioritas. Pelatihan apa saja yang dibutuhkan oleh para petani. Bahkan bisa

didiskusikan ke semua anggota. Jadi pelibatan anggota dalam penyusunan

program kegiatan KWLM sangat diperlukan. Tiga subyek menyatakan ada

pelibatan anggota dalam penyusunan, biasanya dalam rapat anggota tahunan

(RAT). Sedangkan dua subyek tidak merasa adanya pelibatan dalam penyusunan

programdiKWLM.Halinidimungkinkankarenakurangnyainformasidan

75

mereka bukan pengurus atau pengelola koperasi yang lebih aktif dalam seluruh

kegiatan koperasi.

Bruce (2001) menyatakan membangun sumber daya manusia bisa

melalui pengembangan kepemimpinan, keaksaraan dan dukungan pra-pekerjaan,

pekerjaan pelatihan keterampilan dan layanan pengembangan karir, dukungan

pengembangan kewirausahaan, dll. Sedangkan Bharti (2014) menyatakan perlu

mempengaruhi kinerja organisasi (masyarakat) melalui intervensi sumber daya

manusia. Sumber daya manusia dan kepemimpinan yang kuat pada tingkat yang

lebih tinggi dianggap sebagai salah satu faktor internal terpenting yang

mempengaruhi kinerja organisasi (masyarakat). Kepemimpinan yang kuat di

tingkat yang lebih tinggi memberikan stabilitas kepada organisasi (masyarakat)

dan membantu dalam mengembangkan intervensi yang berkelanjutan yang

membantu organisasi (komunitas) menjadi menguntungkan. Pekerja juga

memainkan peran penting dalam desain dan implementasi intervensi di semua

organisasi ini sendiri.

5. Kebutuhan Membangun KapasitasLokal

Suatu organisasi, manusia, atau pemerintah perlu menunjukkan

keberhasilan, keberlanjutan dari suatu proses yang mereka hasilkan. Untuk

menunjukkan keberhasilan itu maka diperlukan mengembangkan kapasitas lokal.

Membangun kapasitas lokal memerlukan pelaku/pemeran yang saling

berhubungan untuk mencapai kesuksesan tersebut, bisa saja dari pemerintah,

akademisi dari universitas, dari pihak swasta atau bahkan masyarakat/ komunitas

itu sendiri.

76

Empat subyek menyatakan hal yang sama bahwa mereka memiliki

kemampuan yang berkembang setelah bergabung dengan KWLM. Dalam hal ini

adalah kemampuan dalam bidang kehutanan, seperti: mengukur volume kayu,

menaksir harga kayu, dan dapat bertukar pengalaman serta informasi terkait

kehutanan dengan sesama anggota. Berikut salah satu contoh kutipannya:

“Bisa. Kemampuan misalkan Ilmu bertambah tentang ngukur kayu, volume kayu.”

(Subyek 2, 2018)

Adapun satu subyek menyatakan belum tahu perkembangan kemampuan

yang dia miliki. Berikut kutipannya:

“ Gak punya kemampuan hehehe”. (Subyek 5, 2018)

Rata-rata subyek paham dan percaya bahwa kemampuan yang telah

mereka miliki dapat meningkatkan kinerja KWLM. Namun dua subyek

menyatakan hal yang sama bahwa para petani hutan tetap memerlukan

pendampingan setelah diberikan pelatihan. Misalnya saja ketika ada pelatihan

penanaman bibit. Karena tidak ada nya pendampingan, banyak bibit yang tidak

berhasil. Tetapi hal ini dibantah oleh satu subyek yang menyatakan tidak perlu

ada pendampingan dari KWLM karena sudah ada pendampingan dari pemerintah

dalam hal ini dinas kehutanan, pertanian dan dinaskoperasi.

“Tidak , tidak ada tenaga seperti itu, itu sudah banyak dilakukan pihak lain, seperti dinas

pertanian, kita lebih ke kayu, kalau bagus, berarti mahal. Setelah saya gabung menurut

saya tidak perlu ada pendampingan.” (Subyek 3, 2018)

Selama KWLM beroperasi, belum pernah menghadapi masalah besar

hingga ke ranah hukum. Semua permasalahan masih bisa diselesaikan dengan

musyawarah.

77

Untuk membantu keberhasilan anggota KWLM, koperasi KWLM juga

memikirkan pengembangannya. Salah satunya adalah menggandeng para

pemangku kepentingan dari pihak luar KWLM untuk bersama-sama membangun

KWLM lebih baik lagi. Misalnya saja KWLM sudah bekerjasama dengan

pemerintah; Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan Departemen

Koperasi dan UMKM, lalu ada juga pihak swasta yakni PT. Sosial Bisnis

Indonesia (SOBI), cartens untuk sistem Informasi dan Teknologi (IT), NGO

seperti Telapak, dan lembaga-lembaga pendidikan seperti Institut Pertanian Bogor

(IPB) dan Universitas Gajah Mada (UGM) juga Sekolah vokasi sekitar Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Tiga subyek mengetahui bahwa KWLM sudah bekerjasama dengan pihak

lain namun dua subyek lainnya tidak mengetahui tentang kerjasama tersebut. Hal

ini terjadi karena tiga subyek yang mengetahui kerjasama merupakan anggota

aktif sedangkan dua subyek lainnya tidak. Menurut McPhee dan Bare (2001)

dalam Owen (2004) kapasitas terkait dengan kemampuan seseorang. Kemampuan

ini adalah kemampuan untuk mencapai apa yang individu butuhkan atau institusi

inginkan untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian kapasitas mengacu kepada

kemampuan organisasi untuk menerjemahkan misi mereka untuk mencapai

sasaran yang tepat.

Berdasarkan Anglin (2011) bisa dikatakan kebutuhan membangun

kapasitas masyarakat atau anggota merupakan fokus dari kegiatan pengembangan

ekonomi masyarakat. Lembaga tersebut harus mampu (1) merencanakan dan

memutuskan skala proyek/ kegiatan, (2) melaksanakan dan mengelola program

78

pengembangan Sumber Daya Manusianya secara efektif. Hal ini juga sudah

dilakukan oleh KWLM untuk terus melakukan pengembangan dalam membangun

kapasitas anggotanya.

Pada saat sosialisasi, KWLM sudah menyampaikan visi, misi dan tujuan

serta pemahaman mengenai penanaman kayu lestari. Setelah sosialisasi, Anggota

juga mendapatkan pelatihan. Sehingga dirasakan oleh para anggota kemampuan

anggota bertambah terutama terkait kehutanan. Ada kerjasama dengan beberapa

pemangku kepentingan, seperti pemerintah, universitas, sekolah vokasi atau pihak

swasta, yakni PT.SOBI. Namun, sosialisasi dan pelatihan serta kerjasama dengan

pihak luar dirasakan masih kurang. Terutama perlu adanya pendampingan

minimal mengawasi apakah praktik dari pelatihan yang diberikan berhasil atau

tidak. Bruce (2001) sendiri menyatakan bahwa membangun kapasitas lokal bisa

dilakukan dengan perencanaan, penelitian, advokasi, kerjasama strategis, dan

pengembangan kemitraan. Semua itu sudah dilakukan olehKWLM.

6. Kebutuhan Mengintegrasikan Tujuan Sosial danEkonomi

Sesuai misinya, KWLM sudah mengintegrasikan kegiatannya sesuai

fungsinya yakni fungsi produksi, sosial dan ekologi. Fungsi ekologi sangat

penting dimana KWLM adalah koperasi hutan dan anggota adalah para petani

hutan maka KWLM harus mengintegrasikan seluruh programnya dengan

memenuhi kebutuhanekologi.

Fungsi Produksi meliputi kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya

alam,hasilhutanrakyat,danusahaproduktif.Makafungsiinisesuaidengan

79

tujuan secara ekonomi dimana diharapkan anggota dapat menikmati hasil hutan

lebih baik.

Fungsi sosial meliputi kegiatan-kegiatan melestarikan kepastian hak

kepemilikan tanah, menjamin kesempatan, hak dan kewajiban perkembangan

ekonomi masyarakat, dan kesetaraan gender di masyarakat. Selanjutnya fungsi

Ekologi meliputi kegiatan-kegiatan pengelolaan ekosistem, memelihara dan

melindungi hewan langka, situs yang dilindungi masyarakat, danmenjaga

kelestarian mata air.

Semua subyek mengetahui bahwa KWLM memiliki program yang

mengintegrasikan dengan tujuan sosial dan ekonomi bahkan ekologi. Tujuan

sosial menurut para subyek adalah para anggota bisa mendapatkan banyak teman,

bisa belajar berorganisasi, gotong royong, mendapatkan informasi yang

diperlukan bahkan bisa menambah jaringan pertemanan dan lapangan pekerjaan.

Berikut salah satu contohkutipannya:

”Kita melibatkan banyak orang untuk menyediakan lapangan kerja. Dengan ikut koperasi

kan kita merekrut orang, kita punya tim tebang, gotong royong.” (Subyek 3, 2018)

Secara Ekonomi, subyek menyatakan KWLM memiliki tujuan ekonomi

seperti: nilai harga jual kayu tinggi karena bersertifikasi internasional, sehingga

menaikkan pendapatan petani hutan. Berikut contoh salah satu kutipannya:

“Secara ekonomi, itu tadi, saya sebagai anggota jadi tau bahwa nilai kayu itu mahal

gituloh. Kalau dengan pedagang kan tidak peduli sertifikat atau ndak pokoknya saya beli

saya uangnya segini mau ndak? Gitu. Kalau dengan koperasi kan gini loh ternyata kan

kalau kayu kamu itu sekarang mahal karena bersertifikat FSC harga jual nya tinggi.

Ranting nya aja di beli kok kalau pas ada orderan nya, tapi ranting jati sampai ranting

yang sebesar diameter 3cm.” (Subyek 1, 2018)

80

Sedangkan secara ekologi, masyarakat petani hutan kayu sudah tahu

bahwa sesuai misi KWLM harus menjalankan fungsi ekologi, yaitu tidak merusak

lingkungan alam sekitar dan menjaga mata air agar airnya terus ada dan mengalir,

serta memelihara hewan yang ada di sekitar lokasi ladang pohon mereka. Tentu

keberhasilan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut memerlukan keterlibatan

anggota-anggotanya secara langsung untuk menjalankan fungsi-fungsi yang ada

sesuai misiKWLM.

Setelah bergabung dengan KWLM para narasumber menyatakan memiliki

keuntungan ekonomi seperti: Bisa mendapatkan kemudahan simpan pinjam

dimana ada jaminan harga kayu, mendapatkan harga yang jual yang tinggi karena

bersertifikasi dan tidak pusing mencari pembeli karena KWLM bersama PT.SOBI

akan mencarikan pasar untuk membeli kayu-kayu mereka. Satu subyek belum

merasakan keuntungan sejak bergabung dengan KWLM dikarenakan belum

pernah menjual kayu-kayunya. Berikut kutipannya:

“Belum, belum pernah merasakan keuntungan karena belum jual kayu nya..” (Subyek 5,

2018)

Bisa disimpulkan KWLM sudah mengintegrasikan tujuan sosial, ekonomi

bahkan lingkungan untuk pengembangan ekonomi anggotanya. Secara sosial,

anggota bisa mendapatkan manfaat seperti menambah jaringan pertemanan.

Secara ekonomi, walau harga jual kayu dari KWLM berbeda dengan pedagang

biasa, sehingga petani anggota KWLM bisa menikmati harga jual kayu yang lebih

tinggi. Namun, secara ekonomi belum memenuhi seluruh kebutuhanmereka.

81

Secara lingkungan, anggota sudah menjaga lingkungan sekitar sesuai standar FSC

dan SVLK.

Bruce (2001) menyatakan pengembangan ekonomi masyarakat perlu

mengintegrasikan secara spesifik dan menyatukan tujuan-tujuan ekonomi dan

sosial agar dapat memberikan dampak yang kuat kepada perubahan dan

penggiatan masyarakat. Pengembangan ekonomi masyarakat memberikan

kesempatan untuk mengintegrasikan pembangunan manusia, sosial dan ekonomi

untuk mengatasi kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial dan partisipasi ekonomi.

Partisipasi tersebut dapat menciptakan pemberdayaan ekonomi. (Clark, 2006:21

dalam Lombard,2006).

7. Kebutuhan MemberdayakanKomunitas

Kelima subyek menyatakan hal yang sama bahwa mereka mengetahui

KWLM memiliki program atau kegiatan koperasi yang berbeda dari koperasi lain.

Diantara kelebihan KWLM adalah: 1) KWLM berbeda karena menjual kayu yang

memiliki nilai harga jual lebih tinggi dibanding pedagang biasa; 2) KWLM

menyediakan sertifikasi kayu baik itu SVLK, sertifikat wajib dari pemerintah

maupun sertifikasi standar internasional yaitu FSC; 3) Anggota Koperasi Wana

Lestari Menoreh adalah para petani hutan; 4) KWLM bekerja sama dengan PT.

SOBI memasarkan kayu anggota koperasi; 5) selain mendapatkan SHU seperti

koperasi lain KWLM juga membantu mempermudah akses simpan pinjam untuk

anggotanya; 6) sering ada pertemuan rutin (Wawancara pribadi, 2018).

82

Berikut salah satu contoh pernyataan bahwa KWLM memiliki sistem atau

program yang berbeda dengan koperasi lain:

“Berbeda, kalo koperasi lain itu cuma pertemuan rutin tiap bulannya ada. Kalo KWLM

itu di wahana lestari, disini juga ada pertemuan koperasi rutin yang anggota wakturabu

legi. Anggota dari kelompok tani”. (Subyek 5, 2018)

“Kayu nya, koperasi lain ya Cuma uang, kalo dari wahana lestari ya ada kayunya ituu..”

(Subyek 5, 2018)

Untuk memberdayakan masyarakat sekitar terutama anggota koperasi,

tentu memerlukan peranan orang-orang yang ahli di bidangnya. Berdasarkan

jawaban responden, tiga subyek menyatakan bahwa KWLM belum banyak

memiliki pengurus yang ahli dibidangnya. KWLM mengalami kesulitan untuk

perekrutan anggota baru. Pemilihan pengurus sendiri tidak ada paksaan, jadi yang

mau saja sudah bisa menjadi pengurus. Sedangkan ada dua subyek lainnya

menyatakan bahwa KWLM sudah ditangani dengan pengurus-pengurus yang ahli.

KWLM perlu menginventarisasi pohon-pohon anggota koperasi lebih

banyak lagi untuk mengantisipasi karena banyaknya permintaan kayu di pasar

lokal maupun internasional dan terus menambah anggota-anggota baru. Terlebih

sulitnya menemukan pemuda-pemudi yang mau aktif menjadi pengurus koperasi,

maka KWLM perlu membuat suatu program untuk meningkatkan kesadaran agar

masyarakat mau berpartisipasi di KWLM. Bukan hanya sekadar sosialisasi.

Saat ini KWLM sudah berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat

sekitar gunung Menoreh, Kulon Progo, DI Yogyakarta. Misalnya saja lewat

sosialisasi program KWLM ke dusun-dusun dengan berbarengan acara

masyarakat misalnya saja saat arisan, lalu dari mulut ke mulut (Word of Mouth),

pernah juga lewat website dan tweeter. Sangat disayangkan website KWLMsudah

83

tidak aktif lagi. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan SDM yang mau

mengelola website dan tweeter tersebut dan masyarakat sendiri masih belum

banyak yang terbiasa membuka website serta menggunakan tweeter bahkan

Facebook. Berikut salah satu pernyataan:

“Ada, tapi kan kita sudah membuka web hutan menoreh gitu tapi tidak update, gimana

nggih calon anggotanya itu bukan orang-orang yg senang buka web gitu-gitu-an kan anak

muda tuh web nya lain yg di buka toh. tidak berkembang meskipun lewat web sudah,

sosialisasikan lewat desa, dusun sudah.” (Subyek 1, 2018)

“Seperti Facebook, dulu pernah awal berdiri ada admin yang nungguin, tapi jarang,

sekarang tidak ada yang ngurus, malas. Kadang kita informasikan ke mitra-mitra

koperasi, atau buyer dengan menggunakan WA. “ (Subyek 3,2018)

Namun tidak bisa dipungkiri perkembangan teknologi seperti handphone

android yang menyediakan berbagai aplikasi untuk mempermudah berkomunikasi

berdampak juga di KWLM. Sekarang, KWLM lebih mudah untuk berkoordinasi

dan berkomunikasi dengan anggota-anggotanya via aplikasi Whatsapp. Mungkin

ke depannya jika anggota sudah sangat banyak dan mayoritas sudah memiliki HP

android, bisa juga dibuat suatu aplikasi khusus untuk anggota KWLM dimana

semua anggota bisa saling berkomunikasi, berdiskusi dan mendapatkan informasi

detail terkait isu-isu yang ada di KWLM. Sebisa mungkin KWLM

memperkenalkan programnya ke berbagai media, bisa lewat cetak seperti surat

kabar lokal maupun radio lokal, agar semakin banyak menarik masyarakat untuk

bergabung dengan KWLM.

Sosialisasi umumnya dilakukan satu kali oleh KWLM, hal tersebut dirasa

masih kurang. Contohnya adalah sosialisasi yang dilakukan di daerah

Kalibawang. Di sana sangat berpotensi sekali, dimana banyak terdapat petani

hutan rakyat. Namun sayang, pasca sosialisasi, tidak ada kelanjutan dari

masyarakat yang ingin bergabung dengan KWLM. Sedangkanmenjadi anggota

84

KWLM tidak pernah ada paksaan, memang harus dari kemauan masyarakat itu

sendiri. Maka sebaiknya perlu bekerja sama lagi dengan ornop seperti Telapak

untuk melakukan pendekatan sosial pasca sosialisasi, untuk mengetahui masalah

sebenarnya.

Menurut Bruce (2001) CED perlu memberdayakan komunitas lebih luas

lagi, proses tersebut harus dipandu dengan perencanaan dan analisis yang

strategis, sangat berbeda dengan pilihan yang opportunistik dan taktik yang tidak

sistematis, orientasi yang kuat untuk mencapai hasil, baik kualitatif maupun

kuantitatif.

Berdasarkan temuan, belum banyak anggota atau pengurus yang ahli dan

kompeten. KWLM mengalami kesulitan untuk perekrutan anggota baru. Hal ini

bisa disebabkan karena koperasi sifatnya sukarela, jadi tidak pernah memaksa

seseorang untuk menjadi anggota koperasi. Lalu, koperasi masih mengalami

kesulitan untuk mendapatkan anggota lebih banyak lagi dari generasi muda.

Padahal kehadiran mereka sangat dinantikan.

Kegiatan KWLM sekarang sudah banyak menggunakan teknologi internet,

untuk promosi sudah lewat medsos dan lainnya. Namun tidak berjalan dengan

baik, karena kekurangan SDM yang bisa menangani hal tersebut. KWLM bisa

lebih memberdayakan anggota untuk menangani masalah tersebut.

Kurangnya minat masyarakat menjadi anggota bisa juga disebabkan

karena setelah sosialisasi, tidak ada kelanjutannya. Seharusnya KWLM bisa

bekerjasamadenganpihakluar,sepertiLSMuntukbisamenindaklanjuti

85

permasalahan dasar yang menyebabkan mereka tidak berminat menjadi anggota

KWLM. Karena KWLM didirikan dari bottom-up maka memang memerlukan

strategi yang tepat untuk masalah perekrutan anggota koperasi.

Menurut Adamson dan Bromiley (2013), Pemberdayaan masyarakat

membutuhkan pelatihan yang memadai untuk membangun staf dan mendukung

mekanisme untuk peserta komunitas. Peran organisasi sektor publik menghadiri

kemitraan masyarakat perlu didefinisikan secara jelas. Di tingkat organisasi,

insentif, termasuk pendanaan, dan sanksi diperlukan untuk mengubah cara kerja.

8. Kebutuhan Memiliki Manajemen Keuangan YangBaik

Empat subyek menyatakan bahwa mereka tahu ada pencatatan keuangan

seperti pencatatan di buku anggota dan buku setoran, dan ada pengawasan atau

audit juga. Hanya satu subyek yang tidak mengetahui tentang pengelolaan

keuangan di KWLM. Namun semuanya tahu bahwa ada laporan keuangan yang

dilaporkan KWLM saat RAT.

Menjadi anggota di KWLM sebenarnya tidak mahal juga. Mereka

membayar iuran Pokok satu kali Rp. 50.000.- di awal mendaftar menjadi anggota.

Lalu kemudian iuran wajibnya adalah Rp. 60.000.- setiap bulan. Berarti tiap

bulannya, anggota wajib membayar Rp. 5000.-. Semua iuran tersebut ada

pencatatan oleh KWLM. Namun berdasarkan temuan, masih ada masyarakat yang

enggan bergabung dikarenakan banyaknya kebutuhan mereka, jika menambah

menjadi anggota KWLM akan ada pembebanan biaya mereka.

86

Mengenai pengelolaan keuangan, KWLM perlu melaporkan hal tersebut

ke pihak eksternal seperti Dinas Koperasi, namun karena omzet KWLM masih

dibawah 1 Milyar maka belum perlu diaudit keuangan. Tetapi untuk lingkungan,

KWLM sudah diaudit untuk kepentingan persyaratan FSC. Dalam hal ini bekerja

sama denganPT.SOBI.

KWLM merupakan koperasi serba usaha bukan koperasi simpan pinjam.

Jadi KWLM tidak memiliki program simpan pinjam. Hanya saja KWLM bekerja

sama dengan credit union CUKATA, untuk memberikan akses simpan pinjam

bagi anggota KWLM. Pemberian simpan pinjam tersebut harus ada jaminan dari

KWLM. Yang dijaminkan oleh anggota KWLM adalah kayu mereka. Biasanya

untuk 1-5 tahun. Setelah diameter atau volume kayu pohon mereka layak tebang,

maka akan dijual dan hasilnya untuk membayar pinjamanmereka.

KWLM tidak pernah mengalami kredit macet, karena memang tidak

memberikan program simpan pinjam. Namun karena ada masa peralihan sekitar

tahun 2015 hingga Mei 2017 terkait perpindahan kepemilikan sertifikasi individu

menjadi kelompok membuat KWLM tidak mendapatkan keuntungan karena tidak

bisa memasarkan kayunya. Sudah pasti akan mempengaruhi pendapatan, dimana

anggota tidak mendapatkan SHU. Di tahun 2018, sejak KWLM memperoleh

sertifikasi FSC kelompok, penjualan kayu mulai stabil dan mengalami kenaikan.

Berikut contoh kutipannya:

“ Gak ada.. lancar lancar ajaa, kecuali tahun 2016 gak ada untung, ga jualan..” (Subyek 4,

2018)

87

Empat subyek mengetahui bahwa KWLM banyak mengeluarkan anggaran

atau dana untuk membeli kayu, membayar operasional kegiatan, dan pembayaran

gaji karyawan. Berikut salah satu contoh kutipannya:

“Dana KWLM yang paling besar kalau yang sebelum bergabung dengan SOBi itu yg

paling besar untuk membeli kayu sama untuk operasional pengiriman gitu loh.”

(Subyek1, 2018)

Sedangkan satu subyek menyatakan tidak tahu dana paling banyak untuk

apa, berikut kutipannya:

“ Kurang tau anggaran untuk apa ya..” (Subyek 5, 2018)

KWLM sudah memiliki kepedulian terhadap kegiatan yang dilakukan

oleh masyarakat sekitar terutama para anggotanya. KWLM memiliki anggaran

untuk kegiatan terutama kegiatan sosial. Tapi memang bantuan keuangan KWLM

masih dikategorikan sederhana. Misalnya saja, KWLM membantu menyediakan

minuman untuk masyarakat saat sosialisasi di acara mereka, atau KWLM

menyumbang membantu kegiatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Usaha

yang lain adalah membantu pencairan uang penjualan kayu lebih cepat. Hal ini

harus dilakukan, karena anggota ketika butuh uang ingin langsung

mendapatkannya. Jika mereka jual ke pedagang biasa, pedagang biasanya

langsung membayar uang cash. Namun di KWLM memerlukan proses agak lama

bisa satu mingguan. Sekarang KWLM bisa mempercepat waktu pembayaran hasil

kayu ke anggota 1-3 hari masa kerja.

Berdasarkan temuan diatas dapat disimpulkan bahwa KWLM sudah

mengelola keuangan dengan baik. Hal ini bisa dilihat bahwa KWLM telah

mencatat keuangannya. Walau belum ada laporan ke uangan kepada pihak terkait

88

dikarenakan omzet masih dibawah 1 Milyar, namun KWLM telah melaporkan

kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan. KWLM tidak pernah mengalami

kredit macet, karena KWLM bukan koperasi kredit/simpan pinjam. Semua

pencatatan keuangan banyak dikeluarkan untuk operasional dan pembelian kayu,

hal tersebut dilaporkan kepada anggota di saat RAT. KWLM juga melakukan

evaluasi, seperti ada keluhan dari anggota terkait lamanya proses pencairan

pembayaran kayu. Dulu, petani bisa mendapatkan hasil penjualan kayu mereka

lebih dari seminggu. Namun sekarang kurang dari seminggu, uang penjualan kayu

para petani sudah bisa diterima.

Menurut Bruce (2001) ketika menjalankan pengembangan ekonomi

masyarakat perlu memiliki sistem manajemen keuangan yang sehat. Menurut

Bruce (2001) juga CED perlu menggunakan pendekatan manajemen keuangan

bisnis yang membangun kepemilikan aset dan berbagai mitra keuangan dan para

pendukung.

Crowley (1999) juga menyatakan bahwa perlu pelacakan yang teliti dan

pengelolaan sumber daya keuangan dan arus kas yang hati-hati. Dengan

manajemen keuangan yang baik, organisasi dapat memahami biaya dan

pendapatannya; tanpanya, sebuah organisasi akan menimbulkan masalah

operasional dan mengundang pengawasan tambahan dari luar.

Masalah-masalah dalam manajemen keuangan yang tidak sehat dapat

dilihat ketika adanya ketidak nyamanan dengan informasi keuangan yang ada.

Bisa jadi karena kurangnya latihan dan cara menyajikan informasi yang sulit

dimengerti (McChlery, Godfrey dan Meechan,2005).

89

9. Kebutuhan Perencanaan dan AnalisisStrategis

KWLM memiliki tujuan, strategi, visi dan misi yang mudah dipahami. Hal

ini selaras dengan 3 subyek yang menyatakan hal sama. Berikut kutipannya:

“Iya mudah dipahami. Karena sudah dijelaskan pd saat sosialisasi saat masuk juga sudah

ada perjanjian nya gampang dipahami.” (Subyek 1, 2018)

Namun ada satu subyek yang menyatakan strategi, tujuan, visi dan misi

KWLM agak sulit dipahami masyarakat awam terutama generasi tua. Berikut

pernyataannya:

“Kalau bagi masyarakat awam mungkin susah, tapi kalo kita ngomong ikut koperasi,

harganya tinggi, langsung masuk, atau dapat bibit langsung, kita punya metode sendiri

juga, karena yang tua-tua sulit mengerti dan tidak paham android, makanya sekarang kita

ngajaknya yang muda. koperasi beli nya pakai harga jepara itu akan mudah diterima, kita

juga harus jelasin secara runtut, tapi mereka tidak mau bertele-tele, butuh waktu lama,

kuncinya kita kerjasama dengan mitra pedagang, jadi kalau butuh uang cepat, kita

datangkan pedagang langsung ditawar di koperasi.” (Subyek 3, 2018)

Empat subyek menyatakan hal yang sama bahwa KWLM melakukan

evaluasi di setiap kegiatannya. Satu subyek tidak mengetahui adanya evaluasi.

Umumnya evaluasi kegiatan atau program ada saat rapat-rapat dan saat kordinasi

kegiatan, juga pada perencanaan RAT. Pada saat evaluasi tersebutlah seluruh

masalah diselesaikan dicari solusi dan alternatif penyelesaian masalah. Sampai

saat ini, jika ada masalah selalu terselesaikan. Biasanya akan ada laporan

penyelesaian dan dicatat dalam berita acara.

Seluruh kegiatan atau program KWLM sepatutnya bisa terukur. Menurut

empat subyek, kegiatan KWLM bisa diukur dari: laporan banyaknya jumlah bibit

tanaman yang hidup, bertambahnya jumlah anggota koperasi dan lahan hutan, lalu

90

juga dari target-target seperti target penjaringan anggota baru, jumlah penjualan

dan penebangan kayu, pembibitan dan sosialisasi. Berikut kutipannya:

“Diukur dari target inventarisasi, penjaringan anggota, penjualan, penebangan,

pembibitan, sosialisasi kita punya jadwal punya target”. (Subyek 3, 2018)

Sedangkan satu subyek meyatakan kegiatan KWLM tidak bisa terukur.

Namun semua subyek mengetahui bahwa KWLM memiliki target dalam

pencapaian suatu program atau kegiatan. Tiga subyek menyatakan kegiatan

KWLM belum mencapai target 100%, satu orang menyatakan tidak paham dan

satu orang lainnya menyatakan sudah mencapai target.

Sistem pengawasan KWLM sudah baik. Tiga subyek mengetahui bahwa

di KWLM ada pengawasan. Misalnya ada pengawasan dari PT. SOBI dan FSC

juga Dinas Koperasi. Sedangkan dua subyek lainnya, tahu ada pengawasan tapi

tidak tahu siapa yang melakukannya. Untuk pengurus sendiri akan diawasi oleh

anggota didalam RAT atau rapat-rapat yangada.

Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa KWLM memiliki

tujuan, visi, misi dan strategi yang mudah dipahami oleh anggotanya. Namun

sayang, mayoritas yang menjadi angoota KWLM adalah generasi tua, sehingga

terdapat juga anggota yang tidak memahaminya. Perencanaan program kegiatan di

KWLM sudah ada, biasanya ada dalam perencanaan RAT. Dari perencanaan

tersebut, hasil kegiatan KWLM dapat terukur, lalu ada evaluasi kegiatan hingga

pengawasan antar anggota.

Menurut Bruce (2001) prinsip terakhir yang dibutuhkan CED adalah perlu

adanya proses perencanaan dananalisis strategis. Menurut Walzer dan Hamm

91

(2010), proses tersebut bisa dilakukan dengan pendekatan yakni merancang

strategi jangka panjang bagi masyarakat dan pembangunan ekonomi melibatkan

visi/perencanaan berdasarkan masukan dari masyarakt itu sendiri. Visi dan

perencanaan tersebut, umumnya akan melibatkan pemangku kepentingan dan

akan dievaluasi. Proses tersebut membantu angota merancang perspektif atau visi

jangka panjang dengan sasaran, strategi, dan garis waktu untuk mencapai hasil

yang terukur. Proses yang berhasil biasanya akan mencakup prosedur tindak

lanjut untuk memantau apakah target terpenuhi dan perubahan diperlukan untuk

menjagaprogram.

Ruben dan Hoebink (2015) menyatakan bahwa dimensi kelembagaan dari

penguatan kinerja koperasi merupakan elemen penting dalam strategi sertifikasi.

Kuncinya adalah dengan meningkatkan skala produksi, menjaga standar kualitas

dan menjamin kepercayaan. Berikut kutipan pernyataannya:

“ Institutional dimension of strengthening cooperative performance represents an

important element in the certification strategy. Cooperatives or farmers associations are

consider key for increasing the scale of production, to maintain the quality standards,

and to guarantee the reliability of smallholders as preferred suppliers in the value chain.

In practice, it appears sometimes difficult to disentangle theeffects of cooperation (i.e.

reaching scale) from the effects of certification since both mechanisms are highly

intertwined.” (Ruben & Hoebink,2015).

Pengembangan ekonomi masyarakat semakin dibutuhkan karena adanya

desentralisasi kekuatan pemerintah, globalisasi dan kekuatan pasar maka koperasi

bisa dijadikan sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan dan visi masyarakat.

(Gibson, 2005).

92

5.3.2. Bukan Anggota KWLM, KulonProgo.

Sedangkan berikut adalah analisis jawaban narasumber yang belum

menjadi anggota KWLM sesuai sembilan prinsip kebutuhan untuk pengembangan

ekonomi masyarakat (Bruce, 2001) dalam :

1. Kebutuhan Memiliki Strategi yangKomprehensif

Semua subyek yang dilakukan wawancara adalah calon anggota yang

hingga proses wawancara masih belum bergabung dengan KWLM. Dari 5 subyek

yang diinterview 3 orang telah mengikuti proses sosialisasi yang dilakukan oleh

pihak KWLM sebelumnya. Sosialisasi tersebut dilakukan secara terpisah

mengingat lokasi tempat tinggal subyek terpisah di 4 kecamatan di Kulonprogo.

Jadi hampir semua subyek tersebut memahami visi, misi serta strategi yang

dibangun oleh KWLM untuk pemberdayaan masyarakat melalui manajemen

hutan secara keberlanjutan. Berikutkutipannya:

“Kalau Koperasi wana lestari tahu? Apa Koperasi wana lestari?

Tau pas sosialisasi. Yang kemaren? Setahu saya kalo mau jual kayu bisa” (Subyek 8,

2018)

“Pak S9 tau KWLM (koperasi wana lestari menoreh)? Pernah ikut di sosialisasi ya

pak ya?

...iya pernah

yang di sosialisasikan apa itu pak waktu itu pak? yaa nganu, apa itu cara masuk ke koperasi.” (Subyek 9, 2018)

“Kalau wana lestari apa pak?

Koperasiwanalestari? ....... itu kan yang saya tau koperasi itu dulu berkembang dirumah

bapak itu loh, sekarang gak tau dimana” (Subyek 10, 2018)

2. Kebutuhan Memperkuat KepemilikanKomunitas

Dikarenakan subyek bukanlah anggota KWLM, menjadikan mereka tidak

mengetahui isu atau permasalahan yang dihadapi anggota KWLM. Mereka hanya

93

pernah tahu tentang keterlibatan anggota di dalam setiap pengambilan kebijakan

KWLM. Biasanya informasi tersebut diperoleh melalui tetangga mereka yang

sudah bergabung ke dalam KWLM. Termasuk halnya bahwa kayu mereka

sebenarnya bisa dijadikan investasi. Hal ini pernah disinggung oleh KWLM,

namun hanya 1 subyek yang menyadarinya. Berikut kutipannya:

“Menurut bapak kayu investasi juga?

iyalah kan kayu bisa diputer” (Subyek 10, 2018)

3. Kebutuhan Akses Kredit Yang Aman Untuk BisnisLokal

Hanya satu subyek yang mengetahui bahwa adanya kerjasama antara

KWLM dengan KSP (mis: CUKATA) untuk memenuhi kebutuhan finansial

anggota KWLM. Pemberian akses tunda tebang dari CUKATA memang sangat

membantu anggota KWLM. Namun seperti halnya Koperasi Simpan Pinjam

(KSP) lainnya, CUKATA memberikan akses kepada subyek untuk meminjam

dana. Hanya saja pemberian bantuan dana ini tidak bisa dengan tunda tebang

untuk petani hutan yang bukan anggota KWLM. Berikutpetikannya:

“Bapak pernah denger kalau di wana lestari itu kerjasama dengan KSP simpan

pinjam? Diinformasikangak?

... yaa di informasikan jadi kalau butuh uang, kayunya belum standar jual bisa pinjam.

Nanti perhitungannya kalau kayu nya sudah standar” (Subyek 8, 2018)

4. Kebutuhan Membangun Sumber DayaManusia

Semua subyek tidak mengetahui adanya pelatihan yang diberikan oleh

KWLM kepada anggotanya.

“Bapak pernah tau koperasi wana lestari memberikan pelatihan pak?

Belum”. (Subyek 8, 2018)

94

Namun ada satu subyek yang memahami bahwa koperasi akan

memberikan pelatihan pada anggotanya. Subyek 7 mengetahuinya karena dia

pernah menjadi anggota koperasi simpan pinjam sebelumnya.

“Pernah denger ada pelatihan?

Cuma tahu ada.

Tahunya apa?

Cuma nama tapi tidak tahu koperasi apa, saya orang baru disini” (Subyek 7, 2018)

5. Kebutuhan Membangun KapasitasLokal

Di dalam hal membangun kapasitas KWLM, tidak satupun subyek yang

mengetahui bahwa KWLM telah menjalin kerjasama dengan pihak lain.

Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antara KWLM dengan Telapak,

selaku inisiator. Selain itu kerjasama yang dijalin KWLM dengan dinas kehutanan

untuk pengadaan bibit serta kerjasama dengan dinas koperasi dan UKM.

6. Kebutuhan Mengintegrasikan Tujuan Sosial danEkonomi

Dari sosialisasi KWLM yang pernah subyek ikuti, nampak jelas bahwa

KWLM bertujuan untuk meningkatkan ekonomi para anggotanya. Meskipun

tetangga mereka yang bergabung dengan KWLM sudah terlihat ada perubahan

dari sisi ekonominya, itu tidak serta merta menarik mereka untuk bergabung ke

KWLM. Ada beberapa alasan mereka. Yang paling sering dilontarkan oleh

subyek adalah tanah yang bermasalah (milik saudara, tanah warisan dan tanah

orang lain). Tidak dapat dinafikkan, dari beberapa subyek mereka menjawab

tertarik untuk bergabung ke KWLM asal tanah tersebut terselesaikan kasusnya.

Berikutkutipannya:

“Ketika bapak lihat itu bapak tertarik gak pak untuk bergabung? Ketika bapak ikut

sosialisasi itu yg ada dipikiran bapak gimana, tertarik atau tidak tertarik?

95

Kalau sebetulnya sih tertarik, neng karena ada kewajiban yg harus dipenuhi kalo

koperasi kan belum masuk sampai sekarang...

....Jadi bapak kendalanya kenapa belum bergabung itu hanya karena masih tanah

orangtua ya pak?

Iya...” (Subyek 8, 2018)

7. Kebutuhan MemberdayakanKomunitas

Subyek merasa bahwa apa yang dilakukan oleh KWLM tidak berbeda

dengan koperasi lainnya. Sehingga dirasa kurang menarik bagi mereka. Di lain

sisi, ada subyek yang mengenal sosok di balik KWLM yang dianggap kompeten.

Berikut kutipannya:

“Kalau gak salah dulu pak Damar itu yg mengsosialisasikan.

pak Damarsono, ketua koperasi yg sekarang” (Subyek 10)

8. Kebutuhan Memiliki Manajemen Keuangan YangBaik

Semua subyek tidak mengetahui apakah KWLM bisa meminjamkan

bantuan keuangan. Namun mereka meyakini bahwa KWLM itu adalah Koperasi

yang menjualkan kayu. Kayu mereka dihargai lebih tinggi dibandingkan

tengkulak. Jadi mereka tidak mengetahui tata kelola keuangan KWLM.

9. Kebutuhan Perencanaan dan Analisis YangStrategis

Dikarenakan hampir semua subyek hanya mengenal KWLM sebatas

sosialisasi, jadi mereka tidak mengetahui KWLM secara mendalam. Sehingga

segala kegiatan KWLM yang mendetail, subyek tidak banyak tahu. Terlebih lagi

sistem pengawasan KWLM, para subyek tidak pernah tahu tentang hal tersebut.

4.3.3. Pembahasan dan Kesimpulan

Pengembangan ekonomi masyarakat merupakan suatu alat yang dapat

digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan ekonomi

96

masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah jika dilihat dari kegiatan dan

fungsi lembaga yang menjadi aktornya. Sedangkan dilihat dari prosesnya,

Pengembangan ekonomi masyarakat membantu masyarakat itu sendiri untuk

membangun dan memobilisasi aset yang mereka miliki untuk meningkatkan

masa depanmereka.

Kehadiran /ketidakhadiran dari kekuatan suatu lembaga akan menentukan

kecepatan perkembangan dari suatu institusi atau lembaga tersebut ketika

menjalankan kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat, seperti yang

dinyatakan dalam World Bank‟s 2003 World Development report states (Anglin,

2011) seperti berikut:

They are the rules and organizations, including informal norms, that coordinate human behavior.

They are important for sustainable and equitable development. When they function well, they

enable people to work with each other to plan a future for themselves, their families, and their

larger communities. But when they are weak and unjust, the result is mistrust and uncertainty.

This encourages people to take rather than “make,” and it undermines jointpotential

Bisa dikatakan bahwa aturan-aturan dan pengorganisasian termasuk

aturan-aturan tidak formal yang mengoordinasikan perilaku manusia merupakan

hal yang sangat penting untuk keberlanjutan dan pemerataan pembangunan.

Ketika hal tersebut berfungsi dan berjalan dengan baik, memungkinkan orang

saling bekerja dengan baik untuk mewujudkan rencana masa depan mereka

sendiri, untuk keluarga mereka dan bahkan untuk komunitas yang lebih besar lagi.

Tetapi ketika lembaga/institusi tersebut lemah dan tidak adil, hasilnyaadalah

ketidakpercayaan danketidakjelasan.

Keberadaan Koperasi Wana Lestari Menoreh, Kulon Progo sebagai

institusi atau lembaga untuk mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar

97

Gunung Menoreh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan

istilah Anglin (2011) yakni Community Economic Development Institutions

(CEDIs). Menurut Anglin (2011), CEDIs berusaha untuk mengatasi kegagalan

pasar dan hambatan non-pasar yang terjadi untuk pengembangan ekonomi.

Zeuli dan Radel (2005) menambahkan koperasi dipandang sebagai

kendaraan untuk pengembangan komunitas karena koperasi bisa memobilisasi

sumber daya lokal menjadi lebih berorientasi kepada komunitasnya. Sedangkan

Gibson (2005) menyatakan bahwa koperasi bisa sebagai agen untuk suatu proses

pengembangan komunitas.

Bruce (2001) berpendapat bahwa agar pengembangan ekonomi

masyarakat efektif maka membutuhkan 9 prinsip. Berdasarkan temuan berikut

adalah rangkuman analisa hasil temuan yang dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai

berikut:

98

Tabel 5 .5

Analisis Hasil Temuan

PRINSIP

DEFINISI

ANALISIS HASIL TEMUAN

TEMUAN ANALISIS

1)Visi lestari

berkelanjutan dan

meningkatkan

pendapatanMasyarakat

Belum bekerjasama secara

optimal dengan pihakekternal

AN

GG

OT

A

Kebutuhan

Strategi

Komprehensif

Perlu melihat

progam jangka

untuk panjang,

intervensi yang

beragam dan

memenuhi

Sumber daya yg

diminta

2) Standar sertifikasi

kayu wajib (SVLK) dan

internasional(FSC)

3) Bekerja sama dengan

eksternal, Pemerintah,

NGO danswasta

4) Pemberian bibitpohon

5) Pelatihan

Mayoritas subyek

mengetahui visi dan misi

KWLM

Tidak satupun masyarakat

yang mengetahui visi dan

misi yang tertarik untuk

bergabung

NO

N

AN

GG

OT

A

Kebutuhan

Memperkuat

Kepemilikan

Komunitas

Perlu ada

isu/masalah agar

sesama anggota

memiliki

1) Isu dan masalah

diselesaikan musyawarah

pada rapat rapat

anggota/pengurus

2) Anggota paham

investasikayu

Investasi kayu dibicarakan

saat sosialisasi, anggota

paham. Isu atau masalah yang

ada selalu dibicarakan dengan

musyawarah danmufakat.

AN

GG

OT

A

Subyek tidak mengetahui

adanya konflik internal

maupun eksternal di

KWLM

Tidak ada inisiasi/ketertarikan

dari masyarakat untuk

mengetahui lebih lanjut

tentang KWLM

NO

N

AN

GG

OT

A

99

Kebutuhan

Akses Kredit

Yang Aman

Untuk Bisnis

Lokal

Perlu kredit yang

aman. Akses

kredit dapat

mengatasi

guncangan

masyarakat

berpenghasilan

rendah

1) KWLM adalah KSU

bukanCU

2) KWLM bekerjasama

dengan CU Cukata

untuk sedia kredit

anggota

3) kemudahan akses

kredit dengan kayu

jaminannya

KWLM menjalankan sistem

Tunggu Tebang, sebagai

jaminan untuk pengajuan

kredit

AN

GG

OT

A

Tidak ada yang mengetahui adanya

kerjasama antara KWLM

denganCukata

Masyarakat lebih memahami

KSP dibandingkan Koperasi

Hutan (KWLM)

NO

N

AN

GG

OT

A

1) Pelatihan untuk

anggota danpengurus

2) Metode penyampaian

materimonoton

1) Pelatihan dirasakankurang

2) Metode Penyampaian

materi pelatihan lebih

bervariasi

A

NG

GO

TA

Kebutuhan

Membangun

SDM

Membangun

SDM bisa lewat

pengembangan

kepemimpinan,

pelatihan dan

pengembangan

usaha.

3) Beberapa pelatihan

kurangbermanfaat

4) Kepemimpinan sudah

baik

5) Sudah ada pelibatan

anggota dalam

penyusunanprogram

3) KWLM harus bisa

menentukan program

pelatihan yang tepat

4) Pelibatan anggota dalam

menyusun program

ditingkatkan

Tidak ada satupun

pelatihan oleh KWLM

yang diketahui oleh

subyek

Program pelatihan KWLM

belum terdengar luas di

masyarakat

NO

N

AN

GG

OT

A

Kebutuhan

Membangun

kapasitas Lokal

Kapasitas terkait

kemampuan.

Dapat dibangun

dengan

perencanaa,

penelitian,

advokasi,

kerjasama

strategis dan

pengembangan

kemitraan.

1) Pengetahuan Anggota

berkembang terkait

kehutanan

2) Pendampingan pasca

pelatihan masihkurang

3) Sudah bekerjasama

dengan pihaklain

Sosialisasi dirasakan kurang

dan perlu peningkatan

kerjasama dengan pihak lain

A

NG

GO

TA

Tidak ada subyek yang

mengetahui KWLM

bekerjasama dengan

pihaklain

Informasi kerjasama antara

KWLM dengan pihak lain

tidak pernah dipublikasikan

NO

N

AN

GG

OT

A

100

Kebutuhan

Integrasi tujuan

sosial dan

ekonomi

CED perlu

mengintegrasikan

tujuan ekonomi

dan sosial agar

memberikan

dampak kuat pada

masyarakat

1) Kegiatan KWLM

sesuai fungsi produksi,

sosial danekologi

2) Secara sosial,

menambah jaringan

pertemanan

3) Secara ekonomi,

menaikkan pendapatan

petanihutan

4) Secara Ekologi, tidak

merusaklingkungan

Peningkatan ekonomi

masyarakat belum optimal,

belum memenuhi seluruh

kebutuhan hidup Anggota

KWLM

A

NG

GO

TA

Subyek mengetahui

manfaat bergabung

dengan KWLM hanya

dari sisiekonomi

Masyarakat merasa masih

belum perlu bergabung

denganKWLM

NO

N

AN

GG

OT

A

Kebutuhan

Memberdayaka

n Komunitas

Pemberdayaan

masyarakat perlu

pelatihan

memadai dan juga

peran sektor

publik untuk

bermitra dgn

masy. Pendanaan

dan sanksi

diperlukan

transparan.

1) Belum banyakanggota

/pengurus yang

kompeten

2) Kesulitan perekrutan

anggotabaru

3) Sudah menggunakan

medsos, mulut ke mulut,

website untuk promosi

KWLM

4) Sosialisasi satu kali

5) kesulitan teknologi

baru (Internet,android)

6) Kesulitan SDM paham

teknologi

1) Memberikan pelatihan agar

kompeten

2) Mencari strategi perekrutan

anggota yangtepat

3) Menggiatkan media

informasi kegiatanKWLM

4) Mencari dan melatih SDM

terkait teknologi yang

digunakan

A

NG

GO

TA

KWLM tidak jauh

berbeda dengan

koperasi-koperasi

lainnya

KWLM belum memberikan

gambaran secara jelas tentang

perbedaan KWLM dengan

koperasi lainnya

NO

N

AN

GG

OT

A

101

Kebutuhan

Manajemen

Keuangan yang

baik

Perlu ada

pendekatan

manajemen

keuangan yang

membangun

kepemilikan aset

dan bermitra

dengan pihak lain

1) Ada pencatatan

keuangan

2) Laporan Keuangan ke

pemerintah belum,

laporan lingkungan ke

SOBI dan FSCsudah

3) Tidak ada kreditmacet

4) Anggaran banyak

untuk operasional dan

pembelian kayu

5) Pembayaran kayu lebih

cepat

1) Sudah ada pencatatan

keuangan, walau tampilan

laporan masihsederhana.

2) Sudah bermitra dengan

pihaklain.

A

NG

GO

TA

Masyarakat hanya tahu

tentang peminjaman

kredit uang melalui

koperasi

Masyarakat belum memahami

tentang manajemen keuangan

KWLM

NO

N

AN

GG

OT

A

1)Tujuan, visi,misi dan

strategi mudah dipahami

anggota

Sudah memiliki perencanaan

dan rancangan strategi jangka

panjang.

A

NG

GO

TA

Kebutuhan

Perencanaan

dan Analisis

Strategis

Ada rancangan

strategi jangka

panjang dengan

melihat

visi/perencanaan,

ada evaluasi,

pengawasan,

target dan hasil

yg terukur.

2) Anggota KWLM

mayoritas generasi tua,

sulitpaham

3) Evaluasi kegiatanada

4) Perencanaan RAT juga

ada

5) Hasil kegiatan KWLM

bisadiukur

6) KWLM punya target

penjualan dananggota

7) Ada pengawasan di

KWLM

Penyampaian visi, misi,

strategi dan perencanaa dibuat

semudah mungkin agar

anggota generasi tua

mengerti.

Masyarakat tidak

mengetahui rancangan

strategi jangka panjang

KWLM

KWLM hanya melakukan

sosialisasi tanpa adanya

sosialisasi lanjutan

NO

N

AN

GG

OT

A

Sumber: Hasil Penelitian (2018)

Namun hal pelik yang dialami oleh KWLM di lapangan ialah belum

banyaknya anggota baru, meskipun sosialisasi kerap kali dikukan di semua

102

kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. Dari kelima subyek yang telah

diwawancarai, belum ada ketertarikan untuk bergabung dengan KWLM. Hal ini

dimungkinkan belum adanya kepercayaan terhadap Koperasi. Harga beli kayu

yang mahalpun belum juga menarik mereka untuk segera bergabung dengan

KWLM.

Di sisi lain, KWLM tentu diberikan target oleh PT. SOBI untuk selalu

meningkatkan hasil produksi kayunya. Seiring dengan umur tanam pohon yang

lama, tentu saja hal yang sulit bagi KWLM apabila mengandalkan anggota yang

ada dengan keterbatasan hasil produksi kayu. Sehingga pencarian anggota baru,

tentu saja perlu dilakukan. Hanya saja, hal terpenting yang perlu difokuskan

adalah meyakinkan calon anggota untuk bergabung denganKWLM.

Banyaknya orang yang tidak mudah untuk bergabung dengan koperasi

dikarenakan faktor perilaku penghindaran terhadap risiko yang akan terjadi (risk

aversion), kurangnya informasi dan faktor sosio-kultural. Seringkali mereka pada

umumnya menunggu faktor motivasi dari luar. Bisa jadi itu adalah rekan mereka

yang telah bergabung dengan KWLM. Sehingga Nugusse dkk. (2012)

menyebutkan bahwa yang membedakan anggota dengan non anggota ialah

kesadaran dan perbedaan informasi yang diperoleh.

Penghindaran risiko tersebut muncul dikarenakan begitu berartinya

kekayaan (kayu) yang mereka miliki. Sehingga tidak mudah bagi mereka untuk

mempercayakan manajemen kayunya kepada KWLM. Rabin (2000) menjelaskan

bahwa sikap seperti itu merupakan intuitif secara psikologis yang tentunya

munculkeengganandalamdiriuntukmengambilrisikodenganskalalebihbesar.

103

Selain itu, Lewis (1959, 1970) yang digambarkan oleh Hamilton dkk. (2014)

menjabarkan bahwa orang yang kekurangan (secara ekonomi) biasanya akan lebih

berorientasi pada saat ini dan akan selalu menunda-nunda keputusan yang

sebenarnya akan dapat mengubah situasi ekonomi yang lebih baik. Inilah

dinamika struktural sosiokultural yang muncul di dalam masyarakat petani hutan

di sekitar KWLM. Ketika belum adanya pembuktian secara nyata pada salah satu

komunitasnya, dinamika seperti itu akan terus berlanjut. Jadi perlu untuk dapat

membuktikan riil bahwa anggota mereka berhasil mengubah perekonomiannya

menjadi lebihbaik.

5.4. Analisis Peran Pihak Eksternal Dalam Pengembangan Ekonomi

Masyarakat.

Guna menunjang pengembangan ekonomi masyarakat, keberadaan

koperasi niscaya perlu diberlakukan. Namun koperasi tidak bisa hanya

mengandalkan kekuatan dari internal (anggota), dukungan dari pihak eksternal

dinilai perlu untuk meningkatkan fungsi dari koperasi itu sendiri. Perubahan

kondisi global memaksa koperasi untuk ikut juga dalam perubahan. Apabila tidak

ingin tergerus oleh waktu, banyak koperasi telah bertransformasi untuk

berkolaborasi dengan sektor privat.

Perubahan tersebut bisa dimulai dengan ikhtiar membangun koperasi

multistakeholder sebagai tata kelola. Koperasi model ini dikelola oleh perwakilan

dari beberapa stakeholder, dari mulai petani yang menjadi produsen, pekerja,

104

distributor, para voluntir, community supporter hingga konsumen dengan

berbasiskan solidaritas. Selanjutnya, model seperti ini membuka ruang partisipasi

dialog antar anggota untuk membicarakan agenda-agenda bersama, pemilihan

pengurus dan badan pengurus, pengangkatan manajemen hingga sharing usaha

yang adil di antara kelompok. Keragaman tersebut terintegrasi ke dalam single

organization. Rantai-rantai yang sebelumnya terpisah satu sama lain, yang tak

jarang menjauhkan para petani dengan para konsumen, dalam proyek koperasi

multistakholderini bisa dijembatani (Hansen, 2015 dalam IndoPROGRESS,

2015).

Termasuk di dalam kasus Koperasi Wana Lestari Menoreh, tiap-tiap

anggota memiliki kebebasan untuk berpendapat. Dari sosialisasi yang dilakukan

di awal, prospek kayu di daerah mereka, hingga penentuan bagi hasil, tidak ada

satupun yang ditutup-tutupi. Peran serta pembentukan KWLM dari inisiatif petani

hutan merupakan ikhtiar awal yang tepat untuk memulai koperasi. Dukungan

Telapak dan PT Sosial Bisnis Indonesia (PT. SOBI) menyatukan rantai-rantai

yang oleh koperasi lain kebanyakan terpisah atau bahkan tidak ada samasekali.

Inilah keunggulan yang dirasakan KWLM, dimana anggota hanya cukup

mengelola hutan kayu mereka, sedangkan pemasaran dipercayakan kepada PT.

SOBI. Di sisi yang lain, Telapak membantu di dalam melakukan intevensi sosial

ketika KWLM mengalami kemacetan, misal: kurangnya pasokan kayu

dikarenakan belum banyaknya petani hutan yang belum bergabung ke KWLM.

Kolaborasi inilah yang mampu memicu keberhasilan KWLM di dalam

menyejahterakan anggotanya. Kepastian pembelian kayu, kemudahan

105

mendapatkan pinjaman uang, penyediaan bibit, hingga harga jual kayu yang

tinggi dirasakan semua anggota. Inilah juga yang termaktub ke dalam misi PT.

SOBI.

5.4.1. Gambaran PT.SOBI

PT Sosial Bisnis Indonesia (PT. SOBI) merupakan perusahaan berbasis

masyarakat yang didirikan pada Februari 2016. Lalu pada bulan September 2016,

tim PT. SOBI dibentuk. Sehingga dapat memfokuskan pada persiapan perusahaan

dan berikutnya penandatanganan dengan kemitraan dan juga menjalankan fungsi

audit internal terhadap dua koperasi: KHJL dan KWLM.

Bulan berikutnya, PT. SOBI melakukan pengujian utama FSC (Forest

Stewardship Council) dan juga menerima CAR minor dan mayor. Lalu di mei

2017, PT. SOBI mendapatkan sertifikasi FSC secara grup. Bulan depannya, PT.

SOBI mulai menjalin kerjasama dengan pembeli kayu (industri kayu). Selama

beroperasi secara penuh dalam jangka waktu 6 bulan, PT. SOBI mengalami

peningkatan total dan volume penjualan, margin penjualan dan total pembeli.

5.4.2. Visi dan Misi PT.SOBI

Berikut adalah visi dari PT. SOBI:

Visi PT. SOBI adalah untuk menjadi perusahaan berbasis masyarakat yang

mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan terbesar di Asia Tenggara pada

tahun 2030.

Sedangkan Misinya adalah:

106

1. Menjalankan bisnis kehutanan dengan mengacu pada prinsip dan kriteria

FSC (Forest StewardshipCouncil).

2. Mengelola bisnis pertanian, peternakan dan perikanan secara berkelanjutan

melalui pencapaian sertifikasi produk yang lestari danberkelanjutan.

3. Menumbuhkan jiwa wirausaha pada anggota (petani, nelayan dan

masyarakat adat) secaraberkelompok.

4. Menjadi perusahaan yang mendorong upaya pelestarian lingkungan dan

pemberdayaanmasyarakat.

5.4.3 Struktur Organisasi PT.SOBI

Berikut adalah gambar struktur organisasi yang ada di PT.SOBI dapat

dilihat pada gambar 5.5 di bawah ini:

Gambar 5.5

Struktur Organisasi PT.SOBI

107

PT. SOBI memiliki gambaran struktur organisasi seperti di atas. Seorang

direktur memimpin PT. SOBI, yang dibantu oleh 8 departemen: Partnership

Management (Expansion), Partnership Management, Forest System & Audit,

Forest Planning & Operation, Sales & Marketing, General Affairs, IT

Development, dan Business Development. Kedelapan departemen itu berada di

Jakarta Selatan.

Guna mendukung kinerja PT. SOBI, dibukalah sub departemen yang ada

di luar Jakarta. Kebanyakan ditempatkan di lokasi mitra (koperasi) itu berada.

Yang menarik adalah PT. SOBI juga memasukkan NGO/ornop sebagai bagian

dari organisasi itu. Jadi dapat dibilang bahwa PT. SOBI menyadari bahwa

NGO/ornop tidak bisa dilepaskan dari fungsi kerja PT. SOBI sendiri yang

memang memiliki core business terkait dengan lingkungan dan sosial. Inilah

fungsi NGO untuk menjaga kestabilan lingkungan dengan sosialmitranya.

5.4.4 Model Bisnis BaruBerkelanjutan

Keberadaan koperasi tentu saja membantu peningkatan perekonomian

masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan koperasi itu sendiri. Jadi dengan

berdirinya koperasi diharapkan mampu untuk menjalankan mandat ekonomi dan

sosial di anggota itu sendiri. Terlebih untuk koperasi yang dibentuk secara bottom

line, dimana anggota berinisiatif sendiri untuk mendirikan koperasi.

Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) yang diinisiasi oleh Telapak

secara bertahap telah melakukan sertifikasi FSC secara mandiri untuk

meningkatkan potensi kayu anggotanya. Mengingat FSC adalah bentuksertifikasi

108

yang dianggap mampu meningkatkan harga jual kayu. Namun seiring berjalannya

waktu, muncullah konflik antara KWLM dengan KHJL (di Konawe Selatan)

dalam memperebutkan pembeli. Mengingat keduanya adalah koperasi yang

dibangun oleh Telapak, kejadian tersebut tentulah miris.

Sebagai solusi adalah perlu dibentuknya suatu korporasi untuk mengelola

kedua koperasi tersebut dan koperasi-koperasi lain yang akan bergabung. Di tahun

2016, Telapak bersama beberapa donor mendirikan PT. Sosial Bisnis Indonesia

(PT. SOBI). PT. SOBI inilah cikal bakal perusahaan privat yang mengelola kedua

koperasi tersebut. Strategi yang dibangun PT. SOBI tentu saja lebih bagaimana

mengoptimalisasikan kinerja kedua kopersai tersebut. Salah satu keputusan yang

diambil ialah penerapan sertifikasi grup. Hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan

biaya untuk sertifikasi FSC. Selanjutnya hingga saat ini, sertifikasi grup ini yang

diimplementasikan. Tak hanya itu, strategi lain yang dijalankan PT. SOBI seperti

pembagian dan penentuan kayu dan pembeli antara KWLM dan KHJL,

meminimalisasikan konflik persaingan antar kedua koperasi tersebut.

PT. SOBI membangun model sistem kerja yang menjelaskan strategi dan

posisi PT. SOBI di antara koperasi-koperasi (termasuk anggotanya). Jadi PT.

SOBI bukanlah menjadi penguasa/pemilik dari koperasi-koperasi tersebut,

melainkan memilih untuk menjembatani antar koperasi dengan pembeli. Sistem

seperti ini dirasa adil (fair) karena PT. SOBI yang akan membagi dan menentukan

koperasi mana yang berhak untuk memproduksi hasil kayunya. Model sistem

kerja tersebut digambarkan sebagaiberikut:

109

Sumber: sobi.co.id (2018)

Gambar 5.6

Model Sistem Kerja PT.SOBI

PT. SOBI berperan sebagai penghubung pasar yang menempatkan diri di

antara pedagang kecil (smallholders) dengan pasar yang memiliki kepedulian

dalam bekerlanjutan (sustainable-concerned market). PT. SOBI akan secara

konsisten menangkap strategi yang lebih baik dalam upaya memberikan akses

yang lebih baik bagi petani kayu lokal dengan menghubungkan permintaan pasar

bagi sumber daya alam yang dikelola secara berkelanjutan. Strategi yang

dilakukan berupa penerapan IT dalam manajemen sumber daya alam, pembukaan

akses ke pasar dan sertifikasi serta memperkuat pemberdayaan komunitas.

Dengan menerapkan IT dalam manajemen sumber daya alam, maka akan

meningkatkan efisiensi pengoperasian sumber daya alam (hutan). Implementasi

110

IT tersebut membantu para mitra (koperasi) dalam penyimpanan data, pengecekan

data dengan sistem lacak dan pendokumentasian proses rantai pengawasan (chain

of custody). PT. SOBI mengetahui jenis, jumlah, umur hingga lokasi kayu yang

dikelola oleh KWLM. Hal ini tentu saja membantu KWLM terkait efisiensi

tenaga, biaya serta waktu dalam mengelola hutan. Selama ini PT SOBI yang

menentukan kayu mana dan berlokasi dimana yang harusditebang.

Skema kolaborasi yang dibangun PT SOBI ialah memadukan konsep

penjualan dan pemasaran beserta konsolidasi usaha peningkatan modal agar

produk hasil alam yang dijual dapat mencapai harga eceran tertinggi di pasar yang

lebih luas. Untuk itulah PT SOBI membuka akses kepada KWLM untuk

mendapatkan sertifikasi FSC. Meskipun di awalnya sertifikasi dilakukan atas

nama koperasi, namun saat ini PT SOBI sudah menjalankan sertifikasi FSC secara

grup. Jadi baik KWLM maupun KHJL (di Konawe Selatan) tidak perlu bersaing

lagi untuk mendapatkan pembeli. Selain itu, pasokan produk secara konsisten itu

akan mencegah keterlibatan pihak tengkulak dalam meraup untung lebih banyak

dari skema perdagangan. Karena keterbukaan yang dijalankan PT. SOBI,

memudahkan untuk mitra (petani hutan) untuk mengetahui harga pasar dari hasil

produksi kayunya tersebut. Inilah bentuk dari meminimalisasikan keberadaan

tengkulak di dalam rantai penjualantersebut.

Untuk pemberdayaan komunitas, PT. SOBI menjembatani proses

sertifikasi (FSC dan SVLK) produk hasil hutan dengan biaya yang lebih

terjangkau. Untuk itulah, sejak 2017 mulai diterapkannya sertifikasi grup. Namun

111

secara berkala PT. SOBI akan melakukan audit internal untuk memastikan dan

menjamin kualifikasi sertifikasi selalu terpenuhi dan terstandardisasi.

5.4.5. Pembahasan dan Kesimpulan

Sebuah koperasi yang hidup di derasnya persaingan usaha, diharuskan

untuk melakukan transformasi. Memang tidak bisa dikesampingkan bahwa

banyak koperasi masih bersifat tradisional, dengan hanya mengandalkan keaktifan

anggotanya. Baik koperasi top down ataupun bottom up. Semakin banyak anggota

akan berdampak terhadap kinerjakoperasi.

Namun agar tidak tergerus oleh jaman dan berumur panjang, koperasi saat

ini perlu dapat beradaptasi dengan terhadap tantangan apa yang sedang

dihadapinya (Giagnocavo dkk., 2018), seperti bisa berubah menjadi sebuah

korporasi sosial untuk memperoleh nilai lebih (laba) keutamaan koperasi dan

kesejahteraan anggotanya. Koperasi saat ini bisa mempunyai korporasi untuk

kesinambungan produksi ataupun pemasarannya. Sejalan dengan hal tersebut,

KWLM yang awal didirikannya memang untuk menjual kayu yang bersertifikasi

FSC, mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan permasalahan modal dan

pemasaran.

Tergerak menyelesaikan permasalahan itu, Telapak berinisiasi mendirikan

PT SOBI sebagai korporasi yang bertugas mengatur arus produksi dan pemasaran

kayu baik di KWLM dan KHJL. Kepemilikan sahamnya terbagi atas: 20%

dimiliki oleh manajemen, 40% milik investor dan 40% sisanya milik koperasi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa PT SOBI dimiliki oleh koperasidan

112

keuntungannya dapat dirasakan anggota koperasi itu sendiri. Lalu pada tahap

selanjutnya ialah melakukan efisiensi untuk sertifikasi, dimana PT. SOBI

mengubah dari sertifikasi FSC untuk masing-masing koperasi, menjadi sertifikasi

grup atas nama PT. SOBI.

Auer (2012) juga menegaskan bahwa manfaat adanya sertifikasi grup ini

tentu saja akan dirasakan anggota di dalamnya, antara lain: peningkatan

pendapatan dari kehutanan, peningkatan kemampuan dalam mengelola hutan,

serta keuntungan dari sisi lingkungan dimana proses penanaman,

pengembangbiakan dan pemanenannya telah menjalankan prinsip-prinsip

keberlanjutan, dan tentu saja terbentuknya kerjasama antara petani hutan,

pemerintahan dan sektor privat.

Bukti nyata dari skema kerjasama tersebut akhirnya diakui oleh negara.

BLU P2H (Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan dan Pembangunan Hutan)

memercayakan skema tersebut untuk tetap dijalankan oleh PT. SOBI dengan

Telapak. Dimana PT. SOBI tetap berperan sebagai pengelola Koperasi-koperasi di

bawahnya yang didukung oleh Telapak, selaku pendamping sosial. Sedangkan

BLU P2H berperan dalam sosialisasi dan perekrutan petani ke dalam Koperasi

Tani Hutan. Dalam skema kerjasama ini, diharapkan petani hutan rakyat mampu

memenuhi tuntutan ekonomi dan memepertahankan daya dukung hutan dengan

tetap mengadopsi standar FSC yang telah dibangun.

(http://www.telapak.org/sosialisasi-skema-kerjasama-blu-sobi-dan-telapak/

diakses 8 Juli 2018).

113

BAB VI

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

6.1 Rencana Penelitian TahunKedua

Penelitian tahun kedua sebagai lanjutan penelitian tahun pertama, akan

direncanakan sebagai berikut:

1. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga diharapkan sudah

mampu menggambarkan kondisi riil subyek secara mendalam. Untuk

berikutnya, dapat dilakukan dengan metode penelitian kuantitatif yang

dapat memperluas gambaran kondisi koperasi-koperasi yang ada di

Indonesia sehingga akan mendapatkan hasil penelitian yang lebihluas.

2. Penelitian berikutnya akan dilakukan dengan memperbanyak variabel lain

untuk mendapatkan gambaran secara luas dan mendalam dari

permasalahan di Koperasi Wana Lestari Menoreh. Semakin banyaknya

variabel tersebut, kompleksitas permasalahan akan tergambarkan dan

berikutnya akan dapat diberikan solusi atas permasalahan-permasalahan

tersebut.

3. Dirasa perlu dilakukan kolaborasi penelitian antar jurusan untuk

memperkaya analisis penelitian di luar sektorekonomi.

114

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. KESIMPULAN

1. KWLM dalam mengembangkan sertifikasi FSC berperan untuk memenuhi

standar sertifikasi FSC sesuai dengan tuntutan permintaan pasar dan

konsumen dunia. Sedangkan yang memfasilitasi proses sertifikasi adalah

pihakeksternal.

2. KWLM sudah melakukan pengembangan ekonomi masyarakat sesuai

Bruce (2001). Namun, dari 9 prinsip yang ditawarkan Bruce, masih ada

kebutuhan yang perlu ditingkatkan, yakni: kebutuhan strategi

komprehensif, membangun SDM, membangun kapasitas lokal, integrasi

tujuan ekonomi, dan memberdayakanmasyarakat.

3. PT SOBI tetap diperlukan untuk menjembatani proses sertifikasi (FSC

dan SVLK) produk hasil hutan dan memasarkan kayu anggotaKWLM.

7.2. SARAN

1. Sosialisasi terkait sertifikasi FSC perlu ditingkatkan lagi, agar pemahaman

anggota semakin meningkat dan tujuan, visi, misi KWLM

tercapai.Keanggotaan adalah bersikap sukarela, maka sosialisasi bisa

bekerjasama kembali dengan pihak lain seperti Ornop/LSM untuk

mengetahui permasalahan dilapisan masyarakat terkait keengganan

mereka menjadi anggotaKWLM.

115

2. KWLM agar terus memaksimalkan dalam mengembangkan 9 prinsip yang

ditawarkan Bruce (2001) da lam pengembangan ekonomimasyarakat.

3. PT. SOBI sebagai pihak eksternal yang telah membantu pemasaran kayu

dan pencarian investor untuk modal kegiatan KWLM serta mengurusi

proses terbentuknya sertifikasi grup di KWLM, sebaiknya juga perlu untuk

mengawasi kinerja koperasi melalui audit internalberkala.

116

DAFTAR PUSTAKA

Adamson, Dave & Bromiley, Richard. (2013). Community Empowerment:

Learning From Practice in Community Regeneration. International Journal

of Public Sector Management. Vol.26 No.3,pp 190-201. Emerald Group

Publiciy.

Anglin, Roland V.(2011): Promoting Sustainable Local and Community

Economic Development: American Society For Public Administration-

Series in Public Administration and Public Policy. CRC Press,NewYork.

Arief, A. (2010). Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius

Auer, Matthew. (2012). Group Forest Certification for Smallholder in Vietnam:

An Early Test and Future Prospects. Hum Ecol 40:5-14.Springer Science &

Business Media, LLC.

Bharti, Nisha.(2014). Design and Implementation of Organisational Intervention

In Microenterprise Development: Comparative Study From Maharashtra.

Journal of Organisation & Human Bheaviour. Vol.3.Issue 4. October 2014.

Biro Pusat Statistik. (2016). Kabupaten Kulon Progo dalam Angka 2016.

Yogyakarta: BPS Kabupaten Kulon Progo.

Biyase, Mduduki & Fisher, Bianca. (2017). Determinant of Access to Formal

Credit by The Poor Households. Studia Universitatis Babes-Bolyai

Oeconomica.Vol.62. Issue-1, 2017, pp. 50-60.

Bruce, David. (2001). Building A CED Movement in Canada: A Policy

Framework to Scale Up CED in Canada. Rising Tide: Community

Development Tools, Models and Processes. Edited by David Bruce and

Gwen Lister. Sackville NB: Mount Allison University

Crowley, David. (1999). Sound Financial Management: an Overview of Basic

Accounting and Financial Principle for Non Profit Community

117

Development Organizations. The enterprise Foundation,Inc. ISBN 0-

942901-55-x.

Dogarawa, A. (2005). The Role of Cooperative Societies in Economic

Development. Zaria: Ahmadu BelloUniversity.

FSC-STD-001 (version 4.0) EN (1996). FSC Principles and Criteria for Forest

Stewardship. FSC Nation Center. . www.fsc.orgakses 16 Januari 2018.

FSC-STD-20-001. Version 3.0 EN (2009). General Requirements for FSC

Accredited Certification Bodies: Application of ISO/ IEC Guide G5: 1996

(E). . www.fsc.orgakses 16 Januari 2018.

FSC-STD-60-006 (V1-2) EN. (2009). Process Requirements for The Development

and Maintenance of National Forest Stewardship Standards. .

www.fsc.orgakses 16 Januari 2018.

FSC-STD-IDN-01-01-2013. (2013). Harmonised CBS‟ Forest Stewardship

Standard For The Republik of Indonesia. www.fsc.orgakses 16 Januari

2018.

FSC-STD-01-001 VS-2 EN (2015). FSC Principles and Criteria For Forest

Stewardship. Forest Stewardship Council. . www.fsc.orgakses 16 Januari

2018.

FSC-STD-40-004 V3.0 (2016). Chain of Custody Certification. Forest

Stewardship Council,AC. . www.fsc.orgakses 16 Januari 2018.

Giagnocavo, Cynthia dkk. (2018). Cooperative Longevity and Sustainable

Development in A Family Farming System. Sustainability, 10, 2198

Gibson, R. (2005). The Role of Co-Operatives in Community Economic

Development. Rural Development Institute Brandon University.

118

Guan, Z. dan Peichen Gong. (2015). The Impacts of International Efforts to

Reduce Illegal Logging on China’s Forest Products Trade Flow. China

Agricultural Economic Review Vol. 7 No. 3

Gulö, W. (2000). Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo

Hamilton, Kathy dkk. (2014). Poverty in Consumer Culture: Towards A

Transformative Social Representation. Journal of Marketing Management

Vol. 30 No. 17-18

Henderson, P. dan Ilona Vercseg. (2010). Community Development and Civil

Society, Making Connections in The European Context. Bristol: The Policy

Press.

Hidayat, Herman. (2016). Forest Resources Management in Indonesia (1968-

2004) a Political Ecology Approach. Springer Singapore. ISBN 978-981-

287-745-1.

Hoyt, A. (2004). Consumer Ownership in Capitalist Economies: Approaches of

Theory to Consumer Cooperation. In C.D. Merret dan N. Walzer (Eds.).

Cooperatives and Local Development: Theory and Applications for The 21st

Century (pp. 265-286). New York: M.E. Sharpe

https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-belakang-fsc(diakses 02-07-2018)

https://menorehwood.wordpress.com/kwlm/(diakses 26-06-2018)

https://www.illegal-logging.info/regions/indonesia(diakses pada 04-06-2017)

http://www.menlh.go.id/penebangan-hutan-dan-deforestasi-fakta-dan-

angka/(diakses pada 04-06-2017)

http://www.mongabay.co.id/2013/03/21/perusahaan-sulit-penuhi-deadline-

sampai-maret-baru-58-miliki-svlk/(diakses pada 04-06-2017)

http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2016/08/23/pembalakan-liar-rugikan-

negara-rp-2764-triliun-378071(diakses pada 04-06-2017)

119

https://www.telapak.org/badan-tritorial/(diakses pada 04-06-2017)

Indoprogress. (2015). Koperasi Sebagai Alternatif Tata Kelola Agraria. 14 Juni

2015 di Indoprogress.

Jurgens, Emile. (2006). Proses Pembelajaran (Learning lesson) Promosi

Sertifikasi Hutan dan Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia. Sep

2003- Juni 2006.Bogor: CIFOR. ISBN 979-24-4661-3.

Laverack, Glenn & Mohammadi, Nastaran K,(2011). What Remains For The

Future: Strengthenning Community Actions To Become an Integrated Part

Of Health Promotion Practice. Health Promotion International. Vol.20

No.52. Oxford University Press.

Lombard, Antoinette.(2006). Social Change Throuh Integrated Socia and

Economic Development. University of Pretoria. Faculty of Humanities. Dept

of Social Work and Criminology.

McChlery, Stuart.,Godfrey, Alan D., Meechan, Lesley. (2005). Barriers and

Catalysts to Sound Financial Management Systems in Small Sized

Enterprises. Journal of Applied Accounting Research, Vol.7. Issue 3, pp.1-

26.

Mutis, T. (2004). Pengembangan Koperasi Kumpulan Karangan. Jakarta:

Grasindo

Nasution, S. (1982). Metode Research. Bandung: Jemmars

Nielsen,P. (2006): The Theory of Community Based Health and Safety Programs:

a Critical Examination.Injury Prevention. 12:140-145

doi:10.1136/IP.2005.011239.

Nugusse, Woldegebrial dkk. (2012). Determinnats of Rural People to Join

Cooperatives in Northern Ethiopia. International Journal of Social

Economics Vol. 40 No.12.

Owens, Michael Leo dalam Anglin, Roland V.(2004): Building The Organization

That Build Communities: Capacity Building: The case of Faith-Based

120

Organizations. Center for Faith-Based and Community Initiatives. US.

Dept, of Housing and UrbanDevelopment.

Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS

Pittman, R.P. (2009). An Introduction to Community Development. New York:

Routledge

Pongtuluran, Y. (2015). Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan.

Yogyakarta: CV Andi Offset

Rabin, Matthew. (2000). Risk Aversion and Expected-Utility Theory: A

Calibration Theorem. Econometrica Vol. 68 No. 5.

Ruben, Ruerd & Hoebink, Paul. (2015). Coffee Certification in East Africa Impact

on Farmers, Families and Cooperatives. Wageningen Academic Publisher.

E-ISBN: 978-90-8686-805.6

Salikin, K.A. (2007). Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius

Setyarso, A. (2009). Sertifikasi Hutan dan Peran Organisasi Non Pemerintah

(ORnop). LEI.

Sitio, A. dan Halomoan Tamba. (2001). Koperasi Teori dan Praktik. Jakarta:

Erlangga

Vazquez, D. et al. (2014). Theoretical and Methodological Framework for The

Qualitative Validation of An Explanatory Model of Social Responsibility in

Cooperatives Societies. Management Research: The Journal of the

Iberoamerican Academy of Management Vol. 12.

Walzer, Norman & Hamm, Gisele F.(2010). Community Visioning Programs:

Processes and Outcomes. Journal of the Community Dev.Society.

Vol.41,No.2.2010.152-155. ISSN: 1557-5330.

Wanggai, F. (2009). Manajemen Hutan, Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara

Berkelanjutan. Jakarta: Grasindo.

121

Wibowo, M. dan Ahmad Subagyo. (2017). Tata Kelola Koperasi Yang Baik.

Yogyakarta: Deepublish.

Yin, R. (2000). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Zeuli, Kimberly dan Jamie Radel. (2005). Cooperatives as A Community

Development Strategy: Linking Theory and Practice. The Journal of Regional

Analysis and Policy Vol. 35 No. 1.

122

DAFTAR LAMPIRAN

DOKUMENTASI PENELITIAN

123

124

125

126

127

TRANSKRIP WAWANCARA ANGGOTA KOPERASI

A= Pak chandra

B= Narsum

C= Bu Veritia

A= Pak bambang sudah 6 th di KWLM?

B= Iya

C= Strategi KWLM apa yang mampu mengembangkan usaha bapak?

B= Sertifikasi, cari pembeli, kenaikan harga kayu, sempat beberapa kali naik,

lebih baik daripada lokal

A= Tiap tahun naik pak?

B= Iya, hampir tiap tahun ada perubahan

A= Di infokan?

B= Iya didatangkan petani, dikasih tahu

C= Bapak sebagai apa?

B= Pengelola

C= 6 tahun juga?

B= Dulu anggota, pengurus juga, sekarang pengelola

A= Bedanya apa?

B= kalo pengurus kan umum, Pengelola kita langsung menangani kegiatan

koperasi

A= Misal?

B= Saya ditugasi bidang pembibitan, menyiapkan pembibitan untuk mengganti

pohon, kalo pengurus nggak sampe situ

C= Bapak diajak untuk ngobrolin sertifikasi dan strategi itu pak?

128

B= Ikut

A= Bisa Tahu pak?

B= Bisa, saat rapat koordinasi, saat rapat untuk pengambilan keputusan ya kita

obrolin, misal tentang spesifikasi kayu tertentu

A= Ada dampak buat bapak dari strategi itu?

B= Ada

A= Misalnya?

B= Ada harapan, saya petani akan peda jual di luar dengan disini, jadi beda yang

ikut dengan yang tidak ikut, karna saya tahu harga penawaran pabrik

A= Apakah ada ruginya?

B= Kalo gak terjual ya rugi

A= Pernah tidak terjual?

B= Pernah, dulu sebelum bergabung dengan sogi

A= Misalnya?

B= Ranting yang tidak terjual lama kelamaan mau tidak mau dijual dengan harga

yang murah,

A= Kalo d anggota ada kerugian?

B= Tidakada

A= Kalau masalah perawatan?

B= Waktu nanem hanya di awal awal saja kan, biaya juga sedikit, tidak rugi

C= Pernah ada isu di dalam anggota?

B= Paling Cuma anggapan saja, kalau kita tidak menginvetarisasi, kalau sudah

menginventarisasi di anggap di ambil koperasi, terus kesulitan sosialisasi karna

orang orang tua,

C= Untuk penyelesaian anggota diikutkan tidak?

129

B= Iya, tapikan itu Cuma salah paham yang bisa di klarifikasi, ketika sudah ikut

transaksi jual beli baru mereka tahu bahwa mereka bisa dapat uang len=bih

banyak daripada ditawar, meskipun kalo di tawar dia dapat uang cash, beda

dengan koperasi yang melalui proses perbankan, terus mereka sadar bahwa

bagus ikut koperasi

A= Selisihnya berapa banyak?

B= Kalo pedagang lokal tahu persis tentang kayu, makanya dia nawarnya sampai

setengah harga.

Kalo yang jual tidak tahu, yang penting sudah nawar ya sah gitu saja, pedagang

jarang rugi, paling kalo ada kayu bolong, kalo petani tidak tahu dan tidak mau

ambil pusing, kalo koperasi kan menanggulangi hal seperti itu, supaya petani

tahu bahwa sebenarnya harganya bisa lebih mahal, terus diberikan pendidikan

tentang kayu supaya tidak dibohong bohongi

C= Inventaris pohon tadi kalo ada isu gimana cara penyelesaian

B= di rembug, penyelesaiannya sama dengan ditempat lain

C= Kalo koperasinya gimana?

B= Kita ketemu sama pihak pihak yang terkait, kalo koperasi tidak bermasalah,

yang penting maslah tidak merugikan masyarakat

C= Bapak tahu Tentang Investasi? Kalau jual beli kayu investasi tidak?

B= itu termasuk investasi , yang mengharapkan keuntungan

C= pernah dijelaskan tidak tentang Investasi?

B= paling kita jelasinnya lebih mudah dengan menanam pohon itu menabung,

jadi kalau menabung ada yang konvensional pake celengan bambu, koperasi

menjelaskan tentang kayu itu, kita akan tau persis dan detil dengan edukasi dari

koperasi, petani akan tahu rinciannya berapa, akan dapat duit berapa, tapi kalo

misalnya hanya dijual tanpa hitungan ya bisa dibohongi, tetapi tidak semua

anggota dapat memahami,

C= Apakah yang paham pasti mau?

B= tidak juga, karna kepemilikan kadang bukan tanah sendiri, saudara atau orang

tua

130

A= Bantuan dari KWLM ada?

B= Waktu itu kita pernah pinjam ke bank

C= Kalau Anggota pernah?

B= Kita menjaminkan keuangan, untuk pemenuhan keuangan kita arahkan ke

koperasi kredit, Kita kasih tau ke koperasi bahwa dia anggota KWLM dan punya

kayu sekian, sebagai jaminan

C= tidak semua orang percaya juga ya

B= Pohon yg di jual juga belum layak pakai, makanya kita jaminkan

A= Pernah menggunakan akses itu?

B= Belum

C= apakah bermannfaat?

B= Bermanfaat

A= Yang bapak ketahui perubahan selama ini?

B= Berubah, karna dia akan memelihara sampai layak tebang

A= Sering ada pelatihan?

B= Sering, praning, pembibitan, pemangkasan, finishing furniture

C= Kalau untuk pengelola ada pak?

B= Penebangan dan pengurus

C= berapa kali pelatihan per tahun?

B= Minimal 1x

C= rutin kah?

B= Tidak, Kalau ganti orang ada training lagi

C= Ada dampak nya?

B= Ada, kita tau prosedur, SOP, Standar di lapangan

C= Percaya jika warga berperan penting bagi kemajuan koperasi

131

B= Percaya, Kalo gak ada orang gimana koperasi

C= Kapan sosialisasi?

B= Sering, dimana mana , ketika orang mudah menerima pengertian dari pembeli

lokal maka mereka berfikir ngapain harus ke koperasi, tapi kalau yang sadar

meskipun lama tapi hasilnya banyak kalau di koperasi, apalagi kalau dia butuh

uang cepat

A= Di KWLM kepemimpinannya seperti apa?

B= Semuanya terbuka, kita sama sama tau alasannya,

C= Kepemimpinan nya sudah bagus kah?

B= Mungkin ada yang lebih bagus, kalau buat nyari pembanding sulit, kita

terbuka sama sama tahu, komunikasi lancar

C= Mau nerima usul?

B= Tidak masalah, ada yang bisa diselesaikan sendiri, ada yang memang harus

dirembukan

C= Dilibatkan Rapat RAT?

B= Kita sering rapat koordinasi, sebagai anggota ada RAT, tapi kalau hal yang

kekcil yang bisa diselesaikan secar langsung ya tidak nunggu RAT

A= Usulan contoh?

B= Penambahan anggota, penebangan, mau jual kayu, maslahnya itu sih

C= Usul buat pelatihan boleh?

B= Boleh

A= Yang bikin RAT siapa pak?

B= Kebanyakan pengelolo, Bareng bareng, kita koordinasi, kita gak mungkin

sendiri, harus minta tolong sama anggota,

A= Ada Perubahan?

132

B= Ada lah, banyak pengurus tidak digaji, kalo pengelola digaji, pengurus tinnggal

nanya pengelola, sistem pengurus adalah satu tahun usaha, lha pengurus dapat

dari sisa hasil usaha, jadi pengurus lebih pakai rasas sosial

C= Pengurusnya datang terus?

B= Jarang, makanya kita cari yang rumahnya dekat, apalagi anak anak muda,

tidak pernah

A= KWLM menambah kemampuan nggak?

B= Bisa pembibitan,

A= Lahannya luas pak?

B= Seribu meter

C= Nanam Apa pak?

B= Padi

C= Dijual?

B= Buat sendiri

A= Pendapatannya darimana?

B= Ada kambing buat sehari hari, gak tau juga, tau kalau butuh uang ada saja,

buat byar bayar, tidak dapat pendapatan, beda sama pegawai, saya pernah sewa

lahan,rugi atau untung,

A= KWLM ngasih bantuan pendampingan?

B= Tidak , tidak ada tenaga seperti itu, itu sudah banyak dilakukan pihak lain,

seperti dinas pertanian, kita lebih ke kayu, kalau bagus, berarti mahal

C= kira kira perlu gak didampingi?

B= Setelah saya gabung menurut saya tidak perlu

A= Ada sengketa?

B=Tidak pernah, kan lahannya milik anggota yang sah, bukti kepemilikan tanah

kita cek, jadi tidak ada sengketa, kita tidak ganggu milik negara

A= Pemasarannya dibantu nggak sama KWLM?

133

B= Mau tidak bantu ya harus bembantu

A= Menurut bapak bagus gak ada sobi?

B= Bagus, ada kerjaan yang dulu dikerjakan koperasi sekarang dibantu ssobi

A= Tau gak kalau ada kerjasama?

B= Tau, ada saja kalau kerjasama, dengan dinas, pernah dapat alat dari dinas

koperasi, masih ada alatnya, tapi tidak dipaiakai

A= Kenapa?

B= Karna kita kan glondongan jualnya, itukan untuk kayu yang diolah, maunya

ninas kita bisa ngolah, tapi kan kita harus bersertifikasi COC

C= Yang pelatihan siapa yang ngisi?

B= Universitas, UGM, Sekolah vokasi paling sering

C= Sosialisasi?

B= Pelatihan , IPB juga pernah penelitian

C= Setahun terakir kerjasama apa saja?

B= Dari UGM, 3 orang, tentang hutan,

C= Punya tujuan untuk meningkatkan ekonomi dan sosial nggak pak?

B= Iya itu memang

A= Yang ekonomi apa?

B= Meningkatkan nilai jual kayu

A= Kalau sosisal?

B= Kita melibatkan banyak orang untuk lapangan kerja, kita punya tim tebang,

gotongroyonng

A= Dimanapak?

B= Di tempat tebang, kalau kita tebang sendiri kan tidak ada biaya, beda sama

tim tebang, kebutuhan bisa lebih banyak

134

C= Kalau keuntungannya gabung kwlm?

B= Jaminan Harga kayu, marketnya, dan dikasih tau , beda dengan diluar yang di

jelek jelekin

A= Siapa yang nentuin harga?

B= Sogi tawar menawar dengan buyer, kita haru bisa lebih tinggi, buyer pun

nggak dapat kayu

A= KWLM bisa menuhi kebutuhan bapak?

B= Bisa, saya juga pernah menjual kayu disini

A= Secarasosial?

B= Bisa, jaringnnya makin banyak

A= Apakah beda KWLM dengan yanglain?

B= Kalau kita jualan kayu, kalau yang jual kayu di kulon progo tidak ada lagi,

banyaknnya simpan pinjam , ada di kulon progo,, disana mau digabungjuga

dengan sogi, tapi kalo pionernya yaKWLM

C= ada sertifikasi juga?

B= Tapi yg FSC ya, soalnya ada sertifikasi yang SPLK kulon progo tapi tidak bisa

jualan, kita juga FSC meski juga punya SPLK

C= Pengurusnya ada yang ahli?

B= Menurut saya tidak, kalau kredit ada, kalau kita kan bisa dipelajari karna

terlihat, banyak yg bisa ngukur, dan jualan sebelum masuk koperasi, tinggal

nglengkapi saja,

C= mereka ahli pengalaman, apa pendidikan, kalau disini kan gak ada pendidikan,

kita Cuma kenalkan SOPnya, dan kelengkapan administrasinya

C= Cara meningkatkan kesadaran koperasi gimana?

B= Sosialisasi

C= Selain itu?

135

B= Kita datang per rumah, Dinas juga bikin pertemuan dengan kelompok

kelompok, pengetahuan lewat media,

C= Seperti apa?

B= Seperti Facebook, dulu pernah awal awal yang nungguin, tapi jarang,

sekarang tidak ada yang ngurus, malas,

C= tidak pakai radio?

B= Belum pernah

C= Brati cukup dengan sosialisasi?

B= Saya rasa cukup, sudah banyak yang tau juga,

FB twiter ada?

B= Ada, tapi untuk masuk tidaknya kurang, apalagi sekarang sudah ada sogi, dan

tidak semua petani punya kayu mau dijual, kalo orang jawa yang ayem , tidak

semua orientasinya di uangkan, ada yang jadi anggota punya kayu besar besar

tapi tidak di jual, Cuma pengen kumpul sama orang orang, orientasi berbeda

beda,

C= FB aktif?

B= Dulu aktif

C= Adminnya gak ada?

B= Iya, sekarang kan kontak langsun,

A= Ada grup WA?

B= Ada, karna sekarang era digital, komunikasi bisa langsung, tidak perlu datang

ke rumah, bisa langsung ke lokasi ke tempat sasaran dll, kita tidak banyak

kumpul sekarang, koordinasi disini juga bisa, kalo sogi yang penting kan

outputnya,

C= Sekarang gak ada sistem absen pak ya?

B= Tidak ada, sekarang pendataan juga pake sistem poto, kirim gitu saja

A= Kendalanya apa pak ?

136

B= Untuk inventarisasi kalo hhujan tidak bisa dilaksanakan, karena beresiko, jadi

nunggu terang,

A= Kalau untuk masukin data?

B= Semua bisa sih, aplikasinya mudah, yg penting ada internet, tapi kadang

dilahan tidak ada koneksi jadi memperlambat pekerjaan, seperti di gunung2,

kalau seperti itu ya disimpan dulu, nanti baru dikerjakan

C= Ada bantuan keuangan paket data?

B= Tidak ada, kalau disini ada wifi gratis, kita langganan

C= Ada pencatatan untuk pengelolaan KWLM?

B= Ada , pernah di audit juga,

A= Untuk apa?

B= Keperluan sertifikasi ulang, laporan laba rugi

C= Kalau ke eksternal ?

B= Kita laporan ke dinas koperasi juga

C= Dana paling banyak dipakai untuk apa?

B= Gaji kariawan KWLM

C= Pernah ada masalah keuangan?

B= Pernah, tidak ada income, transport aja, gak ada gaji, soalnya harga lokal saja,

jadi untungnya sedikit,

C= Menerima saja?

B= Kalau undang2 ketenaga kerjaan ya melanggar, tapi inikan koperasi, jadi ya

mau gimana kalo memang gak ada duit, mereka juga memaklumi, beda sama

perusahaan ya di demo

A= KWLM mendukung kegiatan anggotanya?

B= Iya, iuran wajib, pokok, tidak semua aktif, kalo yang jual kayu ya pas ada duit,

A= Nunggak?

137

B= Iya

C= Koperasi mendukung keuangan anggota seperti apa?

B= Dengan kegiatan perayaan 17 an, kebersihan lingkungan ditempat sekitar

mata air

C= Banyak sosialnya ya?

B= Iya, seperti juga bantuan bibit, tapi bukakn berupa uang

C= Dari mana dapatnya?

B= Dari pos pembibitan, Pernah terjasi, seperti anggota baru dikasih 10 bibit

C= Pernah laba tinggi di KWLM taun berapa?

B= Saya tidak ingat, tapi ada kok laporannya, Pernah untung juga pernah rugi, ya

itu tadi kadang orang itu ngelihat koperasi lagi ada uang nggak?kalo ada ya

dijual,

C= Koperasi ini punya visi dan misi mudah atau susah dipahai ?

B= Kalau baggi masyarakat mungkin susah, tapi kalo kita ngomong ikut koperasi

harganya tinggi, langsung masuk, atau dapat bibit langsung, kita punya metode

sendiri juga, karna yang tua tua sulit mengerti, makanya sekarang kita ngajaknya

yang muda, koperasi beli nya pakai harga jepara itu akan mudah diterima, kita

juga harus jelasin secara runtut, tapi mereka tidak mau bertele tele, butuh waktu

lama, kuncinya kita kerjasama dengan mitra pedagang, jadi kalau butuh uang

cepat, kita datangkan pedagang langsung ditawar di koperasi

A= Harganya gimana?

B= Sama, harga pedagang dan anggota sama, pedagang ya sudah ambil untung

A= Harga gak pakek standar?

B= Pake, karna untuk mengetahui volum ya harus dipotong dulu, pedagang lebih

tau, petani juga ngerti sebenarnya masalah untung rugi itu tapi ya saling rela,

A= Harganya lebih tinggi kalo jual d luar?

B= Tergantung tawar menawar, dengan cara yang umum, selama ini harga

koperasi harganya lebih bagus daripada diluar, kalau petani biasanya gak sabar,

138

dia maunya uangnya cepat, makanya kita kerjsama dengan pedagang, mereka

sudah paham, kalau tegakan segini harga segini, dia tau marginnya

A= KWLM mengadakan evaluasi buat perencanaan strategi tidak?

B= Iya, kita sering koordinasi,sidang pengurus, pengawas, kalau misalnya ada

yang berjalan tidak sesuai rencana kita sering buat proyeksi, kadang kena

kendala, kita undang pengurus pengawas atau buyer untuk nego harga dll

C= Sering ada masalah gak di KWLM?

B= Konfik internal antara KWM dengan anggota, sebenernya sudah di hati hati

tapi kadang masih ada masalah, seperti tebang pohon kena tetangga, kita buat

laporan penyelesaiannya, berita acaranya, biasanya masalah penebangan yang

mengakibatkan kerusakan, ad yang bisa diselesaikan dengan baik baik, ada yang

minta ganti rugi

C= Hasil kegiatan di KWLM bisa diukur nggak?

B= Bisa

C= Dilihat darimana?

B= Dari target

C= Misalnya?

B= Inventarisasi, penjaringan anggota, penjualan, penebangan, pembibitan,

sosialisasi kita punya jadwal punya target

A= Sudah mencapai target blum?

B= Belum

A= Berapa persen yang sudah tercapai?

B= Kalau yang seriing update itu pak win, seperti auditor itu ada yang tahunan,

kan ada pekerjaan yang harus selesai dan sudah terpenuhi, untuk awal tahun ini

10%

A= Kalau tahun lalau?

B= Kalau prosentasinya gak tau persis, sekitar 80%, dari sogi biasanya ada

pencatatannya

139

C= Sisitim Pengawasannya seperti apa pak?

B= Kita punya pengawas yg secara periodik kita ajak koordinasi

C= Dari mana?

B= Pengawas dari koperasi

C= Kalau pengawas penguruS?

B= Anggota, perwakilannya namanya pengawas

A= Berapa orang?

B= 5 orang

A= Dari anggota?

B= Semua itu, Cuma ganti ganti

A= Tidak ada eksternal?

B= Tidak ada

C= Dinas koperasi?

B= Mereka pengawas, atau ngajak kegiatan dari dinas koperasi seperti perayaan

hari koperasi atau sosialisasi, lebih ke situ sih, kalau dulu kita laporan ke dinas

berapa yang kita jual, tapi kalo sekarang nggak mintak

C= Kenapa sertifikasinya SFC ?

B= Karna arahnya kesana, banyak sebenarnya sertifikasi Cuma yang diminta SFC,

banyak yang pake seperti alat tulis

C= Kalau kayunya sudah jadi furniture sertifikatnya gimana?

B= Tetap ada SFC nya, itu yang dipakai pihak perusahaan untuk memberikan

keterangan asalnya dari hutan yang bersertifikasi

C= Apakah ikut SFC sudah mendukung tata kelola hutan lestari?

B= Sebenernya itu Cuma instrumen saja, bukan berarti yang tidak ikut tidak

lestari, menurut saya pelestarian itu yang bisa menghasilkan nilai ekonomi yang

lebih baik, karna masyarakat pasti menjaganya supaya tidak punah karna bakal

laku, dia rela mengorbankan yang lalin

140

C= Tidak lestarinya gimana, apakah yang tebang sembarangan, belum waktunya

ditebang?

B= Itukan Cuma pandangan kita dari luar, itukan kebutuhan dia, apakahyang

menegor mau nyukupi?kan tidak, pemerintah juga tidak, punynya satu itu ya

habis, kalo dibilang sembarangan dia pasti tidak terima karna punyasendiri

C= kecuali mafia ya?

B= Kecuali menjarah atau mencuri, kalau hutan milik kan atas perintah pemilik,

ya dibalik saja,kenapa masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan, apakah

kebutuhan terlalu tinggi, pendapatan kurang, itukan bukan Cuma tanggung

jawab koperasi tapi banyak pihak,

C= Semoga jalan terus pak ituk percontohan, semoga bisa terus mengelola,

terimakasih.

141

TRANSKRIP WAWANCARA NON ANGGOTA KOPERASI

A= Pak chandra

B= Narsum

C= Bu Veritia

A=Bu Nur tahu koperasi?

B=Simpanpinjam?

C=Pernahdenger?

B=Setahu saya Cuma simpan pinjam

A=Pernah jadi anggota ?

B=Belum

A=Kalau Koperasi wana lestari tahu?

B=Tau pas sosialisasi

C=Apa Koperasi wana lestari

B=Yang kemaren? Setahu saya kalo mau jual kayu bisa

C=Tau manfaatnya kopeerasi wana lestari?

B=Umpama di jual tengkulak lebih murah, kalau di wana lestari lebih tinggi,

selisih harga jualnya

A=Pernah tahu?

B=Cuma dari Brosur, belum tahu bukti, belum pernah jual, Cuma nguli punya

saudara

A=Berapa hektar?

B=Tidak sampai hektaran

C=Berapa bu?

B=Seribu meter lebih

142

C=Saudaranya disini?

B=Iya tapi tidak mau ngelola karna jadi guru

A=Nanam apa bu?

B=Kayu jati

C=Banyak?

B=Lumayan

C=Berapa pohon?

B=Tidak ngitung

C=Nanam sudah dari kapan?

B= Tidak tahu, Cuma nguli, Cuma nerusin

A= Tau Koperasi?

B=Tidak

A= Tujuannya apa?

B= Tidak tahu, tahunya simpan pinjam, tahunya kumpulan kumpulan arisan,

tidak ikut koperasi

C= Tau bedanya antara wana lestari sama simpan pinjam?

B= Kalau wana lestari Cuma jual beli kayu

C=Tau kayu yamg bersertifikat?

B=Tidak

C=Tau gak kalau kayu yang di KWLM sudah bersertifikasi?

B=Tidak

C=Tidak dijelaskan pas sosialisasi kah?

B=Lupa, sooalnya ndak punya lahan sendiri jadinya cuek saja, hanya nguli jadi gak

berhak jual

C=Kalau ibu punya lahan, kira kira penting tidak?

143

B=Mungkin ya penting

C=Tau gak wana lestari ada kerjasama dengan KSP?

B=Belum tau

C=Pernah dengar investasi?

B=Pernah

C=Apa?

B=Tabungan

C=Investasinya apa?

B=Tidakpunya

C=Kayunya bukan punya ibu?

B=Tidak

C=Pernah tau KWLM buat pelatihan?

B=Nggak, baru 2 kali kesini nanyain kayu

C=Pernah dengar anggota KWLM yang kayunya di beli

B=Tidak tahu, kalau katanya dijual di koperasi lebih mahal

C=Kalo yang kemarin sosialisasi siapa?

B=Nggak tahu, Cuma bapak ini

C=Tertarik gak dengan koperasi?

B=Ya tertarik, tapi tidak punya lahan

C=Kalau koperasi yang lain?

B=Tidak, tertarik tapi tidak jadi anggota

C=Kenapa? Takut iuran?

B=Kalo iuran gak sanggup

C=Kalau mau jadi anggota koperasi harus ke kelurahan lain?

144

B=Di kelurahan ada koperasi, tapi tidak ikut

C=Kenapa?

B=Tidak papa

CKalau ketemu sama orang lain , minat ngomongin koperasi ke yang lain tidak?

B=Tidak

C=Terimakasih banyak ya bu

145

JOBDESK PT SOBI

146

147

148

149

SERTIFIKASI FSC KWLM

150

151

RAPAT ANGGOTA TAHUNAN

152

153

154

155

156