LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM...

90
i LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI PIDANA TAMBAHAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI BAGI TERPIDANA KORUPSI DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) DENPASAR Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH., MH (0009156490) 2. Dr. I Gede Artha, SH., MH (0027015803) MAHASISWA Ni Wayan Sinaryati, SH., MH PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR NOVEMBER 2016

Transcript of LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM...

Page 1: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

i

LAPORAN AKHIR

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

PIDANA TAMBAHAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI

BAGI TERPIDANA KORUPSI DI PENGADILAN

TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR)

DENPASAR

Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

TIM PENGUSUSUL

1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH., MH (0009156490)

2. Dr. I Gede Artha, SH., MH (0027015803)

MAHASISWA

Ni Wayan Sinaryati, SH., MH

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

NOVEMBER 2016

Page 2: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

ii

Page 3: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

iii

RINGKASAN

Penelitian terhadap jenis pidana tambahan pembayaran uang pengganti oleh terpidana

korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar meliputi wilayah hukum seluruh

Pengadilan yang ada di Bali, berjumlah 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota. Dalam kasus

tindak pidana korupsi yang menarik perhatian publik dan atau pelakunya penyelenggara

negara atau penegak hukum akan diadili proses persidangannya di Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Denpasar. Pengadilan Tipikor Denpasar apabila memutus dengan salah satu jenis

pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti maka terdakwanya wajib membayar

uang pengganti kepada negara.

Adapun tujuan pembayaran uang pengganti dari terpidana kepada negara guna

pengembalian kerugian keuangan negara sebagai akibat tindak pidana korupsi yang telah

terpidana lakukan. Besar kecilnya pembayaran uang pengganti atas kerugian negara dihitung

terlebih dahulu oleh pihak yang berwenang seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pusat

Perolehan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah hasil audit penghitungan kerugian

keuangan negara oleh pemeriksa tadi, maka hasilnya disampaikan kepada penuntut umum

dalam hal ini jaksa, sebagai dasar dakwaan dan tuntutan di persidangan. Atas dasar jumlah

kerugian negara yang ditetapkan tersebut hakim akan memutus dengan pidana tambahan

berupa pembayaran uang pengganti oleh terdakwa korupsi kepada negara.

Rencana kegiatan penelitian ini dilakukan terhadap semua kasus tindak pidana

korupsi yang disidangkan di Pengadilan TIPIKOR Denpasar menyangkut kasus-kasus tindak

pidana korupsi yang disertai dengan dakwaan dan tuntutan agar terdakwanya dijatuhi pidana

tambahan pembayaran uang pengganti, baik berupa uang pengganti denda maupun uang

pengganti sebagai akibat tidak mempunyai terdakwa membayar jenis pidana pokok seperti

pidana ganti rugi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Penelitian

ini menggunakan data primer dan sekunder yang dikumpulkan dengan teknik studi dokumen,

penelitian lapangan, dan teknik wawancara. Dalam penentuan sampel penelitian digunakan

teknik non-probabilitas/Non-Random Sampling dan diolah serta dianalisis dengan

menggunakan teknik analisis secara deskriptif kualitatif. Setelah data terkumpul, kemudian

disusun secara sistematis.

Page 4: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNyalah

penelitian yang berjudul “Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Bagi

Terpidana Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar” dapat

kami selesaikan. Dalam penyusunan penlitian ini tentu banyak pihak yang membantu. Untuk

itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Udayana

2. Ketua LPPM Universitas Udayana

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, para wakil dekan, beserta staff di

lingkungan Fakultas Hukum UNUD

4. Ketua Unit Penelitian Pengabdian Fakultas Hukum Universitas Udayana

5. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

6. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.

Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena

itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk penyempurnaan

penelitian ini. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan

sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum.

Denpasar, 17 Oktober 2016

Tim Peneliti

Page 5: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

v

DAFTAR ISI

COVER

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ii

RINGKASAN ........................................................................................................ ...... iii

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... iv

DAFTAR ISI ........................................................................................................ .......... v

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................................... .. 1

1.2. Rumusan Masalah .......................................................................... ........... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ ....... 3

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITAN ...................................................... 15

BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................................ ..... 19

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 23

5.1. Langkah-Langkah Penyelesaian Yang Dilakukan Pihak Kejaksaan

Tinggi Bali Dalam Hal Telah Terjadinya Tunggakan Uang Pengganti

Oleh terpidana Tindak Pidana Korupsi .......................................... 23

5.2 Hambatan yang Dihadapi Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Dalam

Upaya Memenuhi Secara Optimal Uang Pengganti Masuk Ke Kas

Negara ............................................................................................... 54

5.3 Upaya yang Dilakukan Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Guna

Memaksimalkan Eksekusi Dalam Pengembalian Uang Pengganti

Tindak Pidana Korupsi Dapat Masuk ke Kas Negara .................... 63

BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ......................................................... 75

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 76

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi melalui uang pengganti

merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun

pengembalian tersebut tidaklah mudah karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan

yang tergolong kedalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang pelakunya

biasanya berasal dari kalangan intelektual dan mempunyai kedudukan penting. Dalam

ketentuan Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 32-34, serta Pasal 38 B dan 38 C

Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang No.20 Tahun 2001 telah diatur 3

(tiga) upaya yang perlu dilakukan dalam menyelesaikan tunggakan uang pengganti yaitu :

a. Penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah

putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap

b. Melalui putusan subsider pidana penjara

c. Melalui gugatan perdata

Sebagaimana kita ketahui bahwa, sudah diaturnya tata cara yang dapat dilakukan

dalam rangka menyelesaikan tunggakan uang pengganti atas kerugian yang diderita

negara dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut maka jaksa sebagai pelaksana eksekusi

dari putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, dapat langsung

menerapkan tiga upaya tersebut di atas. Namun dalam kenyataannya hal tersebut masih

sulit untuk dilakukan seperti contohnya dalam rangka penyitaan dan pelelangan harta

benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan

hukum tetap, dimana proses peradilan tindak pidana korupsi pada umumnya

membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga terpidana mempunyai kesempatan untuk

mengalihkan atau menyembunyikan harta bendanya yang berasal dari tindak pidana

korupsi tersebut seperti dengan melakukan pencucian uang (money laundering).

Dalam rangka penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli

warisnya, jaksa akan menemui kesulitan dalam menemukan harta benda milik terpidana

atau ahli warisnya sehingga tidak menutup kemungkinan timbulnya tunggakan uang

pengganti yang sangat besar. Selain itu, dalam pelunasan uang pengganti dengan

hukuman badan atau pidana penjara permasalahan juga timbul pada saat terpidana akan

lebih memilih melaksanakan hukuman subsider daripada membayar uang pengganti jika

Page 7: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

2

hukuman subsidernya dianggap lebih menguntungkan daripada pembayaran uang

penggantinya. Dengan demikian, dalam hal ini peranan jaksa akan sangat penting dalam

rangka optimalisasi tugas dan fungsi Kejaksaan di bidang penyidikan dan intelijen

yustisial.

Bali merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia yang tidak luput dari

adanya kasus tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, perlu adanya penanganan

khusus dalam menanggulangi kasus korupsi yang terjadi di Bali. Adapun salah satu

sebagai contoh kasus korupsi yang cukup menyita perhatian masyarakat Bali sendiri

adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Mantan Bupati Buleleng yaitu Dr. Drs. Putu

Bagiada, MM yang diduga merugikan negara sebesar Rp 1.657.970.038,00 (satu miliar

enam ratus lima puluh tujuh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu tiga puluh delapan

rupiah ). Dalam putusan pengadilan Negeri Denpasar No. 19/Pid.Sus/TPK/2012/PN.DPS,

menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun, pidana denda Rp 150.000.000 (seratus lima

puluh juta rupiah) dan pidana tambahan sebesar 574.709.326 (lima ratus tujuh puluh

empat juta tujuh, ratus sembilan ribu tiga ratus dua puluh enam rupiah). Selain kasus

tersebut diatas banyak lagi kasus tindak pidana korupsi yang terpidananya dijatuhi pidana

tambahan pembayaran uang pengganti yang akan peneliti teliti serta kaji pespektif hukum

pidana.

1.2.Rumusan Masalah

Urgensitas masalah terkait penjatuhan pidana tambahan oleh hakim berupa

pembayaran uang pengganti oleh terpidana korupsi peneliti sajikan masalahnya seperti

terumus berikut ini :

1. Apakah hakim dalam memutus terdakwa tindak pidana korupsi selalu menjatuhkan

pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti ?

2. Apa bentuk kendala sebagai hambatan bagi jaksa selaku eksekutor putusan pengadilan

sehingga terjadi tunggakan pembayaran uang pengganti oleh terpidana korupsi di

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Denpasar ?

Page 8: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengertian dan Esensi Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi

Dalam perkembangannya, prospek pemberantasan korupsi di Indonesia mulai

menemukan rohnya kembali pasca jatuhnya rezim orde baru di tahun 1998. Kuatnya

tuntutan masyarakat kepada pemenntah untuk serius memerangi korupsi direspon oleh

pemerintah melalui berbagai kebijakan. Salah satunya dengan mengeluarkan Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-

Undamg No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Salah satu persoalan yang mendapat perhatian lebih dalam pemberantasan korupsi

adalah bagaimana mengembalikan kerugian negara yang hilang sebagai akibat

dilakukannya perbuatan korupsi, baik itu dilakukan oleh perorangan maupun korporasi.

Salah satu instrumen hukum pidana yang memungkinkan penyelamatan uang negara dari

perbuatan korupsi adalah dengan memaksimalkan instrumen hukum pidana uang

pengganti. Sebagai sebuah sanksi, instrumen hukum ini dianggap lebih rasional untuk

mencapai tujuan pemberantasan korupsi, yakni mencegah kerugian negara.

Pidana pembayaran uang pengganti pada dasarnya merupakan suatu hukuman

yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain (negara) untuk

membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian

yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Definisi pidana pembayaran uang

pengganti dapat ditarik dari ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang - Undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantansan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana-telah diubah

kedalam Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 yaitu pembayaran uang pengganti yang

jumlahnya sebanyak -banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat

tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam

bentuk pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman

(pidana) tambahan dalam perkara korupsi.

Pidana pembayaran uang pengganti, termasuk pidana tambahan yang tercantum

dalam Pasal 18 ayat (1) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Page 9: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

4

Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pidana tambahan memiliki beberapa perbedaan dengan pidana pokok yaitu:

1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok adalah suatu keharusan atau imperatif

sedangkan penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif. Apabila dalam suatu

persidangan terbukti bahwa terdakwa bersalah secara sah dan meyakinkan maka

hakim harus menjatuhkan salah satu pidana pokok sesuai jenis dan batas maksimum

dari rumusan tindak pidana yang dilanggar tersebut. Sifat imperatif dapat dilihat pada

rumusan tindak pidana, dimana terdapat dua kemungkinan yaitu diancamkan salah

satu pidana pokok sehingga hakim mau tidak mau harus menjatuhkan pidana sesuai

rumusan tersebut atau dapat juga tindak pidana yang diancam oleh dua atau lebih

jenis pidana pokok sehingga hakim dapat memilih salah satu saja. Misalnya pada

Pasal 2 ayat (2) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, memilih jenis pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu antara

empat tahun hingga 20 tahun. Pada pidana tambahan hakim boleh menjatuhkan atau

tidak pidana tambahan yang diancamkan terhadap si pelanggar. Misalnya, hakim

dapat menjatuhkan salah satu pidana tambahan pada Pasal 18 ayat (1) Undang -

Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam

hal terbukti melanggar pasal 3 undang – undang tersebut. Walaupun prinsipnya

penjatuhan pidana tambahan adalah fakultatif tetapi terdapat beberapa pengecualian

misalnya Pasal 250 bis KUHP.

2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan pidana tambahan

(berdiri sendiri) sedangkan penjatuhan pidana tambahan harus bersamaan dengan

pidana pokok.

3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap

diperlukan pelaksanaan (executie) sedangkan pidana tambahan tidak. Pada pidana

pokok diperlukan eksekusi terhadap pencapaian pidana tersebut kecuali pidana pokok

dengan bersyarat (pasal 14a) dan syarat yang ditentukan itu tidak dilanggar. Pada

pidana tambahan misalnya pidana putusan hakim.

4. Pidana pokok tidak dapat dijatuhkan kumulatif sedangkan pidana tambahan dapat.

Akan tetapi dapat disimpangi pada beberapa undang -undang termasuk Undang -

Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo

Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 10: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

5

Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim tidak diwajibkan

selalu menjatuhkan pidana tambahan.Walaupun demikian, khusus untuk perkara korupsi

hal tersebut perlu untuk diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena korupsi adalah

suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang merugikan atau dapat merugikan

keuangan negara. Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

merumuskan pengertian Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang

dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang

yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban tersebut.1

Dalam hal ini kerugian negara tersebut haras dipulihkan. Salah satu cara yang

dapat dipakai guna memulihkan kerugian negara tersebut adalah dengan mewajibkan

terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi untuk

mengembalikan kepada negara hasil korupsinya tersebut dalam wujud uang pengganti.

Sehingga, meskipun uang pengganti hanyalah pidana tambahan, namun adalah sangat

tidak bijaksana apabila membiarkan terdakwa tidak membayar uang pengganti sebagai

cara untuk memulihkan kerugian negara.

Penjatuhan pidana tambahan tersebut merupakan salah satu cara untuk

mengembalikan kondisi keuangan negara pada keadaan semula dan memberikan

penjeraan langsung kepada akibat kejahatan korupsi yang dilakukannya. Efek jera berupa

penghukuman secara umum diterapkan atas dua aspek, yakni atas diri pelaku dalam ruang

lingkup individu dan efek jera yang dapat diterapkan dalam ruang lingkup yang umum.2

Tujuan utarna dari penghukuman/dampak bagi pelaku antara lain:

1. Kepemilikan atas hak kebendaan dan kenyamanan pelaku;

2. Kebebasan/kemerdekaan bertindak atas aktifitas pelaku;

3. Reputasi atau status sosial pelaku;

4. Hubungan/interaksi sosial pelaku;

5. Spiritual dan kesejahteraan pelaku3

Ahli ekonomi modern seperti Richard Posner, melihat hukuman sebagai bentuk

suatu mekanisme pemulihan.4 Lembaga hukum harus berfungsi maksimal dan memiliki

1 Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara), Sinar

Grafika, Jakarta, h. 164. 2 Christopher Harding, Richard W. Ireland, 1989., Punishment Rhetoric, Rule, and Practise, First

Published, Routledge, New York USA, h. 118. 3 Ibid, h. 186.

Page 11: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

6

pertimbangan dan ukuran yang sama dalam penjatuhan hukuman kepada terdakwa

korupsi agar memberikan efek jera dan menciptakan kepastian hukum. L.R. Huesmann

dan C.L. Podolski menyatakan, bahwa hukuman mungkin memiliki beberapa peran yang

tepat dalam hal pengelolaan perilaku ( behaviour management ) tetapi harus diterapkan

dengan cara yang bijaksana.122 Secara teoritis sebagian masyarakat setuju bahwa

hukuman meningkatkan kepatuhan dan menekan perilaku antisosial hanya untuk periode

yang singkat pasca hukuman tersebut diterapkan. 5

Mengenai uang pengganti, Efi Laila Kholis mengemukakan bahwa

"Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti merupakan kebijakan

kriminal yang tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu "kebijakan

sosial" (social policy} yang terdiri dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat ( social welfare) dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat (social

defence). Oleh karena itu pidana tambahan pembayaran uang pengganti harus

dapat ditarik dari terpidana korupsi agar tercapainya kesejahteraan masyarakat".6

Lebih lanjut menurut Efi laila Kholis seluruh proses yang berkenaan dengan

pidana uang pengganti dapat dibagi dalam empat tahapan, yaitu:

1. Tahap pertama, menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara.

2. Tahap kedua, menghitung besarnya keragia negara.

3. Tahap ketiga, menetapkan kerugian keuangan negara.

4. Tahap keempat, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Ada atau

tidaknya tahap ini sepenuhnya merupakan wewenang hakim.7

Kemudian menurut Indriyanto Seno Adji terkait pidana uang pengganti.

"Tujuan penetapan uang pengganti adalah dalam rangka pengembalian kerugian

keuangan negara yang ditimbulkan oleh pelaku yang secara langsung maupun

tidak langsung memperkaya diri sendiri/menguntungkan orang lain/suatu badan

dan merupakan pidana tambahan yang hampir memilki karakter hukum perdata.

Artinya uang pengganti dijatuhkan untuk mengganti kerugian negara dan

4 Andrew Ashworth, 2010, Sentencing and Criminal Justice, Cambridge University Press, Fifth

Edition, UK, h. 76. 5 L.R. Huesmann and C.L. Podolski, 2003, Punishment:a Psychological Perspective (The Use of

Punisment edited by Scan McConville), First Published, Willan Publishing, Oregon, USA, h.77. 6 Ibid 7 Efi Laila Kholis, 2010, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing,

Jakarta,h.39.

Page 12: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

7

merupakan piutang negara, sehingga terpidana mempunyai kewajiban untuk

membayar uang pengganti karena merupakan hutang kepada negara"8

Dengan demikian uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dalam rangka

mengembalikan kerugian keuangan negara merupakan pidana tambahan yang mempunyai

karakter hukum perdata. Oleh karena itu dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti

dapat dilakukan melalui ranah hukum pidana dan penyelesaian melalui hukum perdata,

dalam hal ini apabila harta kekayaan terpidana korupsi tidak cukup untuk mengganti

kerugian negara maka Jaksa Pengacara Negara dapat melakukan gugatan ganti kerugian

kepada terpidana korupsi sebagaimana ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Perdata.

Mengenai pembayaran uang pengganti oleh terpidana korupsi hingga saat ini

masih menjadi permasalahan mengenai jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari

tindak pidana korupsi, kemudian menentukan besarnya uang pengganti yang harus

dibayar oleh terpidana korupsi dan bagaimana mendapatkan uang pengganti tersebut dan

cara pelunasannya agar bisa kembali ke Kas Negara sehingga dapat dipergunakan untuk

melanjutkan pembangunan nasional.

Setelah uang pengganti diperoleh dari terpidana korupsi maka perm

pengadministrasian yang transparan dan akuntabilitas, agar tidak terjadi kesimpang siuran

mengenai uang pengganti yang telah di setorkan ke kas negara. Sinkronisasi antara

Kejaksaan dan Departenien Keuangan serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sangat

penting agar uang pengganti tersebut tidak melenceng dari tujuan utamanya yaitu

mengembalikan kerugian keuangan negara dan tidak terjadi korupsi diatas tindak pidana

korupsi artinya uang pengganti yang dibayar oleh terpidana korupsi kemudian di korupsi

lagi oleh orang-orang yang terkait pembayaran uang pengganti tersebut.

Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan menyakinkan melakukan tindak

pidana korupsi terbebas dari kewajiban untuk membayar uang pengganti apabila uang

pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan kekayaan terdakwa yang dinyatakan

dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang tersebut, atau

telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian

negara masih dapat ditagih dari pihak lain. Jumlah uang pengganti adalah kerugian negara

yang secara nyata dinikmati atau memperkaya terdakwa atau karena kausalitas tertentu,

sehingga terdakwa bertanggung jawab atas seluruh kerugian negara.

8 Ibid, h. 69-70

Page 13: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

8

2.2.Dasar Hukum Pengaturan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi

Dalam ketentuan Pasal 17 jo 18 huruf b Undang - Undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan "Selain dapat dijaruhi pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat

dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18". Selanjutnya dalam

ketentuan pasal 18 disebutkan "Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah pembayaran uang

pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh

dari tindak pidana korupsi. Undang-Undang memberikan penekanan khusus mengenai

besaran uang pengganti tersebut yakni sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda

yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Secara yuridis hal ini harus diartikan kerugian

yang dapat dibebankan kepada terpidana adalah kerugian Negara yang diperoleh dari

korupsi". Pidana membayar uang pengganti ini dijatuhkan besarnya nyata dan pasti

jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja atau lalai yang

dilakukan oleh terpidana.

Dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti yang sebagaimana telah diatur

dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti

sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu)

bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka

harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti

tersebut. Dengan melihat ketentuan ini maka apabila dalam hal terpidana tidak mampu

untuk membayar pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan kepadanya, jaksa

dapat langsung menyita dan kemudian melelang harta benda yang dimiliki oleh tepidana

tindak pidana korupsi tersebut. Selanjutnya diatur pula dalam Pasal 18 ayat (3) yang

menyatakan bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi

untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 18 ayat (1) huruf b,

maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum

Page 14: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

9

dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya

pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Ketentuan terkait pengaturan uang pengganti selain di atur dalam ketentuan

Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo

Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga saat ini telah diatur lebih

lanjut dalam ketentuan Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana

Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014

tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi menyebutkan

bahwa dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana

korupsi adalah sebanyak - banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi dan bukan semata - mata sejumlah kerugian,negara yang diakibatkan.

Terkait eksekusi atas uang pengganti itu sendiri selanjutnya dalam ketentuan pasal 9

Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang

Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi menyatakan sebagai berikut:

1. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap,

terpidana tidak melunasi pembayaran uang pengganti, jaksa wajib melakukan

penyitaan terhadap harta benda yang dimiliki oleh terpidana.

2. Jika setelah dilakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terpidana tetap

tidak melunasi pembayaran uang pengganti, jaksa wajib melelang harta benda

tersebut dengan berpedoman pada pasal 273 ayat (3) KUHAP

3. Pelaksanaan lelang dilakukan selambat - lambatnya 3 bulan setelah dilakukan

penyitaan.

4. Sepanjang terpidana belum selesai menjalani pidana penjara pokok, jaksa masih dapat

melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta milik terpidana yang ditemukan.

Diadopsinya pidana uang pengganti kedalam sistem hukum pidana yang pada

awalnya hanya dikenal dalam instrumen hukum perdata yang pada dasarnya -dilatar

belakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat

mungkin agar mereka jera. Menilik sistem pemidanaan yang dianut undang - undang

korupsi, baik yang lama maupun yang baru, setiap orang memang sudah sepatutnya takut

untuk melakukan korupsi. Apalagi ditambah dengan kewajiban membayar uang

pengganti sesuai dengan jumlah yang dikorupsinya.

Page 15: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

10

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITAN

3.1 Tujuan Penelitian

Adapun penulisan proposal ini penelitian memiliki tujuan pokok yang dibedakan

menjadi 2 (dua) yaitu :

3.1.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum

pidana khususnya hukum acara pidana dan mengetahui serta mengkaji mengenai

upaya kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam mengeksekusi putusan

Pengadilan Tipikor Denpasar serta usaha untuk penyelesaian tunggakan

pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi, serta bertujuan

meneliti kasus tindak pidana korupsi yang disidangkan di Pengadilan Tipikor

Denpasar yang dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti selama kurun waktu 3

(tiga) tahun terakhir.

3.1.2 Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui dan menjelaskan langkah penyelesaian yang dilakukan

pihak Kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam hal telah terjadinya

tunggakan uang pengganti oleh terpidana tindak pidana korupsi.

2) Untuk mengetahui dan menjelaskan hal - hal apa yang merupakan kendala

sebagai hambatan oleh Kejaksaan dalam mengeksekusi putusan hakim

khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam upaya memenuhi secara optimal

uang pengganti masuk ke kas negara.

3.2 Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian, terdapat suatu manfaat penelitian. Selain

bermanfaat bagi penulis, diharapkan juga bisa bermanfaat bagi semua pihak dan tentunya

mempunyai manfaat yang dianggap positif. Manfaat penelitian dibagi menjadi dua yaitu

secara teoritis dan secara praktis. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

3.2 1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini akan bermanfaat bagi para pembaca sehingga dapat

menjadi bahan acuan atau referensi dalam meneliti hal-hal yang serupa dan

Page 16: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

11

penelitian ini mampu membantu para pembaca sebagai pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang Hukum Pidana khususnya sistem peradilan pidana yang

berkaitan dengan upaya Kejaksaan untuk menyelesaikan timbulnya tunggakan

pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi.

3.2.2 Manfaat Praktis

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

penjelasan bagi pembaca tentang upaya Kejaksaan khususnya Kejaksaan Tinggi

Bali dalam penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak

pidana korupsi, serta diharapkan dapat menjadi pendorong bagi penelitian -

penelitian selanjutnya mengenai permasalahan uang pengganti dalam kasus tindak

pidana korupsi dengan menggunakan metode yang lebih baik dan hasil penelitian

yang lebih sempurna.

3.3 Urgensi (Keutamaan) Penelitian dan Potensi Hasil Penelitian

Keutamaan atau urgensitas penelitian ini untuk mengetahui intensitas perkara

korupsi dengan terpidananya yang dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang pengganti

oleh hakim kepada para terpidana korupsi juga kendala bagi jaksa kenapa tidak bisa

melakukan eksekusi atas harta yang dimiliki terpidana.

Penegak hukum yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah

penyidik, penuntut umum, dan hakim. Hakim merupakan penentu terakhir dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian hakim tidak dapat bertindak aktif

diluar konteks perkara yang diajukan ke persidangan oleh penuntut umum ( jaksa ).

Sementara pihak yang aktif dalam melakukan penyidikan dan penuntutan adalah jaksa.

Oleh karena itu tidak berlebihan apabila disebutkan bahwa Kejaksaan menjadi salah satu

penentu keberhasilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Demikian juga apabila

dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi dan mengalami kegagalan atau belum

berhasil, maka Kejaksaan pun akan dianggap gagal atau belum berhasil dalam proses

penyelesaian masalah ini. Eksekutor putusan pengadilan dibebankan pada jaksa.

Hukum dan penegak hukum merupakan faktor penegakan hukum yang tidak bisa

diabaikan, karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum

yang diharapkan.9 Oleh karena itu, keberadaan Kejaksaan sebagai lembaga penegak

hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis dalam suatu

9Soerjono Soekanto, 1983, Faktor — Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali,

Jakarta, h.5.

Page 17: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

12

negara hukum karena Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses

pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam masyarakat harus mampu

mengemban tugas penegakan hukum.

Dalam bidang pidana, sebagaimana disebutkan dalam Undang - Undang No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d,

kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain melakukan penyidikan terhadap

tindak pidana tertentu berdasarkan undang - undang. Kewenangan dalam ketentuan

tersebut sebagaimana diatur misalnya dalam Undang - Undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang

- Undang No.20 Tahun 2001 juncto Undang - Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang - Undang No. 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Setelah terjadinya tindak pidana korupsi dan yang tidak jarang terjadi disusul

dengan tindak pidana pencucian uang kemudian muncul suatu permasalahan terkait

pengembalian atas kerugian yang diderita negara dari tindak pidana korupsi dan

pencucian uang tersebut. Salah satu cara mengembalikan uang negara yang hilang

tersebut adalah dengan menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang

pengganti. Dengan cara ini maka akan memberikan hasil yaitu berupa pemasukan ke kas

negara dari hasil pembayaran uang pengganti. Uang pengganti sebagai pidana tambahan

dalam perkara korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap

mereka yang melanggar hukum dalam hal tindak pidana-korupsi.

Dalam prakteknya menurut hasil penelitian Indonesia Corruption Watch ( ICW ),

persoalan pemberantasan korupsi selain eksekusi hukuman badan terhadap koruptor yang

belum optimal, eksekusi terhadap uang pengganti hasil korupsi pun tidak berjalan dengan

maksimal. Perkembangan terbaru berdasarkan Hasil Pemeriksaan Atas Auditorat Utama

Keuangan Negara I di Jakarta (Nomor: 57/Hp/XIV/07/2013Tanggal: 2 Mi 2013) Tentang

Piutang Kejaksaan RI Posisi Per 30 Juni 2012 Pada Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi

dan Kejaksaan Negeri di DKI Jakarta dan Jawa Barat menyebutkan saldo piutang dalam

Laporan Keuangan Kejaksaan RI per 30 Juni 2012 khusus untuk uang pengganti adalah

sebesar Rpl2.761.269.954.983,50 dan USD290.408.669,77. Hal ini sungguh disayangkan,

karena pidana uang pengganti merupakan salah satu upaya pengembalian kerugian

keuangan negara (asset recovery)10

10Http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/Files/doc/Kaiian/policvpaperkeuangannegara.pdf.

diakses 15 Desember 2015.

Page 18: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

13

Penelitian ini bertujuan mencapai sasaran terhadap jumlah uang pengganti yang

berhasil dieksekusi oleh jaksa, berupa pengembalian dari para terpidana korupsi atas

kerugian keuangan negara yang sempat dikorup. Pengembalian kerugian keuangan negara

ini bermanfaat untuk pembangunan masyarakat luas. Serta pula kalau melalui proses

eksekusi pidana tidak berhasil, maka perlu strategi tindakan hukum lain berupa

mengoptimalkan jaksa selaku pengacara negara untuk menggugat melalui gugatan

perdata.

Page 19: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

14

BAB IV

METODE PENELITIAN

Penentuan metode penelitian yang tepat sangat penting dalam sebuah penelitian.

Metode merupakan cara untuk melaksanakan pekerjaan, pemilihan metode yang tepat akan

mernpermudah suatu penelitian, serta akan memperoleh hasil yang diharapkan.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris. Penelitian hukum

empiris" di dahului adanya kesenjangan antara das solen dan das sein. Dalam penelitian

hukum empiris dapat dipakai berbagai jenis penelitian diantaranya penelitian berlakunya

hukum dan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi hukum yang hidup.11

Kegunaan penelitian hukum empiris adalah untuk mengetahui bagaimana hukum itu

dilaksanakan termasuk juga proses penegakan hukumnya, karena penelitian jenis ini

dapat mengungkapkan permasalahan - permasalahan yang ada di balik pelaksanaan dan

penegakan hukum yang ada di masyarakat.

3.2 Sifat Penelitian

Pada penelitian hukum empiris ini dipergunakan penelitian yang bersifat

deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu

individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran

suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan

gejala yang lain di dalam masyarakat.12 Lebih jelasnya lagi penelitian ini termasuk

penelitian survey deskriptif, yakni penelitian yang semata - mata bermaksud memberikan

gambaran yang tepat dari suatu gejala, dan pokok perhatiannya adalah pengukuran yang

cermat dari satu atau lebih variabel terikat dalam suatu kelompok penduduk tertentu atau

dalam sampel dari kelompok penduduk tertentu.

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum ada 2 jenis yaitu data primer dan data

sekunder.

11 Ade Saptomo, 2009, Pokok - Pokok Metodelogi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif,

Universitas Trisakti, Jakarta, h.42. 12 Amiruddin danZainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h.25.

Page 20: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

15

1. Data primer adalah data yang bersumber dari lapangan baik dari responden ataupun

informan, yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Kejaksaan Tinggi

daerah Bali dimana Kejaksaan Tinggi Daerah Bali merupakan institusi Kejaksaan

yang berkedudukan di Ibukota Propinsi Bali dengan daerah hukum meliputi wilayah

Propinsi Bali, yang membawahi 9 (sembilan) Kejaksaan Negeri.

2. Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yakni data

yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber

dari data - data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan - bahan hukum.

Bahan hukum diklasifikasikan menjadi 3 (tiga):

a. Bahan Hukum Primer ( primary law material) :

1) Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2) Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ( KUHP )

3) Undang - Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

4) Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang -

Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

6) Undang - Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

7) Undang - Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

8) Peraturan Mahkamah Agung No.5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan

Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary law material) :

1) Buku — buku hukum

2) Hasil - hasil penelitian

3) Pendapat para pakar hukum, karya tulis yang dimuat dalam media massa

c. Bahan Hukum Tersier (tertiary law material):

1) Kamus Hukum

2) Ensiklopedia

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh, mengumpulkan dan memahami data yang berkaitan dengan

penulisan ini digunakan teknik sebagai berikut:

1) Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu

hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun dalam penelitian hukum

Page 21: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

16

empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu

hukum yang selalu^bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas

bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.

2) Penelitian Lapangan

Metode ini merupakan suatu teknik untuk memperoleh data dengan mengadakan

penelitian secara langsung di lapangan. Dalam penelitian ini dilakukan pada

Kejaksaan Tinggi daerah Bali. Dari penelitian Lapangan ini akan didapat data primer,

yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik responden

maupun informan.

3) Teknik Wawancara (interview)

Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan

dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah cara yang digunakan untuk

memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.13 Dalam kegiatan

ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan

dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-

jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun

informan. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan pada pihak Kejaksaan Tinggi

Bali terkait upaya yang dilakukan pihak Kejaksaan khusunya jaksa yang membidangi

tindak pidana khusus, dalam penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti

kasus tindak pidana korupsi. Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka, dialogis,

sistematis, masih dimungkinkan adanya variabel - variabel pertanyaan disesuaikan

dengan situasi dan.kondisi ketika wawancara dilakukan.

3.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik non - probabilitas / Non- Random Sampling.

Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non- random sampling memberikan

peran yang sangat besar pada peneliti untuk menentukan pengambilan sampelnya. Dalam

teknik ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel yang harus diambil agar dapat

dianggap mewakili populasinya. Tidak semua elemen dalam populasi mendapat

kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Bentuk non- random sampling yang

digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Pengambilan sampel dalam

13 Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta, h.95.

Page 22: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

17

purposive sampling yaitu Penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu

sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan

pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan

sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. Dalam

penelitian ini penentuan sample akan dilihat berdasarkan data - data putusan kasus tindak

pidana korupsi yang dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang

kemudian dapat menjabarkan bagaimana upaya yang ditempuh pihak Kejaksaaan Tinggi

Daerah Bali dalam hal penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti tersebut.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Adapun teknik pengolahan dan analisis analisis data yang digunakan adalah

menggunakan teknik analisis secara deskriptif kualitatif, dengan menggambarkan hasil

penelitian yang diperoleh disertai dengan penjelasan dan penginterprestasikan secara

logis dan sistematis. Setelah data terkumpul, kemudian disusun secara sistematis yang

didasarkan pada upaya Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Tinggi daerah Bali dalam

penyelesaian tunggakan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi.

Page 23: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

18

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Langkah-Langkah Penyelesaian Yang Dilakukan Pihak Kejaksaan Tinggi Bali

Dalam Hal Telah Terjadinya Tunggakan Uang Pengganti Oleh Terpidana Tindak

Pidana Korupsi

Penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia di dalamnya dan dengan demikian

akan melibatkan tingkah laku manusia. Hukum tidak mungkin tegak dengan sendirinya,

artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji -janji serta kehendak - kehendak

yang tercantum dalam peraturan - peraturan hukum itu.14 Pendapat semacarn ini serasi

dengan apa yang dikemukakan oleh Satjipto Raharjo yang mengemukakan "penegakan

hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide - ide menjadi kenyataan, proses

perwujudan ide - ide inilah merupakan hakekat dari penegakan hukum15

Penegakan hukum yang ideal pada dasarnya merupakan tujuan yang hendak dicapai.

Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa dalam penegakan hukum semua hak dan kewajiban

terlaksana dan terpenuhi disamping tercapainya tujuan dan proses penegakan hukum, baik itu

jangka panjang maupun tujuan kontekstual.

Penegakan hukum merupakan penegakan kebijakan dengan proses yang meliputi

antara lain tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang, tahap penerapan hukum

pidana oleh badan yang berwenang, yang dapat pula disebut dengan tahap kebijakan

yudikatif mulai dari kepolisian hingga pengadilan melalui tindakan penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang hingga putusan hakim, dan tahap pelaksanaan

pidana atau yang dikenal dengan ekseskusi, yang merupakan pelaksanaan hukum pidana oleh

14 Satjipto Raharjo,tt, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), BPHN, Jakarta, h. 11. 15 Ibid, h. 15

Page 24: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

19

aparat pelaksana pidana, tahap ini dikenal pula dengan tahap kebijakan eksekutif atau

administrative, yaitu pemberian pidana secara in concrete.

Tahap terakhir yaitu tahap eksekusi yaitu pemberian pidana secara in concrete

mempunyai arti yang sangat penting dalam penegakan hukum, yaitu menegakkan aturan -

aturan yang abstrak menjadi penegakan hukum yang konkrit. Ini menunjukan bahwa untuk

menegakkan aturan - aturan yang abstrak memang dibutuhkan upaya untuk

mengkonkritkannya. Dengan kata lain bahwa hukum yang in abstracto memerlukan proses

tertentu untuk menjadikannya hukum yang in concreto.

Eksistensi dari penegakan hukum pidana materil adalah sejauh mana suatu putusan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat, hal

ini sangat penting mengingat wibawa dari suatu putusan sebagai akhir dari proses penegakan

hukum pidana terletak pada dapat tidaknya isi dari putusan hakim tersebut dilaksanakan oleh

Jaksa selaku eksekutor.

Putusan hakim pada dasarnya mengandung beberapa aspek yuridis baik materil

maupun formil. Putusan hakim beraspek materil dalam pengertian bahwa segala perbuatan

yang dilakukan oleh terdakwa telah terbukti adanya sehingga yang bersangkutan dapat

dimintakan pertanggungjawaban hukumnya. Sedangkan putusan hakim yang beraspek formil

dalam pengertian adanya suatu kewajiban bagi jaksa selaku eksekutor untuk dapat

melaksanakan putusan yang telah ditetapkan oleh hakim (Pengadilan).

Berbicara mengenai proses penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari penjatuhan

sanksi pidana tambahan berapa pengembalian kerugian keuangan negara dalam bentuk

pembayaran uang pengganti yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis di Pengadilan Negeri Denpasar berikut

didapat data terkait perkara korupsi dari seluruh Kabupaten dan Kota di Bali yang masuk ke

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dari tahun 2012 hingga tahun 2015 yakni sebagai berikut:

Page 25: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

20

Page 26: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

21

Page 27: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

22

Page 28: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

23

Page 29: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

24

Page 30: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

25

Page 31: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

26

Page 32: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

27

Berdasarkan data perkara korupsi 2012 di Pengadilan Negeri Denpasar, dari 20 kasus

yang diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar terdapat 5 kasus yang dalam

amar putusannya yang memuat selain pidana penjara dan pidana denda juga berisi pidana

Page 33: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

28

tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dalam bentuk pembayaran uang

pengganti. Sedangkan pada tahun 2013 dari 25 kasus yang terdaftar, hanya 8 perkara korupsi

yang pada putusannya mencantumkan pidana pembayaran uang pengganti selain dengan

pidana penjara dan pidana denda. Kemudian pada data perkara korupsi tahun 2014 terdapat

34 kasus yang diperiksa di Pengadilan Tindak pidana Korupsi Denpasar yang dimana

terdapat 15 kasus yang dalam amar putusannya yang memuat selain pidana penjara dan

pidana denda juga berisi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara

dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Sedangkan pada tahun 2015 dari 53 kasus yang

terdaftar hanya baru terdapat 15 perkara yang pada putusannya mencantumkan pidana

pembayaran uang pengganti selain dengan pidana penjara dan pidana denda.

Apabila dilihat dari amar putusan yang menyangkut pengembalian kerugian keuangan

negara akibat tindak pidana korupsi dalam bentuk penjatuhan pidana pembayaran uang

pengganti di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar dari tahun 2012 - 2015 adalah

sebesar Rp 40.625.925.259. Oleh karena masih ada perkara yang sedang dalam proses

persidangan dan pengajuan upaya hukum, pengembalian kerugian keuangan negara dalam

bentuk pembayaran uang pengganti perkara korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap (inkracht ) dan sepatutnya telah dapat dieksekusi adalah Rp 10.578.810.354.

Penerapan pidana pembayaran uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan

negara akibat tindak pidana korupsi sangat tergantung dari proses persidangan. Untuk

mengoptimalkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi serta pengembalian kerugian

keuangan yang ditimbulkan, bukan saja tergantung dari putusan pengadilan yang dibuat oleh

hakim melainkan juga sangat dipengaruhi oleh dakwaan serta tuntutan yang disusun oleh

Jaksa Penuntut Umum sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Apabila dilihat

dari data yang diperoleh penulis terkait perkara korupsi diatas, dapat dilihat bahwa masih ada

perkara korupsi yang dalam tuntutannya tidak tercantum pidana tambahan berupa

pengembalian keuangan negara dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Selain itu apabila

Page 34: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

29

melihat jumlah perkara korupsi pada tahun 2012 - 2015 yang diperiksa di Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi Denpasar yang tercatat dalam buku register perkara pidana Pengadilan

Negeri Denpasar terus mengalami peningkatan.

Pelaksanaan isi putusan oleh Jaksa selaku eksekutor pada dasarnya tidak terlepas dari

apa yang telah dituntutkan olehnya pada saat proses pemeriksaan perkara. Tuntutan tersebut

didasarkan pada adanya alat bukti dan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan,

namun tidak jarang pula apa yang telah dituntutkan oleh Penuntut Umum mengalami

kesulitan pada saat akan dilakukan eksekusi, baik itu menyangkut eksekusi terhadap

terpidana, eksekusi terhadap barang, serta eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran

uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. Eksekusi pada dasarnya merupakan

salah satu kewenangan Jaksa yang diatur undang - undang untuk melaksanakan putusan

hakim. Putusan hakim yang dapat dilakukan eksekusi hanyalah putusan hakim yang sudah

memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dari beberapa hal yang harus

dilakukan esekusi tersebut, yang menimbulkan persoalan adalah eksekusi terhadap

pembayaran uang pengganti yang menjadi kewajiban tambahan dari terpidana dalam perkara

tindak pidana korupsi.

Uang pengganti dalam tindak pidana korupsi secara yuridis harus dikembalikan oleh

terdakwa dalam tempo 1 (satu) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum

tetap, namun pengembalian kerugian negara tersebut secara umum dapat dikatakan tidak

berhasil, karena dalam perkara korupsi banyak terdakwa tidak memenuhi kewajibannya yang

tertuang dalam putusan pengadilan tersebut. Dalam kondisi yang demikian menjadi

kewajiban Jaksa untuk melakukan eksekusi uang pengganti dalam rangka pengembalian

keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa peran Jaksa

sebagai ujung tombak dalam upaya pengembalian keuangan negara sangat besar. Untuk

mencapai upaya pengembalian keuangan negara dari terpidana, maka Jaksa dapat melakukan

penyitaan harta terpidana dan selanjutnya dilakukan pelelangan.

Page 35: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

30

Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dilakukan oleh Jaksa selaku eksekutor. Eksekusi merupakan salah satu kewenangan jaksa

yang diatur oleh undang-undang guna melaksanakan putusan pengadilan. Pada dasarnya

pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan

eksekusi terhadap orang maupun eksekusi terhadap barang dalam perkara tindak

pidana pada umumnya, yang membedakannya adalah adanya batas waktu bagi terpidana

untuk membayar uang pengganti tersebut setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap

serta diharuskannya menyerahkan harta bendanya untuk menutup pembayaran uang

pengganti apabila terpidana tidak mampu membayarnya.16

Salah satu putusan pengadilan yang memuat pidana tambahan yaitu pengembalian

kerugan keuangan negara berupa uang pengganti adalah putusan Pengadilan Negeri Denpasar

No. 9/Pid.Sus/TPK/2015/PN.DPS yang amarnya menyatakan sebagai berikut:

a. Menyatakan terdakwa I NYOMAN BUDI PERMADI, SH, telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut;

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15

(lima belas ) tahun;

c. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa atas kesalahannya itu dengan pidana denda

sebesar Rp 200.000.000 ( dua ratus juta rupiah), apabila denda tersebut tidak dibayar,

maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam ) bulan ;

d. Menghukum kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.

1.765.328.480 (satu milyar tujuh ratus enam puluh lima juta tiga ratus dua puluh delapan

ribu empat ratus delapan puluh rupiah) dengan ketenruan apabila uang pengganti tersebut

tidak dibayar dalam tenggang waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan

pengadilan tersebut berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa

dan dijual lelang untuk membayar uang pengganti tersebut dan jika terdakwa tidak

memiliki harta benda yang cukup maka dipidana penjara selama 3(tiga) tahun dan 6

(enam ) bulan;

e. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang akan dijatuhkan ;

f. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;

g. Menetapkan barang bukti berupa.... tetap terlampir dalam berkas perkara;

h. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu

rupiah);

16 Lilik Mulyadi, 2011, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktek dan

Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, h. 314-315.

Page 36: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

31

Banyak faktor yang menghambat tidak selesainya atau kurang optimalnya

pembayaran uang pengganti, hal itu disebabkan karena keadaan ekonomi terpidana yang

tidak mampu untuk membayar uang pengganti atau sudah tidak ada harta benda lagi untuk

disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Dalam hal yang berkaitan dengan

tunggakan pembayaran uang pengganti, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengeluarkan

surat edaran dengan nomor: B-779/F/Fjp/Ft/l 0/2005. Perihal Eksekusi Pembayaran Uang

Penggati, disampaikan sebagai berikut:

1. Agar selalu dilakukan pemutakhiran data perkara tindak pidana korupsi yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap (yang ada pembayaran uang pengganti), dengan

dipilah yang putusannya didasarkan pada Pasal 34 C Undang - Undang No.3 Tahun 1971

dan mana yang berdasarkan Pasal 18 Undang - Undang No.31 Tahun 1999.

2. Dalam hal terpidana benar-benar dalam keadaan tidak mampu yang dibuktikan dengan

keterangan pejabat yang berwenang, dapat diusulkan dengan penghapusan piutang

negara, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan RI No.31/PMK.07/2005 tanggal 23

Mei 2005.

3. Untuk eksekusi pembayaran uang pengganti yang diputus berdasarkan Pasal 34 Undang -

Undang No.3 Tahun 1971, agar ditempuh upaya-upaya sebagai berikut:

a. Upayakan seoptimal mungkin pencarian / pelacakan aset terpidana untuk selanjutnya

dilakukan penyitaan.

b. Aset hasil pencarian / pelacakan tersebut segera dilakukan pelelangan sesuai

ketentuan hukum yang berlaku (vide keputusan Menkeu No.304/ KMK.01/ 2002

tanggal 13 Juni 2002 tentang Juklak Pelelangan).

c. Uang hasil lelang disetorkan ke kas negara dan diperhitungkan dengan jumlah

kewajiban pembayaran uang pengganti, apabila terdapat kelebihan dari jumlah uang

pengganti, maka kelebihannya dikembalikan kepada terpidana, namun jika ternyata

masih terdapat kekurangan, maka tetap menjadi beban kewajiban yang harus dibayar

oleh terpidana.

d. Apabila upaya butir a, b, dan c secara optimal telah dilakukan dan ternyata tidak

ditemukan aset terpidana, maka penyelesaian selanjutnya dilimpahkan kepada Datun

untuk diupayakan melalui instrumen perdata.

4. Dalam hal putusan hakim terhadap uang pengganti yang didasarkan pada Pasal 18

Undang - Undang No.31 Tahun 1999, dimana secara tegas mencantumkan pada

putusannya bahwa apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu satu bulan

atau dalam waktu tertentu, agar supaya harta bendanya dapat disita oleh jaksa untuk

selanjutnya dilakukan pelelangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, guna menurupi

pembayaran uang pengganti, apabila terpidana tidak mempunyai harta benda atau harta

bendanya tidak mencukupi agar supaya dilakukan eksekusi hukuman badan sesuai

putusan hakim, sehingga tidak menjadi tunggakan atas eksekusi hukuman membayar

uang pengganti. Dalam hal terpidananya melarikan diri, agar aset-aset yang telah dapat

disita segera dilakukan pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan uang hasil

lelang disetorkan ke kas negara untuk diperhitungkan sebagai pembayaran uang

pengganti.

Page 37: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

32

5. Tuntasnya penanganan suatu perkara yang telah mendapat putusan hakim yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap adalah apabila dilakukan eksekusi secara tuntas,

termasuk eksekusi pembayaran uang pengganti.

Dari beberapa kasus korupsi yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap

(inkrachi) dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Bali, ada sebagian kasus

yang telah tuntas, dalam hal ini telah tuntas pula eksekusi pembayaran uang pengganti,

namun ada juga tunggakan mengenai uang pengganti, karena terpidana tidak mampu

membayar sehingga menjadi tunggakan uang pengganti. Maka dari itu jaksa selaku eksekutor

dapat melakukan penyitaan terhadap harta benda terpidana yang dianggap sebagai hasil

tindak pidana korupsi dan hasil penyitaan tersebut akan dilelang untuk umum di kantor

pelelangan Negara, hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir kerugian keuangan Negara

akibat dari tindak pidana korupsi. Adapun laporan terkait pelaksanaan eksekusi pidana

pembayaran uang pengganti dalam kasus tindak pidana korupsi yang tercatat di Kejaksaan

Tinggi Bali adalah sebagai berikut :

Page 38: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

33

Page 39: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

34

Page 40: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

35

Page 41: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

36

Page 42: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

37

Page 43: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

38

Page 44: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

39

Page 45: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

40

Page 46: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

41

Page 47: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

42

Page 48: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

43

Page 49: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

44

Page 50: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

45

Page 51: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

46

Page 52: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

47

Data terkait pelaksanaan eksekusi terhadap pidana pembayaran uang V\ pengganti

dalam perkara tindak pidana korupsi Kejaksaan Tinggi Bali diatas dapat dilihat bahwa masih

terdapat tunggakan uang pengganti semenjak tahun 2012 hingga tahun 2016. Jumlah yang

Page 53: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

48

berhasil dieksekusi belum sebanding dengan jumlah kerugian yang dialami negara akibat

tindak pidana korupsi tersebut. Dari data tersebut dapat kita lihat pula bahwa jangka waktu

dari penagihan oleh pihak Kejaksaan kepada terpidana memerlukan waktu yang cukup lama

melebihi tenggang waktu yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang — Undang

No. 31 Tahun 1999 jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 yakni 1 bulan setelah putusan

berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak I Wayan Suardi, SH selaku Kasi

Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bali mengatakan bahwa apabila dalam

hal pidana pembayaran uang pengganti telah terjadi tunggakan maka langkah penyelesaian

yang akan ditempuh antara lain yakni sebagai berikut:

1. Penagihan - penagihan secara khusus ( non - litigasi ) kepada terpidana dan keluarganya.

Dalam hal ini dilakukan negosiasi terhadap sistem pembayaran uang pengganti apakah

tunai atau dengan mengangsur. Setelah dilakukan pembayaran oleh terpidana baik secara

tunai maupun mengangsur maka selanjutnya diberikan bukti pembayaran yang kemudian

dicatat di dalam administrasi perkara bidang perdata dan tata usaha negara, bidang

pembinaan dan bidang tindak pidana khusus.

2. Pelacakan aset ( asset tracing ) terpidana

Asset Tracing adalah suatu teknik yang digunakan oleh investigator atau auditor forensik

dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi keuangan dan non

keuangan yang berkaitan dengan aset hasil perbuatan tindak pidana korupsi dan/atau

tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk dapat

diidentifikasikan, dihitung jumlahnya, dan selanjutnya agar dapat dilakukan blocking of

customer account (pemblokiran) atau freezing (pembekuan) dan foreclosure (penyitaan)

untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dalam

hal dilakukan pelacakan aset milik terpidana yang sulit penyelesaiannya maka Kejaksaan

Page 54: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

49

Negeri / Tinggi akan bekeija sama dengan Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung

RI.

3. Perampasan aset terpidana

Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap,

diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan

perampasan (sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta

benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi).

4. Pengenaan pidana subsider

Sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 18 ayat (3) bahwa terpidana yang tidak

mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti otomatis akan

menjalani pidana penjara yang lamanya telah ditentukan dalam putusan pengadilan. Hal

ini pun diterapkan terhadap terpidana korupsi yang telah menunggak pembayaran atas

uang pengganti tersebut.

5. Gugatan Perdata

Apabila secara non litigasi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan jangka waktu yang

telah ditentukan maka langkah selanjutnya yang akan ditempuh pihak Kejaksaan adalah

dengan melalui gugatan perdata terhadap terpidana dengan dasar gugatan yaitu perbuatan

melawan hukum terhadap sejumlah uang pengganti yang belum dibayar. Gugatan secara

perdata dapat dilakukan terhadap tunggakan pembayaran uang pengganti meskipun

terpidana telah selesai menjalani pidana pokok dan pidana subsider sebagai pengganti

pidana pembayaran uang pengganti. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam ketentuan

Pasal 3 KUH Perdata yang menyatakan "bahwa tiada suatu hukuman apapun

mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak kewarganegaraannya".

Uang pengganti yang menunggak meskipun telah digantikan dengan pidana subsider

sebagaimana ketentuan pasal 18 ayat (3) Undang - Undang No. 31 Tahun 1991 jo.Undang

- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditetapkan

Page 55: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

50

sebagai piutang negara. Sehingga dalam hal ini tetap dapat dilakukan gugatan perdata.

Dalam pengajuan gugatan perdata Jaksa akan menyertakan permohonan sita jaminan (

conservatoir beslag ) terhadap harta benda milik terpidana. Hal ini sejalan dengan

ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan "segala kebendaan si berutang, baik

yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan". Upaya

hukum gugatan perdata yang berkaitan dengan usaha pengembalian/pembayaran uang

pengganti atau karena, perbuatan yang merugikan keuangan negara, dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Staatsblad 1922 No. 522 dan peraturan

perundang-undangan dengan hukum acara perdata yang berlaku. Sesuai dengan

fungsinya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum cq. Direktorat Perdata Kejaksaan

Agung RI menghimpun, meneliti mengendalikan, membimbing dan mengawasi

pelaksanaan terhadap setiap upaya hukum gugatan perdata, yang ada kaitannya dengan

pembayaran uang pengganti tersebut, selanjutnya melaporkan hasil-hasilnya kepada Jaksa

Agung RI, u.p. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus

Dalam hal yang berkaitan dengan terpidana sudah tidak mempunyai harta lagi untuk

disita dan dilelang untuk negara dan terpidana dalam keadaan benar-benar tidak mampu,

yang dibuktikan dengan keterangan pejabat yang berwenang seperti camat dan lurah

setempat, dapat diusulkan penghapusan piutang negara sehingga terpidana diwajibkan

mengganti dengan hukuman badan. Hal tersebut sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan

RI No.31/PMK.07/2005 dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Hal tersebut dinyatakan dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor : B-779/F/Fjb/nY

10/2005 berkaitan dengan Tunggakan Uang Pengganti.

Page 56: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

51

Dengan adanya Surat Edaran Kejaksaan Agung, mengenai tunggakan uang pengganti

tersebut, oleh para terpidana korupsi dapat dijadikan sarana untuk lari dari tanggungjawab

membayar uang pengganti, karena dengan adanya surat keterangan tidak mampu dari pejabat

yang berwenang maka dapat diusulkan penghapusan piutang terhadap negara, padahal seperti

yang telah kita ketahui bahwa pelaku tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang

mempunyai tingkat intelegensi yang dapat mengelabui aparat penegak hukum, misalnya jauh

sebelum dilakukan penyelidikan tentang kasus yang sedang ia hadapi, maka para koruptor

telah memindahtangankan hak milik harta bendanya kepada ahli waris atau orang lain yang

bertujuan menghindari pelacakan dari aparat penegak hukum atau menghilangkan barang

bukti, sehingga sulit untuk dibuktikan bahwa ia telah melakukan tindak pidana korupsi.

Melalui ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dapat

diketahui bahwa pembayaran uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan negara

waktunya telah ditetapkan pengadilan. Terkait dengan konsekuensi yang timbul apabila

terpidana tidak mau ataupun kenyataannya tidak mampu untuk membayar uang pengganti

sebagai pidana tambahannya, maka secara otomatis terpidana tersebut akan menjalani pidana

penjara tambahan sebagai pidana subsider. Sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan

Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa dalam hal

terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang

lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketenruan

dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan

pengadilan.

Apabila ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tersebut

diterapkan, hal ini tentu sangat menimbulkan kerugian, mengingat selain gagal untuk

memperoleh kembali kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh terpidana atas

tindakan korupsi yang dilakukannya, pidana penjara sebagai subsider justru merupakan beban

Page 57: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

52

tambahan bagi negara karena harus menanggung biaya terpidana selama hidup di Lembaga

Pemayararakatan lebih lama.

Tujuan hukum adalah terciptanya suatu kedamaian yang didasarkan pada keserasian

antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum ini tentunya akan tercapai apabila

didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian antara kepastian hukum dengan kesebanding

hukum sehingga akan menghasilkan suatu keadilan.17 Menurut aliran utiltarianisme yang

menjelaskan bahwa tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya

orang. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau

adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan

kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu.

Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan

itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa Indonesia) tersebut.

Prinsip utilitas menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari antara tindakan -

tindakan alternatif atau kebijakan sosial, kita mengambil satu pilihan yang memiliki

konsekuensi yang secara menyeluruh paling baik bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Dengan mengacu pada teori ini, Jaksa selaku eksekutor terhadap pelaksanaan putusan hakim

yang telah berkekuatan hukum tetap dalam hal ini pidana pembayaran uang pengganti harus

dapat menentukan cara - cara yang ditempuh agar mampu mengembalikan uang pengganti

tersebut demi terwujudnya keadilan di masyarakat.

Penjatuhan pidana penjara pengganti pidana uang pengganti secara konsisten antar

terdakwa, adalah bentuk perwujudan kepastian hukum dan pertimbangan untuk menjatuhkan

pengganti pidana uang pengganti yang tinggi dapat diberikan batasan minimal dan maksimal,

agar memberikan penjeraan dan sekaligus menutup peluang bagi para terpidana untuk

memilih pengganti pidana penjara daripada memilih mengembalikan uang negara. Pelaku

tindak pidana korupsi melihat bahwa akibat suatu pelanggaran hukum adalah sebagai risiko,

17 Edmon Makarim, 2009, Kompilasi Hukum Telematika, PT Raja Graflndo Persada, Jakarta, h.13

Page 58: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

53

bukannya melihat dari sisi akibat hukum yang harus diterima, dengan demikian sisi untung

ruginya secara matematis ekonomis menjadi pertimbangan utama untuk melakukan tindak

pidana korupsi. Penentuan batas minimal dan maksimal terhadap pengganti pidana uang

pengganti berupa tambahan pidana penjara, harus menggunakan parameter yang terukur

dengan persepsi yang sama antar penegak hukum, misalnya dengan mempertimbangkan

kedudukan, keberadaan dan kontribusi terdakwa dalam suatu tindak pidana korupsi.

Apabila dikaitkan dengan teori ekonomi, korupsi merupakan kejahatan luar biasa

yang merusak nilai-nilai sosial masyarakat secara bertahap dan mengambil hak ekonomis

negara. Hak ekonomis negara adalah hak secara ekonomi yang hams diperoleh akibat adanya

kegiatan berapa pembangunan di bidang perekonomian oleh negara, yang akan menghasilkan

nilai tambah secara ekonomis bagi negara. Nilai tambah secara ekonomis misal pengadaan

sarana publik seperti pasar atau pembangunan infrakstruktur seperti jalan umum. Masyarakat

luas harus mendapatkan perlindungan agar haknya tidak hilang akibat perbuatan korupsi

tersebut. Nilai ekonomis yang akan diciptakan negara secara langsung atau tidak langsung

demi kepentingan masyarakat luas akan menjadi tertunda/hilang akibat perbuatan tindak

pidana korupsi. Terlepas dari biaya yang besar akibat dari tindak pidana dan ancaman

kejahatan terjadi di masyarakat, hal yang mendasar dari rasionalitas dari tindak pidana adalah

tidak melakukan minimalisasi biaya sosial yang timbul akibat tindakan pidana.18

Banyaknya masalah hukum yang timbul saat proses eksekusi uang pengganti dalam

tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan masalah baru, namun masalah tersebut

telah lama terjadi bahkan jauh sebelum diberlakukan Undang- Undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang- Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, bahkan masih banyak eksekusi uang pengganti yang belum dapat dilaksanan

18 Mario J. Rizzo, 1979, Economic Cost, Moral Costs or Retributive, The Cost (editor Charles M.

Gray), Volume 12, Sage Publication, Inc, Londong, England, h. 277.

Page 59: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

54

hingga saat ini, padahal pembayaran uang pengganti merupakan salah satu tujuan untuk

mengembalikan kerugian keuangan negara sebanyak yang telah dikorupsi oleh terpidana.

5.2.Hambatan yang Dihadapi Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Dalam Upaya Memenuhi

Secara Optimal Uang Pengganti Masuk Ke Kas Negara

Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana

korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat, bahkan dapat

pula merusak nilai - nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak

membudayanya tindak pidana korupsi tersebut.19 Perkembangan korupsi sampai saat ini pun

sudah merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara

tertib dan tidak terawasi secara baik karena landasan hukum yang dipergunakan juga

mengandung kelemahan - kelemahan dalam implementasinya.20

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa tindak pidana korupsi selain

mengakibatkan kerugikan keuangan negara dan perekonomian negara juga menghambat

kelangsungan pembangunan nasional. Tujuan pidana tambahan berupa pembayaran uang

pengganti adalah untuk memidana dengan seberat mungkin para koruptor agar mereka jera

serta dalam rangka mengendalikan keuangan negara yang melayang akibat suatu perbuatan

korupsi.

Salah satu unsur dalam tindak pidana korapsi di dalam Pasal 2 dan 3 Undang -

Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 ialah adanya kerugian

keuangan negara/perekonomian negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak

semata - mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara yang menjerahkan, tetapi harus

juga dapat mengembalikan )/ kerugian negara yang telah dikorupsi tersebut agar dapat

kembali masuk ke kas negara. Kas negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1

angka 2 Undang - Undang No.l Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan

19 Ermanjsjah Djaja, Op Cit, h.3 20 Ibid, h.5

Page 60: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

55

tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara

Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh

pengeluaran negara. Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi

ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.

Prakteknya, putusan pidana pembayaran uang pengganti bervariasi besarannya yang

dapat disebabkan beberapa faktor antara lain seperti hakim memiliki perhitungan tersendiri,

sebagian hasil korupsi sudah dikembalikan atau tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih

dari satu orang sehingga pidana pembayaran uang pengganti dibebankan bersama - sama.21

Pidana pembayaran uang pengganti memiliki beberapa tujuan mulia. Akan tetapi

kontras dengan beban mulia yang diembannya, ternyata pengaturan mengenai pidana uang

pengganti justru tidak jelas. Baik undang - undang pemberantasan tindak pidana korapsi

sebelumnya yakni Undang - Undang No. 3 tahun 1971 yang hanya mengatur mengenai uang

pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34 huruf c maupun undang - undang penggantinya

yakni Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya yakni Undang - Undang No.

20 Tahun 2001 pada pasal 18. Minimnya pengaturan mengenai uang pengganti

mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan. Salah satunya adalah dalam menentukan

berapa jumlah pidana uang pengganti yang dapat dikenakan kepada terdakwa.

Dalam ketentuan Pasal 34 huruf c Undang - Undang No. 3 Tahun 1971 dan pasal 18

ayat (1) huruf b Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang -Undang No. 20 Tahun

2001 hanya menetapkan rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti yaitu

sebanyak - banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, maka dapat

ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai harta si terdakwa yang

diperoleh dari tindak pidana korupsi yang didakwakan. Untuk menentukan besarnya uang

pengganti, pertama - tama hakim harus secara cermat memilah - milah bagian mana dari

21 Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati

Ball tanggal 12 Mei 2016.

Page 61: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

56

keseluruhan harta terdakwa yang berasal dari tindak pidana korupsi yang didakwakan

kepadanya dan mana yang bukan. Setelah dilakukan pemilahan, hakim kemudian baru

dapat melakukan perhitungan berapa besaran uang pengganti yangakan dibebankan.

Kenyataannya dalam praktek, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan

dalam menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilah - milah mana

aset yang berasal dari korupsi dan mana yang bukan, karena pada perkembangannya

kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat. Selain itu, untuk melakukan

hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang lengkap. Belum lagi kalau

kita bicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika harta yang akan dihitung

berada di luar negeri sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit

dan memakan waktu. Kedua, perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan

apabila aset terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang

berdasarkan sifatnya mempunyai nilai yang fluktuatif, yang nilainya terus berubah.

Eksistensi dari penegakan hukum adalah yakni sejauh mana suatu putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat, hal ini sangat

penting mengingat suatu putusan sebagai akhir dari proses penegakan hukum pidana dan ini

dapat dilihat dari dapat atau tidaknya putusan hakim tersebut untuk dilaksanakan oleh Jaksa

selaku eksekutor. Namun pada kenyataannya dalam menjalankan penindakan terhadap pidana

uang pengganti sangatlah tidak mudah, tidak jarang pelaksanaan eksekusi pembayaran uang

pengganti tersebut baru dapat dilaksanakan selama bertahun - tahun. Hal inilah yang sangat

menghambat negara dalam mengambil kembali hak - hak negara tersebut untuk menutupi

kerugian keuangan negara akibat adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan tersebut.

Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang

dilakukan oleh Kejaksaan adalah didasarkan sesuai dengan 270 KUHAP. Dengan demikian

Kejaksaan yang diwakili oleh Jaksa Penutut Umum dapat melaksanakan eksekusi terhadap

putusan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, karena hal ini merupakan amanah dari

Page 62: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

57

undang - undang untuk menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Tetapi kenyataan

yang terjadi dilapangan sangatlah jauh berbeda dengan apa yang ada pada buku atau secara

normatif. Permasalahan - permasalahan itu muncul ketika praktik secara langsung

dilapangan. Karena kondisi di lapangan sangatlah kompleks sehingga muncul permasalahan

yang menyimpang dari undang - undang.

Uang Pengganti dalam perkara korupsi mengandung banyak permasalahan yang

ternyata cukup rumit dalam implementasinya, diantaranya belum mencapai kesempurnaan

tentang seperangkat peraturan yang menyertai persoalan ini. Salah satunya adalah penerapan

pada Undang - Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang - Undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana undang - undang tersebut

masih terkendala karena kurang lengkap dan tegas dalam pengaturan tata cara pengadilan

tindak pidana korupsi dalam hal pengembalian uang Negara yang dikorupsi. Keberadaan

pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti bagi terpidana korupsi dinilai

berjalan kurang efektif. Ini karena terpidana banyak yang memilih hukuman pengganti

berupa kurungan badan dibandingkan harus membayar uang pengganti. Uang pengganti

hanyalah suatu pidana tambahan, namun adalah sangat tidak bijaksana apabila membiarkan

terpidana tidak membayar uang pengganti sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara.

Persoalan pengembalian kerugian negara ( recovery asset) dalam praktek penanganan

perkara korupsi telah menjadi persoalan serius, sebab berdasarkan beberapa fakta yang terjadi

banyak perkara korupsi yang telah dijatuhi vonis, namun dalam hal pelaksanaan pidana uang

pengganti sulit untuk terwujud. Ternyata pelaksanaan pidana uang pengganti tidak semudah

yang dibayangkan. Dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti akibat tindak pidana

korupsi jika dikaitkan dengan teori sistem hukum ( Legal System Theory) yang dikemukakan

oleh Lawrence M.Friedman, yang pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem

hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu :

a. Substansi hukum (Legal Substance)

Page 63: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

58

Dalam hal ini yang dimaksud sebagai substansi hukum adalah aturan atau norma hukum

terkait tindak pidana korupsi yakni Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, serta peraturan perundang-undangan lain terkait tindak pidana

korupsi. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan yang jelas terkait tata cara

pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti secara lebih

terperinci dan tersendiri. Mengingat urgensi dari penjatuhan pidana pembayaran uang

pengganti terkait pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

b. Struktur Hukum (Legal Structure)

Merupakan kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dalam sistem hukum. Dalam

hal ini yang dimaksud dengan struktur hukum adalah institusi penegak hukum sebagai

salah satu unsur nyata dalam suatu sistem hukum, termasuk juga lembaga yang turut

melaksanakan aturan-aturan hukum. Dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara

khususnya dalam bentuk pembayaran uang pengganti harus ada koordinasi diantara

penegak hukum, khususnya hakim dalam menjatuhkan putusan, dan jaksa yang nantinya

melaksanakan putusan terutama terkait sita dan lelang terhadap harta benda terpidana

kasus korupsi yang tidak membayar uang pengganti sebagai pidana pengembalian

kerugian keuangan negara.

c. Budaya Hukum ( LegalCulture)

Merupakan bagian dari budaya pada umumnya, yang dapat berupa adat istiadat,

pandangan, cara berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu kekuatan sosial

yang bergerak mendekati hukum dengan cara-cara tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud

dengan budaya hukum adalah perilaku-perilaku masyarakat dalam memandang hukum

untuk dipatuhi serta ditaati. Budaya hukum masyarakat saat ini telah mengalami

pergeseran kearah yang lebih acuh terhadap suatu aturan hukum. Terbukti dengan banyak

Page 64: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

59

nya kasus korupsi yang teijadi dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, bukan saja

dari kalangan pejabat namun kini telah menjalar kelapisan masyarakat biasa. Bukan

hanya itu, kepercayaan masyarakat Bali akan hukum karmaphala (hasil dari perbuatan)

telah mengalami pergeseran. Terbukti dengan banyaknya masyarakat Bali yang menjadi

Terpidana kasus korupsi yang membuktikan bahwa mereka tidak lagi memandang ajaran

karmaphala sebagai dasar dalam melakukan setiap tindakan.

Soeijono Soekanto mengemukakan bahwa secara konsepsional, inti dan arti

penegakan hukum terletak pada kegiatan menyelesaikan hubungan nilai -nilai yang

teijabarkan di dalam kaidah - kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak

sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis

tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkrit.22 Apabila

dikaitkan dengan pendapat Soeijono Soekanto tentang 5 faktor yang mempengaruhi efektif

tidaknya suatu sistem hukum dapat dijabarkan sebaga berikut yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri.

Aturan yang mengatur tentang uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan

negara belum jelas. Undang-undang yang berlaku saat ini tidak memparkan secara

terperinci konsekuesi dilapangan saat proses eksekusi. Karena masih banyak perbedaan

antara aturan dan praktek dilapangan.

b. Faktor penegak hukum

Pencapaian supremasi hukum harus diukur dari seberapa baik penegakan hukum yang

dilakukan di Indonesia, berbicara mengenai penegakan hukum, maka hal paling penting

dan mendasar adalah bagimana kemampuan aparat penegak hukum (khususnya dalam

bidang tindak pidana korupsi), dalam sistem peradilan dapat mengakomodasi dan

22 Soerjono Soekanto, 1993, Faktor -Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 6

Page 65: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

60

mengapresiasi tuntutan keadilan baik yang menjadi ruh hukum formal maupun tuntutan

rasa keadilan oleh masyarakat dalam pemberantasan korupsi merupakan suatu kebutuhan

dasar.23 Berbicara terkait penegak hukum adalah merupakan pihak-pihak yang

membentuk maupun menerapkan hukum. Dalam hal ini adalah mengoptimalkan tugas

Jaksa dalam perumusan dakwaan dan tuntutan pidana pembayaran uang pengganti yang

nantinya juga akan mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.

Namun dalam pelaksanaannya sendiri dilapangan kurangnya tenaga pihak kejaksaan

dalam menelusuri aset - aset pelaku tindak pidana korupsi menjadi salah satu kendala

dalam dalam mengotimalkan pengembalian kerugian keuangan negara.24

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

Dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya dalam tindak pidana korupsi yang

merupakan extraordinary crime dimana membutuhkan cara - cara penegakan yang

sifatnya lebih membutuhkan perhatian khusus dalam hal ini pembiayaaan yang

dibutuhkan dalam penegakannya tidak sedikit sedangkan anggaran yang tersedia juga

masih dinilai kurang untuk menangani perkara tersebut. Selain itu faktor akomodasi yang

minim juga dinilai sebagai penghambat mengingat jarak yang ditempuh untuk proses

penanganan pidananya sendiri memakan waktu yang tidak sedikit.25

d. Faktor masyarakat

Yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku atau diterapkan. Bagian terpenting dari

masyarakat dalam menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.

Peraturan hukum yang berlaku atau diterapkan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap

pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan

bertujuan untuk mencapai kedamaian dan keadilan dalam masyarakat. Adapun yang

23 Sidik Sunaryo, 2005, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang,

Malang, h.337. 24 Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati

Bali tanggal 12 Mei 2016. 25 Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati

Bali tanggal 12 Mei 2016

Page 66: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

61

menjadi kesulitan utama dalam proses eksekusi harta benda terpidana terkait tindak

pidana korupsi yakni karena harta benda yang diperoleh atau dimiliki terdakwa /

terpidana dari hasil kejahatannya telah diamankan terlebih dahulu sebelum ditemukan

oleh penyidik. Dalam hal ini adanya informasi masyarakat akan sangat sangat mambantu

untuk mengungkap aset - aset yang dimiliki oleh terpidana tindak pidana korupsi. Namun

saat ini masyarakat kian enggan untuk memberikan informasi karena takut terbawa-bawa

dalam kasus yang menjerat terpidana. Kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk

melaporkan atau memberitahukan tindak pidana korupsi di lingkungannya serta harta

benda yang dimiliki terdakwa / terpidana juga menjadi salah satu penghambat dalam

upaya pihak Kejaksaan untuk proses pengembalian kerugian keuangan negara.

Kepedulian atau kesadaran masyarakat untuk memberikan informasi secara dini kepada

penegak hukum terhadap orang yang dicurigai melakukan tindak pidana korupsi juga

masih kurang, justru ada kecenderungan untuk turut menutup - nutupi.26

e. Faktor kebudayaan

Budaya merupakan hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia

didalam pergaulan hidup. Budaya hukum yaitu sikap- sikap dan nilai yang berhubungan

dengan hukum, yang datangnya dari rakyat atau pemakai jasa hukum.27 Budaya hukum

masyarakat yang dicerminkan antara lain dengan sikap masyarakat yang enggan

memberikan informasi tentang adanya pelaku tindak pidana korupsi atau harta benda

yang dimiliki oleh pelaku kejahatan di lingkungannya. Masyarakat menganggap hal

tersebut bukan kepentingan mereka namun merupakan kepentingan negara. Hal ni

menunjukan adanya budaya hukum masyarakat yang belum mendukung penegakan

tindak pidana korupsi.28 Budaya kekeluargaan yang sangat kental, juga dapat

26 Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati

Bali tanggal 12 Mei 2016. 27 Abdul Manan, 2005, Aspek - Aspek Pengubah ,Prenada Media Group, Jakarta, 28 Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suardi, SH., Kasi Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejati

Bali tanggal 12 Mei 2016

Page 67: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

62

menghambat proses eksekusi harta benda - seorang terpidana karena seringkah hasil

korupsi telah dititipkan maupun dihibahkan kepada keluarga maupun kerabatnya

sehingga sulit untuk dilacak keberadaannya.

Kendala dalam penjatuhan pembayaran uang pengganti dalam rangka penyelesaian

keuangan negara pernah diungkapkan oleh Ramelan adalah:

1. Kasus korupsi dapat diungkapkan setelah berjalan dalam kurun waktu yang lama

sehingga sulit untuk menelusuri uang atau hasil kekayaan yang diperoleh dari korupsi.

2. Dengan berbagai upaya pelaku korupsi telah menghabiskan uang hasil korupsi atau

mempergunakan/mengalihkan dalam bentuk lain termasuk mengatasnamakan nama orang

lain yang sulit terjangkau hukum.

3. Dalam pembayaran pidana uang pengganti, si terpidana banyak yang tidak sanggup

membayar.

4. Dasarnya pihak ketiga yang menggugat pemerintah atas barang bukti yang disita dalam

rangka pemenuhan pembayaran uang pengganti.29

Selain hambatan - hambatan diatas, banyaknya hambatan yang dihadapi jaksa selaku

eksekutor dalam melakukan eksekusi penyitaan serta lelang terhadap harta benda milik

terpidana kasus korupsi guna pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang

pengganti juga dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Waktu yang lama hingga suatu putusan memiliki kekuatan hukum tetap setelah melalui

upaya hukum hingga Peninjauan Kembali agar dapat dilakukan eksekusi oleh Jaksa.

b. Domisili seorang terpidana juga menjadi hambatan sebab tidak dapat dipungkiri bahwa

saat ini banyak orang yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) ganda guna

menyembunyikan harta kekayaannya hasil korupsi.

c. Undang - undang pemberantasan tindak pidana korupsi belum mengatur secara jelas

apabila terpidana hanya mampu membayar sebagian pembayaran uang pengganti.

d. Kebanyakan terpidana kasus korupsi lebih memilih menjalani hukuman subsider pidana

penjara/hukum badan daripada membayar uang pengganti.

29 Harahap Erisna, 2006, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Cet. I. PT. Grafiti Bandung, h. 7.

Page 68: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

63

e. Apabila terpidana meninggal dunia, maka segala tuntutan dianggap gugur demi hukum

termasuk dengan uang penggantinya. Apabila jaksa selaku pengacara negara mengajukan

gugatan perdata kepada ahli waris terpidana, memerlukan waktu yang lebih panjang

f. Tidak adanya aturan yang mengatur mengenai lelang barang rampasan dalam KUHAP.

Dalam menjalankan tugasnya Jaksa selaku eksekutor hanya berdasarkan pertimbangan

dari Surat Edaran Nomor: SE- 03/B/B.5/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan.

Dasar hukum yang digunakan oleh Jaksa sebagai eksekutor masih sangatlah minim dalam

permasalahan dasar hukumnya. Karena setiap acara pidana seharusnya diatur dalam

KUHP. Namun dalam hal ini Jaksa selaku eksekutor tidak memiliki acuan dasar hukum

dari hukum acara pidana.

g. Barang - barang hasil sitaan akan memakan waktu tunggu sangat panjang sampai dengan

proses lelang barang sampai terjual. Hal ini akan berdampak pada menurunnya kondisi

barang dari hasil sitaan tersebut. Apabila barang - barang sitaan tersebut mengalami

kerusakan akan diperlukan perawatan atas barang tersebut contohnya kendaraan

bermotor. Hal ini akan berdampak pada menurunnya harga barang itu sendiri. Sehingga

dalam keadaan seperti ini Jaksa selaku eksekutor akan sulit mendapatkan harga yang

sesuai dengan taksiran yang sudah direncanakan sebelumnya, yang akan memberikan

pada pendapatan negara dari hasil lelang barang - barang sitaan tersebut untuk membayar

ganti kerugian negara.

5.3.Upaya yang Dilakukan Pihak Kejaksaan Tinggi Bali Guna Memaksimalkan

Eksekusi Dalam Pengembalian Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Dapat

Masuk ke Kas Negara

Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi - sendi kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi

sudah masuk dalam kategori membahayakan. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan

Page 69: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

64

bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke

masa dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat

membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta

kekayaan negara yang hilang.

Pemberantasan korupsi serta penyelamatan aset Negara, hendaknya harus dilakukan

secara komprehensif dan sistemik. Tidak hanya melalui jalur represif tetapi harus secara

simultan melalui langkah langkah preventif dengan membangun kesadaran hukum

masyarakat melalui sosialisasi dan keteladanan dari para aparat penegak hukum itu sendiri

untuk menghindari perbuatan melanggar hukum agar penggalangan kepada masyarakat untuk

berpartisipasi aktif membantu aparat dalam pemberian informasi untuk kepentingan

penegakan hukum dalam berbagai tingkatan dapat berjalan dengan efektif.

Jaksa selaku penyidik, ketika penyidikan maka jaksa melakukan upaya untuk

mengembalikan kerugian Negara dengan cara melakukan penyitaan. Jaksa berupaya untuk

mencari harta terpidana untuk disita, guna sebagai jaminan untuk mengamankan aset

tersangka. Pada saat tahap persidangan jaksa selaku penuntut umum memperoleh informasi

mengenai aset lain yang dimiliki oleh terdakwa, maka jaksa selaku ekskutor dapat menyita

dengan persetujuan hakim untuk dikeluarkan penetapan untuk menyita harta si terpidana.

Pada saat telah dikeluarkan putusan berkekuatan hukuman tetap, jaksa selaku eksekutor

mencari lagi hartanya untuk disita. Jadi mulai dari penyidikan, penuntutan, dan putusan

ingkrah jaksa memiliki kewenangan untuk penyitaan. Adapun terminologi penyitaan bagi

Jaksa ada 2 (tahap eksekusi)

a. Setelah putusan inkracht Jaksa melakukan penyitaan harta mana saja, bertujuan untuk

mengumpulkan aset terpidana dalam rangka untuk memenuhi uang pengganti (

recoveryasset).

b. sedangkan penyitaan dalam proses penyidikan hingga penuntutan, penyitaan terbatas

terhadap barang / aset yang berhubungan langsung dengan kejahatan. Tujuan dari

Page 70: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

65

penyitaan pada tahap ini adalah untuk mengamankan guna untuk jaminan tersangka

sebagai bukti dari hasil kejahatannya.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara menegaskan

bahwa setiap kerugian Negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melawan hukum atau

kelalaian seseorang harus diganti oleh pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian kerugian

tersebut, Negara/daerah dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi tersebut. Hal ini

dilakukan dengan alasan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara

atau perekonomian Negara. Selain iru akibat tindak pidana korupsi adalah menghambat

pembangunan nasional, dimana tindak pidana korupsi telah menghilangkan kesempatan

rakyat Indonesia untuk mekikmati hak-haknya dan menempatkan sebagain besar mereka di

bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu pengembalian aset Negara harus dilakukan. Karena

aset Negara yang dikorupsikan tersebut adalah harta kekayaan negara Indonesia yang harus

diperuntukkan bagi pembangunan dalam upaya meningkatkan kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat.

Permasalah korupsi bukanlah merupakan masalah baru dalam persoalan hukum dan

ekonomi bagi suatu negara maju maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Tindak

pidana korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parah sehingga menjadi problematika

kejahatan yang sifatnya luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan

masyarakat. Sulitnya memberantas korupsi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor,

diantaranya adalah :

1. Faktor uang, pada umumnya masyarakat memandang kasus korupsi hanya dari sudut

pandang uang atau besarnya nilai yang menimbulkan kerugian keuangan negara, tanpa

memandang kualitas manusianya, sehingga runtutan masyarakat hanya hukuman berat

bagi koruptor.

2. Kualitas manusia, masyarakat luas terkadang menyamaratakan ancaman pidana terhadap

kasus korupsi. Padahal masih terdapat faktor-faktor yang dapat memperingan atau bahkan

memperberat suatu pidana yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa.

3. Hukuman satu-sarunya menghilangkan masalah korupsi, untuk menanggulangi masalah

korupsi, hukuman seberat-beratnya masih dipercaya dapat memberantas korupsi.

Hukuman mati sudah diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang - Undang No. 31

Page 71: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

66

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun hingga saat ini belum

ada Terdakwa kasus korupsi yang dijatuhi pidana mati.

4. Perbuatan korupsi suatu proses, umumnya korupsi dimulai dari kecil-kecilan kemudian

seiring dengan meningkatnya jabatan yang emban oleh seseorang, godaan untuk

melakukan korupsi yang lebih besar pasti lebih besar pula.

5. Unsur utama dan unsur pembantu, unsur atau faktor utama yang dapat menanggulangi

masalah korupsi adalah kelompok religi karena setiap agama pasti melarang perbuatan

korupsi. Sedangkan unsur pendukung yang dapat mengatasi korupsi adalah penegak

hukum.

6. Masalah kepentingan dan hujatan terkait dengan korupsi, orang yang melakukan korupsi

pastilah bermotif ekonomi.

7. Riil hasil korupsi, teorinya semua uang negara adalah uang rakyat. Namun kenyataanya,

uang negara malah menjadi lahan pebajat untuk memperkaya diri sendiri tanpa

memperhatikan kepentingan rakyat.

8. Pandangan si pelaku korupsi, pergeseran rasa berdosa dari pelaku korupsi menjadi faktor

yang menyulitkan pemberantasan korupsi.30

Dalam upaya memaksimalkan vonis pidana pembayaran uang pengganti, ada banyak

faktor yang menjadikan pidana pembayaran uang pengganti itu berhasil dilaksanakan secara

maksimal atau tidak, salah satu faktor positif atau pendukung-keberhasilan dari vonis pidana

pembayaran uang pengganti adalah aturan yang ada dalam Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, didalam undang-undang tersebut sudah diatur sebagaimana dalam Pasal 18

ayat (1) huruf b, "pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi". Selanjutnya dalam ketentuan

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan bahwa "jika terpidana tidak membayar uang pengganti

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan

sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta

bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut".

Fase ini, menurut Wiryono meskipun jaksa tidak dapat memperpanjang

tenggang waktu pembayaran tetapi mengingat bunyi Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka jaksa masih dapat menentukan tahap-tahap

30 Monang Siahaan, 2013, Korupsi Penyakit Sosial Yang Mematikan, PT.Gramedia, Jakarta, h. 91-97.

Page 72: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

67

pembayaran uang pengganti, tetapi tetap tidak melebihi tengggang waktu satu bulan

tersebut.31 Serta didalam Pasal 18 ayat (3) menyebutkan "dalam hal terpidana terpidana tidak

mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak

melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan undang-undang ini dan

lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan". Berkaitan dengan hal

tersebut, menurut Efi Laila Kholis (2010: 23-24): Pidana subsider penjara dalam pasal

tersebut terlihat terdapat tiga syarat:32

1. Pidana subsider baru berlaku dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti. Terpidana dalam waktu 1 (satu) bulan

setelah putusan meperoleh kekuatan hukum tetap ternyata tidak mempunyai lagi uang

tunai unruk membayar uang pengganti, juga hasil lelang dari harta bendanya tidak

mencukupi unruk membayar uang pengganti.

2. Lamanya pidana penjara pengganti tidak melebihi ancaman pidana maksimum dari pasal

undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilanggar terdakwa.

3. Lamanya pidana penjara pengganti telah ditentukan dalam putusan pengadilan. Dengan

adanya ketentuan tersebut maka juga menjadi kewajiban hakim dalam putusan unruk

mencantumkan pidana pengganti ini menghindari apabila uang pengganti tidak dapat

dibayar seluruh atau sebagian.

R.Wiyono juga mengemukakan bahwa terdapat beberapa syarat agar terpidana yang

dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat

(1) huruf b, dapat dipidana dengan pidana penjara yaitu :33

1. Oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : "terpidana tidak mempunyai harta benda yang cukup

unruk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b", artinya

dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memeperoleh kekuatan

hukum tetap, ternyata disamping terpidana sudah tidak mempunyai lagi uang tunai 'untuk

membayar uang pengganti, juga hasil lelang dari harta benda kepunyaan terpidana yang

telah disita oleh jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) tidak mencukupi

untuk membayar uang pengganti;

2. Lamanya pidana penjara oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : "tidak melebihi ancaman

maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini",

artinya pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana karena tidak mempunyai harta

benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, tidak boleh melebihi ancaman

maksimum pidana penjara dari ketetentuan tentang tindak pidana korupsi yang telah

dilakukan oleh terpidana;

31 R. Wiyono, 2005, Pembahasan Undang - Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar

Grafika, Jakarta, h. 132. 32 Efi Laila Kholis, Op Cit, h. 23 – 24 33 R. Wiyono, Op Cit, h. 135

Page 73: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

68

3. Lamanya pidana penjara tersebut oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : "sudah ditentukan

dalam putusan pengadilan", artinya pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan terhadap

pelaku tindak pidana korupsi, di dalam putusan pengadilan tersebut sudah ditentukan atau

dicantumkan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap terpidana

jika sampai terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar

uang pengganti.

Dari ketentuan pasal - pasal tersebut diataslah yang menjadi dasar bagi hakim dalam

memutus perkara korupsi maupun Jaksa selaku eksekutor dalam melaksanakan penyitaan

terhadap harta benda yang diduga hasil tindak pidana korupsi dari terpidana tidak perlu

adanya penetapan pengadilan. Disisi lain kualitas dari aparat penegak hukum dalam hal ini

adalah Jaksa, dalam mengungkap dan melacak harta benda terpidana yang merupakan hasil

dari tindak pidana korupsi, hal tersebut menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan

vonis putusan pidana pembayaran uang pengganti, karena kualitas dari Jaksa dalam

mengangani kasus korupsi dapat dilihat dari tuntas atau tidaknya dalam mengeksekusi, dalam

hal ini tentang pembayaran uang pengganti.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, kendala atau hambatan dalam proses

pengoptimalan vonis putusan pidana pembayaran uang pengganti sering dijumpai, karena

pelaku tindak pidana korupsi mempunyai tingkat intelektual cukup tinggi serta

mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam tatanan sosial masyarakat, sehingga

modus operand! yang rumit dan dilakukan dengan teknik yang canggih menjadikan perbuatan

korupsi tersebut dapat berjalan dengan rapi dan dalam jangka waktu yang panjang, sehingga

sulit untuk dilacak. Terkait dengan hal tersebut maka jaksa selaku eksekutor dalam melacak

harta benda pelaku tindak pidana korupsi harus benar-benar teliti seperti mencari keterangan

di RT, RW, Kelurahan, Kecamatan dimana pelaku berdomisili atau bertempat tinggal. Selain

itu jaksa juga dapat meminta keterangan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atau PPATK

untuk mengetahui keuangan pelaku tindak pidana korupsi.

Sudah jelas bahwa korupsi mengakibatkan pelaku memperoleh keuntungan finansial

dan sebaliknya negara menderita kerugian secara finansial. Akibat kerugian yang ditanggung

Page 74: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

69

negara pada akhimya berdampak pada berbagai hal. Bahkan korupsi telah mengakibatkan

kemiskinan, sehingga pelaku korupsi harus dikenakan pidana pembayaran uang pengganti.

Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara dan

perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan

nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Prinsip efisiensi mengandung makna penghematan, pengiritan, ketepatan atau

pelaksanaan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hukum pidana efisiensi

berkaitan dengan 2 hal yaitu pertama, perbuatan yang ingin ditanggulangi dengan

hukum pidana tidak memerlukan banyak biaya untuk menanggulanginya sehingga

keuntungan yang dapat diraih dari lebih besar. Kedua, apakah sanksi pidana yang dijatuhkan

lebih besar/berat dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh pelaku dari hasil

perbuatan pidana. Jika sanksi lebih berat dari hasil yang diperoleh pelaku dari tindak pidana

yang dilakukan, maka dapat dipastikan pelaku akan menghindar untuk melakukan kejahatan

tersebut.34

Dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi, berbagai upaya telah dilakukan

oleh pemerintah. Dalam proses pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang

pengganti banyak menemui hambatan. Untuk dapat memaksimalkan pengembalian kerugian

keuangan negara dengan uang pengganti perlu dilakukan beberapa upaya yaitu :

a. Pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan terkait kewenangan Jaksa Agung

untuk merampas aset seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi yang

merugikan keuangan negara baik dalam proses penyelidikan hingga pasca putusan

pengadilan guna mengamankan harta benda yang diduga hasil tindak pidana korupsi. Hal

ini untuk mencegah usaha tersangka guna mengalihkan harta nya selama proses peradilan.

34 Mahrus Ali, 2013, Asas, Teori & Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, h.248.

Page 75: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

70

b. Pemutiharian data kependudukan nasional guna mencegah terjadinya penggandaan

identitas karena sering disalahgunakan untuk menyembunyikan kepemilikan harta benda

seseorang yang terjerat kasus korupsi.

c. Adanya anggaran tersendiri yang dimiliki Kejaksaan Agung. Oleh karena sering terjadi-

perbedaan antara perencanaan dengan pelaksanaan dikemudian hari. Besarnya biaya

yang diperlukan dari perawatan barang-barang terdakwa yang disita, hingga biaya

penelusuran harta benda, sita dan lelang bila terdakwa tidak membayar uang pengganti

secara langsung.

Pemberantasan korupsi tidak lagi semata-mata kepada penindakan (represif)

tetapi seyogyanya lebih mengedepankan pencegahan (preventif), sehingga korapsi

tidak hanya sekedar memberikan efek jera (deterrent effect) tetapi berfungsi sebagai daya

tangkal (preventive effect). Persoalan pengembalian kerugian negara ( recovery asset ) dalam

praktek penanganan perkara korupsi telah menjadi persoalan serius, sebab berdasarkan

beberapa fakta yang terjadi banyak perkara korupsi yang telah dijatuhi vonis, namun dalam

hal pelaksanaan pidana uang pengganti sulit untuk terwujud. Ternyata pelaksanaan pidana

uang pengganti tidak semudah yang dibayangkan.

Pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi melalui uang pengganti

merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pengembalian tersebut tidaklah mudah karena tindak pidana korupsi merupakan extra

ordinary crimes yang pelakukanya berasal dari kalangan intelektual dan mempunyai

kedudukan penting. Dalam Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi telah

diatur tiga (3) upaya yang perlu dilakukan dalam penyelesaian tunggakan uang pengganti

yaitu : Penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah

putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, melalui putusan subsider pidana

penjara, melalui gugatan perdata. Berdasarkan penelitian penulis yang dilakukan di

Page 76: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

71

Kejaksaan Tinggi Bali, dalam hal eksekusi pembayaran pembayaran uang pengganti yang

telah dilaksanakan oleh pihak kejaksaan, menunjukan hasil yang kurang optimal dan hanya

sebagian saja eksekusi yang telah selesai dilaksanakan, hal tersebut tidak sebanding dengan

kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Oleh karena itu jaksa sebagai eksekutor harus

melakukan berbagai upaya agar eksekusi vonis putusan pidana uang pengganti berjalan

maksimal. Adapun upaya - upaya tersebut antara lain :

1. Jaksa selaku penyidik, ketika melakukan penyidikan maka jaksa melakukan upaya

seoptimal mungkin untuk mengembalikan kerugian negara dengan cara melakukan

pendataan dan penyitaan. Jaksa berupaya untuk mencari harta terpidana untuk didata dan

disita, guna sebagai jaminan untuk mengamankan aset tersangka.

2. Pada saat dalam tahap persidangan jaksa selaku penuntut umum memperoleh informasi

mengenai aset lain yang dimiliki oleh terdakwa, maka jaksa selaku ekskutor dapat

menyita dengan persetujuan hakim untuk dikeluarkan penetapan untuk menyita harta si

terpidana. Pada saat telah dikeluarkan putusan berkekuatan hukuman tetap, jaksa selaku

eksekutor mencari lagi hartanya untuk disita.

3. Dalam hal untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaaan di

pengadilan, penyidik atau penuntut umum berwenang meminta keterangan bank tentang

keuangan tersangka atau terdakwa, hal tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada

dalam pasal 29 ayat (1) Undang - Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dan ditambah dengan Undang - Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

dengan adanya kewenangan itu maka dapat dijadikan langkah awal oleh pihak kejaksaan

untuk mengetahui keuangan seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana

korupsi, hal tersebut juga merupakan upaya atau strategi, apabila tersangka atau terdakwa

tadi terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman pidana pembayaran

uang pengganti, maka pihak kejaksaan telah mengetahui seberapa besar keuangan atau

Page 77: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

72

kekayaan terpidana sehingga tidak ada alasan bagi terpidana bahwa dia tidak mempunyai

harta benda lagi untuk membayar uang pengganti, karena sebelumnya telah diketahui

keuangannya.

4. Memblokir rekening simpanan keuangan tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai

hasil dari tindak pidana korupsi tersebut agar tidak dipindah tangankan atau dialihkan

kepada ahli waris atau orang lain. Kewenangan untuk itu di atur dalam pasal 29 ayat (4)

Undang -Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

Undang - Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemblokiran rekening

tersebut dilakukan untuk mempermudah apabila terdakwa terbukti melakukan tindak

pidana korupsi dan pengadilan menjatuhkan putusan pidana pembayaran uang pengganti,

maka jaksa selalu eksekutor lebih mudah untuk melakukan eksekusi uang pengganti,

karena semua rekening milik terpidana sudah diblokir dan belum dipindah tangankan atau

dialihkan kepada orang lain sehingga kerugian atas keuangan negara dapat segera

dikembalikan.

5. Apabila terpidana tidak mau membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan sesudah

purusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, padahal terpidana masih

mempunyai harta benda yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi, maka jaksa

selaku eksekutor dapat melakukan penyitaaan harta benda milik terpidana, untuk dilelang

dihadapan umum, dikantor lelang negara setempat dan hasil pelelangan tersebut

digunakan untuk membayar pidana uang pengganti yang sebanyak-banyaknya sama

dengan uang yang telah dikorupsi. Dalam hal terpidana sudah tidak mempunyai harta

benda lagi untuk disita dan dilelang guna membayar uang pengganti, maka pihak

Kejaksaan dapat memberikan kelonggaran dengan cara membayar uang pengganti dengan

mengangsur atau mencicil setiap bulannya, hal tersebut dilakukan karena memang

Page 78: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

73

terpidana sudah tidak mampu lagi membayar secara langsung uang pengganti yang

jumlahnya relatif besar.

6. Jaksa dalam membuat surat tuntutan pembayaran pidana uang pengganti terhadap

terdakwa harus tetap menyertakan pidana subsider dimana pidana subsider yang

dijatuhkan adalah hukuman maksimal sesuai pasal yang dilanggar demi menghindari

terpidana yang lebih memilih menjalani pidana subsider daripada membayar uang

pengganti.

7. Upaya mengembalikan harta Negara apabila tersangka lari ke luar negeri dibentuk tim

pemburu koruptor atau tim terpadu pencarian tersangka dan terpidana tipikor melalui

berbagai sarana baik termasuk perjanjian ekstradisi, MLA ( mutual legal assistance )

perjanjian timbal balik, hubungan resiprositas serta hubungan bilateral dengan negara

terkait.

8. Apabila terpidana meninggal dunia sebelum menjalankan kewajibannya, sedangkan telah

terbukti ada kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi dan terpidana telah

menikmati hasil korupsi tersebut, maka pihak kejaksaaan dapat melakukan gugatan

perdata terhadap terpidana maupun ahli warisnya. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya

untuk mengembalikan atau memulihkan keuangan Negara akibat dari tindak pidana

korupsi. Sedangkan untuk ketidak jelasan alamat terpidana ataupun keberadaan harta

terpidana maka jaksa bekerja sama dengan Kepolisian untuk menyelidiki keberadaan

terpidana serta harta terpidana dan juga meminta bantuan dari masyarakat apabila

sekiranya pernah mengetahui keberadaan terpidana yang dimaksud oleh Jaksa Penuntut

Umum.

Dasar pemikiran pengaturan gugatan perdata di dalam undang - undang tindak pidana

korupsi menandai bahwa dalam rangka mengembalikan kerugian keuangan negara akibat

Page 79: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

74

tindak pidana korupsi tidak cukup hanya mensandarkan pada norma - norma hukum pidana.

Apabila undang - undang tindak pidana korupsi dikatagorikan sebagai perundang - undangan

pidana, maka diaturnya upaya gugatan perdata dalam undang - undang tersebut,

menunjukkan bahwa suatu peraturan perundang - undangan dapat sekaligus mengandung

aspek hukum pidana maupun hukum perdata. Pengaturan gugatan perdata dimungkinkan

dalam undang - undang tindak pidana korupsi mengindikasikan bahwa tindak pidana korupsi

yang dikatagorikan sebagai extraordinary crime dalam penanganannya diperlukan dengan

cara - cara yang luar biasa pula.

Pemberantasan tindak pidana korupsi seyogyanya lebih mengedepankan pencegahan

(preventif) tidak hanya semata — mata kepada penindakan ( represif ), sehingga korupsi tidak

hanya sekedar memberikan efek jera namun juga berfungsi sebagai daya tangkal. Segala

upaya telah dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi dan semakin

marak di Indonesia. Upaya pencegahan kadangkala dianggap dapat lebih bermanfaat

dibandingkan dengan memidana seorang pelaku tindak pidana. Diperlukan perbaikan sistem

secara menyeluruh dari semua lapisan yang dapat berindikasi terjadinya tindak pidana

korupsi. Dengan adanya sistem yang lebih baik, tentu akan dapat meminimalisir terjadinya

suatu tindak pidana.

Page 80: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

75

BAB VI

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Rencana Tahapan Berikutnya adalah :

1. Mengadakan seminar hasil penelitian sebagai publikasi hasil penelitian.

2. Mempublikasikan dalam sebuah jurnal.

Page 81: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

76

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Adapun langkah penyelesaian yang dilakukan Kejati Bali dalam penyelesaian atas

tunggakan uang pengganti terpidana korupsi adalah :

1. Dalam rangka penyelamatan aset negara akfoat tindak pidana korupsi instrumen pidana

uang pengganti sebagai pidana tambahan memang memiliki kedudukan yang penting.

Namun dalam pelaksanaannya dapat dikatakan belum optimal dimana dapat dilihat dari

data pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi yang tercatat

di Kejaksaan Tinggi Bali pada tahun 2012 - 2016 masih ada terpidana yang belum

melunasi pembayaran uang pengganti * tersebut sehingga menjadi tunggakan uang

pengganti. Dalam hal ini pihak Kejaksaan berupaya menanggulangi hal tesebut dengan

mengoptimalkan tindakan - tindakan seperti penagihan - penagihan secara non litigasi

kepada terpidana dan keluaraganya, melakukan penelusuran terhadap aset - aset yang

masih dimiliki terpidana, perampasan terhadap aset — aset yang diketahui merupakan

hasil dari tindak pidana, pelaksanaan pidana subsider dan melalui instrumen gugatan

perdata.

2. Adapun hal-hal yang menjadi hambatan bagi Kejati Bali dalam hal pemulihan eksekusi

atas uang pengganti dari terpidana korupsi untuk pemulihan pengembalian kerugian

keuangan negara adalah beupa Dalam pelaksanaan eksekusi pidana pembayaran uang

pengganti yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan tidaklah lepas dari hambatan —

hambatan. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya tunggakan pembayaran

uang pengganti tersebut. Uang Pengganti dalam perkara korupsi mengandung banyak

permasalahan yang temyata cukup rumit dalam implementasinya, diantaranya belum

mencapai kesempurnaan tentang seperangkat peraturan yang menyertai persoalan yakni

penerapan pada Undang - Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang -

Page 82: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

77

Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana

undang - undang tersebut masih terkendala karena kurang lengkap dan tegas dalam

pengaturan tata cara dalam hal pengembalian uang Negara yang dikorupsi khusunya

terkait uang pengganti, lamanya proses peradilan hingga putusan berkekuatan hukum

tetap agar bisa dilaksanakan eksekusi, adanya kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP)

ganda guna menyembunyikan harta kekayaannya hasil korupsi serta terpidana banyak

yang memilih hukuman pengganti berupa kurungan badan dibandingkan harus membayar

uang pengganti.

7.2. Saran

1. Agar pihak Kejati Bali selaku bekerja optimal dalam mengeksekusi uang pengganti dari

terpidana koruptor untuk hasilnya guna pembangunan bangsa

2. Demi memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana

korupsi maka perlu dilakukan pembaharuan terhadap Undang - Undang No. 31 Tahun

1999 jo Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi khusunya terkait pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti pada

ketentuan Pasal 18 terkait kejelasan sistem pembayaran uang pengganti tersebut.

Page 83: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

78

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Ade Saptomo, 2009, Pokok - Pokok Metodelogi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah

Alter natif Universitas Trisakti, Jakarta, h.42.

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PI. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h.25.

Andrew Ashworth, 2010, Sentencing and Criminal Justice, Cambridge University Press,

Fifth Edition, UK, h. 76.

Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PI Rineka Cipta,

Jakarta, h.95.

Christoher Haring, Ricard W. Ireland, 1989, Punishment Rhetoric, Rule and Practice, First

Published, Routledge, New York, USA.

Efi Laila Kholis, 2010, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi^ Solusi

Publishing, Jakarta,h.39.

Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi

Negara), Sinar Grafika, Jakarta, h. 164

L.R. Huesmann and C.L. Podolski, 2003, Punishment:a Psychological '

Perspective (The Use of Punisment edited by Scan McConville), First Published,

Willan Publishing, Oregon, USA, h.77.

Soerjono Soekanto, 1983, Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Rajawali, Jakarta

PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah dirobah dengan Undang Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana

Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Page 84: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

79

INTERNET:

Http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/Files/doc/Kaiian/policvpaperkeu

angannegara.pdf. diakses 15 Desember 2015.

PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah dirobah dengan Undang – Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana

Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

INTERNET :

Http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/Files/doc/Kaiian/policvpaperkeuangannegar

a.pdf. diakses 15 Desember 2015.

Page 85: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

80

LAMPIRAN 1 :

INSTRUMEN DUKUNGAN SARANA DAN PRASARANA PENELITIAN

Sarana yang akan digunakan :

1. Kendaraan yang berfungsi yang digunakan oleh peneliti dalam kegiatan mencari data

kelapangan.

2. Ruang Kerja untuk tim peneliti.

Page 86: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

81

LAMPIRAN 4 BIODATA KETUA DAN ANGGOTA TIM PENELITI SERTA

MAHASISWA

CURRICULUM VITAE

A. Identitas Diri

Nama : Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH., MH

Tempat dan Tanggal Lahir : Singaraja, 15 September 1964

Email : [email protected]

NIP : 19640915 199003 1 004

Pangkat/jabatan : Lektor Kepala IV/a

Telp. : 0818564464

Pendidikan : - SD 1 Sukasada

- SMPN Sukasada

- SMAN Singaraja

- Fakultas Hukum UNUD (S1)

- Unpad (S2)

- Universitas Brawijaya (S3)

Alamat : Jalan Noja Perumahan Citarum Nomor 44 Denpasar.

Page 87: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

82

CURRICULUM VITAE

I.Identitas :

Nama Lengkap : I GedeArtha,SH.,MH.

NIP : 19580127 198503 1 002

Tempat/ Tanggal lahir : Bungaya, 27 Januari 1958

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Dosen Pangkat / Golongan : Pembina Tk. I / IVb

Jabatan Fungsional : Dosen

Alamat Kantor : Fak. Hukum Unud Jl. P. Bali No. 1 Sanglah Denpasar Alamat Rumah : Perum. Taman Mahayu II/18 SempidiBadung

II. Riwayat Pendidikan:

PENDIDIKAN

TEMPAT

TAHUN

LULUS

JURUSAN/PROGRAM

STUDI

S D S D No. 1 Bungaya 1971 - S M P S M P N Karangasem 1974 - S M A S M A N Karangasem 1977 IPS

S1 FH. Unud 1984 Hukum Pidana/Ilmu Hukum S2 Pasca Unud 1985 Peradilan/Ilmu Hukum S3 Unibraw Malang Mulai 2008 Hukum Pidana/Ilmu Hukum

III.Riwayat Kepangkatan :

No. Jenjang Kepangkatan Terhitung Tanggal

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Jln. Bali No. 1 Sanglah Denpasar, Telp. (0361) 264812 , Fax (0361) 264812

e-mail : [email protected]

Page 88: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

83

IV. Riwayat Pekerjaan:

1.Diangkat sbg. PNS / Tenaga Eedukatif th. 1985 di FH. Unud dgn. Mengasuh mata kuliah :. Hk. Pidana, pengantar sosiologi, HK. Acara pidana, Hk. Acara Mil., Hk. Acara Perad HAM, KBH, Perad Korupsi, SPP 2.Sebagai sekretaris bagian Hukum acara, 1997-2000 3.Sebagai ketua bagian hukum acara, 2001 – 2007 4.Sebagai tim advokasi LBH FH. Unud, 1987-2000 5.Sebagai tim divisi hukum di Unud, 2001 – sekarang V. Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat ( 5 Tahun Terakhir )

1.Sebagai narasumber dalam interaktif di Bali TV tentang kekerasan pada 14 Pebruari 2007 bersama Prof. N. Sirtha,SH.,MS. 2.Sebagai narasumber dalam interaktif di TVRI Sts Denpasar Bali tentang pencegahan korupsi pada 18 desember 2007 bersama Kepol dan Ketua PHDI Bali 3.Sebagi narasumber dalam interaktif di Bali TV tentang eksekusi mati Amrozi cs pada desember 2007 bersama Kejaksaan denpasar dan DPRD Bali 4.Sebagai narasumber dalam interaktif di Bali TV tentang penangkapan preman bersama Kapolda Bali dan Anggota DPRD Bali pada 2 Desember 2008 5.Sebagai narasumber dalam interaktif tentang antisipasi kemanan Bali pasca bom Kuningan II dengan Kadiv Humas Polda Bali di TVRI Bali pada 21 Juli 2009

VI. Kegiatan dalam Penelitian/ Karya Ilmiah ( 5 Tahun Terakhir )

1.Invertarisasi dan analisis kejahatan yang dilakukan oleh anak di kab. karangasem 2007 2.Pengawasan pemerintah kabupaten Badung terhadap penambangan batu kapur di kawasan Badung selatan 2008 3.Pengawasan terhadap aparat penegak hukum dalam penegakan hukum di Bali, 2008 4. 5. VII. Kegiatan Pelatihan yang pernah diikuti:

1.Pelatihan proses belajar mengajar (AA) di Unud 2007 2.Kursus bahasa Inggris di Lab Bahasa Unud 2007 3.Kursus Bahasa Inggris di AILF Denpasar 2008 4.Kursus Komputer dan Pembuatan Power Point di FH Unud 2008 5.Kursus Bahasa Inggris di FH. Unibraw Malang 2008 VIII. Pertemuan Ilmiah / Seminar yang pernah diikuti ( 3 Tahun Terakhir )

1.Sebagai narasumber seminar perlindungan saksi dan korban di Denpasar, 16-11-2007 2.Sebagai narasumber dalam lokakarya pembentukan KPK di Daerah yang diselenggarakan

Page 89: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

84

oleh KPK Pusat, 22-5-2008 3.Sebagai peserta dalam seminar nasional tentang hukum dan kebijakan usaha kecil menengah di Malang, 23 oktober 2008 4.Sebagai peserta dalam seminar nasional di Malang tentang kewenangan Pemda dalam melakukan perjanjian internasional 22 april 2009 5.Sebagai pemakalah dalam seminar nasional tentang Terorisme di Denpasar, 2007

Denpasar, ___________________

I GedeArtha,SH.,MH.

NIP.19580127 198503 1 002

Catatan : Apabila kolom diatas kurang dapat dibuat dalam kertas tersendiri.

Page 90: LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDIerepo.unud.ac.id/id/eprint/13191/1/a288b94a70599bb5d5089...Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun TIM PENGUSUSUL 1. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,

85

CURRICULUM VITAE

(Anggota Peneliti : Mahasiswa Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum UNUD)

Nama : Ni Wayan Sinaryati, SH., MH

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan Tanggal Lahir : Tabanan

Alamat : Jalan Mahendradatta 66 II. No. 2 Denpasar