LAPORAN AKHIR ANJAK TA · 2016-06-10 · proyeksi permintaan dan penawaran akan sangat relevan...
Transcript of LAPORAN AKHIR ANJAK TA · 2016-06-10 · proyeksi permintaan dan penawaran akan sangat relevan...
LAPORAN AKHIR ANJAK TA.2013
ESTIMASI PARAMETER PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PANGAN
STRATEGIS DI INDONESIA
Oleh:
Adang Agustian Supena Friyatno
Nur Khoiriyah Agustin Supadi
Adreng Purwoto
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN
PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2013
ix
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
1) Upaya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu peran strategis
pertanian, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan laju
pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang masih tinggi.
Berdasarkan kondisi tersebut, selama lima tahun ke depan, Kementerian
Pertanian menempatkan beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula sebagai
lima komoditas pangan utama. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan
utama tersebut, target Kementerian Pertanian selama 2010-2014 adalah
pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan.
2) Pengembangan komoditas pertanian khususnya pangan strategis memerlukan
pemahaman tentang prospek pasar, kemampuan sumberdaya dan potensi
teknologi. Ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan akan
mempengaruhi harga dan profitabilitas, sehingga memerlukan kebijakan
intervensi dan perencanaan untuk menghadapi keadaan tersebut. Analisis dan
proyeksi permintaan dan penawaran akan sangat relevan untuk membuat
kebijakan perencanaan. Prospek permintaan dan penawaran pangan menjadi
indikator penting dalam bidang ketahanan pangan. Dalam konteks demikian,
tentu keberhasilan pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan oleh
kualitas perencanaan pembangunan produksi pertanian.
3) Kualitas pembangunan produksi pertanian itu sendiri sangat ditentukan oleh
akurasi data yang tersedia. Dengan perencanaan pembangunan produksi
pertanian pangan yang lebih berkualitas diharapkan ketahanan pangan
nasional akan lebih kokoh, sehingga impor pangan, kerawanan pangan dan gizi
serta penurunan areal dan produktivitas tanaman pangan dapat dicegah dan
atau dieliminir. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini memiliki urgensi
penting untuk dilaksanakan.
4) Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi parameter dari
peubah-peubah yang mempengaruhi permintaan dan penawaran, melakukan
proyeksi permintaan dan penawaran, menganalisis prospek penawaran dalam
x
memenuhi permintaan, dan merumuskan saran kebijakan atas upaya
pemenuhan kebutuhan komoditas pangan strategis.
5) Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data sekunder berupa data agregat time series selama peiode
tahun 1985-2012. Data ini akan digunakan untuk menduga fungsi permintaan
dan penawaran sejumlah komoditas pangan strategis. Pendugaan fungsi
permintaan dan penawaran sejumlah komoditas tersebut akan dilakukan
dengan pendekatan ekonometrika dengan metode persamaan simultan. Data
primer berupa data di tingkat propinsi yang mencakup informasi-informasi
terkait produksi, usahatani dan pengembangan komoditas pangan strategis.
Estimasi Parameter Permintaan dan Penawaran
6) Produksi komoditas tanaman pangan merupakan perkalian antara luas panen
dan produktivitas. Pada model luas panen untuk komoditas tanaman pangan
strategis (padi, jagung kedelai, dan gula tebu) nasional dipengaruhi oleh harga
komoditas pangan yang bersangkutan, harga komoditas pesaingnya, harga
input urea, upah tenaga kerja dan tingkat suku bunga pinjaman. Secara umum
dapat diketahui arah besaran peubah persamaan luas panen, yaitu untuk
beberapa peubah yang memiliki pengaruh positif terhadap luas panen adalah:
harga komoditas yang bersangkutan, waktu dan lag luas panen. Selanjutnya
beberapa peubah yang memiliki pengaruh negatif terhadap luas panen adalah:
harga komoditas pesaingnya, harga input urea, upah tenaga kerja dan suku
bunga. Pada komoditas beras, harga jagung dan upah tenaga kerja merupakan
dua peubah yang berpengaruh signifikan terhadap luas panen. Sementara itu,
pada komoditas jagung, peubah harga jagung, harga kedelai dan harga input
urea berpengaruh signifikan terhadap luas panen jagung. Untuk komoditas
kedelai, hanya peubah lag luas panen yang berpengaruh signifikan terhadap
luas panen. Selanjutnya pada komoditas gula, peubah harga input urea dan lag
luas panen berpengaruh signifikan terhadap luas panen.
7) Pada model produktivitas komoditas tanaman pangan strategis (padi, jagung
kedelai, dan gula tebu) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas pangan
xi
yang bersangkutan, harga input urea, upah tenaga kerja dan peubah waktu
(sebagai proksi dari teknologi). Secara umum dapat diketahui arah besaran
peubah persamaan produktivitas, yaitu untuk beberapa peubah yang memiliki
pengaruh positif terhadap produktivitas adalah: harga komoditas yang
bersangkutan, waktu dan lag produktivitas. Selanjutnya beberapa peubah yang
memiliki pengaruh negatif terhadap produktivitas adalah: harga input urea dan
upah tenaga kerja. Pada komoditas beras dan jagung, peubah upah tenaga
kerja dan lag produktivitas masing-masing merupakan dua peubah yang
signifikan berpengaruh terhadap produktivitas. Untuk komoditas kedelai dan
gula tebu ternyata hanya peubah waktu yang merupakan proksi dari teknologi
berpengaruh signifikan terhadap produktivitas.
8) Pada model ternak sapi, khususnya pada persamaan populasi ternak sapi
bahwa populasi ternak sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi, permintaan
daging sapi, pendapatan/kapita dan jumlah penduduk. Bila dilihat arah
koefisien dari setiap peubah dapat diketahui bahwa seluruh peubah memiliki
pengaruh yang positif terhadap populasi ternak sapi. Artinya jika terdapat
peningkatan dari peubah-peubah tersebut, maka populasi ternak sapi akan
meningkat. Adapun pendapatan/kapita dan lag populasi ternak sapi merupakan
dua peubah yang berpengaruh signifikan terhadap populasi ternak sapi
nasional. Peubah lainnya pengaruhnya tidak signifikan terhadap populasi ternak
sapi.
9) Permintaan komoditas tanaman pangan strategis (padi, jagung kedelai, gula
dan daging sapi) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas pangan yang
bersangkutan, harga komoditas pesaingnya, jumlah populasi/penduduk dan
pendapatan per kapita, dan lag permintaan. Pada komoditas beras, peubah
jumlah penduduk, pendapatan per kapita dan lag permintaan merupakan tiga
peubah yang signifikan berpengaruh terhadap permintaan. Sementara pada
komoditas jagung, selain peubah jumlah penduduk/populasi, peubah harga
beras dan populasi ternak unggas ras berpengaruh terhadap permintaan
jagung. Untuk komoditas kedelai, peubah harga kedelai berpengaruh signifikan
terhadap permintaan kedelai. Selanjutnya pada komoditas gula, hanya peubah
xii
pendapatan yang berpengaruh signifikan, sedangkan pada komoditas daging
sapi peubah jumlah penduduk dan lag permintaan berpengaruh signifikan
terhadap permintaan komoditas tersebut.
Proyeksi Komoditas dan Prospek Penawaran dalam Pemenuhan Permintaan
10) Penawaran komoditas tanaman pangan strategis nasional secara umum
dipengaruhi oleh situasi produksi tanaman pangan utama, stock, impor dan
lainnya (tercecer dan kebutuhan untuk penggunaan lainnya). Secara rata-rata
(1985-2012), untuk komoditas beras tampaknya produksi beras nasional masih
berada diatas permintaannya. Untuk komoditas jagung, tampaknya produksi
jagung, kedelai dan gula tebu dibawah permintaannya. Selanjutnya Untuk
komoditas daging sapi, produksinya hampir setara dengan permintaannya.
11) Berdasarkan data hasil proyeksi untuk komoditas padi/beras nasional, bahwa
diketahui untuk surplus beras nasional sejak tahun 2014 telah melampaui
diatas 10 juta ton (sesuai target pemerintah). Hal ini tentunya patut
dipertahankan dan bahkan dapat terus ditingkatkan lagi sesuai dengan
proyeksi yang diharapkan. Untuk komoditas jagung, berdasarkan data hasil
proyeksi, ternyata defisit produksi jagung kecenderungannya akan tetap tinggi
hingga tahun 2025. Untuk menutupi defisit tersebut maka impor jagung akan
masih tetap tinggi, dan bahkan untuk kedelai lebih tinggi lagi. Untuk itu,
diperlukan terobosan kebijakan peningkatan produksi jagung dan kedelai
nasional baik melalui peningkatan teknologi budidaya maupun perluasan areal
pertanaman jagung.
12) Untuk kondisi produksi gula nasional dimana defisit gula nasional mulai dari
tahun 2015 hingga 2025 terus tetap besar. Untuk menutupi defisit tersebut
maka impor gula tebu akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan
kebijakan peningkatan produksi gula tebu nasional baik melalui peningkatan
teknologi budidaya maupun perluasan areal pertanaman tebu nasional. Hal
yang sama juga terjadi pada kondisi daging sapi, dimana defisit produksinya
juga tetap tinggi hingga tahun 2025. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan
xiii
peningkatan produksi daging sapi nasional baik melalui peningkatan populasi
sapi potong nasional dengan dukungan program peningkatan populasi dan
pembibitan sapi nasional.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Kesimpulan
13) Secara spesifik upaya pemenuhan komoditas pangan strategis nasional
terutama Padi/Beras dilakukan dengan program Peningkatan Produksi Beras
Nasional (P2BN) dalam mendukung mendukung target nasional surplus 10 juta
ton. Dalam rangka peningkatan produksi padi/beras nasional, terdapat dua
komponen utama yang menentukan yaitu luas panen dan produktivitas.
Pertumbuhan luas panen dipengaruhi oleh perubahan indeks pertanaman,
pembukaan lahan (sawah) baru dan konversi lahan dari lahan pertanian
menjadi non-pertanian. Sementara pertumbuhan produktivitas merupakan
cerminan dari perbaikan penerapan teknologi budidaya di tingkat petani.
14) Untuk peningkatan produksi jagung bisa ditempuh melalui intensifikasi dan
ekstensifikasi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui penggunaan benih
bermutu, serta pengolahan lahan dan pemupukan yang memadai. Dalam
rangka meningkatkan produksi jagung nasional telah dikembangkan teknologi
produksi jagung hibrida. Namun realisasi pengembangan jagung hibrida sampai
tahun 2009 baru mencapai 50 persen. Selanjutnya upaya ekstensifikasi bisa
dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering yang masih potensial tetapi
belum digarap secara optimal.
15) Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan dengan peningkatan
produktivitas dan peningkatan areal tanam. Produktivitas kedelai nasional
masih rendah, untuk itu peningkatan produktivitas kedelai dapat dilakukan
dengan penggunaan varietas unggul. Selain itu, peningkatan produksi kedelai
dapat dilakukan dengan menambah areal tanam, terutma pada lahan-lahan
yang pemanfaatannya masih belum optimal.
16) Kebijakan yang dapat ditempuh untuk peningkatan produksi gula nasional
adalah: (1) perlu adanya penerapan tarif impor gula mentah yang disesuaikan
xiv
dengan harga pokok produksi gula kristal dalam negeri, (2) Stabilisasi harga
gula konsumsi di tingkat konsumen, agar tidak menjadi salah satu faktor
pendorong inflasi, (3) Untuk menjaga stabilitas harga gula petani, perlu
dicegah rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi, dan (4) Untuk
mencegah kenaikan harga gula yang menimbulkan inflasi, diperlukan kebijakan
stabilisasi harga di dua tingkatan, yaitu stabilisasi harga di tingkat pasar lelang
gula pada petani tebu dan stabilisasi harga di tingkat pasar konsumsi gula
kristal.
17) Pemerintah terus meningkatkan populasi sapi dan berupaya meminimalisir
impor daging sapi dan sapi hidup nasional. Upaya peningkatan populasi sapi
lokal dilakukan dengan memperkuat pembibitan ternak unggul, teknologi
budidaya, teknologi pakan, perawatan kesehatan hewan, penanganan pasca
panen dan veteriner. lndonesia mempunyai peluang untuk pengembangan
ternak sapi, hal ini terlihat dari potensi komparatif yang dimiliki mulai dari
sumber daya alam, sumber pakan, iklim, dan topografi serta sumber daya
manusia untuk pengembangan ternak sapi.
Implikasi Kebijakan
18) Secara umum bahwa upaya peningkatan produksi tanaman pangan (padi,
jagung dan kedelai) masih berprospek ditingkatkan lagi untuk memenuhi
permintaan komoditas pangan yang semakin meningkat. Secara umum upaya
peningkatan produksi tanaman pangan nasional dapat dilakukan dengan 4
strategi utama, yaitu: (1) Peningkatan Produktivitas; (2) Perluasan areal
tanam; (3) Pengamanan Produksi; dan (4) Penguatan Kelembagaan petani.
19) Beberapa strategi penting untuk menjamin keberhasilan peningkatan produksi
pangan nasional yaitu: (1) Perbaikan Harga jual hasil panen petani, (2)
Pemanfaatan Potensi Lahan, pemanfaatan potensi lahan yang tersedia untuk
perluasan areal tanam, (3) Intensifikasi Pertanaman, dan (4) Perbaikan Proses
Produksi, proses produksi yang mampu memberikan produktivitas tinggi,
efisien, dan berkelanjutan.
xv
20) Upaya peningkatan permintaan daging sapi dalam negeri merupakan peluang
dan sekaligus tantangan bagi usaha peternakan dalam negeri. Peluangnya
yaitu berupa masih terbukanya pasar domestik yang luas, sedangkan
tantangannya adalah produk daging impor akan sangat mudah untuk masuk ke
pasar domestik. Untuk itu, upaya peningkatan produksi daging sapi nasional
memiliki urgensi penting untuk terus diintensifkan.
xvi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
EXECUTIVE SUMMARY......................................................................... ....... iii
RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ xvi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvii
I. PENDAHULAUN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 2 1.3. Jastifikasi .................................................................................... 6
1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................... 8 1.5. Keluaran yang Diharapkan ........................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9
2.1. Latar Belakang ............................................................................. 9
2.2. Hasil-Hasil penelitian Terkait ......................................................... 11
III. METODOLOGI ..................................................................................... 14
2.1. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 14 2.2. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 19
2.3. Lokasi Penelitian dan Responden ................................................... 19 2.4. Data dan Metode Analisis .............................................................. 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 30
4.1. Kinerja Penawaran Komoditas Pangan Strategis Nasional ................ 31
4.2. Permintaan Komoditas Pangan ...................................................... 43 4.3. Ekspor Impor Komoditas Pangan ................................................... 54
4.4. Studi Kasus Lokasi Provinsi Jawa Barat .......................................... 66 4.5. Estimasi Parameter Permintaan dan Penawaran ............................. 80
4.6. Proyeksi Permintaan dan Penawaran ............................................. 127
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ............................................ 131
5.1. Kesimpulan .................................................................................. 131 5.2. Implikasi kebijakan ....................................................................... 135
DAFTAR PUSTAKA
xvii
DAFTAR TABEL
No Tabel Teks Halaman
3.1. Daftar Risiko dan Penanggulangannya .................................................... 29
4.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di
Indonesia, 1980-2012. .......................................................................... 32
4.2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di
Indonesia, 1980-2012. .......................................................................... 34
4.3. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedele di
Indonesia, 1980-2012. .......................................................................... 36
4.4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Gula Tebu
Di Indonesia, 1980-2012. ...................................................................... 40
4.5. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Ternak Sapi
Di Indonesia, 1980-2012. ...................................................................... 43
4.6. Konsumsi Beras per Kapita Nasional dan Jumlah Penduduk,
1980-2012. ........................................................................................... 46
4.7. Perkembangan Konsumsi Perkapita (Kg/kap/tahun) dan Konsumsi
Total Jagung Nasional (Ton), 1980-2012. ............................................... 48
4.8. Konsumsi per kapita, Jumlah Penduduk dan Konsumsi Kedelai
Nasional,1980-2012. ............................................................................. 50
4.9. Perkembangan Konsumsi Perkapita (Kg/kap/tahun) dan Konsumsi
Total Gula Tebu Nasional,1980-2012. ..................................................... 51
4.10. Konsumsi Daging Sapi per Kapita dan Nasional, 1980-2012. ................... 54
4.11. Perkembangan Ekspor dan Impor Beras di Indonesia, 1980-2012. .......... 56
4.12. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia, 1980-2012. ........ 58
4.13. Perkembangan Ekspor dan Impor Kedele di Indonesia, 1980-2012. ......... 60
4.14. Perkembangan Ekspor dan Impor Gula di Indonesia, 1980-2012. ............ 63
4.15. Perkembangan Ekspor dan Impor Daging Sapi Nasional, 1980-2012. ....... 65
xviii
4.16. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di
Jawa Barat, 2008-2012. ......................................................................... 67
4.17. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di
Jawa Barat, 2008-2012. ......................................................................... 69
4.18. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedele di
Jawa Barat, 2008-2012. ......................................................................... 70
4.19. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tebu di
Jawa Barat, 2008-2012. ......................................................................... 73
4.20. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ternak Sapi
Di Jawa Barat, 2008-2012..................................................................... 79
4.21. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Padi di Indonesia..... 81
4.22. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Padi di Indonesia.... 83
4.23. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Beras di Indonesia.... 86
4.24. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Beras di Indonesia........... 87
4.25. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Beras di Indonesia........... 89
4.26. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Jagung di Indonesia.. 90
4.27. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Jagung di Indonesia. 93
4.28. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Jagung di Indonesia......... 95
4.29. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Jagung di Indonesia. 97
4.30. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Jagung di Indonesia......... 98
4.31. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Kedelai di Indonesia. 100
4.32. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Kedelai di Indonesia. 102
4.33. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Kedelai di Indonesia.... 103
4.34. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Kedelai di Indonesia.......... 105
4.35. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Kedelai di Indonesia......... 107
4.36. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Tebu di Indonesia..... 108
4.37. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Tebu di Indonesia... 110
4.38. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Tebu di Indonesia..... 112
4.39. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Gula di Indonesia.............. 114
4.40. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Gula di Indonesia............. 115
xix
4.41. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Daging Sapi di
Indonesia...................................................................................... 116
4.42. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Daging Sapi di Indonesia.. 118
4.43. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Daging Sapi di Indonesia.. 120
4.44. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Populasi Ternak Sapi di Indonesia. 122
4.45. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Padi di Indonesia,
2014-2025...................................................................................... 123
4.46. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Jagung di Indonesia,
2014-2025...................................................................................... 124
4.47. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Kedelai di Indonesia,
2014-2025...................................................................................... 125
4.48. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Tebu/Gula di Indonesia,
2014-2025.................................................................................... 126
4.49. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Ternak/Daging Sapi
di Indonesia, 2014-2025................................................................. 127
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada RPJMN tahap ke-2 (2010-2014), pembangunan pertanian tetap memegang
peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut
ditunjukkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan kapital, penyediaan
bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap tenaga kerja,
sumber devisa negara, dan sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui
praktek usahatani yang ramah lingkungan.
Upaya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu peran strategis
pertanian, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar pada tahun 2011 yaitu
241 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun dan
tingkat konsumsi beras 113,48 Kg/kapita/tahun. Berdasarkan kondisi tersebut, selama
lima tahun ke depan, Kementerian Pertanian menempatkan beras, jagung, kedelai,
daging sapi dan gula sebagai lima komoditas pangan utama (Renstra Kementan, 2010).
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target Kementerian
Pertanian selama 2010-2014 adalah pencapaian swasembada dan swasembada
berkelanjutan. Pencapaian swasembada ditujukan untuk kedelai, daging sapi dan gula
dengan target sasaran produksi adalah kedelai 2,70 juta ton, daging sapi 0,55 juta ton,
dan gula 5,7 juta ton pada tahun 2014. Karena padi dan jagung sudah pada posisi
swasembada, maka target pencapaian selama 2010-2014 adalah swasembada
berkelanjutan dengan sasaran produksi padi sebesar 75,7 juta ton GKG dan jagung 29
juta ton jagung pipilan kering pada tahun 2014.
Kebutuhan komoditas tanaman pangan domestik mencakup untuk pemenuhan
konsumsi penduduk, kebutuhan industri dan kebutuhan lainnya (seperti dari untuk
komoditas jagung dan kedelai digunakan sebagai bahan baku pakan ternak). Adapun
sumber pangan terdiri dari produksi domestik dan impor. Untuk komoditas padi dan
jagung misalnya, selama periode 2000-2011 produksinya meningkat sebesar 2,66
persen dan 6,78 persen. Perkembangan tersebut bersumber dari pertumbuhan luas
2
panen dan produktivitas masing-masing sebesar 1,31 persen dan 1,35 persen untuk
padi, serta 2,18 persen dan 4,60 persen untuk jagung. Hal ini menunjukkan bahwa
perkembangan produksi padi dan jagung dalam sepuluh tahun terakhir masih lebih
dominan akibat perkembangan produktivitas. Sementara itu, produksi kedelai dalam
periode yang sama justru menurun 0,68 persen/ tahun. Penurunan produksi kedelai
disebabkan karena lambatnya peningkatan luas panennya yang hanya mencapai 1,02
persen/tahun, sedangkan produktivitasnya meningkat tipis sebesar 0,43 persen per
tahun. Untuk komoditas tebu (gula), produksinya masih menunjukkan peningkatan
sebesar 3,48 persen/tahun. Untuk daging sapi juga menunjukkan peningkatan 2,62
%/tahun sebagai akibat masih meningkatnya populasi sapi potong nasional sebesar
2,57 %/tahun.
Untuk komoditas jagung, bila disandingkan data produksi dan total kebutuhan
jagung nasional pada kurun waktu 2000- 2006 maka dapat diketahui bahwa produksi
jagung nasional masih dibawah total kebutuhan jagung nasional. Masih rendahnya
produksi jagung nasional, sementara kebutuhannya meningkat pesat menyebabkan
terjadinya ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan jagung. Oleh karena itu, untuk
mencukupi berbagai kebutuhan (untuk makanan atau konsumsi langsung, bahan baku
industri olahan dan terutama bahan baku pakan ternak) telah dilakukan impor jagung
pada kurun waktu tersebut dengan kisaran antara 226 ribu – 1.8 juta ton (FAO, 2009).
Pada tahun 2007, produksi jagung nasional sebesar 13.3 juta ton dan mulai berada
diatas total kebutuhan jagung nasional yang mencapai 12.5 juta ton. Kondisi ini juga
terjadi pada tahun 2008 dan 2009, dan impor jagung tetap dilakukan yaitu sebesar
sebesar 795 ribu ton pada tahun 2007 dan 300 ribu ton pada tahun 2009. Pada
perkembangan berikutnya, yaitu di akhir tahun 2011 impor jagung diperkirakan dapat
mencapai 2.5 juta ton (Kompas, 2011).
Untuk kedelai, kemampuan produksi dalam memenuhi kebutuhan domestik masih
rendah dan menurun pada periode 2000-2007. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan
domestik kedelai masih dilakukan impor (Hadi dan Susilowati, 2010). Perkembangan
luas panen kedelai cenderung berfluktuasinya sehingga perkembangan produksinya
3
lambat, sedangkan produktivitas kedelai nasional hanya sekitar 1.29 ton/ha (tahun
2007).
Berdasarkan fakta dan kondisi diatas, maka isu permintaan, ketersedian dan
produksi pangan utama saat ini terus mendapat perhatian intensif dari berbagai pihak,
karena beberapa alasan : (1) terdapatnya fenomena perubahan iklim yang
dikhawatirkan berpengaruh terhadap produksi pangan terutama padi nasional, (2)
semakin menurunnya stock komoditas pangan dunia, akibat negara produsen menahan
sebagian besar stok pangannya untuk tidak dijual ke pasar bebas, sehingga impor
pangan pun ke depan akan mengalami kendala signifikan, yaitu tingginya harga pangan
dunia dan juga stocknya terbatas, (3) program diversifikasi pangan yang saat ini masih
berat ke konsumsi beras masih belum berhasil dengan memuaskan, khusus untuk
konsumsi beras nasional tampaknya masih tinggi yaitu 113,48 kg/kap/tahun, (4) masih
terus berjalannya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, dimana
konversi lahan pertanian di Pulau Jawa dalam rentang 2007-2010 mencapai 600 ribu
hektar, (5) semakin meningkatnya harga input usahatani, yang berhadapan dengan
lemahnya permodalan petani kecil, dan (6) akselerasi program peningkatan produksi
pangan yang belum sepenuhnya mencapai target yang diharapkan, karena berbagai
kendala yang dihadapi.
Bahkan dalam lima tahun terakhir, telah terjadi peningkatan harga pangan dunia.
Kondisi harga-harga pangan diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang
seiring dengan perubahan iklim global. Momentum kenaikan harga pangan tersebut
selayaknya dapat menjadi pangkal tolak akan kebangkitan dan peningkatan produksi
komoditas pangan yang menjadi pilihan petani sebagai sumber pendapatan penting
dalam usaha taninya (Kompas, 2009).
Dengan menyikapi isu permintaan dan ketersediaan maka upaya peningkatan
produksi pangan perlu mendapat perhatian dengan intensitas yang lebih tinggi lagi.
Pembangunan pertanian secara umum ke depan menghadapi banyak tantangan yang
tidak mudah, antara lain bagaimana meningkatkan produktivitas dan nilai tambah
produk dengan sistem pertanian yang ramah lingkungan, membudayakan penggunaan
pupuk kimiawi dan organik secara berimbang untuk memperbaiki dan meningkatkan
4
kesuburan tanah, memperbaiki dan membangun infrastruktur lahan dan air serta
perbenihan dan perbibitan, membuka akses pembiayaan pertanian dengan suku bunga
rendah bagi petani/peternak kecil, mengupayakan pencapaian Millenium Development
Goals (MDG’s) yang mencakup angka kemiskinan, pengangguran, dan rawan pangan,
menciptakan kebijakan harga (pricing policies) yang proporsional untuk produk-produk
pertanian khusus, memperkuat kemampuan untuk bersaing di pasar global serta
mengatasi pelemahan pertumbuhan ekonomi akibat krisis global, memperbaiki citra
petani dan pertanian agar kembali diminati generasi penerus, memperkokoh
kelembagaan usaha ekonomi produktif di perdesaan, menciptakan sistem penyuluhan
pertanian yang efektif, dan memenuhi kebutuhan pangan, serta mengembangkan
komoditas unggulan nasional.
Untuk menghadapi tantangan tersebut tentu diperlukan berbagai informasi
mengenai kinerja penawaran dan prospeknya dalam memenuhi permintaan dalam
negeri. Kinerja penawaran (produksi dalam negeri) akan sangat ditentukan oleh respon
petani terhadap perubahan-perubahan yang ada, baik karena mekanisme pasar
maupun karena kebijakan pemerintah. Respon tersebut dapat direfleksikan oleh fungsi
respon areal tanam (di proksi oleh luas panen), respon produktivitas yang dipengaruhi
oleh penerapan teknologi produksi.
Oleh karena itu, pembangunan pertanian perlu didasarkan pada kekuatan pasar
dan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Pengembangan komoditas pertanian
memerlukan pemahaman tentang prospek pasar, kemampuan sumberdaya dan potensi
teknologi. Ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan akan mempengaruhi
harga dan profitabilitas, sehingga memerlukan kebijakan intervensi dan perencanaan
untuk menghadapi keadaan tersebut. Prospek permintaan dan penawaran pangan
menjadi indikator penting dalam bidang ketahanan pangan. Dalam konteks demikian,
tentu keberhasilan pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan oleh kualitas
perencanaan pembangunan produksi pertanian. Kualitas pembangunan produksi
pertanian itu sendiri sangat ditentukan oleh akurasi data yang tersedia. Salah satu data
yang dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan produksi pertanian adalah kondisi
permintaan dan penawaran komoditas pertanian dan proyeksinya kedepan.
5
Kajian penawaran dan permintaan komoditas pertanian telah banyak dilakukan,
dengan menggunakan berbagai model analisis, baik analisis trend maupun ekonometrik
(Simatupang, et.al, 1995; Sudaryanto, et.al, 1997; Sudaryanto, et.al, 1998; Sadra,
DK.S, et.al, 2000; Syafaat, et.al, 2005 dan Kustiari, et. al, 2009). Penelitian di tujukan
untuk memperoleh parameter-parameter tentang perubahan permintaan komoditas
pangan strategis akibat perubahan harga, pendapatan dan peubah lainnya, serta
memperoleh berbagai informasi terkait perilaku permintaan dan penawaran komoditas
pangan strategis, proyeksi penawaran dan permintaan komoditas, prospek penawaran
dalam memenuhi permintaan pangan strategis, dan saran kebijakan atas upaya
pemenuhan kebutuhan komoditas tanaman pangan strategis.
1.2. Perumusan Masalah
Pembangunan pertanian khususnya untuk komoditas pangan yang telah
dilaksanakan sampai saat ini, masih banyak persoalan mendasar yang harus dipecahkan
dan memerlukan penanganan yang cermat dan tepat, seperti meningkatnya kerusakan
lingkungan dan perubahan iklim global, terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana
prasarana, lahan dan air, kecilnya status dan luas kepemilikan lahan, belum optimalnya
sistem perbenihan dan perbibitan nasional, terbatasnya akses petani terhadap
permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani, masih lemahnya kapasitas
kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan energi,
belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, masih rendahnya nilai tukar petani
dan kurang harmonisnya koordinasi kerja antar sektor terkait pembangunan pertanian
(Renstra Kementan, 2010).
Ketersediaan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan, karena
pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu
bangsa. Oleh karena itu analisis dan dinamika neraca permintaan dan penawaran harus
selalu dicermati agar dapat dibuat perencanaan pembangunan pertanian yang lebih
baik dan berkualitas. Dalam upaya penyediaan pangan tersebut terdapat permasalahan
dan tantangan yang dihadapi seperti: (1) pertumbuhan produksi beberapa komoditas
pertanian seperti kedelai, jagung, dan daging tidak mampu mengejar pesatnya
6
permintaan, (2) pemerataan pembangunan belum sesuai harapan, (3) dalam era pasar
bebas komoditas pertanian dihadapkan pada persaingan yang makin ketat, (4) peran
swasta perlu diperluas dan swasta memerlukan informasi tentang status komoditas
pertanian yang memerlukan investasi. Pada era globalisasi, permasalahan tersebut
mempengaruhi dinamika penawaran dan permintaan komoditas pertanian di pasar
domestik dan pasar internasional. Oleh karena itu neraca permintaan dan penawaran
komoditas pertanian harus selalu dicermati agar dapat dibuat perencanaan
pembangunan pertanian yang responsif terhadap dinamika pasar.
Oleh karena penawaran dan permintaan komoditas pertanian dipengaruhi baik
oleh faktor ekonomi seperti harga komoditas bersangkutan, harga komoditas
substitusi/komplemen dan pendapatan masyarakat maupun faktor non-ekonomi seperti
selera dan teknologi maka dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan
ekonometrika dalam analisisnya. Analisis atas berbagai faktor yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran, serta proyeksi permintaan dan penawaran komoditas
pertanian yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan akan menjadi basis bagi
perencanaan pembangunan produksi pertanian oleh masing-masing direktorat teknis
lingkup Kementerian Pertanian dalam rangka mendukung perwujudan ketahanan
pangan nasional yang lebih kokoh.
1.3. Jastifikasi
Sesusi Renstra Kementan (2010-2019) bahwa visi pembangunan pertanian yaitu
terwujudnya pertanian industrial unggul yang berbasis sumberdaya lokal untuk
meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan kesejahteraan
petani. Adapun arah pembangunan pertanian secara ringkas adalah: (1) Melanjutkan
dan memantapkan kegiatan tahun sebelumnya yang terbukti sangat baik kinerja dan
hasilnya, (2) Melanjutkan dan memperkuat kegiatan yang berorientasi pemberdayaan
masyarakat, (3) Pemantapan swasembada beras, jagung, daging ayam, telur, dan gula
konsumsi melalui peningkatan produksi yang berkelanjutan, (4) Pencapaian
swasembada kedelai, daging sapi, dan gula industry, (5) Peningkatan produksi susu
segar, buah lokal, dan produk-produk substitusi komoditas impor, (6) Peningkatan
7
kualitas dan kuantitas public goods melalui perbaikan dan pengembangan infrastruktur
pertanian, (7) Jaminan penguasaan lahan produktif, (8) Pembangunan sentra-sentra
pupuk organik berbasis kelompok tani, (9) Penguatan kelembagaan perbenihan dan
perbibitan nasional, (10) Pemberdayaan masyarakat petani miskin melalui bantuan
sarana,pelatihan, dan pendampingan, (11) Penguatan akses petani terhadap iptek,
pasar, dan permodalan bunga rendah, (12) Mendorong minat investasi pertanian dan
kemitraan usaha, (13) Pembangunan kawasan komoditas unggulan terpadu secara
vertical dan/atau horizontal, (14) Pengembangan bio-energi berbasis bahan baku lokal
terbarukan, (15) Pengembangan diversifikasi pangan dan pembangunan lumbung
pangan masyarakat untuk mengatasi rawan pangan dan stabilisasi harga di sentra
produksi, (16) Peningkatan keseimbangan ekosistem dan pengendalian hama penyakit
tumbuhan dan hewan secara terpadu, (17) Peningkatan perlindungan dan
pendayagunaan plasma-nutfah nasional, (18) Penguatan sistem perkarantinaan
pertanian, (19) Penelitian dan pengembangan berbasis sumberdaya spesifik lokasi
(kearifan lokal) dan sesuai agro-ekosistem, (20) Pengembangan industri hilir pertanian
di perdesaan yang berbasis kelompok tani, (21) Berperan aktif dalam melahirkan
kebijakan makro yang berpihak kepada petani, (22) Peningkatan promosi citra petani
dan pertanian guna menumbuhkan minat generasi muda menjadi wirausahawan
agribisnis, dan (23) Peningkatan dan penerapan manajemen pembangunan pertanian
yang akuntabel dan good governance.
Menurut Sudaryanto, et.al (1987) bahwa terdapat tujuh aspek kajian untuk
mencapai visi dan arah pembangunan pertanian di masa datang yaitu sumberdaya
alam, teknologi, permintaan dan penawaran, harga dan perdagangan, kelembagaan,
alih teknologi, dan sumberdaya manusia. Maka dalam penelitian ini aspek yang akan
dikaji difokuskan pada penawaran dan permintaan komoditas pertanian utama.
Keseimbangan ketersediaan pangan harus selalu diupayakan. Oleh karena itu,
tingkat penawaran dan permintaan suatu produk atau komoditas merupakan sumber
data dan informasi penting untuk membuat suatu perencanaan. Hasil analisis dan
proyeksi permintaan dan penawaran akan mengandung kesalahan yang membuatnya
berbeda dari realisasi besaran absolutnya. Namun, melakukan proyeksi dengan
8
menggunakan metoda yang lebih ilmiah diharapkan dapat diperoleh hasil analisis atas
berbagi peubah yang mempengaruhi permintaan dan penawaran serta proyeksi
permintaan dan penawaran komoditas pangan strategis yang lebih akurat sehingga
perencanaan pembangunan produksi pertanian pangan menjadi lebih berkualitas.
Dengan perencanaan pembangunan produksi pertanian pangan yang lebih berkualitas
diharapkan ketahanan pangan nasional akan lebih kokoh, sehingga impor pangan,
kerawanan pangan dan gizi serta penurunan areal dan produktivitas tanaman pangan
dapat dicegah dan atau dieliminir.
1.4. Tujuan
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh parameter-parameter
tentang perubahan permintaan komoditas pangan strategis akibat perubahan harga,
pendapatan dan peubah lainnya, serta memperoleh berbagai informasi terkait perilaku
permintaan dan penawaran komoditas pangan strategis. Secara spesifik penelitian ini
bertujuan untuk:
(1) Mengestimasi parameter dari peubah-peubah yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran pangan strategis,
(2) Melakukan proyeksi permintaan dan penawaran komoditas tanaman pangan
strategis, dan
(3) Menganalisis prospek penawaran dalam memenuhi permintaan komoditas
pangan strategis.
1.5. Keluaran yang diharapkan
Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
(1) Hasil estimasi dan analisis atas peubah-peubah yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran pangan strategis,
(2) Hasil proyeksi permintaan dan penawaran komoditas tanaman pangan
strategis, dan
(3) Hasil analisis atas prospek penawaran dalam memenuhi permintaan
komoditas pangan strategis.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
2.1.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Komoditas Tanaman Pangan
Fungsi produksi merupakan suatu hubungan teknis antara input dan output yang
dihasilkan (Debertin, 1986). Fungsi produksi juga dapat merupakan sebuah deskripsi
matematis atau kuantitatif dari berbagai macam kemungkinan-kemungkinan produksi
teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Fungsi produksi memberikan output
maksimum dalam pengertian fisik dari tiap-tiap tingkat input dalam pengertian fisik.
Fungsi produksi mencerminkan hubungan fungsional antara input (faktor produksi) dan
output. Fungsi produksi dengan kondisi keuntungan maksimum dirumuskan sebagai
fungsi permintaan faktor produksi. Dari fungsi permintaan faktor produksi diturunkan
fungsi penawaran produk komoditi yang bersangkutan (Henderson and Quandt, 1980).
Permintaan faktor produksi tergantung pada harga produk dan harga faktor produksi
yang digunakan dalam proses produksi tersebut. Oleh karena itu, jurnlah penawaran
komoditas tanaman pangan (Qs) merupakan fungsi dari pada harga komoditas
tanaman pangan (Pq), dan harga fakfor-faktor produksi (Vxi). Hubungan ini dapat
ditulis sebagai berikut:
Qs = f (Pq, Vxi)
Dalam kenyataannya, keputusan produksi pertanian ditentukan oleh banyak
pilihan produk dan input. Hubungan input-output dalam model produksi multi-input dan
multi-output pada kondisi persaingan sernpurna, fungsi permintaan input dan
penawaran output dapat diturunkan dari the first order condition untuk keuntungan
maksimum. Oleh karena itu, penawaran komoditas tanaman pangan tidak saja
ditentukan oleh harga sendiri dan harga faktor-faktor produksi, tetapi juga ditentukan
oleh harga komoditas lainnya, dalam kajian ini adalah harga jagung.
Untuk mengukur respon penawaran terhadap peubah-peubah yang mempenga-
ruhinya dapat didekati dengan konsep elastisitas. Menurut Heady dan Tweeten (dalam
Nainggolan K, dan Ato S., 1987), terdapat tiga pendekatan yang dapat ditempuh untuk
10
mengukur respon penawaran, yaitu (1) melalui fungsi penawaran langsung, (2)
metode tak langsung, dan (3) elastisitas komponen produksi.
2.1.2. Permintaan Komoditas tanaman pangan
Fungsi permintaan komoditas tanaman pangan diturunkan dari fungsi utilitas
konsumen. Pada tingkat pendapatan dan harga komoditi yang berlaku, konsumen selalu
berusaha memaksimumkan kepuasannya. Kepuasan konsumen maksimum dapat
tercapai jika kegunaan marjinal atau marginal utility (MU) bagi semua komoditi yang
dikonsumsi harus sama dengan rasio harganya (Henderson and Quandt, 1980; Pyndyck
and Rubinfeld, 1994). Oleh karena itu, jumlah permintaan komoditas tanaman pangan
(Qd) merupakan fungsi dari harga komoditas pangan strategis (Pq), harga komoditi lain
(Pi) dalam kajian ini pangan strategis, dan pendapatan konsumen (I). Hubungan
fungsional permintaan komoditas tanaman pangan dapat ditulis sebagai berikut.
Qd = d (Pq, Pi, I)
Pada sistem perekonomian terbuka, negara yang defisit akan suatu komoditas
akan mengimpor dari negara lain yang surplus. Permintaan impor (QM) suatu negara
merupakan selisih jumlah konsumsi dengan produksi di dalam negeri (QS dan QST =
stok) suatu negara. Oleh karena itu, permintaan impor dapat dirumuskan sebagai
berikut:
QM = QD - (QS + QST )
Fungsi permintaan impor diturunkan dari fungsi konsumsi, sehingga permintaan
impor dipengaruhi oleh harga komoditi impor (PM) dan pendapatan konsumen (Y)
(Kindleberger and Lindert, 1982). Selain itu, kebijaksanaan perdagangan pemerintah
negara pengimpor (GM) dan pengekspor (GX) juga mempengaruhi jumlah permintaan
impor. Oleh karena itu, fungsi permintaan impor komoditas tanaman pangan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
QM = f (PM, Y, GM, GX)
11
2.2. Hasil-Hasil Penelitian Terkait
Berbagai studi terkait komoditas tanaman pangan telah banyak dilakukan oleh
beberapa peneliti sebelumnya. Hasil penelitian Syafaat, et.al (2005) bahwa dengan
menggunakan data time series 1969-2003, permintaan beras nasional meningkat
sebesar 2,9 persen/tahun yang berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1,8
persen/tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita beras sebesar 1,2 persen/ tahun.
Dengan pertumbuhan permintaan sebesar 2,9 persen per tahun, maka tambahan
permintaan setiap tahun sebesar sebesar 651 ribu ton. Sementara produksi beras
meningkat sebesar 3,17 persen/tahun yang berasal dari pertumbuhan luas areal
sebesar 2,09 persen dan pertumbuhan produktivitas sebesar 1,06 persen. Dalam hal
ini kinerja permintaan dan penawaran beras selama ini, nampaknya produksi dalam
negeri diperkirakan masih mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hasil lainnya
untuk permintaan jagung meningkat sebesar 5,2 persen/ tahun yang berasal dari
pertumbuhan penduduk sebesar 1,8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per
kapita 3,3 persen. Sementara produksi jagung meningkat sebesar 4,69 persen/tahun
yang berasal dari pertumbuhan luas areal sebesar 0,95 persen dan pertumbuhan
produktivitas sebesar 3,70 persen. Saat ini impor jagung masih tinggi, dimana pada
tahun 2003 impor jagung sebanyak 1,3 juta ton. Ke depan produksi jagung dalam
negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sementara
itu, untuk permintaan kedelai meningkat sebesar 5,8 persen/tahun yang berasal dari
pertumbuhan penduduk sebesar 1,8 persen/ tahun dan pertumbuhan konsumsi per
kapita 4,5 persen. Sementara produksi kedelai hanya meningkat sebesar 1,62
persen/tahun yang hanya disumbang dari pertumbuhan produktivitas sebesar 1,77
persen, sedangkan pertumbuhan luas areal negatif 0,14 persen/tahun. Saat ini
Indonesia masih dominan impor kedelai, dimana pada tahun 2003 impor kedelai
sebanyak 1,2 juta ton. Ke depan produksi kedelai dalam negeri perlu terus dipacu
agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Hasil penelitian Syafaat, et.al (2005) lainnya untuk komoditas daging sapi
terungkap bahwa permintaan daging sapi meningkat sebesar 1,2 persen/tahun.
Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1,8
12
persen/tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita menurun sebesar -0,4 persen.
Sementara produksi daging sapi meningkat 2,21 persen/tahun selama periode 1969-
1997 dan selanjutnya menurun menjadi 0,01 persen/tahun selama periode 1997-
2003. Neraca perdagangan daging sapi mengalami defisit. Ke depan produksi daging
sapi dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sementara untuk permintaan gula meningkat sebesar 3,7 persen/tahun. Pertumbuhan
permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1,8 persen/tahun,
sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 1,9 persen.
Sementara produksi teh meningkat 3,53 persen/tahun selama periode 1969-1997,
tetapi mengalami penurunan sebesar -1,45 persen/tahun selama periode 1997-2003.
Sampai saat ini Indonesia sebagai net importir gula sekitar 50 persen dari kebutuhan
dalam negeri. Oleh karena itu ke depan produksi teh dalam negeri perlu terus dipacu
agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Hasil penelitian lainnya Kustiari, et.al (2009) mengungkapkan bahwa dalam kurun
waktu 1969-2008, produksi komoditas tanaman pangan meningkat. Produksi komoditas
padi, jagung, dan kedelai masing-masing meningkat dengan laju pertumbuhan per
tahun masing-masing sebesar 2,67 persen; 4,30 persen; dan 1,51 persen/tahun. Secara
umum diperoleh bahwa laju peningkatan produktivitas relatif lebih besar dibandingkan
dengan laju peningkatan luas panen. Ini berarti peningkatan produksi tanaman pangan
lebih besar karena peran peningkatan produktivitas. Kondisi ini terjadi karena semakin
terbatasnya lahan untuk pertanaman. Dalam periode 2009-2014 diproyeksikan luas
panen komoditas padi, jagung dan kedelai sedikit menurun, sementara proyeksi
produktivitas komoditas tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai) meningkat
dengan laju per tahun masing-masing 0,049 persen; 0,01 persen; dan 0,02 persen.
Permintaan total atas produk-produk utama tanaman pangan untuk keperluan konsumsi
rumah tangga diproyeksikan masih meningkat dengan laju kenaikan sebagai berikut:
beras (1,19%/tahun), jagung (1,81%/tahun), dan kedelai (1,53%/tahun). Sumber
pertumbuhan permintaan total untuk konsumsi rumah tangga bagi ketiga komoditas
tanaman pangan adalah pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan tingkat
konsumsi per kapita keempat produk tersebut.
13
Sudaryanto, et.al., (1997) menganalisis tentang penawaran dan permintaan
komoditi pertanian utama seperti; (a) pangan: padi, jagung, kedelai, ubi kayu; (b).
hortikultura: kentang, cabe, tomat, bawang merah, pisang, jeruk, manggis, anggrek,
dan melati; (c). perkebunan tanaman industri: karet, kelapa sawit, kelapa, teh, tebu,
kopi, kakao, lada, dan mete; dan (d). peternakan: sapi potong, ayam broiler, ayam
buras, babi, itik, dan sapi perah. Studi ini telah mempertimbangkan permintaan
langsung dan tidak langsung
Pada penelitian tersebut, fungsi penawaran padi sawah dan palawija digunakan
model dekomposisi produksi total, dimana peningkatan produksi berasal dari
peningkatan luas panen dan peningkatan produktifitas lahan. Untuk padi ladang,
khusus untuk fungsi respon areal mempergunakan fungsi alokasi logistik polinomial
(Simatupang, et.al., 1995). Untuk komoditas hortikultura, fungsi penawaran
dispesifikasikan sebagai fungsi dari luas lahan dan produktifitas. Hanya saja
ditambahkan faktor resiko harga, sesuai dengan karakteristik usahatani hortikultura
yang memiliki resiko harga yang sangat tinggi. Sementara untuk produk ternak,
penawaran dianalisis dengan menggunakan pendekatan model partial adjustment.
Sedangkan untuk komoditas perkebunan, model proyeksi yang dipergunakan dalam
memproyeksi luas panen adalah model penyesuaian Nerlove, dengan menambahkan
adanya lag peubah tak bebas sebagai salah satu peubah penjelas.
Hasil penelitian Tabor et. al. (1988) mengungkapkan hasilnya tentang
penawaran dan permintaan pangan di Indonesia, bahwa elastisitas pendapatan dan
elastisitas harga dari komoditi kedelai adalah cukup tinggi dibandingkan dengan bahan
pokok yang mengandung protein yang tinggi. Permintaan konsumen dan respon
penawaran sangat sensitif terhadap perubahan harga kedelai. Elastisitas harga kedelai
di Jawa lebih elastis dibandingkan dengan di Luar Jawa. Sedangkan hasil penelitian dari
Rosegrant et. al. (1987) menyatakan bahwa kedelai mempunyai respon areal yang
nyata terhadap perubahan dari usahatani padi yang diharapkan. Elastisitas harga
kedelai terhadap areal tanam, penawaran, dan produktivitas adalah bersifat inelastis
dan bertanda positif. Elastisitas permintaan terhadap harga bersifat inelastis bertanda
negatif dan terhadap pendapatan juga bersifat inelastis dengan tanda positif.
14
Selanjutnya hasil penelitian Haryanto et.al, (2008), elastisitas pendapatan
terhadap permintaan kedelai dalam kurun waktu 1999-2005 rata-rata sebesar 0.15.
Semakin meningkat pendapatan rumah tangga di Indonesia, maka pada masa
mendatang maka akan semakin meningkat jumlah impor kedelai. Impor kedelai dapat
dikurangi melalui peningkatan produktivitas kedelai di dalam negeri. Selanjutnya,
disimpulkan bahwa pengaruh harga kedelai terhadap jumlah permintaan kedelai juga
kecil, dan nilai elastisitas terhadap harga sendiri sebesar -0.07.
III. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Perubahan lingkungan strategis membuka peluang pengembangan komoditasi
alternatif. Peningkatan pendapatan melalui realokasi pemanfaatan sumberdaya
merupakan pilihan yang dapat dilakukan petani. Pemerintah berkewajiban untuk terus
mendorong petani melalui penyediaan berbagai pilihan teknologi dan komoditas yang
potensial untuk dikembangkan. Melalui pendekatan ini ketahanan pangan di tingkat
nasional maupun rumah tangga akan dapat dicapai karena pada saat yang sama
diharapkan program diversifikasi pangan dan pemberdayaan ekonomi keluarga bisa
dicapai.
Pada dasarnya pendekatan yang digunakan tersebut diatas berpijak pada analisis
permintaan dan penawaran komoditas. Analisis permintaan dan penawaran suatu
komoditas sangat bermanfaat bagi pengembangan komoditas itu sendiri, bagi petani
dan bagi negara secara keseluruhan. Bila hal ini tidak diperhatikan maka akan dapat
menimbulkan kesenjangan antara permintaan dan penawaran serta misalokasi
sumberdaya. Dalam kaitan itu, sebagai langkah awal perlu pemahaman mengenai
perilaku penawaran dan permintaan.
15
3.1.1. Teori Produksi
Fungsi Produksi
Fungsi produksi merepresentasikan hubungan teknis antara input dan output.
Oleh karena itu tidak ada peubah harga pada fungsi produksi. Peubah harga-harga
digunakan dalam perilaku optimasi produsen dengan kendala pada fungsi produksi. Hal
ini menghasilkan fungsi penawaran yang merupakan fungsi dari harga jika harga
relevan pada pendekatan optimisasi produsen.
Pada model-model perilaku produsen diasumsikan bahwa teknologi dapat
direpresentasikan oleh fungsi produksi. Jumlah satu atau lebih output/komoditas yang
diproduksi adalah fungsi dari jumlah input faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi. Model untuk satu jenis output maka fungsi produksinya:
q = f (x1, x2 …..xn ) ………………………………………………………………………(1)
Dimana q adalah output dan xi adalah input. Perkembangan teknologi dapat
direpresentasikan sebagai model produksi yang bergeser dari waktu ke waktu. Dengan
kombinasi input tertentu maka dimungkinkan untuk menghasilkan sejumlah output.
Sebagai contoh adalah fungsi produksi Cobb-Douglas yang pada tahun 1928 diusulkan
oleh ahli matematika Cobb dan seorang ekonom Douglas. Diasumsikan ada dua faktor
produksi yaitu tenaga kerja (l) dan modal (k) digunakan untuk memproduksi komoditas
q. Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut:
q = A lα kβ, A > 0 ...........................................................................(2)
Pada fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana α > 0, β > 0 dan α + β < 1.
Persamaan (2) dapat juga ditulis sebagai hubungan linear logaritma. Produktifitas
marjinal tenaga kerja dan modal direpresentasikan sebagai δq/ δl= α (q/l) > 0, δq/ δk=
β (q/k) > 0, proporsional terhadap rata-rata produktifitas. Produktifitas marjinal bersifat
“decreasing function” dari l dan k. Elastisitas produksi terhadap l dan k
direpresentasikan sebagai α dan β, dengan demikian α + β adalah persentase
perubahan produksi yang disebabkan oleh 1% perubahan input l dan k. Nilai α + β
adalah derajat homogeneity fungsi produksi, α + β dapat bernilai lebih kecil, sama
16
dengan atau lebih besar dari satu tergantung pada decreasing, constant atau increasing
return.
Fungsi produksi Cobb-Douglas sering digunakan karena parameternya adalah
elastisitas dan fungsi ini mengikuti “Law of Diminishing Return”. Namun fungsi Cobb-
Douglas terkendala oleh “Constant Elasticity of Substitution”. Fungsi Cobb-Douglas
dapat merepresentasikan fungsi produksi yang masih increasing return to scale, tetapi
untuk merefleksikan fungsi produksi yang sudah decreasing return to scale maka harus
digunakan retriksi.
Fungsi Penawaran
Seperti asumsi di atas bahwa produsen memproduksi satu komoditas q dimana
karakteristik teknologinya dapat direpresentasikan oleh persamaan (1). Produsen
memilih input yang akan memaksimumkan keuntungan berdasarkan fungsi produksi
dan harga input-input tetap, wi dan harga output, p. Keuntungan sama dengan
penerimaan R (=pq) dikurangi biaya.
1
1
( , , )n
n i i
i
R C pf x x w x
K ………………………………………………....(3)
Kondisi ordo pertama untuk keuntungan maksimum adalah:
0i
i
fp w
x
…………………………………………………………………………….(4)
Dimana δf/ δxi adalah produktifitas marjinal input i. Hasil dari persamaan (4)
dalam xi sebagai fungsi dari p dan wi adalah sistem fungsi permintaan input sebagai
berikut:
xi = xi (p, w1, w2 …..wn ), i=1,..., n …………………………………………….(5)
Dengen mensubstitusikan persamaan (5) ke dalam fungsi produksi menghasilkan
persamaan sebagai berikut:
q = f (xi (p, w1, w2 …..wn ) ), i=1,..., n …………………………………..(6)
17
Persamaan (6) adalah fungsi penawaran. Fungsi penawaran menghasilkan output
optimal sebagai fungsi dari peubah harga di pasar output dan pasar input.
3.1.2. Teori Konsumsi
Fungsi konsumsi pada hakekatnya dapat diturunkan dari maksimisasi utilitas
(kegunaan) dengan kendala pendapatan (jumlah pengeluaran) :
Maksimumkan U=u (Q1, Q2,.., Qn)…………………….………………………......(7)
Kendala : Y =
n
i
iiQp1
……………………………………………….....…………. (8)
U = Utilitas
Qi = Jumlah barang konsumsi
Y = total pendapatan (pengeluaran)
Dengan syarat-syarat maksimisasi dapat diturunkan fungsi konsumsi sebagai
fungsi dari harga barang dan pendapatan :
Qi = Qi (p1, p2, …, pn, Y) ……………………………………………………..........(9)
Dalam analisa konsumsi terdapat konsep dualitas, yaitu untuk setiap fungsi
utilitas pasti terdapat suatu fungsí utililtas tak langsung dan fungsí pengeluaran. Dari
fungsí utilitas tak langsung dan fungsi pengeluaran ini dapat diperoleh jumlah konsumsi
yang nilainya identik pada titik optimal.
Fungsi utilitas tak langsung dapat diperoleh dari maksimisasi utilitas. Dengan
memasukkan persamaan (7) ke dalam persamaan (9) diperoleh fungsi utilitas tak
langsung sebagai fungsi dari harga dan pendapatan.
V = v (p1, p2, …, pn, Y) ……………………………………………………….......(10)
V = utilitas tak langsung
Fungsi pengeluaran menunjukkan biaya minimum untuk mencapai kepuasan
tertentu. Dengan demikian, fungsi pengeluaran dapat diturunkan sebagai berikut :
Minimumkan : E =
n
i
iiQp1
…………………………………………..........(11)
Dengan Kendala : U(Q1, Q2,...., Qn) …………………………….............(12)
18
Berdasarkan jawaban persoalan minimisasi ini diperoleh fungsi pengeluaran yang
tergantung pada harga barang dan tingkat kepuasan :
E = E (p1, p2, …, pn, Ú) …………………………………………………….. (13)
Hasil minimisasi pengeluaran dapat juga dipakai untuk memperoleh fungsi
transformasi. Fungsi transformasi ini menunjukkan jumlah komposisi konsumsi yang
paling murah untuk mencapai kepuasan tertentu:
F (Q, Q1, Q2,...., Qn, U) = minimum
n
i
iiQp1
………………………….. (14)
Kendala: v (p1, p2, …, pn, Y) < Ú
Dari fungsi utilitas dan fungsi utilitas tak langsung dapat diperoleh fungsi
kebalikan dan fungsi langsung permintaan Marshallian. Fungsi langsung permintaan
tersebut diperoleh dengan mempergunakan Roy Identity:
Qi m (p1, p2, …, pn, Y) =
yV
pv i
/
/……………………………………….. (15)
Fungsi kebalikan permintaan Marshallian diturunkan dari fungsi utilitas langsung
Marshallian dengan mempergunakan indentitas Hotelling-Word:
Pi m(Q1, Q2, …, Qn, Y) =
n
j
ij
i
QuQ
QuY
1
/
/……………………………………. (16)
Fungsi permintaan langsung dan kebalikan Hicksian dapat diperoleh dari fungsi
pengeluaran dan transformasi. Fungsi permintaan langsung ini diperoleh dengan
mempergunakan Shephard Lemma:
Qi m (p1, p2, …, pn, U) = ipE / ………………………………………… (17)
Sedangkan dari fungsi transformasi dapat diperoleh fungsi kebalikan permintaan
Hicksian dengan mempergunakan Shephard –Lemma:
Pi m(Q1, Q2, …, Qn, U) =
iQ
F
……………………………………….. (18)
Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, bentuk fungsi permintaan tergantung
pada asumsí bentuk fungsi utilitas, utilitas tak langsung pengeluaran atau fleksibilitas.
19
Sifat-sifat teoritis permintaan berdasarkan dari syarat-syarat maksimisasi kepuasan
adalah: (1) Agregasi engel, (2)Agregasi Cournot, (3) Simetri, dan (4) Homogenity.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Pengkajian dilakukan untuk komoditas pangan strategis yaitu tanaman pangan:
padi, jagung dan kedelai, perkebunan: gula (tebu) dan peternakan: daging sapi.
Pemilihan komoditas pada masing-masing sub sektor didasarkan pada pertimbangan
nilai strategis dan/atau nilai komersialnya sesuai Renstra Kementan (2010-2014).
Pada penelitian estimasi parameter permintaan dan penawaran ini akan digunakan
pendekatan ekonometrika. Lingkup kegiatan meliputi atas analisis berbagai faktor yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran, proyeksi permintaan dan penawaran
komoditas pangan strategis, dan prospek penawaran dalam memenuhi permintaan
komoditas pangan strategis. Untuk keperluan analisis akan digunakan data time series
tingkat nasional untuk setiap komoditas pangan strategis dari kurun waktu 1985-2011.
Selain itu, untuk mendukung analisis juga dilakukan penggalian data primer di lokasi
penelitian sesuai tujuan penelitian dalam rangka pendalaman atas kondisi terkini dan
menggali permasalahan baik dalam hal kinerja produksi maupun permintaan komoditas.
3.3. Lokasi penelitian dan responden
3.3.1. Dasar Pertimbangan
Untuk mendapatkan gambaran mikro tentang perkembangan dan permasalahan
sistem usahatani (produksi) berbagai komoditas pangan strategis, maka pada penelitian
ini akan melakukan pengumpulan informasi mikro lapangan yang dilaksanakan di
propinsi tertentu yaitu Provinsi Jawa Barat. Sementara untuk data sekunder akan di
peroleh di instansi pusat yaitu dari Kementerian Pertanian dan BPS.
3.3.2. Lokasi dan Responden
Lokasi yang dipilih merupakan sampel sentra produksi pangan strategis, yaitu
Provinsi Jawa Barat. Responden sebagai sumber data dan informasi adalah kelompok
tani, penyuluh pertanian, dan pejabat instansi pada Dinas Pertanian.
20
Daftar pertanyaan yang digunakan pada penelitian ini adalah berisi pokok-pokok
informasi yang hendak dikumpulkan yang mencaku prospek pengembangan komoditas
pangan strategis di propinsi terpilih ditinjau dari berbagai aspek seperti perkembangan
luas areal tanam, perkembangan produktivitas, ketersediaan lahan yang cocok untuk
pengembangan komoditas bersangkutan berikut luasnya, minat masyarakat/pengusaha
untuk melakukan investasi dalam rangka pengembangan komoditas bersangkutan,
ketersediaan teknologi maju, ketersediaan paket program, bentuk-bentuk kemitraan,
dan berbagai kendala yang menjadi penghambat pengembangan komoditas
bersangkutan.
3.4. Data dan Metode Analisis
3.4.1. Jenis dan sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data
sekunder. Data sekunder berupa data agregat time series selama peiode tahun 1985-
2011. Data ini akan digunakan untuk menduga fungsi permintaan dan penawaran
sejumlah komoditas pangan strategis. Pendugaan fungsi permintaan dan penawaran
sejumlah komoditas pangan strategis tersebut akan dilakukan dengan pendekatan
ekonometrika. Data primer berupa data di tingkat propinsi yang mencakup informasi-
informasi yang telah disebutkan diatas. Data ini digunakan untuk menganalisis prospek
pengembangan komoditas pangan strategis di masing-masing propinsi lokasi penelitian.
Prospek pengembangan komoditas pertanian utama tersebut akan dianalisis dengan
metoda deskriptif khususnya berupa tabulasi silang. Dengan diperolehnya informasi
tentang prospek pengembangan komoditas pertanian utama akan dapat diketahui
faktor-faktor pendorong maupun penghambat terealisasinya hasil proyeksi serta
besarnya peluang hasil proyeksi tersebut akan terealisir.
Sumber utama data sekunder antara lain adalah (1) Badan Pusat Statistik (BPS);
(2) Direktorat Jenderal Lingkup Departemen Pertanian; (3) Instansi terkait lainnya.
21
3.4.2. Metode Analisis
Untuk menjawab tujuan 1 dan 2, akan digunakan model penawaran dan
permintaan baik secara simultan. Selanjutnya untuk menjawab tujuan 3, akan dilihat
dan selanjutnya dianalisis hasil proyeksi penawaran bagaimana dikaitkan dalam
memenuhi permintaan komoditas pangan strategis. Berikut ini akan diuraikan model
penawaran dan permintaan untuk menjawab tujuan 1 dan 2 secara simultan.
Analisis dalam penelitian ini juga dicoba dengan analisis simultan antara
penawaran dan permintaan. Dalam analisis simultan ini, akan coba dijelaskan perilaku
secara sistem antara faktor-faktor penawaran, permintaan, dan harga masing-masing
komoditas. Sistem (atau blok persamaan) yang dikembangkan diseimbangkan dengan
suatu persamaan identitas.
Dalam penelitian ini proses pencapaian tingkat harga menggunakan pendekatan
ketidakseimbangan (non-equilibrium approach). Dianggap tingkat harga seluruh
komoditas yang dianalisis ditentukan langsung oleh faktor-faktor yang
mempengaruhinya, yaitu penawaran (produksi dan impor) dan permintaan (konsumsi
dan ekspor). Faktor-faktor penawaran dan permintaan akan dianggap sebagai faktor-
faktor yang secara terpisah dan tersendiri mempengaruhi tingkat harga masing-masing
komoditas. Selanjutnya faktor tingkat harga juga kemudian akan mempengaruhi
masing-masing penawaran dan permintaan. Tingkat harga akan mempengaruhi
penawaran melalui variable produksi, sedangkan permintaan akan dipengaruhi untuk
variabel konsumsi (langsung).
Model ekonometrika komoditas tanaman pangan (padi, jagung dan kedelai),
perkebunan (tebu/gula) memiliki tujuh peubah endogen, yaitu luas areal panen,
produktivitas, produksi, impor, penawaran, permintaan domestik, dan harga domestik.
Berikut diuraikan model ekonometrik yang akan digunakan.
22
(1) Luas areal panen tanaman pangan dan kebun (padi, jagung , kedelai dan
tebu)
Luas areal panen komoditas tanaman pangan/kebun dipengaruhi oleh harga
komoditas tanaman pangan/kebun domestik (nasional), harga komoditas tanaman
pangan/kebun, harga rata-rata pupuk urea, upah tenaga kerja sektor pertanian, tingkat
teknologi atau peubah trend, tingkat suku bunga, dan luas areal komoditas tanaman
pangan/kebun tahun sebelumnya. Persamaan luas areal panen secara umum untuk
padi, jagung, kedelai dan tebu dapat dirumuskan sebagai berikut :
AREALt = ao + a1PRICEit + a2PRICEyt + a3PRICEURt + a4WAGEt + a5TIME +
a6INRt + a7LagAt +U1t
Dengan keterangan:
AREALt = luas areal panen komoditas tanaman pangan/kebun (000 ha),
PRICEit = harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik (Rp/kg),
PRICEyt = harga komoditas pesaingnya domestik (Rp/kg),
PRICEURTt = harga rata-rata pupuk urea (Rp/kg),
WAGEt = upah tenaga kerja di sektor pertanian (Rp/hari kerja)
TIME = peubah waktu. t = 1,……n
INRt = tingkat bunga rata-rata
LagAt = variabel beda kala dari luas areal panen
U1t = peubah pengganggu, dan
Nilai koefisien regresi yang diharapkan: a1, a5 > 0 ; a2, a3, a4, a4, a6<0; dan
0<a7<1.
(2) Produktivitas tanaman pangan dan Kebun
Faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas komoditas tanaman pangan/kebun
adalah harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik, harga rata-rata pupuk urea,
upah tenaga kerja, tingkat teknologi dan produktivitas tanaman pangan/kebun tahun
sebelumnya. Persamaan produktivitas komoditas tanaman pangan dan kebun (padi,
jagung, kedelai, dan tebu/gula) tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
23
YIELDt= bo + b1 PRICEit + b2 PRICEURt + b3 WAGEt+ b4 TIME + b5LagYt + U2t
Dengan keterangan :
YIELDt = produktivitas tanaman pangan (ton/ha),
LagYt = peubah beda kala dari YIELDt, dan
U2t = peubah penganggu.
Nilai koefisien regresi yang diharapkan : b1, b3, b4 > 0; b2 < 0; 0 < b4 < 1.
(3) Produksi tanaman pangan
Produksi komoditas tanaman pangan/kebun dipengaruhi oleh luas areal panen
dan produktivitas. Persamaan produksi komoditas tanaman pangan dan kebun (padi,
jagung, kedelai, dan tebu/gula) dapat dirumuskan sebagai berikut :
PRODt= AREALt * YIELDt
Dengan keterangan:
PRODt = produksi tanaman pangan/kebun (000 ton):
Khusus untuk padi, terdapat persamaan identitas tambahan yaitu:
PRODRt = PRODt* cf
Cf = faktor konversi dari gabah (GKG ke beras)
(4) Penawaran tanaman pangan
Penawaran komoditas tanaman pangan/kebun merupakan persamaan identitas
dimana penawarannya sama dengan produksi komoditas tanaman pangan/kebun
domestik ditambah dengan impornya, dan stok komoditas tanaman pangan/kebun
tersebut. Persamaan penawaran komoditas tanaman pangan/kebun tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut :
SUPLAIt = PRODt + IMPORt + STOCKt - Ot
Dengan keterangan:
SUPLAIt = jumlah penawaran komoditas tanaman pangan/kebun (000 ton), dan
IMPORt = jumlah impor komoditas tanaman pangan/kebun (000 ton).
Ot = jumlah yang digunakan sebagai bibit dan tercecer (000 ton)
24
Pada analisis ini, variabel stock tidak dapat diperoleh sehingga nilainya nol.
Untuk data jumlah yang digunakan untuk bibit dan tercecer dapat diketahui.
(5) Permintaan tanaman pangan dan kebun domestik
Permintaan komoditas tanaman pangan/kebun domestik ditentukan oleh harga
komoditas tanaman pangan/kebun domestik, harga komoditas pesaingnya, pendapatan
per kapita, jumlah populasi ternak ayam (khusus untuk komoditas jagung), jumlah
penduduk, dan permintaan komoditas tanaman pangan tahun sebelumnya. Persamaan
permintaan komoditas tanaman pangan domestik ini dapat dirumuskan sebagai berikut
:
DEMANDt =eo + e1PRICEit + e2PRICEyt + e3lNCOMEt+ e4CHKRASt + e5POPt
+ e6LagDt + U5t
Dengan keterangan:
DEMANDt = jumlah permintaan komoditas tanaman pangan/kebun domestik
(000 ton)
INCOMEt = pendapatan per kapita penduduk (Rp/kap)
CHKtRASt = populasi ternak ayam (khusus untuk komoditas jagung),
POPt = jumlah penduduk (000 orang),
LagDt = peubah bedakala dari DEMANDt, dan
U5t = peubah pengganggu.
Nilai koefisien regresi yang diharapkan : e1, e2 < 0; e3, e4, e5, > 0; dan 0<e6<1.
(6) Impor tanaman pangan dan Kebun
Impor komoditas tanaman pangan ditentukan oleh harga komoditas tanaman
pangan/kebun impor, nilai tukar valuta asing, permintaan komoditas tanaman
pangan/kebun domestik dan pendapatan per kapita, dan impor komoditas tanaman
pangan/kebun tahun sebelumnya. Persamaan impor tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut :
IMPORt = f0 + f1 PIMPORt + f2 EXCHRt + f4 DEMANDt + f5 LagMt + U6t
Dengan keterangan:
25
IMPORt = jumlah impor komoditas tanaman pangan/kebun (000 ton),
PIMPORt = harga komoditas tanaman pangan/kebun impor (US $ /kg),
EXCHRt = nilai tukar valuta asing (Rp/US$),
LagMt = peubah bedakala dari IMPORt, dan
U6t = peubah pengganggu.
Nilai koefisien regresi yang diharapkan : f1, f2 < 0 ; f4 > 0; 0 < f5 < 1.
(7) Harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik
Harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik akan memengaruhi luas areal
panen komoditas tanaman pangan/kebun tersebut, produktivitas, stok, dan permintaan
domestik. Namun, harga komoditas tanaman pangan/kebun domestik juga dipengaruhi
oleh jumlah komoditas tanaman pangan/kebun impor, nilai tukar valuta asing,
permintaan domestik, penawaran komoditas tanaman pangan/kebun, dan harga
komoditas tanaman pangan/kebun domestik tahun sebelumnya. Persamaan harga padi,
jagung, kedelai dan tebu/gula domestik tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
PRICEit =go + g1 IMPORt + g2 EXCHRt + g3 DEMANDt + g4 SUPLAIt + g5 LagPrt
+ U7t
Dengan keterangan:
LagPrt = peubah bedakala dari PRICEit, dan
U7t = peubah pengganggu.
Nilai koefisien regresi yang diharapkan : g2, g3 >0; g1, g4 <0; 0<g5<1.
Adapun model untuk komoditas ternak sapi potong adalah sebagai berikut:
(1) Permintaan Daging Sapi
Permintaan komoditas daging sapi ditentukan oleh harga daging sapi, harga
daging ayam ras, pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan permintaan komoditas
daging sapi tahun sebelumnya. Persamaan permintaan komoditas tanaman pangan
domestik ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
DEMANDt =ao + a1PRDCOWt + a2PRDCHKt + a3lNCOMEt+ a4POPt + a5LagDt
+ U1t
26
Dengan keterangan:
DEMANDt = jumlah permintaan komoditas daging sapi (000 ton)
PRDCOWt = harga daging sapi (Rp/Kg)
PRDCHKt = harga daging ayam ras (Rp/Kg)
INCOMEt = pendapatan per kapita penduduk (Rp/kap)
POPt = jumlah penduduk (000 orang),
LagDt = peubah bedakala dari DEMANDt, dan
U1t = peubah pengganggu.
Nilai koefisien regresi yang diharapkan : a1 < 0; a2, a3, a4 > 0; dan 0<a5<1.
(2) Harga Daging Sapi
Harga komoditas daging sapi diduga dipengaruhi oleh jumlah volume impor
daging sapi, nilai tukar valuta asing, permintaan domestik, penawaran komoditas
daging sapi, dan harga komoditas daging sapi domestik tahun sebelumnya. Persamaan
dirumuskan sebagai berikut:
PRDCOWt = bo + b1 IMPORt + b2 EXCHRt + b3 DEMANDt + b4 SUPLAIt +
b5 LagPrdcowt + U2t
Dengan keterangan:
IMPORt = Volume impor daging sapi ( 000 ton)
DEMANDt = jumlah permintaan komoditas daging sapi (000 ton)
SUPLAIt = jumlah penawaran komoditas daging sapi (000 ton),
EXCHRt = nilai tukar valuta asing (Rp/US$),
LagPrdcowt = peubah bedakala dari PRDCOWt, dan
U2t = peubah pengganggu.
Nilai koefisien regresi yang diharapkan : b2, b3 >0; b1, b2, b4 <0; 0<b5<1.
(3) Impor
Impor komoditas daging sapi ditentukan oleh harga daging sapi impor, nilai tukar
valuta asing, permintaan domestik daging sapi, dan impor daging sapi tahun
sebelumnya. Persamaan impor tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
27
IMPORt = c0 + c1 PIMPORt + c2 EXCHRt + c4 DEMANDt + c5 LagMt + U3t
Dengan keterangan:
IMPORt = jumlah impor daging sapi (000 ton),
PIMPORt = harga daging sapi impor (US $ /kg),
EXCHRt = nilai tukar valuta asing (Rp/US$),
LagMt = peubah bedakala dari IMPORt, dan
U3t = peubah pengganggu.
Nilai koefisien regresi yang diharapkan : c1, c2 < 0 ; c4 > 0; 0 < c5 < 1.
(4) Populasi Ternak Sapi Potong (Supply)
Populasi ternak sapi potong diduga dipengaruhi oleh harga daging sapi,
permintaan daging sapi, pendapatan perkapita, jumlah penduduk dan populasi ternak
sapi tahun sebelumnya. Persamaan populasi ternak sapi dapat dirumuskan sebagai
berikut :
POPCOWt = d0 + d1 PRDCOWt + d2DEMANDt + d3 lNCOMEt + d4 POPt +
d5 LagPOPCOWt + U4t
Dengan keterangan:
POPCOWt = jumlah ternak sapi (000 ekor),
LagPOPCOWt = peubah bedakala dari populasi ternak sapi (000 ekor)
U4t = peubah pengganggu.
Nilai koefisien regresi yang diharapkan: d1, d2, d3, d4 > 0; 0 < d5 < 1.
Identifikasi Model
Identifikasl model struktural order condition menurut Koutsoyiannis, (1977)
dapat dirumuskan sebagai berikut :
(K - M) ≥ (G - 1)
yaitu:
G = jumlah persamaan (current endogenous variables) dalam model,
M = jumlah seluruh variabel (endogenous dan exogenous variables) yang
terdapat dalam suatu persamaan,
28
K = jumlah total variabel di (current endogenous and predetermined variables)
dalam Model.
Jika (K - M) sama dengan (G - 1), maka persamaan dalam model dikatakan
exactly identified, jika (K - M) lebih kecil dari (G - 1), maka persamaan dalam model
dikatakan unidentified, dan jika (K - M) lebih besar dari (G - 1), maka persamaan dalam
model dikatakan over identified.
Sesuai teori, jika persamaan dalam model struktural semuanya over identified,
maka persamaan dapat diduga dengan metode LIML (Limited Information Likelihood),
FIML (Full Information Maximum Likelihood), 2 SLS (Two Stage Least Squares) atau 3
SLS (Three Stage Least Squares).
Jika semua persamaan struktural dalam model teridentifikasi berlebih (over
identified), maka metode pendugaan terkecil tak langsung (Indirect Least orluare) akan
memberikan hasil dugaan parameter struktural yang tidak unik. Secara umum metode
kuadrat terkecil tiga tahap (3 SLS) menghasilkan hasil dugaan parameter yang lebih
efisien secara asimtotik dari pada metode kuadrat terkecil dua tahap (2 SLS). Tetapi
metode 3 SLS lebih sensitif terhadap perubahan dalam spesifikasi, karena setiap
perubahan dalam spesfikasi awal akan memengaruhi semua hasil dugaan parameter.
Disamping itu, metode ini membutuhkan data yang lebih banyak dari pada metode 2
SLS, karena semua parameter struktural diduga secara bersamaan.
Selanjutnya juga untuk mendukung analisis akan dilakukan tabulasi data dengan
analisis trend perkembangan luas panen, populasi ternak sapi, produksi, produktivitas,
konsumsi, dan impor komoditas padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi nasional.
Sementara untuk menjawab tujuan 2, akan dilakukan proyeksi untuk permintaan dan
penawaran/produksi komoditas padi, jagung, kedelai, tebu/gula dan ternak sapi
potong. Untuk Tujuan 3, akan dilakukan analisis deskriptif mengenai prospek
penawaran dalam memenuhi permintaan komoditas pangan strategis.
29
3.4.5. Analisis Risiko
Pelaksanaan penelitian ini diduga akan mengalami hambatan yang menjadi risiko
kegiatan. Tabel berikut menunjukkan beberapa risiko yang diperkirakan dialami dalam
penelitian ini, namun upaya penanggulangannya akan ditempuh melalui berbagai cara.
Akses terhadap data dan informasi kemungkinan akan menjadi masalah utama yang
akan berdampak pada keterbatasan analisis. Cara penanggulangan terhadap risiko ini
diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan mengintensifkan komunikasi dengan
pihak-pihak terkait.
Tabel 3.1. Daftar Risiko dan Penanggulangannya
No. Risiko Penyebab Dampak Penanggulangan
1. Akses untuk
konsultasi dan
akses terhadap
sumber data
(sekunder)
Instansi diluar
Kementan
Keterbatasan akses Melakukan upaya
analisis sesuai
ketersediaan data
2. Kelengkapan
data
Tidak
terdokumentasi
atau tidak dapat
diakses karena
berbagai kendala
Analisis tidak
lengkap
Mengindentifikasi
data yang
dibutuhkan dan
mengusahakan
ketersediaannya
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kinerja Penawaran Komoditas Pangan Strategis Nasional
4.1.1. Padi/Beras
Penyediaan beras dapat dilakukan melalui dua cara yaitu memproduksi sendiri di
dalam negeri dan dengan mengimpor dari negara lain. Di sisi produksi ada dua
komponen utama yang menentukan yaitu luas panen dan produktivitas. Pertumbuhan
luas areal panen dipengaruhi oleh perubahan indeks pertanaman, pembukaan lahan
(sawah) baru dan konversi lahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian.
Sementara pertumbuhan produktivitas merupakan cerminan dari perbaikan penerapan
teknologi budidaya di tingkat petani.
Perkembangan luas panen padi di indonesia pada periode 1980-2012 mengalami
peningkatan sebesar 1,61 %/tahun, yaitu dari 9,01 juta ha pada tahun 1980 menjadi
13,44 juta ha pada tahun 2012. Peningkatan luas panen tertinggi terjadi pada periode
1980-1990 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,60 persen. Setelah periode
tersebut, rata-rata peningkatan luas panen menurun. Namun periode selanjutnya
meningkat lagi meskipun peningkatannya masih relatif kecil bila dibandingkan periode
1980-1990. Menurut Irawan et al (2003) perlambatan luas panen dapat disebabkan
oleh perubahan pola tanam dari tanaman padi ke komoditas lain. Faktor lainnya adalah
konversi lahan dan anomali iklim yang dapat berupa kekeringan atau banjir.
Penurunan luas panen padi di Indonesia terjadi pada tahun 1982, 1985, 1987,
1990, 1991, 1994, 1997, 2000, 2001, 2003, 2006 pada umumnya disebabkan oleh
anomali iklim (fenomena El Nino - La Nina). Secara umum dalam tahun-tahun terakhir
(periode 2005-2012) perkembangan luas panen padi menunjukkan peningkatan yang
cukup signifikan dalam arti peningkatan areal luas panen padi lebih tinggi dibandingkan
periode 1980-1990. Hal ini seiring dengan dicanangkannya program P2BN (Peningkatan
Produksi Beras Nasional).
Perkembangan produktivitas padi nasional pada periode 1980-2012 mengalami
peningkatan dari 3,29 ton/ha pada tahun 1980 menjadi 5,14 ton/ha pada tahun 2012.
Periode tahun 1990-2000 merupakan periode yang mempunyai keragaan produktivitas
31
padi nasional yang paling rendah. Menurut Simatupang (2001) perlambatan
pertumbuhan produktivitas usahatani padi diperburuk oleh kesuburan lahan, kapasitas
irigasi dan kualitas jaringan irigasi yang makin menurun serta adanya penyimpangan
iklim El Nino dan La Nina. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah adanya stagnasi
penerapan intensifikasi padi. Sedangkan menurut Irawan et al (2003) perlambatan
produktivitas padi sawah disebabkan oleh perlambatan laju peningkatan mutu
intensifikasi dan juga disebabkan kelelahan lahan aibat pemanfaatan lahan secara
intensif. Dalam rangka meningkatkan produktivitas padi sawah maka perbaikan mutu
usahatani seperti pengolahan tanah, pemupukan (penggunaan pupuk organik),
pengaturan pola tanam dan seterusnya seyogyanya lebih mendapat penekanan.
Selama pascaswasembada tahun 1984, pertumbuhan produktivitas makin
menurun. Hal ini disebabkan belum adanya terobosan teknologi baru. Sampai tahun
1995 varietas unggul baru belum ada yang mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi
dari IR-64 yang diintroduksikan tahun 1986. Stagnasi dalam teknologi ini menyebabkan
produksi padi secara keseluruhan mengalami pelandaian (Suryana, 2004). Namun bila
dilihat dari perkembangan tingkat produktivitas selama periode terakhir (2005-2012)
maka peningkatan produktivitas menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.
Popularitas padi IR-64 yang dilepas tahun 1986 mulai digeser oleh varietas unggul baru
(VUB) yang dilepas pada tahun 2000 seperti Ciherang, Cigeulis,Way Apo Buru. VUB
Ciherang mampu memberi kontribusi nyata terhadap peningkatan produksi beras
nasional.
Perkembangan produksi padi di Indonesia pada periode 1980-2012 terus
mengalami peningkatan yaitu dari 29,65 juta ton GKG pada tahun 1980 menjadi 69,05
juta ton pada tahun 2012 (Tabel 4.1). Hal ini seiring dengan peningkatan luas panen
dan produktivitas padi. Periode 1980-1990 merupakan periode paling baik dibandingkan
dengan periode lainnya, dimana pada periode ini yaitu tahun 1984 Indonesia pertama
kali mencapai swasembada beras. Keberhasilan peningkatan produksi padi pada periode
ini karena adanya dukungan politik yang kuat dari pemerintah dalam pembangunan
pertanian terutama untuk meningkatkan produksi padi dan sekaligus memperbaiki taraf
hidup petani (Hafsah dan Sudaryanto, 2004).
32
Periode 1990-2000 merupakan periode terburuk untuk perpadian nasional.
Menurut Irawan et. al (2003) perlambatan produksi pangan pada pada dasarnya dapat
terjadi akibat perlambatan laju pertumbuhan luas panen dan atau produktivitas
usahatani. Sekitar 70 persen perlambatan produksi padi sawah disebabkan oleh
perlambatan laju pertumbuhan produktivitas usahatani. Pada periode ini yaitu tahun
1997 terjadi krisis ekonomi yang diikuti dengan komitmen perubahan kebijakan
ekonomi atas dorongan lembaga internasional (Suryana, 2004).
Tabel 4.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Indonesia, 1980-2012.
Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas (ton/Ha) Produksi(Ton)
1980 9005065 3,29 29651904
1985 9902293 3,94 39032944
1990 10502357 4,30 45178752
1995 11438760 4,35 49744140
2000 11793000 4,40 51898000
2001 11500000 4,39 50460800
2002 11521166 4,47 51489696
2003 11477357 4,54 52137600
2004 11922974 4,54 54088468
2005 11839060 4,57 54151097
2006 11786430 4,62 54454937
2007 12147637 4,71 57157436
2008 12309155 4,89 60251072
2009 12883576 5,00 64398890
2010 13253450 5,02 66469394
2011 13201316 4,98 65740946
2012 13443443 5,14 69045141
(r %/thn)
1980-1990 1,61 2,24 3,83
1990-2000 1,31 -0,03 1,27
2000-2012 1,38 1,37 2,77
1980-2012 1,10 0,94 2,02
2005-2012 2,10 1,66 3,73
Sumber: BPS (1980-2012).
33
Dengan adanya program P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional) telah
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi padi nasional,
sehingga periode 2005-2012 relatif telah mampu memulihkan kondisi perpadian
nasional karena perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi meningkat
cukup signifikan. Seperti halnya perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi
padi nasional setiap periodenya maka penggunaan benih secara nasional menunjukkan
trend yang relatif sama dengan perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi
padi. Penggunaan benih padi cenderung meningkat setiap tahunnya yaitu 0,29 juta ton
pada tahun 1980 meningkat menjadi 0,57 juta ton pada tahun 2012.
4.1.2. Jagung
Selama kurun waktu 1980-1990, luas panen jagung mengalami peningkatan 1,71
%/tahun. Sementara produksi jagung meningkat lebih pesat lagi yaitu sebesar 5,52
%/tahun, dan peningkatan produktivitasnya sebesar 3,81 %/tahun. Dengan demikian,
peningkatan produksi jagung nasional periode 1980-1990 lebih dominan terdorong oleh
peningkatan produktivitas melalui teknologi dalam budidaya jagung dan penggunaan
benih unggul hibrida yang disebarluaskan pemerintah sejak tahun 1985. Pada periode
berikutnya (1990-2000), tampak bahwa perkembangan luas panen jagung sedikit
menurun dibanding periode sebelumnya yaitu mencapai 1,60 %/tahun, dan
peningkatan produksi serta produktivitasnya masing-masing mencapai 2,91 %/tahun
dan 4,51 %/tahun. Peningkatan produksi jagung selama periode tersebut dapat
dipahami mengingat introduksi benih jagung hibrida yang terus meningkat yang
menjadi pendorong peningkatan produksi jagung nasional.
Pada periode selanjutnya yaitu 2000-2012, luas panen jagung nasional mengalami
peningkatan lebih pesat lagi yaitu mencapai 2,02 %/tahun. Sementara peningkatan
produksi dan produktivitasnya masing-masing sebesar 6,70 %/tahun dan 4,68
%/tahun. Pada periode ini peningkatan produksi jagung nasional juga lebih dominan
terdorong oleh peningkatan produktivitas melalui perbaikan teknologi budidaya jagung
dan penggunaan benih unggul hibrida. Pada tahun 2012, luas panen jagung nasional
34
mencapai 3,96 juta ha, sedangkan produksi dan produktivitasnya masing-masing
sebesar 19,38 juta ton dan 4,89 ton/ha.
Tabel 4.2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas jagung di Indonesia, 1980-2012.
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (ton/Ha) Produksi (Ton)
1980 2734940 1,46 3990939
1985 2439966 1,77 4329503
1990 3158092 2,13 6734028
1995 3651838 2,26 8245902
2000 3500000 2,76 9677000
2001 3285900 2,84 9347200
2002 3126830 3,07 9585277
2003 3358511 3,24 10886442
2004 3356914 3,34 11225243
2005 3625987 3,45 12523894
2006 3345805 3,47 11609463
2007 3630324 3,66 13287527
2008 4003313 4,08 16323922
2009 4160659 4,24 17629740
2010 4131676 4,44 18327636
2011 3861433 4,57 17629033
2012 3959909 4,89 19377030
(r %/thn)
1980-1990 1,71 3,81 5,52
1990-2000 1,60 2,91 4,51
2000-2012 2,02 4,68 6,70
1980-2012 1,20 3,50 4,70
2005-2012 2,04 5,24 7,28
Sumber: BPS (1980-2012).
Meskipun trend peningkatan jagung cukup tinggi, akan tetapi produksi jagung
nasional saat ini masih belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan jagung nasional.
Untuk itu, produksi jagung domestik terus ditingkatkan dengan berbagai kebijakan yang
dilakukan. Dalam rangka meningkatkan produksi jagung nasional telah dikembangkan
teknologi produksi jagung hibrida. Namun realisasi pengembangan jagung hibrida
sampai tahun 2009 baru mencapai 50 persen. Menurut Rusastra dan Kasryno (2007)
35
bahwa keenganan petani untuk memanfaatkan teknologi produksi jagung hibrida ini
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) harga benih jagung hibrida mahal dan
hanya dapat ditanam sekali, (2) kebutuhan pupuk lebih banyak, sehingga biaya
produksinya menjadi tinggi, (3) umurnya lebih panjang, (4) menghendaki lahan yang
relatif subur, (5) lemahnya permodalan petani sehingga tidak tersedia modal yang
cukup untuk membeli benih, pupuk dan obat-oabatan yang dibutuhkan, (6) sering
terlambatnya suplai benih sehingga tidak tepat waktu tanamnya, dan (7) kurangnya
rangsangan produksi yang diberikan oleh pasar kepada petani jagung. Akibatnya
produksi jagung yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
4.1.3. Kedelai
Jumlah penawaran kedelai yang berasal dari domestik digambarkan oleh jumlah
produksi, hal ini ditentukan oleh luas panen dan produktivitas, secara rinci luas panen,
produktivitas disajikan pada Tabel 4.3. Dengan memperhatikan data tersebut, tampak
bahwa kinerja penawaran komoditas kedelai yang bersumber dari domestik dalam
kurun waktu 3 dekade (1980-2012) menunjukkan dinamika yang cenderung menurun.
Hal ini tercermin dari penurunan produksi kedele sebesar 0,54 %/tahun, yaitu dari
sebesar 1.226.727 ton menurun menjadi 851.647 ton. Namun jika dipilah berdasarkan
dekade, tampak terjadi dinamika supply produksi kedelai yakni pada dekade pertama
(1980-1990) telah terjadi kenaikan rata-rata 10,06 %/tahun, pada dekade kedua (1990-
2000) terjadi penurunan yang drastis rata-rata 3,33 %/tahun dan dekade ketiga (2000-
2012) terjadi kenaikan yang kecil sebesar 0,56%/tahun.
Jika memperhatikan dua faktor penting penyebabnya adalah tampak bahwa
faktor utama kecenderungan penurunan supply produksi adalah lebih banyak
disebabkan oleh semakin turunnya luas panen. Sementara terjadinya dinamika kenaikan
dalam kurun waktu dekade tertentu itu lebih banyak disebabkan karena upaya
pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kedelai malalui intensifikasi dan
penerapan teknologi baru khususnya pengembangan dan penggunaan varietas baru
dan atau teknik budidaya. Berdasarkan data tersebut tampak baik secara total periode
36
waktu maupun dipilah menurut dekadenya bahwa produktivitas terus cenderung
meningkat dari waktu ke waktu, namun peningkatan produktivitas ini tidak mampu
mengkompensasi turunnya luas panen sehingga produksi dalam jangka panjang
cenderung menurun. Sementara peningkatan produktivitas yang signifikan terjadi
pada dekade pertama (1980-1990) sebesar 3,02%/tahun dan dekade ketiga (2000-
2012) sebesar 1,31%/tahun, sedangkan dekade kedua kenaikannya hanya sebesar
0,97%/tahun.
Tabel 4.3. Perkembangan Luas Panen, produktivitas dan produksi kedelai di Indonesia, 1980-2012
Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas(Ku/Ha) Produksi(Ton)
1980 732000 0,89 652762
1985 896220 0,97 869718
1990 1334100 1,11 1487433
1995 1477432 1,14 1680010
2000 825000 1,23 1017634
2001 678848 1,22 826932
2002 544522 1,24 673056
2003 526796 1,27 671600
2004 565155 1,28 723483
2005 621541 1,30 808353
2006 580534 1,29 747611
2007 459116 1,29 592634
2008 591899 1,31 776491
2009 722791 1,35 974512
2010 660823 1,37 907031
2011 620928 1,36 843838
2012 567871 1,50 851647
(r %/thn)
1980-1990 30,49 11,24 41,60
1990-2000 -21,00 5,10 -16,84
2000-2012 -0,80 1,31 0,56
1980-2012 -4,19 2,14 -1,93
2005-2012 1,11 1,80 2,82
Sumber : Data BPS, 1980-2012
37
Dinamika luas panen kedelai secara gabungan dari tahun 1980-2012 menunjukan
penurunan sebesar 1,65%/tahun. Penurunan luas panen terbesar terjadi pada dekade
kedua (1990-2000) rata-rata sebesar 4,20%/tahun dan dekade ketiga (2000-2012)
menurun sebesar 0,80%/tahun. Sementara pada awal dekade (1980-1990) luas panen
kedelai terjadi peningkatan yang signifikan yakni 7,15%/tahun. Berdasarkan
pengamatan empiris dilapangan diketahui bahwa faktor yang menyebabkan dinamika
luas panen pada dua dekade terakhir adalah : (1) pada dekade pertama harga kedelai
masih kompetitif terhadap harga pangan kompetitor lainnnya, seperti padi, jagung dan
kacang tanah. Dengan kalahnya harga oleh harga kompetitor, maka petani akan
melakukan tindakan yang rasional untuk memilih jenis tanaman dengan harga yang
lebih baik pada lahan yang sama, (2) pada dekade tersebut juga program pemerintah
pada jaman orde baru, masih efektif untuk meingkatkan beberapa komoditas tanaman
pangan, bukan saja kedelai tetapi juga padi dan jagung, (3) pada saat itu, kondisi iklim
juga masih dapat diantisipasi dan tidak terjadi anomali iklim yang cukup mengganggu
pertanaman, disamping kondisi infrastruktur irigasi juga masih relatif baik, karena
ketersediaan anggaran masih cukup baik untuk pengelolaan dan pemeliharaan dan (4)
diduga pada saat tersebut pengendalian impor kedelai masih cukup terkontrol, sehingga
tidak sering terjadi gejolak harga yang menyebabkan petani kedelai mengalami
kerugian karena harga yang diterima petani tidak mampu menutup ongkos produksi.
Pada dekade berikutnya, ditengah-tengah persaingan penggunaan lahan sawah
maupun lahan kering yang mendorong luas panen tanaman kedelai terus menurun
adalah : (1) harga kedelai cenderung turun sampai pada kondisi tidak bisa menutupi
ongkos produksi, hal ini diduga karena masuknya kedelai impor yang tidak dikendalikan
dan juga karena harga pangan competitor lainnya lebih menjanjikan, seperti harga
jagung dan padi, selain itu rendahnya harga kedelai karena tertekan oleh harga impor
kedelai dari luar, (2) program pemerintah terutama pada dekade kedua terlalu bias
terhadap peningkatan produksi padi, dan (3) secara teknis juga pengembangan kedelai
tidak lebih mudah dari pengembangan padi, terutama pada penyediaan benih kedelai
yang memiliki dormansi yang pendek.
38
Dari sisi riset dan teknologi, tampak bahwa perhatian terhadap kedelai terus
meningkat, hal ini dicirikan oleh semakin meningkatnya tingkat produktivitas
pertanaman kedelai yang merupakan proksi dari penerepan teknologi baik dalam hal
perbenihan maupun teknik budidaya. Walaupun peningkatan produktivitas tersebut
masih tergolong rendah jika dibanding dengan Negara-negara subtropis, pada tahun
1980 produktivitas kedelai di Indonesia masih sekitar 0,89 ton/ha dan meningkat terus
sampai pada tahun 2012 menjadi 1,50 ton/ha, atau pertumbuhan produktivitas selama
kurun waktu 1980-2012 adalah rata-rata 1,43%/tahun.
4.1.4. Gula Tebu
Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia
sebagai komoditas khusus (special products), bersama beras, jagung dan kedelai. Di
Indonesia, gula juga merupakan salah satu komoditi penting dan strategis bagi
masyarakat. Pentingnya gula tidak hanya dirasakan bagi konsumen sebagai pengguna
akhir namun juga bagi kalangan industri sebagai produsen yang mengolah komoditi
gula menjadi produk dengan value added tersendiri.
Produksi gula di dalam negeri makin tidak mampu memenuhi kebutuhan
konsumsi, sehingga sejak awal 1990 impor gula terus meningkat dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu, Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk menjaga
kestabilan harga gula. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah di akhir tahun 2009
dan di awal tahun 2010 adalah dengan melakukan impor gula. Namun, fakta di
lapangan menunjukkan bahwa upaya pemerintah ini sia-sia. Harga gula tetap saja
tinggi bahkan terus meningkat. Anehnya lagi di saat musim giling tiba harga gula pun
tidak tertekan untuk turun. Impor gula tidak semata-mata dilakukan untuk menekan
harga gula di saat tidak musim giling tetapi juga terutama untuk memenuhi kebutuhan
gula nasional. Produksi gula domestik mengalami berbagai permasalahan terkait
dengan produktivitasnya yang rendah serta belum tercapainya skala ekonomis dari
setiap pabrik gula.
39
Berikut jenis-jenis gula yang dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA
(International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis):
1. Raw Sugar
Raw Sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan
bahan baku dari tebu. Untuk mengasilkan raw sugar perlu dilakukan proses seperti
berikut : Tebu -> Giling -> Nira ->Penguapan -> Kristal Merah (raw sugar). Raw Sugar
ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600 – 1200 IU5. Gula tipe ini adalah produksi gula
“setengah jadi” dari pabrik-pabrik penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit
pemutihan yang biasanya jenis gula inilah yang banyak diimpor untuk kemudian diolah
menjadi gula kristal putih maupun gula rafinasi.
2. Refined Sugar/Gula Rafinasi
Refined Sugar atau gula rafinasi merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula
mentah atau raw sugar melalui proses Defikasi yang tidak dapat langsung dikonsumsi
oleh manusia sebelum diproses lebih lanjut. Yang membedakan dalam proses produksi
gula rafinasi dan gula kristal putih yaitu gula rafinasi menggunakan proses Carbonasi
sedangkan gula kristal putih menggunakan proses sulfitasi.
3. Gula Kristal Putih
Gula kristal putih memiliki nilai ICUMSA antara 250-450 IU. Departemen
Perindustrian mengelompokkan gula kristal putih ini menjadi tiga bagian yaitu Gula
kristal putih 1 dengan nilai ICUMSA 250, Gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA 250-
350 dan Gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA 350-4507. Semakin tinggi nilai
ICUMSA maka semakin coklat warna dari gula tersebut serta rasanya pun yang semakin
manis.
Sementara itu, bila dilihat perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas
berdasarkan analisis per periode dari kurun waktu 1980-2012 disajikan pada Tabel 4.4.
Selama kurun waktu 1980-1990, luas panen tebu mengalami peningkatan 0,46
%/tahun. Sementara produksi tebu meningkat sebesar 5,20 %/tahun, dan
produktivitasnya juga meningkat sebesar 4,74 %/tahun. Dengan demikian, selama
periode ini peningkatan produksi tebu nasional periode 1980-1990 lebih dominan
terdorong oleh peningkatan produktivitasnya. Hal yang berbeda dengan periode
40
berikutnya (1990-2000), tampak bahwa luas panen tebu menurun 0,93 %/tahun,
selanjutnya produksi dan produktivitasnya juga mengalami penurunan masing-masing
sebesar 3,87 %/tahun dan 2,94 %/tahun. Penurunan produksi tebu pada periode
tersebut antara lain disebabkan karena kompetisi lahan usahatani dengan usahatani
padi (untuk pertanaman di lahan sawah) dan kompetisi dengan pertanaman palawija
atau hortikultura (untuk pertanaman di lahan kering). Selain itu, juga terdapatnya alih
penggunaan lahan pertanian didaerah-daerah sentra tebu seperti di Jawa Barat ke
penggunaan non pertanian.
Tabel 4.4. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Gula Tebu di Indonesia, 1980-2012.
Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas(ton/Ha) Produksi(Ton)
1980 316.063 3,99 1259950
1985 340.229 5,58 1898809
1990 363.968 5,82 2119585
1995 435.827 4,77 2077251
2000 340.660 4,96 1690004
2001 344.441 5,01 1725467
2002 350.722 5,00 1755354
2003 335.725 4,86 1631918
2004 344.793 5,95 2051644
2005 381.786 5,87 2241782
2006 396.441 5,82 2307027
2007 427.799 6,13 2623786
2008 436.505 6,11 2668428
2009 422.953 5,95 2517374
2010 432.715 5,29 2290116
2011 447.131 4,98 2228140
2012 465.577 5,59 2601258
(r %/thn)
1980-1990 0,46 4,74 5,20
1990-2000 -0,93 -2,94 -3,87
2000-2012 2,90 0,86 3,76
1980-2012 0,64 0,42 1,06
2005-2012 2,35 -1,84 0,51
Sumber: BPS (1980-2012).
41
Pada periode selanjutnya yaitu 2000-2012, luas panen tebu nasional mengalami
peningkatan 2,90 %/tahun. Sementara peningkatan produksinya juga mulai tinggi lagi
yaitu sebesar 3,76 %/tahun, sedangkan produktivitasnya mengalami peningkatan tipis
sebesar 0,86 %/tahun. Pada periode ini peningkatan produksi tebu nasional juga lebih
dominan terdorong oleh peningkatan luas panennya. Pada tahun 2012, luas panen tebu
nasional mencapai 465,58 ribu ha, sedangkan produksi dan produktivitasnya masing-
masing sebesar 2,60 juta ton dan 5,59 ton/ha.
4.1.5. Ternak Sapi Potong/Daging Sapi
Ternak Sapi mempunyai peran terbesar dalam perekonomian dibandingkan
komoditas ruminansia lain karena jumlah produksi sapi mencapai 80 persen dari total
ruminansia dan hampir tersebar di seluruh provinsi (Yusdja et al, 2006). Daging sapi
lebih populer dibandingkan jenis daging lainnya dan menjadi makanan yang banyak
dikonsumsi oleh berbagai kalangan, disajikan mulai dari warung-warung di pinggir jalan
hingga ke restoran dan bahkan di hotel-hotel berbintang lima.
Struktur usaha peternakan sapi potong sebagian besar tetap bertahan dalam
bentuk usaha rakyat. Usaha ternak mempunyai ciri-ciri antara lain tingkat pendidikan
peternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi
konvensional, lokasi ternak menyebar luas, skala usaha relatif kecil serta pengadaan
input utama yaitu hijauan makanan ternak (HMT) masih tergantung musim,
mengandalkan tenaga kerja keluarga, penggunaan lahan HMT dan produksi butiran-
butiran terbatas dan sebagian tergantung impor (Ilham et.al, 2009). Menurut
Simatupang et. al (1993) usaha ternak sapi potong pada umumnya merupakan usaha
peternakan keluarga dan sebagai usaha sampingan petani. Pemeliharaan sapi oleh
petani biasanya dikaitkan dengan tujuan multiguna karena selama dipelihara untuk
digemukkan juga sebagai ternak kerja dan tabungan usaha peternakan ssapi potong
berkembang hampir di seluruh Indonesia.
Secara agregat populasi sapi potong di Indonesia terus meningkat dari waktu ke
waktu. Kegiatan pemeliharaan yang didominasi oleh usaha rumah tangga dan
umumnya kurang intensif menyebabkan perkembangan populasi tidak begitu besar.
42
Selama periode tahun 1980-2012, populasi sapi potong yang dipelihara di Indonesia
meningkat dengan rata-rata 1,64 %/tahun. Bila dilihat dari produksi daging yang
dihasilkan maka peningkatannya berkisar pada angka 2,42 %/tahun. Lebih besarnya
rata-rata laju peningkatan produksi daging sapi dibandingkan dengan laju peningkatan
populasi sapi menunjukkan telah terjadi peningkatan berat rata-rata sapi yang
dipelihara, dan ini berpengaruh sangat nyata terhadap berat karkas yang dihasilkan.
Periode 1990-2000 merupakan periode yang paling rendah perkembangan
populasi sapi potong, yaitu hanya sekitar 0,76 %/tahun. Rendahnya populasi sapi pada
periode tersebut juga diiringi dengan paling rendahnya perkembangan tingkat produksi
daging dibandingkan periode-periode sebelum dan sesudahnya. Pada periode ini adalah
munculnya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang menyebabkan usaha
penggemukkan sapi potong mengalami penurunan produksi yang tajam (Yusdja, et. al,
2006). Masih menurut Yusdja et.al (2006) ternyata sumbangan produksi daging sapi
lebih besar dari sisi ternak modern sedangkan tradisional terus menurun. Hal ini sangat
memprihatinkan karena proses produksi ternak modern sangat tergantung pada impor.
Pada periode 2000-2012 terjadi pertumbuhan populasi yang lebih tinggi
dibandingkan periode sebelumnya. Kecenderungan perkembangan populasi sapi potong
menunjukkan trend peningkatan yang lebih positif. Hal ini diperlihatkan dalam periode
2005-2012 rata-rata perkembangan populasi sapi mencapai 6,02 %/tahun lebih tinggi
dibandingkan periode-periode sebelumnya (Tabel 4.5). Namun menurut Yusdja et. al
(2006) pertumbuhan yang diharapkan adalah 15 %/tahun.
Peningkatan populasi sapi potong pada periode ini juga diiringi dengan
peningkatan produksi daging yang trendnya menunjukkan ke arah yang lebih positif.
Hal ini diperlihatkan dari perkembangan produksi daging sapi pada periode akhir-akhir
ini (2005-2012) sebesar 4,86 persen yang lebih tinggi dibandingkan periode-periode
sebelumnya. Namun menurut Yusdja et al (2006) ternyata sumbangan produksi daging
sapi lebih besar dari sisi ternak modern sedangkan tradisional terus menurun. Hal ini
sangat memprihatinkan karena proses produksi ternak modern sangat tergantung pada
impor.
43
Tabel 4.5. Perkembangan Populasi dan Produksi Daging Ternak Sapi Potong di
Indonesia, 1980-2012.
Tahun Populasi (ribu ekor) Produksi (Ton)
1980 6440 220800
1985 9318 227400
1995 11534 311966
2000 11008 339941
2001 11138 338685
2002 11298 330300
2003 10504 369710
2004 10533 447570
2005 10569 358700
2006 10875 395843
2007 11515 339480
2008 12257 392511
2009 12760 409300
2010 13582 436500
2011 14824 465800
2012 16034 505500
(r %/thn)
1980-1990 4,69 1,47
1990-2000 0,76 2,15
2000-2012 3,14 2,84
1980-2012 1,64 2,42
2005-2012 6,02 4,86
Sumber: BPS (1980-2012).
4.2. Permintaan Komoditas Pangan
4.2.1. Padi/Beras
Konsumsi beras nasional antara lain dipengaruhi oleh beberpa faktor seperti:
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan per kapita, tingkat harga-harga
komoditas pangan penting dan selera. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia dalam
periode 1980-2012 sebesar 1,51 %/tahun. Terdapat kecenderungan yang menurun laju
pertumbuhan penduduk untuk setiap periodenya yaitu dari 2,06 %/tahun menjadi 1,50
%/tahun.
44
Konsumsi beras per kapita pada tahun 1980 sebesar 131,40 kg/kapita/tahun
meningkat menjadi 139,00 kg/kapita/tahun pada tahun 2012 atau laju pertumbuhannya
meningkat sebesar 0,02 persen pertahun. Tingkat konsumsi beras per kapita pada
tahun 1999 merupakan angka paling tinggi selama periode 1980-2012. Perlu diketahui
pula bahwa pada tahun 1999 Indonesia mengimpor beras sebesar 4,75 juta ton beras
yang merupakan angka tertinggi selama 20 tahun terakhir. Tingginya impor tersebut
disebabkan turunnya produksi dalam negeri karena kemarau panjang akibat El Nino.
Laju pertumbuhan konsumsi beras per kapita setiap periodenya mengalami
penurunan. Pada periode 1980-1990 peningkatannya sebesar 1,16 %/tahun, kemudian
menjadi 0,46 %/tahun pada periode 1990-2000, dan selanjutnya laju pertumbuhan
stagnan sebesar nol persen pada periode 2000-2012. Bahkan pada periode 2005-2012,
laju pertumbuhan konsumsi beras per kapita per tahun menurun sebesar -0,17
%/tahun.
Secara nasional, tingkat konsumsi beras per kapita per tahun menunjukkan
penurunan. Penurunan konsumsi ber per kapita secara drastis, yaitu dari sebesar
165,88 kg/kapita/tahun pada tahun 1990, menurun menjadi 149,65 kg/kapita/tahun
pada tahun 2000 atau mengalami penurunan sebesar 10,85 persen.
Menurut Erwidodo dan Pribadi (2004) secara agregat makin tinggi pendapatan,
konsumsi beras per kapita makin menurun. Meningkatnya pendapatan telah mengubah
preferensi konsumsi terhadap barang. Pertumbuhan ekonomi juga mengakibatkan
pendidikan masyarakat meningkat. Perubahan tingkat pendidikan dan atau pendapatan
konsumsi akan membawa kesadaran pentingnya aspek kesehatan termasuk
pemenuhan konsumsi pangan yang mengarah pada diversifikasi konsumsi pangan dan
gizi yang dituangkan dalam norma Pola Pangan Harapan. Di sisi lain terus
dicanangkannya program diversifikasi pangan dan gizi yang salah satunya untuk
mempertahankan swasembada beras diduga turut menentukan terjadinya perubahan
preferensi penduduk terhadap suatu komoditas.
Pada tahun 1980 konsumsi beras nasional mencapai sebesar 19,27 juta ton,
meningkat menjadi sebesar 34,33 juta ton pada tahun 2002 atau mengalami
peningkatan sebesar 1,49 %/tahun. Laju pertumbuhan konsumsi beras nasional setiap
45
periodenya selalu meningkat, namun dengan trend yang semakin menurun. Pada
periode tahun 1980-1990, peningkatannya sebesar 3,19 %/tahun, kemudian menjadi
sebesar 1,98 %/tahun dan menjadi 1,50 %/tahun pada periode 2000-2012 (Tabel 4.6).
Dalam periode 2005-2012 laju pertumbuhan konsumsi beras nasional menjadi 1,46
%/tahun, yang jauh lebih rendah dibandingkan periode 1980-1990. Bila dibandingkan
dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk maka laju pertumbuhan konsumsi beras
nasional periode ini terlihat lebih rendah, yaitu 1,58 %/tahun berbanding 1,58
%/tahun.
Hal yang mendukung penurunan konsumsi beras nasional selama periode 2005-
2012 adalah adanya dampak dan keberhasilan program diversifikasi pangan, tingkat
pendapatan penduduk yang semakin membaik serta beralihnya selera penduduk ke
komoditas lain sebagai sumber alternatif seperti gandum (mie, roti, dll.), kentang dan
umbi-umbian lainnya.
Dari sisi konsumsi arah perkembangan dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Pertumbuhan penduduk Indonesia akan turun secara berkelanjutan sehingga
akan menurunkan pertumbuhan permintaan total beras.
(2) Pada umumnya permintaan pangan akan semakin beragam dengan kualitas
semakin tinggi, sementara permintaan pangan per kapita akan mengalami
pelandaian bahkan menurun.
(3) Tingkat pendapatan per kapita penduduk Indonesia akan terus meningkat.
(4) Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pertumbuhan
konsumsi beras per kapita dan pertumbuhan total konsumsi beras pada
waktu yang akan datang akan berada pada trend pertumbuhan yang
stagnan, dan bahkan menurun.
46
Tabel 4.6. Konsumsi Beras per Kapita Nasional dan Jumlah Penduduk, 1980-2012.
Tahun
Konsumsi beras per
kapita (kg/kapita/tahun)
Konsumsi beras nasional (ton/tahun)
Jumlah penduduk (jiwa)
1980
1985 1990 1991
1995 2000
2001 2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009 2010
2011 2012
(r %/thn) 1980-1990
1990-2000 2000-2012 1980-2012
2005-2012
131,40
145,45 150,05 146,74
151,79 149,65
139,35 140,55 140,95
139,88 142,69
141,59 147,22
144,42 144,39 144,35
144,32 139,00
1,16
0,46 0,00 0,02
-0,17
19267313
23761730 26734409 26573734
29369240 30804405
29045696 29664905 30124116
30267514 31370682
31538748 33219015
33219633 33845016 34340865
34786604 34333000
3,19
1,98 1,50 1,49
1,46
146631
163367 178170 181094
193486 205843
208437 211063 213722
216382 219852
222747 225642
230021 234400 237900
241038 245000
2,06
1,52 1,50 1,51
1,68
Sumber: BPS (1980-2012).
4.2.2. Komoditas Jagung
Jagung merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras yang sangat
berperan dalam menunjang ketahanan pangan, kecukupan pasokan pakan ternak, dan
bahkan akhir-akhir ini dijadikan sebagai bahan baku energi alternatif (biofuel). Posisi
jagung dalam diversifikasi konsumsi pangan berfungsi dalam mengurangi
ketergantungan terhadap makanan pokok beras. Jagung juga sangat berperan dalam
industri pakan dan industri pangan yang memerlukan pasokan terbesar dibanding untuk
konsumsi langsung. Dengan demikian, permintaan jagung untuk memenuhi kebutuhan
47
pangan, industri bahan makanan, dan bahan baku pakan serta kedepan untuk bahan
baku energi (bioetanol) akan makin meningkat dari tahun ke tahun.
Selama kurun waktu 2000-2004, diketahui bahwa produksi jagung nasional selalu
dibawah total kebutuhan jagung nasional (PSE-KP, 2012). Masih rendahnya produksi
jagung nasional, sementara kebutuhannya meningkat pesat menyebabkan terjadinya
ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan jagung. Oleh karena itu, untuk mencukupi
berbagai kebutuhan (untuk makanan atau konsumsi langsung, bahan baku industri
olahan dan terutama bahan baku pakan ternak) telah dilakukan impor jagung pada
kurun waktu tersebut dengan kisaran antara 1,08 juta – 1,37 juta ton.
Seperti disajikan pada Tabel 4.7, bahwa laju konsumsi jagung perkapita total
selama kurun waktu 1980-2012 sekitar 2,14 %/tahun yaitu meningkat dari 27,33
kg/kap/tahun menjadi 58,89 kg/kap/tahun. Bila kita analisis perkembangan dalam
sepuluh tahun terakhir (2000-2012) ternyata laju peningkatan konsumsi perkapitanya
relatif lebih tinggi yaitu mencapai 3,60 %/tahun. Penggunaan jagung selain untuk
konsumsi pangan, juga untuk bahan baku industri pangan, dan pakan.
Konsumsi total jagung selama kurun waktu 1980-2012 meningkat sebesar 3,86
%/tahun yaitu meningkat dari 4,08 juta ton menjadi 14,43 juta ton. Bila kita analisis
perkembangan dalam sepuluh tahun terakhir (2000-2012) ternyata laju peningkatan
konsumsi totalnya relatif lebih tinggi yaitu mencapai 5,16 %/tahun.
48
Tabel 4.7. Perkembangan Konsumsi Perkapita (Kg/kap/tahun) dan Konsumsi total Jagung Nasional (Ton), 1980-2012.
Tahun Konsumsi Perkapita (Kg/tahun) Konsumsi (Ton)
1980 27,33 4007425
1985 21,16 3456846
1990 29,68 5288086
1995 33,08 6400517
2000 46,71 9614927
2001 37,62 7841400
2002 33,78 7129708
2003 37,74 8065868
2004 37,50 8114325
2005 39,27 8633588
2006 39,17 8725000
2007 39,18 8840654
2008 46,27 10641922
2009 53,35 12505240
2010 53,53 12734787
2011 52,37 12623160
2012 58,89 14428050
(r %/thn) 1980-1990 1,35 3,49
1990-2000 4,39 5,91
2000-2012 3,60 5,16
1980-2012 2,41 3,86
2005-2012 6,32 7,86
Sumber: BPS, diolah.
4.2.3. Kedelai
Meskipun Indonesia bukan Negara produsen utama komoditas kedelai, namun
perkembangan permintaan kedelai sangat tinggi. Penyebab permintaan tinggi terutama
adalah tingginya konsumsi tempe dan tahu yang sudah merupakan bagian hidup
keseharian. Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui bahwa konsumsi kedelai per kapita adalah
berkisar antara 6-11 kg/kapita/tahun. Tampak bahwa sejak tahun 1996- 2007 konsumsi
kedelai masyarakat cenderung menurun yaitu dari 11 kg/kap/tahun menjadi 7,5
kg/kap/tahun, dan meningkat lagi dari tahun 2008 sampai 2012 menjadi 8,5
49
kg/kap/tahun. Dengan melihat fluktuatif pada masa tersebut, maka diduga bahwa
penurunan konsumsi kedele lebih banyak dipengaruhi oleh harga kedele itu sendiri.
Misalnya sejak krisis ekonomi nilai rupiah melemah sehingga harga kedelai impor
melambung tinggi, menyebabkan harga produk berbahan baku kedelai menjadi tinggi,
sementara pendapatan masyarakat tidak berubah sejajar dengan perubahan harga
kedelai, sehingga menurunkan kemampuan daya beli pangan berbahan baku kedelai.
Dengan mengalikan konsumsi per kapita dengan jumlah penduduk Negara
Indonesia, maka diketahui jumlah konsumsi kedelai secara nasional per tahun. Secara
umum jumlah konsumsi kedelai dari tahun 1980 sampai 2012 mengalami pertumbuhan
yang positif yakni sebesar 1,59 %/tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada periode
1980-1990 yakni sebesar 8,21 %/tahun. Pada kurun waktu tahun 1990-2000 terjadi
penurunan permintaan nasional sebesar 0,53 %/tahun dan merangkak naik pada
periode 2000-2012 sebesar 0,92 %/tahun. Terjadinya penurunan konsumsi kedelai
pada kurun waktu 1990-2000 lebih disebabkan oleh adanya gejolak krisis ekonomi pada
tahun 1997, sehingga menyebabkan harga kedelai impor naik tajam. Dalam waktu
bersamaan daya beli konsumen juga menurun, karena penyesuaian upah yang biasanya
terjadi tidak simetris dengan kenaikan upah dan harga-harga barang.
Dengan memperhatikan phenomena kedelai Indonesia, baik dari sisi jumlah
konsumsi, sifat intrinsik kedelai, kebutuhan protein nabati, maka tampak kedepan perlu
ada pemikiran secara seksama dan menyeluruh tentang kebutuhan protein nabati.
Karena bagi masyarakat Indonesia konsumsi kedele adalah suatu keniscayaan dan
sebagai asupan protein nabati, jika asupan protein nabati ini sering mengalami
goncangan sehingga mengganggu kebutuhan minimal protein nabatinya, maka dalam
jangka panjang akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Oleh karena
itu, pemikiran yang harus menyeluruh dipikirkan adalah : (1) mencari alternatif sumber
protein nabati dari kacang-kacangan yang secara geografis merupakan potensi nasional
indonesia, hal ini dapat dilakukan melalui temuan rekayasa genetik, (2) perlu
melakukan pengembangan varietas komoditi kacang-kacangan yang mirip kedelai tetapi
cocok untuk wilayah Indonesia, sehingga dapat mensubstitusi kedelai impor, (3) perlu
50
mengembangkan teknologi olahan pangan untuk mengsubstitusi kebutuhan protein
nabati yang bentuknya mirip dengan tempe tetapi non kedelai.
Tabel 4.8. Konsumsi per kapita, Jumlah Penduduk dan Konsumsi Kedelai Nasional, 1980-2012.
Tahun Konsumsi Kedele
(kg/Kap/thn)
Jumlah Penduduk (ribu
jiwa)
Konsumsi Kedele
(ton)
1980 5,98 146631 876853
1985 7,24 163367 1182777
1990 10,72 178170 1909982
1995 11,05 193486 2138020
2000 10,40 205843 2140767
2001 9,54 208437 1988489
2002 8,68 211063 1832027
2003 7,84 213722 1675580
2004 7,58 216382 1640176
2005 7,75 219852 1703853
2006 7,11 222747 1583731
2007 7,59 225642 1712623
2008 8,11 230021 1864320
2009 8,62 234400 2020528
2010 9,79 237900 2329041
2011 8,30 241038 2000615
2012 8,48 245000 2077600
(r %/thn)
1980-1990 6,17 2,06 8,21
1990-2000 -2,05 1,52 -0,53
2000-2012 -0,65 1,47 0,92
1980-2012 0,27 1,51 1,59
2005-2012 2,63 1,58 4,18
Sumber: BPS, diolah.
4.2.4. Gula Tebu.
Konsumsi gula kristal putih (sugar cane) perkapita meningkat dari 13,66
kg/kapita/tahun pada tahun 1980 menjadi 17,50 kg/kapita/tahun pada tahun 2012 atau
meningkat rata-rata 1,30 %/tahun. Laju pertumbuhan konsumsi gula tebu
menunjukkan trend yang meningkat setiap periodenya. Laju pertumbuhan pada periode
51
1990-2000 sebesar 0,15 %/tahun tahun meningkat menjadi 3,96 %/tahun pada
periode 2000-2012 dan meningkat lebih lambat pada periode 2005-2012 yaitu sebesar
0,17 %/tahun. Sementara pada periode 1980-1990 konsumsi gula tebu per kapita
mengalami peningkatan sebesar 0,49 %/tahun (Tabel 4.9).
Tabel 4.9. Perkembangan Konsumsi Perkapita (Kg/kap/tahun) dan Konsumsi total Gula
Tebu Nasional (Ton), 1980-2012.
Tahun Konsumsi Perkapita (Kg/tahun) Konsumsi (Ton)
1980 13,66 2002979
1985 11,35 1854215
1990 13,39 2385696
1995 14,72 2848114
2000 11,17 2299266
2001 14,90 3105711
2002 11,54 2435667
2003 10,36 2214160
2004 11,99 2594420
2005 15,46 3398912
2006 13,16 2931351
2007 22,23 5016022
2008 20,34 4677477
2009 18,44 4322336
2010 14,92 3549468
2011 17,13 4128981
2012 17,50 4287500
(r %/thn)
1980-1990 0,49 2,65
1990-2000 0,15 1,63
2000-2012 3,96 5,34
1980-2012 1,30 2,81
2005-2012 0,71 2,20
Sumber: BPS, diolah.
Selanjutnya bila dilihat dari total konsumsi gula tebu nasional selama periode
1980-2012 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,81 %/tahun, yaitu dari 2,003
juta ton (tahun 1980) menjadi 4,287 juta ton (tahun 2012). Bila dianalisis persegmen
52
waktunya, terlihat bahwa periode 1990-2000 merupakan peningkatan konsumsi terkecil
yaitu sebesar 1,63 %/tahun. Hal ini mengingat tingkat konsumsi gula perkapita pada
periode tersebut juga relatif kecil peningkatannya. Periode 2000-2012, dimana seiring
dengan peningkatan konsumsi dan pendapatan masyarakat ternyata konsumsi gula
nasional juga meningkat pesat dengan rata-rata sebesar 5,34 %/tahun. Hasil kajian
Bappenas (2013) bahwa selama kurun waktu 2008-2012, konsumsi gula GKP
cenderung menurun karena menurunnya konsumsi per kapita, sementara konsumsi
gula GKR terus meningkat karena berkembangnya industri makanan, minuman dan
farmasi. Namun total konsumsi gula GKP dan GKR terus meningkat yaitu dari 4.218 ribu
ton pada tahun 2008 menjadi 4.557 ribu ton pada tahun 2012 atau meningkat sekitar
2%/tahun.
4.2.5. Ternak Sapi Potong/Daging Sapi
Daging sapi masih merupakan bahan pangan mewah bagi sebagian besar
penduduk Indonesia. Oleh karena variabel harga dan pendapatan masyarakat sangat
menentukan tingkat konsumsi daging. Tapi meskipun demikian pesatnya pertumbuhan
penduduk dan meningkatnya mutu kehidupan rata-rata masyarakat, menyebabkan
permintaan daging terus meningkat, jika dirinci menurut jenis daging, penduduk
Indonesia lebih banyak mengkonsumsi daging ayam broiler dan daging sapi.
Konsumsi daging sapi per kapita meningkat dari 1,0 kg/kapita/tahun pada tahun
1980 menjadi 1,29 kg/kapita/tahun pada tahun 2012 atau meningkat rata-rata 1,25
%/tahun. Laju pertumbuhan konsumsi daging sapi menunjukkan trend yang meningkat
setiap periodenya. Laju pertumbuhan pada periode 1990-2000 sebesar 1,23 %/tahun
meningkat menjadi 2,11 %/tahun pada periode 2000-2012 dan meningkat lebih tinggi
laju pada periode 2005-2012 sebesar 4,01 %/tahun. Sementara pada periode 1980-
1990 konsumsi daging sapi per kapita mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,70
%/tahun. Hal ini disebabkan dalam periode ini konsumsi daging sapi digeser oleh
konsumsi daging ayam broiler. Seperti diketahui dalam periode 1983-1993 tingkat
produksi daging ayam broiler dua kali lipat lebih besar dibandingkan produksi daging
sapi (Yusdja et al., 2006). Faktor lainnya adalah diduga karena daging sapi masih
53
dianggap bahan makan mewah dan mahal, sehingga sangat terkait erat dengan
tingkat pendapatan masyarakat. Perlu diketahui juga dalam periode ini juga agribisnis
dan agroindustri sapi masih lemah sekali dan memprihatinkan.
Konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia relatif rendah, apakah karena
harganya mahal atau karena daya beli rendah ataukah karena kurang menyukai daging.
Tingkat konsumsi daging sapi per kapita tertinggi sebesar 1,41 kg/kapita/tahun terjadi
pada tahun 2010. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1990 konsumsi daging sapi per
kapita telah ditargetkan sebesar 1,79 kg/kapita/tahun (Simatupang et al., 1993).
Menurut Azis (1993) tingkat konsumsi daging sapi per kapita masih relatif rendah
dibanding negara-negara lain, termasuk didalamnya negara-negara tetangga seperti
Brunei, Malaysia dan Singapura. Pada tahun 1987, Negara Brunei, Malaysia dan
Singapura masing-masing telah mengkonsumsi daging per kapita sebesar 28,32 kg,
2,51 kg, dan 3,97 kg per kapita per tahun. Berdasarkan Standar Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi 1998, protein hewani dari produk peternakan sebanyak 6
gram/kapita/hari atau setara dengan daging sebanyak 10,3 kg/kapita/tahun. Maka jika
daging sapi memberikan kontribusi 25 persen, maka konsumsi daging sapi minimal
harus kurang lebih 2,50 kg/kapita/tahun.
Selama periode 1980-2012 konsumsi daging sapi meningkat dari 146,63 ribu ton
pada tahun 1980 menjadi 318,63 ribu ton pada tahun 2012 dengan laju pertumbuhan
sebesar 2,74 %/tahun. Laju pertumbuhan konsumsi daging sapi nasional menunjukkan
trend yang semakin meningkat dari 1,46 %/tahun pada periode 1980-1990, meningkat
menjadi 2,69 %/tahun periode 1990-2000 dan terus meningkat menjadi 3,65 %/tahun
periode 2000-2012.
Demikian juga halnya dengan periode terakhir 2005-2012 meningkat lebih tinggi
lagi menjadi 5,62 %/tahun. Melihat fenomena pertumbuhan konsumsi daging sapi ini,
maka ke depan konsumsi daging sapi di Indonesia akan terus meningkat, beberapa
variabel yang dapat dijadikan dasar adalah: (1) jumlah penduduk terus meningkat, (2)
pendapatan rata-rata terus meningkat, (3) permintaan daging sapi sifatnya elasitas.
Perkembangan konsumsi daging sapi per kapita, konsumsi daging sapi nasional
dan jumlah penduduk Indonesia periode 1980-2012 disajikan pada Tabel 4.10.
54
Tabel 4.10. Konsumsi Daging Sapi per Kapita dan Nasional, 1980-2012
Tahun Konsumsi daging sapi
per kapita
(kg/kapita/tahun)
Konsumsi daging sapi nasional (ton)
Jumlah penduduk (000 Jiwa)
1980 1,00 146.631 146.631
1985 0,86 140.496 163.367
1990 0,9 160.353 178.170
1995 1,02 197.356 193.486
2000 1,13 232.603 205.843
2001 1,06 220.943 208.437
2002 0,94 198.399 211.063
2003 1,03 220.134 213.722
2004 1,23 266.150 216.382
2005 1,01 222.051 219.852
2006 1,11 247.249 222.747
2007 1,02 230.155 225.642
2008 1,15 263.374 230.021
2009 1,27 297.688 234.400
2010 1,41 335.439 237.900
2011 1,26 303.708 241.038
2012 1,29 318.630 245.000
(r %/thn)
1980-1990 -0,7 1,46 2,06
1990-2000 1,23 2,69 1,52
2000-2012 2,11 3,65 1,5
1980-2012 1,25 2,74 1,51
2005-2012 4,01 5,62 1,68
Sumber: BPS, diolah.
4.3. Ekspor Impor Komoditas Pangan
4.3.1. Padi/Beras
Mengingat produksi beras nasional sampai saat ini masih dianggap hanya untuk
mencukupi konsumsi dalam negeri, maka ekspor beras Indonesia dari tahun ke tahun
relatif kecil. Ekspor beras tertinggi terjadi pada tahun 1993 sebesar 350.606 ton dan
tahun 1985 sebesar 258.712 ton. Perlu diketahui bahwa dalam periode 1984-1986,
Indonesia berada dalam periode swasembada beras, dan periode 1987-1993 periode
55
swasembada beras on trend. Secara umum dapat disebutkan bahwa ekspor beras yang
cukup besar terjadi pada periode swasembada beras.
Keragaan impor beras relatif berfluktuasi tergantung dari banyak hal seperti
kondisi produksi dalam negeri, situasi politik, harga beras dunia dan lain-lain. Pada
periode 1980-2002, impor beras tertinggi terjadi pada tahun 1998 (pada saat krisis
moneter) yang mencapai angka volume sebesar 2,89 juta ton dan meningkat pada
tahun berikutnya 1999 hingga mencapai 4,74 juta ton, yang merupakan angka tertinggi
dalam sejarah impor beras Indonesia sampai saat ini. Kondisi ini disebabkan program
pemulihan produksi beras nasional menghadapi berbagai masalah. Perekonomian
Indonesia belum pulih setelah diterpa krisis multidimensi ekonomi nasional dan politik
pada tahun 1997-1998.
Menurut Erwidodo dan Pribadi (2004), dalam kurun waktu 1997-2000, impor
beras sangat berfluktuasi, tetapi volumenya jauh lebih besar dibandingkan periode
sebelumnya. Pada tahun 1999 volume beras mencapai 4,5 juta ton, angkat tertinggi
selama 20 tahun terakhir. Tingginya impor tersebut disebabkan turunnya produksi
dalam negeri karena kemarau panjang akibat El Nino. Demikian juga halnya dalam
periode 2005-2012 impor beras sangat berfluktuatif. Tahun 2007 sebesar 1,41 juta ton
menurun menjadi 0,29 juta ton dan tahun 2011 sebesar 2,7 juta ton menurun drastis
menjadi hanya sebesar 0,67 juta ton. Pada tahun 2007 dan 2001 karena beras nasional
menurun.
Impor tertinggi kedua sebesar 3,16 juta ton beras terjadi pada tahun 1995
setahun setelah Indonesia tidak berswasembada beras lagi. Menurut Simatupang
(2000) dalam Sapuan (1999) bahwa sejak swasembada beras diraih pada tahun 1984,
laju pertumbuhan beras nasional cenderung menurun dan tidak stabil sehingga sejak
tahun 1994 Indonesia sudah tidak lagi berswasembada beras.
Swasembada beras yang dicapai pada tahun 1984 menurun menjadi
swasembada on-trend pada periode 1987-1994, lalu menjadi defisit mutlak
berkelanjutan sejak tahun 1994. Sejak pertengahan tahun 1990-an Indonesia telah
kembali menjadi importir beras terbesar di dunia.
56
Adapun perkembangan ekspor dan impor beras nasional pada periode 1980-
2012 disajikan pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11. Perkembangan Ekspor dan Impor Beras di Indonesia, 1980-2012
Tahun Ekspor (ton) Impor (ton)
1980 10003 2011713
1985 258712 33853
1990 1911 49577
1995 5 3157700
2000 1190 1355038
2001 3952 642168
2002 4154 1798498
2003 699 1625753
2004 905 390832
2005 42285 188945
2006 940 456100
2007 1194 1406278
2008 1867 288369
2009 2395 248454
2010 345 686108
2011 1062 2698990
2012 1003 670000
(r %/thn)
1980-1990 10,7 -29,2
1990-2000 -17,29 20,98
2000-2012 -7,48 -0,8
1980-2012 -6,01 2,32
2005-2012 -54,13 17,75
Sumber: BPS, diolah.
4.3.2. Jagung
Jagung memiliki peran strategis bagi masyarakat Indonesia. Bagi Indonesia
dengan jumlah penduduk sekitar 245 juta jiwa dan berkembangnya industri peternakan
yang membutuhkan pakan dengan bahan baku jagung akan sangat beralasan untuk
memprioritaskan pengembangan produksi jagung dalam negeri. Permintaan jagung
untuk memenuhi kebutuhan pangan, industri bahan makanan, dan bahan baku pakan
57
serta kedepan untuk bahan baku energi (bioetanol) akan semakin meningkat dari tahun
ke tahun.
Selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, surplus produksi jagung juga
dapat diekspor ke pasar internasional. Pemenuhan kebutuhan jagung bila
mengandalkan impor akan berisiko tinggi, akan berdampak terhadap indutri peternakan
(pakan) dalam negeri, dan akan mematikan petani jagung Indonesia, karena usahatani
jagung Indonesia yang tradisional harus bersaing dengan usahatani jagung negara
maju.
Saat ini, masih belum mampunya produksi jagung nasional dalam memenuhi
kebutuhan jagung secara menyeluruh menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam
pemenuhan kebutuhan jagung. Oleh karena itu, untuk mencukupi berbagai kebutuhan
(untuk makanan atau konsumsi langsung, bahan baku industri olahan dan terutama
bahan baku pakan ternak) telah dilakukan impor. Perkembangan impor dalam kurun
waktu 1980-2012 menunjukkan peningkatan signifikan yaitu 7,81 %/tahun, yaitu dari
33,77 ribu ton (tahun 1980) menjadi 1,700 juta ton (tahun 2012). Bila dilihat penggal
perkembangannya, tampak bahwa pada periode 1990-2000, peningkatannya cukup
besar yaitu 16,66 %/tahun. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya kebutuhan
pakan ternak, seiring dengan makin meningkatnya industri peternakan ayam ras
terutama setelah munculnya peraturan perunggasan nasional tahun 1992. Selanjutnya
dalam perkembangan tujuh tahun terakhir (2005-2012), tampak bahwa peningkatan
impor sangat tajam hingga mencapai 18,94 %/tahun yaitu dari 185,60 ribu ton (tahun
2005) menjadi 1,700 juta ton (tahun 2012).
Adapun ekspor jagung tampaknya masih sangat kecil dengan kisaran antara 3.542
– 144.930 ton. Secara lengkap kinerja perkembangan impor dan ekspor jagung nasional
1980-2012 disajikan pada Tabel 4.12.
58
Tabel 4.12. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia, 1980-2012
Tahun Ekspor Impor
1980 14890 33772
1985 3542 50037
1990 144930 9050
1995 79285 969194
2000 28066 1264575
2001 90474 1035797
2002 16306 1154063
2003 33691 1345452
2004 32679 1088928
2005 54009 185597
2006 28074 1775321
2007 101740 701953
2008 107001 286541
2009 62575 338798
2010 41954 1527516
2011 30787 2889174
2012 31745 1700000
(r %/thn) 1980-1990 23,91 5,80
1990-2000 17,49 16,66
2000-2012 1,18 4,33
1980-2012 0,79 7,81
2005-2012 -7,61 18,94
Sumber: BPS, diolah.
4.3.3. Kedele
Untuk komoditas kedelai Indonesia sudah dapat dipastikan bahwa secara nasional
untuk neraca konsumsi dan produksi dalam posisi defisit. Karenanya dari neraca
perdagangan internasional, Indonesia merupakan Negara peng-impor kedelai (net
importer) dari tahun ke tahun. Secara rinci kinerja ekspor dan impor tertera pada Tabel
4.13. Berdasarkan Tabel tersebut menginformasikan bahwa kendatipun Indonesia
merupakan Net Importir kedelai, namun tampak bahwa pada saat-saat tertentu
melakukan ekspor dengan jumlah kurang dari 1% dibandingkan dengan volume impor,
jumlah kedelai yang diekspor tertinggi yaitu pada tahun 2006 mencapai 4.633 ton dan
59
pada tahun 1992 sebanyak 3.911 ton. Pola ekspor kedelai mulai dari tahun 1988
dengan jumlah 38 ton semakin meningkat dengan puncak tertinggi pada tahun 1992
dan turun lagi menjelang krisis ekonomi 1997. Sementara antara tahun 2000 sampai
dengan 2012 terjadi fluktuatif dan cenderung menurun, terutama dari tahun 2000
sampai dengan 2012 menurun 1,13 %/tahun.
Untuk jumlah yang diimpor jauh lebih besar mencapai 99,95% dan dari tahun ke
tahun cenderung meningkat. Pada tahun 1980 volume impor hanya 100.878 ton terus
meningkat hingga pada tahun 2012 mencapai 2,3 juta ton atau dengan kata lain
pertumbuhan impor kedelai dalam kurun 3 dekade mencapai 5,96 %/tahun.
Peningkatan impor kedelai ini relatif melandai dibandingkan pada periode sebelumnya,
misalnya pada periode 1980-1990, walaupun jumlahnya tidak seperti sekarang tapi
pertumbuhan impornya mencapai 7,18 %/tahun, 1990-2000 menjadi 6,65 %/tahun dan
2000-2012 melandai lagi menjadi 4,84 %/tahun.
Dengan tingginya permintaan konsumsi kedelai domestik terutama untuk industri
tahu dan tempe, maka pengembangan substitusi impor kedelai ini perlu mendapat
perhatian yang serius. Terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam
pengembangan kedelai lokal sebagai substitusi impor kedelai, diantaranya adalah : (1)
pengembangan industri perbenihan kedelai, benih kedelai memiliki karakteristik yang
berbeda dengan komoditas palawija lainnya seperti jagung, diantaranya adalah kedelai
memeiliki masa dormansi yang pendek sehingga perlu disiapkan benih yang jumlah dan
kualitas yang baik dalam waktu yang relatif singkat. Karenanya pengembangan benih
kedelai harus dilaksanakan lintas wilayah yang memiliki musim yang berbeda atau antar
musim dan agroekosistem, seperti kedelai lahan tegalan MH mensupply bibit untuk
persawahan MK, (2) pengembangan pola tanam antar agroekosistem dan antar
wilayah, (3) perlu kebijakan pengaturan harga kedelai untuk merangsang petani dalam
penanaman kedelai. Pengalaman empiric menunjukan bahwa sebenarnya perbedaan
harga kedelai impor dan domestik adalah hal yang wajar dan tidak diskriminatif, karena
kedelai lokal sebenarnya memiliki keunggulan karakteristik yang berbeda dan lebih baik
dibandingkan dengan kedelai impor.
60
Tabel 4.13. Perkembangan Ekspor dan Impor Kedelai di Indonesia, 1980-2012
Tahun
Kedelai (ton)
Ekspor Impor Net Impor
1980 - 100878 100878
1985 - 301956 301956
1990 240 541060 540820
1995 83 607393 607310
2000 521 1277685 1277164
2001 1188 1136419 1135231
2002 235 1365253 1365018
2003 433 1192717 1192284
2004 1300 1117790 1116490
2005 876 1086178 1085302
2006 4633 1132144 1127511
2007 1872 2240795 2238923
2008 1025 1173097 1172072
2009 446 1314620 1314174
2010 385 1740505 1740120
2011 523 1911987 1911465
2012 527 2250000 2249473
Rata2 599 885942 885343
(r %/thn) 1980-1990 31,38 7,18 7,18
1990-2000 31,10 6,65 6,64
2000-2012 -1,13 4,84 4,85
1980-2012 6,36 5,96 5,96
2005-2012 -25,96 7,92 7,95
Sumber: BPS, diolah.
Jika impor kedelai tetap dan bahkan semakin tinggi, maka ada beberapa hal yang
menyebabkan semakin memburuk bagi situasi perekonomian Indonesia, diantaranya :
(1) menguras devisa Negara untuk membayar barang-barang impor, apalagi jika nilai
rupiah yang semakin menurun, yang sebenarnya devisa tersebut sebaiknya digunakan
untuk membangun sektor-sektor riil domestik, (2) akan mengakitbatkan inflasi dan
menurunan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok (tahu dan tempe) ketika
nilai rupiah menurun terhadap dolar, yang sebenarnya jumlah konsumen makanan
berbahan baku kedelai adalah cukup besar, (3) kapasitas untuk menumbuhkan produksi
nasional, baik melalui penemuan teknologi baru maupun sistim budidaya menjadi tidak
61
terlatih dan menurun dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, didalam pengendalian dan
pengawasan impor kedelai perlu diperhatikan beberapa hal seperti: (1) nasionalisme,
integritas dan keberpihakan pelaku-palaku importir perlu diseleksi dengan baik, bukan
hanya memikirkan keuntungan sesaat, (2) penegakan aturan dan keadilan didalam
menjalankan usaha perlu ditegakan, tidak ada kolusi, korupsi dan nepotisme, dan (3)
perlunya lembaga pemerintah yang dapat dipercaya untuk menangani impor kedelai,
karena ini hajat masyarakat banyak.
4.3.4. Tebu/Gula
Diantara komoditi pokok lainnya seperti beras, tepung terigu, minyak goreng, dan
kedelai; komoditi gula ini paling unik. Harga gula terus meningkat dari waktu ke waktu
dan hampir tidak pernah terjadi penurunan harga gula. Ketersediaan gula domestik
sangat penting dalam menentukan harga gula. Karena musim giling hanya terjadi pada
periode tertentu yaitu sekitar bulan Mei hingga November (masa giling diperkirakan
terjadi enam hingga tujuh bulan tergantung kapasitas masing-masing pabrik gula),
wajar jika terjadi kenaikan harga gula di saat tidak musim giling. Berbagai upaya telah
dilakukan oleh Pemerintah untuk menjaga kestabilanharga gula. Salah satu upaya yang
dilakukan pemerintah di akhir tahun 2009 dan di awal tahun 2010 adalah dengan
melakukan impor gula. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa upaya
pemerintah ini sia-sia (KPPU, 2010).
Impor gula tidak semata-mata dilakukan untuk menekan harga gula di saat tidak
musim giling tetapi juga terutama untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Produksi
gula domestik mengalami berbagai permasalahan terkait dengan produktivitasnya yang
rendah serta belum tercapainya skala ekonomis dari setiap pabrik gula. Mesin-mesin tua
yang masih digunakan terutama oleh pabrik gula yang berada di Pulau Jawa serta
tingkat rendemen yang tergolong rendah dari tebu yang dihasilkan petani juga turut
memicu mengapa produktivitas gula domestik masih dikatakan rendah. Belum lagi
tingkat konsumsi gula yang terus meningkat yang menjadikan produksi gula domestik
ini terus tertinggal dari yang seharusnya dipasok kepada masyarakat.
62
Awalnya, industri gula lokal hanyalah industri gula kristal putih. Sementara untuk
gula rafinasi masih dilakukan impor. Namun sejak tahun 2000an ketika harga gula
dunia (raw sugar) melonjak tinggi, pemerintah mengijinkan untuk dibangunnya pabrik
gula rafinasi. Sejak dahulu, pemain dalam industri gula kristal putih didominasi oleh
BUMN, yaitu PTPN dan RNI. Jumlahnya mencapai hampir 10 perusahaan yang tersebar
di Pulau Jawa dan Sumatera. Bisa dikatakan mulai dari produsen gula hingga distributor
gula hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja (oligopolistik). Pasokan gula
kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja yakni
PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI,Gunung Madu dan Sugar Group Companies. PTPN X,
PTPN XI dan Sugar Group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa
produksinya di tahun 2009 yaitu 18,72%, 15,64% dan 18,96%. Sugar Group mampu
menjadi leader dalam industri ini karena perusahaan tersebut merupakan satu-satunya
perusahaan yang telah efisien dalam industri gula ini.
Impor gula (GKP) selama kurun waktu 1980-2012, tampak mengalami
peningkatan sebesar 8,95 %/tahun, yaitu mulai dari nol hingga mencapai 1,15 juta ton
(2012). Bila dianalisis per periode waktu, tampak bahwa impor gula nasional sejak
tahun 1980-1990 meningkat tajam sebesar 41,83 %/tahun. Hal yang sama untuk
periode selanjutnya 1990-2000 peningkatannya mencapai 42,67 %/tahun. Mulai dari
tahun 2000, tampak bahwa peningkatan impor gula mulai mengecil. Secara rinci
perkembangan impor gula nasional disajikan pada Tabel 4.14.
63
Tabel 4.14. Perkembangan Ekspor dan Impor Gula di Indonesia, 1980-2012
Tahun Ekspor Impor
1980 0 0
1985 0 0
1990 1 22019
1995 132 333734
2000 815 435354
2001 78 240122
2002 33 304927
2003 55 911677
2004 1276 584364
2005 4 718292
2006 204 588576
2007 1 710025
2008 286 595060
2009 27 113413
2010 398 1380025
2011 403,417 181596
2012 384 1150000
(r %/thn)
1980-1990 27,17 41,83
1990-2000 17,17 42,67
2000-2012 -2,82 5,34
1980-2012 4,82 8,95
2005-2012 25,60 4,41
Sumber: BPS, diolah.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi gula GKP, sebenarnya produksi
gula GKP sudah cukup, bahkan ada surplus, sehingga tidak perlu dilakukan impor.
Namun untuk mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi gula (GKP dan GKR), produksi
masih kurang. Selama 2008-2012, jumlah kekurangan (defisit) cenderung membesar,
yaitu dari 1.550 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.957 ribu ton pada tahun 2012,
yang masing-masing merupakan 36,7% dan 42,9% dari produksi masing-masing tahun
tersebut. Hal ini menunjukkan kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat
besar. Untuk menutup defisit tersebut dilakukan impor. Selama 2008-2010 volume
impor gula (berbagai jenis gula tebu) terus meningkat, yaitu dari 984 ribu ton pada
64
tahun 2008 menjadi 1.383 ribu ton pada tahun 2010, yang berarti meningkat
20,1%/tahun. Pada tahun 2011 dan 2012, volume impor gula masing-masing mencapai
181.60 ribu ton dan 1.150 ribu ton.
4.3.5. Daging Sapi
Dalam perjalanan pembangunan peternakan sapi potong, pada dekade tahun
1970-an, Indonesia sempat menjadi eksportir, namun sehubungan dengan permintaan
dalam negeri yang tinggi, maka menjelang tahun 1990-an sudah mulai terlihat
lemahnya pasokan sapi dan daging dari dalam negeri. Akhir tahun 1990-an mulai
masuk sapi dan lewat tahun 200-an sudah terlihat adanya impor daging. Lewat tahun
2005 impor tidak hanya sapi bakalan, tetapi sudah mencakup daging, jeroan dan hati.
Impor-impor komoditas tersebut terus menunjukkan angka yang makin meningkat
(Dinas Peternakan Jawa Barat, 2007).
Hingga saat ini produksi daging sapi nasional masih untuk memenuhi konsumsi
dalam negeri, maka ekspor daging sapi Indonesia dari tahun ke tahun relatif kecil dan
dianggap tidak ada. Namun menurut Yusdja et al. (2006) peluang ekspor daging sapi
ke Malaysia dan Brunei Darussalam sangat besar, karena masyarakat negeri ini sangat
menggemari daging sapi Bali dibanding sapi hybrid.
Indonesia merupakan salah satu negara dalam percaturan dunia sebagai
konsumen, karena sebagai produsen hasil ternak peran Indonesia relatif kecil. Untuk
memasok kebutuhan daging sapi dalam negeri Indonesia harus mengimpor daging sapi
dari luar negeri. Hingga saat ini Indonesia masih menjadi net importer daging sapi.
Ke depan impor daging sapi cenderung meningkat pesat. Dalam periode 1980-
2012 laju pertumbuhannya sebesar 12,11 persen per tahun. Periode 2005-2012 laju
pertumbuhannya lebih tinggi lagi mencapai 48,23 persen per tahun. Secara agregat
semakin tinggi pendapatan, konsumsi daging akan semakin meningkat.
Dalam kondisi perekonomian Indonesia saat ini, kebijakan impor sapi dan daging
sangat sulit dihindari. Lebih-lebih dengan diratifikasinya kebijakan pasar bebas oleh
pemerintah tahun 1995. Dalam pasar bebas tataniaga tidak lagi diatur oleh pemerintah,
maka harga daging di dalam negeri akan berada pada posisi yang sama dengan harga
65
daging di pasar dunia. Dalam kondisi nilai tukar rupiah yang stabil, kecenderungan
impor semakin meningkat. Peningkatan impor dapat disebabkan permintaan daging
berkualitas dan daging kelas standar yang relatif murah dibanding produk domestik.
Perkembangan ekspor dan impor daging sapi Indonesia periode 1980-2012
disajikan pada Tabel 4.15.
Tabel 4.15. Perkembangan Ekspor dan Impor Daging Sapi Nasional, 1980-2012.
Tahun Ekspor (ton) Impor (ton)
1980 - 857
1985 - 759
1990 53 31
1995 21 756
2000 15 765
2001 58 589
2002 66 646
2003 262 490
2004 4 347
2005 9 195
2006 5 1155
2007 4 2836
2008 6 2744
2009 4 3787
2010 - 4322
2011 0,296 3598
2012 0,227 40300
(r %/thn)
1980-1990 50 -18,36
1990-2000 40 -22,48
2000-2012 -23,33 31,87
1980-2012 3,67 12,11
2005-2012 -33,03 48,23
Sumber: BPS, diolah.
66
4.4. Studi Kasus Lokasi Provinsi Jawa Barat
4.4.1. Padi/Beras
Jawa Barat merupakan provinsi penghasil padi/beras utama di Indonesia bersama
Jawa Timur. Provinsi utama penghasil padi lainnya adalah Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan dan Sumatera Utara. Penghasil padi/beras terbesar di Jawa Barat adalah
Kabupaten Indramayu diikuti Kabupaten Karawang. Usahatani padi di Jawa Barat
diusahakan oleh sekitar 2 juta rumah tangga petani (Wardana et al, 2012). Jawa Barat
merupakan penghasil padi/beras yang selalu surplus sehingga mampu menyangga
kebutuhan beras provinsi lainnya terutama Jakarta.
Komoditas padi sebagai bahan konsumsi pangan pokok masyarakat, tentunya
telah diletakan sebagai prioritas dan fokus kegiatan program pada setiap tahunnya
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan). Upaya peningkatan produksi baik secara kuantitas
dan kualitas serta efisiensi proses produksi, terus diupayakan peningkatannya sehingga
peningkatan nilai tambah dan daya saing produk guna meningkatkan kesejahteraan
petani terus ditingkatkan. Peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi di
Jawa barat antara lain didukung oleh: (1) peningkatan produktivitas melalui
pelaksanaan SLPTT, (2) pengembangan kauntitas dan kualitas alat mesin pertanian pra
panen, panen dan pasca panen, dan (3) pengurangan kehilangan hasil saat panen.
Varietas padi yang ditanam dominan adalah: Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit,
Cigeulis, IR64, PB 42, C. Muncul, dan Cisadane.
Sementara itu, selama kurun waktu lima tahun terakhir, luas panen padi di Jawa
Barat mengalami peningkatan 1,22 %/tahun. Seiring dengan peningkatan luas
panennya, produksi padi di Jawa Barat mengalami peningkatan sebesar 2,35 %/tahun.
Sementara produktivitasnya mengalami peningkatan sebesar 1,18 %/tahun. Pada tahun
2012, luas panen padi mencapai 1.913.999 ha, dengan tingkat produksi dan
produktivitasnya masing-masing sebesar 11.271.861 ton dan 5,89 ton/ha (Tabel 4.16).
67
Tabel 4.16. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Jawa Barat, 2008-2012.
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)
2008 1803628 10111071 5,61
2009 1950203 11322682 5,81
2010 2037657 11737070 5,76
2011 1964466 11638891 5,92
2012 1913999 11271861 5,89
r (%/thn) 1,22 2,35 1,18
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
Adapun kendala peningkatan produksi padi di Jawa Barat antara lain meliputi 1)
rawan terjadi kekeringan pada musim kemarau, 2) konversi penggunaan lahan
pertanian ke non-pertanian, 3) tenaga kerja di sektor pertanian berkurang karena
terjadi migrasi ke kota antara ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Jawa Barat.
Peluang peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui program peningkatan mutu
melalui penerapan teknologi budidaya untuk meningkatkan produktivitas padi.
Pertanian padi diairi dari saluran irigasi yang mendapat supla air dari tiga waduk yang
membendung aliran sungai Citarum, yaitu Waduk Jatiluhur, Cirata, dan Saguling.
4.4.2. Komoditas Jagung
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Jawa Barat (2010) bahwa wilayah
pengembangan jagung cukup luas yaitu mencakup di delapan kabupaten, yaitu:
Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka,
Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten
Cianjur. Wilayah pengembangan jagung yang sangat potensial ini telah diidentifikasi
dan diimplementasikan dalam program khusus pengembangan sentra jagung yang
hampir mencakup seluruh wilayah Jawa Barat bagian timur, membujur dari arah utara
ke selatan sehingga merupakan Corn Belt (sabuk jagung) Provinsi Jawa Barat. Saat ini
telah terbentuk Kawasan Andalan Agribisnis berbagai komoditi unggulan palawija
khususnya jagung yang terdapat disembilan kabupaten tersebut diatas.
68
Akselerasi peningkatan produksi jagung di Provinsi Jawa Barat juga tidak terlepas
dari upaya-upaya, seperti: (1) akselerasi pemberdayaan petani dan kelembagaan
ekonominya (kelompok tani hamparan, gapoktan, dan koperasi tani) yang terus
ditingkatkan, (2) berbagai unsur teknologi PTT (Program Tanaman Terpadu) jagung
terus ditingkatkan melalui: penyebarluasan varietas unggul hibrida, perbaikan tanam
dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu.
Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai
tambah proses produksi usahatani tanaman pangan, unsur teknologi benih unggul
bermutu sangat menentukan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2009).
Produsen benih meliputi swasta/BUMN dan kelompok tani penangkar. UPT daerah
dalam pengembangan benih jagung di Jawa Barat adalah Balai Pengembangan Benih
(BPP), melakukan kemitraan dengan produsen benih untuk melakukan penangkaran
benih jagung hibrida menjadi benih sebar. Jika kemitraaan telah berjalan secara baik,
maka diharapkan akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas benih unggul pada
petani. Dengan perbaikan mutu benih akan mengotimalkan efektivitas berbagai unsur
teknologi, sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Dampak lain
dengan berkembangnya sistem perbenihan juga berpeluang dalam penciptaan
kesempatan kerja pada usaha pemasaran benih unggul.
Dengan semakin meningkatnya produktivitas jagung yang merupakan tanaman
palawija di Jawa Barat berkaitan erat dengan peningkatan nilai tambah dan daya saing
komoditas jagung, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan motivasi dalam
mendorong mengembangkan usahataninya dan peningkatan pendapatan petani. Dilihat
dari aspek ketahanan pangan, peningkatan produksi jagung selain berperan dalam
penyediaan bahan pangan, juga berimplikasi terhadap diversifikasi produksi dan
konsumsi. Peningkatan produksi jagung juga akan mendorong pengembangan sektor
atau subsektor lain seperti: industri pengolahan makanan, perdagangan, peternakan,
dan perikanan.
Sementara itu, selama kurun waktu 2008-2012 luas panen jagung mengalami
peningkatan 4,94 %/tahun, yaitu dari 118 976 hektar pada tahun 2008 menjadi 148
601 hektar pada tahun 2012. Peningkatan luas panen tersebut diikuti oleh peningkatan
69
produksinya. Produksi jagung dalam kurun waktu tersebut meningkat pesat sebesar
10,81 %/tahun, yaitu dari 639.821 ton pada tahun 2008 menjadi 1.028.653 ton pada
tahun 2012. Peningkatan produksi yang relatif tinggi tersebut sebagai akibat
meningkatnya produktivitas yang juga tinggi sebesar 6,15 %/tahun, yaitu dari 5,38
ton/ha tahun 2008 menjadi 6,92 ton/ha pada tahun 2012 (Tabel 4.17). Dengan
demikian peningkatan produksi jagung di Jawa Barat dalam kurun waktu tersebut lebih
dominan karena peningkatan teknologi produksi yang menyebabkan peningkatan
produktivitas jagung yang tinggi.
Varietas jagung yang banyak ditanam khususnya di Jawa Barat adalah hibrida
seperti BISI, Pioneer dan lainnya. Adapun tingkat produktivitas jagung ditingkat petani
berkisar antara 5 – 6 ton/ha. Secara umum jagung di Jawa Barat ditanam dilahan
kering seperti tegalan, dan ditanam saat musim penghujan (MH).
Tabel 4.17. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di Jawa Barat, 2008-2012.
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)
2008 118976 639821 5,38
2009 136707 787599 5,76
2010 153778 923962 6,01
2011 147152 945104 6,42
2012 148601 1028653 6,92
r (%/thn) 4,94 10,81 6,15
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2012.
4.4.3. Kedelai
Khusus untuk kasus Jawa Barat pangsa produksi terhadap produksi nasional
relative meningkat dalam kurun dekade terakhir. Apabila melihat pangsa rata-rata
dalam kurun 2000-2010 pangsa produksi Jawa barat sekitar 4,46% atau sebesar 34.689
ton terhadap produksi nasional sebesar 786.500 ton. Sedangkan pada tahun 2000,
pangsa kedelai Jawa Barat sebesar 5,99% atau sebesar 54.246 ton terhadap produksi
nasional sebesar 905.015 ton.
70
Potensi pengembangan kedelai di Jawa Barat masih memiliki peluang yang masih
tinggi seperti di Kabupaten Indramayu siap menambah luas areal 40.000 Ha,
Kabupaten Sukabumi 10.000 Ha, Kabupaten Ciamis 10.000 Ha, Kabupaten Majalengka
1.000 Ha, Kabupaten Bandung 7.500 Ha, dll asalkan adanya kejelasan program pusat
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2012). Secara total rencana luas
pengembangan areal kedelai mencapai 129 ribu ha yang bersumber dari
pengembangan: (1) sekitar 26.000 ha dari pengembangan SLPTT, (2) sekitar 15.000 ha
berasal dari Model Pengembangan (di Kabupaten Indramayu, Ciamis dan Sukabumi
masing-masing 5000 ha), (3) berasal dari pengembangan areal seluas 66.750 ha, dan
(4) berasal dari pengembangan swadaya petani seluas 21.000 ha.
Berdasarkan data yang ada, luas panen kedelai di Jawa Barat masih relatif kecil.
Namun, peningkatan luas panennya cukup tinggi yaitu mencapai 28,19 %/tahun, yaitu
dari 12.429 ha (2008) menjadi 30.345 ha (2012). Seiring dengan peningkatan luas
panennya, maka produksi kedelai meningkat sebesar 4,93 %/tahun yaitu dari 32.921
ton (2008) menjadi 47.426 ton (2012). Sementara produktivitasnya mengalami
penurunan sebesar 39,94 %/tahun (Tabel 4.18). Adapun varietas kedelai yang banyak
di tanam di Jawa Barat adalah: Grobogan dan Anjasmoro.
Tabel 4.18. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai
di Jawa Barat, 2008-2012.
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)
2008 12429 32921 2,65
2009 2381 60257 25,31
2010 41775 55823 1,34
2011 35674 56166 1,57
2012 30345 47426 1,56
r (%/thn) 28,19 4,93 -39,94
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2012. Terkait dengan pengembangan pangan di sentra produksi kedele di Jawa Barat
yaitu di kabupaten Garut, walaupun menurut data pertanian Jawa Barat menunjukkan
bahwa dari segi jumlah produksi Kabupaten Garut merupakan sentra produksi kedele,
71
namun pada kenyataannya informasi kelompok tani bahwa usahatani tani kedele hanya
sebatas kebiasaan masyarakat, dari sisi pendapatan dan semangat pengembangan
bukan merupakan komoditas yang membanggakan masyarakat. Alasan yang
diungkapkan adalah : (1) dari sisi pengelolaan usahatani tergolong lebih berat
dibanding dengan komoditi jagung, terutama kedele pada lahan kering membutuhkan
tenaga kerja yang cukup banyak untuk mengolahan tanah, tanam, menyemprotan, (2)
gangguan hama dan penyakitnya lebih banyak dibanding dengan padi atau jagung, (3)
kepastian pasar dan harganya sangat rendah, sehingga sering terjadi tingkat
keuntungan dari usahatani itu rendah atau rugi karena harga jual yang tidak memedai
dan atau serangan hama dan penyakit. Jadi dua faktor tersebtu yang seharusnya
dikelola oleh pemerintah jika per-kedelai-an Indonesia meningkat.
Pada sisi teknologi, petani sudah cukup mengusai misalnya penggunaan benih
unggul baru seperti : anjasmoro dan orba, tingkat produktivitas dapat mencapai 1,6 ton
per hektar atau perbandingan benih dengan produksi adalah 1 : 40. Dengan tingkat
produksi yang terbatas karena faktor genetik dan pengaruh letak geografis wilayah
(tropis), yang bisa diharapkan untuk menggairahkan tingkat keuntungan petani kedele
adalah stabilitas harga dan pasar. Barang kali ini merupakan gambaran untuk semua
daerah penghasil kedele di Indonesia.
Pada sisi industri (khsususnya industri Tahu), menyatakan bahwa kedele lokal
memiliki keunggulan dibanding dengan kedelai impor, keunggulan tersebut diantaranya
adalah : (1) memiliki rendemen pati yang cukup tinggi berkisar antara 10-20%, (2)
penyerapan terhadap minyak goreng rendah, bisa mencapai 50% lebih rendah dari
kedelai impor, dan (3) memiliki daya tahan simpan tahu lebih lama, sampai 3 hari
sementara dengankedelai impor hanya 1-2 hari. Disamping itu, dari sisi fisik ada
varietas kedele (seperti Dapros) yang memiliki ukuran sama bahkan bisa lebih besar
dari pada kedelai impor. Dengan demikian sebenarnya jika Indonesia mau sungguh-
sungguh mengembangkan kedelai, maka ada hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
(1) upaya peningkatan produksi per hektar (produktivitas), (2) adanya upaya untuk
menstabilkan harga kedelai, agar petani mau merencanakan penanaman kedelai
72
dengan baik, (3) menjamin ketersediaan benih yang unggul seperti Dapros, dan (4)
menjamin kepastian pasar.
4.4.4. Tebu
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dari empat provinsi (Jawa
Timur, Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Barat) yang memiliki areal tanam tebu/gula
terbesar secara nasional. Perkebunan tebu di Jawa Barat terdiri dari perkebunan rakyat
dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Pangsa areal perkebunan tebu rakyat mencapai
46 persen, dan sisanya yaitu 54 persen merupakan perkebunan besar negara (PBN).
Secara total, areal perkebunan tebu di Jawa Barat selama kurun waktu 2008-2012
mengalami penurunan 2,03 %/tahun yaitu dari 23.420 ha (2008) menjadi 22.076 ha
(2012). Penurun areal tersebut disebabkan menurunnya secara signifikan areal
perkebunan rakyat sebesar 4,21 %/tahun. Disisi lain areal perkebunan negara
mengalami peningkatan namun sangat kecil yaitu sebesar 0,05 %/tahun. Menurunnya
luas areal tebu berdampak pada menurunnya produksi tebu dimana secara total
mencapai 1,73 %/tahun, yaitu dari 111.612 ton (2008) menjadi 104.779 ton (2012).
Penurunan areal tebu khususnya pada perkebunan rakyat disebabkan: (1) beralihnya
usaha tani tanaman tebu ke usahatani palawija atau hortikultura (pada lahan kering) ,
dan ke usahatani padi (pada lahan sawah), dan (2) terdapatnya alih fungsi lahan dari
lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Adapun tingkat produktivitas tebu
secara total masih meningkat sebesar 0,34 %/tahun. Peningkatan produktivitas tebu
secara total lebih banyak diwarnai karena peningkatan produktivitas PBN sebesar 1,50
%/tahun, sementara produktivitas perkebunan rakyat menurun sebesar 0,79 %/tahun
(Tabel 4.19).
Pengembangan komoditas tebu di Jawa Barat terdapat di Kabupaten Cirebon
(6.955 ha), Majalengka (1252 ha), Kuningan (9897 ha), Indramayu (418 ha), Subang
(211 ha) , Garut (239 ha, khusus untuk gula merah), dan Sumedang (165 ha). Untuk
menampung tebu di Jawa Barat, saat ini terdapat 5 Pabrik Gula (Disbun Jawa Barat,
2013). Menurut Dinas Perkebunan Jawa Barat (2013), bahwa perkembangan areal
pertanaman tebu di Jawa Barat saat ini mengalami kesulitan akibat tidak siapnya
73
pengembangan areal tanam tebu didaerah, penyiapan bibit baru dan bongkar ratoon
pun seringkali tidak siap di daerah. Akibatnya ketersediaan bibit seringkali tidak tersedia
sesuai kebutuhan waktu tanam. Varietas tebu yang ditanam biasanya meliputi varietas
masak awal: PS 57, PS 60, BZ 132, PS 80-442, POJ 3016, POJ 3016, PS 41, PS 56, BZ
132, BZ 148, G 90 ; dan masak tengah: PS 59, PS 60, BZ 148, PS 77-1553, PS 77-2601,
PS 79-82.
Dalam hal panen / tebang tebu dilaksanakan berdasarkan analisis kemasakan
dan jadwal giling. Mulai tebang antara bulan Mei s/d Nopember , dan umur tebu
ditebang 11 - 14 bulan. Cara penebangan dilakukan: Untuk tebu yang akan dikepras
batang yang ditebang sebatas permukaan tanah aslinya (meninggalkan batang 15 - 20
cm dibawah permukaan tanah), untuk tebu yang tidak dikepras seluruh batang
dicabut/didongkel, persentase kotoran maksimum 5 %, dan jangka waktu sejak tebang
sampai dengan digiling tidak lebih 24 jam.
Tabel 4.19. Perkembangan Luas areal, produksi dan produktivitas tebu di Provinsi Jawa Barat, 2008-2012.
Tahun Perkeb. Rakyat Perkeb. Besar Negara Total
Luas Pro-duksi
Produk-tivitas Luas
Pro-duksi
Produk-tivitas Luas
Pro-duksi
Produk-tivitas
(Ha) (Ton) (kg/ ha) (Ha) (Ton)
(kg/ ha) (Ha) (Ton) (kg/ha)
2008 11726 57268 4907 11694 54344 4647 23420 111612 4777
2009 11703 53016 4569 11388 36624 3216 23091 89640 3893
2010 11486 58230 5095 12141 51909 4276 23627 110139 4686
2011 10225 41171 4040 10951 44736 4085 21176 85907 4063
2012 10137 50772 5009 11939 54007 4524 22076 104779 4767
r(%/thn) -4,21 -4,77 -0,69 0,05 1,54 1,50 -2,03 -1,73 0,34
Sumber: Disbun Provinsi Jawa Barat (2013).
Provinsi Jawa Barat menargetkan produksi gula tebu pada tahun 2014 sebesar
95.135 ton, dan pada tahun 2018 mencapai 137.417 ton. Adapun target
produktivitasnya tahun 2014 sebesar 4500 kg/ha. Dengan melihat produksi eksisiting
tahun 2012 mencapai 104.779 ton, dan produktivitas 4767 kg/ha berarti target produksi
dan produktivitas tebu di Jawa Barat sesungguhnya telah tercapai. Sementara untuk
74
rendemen gula (putih) di Jawa Barat hanya berkisar antara 6-7 persen, dan untuk gula
merah asal tebu relatif lebih tinggi yaitu sebesar 9-10 persen. Rendemen gula merah
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan produksi gula putih. Adapun jika gula
merah akan diproses lagi menjadi gula putih akan diperoleh sebesar 71 persennya. Oleh
karena itu, kedepan bahwa dalam rangka mendukung swasembada gula maka industri
gula merah baik berasal dari tebu maupun dari aren di Jawa Barat terus semakin
ditingkatkan.
Di lokasi penelitian Majalengka, luas areal tebu pada tahun 2012 mencapai 4.289
ha yang meliputi 1.252 ha perkebunan rakyat dan 3.037 ha perkebunan besar negara
(PBN). Adapun tingkat produksi yang dihasilkan totalnya mencapai 18.849 ton, yang
terdiri dari 4.955 ton perkebunan rakyat dan 13.894 ton PBN. Produktivitas rata-rata
perkebunan tebu mencapai 4.395 kg/ha, dan khusus untuk produktivitas perkebunan
rakyat mencapai 3.958 kg/ha dan PBN sebesar 4.575 kg/ha.
Keberadaan lahan tebu rakyat di Kabupaten Majalengka semakin menurun dan
juga kepemilikannya cenderung terpusat pada orang-orang tertentu yang memiliki
lahan luas dan juga para pemilik lahan berada di kota-kota besar atau luar daerah.
Lahan-lahan pertanian yang dimiliki oleh pemilik luar kota akan di sewa oleh petani
pemodal besar atau petani berlahan luas untuk diusahakan dengan pertanaman tebu.
Karena diusahakan tanaman tebu, maka lahan usahatani akan disewa minimal dalam
kurun waktu 3 tahun. Nilai sewa lahan rata-rata berkisar antara Rp 5 juta – Rp 7
juta/ha/tahun. Untuk lahan kering, nilai sewa lahan sekitar Rp 4 juta – Rp 5
juta/ha/tahun, dan untuk lahan sawah nilai sewanya berkisar antara Rp 6 juta – Rp 7
juta/ha/tahun.
Para petani tebu di Kabupaten Majalengka terhimpun dalam wadah Asosiasi Petani
Tebu Rakyat Indonesia Kabupaten Majalengka (APTRI Majalengka). APTRI Majalengka
mewadahi petani wilayah Majalengka, Sumedang dan Indramayu dengan
keanggotaannya berjumlah 365 orang petani tebu. Adapun jumlah petani tebu anggota
APTRI di Majalengka berkisar antara 130-160 petani. Petani tebu Majalengka mendapat
bantuan modal dari kredit KKPE dengan avalisis PG Jati Tujuh untuk mengelola lahan
75
usahataninya. Petani tebu, akan melakukan numpang giling di PG Jati Tujuh melalui
Koperasi Manis Jaya.
Produktivitas rata-rata tebu petani di lahan sawah sekitar 1000 kw/ha tebu
brangkas. Sementara produktivitas tebu pada lahan kering mencapai 600 – 700 kw/ha
tebu brangkas. Varietas yang digunakan adalah BL (Bulu Lawang). Varietas ini, untuk
mencapai berat tertentu bagus dan akan tetapi untuk mencapai kadar gula tertentu
diharapkan oleh pihak PG perlu diganti. Asal varietas tebu adalah dari daerah kudus,
yang didatangkan secara kolektif oleh petani dalam wadah koperasi Manis Jaya dengan
tetap berada dalam pengawasan pihak PG. Harga varietas BL sekitar Rp 65000/kwintal.
Selanjutnya, pada kegiatan usahatani tebu biaya angkut dan tebang petani
terlebih dahulu ditalangi pihak Koperasi. Adapun biaya tebang rata-rata sekitar Rp
4700/kw tebu, dan biaya angkut sekitar Rp 3000/kw tebu. Tebu diangkut secara
kolektif oleh Koperasi. Oleh karena itu, jadwal tebang benar-benar telah diatur oleh
pihak PG dan Koperasi saat waktu panen, kisaran tanggal 1 s/d tanggal 15. Periode
Giling Tebu petani di wilayah PG jati Tujuh antara bulan Mei – September. Sebelum
tebang, biasanya terlebih dahulu dilakukan cek potensi ke lahan usahatani tebu petani
oleh pihak PG.
Rendemen tebu yang dihasilkan antar petani dapat berbeda. Pada saat giling ke
PG, petani akan memperoleh 10 persen bagian yang boleh di bawa dalam bentuk
natura (gula). Sementara itu, perolehan dari hasil giling tebu petani yaitu: (1) dari
rendemen tertentu akan diperoleh nilai dengan perhitungan nilai rendemen dikalikan
perolehan tebu misalnya dalam luasan per hektar, (2) petani juga akan memperoleh
bagian dari selisish harga lelang (pasar) dengan HPP gula dikalikan jumlah gula yang
diperoleh dari perhitungan rendemen tersebut, (3) petani juga akan memperoleh dari
nilai tetes tebu yang dihasilkan.
Sementara itu, PG Jati Tujuh dibangun pada tahun 1977-1978. PG Jatitujuh
mempunyai luas areal sebesar 12.000 hektar, dan mulai giling pertama sekitar tahun
1980. Dari luasan tersebut, sekitar 7010 Ha merupakan lahan HGU untuk kebun tebu.
Varietas tebu yang dibudidayakan pada lahan perkebunan PG adalah: (1) Kentung, (2)
BS 862, (3) BS 860, (4) PSJT 941, (5) BL dan (6) Kidang Kencana. Rendemen rata-rata
76
saat ini adalah sekitar 6,88 persen. Wilayah kerja PG Jati Tujuh meliputi Kabupaten
Majalengka, Indramayu dan Sumedang. Adapun kebun bibit yang dimiliki PG Jati Tujuh
berkisar antara 800-900 ha. Macam-macam kebun bibit yang ada meliputi: (1) KBP (
Kebun bibit pokok), (2) KBN (Kebun bibit nenek), (3) KBI ( Kebun bibit induk), dan (4)
KBD ( Kebun induk dasar bibitnya disalurkan untuk ditanam dikebun produksi/tebu
giling.
Dalam rangka mendukung swasembada gula nasional, PG Jati Tujuh berupaya
melakukan peningkatan produksi gula melalui: (1) ekstensifikasi, dan (2) intensifikasi.
Upaya ekstensifikasi ditempuh melalui perluasan kerjasama dengan petani, saat ini
kerjasama semakin berkembang dimana jumlah petani tebu yang bekerjasama
meningkat dari 1300 petani menjadi 1500 petani yang berada dalam wilayah kerja PG.
Di Indramayu, pengembangan tanaman tebu oleh petani berkembang setelah ada
kerjasama petani dengan pihak Perhutani dalam kerangka kerjasama Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Petani yang tergabung dalam kelompok tani
memperoleh paket kredit KKPE dengan pihak penjamin adalah PG Jati Tujuh. Paket
kredit yang diperoleh petani setelah memperhatikan total luasan dan jumlah petani
yang terhimpun dalam kerjasama, rata-rata akan memperoleh paket kredit sekitar Rp
18 juta/ha. Selanjutnya upaya intensifikasi ditempuh melalui perbaikan dalam hal kultur
teknis, mekanisasi tanam dan panen (penggunaan mesin harvester untuk panen), serta
sistem pengairan/drainase pertanaman tebu secara lebih baik lagi.
Saat ini kapasitas riil giling PG jati Tujuh mencapai 4500 ton/hari (24 jam).
Sementara kapasitas terpasang dapat mencapai 4800 ton/hari. Adapun produksi gula
yang dihasilkan selama masa giling mencapai 37.000 ton. Saat ini produksi gula
terkendala oleh perubahan ekstrim tahun kemarin, dimana hampir secara merata tahun
tahun kemarin di Pulau Jawa terjadi kemarau basah sehingga berpengaruh terhadap
pertanaman tebu. Pada jaman Belanda dahulu, rendemen tebu tinggi mengingat
potensi tebu yang dibawa ke pabrik rendemennya sudah tinggi. Saat ini kecenderungan
rendemen rendah. Kehilangan rendemen dari kebun sampai dengan proses dapat
mencapai 1,5 persen. Sementara potensi rata-rata rendemen di kebun sekitar 8,3
persen. Rendemen rata-rata saat ini adalah 6,88 persen, yang merupakan sepuluh
77
rendemen besar di antara PG di Pulau Jawa. Rendemen yang dihasilkan sangat
tergantung dari bahan bakunya, dimana akan dipengaruhi oleh iklim, lama angkutan,
lama proses dsb.
4.4.5. Ternak Sapi Potong/Daging Sapi
Struktur usaha peternakan sapi potong sebagian besar tetap bertahan dalam
bentuk usaha ternak rakyat. Usaha ternak rakyat mempunyai ciri-ciri antara lain: (1)
tingkat pendidikan peternak rendah, (2) pendapatan rendah karena merupakan usaha
sambilan dan bukan sebagai usaha pokok, (3) penerapan manajemen masih
konvensional, (4) lokasi ternak menyebar luas, (5) skala usaha relative kecil serta
pengadaan input utama yaitu hijauan makanan ternak (HMT) masih tergantung musim,
(6) dominan menggunakan tenaga kerja keluarga, dan (7) penguasaan lahan HMT dan
produksi butiran-butiran terbatas dan sebagian tergantung impor (Ilham, et. al., 2009)
Melihat ciri-ciri usaha ternak tersebut artinya peternak tidak menganggap
penting usaha ini dan tidak mengharapkan sebagai ternak penghasil daging. Dengan
demikian kualitas sapi yang dipelihara maupun kualitas daging yang dihasilkan tentu
saja sangat diragukan.
Upaya meningkatkan kualitas ternak maupun dagingnya sangat sulit dicapai
karena sebagian besar masyarakat pun tidak menuntut standar tinggi tentang kualitas
daging. Akhirnya hal ini seperti lingkaran setan. Disatu sisi, peternak didorong untuk
memelihara sapi secara lebih modern sehingga usaha peternakan dapat menjadi
penghasilan pokok, disisi lain masyarakat memperoleh daging sapi dengan harga murah
tanpa memperhatikan kualitasnya. Namun demikian, apabila pola kebijakan
pengembangan sapi potong masih berorientasi pada pola peternakan rakyat dengan
ciri-ciri tersebut di atas, sulit untuk memenuhi keutuhan daging di Indonesia dengan
mengandalkan dari ternak lokal. Skala usaha peternakan harus ditingkatkan sampai
jumlah minimum yang hasilnya layak untuk digunakan sebagai usaha pokok kehidupan
peternak. Hal ini akan dapat dicapai dengan adanya dukungan modal, sistem
kelembagaan dengan pola kerjasama kemitraan, dan input teknologi. Dengan demikian,
usaha peternakan dapat dikelola secara lebih professional dengan tetap berbasis pada
78
keterlibatan masyarakat sehingga akan menjadikan usaha ternak sapi potong sebagai
industri peternakan modern yang menghasilkan produk berkualitas. Sapi potong
merupakan komoditas andalan bagi Provinsi Jawa Barat dalam memenuhi konsumsi
daging. Di Jawa Barat kontribusi terbesar berasal dari peternakan rakyat, sisanya
disumbang dari aktivitas usaha swasta dalam bentuk Feedloter (Disnak Provinsi Jawa
Barat, 2007).
Usaha ternak sapi potong pembibitan dan pembesaran saat ini masih diusahakan
secara tradisional belum dilakukan sebagai tujuan usaha komersial dengan target-target
produksi yang jelas. Dengan demikian pemeliharaan dan pengembangbiaakan sapi
masih merupakan bagian minor dari kegiatan usaha tani, dengan orientasi sebagai
tabungan dan penyedia tenaga kerja, atau untuk mengisi waktu luang serta untuk
meningkatkan produktivitas lahan, karena antara tanaman dan ternak mempunyai sifat
komplementer yang sangat erat.
Jawa Barat adalah salah satu provinsi setelah DKI Jakarta yang merupakan daerah
pemasaran ternak sapi potong terbesar dari provinsi-provinsi produsen sapi potong
seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bila dipandang dari perkembangan sapi potong di
Jawa Barat selama kurun waktu 2008-2012 menunjukan peningkatan yang
signifikansebesar 11,27% per tahun, yaitu dari 29555 ekor (2008) menjadi 441350 ekor
(2012). Sementara tingkat produksi daging meningkat sebesar 4,75% per tahun (Tabel
4.20). Menurut informasi, bahwa ternak sapi potong di Jawa Barat lebih banyak
dijual/dikirim dalam bentuk ternak hidup keluar provinsi. Smemtara ternak yang
disembelih relatif sedikit sehingga tingkat produksi daging tercatat menjadi rendah.
Di Jawa Barat terutama Kota Bandung merupakan sentra utama konsumsi
daging nasional. Pendapatan penduduk yang relatif tinggi mendorong permintaan
daging sapi lebih tinggi dibandingkan daging lain. Selama ini sebagian pasokan daging
sapi berasal dari luar Jawa Barat bahkan berasal dari ternak dan daging impor. Pasokan
daging sapi asal Jawa Barat diperkirakan hanya 10 %.
79
Tabel 4.20. Perkembangan Populasi dan Produksi Daging sapi Potong di Jawa Barat, 2008-2012
Tahun Populasi (ekor) Produksi (ton)
2008 295.554 70.010
2009 309.609 70.662
2010 327.750 76.066
2011 422.989 78.476
2012 441.350 84.128
r (%/tahun) 11,27 4,75
Sumber : Dinas Peternakan Jawa Barat, 2012
Di Jawa Barat potensi untuk meningkatkan pasokan cukup tersedia. Beberapa
usaha penggemukan sapi potong di sekitar Kota Bandung yang ada antara lain terdapat
di Kecamatan Cimenyan, Cikancung, Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung,
Kecamatan Leles Kabupaten Garut, Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang,
Kecamatan Lembang dan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Sentra produksi lain yang
dapat dikembangkan di daerah yang lebih jauh dari Kota Bandung seperti Tasikmalaya,
Ciamis, Subang, Majalengka, dan Bogor. Kabupaten Sumedang sebagai salah satu
sentra pengembangan populasi ternak sapi potong telah melakukan pengembangan
melalui 1) pengembangan populasi atas bantuan APBD melalui program Pagu Indikatif
Kewilayahan (PIK), yaitu dengan pedekatannya desa, dan 2) pengembangan populasi
atas bantuan APBD melalui program Pagu SKPD yaitu untuk membidik sasaran-sasaran
teknokratif yang tidak tercover program PIK dimana pendekatan program melalui
kelompok. Pada program tersebut terdapat pengadaan sapi potong pada setiap
kecamatan.
Pengembangan peternakan sapi potong di Jawa Barat masih sangat potensial,
mengingat potensi ketersediaan hijauan pakan rumput yang cukup dominan yang
terdapat di lahan pertanian lahan kering (misalnya pada tegalan/kebun dan hutan
rakyat). Luas tegalan/kebun dan hutan rakyat di Jawa Barat masing-masing mencapai
561,15 ribu hektar dan 226,07 ribu hektar.
80
4.5. Estimasi Parameter Permintaan dan Penawaran Komoditas Tanaman
Pangan Strategis
Pendugaan parameter untuk masing-masing persamaan dalam model penelitian
ini telah melalui beberapa tahapan spesifikasi. Pada sejumlah peubah yang awalnya
diduga memengaruhi permintaan dan penawaran komoditas padi, jagung dan kedelai
mengalami spesifikasi karena hasil dugaan parameternya tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Selanjutnya hasil yang disajikan merupakan hasil optimal hasil spesifikasi
atas model yang diestimasi. Hasil pendugaan model persamaan simultan diduga dengan
metode Two Stage Least Square (2SLS) dengan menggunakan time series 1985-2012 di
Indonesia. Hasil pendugaan analisis permintaan dan penawaran komoditas padi, jagung
dan kedelai akan diuraikan berikut ini.
4.5.1. Estimasi Parameter Permintaan dan Penawaran Padi/Beras
(1) Luas Areal Panen Padi
Secara umum hasil empiris pendugaan parameter dari dugaan model respon areal
panen cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh besaran dan arah nilai parameter estimasi
yang sesuai yang harapan. Parameter harga (beras) saat ini bertanda positif, yang
berarti bahwa harga beras merupakan faktor pendorong bagi petani dalam
berusahatani padi. Hal yang sama untuk parameter trend waktu yang merupakan proksi
perkembangan teknologi usahatani padi bertanda positif, sehingga seiring dengan
perkembangan waktu yang diiringi oleh peningkatan teknologi juga menjadi faktor
pendorong bagi pengembangan usahatani padi. Sebaliknya parameter harga input
(urea dan tenaga kerja) dan suku bunga bertanda negatif, yang artinya peningkatan
harga input dan suku bunga menjadi diinsentif bagi pengembangan areal usahatani
padi.
Koefisien determinasi dari persamaan areal panen padi ini sebesar 0,93, yang
berarti bahwa sekitar 93 persen variasi peubah-peubah bebas (independent variabel)
dapat menerangkan variasi peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan kata lain
bahwa 93 persen perilaku luas areal panen dapat diterangkan oleh variasi peubah-
81
peubah bebas yang digunakan dalam model ini. Secara rinci, hasil estimasi parameter
persamaan perilaku areal panen padi disajikan pada Tabel 4.21.
Pada Tabel 4.21 terlihat bahwa koefisien dugaan harga beras sebesar 8,6140 yang
berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga beras dalam negeri sebesar 1 persen maka
akan meningkatkan areal panen sekitar 8,614 persen. Nilai elastisitas jangka pendek
dari peubah ini adalah 0,0156, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras
dalam negeri 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan luas
panen sebesar 1,56 persen. Dalam jangka panjang , peningkatan areal panen tersebut
akan mencapai 1,60 persen, karena insentif harga diharapkan akan semakin
mendorong petani untuk meningkatkan usahatani padinya.
Tabel 4.21. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Padi di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. intersep - 11,3042 - -
2. Harga Beras Pricert 8,6140 0,0156 0,0160
3. Harga Jagung Pricect -1,2075b -0,0103 -0,0105
4. Harga urea Priceurt -0,7034 -0,0567 -0,0581
5. Upah T. Kerja Waget -0,9360c -0,0107 -0,01091
6. Suku bunga Inrt -0,6702 -0,0634 -0,0650
7. Waktu Time 0,3931
8. Lag Luas Panen LagAt 0,2348 - -
R2 = 0,93 F-stat=38,09a DW=2,10
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%
Harga jagung berpengaruh nyata terhadap areal panen padi. Koefisien dugaan
harga jagung sebesar -1,2075 yang berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga jagung
dalam negeri sebesar 10 persen akan menurunkan areal panen padi sekitar 12,075 ha.
Penurunan areal panen padi disebabkan oleh peningkatan areal panen jagung pada
lahan yang biasa ditanami padi dan jagung terutama saat pada musim ke-2 di lahan
sawah. Oleh karena itu, jagung dalam hal ini merupakan komoditas pesaing tanaman
padi pada lahan sawah di musim ke-2. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Syafaat
et al. (2005) yang mengungkapkan bahwa secara Indonesia jagung juga dapat menjadi
82
pesaing pertanaman padi. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini
adalah 0,0103, berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri 10
persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar 1,03 persen.
Sementara dalam jangka panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai 1,05
persen.
Harga urea dan upah tenaga kerja memiliki koefisien dugaan masing-masing
sebesar -0,7034 dan -0,9360, yang berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga urea dan
upah tenaga kerja sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal panen masing-
masing sekitar 7,03 ha dan 9,36 ha. Hasil analisis ini menujukkan bahwa perubahan
harga pupuk terutama pupuk urea akan sangat memengaruhi penggunaannya. Nilai
elastisitas jangka pendek dari peubah harga pupuk ini adalah 0,0567, yang berarti
bahwa jika terjadi kenaikan harga pupuk 10 persen, dalam jangka pendek akan
menurunkan luas panen sebesar 5,67 persen. Selanjutnya dalam jangka panjang ,
penurunan areal panen tersebut akan mencapai 5,81 persen. Sementara nilai elastisitas
jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja adalah 0,0107, yang berarti bahwa jika
terjadi kenaikan upah tenaga kerja 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan
luas panen sebesar 1,07 persen dan dalam jangka panjang akan menurunkan areal
panen sebesar 1,09 persen.
Peubah suku bunga bank memiliki koefisien bertanda negatif, yaitu -0,6702.
Hasil ini mengindikasikan bahwa setiap peningkatan suku bunga bank 1%/tahun, maka
areal panen padi akan menurun sebesar 0,67 persen. Artinya bahwa peningkatan
bunga bank akan mengakibatkan semakin terbatasnya beratnya akses petani untuk
menambah modal kredit usahatani, sehingga akan menurunkan kemampuan untuk
berusahatani padi yang dilakukannya.
Selanjutnya, koefisien waktu yang mencerminkan perubahan teknologi
berpengaruh nyata terhadap areal panen padi dan memiliki koefisien yang bertanda
positif, yaitu 0,3931. Hal ini berarti bahwa setiap tahunnya seiring dengan terdapatnya
perubahan teknologi usahatani akan dapat meningkatkan areal panen padi sebesar
0,3931 persen. Hal yang sama untuk koefisien lag areal panen padi juga bertanda
positif, yaitu 0,2348. Hal ini berarti bahwa jika areal panen tahun tertentu meningkat 10
83
persen, maka akan meningkatkan areal panen berikutnya sebesar 2,348 persen.
Dengan demikian, jika tidak terdapat insentif lain dalam usahatani padi, maka
peningkatan areal panen padi di Indonesia akan relatif lambat.
(2) Produktivitas Padi
Berdasarkan Tabel 4.22, terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing
peubah bebas yang dimasukan dalam model respon produktivitas padi sesuai dengan
harapan dan teori. Koefisien dugaan harga beras bertanda positif, yaitu 0,0150. Hal ini
berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras sebesar 10 persen, maka akan
meningkatkan penerimaan petani yang menjadi sumber permodalan usahataninya,
sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas usahatani padi yaitu sebesar 0,15
persen atau rata-rata sekitar 6,7 kg/ha. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga
beras ini adalah 0,6997, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras 10
persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan produktivitas
sebesar 6,997 persen. Sementara dalam jangka panjang, peningkatan produktivitas
padi tersebut akan mencapai 7,84 persen.
Tabel 4.22. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Padi di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep -
2. Harga Beras Pricert 0,0150 0,6997 0,7843
3. Harga Urea Priceurt -0,0880 -0,1829 -0,7433
4. Upah T. Kerja Waget -0,0355b -0,8621 -0,9503
5. Waktu Time 0,0174 - -
6. Lag Produktivitas LagYt 0,7539a - -
R2 = 0,94 F-stat= 64,05 DW=1,93
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%
Selanjutnya koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif, yaitu -0,00018.
Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan harga urea sebesar 10 persen, maka akan
menurunkan penggunaan pupuk tersebut dengan asumsi kemampuan permodalan
84
usahatani relatif terbatas sehingga akan berpengaruh terhadap produktivitas yang
diraih, yaitu menurun sebesar 0,88 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga
pupuk urea ini adalah 0,1829, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga urea 10
persen, dalam jangka pendek akan menurunkan produktivitas padi sebesar 1,83 persen.
Selanjutnya dalam jangka panjang, penurunan produktivitas tersebut akan mencapai
7,43 persen. Selanjutnya hal yang sama pada peubah tenaga kerja, dimana koefisien
dugaannya bertanda negatif, yaitu -0,0355. Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan
upah tenaga kerja sebesar 10 persen, maka akan menurunkan penggunaan tenaga
kerja khususnya tenaga upahan sehingga akan berpengaruh terhadap produktivitas
yang diraih, yaitu menurun sebesar 0,36 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah
upah tenaga kerja ini adalah 0,8621, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga
urea 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan produktivitas padi sebesar
8,62 persen. Pada jangka panjang, penurunan produktivitas tersebut akan mencapai
9,50 persen.
Peubah waktu berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi, dengan besaran
koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,0174. Artinya bahwa jika tidak ada insentif
atau disinsentif lain, maka perkembangan teknologi yang diterapkan oleh petani hanya
mampu meningkatkan produktivitas padi sebesar 0,017 persen. Sementara pada
peubah lag produktivitas padi, besaran koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,7539.
Artinya, bahwa jika produktivitas pada tahun tertentu meningkat 1 persen, maka
produktivitas tahun berikutnya akan meningkat 0,75 persen. Dengan demikian, jika
tidak insentif lain, maka pertumbuhan produktivitas padi akan relatif lambat.
(3) Permintaan Beras Domestik
Terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah bebas yang
dimasukan dalam persamaan permintaan beras sesuai dengan harapan dan teori.
Koefisien dugaan harga beras bertanda negatif, yaitu -0,0145. Ini artinya bahwa jika
terjadi kenaikan harga beras sebesar 10 persen, maka akan menurunkan permintaan
beras sebesar 1,45 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga beras ini
adalah 0,0037, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras 10 persen, dalam
85
jangka pendek akan menurunkan permintaan beras sebesar 0,037 persen. Pada jangka
panjang, penurunan permintaan beras tersebut akan mencapai 0,066 persen (Tabel
4.23).
Koefisien peubah harga jagung bertanda positif yaitu sebesar 0,0073, yang berarti
bahwa setiap terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri sebesar 10 persen maka akan
meningkatkan permintaan beras sebesar 0,073 persen. Peningkatan harga jagung,
menyebabkan konsumsi jagung menurun sehingga mendorong permintaan beras
meningkat. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini adalah 0,0046
yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri 10 persen, dalam
jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan beras sebesar 0,046 persen.
Pada jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 0,072 persen.
Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan
beras. Koefisien dugaan peubah ini adalah sebesar 2,5210, yang berarti bahwa setiap
kenaikan jumlah penduduk 1 persen akan meningkatkan permintaan beras sebesar
2,521 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini adalah
1,0378 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 persen,
maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan beras sebesar
1,0378 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 1,985
persen.
Peubah pendapatan perkapita juga berpengaruh nyata terhadap permintaan
beras. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 0,3041 yang berarti bahwa tiap terjadi
kenaikan pendapatan perkapita 1 persen akan meningkatkan permintaan beras sebesar
0,304 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari pendapatan perkapita ini adalah
0,2991 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan pendapatan 1 persen, maka dalam
jangka pendek akan mendorong peningkatan pendapatan perkapita sebesar 0,299
persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 0,534 persen.
Sementara untuk peubah lag permintaan beras memiliki koefisien dugaan sebesar
0,3206. Artinya bahwa jika permintaan beras pada tahun tertentu meningkat 1 persen,
maka permintaan tahun berikutnya akan meningkat 0,32 persen.
86
Tabel 4.23. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Beras di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -15,1250
2. Harga Beras Pricert -0,0145 -0,0037 -0,0066
3. Harga Jagung Pricect 0,0073 0,0046 0,0072
4. Jumlah Penduduk Popt 2,5210b 1,0378 1,9854
5. Pendapatan/Kap Incomet 0,3041b 0,2991 0,5342
6. Lag Permintaan LagDt 0,3206d - -
R2 = 0,93 F-stat= 51,66 DW=2,10
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b)berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%
(4) Impor Beras
Pada Tabel 4.24 terlihat bahwa koefisien dugaan harga impor beras berpengaruh
nyata terhadap impor beras dan memiliki tanda negatif, yaitu -0,2921. Hal ini berarti
bahwa jika terjadi kenaikan harga impor beras sebesar 1 persen, maka akan
menurunkan impor beras sebesar 0,2921 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah
harga impor beras ini adalah 0,0911 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga
beras 10 persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong penurunan impor
beras sebesar 0,911 persen. Pada jangka panjang, penurunan impor beras akan
mencapai 1,134 persen.
Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,3644 yang berarti bahwa
apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga beras
impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan
meningkat. Penguatan nilai rupiah sebesar 1 persen, maka jumlah impor beras akan
meningkat sebesar 0,3644 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga
jagung ini adalah 0,2134 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen,
maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor beras sebesar 2,134
persen. Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai 2,657
persen.
87
Adapun koefisien peubah permintaan beras sebesar 0,7493 yang berarti bahwa
setiap terjadi kenaikan permintaan beras sebesar 10 persen akan mendorong
pemenuhan kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan impor),
sehingga impor dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 7,493 persen. Nilai
elastisitas jangka pendek dari peubah permintaan beras ini adalah 2,1478 yang berarti
bahwa jika terjadi kenaikan permintaan beras 1 persen, maka dalam jangka pendek
akan mendorong peningkatan impor sebesar 2,1478 persen. Pada jangka panjang,
peningkatan tersebut akan mencapai 2,674 persen. Sementara untuk peubah lag impor
beras memiliki koefisien dugaan sebesar 0,1954. Hal ini berarti bahwa jika impor beras
pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun berikutnya akan
meningkat1,954 persen.
Tabel 4.24. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Beras di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -113,4190
2. Harga Impor Beras Pimport -0,2921 -0,0911 -0,1134
3. Nilai Tukar Exchrt -0,3644 -0,2134 -0,2657
4. Permintaan Beras Demandt 0,7493c 2,1478 2,6743
5. Lag Impor Beras LagMt 0,1954 - -
R2 = 0,59 F-stat= 5,54 DW=2,04
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%
(5) Harga Beras Domestik
Pada Tabel 4.25 terlihat bahwa koefisien dugaan volume impor beras berpengaruh
nyata terhadap harga beras dan memiliki tanda negatif, yaitu -0,2462. Hal ini berarti
bahwa jika terjadi kenaikan impor beras sebesar 10 persen, maka akan menurunkan
harga beras domestik sebesar 2,462 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah
impor beras ini adalah 1,1957 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan impor beras 10
persen, dalam jangka pendek akan mendorong penurunan harga beras sebesar 11,957
persen. Dalam jangka panjang, penurunan harga beras akan mencapai 12,503 persen.
88
Pada peubah nilai tukar, nilai koefisien yang diperoleh sebesar -0,4920. Hal ini
berarti bahwa apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi),
maka harga beras impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga
impor akan meningkat dan selanjutnya harga beras domestik akan turun. Penguatan
nilai tukar sebesar 10 persen, maka harga beras domestik akan menurun sebesar 4,92
persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga beras ini adalah 1,4537,
dimana hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka dalam
jangka pendek akan menurunkan harga beras sebesar 14,537 persen. Dalam jangka
panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 15,201 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan beras sebesar 1,7147 yang berarti bahwa
tiap terjadi kenaikan permintaan beras sebesar 10 persen akan mendorong peningkatan
harga beras sebesar 17,147 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah
permintaan beras ini adalah 1,1066, dimana hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan
permintaan beras 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan harga
sebesar 11,066 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai
12,028 persen.
Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -4,107 yang artinya bahwa
jika terjadi peningkatan suplai beras sebesar 1 persen maka harga beras akan turun
sebesar 4,107 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai beras ini
adalah 1,6803 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai beras 10 persen, dalam
jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 16,803 persen. Dalam jangka panjang,
penurunan harga tersebut akan mencapai 18,98 persen. Sementara untuk peubah lag
harga beras memiliki koefisien dugaan sebesar 0,0563. Artinya bahwa jika harga beras
pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka harga beras tahun berikutnya akan
meningkat sebesar 0,563 persen.
89
Tabel 4.25. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Beras di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -94,7357b
2. Impor Beras Pimport -0,2462b -1,1957 -1,2503
3. Nilai Tukar Exchrt -0,4920d -1,4537 -1,5201
4. Permintaan Beras Demandt 1,7147 1,1066 1,2028
5. Suplai Beras Suplait -4,1070c -1,6803 -1,8980
6. Lag Harga Beras LagPrt 0,0563 - -
R2 = 0,81 F-stat= 22,74 DW=2,04
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%
4.5.2. Pendugaan Model Permintaan dan Penawaran Jagung
(1) Luas Areal Panen Jagung
Hasil empiris pendugaan parameter dari dugaan model respon areal panen
jagung cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh besaran dan arah nilai parameter estimasi
yang sesuai yang harapan. Parameter harga (jagung) saat ini bertanda positif, yang
berarti bahwa harga jagung merupakan faktor pendorong bagi petani dalam
berusahatani jagung. Hal yang sama untuk parameter trend waktu yang merupakan
proksi perkembangan teknologi usahatani jagung bertanda positif, sehingga seiring
dengan perkembangan waktu yang diiringi oleh peningkatan teknologi juga menjadi
faktor pendorong bagi pengembangan usahatani jagung. Sebaliknya parameter harga
input (urea dan tenaga kerja) dan suku bunga bertanda negatif, yang berarti bahwa
peningkatan harga input dan suku bunga menjadi diinsentif bagi pengembangan areal
usahatani jagung. Koefisien determinasi dari persamaan areal panen jagung ini sebesar
0,73, yang berarti bahwa sekitar 80 persen variasi peubah-peubah bebas (independent
variabel) dapat menerangkan variasi peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan
kata lain, 73 persen perilaku luas areal panen dapat diterangkan oleh variasi peubah-
peubah bebas yang digunakan dalam model ini. Secara rinci, hasil estimasi parameter
persamaan perilaku areal panen jagung disajikan pada Tabel 4.26
90
Tabel 4.26. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Jagung di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. intersep - 17,9518a
2. Harga Jagung Pricect 0,3365a 0,2051 0,1646
3. Harga Beras Pricert -0,1390 -0,0396 -0,0318
4. Harga Kedelai Pricest -0,2465d -0,1658 -0,1331
5. Harga urea Priceurt -0,4727a -0,1278 -0,1025
6. Upah T. Kerja Waget -0,1462 -0,0462 -0,0373
7. Suku bunga Inrt -0,0317 -0,0017 -0,0014
8. Waktu Time 0,0177 - -
9. Lag Luas Panen LagAt 0,2463 - -
R2 = 0,73 F-stat=5,24 DW=2,01
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%
Pada Tabel 4.26, terlihat koefisien dugaan harga jagung sebesar 0,3365 yang
berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri sebesar 1 persen akan
meningkatkan areal panen sekitar 0,34 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari
peubah ini adalah 0,2051, artinya jika terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri 10
persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan luas panen 2,05 persen.
Dalam jangka panjang, peningkatan areal panen tersebut akan mencapai 1,65 persen,
karena insentif harga akan semakin mendorong petani untuk meningkatkan usahatani
jagungnya.
Peubah harga beras memiliki koefisien dugaan sebesar -1,390, artinya setiap
kenaikan harga beras dalam negeri 1 persen maka akan menurunkan areal panen
jagung seluas 1,39 persen. Penurunan areal panen jagung disebabkan oleh peningkatan
areal panen padi pada lahan yang biasa ditanami padi dan jagung terutama saat pada
musim ke-2 di lahan sawah. Dengan demikian jagung dalam hal ini merupakan
komoditas pesaing tanaman padi pada lahan sawah di musim ke-2. Nilai elastisitas
jangka pendek dari peubah harga beras ini adalah 0,0396, artinya jika terjadi kenaikan
harga beras dalam negeri 10 persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan
luas panen sebesar 0,396 persen. Dalam jangka panjang, penurunan areal panen
tersebut akan mencapai 0,318 persen.
91
Untuk peubah harga kedelai memiliki koefisien dugaan sebesar -0,2465, yang
berarti bahwa setiap kenaikan harga kedelai dalam negeri sebesar 10 persen maka
akan menurunkan areal panen jagung sebesar 2,465 persen. Penurunan areal panen
jagung disebabkan oleh peningkatan areal panen kedelai pada lahan yang biasa
ditanami jagung dan kedelai terutama saat pada musim ke-2 di lahan sawah. Dengan
demikian jagung dalam hal ini merupakan komoditas pesaing tanaman kedelai pada
lahan sawah di musim ke-2. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga kedelai
ini adalah 0,1658, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga kedelai dalam negeri
10 persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar 1,658
persen. Dalam jangka panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai 1,331
persen.
Harga urea dan upah tenaga kerja memiliki koefisien dugaan masing-masing
sebesar -0,4727 dan -0,1462, yang berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga urea dan
upah tenaga kerja masing-masing sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal
panen masing-masing sekitar 4,73 dan 1,46 persen. Perubahan harga pupuk terutama
pupuk urea akan sangat memengaruhi penggunaannya. Nilai elastisitas jangka pendek
dari peubah harga pupuk ini adalah 0,1278 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan
harga pupuk 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar
1,28 persen. Dalam jangka panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai
1,03 persen. Sementara nilai elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja
adalah 0,0462 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja 10 persen,
dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar 0,46 persen. Dalam jangka
panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai 0,37 persen.
Peubah suku bunga bank memiliki koefisien bertanda negatif yaitu -0,0317. Hasil
ini mengindikasikan bahwa setiap peningkatan bunga bank 1%/tahun, maka areal
panen jagung akan menurun seluas 0,032 persen. Artinya bahwa peningkatan bunga
bank akan mengakibatkan semakin terbatasnya kemampuan petani untuk menambah
modal usahatani, sehingga akan mengurangi kemampuan untuk berusahatani jagung
yang dilakukannya.
92
Selanjutnya, koefisien waktu yang mencerminkan perubahan teknologi
berpengaruh nyata terhadap areal panen jagung dan memiliki koefisien bertanda positif
yaitu 0,0177. Hal ini berarti bahwa setiap tahunnya seiring dengan terdapatnya
perubahan teknologi usahatani sekitar 10 persen akan dapat meningkatkan areal panen
jagung sebesar 0,18 persen. Hal yang sama untuk peubah lag areal panen jagung
terhadap areal panen memiliki koefisien bertanda positif yaitu 0,2463. Hal ini berarti
bahwa jika areal panen tahun tertentu meningkat 10 persen, maka akan meningkatkan
areal panen berikutnya sebesar 2,463 persen.
(2) Produktivitas Jagung
Berdasarkan Tabel 4.27, terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing
peubah bebas yang dimasukan dalam model respon produktivitas jagung sesuai dengan
harapan dan teori. Harga jagung berpengaruh nyata terhadap produktivitas, dan
koefisien dugaannya bertanda positif, yaitu 0,0366. Artinya, jika terjadi kenaikan harga
jagung sebesar 10 persen, maka akan meningkatkan kemampuan petani sehingga
mendorong peningkatan produktivitas usahatani jagung sebesar 3,66 persen. Elastisitas
jangka pendek dari peubah harga jagung adalah 1,121, artinya jika terjadi kenaikan
produktivitas jagung sebesar 1,12 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan
produktivitas jagung dapat mencapai 1,17 persen.
Selanjutnya koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif, yaitu -0,0923.
Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan harga urea sebesar 10 persen, maka akan
menurunkan penggunaan pupuk tersebut sehingga akan berpengaruh terhadap
produktivitas yang diraih yaitu akan menurun sebesar 0,92 persen atau rata-rata sekitar
30 kg/ha. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga pupuk urea ini adalah 1,1467,
yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga urea 10 persen, dalam jangka pendek
akan menurunkan produktivitas jagung sebesar 11,467 persen. Dalam jangka panjang,
penurunan produktivitas tersebut akan mencapai 12,25 persen. Selanjutnya hal yang
sama pada peubah tenaga kerja, dimana koefisien dugaannya bertanda negatif, yaitu -
0,0379. Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja sebesar 10 persen,
maka akan menurunkan penggunaan tenaga kerja khususnya tenaga upahan sehingga
93
akan berpengaruh terhadap produktivitas yang diraih yaitu akan menurun sebesar
0,379 persen atau 11 kg/ha. Elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja
ini adalah 1,1418, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja 10
persen, dalam jangka pendek akan menurunkan produktivitas jagung 11,42 persen.
Dalam jangka panjang, penurunan produktivitas tersebut akan mencapai 12,00 persen.
Tabel 4.27. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Jagung di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -0,1742
2. Harga Jagung Pricect 0,0366 1,1210 1,1710
3. Harga Urea Priceurt -0,0923 -1,1467 -1,2245
4. Upah T. Kerja Waget -0,0379c -1,1418 -1,2001
5. Waktu Time 0,0470 - -
6. Lag Produktivitas LagYt 0,8582a - -
R2 = 0,99 F-stat= 39,50 DW=2,00
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%
Peubah waktu berpengaruh nyata terhadap produktivitas jagung, dengan
besaran koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,0470. Artinya bahwa jika tidak ada
insentif atau disinsentif lain, maka perkembangan teknologi yang diterapkan oleh petani
hanya mampu meningkatkan produktivitas jagung sebesar 0,0470 persen. Sementara
peubah lag produktivitas jagung, dengan besaran koefisien dugaan bertanda positif
yaitu 0,8582. Artinya, bahwa jika areal panen tahun tertentu meningkat 10 persen,
maka produktivitas tahun berikutnya akan meningkat 8,582 persen. Dengan demikian,
jika tidak insentif lain, maka pertumbuhan produktivitas padi akan relatif lambat.
(3) Impor Jagung
Pada Tabel 4.28 terlihat bahwa koefisien dugaan harga impor jagung berpengaruh
nyata terhadap impor jagung dan memiliki tanda negatif, yaitu -0,4094. Hal ini berarti
bahwa jika terjadi kenaikan harga impor jagung sebesar 1 persen, maka akan
menurunkan impor jagung sebesar 0,41 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah
94
harga impor jagung ini adalah 0,0542 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga
jagung 10 persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong penurunan impor
jagung sebesar 0,542 persen. Pada jangka panjang, penurunan impor jagung akan
mencapai 6,75 persen.
Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,7707 yang berarti bahwa
apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga
jagung impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan
meningkat. Penguatan nilai rupiah setiap 10 persen, maka jumlah impor jagung akan
meningkat sebesar persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini
adalah 0,4633, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka
dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor jagung sebesar 4,63 persen.
Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai 5,77 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan jagung sebesar 0,1874 yang berarti bahwa
setiap terjadi kenaikan permintaan jagung sebesar 10 persen akan mendorong
pemenuhan kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan impor),
sehingga impor dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 1,87 persen. Nilai elastisitas
jangka pendek dari peubah permintaan jagung ini adalah 2,4576 yang berarti bahwa
jika terjadi kenaikan permintaan jagung 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
mendorong peningkatan impor sebesar 24,58 persen. Pada jangka panjang,
peningkatan tersebut akan mencapai 26,00 persen. Sementara untuk peubah lag impor
jagung memiliki koefisien dugaan sebesar 0,2862. Hal ini berarti bahwa jika impor
jagung pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun berikutnya
akan meningkat 2,86 persen.
95
Tabel 4.28. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Jagung di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 3,8589
2. Harga Impor Jagung Pimport -0,4094 -0,0542 -0,6754
3. Nilai Tukar Exchrt -0,7707 -0,4633 -0,5768
4. Permintaan Jagung Demandt 0,1874 2,4576 2,6003
5. Lag Impor jagung LagMt 0,2862c - -
R2 = 0,54 F-stat= 4,38 DW=2,08
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%
(4) Permintaan Jagung Domestik
Terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah bebas yang
dimasukan dalam persamaan permintaan jagung sesuai dengan harapan dan teori.
Koefisien dugaan harga jagung bertanda negatif, yaitu -0,1984. Ini artinya bahwa jika
terjadi kenaikan harga jagung sebesar 10 persen, maka akan menurunkan permintaan
jagung sebesar 1,98 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini
adalah 0,0319, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga jagung 10 persen, dalam
jangka pendek maka akan menurunkan permintaan jagung sebesar 0,32 persen. Dalam
jangka panjang, penurunan permintaan jagung tersebut akan mencapai 0,37 persen
(Tabel 4.29).
Peubah harga beras berpengaruh nyata terhadap permintaan jagung, dan
koefisiennya bertanda positif dan signifikan yaitu sebesar 0,0645 yang berarti bahwa
setiap kenaikan harga beras dalam negeri sebesar 10 persen maka akan meningkatkan
permintaan jagung sebesar 0,65 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah
harga beras ini adalah 0,0104 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga beras 10
persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan jagung sebesar
0,10 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan permintaan tersebut akan mencapai
0,19 persen.
Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan
jagung. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 0,8678 yang berarti bahwa tiap terjadi
96
kenaikan jumlah penduduk 10 persen maka akan meningkatkan permintaan jagung
sebesar 8,68 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini
adalah 1,3964 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk 10 persen,
maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan jagung sebesar
13,96 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 16,01
persen.
Untuk peubah jumlah unggas yang ada di lokasi penelitian, memiliki koefisien
bertanda positif 0,1907. Artinya jika jumlah unggas meningkat 10 persen maka
permintaan jagung akan meningkat 1,91 persen. Adapun nilai elastisitas jangka pendek
dari peubah jumlah unggas ras ini adalah 1,0306 yang berarti bahwa jika terjadi
kenaikan jumlah unggas ras sebesar 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
mendorong peningkatan permintaan jagung sebesar 10,31 persen. Dalam jangka
panjang, peningkatan permintaan tersebut akan mencapai 11,81 persen.
Peubah pendapatan perkapita juga berpengaruh nyata terhadap permintaan
jagung. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 0,8778 yang berarti bahwa setiap 1
persen kenaikan pendapatan perkapita (per juta rupiah) maka akan meningkatkan
permintaan jagung sebesar 0,88 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah
pendapatan perkapita ini adalah 1,3364 berarti bahwa jika terjadi kenaikan pendapatan
perkapita 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan permintaan
jagung sebesar 13,36 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan permintaan tersebut
akan mencapai 15,32 persen. Sementara untuk peubah lag permintaan jagung memiliki
koefisien dugaan sebesar 0,1277. Artinya bahwa jika permintaan jagung pada tahun
tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun berikutnya akan meningkat 1,28
persen.
97
Tabel 4.29. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Jagung di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 12,9868
2. Harga Jagung Pricect -0,1984 -0,0319 -0,0366
3. Harga Beras Pricert 0,0645d 0,0104 0,0190
4. Jumlah Penduduk Popt 0,8678 1,3964 1,6008
5. Jumlah Unggas Ras Pindchkt 0,1907c 1,0306 1,1815
6. Pendapatan/Kap Incomet 0,8778a 1,3364 1,5320
7. Lag Permintaan LagDt 0,1277 - -
R2 = 0,96 F-stat= 82,54 DW=2,11
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
(5) Harga Jagung Domestik
Pada persamaan jagung, seperti disajikan pada Tabel 4.30 diperoleh informasi
bahwa seluruh peubah bebas (impor jagung, nilai tukar, permintaan jagung, suplai
jagung dan lag harga) berpengaruh nyata terhadap harga jagung. Koefisien determinasi
dari persamaan areal panen jagung ini sebesar 0,98, yang berarti bahwa sekitar 98
persen variasi peubah-peubah bebas (independent variabel) dapat menerangkan variasi
peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan kata lain, bahwa 98 persen perilaku
harga jagung dapat diterangkan oleh variasi peubah-peubah bebas yang digunakan
dalam model ini.
Terlihat bahwa koefisien peubah volume impor jagung sebesar –0,0835, hal ini
mengindikasikan bahwa apabila volume impor jagung meningkat 10 persen, maka
harga jagung domestik akan menurun sebesar 0,83 persen. Nilai elastisitas jangka
pendek dari peubah volume impor ini adalah 0,1150 yang berarti bahwa jika terjadi
kenaikan impor jagung 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan harga
jagung sebesar 1,15 persen. Dalam jangka panjang, penurunan harga tersebut akan
mencapai 2,17 persen.
Terlihat bahwa koefisien peubah nilai tukar sebesar –0,1777, hal ini
mengindikasikan bahwa apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat
98
(terapresiasi), maka harga jagung impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga
domestik sehingga impor akan meningkat dan selanjutnya harga jagung domestik akan
turun. Penguatan nilai tukar sebesar 10 persen, maka harga jagung domestik akan
menurun sebesar 1,78 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah nilai tukar ini
adalah 0,1384 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, dalam
jangka pendek akan menurunkan harga jagung sebesar 1,38 persen. Dalam jangka
panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 1,94 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan jagung sebesar 0,2902 yang berarti bahwa
tiap terjadi kenaikan permintaan jagung sebesar 10 persen akan mendorong
peningkatan harga jagung sebesar 2,90 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari
peubah permintaan jagung ini adalah 1,9308 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan
permintaan jagung 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan
harga sebesar 19,31 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan
mencapai 29,08 persen.
Tabel 4.30. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Jagung di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -12,0867a
2. Impor Import -0,0835 -0,1150 -0,2170
3. Nilai Tukar Exchrt -0,1777b -0,1384 -0,1939
4. Permintaan Jagung Demandt 0,2902 1,9308 2,9079
5. Suplai Jagung Suplait -0,5306 -1,4345 -1,5416
6. Lag Harga Jagung LagPct 0,5734a - -
R2 = 0,98 F-stat= 307,68 DW=2,13
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -0,5306 yang artinya bahwa
jika terjadi peningkatan suplai jagung sebesar 10 persen maka harga jagung akan turun
sebesar 5,31 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai jagung ini
adalah 1,4345 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai jagung 10 persen, dalam
jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 14,35 persen. Dalam jangka panjang,
99
penurunan harga tersebut akan mencapai 15,42 persen. Sementara untuk peubah lag
harga jagung memiliki koefisien dugaan sebesar 0,5734. Artinya bahwa jika harga
jagung pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka harga jagung tahun berikutnya
akan meningkat 5,73 persen.
4.5.3. Pendugaan Model Permintaan dan Penawaran Kedelai
(1) Luas Areal Panen Kedelai
Secara umum hasil empiris pendugaan parameter dari dugaan model respon areal
panen kedelai cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh besaran dan arah nilai parameter
estimasi yang sesuai yang harapan. Parameter harga (kedelai) saat ini bertanda positif,
yang berarti bahwa harga kedelai merupakan faktor pendorong bagi petani dalam
berusahatani kedelai. Hal yang sama untuk parameter trend waktu yang merupakan
proksi perkembangan teknologi usahatani kedelai bertanda positif, sehingga seiring
dengan perkembangan waktu yang diiringi oleh peningkatan teknologi juga menjadi
faktor pendorong bagi pengembangan usahatani kedelai. Sebaliknya parameter harga
input (urea dan tenaga kerja) dan suku bunga bertanda negatif, yang artinya
peningkatan harga input dan suku bunga menjadi diinsentif bagi pengembangan areal
usahatani kedelai. Koefisien determinasi dari persamaan areal panen kedelai ini sebesar
0,93 yang berarti bahwa sekitar 93 persen variasi peubah-peubah bebas (independent
variabel) dapat menerangkan variasi peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan
kata lain bahwa 93 persen perilaku luas areal panen dapat diterangkan oleh variasi
peubah-peubah bebas yang digunakan dalam model ini. Secara rinci, hasil estimasi
parameter persamaan perilaku areal panen kedelaipadi disajikan pada Tabel 4.31.
100
Tabel 4.31. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Kedelai di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 7,3603b
2. Harga Kedelai Pricest 0,2315 0,0156 0,1250
3. Harga Jagung Pricect -0,2126 -0,0606 -0,0886
4. Harga Urea Priceurt -0,3331 -0,0701 -0,0923
5. Upah T. Kerja Waget -0,1831 -0,0581 -0,0766
6. Suku bunga Inrt -0,0894 -0,0488 -0,0608
7. Waktu Time 0,0611 0,0259 0,0208
8. Lag Luas Panen LagAt 0,5060b - -
R2 = 0,93 F-stat=28,56 DW=2,06
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
Pada Tabel 4.31 terlihat bahwa koefisien dugaan harga kedelai sebesar 0,2315
yang berarti bahwa setiap kenaikan harga kedelai dalam negeri sebesar 10 persen
maka akan meningkatkan areal panen sekitar 2,315 persen. Nilai elastisitas jangka
pendek dari peubah ini adalah 0,0125, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga
kedelai 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan luas panen
sebesar 0,125 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan areal panen tersebut akan
mencapai 1,25 persen, karena insentif harga akan mendorong petani untuk
meningkatkan usahatani kedelai.
Koefisien dugaan peubah harga jagung sebesar -0,2126 yang berarti bahwa
setiap kenaikan harga jagung sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal panen
kedelai sekitar 2,126 persen. Dengan demikian jagung dalam hal ini merupakan
komoditas pesaing tanaman kedelai pada lahan sawah khususnya di musim ke-2. Nilai
elastisitas jangka pendek dari peubah harga jagung ini adalah 0,0606, yang berarti
bahwa jika terjadi kenaikan harga jagung dalam negeri 10 persen, dalam jangka
pendek akan mendorong peningkatan luas panen sebesar 0,61 persen. Dalam jangka
panjang , peningkatan areal panen tersebut akan mencapai 0,89 persen.
Harga urea dan upah tenaga kerja memiliki koefisien dugaan masing-masing
sebesar -0,3331 dan -0,1831 yang berarti bahwa setiap kenaikan harga urea dan upah
tenaga kerja masing-masing 10 persen maka akan menurunkan areal panen kedelai
101
masing-masing sekitar 3,33 dan 1,83 persen. Perubahan harga pupuk terutama pupuk
urea akan sangat memengaruhi penggunaannya. Nilai elastisitas jangka pendek dari
peubah harga pupuk ini adalah 0,0701 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga
pupuk 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen kedelai sebesar
0,70 persen. Dalam jangka panjang, penurunan areal panen tersebut akan mencapai
0,92 persen. Sementara nilai elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja
adalah 0,0581 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja 10 persen,
dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen sebesar 0,58 persen. Dalam jangka
panjang , penurunan areal panen tersebut akan mencapai 0,77 persen.
Peubah suku bunga bank berpengaruh nyata terhadap areal panen kedelai, dan
memiliki koefisien bertanda negatif yaitu -0,0894. Hasil ini mengindikasikan bahwa
setiap peningkatan bunga bank 1%/tahun, maka areal panen kedelai akan menurun
seluas 0,089 persen. Artinya bahwa peningkatan bunga bank akan mengakibatkan
semakin terbatasnya kemampuan petani untuk mengakses modal kredit usahatani,
sehingga akan memengaruhi kemampuan untuk berusahatani kedelai yang
dilakukannya.
Selanjutnya, koefisien waktu yang mencerminkan perubahan teknologi
berpengaruh nyata terhadap areal panen kedelai dan memiliki koefisien yang bertanda
positif, yaitu 0,0611. Hal ini berarti bahwa peningkatan teknologi sekitar 10 persen akan
dapat meningkatkan areal panen padi 0,61 persen. Hal yang sama untuk koefisien lag
areal panen kedelai padi juga bertanda positif, yaitu 0,5060. Artinya, jika areal panen
tahun tertentu meningkat 10 persen, maka akan meningkatkan areal panen berikutnya
seluas 5,06 persen.
(2) Produktivitas Kedelai
Koefisien dugaan harga kedelai bertanda positif, yaitu 0,0257. Ini artinya bahwa
jika terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 10 persen, maka akan mendorong
peningkatan produktivitas usahatani kedelai sebesar 2,57 persen. Elastisitas jangka
pendek dari peubah harga kedelai ini adalah 0,862 yang berarti bahwa jika terjadi
kenaikan harga kedelai 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong
102
peningkatan produktivitas sebesar 8,62 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan
produktivitas kedelai tersebut akan mencapai 9,58 persen (Tabel 4.32).
Tabel 4.32. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Kedelai di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 0,2622c
2. Harga Kedelai Pricest 0,0257 0,8620 0,9576
3. Harga Urea Priceurt -0,0561 -0,7846 -0,8625
4. Upah T. Kerja Waget -0,0182 -0,6807 -0,8012
5. Waktu Time 0,0704c 0,3516 0,4800
6. Lag Produktivitas LagYt 0,2078 0,0140 0,0989
R2 = 0,93 F-stat= 46,40 DW=1,96
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%
Selanjutnya koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif, yaitu -0,0561.
Hal ini berarti yaitu jika terdapat kenaikan harga urea sebesar 10 persen, maka akan
menurunkan penggunaan pupuk tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap
produktivitas yang diraih yaitu akan menurun sebesar 0,561 persen. Elastisitas jangka
pendek dari peubah harga pupuk urea ini adalah 0,7846 yang berarti bahwa jika terjadi
kenaikan harga urea 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong
peningkatan produktivitas kedelai sebesar 7,85 persen. Dalam jangka panjang,
peningkatan produktivitas tersebut akan mencapai 8,63 persen. Selanjutnya hal yang
sama pada peubah tenaga kerja, koefisien dugaannya bertanda negatif yaitu -0,0182.
Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja sebesar 10 persen, maka
akan menurunkan penggunaan tenaga kerja khususnya tenaga upahan sehingga akan
berpengaruh terhadap produktivitas yang diraih, yaitu akan menurun sebesar 0,18
persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja ini adalah 0,6807 yang
berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga urea 10 persen, maka dalam jangka pendek
akan mendorong peningkatan produktivitas kedelai sebesar 6,81 persen. Dalam jangka
panjang, peningkatan produktivitas tersebut akan mencapai 8,01 persen.
103
Peubah waktu berpengaruh nyata terhadap produktivitas kedelai, dengan
besaran koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,0704. Artinya bahwa jika tidak ada
insentif atau disinsentif lain, maka perkembangan teknologi yang diterapkan oleh petani
hanya mampu meningkatkan produktivitas kedelai sebesar 0,0704 persen. Sementara
peubah lag produktivitas kedelai juga berpengaruh nyata terhadap produktivitas yang
dihasilkannya, dengan koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,2078. Artinya, jika
produktivitas tahun tertentu meningkat 10 persen, maka produktivitas tahun berikutnya
meningkat 02,08 persen.
(4) Permintaan Kedelai Domestik
Pada Tabel 4.33 terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah
bebas yang dimasukan dalam persamaan permintaan kedelai sesuai dengan harapan
dan teori. Koefisien dugaan harga kedelai bertanda negatif, yaitu -0,7826. Ini artinya
bahwa jika terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 10 persen, maka akan menurunkan
permintaan kedelai sebesar 7,83 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga
kedelai ini adalah 0,0588 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga kedelai 10
persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan permintaan kedelai sebesar 0588
persen. Sementara dalam jangka panjang, penurunan permintaan kedelai tersebut akan
mencapai 0,67 persen.
Tabel 4.33. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Kedelai di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -37,8212
2. Harga Kedelai Pricest -0,7826b -0,0588 -0,0675
3. Jumlah Penduduk Popt 4,960 0,7981 0,9150
4. Pendapatan/Kap Incomet 0,2632 0,4007 0,4593
5. Lag Permintaan LagDt 0,0538 - -
R2 = 0,68 F-stat= 5,66 DW=2,08
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
104
Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan
kedelai. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 4,966 yang berarti bahwa setiap kenaikan
jumlah penduduk 1 persen maka akan meningkatkan permintaan kedelai sebesar 4,96
persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini adalah 0,7981
berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk 10 persen, dalam jangka pendek
mendorong peningkatan permintaan kedelai 7,98 persen, dan jangka panjang
peningkatannya 9,15 persen.
Untuk peubah pendapatan perkapita, koefisien dugaan yang diperoleh sebesar
0,2632 yang berarti bahwa setiap terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen
maka akan meningkatkan permintaan kedelai sebesar 2,63. Nilai elastisitas jangka
pendek dari peubah pendapatan perkapita ini adalah 0,4007 yang berarti bahwa jika
terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
mendorong peningkatan pendapatan perkapita sebesar 4,01 persen. Sementara dalam
jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 4,59 persen. Selanjutnya untuk
peubah lag permintaan kedelai memiliki koefisien dugaan sebesar 0,0538. Artinya
bahwa jika permintaan kedelai pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka
permintaan tahun berikutnya akan meningkat 0,54 persen.
(4) Impor
Pada Tabel 4.34 bahwa koefisien dugaan harga impor jagung berpengaruh nyata
terhadap impor kedelai dan memiliki tanda negatif, yaitu -0,3150. Hal ini berarti bahwa
jika terjadi kenaikan harga impor kedelai sebesar 10 persen, maka akan menurunkan
impor kedelai sebesar 3,15 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga impor
kedelai ini adalah 0,9556 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga kedelai 10
persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong penurunan impor kedelai
sebesar 9,56 persen. Pada jangka panjang, penurunan impor kedelai akan mencapai
11,90 persen.
Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,4795 yang berarti bahwa
apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga
kedelai impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan
105
meningkat. Penguatan nilai rupiah sekitar 10 persen, maka jumlah impor kedelai akan
meningkat sebesar 4,79 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga
kedelai ini adalah 0,6823 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen,
maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor kedelai sebesar 6,82
persen. Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai 8,89 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan kedelai sebesar 1,7046 yang berarti bahwa
setiap terjadi kenaikan permintaan kedelai sebesar 10 persen akan mendorong
pemenuhan kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan impor),
sehingga impor dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 17,05 persen. Nilai
elastisitas jangka pendek dari peubah permintaan kedelai ini adalah 1,2959 yang berarti
bahwa jika terjadi kenaikan permintaan kedelai 10 persen, maka dalam jangka pendek
akan mendorong peningkatan impor sebesar 12,96 persen. Pada jangka panjang,
peningkatan tersebut akan mencapai 14,10 persen. Sementara untuk peubah lag impor
kedelai memiliki koefisien dugaan sebesar 0,0928. Hal ini berarti bahwa jika impor
kedelai pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun berikutnya
akan meningkat 0,93 persen.
Tabel 4.34. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Kedelai di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -18,0812a
2. Harga Impor kedelai Pimport -0,3150 -0,9556 -1,1898
3. Nilai Tukar Exchrt -0,4795a -0,6823 -0,8885
4. Permintaan Kedelai Demandt 1,7046a 1,2959 1,4104
5. Lag Impor Kedelai LagMt 0,0928 - -
R2 = 0,83 F-stat= 26,13 DW=1,94
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%
106
(5) Harga Kedelai Domestik
Seperti disajikan pada Tabel 4.35 terlihat bahwa koefisien peubah volume impor
kedelai sebesar –0,1958, hal ini mengindikasikan bahwa apabila volume impor kedelai
meningkat 10 persen, maka harga kedelai domestik akan menurun sebesar 1,96
persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah volume impor ini adalah 0,2550
yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan impor kedelai 10 persen, dalam jangka pendek
akan menurunkan harga kedelai sebesar 2,55 persen. Dalam jangka panjang,
penurunan harga tersebut akan mencapai 8,98 persen.
Selanjutnya bahwa peubah nilai tukar berpengaruh nyata terhadap harga kedelai
domestik. Koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,2515 yang berarti bahwa apabila
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga kedelai (dari
luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan meningkat dan
selanjutnya harga kedelai domestik akan turun. Penguatan nilai tukar sebesar 10
persen, maka akan menyebabkan harga kedelai domestik akan menurun sebesar 2,51
persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah nilai ini adalah 0,5930 berarti bahwa
jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
menurunkan harga kedelai sebesar 5,93 persen. Sementara dalam jangka panjang,
penurunan harga tersebut akan mencapai 7,45 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan kedelai sebesar 0,1240 yang berarti bahwa
setiap terjadi kenaikan permintaan kedelai sebesar 10 persen maka akan mendorong
peningkatan harga kedelai meningkat menjadi 1,24 persen. Nilai elastisitas jangka
pendek dari peubah permintaan kedelai ini adalah 1,1066, artinya jika terjadi kenaikan
permintaan kedelai 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong
peningkatan harga sebesar 11,07 persen. Sementara dalam jangka panjang,
peningkatan tersebut akan mencapai 14,11 persen.
107
Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -0,2786 yang artinya bahwa
jika terjadi peningkatan suplai kedelai sebesar 10 persen maka harga kedelai akan
turun sebesar 2,79 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai kedelai ini
adalah 1,213 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai kedelai 10 persen, maka
dalam jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 12,13 persen. Dalam jangka
panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 17,54 persen. Selanjutnya untuk
peubah lag harga kedelai memiliki koefisien dugaan sebesar 0,8653. Artinya bahwa jika
harga kedelai pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka harga kedelai tahun
berikutnya akan meningkat 8,65 persen.
Tabel 4.35. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Kedelai di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -0,6247
2. Impor Import -0,1958 -0,2550 -0,8980
3. Nilai Tukar Exchrt -0,2515b -0,5930 -0,7448
4. Permintaan Kedelai Demandt 0,1240 1,1066 1,4104
5. Suplai Kedelai Suplait -0,2786 -1,2130 -1,7540
6. Lag Harga Kedelai LagMt 0,8653 a - -
R2 = 0,97 F-stat= 245,22 DW=2,03
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
108
4.5.4. Pendugaan Model Permintaan dan Penawaran Tebu
(1) Luas Areal Panen Tebu
Secara umum hasil empiris pendugaan parameter dari dugaan model respon areal
panen Tebu cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh besaran dan arah nilai parameter
estimasi yang sesuai yang harapan. Parameter harga (Tebu) saat ini bertanda positif,
yang berarti bahwa harga Tebu merupakan faktor pendorong bagi petani dalam
berusahatani Tebu. Hal yang sama untuk parameter trend waktu yang merupakan
proksi perkembangan teknologi usahatani Tebu bertanda positif, sehingga seiring
dengan perkembangan waktu yang diiringi oleh peningkatan teknologi juga menjadi
faktor pendorong bagi pengembangan usahatani Tebu. Sebaliknya parameter harga
input (urea dan tenaga kerja) dan suku bunga bertanda negatif, yang artinya
peningkatan harga input dan suku bunga menjadi diinsentif bagi pengembangan areal
usahatani Tebu. Koefisien determinasi dari persamaan areal panen Tebu ini sebesar
0,89, yang berarti bahwa sekitar 89 persen variasi peubah-peubah bebas (independent
variabel) dapat menerangkan variasi peubah tak bebas (dependent variabel). Dengan
kata lain bahwa 89 persen perilaku luas areal panen dapat diterangkan oleh variasi
peubah-peubah bebas yang digunakan dalam model ini. Secara rinci, hasil estimasi
parameter persamaan perilaku areal panen Tebupadi disajikan pada Tabel 4.36.
Tabel 4.36. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Areal Panen Tebu di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 5,8057a
2. Harga Gula Pricesgt 0,1287 0,0146 0,0157
3. Harga Beras Pricert -0,0275 -0,0167 -0,0185
4. Harga Urea Priceurt -0,3144c -0,0850 -0,0882
5. Upah T. Kerja Waget -0,0543 -0,0172 -0,0138
6. Suku bunga Inrt -0,0457 -0,0025 -0,0020
7. Waktu Time 0,0853 0,0036 0,0029
8. Lag Luas Panen LagAt 0,5095a - -
R2 = 0,89 F-stat=18,32 DW=2,14
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
109
Pada Tabel 4.36 terlihat bahwa koefisien dugaan harga Gula sebesar 0,1287
yang berarti bahwa setiap kenaikan harga gula dalam negeri sebesar 10 persen maka
akan meningkatkan areal panen sekitar 1,29 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari
peubah ini adalah 0,046 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga gula 10 persen,
dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan luas panen sebesar 0,15 persen.
Dalam jangka panjang, peningkatan areal panen tersebut akan mencapai 0,16 persen,
karena insentif harga akan mendorong petani untuk meningkatkan usahatani Tebu.
Koefisien dugaan peubah harga gula sebesar -0,0275 yang berarti bahwa setiap
kenaikan harga gula sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal panen Tebu
sekitar 0,27 persen. Dengan demikian gula/padi dalam hal ini merupakan komoditas
pesaing tanaman Tebu pada lahan sawah khususnya. Nilai elastisitas jangka pendek
dari peubah harga gula ini adalah 0,0167, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan
harga gula dalam negeri 10 persen, dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan
luas panen sebesar 0,17 persen. Dalam jangka panjang , peningkatan areal panen
tersebut akan mencapai 0,19 persen.
Harga urea dan upah tenaga kerja memiliki koefisien dugaan masing-masing
sebesar -0,3144 dan -0,0543 yang berarti bahwa setiap kenaikan harga urea dan upah
tenaga kerja sebesar 10 persen maka akan menurunkan areal panen Tebu masing-
masing sekitar 3,14 dan 0,54 persen. Dalam analisis, diketahui bahwa perubahan harga
pupuk terutama pupuk urea akan sangat memengaruhi penggunaannya. Nilai elastisitas
jangka pendek dari peubah harga pupuk ini adalah 0,085 yang berarti bahwa jika
terjadi kenaikan harga pupuk 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan luas
panen Tebu sebesar 0,85 persen. Dalam jangka panjang , penurunan areal panen
tersebut akan mencapai 0,88 persen. Sementara nilai elastisitas jangka pendek dari
peubah upah tenaga kerja adalah 0,0172 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan
upah tenaga kerja 10 persen, dalam jangka pendek akan menurunkan luas panen
sebesar 0,17 persen. Dalam jangka panjang , penurunan areal panen tersebut akan
mencapai 0,14 persen.
Peubah suku bunga bank berpengaruh nyata terhadap areal panen Tebu, dan
memiliki koefisien bertanda negatif yaitu -0,0457. Hasil ini mengindikasikan bahwa
110
setiap peningkatan bunga bank 1%/tahun, maka areal panen Tebu akan menurun
seluas 0,05 persen. Artinya bahwa peningkatan bunga bank akan mengakibatkan
semakin terbatasnya kemampuan petani untuk mengakses modal kredit usahatani,
sehingga akan memengaruhi kemampuan untuk berusahatani Tebu yang dilakukannya.
Selanjutnya, koefisien waktu yang mencerminkan perubahan teknologi
berpengaruh nyata terhadap areal panen Tebu dan memiliki koefisien yang bertanda
positif, yaitu 0,0853. Hal ini berarti bahwa setiap tahunnya dan dengan teknologi
usahatani yang ada akan dapat meningkatkan areal panen padi 0,09 persen. Hal yang
sama untuk koefisien lag areal panen Tebu padi juga bertanda positif, yaitu 0,5095.
Artinya, jika areal panen tahun tertentu meningkat 10 persen, maka akan
meningkatkan areal panen berikutnya seluas 5,09 persen.
(2) Produktivitas Tebu
Koefisien dugaan harga Gula bertanda positif, yaitu 0,1118. Ini artinya bahwa
jika terjadi kenaikan harga Gula sebesar 10 persen, maka akan mendorong peningkatan
produktivitas usahatani Gula sebesar 1,118 persen. Elastisitas jangka pendek dari
peubah harga Gula ini adalah 0,8870 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga
Gula 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan produktivitas
sebesar 8,87 persen. Dalam jangka panjang, peningkatan produktivitas Gula tersebut
akan mencapai9,90 persen (Tabel 4.37).
Tabel 4.37. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Tebu di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 0,23911b
2. Harga Gula Pricesgt 0,1118 0,8870 0,9901
3. Harga Urea Priceurt -0,2780 -0,6846 -0,8823
4. Upah T. Kerja Waget -0,0003 -0,3429 -0,5893
5. Waktu Time 0,0218 0,0894 0,1831
6. Lag Produktivitas LagYt 0,5511a - -
R2 = 0,79 F-stat= 12,19 DW=1,98
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%
111
Selanjutnya koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif, yaitu -02780.
Hal ini berarti yaitu jika terdapat kenaikan harga urea sebesar 10 persen, maka akan
menurunkan penggunaan pupuk tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap
produktivitas yang diraih yaitu akan menurun sebesar 0,28 persen. Elastisitas jangka
pendek dari peubah harga pupuk urea ini adalah 0,6848 yang berarti bahwa jika terjadi
kenaikan harga urea 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong
peningkatan produktivitas Tebu sebesar 6,85 persen. Dalam jangka panjang,
peningkatan produktivitas tersebut akan mencapai 8,82 persen. Selanjutnya hal yang
sama pada peubah tenaga kerja, koefisien dugaannya bertanda negatif yaitu -0,0003.
Hal ini berarti yaitu jika terjadi kenaikan upah tenaga kerja sebesar 10 persen, maka
akan menurunkan penggunaan tenaga kerja khususnya tenaga upahan sehingga akan
berpengaruh terhadap produktivitas yang diraih, yaitu akan menurun sebesar 0,003
persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah upah tenaga kerja ini adalah 0,3429 yang
berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga urea 10 persen, maka dalam jangka pendek
akan mendorong peningkatan produktivitas Tebu sebesar 3,43 persen. Dalam jangka
panjang, peningkatan produktivitas tersebut akan mencapai 5,89 persen.
Peubah waktu berpengaruh nyata terhadap produktivitas Tebu, dengan besaran
koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,0218. Artinya, bahwa jika tidak ada insentif
atau disinsentif lain, maka perkembangan teknologi yang diterapkan oleh petani hanya
mampu meningkatkan produktivitas Tebu sebesar 0,022 persen. Sementara peubah lag
produktivitas Tebu juga berpengaruh nyata terhadap produktivitas yang dihasilkannya,
dengan koefisien dugaan bertanda positif yaitu 0,5511. Artinya, jika produktivitas tahun
tertentu meningkat 10 persen, maka produktivitas tahun berikutnya meningkat 5,51
persen.
(3) Permintaan Gula Domestik
Pada Tabel 4.38 terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah
bebas yang dimasukan dalam persamaan permintaan Gula sesuai dengan harapan dan
teori. Koefisien dugaan harga Gula bertanda negatif, yaitu -0,1752. Ini artinya bahwa
jika terjadi kenaikan harga Gula sebesar 10 persen, maka akan menurunkan permintaan
112
Gula sebesar 1,17 ton/tahun. Elastisitas jangka pendek dari peubah harga Tebu ini
adalah 5,84 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga Gula 10 persen, maka
dalam jangka pendek akan menurunkan permintaan Gula sebesar 5,84 persen.
Sementara dalam jangka panjang, penurunan permintaan Tebu tersebut akan mencapai
9,63 persen.
Tabel 4.38. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Tebu di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 15,5173
2. Harga Gula Pricesgt -0,1752 -0,5843 -0,9625
3. Jumlah Penduduk Popt 1,3670 0,4393 0,5036
4. Pendapatan/Kap Incomet 1,0306b 0,5690 0,7986
5. Lag Permintaan LagDt 0,0532 0,1460 0,4680
R2 = 0,70 F-stat= 9,84 DW=1,95
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan
Tebu. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 1,367 yang berarti bahwa setiap kenaikan
jumlah penduduk sebesar 1 persen mak akan meningkatkan permintaan gula sebesar
1,37 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini adalah
0,4393, berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk 10 persen, dalam jangka
pendek mendorong peningkatan permintaan gula 4,39 persen, dan jangka panjang
peningkatannya 5,04 persen.
Untuk peubah pendapatan perkapita, koefisien dugaan yang diperoleh sebesar
1,0306 yang berarti bahwa setiap terjadi kenaikan 10 persen pendapatan perkapita
maka akan meningkatkan permintaan gula sebesar 10,31 persen. Nilai elastisitas jangka
pendek dari peubah pendapatan perkapita ini adalah 0,5690 yang berarti bahwa jika
terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
mendorong peningkatan pendapatan perkapita sebesar 5,69 persen. Sementara dalam
jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 7,99 Selanjutnya untuk peubah
113
lag permintaan gula memiliki koefisien dugaan sebesar 0,0532. Artinya bahwa jika
permintaan gula pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka permintaan tahun
berikutnya akan meningkat 0,53 persen.
(4) Impor
Pada Tabel 4.39 terlihat bahwa koefisien dugaan harga impor gula berpengaruh
nyata terhadap impor gula dan memiliki tanda negatif, yaitu -3,1303. Hal ini berarti
bahwa jika terjadi kenaikan harga impor gula sebesar 1 persen, maka akan
menurunkan impor gula sebesar 3,13 persen. Elastisitas jangka pendek dari peubah
harga impor gula ini adalah 0,126 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga gula
10 persen, dimana dalam jangka pendek akan mendorong penurunan impor gula
sebesar 1,26 persen. Pada jangka panjang, penurunan impor gula akan mencapai 8,12
persen.
Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,8771 yang berarti bahwa
apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga gula
impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan
meningkat. Penguatan nilai rupiah setiap 10 persen, maka jumlah impor gula akan
meningkat sebesar 8,77 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah harga gula
ini adalah 0,5277 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka
dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor gula sebesar 5,28 persen.
Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai 6,56 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan gula sebesar 3,2945 yang berarti bahwa
setiap terjadi kenaikan permintaan gula sebesar 1 pesen akan mendorong pemenuhan
kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan impor), sehingga impor
dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 3,29 persen. Nilai elastisitas jangka pendek
dari peubah permintaan gula ini adalah 0,1639 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan
permintaan gula 10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan
impor sebesar 1,64 persen. Pada jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai
4,49 persen. Sementara untuk peubah lag impor gula memiliki koefisien dugaan
114
sebesar 0,6771. Hal ini berarti bahwa jika impor gula pada tahun tertentu meningkat 10
persen, maka permintaan gula tahun berikutnya akan meningkat 6,77 persen.
Tabel 4.39. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Gula di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 45,0158
2. Harga Impor Gula Pimport -3,1303 -0,1260 -0,8118
3. Nilai Tukar Exchrt -0,8771 -0,5277 -0,6564
4. Permintaan Gula Demandt 3,2945 0,1639 0,4492
5. Lag Impor Gula LagMt 0,6771a - -
R2 = 0,73 F-stat= 14,51 DW=2,11
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%
(5) Harga Gula Domestik
Seperti disajikan pada Tabel 4.40 bahwa terlihat bahwa koefisien peubah volume
impor gula sebesar –0,0012, hal ini mengindikasikan bahwa apabila volume impor gula
meningkat 10 persen, maka harga gula domestik akan menurun sebesar 0,012 persen.
Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah volume impor ini adalah 0,0599 yang berarti
bahwa jika terjadi kenaikan impor gula 10 persen, dalam jangka pendek akan
menurunkan harga jagung sebesar 0,60 persen. Dalam jangka panjang, penurunan
harga tersebut akan mencapai 0,84 persen.
Selanjutnya bahwa peubah nilai tukar berpengaruh nyata terhadap harga gula
domestik. Koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,0215 yang berarti bahwa apabila
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga gula impor
(dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan meningkat dan
selanjutnya harga gula domestik akan turun. Penguatan nilai tukar sebesar 10 persen,
maka akan menyebabkan harga gula domestik akan menurun sebesar 0,21 persen.
Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah nilai ini adalah 0,0167 yang berarti bahwa
jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
115
menurunkan harga gula sebesar 0,17 persen. Sementara dalam jangka panjang,
penurunan harga tersebut akan mencapai 0,23 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan Tebu sebesar 0,0215 yang berarti bahwa
setiap terjadi kenaikan permintaan gula sebesar 10 persen maka akan mendorong
peningkatan harga gula meningkat 0,21 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari
peubah permintaan gebu ini adalah 1,059 artinya jika terjadi kenaikan permintaan gula
10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan harga gula
sebesar 10,59 persen. Sementara dalam jangka panjang, peningkatan tersebut akan
mencapai 14,84 persen.
Tabel 4.40. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Gula di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 5,0657
2. Impor Import -0,0012 -0,0599 -0,0839
3. Nilai Tukar Exchrt -0,0215 -0,0167 -0,0234
4. Permintaan Gula Demandt 0,2756 1,0590 1,4837
5. Suplai Gula Suplait -0,6344b -1,0773 -1,2910
6. Lag Harga Gula LagMt 1,0118a - -
R2 = 0,98 F-stat= 282,28 DW=2,03
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -0,6344 yang artinya bahwa
jika terjadi peningkatan suplai gula sebesar 10 persen maka harga gula akan turun
sebesar 6,34 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai gula adalah
1,0773 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai gula 10 persen, maka dalam
jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 10,77 persen. Dalam jangka panjang,
penurunan harga tersebut akan mencapai 12,91 persen. Selanjutnya untuk peubah lag
harga gula memiliki koefisien dugaan sebesar 1,0118. Artinya bahwa jika harga gula
pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka harga gula tahun berikutnya akan
meningkat 10,12 persen.
116
4.5.5. Pendugaan Model Permintaan dan Penawaran Daging Sapi
(1) Permintaan Daging Sapi Domestik
Pada Tabel 4.41 terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah
bebas yang dimasukan dalam persamaan permintaan Daging Sapi sesuai dengan
harapan dan teori. Koefisien dugaan harga Daging Sapi bertanda negatif, yaitu -0,1715.
Ini artinya bahwa jika terjadi kenaikan harga Daging Sapi sebesar 10 persen, maka
akan menurunkan permintaan Daging Sapi sebesar 1,71 persen. Elastisitas jangka
pendek dari peubah harga Daging Sapi ini adalah 0,1409 yang berarti bahwa jika terjadi
kenaikan harga Daging Sapi 10 persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan
permintaan Daging Sapi sebesar 1,41 persen. Sementara dalam jangka panjang,
penurunan permintaan Daging Sapi tersebut akan mencapai 1,63 persen.
Koefisien peubah harga daging ayam bertanda positif, yaitu sebesar 0,0085 yang
berarti bahwa tiap terjadi kenaikan harga daing ayam dalam negeri sebesar 10 persen
maka akan meningkatkan permintaan Daging Sapi sebesar 0,085 persen. Nilai
elastisitas jangka pendek dari peubah harga daging ayam ini adalah 1,3019 yang berarti
bahwa jika terjadi kenaikan harga daging ayam 1 persen, maka dalam jangka pendek
akan mendorong peningkatan permintaan Daging Sapi sebesar 1,30 persen. Sementara
dalam jangka panjang, peningkatannya akan mencapai 1,85 persen.
Tabel 4.41. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Permintaan Daging Sapi di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -23,9614c
2. Harga Daging Sapi Prdcowt -0,1715 -0,1409 -0,1631
3. Harga Daging Ayam Prdchkt 0,0085 1,3019 1,8470
4. Jumlah Penduduk Popt 2,4824c 1,5137 1,7146
5. Pendapatan/Kap Incomet 0,3781 1,1813 1,7502
6. Lag Permintaan LagDt 0,1758 - -
R2 = 0,92 F-stat= 45,30 DW=1,99
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
117
Selanjutnya peubah jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap permintaan
Daging Sapi. Koefisien dugaan peubah ini sebesar 2,4824 yang berarti bahwa setiap
kenaikan jumlah penduduk 1 persen maka akan meningkatkan permintaan Daging Sapi
sebesar 2,48 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah jumlah penduduk ini
adalah 1,5137 berarti bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk 1 persen, dalam
jangka pendek mendorong peningkatan permintaan Daging Sapi 1,51 persen, dan
jangka panjang peningkatannya 1,75 persen.
Untuk peubah pendapatan perkapita, koefisien dugaan yang diperoleh sebesar
0,3781 yang berarti bahwa setiap terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen
maka akan meningkatkan permintaan Daging Sapi sebesar 3,78 persen. Nilai elastisitas
jangka pendek dari peubah pendapatan perkapita ini adalah 1,1813 yang berarti bahwa
jika terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
mendorong peningkatan pendapatan perkapita sebesar 11,81 persen. Sementara dalam
jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 17,50 persen. Selanjutnya untuk
peubah lag permintaan Daging Sapi memiliki koefisien dugaan sebesar 0,1758. Artinya
bahwa jika permintaan Daging Sapi pada tahun tertentu meningkat 10 persen, maka
permintaan tahun berikutnya akan meningkat 1,76 persen.
(2) Impor
Pada Tabel 4.42 terlihat bahwa koefisien dugaan harga impor daging sapi
berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi dan memiliki tanda negatif, yaitu -
0,6768. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga impor daging sapi sebesar 10
persen, maka akan menurunkan impor daging sapi sebesar 6,77 persen. Elastisitas
jangka pendek dari peubah harga impor daging sapi ini adalah 0,1305 yang berarti
bahwa jika terjadi kenaikan harga daging sapi 10 persen, dimana dalam jangka pendek
akan mendorong penurunan impor daging sapi sebesar 1,31 persen. Pada jangka
panjang, penurunan impor daging sapi akan mencapai 1,50 persen.
Selanjutnya koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,1093 yang berarti bahwa
apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga
daging sapi impor (dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor
118
akan meningkat. Penguatan nilai rupiah sekitar 10 persen, maka jumlah impor daging
sapi akan meningkat sebesar 1,09 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah
harga daging sapi ini adalah 0,5011 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar
10 persen, maka dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan impor daging sapi
sebesar 5,01 persen. Pada jangka panjang, peningkatan impor tersebut akan mencapai
5,74 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan daging sapi sebesar 3,1306 yang berarti
bahwa setiap terjadi kenaikan permintaan daging sapi sebesar 1 persen akan
mendorong pemenuhan kebutuhan (baik yang bersumber dari produksi sendiri dan
impor), sehingga impor dalam hal ini terdorong meningkat sebesar 3,13 persen. Nilai
elastisitas jangka pendek dari peubah permintaan daging sapi ini adalah 0,5273 berarti
bahwa jika terjadi kenaikan permintaan daging sapi 1 persen, maka dalam jangka
pendek akan mendorong peningkatan impor sebesar 0,53 persen. Pada jangka panjang,
peningkatan tersebut akan mencapai 0,60 persen. Sementara untuk peubah lag impor
daging sapi memiliki koefisien dugaan sebesar 0,4916. Hal ini berarti bahwa jika impor
daging sapi pada tahun tertentu meningkat 1 persen, maka permintaan tahun
berikutnya akan meningkat 0,49 persen.
Tabel 4.42. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Impor Daging Sapi di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - -37,8634b
2. Harga Impor Daging Sapi Pimport -0,6768 -0,1305 -0,1496
3. Nilai Tukar Exchrt -0,1093 -0,5011 -0,5744
4. Permintaan Daging Sapi Demandt 3,1306c 0,5273 0,6044
5. Lag Impor Daging Sapi LagMt 0,4916b - -
R2 = 0,70 F-stat= 12,83 DW=2,00
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%; c) berbeda nyata pada taraf 10%; d)berbeda nyata pada taraf 15%
119
(4) Harga Daging Sapi Domestik
Seperti disajikan pada Tabel 4.43 terlihat bahwa koefisien peubah volume impor
daging sapi sebesar –0,0237, hal ini mengindikasikan bahwa apabila volume impor
daging sapi meningkat 10 persen, maka harga daging sapi domestik akan menurun
sebesar 0,24 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah volume impor ini
adalah 1,0240 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan impor daging sapi 10 persen,
dalam jangka pendek akan menurunkan harga jagung sebesar 10,24 persen. Dalam
jangka panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 14,27 persen.
Selanjutnya peubah nilai tukar berpengaruh nyata terhadap harga Daging Sapi
domestik. Koefisien peubah nilai tukar sebesar -0,1677 yang berarti bahwa apabila nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS menguat (terapresiasi), maka harga daging sapi impor
(dari luar negeri) lebih murah dari harga domestik sehingga impor akan meningkat dan
selanjutnya harga daging sapi domestik akan turun. Penguatan nilai tukar sebesar 10
persen, maka akan menyebabkan harga Daging Sapi domestik akan menurun sebesar
1,68. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah nilai ini adalah 1,4194 yang berarti
bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
menurunkan harga Daging Sapi sebesar 1,42 persen. Sementara dalam jangka panjang,
penurunan harga tersebut akan mencapai 1,44 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan Daging Sapi sebesar 0,1455 yang berarti
bahwa setiap terjadi kenaikan permintaan Daging Sapi sebesar 10 persen maka akan
mendorong peningkatan harga Daging Sapi meningkat sebesar 1,45 persen. Nilai
elastisitas jangka pendek dari peubah permintaan Daging Sapi ini adalah 1,0933,
artinya jika terjadi kenaikan permintaan Daging Sapi 10 persen, maka dalam jangka
pendek akan mendorong peningkatan harga sebesar 10,93 persen. Sementara dalam
jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 17,10 persen.
120
Tabel 4.43. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Harga Daging Sapi di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk. Panjang
1. Intersep - 0,9361
2. Impor Import -0,0237 -1,0240 -1,4274
3. Nilai Tukar Exchrt -0,1677b -1,4194 -1,4386
4. Permintaan Daging Sapi Demandt 0,1455 1,0933 1,7104
5. Suplai Daging Sapi Suplait -0,2048 -1,4043 -1,6956
6. Lag Harga Daging Sapi LagMt 0,8386a - -
R2 = 0,97 F-stat= 525,00 DW=2,12
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
Pada peubah suplai, koefisien yang diperoleh sebesar -0,2048 yang artinya bahwa
jika terjadi peningkatan suplai Daging Sapi sebesar 10 persen maka harga Daging Sapi
akan turun sebesar 2,05 persen. Nilai elastisitas jangka pendek dari peubah suplai
Daging Sapi ini adalah 1,4043 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan suplai Daging
Sapi 10 persen, maka dalam jangka pendek akan menurunkan harga sebesar 14,04
persen. Dalam jangka panjang, penurunan harga tersebut akan mencapai 16,96
persen. Selanjutnya untuk peubah lag harga Daging Sapi memiliki koefisien dugaan
sebesar 0,8386. Artinya bahwa jika harga Daging Sapi pada tahun tertentu meningkat
10 persen, maka harga Daging Sapi tahun berikutnya akan meningkat 8,39 persen.
(5) Populasi Sapi Domestik
Pada Tabel 4.44 terlihat bahwa tanda parameter dugaan masing-masing peubah
bebas yang dimasukan dalam persamaan permintaan Daging Sapi sesuai dengan
harapan dan teori. Koefisien dugaan harga Daging Sapi bertanda positif, yaitu 0,1017.
Ini artinya bahwa jika terjadi kenaikan harga Daging Sapi sebesar 10 persen, maka
akan meningkatkan populasi ternak sapi nasional sebesar 1,02 persen. Elastisitas
jangka pendek dari peubah harga Daging Sapi ini adalah 0,2846 yang berarti bahwa
jika terjadi kenaikan harga daging sapi 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
121
menningkatkan populasi ternak sapi sebesar 2,85 persen. Sementara dalam jangka
panjang, peningkatannya akan mencapai 3,54 persen.
Adapun koefisien peubah permintaan Daging Sapi sebesar 0,2428 yang berarti
bahwa setiap terjadi kenaikan permintaan Daging Sapi sebesar 10 persen maka akan
mendorong peningkatan populasi ternak sapi sekitar 2,43 persen. Nilai elastisitas jangka
pendek dari peubah permintaan Daging Sapi ini adalah 1,1448, artinya jika terjadi
kenaikan permintaan Daging Sapi 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
mendorong peningkatan populasi ternak sapi sebesar 11,45 persen. Sementara dalam
jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 12,95 persen.
Untuk peubah pendapatan perkapita, koefisien dugaan yang diperoleh sebesar
0,2382 yang berarti bahwa setiap terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen
maka akan meningkatkan populasi ternak sapi sebesar 2,38 persen. Nilai elastisitas
jangka pendek dari peubah pendapatan perkapita ini adalah 1,0470 yang berarti bahwa
jika terjadi kenaikan pendapatan perkapita 10 persen, maka dalam jangka pendek akan
mendorong peningkatan populasi ternak tersebut sebeesar 10,47. Sementara dalam
jangka panjang, peningkatan tersebut akan mencapai 12,03 persen.
Selanjutnya peubah jumlah penduduk memiliki koefisien dugaan sebesar 0,9247
yang berarti bahwa setiap kenaikan jumlah penduduk 1 persen maka akan
meningkatkan jumlah populasi ternak sapi sebesar 0,92 persen. Nilai elastisitas jangka
pendek dari peubah jumlah penduduk ini adalah 1,0254 berarti bahwa jika terjadi
kenaikan jumlah penduduk 1 persen, dalam jangka pendek mendorong peningkatan
populasi ternak sapi 10,25 persen, dan dalam jangka panjang peningkatannya 12,57
persen. Selanjutnya untuk peubah lag populasi sapi memiliki koefisien dugaan sebesar
1,0673. Artinya bahwa jika populasi sapi pada tahun tertentu meningkat 10 persen,
maka peningkatan populasi ternak sapi tahun berikutnya akan mencapai 10,67 persen.
122
Tabel 4.44. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Populasi Ternak Sapi di Indonesia
Peubah Notasi Dugaan
Parameter
Elastisitas
Jk. Pendek Jk.
Panjang
1) Intersep - 11,3970
2) H. Daging sapi Prdcowt 0,1017 0,2846 0,3544
3) Permintaan Daging Sapi Demandt 0,2428 1,1448 1,2950
4) Pendapatan/Kapita Incomet 0,2382c 1,0470 1,2035
5) Penduduk Popt 0,9247 1,0254 1,2573
6) Lag Populasi Sapi LagPopcowt 1,0673a - -
R2 = 0,93 F-stat= 59,15 DW=1,97
Keterangan: a) berbeda nyata pada taraf 1%; b) berbeda nyata pada taraf 5%;
c) berbeda nyata pada taraf 10%; d) berbeda nyata pada taraf 15%.
5.6. Proyeksi Permintaan dan Penawaran
Berdasarkan data hasil proyeksi untuk produksi setara beras pada tahun 2015
mencapai 46,63 juta ton, tahun 2020 mencapai 51,00 juta ton dan tahun 2025
mencapai 55,78 juta ton. Adapun penawaran beras, diproyeksikan untuk tahun 2015
sebesar 45,88 juta ton, tahun 2020 sebesar 50,34 juta ton dan tahun 2025 sebesar
55,21 juta ton. Selanjutnya permintaan beras nasional diproyeksikan pada tahun 2015
sebesar 36,36 juta ton, tahun 2020 sebesar 39,37 juta ton dan tahun 2025 sebesar
42,63 juta ton (Tabel 4.45).
Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan beras nasional,
tampak bahwa pada tahun 2015 surplus beras diperkirakan mencapai 10,26 juta ton,
tahun 2020 mencapai 11,63 juta ton dan tahun 2025 mencapai 13,16 juta ton. Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa surplus beras nasional sejak tahun 2014 telah
melampaui diatas 10 juta ton (sesuai target pemerintah). Hal ini tentunya patut
dipertahankan dan bahkan dapat terus ditingkatkan lagi sesuai dengan proyeksi yang
diharapkan.
123
Tabel 4.45. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Padi di Indonesia, 2014-
2025.
Tahun Produksi
Beras (Ton Penawaran (Ton) Permintaan (Ton)
Selisih Produksi-Permintaan (Ton)
2014 45801838 45046835 35788005 10013833
2015 46630258 45888245 36361563 10268695
2016 47473661 46745372 36944312 10529349
2017 48332319 47618508 37536401 10795918
2018 49206507 48507954 38137979 11068529
2019 50096507 49414013 38749198 11347309
2020 51002605 50336996 39370213 11632392
2021 51925091 51277219 40001180 11923910
2022 52864262 52235004 40642260 12222002
2023 53820419 53210679 41293614 12526805
2024 54793871 54204578 41955407 12838464
2025 55784930 55217042 42627806 13157124
r(%/th) 1,79 1,85 1,59 2,48
Untuk komoditas jagung, data hasil proyeksi produksi jagung nasional pada tahun
2015 mencapai 22,28 juta ton, tahun 2020 mencapai 28,11 juta ton dan tahun 2025
mencapai 35,48 juta ton. Adapun penawaran jagung, diproyeksikan untuk tahun 2015
sebesar 23,77 juta ton, tahun 2020 sebesar 30,27 juta ton dan tahun 2025 sebesar
38,55 juta ton. Selanjutnya permintaan jagung nasional diproyeksikan pada tahun 2015
sebesar 27,40 juta ton, tahun 2020 sebesar 33,81 juta ton dan tahun 2025 sebesar
41,72 juta ton (Tabel 4.46).
Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan jagung nasional,
tampak bahwa pada tahun 2015 masih terdapat defisit produksi jagung sebesar 5,12
juta ton, tahun 2020 defisit jagung semakin membesar menjadi 5,70 juta ton dan pada
tahun 2025 defisitnya menjadi 6,24 juta ton. Untuk menutupi defisit tersebut maka
impor jagung akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan
peningkatan produksi jagung nasional baik melalui peningkatan teknologi budidaya
maupun perluasan areal pertanaman jagung.
124
Tabel 4.46. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Jagung di Indonesia, 2014-
2025.
Tahun Produksi
(Ton) Penawaran
(Ton) Permintaan
(Ton) Selisih Produksi-Permintaan (Ton)
2014 21266518 22644686 26270976 -5004457
2015 22279271 23766758 27399076 -5119805
2016 23340254 24944430 28575618 -5235364
2017 24451762 26180458 29802682 -5350920
2018 25616203 27477732 31082437 -5466234
2019 26836096 28839288 32417146 -5581050
2020 28114083 30268311 33809169 -5695085
2021 29452931 31768143 35260966 -5808035
2022 30855537 33342294 36775105 -5919568
2023 32324938 34994446 38354263 -6029325
2024 33864314 36728465 40001231 -6136916
2025 35476999 38548406 41718921 -6241922
r(%/th) 4,63 4,81 4,19 2,01
Selanjutnya untuk komoditas kedelai, data hasil proyeksi produksi kedelai nasional
pada tahun 2015 mencapai 0,79 juta ton, tahun 2020 mencapai 0,695 juta ton dan
tahun 2025 mencapai 0,612 juta ton. Adapun penawaran kedelai, diproyeksikan untuk
tahun 2015 sebesar 3,22 juta ton, tahun 2020 sebesar 3,49 juta ton dan tahun 2025
sebesar 3,77 juta ton. Selanjutnya permintaan kedelai nasional diproyeksikan pada
tahun 2015 sebesar 2,12 juta ton, tahun 2020 sebesar 2,17 juta ton dan tahun 2025
sebesar 2,23 juta ton (Tabel 4.47).
Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan kedelai nasional,
tampak bahwa pada tahun 2015 masih terdapat defisit produksi kedelai sebesar 2,43
juta ton, tahun 2020 defisit kedelai semakin membesar menjadi 2,79 juta ton dan pada
tahun 2025 defisitnya menjadi 3,16 juta ton. Untuk menutupi defisit tersebut maka
impor kedelai akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan
peningkatan produksi jagung nasional baik melalui peningkatan teknologi budidaya
maupun perluasan areal pertanaman kedelai.
125
Tabel 4.47. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Kedelai di Indonesia, 2014-
2025.
Tahun Produksi
(Ton) Penawaran
(Ton) Permintaan
(Ton) Selisih Produksi-Permintaan (Ton)
2014 809431 3168215 2109775 -2358784
2015 789114 3219019 2120262 -2429905
2016 769307 3270639 2130800 -2501331
2017 749997 3323086 2141391 -2573088
2018 731172 3376374 2152035 -2645201
2019 712820 3430516 2162731 -2717696
2020 694928 3485527 2173481 -2790599
2021 677485 3541420 2184284 -2863935
2022 660480 3598209 2195141 -2937729
2023 643902 3655909 2206052 -3012007
2024 627740 3714534 2217017 -3086794
2025 611984 3774099 2228036 -3162115
r(%/th) -2,54 1,59 0,50 2,65
Berdasarkan data hasil proyeksi untuk produksi setara gula tebu pada tahun 2015
mencapai 2,64 juta ton, tahun 2020 mencapai 2,71 juta ton dan tahun 2025 mencapai
2,79 juta ton. Adapun penawaran gula tebu, diproyeksikan untuk tahun 2015 sebesar
3,95 juta ton, tahun 2020 sebesar 4,31 juta ton dan tahun 2025 sebesar 4,70 juta ton.
Selanjutnya permintaan gula tebu nasional diproyeksikan pada tahun 2015 sebesar 4,67
juta ton, tahun 2020 sebesar 5,40 juta ton dan tahun 2025 sebesar 6,20 juta ton (Tabel
4.48).
Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan gula tebu nasional,
tampak bahwa pada tahun 2015 masih terdapat defisit produksi gula tebu sebesar 1,31
juta ton, tahun 2020 defisit gula tebu semakin membesar menjadi 1,60 juta ton dan
pada tahun 2025 defisitnya menjadi 1,92 juta ton. Untuk menutupi defisit tersebut
maka impor gula tebu akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan
kebijakan peningkatan produksi gula tebu nasional baik melalui peningkatan teknologi
budidaya maupun perluasan areal pertanaman tebu nasional.
126
Tabel 4.48. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Tebu/Gula di Indonesia,
2014-2025.
Tahun Produksi
(Ton) Penawaran
(Ton) Permintaan
(Ton) Selisih Produksi-Permintaan (Ton)
2014 2628990 3884257 4537827 -1255267
2015 2642967 3952514 4668419 -1309547
2016 2657018 4021971 4802770 -1364953
2017 2671144 4092649 4940986 -1421504
2018 2685345 4164568 5083181 -1479223
2019 2699622 4237751 5229468 -1538130
2020 2713974 4312221 5379964 -1598247
2021 2728403 4387999 5534792 -1659596
2022 2742908 4465108 5694075 -1722200
2023 2757491 4543573 5857942 -1786082
2024 2772151 4623416 6026525 -1851265
2025 2786889 4704663 6199960 -1917774
r(%/th) 0,53 1,74 2,83 3,82
Sementara itu, data hasil proyeksi untuk produksi setara daging sapi pada tahun
2015 mencapai 543,12 ribu ton ton, tahun 2020 mencapai 612,13 ribu ton dan tahun
2025 mencapai 689,92 ribu ton. Adapun penawaran daging sapi, diproyeksikan untuk
tahun 2015 sebesar 588,07 ribu ton, tahun 2020 sebesar 665,92 ribu ton dan tahun
2025 sebesar 754,08 ribu ton. Selanjutnya permintaan daging sapi nasional
diproyeksikan pada tahun 2015 sebesar 342,65 ribu ton, tahun 2020 sebesar 392,03
ribu ton dan tahun 2025 sebesar 448,54 ribu ton (Tabel 4.49).
Apabila disandingkan data proyeksi produksi dan permintaan daging sapi nasional,
tampak bahwa pada tahun 2015 masih terdapat defisit produksi daging sapi sebesar
44,95 ribu ton ton, tahun 2020 defisit daging sapi semakin membesar menjadi 53,79
ribu ton dan pada tahun 2025 defisitnya menjadi 64,16 ribu ton. Untuk menutupi defisit
tersebut maka impor daging sapi akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan
terobosan kebijakan peningkatan produksi daging sapi nasional baik melalui
peningkatan populasi sapi potong nasional dengan dukungan program peningkatan
populasi dan pembibitan sapi nasional.
127
Tabel 4.49. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Ternak/Daging Sapi di
Indonesia, 2014-2025.
Tahun Produksi
(Ton) Penawaran
(Ton) Permintaan
(Ton) Selisih Produksi-Permintaan (Ton)
2014 530276 573629 333540 -43353
2015 543116 588072 342645 -44955
2016 556267 602878 351998 -46611
2017 569736 618056 361606 -48320
2018 583532 633617 371477 -50086
2019 597661 649570 381617 -51909
2020 612133 665924 392034 -53792
2021 626955 682691 402736 -55736
2022 642136 699879 413729 -57743
2023 657684 717500 425023 -59816
2024 673609 735564 436625 -61955
2025 689920 754084 448543 -64164
r(%/th) 2,39 2,48 2,69 3,55
5.7. Prospek Penawaran dalam Memenuhi Permintaan Komoditas Pangan
strategis.
Secara umum bahwa upaya peningkatan produksi tanaman pangan (padi, jagung
dan kedelai) masih berprospek untuk terus ditingkatkan lagi dalam rangka memenuhi
permintaan komoditas pangan yang cenderung semakin meningkat. Secara umum
upaya peningkatan produksi tanaman pangan nasional dapat dilakukan melalui empat
(4) strategi utama sebagai berikut: (1) Peningkatan Produktivitas; (2) Perluasan areal
tanam; (3) Pengamanan Produksi; dan (4) Penguatan Kelembagaan petani.
Secara spesifik upaya pemenuhan komoditas pangan strategis nasional terutama
Padi/Beras dilakukan dengan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN)
dalam rangka mendukung mendukung target nasional surplus 10 juta ton. Dalam
rangka peningkatan produksi padi/beras nasional, terdapat dua komponen utama yang
menentukan yaitu luas panen dan produktivitas. Pertumbuhan luas areal panen
dipengaruhi oleh perubahan indeks pertanaman, pembukaan lahan (sawah) baru dan
konversi lahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian. Sementara pertumbuhan
128
produktivitas merupakan cerminan dari perbaikan penerapan teknologi budidaya di
tingkat petani.
Sementara untuk peningkatan jagung bisa ditempuh melalui intensifikasi dan
ekstensifikasi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui penggunaan benih bermutu, serta
pengolahan lahan dan pemupukan yang memadai. Dalam rangka meningkatkan
produksi jagung nasional telah dikembangkan teknologi produksi jagung hibrida.
Namun realisasi pengembangan jagung hibrida sampai tahun 2009 baru mencapai 50
persen. Selanjutnya upaya ekstensifikasi bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan
kering yang masih potensial tetapi belum digarap secara optimal.
Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas
dan peningkatan areal tanam kedelai nasional. Produktivitas kedelai kita masih rendah,
untuk itu peningkatan produktivitas kedelai ini dapat dilakukan dengan penggantian
varietas dengan variets kedelai unggul dengan produktivitas yang tinggi. Selain
penggantian varietas, juga harus dibarengi dengan penerapan teknologi budidaya
sesuai dengan rekomendasi. Teknologi budiaya yang diterapkan mulai dari pengolahan
lahan, penambahan bahan organik tanah (pupuk organik), pemupukan secara lengkap
dan berimbang (NPK), pengendalian organisme pengganggu tanaman (hama dan
penyakit) secara terpadu, serta panen dan pasca panen dengan tepat sehingga
mengurangi kehilangan hasil. Selain dengan peningkatan produkstivitas, upaya
peningkatan kedelai dapat dilakukan dengan menambah areal tanam kedelai.
Penambahan areal tanam kedelai ini dimungkinkan diarahkan pada lahan-lahan di luar
jawa, sedangkan untuk lahan-lahan di pulau jawa penambahan areal tanam ini masih
memungkinkan pada lahan - lahan milik Perhutani dengan konsep agroforestry
(tumpangsari dengan tanaman hutan) dan lahan - lahan sawah setelah pertanaman
padi.
Beberapa strategi penting untuk menjamin ke berhasilan peningkatan produksi
kedelai nasional ialah: (1) Perbaikan Harga Jual, peningkatan harga jual kedelai di
tingkat petani merupakan kunci utama dalam mengembalikan minat petani untuk
menanam kedelai, seperti halnya yang telah dicapai pada tahun 1992 dengan luas
panen mendekati 1,9 juta hektar. Untuk ini harus ada kebijakan nyata pemerintah
129
dalam menentukan harga dasar kedelai dalam negeri, seperti halnya pada padi/beras;
atau mengurangi impor melalui penerapan tarif agar harga kedelai dalam negeri dapat
bersaing; (2) Pemanfaatan Potensi Lahan, pemanfaatan potensi lahan yang tersedia
luas untuk perluasan areal tanam, baik sebagai tanaman utama maupun tanaman sela,
di antaranya menanam kedelai secara tumpangsari dengan ubikayu dan kelapa sawit
muda; (3) Intensifikasi Pertanaman, intensifikasi perlu dilakukan di daerah sentra
produksi kedelai, khususnya bagi lahan yang mempunyai tingkat kesesuaian sedang
sampai tinggi, seperti di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat; (4) Perbaikan Proses
Produksi, proses produksi yang mampu memberikan produktivitas tinggi, efisien, dan
berkelanjutan yakni melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) agar
pendapatan bersih petani meningkat, merupakan upaya penting dalam menumbuhkan
kembali minat petani untuk menanam kedelai.
Adapun terkait langkah kebijakan dalam rangka peningkatan produksi gula
nasional (Harianto, 2014) adalah: (1) perlu adanya penerapan tarif impor gula mentah
yang disesuaikan dengan harga pokok produksi gula kristal dalam negeri. Tarif impor
disesuaikan dengan harga gula mentah di pasar internasional, sehingga harga jual gula
rafinasi minimal sama dengan harga pokok produksi gula kristal; (2) Stabilisasi harga
gula konsumsi di tingkat konsumen perlu terus dijaga agar tidak merugikan industri
makanan minuman skala mikro dan rumah tangga sehingga tidak menyumbang pada
inflasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan kebutuhan pasar gula konsumsi
(gula kristal) terpenuhi, baik dari produksi gula petani maupun dari gula rafinasi
(apabila masih kurang); (3) Untuk menjaga stabilitas harga gula petani, maka perlu
dicegah rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi. Harga lelang gula kristal milik
petani dan pabrik gula harus mampu memberikan insentif untuk petani meningkatkan
produksinya. Biaya usahatani dan pengolahan tebu perlu dihitung dengan cermat untuk
dapat menentukan HPP gula yang masih memberikan keuntungan memadai bagi petani
tebu; (4) Untuk mencegah harga gula menyumbang pada inflasi, maka perlu kebijakan
stabilisasi harga di dua tingkatan, yaitu stabilisasi harga di tingkat pasar lelang gula
milik petani tebu dan stabilisasi harga di tingkat pasar konsumsi gula kristal. Untuk
stabilisasi harga di dua tingkatan pasar ini, pemerintah perlu memiliki lembaga yang
130
dapat dijadikan instrumen. Jika ada lembaga yang ditunjuk sebagai lembaga dengan
tugas menjaga stabilisasi harga di dua tingkatan ini, maka harus ada penguatan dan
mekanisme yang membuat lembaga tersebut efektif. Stabilisasi harga di pasar lelang
gula milik petani berarti lembaga tersebut harus membeli pada saat harga di bawah
HPP. Artinya, membeli dengan harga yang lebih mahal dari seharusnya. Sebaliknya,
untuk stabilisasi harga di pasar konsumsi gula kristal, lembaga ini harus mampu
menekan harga gula pada saat harga naik di tingkat eceran. Artinya, lembaga ini harus
menjual gula dengan harga yang lebih murah dibanding harga yang sedang berlaku
agar harga pasar turun. Dengan kondisi harga gula refinasi (impor) yang jauh lebih
rendah daripada harga gula di pasar konsumsi domestik dan mudahnya gula rafinasi
merembes ke pasar konsumsi gula kristal, maka tingkat efektivitas lembaga ini sebagai
stabilisator harga akan rendah jika tidak ada mekanisme penguatannya.
Sementara itu, untuk peningkatan permintaan daging sapi dalam negeri
merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi usaha peternakan dalam negeri.
Peluang dengan terbukanya pasar domestik yang luas sedangkan tantangannya adalah
produk daging impor akan sangat mudah untuk masuk ke pasar domestik. Pemerintah
terus meningkatkan populasi sapi dan berupaya meminimalisir impor daging sapi dan
sapi hidup nasional. Upaya peningkatan populasi sapi lokal tersebut dilaksanakan
dengan memperkuat perbibitan unggul ternak, teknologi budidaya, teknologi pakan,
perawatan kesehatan hewan, dan penanganan pasca panen dan veteriner. lndonesia
mempunyai peluang untuk pengembangan ternak sapi, hal ini terlihat dari potensi
komparatif yang dimiliki mulai dari sumber daya alam, sumber pakan, iklim, dan
topografi serta sumber daya manusia sangat mendukung untuk pengembangan ternak
sapi. Di samping itu beberapa wilayah di lndonesia memiliki keunggulan lokal dalam
pengembangan ternak sapi, seperti di beberapa wilayah timur (NTT, NTB, Bali dan
Sulawesi). Namun demikian, harus pula diatasi tantangan pengembangan sapi
domestik, seperti teknologi budidaya yang tradisional, transportasi, sistem kepemilikan
hewan ternak yang menyebar, dan masalah penyakit hewan.
131
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
6.1. Kesimpulan
1) Produksi komoditas tanaman pangan merupakan perkalian antara luas panen dan
produktivitas. Pada model luas panen untuk komoditas tanaman pangan strategis
(padi, jagung kedelai, dan gula tebu) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas
pangan yang bersangkutan, harga komoditas pesaingnya, harga input urea, upah
tenaga kerja dan tingkat suku bunga pinjaman. Secara umum dapat diketahui arah
besaran peubah persamaan luas panen, yaitu untuk beberapa peubah yang
memiliki pengaruh positif terhadap luas panen adalah: harga komoditas yang
bersangkutan, waktu dan lag luas panen. Selanjutnya beberapa peubah yang
memiliki pengaruh negatif terhadap luas panen adalah: harga komoditas
pesaingnya, harga input urea, upah tenaga kerja dan suku bunga. Pada komoditas
beras, harga jagung dan upah tenaga kerja merupakan dua peubah yang
berpengaruh signifikan terhadap luas panen. Sementara itu, pada komoditas
jagung, peubah harga jagung, harga kedelai dan harga input urea berpengaruh
signifikan terhadap luas panen jagung. Untuk komoditas kedelai, hanya peubah lag
luas panen yang berpengaruh signifikan terhadap luas panen. Selanjutnya pada
komoditas gula, peubah harga input urea dan lag luas panen berpengaruh
signifikan terhadap luas panen.
2) Pada model produktivitas komoditas tanaman pangan strategis (padi, jagung
kedelai, dan gula tebu) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas pangan yang
bersangkutan, harga input urea, upah tenaga kerja dan peubah waktu (sebagai
proksi dari teknologi). Secara umum dapat diketahui arah besaran peubah
persamaan produktivitas, yaitu untuk beberapa peubah yang memiliki pengaruh
positif terhadap produktivitas adalah: harga komoditas yang bersangkutan, waktu
dan lag produktivitas. Selanjutnya beberapa peubah yang memiliki pengaruh
negatif terhadap produktivitas adalah: harga input urea dan upah tenaga kerja.
Pada komoditas beras dan jagung, peubah upah tenaga kerja dan lag produktivitas
132
masing-masing merupakan dua peubah yang signifikan berpengaruh terhadap
produktivitas. Untuk komoditas kedelai dan gula tebu ternyata hanya peubah waktu
yang merupakan proksi dari teknologi berpengaruh signifikan terhadap
produktivitas.
3) Pada model ternak sapi, khususnya pada persamaan populasi ternak sapi bahwa
populasi ternak sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi, permintaan daging sapi,
pendapatan/kapita dan jumlah penduduk. Bila dilihat arah koefisien dari setiap
peubah dapat diketahui bahwa seluruh peubah memiliki pengaruh yang positif
terhadap populasi ternak sapi. Artinya jika terdapat peningkatan dari peubah-
peubah tersebut, maka populasi ternak sapi akan meningkat. Adapun
pendapatan/kapita dan lag populasi ternak sapi merupakan dua peubah yang
berpengaruh signifikan terhadap populasi ternak sapi nasional. Peubah lainnya
pengaruhnya tidak signifikan terhadap populasi ternak sapi.
4) Permintaan komoditas tanaman pangan strategis (padi, jagung kedelai, gula dan
daging sapi) nasional dipengaruhi oleh harga komoditas pangan yang
bersangkutan, harga komoditas pesaingnya, jumlah populasi/penduduk dan
pendapatan per kapita, dan lag permintaan. Pada komoditas beras, peubah jumlah
penduduk, pendapatan per kapita dan lag permintaan merupakan tiga peubah yang
signifikan berpengaruh terhadap permintaan. Sementara pada komoditas jagung,
selain peubah jumlah penduduk/populasi, peubah harga beras dan populasi ternak
unggas ras berpengaruh terhadap permintaan jagung. Untuk komoditas kedelai,
peubah harga kedelai berpengaruh signifikan terhadap permintaan kedelai.
Selanjutnya pada komoditas gula, hanya peubah pendapatan yang berpengaruh
signifikan, sedangkan pada komoditas daging sapi peubah jumlah penduduk dan
lag permintaan berpengaruh signifikan terhadap permintaan komoditas tersebut.
5) Penawaran komoditas tanaman pangan strategis nasional secara umum dipengaruhi
oleh situasi produksi tanaman pangan utama, stock, impor dan lainnya (tercecer
dan kebutuhan untuk penggunaan lainnya). Secara rata-rata (1985-2012), untuk
komoditas beras tampaknya produksi beras nasional masih berada diatas
permintaannya. Untuk komoditas jagung, tampaknya produksi jagung, kedelai dan
133
gula tebu dibawah permintaannya. Selanjutnya Untuk komoditas daging sapi,
produksinya hampir setara dengan permintaannya.
6) Berdasarkan data hasil proyeksi untuk komoditas padi/beras nasional, bahwa
diketahui untuk surplus beras nasional sejak tahun 2014 telah melampaui diatas 10
juta ton (sesuai target pemerintah). Hal ini tentunya patut dipertahankan dan
bahkan dapat terus ditingkatkan lagi sesuai dengan proyeksi yang diharapkan.
Untuk komoditas jagung, berdasarkan data hasil proyeksi, ternyata defisit produksi
jagung kecenderungannya akan tetap tinggi hingga tahun 2025. Untuk menutupi
defisit tersebut maka impor jagung akan masih tetap tinggi, dan bahkan untuk
kedelai lebih tinggi lagi. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan peningkatan
produksi jagung dan kedelai nasional baik melalui peningkatan teknologi budidaya
maupun perluasan areal pertanaman jagung.
7) Untuk kondisi produksi gula nasional dimana defisit gula nasional mulai dari tahun
2015 hingga 2025 terus tetap besar. Untuk menutupi defisit tersebut maka impor
gula tebu akan masih tetap tinggi. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan
peningkatan produksi gula tebu nasional baik melalui peningkatan teknologi
budidaya maupun perluasan areal pertanaman tebu nasional. Hal yang sama juga
terjadi pada kondisi daging sapi, dimana defisit produksinya juga tetap tinggi
hingga tahun 2025. Untuk itu, diperlukan terobosan kebijakan peningkatan produksi
daging sapi nasional baik melalui peningkatan populasi sapi potong nasional dengan
dukungan program peningkatan populasi dan pembibitan sapi nasional.
8) Secara spesifik upaya pemenuhan komoditas pangan strategis nasional terutama
Padi/Beras dilakukan dengan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN)
dalam rangka mendukung mendukung target nasional surplus 10 juta ton. Dalam
rangka peningkatan produksi padi/beras nasional, terdapat dua komponen utama
yang menentukan yaitu luas panen dan produktivitas. Pertumbuhan luas areal
panen dipengaruhi oleh perubahan indeks pertanaman, pembukaan lahan (sawah)
baru dan konversi lahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian. Sementara
pertumbuhan produktivitas merupakan cerminan dari perbaikan penerapan
teknologi budidaya di tingkat petani.
134
9) Sementara untuk peningkatan jagung bisa ditempuh melalui intensifikasi dan
ekstensifikasi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui penggunaan benih bermutu,
serta pengolahan lahan dan pemupukan yang memadai. Dalam rangka
meningkatkan produksi jagung nasional telah dikembangkan teknologi produksi
jagung hibrida. Namun realisasi pengembangan jagung hibrida sampai tahun 2009
baru mencapai 50 persen. Selanjutnya upaya ekstensifikasi bisa dilakukan dengan
memanfaatkan lahan kering yang masih potensial tetapi belum digarap secara
optimal.
10) Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas
dan peningkatan areal tanam kedelai nasional. Produktivitas kedelai kita masih
rendah, untuk itu peningkatan produktivitas kedelai ini dapat dilakukan dengan
penggantian varietas dengan variets kedelai unggul dengan produktivitas yang
tinggi. Selain dengan peningkatan produkstivitas, upaya peningkatan kedelai dapat
dilakukan dengan menambah areal tanam kedelai.
11) Adapun terkait langkah kebijakan dalam rangka peningkatan produksi gula nasional
adalah: (1) perlu adanya penerapan tarif impor gula mentah yang disesuaikan
dengan harga pokok produksi gula kristal dalam negeri, (2) Stabilisasi harga gula
konsumsi di tingkat konsumen perlu terus dijaga agar tidak merugikan industri
makanan minuman skala mikro dan rumah tangga sehingga tidak menyumbang
pada inflasi, (3) Untuk menjaga stabilitas harga gula petani, maka perlu dicegah
rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi,dan (4) Untuk mencegah harga gula
menyumbang pada inflasi, maka perlu kebijakan stabilisasi harga di dua tingkatan,
yaitu stabilisasi harga di tingkat pasar lelang gula milik petani tebu dan stabilisasi
harga di tingkat pasar konsumsi gula kristal.
12) Pemerintah terus meningkatkan populasi sapi dan berupaya meminimalisir impor
daging sapi dan sapi hidup nasional. Upaya peningkatan populasi sapi lokal tersebut
dilaksanakan dengan memperkuat perbibitan unggul ternak, teknologi budidaya,
teknologi pakan, perawatan kesehatan hewan, dan penanganan pasca panen dan
veteriner. lndonesia mempunyai peluang untuk pengembangan ternak sapi, hal ini
terlihat dari potensi komparatif yang dimiliki mulai dari sumber daya alam, sumber
135
pakan, iklim, dan topografi serta sumber daya manusia sangat mendukung untuk
pengembangan ternak sapi.
6.2. Implikasi kebijakan
1) Secara umum bahwa upaya peningkatan produksi tanaman pangan (padi, jagung
dan kedelai) masih berprospek untuk terus ditingkatkan lagi dalam rangka
memenuhi permintaan komoditas pangan yang cenderung semakin meningkat.
Secara umum upaya peningkatan produksi tanaman pangan nasional dapat
dilakukan melalui empat (4) strategi utama sebagai berikut: (1) Peningkatan
Produktivitas; (2) Perluasan areal tanam; (3) Pengamanan Produksi; dan (4)
Penguatan Kelembagaan petani.
2) Beberapa strategi penting untuk menjamin ke berhasilan peningkatan produksi
pangan nasional antara lain melalui: (1) Perbaikan Harga jual hasil panen petani,
(2) Pemanfaatan Potensi Lahan, pemanfaatan potensi lahan yang tersedia luas
untuk perluasan areal tanam, baik sebagai tanaman utama maupun tanaman sela,
(3) Intensifikasi Pertanaman, dan (4) Perbaikan Proses Produksi, proses produksi
yang mampu memberikan produktivitas tinggi, efisien, dan berkelanjutan.
3) Upaya peningkatan permintaan daging sapi dalam negeri merupakan peluang dan
sekaligus tantangan bagi usaha peternakan dalam negeri. Peluangnya yaitu
berupa masih terbukanya pasar domestik yang luas, sedangkan tantangannya
adalah produk daging impor akan sangat mudah untuk masuk ke pasar domestik.
Untuk itu, upaya peningkatan produksi daging sapi nasional memiliki prospek yang
baik dari aspek pasarnya minimal pasar domestik.
136
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, M.A. 1993. Strategi Operasional Pengembangan Agroindustri Sapi Potong.
Dalam Prosiding Agroindustri Sapi Potong. CIDES. Jakarta.
BPS. 2011. Statistik Indonesia. Jakarta.
Bappenas. 2013. Draft Hasil Studi Kajian RPJM. Bappenas. Jakarta.
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2007. Road Map Pengembangan Subsektor Peternakan Jawa Barat.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2009. Laporan tahunan. Jawa Barat.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan tahunan. Jawa Barat.
Dinas Pertanian Perkebunan Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan tahunan. Jawa Barat.
Debertin. D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company. New York.
Erwidodo dan N. Pribadi. 2004. Permintaan dan Produksi Beras Nasional: Surplus atau Defisit. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M Fagi (Eds). Ekonomi Padi dan
Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. P.559-572.
FAO. 2011. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung dan Kedelai. www.fao.org.
Hadi dan S.H. Susilowati. 2010. Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan
Pangan Pokok. Seminar nasional Era Baru Pembangunan Pertanian 25 Nopember 2011. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Hafsah, M. J., dan T Sudaryanto. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Propek Pengembangannya dalam : Ekonomi Padi dan Beras. F Kasryno, E Pasandaran dan AM Fagi (Eds). Badan Litbang Pertanian hal. 17-29.
Harianto, A.Fariyanti, H.P. Saliem, E.Suryani, E.Ariningsih, N.Rosiana, dan S. Jahroh. 2008. Karakteristik dan Arah Perubahan Konsumsi dan Pengeluaran RT.
Kerjasama Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian dan IPB.
Harianto. 2014. Mengatasi Masalah Gula Nasional. www.bumn.go.id. Februari 2014.
Henderson, J. M. and R. E. Quant. 1980. Microeconomics Theory: A Mathematical Approach. International Student, Ames Iowa,USA.
KPPU RI. 2010. Positioning Paper Komisi Pengawas Persaingan Usaha Terhadap Industri
Gula. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jakarta.
137
Ilham, N, Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, B.Winarso, dan Supadi. 2009. Perumusan Model Pengembagan Skala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong. Kerjasama
Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian dengan Departemen Pendidikan.
Irawan, B, G. S. Hardono, B. Winarso, I. Sadikin. 2003. Analisis Faktor Penyebab
Perlambatan Produksi Komoditas Tanaman Pangan. Laporan Hasil Puslitbang Sosek Pertanian.
Kindleberger and Lindert. 1982. International Economics. Richard D. Irwin Inc. Massachusetts.
Kompas. 2009. Kenaikan Harga-Harga Pangan Dunia. Gramedia. Jakarta.
Kompas online. 2011. Impor Jagung Tembus 2,2 Juta Ton. Senin, 10 Oktober 2011. Jakarta.
Kustiari, R., D. K.Sadra, Wahida, H.J. Purba, P. Simatupang, A. Purwoto, dan Tj. Nurasa. 2009. Model Proyeksi Jangka Pendek Permintaan Dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama: Angka Ramalan 2009 – 2014. Pusat Analisis Sosek
dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Mayrowani, H. 2006. Kinerja Agribisnis Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur :
Dampak Krisis Moneter dan Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. SOCA Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Vol. 6 November 2006. Fakultas Pertanian
Universitas Udayana hal. 223-232.
Nainggolan, K. dan Ato S. 1987. Supply Response for Rice in Java: Empirical Evidence. Ekonomi Keuangan Indonesia 35(2) 1987. Jakarta.
Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian (PSE-KP). 2012. Laporan Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian (Unpublised).
Bogor.
Rosegrant, M.W., F. Kasryno, L.A. Gonzales, C.A. Rasahan dan Y. Saefudin. 1987. Price
and Investment Policies in the Indonesian Food Crop Sector. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. and Center for Agro Economic Research, Bogor.
Sadra, D.K.S., M.O., Adnyana, N. Ilham, R. Kustiari, B. Winarso, dan Soeprapto. 2000. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Pertanian Utama di Indonesia.
Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Sapuan. 1999. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras di Indonesia
1969-1998. Agro Ekonomika (I): 29-37.
Simatupang, P, E. Jamal, R. Sayuti, M.H. Togatofop dan C. Muslim. 1993. Agribisnis Komoditas Peternakan. Monograf Series no. 8 Puslit Sosial Ekonomi Pertanian
Badan Litbang Pertanian.
Simatupang, P. 2000. Anatomi Masalah Produksi Beras NAsional dan Upaya
Mengatasinya. Prosiding Seminar : Prespektif Pembangunan Pertanian Tahun 2001 ke Depan. Puslit Sosek Pertanian.
138
Simatupang, T. Sudaryanto, A. Purwanto, Saptana. 1995. Projection and Policy Implication of Medium and Long term Rice Supply and Demand in Indonesia.
Center for Agro Socio Economic Research. Bogor.
Sudaryanto, T. dan D.K.S Swastika. 2007. Ekonomi Kedelai Indonesia. Dalam Sumarno,
et.al. (Editor). Kedelai. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Sudaryanto, et. al. 1997. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian
Utama Dalam Pelita VII. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Sudaryanto, et. al,. 1998. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian
Utama Dalam Pelita VII (Tahap II). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Suryana, A 2004. Kinerja dan Prospek Ketahanan Pangan Pokok Beras dalam Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. BPFE Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. Hal 259-275.
Syafaat,N., P. U. Hadi, D.K.Sadra, E.M. Lokollo, A. Purwoto, J. Situmorang, dan F.B.M. Debukke. 2005. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Utama
Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Tabor, S.R, K. Altemeier, and B. Adinugroho. 1988. Supply and Demand For Foodcrops
in Indonesia. Directorate of Foodcrop Economics and Postharvest Processing, Directorate General of Foodcrops, Ministry of Agriculture. Jakarta.
Wardana, I..P, E.Y. Purwani, Suhartini, A.T. Rahmi, Z. Mardiyah, S.T. Ardiyanti, Jumali,
dan Lasmini, 2012. Almanak Padi Indonesia. Balai Besar Penelitian Padi Kementerian Pertanian.
Yusdja, Y, R Sajuti, S Wahyuni, WK. Sejati, I Sodikin, dan JF Sinuraya. 2006. Kinerja Pembangunan Komoditas Pembagunan 2006 dan Propek 2007. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.