lalalala

5
 Krisis Multidimensi: Dilupakannya Empat Pilar Kebangsaan? terjadinya krisis multidimensi yang melanda bangsa kita akhir-akhir ini dapatlah dicari jawabannya dengan merenungkan kembali apakah kita masih menggunakan dan bahkan berhukum yang berkeselarasan dengan empat pilar tersebut guna menopang ne gara dan bangsa yang kita proklamasikan pada 17 Agustus 1945. Bisa jadi kita tel ah beralih dari empat pilar tersebut: entah dalam kapasitas kita sebagai penyele nggara negara, maupun sebagai warga negara. Ada setidaknya dua spekulasi mengen ai hal ini. Pertama, kita telah memiliki berbagai hukum, termasuk hukum dasar ya ng demokratis, yang selaras dengan jiwa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal ika, namun dalam tataran implementasinya masih jauh panggang dari api. K edua, bisa jadi, berbagai peraturan hukum yang diciptakan masih tak demokratis d an justeru bertolak belakang dengan fungsi empat pilar kebangsaan tersebut. Jika dalam tataran implementasinya hukum masih jauh dari empat pilar kebangsaan, maka kontrol terhadap kekuaasaan adalah sesuatu yang mutlak dilakukan. Harus di sadari bahwa adanya konstitusi, adanya hukum bukan serta merta menjadi jaminan d an sulapan bahwa semua aspek kehidupan bernegara tak akan mengalami penyimpangan dalam tataran implementasi. Keduanya, hukum dan penegakan hukum, adalah hal yan g berbeda. Namun yang penting adalah bahwa segala kelemahan dan kekurangan terse but dapat dikoreksi melalui mekanisme yang demokratis. Masyarakat memiliki kesem patan melalui jalur yang konstusional menyampaikan kritik melalui media, melalui lembaga perwakilan, dan bahkan berperan serta aktif dalam mengawal segenap kebi jakan pemerintah untuk tak melenceng dari cita-cita bangsa. Lebih jauh, capaian yang tak maksimal dalam tataran implementasi juga bisa disebabkan karena minimny a kesadaran hukum. Di sini, tak pelak sosialisasi hukum menjadi penting untuk di lakukan, tak saja terhadap warga negara, namun pula kepada para penyelenggara ne gara. Lebih lanjut, jika kita telah berhukum dengan melupakan empat pilar kebangsaan t ersebut maka pembaharuan dan koreksi terus menerus terhadap hukum itulah yang ha rus dilakukan. Perundangan dibuat lebih kepada memenuhi syahwat politik daripada diabdikan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan politik jangka pendek mewarnai proses legislasi yang pada gilirannya akan merugikan rakyat. Pada akhirnya, masy arakat mengabdi pada hukum, dan bukan sebaliknya: hukum mengabdi pada masyarakat . Alih-alih tercipta order, adanya hukum justeru menimbulkan disorder, disintegr atif daripada integratif. Kondisi seperti ini bukan sesuatu yang mengherankan da lam perspektif ilmu hukum kenegaraan, karena kekuasaan memang bertendensi untuk melanggengkan diri dan menyimpang. Namun demikian, hal ini dapat diatasi dengan koreksi melalui prosedur yang telah tersedia. Hukum bisa direview oleh pelaku ke kuasaan kehakiman yang dalam hukum kenegaraan kita diemban oleh dua pelaku kekua saan kehakiman yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. 1. IV. Penutup Tegaknya NKRI pada akhirnya berpulang pada apakah kita masih menggunakan empat p ilar kebangsaan. Pembangunan hukum oleh karenanya haruslah dalam aras yang berke sesuaian dengan empat pilar kebangsaan tersebut, yang bernafaskan Pancasila, yan g konstitusional, dalam kerangka NKRI, dan untuk menjamin keanekaragaman budaya, suku bangsa dan agama. Jika salah satu foundasi itu tidak dijadikan pegangan, m aka akan goyahlah negara Indonesia. Jika penopang yang satu tak kuat, maka akan berpengaruh pada pilar yang lain. Pada akhirnya bukan tak mungkin Indonesia akan ambruk, sesuatu yang tentu tak diinginkan.   ________________________________________ [1] Makalah disampaian dalam Sarasehan bertajuk Merenungkan Kembali Empat Pilar Kebangsaan, di Rawalo, Kab. Banyumas, 20 Desember 2010. [2] Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara FH UNSOED, Alumnus Monash University Aus tralia, dan International Institute of Social Studies, Erasmus University, Belan da. [3] Penjelasan UUD 1945 setelah perubahan konstitusi bukan lagi menjadi bagian d ari UUD 1945

Transcript of lalalala

5/11/2018 lalalala - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/lalalala-55a2320a19ea2 1/5

Krisis Multidimensi: Dilupakannya Empat Pilar Kebangsaan?terjadinya krisis multidimensi yang melanda bangsa kita akhir-akhir ini dapatlahdicari jawabannya dengan merenungkan kembali apakah kita masih menggunakan danbahkan berhukum yang berkeselarasan dengan empat pilar tersebut guna menopang negara dan bangsa yang kita proklamasikan pada 17 Agustus 1945. Bisa jadi kita telah beralih dari empat pilar tersebut: entah dalam kapasitas kita sebagai penyelenggara negara, maupun sebagai warga negara. Ada setidaknya dua spekulasi mengen

ai hal ini. Pertama, kita telah memiliki berbagai hukum, termasuk hukum dasar yang demokratis, yang selaras dengan jiwa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan BhinnekaTunggal ika, namun dalam tataran implementasinya masih jauh panggang dari api. Kedua, bisa jadi, berbagai peraturan hukum yang diciptakan masih tak demokratis dan justeru bertolak belakang dengan fungsi empat pilar kebangsaan tersebut.Jika dalam tataran implementasinya hukum masih jauh dari empat pilar kebangsaan,maka kontrol terhadap kekuaasaan adalah sesuatu yang mutlak dilakukan. Harus disadari bahwa adanya konstitusi, adanya hukum bukan serta merta menjadi jaminan dan sulapan bahwa semua aspek kehidupan bernegara tak akan mengalami penyimpangandalam tataran implementasi. Keduanya, hukum dan penegakan hukum, adalah hal yang berbeda. Namun yang penting adalah bahwa segala kelemahan dan kekurangan tersebut dapat dikoreksi melalui mekanisme yang demokratis. Masyarakat memiliki kesem

patan melalui jalur yang konstusional menyampaikan kritik melalui media, melaluilembaga perwakilan, dan bahkan berperan serta aktif dalam mengawal segenap kebijakan pemerintah untuk tak melenceng dari cita-cita bangsa. Lebih jauh, capaianyang tak maksimal dalam tataran implementasi juga bisa disebabkan karena minimnya kesadaran hukum. Di sini, tak pelak sosialisasi hukum menjadi penting untuk dilakukan, tak saja terhadap warga negara, namun pula kepada para penyelenggara negara.Lebih lanjut, jika kita telah berhukum dengan melupakan empat pilar kebangsaan tersebut maka pembaharuan dan koreksi terus menerus terhadap hukum itulah yang harus dilakukan. Perundangan dibuat lebih kepada memenuhi syahwat politik daripadadiabdikan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan politik jangka pendek mewarnaiproses legislasi yang pada gilirannya akan merugikan rakyat. Pada akhirnya, masyarakat mengabdi pada hukum, dan bukan sebaliknya: hukum mengabdi pada masyarakat

. Alih-alih tercipta order, adanya hukum justeru menimbulkan disorder, disintegratif daripada integratif. Kondisi seperti ini bukan sesuatu yang mengherankan dalam perspektif ilmu hukum kenegaraan, karena kekuasaan memang bertendensi untukmelanggengkan diri dan menyimpang. Namun demikian, hal ini dapat diatasi dengankoreksi melalui prosedur yang telah tersedia. Hukum bisa direview oleh pelaku kekuasaan kehakiman yang dalam hukum kenegaraan kita diemban oleh dua pelaku kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.1. IV. PenutupTegaknya NKRI pada akhirnya berpulang pada apakah kita masih menggunakan empat pilar kebangsaan. Pembangunan hukum oleh karenanya haruslah dalam aras yang berkesesuaian dengan empat pilar kebangsaan tersebut, yang bernafaskan Pancasila, yang konstitusional, dalam kerangka NKRI, dan untuk menjamin keanekaragaman budaya,

suku bangsa dan agama. Jika salah satu foundasi itu tidak dijadikan pegangan, maka akan goyahlah negara Indonesia. Jika penopang yang satu tak kuat, maka akanberpengaruh pada pilar yang lain. Pada akhirnya bukan tak mungkin Indonesia akanambruk, sesuatu yang tentu tak diinginkan.  ________________________________________ [1] Makalah disampaian dalam Sarasehan bertajuk Merenungkan Kembali Empat PilarKebangsaan, di Rawalo, Kab. Banyumas, 20 Desember 2010.[2] Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara FH UNSOED, Alumnus Monash University Australia, dan International Institute of Social Studies, Erasmus University, Belanda.[3] Penjelasan UUD 1945 setelah perubahan konstitusi bukan lagi menjadi bagian dari UUD 1945

5/11/2018 lalalala - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/lalalala-55a2320a19ea2 2/5

Mengatasi Krisis Multidimensi⢠Oleh Imam SudjonoKRISIS multidimensi sejak 1997 hingga kini belum menunjukkan tanda berakhir, bahkan semakin menjadi. Korupsi makin membudaya, hukum macet, hilangnya budaya mengutamakan kepentingan umum (salus populis suprema lex), euforia reformasi yang kebablasan, budaya kerusuhan dan unjuk rasa di mana-mana, dan sebagainya. Kondisi

ini semakin diperburuk dengan bencana silih berganti melanda bangsa Indonesia. Ideologi baru berupa materialisme telah merasuki ke seluruh sektor kehidupan.Masyarakat mengalami kelelahan emosional. Situasi yang demikian menjadikan semuateori ekonomi dan manajemen sepertinya tidak berjalan. Para pakar, pelaku ekonomi dan manajemen kebingungan mencari solusi terbaik untuk mengatasi krisis yangsangat berat dan berkepanjangan ini.Implementasi SistemKondisi di Indonesia saat ini serba ketinggalan di semua aspek (kualitas manusiabaik aparat/birokrasi pemerintah maupun masyarakat umum), sarana prasarana, instrumen ipoleksosbudhankam dan iklim kesatuan (incorporated). Juga ketinggalan dalam pengetrapan sistem manajemen, karena demikian bervariasinya manajemen yang diterapkan di Indonesia sebagai sistem manajemen yang kita kenal, yaitu Sistem Manajemen Cina, Manajemen Barat, dan Jepang.

Sistem Manajemen Barat sebagaimana diterapkan Amerika maupun Eropa, salah satu ciri utamanya adalah menghargai prestasi individu sehingga membentuk ciri-ciri individualistis. Sedangkan Manajemen Cina ciri utamanya pada manajemen keluarga, sehingga sistemnya tidak tertata secara ilmiah, dan peran perseorangan sangat menonjol. Manajemen Jepang mendasarkan pada filosofi 5S, yaitu: Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke.Program 5S bermaksud membuat lingkungan kerja menjadi efisien dan produktif untuk menjadi kepuasan pelanggan, meliputi (satu) produktivitas merupakan sesuatu yang timbul dari penghapusan pemborosan. Dua, suatu masalah perlu dicari penyebabutamanya, bukan hanya gejalanya. Tiga, partisipasi setiap orang; dan empat, pengakuan bahwa manusia itu tidak sempurna tapi orang sering melupakan hal tersebut.Sistem Manajemen mana yang paling sesuai dengan kultur bangsa Indonesia dan bisa

mengatasi krisis? Bertolak dari hal tersebut, penulis mencoba menggali Sistem Manajemen yang bersendikan pada budaya bangsa Indonesia.Sangat relevan dan signifikan kata-kata mutiara wasiat peninggalan almarhum DrsRMP Sosrokartono, putra kelahiran Mayong, Kabupaten Jepara berupa suatu butir-butir budaya Jawa dan bernilai filosofis yang tinggi.Satu, Sugih tanpa banda (Kaya tanpa harta). Sepintas prinsip ini adalah tidak rasional diukur dengan sudut pandang prinsip ekonomi dalam alam yang serba kebendaan dan individualistis saat ini. Umumnya kekayaan lahir lebih dominan daripada kekayaan batin. Praktik kolusi, korupsi, manipulasi dan penyalahgunaan wewenang serta kekuasaan telah merasuk di semua sisi kehidupan.Ini berarti betapa dominannya kekayaan lahir yang dilandasi nafsu serakah duniawi, yang jika tidak disertai dan diimbangi dengan kemampuan menguasai diri akan membawa kehancuran, hal ini tidak saja merugikan diri sendiri tapi sekaligus meru

gikan masyarakat, bangsa dan negara.Sedangkan kekayaan batin berdasarkan pada keteguhan mental, moral, norma-norma dan kode etik yang telah menjadi kesepakatan bersama. Ini akan memberikan manfaat

5/11/2018 lalalala - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/lalalala-55a2320a19ea2 3/5

bagi dirinya, yang pada gilirannya akan memberikan keuntungan kepada semua pihak.Dua,Digdaya tanpa aji (mampu menghadapi bahaya tidak dengan perlengkapan senjata).Setiap variabel apapun dari suatu sistem, harus berfungi sebagaimana fungsinya.Satu variabel tidak jalan akan membawa dampak kepincangan sistem tersebut. Agarvariabel tersebut berjalan dan berfungsi dengan baik, maka harus diketahui sejauhmana kesiapan dari variabel tersebut, disertai dengan sikap dan sifat yang posi

tif dan optimis serta mau menerima kekurangan maupun kelebihan lingkungannya. Jika sikap dan sifat ini dipelihara yang kemudian ditunjang dengan suatu pola pikir yang rasional, dinamis, konstruktif dan sistematis, maka sifat dan sikap ini merupakan suatu modal dan senjata yang sangat besar bagi masyarakat baik individu, lembaga/institusi maupun negara.Tiga, Ngalurug tanpa bala (Pergi berperang tidak disertai pasukan dan persenjataan yang lengkap).Di dalam manajemen, setiap kita melangkah terlebih dahulu mengadakan analisa SWOT (Strengh/Kekuatan, Weakness/Kelemahan, Opportunity/Peluang, dan Threat/Hambatan) dulu, sehingga kita tahu seberapa besar kekuatan dan keunggulan kita, kelemahan dan kekurangan yang ada pada kita, peluang-peluang yang mungkin serta kendala-kendala yang kita hadapi.

Dengan mengadakan analisa SWOT, kita memutuskan bagaimana langkah, kiat, strategi dan solusi dalam mengatasi segala permasalahan yang ada.Empat, Menang tanpa ngasorake (mendapat kemenangan tidak perlu merendahkan lawannya). Sikap ini harus dimiliki oleh setiap orang, terlebih para pengambil keputusan, dimana situasi yang serba duniawi, individualistis, budaya "katak"-isme berupa menghalalkan segala cara dengan mengorbankan lingkungan baik secara vertikal, horizontal bahkan diagonal.Budaya berbeda pendapat, menghargai kebenaran dan kebesaran lawan, dan budaya koreksi diri serta introspeksi diri harus ditumbuhkembangkan. Kita tidak perlu malu untuk belajar dari lawan kita kalau memang kita kalah segala-galanya dari lawan kita. Kita pun dengan jiwa besar harus mau menerima lawan kita sebagai mitra kerja.Perjuangan Batin

Timah mawi pasrah (Rela menerima kenyataan apapun yang sudah terjadi). Prinsip ini didasarkan atas keyakinan bahwa manusia sifatnya sebatas berusaha dan berikhtiar semampunya, sedangkan kewenangan terakhir ada pada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia harus sadar sepenuhnya bahwa betapapun tingginya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipunyainya, pada dasarnya masih jauh dari kekuasaan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.Suwung pamrih, tebih ajrih (jika tidak ada maksud buruk yang tersembunyi, tentunya kitaharus berani dan tidak perlu takut).Pada dasarnya semua sikap dan langkah manusia penuh pamrih. Bagi atasan rasa pamrih agar ìstatus quoî dan kelanggengan kekuasaannya terpenuhi, sedangkan bagi bawahansikap pamrih dimaksudkan untuk keselamatan diri dan mengkatrol diri. Akhirnya terjadi "simbiosis-mutualisme" (saling menguntungkan, saling membutuhkan) suatu po

tret yang demikian telah membudaya, sehingga pihak bawahan akan melakukan segalacara dan upaya seperti praktek katak-isme, beo-isme dan bebek-isme, sehingga laporan ke atas serba baik-baik saja, mulus-mulus saja.Kehancuran tinggal selangkah lagi dan tunggu waktu. Untuk mengatasi hal tersebut, maka semua pihak harus terbuka dan transparan. Masing-masing variabel harus berfungsi sebagaimana mestinya. Perbedaan pendapat dan kritik yang bisa dipertanggungjawabkan adalah suatu investasi masukan untuk perbaikan semua pihak. Langgengtan ana susah, tan ana bungah (Tetap tenang, tidak kenal suka maupun duka).Dalam menghadapi segala sesuatu, kita harus bersikap jiwa besar dan kepala dingin. Sebaik apapun maksud dan tujuan kita, belum tentu diterima dengan baik. Sebaliknya, sekecil apa pun kelemahan kita, akan merupakan kesempatan untuk memukul kita.Segala bentuk kritik, cercaan bahkan hujatan sekalipun, harus kita terima dengan sabar, jiwa besar dan mengambil hikmah. Begitu pun kita tak boleh lengah ol

eh pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada kita, harus kita terima dengan wajar dan ada adanya.Dalam setiap langkah kita, harus diperhitungkan betul dan teliti serta hati-hati

5/11/2018 lalalala - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/lalalala-55a2320a19ea2 4/5

. Kita harus siap menerima risiko dan konsekuensinya. Dengan demikian, niscaya kita siap menghadapi persaingan yang sedemikian ketat dan berat, terlebih pada era global.Anteng manteng sugeng jeneng (Diam sungguh-sungguh, selamat dan sentausa).Sifat dan sikap diam dan tenang sambil bekerja serta senantiasa mencemati lingkungan maupun menindaklanjuti hal-hal yang krusial harus kita lakukan. Kita harusmau untuk belajar dan selalu belajar untuk melengkapi diri.

Perkembangan iptek demikian cepat dan terus berkembang, persaingan semakin harisemakin ketat. Kita tak boleh lepas kendali dan harus mengacu pada norma dan kode etik baik agama maupun aspek kehidupan lainnya. Kita harus berani berkata benar kalau memang itu benar, dan berkata salah kalau memang itu salah. Kita senantiasa siap untuk koreksi diri dan menerima segala sesuatu dengan kepala dingin danjiwa besar.PenutupDengan mengimplementasikan sistem manajemen tersebut di atas, solusi minimalisasi krisis multi dimensi teratasi. Terlebih dengan disertai semua sifat dan sikapbaik lahir maupun batin yang jujur, rendah hati, lembut, sederhana, tegas, berjiwa besar, tulus dan ikhlas, terbuka, mengutamakan kepentingan orang banyak, niscaya kita akan bisa menempatkan diri dalam situasi dan kondisi apapun.

Kita siap berkompetisi dalam bentuk persaingan seketat dan sesulit apa pun sertadengan siapa pun, dan kita akan keluar sebagai pemenang dari semua kompetisi ini. (11)--- Imam Sudjono, Konsultan Manajemen, Pendiri/Ketua Yayasan Lembaga Kliping Nasionalhttp://www.suaramerdeka.com/harian/0610/02/opi04.htm

EmpatPilarDitulis oleh Prof Dr Azyumardi Azra MA

Kamis, 12 Mei 2011 16:42Empat pilar: Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi pembicaraan publik belakangan ini. Banyak kalangan tersentak ketika aksi-aksi terorismekembali marak, yang memperlihatkan sel-sel terorisme masih tetap bergerak di sekitar kita. Juga ada kehebohan tentang mahasiswa-mahasiswi dan pelajar yang terekrut NII; sebagian sudah kembali, dan sebagian lagi masih menghilang tanpa diketahui rimbanya.Baik mereka yang terlibat dalam sel-sel terorisme maupun yang tercuci otak olehjaringan NII jelas menganut ideologi dan agenda politik yang bertentangan denganempat pilar kebangsaan-kenegaraan Indonesia. Untuk mencapai agenda-agenda itu,mereka jelas terlihat tidak segan-segan melakukan berbagai bentuk aksi pelanggaran hukum dan bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti terorisme atau berbagai bentuk tindakan kekerasan lain.

Harus diakui, tidak banyak pembicaraan di kalangan publik tentang keempat pilaritu sepanjang masa demokrasi dan kebebasan sejak 1998. Jika ada, diskusi publiktentang keempat pilar itu, maka ia hilang-hilang timbul untuk kemudian seolah le

5/11/2018 lalalala - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/lalalala-55a2320a19ea2 5/5

nyap tanpa bekas. Tidak ada upaya tindak lanjut sistematis dari pemerintah khususnya untuk merevitalisasi, menyosialisasikan, dan menanamkan kembali keempat pilar itu dalam kehidupan kebangsaan-kenegaraan. Akibatnya, sepanjang reformasi politik yang bermula pada 1998, negara-bangsa Indonesia hampir tidak pernah putus dipenuhi gagasan, wacana, gerakan, dan aksi yang secara diametral bertolak belakang dengan keempat pilar itu.Semua orang sadar, lembaga pendidikan merupakan lokus terpenting dalam penanaman

dan penguatan semangat kebangsaan keindonesiaan tersebut. Seperti sering ditandaskan presiden pertama RI, Bung Karno, lembaga pendidikan adalah lokus paling utama dalam nation and character building.Tetapi, kebebasan membuat nyaris lenyapnya upaya transmisi pengetahuan dan praksis menyangkut keempat pilar itu dalam kehidupan kebangsaan-kenegaraan. Pancasila, yang pada masa-masa sebelumnya merupakan mata kuliah/pelajaran wajib, sejak saat itu hampir hilang dalam kurikulum lembaga-lembaga pendidikan sejak dari SD sampai perguruan tinggi.Keadaannya bertambah parah karena para guru dan dosen yang mulai bertugas sejakmenjelang akhir 1990-an tidak lagi mendapatkan penguatan paham kebangsaan-keindonesiaan tersebut. Jika pun mereka mendapatkannya, itu hanya selintas ketika mereka yang bakal menjadi guru dan dosen PNS menempuh latihan prajabatan. Setelah it

u, mereka hampir tidak lagi bersentuhan dengan keempat pilar. Karena itu, merekajuga dengan mudah tergoda dan tertarik pada paham dan ideologi lain, yang bukantidak mungkin mereka tularkan kepada para pelajar dan mahasiswa mereka.Akibatnya mudah bisa diduga. Para mahasiswa dan pelajar yang tidak lagi menerimamateri tentang keempat pilar itu hampir tidak lagi mengetahui prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Keempat pilar nyaris lenyap dari kesadaran mereka. Jika mereka tidak mengetahui dan menyadari keempat pilar itu, bagaimana mereka bisa diharapkan memiliki komitmen ideologis kepada negara-bangsa Indonesia ini?Sebaliknya, kondisi itu membuat mereka sangat rentan, rawan, dan mudah tergelincir menjadi tertarik kepada paham dan ideologi lain yang bukan hanya bertentangandengan keempat pilar itu. Dengan iklim dan suasana kebebasan ditambah akses tanpa batas kepada informasi instan di dunia maya, berbagai macam ideologi yang ber

tentangan dengan keempat pilar itu dengan mudah menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Sekali mereka terpengaruh dan terekrut ke dalam ideologi-khususnya yangradikal-mereka hampir secara instan pula terdorong melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme. Keadaan ini jika tidak mampu diatasi pemerintah, Indonesia dapat menjadi negara gagal, dan bahkan terjerumus ke dalam disintegrasi.Karena itu, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah konkret ke arah revitalisasi dan sosialisasi kembali keempat pilar kebangsaaan-kenegaraan itu melalui berbagai kelembagaan, baik pemerintah maupun masyarakat luas. Tanpa langkahdan usaha yang konkret, jelas pengikisan kesadaran tentang kebangsaan-keindonesiaan terus terkikis.Reintroduksi pengetahuan dan praksis tentang keempat pilar itu dalam kurikulum-sejak dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi-karena itu sudah saatnya pula

perlu segera dilaksanakan. Penangggung jawab pendidikan-dalam hal ini Kementerian Pendidikan-hendaknya segera mengambil kebijakan afirmatif tentang hal ini. Satu hal jelas, secara substantif maupun metodologis, sosialisasi keempat pilar melalui lembaga pendidikan memerlukan kontekstualisasi sehingga pengalaman buruk yang terjadi pada masa Orde Baru dengan Penataran P4-nya tidak terulang kembali.Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah JakartaTulisan dimuat di Harian Republika, 12 Mei 2011.