L DIAWALI 1990, TETAP EKSIS - radarsby.com · dari beras berbentuk lonjong, dibungkus daun pisang...

1
L ONTONG, makanan yang terbuat dari beras berbentuk lonjong, dibungkus daun pisang dan dikukus ini menjadi salah satu makanan khas Kota Surabaya. Karena kekhasannya, salah satu kampung di Kota Surabaya ada yang dijuluki dengan Kampung Lontong. Kampung yang terletak di Jalan Banyu Urip Lor, Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan ini, hampir mayoritas warganya berjualan lontong. Ribuan lontong dihasilkan oleh warga setiap harinya. Otomatis, ribuan ton beras juga termasak habis untuk membuat lontong. “Mayoritas warga di sini pekerjaaanya membuat lontong, dari RW 6, RW 7, dan RW 9. Tapi pusatnya ada di RW 6, di Gang X Jalan Banyu Urip lor,” ucap Koordinator Paguyuban Pedagang Lontong Mandiri, Ari Siswanto, 39. Ada yang beda dari kebanyakan lontong yang dijumpai di luar Kota Surabaya. Khas dari lontong Surabaya, yakni terletak pada daunnya. Selain menggunakan daun dari pisang jenis Klutuk, tata letak daun pisangnya pun berbeda dari kebanyakan lontong buatan luar Surabaya. “Daun pisang untuk membungkus lontong dibalik, sisi luarnya ditaruh dalam. Bukan tanpa alasan, hal itu agar saat matang, lontong bisa berwarna kuning keemasan. Itu juga yang memberikan rasa enak pada lontong dan juga menjaga lontong agar bisa bertahan dua sampai tiga hari, selain dimasak hingga 10 jam lamanya,” ujar Ari. Banyaknya warga yang bergantung hidup pada lontong, tidak membuat satu sama lain berebut pasar. Warga cenderung memiliki pelanggan pribadi. Selain itu, banyaknya pasar tradisional di Surabaya menjadikan para pedagang lontong tidak saling berebut pasar. Oleh warga biasanya dibagi tiga sesi dalam pendistribusian lontong. Sesi pertama terjadi pada jam 01.00 hingga 03.00 dini hari. Pasar-pasar yang beroperasi dinihari menjadi sasaran para pedagang lontong. Sesi kedua pada jam 06.00 sampai 12.00 WIB. Sedangkan sesi terakhir ada pada jam 13.00 WIB hingga sore hari. “Ini juga tidak ada yang mengintruksi, warga sudah bisa melihat pangsa pasarnya sendiri. Pendistribusiannya juga tidak hanya di pasar tradisional Surabaya. Kota-kota tetangga seperti Gersik, Sidoarjo, Lamongan, Madura bahkan Bojonegoro juga ada yang mengambil lontong Surabaya,” tutur warga Jalan Banyu Urip Lor Gang X nomor 34 ini. Terkait omset atau pendapatan juga terhitung lumayan bagi para pedagang lontong. Dalam hitungan hari, uang Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu masuk dalam kantong para pedagang yang tinggal di Kampung Lontong ini. (yaz/nur) layouter: dony RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 HALAMAN 34 DIAWALI 1990, TETAP EKSIS HINGGA KINI EKSISTENSI kampung lontong tak pernah lepas dari banyaknya makanan khas Kota Surabaya yang menjadikan lontong sebagai peganti nasi. Seperti rujak cingur, tahu tek, lontong balap, dan beberapa kuliner lain yang masih menggunakan lontong menjadikan para pedagang lontong di Kampung Lontong ini tetap eksis. Warga di Kampung Lontong juga meyakini lontong akan terus menjadi makanan yang identik dengan masyarakat Jatim, khususnya Surabaya. Koordinator Paguyuban Pedagang Lontong Mandiri, Ari Siswanto mengatakan, Kampung Lontong ini ada sejak tahun 1990 lalu. Dulunya kampung yang terletak di Jalan Banyu Urip Lor, Kelurahan Kupang Krajan ini identik dengan Kampung Tempe. Namun, karena harga kedelai yang semakin melunjak, warga akhirnya beralih berdagang lontong. “Saya sendiri mulai berdagang lontong sejak tahun 2000. Kurang tahu pasti siapa yang mempelopori, yang pasti itu inisiatif dari warga sini sendiri,” ucap Ari yang dulunya bekerja sebagai driver distributor cat di Surabaya ini. Keunikan Kampung Lontong sendiri sempat dilirik oleh wisatawan mancanegara. Rata-rata para turis tersebut penasaran dengan adanya Kampung Lontong. Ingin belajar cara membuat lontong menjadi alasan tersendiri bagi para turis. “Turis dari Belanda pernah datang untuk melihat aktivitas di kampung ini. Para turis datang bersama mahasiswa. Katanya sih penasaran dengan Kampun Lontong dan ingin belajar membuat lontong,” kata bapak dua anak ini. 27 tahun sejak berdiri, Kampung Lontong tetap menjadi pusat penghasil lontong di Surabaya. Rutinitas warga Kampung Lontong ini juga masih tetap berlanjut. Tak akan pernah berhenti selagi makanan khas Kota Pahlawan masih tetap dinikmati. (yaz/nur) Kembangkan Warna-Warna Alam SEIRING dengan isu Go Green, Sunarsih pun berupaya untuk mengembangkan bahan- bahan pemwarna alam. Meski prosesnya lebih lama, tetapi hasil pewarnaannya memiliki SEIRING dengan isu Go Green, Sunarsih pun berupaya untuk mengembangkan bahan- bahan pemwarna alam. Meski prosesnya lebih lama, tetapi hasil pewarnaannya memiliki eksoktisme tersendiri. “Dari sisi waktu, selisih banyak sekali dibanding pakai warna tekstil. Dalam dua minggu bikin yang tekstil bisa dua sampai tiga kali lipatnya,” ujar Sunarsih. Sedangkan untuk membuat batik jumput, sebenarnya hampir sama dengan batik pada umumnya. Bedanya tidak memerluka canting. Sebab batik jumput, sebelum pencelupan warna, kain lebih dulu diikat menggunakan tali atau karet di beberapa sisi sesuai dengan yang diinginkan. “Kain putih polos dijumput sesuai selera kemudian diberi pewarna alami seperti dari sabut kelapa, daun mangga atau lainnya yang direbus dan diambil sarinya, lalu kain jumputan ini di celup sebanyak 30 kali barulah dijemur,” urai Sunarsih. Butuh waktu setengah hari untuk mendapatkan hasil maksimal. Yang penting, penjemuran tetap tidak boleh kena sinar matahari langsung. “Proses pembuatannya sebenarnya cukup mudah yang bikin susah adalah faktor cuaca, terkadang hujan kadang panas ini yang menjadi kain menjadi kurang maksimal,”ungkapnya. Berbagai model jumput pun terus diperbarui setiap bulannya seperti motif puser, matasapi, keong, tritik, matahari, bunga, ulat dan sebagainya. (psy/nug) M ENDENGAR istilah Batik Jumput, pasti terbayang beraneka ragam motif unik, cantik dan bewarna-warni. Keistimewaan itulah yang ternyata mampu memikat wisatawan lokal maupun mancanegara untuk menjadikannya sebagai buah tangan favorit. Hal itu, setidaknya telah dibuktikan oleh Batik Jumput asal Banyu Urip. Batik Jumput Tirta Indah di sana, telah menjadi salah satu industri kreatif rumahan asli Surabaya. Usaha yang dimotori Sunarsih ini, sudah berjalan empat tahun dan telah menciptakan beragam jenis model batik jumput. Awalnya sebagai ibu rumah tangga, Sunarsih sekedar mengikuti pelatihan menjahit dan membatik sebuah LSM lintas negara di Yogyakarta. Itu tahun 2010. “Awalnya ragu-ragu. Tapi ternyata bisa belajar banyak dari sana, kemudian ikut pelatihan dari Bapemas Pemkot Surabaya,” ujar perempuan berhijab itu. Tahun 2014 Sunarsih akhirya bertekad memproduksi sendiri di belakang rumahnya di Simo Kwagean gang Buntu Kidul, dibantu empat orang tetangga . Toh, modal kemampuan menjahit telah dimilikinya. “Mereka tugasnya mengikat kain saja. Untuk pengerjaan masih saya sendiri untuk menjaga kualitasnya,” ujar perempuan bertubuh subur itu. Batik karya Sunarsih ini masih mengandalkan aplikasi jumputan dari pewarna tekstil serta pewarna alam, dengan produksi yang dihasilkan berupa kain bahan, blus, kemeja, kaus, dress, pasmina, hingga dompet. Uniknya, meskipun tidak memiliki butik atau toko permanen, Batik Jumput Sunarsih laris terjual dan cukup dikenal. Apalagi ia memang kerap diundang untuk mengikuti sejumlah pameran penting di wilayah Surabaya, bahkan dua kali pameran di Pekan Raya Jakarta (PRJ). Pameran ke luar negeri? Belum. Tapi Sunarsih bangga karena produknya sudah banyak diborong bule- bule. “Jangan salah, batik saya di mana-mana di eropa sana. Ada dari Belanda, Amerika dan lainnya,” kelakarnya. Sunarsih memanfaatkan kedatangan kapal pesiar dari Eropa yang merapat di Pelabuhan Tanjung Perak sehingga bisa pamer langsung ke para penumpang. Tahun 2016 lalu pun, ia juga ikut pameran produk UKM batik saat penyelenggaraan konferensi UN Habitat 2016 lalu. Beberapa bule yang mampir ke stan memborong puluhan potong batik setiap harinya. “Saya biasa kasih harga 20-25 dollar. Mereka mau dan senang motifnya. Secara tak langsung kan barang kita ke sana. Ada di luar negeri dan dipakai mereka. Hahaha,” ujarnya. Sunarsih mengaku, kain bahan masih menjadi best seller yang dimilikinya. Baru kemudian disusul dengan blus dan kemeja. “Kalau baju memang mengikuti tren. Jadi kita sesuaikan dengan yang sedang digandrungi,” imbuhnya. Menurutnya, hingga saat ini respon pasar masih bagus. (psy/ nug) Kampung Lontong Banyu Urip Lor, Kec. Sawahan BERDAYAKAN MASYARAKAT: Pembuatan lontong di Kampung Lontong Banyu Urip melibatkan ibu-ibu dan anak-anak. Saya biasa kasih harga 20-25 dollar. Mereka mau dan senang motifnya. Secara tak langsung kan barang kita ke sana. Ada di luar negeri dan dipakai mereka. Hahaha.” SUNARSIH Pengusaha Batik Jumput

Transcript of L DIAWALI 1990, TETAP EKSIS - radarsby.com · dari beras berbentuk lonjong, dibungkus daun pisang...

Page 1: L DIAWALI 1990, TETAP EKSIS - radarsby.com · dari beras berbentuk lonjong, dibungkus daun pisang dan dikukus ini menjadi salah satu makanan ... Tirta Indah di sana, telah menjadi

LONTONG, makanan yang terbuat dari beras berbentuk lonjong, dibungkus daun pisang dan dikukus ini menjadi salah satu makanan

khas Kota Surabaya. Karena kekhasannya, salah satu kampung di Kota Surabaya ada yang dijuluki dengan Kampung Lontong.

Kampung yang terletak di Jalan Banyu Urip Lor, Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan ini, hampir mayoritas warganya berjualan lontong. Ribuan lontong dihasilkan oleh warga setiap harinya. Otomatis, ribuan ton beras juga termasak habis untuk membuat lontong.

“Mayoritas warga di sini pekerjaaanya membuat lontong, dari RW 6, RW 7, dan RW 9. Tapi pusatnya ada di RW 6, di Gang X Jalan Banyu Urip lor,” ucap Koordinator Paguyuban Pedagang Lontong Mandiri, Ari Siswanto, 39.

Ada yang beda dari kebanyakan lontong yang dijumpai di luar Kota Surabaya. Khas dari lontong Surabaya, yakni terletak pada daunnya. Selain menggunakan daun dari pisang jenis Klutuk, tata letak daun pisangnya pun berbeda dari kebanyakan lontong buatan luar Surabaya.

“Daun pisang untuk membungkus lontong dibalik, sisi luarnya ditaruh dalam. Bukan tanpa alasan, hal itu agar saat matang, lontong bisa berwarna kuning keemasan. Itu juga yang memberikan rasa enak pada lontong dan juga menjaga lontong agar bisa

bertahan dua sampai tiga hari, selain dimasak hingga 10 jam lamanya,” ujar Ari.

Banyaknya warga yang bergantung hidup pada lontong, tidak membuat satu sama lain berebut pasar. Warga cenderung memiliki pelanggan pribadi. Selain itu, banyaknya pasar tradisional di Surabaya menjadikan para pedagang lontong tidak saling berebut pasar.

Oleh warga biasanya dibagi tiga sesi dalam pendistribusian lontong. Sesi pertama terjadi pada jam 01.00 hingga 03.00 dini hari. Pasar-pasar yang beroperasi dinihari menjadi sasaran para pedagang lontong. Sesi kedua pada jam 06.00 sampai 12.00 WIB. Sedangkan sesi terakhir ada pada jam 13.00 WIB hingga sore hari.

“Ini juga tidak ada yang mengintruksi, warga sudah bisa melihat pangsa pasarnya sendiri. Pendistribusiannya

juga tidak hanya di pasar tradisional Surabaya. Kota-kota tetangga seperti Gersik, Sidoarjo, Lamongan, Madura bahkan Bojonegoro juga ada yang mengambil lontong Surabaya,” tutur warga Jalan Banyu Urip Lor Gang X nomor 34 ini.

Terkait omset atau pendapatan juga terhitung lumayan bagi para pedagang lontong. Dalam hitungan hari, uang Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu masuk dalam kantong para pedagang yang tinggal di Kampung Lontong ini. (yaz/nur)

layouter: dony

RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 HALAMAN 34

BAHAN BAKU: Batang bawang putih dan hasil dikreasi Muslikah.

DIAWALI 1990,

TETAP EKSIS

HINGGA KINIEKSISTENSI kampung

lontong tak pernah lepas dari banyaknya makanan khas Kota

Surabaya yang menjadikan lontong sebagai peganti nasi.

Seperti rujak cingur, tahu tek, lontong balap, dan beberapa

kuliner lain yang masih menggunakan lontong menjadikan

para pedagang lontong di Kampung Lontong ini tetap eksis. Warga di

Kampung Lontong juga meyakini lontong akan terus menjadi makanan

yang identik dengan masyarakat Jatim, khususnya Surabaya.

Koordinator Paguyuban Pedagang Lontong Mandiri, Ari Siswanto mengatakan,

Kampung Lontong ini ada sejak tahun 1990

lalu. Dulunya kampung yang terletak di Jalan Banyu Urip Lor, Kelurahan Kupang Krajan ini identik dengan Kampung Tempe. Namun, karena harga kedelai yang semakin melunjak, warga akhirnya beralih berdagang lontong.

“Saya sendiri mulai berdagang lontong sejak tahun 2000. Kurang tahu pasti siapa yang mempelopori, yang pasti itu inisiatif dari warga sini sendiri,” ucap Ari yang dulunya bekerja sebagai driver distributor cat di Surabaya ini.

Keunikan Kampung Lontong sendiri sempat dilirik oleh wisatawan mancanegara. Rata-rata para turis tersebut penasaran dengan adanya Kampung Lontong. Ingin belajar cara membuat lontong menjadi alasan tersendiri bagi para turis.

“Turis dari Belanda pernah datang untuk melihat aktivitas di kampung ini. Para turis datang bersama mahasiswa. Katanya sih penasaran dengan Kampun Lontong dan ingin belajar membuat lontong,” kata bapak dua anak ini.

27 tahun sejak berdiri, Kampung Lontong tetap menjadi pusat penghasil lontong di Surabaya. Rutinitas warga Kampung Lontong ini juga masih tetap berlanjut. Tak akan pernah berhenti selagi makanan khas Kota Pahlawan masih tetap dinikmati. (yaz/nur)

Kembangkan Warna-Warna Alam

SEIRING dengan isu Go Green, Sunarsih pun berupaya untuk mengembangkan bahan-bahan pemwarna alam. Meski prosesnya lebih lama, tetapi hasil pewarnaannya memiliki

SEIRING dengan isu Go Green, Sunarsih pun berupaya untuk mengembangkan bahan-bahan pemwarna alam.

Meski prosesnya lebih lama, tetapi hasil pewarnaannya memiliki eksoktisme tersendiri.

“Dari sisi waktu, selisih banyak sekali dibanding pakai warna tekstil. Dalam dua minggu bikin yang tekstil bisa dua sampai tiga kali lipatnya,” ujar

Sunarsih.Sedangkan untuk membuat

batik jumput, sebenarnya hampir sama dengan batik pada umumnya. Bedanya tidak memerluka canting. Sebab batik jumput, sebelum pencelupan warna, kain lebih dulu diikat menggunakan tali atau karet di beberapa sisi sesuai dengan yang diinginkan. “Kain putih polos dijumput sesuai selera kemudian diberi pewarna alami seperti dari sabut kelapa, daun mangga atau lainnya yang direbus dan diambil sarinya, lalu kain jumputan ini di celup sebanyak 30 kali barulah dijemur,” urai Sunarsih.

Butuh waktu setengah hari untuk mendapatkan hasil maksimal. Yang penting, penjemuran tetap tidak boleh kena sinar matahari langsung. “Proses pembuatannya sebenarnya cukup mudah yang bikin susah adalah faktor cuaca, terkadang hujan kadang panas ini yang menjadi kain menjadi kurang maksimal,”ungkapnya.

Berbagai model jumput pun terus diperbarui setiap bulannya seperti motif puser, matasapi, keong, tritik, matahari, bunga, ulat dan sebagainya. (psy/nug)

MENDENGAR istilah Batik Jumput, pasti terbayang beraneka ragam motif unik, cantik dan bewarna-warni.

Keistimewaan itulah yang ternyata mampu memikat wisatawan lokal maupun mancanegara untuk menjadikannya sebagai buah tangan favorit.

Hal itu, setidaknya telah dibuktikan oleh Batik Jumput asal Banyu Urip. Batik Jumput Tirta Indah di sana, telah menjadi salah satu industri kreatif rumahan asli Surabaya.

Usaha yang dimotori Sunarsih ini, sudah berjalan empat tahun dan telah menciptakan beragam jenis model batik jumput. Awalnya sebagai ibu rumah tangga, Sunarsih sekedar mengikuti pelatihan menjahit dan membatik sebuah LSM lintas negara di Yogyakarta. Itu tahun 2010. “Awalnya ragu-ragu. Tapi ternyata bisa belajar banyak dari sana, kemudian ikut pelatihan dari Bapemas Pemkot Surabaya,” ujar perempuan berhijab itu.

Tahun 2014 Sunarsih akhirya bertekad memproduksi sendiri di belakang rumahnya di Simo Kwagean gang Buntu Kidul, dibantu empat orang tetangga . Toh, modal kemampuan menjahit telah dimilikinya. “Mereka tugasnya mengikat kain saja. Untuk

pengerjaan masih saya sendiri untuk menjaga kualitasnya,” ujar perempuan bertubuh subur itu.

Batik karya Sunarsih ini masih mengandalkan aplikasi jumputan dari pewarna tekstil serta pewarna alam, dengan produksi yang dihasilkan berupa kain bahan, blus, kemeja, kaus, dress, pasmina, hingga dompet.

Uniknya, meskipun tidak memiliki butik atau toko permanen, Batik Jumput Sunarsih laris terjual dan cukup dikenal. Apalagi ia memang kerap diundang untuk mengikuti sejumlah pameran penting di wilayah Surabaya, bahkan dua kali pameran di Pekan Raya Jakarta (PRJ).

Pameran ke luar negeri? Belum. Tapi Sunarsih bangga karena produknya sudah banyak diborong bule-bule.

“Jangan salah, batik saya di mana-mana di eropa sana. Ada dari Belanda, Amerika dan lainnya,” kelakarnya.

Sunarsih memanfaatkan kedatangan kapal pesiar dari Eropa yang merapat di Pelabuhan Tanjung Perak sehingga bisa pamer langsung ke para penumpang. Tahun 2016 lalu pun, ia juga ikut pameran produk UKM batik saat penyelenggaraan konferensi UN Habitat 2016 lalu. Beberapa bule yang mampir ke stan memborong puluhan potong batik setiap harinya. “Saya biasa kasih harga 20-25 dollar. Mereka mau dan senang motifnya. Secara tak langsung kan barang kita ke sana. Ada di luar negeri dan dipakai mereka. Hahaha,” ujarnya.

Sunarsih mengaku, kain bahan masih menjadi best seller yang dimilikinya. Baru kemudian disusul dengan blus dan kemeja. “Kalau baju memang mengikuti tren. Jadi kita sesuaikan dengan yang sedang digandrungi,” imbuhnya.

Menurutnya, hingga saat ini respon pasar masih bagus. (psy/nug)

Kampung Lontong Banyu

Urip Lor, Kec. Sawahan

BERDAYAKAN MASYARAKAT:

Pembuatan lontong di Kampung

Lontong Banyu Urip melibatkan ibu-ibu

dan anak-anak.

Saya biasa kasih harga 20-25 dollar.

Mereka mau dan senang motifnya.

Secara tak langsung kan barang kita ke

sana. Ada di luar negeri dan dipakai

mereka. Hahaha.”

SUNARSIH Pengusaha Batik

Jumput