KUHP, KUHAP

download KUHP, KUHAP

of 28

Transcript of KUHP, KUHAP

KUHP, KUHAP, UNDANG-UNDANG TERKAIT DOKTER, UNDANG-UNDANG TENTANG KDRT DAN PERLINDUNGAN ANAKWd. Nur Intan OctinaA. Undang Undang Yang Berkaitan Dengan Ilmu Kedokteran Forensik1. Undang undangUndang undang DasarUndang-undang Dasar adalah peraturan negara yang tertinggi dalam Negara, yang memuat ketentuan ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber daripada perundangan lainnya yang kemudian dikeluarkan oleh negara itu. Undang undang dasar ialah hukum dasar tertulis.Hukum adalah himpunan peraturan peraturan (perintah-perintah dan laranganlarangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu sendiri.

2. Ilmu Kedokteran Forensika. DefinisiAda berbagai pengertian yang dikemukakan oleh ahli Kedokteran Forensik, diantaranya Sidney Smith mendefinisikan Forensic medicine may be defined as the body of knowledge which may services in the administration of the law, yang maksudnya ilmu Kedokteran Forensik merupakan kumpulan ilmu pengetahuan medis yang menunjang pelaksanaan penegakan hukum. Simpson K. mendefinisikan which deals with the broad field where medical matters come into relation with the law certification of live and dead, the study of sudden or violent or unexplained death, scientific criminsl investigation, matters involving the coroners, court procedure, medical ethnics and the like. Terjemahan bebasnya ialah ilmu kedokteran yang berhubungan dengan pengeluaran surat-surat keterangan untuk orang hidup maupun mati demi kepentingan hukum, mempelajari kematian tiba-tiba, karena kekerasan atau kematian yang mencurigakan sebabnya, penyidikan tindakan kriminal secara ilmiah, halhal yang berhubungan dengan penyidikan, kesaksian, etika kedokteran dan sebagainya.

b. Ruang lingkup pelayananTernyata pelayanan dibidang medikolegal dalam beberapa kasus masih diperlukan disiplin lain. Dibidang kesehatan bantuan tersebut dapat mencakup Patologi Forensik, Psikiatri Forensik, Toksikologi Forensik, Antropologi Forensik, Odontologi Forensik dan Radiologi Forensik. Juga jurusan biologi yang dekat dengan ilmu kedokteran yaitu Entomologi Forensik yang dalam 2 dekade terakhir menunjukan peranan yang meningkat.

c. Fungsi utama ilmu ilmu forensik1) Membantu penegak hukum menentukan apakah suatu peristiwa yang sedang diselidiki merupakan peristiwa pidana atau bukan.2) Membantu penegak hukum mengetahui bagaimana proses tindak pidana tersebut, meliputi :a) Kapan dilakukanb) Dimana dilakukanc) Dengan apa dilakukand) Bagaimana cara melakukane) Apa akibatnya3) Membantu penegak hukum mengetahui identitas korban.4) Membantu penegak hukum mengetahui identitas pelaku tindak pidana.

d. Perundangan-undangan mengenai prosedur pemeriksaan kehakimanDalam menyadari kewajiban dan fungsi dokter dalam membantu proses peradilan pemeriksaan kedokteran:1) Menjelaskan dasar hukum yang mewajibkan dokter untuk membantu proses peradilan.2) Mengenal siapa yang berwenang untuk meminta bantuan dokter dalam proses peradilan.3) Mengenal kualifikasi dokter yang dapat diminta dalam proses peradilan.4) Menjelaskan sanksi yang dapat dikenakan bila dokter tidak memenuhi permintaan membantu proses peradilan.Seseorang selain kewajibannya untuk mencegah menjangkitnya penyakit ada lagi tugas yang dibebankan kepadanya yaitu membantu pihak yang berwenang dalam menegakkan keadilan ditengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat dilaksanakan kalau permintaan yang berwenang meminta bantuan dokter-dokter ahli kedokteran kehakiman atau ahli lainnya sesuai dengan pasal 133 KUHP ayat 1. Dimana pihak tersebut penyelidik, hakim, jaksa penuntut tidaklah mungkin mengetahuhi seluruh ilmu dibidang kedokoteran yang nantinya akan dipergunakan untuk memutuskan perkara kriminal yang berhubungan dengan tubuh manusia misalnya: kekerasan, pembunuhan, bunuh diri. Untuk maksud tersebut maka pihak yang berwenang akan meminta bantuan kepada seorang dokter sebagai saksi ahli yang mana kesaksian dokter ini diatur oleh undang-undang.Yang perlu diketahui oleh kalangan kedokteran adalah: 1) Dokter wajib membantu pihak peradilan dalam menegakkan kebenaran atau keadilan

Pasal 179 KUHAP(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakirnan atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

2) Pemeriksaan Mayat Untuk PeradilanPasal 134 KUHAP(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.Pasal 135 KUHAPDalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.Pasal 136 KUHAPSemua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ditanggung oleh negara.3) Sanksi bagi dokter yang tidak mau membantu proses peradilan

Pasal 222 KUHPBarang siapa dengan sengaja mencegah,menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan,dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 224 ayat (1) KUHPBarang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:a) Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.b) Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan.

4) Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran

Pasal 1.Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.

Pasal 2.Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah ini menentukan lain.

Pasal 3.Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:a) Tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1963 No. 79).b) Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

5) Syarat syarat untuk membuka rahasia jabatan

Pasal 48 KUHPBarang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHPBarang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang undang, tidak dipidana.

Pasal 51 KUHP ayat (1)(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

6) Dokter dapat mengundurkan diri dari kesaksiannyaPasal 170 KUHAP(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

7) Ancaman membuka rahasia jabatanPasal 322 KUHP(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

e. Visum et Repertum

1) Dasar pengadaan Visum et RepertumPasal 133 KUHAP(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.(2) Permintaan keterangan ahli sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan memberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.Menurut pasal 133 KUHAP permintaan visum et repertum merupakan wewenang penyidik , resmi dan harus tertulis, visum et repertum dilakukan terhadap korban bukan tersangka dan ada indikasi dugaan akibat peristiwa pidana. Bila pemeriksaan terhadap mayat maka permintaan visum disertai identitas label pada bagian badan mayat, harus jelas pemeriksaan yang diminta, dan visum tersebut ditujukan kepada ahli kedokteran forensik atau kepada dokter di rumah sakit.

2) Yang berwenang dalam meminta visumPasal 6(1) Penyidik adalah:a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang.(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur Iebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

3) Permintaan Sebagai Saksi AhliPasal 179 (1) KUHAPSetiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.Pasal 224 KUHP Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana dengan penjara paling lama Sembilan Bulan.

4) Pembuatan Visum Et Repertum Bagi Tersangka (VeR Psikiatri)Pasal 120 KUHAP(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.Pasal 180 KUHAP(2) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul disidang pengadilan, hakim ketua siding dapat minta keterangan saksi ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.Pasal 53 UU Kesehatan(3) Tenaga kesehatan untuk kepentingan pembuktian dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.

5) Keterangan AhliPasal I Butir 28 KUHAPKeterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (pengertian keterangan ahli secara umum). Agar dapat diajukan kesidang pengadilan sebagai upaya pembuktian, keterangan ahli harus dikemas dalam bentuk alat bukti sah.

6) Alat Bukti SahPasal 138 KUHAPHakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.Pasal 184 KUHAP ayat (1)Alat bukti yang sah adalah :a. Ketererangan saksib. Keterangan ahlic. Suratd. Petunjuke. Keterangan terdakwa

Keterangan ahli diberikan secara lisanPasal 186Keterangan ahli adalah apa yang ahli nyatakan di sidang pengadilan.Penjelasan pasal 186Keterangan ahli dapat juga sudah diberi pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan ( BAP saksi ahli).

Keterangan Ahli Diberikan Secara TertulisPasal 187 KUHAPSurat sebagaimana tersebut pada pada 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah : (c) surat keterangan dari seseorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

f. Proses peradilan Penyelesaian secara hukum kasus kasus yang tergantung dari jenisnya, yaitu pidana atau perdata. Kasus pidana atau perdata. Kasus pidana terjadi jika ada pelanggaran terhadap hukum pidana; meliputi pelanggaran yang sifatnya intensional (kesengajaan), recklessness (kecerobohan) atau negligence (kekurang hati-hatian). Pelanggaran tersebut dapat merugikan Negara, mengganggu kewibaan pemerintah atau mengganggu ketertiban umum. Contohnya antara lain pembunuhan, penganiayaan, perkosaan dan sebagainya. Sedangkan kasus perdata terjadi jika ada pelanggaran terhadap hak seseorang seperti diatur dalam hokum perdata sehingga menyebabkan kerugian bagi yang bersangkutan. Contoh dari kasus perdata antara lain; perbuatan-perbutan yang dapat menyebabkan kerugian materiil atau pun materiil, perceraian, perselisihan tentang keayahan seoran anak dan sebagainya.Dikenal dua macam proses peradilan yang sering melibatkan kalangan dokter, yaitu: Perkara pidana Perkara perdata

1) Perkara pidanaAdalah Perkara pidana adalah perkara yang menyangkut kepentingan dan ketentraman masyarakat dimana pihak yang berperkara adalah antara jaksa penuntut umum mewakili Negara dengan tertuduh.Proses peradilan pidana terdiri atas 3 tahap, yaitu : Penyelidikan oleh penyidik. Penuntutan oleh penuntut umum Mengadili perkara oleh hakimJika penyelidik yakin adanya peristiwa pidana, maka tindakan selanjutnya adalah membuat dan menyampaikan laporan kepada penyidik. Dalam tahap ini keterlibatan ahli (pemeriksaan dokter dalam perkara yang berkaitan dengan kekerasan pada manusia) untuk membantuk penyidik sangat penting yaitu sebagai kompas dalam mengarahkan penyidikan.

B. Undang Undang Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga1. Definisi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 Pasal 1 angka 1 (UU PKDRT) memberikan pengertian bahwa :Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi: Suami, isteri, dan anak Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

2. Bentuk- bentuk kekerasan dalam rumah tanggaMengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud. Kekerasan Fisik Kekerasan Psikis Kekerasan Seksual Penelantaran rumah tangga

1) Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan menggunakan tangan maupun alatseperti (kayu, parang), membenturkan kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau dengan kayu yang bara apinya masih ada, menendang, mencekik leher.2) Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah, hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di luar rumah.3) Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 8Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan seksual walaupun isteri dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain.4) Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 9Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Penelantaran seperti meninggalkan isteri dan anak tanpa memberikan nafkah, tidak memberikan isteri uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.

3. Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai berikut :

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 441) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah).2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah).3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipadana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,-(Empat puluh lima juta rupiah).4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-harian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,-(Lima juta rupiah).UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 451) Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,- (Sembilanjuta rupiah).2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidanakan penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,- (Tiga juta rupiah).UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 46Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,- (Tiga puluh enam juta rupiah).UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 47Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00-(dua belas juta rupiah) atau paling banyak Rp 300.000.000,00-(tiga ratus juta rupiah).UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 48Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara palingsingkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00-(dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00- (lima ratus juta rupiah).UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 49 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00-(lima belas juta rupiah), setiap orang yang:a) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).b) Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 50Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :a) Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.b) Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

4. Pemulihan korban kekerasan dalam rumah tanggaPemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 39 Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:1) Tenaga kesehatan;2) Pekerja sosial;3) Relawan pendamping; dan/atau4) Pembimbing rohani.UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 40(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.

C. Undang-Undang Perlindungan Anak1. DefinisiDalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 pasal 1 dijelaskan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Tujuan Perlindungan anak dalam UU No.23 tahun 2002 pasal (3) adalah Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

2. Bentuk- Bentuk Perlindungan AnakMengacu kepada UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 13 tentang perlindungan anak :(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 15 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan. UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 16 (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

3. Penyelenggaraan Perlindungan Dalam UU No. 23 Tahun 2002

a. Perlindungan Agama UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 42 (1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 43 (1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya. (2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

b. Perlindungan Kesehatan UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 44 (1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. (2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat. (3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.

UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 45 (1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. (2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 47 (1) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain. (2) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan : a. pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak; b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan c. penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.

c. Perlindungan Pendidikan UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 48 Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 50 Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada : a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal; b. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi; c. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri; d. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan e. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup. UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 54 Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

d. Perlindungan Sosial UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 56 (1) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat : a. Berpartisipasi; b. Bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; c. Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak; d. Bebas berserikat dan berkumpul; e. Bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan f. Memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. (2) Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak.

e. Perlindungan Khusus UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 59 Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 60 Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 terdiri atas : a. anak yang menjadi pengungsi; b. anak korban kerusuhan; c. anak korban bencana alam; dan d. anak dalam situasi konflik bersenjata.

4. Ketentuan Pidana diatur oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 78 Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 80 (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 81 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 83 Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 84 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 85 (1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 86 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 87 Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 88 Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 89 (1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

DAFTAR PUSTAKA1. Ismail Sidiq. Pengertian dan Tujuan Hukum. Fakultas Hukum Universitas Gunadarma. Jakarta. 2004.2. Amri Amir. ILmu Kedokteran Forensik Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK USU. Medan. 2007. Hal.16-44.3. Singh Surjit. Ilmu Kedokteran Forensik . Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK USU. Medan. 2010. Hal.1-23.4. Republik Indonesia. 1981. Undang-Undang No.8. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.5. Republik Indonesia. 1946. Undang-Undang No.1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.6. Barama Michael. Kdudukan Visum Et Repertum Dalam Hukum Pembuktian Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi. Manado. 2011.7. Nainggolan .H.L. Aspek Hukum Terhadap Abortus Provocatus Dalam Perundang Undangan Di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara. Medan. 2009.8. Munawarah Syifa. Pembunuhan anak Sendiri. Bagian/SMF Kedokteran Dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Unsyiah. Banda Aceh. 2006.9. Putri K.F. dkk. Aspek Medikolegal Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Bagian/SMF Kedokteran Dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Diponegoro. Semarang. 2010.10. Amri Amir. ILmu Kedokteran Forensik Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK USU. Medan. 2007. Hal.142-158.11. Situmorang Hisar. Peranan Visum Et Repertum Dalam Tindak Penganiayaan Yang mengakibatkan Kematian. Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara. Medan. 2007.12. Amri Amir. Autopsi Medikolegal Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK USU. Medan. 2007. Hal.1-14.13. Amri Amir. ILmu Kedokteran Forensik Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK USU. Medan. 2007. Hal.234 242.