Kua mogok1

7
Penghulu Mogok dan Kebijakan Menteri Yang Keliru Oleh Irfan Setiawan, S.IP, M.Si Penghulu Mogok!!…. Berita yang lagi hangat-hangat di telinga kita menyusul setelah aksi para dokter yang mogok. Fenomena aksi solidaritas dari kaum professional kini mulai marak terjadi, yang membuahkan perdebatan dan keresahan di masyarakat. Beberapa kantor urusan agama (KUA) menghentikan layanan pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja. Aksi itu berawal di lingkungan Kantor Urusan Agama Kota Kediri saja. Namun kemudian, aksi tersebut menjalar ke sebagian besar KUA di Jawa Timur, bahkan sampai merembet ke Ciamis, Jawa Barat. Aksi ini dipicu oleh adanya seorang kepala KUA di Kota Kediri (Romli) yang didakwa terkait dengan kasus gratifikasi. Dalam persidangan, Romli mengaku menerima uang pemberian dari pihak mempelai atau pasangan yang dinikahkan, dan digunakan untuk kebutuhan operasional kantor, mengingat kebanyakan pelaksanaan nikah dilaksanakan di luar kantor KUA dan kegiatan tersebut tidak ada dalam anggaran kantor. Berkaitan dengan fenomena tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang membingungkan, terlihat

Transcript of Kua mogok1

Page 1: Kua mogok1

Penghulu Mogok

dan Kebijakan Menteri Yang Keliru

OlehIrfan Setiawan, S.IP, M.Si

Penghulu Mogok!!…. Berita yang lagi hangat-hangat di telinga kita menyusul

setelah aksi para dokter yang mogok. Fenomena aksi solidaritas dari kaum professional

kini mulai marak terjadi, yang membuahkan perdebatan dan keresahan di masyarakat.

Beberapa kantor urusan agama (KUA) menghentikan layanan pencatatan nikah di

luar kantor dan jam kerja. Aksi itu berawal di lingkungan Kantor Urusan Agama

Kota Kediri saja. Namun kemudian, aksi tersebut menjalar ke sebagian besar

KUA di Jawa Timur, bahkan sampai merembet ke Ciamis, Jawa Barat.

Aksi ini dipicu oleh adanya seorang kepala KUA di Kota Kediri (Romli)

yang didakwa terkait dengan kasus gratifikasi. Dalam persidangan, Romli

mengaku menerima uang pemberian dari pihak mempelai atau pasangan yang

dinikahkan, dan digunakan untuk kebutuhan operasional kantor, mengingat

kebanyakan pelaksanaan nikah dilaksanakan di luar kantor KUA dan kegiatan

tersebut tidak ada dalam anggaran kantor.

Berkaitan dengan fenomena tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang

membingungkan, terlihat bahwa penghulu mogok yang membuat beberapa proses

pernikahan di Jawa Timur terhambat terasa dibesar-besarkan. Seakan-akan bila

penghulu tidak bekerja maka tidak akan terjadi proses pernikahan. Hal ini

sungguh tidak masuk akal, sehingga perlu dirunut secara cermat berdasarkan

kebijakan menteri agama, realita di masyarakat. dan proses nikah dari sudut

pandang agama islam.

Kebijakan Menteri Agama dalam Permenag no. 11 Tahun 2007 tentang

Pencatatan Nikah merupakan sumber terjadinya kekisruhan di beberapa kantor

urusan agama. kebijakan ini sangat mengatur kegiatan bermasyarakat Pada pasal

21 ayat (1) menyatakan bahwa Akad nikah dilaksanakan di KUA dan ayat (2).

Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat

Page 2: Kua mogok1

dilaksanakan di luar KUA. Pasal ini memberikan power yang besar bagi kepala

KUA dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah (PPN) untuk menentukan

pelaksanaan pernikahan, sehingga membuka peluang adanya tawar menawar

harga antara PPN dengan calon pengantin mengenai lokasi pelaksanaan

pernikahan. Sehingga bila mempelai tetap melakukan pernikahan tanpa adanya

persetujuan PPN, pernikahan tersebut tidak akan dicatat dan diberikan akte nikah.

Walaupun masih ada penghulu dan pembantu pencatat nikah pembantu PPN yang

dapat melakukan tugas PPN. Ironinya, penghulu dan pembantu PPN juga tidak

akan diakui telah melaksanakan pernikahan bila tidak ada mandat dari PPN.

Kekuasaaan besar PPN ini membuat mereka berani melakukan mogok kerja untuk

tidak melayani pernikahan di luar KUA. Dapat dibayangkan berapa pernikahan

yang ditangani PPN dalam setahun, dan berapa pula dana yang dapat dihasilkan

oleh PPN nakal ataupun yang gratifikasi selama setahun.

Kita coba hitung secara kasarnya sebagai berikut: seperti yang diberitakan

oleh media bahwa setahun rata-rata jumlah pernikahan yang dicatat di KUA se-

Kabupaten Trenggalek hampir mencapai 10 ribu pernikahan (portalkbr.com).

Jumlah tersebut kita bagi 10 KUA sehingga menjadi sekitar 1000 pernikahan yang

ditangani 1 KUA. Kemudian dirata-ratakan dalam sekali pelaksanaan pernikahan,

pihak mempelai memberikan gratifikasi 200 ribu sehingga jumlah total dalam

setahun 1 KUA menerima gratifikasi 300 ribu dikali 1000 menjadi sebesar Rp.

200 juta. Jumlah tersebut dapat dikatakan fantastis untuk pelayanan pencatatan

pernikahan. Apalagi bila ada pejabat PPN yang nakal dalam pelayanannya

misalkan mematok nilai 500 ribu. Dapat dibayangkan berapa jumlah pendapatan

yang didapatkan dalam setahun.

Ikut campur pemerintah dalam penerapan kebijakan terhadap kehidupan

masyarakat terlalu dalam. Kebijakan yang dibuat kadang memperkecil esensi

kegiatan tatacara agama dan budaya masyarakat serta menonjolkan sisi

administatif belaka. Sebagai contoh, pada UU 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan

(2) hanya menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Kemudian pada PP no 9

Tahun 1975 pasal 10 mulai mengatur agar perkawinan dilaksanakan dihadapan

Page 3: Kua mogok1

Pegawai Pencatat dan Permenag no. 11 tahun 2007 semakin membuat kebijakan

mengada-ada dan memperkecil esensi kegiatan tatacara agama dan budaya

sehingga mengharuskan pelaksanaan akad nikah dilaksanakan di KUA. Mempelai

dapat meminta pelaksanaan diluar KUA namun harus dengan persetujuan PPN.

Pemerintah seharusnya lebih peka dan semakin mengerti kebutuhan

masyarakat mengikuti perubahan paradigma pemerintahan . Paradigma aparat

pemerintahan sebagai tuan atau raja sudah bergeser ke arah pelayan masyarakat.

Kebijakan pemerintah pun lebih menyesuaikan dengan kebutuhan dan

pemberdayaan masyarakat. Proses kehidupan masyarakat seperti lahir, belajar,

bekerja, berdagang, nikah, pindah rumah, mati dsb, tidak seharusnya dicampuri

secara mendalam oleh pemerintah. Pemerintah hanya memberikan pengaturan

dalam bentuk kebijakan dan pengadministrasian pelayanan publik pada proses

tersebut. Pada proses kelahiran, pemerintah tidak boleh mengharuskan seseorang

harus lahir ditangani oleh dokter atau bidan pemerintah dan bila tanpa itu,

kelahiran bayi tersebut dianggap tidak sah menurut pemerintah serta tidak diberi

akte kelahiran, namun campur tangan pemerintah melalui regulasi mengenai

bagaimana dokter atau bidan sehingga mampu memenuhi standar kualifikasi

profesinya dan regulasi batasan standar pelayanan. Hal yang sama pun terjadi

pada proses belajar, bekerja, berdagang, pindah rumah, mati dsb.

Kegiatan administrasi pemerintahan pada pencatatan pernikahan sudah

tidak layak lagi mencampuri secara mendalam kegiatan sektor budaya dan agama.

Pemerintah seharusnya membuat regulasi bagaimana memberdayakan sektor non

formal seperti imam desa, iman masjid atau masyarakat lainnya sehingga mampu

melaksanakan proses akad nikah sesuai standar ajaran agama islam dan regulasi

pengadministrasiannya. Bukan dengan regulasi kebijakan yang membuat kepala

KUA menjadi super power dalam proses sahnya pernikahan seseorang, apalagi

dengan wacana kebijakan penambahan anggaran operasional.

Dari segi ajaran agama islam pun kepala KUA pun tidak mempunyai

posisi yang dapat menyatakan bahwa pernikahan seseorang muslim sah atau tidak.

Dalam proses Ijab Kabul, PPN bukan orang yang bertugas untuk menikahkan,

tetapi bertugas berdasarkan jabatannya, dia hanya ditugaskan untuk mencatat bila

Page 4: Kua mogok1

ada kegiatan pernikahan. Bahkan bila petugas pencatat nikah itu menikahkan

seorang wanita, sementara ayah kandung wanita tersebut sebagai wali tidak

mengetahuinya, maka pernikahan itu tidak sah.

Kemudian, pengumuman adanya kehendak nikah oleh PPN sesuai pasal 13

ayat (1) dan (2) Permenag no. 11 Tahun 2007, yang dilakukan pada tempat

tertentu yang mudah diketahui oleh umum jarang dilaksanakan, karena

pengumuman kehendak nikah pun lebih dikenal dalam tradisi agama kristen

dimana seseorang yang hendak menikah diumumkan di gereja atau rumah ibadah

oleh pihak gereja, dalam ajaran agama islam tidak mengenal pengumuman

kehendak nikah dan tidak pernah dicontohkan oleh rasullullah, yang ada

pengumuman pada waktu pernikahan yaitu shaut. Adapun makna shaut di sini

adalah pengumuman pernikahan,pada saat pernikahan. Dalam tradisi masyarakat,

pengumuman dilakukan oleh pihak mempelai melalui bentuk undangan baik lisan

maupun tulisan untuk menghadiri acara pernikahan bukan oleh PPN KUA, itupun

atas biaya oleh pihak mempelai.

Intinya, implementasi pelayanan publik tidak harus memberatkan

masyarakat, pemerintah seharusnya memberdayakan potensi masyarakat, apalagi

dalam urusan pernikahan. Pengadministrasian kegiatan pernikahan memang

diperlukan sehingga pendataan kependudukan dapat tertangani dengan baik.

Namun, akad nikah tidak perlu dilakukan di kantor KUA, artinya dapat dilakukan

dimana saja dan tidak perlu diwajibkan kehadiran Kepala KUA/PPN untuk sahnya

suatu pernikahan. Biarlah masyarakat yang melengkapi administrasinya dan

melakukan proses kegiatan pernikahan kemudian mengurus buku nikahnya di

KUA. Pemerintah dalam hal ini Kementerian agama sepatutnya memikirkan dan

membuat kebijakan yang tidak mempersulit kegiatan masyarakat tapi

mempermudah, dan tidak menjadikan KUA sebagai super power dalam proses

pernikahan. Perlunya ditata peraturan agar Kepala KUA tidak perlu turun ke

masyarakat, sehingga masyarakat tinggal melaporkan kepada KUA disertai

dengan kelengkapan admnistrasi. PPN merupakan aparat pemerintah dalam hal ini

aparat pelayan masyarakat, bukan penentu sah tidaknya suatu pernikahan.

Page 5: Kua mogok1