KTP dan Akses terhadap Keadilan

24
Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Keadilan Rekomendasi Kebijakan Akses Terhadap Keadilan, Penelitian Dan Rekomendasi Kebijakan Kerjasama Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan Bappenas Jakarta, April 2010

Transcript of KTP dan Akses terhadap Keadilan

Page 1: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Keadilan

Rekomendasi Kebijakan

Akses Terhadap Keadilan,

Penelitian DanRekomendasi

Kebijakan

Kerjasama Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan Bappenas

Jakarta, April 2010

Page 2: KTP dan Akses terhadap Keadilan

The Van Vollenhoven Institute (VVI)’s Access to Justice in Indonesia project studies how poor and disadvantaged Indonesians address the injustices they face in daily life and how their situation can be improved. An important objective of this project is to assist the Government of Indonesia in implementing the National Access to Justice Strategy that aims at strengthening Indonesia as a negara hukum (‘state under the rule of law’). For this purpose VVI has developed an analytical framework, which is elaborated in conceptual studies on rule of law, legal pluralism and legal aid. On the basis of the analytical framework case studies are conducted in various regions in Indonesia focusing on themes of gender, land, labor and environmental issues. These activities do not only result in reports and academic papers, but also translate into policy advice for the Indonesian government. To this end the VVI, together with the National Planning Agency Bappenas, organises so-called policy-dialogues that bring together the most important stakeholders. The VVI’s Access to Justice in Indonesia project is funded by the Royal Netherlands Embassy in Indonesia.

Proyek Akses terhadap Keadilan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Van Vollenhoven Institute (VVI) mengkaji bagaimana masyarakat miskin dan kurang beruntung di Indonesia menghadapi ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana situasi tersebut dapat mereka diatasi. Tujuan penting dari proyek ini adalah untuk membantu pemerintah Indonesia dalam menerapkan Strategi Nasional untuk Akses terhadap Keadilan yang memperkuat Indonesia sebagai “Negara hukum”. Untuk tujuan inilah maka VVI mengembangkan kerangka analitis yang dikembangkan lebih lanjut dalam kajian konsep mengenai negara hukum, pluralisme hukum dan bantuan hukum. Berdasarkan kerangka analisis ini, studi kasus dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia yang berfokus pada isu gender, tanah, buruh dan lingkungan. Berbagai kegiatan ini tidak hanya akan menghasilkan laporan dan makalah akademis, namun juga akan menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk pemerintah Indonesia. Untuk tujuan ini pula, bersama dengan Bappenas, VVI menyelenggarakan dialog kebijakan dengan mengundang berbagai instansi pemerintah yang relevan dan lembaga non-pemerintah lain yang berhubungan dengan isu akses terhadap keadilan. Proyek Akses terhadap Keadilan di Indonesia, Van Vollenhoven Institute (VVI), didanai oleh Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia.

Proyek Akses terhadap Keadilan di Indonesia Van Vollenhoven Institute, Universitas LeidenJl. DR Kusuma Atmadja No.36, Menteng, Jakarta Pusat http://www.access-to-justice.leiden.edu/

Page 3: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Keadilan

Rekomendasi Kebijakan

Akses Terhadap Keadilan,

Penelitian DanRekomendasi

Kebijakan

Kerjasama Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan Bappenas

Jakarta, April 2010

Page 4: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Rekomendasi Kebijakan mengenai Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Keadilan berasal dari Studi Kasus yang diselenggarakan di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur. Adapun peneliti dari studi kasus ini adalah Lidwina Inge (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan Stepanus Makambombu (Stimulant Institute Sumba), keduanya adalah peneliti di bawah naungan proyek “Akses terhadap Keadilan di Indonesia”, Van Vollenhoven Institute (VVI), Universitas Leiden. Dewi Novirianti, Project Jurist di VVI, mengkoordinasikan penulisan makalah Rekomendasi Kebijakan. Pandangan dan pendapat yang disampaikan dalam Rekomendasi Kebijakan ini tidak merefleksikan pandangan dan pendapat Kementrian Luar Negeri Belanda dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta.

Tanggal terbit : April 2010

Penerbit : Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan Bappenas Pencetak : PT Visi Aksara Dinamika, Jakarta

1

Page 5: KTP dan Akses terhadap Keadilan

KATA PENGANTAR

Perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik merupakan salah satu prioritas dari delapan “Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan” (Stranas) yang telah diluncurkan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada Bulan Oktober Tahun 2009. Perbaikan prosedur pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan salah satu dari bagian penting peningkatan kualitas pelayanan publik. KTP merupakan salah satu identitas hukum yang wajib dimiliki oleh setiap Warga Negara Indonesia (WNI). KTP mempunyai banyak fungsi, namun yang terpenting adalah untuk memperoleh kepastian dan jaminan hukum dalam setiap pelaksanaan kehidupan setiap warganegara sebagai bagian dari anggota masyarakat.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentangAdministrasi Kependudukan, mendefinisikan pengertian Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2006 tersebut, tanpa memiliki KTP, maka setiap penduduk Indonesia akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kehidupannya di negaranya sendiri. Namun, kondisi wilayah yang sangat luas dan jumlah penduduk yang merupakan keempat terbesar di dunia, serta pembuatan KTP yang seringkali masih dibebani pungutan liar, menyebabkan pemilikan KTP untuk sebagian besar warga negara Indonesia terutama masyarakat miskin dan marjinal, merupakan salah satu dari sekian banyak pelayanan publik yang masih sulit dijangkau.

Berbagai laporan yang dibuat oleh lembaga independen di tingkat nasional dan internasional, serta laporan studi kasus yang dilaksanakan oleh Van Vollenhoven Institute (VVI), menyimpulkan eratnya keterkaitan antara kepemilikan KTP dengan kesejahteraan sosial masyarakat. Oleh sebab itu, Pemerintah terutama instansi yang fungsi dan tugasnya terkait dengan penetapan kebijakan KTP, perlu memberikan perhatian khusus terhadap berbagai hambatan yang dialami oleh masyarakat miskin dan marginal untuk memperoleh KTP. Rekomendasi kebijakan mengenai KTP dan Akses terhadap Keadilan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh VVI, memberikan gambaran yang konkrit bagi aparat pemerintah untuk memperbaiki proses dan prosedur pembuatan KTP yang lebih mudah diakses oleh penduduk miskin dan marjinal di Indonesia.

Oleh karena itu, studi kasus terkait proses pembuatan KTP yang dilakukan oleh VVI pada 2 (dua) wilayah, yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur, dan hasil dialog kebijakan di Bappenas, pada tanggal 24 Februari 2010, diharapkan akan menjadi bahan perbaikan kebijakan, terutama bagi unit terkait pada Kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah dengan kewenangan otonomi daerahnya. Semoga penelitian yang telah dilakukan oleh VVI terkait dengan permasalahan KTP, walaupun hanya pada 2 (dua) wilayah sebagai pilot dari seluruh wilayah Indonesia, dapat menjadi bahan pembelajaran dan perbaikan kebijakan Pemerintah yang lebih memperlihatkan keberpihakan pada masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan marjinal.

Jakarta, April 2010 Diani Sadiawati SH., LL.M.Direktur Hukum dan Hak Asasi Manusia Bappenas

2

Page 6: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Policy RecommendationsIdentity Card and Access to Justice

Summary

This policy brief discusses the obstacles that particularly poor Indonesians face when trying to obtain an identity card or Kartu Tanda Penduduk (KTP). This policy brief also contains recommendations for both national and local government institutions for making the procedure for obtaining a KTP easier, faster and cheaper. By making the procedures for obtaining a KTP easier, the Indonesian government could not only increase the number of citizens with a KTP, but also improve the access of (poor) Indonesians to government services. This policy brief is based on research conducted in the districts of Bogor and East Sumba, as part of the project “Access to Justice in Indonesia” of the Van Vollenhoven Institute (VVI), Leiden University.

Obstacles for Obtaining a KTP

The research documented the following obstacles for (particularly poor) Indonesians who try to obtain or renew a KTP: (i) The bureaucratic process to get a KTP can be expensive for poor citizens and it often involves considerable traveling; (ii) informants still felt that it was difficult to obtain correct information on (the costs of) the process of making a KTP; (iii) some local governments add extra requirements that needlessly complicate the process of obtaining a KTP; (iv) nationalization and computerization of the making of KTP that centralize the KTP making at the district level will potentially increase the transportation cost for the people in the process of KTP making. The research projects also concluded that the obstacles for obtaining a KTP also limit the access of to public services like healthcare and welfare schemes such as direct cash assistance (BLT) and rice distribution for the poor (Raskin): without a KTP requests for a number of such services are sometimes refused.

Policy Recommendations

1. Review the relevant local and national policies in order to standardize the different procedures for obtaining an ID card. This could make the process clearer and easier for poor citizens. 2. Disseminate clear information on the procedures and requirements for obtaining a KTP. This dissemination should not just focus on the importance of having a KTP. 3. Create special ‘service desks’ at the desa, kelurahan, kecamatan and kabupaten level to facilitate the procedures. 4. In order to help people living in remote areas, government institutions should consider offering a mobile service desk for areas where citizens would have to travel far to arrange a KTP. 5. There is a need for capacity building and better monitoring of the government apparatus that deals with the requests for a KTP.

3

Page 7: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Rekomendasi KebijakanKartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Keadilan

Ringkasan

Makalah Rekomendasi Kebijakan ini mendiskusikan hambatan yang dihadapi penduduk miskin Indonesia dalam proses pembuatan KTP serta memberikan masukan pada pemerintah di tingkat nasional dan kabupaten atau kota mengenai bagaimana agar prosedur pembuatan KTP menjadi lebih mudah diakses oleh penduduk miskin baik prosedur, biaya, dan jangka waktu. Dengan membuat prosedur untuk membuat KTP lebih mudah diakses oleh masyarakat, maka pemerintah Indonesia tidak saja mengupayakan meningkatnya jumlah penduduk yang memiliki KTP namun juga meningkatkan akses masyarakat ke berbagai layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah. Rekomendasi kebijakan bersumber dari studi kasus yang dilakukan di kabupaten Bogor dan Sumba Timur yang merupakan bagian dari proyek “Akses terhadap Keadilan di Indonesia”, Van Vollenhoven Institute (VVI), Universitas Leiden.

Persoalan Terkait Kepemilikan dan Pembuatan KTP

Studi kasus mendokumentasikan beberapa hambatan yang dialami oleh terutama penduduk miskin Indonesia dalam proses pembuatan KTP: (i) prosedur birokrasi untuk memperoleh KTP menimbulkan biaya yang tinggi akibat, antara lain, karena penduduk perlu membayar biaya transportasi yang tidak murah; (ii) responden dalam studi kasus menyatakan kesulitan untuk memperoleh informasi yang benar mengenai biaya pembuatan KTP; (iii) beberapa pemerintah di tingkat daerah memberikan persyaratan tambahan dalam proses pembuatan KTP yang dapat memberatkan penduduk; (iv) proses nasionalisasi dan komputerisasi pembuatan KTP yang dipusatkan di tingkat kabupaten akan berpotensi meningkatkan biaya transportasi bagi penduduk yang berniat membuat KTP. Studi kasus menyimpulkan bahwa hambatan dalam proses pembuatan KTP membatasi akses masyarakat terhadap berbaga layanan publik seperti kesehatan dan bantuan khusus untuk masyarakat miskin seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan distribusi beras untuk rakyat miskin (Raskin). Tanpa memiliki KTP, maka akses masyarakat terhadap berbagai layanan publik akan menjadi lebih terbatas.

Rekomendasi Kebijakan

1. Review kebijakan di tingkat nasional and lokal terkait dengan pembuatan KTP untuk tujuan standarisasi prosedur pembuatan KTP yang lebih mudah diakses oleh penduduk miskin. 2. Sosialisasi mengenai standar prosedur pembuatan KTP secara luas dan efektif ke berbagai kalangan masyarakat sampai di tingkat desa. Sosialisasi pembuatan KTP harus mencakup standar pembuatan KTP dan bukan sekedar pentingnya kepemilikan KTP bagi setiap penduduk. 3. Untuk tujuan efektivitas pelayanan, maka perlu dibuat “meja layanan khusus” di tingkat desa atau kelurahan, kecamatan, dan kabupaten terkait dengan pembuatan KTP bagi warga dengan prosedur yang lebih jelas dan transparan. 4. Pemerintah perlu lebih pro-aktif dalam pembuatan KTP misalnya melalui layanan keliling (mobile services) yang dapat menjangkau desa-desa yang berjarak jauh dari ibukota kabupaten. 5. Perlunya peningkatan kapasitas dan monitoring kinerja aparat pemerintah dalam pelayanan publik termasuk KTP.

4

Page 8: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Pendahuluan

Kepemilikan KTP sangat berhubungan dengan akses masyarakat miskin terhadap berbagai layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah seperti layanan kesehatan dan berbagai bantuan untuk masyarakat miskin antara lain Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin). Tanpa KTP, kesempatan penduduk untuk mengakses fasilitas kesehatan di Rumah Sakit dan akses terhadap BLT dan Raskin menjadi lebih rendah. Sementara itu, kesadaran dan keinginan sebagian besar penduduk untuk memiliki dan membuat KTP kerap bergantung pada kebutuhan mereka dalam mengakses berbagai layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah. Mengingat pemerintah kerap mensyaratkan kepemilikan KTP bagi penduduk yang ingin mengakses layanan publik. Di kabupaten Bogor, pada akhir tahun 2008 dari 13.671 jumlah penduduk yang wajib memiliki KTP terdapat 1.497 orang atau sekitar sepuluh persen dari seluruh jumlah penduduk yang belum memiliki KTP. Adapun tahapan prosedur pembuatan KTP yang kurang tersosialisasi dengan efektif telah menimbulkan biaya yang tinggi dan waktu pembuatan yang lebih lama. Rekomendasi kebijakan ini berasal dari studi kasus yang diselenggarakan selama sekitar empat bulan di kabupaten Bogor dan kabupaten Sumba Timur pada tahun 2008. Studi kasus bertujuan, pertama, untuk mendokumentasikan upaya penduduk miskin dalam pembuatan KTP dan melihat faktor dan aktor yang berperan dalam proses pembuatan KTP; kedua, melihat relasi antara kepemilikan dan pembuatan KTP dengan ketidakadilan yang dialami masyarakat di wilayah studi. Makalah rekomendasi kebijakan utamanya akan mendiskusikan upaya penduduk untuk memperoleh KTP dan berbagai hambatan yang mereka alami. Berdasarkan temuan yang ada, rekomendasi kebijakan memberikan usulan pada pemerintah di tingkat lokal dan nasional agar pembuatan KTP dapat lebih mudah diakses oleh penduduk miskin. Bappenas dan VVI pada tanggal 24 Februari 2010 telah menyelenggarakan sebuah dialog kebijakan (selanjutnya disebut sebagai dialog kebijakan) untuk mendiskusikan rancangan rekomendasi kebijakan terkait pembuatan KTP yang lebih mudah diakses oleh penduduk miskin baik dari perspektif prosedur, biaya, dan jangka waktu. Aparat pemerintah dari instansi pemerintah di tingkat nasional dan di tingkat daerah yang berhubungan dengan pembuatan KTP berpartisipasi dalam dialog kebijakan tersebut. Adapun hasil dialog kebijakan tersebut disajikan dalam rangkaian rekomendasi kebijakan terkait pembuatan KTP yang lebih mudah diakses oleh penduduk miskin yang dipaparkan di bagian akhir makalah rekomendasi kebijakan ini.

5

Page 9: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Adapun studi kasus mengenai akses terhadap pembuatan KTP yang menjadi dasar rekomendasi kebijakan ini merupakan bagian dari kegiatan proyek “Akses terhadap Keadilan di Indonesia” di Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden, yang didanai oleh Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Proyek “Akses terhadap Keadilan di Indonesia” mengkaji bagaimana masyarakat miskin dan kurang beruntung di Indonesia menghadapi ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari dan berupaya untuk memperbaiki situasi yang ada. Selain studi kasus terkait akses terhadap KTP, beberapa studi kasus menyangkut keadilan lingkungan dan tanah, gender, dan perburuhan juga menjadi bagian proyek “Akses terhadap Keadilan di Indonesia”.

6

Aturan hukum di tingkat nasional dan kabupaten terkait pembuatan KTP.

Aturan hukum di tingkat nasional terkait dengan pembuatan KTP • Undang-undang No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan • Peraturan Pemerintah No.37 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No.23 tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan • Peraturan Presiden RI No.25 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara

Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil • Peraturan Presiden RI No.26 tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk

Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional Peraturan Daerah di Kabupaten Bogor dan Sumba Timur terkait dengan pembuatan KTP • Perda Kab. Bogor No.9 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Administrasi

Kependudukan • Perda Kab. Sumba Timur No.16 tahun 2006 tentang Retribusi Pergantian Biaya Cetak

KTP dan Akta Catatan Sipil • Perda Kab. Sumba Timur No.22 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran

Penduduk Pencatatan Sipil dan Pengelolaan Informasi Kependudukan

Page 10: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Laporan Asia Development Bank (ADB) mengenai kepemilikan identitas hukum di Nepal, Kamboja, dan Bangladesh, ‘Legal Identity for Inclusive Development’ (2007) menegaskan keterkaitan kepemilikan atas identitas hukum dan pemenuhan hak-hak mendasar dari anggota masyarakat terutama warga miskin. Laporan ADB tersebut menegaskan kesempatan warga miskin untuk dapat mengakses berbagai layanan dasar tergantung pada kepemilikan identitas hukum misalnya dalam studi kasus ini adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sementara itu, laporan Komisi Pemberdayaan Hukum untuk Masyarakat Miskin (Commission on Legal Empowerment for the Poor) mengemukakan pentingnya identitas hukum bagi masyarakat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan. Pengalaman masyarakat miskin sebagaimana terdokumentasi dalam studi kasus di Bogor dan Sumba Timur menunjukkan keterkaitan antara kepemilikan KTP penduduk desa dan besarnya peluang mereka mengakses berbagai layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah, antara lain, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin). Agar dapat mengakses BLT dan Raskin, pemerintah menentukan kategori penduduk miskin yang dapat menerima bantuan, namun semua anggota masyarakat miskin dapat mengakses layanan Jamkesmas. Adapun kepemilikan KTP merupakan syarat utama bagi penduduk miskin untuk dapat mengakses berbagai layanan tersebut.

Dari dua lokasi studi kasus di kabupaten Sumba Timur, penduduk memiliki pengalaman yang berbeda dalam mengakses bantuan dari pemerintah. Di desa Ndapayami untuk mengakses berbagai bantuan pemerintah persyaratan yang ditetapkan tidak dibuat terlalu rumit karena pemerintah desa bersikap cukup luwes dan memahami persoalan penduduk yang rata-rata miskin. Bagi warga yang tidak memiliki KTP, pemerintahan desa dapat memberikan surat keterangan bagi penduduk setempat yang berfungsi sebagai pengganti KTP sementara atau sebagai keterangan bahwa keluarga mereka miskin. Surat keterangan pengganti KTP pada dasarnya hanya dibuat dan berlaku sesuai dengan tujuan pembuatannya, misalnya untuk tujuan mengakses BLT. Dengan demikian, masa berlaku dan otoritas pengakuan surat keterangan pengganti KTP sementara terbatas dan hanya sesuai dengan tujuan penggunaan. Dengan perkataan lain, surat keterangan pengganti KTP sementara hanya berlaku untuk satu jenis bantuan misalnya untuk mendapatkan BLT dan hanya berlaku di wilayah desa dimana identitas dikeluarkan dalam hal ini di desa Ndapayami. Berbeda dengan pengalaman penduduk di Ndapayami, aparat pemerintah di Kelurahan Matawai lebih selektif dalam memberikan surat keterangan sementara pengganti KTP bagi warganya. Di kelurahan Matawai, setiap warga yang akan mengakses berbagai bantuan yang disediakan oleh pemerintah harus menunjukkan bukti kepemilikan KTP.

7

Penduduk desa Kotabatu tidak dapat mengakses layanan Rumah Sakit jika tidak memiliki KTP setempat.

Sebagai pendatang di desa Kotabatu, Asih (30 tahun) dan keluarganya belum mengurus KTP setempat dengan pertimbangan masa berlaku KTP daerah asal masih berlaku dan belum ada dana untuk mengurus surat pindah dari kampung. Suatu hari, terjadi kecelakaan dimana anaknya tenggelam di kolam ikan di rumah Asih. Nyawa anak tersebut tak tertolong, kemudian Asih dan mertua mengantar anaknya ke rumah sakit. Di rumah sakit, petugas administrasi meminta Asih untuk mendaftar dengan cara menunjukkan KTP. Tetapi perempuan malang ini tidak membawa KTP maupun uang. Dengan bantuan uang dan meminjam KTP para pengantar, anak Asih bisa diperiksa oleh dokter.

Page 11: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Kasus diatas menunjukkan adanya proses seleksi penerima manfaat berbagai bantuan pemerintah yang kurang transparan dan tidak bisa diakses oleh publik terutama terkait dengan penduduk miskin yang potensial penerima bantuan. Dengan demikian, warga yang tidak layak memperoleh bantuan justru memperoleh bantuan demikian pula sebaliknya. Salah satu warga di Sumba Timur menyatakan, “…dalam menentukan siapa yang dapat menerima bantuan dari pemerintah, pihak aparat Rukun Tetangga (RT) kerap mencatat dan memasukkan nama orang-orang terdekat yang masih memiliki hubungan kekerabatan sebagai penerima manfaat berbagai bantuan pemerintah.” Selain itu, aparat desa tidak diperkenankan mengakses beberapa bantuan pemerintah karena menurut pemerintah daerah kabupaten Sumba Timur, para aparat desa sudah memperoleh pendapatan bulanan secara tetap dari negara. Kebijakan ini sengaja dilakukan oleh pemerintah supaya hanya warga yang benar-benar miskin dan membutuhkan bantuan yang mendapatkannya. Walaupun dalam kenyataannya kehidupan ekonomi aparat desa Ndapayami tidak selalu lebih baik daripada kehidupan ekonomi warga yang memperoleh bantuan.

8

Memiliki KTP tapi tidak dapat mengakses bantuan.

Yanti Riri (25 tahun) adalah ibu rumah tangga yang tinggal di Kelurahan Matawai dimana suaminya adalah seorang buruh bangunan dengan penghasilan yang tidak menentu. Sebagai keluarga yang hidup dalam kondisi miskin, rumah orang tua Yanti Riri, tempat dimana mereka tinggal, juga tidak dilengkapi dengan penerangan listrik dan sarana air bersih. Yanti Riri pertama kali mengurus KTP pada tahun 2007 dengan tujuan karena ingin memperoleh BLT, jamkesmas, raskin dan karena mendengar akan ada Pemilu. Tetapi harapannya untuk mendapat berbagai bantuan yang disiapkan oleh pemerintah ternyata tidak terpenuhi. Beberapa kali Yanti Riri pergi ke kantor kelurahan untuk menanyakan mengapa mereka belum bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah dan sekaligus untuk mendaftarkan diri sebagai keluarga yang tidak mampu, namun tetap saja Yanti belum bisa mengakses berbagai bantuan yang disiapkan oleh pemerintah. Jika anak-anaknya sakit maka Yanti Riri terpaksa harus pergi ke Puskesmas dengan biaya sendiri karena tidak mendapat fasilitas jamkesmas.

Page 12: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Makna Kartu Tanda Penduduk bagi Masyarakat

Sebagian besar penduduk di desa Kotabatu, kabupaten Bogor dan desa Ndapayami dan kelurahan Mawatai, kabupaten Sumba Timur pada umumnya memaknai KTP sebagai identitas diri dalam melakukan perjalanan, “… KTP misalnya penting jika kita mau kemana-mana, maaf ya, misalnya kita lagi jalan sendiri dan terjadi kecelakaan, maka kita akan mudah dikenali melalui KTP,” ujar Mbadi, tukang ojek di desa Ndapayami, kabupaten Sumba Timur. Adapun, Ayu, salah satu penduduk di kabupaten Bogor menuturkan bahwa ia pernah harus membayar denda karena tidak membawa KTP ketika pergi ke pasar yang hanya berjarak sangat dekat dengan rumah tinggalnya.

Sementara itu, bagi Usep, responden di kabupaten Bogor, arti penting KTP adalah sebagai bukti pengakuan bahwa dirinya merupakan warga kelurahan setempat. Untuk Usep, tanpa KTP atau fotokopinya ia tidak dapat mewakili kampungnya dalam pertandingan sepak bola antar kampung. Selain penting untuk hobinya bermain sepak bola, menurut Usep KTP juga penting untuk memenuhi persyaratan untuk pembuatan buku nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Ketika akan melangsungkan pernikahan dan mendaftarkan rencana pernikahan tersebut di KUA, salah satu syarat yang harus dipenuhi Usep adalah penyerahan fotokopi KTP ke KUA. Namun Iis, istri Usep, tidak perlu menyerahkan KTP, petugas pencatat pernikahan dan penghulu menyatakan bahwa calon isteri hakekatnya akan ikut suami, jadi tidak perlu menyerahkan bukti identitas.

9

Beberapa kegunaan KTP dalam kehidupan sehari-hari di Sumba Timur

Persyaratan Dokumen yang diperlukan

Kepentingan/kebutuhan

KTP dan atau Surat

Keterangan (RT,Kel/Desa)

KTP

Keterangan

Bantuan Langsung Tunai √

Jaminan Kesehatan Masyarakat √

Beras untuk Rakyat Miskin √

Akses dana kelompok yang berasal dari Pemerintah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Mencari Pekerjaan √

Pinjaman Bank √

Ikut ujian untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil

Menggadaikan barang di kantor pegadaian

Bisa meminjam KTP orang lain sebagai jaminan

Untuk ikut PEMILU √

Page 13: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Adapun bagi Ujo, salah satu penduduk di Desa Kotabatu, memiliki KTP tidaklah terlalu penting. Ketika ia melakukan perkawinan baik yang pertama dan kedua, Ujo tidak menggunakan KTP untuk mengajukan permohonan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Ia hanya mengurus surat keterangan dari ketua RT setempat sebagai bukti bahwa ia adalah penduduk setempat. Berbekal surat tersebut Ujo pergi ke Kelurahan untuk mengurus surat keterangan menumpang nikah. Surat ini diperlukan jika seorang laki-laki akan menikah dengan perempuan yang berasal dari kelurahan berbeda. Surat ini hanya diberlakukan sebagai syarat pernikahan bagi orang yang beragama Islam. Sedangkan bagi orang non muslim hanya disyaratkan surat pernyataan lajang, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Para petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (KCS) mengatakan bahwa rata-rata warga hanya akan mengurus KTP ketika berniat berhubungan dengan urusan-urusan publik. Salah satu petugas pelayanan KTP di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten Sumba Timur mengatakan, “…umumnya masyarakat yang datang mengurus KTP adalah mereka yang sedang dan akan berhadapan dengan urusan-urusan publik seperti akan mengikuti test penerimaan PNS, akan menerima BLT, ingin meminjam uang dikantor pegadaian, ingin membuka rekening di Bank, untuk urusan kepentingan pengelolaan dana bergulir dalam kelompok (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM) dan karena akan mengikuti Pemilu.”

Hal senada juga disampaikan oleh petugas KCS di kabupaten Bogor yang menyatakan bahwa sebagian besar penduduk hanya akan mengurus kepemilikan KTP bila mereka ingin membuat akta lahir anak atau ketika warga berniat mengurus bantuan, untuk sekolah, atau untuk bekerja. Petugas dinas kependudukan di Kantor Kepala Desa Kotabatu, Pak Koce mengungkapkan, “….wah.., itu dia, penduduk desa membuat KTP kalo lagi perlu aja, masalah kesadaran warga sih.” Di kabupaten Bogor, menurut Pak RT kesadaran masyarakat untuk membuat KTP baru muncul jika terkait dengan kepentingan tertentu yang mendesak misalnya pada saat terdengar isu akan ada bantuan pemerintah seperti BLT, bantuan gas dan kompor gas gratis, pembuatan jamkesmas, atau pembagian raskin. Bahkan juga ketika akan menikah atau ingin mengajukan kredit sepeda motor karena untuk mengajukan hal tersebut diperlukan KTP.

10

Pengalaman warga desa Kotabatu, kabupaten Bogor, terkait dengan kepemilikan KTP

Ayu (43 tahun) dan suaminya adalah pendatang di Desa Kotabatu. Suami Ayu adalah pemain organ tunggal berpendapatan tidak tetap. Karena keluarga Ayu tidak terdaftar sebagai penerima BLT, Jamkesmas, dan paket tabung gas gratis, maka Ayu dan suaminya segera mengajukan permohonan membuat KTP setempat pada tahun 2008 ketika ada proses pemutihan. Bagi Ayu, kepemilikan KTP penting ketika suaminya dirawat di Rumah Sakit PMI Bogor. Saat itu ia tidak mampu membayar keseluruhan biaya perawatan dan keluarganya tidak terdaftar sebagai peserta jamkesmas. Sebagai jaminan, Ayu meninggalkan KTP-nya di bagian administrasi rumah sakit sampai memperoleh “Surat Keterangan Tidak Mampu” (SKTM) dari kantor Kepala Desa Kotabatu, sehingga Ayu hanya perlu membayar separuh dari jumlah biaya perawatan rumah sakit.

Page 14: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Persoalan dalam Pembuatan Kartu Tanda Penduduk

Syarat Sebagian besar penduduk di kabupaten Bogor dan Sumba Timur tidak mengetahui dengan pasti syarat formal dan tertulis yang konsisten mengenai pembuatan dan perpanjangan KTP. Dari beberapa kasus yang tercatat di Sumba Timur, seorang pemohon KTP perlu memperoleh surat keterangan dari kepala desa atau sekretaris desa Ndapayami untuk tujuan pembuatan KTP. Sedangkan kelurahan Matawai menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi warga jika ingin mendapatkan KTP yakni, pertama, setiap pemohon harus mendapatkan surat rekomendasi dari ketua RT yang membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah benar-benar warga setempat. Kedua, memiliki bukti pembayaran Pajak Bumi Bangunan (PBB) tahun terakhir1. Berdasarkan berbagai persyaratan yang telah dipenuhi, kelurahan bisa memberikan surat rekomendasi kepada warga yang ingin membuat KTP. Untuk memperoleh surat rekomendasi ini, kepada setiap pemohon dikenakan sumbangan sukarela.

Adapun di desa Kotabatu, kabupaten Bogor, syarat untuk membuat KTP adalah fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi akta lahir bagi mereka yang baru pertama kali membuat KTP, menyerahkan KTP lama bagi mereka yang akan memperbarui KTP mereka, fotokopi akta nikah bagi yang belum berusia 17 tahun, dan surat laporan kehilangan dari kepolisian bagi mereka yang kehilangan KTP. Kadangkala, untuk mengajukan permohonan pembuatan KTP, penduduk perlu menunjukkan Kartu Keluarga dan akta lahir, begitu pula sebaliknya bila ingin membuat Kartu Keluarga maka penduduk perlu menunjukkan KTP kepala keluarga (suami) dan istri. Penduduk kerap tidak terlalu memahami persyaratan pembuatan KTP. Oleh sebab itu, sebagian besar penduduk menyerahkan pembuatan KTP kepada pak RT atau menunggu proses pemutihan2 di Kecamatan. Pengalaman penduduk di Kotabatu, ketika mereka menyerahkan urusan pembuatan KTP kepada ketua RT setempat, mereka memperoleh surat keterangan sementara yang dapat digunakan sebagai bukti “identitas sementara”. Permintaan bantuan penduduk kepada ketua RT dalam pembuatan KTP menimbulkan tambahan biaya bagi penduduk. Namun mereka mengaku tidak memiliki pilihan, karena mereka tidak terlalu memahami persyaratan pembuatan KTP.

1 Ketentuan ini sengaja ditetapkan oleh pemerintah Kelurahan karena banyak penduduk yang menunggak pajak bumi dan bangunan.2 ‘Pemutihan’ dalam proses pembuatan KTP artinya pemerintah membuka kesempatan pada setiap penduduk yang belum memiliki KTP untuk memiliki KTP tanpa memperhatikan status kepemilikan KTP mereka sebelumnya misalnya KTP telambat untuk diperpanjang sehingga menimbulkan denda, penduduk belum memiliki KTP walaupun menurut hukum mereka wajib memilikinya.

11

Syarat pembuatan KTP

Syarat-syarat pembuatan KTP (Peraturan Presiden RI No.25 tahun 2008): • Surat pengantar dari RT/RW setempat dan Kepala Desa/Lurah; • Fotokopi Kartu Keluarga (KK); • Fotokopi kutipan akta nikah bagi penduduk yang belum berusia 17 tahun; • Fotokopi kutipan akta lahir; • Mengisi dan menandatangani formulir permohonan KTP Warga Negara Indonesia.

Biaya transportasi lebih tinggi daripada biaya pembuatan KTP di kabupaten Sumba Timur

Ndawa Lu (27 tahun), adalah Kepala Urusan Pembangunan di Desa Ndapayami yang juga bekerja sebagai buruh tani. Ndawa Lu telah memiliki KTP yang di urusnya sejak tanggal 4 Desember 2008 dan selesai pada tanggal 4 Januari 2009. Namun biaya yang dikeluarkan untuk membuat KTP terbilang cukup mahal. Jika diakumulasi total seluruh pengeluarannya harganya hampir mencapai 10 kali lipat biaya ongkos cetak KTP sebagaimana yang diatur dalam Perda No.16/2006 tentang retribusi pergantian biaya cetak KTP dan Akta catatan sipil. Ada pun jenis-jenis pengeluarannya selama mengurus KTP adalah sebagai berikut; 1. Biaya Ojek Desa Ndapayami – Kantor Dispenduk & Capil PP - @ Rp 25.000 x 4 = Rp 100.000 2. Biaya makan, minum dan rokok, PP ---------------------------------- @ Rp 15.000 x 2 = Rp 30.000 3. Biaya administrasi KTP -------------------------------------------------- = Rp 15.000 4. Total biaya ------------------------------------------------------------------ = Rp 145.000

Page 15: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Berbeda dengan yang terjadi pada tingkat desa, di desa Ndapayami birokrasi dan prosedur pembuatan KTP lebih sederhana dan tanpa ada pungutan dari pihak RT maupun desa. Satu-satunya birokrasi yang perlu dilalui oleh warga jika ingin mengurus KTP adalah ketika mereka harus berhubungan dengan kepala desa dan sekretaris desa. Pengalaman di desa Ndapayami, RT/RW tidak memiliki peran yang penting dalam prosedur pembuatan KTP.

Biaya Sebagaimana syarat pembuatan KTP yang kurang diketahui dan dipahami oleh sebagian besar penduduk, tidak ada informasi yang jelas mengenai biaya yang harus dikeluarkan oleh pemohon KTP. Responden di Kotabatu mengungkapkan mengenai beragam biaya pembuatan KTP yang mereka ketahui. Perbedaan biaya pembuatan KTP ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, jangka waktu pembuatan KTP yang diajukan pemohon. Makin cepat waktu yang diminta pemohon untuk diselesaikannya KTP, maka biaya pembuatan yang diminta oleh petugas akan semakin mahal. Untuk pembuatan KTP yang akan siap dalam waktu tiga hari kerja, biaya yang dikeluarkan akan berkisar antara Rp 30.000,-, sampai Rp 35.000,-. Namun jika lama waktu pembuatan KTP sesuai dengan standar waktu yang ditentukan Kelurahan yaitu antara 10 sampai 14 hari kerja atau bahkan satu bulan, maka biaya yang dikenakan berkisar antara Rp 13.000 sampai Rp 15.000 saja. Menurut salah satu aparat pemerintah dari dinas kependudukan kabupaten Bogor, penyebab tingginya biaya pembuatan KTP karena sebagian besar masyarakat meminta bantuan ketua RT/RW atau kepala desa bahkan mewakilkan ke orang ketiga untuk mengurusnya. Padahal, menurut petugas yang sama, berdasarkan Perda kabupaten Bogor No.9 tahun 2009 layanan pembuatan KTP adalah bebas biaya. Namun, di tingkat desa Kotabatu, menurut salah satu aparat pemerintah peserta dialog kebijakan, biaya pembuatan KTP seharusnya hanya berkisar antara Rp. 3.000,-, sampai Rp. 5.000,-, tanpa merinci lebih lanjut landasan aturan hukumnya. Adapun seorang aparat Pemda kota Bogor mengatakan tingginya biaya pembuatan KTP kemungkinan disebabkan oleh biaya denda yang harus dibayarkan pemohon KTP.

Responden di Kotabatu memberikan reaksi yang beragam terhadap perbedaan biaya pembuatan KTP. Asep tidak mengeluh terhadap biaya yang tinggi dalam pembuatan KTP, namun Asep berniat menunggu pemutihan saja supaya dapat membuat KTP lagi bersama isterinya. Mang Uce, Ayu, Min, Mutia, dan Bi Ati isteri Mang Uce mengungkapkan mereka memang membutuhkan KTP tersebut,”… jadi, mau apa lagi?” Sikap mereka adalah menerima saja biaya yang Rp 25.000,-, tersebut apabila mengurus KTP lewat ketua RT setempat. Para penduduk di Kotabatu memang paham jika mereka mengurus sendiri pembuatan KTP ke kelurahan dan kecamatan maka

12

Biaya transportasi lebih tinggi daripada biaya pembuatan KTP di kabupaten Sumba Timur

Ndawa Lu (27 tahun), adalah Kepala Urusan Pembangunan di Desa Ndapayami yang juga bekerja sebagai buruh tani. Ndawa Lu telah memiliki KTP yang di urusnya sejak tanggal 4 Desember 2008 dan selesai pada tanggal 4 Januari 2009. Namun biaya yang dikeluarkan untuk membuat KTP terbilang cukup mahal. Jika diakumulasi total seluruh pengeluarannya harganya hampir mencapai 10 kali lipat biaya ongkos cetak KTP sebagaimana yang diatur dalam Perda No.16/2006 tentang retribusi pergantian biaya cetak KTP dan Akta catatan sipil. Ada pun jenis-jenis pengeluarannya selama mengurus KTP adalah sebagai berikut; 1. Biaya Ojek Desa Ndapayami – Kantor Dispenduk & Capil PP - @ Rp 25.000 x 4 = Rp 100.000 2. Biaya makan, minum dan rokok, PP ---------------------------------- @ Rp 15.000 x 2 = Rp 30.000 3. Biaya administrasi KTP -------------------------------------------------- = Rp 15.000 4. Total biaya ------------------------------------------------------------------ = Rp 145.000

Page 16: KTP dan Akses terhadap Keadilan

biaya tersebut hanya mencapai Rp 10.000 sampai 15.000. Hanya saja para responden merasa tidak mengerti syarat dan prosedur pembuatan KTP. Hanya sedikit saja penduduk di desa Kotabatu yang merasa tidak bermasalah dengan biaya pembuatan KTP yang mencapai Rp 35.000,-

Studi kasus menunjukkan hanya petugas pemerintah di kabupaten Bogor dan Sumba Timur yang mengetahui prosedur dan biaya pembuatan KTP. Namun petugas pemerintah yang memiliki pengetahuan tentang standar biaya pembuatan KTP justru kerapkali menentukan biaya pembuatan KTP secara sepihak. Adapun alasan yang digunakan petugas dalam menentukan besarnya biaya pembuatan KTP adalah beban operasional berupa ongkos jalan ke kecamatan, biaya fotokopi, pungutan daerah, serta sumbangan kegiatan di wilayah setempat. Berdasarkan pada ketentuan daerah yang berlaku di kabupaten Sumba Timur, biaya pengurusan sebuah KTP adalah Rp 15.0003 yang dalam prakteknya penduduk harus membayar biaya yang lebih besar. Selain itu, terdapat sejumlah biaya yang tidak bisa dihindari oleh warga yang mau tidak mau harus mereka bayar untuk mendapatkan KTP. Bagi warga desa di Sumba Timur, harga sebuah KTP jika diakumulasi dengan dengan total biaya yang harus mereka keluarkan bisa mencapai sepuluh kali lipat dari harga resmi sebuah KTP. Penduduk di Sumba Timur mengindikasikan selama surat keterangan pengganti KTP masih bisa digunakan maka warga memilih menggunakan surat keterangan tersebut semaksimal mungkin.

Jangka Waktu Baik di Sumba Timur maupun di Bogor, sebagian besar masyarakat kurang mengetahui lama waktu yang dibutuhkan untuk penerbitan KTP. Hal ini menyebabkan warga tidak bisa memastikan kapan mereka bisa mendapatkan KTP sejak proses mengajukan berkas persyaratan sampai mendapatkan KTP4. Petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Sumba Timur menyatakan proses pembuatan KTP bisa mencapai empat hari, namun jika jumlah pemohonnya banyak maka penerbitan KTP bisa membutuhkan waktu dua minggu5. Pengalaman warga di Sumba Timur menuturkan jangka waktu pembuatan KTP sangat bervariasi yakni antara satu hari sampai dua minggu bahkan dalam beberapa kasus bisa mencapai satu bulan.

3 Perda kabupaten Sumba Timur No.16/2006, tentang retribusi pergantian biaya cetak KTP dan Akta catatan sipil.4 Menurut Kadis Kependuduan dan Capil, Kabupaten Kupang Produser tetap (Protap) pengurusan KTPN berlaku sampai dengan 14 hari (Pos Kupang, 5 Juni 2009). 5 Wawancara dengan tanggal dengan Moses Saiputa tanggal 31 Januari 2009.

13

Biaya pembuatan KTP di kabupaten Bogor.

Metode Pembuatan KTP Biaya Rincian

Melalui perantaraan Ketua RT

Rp 10.000 s/d Rp 35.000,- (dengan KK antara Rp 50.000 -100.000).

Biaya pungutan desa Rp 5000,- biaya administrasi di kecamatan Rp 5000,-, biaya pembuatan KTP resmi Rp 2.500,- sisanya lain-lain.

Melalui perantaraan petugas kelurahan Rp 10.000 – 15.000,-. -

Langsung ke kecamatan Rp 10.000,-. Ditambah biaya transportasi sebesar minimal Rp. 20.000,-

Page 17: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Aturan hukum di tingkat nasional maupun di kabupaten Bogor dan Sumba Timur menyatakan pembuatan KTP membutuhkan waktu paling lama 14 hari. Namun ketidaktahuan rata-rata penduduk yang mengajukan pembuatan KTP menciptakan peluang terjadinya pungutan biaya pembuatan KTP yang melebihi batasan aturan hukum. Yang kerap terjadi, jangka waktu pembuatan KTP tidak dapat dipastikan dan petugas menjadikan perbedaan jangka waktu pembuatan KTP sebagai cara untuk “mempermainkan” biaya resmi pembuatan KTP. Petugas seakan-akan menunjukkan ada relasi antara jangka waktu dan biaya pembuatan KTP. Dengan perkataan lain, semakin cepat pembuatan KTP maka biayanya akan semakin mahal. Secara resmi di kabupaten Bogor dikatakan oleh petugas Kecamatan, standar biaya pembuatan KTP hanya Rp 2.500,- . Akan tetapi pada kenyataanya, para penduduk mengatakan bahwa mereka harus membayar antara Rp 15.000,-, sampai Rp. 35.000,-.

Database Dalam dialog kebijakan terkait dengan persoalan KTP, beberapa peserta yang merupakan aparat pemda di kota dan kabupaten Bogor menggarisbawahi persoalan database kependudukan yang hingga kini belum terbangun dengan baik. Sebelum UU No.23 tahun 2006 diterbitkan dimana KTP masih di tandatangani oleh Camat, maka terdapat paling tidak empat jenis database kependudukan yang dipergunakan di 40 kecamatan di wilayah kabupaten Bogor. Sistem database di tingkat kecamatan terpisah dengan sistem database yang dibangun di tingkat dinas catatan sipil di tingkat kabupaten. Oleh sebab itu, kemungkinan besar akan terdapat penduduk yang memiliki beberapa KTP dari berbagai wilayah kecamatan yang berbeda.

Menurut beberapa aparat pemerintah yang hadir dalam dialog kebijakan, setelah UU No.23 tahun 2006, beberapa persoalan teknis akan muncul bila pembuatan KTP masih dilakukan di tingkat kecamatan atau desa yakni, pertama, masalah keabsahan data terkait database sistem NIK (Nomor Induk Kependudukan) berdasarkan UU No.23 tahun 2006; kedua, status petugas registrasi karena aturan hukum mewajibkan petugas terkait pembuatan KTP di tingkat desa atau kelurahan harus berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS); ketiga, menurut aturan hukum saat ini, kepala dinas kependudukan dan catatan sipil di tingkat kabupaten yang harus menandatangani formulir permohonan KTP dan bukan camat; keempat, masalah stempel basah dalam proses penerbitan KTP. Menurut salah satu staf dari Departemen Dalam Negeri apabila database kependudukan sudah terbangun, KTP tidak memerlukan lagi tandatangan kepala dinas atau camat karena KTP dibuat berdasarkan Nomor Induk Kependudukan. NIK diberikan kepada penduduk paling lambat limat tahun sesudah UU No.23 tahun 2006 berlaku pada tanggal 29 Desember tahun 2006. Diharapkan 29 Desember 2011 penduduk sudah memiliki NIK dengan harapan database sudah terbangun.

Pembuatan KTP untuk Masyarakat Miskin dan Terpencil Bagi penduduk miskin, persoalan biaya pembuatan KTP merupakan persoalan penting yang perlu menjadi perhatian dalam reformasi kebijakan terkait masalah pembuatan KTP. Namun beberapa organisasi masyarakat, Komnas HAM dan Komnas Perempuan juga menggarisbawahi pentingnya memberikan perhatian pada kelompok masyarakat adat yang kerap jauh dari jangkauan pemerintah. Dalam pembuatan KTP, perhatian khusus perlu diberikan pada kelompok penganut agama dan kepercayaan yang tidak disebut dan diakui oleh aturan hukum negara. Penganut kepercayaan akan menjadi kelompok rentan diskriminasi mengingat aturan hukum terkait KTP tidak mengijinkan mereka menuliskan aliran kepercayaan yang mereka anut di dalam KTP.

14

Page 18: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Kesimpulan

• Menurut aturan hukum yang berlaku, setiap warga negara di Indonesia berkewajiban memiliki KTP. Hampir setiap penduduk di Indonesia menyadari bahwa kepemilikan KTP merupakan salah satu bentuk identitas diri.

• Namun dalam kehidupan sehari-hari, KTP berhubungan erat dengan peluang masyarakat dalam mengakses berbagai layanan dasar mengingat pemerintah kerap mensyarakat masyarakat untuk memiliki KTP agar dapat mengakses berbagai fasilitas dan bantuan pemerintah. Dengan perkataan lain, KTP dapat berfungsi sebagai pintu masuk bagi masyarakat terhadap berbagai layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Sedangkan untuk penduduk miskin, pemerintah memberikan bantuan khusus seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan beras untuk rakyat miskin (raskin) dimana pemerintah juga mensyaratkan kepemilikan KTP bagi penduduk miskin yang ingin mengakses berbagai bantuan tersebut. Dengan demikian, KTP tidak hanya akan berfungsi sebagai bukti identitas seorang warga negara di Indonesia.

• Oleh sebab itu, prosedur pembuatan KTP yang lebih mudah diakses oleh masyarakat, terutama oleh penduduk miskin, sangat penting untuk membantu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Rekomendasi kebijakan ini memberikan usulan agar proses pembuatan KTP dapat lebih mudah diakses oleh masyarakat dan khususnya penduduk miskin.

15

Page 19: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Rekomendasi Kebijakan

• Kajian kebijakan di tingkat nasional dan lokal terkait dengan pembuatan KTP untuk tujuan standarisasi prosedur pembuatan KTP yang lebih mudah diakses oleh penduduk miskin.

Sesuai dengan mandat aturan hukum dalam konteks otonomi daerah, layanan kependudukan dan catatan sipil merupakan wewenang pemerintah daerah. Oleh sebab itu, pemerintah daerah di kabupaten Bogor dan Sumba Timur menerbitkan beberapa peraturan daerah sehubungan dengan layanan administrasi kependudukan. Adapun persyaratan dan tata cara pembuatan KTP telah cukup jelas dipaparkan dalam pasal 15 ayat 1 dan pasal 17 Peraturan Presiden RI No.25 tahun 2008. Aturan hukum yang sama juga memuat peranan pemerintah desa, kelurahan, dan kecamatan dalam proses penerbitan KTP. Adapun instansi pelaksana yang menerbitkan dan menandatangani KTP adalah pihak pemerintah kotamadya atau kabupaten yang pada umumnya berjarak cukup jauh dari tempat tinggal penduduk di desa. Pemusatan pembuatan KTP di tingkat kabupaten atau kota terkait dengan penerapan KTP berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagaimana diatur dalam UU No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Mengenai jangka waktu pembuatan KTP, UU No.23 tahun 2006 menyatakan instansi pelaksana atau pejabat yang berwenang wajib menerbitkan KTP dalam waktu 14 hari. Baik di kabupaten Bogor maupun di kabupaten Sumba Timur, biaya pembuatan KTP secara resmi belum dijelaskan dengan efektif melalui peraturan yang ada. Sebagai contoh, pemerintah di kabupaten Bogor mengklaim bahwa pembuatan KTP di wilayahnya telah bebas biaya namun kurang ditegaskan oleh aturan hukum yang ada dan berlaku di kabupaten Bogor.

Berdasarkan pengalaman penduduk di kabupaten Sumba Timur dan Bogor, perlakuan khusus bagi penduduk miskin dan terpinggirkan perlu dilakukan baik dalam hal syarat, prosedur maupun biaya pembuatan KTP. Oleh sebab itu pula, aturan hukum terkait dengan administrasi kependudukan baik di tingkat lokal maupun nasional perlu dikaji ulang untuk tujuan menemukan aturan yang menghambat proses pembuatan KTP khususnya bagi penduduk miskin. Pemerintah perlu menciptakan aturan hukum yang membuat proses pembuatan KTP lebih mudah diakses oleh masyarakat miskin yakni: 1. Pengalaman di kabupaten Sumba Timur dan Bogor menunjukkan masyarakat miskin terutama yang menetap di tingkat desa memerlukan prosedur pembuatan KTP di kantor pemerintah yang lebih dekat yakni di kantor desa atau kelurahan dan bebas dari biaya administrasi pembuatan. 2. Proses pembuatan KTP harus dilakukan dan selesai pada hari yang sama sehingga penduduk tidak perlu berkali-kali mengunjungi kantor pemerintah untuk tujuan mengurangi biaya transportasi yang kerap tidak murah. 3. Perlu konsistensi aturan hukum yang menyangkut biaya, syarat, dan jangka waktu pembuatan KTP. Berdasarkan aturan hukum yang berlaku, sebagai contoh, pemerintah kabupaten Bogor menyatakan pembuatan KTP dapat dilakukan secara gratis. Namun masih ada aparat Pemda yang menyatakan biaya pembuatan KTP berkisar antara Rp. 2.500,- sampai Rp. 5.000,-

• Sosialisasi mengenai standar prosedur pembuatan KTP secara luas dan efektif ke berbagai kalangan masyarakat sampai di tingkat desa. Sosialisasi pembuatan KTP harus mencakup standar pembuatan KTP dan bukan sekedar pentingnya kepemilikan KTP bagi setiap penduduk desa.

16

Page 20: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Pemerintah di tingkat kabupaten selama ini telah aktif melakukan sosialisasi mengenai pentingnya kepemilikan KTP bagi masyarakat. Aparat kabupaten dan kota Bogor mengaku telah melakukan sosialisasi perlunya kepemilikan KTP melalui selebaran atau brosur dan baliho yang mudah dibaca oleh masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebagian besar terkait dengan perlunya memiliki KTP. Padahal ketidakjelasan mengenai tiga aspek terkait dengan pembuatan KTP kerap menjadi hambatan bagi para pemohon KTP.

Dengan demikian, aturan hukum di tingkat lokal dan nasional terkait dengan prosedur pembuatan KTP perlu disosialisasikan dengan efektif. Dengan demikian, masyarakat luas memahami syarat, jangka waktu, dan biaya pembuatan KTP. Sosialisasi untuk menghindari adanya persyaratan tambahan yang kurang relevan dan kemungkinan akan merugikan penduduk miskin. Sebagai gambaran, kabupaten Bogor telah membebaskan biaya pembuatan KTP sejak tahun 2006 dan diperkuat dengan Peraturan Daerah No.9 tahun 2009. Akan tetapi sebagian besar penduduk kabupaten Bogor tidak mengetahuinya.

Untuk tujuan meningkatkan tersebarnya informasi mengenai prosedur pembuatan KTP, maka pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi dengan cara:1. Mencetak dan menyebarkan brosur dan poster mengenai syarat, biaya, dan jangka waktu pembuatan KTP lengkap dengan nama petugas, unit atau bagian layanan pembuatan KTP, dan nomor telepon yang mudah dihubungi.2. Meletakkan dan menempel brosur dan poster di kantor desa atau kelurahan, kecamatan serta pihak RT dan RW sehingga informasi mudah dijangkau oleh masyarakat luas. 3. Bila pembuatan KTP bebas biaya, pernyataan ini harus ditegaskan dalam brosur dan poster secara jelas.

• Untuk tujuan efektivitas pelayanan, maka perlu dibuat “meja layanan khusus” di tingkat desa atau kelurahan, kecamatan, dan kabupaten untuk pembuatan KTP bagi warga dengan prosedur yang transparan.

Studi kasus di kabupaten Bogor dan Sumba Timur menangkap keluhan penduduk yang kerap kesulitan mengakses unit atau bagian pemerintah daerah yang seharusnya memberikan layanan pembuatan KTP. Hal ini terkait dengan informasi dan sosialisasi informasi yang perlu disediakan oleh pemerintah dalam layanan pembuatan KTP. Oleh sebab itu, untuk tujuan efektivitas layanan, maka pemerintah daerah perlu menyediakan:1. Meja khusus yang memberikan layanan informasi dan layanan pembuatan KTP dengan petunjuk yang jelas dan mudah diakses oleh para pemohon KTP. 2. Adanya seorang petugas khusus yang melayani para pemohon KTP berada di meja khusus yang disediakan oleh kantor pemerintah daerah.

• Pemerintah perlu lebih pro-aktif dalam pembuatan KTP misalnya melalui layanan keliling (mobile services) yang dapat menjangkau desa-desa yang berjarak jauh dari ibukota kabupaten.

Terkait dengan pembuatan KTP, menurut salah satu aparat pemerintah, UU No.23 tahun 2006 menganut prinsip “stelsel aktif” dalam arti pelayanan pemerintah tergantung pada keaktifan masyarakat untuk mengakses layanan. Studi kasus ini dan inisiatif pemerintah menunjukkan pemerintah perlu proaktif dalam konteks pembuatan KTP terutama dalam melakukan sosialisasi layanan yang mereka berikan. Dari perspektif masyarakat miskin, proses pembuatan KTP memerlukan mekanisme

17

Page 21: KTP dan Akses terhadap Keadilan

dan persyaratan khusus yang memberikan peluang lebih besar bagi penduduk miskin untuk mengakses prosedur pembuatan KTP. Pemusatan penerbitan KTP di instansi pelaksana atau dinas kependudukan dan catatan sipil yang berkedudukan di Kabupaten menyebabkan tingginya biaya transportasi. Meskipun KTP dapat diterbitkan di tingkat kecamatan, namun tetap saja menimbulkan biaya yang masih dirasakan memberatkan penduduk.

Dalam suatu dialog kebijakan yang diselenggarakan oleh Bappenas dan VVI, Pemda Kota Bogor memaparkan inisiatif mereka untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat luas pemohon KTP yakni, pertama, menciptakan layanan pembuatan KTP dalam satu hari bagi pemohon yang datang langsung ke kantor dinas kependudukan dan catatan sipil pemda kota Bogor; kedua, bagi pemohon KTP baru maka pembuatannya dilakukan di kantor Pemda di Kota Bogor, tapi untuk perpanjangan KTP dapat dilakukan di tingkat kecamatan; ketiga, memberikan “layanan gerak” atau mobile services yang dilakukan dengan menggunakan mobil Pemda dan memberikan layanan pembuatan KTP di beberapa kantor kelurahan.

Layanan gerak untuk pembuatan KTP dalam kenyataannya sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas, oleh sebab itu layanan gerak pembuatan KTP perlu dilakukan dengan cara:1. Layanan gerak pembuatan KTP nantinya perlu dilakukan di setiap desa atau kelurahan terutama wilayah desa yang terletak jauh dari pusat kota atau ibukota kabupaten.2. Perlu dilakukan sosialisasi informasi mengenai penyelenggaraan layanan gerak pembuatan KTP.3. Aparat desa dan kelurahan perlu melakukan pendataan pendahuluan terhadap para calon pemohon KTP layanan gerak untuk mendorong semakin banyaknya penduduk desa yang menggunakan layanan gerak pembuatan KTP.

• Perlunya peningkatan kapasitas dan monitoring kinerja aparat pemerintah dalam pelayanan publik termasuk KTP.

Layanan pembuatan KTP yang efektif sangat tergantung pada layanan dan kinerja aparat yang efektif. Namun studi kasus di kabupaten Bogor dan Sumba Timur menunjukkan layanan petugas yang kurang efektif menyebabkan tingginya biaya dan lamanya pembuatan KTP yang merugikan pemohon KTP. Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu melakukan peningkatan kapasitas aparat pemerintah dengan strategi sebagai berikut:1. Menunjuk petugas khusus di setiap tingkat pemerintahan (desa atau kelurahan, kecamatan, dan kabupaten atau kota) sebagai koordinator layanan pembuatan KTP yang akan berhadapan langsung dengan masyarakat pemohon KTP;2. Pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kota secara regular melakukan pelatihan terhadap petugas yang memberikan layanan pembuatan KTP;3. Pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kota melakukan monitoring atau pengawasan petugas khusus yang memberikan layanan dengan cara membentuk mekanisme pelaporan reguler dan mekanisme rewards dan punishment bagi para petugas.

18

Page 22: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Lampiran Daftar Peserta Dialog Kebijakan tentang KTP dan Akses terhadap KeadilanJakarta, 24 Februari 2010.

No. Nama Peserta Jabatan – Instansi / Organisasi

1. Diani Sadiawati Direktur – Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Bappenas

2. Deni Ardana Kepala Bidang Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bogor

3. Triatmanta Staf Dirjen Administrasi Kependudukan

4. Ganjar Gunawan Staf Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bogor

5. Mugi L Staf Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bogor

6. Fitri Staf Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM

7. Rizki Arfan Staf Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM

8. Basuki Staf Mahkamah Agung

9. Ely S. Staf Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bogor

10. Noor Andrini Staf Ditjen Hukum dan HAM Bappenas

11. Zulfikar Bappenas

12. Kunthi T Komnas Perempuan

13. Mas Ahmad Santosa UNDP

14. Pheni Chalid LEAD-UNDP

15. Yesua K Pellokila LEAD-UNDP

16. Lidwina Inge Fakultas Hukum Universitas Indonesia

17. Stepanus Makambombu Stimulant Institute Sumba

18. Dewi Novirianti Van Vollenhoven Institute

19. Ward Berenschot Van Vollenhoven Institute

20. Eri Hariono Van Vollenhoven Institute

21. Theresia Dyah Pusat Kajian Wanita dan Jender UI

22. Taheri Noor Pemerhati Kependudukan

23. Daniel Awigra ANBTI

24. Octa Sakke Kedutaan Besar Belanda

25. Sulaiman LK2 FH-UI

26. Purnomo LeIP

27. Herni Sri PSHK

28. Matt Zurstrassesn The World Bank

29. Gita Putri PSHK

30. Nofa Rickwan LK2 FH-UI

19

Page 23: KTP dan Akses terhadap Keadilan

20

Page 24: KTP dan Akses terhadap Keadilan

Akses Terhadap Keadilan,

Penelitian DanRekomendasi

Kebijakan

Makalah Rekomendasi Kebijakan ini mendiskusikan hambatan yang dihadapi penduduk miskin Indonesia dalam proses pembuatan KTP serta memberikan masukan pada pemerintah di tingkat nasional dan kabupaten atau kota mengenai bagaimana agar prosedur pembuatan KTP menjadi lebih mudah diakses oleh penduduk miskin baik prosedur, biaya, dan jangka waktu. Dengan membuat prosedur untuk membuat KTP lebih mudah diakses oleh masyarakat, maka pemerintah Indonesia tidak saja mengupayakan meningkatnya jumlah penduduk yang memiliki KTP namun juga meningkatkan akses masyarakat ke berbagai layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah. Rekomendasi kebijakan bersumber dari studi kasus yang dilakukan di kabupaten Bogor dan Sumba Timur yang merupakan bagian dari proyek “Akses terhadap Keadilan di Indonesia”, Van Vollenhoven Institute (VVI), Universitas Leiden.

Proyek Akses terhadap Keadilan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Van Vollenhoven Institute (VVI), Universitas Leiden, mengkaji bagaimana masyarakat miskin dan kurang beruntung di Indonesia menghadapi ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana situasi tersebut dapat mereka diatasi.

Kerjasama Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan Bappenas

ISBN 978-602-97008-0-0