Kromomikosis
-
Upload
suci-wulandari -
Category
Documents
-
view
52 -
download
1
description
Transcript of Kromomikosis
KROMOMIKOSIS
Hasbiallah Yusuf, S.KedFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang
PENDAHULUAN
Kromomikosis atau kromoblastomikosis merupakan infeksi jamur profunda kronis yang
disebabkan jamur berpigmen (dematiacieous) pada jaringan subkutan (Wolff & Johnson, 2009;
Elewski dkk., 2012; Goldsmith dkk., 2012). Penyakit ini paling sering disebabkan oleh spesies
jamur Fonsecaea pedrosoi yang hidup saprofit pada tanah (James dkk., 2011). Infeksi sering
terjadi pada kaki dengan lesi awal berupa papul atau nodul yang menjadi plak veruka dalam
beberapa bulan atau tahun (Annaissie dkk., 2009; Elewski dkk., 2012).
Daerah tropis dan subtropis merupakan tempat dengan insidensi kromomikosis terbanyak
(Anaissie dkk., 2009, Elewski, 2012; Warnock, 2012; Wolff & Johnson, 2012), namun penyakit
ini dapat terjadi di seluruh bagian dunia (Tamura dkk., 2011). Pedesaan merupakan lokasi
sporadik untuk penyakit ini, dengan insidensi terbanyak pada pria dewasa yang bekerja sebagai
petani, peternak dan penambang (dilaporkan hingga 90% kasus), sebab kelompok ini sering
mengalami trauma pada kulit dan sering mendapat kontak langsung dengan tanah, terutama jika
berjalan di atas tanah tanpa alas kaki (Tamura dkk., 2011; Elewski dkk., 2012).
Permasalahan pada kromomikosis adalah sulitnya pengobatan akibat pilihan terapeutik
yang terbatas (Annaissie dkk., 2009; James dkk., 2011). Pada lesi yang kecil, bedah eksisi atau
krioterapi merupakan pilihan terapi, namun harus dikombinasikan dengan kemoterapi antifungal
(Burns dkk., 2010). Beberapa klinisi juga menganjurkan termoterapi dengan suhu panas, sebab
terdapat bukti bahwa jamur penyebab kromomikosis tidak dapat tumbuh pada suhu tinggi (Wolff
& Johnson, 2009; Tamura dkk., 2011; Elewski dkk., 2012).
Kromomikosis tergolong penyakit yang jarang ditemukan dan literatur yang membahas
penyakit ini masih sangat terbatas. Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dan menambah tinjauan pustaka mengenai topik
penyakit kromomikosis, terutama diperuntukkan bagi dokter umum agar dapat mengenali dan
memberikan terapi awal yang tepat bagi penderita penyakit infeksi ini.
1
2
PEMBAHASAN
Definisi
Kromomikosis merupakan istilah untuk menyebut penyakit mikosis profunda yang
disebabkan infeksi jamur dengan dinding mycelium yang mengandung pigmen melanin
(dematiaceous) (Orkin dkk., 1991; Tamura dkk., 2011; Goldsmith dkk., 2012).
Kromomikosis berasal dari kata “chroma” dan “mycosis”. Istilah “chroma“ berarti
berwarna atau berpigmen, sedangkan “myces” berarti jamur dan akhiran “-osis” berarti kondisi.
Sebagian peneliti lebih senang menggunakan istilah kromoblastomikosis untuk kondisi penyakit
ini, namun istilah tersebut lebih dekat maknanya dengan blastomikosis yang melakukan
pembelahan seluler dengan tunas atau budding (“blastos”), sementara yang terjadi pada penyakit
ini adalah pembentukan septa ekuatorial, sehingga istilah kromomikosis lebih cocok. Penyakit
feohifomikosis juga disebabkan oleh jamur dematiaceous, namun pada penyakit tersebut, temuan
mikroskopik berupa hifa atau ragi (yeast) dalam kista fibrosa, sedangkan pada kromomikosis
terjadi pembentukan plak verukosa dan temuan badan sklerotik (Pene-Penabad dkk., 2003; James
dkk., 2011; Elewski dkk., 2012). Pada akhirnya para peneliti tetap menggunakan nama
kromomikosis atau kromoblastomikosis untuk mengidentifikasi penyakit ini, walaupun ada
sedikit literatur yang menganggap kedua istilah tersebut merupakan penyakit yang berbeda
(Anaissie dkk., 2009).
Selain kromoblastomikosis, kromomikosis memiliki berbagai sinonim lain akibat sulitnya
pemberian nama yang tepat untuk kondisi penyakit ini. Di antaranya adalah kladosporiosis,
dermatitis verukosa, feosporotrikosis, penyakit Pedroso dan penyakit Fonseca. Namun istilah-
istilah tersebut lebih jarang digunakan (Elewski dkk., 2012).
Epidemiologi
Pedrosoi pertama kali mengidentifikasi kromomikosis di Brazil pada tahun 1911. Kasus
pertama di Inggris ditemukan di Boston 4 tahun kemudian oleh Medlar dan Lane (James dkk.,
2011; Elewski dkk., 2012). Kejadian kromomikosis sering ditemukan pada daerah beriklim tropis
dan subtropis dengan suhu sedang, namun dapat terjadi di seluruh dunia (Elewski dkk., 2012;
Tamura dkk., 2011).
3
Kejadian di luar daerah epidemik, seperti di Eropa, diduga terjadi akibat dibawa pada
jalur perdagangan, yaitu impor tanaman dan kayu (Goldsmith dkk., 2012). Didapatkan pula
laporan bahwa transmisi kromomikosis dapat terjadi melalui logam, seperti pada kendaraan dan
jarum akupuntur (Warrell dkk., 2005). Kini kasus penyakit kromomikosis telah dilaporkan di
berbagai negara, yaitu Amerika Utara, Tengah dan Selatan, Kuba, Jamaika, Kepulauan Karibia,
India, Afrika Selatan, Madagaskar, Asia Timur, Australia, Indonesia, berikut Eropa Utara dan
Rusia (Warrell dkk., 2005; Burns dkk., 2010; James dkk., 2012; Goldsmith dkk., 2012).
Jamur penyebab kromomikosis merupakan organisme saprofit yang dapat ditemukan di
dalam tanah dan menyerap nutrien dari tanaman atau kayu yang membusuk (Orkin dkk., 1991;
Annaissie dkk., 2009; Tamura dkk., 2012; Goldsmith dkk., 2012; Warnock, 2012). Sebagian
besar organisme jamur tersebut umumnya menyukai daerah dengan curah hujan lebih besar dari
2,5 m (100 inci) dalam satu tahun dan pada temperatur kisaran 12oC hingga 24oC (Wolff &
Johnson, 2009).
Penderita kromomikosis kebanyakan adalah pria dewasa, dengan perbandingan 4:1
dibanding penderita wanita (James dkk., 2011). Penduduk di pedesaan yang bekerja sebagai
petani, peternak dan pekerja tambang paling sering terjangkit, yaitu sekitar 75-90% dari
keseluruhan kasus, karena pekerjaan ini sering berkaitan dengan trauma pada kulit dan sentuhan
langsung dengan tanah yang terkontaminasi (Wolff & Johnson, 2009; Tamura dkk., 2011;
Elewski dkk., 2012; Warnock, 2012).
Pria dewasa dengan usia 20 hingga 60 tahun adalah saat onset yang paling sering
ditemukan, namun telah dilaporkan terjadi kasus kromomikosis pada usia anak (Wolff &
Johnson, 2009; Burns dkk., 2010). Kasus pada anak yang jarang menimbulkan kecurigaan adanya
faktor lain yang mencetuskan onset kromomikosis selain trauma pada kulit dan paparan materi
terkontaminasi, mengingat usia anak juga terkait dengan trauma kecil pada kulit dan kontak
dengan tanah (Warrell dkk., 2005).
Lesi pertama umumnya muncul mengikuti trauma pada kaki dan tungkai (Gambar 1),
yang sering terjadi akibat tidak memakai alas kaki saat bekerja (Burns dkk, 2010; James dkk.,
2011; Tamura dkk., 2011; Elewski dkk., 2012). Riwayat tertusuk duri tanaman atau pecahan kayu
diingat pada 16% penderita (James dkk., 2011). Meskipun begitu, implantasi jamur dapat terjadi
pada bagian tubuh mana pun yang terkontaminasi, seperti lengan dan batang tubuh (Anaissie
dkk., 2009; Elewski dkk., 2012; James dkk., 2011; Goldsmith dkk., 2012). Jamur dari tanah
4
masuk melalui abrasi pada kulit, berkembang membentuk nodul-nodul dan kutil menyerupai
kembang kol (Ryan, 2004; Anaissie dkk., 2009).
Gambar 1. Kromoblastomikosis pada kaki (James dkk., 2011)
Etiologi
Terdapat beberapa spesies jamur penyebab kromomikosis, yaitu Fonsecaea pedrosoi,
Fonsecaea compacta, Fonsecaea monophora, Phialophora verrucosa, Wangiella dermatitidis,
Cladophialophora carrionii (dulu bernama Cladosporium carrionii), Rhinocladiella aquaspersa
dan Botryomyces caespitosus, namun sebagian besar kasus disebabkan oleh F. pedrosoi dan C.
carrionii (Pena-Penabad dkk., 2003; Wolff & Johnson, 2009; Burns dkk., 2010; Elewski dkk.,
2012; Goldsmith dkk., 2012). Gambaran klinis dan morfologi koloni dari masing-masing spesies
jamur tersebut sangat mirip, tetapi dapat dibedakan berdasarkan gambaran mikroskopik dan
karakteristik konidia (Elewski dkk, 2012).
Fonsecaea pedrosoi umumnya ditemukan pada iklim tropis dengan kelembapan dan curah
hujan tinggi, sementara Cladophialophora carrionii ditemukan pada daerah beriklim tropis yang
sedikit gersang dan siklus hujan yang sedikit seperti Kuba, Venezuela, Afrika Selatan dan
Australia. Phialophora verrucosa merupakan spesies yang paling pertama dilaporkan pada kasus
5
kromomikosis dan Rhinocladiella aquaspersa merupakan penyebab yang paling jarang
dilaporkan (Warrell dkk., 2005; Anaissie dkk., 2009).
Secara mikroskopik, F. pedrosoi memiliki konidiasi dominan berbentuk simpodial,
dengan konidia berbatasan dengan bagian atas sel. Konidia coklat bersel satu yang diproduksi
pada dentikel pendek dapat menghasilkan konidia sekunder dengan cara yang sama. Konidia
yang diproduksi oleh pertunasan secara acropetal juga ditemukan pada sebagian besar isolat, dan
beberapa isolat akan menghasilkan sedikit phialide, yaitu semacam kantung vesikel pada bagian
pucuk konidiofor (Burns dkk., 2010).
Bentuk pertunasan acropetal juga dominan pada C. carrionii, dengan produksi konidia
seperti rantai panjang yang pucat, berbentuk oval atau seperti lemon. Rantai tersebut bercabang
dengan interval yang cukup dekat. Pada media starvation, seperti agar jagung dengan setengah
kekuatan materi (half-strength), phialide bulat dapat muncul oleh konversi dari beberapa sel
dalam rantai bercabang (Burns dkk., 2010).
Pasien mungkin dapat terinfeksi oleh lebih dari satu organisme jamur. Kondisi penyakit
berbeda seperti kromomikosis dan paracoccidioidomycosis telah dilaporkan terjadi pada pasien
yang sama. Pasien juga dapat memiliki kromomikosis bersamaan dengan mycetoma atau
feohifomikosis yang invasif. Lesi SSP umumnya dikaitkan dengan infeksi Cladosporium
trichoides (James dkk., 2011).
Gambaran Klinis
Infeksi terjadi melalui implantasi ke bagian epidermis, dermis atau subkutan secara
inokulasi langsung melalui trauma pada kulit yang bersentuhan dengan tanah (James dkk., 2011;
Elewski dkk., 2012). Transmisi melalui autoinokulasi pada bagian tubuh lain dapat terjadi,
namun tidak dilaporkan terjadi kejadian transmisi antar manusia atau antara manusia dan
binatang (Warrell dkk., 2005; Wolff dkk., 2009).
Gambaran penyakit ini berupa nodular atau verukosa pada tepi lesi dengan atrofi dan
sikatrik pada bagian sentral. Lesi awal yang kecil (Gambar 2) hanya menyerupai kutil yang
umum dan berkembang secara progresif dengan sangat lambat menjadi plak hipertrofik (Elewski
dkk., 2012; Goldsmith dkk., 2012).
Infeksi jamur pada kromomikosis bersifat kronis, menimbulkan inflamasi transepidermal
yang bersifat hiperplastik dan lesi berupa epitel kulit eksofitik yang tumbuh dengan perlahan
6
yang berujung pada inflamasi granulomatosa kronik dengan hiperplasia pseudoepiteliomatosa
(Burns dkk., 2010; Goldsmith dkk., 2012). Waktu rerata sejak timbul lesi pertama dan diagnosis
adalah sekitar 15 tahun (James dkk., 2011), namun dapat menjadi lebih cepat pada penderita yang
imunokompromais (Wolff & Johnson, 2009). Lesi pada penyakit ini umumnya terasa gatal,
namun tidak terasa nyeri, kecuali terdapat infeksi sekunder (Orkin dkk., 1991; Ryan, 2004; Burns
dkk., 2010).
Gambar 2. Gambaran lesi awal pada kromomikosis (Burns dkk., 2010).
Lesi awal dapat berupa nodul tunggal pada lokasi implantasi yang biasanya didahului
trauma, atau dalam beberapa kasus bisa menjadi ulkus. Dalam beberapa bulan atau tahun, akan
terbentuk dinding hiperkeratotik yang tebal (dapat setebal 3 cm) dan menyebabkan nodul yang
selanjutnya menjadi plak verukosa dengan bentuk vegetatif menyerupai bunga kol dan berbatas
tegas (Gambar 3) (Ryan, 2004; Wolff & Johnson, 2009; Elewski dkk., 2012; Burns dkk., 2010;
Tamura dkk., 2010; Goldsmith dkk., 2012).
Plak verukosa akan muncul dan meluas dengan sikatrik sentral dan pulau-pulau kulit yang
menyembuh di antara makula eritema. Lesi berbentuk kembang kol yang besar kemudian dapat
memiliki tangkai (pedunkel). Permukaan lesi verukosa dapat berupa pustula dengan ulserasi
kecil, terdapat "titik hitam" (black dots), yaitu jaringan granulasi hemopurulen yang mudah
berdarah (Gambar 4). Plak verukosa yang menebal dan berdarah dapat menjadi sumber infeksi
bakteri sekunder yang dapat menimbulkan bau busuk yang menyengat. Penyebaran lesi dapat
terjadi melalui jalur limfatik atau melalui autoinokulasi. Munculnya lesi satelit di sekitar lokasi
7
infeksi umumnya terjadi akibat penggarukan. Lesi kronis mungkin berukuran 10 sampai 20 cm,
membungkus betis, kaki atau bagian tubuh lain yang terinfeksi. Penyebaran melalui jalur
hematogen sangat jarang, namun telah dilaporkan bermanifestasi pada abses otak dan gangguan
sistem saraf pusat. Pada kejadian infeksi yang lama, dapat terjadi komplikasi berupa lymphedema
pada ekstremitas bawah (kaki gajah) dan, yang paling berbahaya, karsinoma sel skuamosa (Orkin
dkk., 1991; Wolff & Johnson, 2009; Anaissie dkk., 2009; Burns dkk., 2010; Slesak dkk., 2011;
Elewski dkk., 2012; Goldsmith dkk., 2012).
Gambar 3. Plak dengan gambaran bunga kol pada kromomikosis (Burns dkk., 2010).
Gambar 4. Plak verukosa soliter pada betis berukuran besar, dengan sikatrik pada bagian sentral
dan dikelilingi oleh halo eritema (Goldsmith dkk., 2012).
8
Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis,
namun tidak ada uji serologis yang dapat dilakukakan (Orkin, 1991). Spesimen sebaiknya
diambil melalui kerokan titik hitam (black dots) atau mikroabses pada nodul verukosa, kemudian
dilakukan pemeriksaan dengan larutan KOH 10-20% untuk menemukan badan Medlar (disebut
juga sebagai sel sklerotik, sel muriformis atau sel fumagoid) yang khas pada kromomikosis.
Badan Medlar (Gambar 5) merupakan elemen jamur yang berbentuk bulat, berpigmen kecoklatan
dan berstruktur polihedral dengan dinding yang terdiri dari 2 lamina berdiameter 4-6 m, dengan
morfologi copper pennies (uang logam tembaga). Biopsi juga sebaiknya dilakukan untuk
mendapatkan gambaran histopatologi (Orkin dkk., 1991; Pena-Penabad dkk., 2003; Warrell dkk.,
2005; Wolff & Johnson, 2009; Anaissie dkk., 2009; Burns dkk., 2010; Tamura dkk., 2011;
Goldsmith dkk., 2012).
Gambar 5. Temuan sel sklerotik pada pemeriksaan dengan larutan KOH 10% pada mikroskop dengan perbesaran 200x (Tamura dkk., 2011).
Gambaran histopatologi pada kerokan lesi kromomikosis didapatkan gambaran yang
menyerupai respons granuloma benda asing, dengan daerah-daerah isolasi pembentukan abses
mikro. Kelompok sel jamur atau disebut badan Medlar dapat ditemukan di dalam sel-sel raksasa
makrofag atau sel Langerhans pada granuloma (Gambar 6) (Pena-Penabad dkk., 2003; Tamura
dkk., 2011). Selain itu ditemukan juga hiperplasia pseudoepiteliomatosa pada lapisan epidermis
dan eliminasi sel jamur pada lapisan transepidermal yang umumnya berupa inflamasi pada
stratum korneum. Jaringan antara nodul granulomatosa menunjukkan fibrosis kronis. Jika terjadi
9
ulserasi dan selulitis, dapat ditemukan tanda infeksi bakteri sekunder, seperti limfadenitis
regional (Anaissie dkk., 2009; Burns dkk., 2010; James dkk., 2012).
Gambar 6. Gambaran histologi sel sklerotik di dalam sel raksasa dengan pewarnaan PAS dan perbesaran mikroskop 200x (Tamura dkk., 2011).
Perkembangbiakan melalui septasi ekuatorial merupakan tanda penting lainnya bagi
kromomikosis, bukan melalui pertunasan (budding) seperti pada blastomikosis. Preparat dengan
pewarnaan HE atau Giemsa untuk menemukan antigen jamur menunjukkan bahwa organisme
tersebut biasanya menumpuk di makrofag atau sel Langerhans. Kehadiran badan sklerotik (badan
Medlar) dengan morfologi copper pennies (uang logam tembaga) membedakan penyakit ini dari
feohifomikosis invasif (Gambar 7). Respons kekebalan terhadap organisme tampaknya
mempengaruhi presentasi klinis dan histologis. Pasien dengan lesi plak verukosa menunjukkan
respons kekebalan jenis T-helper 2 (Th2), sementara lesi plak atrofi eritema memiliki respons
tipe T-helper 1 (Th1) (James dkk., 2012).
Kultur in vivo pada agar dextrose Saboraud menunjukkan koloni berwarna hitam
kehijauan ditutupi beludru halus, berbatas tegas dan tumbuh lambat, yaitu selama 4-6 minggu
pada suhu 25-30oC (Gambar 8). Tiga bentuk produksi konidia dapat diamati pada organisme yang
paling umum menginfeksi: pertunasan acropetal, produksi phialide dan konidiasi simpodial.
Beberapa organisme yang polimorfik dapat menunjukkan lebih dari satu jenis konidiasi secara
bersamaan (Wolff & Johnson, 2009; Burns dkk., 2010; Tamura dkk., 2011; Goldsmith dkk.,
2012). Terdapat 3 tipe konidia mayor, yaitu (Elewski dkk., 2012):
- Menyerupai Cladophialophora: Rantai dengan cabang panjang dengan sel perisai
pada titik-titik percabangan).
10
- Menyerupai Phialophora: Berbentuk tunas yang meluap dari dalam vas.
- Menyerupai Rhinocladiella: Konfigurasi mirip dengan sikat maskara.
Gambar 7. Badan sklerotik dalam dermis bebas dan dalam sel raksasa pada pewarnaan HE pada mikroskop dengan dengan perbesaran 400x (Pena-Penabad dkk., 2003)
Gambar 8. Hasil kultur jamur pada agar dextrose Saboraud pada suhu kamar selama 30 hari, didapatkan gambaran tumpukan koloni dengan beludru halus dan berwarna gelap dengan diameter kisaran 8,5 cm
(Tamura dkk., 2011).
Diagnosis Banding
Penyakit ini harus dibedakan dari penyakit dengan plak veruka besar lainnya seperti
blastomikosis (terdapat lesi sistemik, terutama pada paru) dan tuberkulosis kulit verukosa
(terdapat BTA positif), leishmaniasis verukosa, sifilis, frambusia dan karsinoma epidermoid
(Anaissie dkk., 2009; Burns dkk., 2010).
11
Penatalaksanaan
Pengobatan kromomikosis tergolong sulit, memerlukan terapi kombinasi dan memerlukan
jangaka waktu panjang yang dapat berlangsung hingga 126 bulan. Hanya sekitar 30% dari pasien
yang sembuh total, meskipun hampir 60% pasien membaik. Sekitar 10% gagal terapi dan
kekambuhan diderita lebih dari 40% pasien (James dkk., 2011).
Pengobatan pilihan untuk lesi kecil dan terlokalisasi biasanya adalah krioterapi nitrogen
cair atau bedah eksisi untuk mencegah kekambuhan lokal, namun pembedahan tidak layak untuk
lesi yang dalam atau pada keterlibatan kulit yang luas. Untuk lesi yang dalam atau luas, dapat
digunakan pengobatan jangka panjang dengan antifungal sistemik seperti terbinafin oral untuk
mengurangi ukuran lesi sebelum bedah eksisi dilakukan (Tamura dkk., 2011). Pembedahan
sebaiknya hanya dilakukan bersamaan dengan pemberian agen antifungal, sebab pembedahan
dapat menyebabkan penyebaran lesi (Goldsmith dkk., 2012).
Jika lesi luas, dapat digunakan terapi medikamentosa dengan agen antifungal. Antifungal
oral untuk kromomikosis termasuk flukonazol, flusitosin, ketokonazol, terbinafin dan itrakonazol.
Pada tahun 1990, terbinafin dan itrakonazol adalah agen yang paling banyak digunakan, dengan
respons yang dilaporkan adalah 60% untuk itrakonazol dan 66,7% untuk terbinafin (Tamura dkk.,
2011). Itrakonazol diberikan dengan dosis 100-200 mg/hari, diberikan untuk setidaknya 18 bulan.
Terbinafin, 250-500 mg/hari selama 6-12 bulan. Pada kasus berat dapat diberikan amfoterisin B
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari. Kombinasi amfoterisin B dan itrakonazol telah digunakan dalam
kasus-kasus resisten (James dkk., 2011; Goldsmith dkk., 2012).
Fonsecaea pedrosoi merupakan etiologi paling umum, namun terbukti kurang sensitif
terhadap terapi antijamur dibandingkan C. carrionii atau P. verrucosa, namun, terbinafin telah
menunjukkan toleransi yang tinggi dan kemanjuran terutama terhadap F. pedrosoi, bahkan dalam
kasus refrakter (Slesak dkk., 2011).
Dalam kasus-kasus refrakter, itrakonazol dapat dikombinasikan dengan krioterapi,
termoterapi aplikasi panas (hipertermia lokal) atau penguapan laser CO2. Terapi alternate week
dengan itrakonazol dan terbinafin juga telah digunakan. Hipertermia lokal sendiri telah
dilaporkan efektif dalam beberapa kasus, dan telah dikombinasikan dengan penguapan laser CO2.
12
Meskipun begitu, beberapa lesi tetap dapat bertahan dan amputasi harus dilakukan pada beberapa
pasien (James dkk., 2011).
Prognosis
Kromomikosis merupakan infeksi kronis dan memakan waktu lama untuk penyembuhan,
beberapa bahkan bertahan hingga puluhan tahun. Hanya sekitar 30% dari pasien yang sembuh
total dan 60% pasien membaik. Sekitar 10% gagal terapi dan kekambuhan diderita lebih dari 40%
pasien (James dkk., 2011). Umumnya kekambuhan penyakit ini tidak diketahui sebabnya
(Tamura dkk., 2011). Penyulit yang dapat memperburuk prognosis adalah infeksi bakteri
sekunder dan muncul jaringan karsinoma pada area verukosa (Wolff & Johnson, 2009).
KESIMPULAN
Kromomikosis, disebut juga sebagai kromoblastomikosis, merupakan infeksi jamur
profunda kronis yang disebabkan jamur berpigmen (dematiacieous) pada jaringan subkutan
dengan gambaran nodular dan verukosa yang dapat meluas dan menjadi plak besar dengan
jaringan hemopurulen yang mudah berdarah. Kejadian kromomikosis sering ditemukan pada
daerah beriklim tropis dan subtropis dengan suhu sedang, namun dapat terjadi di seluruh dunia.
Penyakit ini umumnya menyerang pria dewasa berusia 20 hingga 60 yang bekerja sebagai petani,
peternak atau pekerja tambang. Organimse penyebab kromomikosis hidup secara saprofit pada
tanah dan masuk ke dalam tubuh manusia melalui inokulasi langsung pada trauma kulit. Terdapat
beberapa spesies jamur penyebab kromomikosis, namun sebagian besar kasus disebabkan oleh
Fonsecaea pedrosoi dan Cladophialophora carrionii. Diagnosis kromomikosis dilakukan dengan
melihat pada gambaran klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium, seperti kerokan kulit yang
ditambahkan larutan KOH 10-20% dan biopsi granuloma untuk melihat gambaran badan Medlar
berbentuk “koin tembaga” yang khas pada kromomikosis. Biakan organisme jamur pada agar
dextrose Saboraud menghasilkan koloni jamur berwarna hitam kehijauan dengan beludru halus.
Pengobatan kromomikosis memerlukan waktu yang lama dan kombinasi beberapa terapi, seperti
penggunaan agen antifungal, bedah eksisi, krioterapi dan termoterapi. Prognosis penyakit ini baik
jika pengobatan sempurna dan tanpa penyulit seperti infeksi bakterial sekunder dan karsinoma.
13
REFERENSI
Anaissie EJ, Mc Grinn MR & Pfallen MA. 2009. Clinical Mycology, 2nd Edition. Churchill Livingstone Elsevier. p518-519.
Burns T, Breathnach S, Cox N & Grifftith C. 2010. Rook’s Textbook of Dermatology, 8th Edition. New Jersey: Wiley Blackwell. p1713-1714.
Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO & Hay R. 2012. Fungal Diseases. In: Callon JP, Carroni L, Heymann WR, Hruza GJ, Manaini AJ, Patterson JW, Rocken M & Schwarz T (editors). Bolognia’s Dermatology, 3rd Edition. Saunders Elsevier. p1267-1270.
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ & Wolff K. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th Edition. McGraw-Hill. p2315-2316.
James WD, Elston DM & Berger TG. 2011. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical Dermatology, 11 th
Edition. Saunders Elsevier. p313-314.
Orkin M, Maibach HI & Dahl MV. 1991. Lange’s Dermatology. Connecticut: Appleton & Lange. p171-172.
Pena-Penabad C, Duran MT, Yebra MT, Rodriguez-Lozano J, Vieira V & Fonseca E. 2003. Chromomycosis due to Exophiala jeanselmei in a Renal Transplant Resipient. Eur. J. Dermatol.; 13: p305-307.
Ryan KJ. 2004. Characteristic of Fungi. In: Ryan KJ & Ray CG. Sherris Medical Microbyology – an Introduction to Infectious Disease, 4th Edition. McGraw-Hill. p657.
Slesak G, Inthalad S, Strobel M, Marschal M, Hall MJR & Newton PN. 2011. Chromoblastomycosis after a Leech Bite Complicated by Myasis: a Case Report. BMC Infectious Disease; 11: p14-21.
Tamura K, Matsuyama T, Yahagi E, Kojima T, Akasaka E, Kondo A, Ikoma N, Mabuchi T, Tamiya S, Ozawa A & Mochizuki T. 2011. A Case of Chromomycosis Treated by Surgical Therapy Combined with Preceded Oral Administration of Terbinafine to Reduce the Size of the Lesion. Tokai. J. Exp. Clin. Med.; 37(1): p6-10.
Warnock DW. 2012. Fungi: Superficial, Suncutaneous and Systemic Mycoses. In: Greenwood D, Barer M, Slack R & Irving W (editors). Medical Microbiology – a Guide to Microbial Infections: Pathogenesis, Immunity, Laboratory Investigation and Control, 18 th Edition. Churcill Livingstone Elsevier. p616-641.
Warrell DA, Cox TM, Firth JD & Benz Jr EJ. 2005. Oxford Textbook of Medicine, 4th Edition. New York: Oxford University Press.
14
Wolff K & Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology, 6 th Edition. McGraw-Hill. p742-743.