KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP...

208
KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM : untuk pembangunan hutan dan rehabilitasi lahan

Transcript of KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP...

  • KRITERIA BIBITTANAMAN HUTAN

    SIAP TANAM :untuk pembangunan hutan

    dan rehabilitasi lahan

  • C.01/10.2019

  • Penerbit IPB PressJalan Taman Kencana No. 3,

    Kota Bogor - Indonesia

    C.01/10.2019

    NurhasybiDede J. Sudrajat

    Eliya Suita

    Editor :Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc.

    Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si.

    KRITERIA BIBITTANAMAN HUTAN

    SIAP TANAM :untuk pembangunan hutan

    dan rehabilitasi lahan

  • Judul Buku:KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM: Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    Penulis:NurhasybiDede J. SudrajatEliya Suita

    Editor:Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc.Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si.

    Editor Typografi:Atika Mayang Sari

    Penata Isi:Army Trihandi PutraM. Ade Nurdiansyah

    Desain Sampul:Army Trihandi Putra

    Jumlah Halaman: 190 + 18 halaman romawi

    Edisi/Cetakan:Cetakan Pertama, Oktober 2019

    PT Penerbit IPB PressAnggota IKAPIJl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected]

    ISBN: 978-602-440-934-0

    Dicetak oleh IPB Press Printing, Bogor - IndonesiaIsi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

    © 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANGDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

  • KATA PENGANTAR

    Buku Kriteria Bibit Tanaman Hutan Siap Tanam: untuk pembangunan hutan dan rehabilitasi lahan, merupakan salah satu buku yang ditulis untuk melengkapi informasi terkait dengan mutu bibit tanaman hutan yang banyak diperlukan oleh para pengambil kebijakan lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), peneliti, staf pengajar dan mahasiswa di Perguruan Tinggi, penyuluh dan masyarakat umum dalam kaitannya dengan penanaman pada lahan milik pribadi, lahan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan.

    Metode perbanyakan tanaman dan cara-cara penanaman yang semakin bervariasi dan mengalami perbaikan diharapkan meningkatkan keberhasilan penanaman di lapangan. Pemilihan jenis yang tepat dan lahan yang sesuai akan meningkatkan adaptasi dan pertumbuhan jenis-jenis tanaman hutan yang ditanam. Dalam buku ini dikemukakan pembibitan tanaman hutan menggunakan wadah bibit di persemaian untuk rehabilitasi hutan dan lahan, dan tinjauan penggunaan cara cabutan serta puteran yang mulai banyak digunakan untuk menyediakan bahan tanaman pada penanaman di lanskap perkotaan.

    Penulis berupaya memasukkan informasi terbaru berupa tinjauan terkait dengan penyediaan bahan tanaman khusus untuk penanaman pada lanskap perkotaan dengan mengadopsi keterangan-keterangan pada buku pedoman American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60.1 tahun 2014) dan penyederhanaannya pada pedoman Canadian Nursery Stock Standard 9th (CNLA, 2017) dan dilengkapi dengan penjelasan dalam praktek yang dilakukan oleh masyarakat penangkar bibit tanaman hutan.

    Semoga informasi yang terkandung dalam buku ini dapat dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat sehingga dimasa depan kesadaran untuk menanam pohon dan jenis tanaman lainnya semakin tumbuh di masyarakat,

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    vi

    bukan hanya untuk menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik, tetapi juga menciptakan peluang manfaat yang lain secara sosial dan ekonomi. Akhirnya, kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memungkinkan buku ini sampai ditangan pengguna.

    Bogor, Oktober 2019

    Penulis

  • SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN DAN

    PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

    Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas tersusunnya buku Kriteria Bibit Tanaman Hutan Siap Tanam : untuk pembangunan hutan dan rehabilitasi lahan ini. Informasi yang dituangkan dalam buku ini antara lain berasal dari berbagai sumber seperti jurnal, laporan penelitian, prosiding, buku, petunjuk teknis, Surat Keputusan (SK) dan Standar Nasional Indonesia (SNI).

    Buku memuat informasi kriteria bibit siap tanam khususnya untuk tujuan pembangunan hutan tanaman, hutan rakyat dan rehabilitasi lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Informasi penanganan bibit juga menjadi pendukung yang diharapkan mampu memberikan gambaran bagaimana membuat bibit tanaman hutan untuk mencapai standar yang diinginkan atau ditetapkan dalam bentuk peraturan atau SNI. Selain itu, tinjauan umum bagaimana standar bibit untuk tujuan khusus, seperti untuk penanaman pada kawasan perkotaan disajikan dengan merujuk beberapa sumber yang relevan.

    Kami berharap buku ini mampu menjadi panduan bagi petugas penyuluh kehutanan, pengada bibit, dan praktisi pembibitan lainnya serta mampu menjadi acuan bagi peneliti dan mahasiswa dalam kegiatan penelitian ataupun praktek pembibitan tanaman hutan.

    Bogor, Agustus 2019

    Kepala Balai,

    Drs. Jonny Holbert Panjaitan, M.Si.

    NIP. 196207291986031002

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ..............................................................................v

    SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGANTEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN ...........................vii

    DAFTAR ISI ..........................................................................................ix

    DAFTAR TABEL ................................................................................ xiii

    DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xv

    DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................xvii

    BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................1

    BAB II. PARAMETER MUTU BIBIT ...................................................5

    A. Pengertian Mutu Bibit .................................................................. 5

    B. Parameter Penduga Mutu Bibit .................................................... 7

    1. Parameter morfologi bibit ...................................................... 8

    2. Parameter fisiologi bibit ....................................................... 14

    C. Hubungan Parameter Mutu Bibit dengan Keberhasilan Penanaman ............................................................ 17

    BAB III. PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU ...................21

    A. Penanganan Benih ...................................................................... 21

    1. Penanganan benih generatif ................................................. 22

    2. Penanganan benih vegetatif ................................................. 34

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    x

    B. Pembuatan Bibit Generatif ......................................................... 34

    1. Penaburan benih generatif ................................................... 34

    2. Persiapan persemaian ........................................................... 37

    3. Penyapihan .......................................................................... 45

    C. Pembuatan Bibit Vegetatif .......................................................... 45

    1. Pembiakan dengan cara stek ................................................ 46

    2. Pembiakan dengan kultur jaringan ...................................... 52

    D. Aplikasi Rhizobium dan Mikoriza ............................................... 58

    E. Pemeliharaan Bibit ...................................................................... 61

    1. Penyiraman ......................................................................... 61

    2. Wiwil dan penyiangan ......................................................... 62

    3. Penjarangan dan pemangkasan akar ..................................... 62

    4. Pencegahan dan pengendalian hama penyakit ...................... 63

    5. Pemupukan ......................................................................... 66

    5. Seleksi dan aklimatisasi (hardening off) ................................. 66

    BAB IV. STANDAR MUTU BIBIT UNTUK HUTAN TANAMAN DAN REHABILITASI LAHAN DAN HUTAN......................69

    A. Perkembangan Standar Mutu Bibit di Indonesia ........................ 69

    B. Pengujian Mutu Bibit ................................................................. 73

    1. Persyaratan umum ............................................................... 73

    2. Persyaratan khusus ............................................................... 74

    3. Pengambilan contoh ............................................................ 74

    4. Cara pengujian .................................................................... 75

    5. Syarat lulus uji ..................................................................... 77

    6. Laporan hasil ....................................................................... 79

    7. Penandaan ........................................................................... 80

    C. Standar Mutu Bibit ..................................................................... 81

    D. Kriteria Mutu Bibit untuk Tujuan Khusus: Tinjauan untuk Lanskap Perkotaan ........................................................... 86

  • xi

    DAFTAR PUSTAKA

    BAB V. KEBERHASILAN PENANAMAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA ............95

    A. Keberhasilan Penanaman ............................................................ 95

    B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Penanaman ................................................................................. 97

    1. Ekofisiologi tanaman ........................................................... 99

    2. Kualitas tanaman ............................................................... 101

    3. Lingkungan perakaran ....................................................... 103

    4. Praktek penanaman ........................................................... 104

    C. Sistem Dokumentasi dan Informasi untuk Meningkatkan Keberhasilan Penanaman .......................................................... 110

    1. Informasi produksi bibit di persemaian .............................. 111

    2. Informasi tapak penanaman dan pengelolaannya ............... 113

    BAB VI. PENUTUP ............................................................................117

    DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................119

    LAMPIRAN ........................................................................................143

    PROFIL PENULIS .............................................................................187

  • DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Parameter kriteria fisiologi bibit ................................................ 15

    Tabel 2. Beberapa hasil penelitian mutu bibit dalam hubungannya dengan penampilan bibit setelah penanaman ............................ 18

    Tabel 3. Tipe dan karakteristik dormansi benih ...................................... 28

    Tabel 4. Teknik pematahan dormansi benih beberapa jenis tanaman hutan .......................................................................... 29

    Tabel 5. Tahap priming dan perlakuan pengkondisian benih .................. 32

    Tabel 6. Keuntungan dan kerugian penggunaan polybag dan polytube/ pottray (Sharma, 2001a) ............................................................ 38

    Tabel 7. Kandungan hara beberapa jenis limbah bahan organik .............. 43

    Tabel 8. Persyaratan sifat fisik dan kimia media bibit tanaman hutan sesuai SNI 5006.2. 2018 Media bibit tanaman hutan (BSN, 2018a) ........................................................................... 43

    Tabel 9. Umur stock plants untuk produksi bahan stek ............................ 48

    Tabel 10. Beberapa informasi dan hasil penelitian pembiakan vegetatif dengan cara stek. ....................................................................... 49

    Tabel 11. Jenis tanaman hutan yang berasosiasi dengan mikoriza ............. 60

    Tabel 12. Hama dan penyakit bibit tanaman hutan di persemaian dan cara pengendaliannya ......................................................... 64

    Tabel 13. Jumlah contoh (sampel) bibit yang akan diperiksa dengan intensitas sesuai dengan jumlah bibit yang akan disertifikasi ..... 74

    Tabel 14. Kisaran tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit beberapa jenis tanaman hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan) untuk rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan tanaman .................................................................................... 82

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    xiv

    Tabel 15. Ukuran karung plastik bibit untuk diletakkan di dalam tanah .......................................................................... 89

    Tabel 16. Ukuran gumpalan akar dalam hubungannya dengan tinggi atau lebar bibit/tanaman konifer untuk tipe tajuk kerucut ........ 91

    Tabel 17. Ukuran gumpalan akar tanaman konifer dalam hubungannya dengan tinggi dan lebar untuk tipe tajuk melebar ..................... 91

    Tabel 18. Ukuran gumpalan akar hubungannya dengan diameter bibit/ tanaman untuk tipe pohon standar daun lebar yang tumbuh di lapangan ............................................................................... 92

    Tabel 19. Keterkaitan diameter bibit/tanaman, tinggi dan sebaran akar untuk cabutan/puteran di persemaian ....................................... 93

    Tabel 20. Beberapa tekanan abiotik yang mempengaruhi keberhasilan penanaman ........................................................... 98

    Tabel 21. Tingkat keasaman tanah .......................................................... 108

    Tabel 22. Aspek pengendali biofisik dan teknis yang mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi lahan dan hutan ................................ 109

    Tabel 23. Informasi pembuatan bibit di persemaian yang harus diketahui sebelum penanaman ................................................ 111

    Tabel 24. Informasi kondisi tapak penanaman ....................................... 114

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. Contoh ukuran optimum bibit siap tanam untuk: (a) daun jarum jenis Pinus taeda (Thompson & Schultz, 1995) dan (b) daun lebar Shorea sp. (dimodifikasi dari Omon, 2008) .... 8

    Gambar 2. Seed gravity table (SGT) menggunakan hembusan angin, kemiringan dan getaran untuk menyeleksi benih berdasarkan berat (Suita, 2018) ............................................ 27

    Gambar 3. Tipe kecambah tanaman (Bonner et al., 1994). .................... 35

    Gambar 4. Densitas (kerapatan) benih pada waktu penaburan jabon putih (dari kiri ke kanan : (a) kerapatan optimal, (b) terlalu rapat dan (c) serangan jamur pada kerapatan yang berlebihan (Nurhasybi, 2015) ....................................... 36

    Gambar 5. Wadah bibit yang digunakan PT. Musi Hutan Persada dengan metode direct sowing untuk jenis Acacia spp. (Sudrajat, 2010).................................................................... 38

    Gambar 6. Penyusunan wadah bibit pada persemaian tradisional (atas) dan modern (bawah) (Sudrajat, 2010) .................................. 38

    Gambar 7. Media yang baik harus mampu memberikan pertumbuhan akar yang kompak (Sudrajat, 2010) ...................................... 41

    Gambar 8. Penyiapan media pembibitan di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan (Sudrajat, 2010) ........................................ 41

    Gambar 9. Biopot yang dikembangkan Balai Litbang Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPPTPTH) Bogor (Foto: Sudrajat, 2018) .......................................................... 44

    Gambar 10. Kebun pangkas jati (Tectona grandis) dan penanaman stek ke dalam polybag di Puslitbang Perhutani, Cepu (Sudrajat, 2010).................................................................... 47

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    xvi

    Gambar 11. Bibit jati yang belum diaklimatisasi (kiri) dan bibit yang sudah diaklimatisasi (kanan) (Sudrajat, 2010) ....................... 67

    Gambar 12. Jenis dan persentase jumlah pengujian bibit tanaman hutan di Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b) ........ 71

    Gambar 13. Jenis dan jumlah kelompok bibit tanaman hutan yang diuji di Indonesia pada tahun 2006-2009 (Sudrajat, 2010b) ......... 72

    Gambar 14. Kekompakan media bibit tanamam hutan (SNI 5006.2.2018. Mutu bibit tanaman hutan) ................... 75

    Gambar 15. Kegiatan pengukuran bibit di lapangan: (a) persemaian, (b) contoh bibit yang akan diukur, (c) pengukuran diameter, (d) pengukuran tinggi, (e) pengamatan kekompakkan media, dan (f) pencatatan data ......................................................... 78

    Gambar 16. Skema pemeriksaan mutu bibit tanaman hutan (Peraturan Dirjen RLPS No. P. 05/V-SET/2009) ................ 79

    Gambar 17. Contoh hasil pengujian bibit tanaman hutan ........................ 80

    Gambar 18. Bibit yang telah diuji dipisahkan dan diberi label atau tanda ... 81

    Gambar 19. Bahan tanaman yang berasal puteran bagian akar dan medianya dibungkus dengan kantong plastik dan karung (a), dan jika belum digunakan untuk penanaman pada musim hujan berikutnya, maka ditanam kembali dengan wadahnya di persemaian (b) .................................................................. 88

    Gambar 20. Pengukuran kedalaman gumpalan akar (root ball) dari American Standard for Nursery Stock (ANSI Z60.1 tahun 2014) dan contoh bagian akar tanaman puteran yang dibungkus dengan karung ................. 90

    Gambar 21. Model konseptual untuk mengkaji keberhasilan penanaman (reforestation) (Lee et al., 2011) .......................... 96

    Gambar 22. Model faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penanaman (Hirons & Percival, 2010) .................................................... 98

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. Kesesuaian tumbuh beberapa jenis tanaman hutan ............. 143

    Lampiran 2. Standar mutu fisik-fisiologis benih tanaman hutan ............. 173

    Lampiran 3. Penangan benih untuk beberapa jenis tanaman hutan ........ 178

  • BAB I. PENDAHULUAN

    Bibit tanaman hutan memegang peran penting dalam meningkatkan produktivitas hutan dan memulihkan atau merehabilitasi lahan dan hutan yang sekarang ini mengalamai degradasi. Pada saat ini, Indonesia mempunyai kawasan hutan yang sangat luas, yaitu 120,6 juta ha dengan luas kawasan hutan untuk tujuan produksi mencapai 68,8 juta ha (26,8 juta ha hutan produksi terbatas, 29,2 juta ha hutan produksi, dan 12,8 hutan produksi yang dapat dikonversi) (KLHK, 2017a; MoEF, 2018). Luasnya kasawan hutan produksi tersebut belum mampu memenuhi rencana pemenuhan bahan baku kayu sebesar 67,36 juta m3, sementara produksi kayu bulat dari hutan tanaman dan hutan alam hanya 27,29 juta m3. Tidak optimalnya produksi hutan tersebut disebabkan oleh produktivitas yang rendah dan sebagian kawasan hutan (24,30 juta ha) tergolong kawasan kritis (KLHK, 2017a).

    Pada saat ini, optimalisasi pengelolaan kawasan hutan, khususnya hutan produksi, telah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan berbagai program yang salah satunya dengan pelibatan masyarakat seperti pengembangan 347 unit Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP), pembangunan hutan tanaman dan hutan tanaman rakyat, rehabilitasi lahan kritis seluas 5,5 juta ha (KLHK, 2015), dan restorasi gambut dengan target 2,49 juta ha (Gunawan, 2016; BRG, 2016). Selain itu, KLHK juga meluncurkan program-program yang sangat penting lainnya, seperti pelibatan masyarakat dalam kegiatan perhutanan sosial dengan target 12,7 juta ha (KLHK, 2017b; Suharti et al., 2017), program penyerahan pengelolaan lahan hutan negara seluas 37,2 juta ha kepada masyarakat sekitar hutan yang melibatkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kompas.com, 2015/02/26), dan pengembangan energi terbarukan (bioenergi) yang berasal dari biomassa hutan yang dikelola secara

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    2

    lestari (MAPEBHI, 2017). Pelaksanaan program-program tersebut sebagian besar dilakukan melalui kegiatan penanaman yang tentunya memerlukan bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai. Kegiatan penanaman juga tidak hanya ditujukan untuk rehabilitasi atau pembangunan hutan tanaman, tetapi dilakukan juga di daerah-daerah perkotaan untuk berbagai fungsi, seperti jalur hijau, taman kota, hutan kota dan bentuk-bentuk lainnya yang menitikberatkan pada fungsi estetika dan lingkungan.

    Kegiatan penanaman tersebut membutuhkan jutaan bibit dari berbagai jenis prosfektif tanaman hutan. Penanaman secara umum dilakukan dengan menanam bibit hasil perbanyakan secara generatif atau vegetatif yang dipelihara di persemaian. Keberhasilan program penanaman dalam pembangunan hutan tanaman dan penghutanan kembali sering mengalami hambatan karena terbatasnya bahan penanaman dan rendahnya kualitas bibit tanaman hutan (Gregorio et al., 2015). Untuk meningkatkan kualitas bibit, praktek persemaian yang tepat sangat diperlukan. Penanaman dengan bibit atau bahan tanaman yang bermutu baik diharapkan dapat menghasilkan tanaman dengan tingkat adaptasi yang tinggi, pertumbuhan awal yang cepat dan memiliki penampilan yang sesuai dengan harapan. Selain itu, keberhasilan penananam juga memerlukan regulasi yang mengatur atau menjamin bibit tanaman hutan yang beredar secara umum.

    Sistem pengendalian mutu benih dan bibit di negara berkembang termasuk Indonesia dilakukan dengan skema sertifikasi yang diatur melalui peraturan pemerintah (Van Gastel et al., 2002; Van der Meer, 2002; Louwaars, 2005). Sistem sertifikasi dimulai dari sertifikasi sumber benih, mutu benih dan mutu bibit sebagai suatu mekanisme dalam pengendalian mutu benih dan bibit yang dikomersialisasikan (ANLA, 2004; Jacobs et al., 2005). Sistem sertifikasi ini memerlukan pengaturan atau perangkat yang berupa standar uji dan kriteria mutu bibit sebagai acuan pelaksana sertifikasi di laboratorium atau lapangan (Tripp, 1997; Louwaars, 2005). Jenis tanaman dan lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi) sangat mempengaruhi penetapan kriteria mutu bibit, sehingga penerapannya tidak dapat diadopsi untuk jenis dan lingkungan tempat tumbuh yang berbeda. Bibit bermutu adalah bibit dengan karakter tertentu yang mampu beradaptasi, tumbuh dan berkembang baik ketika ditanam pada tapak tertentu yang sesuai (Mattson, 1996; Wilson & Jacobs, 2005). Tentunya, kriteria mutu bibit untuk pembangunan hutan tanaman dan rehabilitasi lahan akan berbeda dengan untuk tujuan lanskap perkotaan. Bibit

  • BAB I.PENDAHULUAN

    3

    tanaman yang digunakan untuk kawasan perkotaan didominasi oleh bibit dalam ukuran yang lebih besar dengan tujuan agar tanaman cepat tumbuh besar dan mencapai ukuran pohon. Bibit tanaman dapat diperoleh dengan cara cabutan atau dengan cara puteran (Dahlan, 2004; Nugraha, 2008) dan harus diperlihara dalam wadah bibit yang relatif besar.

    Penentuan kriteria bibit atau bahan tanaman siap tanam masih menjadi masalah ketika akan dibuat menjadi suatu standar mutu bibit. Permasalahan tersebut di antaranya adalah masih terbatasnya informasi dan pemahaman terhadap penggunaan bibit tanaman hutan bermutu sesuai standar dan masih adanya keraguan di antara pengawas, pengada, pengguna dan peneliti terhadap standar mutu bibit yang berlaku. Selain itu, permasalahan lainnya adalah masih terbatasnya jenis yang distandarkan untuk dijadikan pedoman penguji di lapangan dan standar yang dibuat hanya berdasarkan kondisi morfologi bibit di persemaian, bukan hasil uji fisiologi bibit atau uji penanaman (Sudrajat et al., 2010). Penentuan kriteria bibit siap tanam sangat diperlukan untuk mendapatkan standar mutu bibit yang mencerminkan penampilan bibit setelah tanam (Mattson, 1996; Wilson & Jacobs, 2005; Haase, 2008). Untuk itu, karakteristik morfologi bibit yang umumnya menjadi parameter pengujian mutu bibit perlu didukung dengan uji fisiologi yang dihubungkan dengan hasil uji lapang (Jacobs et al., 2005; Semerci, 2005; Dumroese et al., 2016; Grossnickle et al., 2017; Sianturi & Sudrajat, 2019). Selain itu, prosedur manajemen bibit, khususnya dalam aklimatisasi bibit perlu dikembangkan sehingga mampu memberikan acuan atau standard operational and procedures (SOP) bagi pengada atau penangkar dalam menyediakan bibit bermutu sesuai standar yang telah ditetapkan, seperti pengurangan kerapatan bibit di persemaian mampu meningkatkan daya hidup bibit hingga 4% sampai 10% dibandingkan dengan bibit yang diletakkan rapat (Rowan, 1986; Leachet al., 1986).

    Pada saat ini standar bibit tanaman hutan layak tanam telah disusun oleh Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Dirjen Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang merupakan produk Badan Standardisasi Nasional (BSN).

    Buku kriteria bibit tanaman hutan siap tanam untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan ini ditulis dalam rangka melengkapi informasi mengenai standar mutu bibit tanaman hutan untuk tujuan pembangunan hutan

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    4

    tanaman, rehabilitasi lahan dan hutan. Buku ini dibagi ke dalam beberapa pokok bahasan, yaitu pendahuluan, parameter mutu bibit, pengelolaan persemaian praktis, standar mutu bibit siap tanam untuk tujuan rehabilitasi hutan dan lahan serta pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat, dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penanaman tanaman hutan. Buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang lebih baik terhadap pemegang kebijakan, pengawas, pengada, pengedar, pengguna, dan stakeholder lainnya mengenai kriteria bibit tanaman hutan siap tanam dan penerapannya di lapangan untuk mencapai kualitas tanaman (plant quality) yang terbaik.

    Buku ini juga mengupas proses pengadaan bibit tanaman hutan yang dimulai dari pengadaan benih bermutu sebagai awal dari semua kegiatan persemaian. Benih bermutu dapat diperoleh dari sumber-sumber benih berkualitas hasil kegiatan pemuliaan yang diproses melalui penerapan teknologi penanganan benih yang tepat sesuai dengan karakter benihnya. Proses pengadaan bibit selanjutnya adalah pembuatan bibit di persemaian yang dimulai dari penaburan, penyapihan, pemeliharaan dan aklimatisasi bibit (hardening off). Selanjutnya bibit diseleksi dan disertifikasi untuk mendapatkan legalitas siap tanam sesuai dengan standar mutu bibit yang telah ditetapkan. Bibit-bibit yang lulus sertifikasi tersebut merupakan bibit layak tanam yang dapat menjadi jaminan bagi pengada, pengedar dan pengguna bibit tersebut.

  • BAB II. PARAMETER MUTU BIBIT

    A. Pengertian Mutu BibitBibit merupakan tanaman muda yang dihasilkan dari perbanyakan baik

    secara generatif (biji) atau vegetatif (bahan tanaman lainnya). Mutu bibit harus mencerminkan kemampuan bibit untuk tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungannya setelah penanaman (Mattson, 1997; Wilson & Jacobs, 2005; Sianturi & Sudrajat, 2019). Mutu bibit merupakan suatu kriteria yang disesuaikan dengan tujuan (fitness for purpose), meliputi paramater- parameter yang menentukan kemampuan bibit untuk dapat tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan setelah ditanam (Pattonen, 1985; Hawkins, 1996; Mattson, 1997; Wilson & Jacobs, 2005). Kriteria mutu bibit tidak dapat hanya dideskripsikan di persemaian, tetapi harus dapat dibuktikan di lokasi penanaman. Bibit yang terlihat bagus di persemaian belum tentu mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada semua lahan, sehingga penting sekali merencanakan jenis tanaman yang akan ditanam dan kriteria bibit yang digunakan. Mutu bibit bersifat spesifik, sehingga tidak ada pengertian mutu bibit untuk semua jenis dan tujuan penanaman. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat mencanangkan free to grow yang menyatakan kriteria bibit tanaman di persemaian bukan hanya hidup jika ditanam tapi juga harus tumbuh lebih baik dari vegetasi pesaing dalam kurun waktu 5 tahun (Landis & Dumroesoe, 2006).

    Standar mutu bibit merupakan parameter-parameter yang dinamis sesuai dengan perkembangan iptek dan kebutuhan, serta merefleksikan faktor-faktor lingkungan, perubahan musim, dan berbagai perlakuan bibit serta tanaman di lapangan (Hawkins, 1996). Menurut Wilson dan Jacobs (2005), untuk penanaman pada lokasi/tapak berbeda akan memerlukan kriteria bibit yang

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    6

    berbeda juga, tetapi secara umum bibit tersebut harus mempunyai perakaran yang berkembang baik dengan akar-akar baru yang mampu tumbuh cepat. Bibit yang mampu tumbuh dan berkembang baik memiliki potensi tumbuh baik pada areal agak ekstrim, seperti daerah banjir, kandungan garam tinggi, kering, dan miskin hara atau lahan marjinal. Bibit yang memiliki perakaran dalam mampu tumbuh dengan baik pada daerah kering, sedangkan pada daerah yang banyak gulmanya, bibit yang berukuran lebih besar diduga akan tumbuh lebih baik karena mampu bersaing pada tahap pertumbuhan awal. Rose et al. (1990) menyebutkan bibit yang siap tanam sebagai target bibit (seedling target).

    Konsep target bibit menurut Rose et al. (1990) merupakan target karakteristik morfologi dan fisiologi bibit yang secara kuantitatif berhubungan dengan keberhasilan program penanaman. Konsep ini didasarkan pada suatu hipotesis bahwa banyak karakteristik bibit memegang peran secara bersamaan untuk memenuhi respon lapangan yang diinginkan. Perusahaan kayu Weyerhaeuser di Amerika Serikat melakukan pengamatan kondisi morfologi bibit Pinus taeda secara kontinyu untuk mengkaji adaptasi dan pertumbuhannya setelah penanaman di lapangan. Target seedling untuk jenis tersebut diidentifikasi pada tinggi 20 – 25 cm, diameter batang >4 mm, batang dan pertumbuhan tunas baik, bentuk perakaran dan volume >3,5 ml dan memiliki pertumbuhan akar yang tinggi (Rose et al., 1990). Sementara Karyaatmaja et al. (2001) melaporkan morfologi bibit siap tanam untuk jenis tropis Pinus merkusii bahwa bibit dengan tinggi 6,1 -10 cm, diameter bibit > 2 mm, dan telah berkayu menghasilkan penampilan yang lebih baik hingga umur 6 bulan setelah tanam di lapangan. Perbedaan jenis, tapak dan iklim tentunya akan mempengaruhi kriteria bibit siap tanam.

    Duryea (1984) menyatakan bahwa kriteria mutu bibit yang banyak digunakan meliputi karakteristik morfologi dan fisiologi bibit, serta deskripsi kelompok bibit lainnya. Umur bibit dan lokasi penanaman secara umum dapat menjadi gambaran kelompok bibit siap tanam. Karakteristik morfologi bibit merupakan deskripsi visual dari tinggi bibit, diameter pangkal batang, bobot kering akar, dan rasio pucuk akar, sedangkan fisiologis bibit merupakan gambaran kondisi awal proses fisiologi bibit seperti kemampuan menumbuhkan tunas dan akar baru, keseimbangan nutrisi, ketahanan terhadap stress dan karakter lainnya (Haase, 2008, Dumroese et al., 2016; Grossnickle et al., 2017). Untuk menentukan kriteria bibit siap tanam, karakteristk morfologi

  • BAB II.PARAMETER MUTU BIBIT

    7

    sering dikorelasikan dengan penampilan bibit setelah penanaman di lapangan. Hasil uji coba Sharma et al. (2007) pada jenis Pinus radiata menyatakan bahwa indek kekokohan dan tinggi bibit merupakan penduga terbaik untuk persentase hidup tanaman hingga umur tanaman 1 tahun.

    B. Parameter Penduga Mutu BibitAtribut untuk menguji mutu bibit menurut Mattson (1996) dapat

    dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu atribut material (material attributes) yang dapat secara cepat dikaji oleh sejumlah metode baik langsung maupun tidak langsung, dan atribut penampilan (performance attributes) yang dikaji secara subyektif terhadap bibit untuk meyakinkan pengaruh lingkungan dan mengevaluasi respon pertumbuhannya. Secara umum, mutu bibit tergantung dari beberapa parameter sebagai berikut (Wilson & Jacobs, 2005):

    - Kemampuan menghasilkan akar-akar baru secara cepat,

    - Kecepatan bibit untuk mengakar di tanah dan mulai berasimilasi serta tumbuh setelah ditanam di lapangan,

    - Sistem perakaran berkembang baik,

    - Daun-daun beradaptasi dengan cahaya matahari,

    - Diameter pangkal batang besar,

    - Keseimbangan rasio pucuk-akar,

    - Cadangan karbohidrat baik,

    - Kandungan hara mineral optimum,

    - Pembentukan infeksi mikoriza dan rhizobium yang cocok.

    Wilson dan Jacobs (2005) dan Haase (2008) membagi cara pengukuran mutu bibit menjadi dua bagian, yaitu uji morfologi dan uji fisiologi. Uji morfologi didasarkan pada fisik bibit, sedangkan uji fisiologi berdasarkan fungsi internal bibit. Tentunya kedua kategori tersebut tidak berdiri sendiri. Karakteristik morfologi dapat dianggap sebagai suatu manifestasi fisik dari aktivitas fisiologi suatu bibit. Uji morfologi merupakan suatu uji yang umum dipergunakan karena dapat dilakukan dengan cepat dan biayanya rendah, tetapi beberapa parameter tidak selalu berkorelasi tinggi dengan penampilan bibit di lapangan setelah penanaman, seperti tinggi dan ukuran daun seringkali memiliki korelasi rendah.

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    8

    1. Parameter morfologi bibitMorfologi didefinisikan sebagai bentuk atau struktur organisme atau

    beberapa bagiannya (Haase, 2008). Parameter morfologi merupakan parameter yang populer dalam pengukuran kualitas bibit. Sebagai contoh, hampir semua persemaian melakukan penilaian kualitas bibit berdasarkan parameter morfologinya.

    Gambar 1. Contoh ukuran optimum bibit siap tanam untuk: (a) daun jarum jenis Pinus taeda (Thompson & Schultz, 1995) dan (b) daun lebar Shorea sp. (dimodifikasi dari Omon, 2008)

    Hal pertama yang dilakukan untuk menggambarkan bibit yang ideal selalu dimulai dari karakteristik morfologi, seperti tinggi dan diameter batang, yang dirubah ke dalam klasifikasi standard. Penelitian pada bibit Pinus spp. menunjukkan bahwa karakteristik morfologi dan aspek fisiologi dari mutu bibit sama pentingnya (Landis & Dumroese, 2006). Pengukuran mutu morfologi bibit umumnya digunakan untuk bibit jenis-jenis kayu keras. Parameter

  • BAB II.PARAMETER MUTU BIBIT

    9

    seperti tinggi, diameter pangkal batang, volume akar dan jumlah akar lateral telah digunakan dan hasilnya cukup baik (Thompson & Schultz, 1995; Jacobs & Seifert, 2004; Omon, 2008) (Gambar 1), namun bagaimana pun juga efektifitasnya sangat tergantung pada kondisi fisiologi bibit dan lingkungan atau areal penanaman. Bibit yang berukuran besar tidak selalu menunjukkan bahwa bibit tersebut bermutu tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa uji morfologi bibit memberikan hasil yang tidak konsisten, hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam praktek/pengelolaan persemaian, jenis, dan kondisi lingkungan areal penanaman (Wakeley, 1954).

    Dalam prakteknya, klasifikasi mutu bibit berdasarkan morfologinya banyak diterapkan di beberapa negara, seperti yang dikembangkan di Kanada dalam bentuk Canadian Nursery Stock Standard (CNLA, 2017) dan di Carolina Utara, Amerika Serikat dalam bentuk Pocket guide to seedling care and planting standards (NCDENS, 2007). Hal ini disebabkan pengukuran morfologi bibit lebih mudah, lebih cepat dan murah serta tidak memerlukan keahlian atau keterampilan khusus. Karakteristik morfologi yang paling banyak dipakai menilai mutu bibit adalah tinggi, diameter, jumlah daun, volume akar, dan bentuk batang bibit (Haase, 2008). Beberapa parameter tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

    a. Tinggi

    Parameter bibit yang paling mudah diamati adalah tinggi. Tinggi bibit diukur dengan mistar dari pangkal batang (bekas kotiledon) sampai ujung terminal pucuk. Jika tidak ada terminal pucuk karena adanya luka atau pertumbuhan yang aktif, pengukuran dilakukan sampai titik tertinggi atau dengan memperkirakan titik tumbuhnya (Thompson, 1985). Standar minimum tinggi bibit sangat beragam untuk setiap jenis, zona benih dan kelas umur.

    Tinggi bibit berkorelasi dengan jumlah daun yang dapat memberikan perkiraan kapasitas fotosintesis dan areal transpirasi. Bibit yang lebih tinggi mempunyai keunggulan bersaing dengan gulma dan dapat mengindikasikan sifat genetik yang unggul. Bagaimanapun juga, areal transpirasi yang lebih besar pada bibit yang lebih tinggi akan mengakibatkan stress pada saat ditanam di tapak yang kering, khususnya sebelum terbentuknya akar. Bibit yang sangat tinggi akan lebih sulit untuk ditanam, kurang seimbang, dan mudah terkena kerusakan oleh angin.

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    10

    Persen hidup bibit tidak berhubungan secara linear dengan tinggi awal bibit tetapi memperlihatkan nilai maksimum tertentu. Nilai maksimum tinggi bibit tergantung dari ukuran sistem perakaran bibit dan tapak penanaman. Pada tapak-tapak yang lebih kering, tinggi optimum bibit harus lebih rendah.

    b. Diameter

    Diameter merupakan ukuran morfologi umum digunakan dalam seleksi bibit di persemaian. Diameter diukur dengan kaliper sedikit di bawah bekas kotiledon atau pada pangkal akar (root collar diameter). Pada saat pengukuran perlu diperhatikan bahwa caliper harus tegak lurus terhadap batang dan sedikit menekan dengan tekanan yang konstan, tetapi tidak menyebabkan kerusakan bibit. Secara umum, diameter yang lebih besar mengindikasi bibit lebih baik (Haase, 2008). Diameter batang dianggap sebagai penduga terbaik persentase hidup dan pertumbuhan bibit di lapangan. Diameter yang lebih besar juga mengindikasikan sistem perakaran dan volume batang yang besar. Diameter tidak selalu berkorelasi dengan persen hidup di lapangan, tetapi berkorelasi dengan pertumbuhan selanjutnya (Thompson, 1985).

    c. Berat bibit

    Pengukuran berat dapat dilakukan baik pada berat segar maupun berat kering. Berat segar, meskipun mudah diukur, sangat beragam dengan jaringan yang berisi air, sehingga pengukuran berat kering memberikan hasil lebih konsiten. Umumnya, jaringan yang diukur adalah seluruh tanaman atau secara terpisah pada bagian-bagian tanaman, seperti akar, batang dan daun. Jaringan tanaman sebaiknya dicuci sebelum pengeringan. Jika berat kering akar dan pucuk diukur secara terpisah, bibit dipotong pada bagian pangkal akar atau beberapa posisi lainnya yang mudah diulang dan setiap potongan ditempatkan pada kantung kertas terpisah. Suhu pengeringan sebaiknya cukup untuk mengubah enzim yang bertanggung jawab untuk dekomposisi (>60°C), namun tidak menyebabkan dekomposisi termal dan volatisasi nirogen (

  • BAB II.PARAMETER MUTU BIBIT

    11

    Bibit dengan berat pucuk lebih besar mempunyai kapasitas fotosintesis dan potensi pertumbuhan yang lebih besar, namun akan meningkatkan stress pada tapak yang kering sebelum berkembangnya akar. Bibit dengan berat akar yang tinggi cenderung tumbuh dan bertahan hidup lebih baik dari pada bibit dengan berat akar rendah. Berat akar bagaimana pun tidak selalu merefleksikan akar serabut karena bibit yang banyak akar halus dapat mempunyai masa yang sama dengan dengan akar tunjang yang besar. Bibit berkualitas harus mempunyai perbandingan berat pucuk yang seimbang dengan berat akar. Secara umum, berat kering tidak digunakan sebagai kriteria seleksi atau pengkelasan bibit karena pengukurannya memerlukan waktu yang relatif lama dan sifatnya destruktif. Pengukuran berat umumnya digunakan untuk mengevaluasi kelompok bibit atau perlakuan dalam kegiatan khusus seperti penelitian. Pengukuran berat juga digunakan untuk menentukan rasio akar pucuk dan indek kualitas bibit. Berat kering bibit pada banyak kasus berkorelasi positif dengan diameter (Ritchi, 1984). Berat kering bibit berkorelasi dengan persen hidup bibit dan pertumbuhannya di lapangan, dengan tingkat konsistensi sepeti diameter. Namun, berat kering bibit tersebut untuk menghasilkan bibit dengan adaptasi dan pertumbuhan terbaik harus mempunyai keseimbangan antara berat pucuk dengan akarnya.

    d. Warna bibit

    Warna bibit sering digunakan sebagai ukuran kualitas yang bersifat subyektif. Parameter ini mungkin mempunyai nilai, seperti daun bibit yang berwarna kuning, cokelat atau hijau terang dapat menunjukkan bibit yang kurang vigor dibandingkan dengan bibit dengan daun berwarna hijau tua, namun parameter ini kurang meyakinkan dalam hubungannya dengan persen hidup dan pertumbuhan setelah penanaman di lapangan (Linder, 1980). Umumnya, makin banyak kandungan nitrogen daun akan makin banyak menghasilkan klorofil sehingga warna daun menjadi hijau gelap. Van den Driesshe (1984) menyatakan pada jenis Pseudotsuga menziesii dan Picea sitchensis, kandungan nitrogen pada bibit berkorelasi positif dengan persen hidup tanaman di lapangan, tetapi korelasi tersebut tidak terjadi pada pertumbuhan dan persen hidup jenis Pinus contorta. Sementara McGilvray dan Barnett (1982) melaporkan bahwa kandungan klorofil tidak konsisten dalam korelasinya dengan persen hidup di lapangan. Meskipun responnya beragam, namun warna hijau gelap merupakan kriteria yang penting untuk bibit bermutu tinggi.

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    12

    e. Panjang pucuk

    Panjang atau tinggi pucuk diukur dengan menggunakan mistar atau caliper dari pangkal pucuk hingga ujung pucuk. Pengukuran harus dilakukan secara hati-hati supaya tidak merusak jaringan pucuk. Pada beberapa jenis, seperti Pseudotsuga menziesii dan Pinus penderosa (Hanover, 1963), panjang pucuk berkorelasi dengan jumlah daun primordia dan kemudian mempengaruhi pertumbuhan. Haase (2008) juga menyatakan bahwa panjang pucuk berkorelasi dengan jumlah daun muda pada banyak jenis dan memberikan indikasi vigor bibit dan potensi pertumbuhan pucuk. Tinggi pucuk merupakan indikator yang mungkin berguna untuk mengukur potensi pertumbuhan di lapangan. Tinggi pucuk juga merupakan indikator tidak langsung dormansi dan vigor bibit (Thompson, 1985).

    f. Rasio pucuk akar

    Rasio pucuk akar (RPA) merupakan perbandingan antara pucuk dengan akar. RPA merupakan ukuran keseimbangan antara areal transpirasi (pucuk) dengan areal penyerapan air (akar). Umumnya, bibit dalam wadah memiliki rasio pucuk akar 2:1 atau kurang (Haase, 2008).

    RPA = berat kering pucuk (batang + daun) (g)berat kering akar Menurut Mullin dan Christl (1982), rasio pucuk akar dapat menjadi indek

    untuk memprediksi persen hidup bibit di lapangan, tetapi kemungkinan mempunyai nilai yang kecil dalam memprediksi pertumbuhan di lapangan.

    g. Bentuk batang dan akar bibit

    Pengamatan visual biasanya dilakukan untuk mengetahui banyaknya tunas (multiple shoots) atau bergarpu, batang bengkok, bentuk akar, dan kerusakan fisik. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang tidak diinginkan dan dapat berpengaruh negatif terhadap penampilan bibit di lapangan. Bibit tunas garpu atau bentuk batang yang bengkok dapat disebabkan karena genetik atau hasil dari praktek budidaya, dan juga serangan hama dan penyakit. Ketika bibit bertunas garpu dihasilkan dari kerusakan di persemaian atau serangan hama, bibit biasanya mampu memulihkan diri dan menghasilkan bibit berbatang tunggal (Mclemore,

  • BAB II.PARAMETER MUTU BIBIT

    13

    1982). Selama pemulihan tersebut terjadi pengurangan/penundaan pertumbuhan pada tahun pertama hingga satu batang tunggal menjadi dominan.

    Bentuk akar berhubungan dengan kemampuan perakaran dalam mengeksplorasi volume tanah untuk menyerap air dan hara (Thompson, 1985). Bentuk wadah bibit sangat menentukan jumlah akar dan derajat akar spiral dalam wadah. Akar berbetuk spiral dapat menurunkan pertumbuhan dan akhirnya menyebabkan kematian (Haris, 1978).

    h. Rasio tinggi dan diameter atau indek kekokohan

    Rasio tinggi dan diameter atau disebut juga indek kekokohan (sturdiness quotient) merupakan perbandingan antara tinggi (dalam cm) dengan diameter (dalam mm). Rasio yang tinggi menunjukkan bibit relatif tinggi kurus, sedangkan rasio yang rendah menunjukkan bibit yang kokoh.

    Secara umum, bibit dengan indek kekokohan yang terlalu tinggi menunjukkan kerentanannya terhadap kerusakan fisik sewaktu di tanam. Roller (1977) menemukan bahwa bibit Picea mariana (black spruce) dengan indek kekokohan lebih dari 6 sangat mudah mengalami kerusakan ketika diterpa angin dan kekeringan. Secara umum, indek kekokohan secara paralel sangat dekat dengan diameter bibit dalam memprediksi persen hidup dan pertumbuhan bibit di lapangan.

    i. Indek mutu bibit Dickson

    Indek mutu dirancang untuk mengevaluasi sejumlah kombinasi parameter morfologi untuk menduga performa bibit setelah ditanam di lapangan yang dikembangkan pada jenis Picea glauca and Pinus strobus (Dickson et al., 1960). Indek ini telah diuji untuk jenis Pseudotsuga menziesii oleh Ritchie (1984) dan dapat merefleksikan keberhasilan penanaman berbagai tipe bibit.

    Indek mutu bibit = berat kering pucuk (batang + daun) (g)

    Tinggi bibit (cm) + Berat kering pucuk (g)Diameter (mm) Berat kering akar (g)

    Umumnya parameter morfologi bibit (tinggi dan diameter) lebih banyak diterapkan dalam pengujian mutu bibit karena pengukurannya relatif mudah dan cepat (Omi et al., 1986; Mexal & Landis, 1990; Rose & Ketchum, 2003), walaupun tidak selalu mencerminkan kemampuan bibit tumbuh di lapangan

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    14

    dan menurut Wakeley (1954), kriteria morfologi umumnya kurang realibel untuk mempredikasi penampilan bibit di lapangan. Ketika membandingkan morfologi bibit, tinggi dan diameter mungkin akan superior dalam menduga mutu bibit, namun parameter lainnya juga mempunyai peran dan sangat tergantung dengan jenis dan karakteristik areal penanaman.

    Karakter morfologi lainnya yang dijadikan parameter mutu bibit adalah sistem perakaran (fibrositas sistem akar, volume akar, akar-akar lateral baru, dan panjang akar). Sistem serabut akar mempunyai areal absorbsi hara, air tinggi dan jumlah ujung-ujung akar aktif yang bermanfaat dalam perkembangan bibit (Thompson, 1985; Deans et al., 1990). Volume dan panjang akar juga mempunyai korelasi yang positif dengan keberhasilan bibit tumbuh setelah penanaman (Rose, et al., 1997; Chiatante et al., 2002; Gazal & Kubiske, 2004). Meskipun diterima secara umum dan banyak digunakan, banyak peneliti yang menyatakan bahwa morfologi sendiri tidak dapat memprediksi semua keragaman yang terlihat dalam persen tumbuh dan pertumbuhan tanaman di lapangan (Ritchie, 1984; Sianturi & Sudrajat, 2019), sehingga kajian fisiologis bibit juga perlu dilakukan.

    2. ParameterfisiologibibitPengukuran aktivitas fisiologi bibit dapat memberikan hasil pendugaan

    mutu bibit yang lebih akurat (Ritchie, 1984). Uji fisiologi telah dipraktekkan pada jenis-jenis konifer di beberapa lokasi persemaian secara operasional oleh USDA Forest Service dan memberikan hasil yang lebih nyata. Menurut Dumroese et al. (2005), uji mutu fisiologi bibit dapat dilakukan dengan cara menguji: a). potensi pertumbuhan akar (root growth potential), b). electrolyte leakage dari serabut akar, akar tunjang, tunas, daun dan pucuknya, c). potensial air, d). kadar air akar, e). tingkat karbohidrat akar, f). kandungan mineral/hara, g). chlorophyll fluorescence, h). fotosintesis, dan status dormansi pucuk. Haase (2008) juga mengkaji beberapa cara uji fisiologis bibit seperti potensi pertumbuhan akar, dormansi pucuk, cekaman/stress terhadap seluruh bagian tanaman, hara/nutrisi tanaman, dan kapasitas fotosintesis (Tabel 1). Uji fisiologi meskipun lebih mencerminkan kemampuan bibit tumbuh setelah penanaman, namun uji ini relatif membutuhkan waktu dalam pengukurannya (Rietveld & Tinus, 1987).

  • BAB II.PARAMETER MUTU BIBIT

    15

    Tabel 1. Parameter kriteria fisiologi bibitSifat bibit Metode pengukuran Satuan ukuran Interpretasi

    Potensi pertumbuhan akar (RGP)

    Bibit dipotkan dalam media tanah atau cocopeat atau ditempatkan dalam tangki hidroponik. Setelah 21 hari pada lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan, jumlah dan panjang akar barunya diukur.

    Tipe akar dikelompokkan pada 0= tidak ada akar baru; 1=beberapa akar, panjang kurang dari 1 cm; 2= 1-3 akar baru, panjang lebih dari 1 cm; 3=4-10 akar baru, panjang lebih dari 1 cm; 4=11-30 akar baru panjang lebih dari 1 cm; 5= lebih dari 30 akar baru panjang lebih dari 1 cm.

    PPA dipengaruhi oleh tipe stok, jenis, seedlot, dan fisiologi dan berhubungan dengan penampilan di lapangan ketika air diserap oleh akar-akar baru. Namun, PPA mungkin tidak diekspresikan ketika kondisi lapangan atau suhu di bawah optimum untuk pertumbuhan akar.

    Dormansi tunas (Bud dormancy)

    Bibit ditempatkan di bawah kondisi pertumbuhan yang optimal dan jumlah hari untuk tunas berkembang dihitung.

    Jumlah hari Aktivitas tunas merupakan indikator atau dormansi dan ketahanan terhadap cekaman (stress).

    Plant moisture stress (PMS)

    Ruang bertekanan merupakan metode umum untuk menentukan tekanan air bibit (Cleary & Zaerr, 1980)

    Bars: 10 bar PMS setara dengan -1,0 MPa dari potensi air pada xylem.

    PMS mengindikasikan potensi air bibit dan merefleksikan interaksi antara suplai air, kebutuhan air, dan regulasi tanaman. PMS dapat dipengaruhi oleh waktu harian, jenis, umur tanaman, tingkat dormansi dan ketahanan terhadap strees, dan lingkungan. PMS meningkat dengan meningkatnya tekanan air tanaman. Tekanan air yang lemah akan menyebabkan tertutupnya stomata, berkurangnya fotosintesis, dan menurunnya pertumbuhan. Tekanan yang terlalu tinggi dapat mnyebabkan kerusakan permanen terhadap sistem fotosintesis dan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan dan daya hidup.

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    16

    Sifat bibit Metode pengukuran Satuan ukuran InterpretasiUnsur hara tanaman

    Bermacam-macam teknik laboratorium dapat digunakan untuk menentukan kandungan unsur hara makro dan mikro. Untuk menentukan kandungannya, konsentrasi digandakan dengan biomassa contoh.

    Umumnya dinyatakan dalam persen (%) atau ppm, gram atau milligram.

    Keseimbangan hara tanaman sangat penting untuk proses fisiologi yang optimal dan penampilan tanaman di lapangan.

    Chlorophyll flourescence

    Sistem fotosistesis bibit dapat dievaluasi melalui penjenuhan cahaya dengan fluorometer.

    Fvar/Fmax (jaringan daun dapat beradaptasi dengan gelap), atau quantum yield (tidak dapat beradaptasi dengan gelap)

    Flourescence merupakan noninvasif, metode yang tidak merusak untuk mengevaluasi tanaman. Teknik ini dapat memberikan informasi tentang aktivitas fotosintesis tanaman dan responnya terhadap gangguan.

    Sumber : Haase (2008)

    Uji fisiologi mutu bibit yang banyak digunakan adalah potensi pertumbuhan akar Root Growth Potential (RGP). RGP merupakan ukuran mutu fisiologis bibit yang sangat penting karena mengintegrasikan atribut bibit dalam satu ukuran biologi, yaitu kemampuan menumbuhkan akar baru (Ritchie, 1984; Rietveld & Tinus, 1987). Namun pengklasifikasian fisiologis masih tidak praktis sebab uji RGP tidak secepat uji morfologi bibit (Rietveld & Tinus, 1987).

    Sebenarnya tidak ada satu metoda pengujian mutu bibit yang secara keseluruhan berhasil menduga kemampuan adaptasi bibit dan pertumbuhan. Uji morfologi sepertinya cukup menjanjikan untuk membuat standar klasifikasi bibit, namun penampilan bibit yang diklasifikasikan secara morfologi tidak stabil pada tapak yang berbeda. Perbedaan lokasi persemaian, tanah, dan praktek manajemen persemaian telah menghasilkan perbedaan ukuran morfologi bibit sehingga menyulitkan untuk distandarkan (Kormanik, 1990). Menurut Mattsson (1996), uji fisiologi yang potensial untuk dikembangkan di masa depan adalah chlorophyll flourescence, infrared thermography, machine vision system, integrated approaches dan evaluasi ekofisiologi. Solusi yang

    Tabel 1. Parameter kriteria fisiologi bibit (lanjutan)

  • BAB II.PARAMETER MUTU BIBIT

    17

    dapat dilakukan adalah mengkombinasikan sejumlah uji untuk memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai bibit sehat dan vigor, karena yang ingin diketahui bukan penampilan aktual bibit, tetapi potensi keberhasilan penanaman di lapangan (Grossnickle et al., 1991; Wilson & Jacobs, 2005). Fisiologi bibit merupakan konsep tradisional untuk reforestasi dan restorasi, dan membantu mengembangkan konsep target tanaman (plant target) (Rose et al., 1990).

    C. Hubungan Parameter Mutu Bibit dengan Keberhasilan Penanaman

    Beberapa hasil penelitian menyatakan diameter pangkal batang merupakan parameter morfologi bibit yang berkorelasi positif terhadap kemampuan beradaptasi, pertumbuhan bibit di lapangan. Selain itu, diameter pangkal batang berkorelasi dengan perkembangan ukuran akar (Rose et al., 1997). Beberapa ahli menyatakan bahwa diameter atau tinggi bibit yang lebih kecil ternyata mampu beradaptasi dan memiliki pertumbuhan yang lebih baik pada tapak spesifik seperti pegunungan dan lokasi spesifik lainnya (Allen, 1953; Venator, 1983; Jurasek et al., 2009). Hasil penelitian lainnya berpendapat sebaliknya. Omon (2008) menyatakan berdasarkan uji penanaman di tiga lokasi di Kalimantan maka kriteria mutu bibit siap tanam untuk beberapa jenis meranti (Shorea parvifolia, S. leprosula, dan S. johorensis) adalah tinggi bibit 60–65 cm, diameter bibit 5,0–8,0 mm dan indek kekokohan 6,3–10,8. Standar atau kriteria tinggi bibit meranti dari hasil uji penanaman tersebut lebih tinggi daripada ketentuan yang ditetapkan dalam Perdirjen No. P.05/V-Set/2009 dan kondisi umum bibit di tingkat penangkar. Budiman et al. (2015) menyatakan kriteria morfologi bibit jabon putih yang dapat beradaptasi pada kondisi lapangan dari uji penanaman di Parung Panjang, Bogor adalah tinggi bibit 20 – 30 cm, diameter lebih dari 4,5 mm, kekokohan batang di bawah 6 dan berat kering total 3 g.

    Pada jenis kepuh (Sterculia foetida), tinggi bibit di atas 30 cm dan diameter bibit lebih dari 4 mm menghasilkan persen hidup bibit yang tinggi di lapangan, yaitu 80%. Secara keseluruhan dilihat dari tinggi, diameter, dan persen hidup, klasifikasi tinggi awal bibit lebih dari 40 cm dan diameter

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    18

    batang lebih dari 4 mm dapat dijadikan kriteria morfologi bibit kepuh siap tanam di lapangan (Nurhasybi, 2010). Pada jenis nyamplung (Calophyllum inophyllum), klasifikasi morfologi bibit nyamplung berpengaruh nyata terhadap persen hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter batang pada umur 2 tahun di lapangan (Sianturi & Sudrajat, 2019). Tinggi dan diemeter bibit berkorelasi nyata dengan parameter mutu bibit lainnya dan juga berkorelasi nyata dengan penampilan tanaman. Bibit bermutu baik untuk penanaman dicirikan oleh tinggi bibit ≥30 cm dan diameter ≥5,1 mm (Sudrajat et al., 2010). Penanaman tipe morfologi tersebut akan memperbaiki penampilan tanaman, yang akan meningkatkan keberhasilan pengembangan tanaman nyamplung. Kriteria ini berlaku khususnya untuk karakteristik tapak yang serupa atau tidak jauh berbeda dengan kondisi tapak di Hutan Penelitian Parung Panjang, Bogor, dengan jenis tanah podsolik haplik dan pH rata-rata 4,8 (Sudrajat et al., 2010).

    Mutu bibit dicerminkan dari keberhasilan bibit tersebut beradaptasi dan tumbuh baik setelah penanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa parameter mutu bibit (morfologi maupun fisiologi) berpengaruh terhadap penampilan bibit setelah penanaman (Tabel 2).

    Tabel 2. Beberapa hasil penelitian mutu bibit dalam hubungannya dengan penampilan bibit setelah penanaman

    Jenis Hasil penelitian PustakaPinus taeda Diameter batang berkorelasi positif dengan

    kemampuan adaptasi dan pertumbuhan.South et al. (1989)

    Pseudotsuga menziesii

    Diameter batang bibit dan ukuran akar mempengaruhi penampilan bibit setelah penanaman. Penambahan 1 mm diameter awal meningkatkan diameter tanaman umur 5 tahun 5-15%.

    Long dan Carrier (1993)

    Quercus rubra Bibit yang memiliki 5 atau lebih akar lateral mempunyai kemungkinan tumbuh baik daripada bibit dengan 4 atau kurang akar lateral.

    Thompson dan Schultz (1995)

    Pinus ponderosa Bibit dengan volume akar besar (>7cm- 3) berpengaruh signifikan terhadap daya hidup bibit.

    Rose et al. (1997)

    Tinggi, diameter bibit dan volume batang - merupakan penduga kinerja yang baik hingga umur 1 tahun setelah tanam

    Pinto et al. (2011)

  • BAB II.PARAMETER MUTU BIBIT

    19

    Tabel 2. Beberapa hasil penelitian mutu bibit dalam hubungannya dengan penampilan bibit setelah penanaman (lanjutan)

    Jenis Hasil penelitian PustakaPseudotsuga menziesii

    Bibit dengan volume akar besar (>13cm3) berpengaruh signifikan terhadap daya hidup bibit.

    Rose et al. (1997)

    Quercus rubra Diameter batang merupakan indikator morfologi yang lebih baik untuk menduga pertumbuhan setelah penanaman daripada tinggi bibit.

    Dey dan Parker (1997)

    Pinus merkusii Tinggi bibit 6,1 -10 cm, diameter bibit > 2mm, dan berkayu menghasilkan penampilan yang lebih baik hingga umur 6 bulan setelah tanam.

    Karyaatmaja et al. (2001)

    Pinus elliotii Diameter batang merupakan indikator kemampuan hidup bibit yang baik setelah penanaman. Bibit berdiameter 9,5 – 11,5 mm mampu meningkatkan persen hidup tanaman 87-99%.

    South dan Mitchell (1999)

    Cedrus libani Diameter batang merupakan indikator yang baik potensi pertumbuhan bibit setelah penanaman.

    Semerci (2005)

    Acacia macrostachya dan Pterocarpus erinaceus

    Tinggi bibit tidak berpengaruh nyata terhadap persen hidup dan pertumbuhan tanaman, namun diameter bibit ada hubungannya dengan diameter bibit setelah penanaman di lapangan.

    Zida et al. (2007)

    Shorea spp. Bibit dengan tinggi 50-65 cm, diameter bibit 5-8 mm, nilai kekokohan bibit 9,88 – 10,4, rasio pucuk akar 2,19-2,59 menghasilkan pertumbuhan bibit terbaik hingga umur 1 tahun setelah tanam.

    Omon (2008)

    Pinus radiata Indek kekokohan dan tinggi bibit merupakan penduga terbaik untuk persentase hidup tanaman hingga umur tanaman 1 tahun.

    Sharma et al. (2007)

    Cupressus sempervirens

    Penilaian bibit berdasarkan variabel morfologi (panjang akar, lebar daun, berat kering akar dan tunas) dan uji fisiologis seperti electrolyte leakage dapat memperbaiki keberhasilan penanaman.

    Kostopoulou et al. (2010)

    Quercus suber Penampilan tanaman di lapangan tidak berhubungan dengan ukuran bibit dan potensi pertumbuhan akar, namun ada banyak faktor lainnya yang mungkin berpengaruh.

    Trubat et al. (2010)

    Pistacia lentiscus, Quercus coccifera, Rhamnus lycioides, Rhamnus alaternus, Tetrackinis articulata

    Kinerja bibit setelah penanaman dipengaruhi oleh karakter fisik dan fisiologisnya. Untuk daerah semi-arid, bibit yang berukuran lebih kecil lebih adaptif dibandingkaan bibit berukuran besar. Persen hidup bibit setelah satu tahun dilapangan berkorelasi negatif dengan ukuran morfologi bibit.

    Trubat et al. (2011)

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    20

    Jenis Hasil penelitian PustakaNeolamarckia cadamba

    Tinggi bibit 20-4,5 cm dengan indeks kekokohan 5,47 mempunyai korelasi yang nyata dengan keberhasilan tanaman di lapangan.

    Budiman et al. (2016)

    Callophylum inophyllum

    Karakter tinggi dan diameter bibit di persemaian berkorelasi positif dengan parameter mutu bibit lainnya dan dengan persen hidup, tinggi, dan diameter tanaman umur 2 tahun di lapangan

    Sianturi & Sudrajat (2019)

    Penelitian kriteria mutu bibit yang mengkorelasikannya dengan keberhasilan penanaman di lapangan lebih banyak dilakukan terhadap jenis-jenis daun jarum jika dibandingkan dengan jenis-jenis daun lebar (daerah tropis) (Wilson & Jacobs, 2005). Hasil dari beberapa penelitian menyebutkan parameter diameter pangkal batang mempunyai korelasi yang kuat dengan kemampuan hidup (adaptasi) dan pertumbuhan bibit di lapangan (Bacon et al., 1977; Blair & Cech, 1974; White, 1979; Rose et al., 1997; Sianturi & Sudrajat, 2019). Namun, pengaruh morfologi bibit tersebut tergantung dari kondisi lingkungan penanaman dan kegiatan pengelolaan lainnya, sehingga informasi detail tentang penanaman, seperti iklim, teknik persiapan lahan, penggunaan lahan sebelumnya, dan pengelolaan setelah penanaman (post-plantation management), sangat diperlukan untuk mempersiapkan kualitas bibit yang diperlukan sesuai peruntukannya (Andivia et al., 2018).

    Tabel 2. Beberapa hasil penelitian mutu bibit dalam hubungannya dengan penampilan bibit setelah penanaman (lanjutan)

  • BAB III. PENGELOLAAN PERSEMAIAN

    UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

    Kegiatan persemaian dimulai dari pengadaan benih, pembuatan bibit baik secara generatif (biji) maupun vegetatif (bagian tanaman lainnya seperti tunas, batang, akar). Pengadaan benih dimulai dari pengunduhan atau pengumpulan benih, pengolahan benih, pengujian dan penyimpanan yang terangkum dalam kegiatan penanganan benih. Kegiatan penanganan benih sangat penting karena akan menentukan keberhasilan kegiatan-kegiatan selanjutnya.

    A. Penanganan BenihBenih diartikan sebagai bahan tanaman yang berupa bahan generatif (biji)

    atau bahan vegetatif yang digunakan untuk mengembangbiakkan tanaman hutan. Mutu benih dibedakan menjadi tiga yaitu mutu fisik, fisiologis, dan genetik (Schmidt, 2000). Mutu fisik adalah hasil kinerja fisik seperti kebersihan, kesegaran butiran serta utuhnya kulit benih, dan mutu fisiologis menunjukkan kemampuan benih untuk tumbuh atau disimpan lama. Secara singkat, mutu fisik dan fisiologis menunjukkan kinerja pengadaan benih (“seed procurement”) (Barner & Ditlevsen, 1988). Mutu genetik benih menunjukkan tingkat kemurnian varietas, yang dihasilkan dari kinerja pemuliaan pohon (“tree improvement”) (Barner & Ditlevsen, 1988). Mutu genetik juga didefinisikan sebagai tingkat keterwakilan keragaman genetik suatu sumber benih (IFSP, 2000).

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    22

    Mutu benih berhubungan erat dengan mutu bibitnya. Mutu benih yang rendah akan menghasilkan bibit bermutu rendah. Penanganan benih yang kurang baik akan menurunkan mutu benih sehingga berdampak pada mutu bibit. Penurunan mutu terjadi secara genetik yang disebabkan oleh kerentaan benih terhadap kerusakan akibat penanganan benih berbeda untuk setiap famili, karena kadar air, ketebalan dan struktur lapisan benih berbeda antar famili sehingga secara langsung kegiatan penanganan benih yang kurang baik akan menurunkan mutu genetik (menurunnya keragaman genetik) suatu kelompok benih (seed lot) (Lauridsen, 1999).

    Penurunan mutu genetik juga terjadi pada tahap seleksi baik pada tingkat benih (seleksi dan sortasi benih), kecambah (seleksi kecambah pada saat penyapihan), dan pada tingkat bibit (seleksi bibit). Proses penanganan benih dan bibit yang dapat mempertahankan viabilitas dan vigor benih serta keberhasilan benih menjadi bibit siap tanam akan mengurangi perubahan genotipe dan mempertahankan potensi keragaman genetik secara maksimum (Lauridsen, 1999). Dengan demikian, penanganan benih harus dilakukan secara benar sesuai dengan karakteristik benih tersebut sehingga viabilitas dan vigor benih dapat dipertahankan selama penanganannya dan kelompok benih (seedlot) tersebut tidak banyak kehilangan keragaman sewaktu disemaikan. Selain itu, keterangan sumber benih dan hasil pengujian mutu benih menjadi informasi penting dalam pengujian mutu bibit.

    1. Penanganan benih generatifPenanganan benih generatif (biji) harus disesuaikan dengan

    karakteristik atau watak benihnya. Secara umum, benih dapat dikategorikan sebagai benih ortodok, rekalsitran dan intermediet (Robert, 1973). Benih yang dapat dikeringkan hingga kadar air rendah (2% - 5%) tanpa mengalami kerusakan disebut dengan istilah benih ortodok. Daya simpan benih menjadi lebih lama sejalan dengan menurunnya kadar air dan suhu ruang simpan yang lebih rendah (Sudrajat, 2017). Sebaliknya, benih rekalsitran adalah benih yang tidak dapat dikeringkan tanpa mengakibatkan kerusakan dan juga tidak mampu mempertahankan viabilitasnya selama penyimpanan (Robert, 1973). Benih rekalsitran sebagai benih berkadar air tinggi yang sensitif terhadap pengeringan, bermetabolisme aktif dengan laju

  • BAB III.PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

    23

    respirasi yang tinggi dan tingkat diferensiasi intraseluler yang tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan benih akan cepat berkecambah jika kadar air dipertahankan dalam keadaan tinggi, sehingga penyimpanan dalam kondisi lembap juga hanya dapat dilakukan dalam waktu singkat (Pammenter & Berjak, 2013). Benih rekasitran ini harus segera ditangani.

    Benih intermediet merupakan benih yang memiliki watak di antara benih ortodok dan rekalsitran. Meskipun kadar air segarnya relatif tinggi, namun benih intermediet masih mampu dikeringkan (kering-angin) hingga kadar air tertentu dan disimpan dalam waktu yang agak lama (umumnya < 1 tahun). Benih jenis ini juga sensitif terhadap pengeringan, khususnya pengeringan di bawah sinar matahari. Hilangnya viabilitas setelah pengeringan atau selama penyimpanan tergantung pada jenis, tingkat kemasakan dan metode ekstraksi atau penanganan. Secara umum, benih yang diekstraksi pada kondisi benih telah masak secara fisiologis lebih toleran terhadap pengeringan dan dapat disimpan lebih lama pada kondisi kelembapan relatif 40%-50% dan kondisi kadar air benih sekitar 10% (Sudrajat, 2017).

    a. Pengumpulan benihPengumpulan benih dilakukan pada lokasi sumber benih berdasarkan

    kondisi pembuahan dan indikator kemasakan dengan berbagai cara, seperti pengumpulan buah yang jatuh di lantai hutan, perontokan dan pemetikan dengan pemanjatan. Sumber benih adalah suatu tegakan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang dikelola guna memproduksi benih berkualitas. Kriteria yang harus diperhatikan dalam menetapkan sumber benih ini adalah satuan pengumpulan (pohon tunggal, seluruh tegakan), perkembangan dan komposisi (umur, distribusi, kriteria seleksi), sejarah geografis (asal, provenansi), sejarah genetik (seleksi alam atau manusia, jumlah pohon induk, isolasi) (Barner et al., 1988). Sumber benih dibedakan menurut kualitas genetik berdasarkan kelas sumber benih dengan klasifikasi sebagai berikut (1) Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), (2) Tegakan Benih Terseleksi (TBS), (3) Areal Produksi Benih (APB), (4) Tegakan Benih Provenans (TBP), (5) Kebun Benih Semai (KBS), dan (6) Kebun Benih Klonal (KBK), dan (7) Kebun Pangkas (KP). Sumber benih nomor satu (TBT) hingga nomor

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    24

    enam (KBK) merupakan sumber benih yang ditujukan untuk produksi benih (biji), sedangkan nomor tujuh (KP) ditujukkan untuk menghasilkan stek (vegetatif). Dalam kondisi tertentu untuk jenis-jenis tanaman hutan yang belum tersedia sumber benihnya, maka dapat dipertimbangkan beberapa lokasi lain, seperti hutan rakyat, hutan tanaman dan hutan alam, dengan jumlah pohon induk minimal 25 pohon yang tidak berkerabat. Kekerabatan antar pohon induk di hutan alam dapat didekati dengan mengumpulkan benih dari pojom induk yang satu sama lainnya berjarak ±100 m, sedangkan di hutan tanaman, penentuan pohon induk tidak perlu mempertimbangkan jarak karena diasumsikan pohon-pohon yang ditanam tidak berkerabat atau berasal dari benih yang diperoleh dari banyak pohon.

    Pengumpulan benih sebaiknya dilakukan pada saat puncak musim buah dengan memperhatikan tingkat kemasakan buah berdasarkan warna kulit buah, bau, kelunakan buah, kadar air, jatuhnya buah secara alami, atau merekahnya buah. Cara pengumpulan benih atau pemanenan buah dengan perontokan dilakukan terhadap jenis pohon yang memiliki waktu panen buah yang singkat dan mudah rontok serta buah atau biji berukuran besar. Pemetikan buah dilakukan dengan pemanjatan yang dapat dilakukan secara langsung memetik buah pada tangkai pohon yang terjangkau dengan menggunakan alat (galah) pada pohon yang buahnya sulit dijangkau. Cara pemetikan buah ini dilakukan pada tipe buah kering pecah (indehischent) seperti buah polong-polongan (jelutung, pulai, sengon), buah kerucut (agathis, pinus), dan kapsul (seperti Eucaliptus spp., benuang, puspa). Pemetikan buah pada pohon yang tinggi dapat dilakukan dengan pemanjatan pohon. Pengumpulan benih/buah di lantai hutan dapat dilakukan untuk buah yang jatuh atau terlepas dari tangkai buahnya ketika sudah masak seperti jati, gmelina dan lainnya, buah tidak mudah tersebar/terbang dan dimakan pemangsa, berukuran besar, tidak cepat berkecambah, tidak cepat rusak dan berukuran besar. Lantai hutan dibersihkan terlebih dahulu dan diberi alas berupa jaring atau terpal untuk menampung buah yang jatuh. Pengumpulan buah harus segera dilakukan sebelum buah rusak dan terbuka serta sebelum berkecambah (Schmidt, 2002).

    Apabila pengumpulan buah memerlukan waktu yang lama dan lokasi pengumpulan buah jauh maka dapat dilakukan penyimpanan buah sementara. Di lokasi penyimpanan sementara dilakukan beberapa kegiatan

  • BAB III.PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

    25

    untuk menyeleksi buah yang dikumpulkan, meliputi pembersihan buah/benih dari campuran bagian-bagian tanaman lainnya dan pengendalian kemunduran (seperti memisahkan buah/benih yang ada dari buah/benih yang telah berjamur, mengalami fermentasi dan telah berkecambah). Tempat penyimpanan buah/benih sementara di lapangan harus memiliki sirkulasi udara yang baik, terlindung dari organisme pengganggu, terlindung dari cahaya sinar matahari secara langsung dan hujan (di bawah naungan) (Schmidt, 2002).

    Buah/benih dengan karakter rekalsitran harus secepatnya diangkut setelah pengumpulan buah. Pengangkutan benih harus menggunakan wadah yang poros atau berpori, seperti karung goni atau keranjang. Setiap wadah buah diberi label yang berisi informasi: jenis tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk jika ada), jumlah/berat buah, tanggal pengunduhan, dan nama pengunduh.

    b. Ekstraksi benihEkstraksi umumnya dilakukan pada buah-buah yang telah masak.

    Pemasakan buatan (pemeraman/curing) diperlukan untuk buah yang belum mencapai tingkat kemasakan sempurna, seperti Pinus spp. Pemasakan lanjutan (after ripening) diperlukan untuk benih yang telah masak secara fisik, namun embrionya belum berkembang sempurna, seperti pada gmelina (Gmelina arborea), kesambi (Schleichera oleosa) dan jati (Tectona grandis). Buah yang tidak memerlukan pemasakan lanjutan atau pemeraman dapat langsung dilakukan ekstraksi (Nurhasybi et al., 2007). Ekstraksi benih merupakan proses untuk mengeluarkan benih dari bagian buah lainnya. Secara umum, ekstraksi benih tanaman hutan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ekstraksi basah dan ekstraksi kering.

    Ekstraksi basah umumnya dilakukan pada buah berdaging dengan cara manual atau semi mekanis. Tahapan ekstraksi basah adalah sebagai berikut:

    (1). Perendaman buah dalam air hingga daging buah melunak dan benih mudah dikeluarkan dari buah,

    (2). Pengelupasan dan pembersihan kulit buah dari sisa-sisa daging buah menggunakan pasir halus atau bahan lainnya pada air yang mengalir,

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    26

    (3). Permukaan kulit benih dikeringkan dengan cara dikering-anginkan dalam ruang kamar atau dijemur sesuai dengan karakter benihnya (Schmidt, 2002). Untuk benih dengan karakter rekalsitran atau intermediet disarankan untuk dilakukan kering angin di ruang kamar.

    Ekstraksi kering umumnya dilakukan pada buah kering (tidak berdaging) berbentuk polong atau kerucut/bersisik dengan cara manual atau semi mekanis. Ekstraksi kering dilakukan dengan cara:

    (1). Penjemuran buah pada lantai jemur atau menggunakan alas jemur (terpal atau bahan lainnya), atau

    (2). Penjemuran buah di bawah sinar matahari selama 1 - 3 hari, atau dapat menggunakan alat pengering benih (seed drier) pada suhu 35 - 38º C selama 12 - 24 jam.

    Apabila buah telah merekah dan benih mudah dikeluarkan dari buah, maka penjemuran/ pemanasan buah dihentikan (Schmidt, 2002). Pengeluaran benih juga dapat dilakukan dengan cara memasukan benih ke dalam karung dan dipukul-pukul secara hati-hati sehingga benih keluar dari buah.

    c. Seleksi dan sortasi benihPemrosesan (processing) benih bertujuan untuk menghasilkan benih

    dengan tingkat kebersihan dan kemurnian tinggi sehingga mampu meningkatkan kualitas fisik dan fisiologi benih. Seleksi dan sortasi benih dapat dilakukan berdasarkan berat dan ukuran benih. Seleksi dilakukan untuk memisahkan benih berisi dari benih kosong, benih jenis lain dan kotoran. Umumnya, berat dan ukuran benih menjadi dasar untuk melakukan sortasi benih. Seleksi dan sortasi benih dapat dilakukan dengan menggunakan alat seed gravity table (SGT) (Gambar 2), teknik perendaman atau pengapungan, penyaringan dengan ukuran tertentu, dan penghembusan (blower). Beberapa hasil penelitian seleksi benih menunjukkan benih tanjung (Mimusops elengi) berukuran 14,0 - 19,9 mm menghasilkan kecepatan berkecambah lebih tinggi dibandingkan ukuran benih lainnya (Suita & Nurhasybi, 2008), benih mindi (Melia azedarach) berukuran panjang ≥11 mm dan diameter ≥6,5 mm menghasilkan bibit siap tanam yang lebih vigor (Suita & Megawati, 2009) dan benih weru (Albizia procera) berukuran >4,7 mm memberikan hasil pertumbuhan tinggi dan diameter bibit yang optimal (Suita et al., 2013).

  • BAB III.PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

    27

    Gambar 2. Seed gravity table (SGT) menggunakan hembusan angin, kemiringan dan getaran untuk menyeleksi benih berdasarkan berat (Suita, 2018)

    d. Pematahan dormansiSebagian besar benih tanaman hutan di daerah tropis tidak memiliki

    dormansi dan sebagian lainnya memiliki dormansi, sehingga benihnya tidak langsung berkecambah meskipun berada pada kondisi lingkungan yang mendukung (Baskin & Baskin, 2005). Benih-benih yang tidak berkecambah diduga sudah mengalami kematian (tidak viabel), kosong, atau dorman. Benih segar yang tidak mau berkecambah hingga akhir uji perkecambahan, maka benih tersebut diduga mengalami dormansi. Dormansi dapat dinyatakan sebagai kondisi terjadinya hambatan perkecambahan yang disebabkan embrio mengalami beberapa halangan seperti kulit benih, embrio belum berkembang sempurna, atau adanya suatu zat atau materi penghambat yang terdapat pada kulit dan jaringan dalam benih.

    Suatu kondisi dimana benih-benih viabel (sehat) tidak mampu berkecambah meskipun berada pada kondisi optimal untuk berkecambah diartikan sebagai dormansi benih (Schmidt, 2002). Dormansi benih dapat diklasifikasikan menjadi dormansi bawaan (innate dormancy), dormansi rangsangan (induced dormancy) dan dormansi paksaan (enforced dormancy). Dormansi bawaan merupakan dormansi yang terjadi sejak benih tersebut masih berada pada tanaman induk. Dormansi rangsangan dan dormansi

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    28

    paksaan merupakan dormansi karena faktor lingkungan (suhu dan cahaya), dan dormansi dapat diatasi setelah faktor lingkungan yang menghambat dihilangkan (Sudrajat, 2010a).

    Berdasarkan sifat fisiologisnya, dormansi benih dapat diklasifikasikan ke dalam 6 tipe (Schmidt, 2002; Sudrajat, 2010a) seperti tercantum pada pada Tabel 3. Beberapa jenis tanaman hutan memiliki benih yang mempunyai dormansi ganda sehingga memerlukan perlakuan kombinasi untuk mematahkan dormansi benihnya.

    Tabel 3. Tipe dan karakteristik dormansi benih

    Tipe dormansi Karakteristik

    PerlakuanAlami Buatan

    Dormansi embrio

    Benih secara fisiologis belum masak atau embrio dorman

    Pertumbuhan setelah penyebaran

    Pemeraman

    Dormansi mekanis

    Pertumbuhan embrio secara fisik dihambat karena kulit benih

    Pembusukan bagian yang keras oleh organisme tanah

    Pemencaran bagian yang keras

    Dormansi fisik

    Penyerapan air dihambat karena kulit benih yang kedap air

    Abrasi oleh pasir, suhu tinggi, pemangsaan oleh binatang

    Skarifikasi mekanis, air mendidih, perlakuan dengan asam

    Dormansi kimia

    Benih mengandung zat-zat kimia penghambat perkecambahan

    Pemangsaan oleh binatang, pelarutan oleh hujan atau pembusukan daging buah

    Menghilangkan daging buah dan membersihkannya dengan air, perendaman dengan penggantian air, rendam-jemur

    Dormansi cahaya

    Benih tidak dapat berkecambah kecuali jika berada dalam kondisi cahaya

    Kondisi cahaya yang tepat untuk memacu perkecambahan

    Pemberian cahaya selama perkecambahan atau perlakuan gelap dan terang

    Dormansi suhu

    Perkecambahan rendah tanpa suhu yang tepat

    Fluktuasi suhu harian, kebakaran lantai hutan

    Suhu tinggi, suhu berfluktuasi

    Sumber : Schmidt (2000), Sudrajat (2010a)

  • BAB III.PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

    29

    Benih yang memiliki dormansi sebelum ditabur harus dihilangkan terlebih dahulu dormansinya dengan perlakuan pendahuluan untuk meningkatkan daya berkecambah dan jumlah bibit yang akan dipelihara di persemaian. Setiap jenis mempunyai karakteristik/watak benih yang berbeda-beda sehingga memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda sebelum benih ditabur (Tabel 4).

    Tabel 4. Teknik pematahan dormansi benih beberapa jenis tanaman hutan

    No. Jenis Teknik pematahan benih 1. Acacia auriculiformis

    (formis)Rendam air panas (80° C) selama 30 detik dan dilanjutkan air dingin selama 24 jam.

    2. Acacia mangium (mangium)

    Rendam air panas (80° C) dan dibiarkan dingin selama 24 jam.

    3. Acacia crassicarpa Rendam dalam H- 2SO4 selama 7 menit, ditiriskan 3-5 menit dan dicucu air mengalirRendam dalam air yang telah mendidih (suhu 80° - C) dan dibiarkan dingin selama 24 jam.

    4. Aleurites moluccana (kemiri)

    Rendam dalam air dan jemur selama 7 hari berturut-turut (malam direndam, siangnya dijemur)

    5. Anthocephalus cadamba (jabon)

    Perendaman dalam larutan Giberelin selama 4 jam

    6. Arenga pinnata(aren)

    Pemeraman 20-30 hari dan diberi larutan KNO3 0,5% selama 24 jam.Pengikiran benih

    7. Calliandra calothyrsus (kaliandra)

    Perendaman dalam air selama 24 jam

    8. Callophyllum inophyllum (nyamplung)

    Pengupasan kulit benih

    9. Canarium odoratum (kenari)

    Peretakan benih dan dilanjutkan perendaman selama 3 hari

    10. Enterolobium cyclocarpum (sengon buto)

    Perendaman air dingin selama 24 jam- Pengikiran benih- Perendaman dengan H- 2SO2 pekat 35 menit.

    11. Gmelina arborea (jati putih)

    Perendaman dalam air dingin 1-2 hari

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    30

    No. Jenis Teknik pematahan benih 12. Hibiscus

    macrophyllus (tisuk)Perendaman dalam H2SO2 pekat selama 30 menit

    13. Intsia bijuga (merbau)

    Pengikiran- Perendaman dalam H- 2SO2 selama 1 jam

    14. Maesopsis emenii (kayu afrika)

    Perendaman dalam H- 2SO2 (20 N) selama 20 menitPerendaman dalam KNO- 3 2% selama 30 menit

    15. Manilkara kauki (sawo kecik)

    Rendam jemur selama 3 hari

    16. Melia Azedarach (mindi)

    Perendaman dalam larutan H- 2SO2 12 N selama 10 menit, kemudian direndam GA3 300 ppm selama 12 jam.Peretakan kulit benih-

    17. Mimosops elengi (tanjung)

    Perendaman dalam KNO3 0,4%

    18. Ochroma bicolor (balsa)

    Perendaman benih dalam air selama 24 jam dan perendaman benih dalam GA3

    19. Paraserianthes falcataria (sengon)

    Rendam dalam air panas (80° C), kemudian dibiarkan dingin selama 24 jam.

    20. Pericopsis mooniana (kayu kuku)

    Rendam air panas (80° C), kemudian dibiarkan - dingin selama 24 jam.Perendaman dalam H- 2SO2 pekat selama 15 menit

    21. Pinus merkusii (tusam)

    Perendaman dalam larutan H2O2 1% selama 24 jam

    22. Santalum album(cendana)

    Perendaman benih dalam larutan Ethyl Alkohol 40% selama 10-15 menit

    23. Styrax benzoin (kemenyan)

    Rendam jemur selama 3 hari

    24. Tamarindus indica (asam jawa)

    Perendaman dalam H2SO2 selama 5 menit

    25. Xanthoxyllum rhetsa (panggal buaya)

    Perendaman benih dalam larutan asam sulfat pekat - selama 30 menit yang diikuti dengan perendaman dalam air selama 24 jamPerendaman air dingin selama 7 hari-

    Sumber : Sudrajat (2010a)

    Tabel 4. Teknik pematahan dormansi benih beberapa jenis tanaman hutan (lanjutan)

  • BAB III.PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

    31

    e. Invigorasi (priming)Mutu benih tanaman hutan terus mengalami proses penurunan setelah

    pemanenan dan pengolahan (seed prosessing) karena kerusakan fisik dan fisiologi akibat kadar air benih mengalami penurunan dan kerusakan sel. Salah satu cara meningkatkan potensi benih yang telah menurun mutu fisiologisnya adalah perlakuan invigorasi. Invigorasi merupakan perlakuan benih sebelum penanaman/penaburan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi fisiologis dan biokimia benih melalui perbaikan metabolisme dan potensi untuk berkecambah (Khan et al., 1992). Berbagai perlakuan invigorasi benih sebelum tanam di antaranya adalah priming yang merupakan metode mempercepat dan menyeragamkan perkecambahan, melalui pengontrolan penyerapan air sehingga perkecambahan dapat terjadi. Selama priming keragaman dalam tingkat penyerapan awal dapat dikontrol. Metode priming dapat dilakukan melalui hydro-priming, osmoconditioning, hormone-priming dan perbaikan mutu yang dilakukan secara fisik menggunakan radiasi sinar gamma dosis rendah.

    Priming adalah mengaktifkan sumber daya internal benih ditambah dengan sumber daya eksternal yang akan mengoptimalkan pertumbuhan. Invigorasi atau priming dilakukan pada benih-benih dengan daya berkecambah di atas 50%, karena jika daya berkecambah benih di bawah 50% berarti benih tersebut sudah mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi (Schmidt, 2002). Perlakuan priming yang tepat akan mengendalikan laju kebutuhan air selama perkecambahan dan memacu laju metabolisme. Semua proses ini menyebabkan fase aktivasi berlangsung lama sehingga akan memberikan perbaikan fisiologis, antara lain benih berkecambah lebih cepat dan serempak, serta meningkatkan persentase perkecambahannya. Priming dapat dilakukan pada benih berukuran kecil hingga besar terutama pada benih-benih yang sudah menurun vigor dan viabilitasnya. Priming dapat diterapkan di awal, di tengah maupun di akhir periode simpan. Perlakuan ini dilakukan hingga radikel memanjang namun dihentikan sebelum radikel menembus kulit benih. Tahap perlakuan priming meliputi: pelembapan, kontrol kelembapan, pengeringan antara, pencucian, pengeringan akhir dan pengemasan (Zanzibar, 2010) (Tabel 5).

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    32

    Tabel 5. Tahap priming dan perlakuan pengkondisian benih

    No Tahap kegiatanMetoda priming

    Osmoconditioning Matriconditioning hidrasi-dehidrasi1 Pelembapan benih diletakkan

    dalam wadah tertutup yang telah berisi kertas merang berlapis jenuh larutan, dilembapkan selama 72 jam

    dalam wadah tertutup, berisi abu gosok/serbuk gergaji + benih + air (v/v = 0,4 : 1 : 1) kemudian diaduk secara merata

    benih diletakkan dalam wadah tertutup yang telah berisi kertas merang berlapis jenuh air, dilembapkan selama 72 jam

    2 Kontrol kelembapan

    setiap 6 jam benih diaduk secara merata selama 3 menitsetiap 24 jam, air/larutan ditambahkan sebesar yang hilang

    setiap 6 jam benih diaduk secara merata selama 3 menitsetiap 24 jam, air ditambahkan sebesar yang hilang

    setiap 6 jam benih diaduk secara merata selama 3 menitsetiap 24 jam, air ditambahkan sebesar yang hilang

    3 Pengeringan antara

    dikeringkan pada suhu kamar selama 72 jam

    tidak dilakukan dikeringkan pada suhu kamar selama 72 jam

    4 Pencucian air mengalir air mengalir air mengalir

    5 Pengeringan akhir dan pengemasan

    dikering anginkan pada suhu kamar selama 120 jamdikemas dalam wadah yang sesuai dengan karakter benih

    dikering anginkan pada suhu kamar selama 120 jamdikemas dalam wadah yang sesuai dengan karakter benih

    dikering anginkan pada suhu kamar selama 120 jamdikemas dalam wadah yang sesuai dengan karakter benih

    Keterangan: khusus pada perlakuan hidrasi – dehidrasi, tahap 1 sampai dengan 3 diulang sebanyak 2 kali; Sumber : Zanzibar (2010), BSN (2014)

    Penggunaan iradiasi sinar gamma dosis rendah umumnya menghasilkan pengaruh hormosis dan stimulasi terhadap tahap awal perkecambahan melalui peningkatan aktivitas enzim, meningkatkan pembelahan sel, memperbaiki

  • BAB III.PENGELOLAAN PERSEMAIAN UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BERMUTU

    33

    perkecambahan dan pertumbuhan bibit (Ikram et al., 2010; Piri et al., 2011; Iglesias-Andreu et al., 2012; Araujo et al., 2016). Penelitian pada benih tembesu yang disimpan selama 2 bulan dengan dosis iradiasi 120 Gy mampu meningkatkan daya berkecambah dan dosis 30 Gy dapat meningkatkan kualitas bibit tembesu (Zanzibar et al., 2015). Benih Terminalia arjuna dengan dosis 5 Gy dan 30 Gy meningkatkan daya berkecambah, indek vigor dan rata-rata laju pertumbuhan (Akshatha et al., 2013) serta meningkatkan daya berkecambah dan kecepatan tumbuh pada benih Triticum durum dengan dosis radiasi 10 Gy dan 20 Gy (Melki & Marouani 2009).

    f. Pengendalian hama dan penyakit benihBenih tanaman hutan memiliki resiko terkena serangan hama dan

    penyakit. Beberapa upaya pencegahan dapat dilakukan agar benih dapat tumbuh dan berkecambah hingga mengalami pertumbuhan menjadi bibit yang sehat di persemaian. Pencegahan yang dapat dilakukan (Schmidt, 2000; Sudrajat et al., 2010), antara lain :

    a. Pengumpulan buah dilakukan pada saat puncak musim buah masak;

    b. Lantai hutan harus diberi alas (terpal, tikar dan bahan lainnya) dan buah yang dikumpulkan harus diseleksi pada kegiatan pengumpulan buah dari lantai hutan; Ektraksi dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi pelukaan;

    c. Pemisahan benih dari benih rusak dan kotoran agar benih dalam kondisi bersih sebelum disimpan;

    d. Fumigasi dilakukan secara berkala pada wadah dan ruang simpan benih. Fumigasi menggunakan metil bromida cukup efektif untuk mengendalikan beberapa jenis jamur. Fumigan lainnya yang dapat digunakan adalah HCN, karbonsulfida, dan alumunium sulfina;

    e. Penggunaan fungisida seperti triadimethol, ehtirimol, dan metalaxyl cukup efektif untuk mengatasi jamur yang ada pada benih. Ukuran benih dan struktur biji harus dipertimbangkan dalam penentuan dosisnya.

    f. Mempertahankan kadar air aman selama penyimpanan;

  • KRITERIA BIBIT TANAMAN HUTAN SIAP TANAM:Untuk Pembangunan Hutan dan Rehabilitasi Lahan

    34

    g. Memeriksa kesehatan benih secara berkala selama penyimpanan untuk mengetahui kondisi benih;

    h. Benih yang dikecambahkan harus disterilisasi lebih dahulu yang dapat dengan menggunakan ethanol 70%, natrium hipoklorit 1%, dan pestisida nabati dengan perendaman selama 5 – 10 menit, dan bahan lainnya.

    2. Penanganan benih vegetatifBenih-benih vegetatif dapat berupa eksplan atau bagian-bagian tanaman

    yang akan dibiakkan menjadi tanaman baru. Secara umum pembiakan vegetatif yang dilakukan pada tanaman kehutanan untuk memproduksi bibit dalam jumlah besar dilakukan secara stek atau kultur jaringan. Stek dapat dilakukan dengan menggunakan pucuk, batang dan akar.

    B. Pembuatan Bibit Generatif1. Penaburan benih generatif

    Penaburan benih ke media tabur akan berpengaruh terhadap daya berkecambah benih. Benih dengan tipe pertumbuhan kecambah epigeal (bagian kotiledon bergerak ke bagian atas ketika benih berkecambah), maka sebaiknya benih ditabur tidak terlalu dalam, seda