Krisis politik

13
BAB I PENDAHULUAN

description

krisis

Transcript of Krisis politik

Page 1: Krisis politik

BAB I

PENDAHULUAN

Page 2: Krisis politik

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengetian Krisis Politik

Krisis politik adalah masalah yang mengakibatkan kejadian dimana

pemerintahan tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik yang

diakibatkan oleh masalah politik seperti krisis kepercayaan rakyat

terhadap pemerintah atau perselisihan kaum birokrat dengan wakil-wakil

rakyat karena wakil-wakil rakyat mementingkan kepentingan partai

daripada rakyat yang mengakibatkan tidak jalanya pemerintahan karena

untuk menetapkan sebuah kebijakan seorang presiden membutuhkan

persetujuan dari DPR begitu pula sebaliknya.

Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan

menimbulkan permasalahan. Akibat dari krisis politik sebagai berikut:

berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah

menurunnya simpati masyarakat terhadap partai politik

lahir/menjamurnya partai-partai baru

saling perang argumen antar kelompok/parpol mencari simpati

masyarakat

mencari kesalahan masa lalu musuh politik

kebijakan pemerintah terhambat

negara dan bangsa sulit untuk maju setara dengan bangsa/negara

lain

B. Krisis Politik di Indonesia

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari

berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan

politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan

dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang

sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan

Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang

dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya,

melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan

Page 3: Krisis politik

demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi

yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru,

kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari

pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis.

Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:

1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah

dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan

Republik Indonesia).

2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu

atau demokrasi rekayasa.

3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan

masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.

4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap

warga negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.

5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun

Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR,

tetapipemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.

Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok

tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD

1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat

dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore

(secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai

wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya)

anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar

anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).

Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya

kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah

yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi

menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk

keanggotaan DPR dam MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.

Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan

terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi

sumber ketidakadilan, di antaranya :

Page 4: Krisis politik

UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum

UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan

Wewenang DPR / MPR

UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum

UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah

menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber

ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempu

menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah

terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul

sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi

Indonesia (PDI).

Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi

itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi

masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan

masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik,

masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi

sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap

orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap

kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain

itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan

masa jabatan Presiden.

Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun

1997 telah memicu munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama

dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum

tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan

korban jiwa.

Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara

mutlak. Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi dukungan

terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang

Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan masyarakat yang

Page 5: Krisis politik

dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk

menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai Presiden.

Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih

sebagai Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil

Presiden. Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang

dating dari para mahasiswa dan kalangan intelektual.

Hubungan antara Gereja (agama) dan Politik merupakan hal yang

sangat penting dibicarakan baik dalam lingkup akademisi maupun dalam

lingkup masyarakat pada umumnya. Hubungan itu berbeda dari waktu ke

waktu seiring dengan perkembangan zaman yang juga berpengaruh pada

pola pikir manusia. Terkadang hubungan antara keduanya menimbulkan

polemik. Hal ini disebabkan karena masih adanya pemahaman bahwa

bidang pelayanan gereja tidak boleh dicampuradukkan dengan politik.

Gereja harus dibatasi kegiatannya pada urusan-urusan teologi. Pada pihak

lain, ada pihak yang berpandangan bahwa kegiatan gereja tidak dapat

dipersempit hanya pada urusan-urusan yang abstrak/teologi. Gereja justru

harus memperlihatkan keprihatinannya pada persoalan-persoalan sosial

yang sangat konkret, misalnya persoalan-persoalan politik.

Hubungan antara gereja dan politik ini memang merupakan

persoalan yang menjadi perdebatan dalam sejarah partisipasi gereja

dalam politik. Beranjak dari perspektif yang lebih luas, yaitu dalam

konteks “Negara”, Andreas A. Yewangoe melihat hubungan gereja dan

negara bukanlah sesuatu yang gampang untuk dirumuskan. Sejarah

sudah memperlihatkan kepada kita bahwa seringkali terjadi perlombaan

untuk saling mendominasi, saling menaklukkan, dan saling menyerang,

walaupun kadang-kadang terjadi hubungan yang harmonis di antara

keduanya.

C. Peran Serta Kristen dalam Politik dan Krisis Politik

Orang-orang Kristen seharusnya mengambil bagian dalam kegiatan

politik. Berangkat dari gagasan bahwa negara merupakan “lembaga

masyarakat secara keseluruhan“, maka orang-orang Kristen tidak bisa

Page 6: Krisis politik

menghindar dari keterlibatan politik kecuali kalau mereka bukan bagian

dari masyarakat itu. Oleh karena itu, mereka adalah bagian penting dari

masyarakat itu. Namun, hal ini tidaklah sekadar menyerukan keterlibatan

pasif; sebaliknya suatu keterlibatan aktif orang-orang Kristen dalam politik

sebagai bagian dari kehidupan kekristenan dan iman mereka.

Hanya, kita harus memberi perhatian pada prinsip-prinsip penting

bagi keterlibatan politik orang-orang Kristen. Tentu kita mengakui bahwa

ada unsur-unsur kebenaran dalam setiap perspektif yang ada. Persoalan

utama dari berbagai perspektif yang ada adalah bahwa orang Kristen

terlalu membiarkan adanya pembagian antara komunitas iman dan

masyarakat yang lebih luas dimana komunitas iman sebenarnya terikat di

dalamnya. Oleh karena anugerah Allah mengalir bagi semua, bukan

hanya bagi komunitas Kristen, maka dapat dipahami bahwa Allah itu aktif

untuk semua komunitas atau masyarakat. Dengan kesadaran inilah

seharusnya orang-orang Kristen ambil bagian secara aktif dalam politik.

Martin Luther King Jr pernah mengatakan: “the church must be

reminded that it is not the master or servant of the state, but rather the

conscience of the state” (gereja harus diingatkan bahwa gereja bukanlah

tuan atau pelayan negara, melainkan suara hati moral atau negara).

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menanggapi pernyataan ini

secara positif dengan mengeluarkan mandat politik gereja-gereja PGI,

sebagaimana digariskan dalam Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama

(PTPB). Mandat dimaksud adalah “gereja mempunyai tanggung jawab

politik dalam arti turut serta secara aktif di dalam mengupayakan

kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat berdasarkan

Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945 dengan

memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan (power), keadilan

(justice), dan kasih (love).” Ada berbagai perspektif mengenai kenapa

orang Kristen harus terlibat dalam proses politik, antara lain: tugas,

tanggungjawab, kepemimpinan alami, mengasihi saudara, perasaan

kasihan sesama manusia, dsb. Satu perspektif yang sering tidak

mendapat perhatian ialah konsep kepatuhan kepada pemerintah.

Kepatuhan kepada struktur pemerintahan memerlukan keikutsertaan.

Page 7: Krisis politik

Sebagaimana Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Roma: "Tiap-

tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang diatasnya, sebab tidak

ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah (Roma 13:1). Tujuh ayat

pertama dari Roma 13 ini memberikan cetak biru kerangka dasar

hubungan orang Kristen di Roma dengan penguasa ketika itu—Imperium

Romawi. Orang Kristen Roma tidak menjalankan kekuasaan politik dalam

pengaturan hal-hal sekuler; keikut sertaan mereka sangat terbatas.

Sebagai pengikut Kristus dewasa ini, kita dapat melihat surat Rasul

Paulus serta bagian-bagian lain dari Kitab Suci (Markus 12, I Tim. 2:1-3,

Kis. 5, dst) untuk menentukan hubungan kita dengan pemerintah. Orang

Amerika menikmati hak-hak tertentu dan kemerdekaan yang kelihatannya

asing bagi Kristen mula-mula. Karena itu, percayalah bahwa Allah

memberikan ketentuan-ketentuan yang Alkitabiah untuk situasi modern

sekarang ini untuk kita boleh menerapkan prinsip-prinsip yang Dia

berikan. Ketika kita membaca kitab Roma, salah satu prinsip itu adalah

sikap tunduk kepada pemerintah.

Dalam sistem pemerintahan Amerika, kepatuhan memerlukan

keikutsertaan. Kenapa, Anda mungkin bertanya? Suka atau tidak suka,

warga negara Amerika adalah peserta dalam struktur pemerintahan

Amerika. Tidak seorangpun bebas dari partisipasi ini. Warga negara

adalah wajib pajak; mereka dihitung dalam sensus; mereka tercatat

dalam sistem komputer pada semua usia; mereka menyekolahkan anak-

anak mereka pada sekolah-sekolah milik pemerintah; mereka satu dengan

yang lain adalah peserta dalam pemerintahan.

Bekerja dengan pengertian bahwa kita semua adalah peserta,

keterlibatan dalam politik bukan menyangkut hal mencari “kekuasaan.”

Akan tetapi menyangkut bahwa kita diwakili secara wajar ketika

berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam keikutsertaan ini, kita memiliki

kesempatan dalam voting pejabat-pejabat kita yang terpilih dan

meyakinkan adanya pilihan yang cukup pada waktu voting. Jika kita

sungguh mempercayai bahwa pemerintah ditahbiskan oleh Tuhan,

keistimewaan dan kesempatan ini harus dinikmati dan dijalankan.

Page 8: Krisis politik

Apa artinya "berpartisipasi?". Paling sedikit adalah ikut memilih atau

voting. Voting berarti ada pemahaman tentang orang-orang dalam

pemilihan. Pemahaman ini hanya akan dihargai bila kita mengerti hal-hal

seputar kehidupan sehari-hari. Jadi partisipasi harus mendorong

seseorang memahami isu-isu politik, antara lain meliputi isu sosial, isu

ekonomi, isu internasional, dsb. Orang Kristen harus berada setingkat

dengan orang-orang yang paling memahami politik di Amerika.

Wogaman memaparkan tujuh level keterlibatan gereja dalam politik,

yaitu:

1)      Level pertama, influence the ethos (memengaruhi etika). Tugas

pertama gereja adalah menegakkan etika atau moral dalam

masyarakat dengan menyuarakan kebenaran dan mengoreksi yang salah.

2)      Level kedua adalah educating the church's own membership

about particular issues (pendidikan politik warga gereja tentang isu-isu

penting).

3)      Level ketiga adalah church lobbying (lobi gereja). Gereja dapat

melakukan lobi-lobi terhadap para pengambil keputusan politik agar

keputusan politik yang dibuat baik oleh legislatif maupun eksekutif tidak

bertentangan dengan kepentingan umum.

4)      Level keempat, supporting particularc Candidate for office

(mendukung calon tertentu). Prinsip ini adalah prinsip pemihakan yang

dilakukan oleh gereja dalam situasi tertentu, terutama ketika penguasa

bertindak diktator atau diskriminatif dan tidak menegakkan keadilan dan

hak-hak asasi manusia (HAM).

5)      Level kelima adalah becoming a political party. Di Indonesia

sendiri, terutama sejak era reformasi, partai politik berbasis agama

(termasuk Kristen) bermuncullan. Lahirnya partai politik seperti ini

disponsori oleh warga gereja yang terlibat dalam politik, dan bukan

dibentuk langsung oleh salah satu denominasi gereja.

6)      Level keenam ialah, civil disobedience (pembangkangan sipil).

Dalam situasi krisis, gereja dapat melakukan pembangkangan sipil, yaitu

menentang dan melawan pemerintah yang berkuasa dan menolak segala

undang-undang yang tidak adil itu (bnd. Kis. 5:29).

Page 9: Krisis politik

7)      Level ketujuh, participating in revolution (ikut dalam revolusi).

Dalam kondisi khusus yang sangat luar biasa, gereja pun ikut

berpartisipasi dalam revolusi untuk menggulingkan pemerintah yang

korup.

Dalam kondisi normal, level pertama sampai ketiga dapat dilakukan oleh

gereja. Artinya, gereja memang harus tetap menyuarakan suara

kenabian, harus melakukan pendidikan politik secara terus-menerus, dan

dapat melakukan lobi-lobi demi kebaikan negara-bangsa dan gereja

sendiri. Dalam situasi terpaksa (krisis), gereja dapat melakukan level

keempat sampai ketujuh.

Dalam menjalankan sebuah pemerintahan sebaiknya harus sesuai

dengan fisi dan misi  yang akan dijalankan, agar nanti apa yang di

harapkan itu sesuai dengan apa yang kita inginkan,dan juga dalam

menjalankannya itu tidak boleh merugikan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

http://fathorrosidcc2012.blogspot.com/p/bab-i-pendahuluan-v-latar-

belakang.html

http://alokasihgulo.blogspot.com/2013/06/orang-kristen-dan-politik-

beberapa.html

http://cyndiamalita.blogspot.com/2013/11/krisis-ekonomi-sosial-hukum-

politik-dan.html

http://sokhi95.blogspot.com/2013/04/makalah-mengenai-orde-lama-orde-

baru.html

Page 10: Krisis politik

http://blogjejaksejarah.blogspot.com/2013/04/makalah-reformasi.html

Page 11: Krisis politik