Korupsi Dalam Perspektif Filsafat Kejahatan

download Korupsi Dalam Perspektif Filsafat Kejahatan

of 6

Transcript of Korupsi Dalam Perspektif Filsafat Kejahatan

Korupsi Dalam Perspektif Filsafat KejahatanOleh: Abdul Rokhmat Sairah Z.1

Media kembali marak memberitakan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan kekayaan negara. Beberapa oknum yang terlibat diperiksa karena terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Persoalan korupsi telah lama membelenggu negeri ini. Berbagai upaya untuk mengatasinya telah dilakukan. Akan tetapi dalam kenyataannya korupsi tak kunjung jua sirna, bahkan justru semakin membahana. Setidaknya ada tiga pandangan yang menjelaskan persoalan ini. Pertama, rendahnya efek jera yang diberikan pada para koruptor mengakibatkan tidak efektifnya hukuman atas suatu tindakan korupsi. Kedua, lemahnya supremasi hukum berdampak pada terpecahnya konsentrasi untuk melakukan penguatan kelembagaan pada institusi penegak hukum, sehingga terkadang melalaikan persoalan utama, yaitu korupsi itu sendiri. Ketiga, karakter mentalitas masyarakat Indonesia yang terkenal dengan tenggang rasa dan tepa selira dianggap sama dengan budaya korupsi yang telah mengakar di Indonesia. Korupsi dengan sendirinya mengandung makna dalam dirinya sebagai tindak kejahatan.. Persoalan korupsi dihadapkan pada pilihan sadar pelakunya. Dalam ranah

1

Dosen Filsafat UGM

1

hukum, korupsi digolongkan dalam tindak pidana bukan perdata. Sebagai sebuah kejahatan korupsi bersifat abstrak, multi-implikatif, dan tidak manusiawi. Hal itu dapat dilihat dari sisi dampak atas hasil tindakan korupsi, dan jumlah korban yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Oleh karenanya dibutuhkan filsafat sebagai telaah komprehensif untuk melihat akar persoalan korupsi.

Pandangan Tentang Kejahatan Diskursus tentang persoalan kejahatan dengan intensitas tinggi terjadi dalam perdebatan antara Agustinus dan kaum Stoa pada 1600 tahun yang lalu. Kaum Stoa beranggapan bahwa untuk hidup seseorang harus menjadi iri, orang tersebut harus mengalami kebahagiaan atau kepuasan dari suatu keadaan tertentu. Hal itu menurut Wolterstorff sebagai sumber kejahatan. Ia mengartikan kata "jahat" untuk dua hal yang sangat berbeda. Pertama, kejahatan sebagagai tindakan moral yang salah. Kedua, kata jahat menyangkut tentang "alam". Badai, banjir, kekeringan, gempa bumi, letusan gunung berapi, semua peristiwa alam yang merusak dan menghancurkan kehidupan manusia. Dengan demikian berbicara tentang kejahatan tak dapat lepas dari dua hal. Pertama, kejahatan menyangkut tentang kasus dari kesalahan moral sebagai kejahatan. Kedua, kejahatan tentang kejadian atau negara dalam kehidupan

seseorang yang secara sengaja atau tidak, merusak kebaikan (sebagai kejahatankejahatan) untuk orang tersebut. Tidak ada kualifikasi pada klaim bahwa seseorang bertindak dengan cara yang jahat, jika apa yang dia lakukan adalah jahat. Maka 2

kategori jahat dan tidak jahat untuk seseorang adalah dirinya sendiri pada periode pra-jahat atau pada diri orang yang lain. Leo Tolstoy menyatakan bahwa kejahatan adalah kebangkitan iblis dari neraka. Iblis sosialisme menjelma menjadi kebencian kelas. Iblis feminisme menyebarkan kebencian palsu bahwa selain permusuhan kelas juga memicu permusuhan antar jenis kelamin. Hal tersebut menerangkan tentang pertentangan antara kejahatan pada satu sisi dan kebaikan pada sisi yang lain. Kedua sisi ini tidak mungkin berlangsung bersamaan akan tetapi wujudnya bagai dua sisi mata uang. Hannah Arendt memandang kejahatan sebagai kegagalan dalam berpikir. Arendt menyatakan bahwa generasi sekarang berhutang pada Kant yang telah membedakan antara pemikiran dan pengetahuan, antara akal, dorongan untuk berpikir dorongan untuk memahami (dimana keinginan adalah kemampuan tertentu), dan intelektual, serta pengetahuan yang dapat diverifikasi. Masalahnya justru tidak ada pikiran yang jahat. Oleh karena itu, Arendt beranggapan bahwa dibutuhkan filsafat untuk pengimplementasian akal sebagai fakultas pemikiran dalam mencegah kejahatan. Maka jelas bahwa kejahatan merupakan aktivitas mental manusia yang berkesadaran dan berkemampuan untuk memilih berbagai alternatif tindakan. Keputusan tindakan pada suatu kejahatan menimbulkan ekses negatif dalam hubungan antar manusia. Maka pencegahan kejahatan harus dilakukan pada tahap pra kejahatan itu sendiri, yaitu pada ranah aktivitas olah pikir manusia. Dengan demikian kejahatan dapat dicegah justru pada tahap pra keputusan tindakan dalam dimensi 3

mentalitas manusia. Sebab Kejahatan Korupsi Korupsi adalah suatu keputusan tindakan dari pelaku yang berkesadaran dan menjatuhkan pilihan pada tindakan itu. Akan tetapi dalam proses pemilihan, dalam wilayah kognitif pelaku, terjadi kekaburan akan nilai yang secara kuat dan aktif dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kekaburan akan nilai ini mengakibatkan bias kesadaran. Bias kesadaran menimbulkan efek layaknya orang yang terkena hipnotis, yaitu bertindak dalam wilayah imajiner. Faktor yang menyebabkan bias kesadaran dalam tindakan korupsi dapat dibedakan dalam empat hal. Pertama, dominasi wacana materialistik. Kedua, bertemunya hasrat dan godaan akan kekuasaan. Ketiga, rendahnya kepedulian sosial yang berkeadilan. Keempat, matinya rasa malu dari pelaku. Tindakan korupsi dianggap bukan lagi hal tabu. Bahkan mereka yang tidak ikut melakukan dianggap ketinggalan zaman, dan tidak kooperatif. Oleh karena itu kesatuan persepsi harus dibangun. Kesatuan persepsi bahwa korupsi adalah kejahatan sistematis yang setara dengan pelanggaran HAM berat. Dengan kesatuan persepsi itu maka dituntut tindakan nyata untuk membangun budaya anti korupsi di negeri ini. Ketulusan dan keseriusan aparat negara akan senantiasa diuji dalam setiap upaya penanggulangan korupsi.

4

Yogyakarta, 5 Juli 2011 Penulis

Abdul Rokhmat Sairah

5

6