korupsi

65
1 BAB I PENDAHULUAN PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Latar Belakang Korupsi secara umum, dapat dikatakan sebagai perbuatan dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau keuangan suatu korporasi yang menerima bantuan keuangan negara, dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan/wewenang yang ada padanya. Tindak Pidana Korupsi (tipikor) di Indonesia sebenarnya sudah lahir dan tumbuh subur sebelum Indonesia merdeka. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada buku Kedua tentang kejahatan yaitu pada bab VIII kejahatan terhadap penguasa umum dan bab XXVIII kejahatan

description

pasal pasal tentang korupsi

Transcript of korupsi

Page 1: korupsi

1

BAB I

PENDAHULUAN

PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI

A. Latar Belakang

Korupsi secara umum, dapat dikatakan sebagai perbuatan dengan

maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara atau

daerah atau keuangan suatu korporasi yang menerima bantuan keuangan

negara, dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan

jabatan/wewenang yang ada padanya. Tindak Pidana Korupsi (tipikor) di

Indonesia sebenarnya sudah lahir dan tumbuh subur sebelum Indonesia

merdeka. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) pada buku Kedua tentang kejahatan yaitu pada bab

VIII kejahatan terhadap penguasa umum dan bab XXVIII kejahatan jabatan,

yang semuanya bersumber dari produk kolonial imperialis Belanda. Namun

demikian hal tersebut tidak secara tegas disebutkan dengan kata korupsi,

melainkan pengertian dari tindak tersebut memiliki pengertian yang sama

dengan korupsi secara esensial. Sesuai dengan perkembangan zaman dan

perbuatan korupsi terus merajalela maka dalam pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai kurang memadai.

Page 2: korupsi

2

Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia yang tergolong

tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi sebagai suatu virus yang

dengan mudahnya menyebar ke seluruh tubuh / organ pemerintahan dalam

waktu yang relatif singkat dan cenderung mengalami peningkatan yang

cukup signifikan dari tahun ke tahun baik secara kualitas maupun

kuantitasnya dan telah menjadi salah satu permasalahan nasional.

Perkembangan korupsi yang demikian mempunyai relevansi dengan

kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan

kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, orang lain dan suatu

korporasi. Dalam mengantisipasi dan menanggulangi terjadinya tindak

pidana korupsi yang merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik

memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat

komprehensif, sistematis, dan berkesinambungan. Dalam melaksanakan

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan

efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik oleh

seluruh komponen baik pemerintah maupun masyarakat sehingga

penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan.

Dalam upaya mencegah dan menanggulangi tindak pidana korupsi

pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor .31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun sebelum Undang-Undang ini

diterapkan diadakan perubahan dengan di undangkan nya Undang-Undang

Nomor. 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang

Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 3: korupsi

3

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2001 ini merupakan

perubahan atau penambahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang di anggap belum lengkap.

Beberapa perubahan penting dan mendasar dalam Undang-Undang

Nomor. 20 Tahun 2001 yang tidak ditemukan dalam Undang-Undang

Nomor. 31 tahun 1999. Yaitu, sebagai berikut :

1) Terjadi perubahan redaksi penjelasan Pasal 2 ayat (2) sehingga menjadi: “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan social yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi”.

2) Rumusan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan Pasal 12 langsung disebutkan unsur-unsurnya dalam ketentuan pasal yang bersangkutan , tidak lagi mengacu pada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, disisipkan beberapa pasal dalam Pasal 12 menjadi Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 12C yang pada dasarnya mengenai (a) pidana penjara dan pidana denda dalam Pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, dan 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000, (b) bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000 dipidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000, (c) sistem pembalikan beban pembuktian murni khusus grativikasi yang berkaitan dengan suap.

3) Perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana dalam ketentuan Pasal 26A khusus untuk tindak pidana korupsi yang diperoleh dari (a) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan , dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara eletronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Page 4: korupsi

4

4) Substansi Pasal 37 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 dirubah khusus pada frase “keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan dirinya” menjadi “pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti”. Kata “dapat” dalam Pasal 37 ayat 4 undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 juga dibuang.

5) Pasal 43A menentukan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor.31 tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor. 3 tahun 1971 dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan terdakwa diberlakukan ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999. Ketentuan pidana penjara minimum tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999.

6) Adanya ketentuan Pasal 43B yang isinya menghapus dan menyatakan tidak berlaku Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada saat mulai berlaku Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.”1

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka mengubah dan memperbaiki

ketentuan-ketentuan yang masih dianggap kurang dalam Undang-Undang

Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .

Berkaitan dengan acara pemeriksaan tindak pidana korupsi, hukum

acara yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan

ketentuan-ketentuan khusus yang ada dalam Undang-Undang Nomor. 32

Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

1 Mahrus Ali, Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, Hal. 30-32.

Page 5: korupsi

5

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terlihat dalam ketentuan

Pasal 285 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

yang berbunyi :

“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”

Juga dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :

“Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

Berdasarkan ketentuan tersebut maka hukum acara pidana yang

berlaku untuk tindak pidana korupsi adalah hukum acara yang ada di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali yang

ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto

Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Hukum acara yang diatur berbeda dalam Undang-Undang Nomor. 31

Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah yang menyangkut sistem atau

cara pembuktian yaitu sistem pembuktian terbalik yang dibebankan

Page 6: korupsi

6

terhadap terdakwa untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah telah

melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam hukum acara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diatur tentang sistem pembuktian

terbalik artinya bahwa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa adalah

Jaksa Penuntut Umum sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor. 31

Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan adanya sistem

pembuktian terbalik.

Dimungkinkannya sistem pembuktian terbalik dalam pemeriksaan

tindak Pidana Korupsi disidang pengadilan diatur dalam Pasal 37 ayat (4)

Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:

“Dalam Hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi”

Artinya beban pembuktian yang semula dilakukan oleh Jaksa Penuntut

Umum kemudian beralih menjadi beban terdakwa. Dalam hal ini terdakwa

berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak

pidana. Terdakwa didepan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala

pembuktian dan apa bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan

bersalah melakukan tindak pidana. Konsep inilah yang kemudian disebut

dengan “Pembuktian Terbalik”.

Page 7: korupsi

7

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka permasalahannya

adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi dasar pemikiran digunakannya asas

pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik dalam tindak

pidana korupsi di dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999

juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

C. Tujuan dan Manfaat

a) Tujuan Penelitian;

1) Untuk mengetahui dasar pemikiran digunakannya sistem

pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2) Untuk mengetahui pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam

tindak pidana korupsi di dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun

Page 8: korupsi

8

1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b) Manfaat Penelitian

1) Manfaat akademis, merupakan salah satu syarat untuk

menyelesaikan studi ilmu hukum strata satu (S-1) pada Fakultas

Hukum Universitas Mataram.

2) Manfaat toritis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu

hukum pidana di Indonesia, khususnya tindak pidana formil

yang terkait dengan sistem pembuktian terbalik dalam tindak

pidana korupsi.

3) Manfaat praktis, di harapkan agar penelitian ini dapat menjadi

sumber informasi dan referensi bagi semua pihak, khususnya

para penegak hukum yang memiliki cita-cita luhur dalam

memajukan perkembangan pengaturan hukum di Indonesia.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka penelitian ini

di fokuskan pada dasar pemikiran digunakannya sistem pembuktian terbalik

dan pengaturan sistem pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang

Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 9: korupsi

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Pidana

1. Istilah dan Pengertian Hukum Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat

diartikan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan /

dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan

suatu tindak pidana. Para ahli hukum di Indonesia membedakan istilah

hukuman dengan Pidana. Istilah hukuman adalah istilah umum yang

digunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata,

administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah Pidana diartikan

yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum Pidana.2

Pengertian Pidana juga telah banyak di artikan oleh parah ahli

hukum pidana diantaranya oleh Moeljatno dan Van Hamel, menurut

Moeljatno hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang

berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-d asar dan aturan-aturan

untuk :

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi

2http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-pidana-menurutparaahli.html?m=1

Page 10: korupsi

10

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.3

Sedangkan menurut definisi dari Van Hamel dalam bukunya

Inlending Studie Ned. Strafrecht 1927 yang berbunyi:

“Hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.”4

Dengan demikian dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa

hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat

berlakunya norma-norma lain yang telah ada, misalnya norma agama dan

kesusilaan.

Adapun Sumber hukum pidana terdiri atas sumber hukum tertulis

dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia, belum memiliki

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih

diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) antara lain :

a) Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-130)

b) Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488)

3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 1.

4 Ibid, hlm. 8.

Page 11: korupsi

11

c) Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).

2. Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus

Hukum pidana di Indonesia terbagi dua, yaitu hukum pidana umum

dan hukum pidana khusus. Secara difinitif, hukum pidana umum dapat

diartikan sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku umum, yang

tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Adapun hukum pidana khusus, dimaknai sebagai perundang-undangan

dibidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang

diatur dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP, baik perundang-

undangan pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana.

Menurut Andi Hamzah, perundang-undangan pidana khusus

artinya tersendiri terlepas dari KUHP dapat disebut Undang-undang

pidana tersendiri atau dapat juga disebut hukum pidana diluar kodifikasi

atau nonkodifikasi.5

Di Indonesia kini berkembang dengan subur undang-undang

tersendiri diluar KUHP, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, dan banyak Undang-Undang

administrasi yang bersanksi pidana. Perkembangan kriminalitas dalam

masyarakat telah mendorong lahirnya undang-undang tindak pidana

khusus, yaitu undang-undang hukum pidana yang ada diluar KUHP.

Kedudukan undang-undang hukum pidana khusus dalam sistem hukum

5 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm 27.

Page 12: korupsi

12

pidana adalah pelengkap dari hukum pidana yang telah dikodifikasi

dalam KUHP.

Terkait dasar timbulnya pengaturan tindak pidana khusus atau

peraturan tersendiri di luar KUHP, karena KUHP menyatakan tentang

kemungkinan adanya Undang-undang Pidana di luar KUHP itu,

sebagaimana yang disimpulkan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal

103 KUHP yang mengatakan, Ketentuan Umum KUHP kecuali Bab IX

berlaku juga terhadap perbuatan yang menurut undang-undang dan

peraturan lain diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh

undang-undang. Maksudnya, Pasal 1-85 Buku 1 KUHP tentang

Ketentuan Umum berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan

pidana berdasarkan undang-undang atau peraturan –peraturan lain diluar

KUHP diancam dengan pidana kecuali ditentukan lain oleh undang-

undang. Adanya ketentua n pasal tersebut memungkinkan penerapan

aturan-aturan pidana umum bagi perbuatan-perbuatan pidana yang

ditentukan diluar KUHP, kecuali peraturan tersebut menyimpang.6

Hanya saja, Andi hamzah menggaris bawahi hal terpenting untuk

diperhatikan , yaitu penyimpangan-penyimpangan dalam undang-undang

atau peraturan-peraturan khusus tersebut terhadap Ketentuan Umum

KUHP. Selebihnya, yang tidak menyimpang dengan sendirinya tetap

berlaku Ketentuan Umum KUHP, berdasarkan asas lex specialis

derogate legi generali (ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan

6 http://zriefmaronie.blogspot.com/2012/10/sejarah-hukum-tindak-pidana-khusus.html?m=1

Page 13: korupsi

13

umum). Jadi selama tidak ada ketentuan khusus berlakulah ketentuan

umum.7

Tujuan pengaturan terhadap tindak pidana yang bersifat khusus

adalah untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang tidak

tercakup pengaturannya dalam KUHP.

B. Tindak Pidana Korupsi

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Asal kata korupsi menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal

dari bahasa latin corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary;

1960), yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari

kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari

bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu

corruption, corrupt, Prancis yaitu corruption dan Belanda, yaitu corruptie

(korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa

Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu "korupsi".8

Dalam Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh

Wijowasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa

Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.9

Pengertian dari korupsi secara harfiah menurut A.LN. Kramer ST

mengartikan kata korupsi sebagai; busuk, rusak, atau dapat disuap.

7 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm 12.8 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana nasional dan

Internasional, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.4-6. 9 Wijowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 1999, hlm.

128.

Page 14: korupsi

14

Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata

bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta : “Korupsi ialah

perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,

dan sebagaiannya”.10

Pengertian Korupsi juga di definisikan oleh Benveniste menjadi 4

jenis yaitu:

1) Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.

2) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3) Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

4) Ideological corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.11

Namun dari banyaknya pendapat-pendapat para ahli tentang

pengertian dari korupsi, ternyata dalam ketentuan Undang-Undang

Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak di tentukan

pengertian dari korupsi, tetapi didalam Undang-Undang Nomor. 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pengertian tindak

pidana korupsi ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi :

“Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang

10 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 524.

11 Suyatno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 17

Page 15: korupsi

15

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Dengan demikian dapat dijabarkan mengenai pengertian dari

“Tindak Pidana Korupsi” adalah semua ketentuan hukum materiil yang

terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-

Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.12

2. Lembaga yang Berwenang Memberantas Korupsi

1) Komisi Pemberantasan Korupsi

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga

yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, diatur dalam

beberapa hukum positif, yaitu :

a) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu:

"Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi".13

b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pasal 43 ayat (1)

12 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 25.

13 Ibid, hlm. 11

Page 16: korupsi

16

"Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak UndangUndang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi". 14

c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembe-rantasan Tindak Pidana Korupsi.Pasal 2"Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi". 15

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan melakukan

koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan,

dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi,

tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta

keanggotaannya diatur dengan undang-undang.

2) Kepolisian Negara Republik Indonesia

Tentang institusi Kepolisian Republik Indonesia diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai institusi penegak

hukum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal sebagai Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memiliki kewenangan

melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana termasuk

perkara pidana khusus korupsi.

Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan dalam

14 Ibid, Hal. 409.15 Ibid, Hal. 434.

Page 17: korupsi

17

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Percepatan Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 10 diins-

truksikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai

berikut:

a) Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dengan menyelamatkan uang negara.

b) Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.

c) Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi”.16

3) Kejaksaan Republik Indonesia

Lingkup tupoksi atau tugas dan fungsi Kejaksaan Republik

Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi

Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diinstruksikan dalam Instruksi

Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 9 diinstruksikan kepada

Jaksa Republik Indonesia, sebagai berikut :

a) Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan

16 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPKK-Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 512.

Page 18: korupsi

18

terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.

b) Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penya-lahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum.

Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik

Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang

terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian

keuangan negara akibat tindak pidana korupsi".17

C. Sistem Pembuktian

1. Ketentuan Tentang Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Berkaitan dengan acara pemeriksaan tindak pidana korupsi, hukum

acara yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan

ketentuan-ketentuan khusus yang ada dalam Undang-Undang Nomor. 30

Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terlihat dalam ketentuan

Pasal 285 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) yang berbunyi :

“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”

17 Ibid, Hal. 511-512

Page 19: korupsi

19

Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi :

“Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka hukum acara pidana

yang berlaku untuk tindak pidana korupsi adalah hukum acara yang ada

di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali

yang ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999

juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Hukum acara yang diatur berbeda dalam Undang-Undang Nomor.

31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah yang menyangkut sistem

atau cara pembuktian.

Dalam hukum acara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diatur tentang sistem pembuktian

terbalik artinya bahwa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa

adalah Jaksa Penuntut Umum sedangkan di dalam Undang-Undang

Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan adanya

sistem pembuktian terbalik.

Dimungkinkannya sistem pembuktian terbalik dalam pemeriksaan

tindak pidana korupsi disidang pengadilan diatur dalam Pasal 37 ayat (4)

Page 20: korupsi

20

Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor.

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

berbunyi:

“Dalam Hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi”

Artinya beban pembuktian yang semula dilakukan oleh Jaksa

Penuntut Umum kemudian berubah/beralih menjadi beban terdakwa.

Dalam hal ini terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan

sebagai pelaku tindak pidana. Terdakwa didepan sidang pengadilan yang

akan menyiapkan segala pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan,

terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.

2. Teori Sistem Pembuktian

Dikaji secara umum, “pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang

berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk

memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian

adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi

(memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,

melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Dikaji dari

makna leksikon, “pembuktian” adalah suatu proses , cara, perbuatan

membuktikan , usaha menunjukan benar atau salahnya si terdakwa dalam

Page 21: korupsi

21

sidang pengadilan. Dikaji dari perspektif yuridis, menurut M. Yahya

Harahap “pembuktian” adalah:

“Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.”18

Proses “pembuktian” hakikatnya memang lebih dominan pada

sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa

yang terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian

tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin.

Pada proses pembuktian ini, adanya korelasi dan interaksi mengenai apa

yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiil

melalui tahap pembuktian alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap

aspek-aspek sebagai berikut :

a) Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.b) Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-

perbuatan yang didakwakan kepadanya.c) Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-

perbuatan itu.d) Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.19

Pada hakikatnya, dalam rangka menerapkan pembuktian atau

hukum pembuktian Hakim bertitik tolak kepada sistem pembuktian

dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil

pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Secara teoritis guna

18 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.252.

19 Martimah Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 99.

Page 22: korupsi

22

penerapan sistem pembuktian dalam hukum pidana Indonesia , dikenal

adanya beberapa teori hukum pembuktian, untuk itu secara teoritis

asasnya dikenal 3 (tiga) teori tentang sistem pembuktian, 20 yaitu berupa :

1) Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

(Positief Wettelijke Bewijs Theorie)

Pada dasarnya, sistem pembuktian menurut undang-

undang secara positif berkembang sejak abad pertengahan.

Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung kepada

alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam

undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan

tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai Hakim,

cara bagaimana Hakim harus mempergunakannya kekuatan alat-

alat bukti tersebut dan bagaimana caranya Hakim harus

memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.

Dalam aspek ini, Hakim terikat kepada adagium kalau alat-alat

bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang,

Hakim mesti menentukan terdakwa bersalah, walaupun Hakim

berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah. Begitu

pun sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara

mempergunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan undang-

undang, hakim harus meyatakan terdakwa tidak bersalah

walaupun menurut keyakinannya sebenarnya terdakwa bersalah.

20 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 92.

Page 23: korupsi

23

Dengan demikian, pada hakikatnya menurut D. Simons, sistem

atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif

(positif zvettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua

pertimbangan subyektif Hakim dan mengikat Hakim secara

ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.

Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkuisitor

(inquisitoir) dalam acara pidana. Lebih lanjut lagi, apalagi dikaji

secara hakiki ternyata sistem pembuktian positif mempunyai

segi negatif dan segi positif. Hal ini tampak melalui asumsi M.

Yahya Harahap sebagai berikut:

"Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana Undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim, suatu kewajiban mencari dan dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengenyampingkan jauh-jauh faktor keyakinannya. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa

Page 24: korupsi

24

mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subyektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya”.21

Kemudian, dalam perkembangannya dengan titik tolak

aspek negatif dan positif baik secara teoritis dan praktik sistem

pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief

wettelijke bewijs theorie) sudah tidak pernah diterapkan lagi.

2) Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction

Intime / Conviction Raisonce)

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim,

hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan

belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot

gemoedelijke overtidgmg, Conviction Intime). Dalam

perkembangannya, lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk polarisasi, yaitu:

"Conviction Intime" dan "Conviction Raisonce". Melalui

sistem pembuktian "Conviction Intime", kesalahan terdakwa

bergantung kepada keyakinan belaka, sehingga hakim tidak

terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging,

convictionintime). Dengan demikian, putusan hakim di sini

tampak timbal nuansa subyektifnya. misalnya dalam putusan

hakim dapat berdasarkan pada mistik, keterangan medium,

21 M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 789-799.

Page 25: korupsi

25

dukun dan lain sebagainya sebagaimana pernah diterapkan

dahulu pada praktik pengadilan distrik dan pengadilan

kabupaten. Apabila dikaji secara detail, mendalam dan

terperinci, penerapan sistem pembuktian "Conviction Intime"

mempunyai bias subyektif, yaitu:

"Apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selain hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang paling dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini."22

22 Ibid., hlm. 797-798

Page 26: korupsi

26

Sedangkan pada sistem pembuktian "Conviction

Raisonce" biasanya identik sistem "Conviction Intime". Lebih

lanjut lagi, pada sistem pembuktian "Conviction Raisonce"

keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk

menentukan tentang kesalahan terdakwa, tetapi penerapan

keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti

keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-

alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan.

3) Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang Secara

Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie)

Pada prinsipnya, teori hukum pembuktian menurut

undang-undang negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie)

menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana

terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif

ditentukan oleh Undang-undang dan didukung pula oleh adanya

keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.

Dari aspek historis ternyata teori hukum pembuktian menurut

Undang-undang secara negatif, hakikatnya merupakan

"peramuan" antara teori hukum pembuktian menurut Undang-

undang secara positif dan teori hukum pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim.

Substansi teori hukum pembuktian menurut Undang-

undang secara negatif tentulah melekat adanya anasir:

Page 27: korupsi

27

a. Prosedural dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan Undang-Undang dan

b. Terhadap alat-alat bukti tersebut hakim baik secara materiil maupun secara prosedural.23

3. Pembuktian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Apabila teori sistem pembuktian di atas dikaitkan dengan sistem

pembuktian yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), teori yang mana yang diikuti? Jawaban atas pertanyaan

ini dapat diketahui dengan ketentuan Pasal 183 dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Terdapat dua hal yang harus diperhatikan hakim di dalam

menjatuhkan pidana kepada terdakwa, yaitu kesalahan terdakwa haruslah

terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas dua

alat bukti tersebut hakim harus memperoleh keyakinan bahwa tindak

pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya.

KUHAP sebenarnya menganut sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif, karena disamping mensyaratkan adanya minimal dua alat

bukti, juga harus disertai dengan keyakinan hakim atas alat-alat bukti

tersebut. Walaupun terdapat dua alat bukti yang sah, tapi hakim tidak

23 Lilik Mulyadi, Op. Cit, hlm 247

Page 28: korupsi

28

memiliki keyakinan atas dua alat bukti tersebut, maka hakim dilarang

menjatuhkan pidana kepada terdakwa.24

Dari penjelasan di atas tampak Pasal 183 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada sistem pembuktian Undang-undang

secara positif bahwa unsur “sekurang-kurangnya dua alat bukti” merupakan

aspek dominan, sedangkan segmen “keyakinan Hakim” hanyalah bersifat

sebagai aspek pelengkap karena tanpa adanya aspek tersebut tidak

mengakibatkan batalnya putusan, dan praktiknya hanya diperbaiki dan

ditambahi pada tingkat banding atau kasasi.25

4. Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi

Sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi

berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga berdasarkan

kepada Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang

Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Akan tetapi dalam undang-undang tersebut terdapat perbedaan sistem

pembuktian dalam pemeriksaan perkara dalam tindak pidana korupsi.

Dalam hukum acara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak diatur tentang sistem pembuktian

terbalik artinya bahwa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa

adalah Jaksa Penuntut Umum sedangkan di dalam Undang-Undang

24 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 70-71.

25 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, 2011, hlm. 251.

Page 29: korupsi

29

Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan adanya

sistem pembuktian terbalik.

Dimungkinkannya sistem pembuktian terbalik dalam pemeriksaan

tindak pidana korupsi disidang pengadilan terlihat dalam Pasal 37 ayat

(4) Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang

Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

yang berbunyi:

“Dalam Hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi”

Dalam hal ini beban pembuktian yang semula dilakukan oleh Jaksa

Penuntut Umum kemudian berubah/beralih menjadi beban terdakwa.

Dalam hal ini terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan

sebagai pelaku tindak pidana. Terdakwa didepan sidang pengadilan yang

akan menyiapkan segala pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan,

terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.

Dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-

Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan

berimbang hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a,

dari penjelasan-penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun

Page 30: korupsi

30

1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan unsur-unsur sebagai berikut:

1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”26

Berdasarkan ketentuan Pasal di atas, sistem pembuktian terbalik yang

diterapkan adalah sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan

berimbang, karena terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia

tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan

tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan

harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan

dengan perkara bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk

membuktikan dakwaannya.

Dalam penerapan sistem pembuktian terbalik sebagaimana yang telah

dijelaskan di atas, beberapa ahli hukum pidana berpendapat jika sistem

26 Ibid, hlm.77.

Page 31: korupsi

31

pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi bertentangan dengan Hak

Asasi Manusia (HAM) seperti Mulyadi dan Indryanto Seno Adji.

Mulyadi mengingatkan dimensi Asas Pembalikan Beban Pembuktian

hendaknya dilakukan secara hati-hati dan selektif karena sangat rawan

terhadap pelanggaran HAM dan dilakukan dalam Rangka “proceeding”.

Aspek ini dikatakan, bahwa :

“...secara universal tidak dikenal pembuktian terbalik yang bersifat umum, sebab hal ini sangat rawan terhadap pelanggaran HAM. Seorang tidak dapat dituduh melakukan korupsi diluar “proceeding” (dalam kedudukan sebagai terdakwa), hanya karena dia tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya. Dengan demikian, sekalipun dalam hal ini berlaku asas praduga bersalah (presumtion of gult) dalam bentuk “presumtion of corruption”, tetapi beban pembuktian terbalik tersebut harus dalam kerangka “proceeding” kasus atau tindak pidana tertentu yang sedang diadili berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku (presumtion of corruption in certain case). Tanpa adanya pembatasan semacam ini sistem pembuktian terbalik pasti akan menimbulkan apa yang dinamakan “miscarriage of justice” yang bersifat kriminogin.”27

Lebih lanjut, teori pembalikan beban pembuktian yang meletakan

beban pembuktian pada terdakwa untuk membuktikan bahwa tidak

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Indryanto

Seno Adji menyebutkan Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan

penyimpangan asas umum Hukum Pidana yang menyatakan siapa yang

menuntut, maka dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya.

Dalam hal Pembalikan Beban Pembuktian, terdakwalah yang harus

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, apabila ia tidak dapat

membuktikannya, maka ia dianggap bersalah. Sebagai suatu

27 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 106.

Page 32: korupsi

32

penyimpangan, asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu,

yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik baru

tentang pemberian gratifikasi dan yang berkaitan dengan suap.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Page 33: korupsi

33

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif. Penelitian

hukum normatif disebut juga penelitian hukum yang doktrinal. Penelitian

hukum normatif yang seperti ini yang biasa disebut penelitian hukum

sebagai peraturan perundang-undangan (law in books) dan hukum sebagai

kaidah atau norma sebagai patokan dalam bertingkah laku yakni mengkaji

hukum positif dan asas-asas hukum serta aspek teoritisnya.28

B. Metode Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa metode pendekatan yang

bertujuan agar peneliti mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai

masalah yang diteliti.

1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), yaitu

merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji dan

menganalisis semua undang-undang dan peraturan yang terkait

dengan isu hukum dalam penelitian ini. Peraturan yang akan dikaji

adalah UU Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor. 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

28 Amirudin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-enam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 118.

Page 34: korupsi

34

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan Undang-Undang

Nomor. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan peraturan perundangan yang

lainnya.

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) yaitu pendekatan

dengan mempelajari dan memahami konsep-konsep teoritik sebagai

suatu doktrin yang telah berkembang dan diakui dari kalangan para

ahli secara akademik dalam bentuk teori hukum serta hal-hal yang

berkaitan dengan obyek yang diteliti terkait dengan pengaturan

sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi.

3. Pendekatan Historis (Historical Approach) yaitu pendekatan yang

dilakukan dengan mengkaji sejarah suatu aturan hukum dari masa

ke masa atau dari waktu kewaktu guna mengetahui perkembangan

pengaturan tindak pidana korupsi.

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai macam sumber bacaan

berupa documen, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, yang

dapat membantu menjelaskan permasalahan yang diteliti terkait dengan

pengaturan asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi.

Adapun jenis data sekunder dimaksud yaitu terdiri dari bahan hukum

yang digunakan yaitu bahan hukun primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier.

Page 35: korupsi

35

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat. Sumber

bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari UU Nomor. 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHP), Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-

Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Undang-Undang No mor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme, dan peraturan perundangan lainnya.

2. Bahan hukum sekunder , yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti pemikiran dan

pendapat para pakar yang melatar belakangi lahirnya peraturan

hukum, jurnal ilmiah, karya ilmiah dan lain-lain.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, yang dapat diperoleh dari kamus hukum,

esiklopedia dan lain-lain.

D. Teknik/ Cara memperoleh Sumber Bahan Hukum

Page 36: korupsi

36

Bahan hukum yang dikaji dan di analisis dalam penelitian hukum

normatif, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier. Tehnik untuk mengkaji dan mengumpulkan ketiga bahan

hukum ini yaitu menggunakan studi kepustakaan seperti buku-buku,

perundang-undangan yaitu UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 30 Tahun 2002 Tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan

literatur yang terkait dengan penelitian ini.

E. Analisis Bahan Hukum

Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis

kualitatif merupakan analisis bahan hukum yang memberikan gambaran-

gambaran dengan kata-kata dengan cara menguraikan, menjelaskan, dan

menyimpulkan guna menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

Page 37: korupsi

37

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Page 38: korupsi

38

Berdasarkan uraian dalam bagian pembahasan, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Dasar pemikiran digunakannya sistem pembuktian terbalik dalam tindak

pidana korupsi di Indonesia, adalah karena semakin berkembangnya

tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandi dengan teknologi

yang canggih serta terjadi secara sistematis yang dilakukan oleh orang-

orang yang pintar, sehingga dalam pembuktiannya tidak lagi bisa

menggunakan cara-cara pembuktian biasa sebagaimana yang ditentukan

dalam KUHAP, melainkan dituntut untuk menggunakan cara-cara baru

yang dianggap lebih efektif yaitu dengan sistem pembuktian terbalik

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999

juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

2. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik dalam Undang-Undang

Nomor. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat dalam Pasal 12

B ayat (1), Pasal 37, Pasal 37A, dan Pasal 38. Berdasarkan ketentuan

pasal-pasal tersebut, pembalikan beban pembuktian hanya berlaku dan di

terapkan kepada dua obyek pembuktian, yakni :

a) Pada harta benda terdakwa yang di dakwakan dan diduga kuat berkaitan

dengan tindak pidana korupsi dan pada harta benda terdakwa yang belum

di dakwakan.

Page 39: korupsi

39

b) Pada korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000

(sepuluh juta rupiah) atau lebih, beban pembuktiannya dibebankan

kepada terdakwa dimana terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia

tidak melakukan perbuatan korupsi, mengenai gratifikasi yang nilainya

kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) maka menjadi

kewajiban penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya. Hal

tersebut merupakan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan

berimbang dimana terdakwa tindak pidana korupsi hanya diberikan hak

tetapi tidak diberikan kewajiban untuk membuktikan terdakwa tidak

melakukan tindak pidana korupsi (Psl 37 UU No. 31 Tahun 1999) serta

meskipun terdakwa diberikan hak untuk membuktikan bahwa terdakwa

tidak melakukan tindak pidana korupsi penuntut umum masih

mempunyai kewajiban untuk membuktikan dakwaannya (Psl 37 A ayat

(3) UU No. 31 Tahun 1999)

B. Saran

1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan pengaturan

pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi, karena masih banyak

masyarakat yang beranggapan negatif mengenai pembuktian terbalik

yang dianggap merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas praduga

tidak bersalah (Presumtion of innocent) dan terhadap pelanggaran Hak

Asasi Manusia (HAM).

2. Diperlukan adanya peningkatan kualitas ilmu, kualitas moral dan kualitas

sumber daya manusia, mengingat pentingnya peranan para penegak

Page 40: korupsi

40

hukum dalam penerapan pembuktian terbalik dalam tindak pidana

korupsi, karena patut disadari penerapan pembuktian terbalik tidaklah

mudah apabila pemahaman para penegak hukum terhadap pembuktian

terbalik kurang memadai. Karena apabila hal tersebut terjadi maka pasal-

pasal yang mengatur mengenai pembuktian terbalik hanya akan menjadi

pasal-pasal tidur karna tidak diterapkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku, Makalah dan Artikel.

Amirudin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012

Page 41: korupsi

41

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana nasional dan Internasional, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.

-------------------, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPKK-Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

----------------------, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Cv Mandar Maju, Bandung , 2010.

Indryanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta.

------------------------------------, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2007.

----------------, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, 2011.

Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011.

-------------, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013

Martimah Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999), CV. Mandar Maju, Bandung, 2001

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.252.

Suyatno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.

2. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Page 42: korupsi

42

Indonesia, Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

3. Sumber Lain

Wijowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 1999.

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976.

http://www.pengertianahli.com/2013/10/ pengertian-pidana-menurut-para- ahli .html?m=1

http://sirkulasiku.blogspot.com/2013/05/unsur-unsur-tindak-pidana.html?m=1

http://zriefmaronie.blogspot.com/2012/10/sejarah-hukum-tindak-pidana-khusus.html?m=1