KORELASI ANTARA VISUAL FIELD INDEX DENGAN KUALITAS...
Transcript of KORELASI ANTARA VISUAL FIELD INDEX DENGAN KUALITAS...
KORELASI ANTARA VISUAL FIELD INDEX DENGAN KUALITAS
HIDUP PENDERITA GLAUKOMA MENGGUNAKAN
KUESIONER NEI-VFQ 25
Oleh:
Fatrin Patrycia Salim
NPM : 131221160005
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2020
KORELASI ANTARA VISUAL FIELD INDEX DENGAN KUALITAS
HIDUP PENDERITA GLAUKOMA MENGGUNAKAN
KUESIONER NEI-VFQ 25
Oleh:
Fatrin Patrycia Salim
NPM : 131221160005
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
pada tanggal seperti yang tertera
di bawah
Bandung, 13 Juli 2020
DR. Elsa Gustianty, dr., SpM(K), MKes dr. Ine Renata Musa, SpM(K)
Pembimbing I Pembimbing II
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akdemik, baik dari Universitas Padjadjaran maupun di Perguruan Tinggi lain.
2. Karya Tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan disebutkan naskah pengarang dan dicantumkan dalam
daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma berlaku di perguruan
tinggi ini.
Bandung,13 Juli 2020
Yang membuat pernyataan,
Materai
Rp. 6.000
Fatrin Patrycia Salim
NPM 131221160005
v
ABSTRAK
ABSTRAK
Latar Belakang
Tujuan tatalaksana glaukoma tidak hanya mempertahankan fungsi visual, tetapi
juga mempertahankan kualitas hidup. Hilangnya lapang pandang pada glaukoma
mengakibatkan penurunan kualitas hidup. Oleh karena itu dibutuhkan penilaian
lapang pandang yang tepat untuk memantau progresivitas glaukoma, sekaligus
menilai disabilitas visual yang ditimbulkan. Visual Field Index (VFI) sebagai
indeks global terbaru merupakan persentase rangkuman status lapang pandang
yang praktis serta memiliki kelebihan tidak dipengaruhi katarak dan
menitikberatkan pada lapang pandang sentral.
Tujuan
Mengetahui korelasi antara VFI dengan kualitas hidup penderita glaukoma,
menggunakan National Eye Institute Visual Function Questionnaire-25 (NEI-
VFQ-25).
Metode
Penelitian ini diikuti 72 subjek dengan glaukoma primer sudut terbuka atau sudut
tertutup pada kedua mata dan tidak memiliki gangguan lapang pandang yang
disebabkan penyakit lain selain glaukoma. Semua subyek memiliki perimetri
Humphrey SITA Standard 24-2 atau 30-2 yang reliabel, lalu dilakukan
wawancara kuesioner NEI VFQ-25 versi Bahasa Indonesia. Perhitungan korelasi
dilakukan antara VFI mata lebih baik dengan semua subskala NEI-VFQ- 25 dan
skor komposit. Analisis linear regresi sederhana dilakukan antara skor komposit
dengan VFI mata lebih baik.
Hasil
Korelasi sedang didapatkan antara VFI mata lebih baik dengan mayoritas
subskala kuesioner: kesehatan mata, penglihatan jauh dan dekat, fungsi sosial,
kesehatan mental, keterbatasan peran, dan ketergantungan terhadap orang lain.
Korelasi lemah ditemukan antara VFI dengan nyeri mata dan kesehatan umum.
Korelasi kuat ditemukan antara VFI dengan skor komposit (r=0.746, p<0.05).
Simpulan
Terdapat korelasi yang kuat antara penurunan lapang pandang berdasarkan
Visual Field Index dengan penurunan kualitas hidup penderita glaukoma
menggunakan kuesioner NEI-VFQ-25.
Kata Kunci: lapang pandang, glaukoma, Visual Field Index, kualitas hidup.
vi
ABSTRACT
Introduction
Glaucoma management aims not only to maintain visual function, but also the
patients’ quality of life (QOL). A reliable visual field assessment is needed to
monitor progression of glaucoma, as well as assessing visual disability. Visual
Field Index (VFI) as the latest global index offers a practical summary of visual
field status and has the advantage of not being affected by cataract and focuses
on the central visual field.
Objective
To determine the correlation between visual field deterioration using VFI and
the QOL of glaucoma patients using National Eye Institute Visual Function
Questionnaire-25 (NEI-VFQ-25).
Method
We found 72 subjects who were diagnosed primary open or closed angle
glaucoma on both eyes and whose visual fields were unaffected by other
condition besides glaucoma. All subjects had reliable 24-2 or 30-2 visual field
test within last 6 months and had been interviewed with NEI-VFQ-25 Indonesian
version. Correlations were calculated between the better eye’s VFI and NEI-
VFQ-25 subscales. A single linear regression analysis was utilized between
composite score and the better eye’s VFI.
Results
Modest correlations were found between VFI and majority of NEI VFQ
subscales: general vision, near acuity, distance acuity, social function, mental
health, role difficulties, and dependency. Weak correlations were found between
VFI and ocular pain, and general health. Strong correlations were found
between VFI and composite scores (r=0.746).
Conclusions
A strong positive correlation was found between visual field defect as
represented by VFI and with QOL.
Keyword: visual field, glaucoma, visual field index, quality of life
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria
atas rahmat kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar dokter
spesialis pada Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 (PPDS-1) Ilmu Kesehatan
Mata Universitas Padjajaran - Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Padjajaran,
Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E., M.SIE dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran, Dr. med. Setiawan, dr., AIFM atas kesempatan yang telah diberikan
kepada penulis untuk menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada jajaran direksi Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Irayanti, dr., Sp.M(K), M.Kes selaku
Direktur Utama dan Dr. Feti Karfiati Memed, dr., Sp.M(K), M.Kes., selaku
Direktur Medik dan Keperawatan, yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk dapat mempergunakan sarana dan prasarana di Rumah Sakit Mata
Cicendo selama proses pembelajaran.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr.
Budiman, dr., Sp.M(K), M.Kes. selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Dr. Irawati, dr., Sp.M(K), M.Kes.,
selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
viii
Padjajaran, dr. Nina Ratnaningsih., Sp.M(K)., M.Sc, selaku Mentor Pembimbing
Akademik, serta seluruh staf pengajar Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran yang telah meluangkan waktu untuk membimbing,
memotivasi, dan membekali ilmu pengetahuan serta pengalaman belajar yang
berharga . Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada Dr. Elsa Gustianty, dr., SpM(K)., M.Kes., selaku pembimbing I dan dr.Ine
Renata Musa, Sp.M(K), selaku pembimbing II atas segala waktu, kesabaran,
dukungan, dan bimbingan yang telah diberikan dari awal penyusunan hingga
penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr.
Mayang Rini, SpM(K), M.Sc., Dr. Angga Kartiwa dr. SpM(K), MKes., dan Dr.
Irawati Irfani, dr., Sp.M(K), M.Kes., yang telah memberikan waktu dan masukan
yang berharga dalam penyusunan tesis ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sri Ambarwati, Ibu
Mumbaryatun, Bapak Ajat Sudrajat, dan kang Ludfi selaku staf sekretariat dan
pustakawan Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran atas
segala bantuan dan dukungannya pada penulis selama masa pendidikan. Terima
kasih pula penulis sampaikan kepada seluruh staf dan karyawan Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo atas bantuan dan kerjasama yang baik selama
masa pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua responden
pasien yang dengan antusias telah meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua rekan sejawat residen atas
segala kebersamaan yang telah dilalui selama menempuh pendidikan, teristimewa
ix
untuk angkatan September 2016: Degi, Dina, Levandi, Astri, Medissa, Lohita, Kak
Mia, dan Uni Maya, terima kasih untuk semua persahabatan, kekompakan, canda
tawa dan kenangan yang membuat perjuangan selama masa pendidikan menjadi
berwarna dan menyenangkan. Semoga jalinan persahabatan ini tetap langgeng
meski telah terpisah jarak dan waktu.
Terima kasih yang tak terhingga penulis tujukan kepada kedua orang tua tercinta,
Ir.Johannes Sadariman dan Agnes Widyakusuma atas dukungan, pengorbanan yang
tulus, kasih sayang, doa, dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.
Terima kasih pula kepada kedua mertua Rudy Theodore dan Liliasti Lestari atas
kasih, doa dan dukungannya kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada suami tercinta dr.Erwin Theodore yang dengan setia selalu
mendukung, mendoakan, dan mengiringi dengan tulus sehingga penulis dapat
meraih impian yang dicita-citakan. Ungkapan kasih sayang penulis sampaikan
kepada anak terkasih Gregorius Xavier yang telah memberi sukacita dan motivasi
konstan bagi penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan pada kakak dr.Darwin
Ferdinan, dan adik tersayang dr.Theresia Veronika untuk dukungan, doa, dan
celoteh yang menghibur dan memotivasi penulis dalam menempuh pendidikan.
Terima kasih dan rasa sayang penulis ucapkan kepada guru dan ibu dr.Endang
Johani SpM atas doa dan dukungan yang selalu menginspirasi dan menyemangati
penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar atas
perhatian, dukungan, dan doa kepada penulis.
x
Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tahap pendidikan dan tesis ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Baik membalas semua kebaikan Bapak/Ibu/Saudara.
Bandung, 7 Juli 2020
Penulis,
Fatrin Patrycia Salim
xi
DAFTAR ISI
JUDUL ...................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
ABSTRACT ............................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 6
1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................................................ 6
1.4.1 Kegunaan Ilmiah................................................................................... 6
1.4.2 Kegunaan Praktis .................................................................................. 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 7
2.1 Kajian Pustaka ..................................................................................................... 7
2.1.1 Perimetri dalam Tatalaksana Glaukoma .............................................. 7
2.1.2 Indeks Reliabilitas Perimetri ................................................................ 11
2.1.3 Indeks Global dalam Pemantauan Progresivitas Glaukoma ................. 12
2.1.4 Kualitas Hidup ...................................................................................... 16
2.1.4.1 Manfaat Pengkajian Kualitas Hidup pada Glaukoma……… 17
xii
2.1.5 Instrumen Kualitas Hidup pada Penelitian Glaukoma ......................... 18
2.15.1 Kuesioner Kualitas Hidup Terkait Kesehatan ........................ 19
2.1.5.2 Kuesioner Spesifik Glaukoma ............................................... 19
2.1.5.2.1 Glaucoma Symptom Scale ...................................... 19
2.1.5.2.2 The Glaucoma Quality Of Life (GQL-15)
Questionnaire ....................................................................... 20
2.1.5.3 Kuesioner Spesifik Penglihatan ............................................. 20
2.1.5.3.1 The National Eye Institute Visual Function
Questionnaire..........................................................................21
2.1.6 Keterbatasan Pengukuran Kualitas Hidup dengan Kuesioner .............. 22
2.1.7 Pengaruh lapang pandang terhadap kualitas hidup pada penderita
Glaukoma ...................................................................................................... 23
2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................................ 26
2.3 Bagan Kerangka Pemikiran ................................................................................. 28
2.4 Premis dan Hipotesis ........................................................................................... 29
2.4.1 Premis ................................................................................................... 29
2.4.2 Hipotesis ............................................................................................... 30
BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN .............................................. 31
3.1 Subjek Penelitian ................................................................................................. 31
3.1.1 Pemilihan Sampel ................................................................................. 31
3.1.2. Kriteria Inklusi ..................................................................................... 31
3.1.3 Kriteria Eksklusi ................................................................................... 32
3.1.4 Penentuan Ukuran Sampel.................................................................... 33
3.1.5 Bahan dan Alat Penelitian .................................................................... 34
3.2 Metode Penelitian ................................................................................................ 35
3.2.1 Rancangan Penelitian ........................................................................... 35
3.2.2 Identifikasi Variabel ............................................................................. 35
xiii
3.2.2.1 Definisi Konseptual Variabel ................................................ 35
3.2.3 Definisi Operasional ........................................................................... 35
3.2.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner NEI-VFQ-25 ...................... 37
3.2.5 Cara Kerja .......................................................................................... 41
3.2.6 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 44
3.2.6.1Analisis data ........................................................................... 45
3.2.7 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 48
3.3 Implikasi/Aspek Etik Penelitian .......................................................................... 48
3.3 Skema Alur Penelitian ......................................................................................... 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 51
4.1 Hasil Penelitian .................................................................................................... 51
4.2 Uji Hipotesis ........................................................................................................ 56
4.3 Pembahasan ......................................................................................................... 56
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 66
5.1 Simpulan .............................................................................................................. 66
5.2 Saran .................................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 67
LAMPIRAN ............................................................................................................. 72
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................ 90
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambaran island of vision. .................................................................... ...8
Gambar 2.2 Gambaran skematik algoritme staircase pada perimetri full-threshold .10
Gambar 2.3 Visual Field Index menitikberatkan pada lapang pandang sentral ........ .14
Gambar 2.4 Nilai MD pada lapang pandang buta bergantung pada usia dan strategi uji
lapang pandang, sedangkan VFI pada lapang pandang buta selalu 0%....15
Gambar 2.5 Visual Field Index menggambarkan gangguan fungsi visual yang berbeda
terkait derajat keparahan Glaukoma ..................................................... 25
Gambar 2.6 Skema Alur Pemikiran ........................................................................... 28
Gambar 4.1 Grafik scatter plot korelasi skor komposit kualitas hidup dengan nilai
Visual Field Index ................................................................................ 55
Gambar 4.2 Rerata skor subskala dan skor komposit kuesioner NEI-VFQ 25 ......... 55
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas Variabel NEI VFQ-25 ..................................................... 39
Tabel 3.2 Hasil Uji Reliabilitas Pertanyaan Kuesioner NEI-VFQ-25 ....................... 41
Tabel 4.1 Karakteristik Sosial Demografi Subjek Penelitian .................................... 52
Tabel 4.2 Karakteristik Klinis Subjek Penelitian ...................................................... 53
Tabel 4.3 Analisis Korelasi Visual Field Index (VFI) dengan Skor Komposit dan
Subskala Kualitas Hidup menggunakan Kuesioner NEI-VFQ-25 ............................ 54
xvi
DAFTAR SINGKATAN
IAPB : International Agency for the prevention of Blindness
AGIS : Advanced Glaucoma Intervention study
CIGTS : Collaborative Initial Glaucoma Treatment Study
PROs : Patient-reported Outcomes Measures
SF-36: Study Short Form-36
GSS: Glaucoma Symptom Scale
GQL-15: Glaucoma Quality of Life-15
SAP : Standard Automated Perimetry
HFA: Humphrey Field Analyser
FP: False Positive
FN: False Negative
FL: Fixation Loss
EMGT : Early Manifest Glaucoma Trial
OHTS: Ocular Hypertension Treatment Study
OCT: Optical Coherence Tomography
SITA: Swedish Interactive Thresholding Algorithm
NEI-VFQ-25 : National Eye Institute-Visual Function Questionnaire-25
HADS: Hospital Anxiety and Depression Scale
VFI : Visual Field Index
MD : Mean Deviation
NLP: No Light Perception
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Persetujuan Etik ................................................................................... 72
Lampiran 2. Informed Consent ................................................................................. 73
Lampiran 3. Kuesioner NEI-VFQ-25 Versi Bahasa Indonesia ................................. 74
Lampiran 4. Manual Scoring Kuesioner NEI-VFQ-25 ............................................. 82
Lampiran 5. Data Penelitian ..................................................................................... 84
Lampiran 6. Analisis Statistik .................................................................................. 87
Lampiran 7. Daftar Riwayat Hidup ........................................................................... 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Glaukoma merupakan penyakit neuropati optik yang bersifat kronik dan
progresif. Kondisi ini ditandai oleh kerusakan saraf optik dan sel-sel ganglion retina
yang mengakibatkan hilangnya lapang pandang dan berakhir kepada kebutaan.
Kebutaan akibat glaukoma menduduki peringkat ketiga di seluruh dunia.
International Agency for the prevention of Blindness (IAPB) menyatakan di tahun
2015 terdapat 253 juta orang mengalami gangguan penglihatan, dengan 36 juta
orang diantaranya mengalami kebutaan dan 217 juta orang dikategorikan sebagai
low vision derajat sedang hingga berat. Berdasarkan data tersebut sebesar 2,78%
gangguan penglihatan dan 1,91% kebutaan disebabkan oleh glaukoma. Kebutaan
di kedua mata diperkirakan terjadi pada 5,9 juta orang dengan glaukoma sudut
terbuka dan 5,3 juta orang dengan glaukoma sudut tertutup. Jumlah ini dapat
meningkat seiring peningkatan populasi usia lanjut.1-4
Penderita glaukoma usia 40 - 80 tahun di seluruh dunia diperkirakan 64,3
juta di tahun 2013, meningkat menjadi 76 juta di tahun 2020 dan 111,8 juta di tahun
2040, dengan proporsi penderita terbanyak di Asia dan Afrika. Ras Asia mewakili
47% penderita glaukoma di dunia dengan 87% merupakan penderita glaukoma
sudut tertutup. Data aplikasi Sistem Informasi Rumah Sakit Online (SIRS Online)
menunjukkan jumlah kunjungan rawat jalan penderita glaukoma di Rumah Sakit di
Indonesia mengalami peningkatan dari 65.774 pasien di tahun 2015 menjadi
2
427.091 pasien di tahun 2017. Jumlah kunjungan penderita glaukoma sudut terbuka
di instalasi rawat jalan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo di tahun
2019 ialah 3.673 pasien, sedangkan untuk kasus glaukoma sudut tertutup sebanyak
4.224 pasien.3-6.
Penderita glaukoma memerlukan pengobatan dan evaluasi klinis seumur
hidup, oleh karena itu tujuan utama penatalaksanaanya tidak hanya untuk
mempertahankan fungsi visual, tetapi juga mempertahankan kualitas hidup pasien.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab penurunan kualitas hidup pada penderita
glaukoma, dimulai dari rasa khawatir akan terjadinya kebutaan sejak pertama kali
terdiagnosis glaukoma, penurunan fungsi penglihatan yang menyebabkan
gangguan aktivitas sehari-hari, ketidaknyamanan pengobatan, efek samping, dan
biaya pengobatan.7-9
Pada penyakit kronik seperti glaukoma, studi kualitas hidup idealnya
dilakukan guna mengevaluasi dampak pengobatan yang diberikan, melengkapi
pemeriksaan klinis obyektif, dan sebagai bentuk informasi mengenai patient
reported outcome. Beberapa kuesioner telah digunakan dalam mengkaji kualitas
hidup penderita glaukoma, antara lain kuesioner generik seperti Study Short Form-
36 (SF-36); kuesioner spesifik penglihatan seperti Nasional Eye Institute Visual
Functioning Questionnaire (NEI VFQ); serta kuesioner spesifik glaukoma seperti
Glaucoma Symptom Scale (GSS), dan Glaucoma Quality of Life-15 (GQL-15).7-9
Setiap kuesioner memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Kuesioner
generik (SF-36) dinyatakan kurang sensitif dalam mencari hubungan antara
kelainan lapang pandang dengan kualitas hidup pada penderita glaukoma, sehingga
3
penggunaan kuesioner spesifik penglihatan lebih disarankan. Pourjavan dkk
menyatakan kuesioner GQL-15 maupun NEI-VFQ-25 terbukti memiliki korelasi
yang baik dalam mencari hubungan kelainan lapang pandang, akan tetapi NEI-VFQ
masih lebih baik korelasinya dibandingkan GQL-15. Kedua kuesioner ini juga
terbukti reliable, namun studi oleh Kumar dkk menyatakan NEI-VFQ memiliki
reliabiltas yang lebih tinggi dibanding GQL-15. Kuesioner NEI-VFQ-25 sudah
digunakan dalam pengkajian kualitas hidup penderita glaukoma di studi
multicentered dengan populasi yang besar. Kuesioner ini juga memiliki kelebihan
yakni mengevaluasi aspek psikologis, yang tidak dikaji dalam kuesioner spesifik
glaukoma lainnya.9-12
Hilangnya lapang pandang terkait glaukoma bersifat permanen dan
mengakibatkan penurunan kualitas hidup. Oleh karena itu perlu dilakukan
pemantauan derajat keparahan glaukoma dan penerapan strategi pengobatan yang
tepat. Hingga saat ini metode pengukuran derajat progresivitas glaukoma ialah
melalui tes perimetri secara berkala. Pasien dengan glaukoma perimetrik dapat
dievaluasi derajat keparahan glaukomanya melalui pengukuran sensitivitas lapang
pandang menggunakan Standard Automated Perimetry (SAP) secara berkala.
Analisis regresi dari parameter Mean Deviation dan Visual Field Index merupakan
trend-based analysis dari Humphrey Field Analyser (HFA) yang membantu klinisi
dalam menentukan pasien dengan progresivitas glaukoma yang agresif. 10-12
Mean deviation merupakan indeks perimetri yang sebelumnya paling sering
digunakan dalam mendeteksi progresivitas hilangnya lapang pandang. Mean
deviation yang merupakan rata-rata dari nilai yang tertera pada Total Deviation
4
numerical plot dapat digunakan untuk mengevaluasi keseluruhan deteriorasi
kerusakan lapang pandang, namun tidak cukup sensitif untuk mengidentifikasi
depresi fokal. Selain itu MD dipengaruhi oleh adanya kekeruhan media seperti
katarak. Visual Field Index adalah parameter global dari HFA yang disesuaikan
dengan usia dan dinyatakan dalam persentase (nilai lapang pandang normal yaitu
100%, sedangkan buta secara perimetrik yaitu 0%). Dalam beberapa tahun terakhir,
VFI dikembangkan dengan tujuan untuk mengkalkulasi laju progresivitas sekaligus
menentukan derajat kerusakan fungsional karena glaukoma. Bengston dan Heijl
menyatakan VFI lebih akurat dalam mendeteksi kelainan lapang pandang sentral
tanpa dipengaruhi adanya katarak. 11-13
Tatalaksana glaukoma bertujuan untuk mencegah semua bentuk laju
progresivitas, namun secara umum tujuan minimal ialah mempertahankan
setidaknya VFI sebesar 50% pada mata yang lebih baik. United States Social
Security Administration telah mendefinisikan nilai MD sebesar -22dB sebagai
ambang batas disabilitas visual. Nilai MD sebesar -22dB sesuai dengan nilai VFI
30%. Skalicky dkk menyatakan penurunan VFI pada perimetri merupakan faktor
risiko independen untuk skor kualitas hidup yang lebih rendah pada penderita
glaukoma dengan katarak.7,14-15
Studi tinjauan literatur mengenai kualitas hidup penderita glaukoma
sebagian besar masih menggunakan parameter yang lama yaitu MD. Sawada dkk
membandingkan korelasi kedua indeks yakni VFI dan MD terhadap kualitas hidup
penderita glaukoma di Jepang dengan menggunakan instrumen NEI VFQ-25.
Hasilnya VFI mempunyai korelasi yang lebih baik daripada MD. Sayangnya studi
5
kualitas hidup penderita glaukoma yang menggunakan parameter VFI masih
minimal. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini, hanya sedikit informasi yang
didapatkan tentang kualitas hidup penderita glaukoma di Indonesia, begitu pula
hubungannya dengan penurunan lapang pandang. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan mengevaluasi korelasi antara kelainan lapang pandang penderita
glaukoma berdasarkan VFI dengan penurunan kualitas hidup.9,14-19
Tema Sentral :.
Glaukoma merupakan penyakit neuropati optik kronik progresif yang
mengakibatkan hilangnya lapang pandang secara permanen. Kebutaan yang
disebabkan oleh glaukoma menduduki peringkat ketiga secara global. Tujuan
tatalaksana glaukoma tidak hanya mempertahankan fungsi visual, namun juga
mempertahankan kualitas hidup pasien. Perimetri Humphrey merupakan alat
penunjang yang terpercaya dalam menilai fungsi visual dan progresivitas penyakit
penderita glaukoma. Visual Field Index ialah indeks terbaru dari Humphrey Field
Analyser (HFA) untuk menilai penurunan lapang pandang dan progresivitas
glaukoma. Kelebihan VFI adalah ia tidak dipengaruhi oleh kekeruhan media seperti
katarak, dan lebih sensitif dalam mendeteksi defisit lapang pandang sentral
dibandingkan dengan parameter MD yang sebelumnya sering digunakan dalam
penelitian kualitas hidup penderita glaukoma. Oleh karena itu peneliti ingin
mengevaluasi korelasi antara penurunan lapang pandang berdasarkan VFI dengan
kualitas hidup penderita glaukoma menggunakan kuesioner NEI-VFQ 25.
1.1 Rumusan Masalah
Apakah terdapat korelasi antara penurunan lapang pandang berdasarkan
Visual Field Index dengan kualitas hidup penderita glaukoma berdasarkan
kuesioner NEI-VFQ 25?
6
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara penurunan
lapang pandang berdasarkan Visual Field Index dengan kualitas hidup penderita
glaukoma menggunakan kuesioner NEI-VFQ 25.
1.3 Kegunaan Penelitian
1.3.1 Kegunaan Ilmiah
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai korelasi antara
penurunan lapang pandang berdasarkan Visual Field Index dengan kualitas hidup
secara terukur menggunakan kuesioner NEI VFQ-25 pada penderita glaukoma.
1.3.2 Kegunaan Praktis
Kualitas hidup penderita glaukoma yang menjalani pengobatan sulit dikaji
dalam praktek dokter mata sehari-hari. Penelitian ini dapat menjadi informasi
kemampuan Visual Field Index dalam menggambarkan dan memantau disabilitas
fungsi visual yang terjadi karena gangguan lapang pandang dan pengaruhnya
terhadap kualitas hidup.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Perimetri dalam Tatalaksana Glaukoma
Modern automated perimetry merupakan standar evaluasi kelainan lapang
pandang pada glaukoma. Hingga saat ini perimetri masih memegang peranan dalam
pengukuran outcome pada uji klinis berbagai tatalaksana glaukoma.11,12
Perimetri menguji perbedaan sensitivitas cahaya di seluruh lapang pandang.
Sensitivitas ini mencerminkan kemampuan mata untuk merasakan perbedaan
kecerahan antara target stimulus cahaya dengan latar belakangnya. Perbedaan
sensitivitas cahaya tergantung pada lokasi retina yang diuji dan pada parameter
teknik pengukuran, seperti intensitas luminansi latar belakang dan ukuran target
stimulus. Lapang pandang normal berada 90 derajat temporal dari titik fiksasi, 50
derajat ke superior dan nasal, serta 60 derajat ke inferior. Titik buta secara fisiologis
berkorespondensi dengan lokasi masuknya nervus optik, yaitu 15° temporal dari
fiksasi. Semakin ke perifer, sensitivitas retina semakin menurun, sesuai dengan
sebutan island of vision, yang merupakan representasi tiga dimensi sensitvitas
cahaya retina. Dalam analogi island of vision ini, terdapat puncak di bagian sentral
yang merepresentasikan puncak dari sensitivitas cahaya yaitu fovea, dan menurun
dari fovea ke retina perifer (Gambar 2.1). Anatomi island of vision berhubungan
dengan anatomi sistem visual dan tingkat adaptasi retina. Konsentrasi sel kerucut
8
tertinggi berada di fovea dengan rasio sel kerucut satu banding satu dengan sel
ganglion, sehingga dihasilkan resolusi yang maksimal pada fovea.11,12
Gambar 2.1 Gambaran island of vision. Gambaran puncak bukit
merupakan titik fiksasi, dimana sensitivitas retina tertinggi. Gambaran bukit
menurun semakin ke perifer menunjukkan sensitivitas retina yang menurun Dikutip dari : Seymour19
Threshold ialah sensitivitas luminansi yang ditetapkan pada matriks lapang
pandang, yang diuji dengan pemberian intensitas stimulus cahaya yang bervariasi,
sampai setiap stimulus lapang pandang yang diuji tersebut terlihat. Stimulus cahaya
yang berada di bawah threshold tidak dapat dideteksi oleh subjek, sebaliknya
stimulus cahaya di atas threshold dapat terlihat. Sensitivitas threshold pada tiap
lokasi uji lapang pandang akan disajikan dalam bentuk decibel (dB). Desibel
menunjukkan sifat logaritmik intensitas cahaya pada skala linier, dimana 0 dB
mewakili intensitas stimulus paling terang pada perimeter, dan 30 dB dikatakan
nilai normal. Nilai-nilai ini merupakan skala relatif, dan tidak dapat dibandingkan
secara langsung di berbagai merek perimeter.11,12
9
Standard Automated Perimetry ialah metode klinis standar untuk mengukur
kelainan lapang pandang pada glaukoma. SAP dapat dibagi menjadi 2 strategi
pengukuran, yakni strategi suprathreshold yang biasa dilakukan untuk skrining
glaukoma, dan strategi full-threshold yang digunakan untuk evaluasi terperinci dan
memantau progresivitas penyakit.12,25
Strategi suprathreshold relatif lebih cepat dikerjakan, prinsip strategi ini
ialah merekam lokasi dimana stimulus terlihat (dikatakan normal), dan tidak terlihat
(dikatakan abnormal). Hal ini dilakukan dengan pemberian stimulus yang lebih
sedikit lebih tinggi daripada threshold subjek (peningkatan threshold 4-6 dB lebih
tinggi). Penilaian strategi suprathreshold biasanya memperhitungkan fakta bahwa
sensitivitas menurun dengan bertambahnya usia dan bervariasi berdasarkan lokasi
misalnya, sensitivitas yang relatif lebih rendah pada lapang pandang perifer
dibandingkan dengan sentral. Oleh karena itu strategi ini menggunakan sejumlah
daftar nilai threshold yang disimpan sebagai basis data.11,12
Strategi full-threshold memberikan informasi yang lebih terperinci dan
mampu mengindikasikan kedalaman skotoma, daripada sekedar menyatakan ada
atau tidak adanya skotoma. Strategi ini biasanya menggunakan teknik staircase
(Gambar 2.2). Contoh perimeter yang menggunakan teknik staircase 4-2 misalnya
pada Octopus (Haag-Streit AG, Swiss) dan Humphrey (Zeiss-Humphrey
Instruments, Amerika Serikat). Nilai intensitas stimulus awal akan tergantung pada
nilai normal yang disesuaikan dengan usia. Apabila stimulus awal tersebut dapat
dilihat, maka stimulus berikutnya akan diturunkan 4 dB pada lokasi yang sama.
Apabila masih terlihat, stimulus berikutnya pada lokasi tersebut akan dikurangi
10
dengan intensitas 4 dB lebih lanjut, dan seterusnya sampai subjek gagal melihat
presentasi stimulus, hal ini disebut sebagai “first reversal”. Stimuli berikutnya akan
ditingkatkan sebanyak 2 dB sampai subjek terlihat, dan disebut sebagai “second
reversal”. Threshold biasanya diperkirakan sebagai rerata dari intensitas terakhir
atau kedua dari terakhir, namun perhitungan ini berbeda-beda antar instrumen.
Sebaliknya jika stimulus awal sudah tidak terlihat, intensitas stimulus berikutnya
akan meningkat sebesar 4 dB sampai terlihat (“first reversal”) kemudian menurun
sebesar 2 dB sampai tidak terlihat (“second reversal”).11,12
Gambar 2.2 Gambaran skematik algoritme staircase pada
perimetri full-threshold Dikutip dari: Shaarawy 12
Nilai threshold awalnya diestimasi pada keempat lokasi lapang pandang,
satu di tiap kuadran pada 9°dari fovea. Meski keempat lokasi ini akan diuji secara
bergantian, perimeter akan menguji secara tidak berurutan, sehingga subjek tidak
dapat memprediksi lokasi stimulus berikutnya. Kelemahan dari strategi full
11
threshold ialah waktu pemeriksaan yang panjang sehingga seringkali pasien
menjadi jenuh dan mengurangi reliabilitas dari pemeriksaan.11,12
Selama bertahun-tahun banyak penelitian telah ditujukan untuk
mengembangkan strategi pengujian perimetri yang berguna secara klinis namun
mampu mengurangi waktu pengujian. Hingga pada pertengahan 1990-an, Swedish
Interactive Testing Algorithm (SITA) yang dikembangkan oleh Heijl dan rekan-
rekannya terbukti dapat mengurangi waktu pemeriksaan namun tetap
mempertahankan standar akurasi pengujian full-threshold 4-2. SITA mengurangi
jumlah paparan stimulus aktual yang dibutuhkan dengan mengukur lebih dekat ke
ambang batas penglihatan pasien menggunakan prinsip probabilitas Bayesian.
Strategi pengujian SITA membutuhkan sekitar setengah dari waktu pemeriksaan
dengan algoritma standar 4-2, yaitu sekitar 7 menit per mata. Strategi pengujian
dengan SITA telah menjadi referensi algoritma standar yang dirancang untuk
glaukoma. Penggunaan strategi ini untuk penilaian kondisi klinis lainnya harus
dipertimbangkan kembali. Strategi SITA Fast menggunakan algoritme yang
berbeda dari SITA standard. SITA Fast sengaja menggunakan ukuran langkah
yang lebih besar dalam presentasi stimulus sehingga waktu pengerjaan lebih cepat.
Hal ini berguna bagi pasien yang tidak memungkinkan untuk menyelesaikan
strategi yang berdurasi lebih panjang, namun menghasilkan variabilitas pengukuran
yang tinggi.11,12
2.1.2 Indeks Reliabilitas Perimetri
Terdapat tiga indeks dalam membantu peniliaian reliabilitas perimetri, yaitu
respon false positive (FP), respon false negative (FN), dan fixation loss (FL). Dari
12
ketiga indeks tersebut, indeks FP merupakan yang terpenting. Nilai FP lebih dari
15% menandakan reliabilitas tes yang kurang baik, dan sebaiknya dilakukan tes
ulang.11,20
Indeks FN diukur dengan memberikan stimulus dengan kecerahan yang
tinggi beberapa kali pada lokasi titik uji dengan sensitivitas ambang yang telah
ditemukan normal. Indeks FN biasanya meningkat pada penderita glaukoma,
bahkan pada pasien dengan atensi yang baik selama pemeriksaan. Dengan demikian
informasi reliabilitas dari indeks FN terbatas untuk kasus glaukoma. Indeks FN
tinggi dapat mengindikasikan karakteristik mata dengan glaukoma, bukan semata-
mata karena pasien tidak kooperatif.11,20,25
Untuk metode pengukuran dengan non-SITA, indeks reliabilitas false
positive maupun false negative dari HFA ialah sebesar 33%. Fixation Loss
mengukur stabilitas fiksasi pasien. Indeks FL melebihi 20% mengindikasikan tes
dengan reliabilitas rendah. Tingginya tingkat FL juga dapat berupa artefak karena
beberapa sebab antara lain bintik buta tidak dapat ditemukan dan pasien yang
memiringkan kepala selama pemeriksaan sehingga mesin melokalisir retina normal
bukannya bintik buta.11,12
2.1.3 Indeks Global dalam Pemantauan Progresivitas Glaukoma
Hingga saat ini belum ada standar baku emas dalam menetapkan
progresivitas lapang pandang pada glaukoma. Penilaian progresivitas lapang
pandang dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode, yaitu event-based
analysis atau trend-based analysis. Event analysis digunakan untuk menentukan
13
adanya perubahan dari satu waktu pemeriksaan ke pemeriksaan berikutnya.
sedangkan trend analysis memiliki kelebihan yakni tidak hanya mendeteksi adanya
perubahan, namun sekaligus melihat laju progresivitas penyakit. Kedua macam
analisis ini dapat membantu dalam mengkonfirmasi apakah perubahan atau
progresivitas penyakit benar-benar terjadi atau hanya merupakan artefak
pemeriksaan. Analisis event-based dapat dilakukan dengan sistem penilaian yang
telah divalidasi dalam uji klinis seperti Advanced Glaucoma Intervention Study
(AGIS) dan Collaborative Initial Glaucoma Treatment Study (CIGTS). Dirancang
untuk tujuan penelitian, sistem AGIS dan CIGTS terlalu kompleks untuk digunakan
dalam praktik klinis sehari-hari.13-15
Indeks global MD cukup sensitif dalam mendeteksi adanya perubahan
lapang pandang, namun perlu diingat bahwa penurunan sensitivitas yang dilaporkan
mungkin hanya merupakan onset atau perburukan katarak. Glaukoma adalah
penyakit terkait usia, oleh karena itu perubahan lapang pandang yang terjadi harus
dibedakan dari penyakit terkait usia lainnya, terutama katarak. Humphrey Field
Analyzer sebelumnya memperkirakan laju progresivitas menggunakan analisis
regresi linier MD. Analisis ini masih tersedia bagi para klinisi yang lebih memilih
pendekatan ini. Namun, tingginya prevalensi katarak pada pasien glaukoma sering
mempersulit penggunaan MD. 11,13,14
Visual Field Index merupakan indeks global terbaru dalam mengevaluasi
progresivitas lapang pandang. Indeks ini dimuat dalam piranti lunak HFA. Lapang
pandang normal akan memiliki VFI 100%, dan pasien yang dikatakan buta secara
perimetri akan memiliki VFI 0%. Nilai 0 persen berarti pasien tidak lagi dapat
14
melihat stimulus paling terang dari perimeter.Tidak seperti MD, VFI lebih
menitikberatkan pada lapang pandang sentral, dibandingkan perifer. VFI juga tidak
dipengaruhi katarak. Bengston dkk melaporkan VFI dapat memberi prediksi yang
akurat dalam mengevaluasi status progresivitas glaukoma pada 100 mata dalam 8
tahun periode tindak lanjut.11- 14,20
Visual Field Index dirancang untuk sedetail mungkin menggambarkan
lokasi hilangnya sel ganglion retina. Sehingga VFI secara khusus memiliki nilai
sentral yang lebih tinggi dibanding perifer, agar lebih menggambarkan densitas sel
ganglion yang lebih tinggi di sentral retina (Gambar 2.3).11,13
Gambar 2.3. Visual Field Index menitikberatkan pada lapang pandang sentral
Dikutip dari Heijl11
Visual Field Index dapat digunakan sebagai skala penilaian yang mudah
digunakan dalam praktik sehari-hari. Status lapang pandang akan dirangkum
berdasarkan pattern deviation yang telah dikoreksi usia. Apabila telah dilakukan
minimal lima pemeriksaan selama 3 tahun, nilai-nilai VFI dari semua pemeriksaan
15
akan diplot. Hasil analisis regresi linear dari VFI akan membantu membuat
penilaian tentang signifikansi klinis dari laju progresivitas. Perubahan lapang
pandang lebih besar dari -1,0 dB per tahun dengan p <0,1 dikatakan sebagai
progresivitas yang signifikan.12,13
Prediksi laju progresivitas berdasarkan VFI telah dievaluasi
perbandingannya dengan MD pada pasien glaukoma yang menderita katarak, pada
pasien glaukoma yang bebas katarak, dan pada pasien glaukoma yang telah
menjalani operasi katarak selama masa tindak lanjut. Hasilnya laju progresivitas
berdasarkan VFI lebih tidak dipengaruhi oleh katarak maupun operasi katarak
daripada MD. Namun kedua indeks menghasilkan tingkat yang hampir serupa pada
mata yang bebas katarak. Perbedaan lainnya antara hasil VFI dan MD ialah nilai
MD pada lapang pandang buta akan dipengaruhi usia dan strategi pemeriksaan
perimetri, sedangkan lapang pandang buta selalu menghasilkan nilai 0% pada VFI,
terlepas dari usia maupun strategi pemeriksaan yang digunakan (Gambar 2.4).11,13
Gambar 2.4. Nilai MD pada lapang pandang buta bergantung pada usia dan
strategi uji lapang pandang, sedangkan VFI pada lapang pandang buta selalu 0%
Dikutip dari: Heijl11
16
2.1.4 Kualitas Hidup
World Health Organization di tahun 1998 mendefinisikan kualitas hidup
sebagai persepsi seorang individu terhadap kehidupannya dalam konteks nilai,
budaya, dan dalam kaitannya dengan tujuan hidup, harapan, standardisasi dan rasa
kekhawatiran. Landesman menjelaskan konsep dari kualitas hidup sebagai
rangkuman dari serangkaian kondisi kehidupan yang terukur dari seorang individu.
Terdapat empat dimensi dari kualitas hidup yang meliputi dimensi kesehatan fisik,
dimensi psikologis, dimensi hubungan sosial, dan dimensi lingkungan. Dimensi
kesehatan fisik merupakan kondisi fisik yang mempengaruhi kemampuan individu
melakukan aktivitas. Dimensi psikologis merupakan kemampuan mental individu
untuk dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan perkembangan dan perubahan
kehidupan, baik tuntutan dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Dimensi
hubungan sosial mencakup relasi individu tersebut dengan orang lain dalam
kehidupan bermasyarakat. Dimensi lingkungan mencakup kondisi finansial,
keamanan, keselamatan fisik, lingkungan rumah, dan kebebasan. Kebebasan
termasuk kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi maupun ketrampilan,
berpartisipasi dan melakukan rekreasi di waktu luang. Keempat dimensi inilah
yang menjadi aspek acuan dalam pengkajian penelitian kualitas hidup. Lamoureux
dan Fenwick mendefinisikan kualitas hidup penderita glaukoma sebagai sebuah
konsep penilaian multidimensi yang mencakup kemampuan fungsional, gejala,
kesejahteraan emosional, hubungan sosial, rasa kekhawatiran dan kenyamanan
individu yang dipengaruhi oleh penyakit glaukoma sendiri dan kehilangan
penglihatan yang diakibatkannya. 12,19-21
17
2.1.4.1 Manfaat Pengkajian Kualitas Hidup pada Glaukoma
Tujuan dari tatalaksana glaukoma, sebagaimana dirumuskan oleh European
Glaucoma Society, adalah untuk mempertahankan fungsi visual pasien dan kualitas
hidup secara berkelanjutan. Bagi pasien dengan penyakit kronis, penilaian kualitas
hidup merupakan salah satu cara mengukur dampak dari tatalaksana yang
diberikan. 7,22
Pengukuran tajam penglihatan, tekanan intraokular, penilaian lapang
pandang, dan pemeriksaan klinis saraf optik merupakan tatalaksana yang
fundamental pada glaukoma. Munculnya algoritma perangkat lunak baru dalam
mendeteksi progresivitas lapang pandang dan penilaian gambar terkomputerisasi
dalam menilai kerusakan struktural juga menjadi ukuran klinis yang penting bagi
dokter. Terlepas dari nilai ukuran klinis tersebut, tidak ada yang dapat memberikan
informasi terkait kepuasan pasien akan penglihatannya, kekhawatiran akan
penyakit, dan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut secara
visual. Padahal faktor-faktor inilah yang secara langsung mempengaruhi kualitas
hidup dan oleh karena itu sangat penting bagi pasien.12,20
Sekarang ini tatalaksana glaukoma semakin menekankan pemberian
perawatan yang berpusat pada pasien (patient-centered care). Kualitas hidup pasien
glaukoma saat ini termasuk dalam istilah ‘patient reported outcomes’ (PROs).
18
Definisi dari PRO ialah pengukuran semua aspek status kesehatan pasien
yang dilaporkan langsung oleh pasien, bebas dari interpretasi dokter, peneliti, atau
orang lain. Dalam disiplin ilmu kedokteran lainnya PRO sudah digunakan dalam
uji klinis untuk mengevaluasi obat dan perangkat medis.12,23,24
2.1.5 Instrumen Kualitas Hidup pada Penelitian Glaukoma
Kualitas hidup individu dengan glaukoma dapat mengalami perubahan
seiring waktu terkait tuntutan hidup dan perubahan ekspektasi pribadi. Meski
demikian, upaya pengkajian kualitas hidup secara terukur lewat studi-studi
mengenai instrumen kualitas hidup juga terus berkembang. Hingga saat ini belum
ada instrumen yang paling ideal dalam pengkajian kualitas hidup penderita
glaukoma. Penggunaan kuesioner masih menjadi metode yang representatif dalam
penelitian kualitas hidup.8,12
2.1.5.1 Kuesioner Kualitas Hidup Terkait Kesehatan (General Health-Related
Quality of Life Questionnaires)
Kuesioner ini dirancang untuk mengukur persepsi pasien terhadap status
kesehatan secara keseluruhan. Kuesioner ini dimaksudkan untuk dapat diterapkan
di berbagai jenis dan tingkat keparahan penyakit. Kelebihan kuesioner ini ialah
dapat menjadi perbandingan penilaian kualitas hidup antara berbagai penyakit.
Namun, karena penggunaannya yang begitu luas, kemungkinan kegagalan dalam
menangkap aspek kualitas hidup yang spesifik untuk penyakit tertentu menjadi
tinggi. 12,27
19
Contoh kuesioner tipe ini ialah The Medical Outcomes Study Short-Form
Health Survey (SF-36). Terdiri dari 36 pertanyaan untuk menilai status kesehatan
fisik dan mental, serta dampaknya terhadap aktivitas fisik, sosial, dan peran
individu. Studi menggunakan SF-36 pada pasien glaukoma menunjukkan korelasi
yang lemah atau bahkan tidak ada antara kualitas hidup dengan hilangnya lapang
pandang binokular karena glaukoma.8,27
2.1.5.2 Kuesioner Spesifik Glaukoma (Glaucoma-Specific Quality of Life
Questionnaires)
Kuesioner ini dikembangkan dengan memasukkan pertanyaan khusus
terkait gangguan visual yang dialami oleh pasien glaukoma. Pertanyaan biasanya
berpusat pada kemampuan visual, kinerja dan dampak kemampuan visual yang
berkurang pada pasien glaukoma.12
2.1.5.2.1 Glaucoma Symptom Scale (GSS)
Kuesioner ini merupakan modifikasi checklist gejala glaukoma pada
penelitian Ocular Hypertension Treatment Study (OHTS). Pertanyaan dibagi
menjadi gejala visual dan non-visual seperti sensasi benda asing, terasa menyengat,
dan sebagainya. Penilaian GSS dikatakan dapat membedakan pasien glaukoma
dengan pasien kontrol/normal secara efektif, namun kemampuannya dalam menilai
korelasi antara kelainan lapang pandang dengan skor GSS masih menunjukkan
hasil yang beragam.12,27,28
20
2.1.5.2.2 The Glaucoma Quality Of Life (GQL-15) Questionnaire.
Kuesioner ini memiliki 15 pertanyaan yang berasal dari 62 poin kuesioner
asli terkait fungsi visual pada glaukoma, atara lain aktivitas penglihatan perifer,
adaptasi gelap dan silau, penglihatan pusat dan penglihatan dekat, serta mobilitas
luar ruangan. Korelasi yang signifikan ditemukan antara skor GQL-15 dengan uji
sensitivitas kontras, glare, adaptasi gelap, stereopsis dan skor Esterman untuk
lapang pandang. Nelson dkk membuktikan sudah terdapat penurunan fungsi visual
pada pasien glaukoma dengan kelainan lapang pandang tahap early dibandingkan
dengan subjek kontrol. Kekurangan dari instrumen ini ialah hanya berkonsentrasi
pada dampak visual dari proses penyakit tanpa memuat faktor-faktor kualitas hidup
yang lebih luas seperti dampak non visual dan aspek psikologis pasien.18,26,29
2.1.5.3 Kuesioner Spesifik Penglihatan (Vision-Specific Quality of Life
Questionnaires)
Kuesioner kualitas hidup yang spesifik penglihatan adalah penilaian
kompleks yang mencakup fungsi penglihatan, gejala, kesejahteraan emosional,
hubungan sosial, kepedulian, dan kenyamanan pasien yang dipengaruhi oleh
penglihatan.30
21
2.1.5.3.1 The National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-
VFQ)
Kuesioner ini dikembangkan untuk mengukur dampak beberapa kondisi
mata terhadap aktivitas sehari-hari. Awalnya NEI VFQ dirancang sebagai
kuesioner berjumlah 51 poin kemudian dikembangkan kembali menjadi 25
pertanyaan (NEI-VFQ-25) yang membutuhkan durasi lebih singkat. Mangione dkk
membuktikan reliabilitas dan validitas NEI-VFQ 25 dapat dibandingkan dengan
versi NEI-VFQ 51. Kuesioner NEI-VFQ 25 terbukti reproducible dan sahih saat
digunakan dalam beberapa kondisi mata seperti glaukoma, katarak senilis,
retinopati diabetik, degenerasi makula terkait usia, dan retinitis cytomegalovirus.8,9
Kuesioner ini telah digunakan dalam studi penyakit mata berbasis populasi
yang besar dan telah divalidasi dalam 13 bahasa. Beberapa contoh studi
multicentered glaukoma dengan populasi besar seperti Early Manifest Glaucoma
Trial (EMGT), The Tube versus Trabeculectomy Study, dan Collaborative Initial
Glaucoma Treatment Study (CIGTS) menggunakan kuesioner NEI-VFQ 25 dalam
penilaian kualitas hidup subjek penelitannya.9,31-34
Dua puluh lima pertanyaan dalam NEI-VFQ dibagi dalam 12 subskala,
yakni kesehatan secara umum, penglihatan secara umum, nyeri mata, aktivitas
penglihatan dekat, aktivitas penglihatan jauh, fungsi sosial, kesehatan mental,
keterbatasan peran, ketergantungan, berkendara, penglihatan warna, dan
penglihatan lapang pandang perifer. Masing-masing subskala akan dihitung
menurut metode scoring tertentu sesuai petunjuk manual NEI-VFQ 25 dan
22
menghasilkan nilai berkisar dari 0 sampai 100, dimana 0 merupakan skor terburuk
dan 100 menunjukkan tidak ada keterbatasan terkait penglihatan.8,35
NEI-VFQ 25 juga memiliki kelebihan dengan mengkaji aspek psikologis
pasien akibat glaukoma. Dampak psikologis dari diagnosis penyakit kronis akan
berbeda terkait kepribadian dan harapan hidup seseorang. Riva dkk dalam Italian
Primary Open Angle Glaucoma Study menyatakan proses adaptasi positif terhadap
glaukoma dapat meningkatkan skor kualitas hidup pasien dari waktu ke waktu.36
Limitasi dari NEI-VFQ 25 ialah beberapa skor terkait tajam penglihatan
dapat dipengaruhi oleh faktor selain visual seperti komorbiditas. Terlepas dari hal
tersebut, NEI-VFQ 25 masih menjadi tolak ukur dalam penilaian studi kualitas
hidup kuesioner spesifik glaukoma lainnya. Pourjavan dkk menyatakan NEI-VFQ
25 memiliki korelasi yang lebih baik daripada GQL-15 dalam evaluasi tajam
penglihatan, sensitivitas kontras, stereoakuitas, dan lapang pandang pada penderita
glaukoma.8,12,23,26
2.1.6 Keterbatasan Pengukuran Kualitas Hidup dengan Kuesioner
Meski telah terbukti sahih dan memiliki korelasi yang kuat antara item skor
pertanyaan dengan pengukuran klinis obyektif, kekurangan utama dari pengukuran
kualitas hidup berdasarkan kuesioner ialah faktor subjektivitas. Kuesioner
merupakan bentuk evaluasi diri yang mengandalkan persepsi, harapan, dan
kepercayaan pasien sendiri.12,26
23
Penilaian kualitas hidup glaukoma dengan kuesioner juga tidak terlepas dari
beberapa faktor perancu seperti usia, jenis kelamin, tingkat edukasi, dan tingkat
sosial ekonomi.37-40
Pasien glaukoma dengan derajat disfungsi visual yang sama namun level
sosial ekonomi yang berbeda akan memiliki dampak pada kualitas hidup yang
berbeda pula, karena tuntutan fungsi penglihatan yang berbeda dalam kehidupan
sehari-hari. Penelitian kualitas hidup pasien pada studi prospektif Ocular
Hypertension Treatment Study (OHTS) menunjukkan tidak ada perbedaan kualitas
hidup antara etnis Afrika-Amerika dengan etnis lainnya, sebagaimana diketahui
perjalanan alamiah penyakit glaukoma yang dampaknya lebih agresif pada etnis
Afrika-Amerika. Hasil ini dikatakan mencerminkan bias karena subjek studi OHTS
sebagian besar memiliki tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang lebih
tinggi daripada populasi umum etnis Afrika-Amerika.37,40
2.1.7 Pengaruh lapang pandang terhadap kualitas hidup pada penderita
Glaukoma
Early Manifest Glaucoma Trial ialah sebuah studi yang menganalisis
kualitas hidup pasien dimana follow up dilakukan selama 20 tahun. Studi tersebut
menemukan tajam penglihatan dan indeks lapang pandang merupakan variabel
yang signifikan mempengaruhi kualitas hidup, terhitung hampir 40% dari skor NEI-
VFQ-25. Tajam penglihatan sentral pada penderita glaukoma cenderung tetap baik
hingga derajat advanced. Meskipun demikian, hilangnya lapang pandang pada
glaukoma memiliki dampak signifikan pada penurunan kualitas hidup, 8, 41
24
Yousefi dkk menyatakan kelainan lapang pandang baik pada glaukoma
sudut tertutup maupun sudut terbuka primer cenderung melibatkan superior
hemifield daripada inferior hemifield. Hal ini lebih terlihat pada mata dengan
glaukoma sudut terbuka primer. Glaukoma sudut terbuka primer tahap early
memiliki kelainan lapang pandang pada 3 regio (sentral, parasentral, dan perifer)
bagian superior hemifield daripada inferior. Kemudian pada tahap moderate-
advanced semua regio Glaucoma Hemifield Test superior memiliki kehilangan
lapang pandang lebih besar dibanding inferior. Sedangkan pada Glaukoma sudut
tertutup primer keterlibatan regio superior lebih sedikit dibanding pada sudut
terbuka. Pada tahap early, kelainan lapang pandang mengenai regio sentral superior
terlebih dahulu, kemudian pada tahap moderate mengenai sentral dan perifer
superior, dan akhirnya semakin ke sentral pada tahap advanved. Glaukoma sudut
terbuka primer memiliki nilai PSD yang lebih besar dibanding sudut tertutup.42
Meski dengan pola kelainan lapang pandang yang telah disebutkan diatas,
studi potong lintang prospektif oleh Cheng dkk menyatakan tidak ada perbedaan
yang signifikan antara kualitas hidup pasien glaukoma sudut terbuka primer dengan
glaukoma sudut tertutup primer. Hingga saat ini juga belum dapat disimpulkan
adanya perbedaan antara kelainan fungsi visual berdasarkan VFI pada glaukoma
sudut terbuka dengan sudut tertutup primer, serta korelasinya dengan kelainan
struktur diskus optik berdasarkan Optical Coherence Tomography (OCT). Boland
dkk menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan baik dari topografi diskus
optik maupun kelainan lapang pandang (MD) antara glaukoma primer sudut
terbuka dan sudut tertutup.43-45
25
Kehilangan lapang pandang pada penderita glaukoma, khususnya di mata
yang lebih baik, mengakibatkan penurunan kualitas hidup yang berbeda sesuai
dengan derajat kelainan lapang pandang yang diderita (Gambar 2.5).11 Beberapa
studi belakangan ini membuktikan bahwa kehilangan lapang pandang pada tingkat
early sudah mempengaruhi kualitas hidup. Hal ini berbeda dengan persepsi
sebelumnya yang menganggap glaukoma cenderung tidak menimbulkan keluhan
atau gejala hingga pada tahap berat. Penilaian lapang pandang dari mata yang lebih
baik memiliki korelasi yang lebih signifikan terhadap kualitas hidup dibandingkan
mata yang lebih buruk atau dari kedua mata yang mengalami
glaukoma.7,8,11,12,14,16,47,48 Penelitian oleh Madonna (2009), Sawada (2011), dan
Peters (2015) menyatakan penurunan VFI dari mata yang lebih baik memiliki
korelasi yang signifikan dengan penurunan skor kualitas hidup.11,14,16,48
Gambar 2.5. Visual Field Index menggambarkan gangguan fungsi visual yang
berbeda terkait derajat keparahan Glaukoma
Dikutip dari: Heijl11
26
2.2. Kerangka Pemikiran
Glaukoma merupakan penyakit kronik progresif yang dapat berakhir pada
kebutaan yang bersifat ireversibel.10 Penderita glaukoma memerlukan tatalaksana
dan pemantauan seumur hidup.7 Pengukuran tajam penglihatan, tekanan
intraokular, pemeriksaan klinis saraf optik, dan penilaian lapang pandang
merupakan pemeriksaan yang fundamental pada tatalaksana glaukoma.12 Akan
tetapi semua penilaian klinis tersebut belum dapat memberi informasi terkait
kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang membutuhkan
kemampuan visual.12
Kualitas hidup penderita glaukoma didefinisikan sebagai konsep penilaian
multidimensi yang mencakup kemampuan fungsional, gejala, kesejahteraan
emosional, hubungan sosial, rasa kekhawatiran dan kenyamanan individu yang
dipengaruhi oleh penyakit glaukoma sendiri dan kehilangan penglihatan yang
diakibatkannya.12 Penilaian kualitas hidup sebagai Patient Reported Outcome
merupakan bagian dari tujuan tatalaksana glaukoma saat ini yang semakin
menekankan perawatan yang berpusat pada pasien. Kualitas hidup penderita
glaukoma sulit dikaji dalam praktek dokter mata sehari-hari, namun hal ini penting
bagi pasien.8 Oleh karena itu dibutuhkan alat ukur yang mampu menggambarkan
fungsi visual pasien, sekaligus kaitannya dengan kualitas hidup.
Perimetri merupakan penilaian klinis yang penting pada manajemen
glaukoma.11,12,20,25 Tidak hanya karena hilangnya lapang pandang merupakan tanda
diagnostik yang kuat untuk kerusakan glaukoma, tetapi yang lebih penting lagi
27
karena ia memuat informasi tentang derajat dan progresivitas kelainan lapang
pandang.12,25 Hal ini dapat memberikan pertimbangan penyesuaian strategi terapi
untuk masing-masing pasien.7,11,25
Dalam studi kualitas hidup didapatkan hilangnya lapang pandang
merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi penurunan kualitas hidup.17,18,28
Sebagian besar studi sebelumnya yang memuat korelasi antara lapang pandang
dengan kualitas hidup, menggunakan parameter MD dalam penilaian perimetri.16
Kekurangan MD ialah dipengaruhi oleh katarak dan kurang sensitif dalam
mendeteksi kelainan lapang pandang sentral.11,12 Penggunaan indeks perimetri yang
tidak dipengaruhi penyakit terkait usia yang mempengaruhi penglihatan selain
glaukoma sangat penting, terutama katarak.13,14 Selain itu, sebaiknya indeks
tersebut lebih sensitif dalam mendeteksi gangguan lapang pandang sentral.14 Evans
dkk menyatakan hilangnya lapang pandang sentral memberi dampak penurunan
kualitas hidup di semua subskala.49
Visual Field Index merupakan angka yang merangkum status lapang
pandang setiap pasien dalam persentase terhadap nilai sensitivitas normal yang
telah dikoreksi usia. Visual Field Index sebagai indeks global perimetri yang baru
mempunyai kelebihan tidak dipengaruhi katarak dan lebih menitikberatkan pada
lapang pandang sentral.11-14 Penilaian VFI diharapkan dapat menjadi informasi
yang memberi gambaran fungsi visual, sekaligus menggambarkan potensi
dampaknya pada penurunan kualitas hidup.48
28
2.3 Bagan Kerangka Pemikiran
Gambar 2.6. Skema Alur Pemikiran
Apakah
terdapat
korelasi?
Lapang pandang merupakan salah satu fungsi visual
Indeks lapang pandang pada perimetri
merupakan parameter fungsi visual
Glaukoma mengakibatkan hilangnya lapang pandang secara permanen
Visual Field Index (VFI)
merupakan indeks global
terbaru yang menilai
penurunan lapang pandang
tanpa dipengaruhi katarak
dan lebih sensitif terhadap
gangguan lapang pandang
sentral
NEI-VFQ-25
Penurunan lapang pandang
Penurunan kualitas hidup
29
2.4 Premis dan Hipotesis
2.4.1 Premis
Premis 1 : Glaukoma mengakibatkan hilangnya lapang pandang secara
permanen. 1,2,7,11,12
Premis 2 : Gangguan lapang pandang pada glaukoma mengakibatkan
penurunan fungsi visual dalam aktivitas sehari-hari. 7,11,12,17,18,28
Premis 3 : Indeks penurunan lapang pandang pada perimetri merupakan
variabel yang signifikan mempengaruhi penurunan kualitas hidup.
7,8,11,12,14,16,47,48
Premis 4 : Visual Field Index merupakan indeks global terbaru dalam menilai
penurunan lapang pandang yang dirancang untuk lebih sensitif
pada perubahan lapang pandang sentral dan tidak dipengaruhi
katarak.11-13,25
Premis 5 : Visual Field Index berupa angka yang merangkum status lapang
pandang setiap pasien dalam persentase terhadap nilai sensitivitas
normal yang telah dikoreksi usia. 11-13
Premis 6 : Kualitas hidup penderita glaukoma ialah penilaian multidimensi
yang mencakup kemampuan fungsional, gejala, kesejahteraan
emosional, hubungan sosial, rasa kekhawatiran dan kenyamanan
individu yang dipengaruhi oleh penyakit glaukoma dan
kehilangan penglihatan yang diakibatkannya.8,12
30
Premis 7 : NEI –VFQ 25 telah terbukti sensitif dan spesifik dalam mencari
hubungan antara penurunan lapang pandang dengan kualitas hidup
penderita glaukoma. 14, 16, 17
2.4.2 Hipotesis
Terdapat korelasi antara penurunan lapang pandang berdasarkan Visual
Field Index dengan kualitas hidup penderita glaukoma berdasarkan kuesioner NEI-
VFQ 25
31
BAB III
SUBJEK DAN METODA PENELITIAN
3.1 Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan subjek pasien glaukoma primer yang menjalani
pengobatan di Unit Glaukoma Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo
(PMN RSMC) Bandung. Populasi target pada penelitian ini adalah pasien yang
menderita glaukoma primer. Populasi terjangkau adalah penderita glaukoma primer
yang datang ke Unit Glaukoma PMN RSMC Bandung untuk dilakukan
pemeriksaan, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia mengikuti
penelitian.
3.1.1 Pemilihan Sampel
Pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling.
3.1.2 Kriteria Inklusi
1) Subjek berusia 40 - 80 tahun.
2) Pasien yang telah didiagnosis glaukoma primer (sudut terbuka atau
sudut tertutup) pada kedua mata
3) Pasien yang memiliki data perimetri yang reliabel dalam 6 bulan
terakhir, atau dapat menjalani pemeriksaan lapang pandang Humphrey
30-2 atau 24-2, minimal pada salah satu mata.
32
3.1.3 Kriteria Eksklusi
1) Pasien dengan tajam penglihatan terbaik dengan koreksi kurang dari
1/60
2) Pasien dengan riwayat operasi bedah intraokular dalam waktu kurang
dari 3 bulan terakhir
3) Pasien dengan glaukoma akut sudut tertutup primer
4) Pasien dengan inflamasi mata meliputi blefaritis, konjungtivitis,
keratitis, dan uveitis.
5) Pasien dengan kelainan kornea yang mempengaruhi aksis visual seperti
keratopati.
6) Pasien dengan patologi okular pada retina yang mempengaruhi lapang
pandang dan patologi saraf optik lain selain glaukoma
7) Pasien yang tidak kooperatif untuk dilakukan penilaian dengan
kuesioner karena berbagai alasan
8) Pasien dengan penyakit komorbiditas yang diketahui dan
mempengaruhi kualitas hidup seperti gangguan jiwa, demensia, gagal
ginjal end-stage, stroke, dan keganasan.
9) Pasien tuna wicara dan pasien yang tidak mampu berbahasa Indonesia
33
3.1.4 Penentuan Ukuran Sampel
Besar sampel ditentukan sesuai tujuan penelitian yaitu untuk menguji
apakah terdapat korelasi antara penurunan lapang pandang berdasarkan Visual
Field Index dengan kualitas hidup penderita glaukoma berdasarkan kuesioner NEI-
VFQ 25.
Rumus besar sampel berdasarkan rumus untuk uji hipotesis dengan
menggunakan koefisien korelasi (r) dengan perhitungan ukuran sampel dalam
penelitian ini ialah sebagai berikut50,51 :
𝑛 = [𝑍𝛼 + 𝑍𝛽
0,5 𝑙𝑛 [(1 + 𝑟)(1 − 𝑟)
]]
2
+ 3
Keterangan :
n = Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini
Zα = Derajat kepercayaan yaitu 95% (1,96)
Zβ = Kekuatan uji yaitu 95% (1,64)
r = Koefisien korelasi yang bermakna sebesar 0,58 (berdasarkan nilai
koefisien korelasi pada jurnal Hideko Sawada sebesar 0,58)16
𝑛 = [𝑍𝛼 + 𝑍𝛽
0.5 𝑙𝑛( 1 + 𝑟)/(1 − 𝑟)]2
+ 3
34
𝑛 = [1.96 + 1.64
0.5 𝑙𝑛( 1 + 0.58)/(1 − 0.58)]2
+ 3
𝑛 = [3.6
0.5 𝑙𝑛 1 . 58/0.42]2
+ 3
𝑛 = 29,53 + 3 = 32,53 ≈ 33
Rumus ukuran sampel untuk analisis regresi linier sederhana dengan nilai R2
minimum sebesar 0,1 dengan level kepercayaan 95% dan power tes sebesar 80%
ialah dengan sampel sebesar 72 orang.51 Dengan demikian pada penelitian ini
diambil sampel sebesar 72 orang.
3.1.5 Bahan dan Alat Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Snellen Chart projector
2. Tonometri aplanasi Goldmann
3. Perimetri Humphrey Field Analyzer 3
4. Lampu celah biomikroskopi
5. Sussman 4-mirror Goniolens
6. Lensa 78 Dioptri atau lensa Digital Wide Field
7. Data perimetri Single Field Analysis print out Humphrey Visual Field
subjek penelitian
8. Kuesioner Nasional Eye Institute Visual Functioning Questionnaire (NEI-
VFQ-25) versi Bahasa Indonesia yang telah divalidasi.
35
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini ialah penelitian observasional analitik menggunakan desain
cross sectional. Konsep cross section atau potong lintang adalah untuk mengukur
variabel bebas dan tergantung pada waktu bersamaan.52 Faktor risiko dan efeknya
diobservasi pada saat yang sama, artinya setiap subjek penelitian diobservasi satu
kali dan faktor resiko serta dampak diukur menurut keadaan saat dilakukan
observasi. Pada penelitian ini dilakukan analisis secara statistik untuk menguji
korelasi antara kelainan lapang pandang berdasarkan Visual Field Index dengan
kualitas hidup penderita glaukoma Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
3.2.2 Identifikasi Variabel
3.2.2.1 Definisi Konseptual Variabel
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kualitas hidup terkait
penglihatan penderita glaukoma berdasarkan kuesioner NEI-VFQ 25.
Variabel bebas dari penelitian ini adalah penurunan lapang pandang pada
glaukoma berdasarkan Visual Field Index
Variabel perancu ialah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, dan kelainan sistemik yang tidak diketahui.
3.2.3 Definisi Operasional
1. Visual Field Index ialah indeks global perimetri Humphrey berupa angka yang
merangkum status lapang pandang pasien dalam persentase terhadap nilai
sensitivitas retina normal yang telah dikoreksi usia. Nilai VFI pada lapang
36
pandang normal ialah 100%, sedangkan pasien yang dikatakan buta secara
perimetri memiliki nilai VFI 0%.
2. Kualitas hidup terkait penglihatan ialah persepsi seorang individu mengenai
kehidupannya yang berkaitan dengan fungsi penglihatan serta dampaknya
terhadap status psikologis, kesehatan, tingkat kemandirian dalam aktivitas
sehari-hari, hubungan sosial dan lingkungan.
3. Kuesioner NEI-VFQ-25 ialah kuesioner penilaian kualitas hidup berupa data
kuantitatif (skor) yang diambil dari 25 pertanyaan dalam Bahasa Indonesia.
Skor 0 menunjukkan nilai paling buruk dan skor 100 menunjukkan tidak adanya
gangguan terkait penglihatan. Skor komposit ialah rerata dari hasil skor setiap
subskala dalam kuesioner.
4. Hasil pemeriksaan Perimetri Humphrey yang reliabel ialah yang memiliki
parameter fixation losses kurang dari 20%, respon false positive kurang dari
15%, dan false negatve kurang dari 15% (kecuali pada glaukoma derajat
advanced).
5. Mata yang lebih baik ialah mata dengan nilai persentase VFI yang lebih tinggi.
6. Tingkat pendidikan dibagi menjadi:
Tingkat pendidikan rendah yaitu tidak sekolah atau tamat Sekolah Dasar
(SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Tingkat pendidikan sedang yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)
37
Tingkat pendidikan tinggi mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
7. Badan Pusat Statistik membedakan tingkat pendapatan menjadi 4 golongan
yaitu golongan pendapatan sangat tinggi yaitu pendapatan rata-rata lebih dari
Rp. 3.500.000,00 per bulan. Golongan pendapatan tinggi jika pendapatan rata-
rata antara Rp.2.500.000,00 – Rp. 3.500.000,00 per bulan. Golongan
pendapatan sedang jika pendapatan rata –rata antara Rp. 1.500.000 – Rp.
2.500.000,00 per bulan. Golongan pendapatan rendah kurang dari Rp.
1.500.000,00 per bulan. Pendapatan pasien ialah penghasilan per bulan yang
didapatkan dari hasil bekerja, uang pensiun, pemberian dari keluarga atau
lainnya.
3.2.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner NEI-VFQ-25
Adaptasi bahasa Indonesia dari NEI – VFQ – 25 dikembangkan sesuai
metode standar yang diakui secara internasional. Metode penerjemahan dilakukan
secara forward backward translation yang dilakukan oleh dua orang penerjemah
bilingual yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Kedua
penerjemah telah memiliki sertifikat Cambridge English for Speakers of Other
Languages.
Tahap pertama kuesioner diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
salah satu orang penerjemah (forward translation), kemudian versi bahasa
Indonesia diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh satu orang
penerjemah lain yang tidak mengetahui versi asli kuesioner tersebut (backward
38
translation). Hasil terjemahan dalam Bahasa Inggris tersebut kemudian
dibandingkan dengan versi asli kuesioner.
Sebelum dijadikan alat ukur dalam penelitian ini, kuesioner terlebih dahulu
dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas digunakan untuk mengukur
sahih atau tidaknya suatu kuesioner. Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat mengukur apa yang ingin diukur. Semakin tinggi validitas alat ukur
berarti resiko kesalahan pengukuran akan semakin kecil, artinya skor yang
diperoleh dari setiap subjek tidak akan jauh berbeda dari skor yang sebenarnya. 52
Setiap butir pertanyaan dalam kuesioner merupakan instrumen yang
mengukur tujuan penelitian. Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasikan tiap
butir skor dengan skor total hasil kuesioner yang merupakan jumlah dari skor setiap
butir pertanyaan. Software SPSS 24.0 digunakan pada penelitian ini. Dalam
perhitungan statistika, pengujian validitas ini dapat diukur dengan mencari r hitung
(angka korelasi Pearson) menggunakan rumus Pearson Product Moment dengan
persamaan sebagai berikut:50
Keterangan :
r = Koefisien validitas butir pertanyaan yang dicari
n = Jumlah anggota sampel
X = Skor total responden
Y = Skor total pernyataan masing-masing responden
∑X = Jumlah skor dalam distribusi X
∑Y = Jumlah skor dalam distribusi Y
39
∑X² = Jumlah kuadrat masing-masing X
∑Y² = Jumlah kuadrat masing-masing Y
Kuesioner dianggap valid apabila nilai koefisien korelasi hitung lebih besar
dari pada nilai koefisien korelasi tabel (r hitung ≥ r tabel) dengan jumlah responden
uji coba kuesioner sebanyak 30 orang. Berdasarkan hasil pengujian tersebut
diperoleh nilai r tabel yaitu 0,361. Artinya setiap butir kuesioner dinyatakan valid
apabila koefisien korelasi ≥ 0,361. Tabel 3.1 memuat kesimpulan bahwa semua
instrumen pertanyaan pada variabel NEI -VFQ-25 adalah valid (r hitung > 0,361).
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas Variabel NEI VFQ-25
Variabel Butir
Pernyataan
Korelasi Item
Total (r-hitung)
Tingkat Persepsi
Taraf
Signifikan Kesimpulan
General Health
and vision
1 0,503 0,361 Valid
2 0,804 0,361 Valid
3 0,466 0,361 Valid
4 0,622 0,361 Valid
Difficulty with
activities
5 0,538 0,361 Valid
6 0,761 0,361 Valid
7 0,941 0,361 Valid
8 0,780 0,361 Valid
9 0,646 0,361 Valid
10 0,899 0,361 Valid
11 0,826 0,361 Valid
12 0,717 0,361 Valid
13 0,582 0,361 Valid
14 0,480 0,361 Valid
15 0,453 0,361 Valid
16 0,426 0,361 Valid
16a 0,480 0,361 Valid
17 0,705 0,361 Valid
Responses to
vision problems
18 0,842 0,361 Valid
19 0,431 0,361 Valid
20 0,898 0,361 Valid
21 0,867 0,361 Valid
22 0,810 0,361 Valid
23 0,895 0,361 Valid
24 0,876 0,361 Valid
25 0,832 0,361 Valid
40
Hasil penelitian yang reliabel adalah apabila terdapat kesamaan data dalam
waktu pengukuran yang berbeda. Hal ini menyangkut tingkat kepercayaan dan
konsistensi hasil pengukuran suatu instrumen yang digunakan beberapa kali untuk
mengukur obyek yang sama.
Koefisien Alpha Cronbach merupakan uji statistik paling umum yang
digunakan para peneliti untuk menguji reliabilitas suatu instrumen penelitian.
Metode ini sesuai digunakan pada penelitian skor berbentuk skala atau skor
rentangan (misal pada penelitian ini 0-100). Reliabilitas kurang dari 0,6 adalah
kurang baik, sedangkan 0,7 dapat diterima dan di atas 0,8 adalah baik. Sekaran dkk
menyatakan koefisien Alpha Cronbach minimal r ≥ 0,7 menunjukkan bahwa
instrumen tersebut memiliki tingkat reliabilitas yang layak digunakan sebagai alat
penelitian.50 Pengukuran koefisien reliabilitas yang digunakan yaitu dengan
persamaan sebagai berikut:
Keterangan :
r11 = reliabilitas instrumen
k = jumlah butir pernyataan
Σab2 = jumlah varians butir
at2 = varians total
Tabel 3.2 memuat kesimpulan bahwa secara keseluruhan, instrumen NEI
VFQ-25 dianggap reliabel karena nilai r ≥ 0,7, akan tetapi terdapat instrumen
41
variabel General Health and Vision dengan nilai r = 0,698. Dalam hal ini mengacu
pada teori Hair dkk nilai r= 0,6 sudah dianggap reliabel.
Tabel 3.2 Hasil Uji Reliabilitas Pertanyaan Kuesioner NEI-VFQ-25
Variabel Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based
on
Standardized
Items
Jumlah
butir
pertanyaan
Kesimpulan
NEI-VFQ-25 0,954 0,700 26 Reliabel
General Health and
vision 0,698 0,700 4 Reliabel
Difficulty with
activities 0,910 0,700 13 Reliabel
Responses to vision
problems 0,946 0,700 9 Reliabel
3.2.5 Cara Kerja
1. Pengajuan rancangan penelitian ke Komite Etik Penelitian Kesehatan
(ethical clearance).
2. Oleh karena adanya kondisi pandemi penyakit Corona Virus, maka
pemilihan pasien dilakukan dengan dua cara, yakni berdasarkan kedatangan
pasien ke poliklinik Unit Glaukoma Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata
Cicendo dan berdasarkan data rekam medis. Pencarian data pasien melalui
rekam medis dilakukan berdasarkan kode 10th Revision of the International
Statistical Classification of Disease and Related Health Problems (ICD-10)
dengan diagnosis glaukoma sudut terbuka primer (kode H40.1) dan
glaukoma sudut tertutup primer (kode H40.2) yang telah menjalani
pemeriksaan perimetri Humphrey di bulan November 2019 – Mei 2020.
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi akan dihubungi via telepon, lalu
diberikan penjelasan lisan mengenai prosedur dan manfaat penelitian.
42
Pasien yang telah setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian akan
dimintakan persetujuan/informed consent secara verbal via telepon.
3. Pencatatan data identitas meliputi nama pasien, jenis kelamin, usia, alamat
domisili, dan nomor telepon. Status sosial ekonomi pasien meliputi tingkat
edukasi, pekerjaan, dan tingkat pendapatan juga dicatat.
4. Data terkait glaukoma yang dicatat meliputi diagnosis dan tipe glaukoma,
tekanan intraokular, tetes mata dan obat oral anti glaukoma yang digunakan,
jenis operasi glaukoma dan periode pasca operasi. Penyakit sistemik dan
riwayat pengobatan sistemik juga dicatat.
5. Dilakukan pemeriksaan pada kedua mata berupa tajam penglihatan,
pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah biomikroskopi,
pengukuran tekanan intraokular dengan tonometer aplanasi Goldmann, dan
evaluasi saraf optik dengan lensa Digital Wide Field atau lensa 78 D. Jika
pasien tidak dapat datang ke rumah sakit, maka diambil data klinis dari
pemeriksaan rekam medis terakhir.
6. Pasien yang memiliki data perimetri yang reliabel dalam 6 bulan terakhir
tidak dilakukan pemeriksaan perimetri ulang. Pasien yang memiliki data
perimetri yang tidak reliabel atau lebih dari 6 bulan akan menjalani
pemeriksaan HVF 24-2 atau 30-2 dengan strategi SITA Standard. Nilai VFI
pada mata yang lebih baik akan diambil untuk analisis korelasi dengan
kuesioner NEI VFQ-25.
7. Dikarenakan adanya pandemi COVID-19 saat penelitian berlangsung,
pengisian kuesioner kualitas hidup dengan metode wawancara
43
menggunakan kuesioner NEI VFQ-25 di rumah sakit dilakukan oleh
peneliti sendiri, sedangkan untuk subjek yang diperoleh dari data rekam
medis, wawancara via telepon dilakukan oleh satu orang dokter umum yang
mampu berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik, dan
tidak mengetahui hipotesis penelitian. Metode wawancara dipilih dengan
tujuan semua pasien memiliki persepsi yang sama untuk setiap pertanyaan.
Pasien akan dibacakan dan dijelaskan masing-masing item kuesioner oleh
petugas kuesioner, kemudian petugas melingkari angka pada kuesioner
sesuai jawaban responden.
8. Langkah berikutnya adalah pemberian skor dari masing-masing jawaban.
Skor untuk pertanyaan nomor 1, 3, 4 ialah jawaban 1 = skor 100,
jawaban 2 = skor 75, jawaban 3 = skor 50, jawaban 4 = skor 25,
dan jawaban 5 = skor 0.
Skor untuk pertanyaan nomor 2 ialah jawaban 1 = skor 100,
jawaban 2 = skor 80, jawaban 3 = skor 60, jawaban 4 = skor 40,
jawaban 5 = skor 20, dan jawaban 6 = skor 0.
Skor pertanyaan nomor 5 – 14 dan nomor 16 ialah untuk
jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skor 75, jawaban 3 = skor 50,
jawaban 4 = skor 25, jawaban 5 = skor 0, dan jawaban 6 sebagai
missing value.
Skor pertanyaan nomor 15 ialah ialah jawaban 1 = skor 100,
jawaban 2 = skor 75, jawaban 3 = skor 50, jawaban 4 = skor 25.
Pertanyaan nomor 15c memiliki tingkat respon sebagai berikut;
44
apabila jawaban nomor 15b = 1 maka skor 15c ditulis 0. Apabila
jawaban nomor 15b ialah 2 atau 3 maka skor 15c sebagai missing
value.
Skor pertanyaan nomor 17 – 25 ialah untuk jawaban 1 = skor 0,
jawaban 2 = skor 25, jawaban 3 = skor 50, jawaban 4 = skor 75,
dan jawaban 5 = skor 100.
9. Langkah terakhir adalah penjumlahan dan penghitungan rerata hasil skor
jawaban. Skor dari setiap pertanyaan dalam setiap subskala yang tidak
berupa missing value akan dijumlahkan kemudian dibagi jumlah
pertanyaannya. Seluruh skor dari masing-masing subskala setiap responden
akan dijumlahkan dan direrata untuk menjadi skor komposit kualitas hidup
pasien.
3.2.6 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul diolah secara komputerisasi untuk mengubah data
menjadi informasi. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai dari:
1 Editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan.
2 Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka
atau bilangan.
3 Data entry, yaitu memasukkan data hasil pemeriksaan dan pengukuran subjek
penelitian ke dalam program komputer.
45
4 Cleaning, yaitu semua data subjek penelitian yang telah selesai dimasukkan
akan dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan kode dan
ketidaklengkapan, kemudian dilakukan koreksi.
3.2.6.1. Analisis Data
Analisis univariabel dilakukan untuk melihat gambaran proporsi masing -
masing variabel yang disajikan secara deskriptif, kemudian diuraikan menjadi
analisis deskriptif. Data yang berskala numerik seperti usia dipresentasikan dengan
rerata, standar deviasi, median dan rentang. Kemudian untuk data karakteristik
sampel berupa data kategorik seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan,
dan pendapatan diberi kode dan dipresentasikan sebagai distribusi frekuensi dan
persentase.51
Sebelum dilakukan uji statistika, data numerik akan dinilai dengan uji
normalitas menggunakan Kolmogorov Smirnov test. Tes ini dipilih karena jumlah
sampel penelitian ini lebih dari 50 subjek. Tujuan digunakannya tes ini ialah untuk
menguji apakah data berdistribusi normal atau berdistribusi tidak normal.
Selanjutnya dilakukan analisis statistik sesuai tujuan penelitian dan hipotesis
penelitian yaitu untuk menguji apakah terdapat korelasi antara kelainan lapang
pandang berdasarkan Visual Field Index dengan kualitas hidup penderita glaukoma
Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung menggunakan kuesioner NEI-VFQ 25. Uji
statistik korelasi antara data numerik dengan numerik dilakukan pada data
berdistribusi tidak normal dengan menggunakan uji korelasi Spearman Test.
46
Interpretasi hasil uji hipotesis akan dilakukan berdasarkan kekuatan korelasi,
arah korelasi, dan nilai p. Kekuatan korelasi (r) berdasarkan kriteria Guillford
yaitu : 0,0 -<0,2= sangat lemah; 0,2 - <0,4= lemah; 0,4 -<0,7= sedang; 0,7 - <0,9=
kuat; 0,9 -1,0= sangat kuat. Arah korelasi positif searah berarti semakin besar nilai
satu variabel, semakin besar pula nilai variabel lainnya. Arah korelasi negatif:
berlawanan arah berarti semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil nilai
variabel lainnya. 50-52
Analisis regresi linier sederhana adalah hubungan secara linier antara satu
variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini digunakan
untuk mengetahui seberapa kuatnya arah hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen (positif atau negatif). Analisis ini juga bertujuan untuk
memprediksi nilai dari variabel dependen apabla nilai varibel independen
mengalami kenaikan atau penurunan. Bentuk umum persamaan regresi linier
sederhana adalah :
�̂�= 𝛼 + 𝛽1X1
Keterangan :
�̂� = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)
X = Variabel independen
𝛼 = Konstanta (nilai Y’ apabila X = 0)
𝛽 = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)
Pengujian hipotesis dinilai dengan penetapan hipotesis nol (H0) dan
hipotesis alternatif (Ha), penetapan nilai uji statistik dan tingkat signifikansi.
47
Kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p. Apabila p≤0,05 artinya
signifikan atau bermakna secara statistika, dan p>0,05 artinya tidak signifikan atau
tidak bermakna secara statistik.
Penelitian ini menguji hipotesis dengan menggunakan uji signifikansi
parsial (uji statistik t). Uji hipotesis t-test digunakan untuk mengetahui apakah
variabel independen memiliki hubungan signifikan atau tidak dengan variabel
dependen secara individual untuk setiap variabel. Bentuk umum persamaan t-test
adalah :
t = r_(p √(n-3))/√(1-〖r_p〗^2 )
Keterangan :
r_p = Korelasi parsial yang ditemukan
n = Jumlah sampel
t = t_hitung yang selanjutnya dikonsultasikan dengan t_tabel
Dasar pengambilan keputusan diambil dengan membandingkan t_hitung dengan
t_tabel adalah:
Jika t_hitung ≤ t_tabel maka H_0 diterima.
Jika t_hitung>t_tabel maka H_0 ditolak.
T tabel dilihat pada α = 0,05: dengan derajat kebebasan df (n-2).
Kriteria lain jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak, sedangkan
signifikansi > 0,05 maka H0 diterima.
48
3.2.7 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ialah unit Glaukoma PMN RSMC Bandung. Penelitian
dilakukan bulan Maret – Mei 2020 setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik
Penelitian Kedokteran, sampai jumlah sampel minimal terpenuhi.
3.3 Implikasi/Aspek Etik Penelitian
Penderita glaukoma primer yang datang ke PMN RSMC akan dilakukan
penilaian perimetri dan wawancara sesuai panduan kuesioner NEI VFQ-25.
Penelitian ini berpedoman pada tiga prinsip dasar penelitian pada manusia. Prinsip
dasar tersebut memperhatikan hal – hal sebagai berikut:
1. Prinsip respect for person (menghormati harkat dan martabat manusia)
Subjek penelitian memiliki hak untuk bertanya dan berkonsultasi secara
jelas kepada peneliti mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan
penelitian.
Keikutsertaan subjek dalam penelitian dilakukan secara sadar dan
sukarela. Subjek dapat sewaktu – waktu memiliki hak untuk
menghentikan keikutsertaannya dalam penelitian karena suatu sebab
tanpa adanya paksaan.
Pasien tetap memperoleh hak untuk berobat dan mendapat perlakuan
yang baik meskipun menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian.
2. Prinsip beneficience (bermanfaat) dan non-maleficence (tidak merugikan).
Penelitian yang dilakukan akan memberikan manfaat terhadap ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan mata, yakni memberikan kontribusi di
49
bidang pengkajian kualitas hidup penderita glaukoma, terutama korelasinya
dengan lapang pandang.
3. Prinsip justice (keadilan) yaitu pasien yang diikutsertakan pada penelitian
ini akan diperlakukan sama.
Seluruh informasi dan data pribadi subjek penelitian yang diperoleh selama
proses penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya. Keikutsertaan subjek penelitian
ini bersifat sukarela, peserta bebas menolak ikut serta dalam penelitian ataupun
mengundurkan diri tanpa konsekuensi apapun.
50
3.4 Skema Alur Penelitian
Tidak
kooperatif
=
eksklusi
51
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian korelasi antara Visual Field Index dengan kualitas hidup
penderita glaukoma berdasarkan kuesioner NEI-VFQ 25 telah dilakukan di Pusat
Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo pada bulan Mei 2020. Hasil data rekam
medis dengan kode H 40.1 dan H40.2 yang telah menjalani perimetri Humphrey
dalam 6 bulan terakhir sebanyak 349 data, namun data yang sesuai dengan kriteria
inklusi ialah sebanyak 102 data. Dari 102 data, sebanyak 28 subjek tidak dapat
dihubungi via telepon, dan 2 subjek dieksklusi karena tidak kooperatif.
Didapatkan total 72 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
termasuk kriteria eksklusi. Sebanyak 18 subjek didapatkan dari kedatangan ke poli
Glaukoma dan diwawancara secara langsung, sedangkan 54 subjek didapatkan dari
rekam medis dan diwawancara via telepon.
4.1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang ditampilkan meliputi karakteristik sosial demografi
subjek penelitian, karakteristik klinis subjek penelitian, korelasi antara lapang
pandang berdasarkan Visual Field Index dengan setiap subskala dan total skor
kuesioner NEI-VFQ-25, serta rerata hasil skor subskala kuesioner NEI-VFQ-25 dan
skor komposit. Normalitas data hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan
uji Kolmogorov-Smirnov. Data berdistribusi normal akan disajikan dalam bentuk
rerata, sedangkan untuk data yang tidak berdistribusi normal, maka nilai yang
digunakan adalah median.
52
Tabel 4.1 menunjukkan persentase yang hampir serupa antara subjek pria
(48.6%) dan wanita (51.4%). Rerata usia subjek pada penelitian ini ialah 63.28
tahun. Sebagian besar pasien memiliki tingkat pendidikan sedang (54.2%), dan
tidak bekerja (66.7%). Pasien dengan tingkat pendapatan rendah ialah sebanyak
33.3%, sedangkan dengan pendapatan tinggi dan sangat tinggi masing-masing 25%.
Tabel 4.1 Karakteristik Sosial Demografi Subjek Penelitian
Variabel Jumlah (n= 72) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Pria 35 48.6
Wanita 37 51.4
Usia (tahun)
Rerata±SD 63.28±9.085
Rentang (minimal-maksimal) 41.00-80.00
Tingkat Pendidikan
Rendah 25 34.7
Sedang 39 54.2
Tinggi 8 11.1
Jenis Pekerjaan
Tidak Bekerja 48 66.7
Pegawai 11 15.3
Wiraswasta 12 16.7
Lainnya 1 1.4
Tingkat Pendapatan
Rendah 24 33.3
Sedang 12 16.7
Tinggi 18 25
Sangat Tinggi 18 25 Keterangan : SD = Standar Deviasi
Tabel 4.2 menunjukkan karakteristik klinis subjek. Penelitian ini diikuti
oleh pasien glaukoma primer sudut terbuka (56.9%) dan pasien glaukoma primer
sudut tertutup (43.1%).
53
Sebagian besar subjek penelitian ini memiliki tajam penglihatan yang baik,
54.2% termasuk dalam kategori tidak ada gangguan penglihatan dan 23.6%
gangguan penglihatan ringan. Rerata tekanan intraokular pada pasien tergolong
terkontrol (di bawah 21mmHg). Nilai median VFI pada mata yang lebih baik ialah
sebesar 78.50%.
Tabel 4.2 Karakteristik Klinis Subjek Penelitian
Variabel n=72 pasien , n (%)
Jenis Glaukoma Primer
Sudut Terbuka 41(56.9)
Sudut Tertutup 31(43.1)
Tajam Penglihatan Mata Terbaik
Baik (≥ 6/12) 39 (54.2)
Ringan (6/18 - < 6/12) 17 (23.6)
Sedang (6/60 - < 6/18) 12 (16.7)
Berat (3/60 - < 6/60) 4 (5.5)
Buta (NLP - < 3/60) 0
Tekanan Intraokular
Mata Kanan
Rerata±SD 18.13±7.394
Mata Kiri
Rerata±SD 15.67±4.876
Visual Field Index Mata Lebih Baik
Median 78.50%
Rentang (minimal-maksimal) 2.00-97.00%
Mean Deviation Mata Lebih Baik
>-6 dB 17 (23.6)
6-12 dB 22 (30.6)
< - 12 dB 33 (45.8)
Keterangan : SD = Standar Deviasi. NLP: No Light Perception
Tabel 4.3 menunjukkan hasil analisis statistika dengan uji korelasi
Spearman antara variabel VFI dengan masing-masing variabel subskala dan skor
komposit dari kuesioner NEI-VFQ-25 mempunyai nilai r = 0.251 - 0.746 (p<0.05).
54
Respon subjek penelitian yang menjawab penglihatan warna pada penelitian ini
kurang dari 50%, yaitu hanya 24 pasien. Berdasarkan alasan ini maka subskala
penglihatan warna tidak dianalisis.
Tabel 4.3 Analisis Korelasi Visual Field Index (VFI) dengan Skor Komposit dan
Subskala Kualitas Hidup menggunakan Kuesioner NEI-VFQ-25
Variabel r Nilai p
VFI dengan Skor komposit 0.746 0.0001*
VFI dengan Kesehatan Umum 0.251 0.033*
VFI dengan Penglihatan Umum 0.683 0.0001*
VFI dengan Nyeri pada mata 0.378 0.0001*
VFI dengan penglihatan dekat 0.605 0.0001*
VFI dengan Penglihatan jauh 0.683 0.0001*
VFI dengan Fungsi Sosial 0.638 0.0001*
VFI dengan Kesehatan mental 0.666 0.0001*
VFI dengan Keterbatasan peran 0.581 0.0001*
VFI dengan Ketergantungan terhadap orang lain 0.607 0.0001*
VFI dengan Berkendara 0.633 0.001*
VFI dengan Penglihatan warna Tidak dianalisis
VFI dengan Penglihatan perifer 0.700 0.0001* Keterangan: nilai kemaknaan p < 0,05. Tanda * menunjukkan bermakna secara statistika,
r : koefisien korelasi menggunakan uji korelasi Spearman.
Keeratan korelasi antara kedua variabel dilihat menggunakan kriteria
Guilford. Korelasi yang tidak erat didapatkan antara VFI dengan subskala
kesehatan umum dan nyeri pada mata. Korelasi yang kuat didapatkan antara VFI
dengan subskala penglihatan perifer (r=0.70) dan skor komposit (r=0.746),
sedangkan untuk subskala lainnya didapatkan korelasi yang moderat (tabel 4.3).
Arah korelasi yang positif didapatkan antara kedua variabel ini (Gambar 4.1),
dengan persamaan regresi linear y = 0,484x + 38,034.
55
Gambar 4.1 Grafik scatter plot korelasi skor komposit kualitas hidup dengan
nilai Visual Field Index
Skor 0 pada kuesioner NEI-VFQ-25 merupakan nilai paling buruk,
sedangkan skor 100 menunjukkan tidak ada gangguan terkait penglihatan. Skor
tertinggi pada penelitian ini ialah subskala fungsi sosial (median 87.50), sedangkan
skor terendah yaitu subskala berkendara (median 45.83). Hasil rerata skor komposit
semua subjek ialah sebesar 67.49 (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Rerata skor subskala dan skor komposit kuesioner NEI-VFQ 25
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
0 20 40 60 80 100 120
Sk
or
Ko
mp
osi
t
Nilai Visual Field Index
y= 0,484x + 38,034
56
4.2 Uji Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat korelasi antara penurunan
lapang pandang berdasarkan Visual Field Index dengan kualitas hidup penderita
glaukoma berdasarkan kuesioner NEI-VFQ 25. Hasil analisis statistik dengan
menggunakan uji korelasi Spearman pada derajat kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa secara statistik terdapat korelasi positif bermakna antara penurunan lapang
pandang berdasarkan Visual Field Index terhadap kualitas hidup penderita
glaukoma berdasarkan kuesioner NEI-VFQ 25 (p=0,0001).
Kekuatan korelasi antara Visual Field Index dengan kualitas hidup penderita
glaukoma berdasarkan kuesioner NEI-VFQ 25 termasuk kategori keeratan korelasi
kuat (r=0.746). Dari grafik scatter plot dan garis regresi linear pada gambar 4.1
dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai Visual Field Index berhubungan dengan
semakin tinggi pula skor kualitas hidup pada kuesioner NEI-VFQ-25. Berdasarkan
hasil analisis statistik diatas, maka hipotesis peneliti diterima.
4.3 Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan 72 pasien dengan rentang usia 41 hingga 80
tahun. Prevalensi global glaukoma tertinggi ialah pada populasi usia 40-80 tahun
yaitu sebesar 3.54%.3 Prevalensi terjadinya glaukoma primer sudut tertutup
bervariasi tergantung pada ras dan etnis. Resiko terjadinya glaukoma primer
meningkat seiring berjalannya usia. Pada glaukoma primer sudut terbuka, usia di
atas 70 tahun memiliki resiko 3 – 8 kali lebih tinggi dibanding usia 40 tahun. 53
57
Usia, jenis kelamin, pekerjaan, lingkungan, etnis, dan budaya dapat
mempengaruhi hasil penilaian kuantitatif kualitas hidup. Hasil rerata skor komposit
pada penelitian ini yaitu 67.49. Nilai ini lebih rendah dibandingkan penelitian
kualitas hidup serupa pada penderita glaukoma primer sudut terbuka di Jepang
(rerata skor komposit 78.3).16 Sebagian besar pasien dalam penelitian ini bukan usia
produktif (rerata usia 63.28 tahun), memiliki riwayat tingkat pendidikan sedang,
dan tingkat pendapatan yang rendah. Sawada (2011) dan Medeiros (2015)
menyatakan bahwa pasien glaukoma dengan usia lebih muda memiliki skor
komposit kualitas hidup yang lebih tinggi.54,55 Selanjutnya Medeiros melaporkan
setiap 10 tahun penambahan usia dari baseline berhubungan dengan penurunan skor
komposit NEI VFQ-25 Rasch-calibrated score sebesar 0.5 unit (p < 0.001).55 Kuo
dkk membandingkan kualitas hidup pasien glaukoma primer sudut terbuka tingkat
pendidikan rendah dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi, hasilnya pasien
dengan tingkat edukasi perguruan tinggi memiliki skor komposit NEI-VFQ-25
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan rendah (p=0.041).56
Peters (2015) dan Chun (2018) menemukan tajam penglihatan dan lapang
pandang merupakan dua variabel yang memiliki korelasi yang signifikan
mempengaruhi kualitas hidup.14,57 Tajam penglihatan sentral cenderung tetap
dipertahankan hingga glaukoma derajat advanced. Sebagian besar subjek pada
penelitian ini tergolong memiliki tajam penglihatan yang baik, namun sudah
terdapat penurunan skor kualitas hidup. Penilaian subskala penglihatan jauh dan
dekat yang menggambarkan lapang pandang sentral, memiliki skor median 75
(sedikit lebih rendah dibandingkan penelitian oleh Sawada yaitu skor 76.9).16 Hasil
58
ini menunjukkan ketergantungan kualitas hidup pada lapang pandang sentral, yang
secara baik direpresentasikan oleh VFI. Hal ini dibuktikan dengan adanya korelasi
yang moderat antara VFI dengan subskala penglihatan jauh dan dekat. Sawada
(2014) menyatakan penglihatan parasentral bagian bawah dan bagian bawah
perifer pada mata yang lebih baik memiliki koefisien korelasi yang tinggi untuk
beberapa subskala, seperti penglihatan umum, penglihatan jarak jauh dan dekat,
serta berkendara.58
Subskala kesehatan umum pada kuesioner NEI-VFQ-25 menilai persepsi
individual mengenai kesehatannya secara umum sebagai suatu bagian yang
menunjang kualitas hidup terkait penglihatan. Pada penelitian ini subskala
kesehatan umum mengalami penurunan skor (median skor 50). Sawada
mendefinisikan subskala skor NEI-VFQ-25 termasuk rendah apabila didapatkan
skor di bawah 59.54 Penderita glaukoma primer sudut terbuka memiliki skor
kesehatan umum yang lebih rendah daripada yang tidak menderita glaukoma
dengan menggunakan kuesioner generik kesehatan SF-36.8 Studi lebih lanjut oleh
Sawada dan Madonna dengan kuesioner NEI-VFQ-25 menemukan korelasi yang
signifikan namun tidak erat antara kesehatan umum dengan VFI (r=0.197 dan
r=0.201). 16, 48 Hasil yang serupa juga ditemukan pada penelitian ini (r=0.251).
Sebagian besar pasien (45.8%) memiliki nilai MD>12 dB. McKean-Cowdin
menyatakan penurunan kualitas hidup dari segi kesehatan dapat terjadi bahkan
pada penderita glaukoma dengan kehilangan lapang pandang derajat ringan (nilai
6 dB < MD < 2 dB).59 Hal ini berbeda dengan persepsi terdahulu yang beranggapan
59
bahwa penurunan kualitas hidup secara umum baru dapat terjadi setelah glaukoma
derajat berat.
Terdapat perbedaan persepsi individual antara penderita glaukoma dengan
non-glaukoma mengenai kualitas hidup terkait penglihatan. Persepsi individual ini
secara umum dinilai lewat skor subskala kesehatan mata. Penelitian ini
menunjukkan adanya korelasi yang moderat (r = 0.683) antara penurunan lapang
pandang dengan subskala kesehatan mata. Median skor kesehatan mata semua
subjek di penelitian ini ialah 60. Skor ini sedikit lebih rendah dibandingkan
penelitian oleh Sawada (skor 66,6) dan Riva (skor 65.8).16, 36 Kehilangan lapang
pandang, penurunan ketajaman visual, dan riwayat terapi yang kompleks pada
penderita glaukoma berkorelasi dengan persepsi pasien mengenai kesehatan mata
dalam aktivitas sehari-hari.8
Korelasi yang tidak erat (r=0.378) untuk subskala nyeri pada mata
ditemukan pada penelitian ini. Hal ini dapat dijelaskan oleh karena pasien dengan
nyeri mata seperti pada glaukoma akut telah dieksklusi. Pada studi kualitas hidup
pasien glaukoma oleh Chun dkk didapatkan terdapat pengaruh jenis kelamin
terhadap keluhan nyeri mata, dimana wanita umumnya memiliki skor nyeri pada
mata lebih rendah daripada pasien pria.57 Pada penelitian ini rerata skor nyeri mata
pada pasien pria ialah 78.6 sedangkan pada wanita sebesar 72.3.
Median skor subskala nyeri mata pada penelitian ini ialah 75. Meski
terdapat penurunan skor, sebanyak 67% pasien pada penelitian ini merespon
adanya nyeri yang tergolong ringan dan tidak sampai mengganggu aktivitas sehari-
hari. Pada glaukoma dengan derajat lapang pandang yang berat, skor nyeri mata
60
yang lebih rendah juga berhubungan dengan tajam penglihatan yang buruk pada
mata yang lebih baik.57 Adanya hasil rerata tekanan intraokular yang terkontrol
pada pasien penelitian ini menunjukkan bahwa keluhan nyeri mata dari sebagian
besar pasien bukan berasal dari kenaikan tekanan intraokular, melainkan dapat
berasal dari kelainan permukaan okular. Kelainan permukaan okular memiliki
prevalensi sekitar 15% pada individu dengan usia lebih dari 65 tahun dan
meningkat menjadi 59% pada pasien dengan glaukoma.60 Rossi dkk menyatakan
adanya hubungan yang signifikan (p = 0.04) antara kelainan permukaan okular
dengan penurunan rerata skor komposit NEI-VFQ-25.61
Kondisi psikososial yang dinilai dengan kuesioner NEI-VFQ-25 mencakup
subskala kesehatan mental, fungsi sosial, keterbatasan peran, dan ketergantungan
terhadap orang lain. Fungsi sosial merupakan subskala dengan penurunan skor
paling minimal pada penelitian ini (median skor 87.5). Belum dapat dijelaskan
secara pasti alasan mengapa fungsi sosial kurang terpengaruh dibandingkan
subskala psikososial lainnya, kemungkinan terdapat pengaruh etnis dan budaya
terkait hasil yang demikian. Studi Early Manifest Glaucoma Trial yang
mengevaluasi skor psikososial dari baseline hingga 20 tahun menyatakan adanya
kemungkinan bahwa kondisi distres personal pasien saat awal didiagnosis
glaukoma dapat mengalami perbaikan seiring waktu, terutama ketika tidak ada
gejala baru yang muncul. Pada studi CIGTS, 34% pasien dilaporkan memiliki
kekhawatiran tentang kebutaan yang signifikan. Kondisi ini menurun hingga 17%
dalam 6 bulan dan 11% dalam periode 5 tahun. Studi ini menyatakan berkurangnya
kekhawatiran akan kebutaan dari waktu ke waktu dapat disebabkan oleh adanya
61
rasa kepercayaan pasien akan perawatan yang diberikan, tindak lanjut klinis yang
rutin, serta proses adaptasi terhadap diagnosis.31,33
Korelasi antara VFI dengan subskala kesehatan mental, fungsi sosial,
keterbatasan peran, dan ketergantungan terhadap orang lain pada penelitian ini
semuanya tergolong moderat. Hasil korelasi yang moderat untuk keempat subskala
psikososial tersebut juga ditemukan pada penelitian lainnya.16,48 Sebaliknya,
penelitian oleh Jampel (2007) dan Skalicky (2014) tidak menemukan korelasi
antara lapang pandang dengan kejadian depresi pada penderita glaukoma.46,62
Meski demikian kedua penelitian tersebut menggunakan desain penelitian dan
metode yang berbeda dengan penelitian ini. Jampel menemukan bahwa pada pasien
yang baru saja didiagnosis glaukoma dalam studi CIGTS, baik tajam penglihatan
maupun lapang pandang tidak terkait dengan satu pun butir pertanyaan dalam
instrumen Center for Epidemiologic Studies Depression Scale (CES-D).62
Sedangkan Skalicky dkk yang menggunakan kuesioner GQL-15 menyatakan
bahwa hanya faktor usia yang terbukti mempengaruhi terjadinya depresi pada
pasien glaukoma.46
Pengaruh penurunan lapang pandang secara langsung terhadap keterbatasan
dalam mengemudi, perasaan takut jatuh, dan keseimbangan yang buruk disebutkan
berkontribusi terhadap hubungan antara glaukoma dan depresi.8 Prevalensi ansietas
dan depresi pada pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka dievaluasi pada
suatu studi kasus-kontrol menggunakan Hospital Anxiety and Depression Scale
(HADS). Prevalensi pasien dengan ansietas (13,0%) dan depresi (10,9%) secara
signifikan lebih tinggi daripada kelompok kontrol (7% versus 5.2%).63 Studi ini
62
juga menyatakan pasien glaukoma dengan usia yang lebih muda cenderung lebih
mengalami ansietas dibandingkan dengan yang lebih tua. Pasien usia tua dengan
nilai MD yang lebih buruk pada mata yang lebih baik berhubungan dengan kondisi
depresi.8 Meski demikian, banyak faktor yang perlu ditelaah lebih lanjut dalam
menilai korelasi antara pengukuran lapang pandang secara obyektif dengan kondisi
kesehatan mental. Subskala kesehatan mental dapat lebih dipengaruhi oleh persepsi
individual pasien akan penglihatannya dibandingkan dengan pengukuran klinis
secara obyektif. Selain itu, kondisi depresi sendiri dapat menyebabkan respon yang
lebih buruk terhadap pertanyaan kuesioner, sehingga dapat menjadi faktor perancu
dalam analisis.
Penelitian ini menunjukkan korelasi yang moderat (r=0.633) antara nilai
VFI dengan berkendara. Koefisien korelasi antara VFI dengan subskala berkendara
pada penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan penelitian oleh Sawada
(r=0.556).16 Studi Salisbury Eye Evaluation menemukan korelasi yang kuat antara
lapang pandang dengan berkendara malam hari, bahkan setelah dilakukan
penyesuaian untuk faktor sensitivitas kontras.64 Los Angeles Latino Eye Study
melaporkan hilangnya lapang pandang bilateral derajat sedang hingga berat
memiliki pengaruh yang signifikan dalam berkendara, sedangkan kelainan lapang
pandang unilateral derajat berat sekalipun memiliki pengaruh yang kecil pada
kemampuan berkendara. 17
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien glaukoma cenderung
mengubah kebiasaan mengemudi mereka sebagai akibat dari persepsi visual yang
mereka alami. Perubahan kebiasaan ini mencakup berhenti berkendara pada malam
63
hari, menurunkan frekuensi dan durasi mengemudi, serta berhenti mengemudi di
tempat yang asing. Dibandingkan dengan individu tanpa glaukoma, keputusan
untuk berhenti mengemudi secara signifikan lebih sering terjadi pada pasien yang
didiagnosis dengan glaukoma bilateral dibandingkan unilateral. Penderita
glaukoma bilateral tiga kali lebih sering untuk berhenti mengemudi daripada
mereka yang tidak memiliki glaukoma. 64,65 Pada penelitian ini dimana semua
subjek mengalami glaukoma bilateral, didapatkan sebanyak 42% subjek
menyatakan berhenti mengemudi setelah didiagnosis glaukoma.
Haymes (2008) dan Wood (2016) dalam studinya menyatakan pasien
dengan glaukoma bilateral diatas 60 tahun dengan gangguan lapang pandang
derajat ringan-sedang menunjukkan penurunan kemampuan mengemudi, terutama
dalam situasi mengemudi yang kompleks.66,67 Kedua studi ini mengevaluasi
manuver berkendara pasien dengan glaukoma pada kondisi nyata / on-road driving
performance. Hasilnya dibandingkan dengan subjek normal, penderita glaukoma
derajat ringan-sedang memiliki kecenderungan enam kali lebih besar untuk
diintervensi oleh instruktur berkendara karena menunjukkan kesulitan dalam
mendeteksi gangguan di perifer dan reaksi yang lambat terhadap peristiwa yang
tidak terduga. Penderita glaukoma juga memiliki lebih banyak kesulitan
menyesuaikan kecepatan saat berpindah jalur dan menjaga posisi kendaraan mereka
tetap di jalur terutama saat menavigasi jalan yang berbelok. Penglihatan kontras
yang menurun, gangguan adaptasi gelap, dan peningkatan sensitivitas silau pada
penderita glaukoma berkontribusi pada kesulitan mengemudi di malam hari. Chun
dkk menyatakan terdapat faktor lain yang signifikan mempengaruhi kondisi
64
berkendara selain fungsi visual antara lain jenis kelamin wanita (terlepas dari
derajat keparahan glaukomanya), kondisi lingkungan, budaya, dan status sosial
individu. 57, 64-67
Respon subjek penelitian terhadap subskala penglihatan warna berbeda dari
hasil subskala lainnya. Hanya 33% pasien yang memberi tanggapan masih tertarik
dalam memadu padankan pakaian. Median skor subskala penglihatan warna (skor
75) cenderung lebih rendah daripada skor penglihatan warna oleh Sawada dkk
(rerata skor 89.3).16 Kuesioner NEI-VFQ-25 memuat pertanyaan berupa
kemampuan pasien memilih dan memadukan pakaian. Sebagian besar pasien pada
penelitian ini tidak lagi tertarik dalam aktivitas memadu padankan pakaiannya
sehari-hari, sehingga hasil skor ini tidak dapat menggambarkan penilaian semua
subjek akan penglihatan warna.
Mobilisasi merupakan salah satu aktivitas sehari-hari yang terganggu
karena kelainan lapang pandang pada glaukoma. Analisis pasien yang mengikuti
studi CIGTS menunjukkan 22% pasien melaporkan kesulitan dengan aktivitas
sehari-hari yang membutuhkan penglihatan perifer.8 Penelitian ini menunjukkan
korelasi yang kuat (r=0.70) antara VFI dengan lapang pandang perifer.
Arah korelasi yang positif dan kuat ditunjukkan antara VFI pada mata yang
lebih baik dengan skor komposit kualitas hidup menggunakan kuesioner NEI-VFQ-
25 (r=0.746). Semakin buruk penurunan lapang pandang penderita glaukoma, yang
dilihat dari semakin rendah nilai VFI, semakin rendah pula skor kualitas hidup pada
kuesioner NEI-VFQ-25. Hasil ini menunjukkan bahwa VFI dapat berpotensi untuk
digunakan sebagai ukuran tidak langsung dalam pemantauan disabilitas fungsi
65
visual dalam tatalaksana glaukoma kronis. Temuan ini juga menunjukkan bahwa
dokter sebaiknya tidak hanya memberi perhatian pada tatalaksana mata yang lebih
buruk, melainkan juga pada mata yang lebih baik untuk mencegah perburukan
derajat glaukoma pada mata yang lebih baik dan mengakibatkan penurunan kualitas
hidup.
Terdapat beberapa limitasi pada penelitian ini, antara lain adanya potensi
bias pelaporan karena perbedaan pewawancara. Meski demikian kedua
pewawancara telah meminimalisir dengan sebisa mungkin menggunakan metode
wawancara sesuai dengan kalimat yang tertera dalam kuesioner NEI-VFQ-25
format pewawancara. Pasien yang tidak kooperatif selama wawancara via telepon
karena gangguan pendengaran atau sulit memahami pertanyaan yang diajukan juga
telah dieksklusi. Keterbatasan lain penelitian ini adalah tidak dilakukan analisis
pengaruh besarnya faktor sosial ekonomi dan kondisi psikologis yang berpotensi
sebagai faktor perancu. Pemeriksaan sensitivitas kontras, glare dan stereoaakuitas
secara obyektif untuk melihat pengaruhnya pada penelitian ini juga tidak dilakukan.
Adanya bias respons atau faktor subjektifitas individu dapat membuat hasil
kuesioner tidak benar-benar mencerminkan kondisi gangguan yang sebenarnya
dialami pasien dalam aktivitas sehari-hari. Penggunaan performance-based test
dapat memberikan representasi yang lebih obyektif mengenai penurunan lapang
pandang yang dialami oleh penderita glaukoma pada kegiatan sehari-hari.
66
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Terdapat korelasi yang positif dan kuat antara penurunan lapang pandang
berdasarkan Visual Field Index dengan kualitas hidup penderita glaukoma
berdasarkan kuesioner NEI-VFQ 25.
5.2 Saran
1. Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai pengaruh faktor sosial
ekonomi dan kondisi psikologis.
2. Dilakukan pemeriksaan obyektif dari sensitivitas kontras, glare dan
stereoaakuitas untuk melihat pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita
glaukoma selain penurunan lapang pandang.
3. Penggunaan performance-based test dapat dipertimbangkan dalam
memberikan representasi yang lebih obyektif terkait dampak dari penurunan
lapang pandang pada kegiatan sehari-hari penderita glaukoma
4. Lokasi kelainan lapang pandang pada area tertentu mungkin dapat lebih
mempengaruhi penurunan kualitas hidup dibandingkan area lainnya. Hal ini
dapat menjadi subyek untuk diteliti pada penelitian selanjutnya.
67
DAFTAR PUSTAKA
1. Saunders, L. J., Medeiros, F. A dkk. What rates of glaucoma progression
are clinically significant? Expert Review of Ophthalmology. 2016;11(3):
227–234
2. Ichhpujani P. Kumar S. What’s New in Pathogenesis of Glaucoma. In:
Glaucoma. First Edition. Singapore: Springer;2019: p.1-2
3. Tham, Y.C., Li, X dkk. Global Prevalence of Glaucoma and Projections of
Glaucoma Burden through 2040. Ophthalmology. 2014; 121(11): 2081–
2090.
4. Balantrapu T. Latest Global Blindness & Visual Impairment prevalence
figures published in Lancet [document on the Internet]. IAPB; 2017 [cited
2020 January]. Diunduh dari: http:/ https://www.iapb.org/news/latest-
global-blindness-vi-prevalence-figures-published-lancet/
5. Pascolini, D., & Mariotti, S. P. Global estimates of visual impairment: 2010.
British Journal of Ophthalmology.2011; 96(5): 614–618.
6. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis
Glaukoma. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI;
2015.
7. European Glaucoma Society. Terminology and guidelines for glaucoma.
4thed. Savona, Italy: DOGMA; 2014.
8. Quaranta, L., Riva, I. dkk. Quality of Life in Glaucoma: A Review of the
Literature. Advances in Therapy. 2016; 33(6);959–81.
9. Mangione CM, Lee PP, Gutierrez PR, et al; National Eye Institute Visual
Function Questionnaire Field Test Investigators. Development of the 25-
item National Eye Institute visual function questionnaire. Arch Ophthalmol
2001;119(7):1050–8
10. Kumar, S., Thakur S, Ichhpujani P. The impact of primary open-angle
glaucoma: Comparison of vision-specific (National Eye Institute Visual
Function Questionnaire-25) and disease-specific (Glaucoma Quality of
Life-15 and Viswanathan 10) patient-reported outcome (PRO) instruments.
Indian J Ophthalmol. 2019; 67(1): 83–88.
11. Heijl A; Vincent M P; Bengtsson B. Effective Perimetry. Fourth Edition.
Dublin, CA : Carl Zeiss Meditec Inc.; 2012:pp.1-22, 45-72
12. Shaarawy TM, Sherwood MB, dkk. Glaucoma Medical Diagnosis and
Therapy. Second Edition. Philadelphia: Elsevier; 2015: pp.128-9, 272-3,
510-9
13. Bengtsson, B., & Heijl, A. A Visual Field Index for Calculation of
Glaucoma Rate of Progression. American Journal of Ophthalmology.2008;
145(2): 343–353.
14. Peters, D., Heijl, A., Brenner, L., & Bengtsson, B. Visual impairment and
vision-related quality of life in the Early Manifest Glaucoma Trial after 20
years of follow-up. Acta Ophthalmologica.2015;93(8); 745–752
68
15. Rosalina D, Harijo W. Visual Field Abnormality and Quality of Life of
Patient with Primary Open Angle Glaucoma. Jurnal Oftalmologi Indonesia.
2011; 7(5): 175−180
16. Sawada, H., Fukuchi, T., & Abe, H. Evaluation of the relationship between
quality of vision and the visual function index in Japanese glaucoma
patients. Graefe’s Archive for Clinical and Experimental
Ophthalmology.2011; 249(11): 1721–1727
17. McKean-Cowdin R, Wang Y dkk. Impact of Visual Field Loss on Health-
Related Quality of Life in Glaucoma. The Los Angeles Latino Eye Study.
Ophthalmology.2008; 115:941–48
18. Nelson, P., Aspinall, P. dkk. Quality of Life in Glaucoma and Its
Relationship with Visual Function. Journal of Glaucoma. 2003;12(2): 139–
50.
19. Seymour JR. Yee T dkk. Visual Fields in Glaucoma [document on the
Internet]. Ento Key; 2016 Jul 11 [diunduh 10 Januari 2020]. Tersedia dari:
https://entokey.com/visual-fields-in-glaucoma/
20. Reynolds AC. Computerized Assessment of Visual Field Progression.
[Internet] [cited 2020 January 17]. Diunduh dari: https:
http://glaucomatoday.com/2011/08/computerized-assessment-of-visual-
field-progression/
21. Development of the World Health Organization WHOQOL-BREF Quality
of Life Assessment. Psychological Medicine,1998: 28(3): 551–58
22. Burckhardt CS1, Anderson KL. The Quality of Life Scale (QOLS):
reliability, validity, and utilization. Health Qual Life Outcomes. 2003 Oct;
23(1):60.
23. Pourjavan S. A Spratt. A Kotecha. Patient reported outcomes in glaucoma:
associations between the NEI VFQ‐25 and the GQL‐15 and clinical
measures of visual function. Acta Ophtalmologica [abstract]. 2010 [diunduh
17 Januari 2020]. Tersedia dari:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1755-3768.2010.4356.x
24. Vandenbroeck, S., De Geest, S., Zeyen, T dkk. Patient-reported outcomes
(PRO’s) in glaucoma: a systematic review. Eye. 2011; 25(5): 555–577
25. Realini T. The Visual Field Index. [Internet] [cited 2020 January 17].
Diunduh dari https://www.eyeworld.org/article-the-visual-field
26. Severn, P., Fraser, S., Finch, T., & May, C. Which quality of life score is
best for glaucoma patients and why? BMC Ophthalmology.2008; 8(1)
27. Lee BL, Gutierrez P, Gordon M, et al. The Glaucoma Symptom Scale. A
brief index of glaucoma-specific symptoms. Arch Ophthalmol
1998;116(7):861–6.
28. Noe G, Ferraro J, Lamoureux E, et al. Associations between glaucomatous
visual field loss and participation in activities of daily living. Clin Exp
Ophthalmol 2003;31(6):482–6.
29. Nelson, P., Aspinall, P., & O’Brien, C. Patients’ perception of visual
impairment in glaucoma: a pilot study. British Journal of
Ophthalmology.1999;83(5): 546–52.
30. Lamoureux, E., & Pesudovs, K. Vision-Specific Quality-of-Life Research:
69
A Need to Improve the Quality. American Journal of Ophthalmology.
2011;151(2): 195–7
31. Leske MC, Heijl A, Hyman L, Bengtsson B. Early manifest glaucoma trial:
design and baseline data. Ophthalmology. 1999;106:2144–53.
32. Gedde SJ, Schiffman JC, Feuer WJ, et al. The tube versus trabeculectomy
study: design and baseline characteristics of study patients. Am J
Ophthalmol. 2005;140:275–87.
33. Mills, R. P., Janz, N. K., Wren, P. A., & Guire, K. E. (2001). Correlation of
Visual Field With Quality-of-Life Measures at Diagnosis in the
Collaborative Initial Glaucoma Treatment Study (CIGTS). Journal of
Glaucoma, 10(3), 192–198.
34. Janz, N. The Collaborative Initial Glaucoma Treatment Study Interim
quality of life findings after initial medical or surgical treatment of
glaucoma. Ophthalmology.2001; 108(11): 1954–1965.
35. National Eye Institute. Visual Function Questionnaire-25. [Internet]. 2000
[cited 2020 January 10]. Diunduh dari: https://www.nei.nih.gov/learn-
about-eye-health/resources-for-health-educators/outreach-materials/visual-
function-questionnaire-25
36. Riva, I., Legramandi, L., dkk. Vision-related quality of life and symptom
perception change over time in newly-diagnosed primary open angle
glaucoma patients. Scientific Reports. 2019;9(1)
37. Sukumar, S., Spencer, F., Fenerty, C., Harper, R., & Henson, D. (2008). The
influence of socioeconomic and clinical factors upon the presenting visual
field status of patients with glaucoma. Eye, 23(5), 1038–1044.
38. Buys, Y. M., & Jin, Y.-P. (2013). Socioeconomic status as a risk factor for
late presentation of glaucoma in Canada. Canadian Journal of
Ophthalmology / Journal Canadien d’Ophtalmologie, 48(2), 83–87
39. Lisboa, R., Chun, Y. S. dkk. Association Between Rates of Binocular Visual
Field Loss and Vision-Related Quality of Life in Patients With Glaucoma.
JAMA Ophthalmology. 2013;131(4): 486.
40. Ko YC., Hwang, DK dkk. Impact of Socioeconomic Status on the Diagnosis
of Primary Open-Angle Glaucoma and Primary Angle Closure Glaucoma:
A Nationwide Population-Based Study in Taiwan. PLOS ONE. 2016;11(2)
41. Hyman, L. G., Komaroff, E. dkk. Treatment and Vision-Related Quality of
Life in the Early Manifest Glaucoma Trial. Ophthalmology.2005; 112(9):
1505–13.
42. Yousefi, S., Sakai, H dkk. Asymmetric Patterns of Visual Field Defect in
Primary Open-Angle and Primary Angle-Closure Glaucoma. Investigative
Opthalmology & Visual Science.2018; 59(3): 1279.
43. Cheng, HC., Guo, CY dkk. Patient-Reported Vision-Related Quality of
Life Differences Between Superior and Inferior Hemifield Visual Field
Defects in Primary Open-Angle Glaucoma. JAMA Ophthalmology.
2015;133(3): 269.
44. Rao A. Comparison of relation between visual function index and retinal
nerve fiber layer structure by optical coherence tomography among primary
open angle glaucoma and primary angle closure glaucoma eyes. Oman
70
Journal of Ophthalmology.2014;7(1)
45. Boland, M. V., Zhang, L dkk. Comparison of Optic Nerve Head
Topography and Visual Field in Eyes with Open-angle and Angle-closure
Glaucoma. American Academy of Ophthalmology. 2008;115:239–245
46. Skalicky, S. E., Martin, K. R, dkk. Cataract and quality of life in patients
with glaucoma. Clinical & Experimental Ophthalmology. 2014;43(4), 335–
41.
47. Gutierrez P., Wilson M.R., Johnson C., et al. Influence of glaucomatous
visual field loss on health-related quality of life. Arch Ophthalmol
1997;115(6):777–84.
48. Madonna R.J., D. Rutner, L. Nehmad. Investigating the Association
between Visual Field Index Scores and NEI VFQ-25 Scores in Glaucoma
Patients. Investigative Ophthalmology & Visual Science [abstract].
2019;50:3771 [diunduh 17 Januari 2020]. Tersedia dari:
https://iovs.arvojournals.org/article.aspx?articleid=2366157
49. Evans K.,Simon K.L., dkk. The quality of life impact of peripheral versus
central vision loss with a focus on glaucoma versus age-related macular
degeneration. Clinical Ophthalmology. 2009;3: 433–45
50. Field, A. Discovering Statistics Using SPSS. London : SAGE Publication
Ltd; 2011
51. Sopiyudin D. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi ke-5. Salemba
Medika;2010.
52. Sudigdo S. Dasar-dasar metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-4, Sagung
Seto; 2011
53. American Academy of Ophthalmology. Section 10: Glaucoma:
Introduction to Glaucoma: Terminology, Epidemiology, and Heredity. In :
Basic and Clinical Science Course. San Fransisco: American Academy of
Ophtalmology; 2019.
54. Medeiros, F. A., Gracitelli, C. P. B., et al. Longitudinal Changes in Quality
of Life and Rates of Progressive Visual Field Loss in Glaucoma Patients.
Ophthalmology,2015;122(2):293–301.
55. Sawada H, Fukuchi, T., & Haruki, A. Evaluation of the relationship between
quality of vision and visual function in Japanese glaucoma patients. Clinical
Ophthalmology, Clinical Ophthalmology 2011:5:259–67
56. Kuo, Y.S., Liu, C. J, et al. Impact of socioeconomic status on vision-related
quality of life in primary open-angle glaucoma. Eye.2017;31(10):1480–7.
57. Chun, Y. S., Sung, K. R., Park, C. K., et al. Factors influencing vision-
related quality of life according to glaucoma severity. Acta
Ophthalmologica. 2019;97(2):216-24
58. Sawada, H., Yoshino, T., Fukuchi, T., & Abe, H. Assessment of the Vision-
specific Quality of Life Using Clustered Visual Field in Glaucoma Patients.
Journal of Glaucoma, 2014;23(2): 81–7.
59. McKean-Cowdin, R., Varma, R., et al. Severity of Visual Field Loss and
Health-related Quality of Life. American Journal of Ophthalmology,
2007;143(6): 1013–23.
60. Leung EW, Medeiros FA, Weinreb RN. Prevalence of ocular surface
71
disease in glaucoma patients. J Glaucoma. 2008;17:350–5
61. Rossi GC, Pasinetti GM, Scudeller L, et al. Ocular surface disease and
glaucoma: how to evaluate impact on quality of life. J Ocul Pharmacol
Ther. 2013;29:390–4.
62. Jampel HD, Frick KD, Janz NK, et al. Depression and mood indicators in
newly diagnosed glaucoma patients. Am J Ophthalmol 2007;144(2):238-44.
63. Mabuchi F, Yoshimura K, Kashiwagi K, et al. High prevalence of anxiety
and depression in patients with primary open-angle glaucoma. J Glaucoma.
2008;17:552–7.
64. Freeman EE, Munoz B, West SK, Jampel HD, Friedman DS. Glaucoma and
quality of life: the Salisbury eye evaluation. Ophthalmology.
2008;115:233–8.
65. Freeman EE, Munoz B, Turano KA, West SK. Measures of visual function
and their association with driving modification in older adults. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2006;47:514–20.
66. Wood JM, Black AA, Mallon K, et al. Glaucoma and Driving: On-Road
Driving Characteristics. PLoS ONE.2016;11(7):1-12
67. Haymes SA, LeBlanc RP, Nicolela MT, et al. Glaucoma and On-Road
Driving Performance. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2008;49: 3035–3041
72
LAMPIRAN 1. PERSETUJUAN ETIK
73
LAMPIRAN 2. INFORMED CONSENT
74
LAMPIRAN 3. KUESIONER NEI-VFQ-25 BAHASA INDONESIA
75
76
77
78
79
80
81
82
LAMPIRAN 4. MANUAL SCORING SUBSKALA
KUESIONER NEI-VFQ-25
83
84
LAMPIRAN 5. DATA PENELITIAN
85
86
KETERANGAN:
Pekerjaan 1.Tidak Bekerja
2.Sekolah/Mahasiswa
3.Buruh
4.Pegawai
5.Wiraswasta
6.POLRI/TNI
7.Profesional
8.Lainnya
Pendapatan 1. < Rp1.500.000
2. Rp1.500.000- <2.500.000
3. Rp.2.500.000 – Rp.3.500.000
4. >Rp. 3.500.000
Pendidikan 1.Rendah (tidak sekolah, SD,atau MI)
2.Sedang (SMP,SMA,SMK,MK,MAK)
3.Tinggi
(Dipl,Sarjana,Magister,Spesialis,Doktor)
87
LAMPIRAN 6. ANALISIS STATISTIK
88
89
90
LAMPIRAN 7 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Fatrin Patrycia Salim
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 7 Mei 1987
Alamat : Jl. Surya Widuri IV, Jakarta.
Nama Orang Tua : Johannes Sadariman
Agnes Widyakusuma
Pendidikan Formal
1. SD Ricci II (1993-1999)
2. SLTP Ricci II (1999-2002)
3. SMU St.Laurensia (2002-2005)
4. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan (2005-2011)
5. Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Mata FK
Universitas Padjadjaran/PMN-RS Mata Cicendo Bandung (2016-2020)
Pengalaman Kerja
1. 2011 - 2013 Staf pengajar (Tutorial) Fakultas
Kedokteran Universitas Pelita
Harapan
Dokter magang Poliklinik Mata
Siloam Hospital Lippo Village
2. 2013 - 2015 Dokter umum RS Umum Siloam
3. 2015 - 2016 Outpatient Case Manager RS
Umum Siloam
Penelitian :
1. 2018
Effect of Panretinal
Photocoagulation on Color Vision
in Diabetic Retinopathy.
91
2. 2019 Tajam Penglihatan dan Komplikasi
Pasca Implantasi Lensa Intraokular
Sekunder.
Presentasi Ilmiah
1. Paper Presentation, topic : “Tobacco-Its burden on Health and
Society” Asian Medical Student Conference (AMSC) International -
Hongkong (2006)
2. Poster Presentation: Retropupillary Iris Claw as Management of Low
Corneal Endothelial Aphakia - PIT PERDAMI 43, Padang (2018)
3. Free paper: Visual Acuity And Complications Following Secondary
Intraocular Lens Implantation In Aphakia - PIT PERDAMI 44,
Makassar (2019)
4. Free paper: Effect of Panretinal Photocoagulation Laser on Color
Vision in Diabetic Retinopathy - PIT PERDAMI 44, Makassar (2019)
Seminar/Course/Kongres/Pertemuan Ilmiah yang pernah diikuti
1. 2005 Advanced English Skills (AES)
oleh Lembaga International
Language Programs
2. 2006 Paper and Presentation
Training oleh AMSA (Asian
Medical Student Association)
Indonesia
3. 2011 Peserta Advance Cardiac Life
Support Training, PERKI,
Jakarta
92
Peserta PIT PERDAMI ke-37,
Manado
Peserta workshop Interpreting
Visual Field Defects, Manado
4. 2012 Peserta simposium “Highlights
in Ophtalmology” by Dutch
Foundation -Universitas
Indonesia
Peserta simposium “West Java
Region IOA Scientific
Meeting”, Bandung
Peserta workshop “Streak
Retinoscopy” Universitas
Padjajaran, Bandung
Peserta simposium Annual
Scientific Meeting – “Adaptasi
Kesehatan terhadap Perubahan
Iklim” Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
Peserta simposium “Focus on
Diabetic Retinopathy – from
screening to managing
complications” Universitas
Indonesia Jakarta
Peserta PIT PERDAMI ke-38,
Surabaya
93
5. 2013 Four-weeks Clinical Elective
Program di Schell Eye
Hospital, Tamil Nadu, India
6. 2014 Peserta PIT PERDAMI ke-39
Jawa Tengah, Yogyakarta
7. 2015 Peserta Young Ophtalmologist
Program (YOP) oleh
PERDAMI Banten
Peserta PIT PERDAMI ke-40
Jawa Barat, Bandung
8. 2018 Peserta PIT PERDAMI ke 43
Sumatera Barat, Padang
9. 2019 Peserta INOIS 7th PERDAMI
Jawa Tengah, Yogyakarta
Peserta PIT PERDAMI ke-44,
Sulawesi Selatan, Makassar
Peserta Cicendo International
Ophtalmology Meeting,
Bandung
Pengalaman Organisasi
1. 2005 – 2006 Wakil Ketua Asian Medical Students
Association (AMSA) Universitas
Pelita Harapan (UPH)
2. 2006 Koordinator Seksi Acara Simposium
Neurodegenerative Update
94
3. 2006 – 2007 Senat Mahasiswa Fakultas
Kedokteran UPH – Science
Development Division
4. 2006 – 2009 Tim ilmiah Brain Team UPH –
Siloam
5. 2007 - 2008 Senat Mahasiswa FK UPH -
External Division
6. 2008 – 2009 Ketua Tim Bantuan Medis (TBM)
Fakultas Kedokteran UPH
Daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Bandung, 13 Juli 2020
dr. Fatrin Patrycia Salim