KOPING MALADAPTIF SAAT DITINGGALKAN KELUARGA...
-
Upload
hoanghuong -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of KOPING MALADAPTIF SAAT DITINGGALKAN KELUARGA...
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
1410
KOPING MALADAPTIF SAAT DITINGGALKAN KELUARGA SEBAGAI
FAKTOR RISIKO PENURUNAN KUALITAS HIDUP LANJUT USIA
Sri Handayani
1, Nur Wulan Agustina
2
1Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Klaten
Korespondensi : [email protected] 2Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Klaten
Korespondensi : [email protected]
Abstrak
Menua adalah proses alami yang disertai penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial
yang saling berinteraksi satu sama lain. Pada umumnya lansia juga sering hidup sendiri karena
ditinggal oleh pasangan atau anaknya. Perubahan yang terjadi pada lansia dan kesepian karena
ditinggal oleh keluarga atau pasangannya dapat menurunkan koping menjadi maladatif. Koping
maladatif apabila tidak ditangani dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup.Penelitian ini
menggunakan desain survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Instrumen penelitian
beruapa kuesioner. Sampel penelitian berjumlah 33 lansia yang yang ditinggalkan keluarga yang
diambil dengan menggunakan teknik Purpusive sampling. Analisis data menggunakan chi
square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 63,6% responden berusia antara74 - 90
tahun, 79% jenis kelamin perempuan, 54% memiliki koping maladaptif dan 58% memiliki
kualitas hidup lansia buruk. Hasil analisis chi square diproleh nilai Pvalue 0,000 < α (0,05).
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa lansia yang memiliki koping maladatif saat
ditinggalkan keluarga dapat menurunkan kualitas hidup lansia.
Kata Kunci : Koping, Kualitas hidup, Lansia, Keluarga.
I. PENDAHULUAN World Health Organization (WHO)
mendefinisikan kualitas hidup sebagai
persepsi individu sesuai dengan tempat
tinggal dan berkaitan dengan tujuan,
harapan, standar yang dimiliki (Salim,
2007). Kualitas hidup dapat dilihat dari
kesehatan manusia yang saling
berhubungan yaitu fisik, mental, sosial
(Tambariki, 2012). Setiap individu
memiliki kualitas hidup yang berbeda
tergantung dari masing-masing individu
dalam menyikapi.
Gambaran kualitas hidup yang kurang
pada lansia dapat ditunjukan dalam
aktivitas sehari-hari seperti ketergantungan
obat-obatan, ketergantungan bantuan
medis, keterbatasan (Sekarwiri 2008).
Gambaran kualitas hidup yang buruk pada
lansia wanita yang menonjol adalah mudah
tersinggung, sukar tidur, tertekan, gugup,
kesepian, tidak sabar, tegang, cemas dan
depresi (Kuntjoro (2002). Hasil penelitian
Iqbal (2014) menemukan bahwa sebanyak
46,7% lansia yang tinggal di panti
mempunyai kualitas hidup buruk.
Lansia dengan kualitas hidup yang
buruk akan menyebabkan berbagai
permasalahan, baik fisik maupun
psikologis. Permaslahan psikologis yang
muncul diantaranya merasa tidak berguna,
mudah marah, dan menurunnya interaksi
sosial, sehingga lansia cenderung tidak
menerima diri sendiri dan depresi (Stanly,
2006).
Hasil penelitian Putri (2013)
didapatkan bahwa sebanyak 62.1% lansia
memiliki kualitas kesehatan yang buruk,
dan sebanyak 70,4% lansia memiliki
kualitas psikologis buruk. Penurunan
kualitas hidup pada lansia dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti jenis
kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan,
status pernikahan, financial, dukungan
keluarga dan koping (Mubarak, 2009).
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
1411
Keluarga merupakan support sistem bagi
lansia dalam mempertahankan kesehatan.
Apabila terjadi perubahan dalam keluarga
seperti kematian pasangan hidup dan
ditinggal anak menikah, maka akan
menyebabkan lansia tidak lagi tinggal
bersama keluarga. lansia harus melakukan
sendiri segala sesuatunya. Kondisi tersebut
menyebabkan lansia merasa tidak
diperhatikan lagi dan menganggap dirinya
sebagai beban bagi keluarga (Lilis, 2011).
Lansia yang ditinggal keluarga akan
mengakibatkan kesulitan dalam
menyelesaikan masalah dan lansia akan
mengalami kesepian (Halawa, 2013).
Kesepian merupakan perasaan
terasing (terisolasi atau perasaan
tersisihkan, terpencil dari orang lain,
karena merasa berbeda dengan orang lain
(Probosuseno, 2007). Perasaan tersisihkan
yang tidak segera diatasi akan berdampak
pada mekanisme koping lansia.
Koping merupakan cara yang
dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah dan menyesuaikan diri terhadap
perubahan. Reaksi koping lansia terhadap
permasalahan sangat bervariasi, dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya: kesehatan, keyakinan,
keterampilan memecahkan masalah,
keterampilan sosial, dukungan sosial, dan
dukungan keluarga (Mu’tadin, 2002).
Hasil penelitian Ratna (2007)
menunjukan terdapat perbedaan makna
hidup antara lansia yang tinggal di panti
werdha dengan lansia yang tinggal
bersama keluarga. hasil penelitian ini
diperkuat penelitian Ekawati (2011) yang
menyimpulkan bahwa lansia yang tinggal
di panti mempunyai risiko penurunan
kualitas hidup dibandingkan dengan lansia
yang tinggal bersama dengan keluarga.
Mekanisme koping terbagi menjadi dua
yaitu mekanisme adaptif dan maladaptif.
Mekanisme koping adaptif merupakan
mekanisme koping yang mendukung
fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar, dan
mencapai tujuan. Lansia yang memiliki
koping adaptif ditunjukan dengan
kemampan berbicara dengan orang lain,
memecahkan masalah secara efektif,
teknik relaksasi, latihan seimbang, dan
aktivitas konstruktif (Stuart dan Sundeen,
2011). Sedangkan mekanisme koping
maladaptif merupakan respon individu
yang dapat meyebabkan disfungsi secara
personal, sosial, maupun dalam pekerjaan
respon koping maladaptif seperti merasa
terasingkan, ketergantungan, dan kurang
percaya diri yang dapat mengakibatkan
lansia cepat marah, berdiam diri dan
menarik diri, akibatnya tubuh menjadi
rentan (Gunawan, 2013). Penelitian Noni
(2013) mendapatkan data bahwa 59,7%
lansia mempunyai mekanisme koping
maladaptif (banyak tidur, melamun, hanya
terpaku atau diam, tidak mampu
menyelesaikan masalah).
Hasil wawancara peneliti terhadap
beberapa lansia diperoleh informasi bahwa
lansia tinggal sendirian dirumah. Selain itu
lansia merasa mengalami perubahan
psikologis seperti mudah tersinggung,
mudah marah, menarik diri (tidak mau
mengikuti posyandu lansia).
II. KAJIAN LITERATUR
1. Lanjut Usia dan dampak perubahan
yang terjadi
Menua (Menjadi tua) adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang diderita, merupakan proses yang
terus-menerus (berlanjut) secara alami,
dimulai sejak lahir (Bandiyah, 2009).
Berbagai masalah yang ditemukan pada
lansia akibat kemunduran fisik ditandai
dengan, adanya penurunan sistem organ
yang dapat mengakibatkan lansia rentan
terhadap penyakit baik yang bersifat
akut maupun kronis. Masalah
psikologis turut mempengaruhi
kehidupan lansia diantaranya adalah
harga diri rendah, kecemasan yang
tinggi, mudah marah, mudah
tersinggung, kurang percaya diri,
kesepian, ketidakberdayaan,
ketergantungan, dan kurangnya
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
1412
dukungan dari anggota keluarga.
Akibatnya dapat menghilangkan
kebahagiaan, harapan dan kemampuan
untuk merasakan ketenangan hidup
pada lansia, yang akan mempengaruhi
kualitas hidup (Stanley, 2005)
2. Kualitas hidup
Dimensi yang digunakan dalam
penelitian ini mengacu pada dimensi
kualitas hidup yang terdapat pada
World Health Organization Quality of
Life Bref version (WHOQoL-BREF).
WHOQoL-BREF (Power dalam Lopez
& Snyder, 2003) terdapat empat
dimensi mengenai kualitas hidup yang
meliputi:
1. Kesehatan Fisik, dapat
mempengaruhi kemampuan
individu untuk melakukan
aktivitas.
2. Psikologis, yaitu terkait dengan
keadaan mental individu
3. Hubungan Sosial
4. Lingkungan, Semakin bertambah usia akan
berkurang kesibukan sosialnya, dan itu
mengakibatkan berkurangnya integrasi
dengan lingkungan yang berdampak
pada kebahagiaan, kesepian, dan
kebosanan seseorang yang disebabkan
oleh rasa tidak diperlukan (Nugroho,
2008). Gambaran kualitas hidup yang
buruk pada lansia dapat ditunjukan
dalam aktivitas sehari-hari seperti
ketergantungan obat-obatan dan
bantuan medis, keterbatasan dalam
melakukan mobilisasi,
ketidaknyamanan, perasaan negatif,
sumber finansial, dan tidak mau
bersosialisali dengan masyarakat
(Sekarwiri 2008).
3. Koping
Mekanisme koping adalah cara
yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan
diri dengan perubahan dan respon
terhadap situasi yang mengancam. Mekanisme koping sangat penting
digunakan oleh individu untuk
memecahkan masalah, koping yang
efektif akan membantu individu
terbebas dari stress yang
berkepanjangan. Suatu studi
menunjukan bahwa mekanisme koping
memilikiketerkaitan dengan respon
individu dalam menghadapi masalah
(Nurfita, 2007)
Koping yang efektif sering kali
bervariasi sesuai situasi. Satu
mekanisme koping mungkin efektif
untuk mengatasi suatu masalah namun
belum tentu efektif dengan salah lain.
Salah satu dampak dari respon koping
yang digunakan ialah perubahan
kualitas hidup yang dimiliki individu.
III. METODE
Jenis penelitian ini adalah survey
analitik dengan pendekatan cross
sectional. Sampel diambil secara
nonprobability sampling tipe purpusive
sampling pada lansia di Desa Buntalan
Klaten yang memenuhi kriteria. Kriteria
inklusi penelitian adalah (1) Memilih
lansia yang ditinggal keluarga
(Suami, Anak) < 10 tahun (2) berusia
60 tahun ke atas. Kritera eksklusi
penelitian adalah (1) lansia yang
mengalami : sakit berat, demensia,
gangguan penglihatan dan
pendengaran (2) lansia yang
menaglami gangguan komunikasi.
Besar sampel adalah 33 lansia.
Instrumen yang di gunakan
dalam penelitian ini adalah (1)
kuesioner tertutup untuk mengukur
koping (2) WHOQOL-BREF untuk
mengukur kualitas hidup. Data yang
telah dikumpulkan di analisis dengan
menggunakan uji Chi-square.
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
1413
IV. HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik responden
Tabel 1
Karakteristik Responden
No Kategori f %
1
2
3
Jenis kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
Jumlah
Usia
- 60 – 74
- 74 – 90
- > 90
Jumlah
Status pernikahan
- Tidak menikah
- Janda/duda
- Bercerai
Jumlah
7
26
33
11
21
1
33
2
27
4
33
21
79
100
33,3
63,6
0,1
100
0,6
81,1
18,3
100
2. Koping dan kualitas hidup lansia
Tabel 2
Koping dan kualitas hidup Lansi
3. Analisis Bivariat
Tabel 3
Analisis Koping dengan Kualitas Hidup
Lansia
V. PEMBAHASAN
1. Usia Responden
Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1998
Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
menyebutkan bahwa lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun keatas. Nofitri (2009)
mengatakan bahwa usia adalah salah
satu faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup.
Bertambahnya usia akan
mempengaruhi kondisi fisik dan
psikologis seseorang. Peningakatan usia
seseorang akan diikuti proses
degenaratif yang salah satu akibatnya
menyebabkan ketidakmampuan
melakukan aktivitas sehari-hari. Selain
itu, secara psikologis bertambahnya
usia juga akan memunculkan perasaan
tidak mampu, merasa lemah, kesepian,
jenuh. Berbagai perubahan yang terjadi
pada lanjut usia tersebut akan
membatasi gerak lanjut usia sehingga
menyebabkan lansia menjadi jarang
berkomunikasi dengan orang lain
(Lilik, 2011). Kondisi tersebut apabila
berlangsung terus menerus maka lanjut
usia akan mengalami penurunan
kualitas hidup.
Teori diatas sesuai dengan
penelitian bahwa rata-rata usia
responden di desa Buntalan Klaten
Tengah yaitu 65 ± 2,40265 tahun.
Responden yang memiliki rentang usia
60-64 tahun sebanyak (45%) memiliki
kualitas hidup buruk, sedangkan
responden yang berusia 65-90 tahun
sebanyak (64%) memiliki kualitas
hidup yang buruk.
2. Jenis Kelamin Responden
Jenis kelamin dapat mempengaruhi
kualitas hidup seseorang. Hasil
penelitian yang menunjukkan kualitas
hidup buruk didominasi oleh lansia
perempuan. Hal ini bisa terjadi karena
adanya perbedaan gender. Secara
kodrati seorang istri lebih tergantung
kepada suami baik dari sisi ekonomi
maupun fisik. Dengan hidup sendiri
maka perempuan mempunyai peran
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
1414
ganda dan tidak ada tempat untuk
berbagi. Papalia (2008) mengatakan
lansia perempuan yang sudah
mengalami menopouse dimana kadar
estrogen dan progesteron turun.
Penurunan kadar estrogen dan
progesteron akibatnya mudah marah,
sulit tidur, gelisah, rasa khawatir, sulit
konsentrasi, nyeri otot sendi, sehingga
berdampak psikologis lansia. Hasil
penelitian diperoleh data bahwa dari 26
lansia perempuan sebanyak (58%)
sering memiliki perasaan negatif dan
(65%) sering bergantung dengan obat-
obatan.
Penelitian Nawi (2010) yang
menyebutkan bahwa lansia perempuan
cenderung memiliki kualitas hidup
lebih buruk dibandingkan laki-laki.
Didukung pula dengan hasil penelitan
Nofiri (2009) kualitas hidup laki-laki
cenderung lebih baik daripada kualitas
hidup perempuan.
3. Satus Pernikahan
Pasangan hidup mempunyai funsi
sebagai suporting dalam berbagai hal
seperti emosi dan keuangan.
Kehilangan pasangan hidup merupakan
tantangan emosional yang harus
dihadapi oleh lajut usia. Hurlock (2004)
menyatakan bahwa penyesuaian
terhadap kematian pasangan atau
perceraian merupakan hal yang sangat
sulit bagi lanjut usia. Dewi, Yusna,
Danardi , Suryo, & Czeresna, (2007)
menyatakan bahwa janda dan duda
lebih rentan untuk mengalami depresi
dibanding pasien geriatri dengan status
menikah. Hasil penelitian mendapatkan data
bahwa koping maladatif lebih banyak
dialami oleh lanjut usia janda atu duda
dibandingkan dengan lansia yang tidak
menikah.
4. Koping Lanjut usia Saat
Ditinggalkan Keluarga
Koping adalah cara yang dilakukan
individu dalam menyelesaikan masalah,
menyesuaikan diri dengan perubahan
(Wahyudi, 2010). Koping terbagi
menjadi dua yaitu koping adaptif dan
maladaptif. Koping adaptif ditunjukkan
dengan kemampuan berkomunikasi
yang baik dan memecahkan masalah
secara efektif. Sedangkan koping
maladaptif ditunjukan dengan rasa
percaya diri kurang sehingga
mengakibatkan lanjut usia menjadi
cepat marah, menarik diri, akibatnya
tubuh menjadi rentan dan mengalami
penurunan kualitas hidup (Stuart dan
Sundeen, 2011).
Berdasar hasil penelitian
ditemukan bahwa koping maladaptif
yang dimilki lansia terlihat pada rasa
putus asa (78%), tidak mau
bersosialisasi (27%), selalu pasrah
dengan masalah yang dihadapi (61%)
dan lebih suka menangis untuk
mengungkapkan perasaan (61%).
Koping maladaptif yang terjadi pada
lanjut usia dapat berisiko
meneyebbakan gangguan tidur dan
kecemasan.
Koping maladaptif lanjut usia
terjadi karena berkurangnya support
system dari keluarga. Lanjut usia yang
tidak mendapatkan dukungan atau
perawatan dari keluarga menyebabkan
lanjut usia sulit mempertahankan
kesehatannya (Halawa, 2014). Hasil
penelitian bahwa semua lanjut usia
hidup sendiri sehingga tidak ada
dukungan dari keluarga. Hasil
penelitian ini mendukung penelitian
Na’imah (2014) yang mengatakan
bahwa faktor munculnya kesepian pada
lanjut usia karena lansia yang ditinggal
oleh orang-orang yang dicintai, karena
meninggal dunia atau bekerja luar kota.
Lansia yang ditinggalkan sendiri
dirumah akan kehilangan figur yang
dapat memberikan perhatian sehingga
lansia kehilangan interaksi sosial dan
hambatan berkomunikasi.
5. Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah ukuran
kebahagiaan dan mempunyai lima
aspek yaitu: merasa senang dengan
aktivitas yang dilakukan sehari-hari,
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
1415
menganggap hidupnya penuh arti dan
menerima dengan tulus kondisi
hidupnya, mempunyai citra diri yang
positif, mempunyai sikap hidup yang
optimis dan suasana hati yang bahagia
(Tambariki, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian
dieproleh data bahwa 58% lanjut usia
mempunyai kualitas hidup yang buruk.
Kualitas hidup yang buruk pada lansia
terlihat pada kesulitan untuk berjalan
sebanyak (43%), tidak cukup uang
untuk memenuhi kebutuhan (51%), dan
lansia kesulitan tidur karena merasa
cemas sebanyak (64%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Siregar (2013) bahwa lansia
yang hidup serumah dengan keluarga
mempunyai kualitas hidup lebih baik
dibandingkan lanjut usia yang hidup
sendiri. Lanjut usia yang hidup bersama
keluarga seperti anak dan cucu,
cenderung lebih dapat menjalani
kehidupan lebih optimis. Dalam
penelitian Cahayawati (2010)
menyatakan lanjut usia yang memiliki
dukungan dari keluarga akan memiliki
tujuan hidup yang lebih baik
dibandingkan dengan lanjut usia yang
tidak dapat dukungan dari keluarga.
6. Pengaruh Koping saat ditinggal
keluarga dengan Kualitas Hidup
Lansia
Proses penuaan merupakan proses
fisiologis yang pasti dialami individu.
Proses menua akan diikuti oleh
penurunan fungsi fisik, biologis,
mental, sosial kesehatan maupun
psikologis (Nugroho, 2008). Penurunan
fungsi fisik membuat ketidakmampuan
lansia untuk beraktivitas dalam
kegiatan sehari-hari (Lilik, 2011).
Perubahan fungsi psikososial seperti
lingkungan tempat tinggal dan
hubungan sosial dengan masyarakat
(Stanley & Beare 2007).
Permasalahan psikologis yang
tidak tertangani menyebabkan lansia
mengalami kesepian lansia yang
kesepian dalam jangka waktu lama
akan menyebabkan perubahan koping
yang maladaptif (Maryam, 2008). Hasil
penelitian ditemukan bahwa sebanyak
54% lanjut usia mempunyai koping
maladaptif. Koping maladaptif yang
dimiliki lansia ditunjukkan dengan
mudah marah, lanjut usia menangis
untuk mengeluarkan perasaan.
Lanjut usia dengan koping
maladaptif akan mempengaruhi tujuan
hidup. Lansia dengan koping
maladaptif (61%) memiliki perasaan
negatif seperti kesepian, putus asa,
cemas dan depresi, selain itu juga
(31%) lansia mengatakan tidak berarti
hidupnya. Perasaan pasrah dan putus
asa akan mempengaruhi semangat dan
motivasi dalam beraktivitas bahkan
dapat mempengaruhi timbulnya
permasalahan kesehatan. Seperti (64%)
tidak puas dengan tidurnya, (43%) tidak
puas dengan aktivitas merasa
kesehatanya sangat buruk.
Ketidakpuasan lansia terhadap tidur dan
kesahatannya itu akibatnya akan
mempengaruhi kualitas hidup lansia.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lansia yang mempunyai koping
maladaptif 89,5% mempunyai kualitas
hidup buruk dan responden yang
mempunyai koping adaptif sebanyak
71,4% mempunyai kualitas hidup yang
baik. Hasil analisis menggunakan uji
chi-square diperoleh Pvalue (0,000) <α
(0,05) dan nilai OR sebesar 21,5
sehingga bahwa koping maladaptif
lanjut usia saat ditinggal keluarga
berisiko menurunkan kualitas hidup
lansia
Penelitan tersebut sejalan dengan
penelitian (Sutikno, 2010)
menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan positif yang sangat kuat
antara fungsi keluarga dan kualitas
hidup lansia. Halawa (2013)
mengungkapkan lanjut usia yang
ditinggal keluarga akan mengakibatkan
lansia kesulitan menyelesaikan masalah
atau kegiatan sehari-hari, seperti
permasalahan yang berasal dari aspek
sosial dan aspek psikologis atau
emosional.
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
1416
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Responden dalam penelitian berusia
antara 74 - 90
2. Jenis kelamin responden didominasi
oleh perempuan
3. Responden sebagain besar memiliki
koping maladaptif
4. Responden sebagian besar memiliki
kualitas hidup buruk.
5. Koping lansia saat ditinggal keluarga
berisiko menurunkan dengan kualitas
hidup lanjut usia
VII. SARAN
1. Bagi lanjut Usia
Lanjut usia sebaiknya lebih sering
untuk berinteraksi dengan lingkungan
sekitar agar tidak mengalami
kejenuhan
2. Bagi Perawat Komunitas
Perawat komunitas sebaiknya
memodifikasi program kegiatan
posyandu sehingga dapat
meningkatkan intensitas pertemuan
kader dan lanjut usia.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya sebaiknya
melanjutnya menelitian ini dengan
memberikan treatment agar kualitas
hidup lanjut usia dapat ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bandiyah, S 2009, Lanjut usia dan
keperawatan gerontik, EGC, Jakarta.
Hurlock, E. (2004). Psikologi Perkembangan.
Erlangga. Jakarta
Koentjoro, S, Z 2002, Dukungan sosial pada
lansia, http://www.e-
psikologi.com/usia/160802.html, Diakses
tanggal 13 Maret 2015
Maryam, 2008. Mengenal Usia Lanjut dan
Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Nofitri, NFM.2009. Gambaran Kualitas
Hidup Penduduk Dewasa Pada Lima Wilayah
Di Jakarta. Skripsi. www.
lib.ui.ac.id/file?file=digital/125595-
155...%20Gambaran%20kualitas%20-
%20HA. Diakses 6 juni 2015.
Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan
Gerontik dan Geriatri Ed.3.EGC. Jakarta
Nurfita, Eva, (2007), Mekanisme Koping
Pasangan Infertilitas Di kecamatan Singkil
Kabupaten Aceh Singkil, Universitas
Sumatra Utara, Medan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456
789/14288/1/08E00730.pdf . Diakses 10 Juni 2015
Putri, D.P., Zulfitri, R., Karim, D (2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kecemasan pada lansia di Kelurahan Lembah
Sari Rumbai Pesisir.
http://repository.unri.ac.id/bit strea
m/123456789/1883/1/jurnal.pdf. diakses pada
28 Juni 2015
Salim, O.C, Sudharma, NI, Kusumaratna,
R.K, & Hidayat, A (2007). Validitas dan
Reabilitas World Health Organization Quality
of Life-BREF untuk mengukur kualitas hidup
lanjut usia.
Sekarwiri.2008. Hubungan antara Kualitas
Hidup da Sense Of Community Warga Daerah
Rawan Banjir DKI Jakarta. Skripsi.
Universitas Indonesia
Sutikno, Ekawati. 2010. Hubungan fungsi
Keluarga Dengan Kualitas Hidup Lansia.
Tesis. Universitas Sebelas Maret
Stuart & Sundeen, 2007. Buku Saku
Keperawatan Jiwa. (Edisi 5). Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Stanley, M. (2007). Buku Ajar Keperawatan
Gerontik Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta
THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta
1417
WHO (1998) The World Healt Organization
Quality Of Life (WHOQOL)-BREFF 1998.
Diakses 14 Maret 2015
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia
Papalia, D. E., Old, S. W., & Feldman, R. D.
(2009). Human development: Perkembangan
manusia. (Vol. 2). Salemba Humanika. Jakrat
Ratna. Cahyawati. 2010. Perbedaan Makna
Hidup Pada Lansia Yang Tinggal Di Panti
Werdha Dengan Yang Tinggal Bersama
Keluarga.
http://psychology.uii.ac.id/images/stories/jad
wal_kuliah/naskah-publikasi-00320144.pdf.
Diakses 5 Novemner 2014