KONTRIBUSI KHDTK TERHADAP SMART - FORDA - … · KHDTK riam kiwa sebagai tempat penggembalaan,...

43

Transcript of KONTRIBUSI KHDTK TERHADAP SMART - FORDA - … · KHDTK riam kiwa sebagai tempat penggembalaan,...

LANSEKAP:KONTRIBUSI KHDTK TERHADAP SMART SILVIKULTUR ......................................................... 4

FOKUS:SAATNYA BERPIKIR HUTAN BUKAN HANYA KAYU ..................................................... 24

FOKUS: JASA LINGKUNGAN HUTAN SEPENGGAL BAGIAN DARI SMART SILVIKULTUR ..................... 29

LINTAS PERISTIWA ................................... 33

ARTIKEL:MIKROHIDRO: LESTARI HUTANKU, TERANG DESAKU ............................................... 34

ARTIKEL:INOVASI INDUSTRI ROTAN KALIMANTAN .................................................... 37

BERITA:ALTEK, SARANA KOMUNIKASI BALAI DENGAN PENYULUH KEHUTANAN ...................... 43

LANSEKAP:PROSPEK, TANTANGAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN ROTAN JERNANG DI KALIMANTAN SELATAN ..................................... 7

PROFIL:MADROJI, SANG PENYELAMAT LINGKUNGANDARI MANGKAOK ................................................ 12

FOKUS:PERKEMBANGAN PARADIGMA SILVIKULTUR DI MASA PEMBENTUKAN KPH ............................. 14

FOKUS:SMART SILVIKULTUR BERBASIS BIOTEKNOLOGI .................................................. 20

5BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Paradigma pengelolaan hutan dan kehutanan dari masa ke masa sangat dinamis namun tetap berpijak pada satu tujuan yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai yang

diamanatkan UUD 1945. Hutan merupakan faktor penting dalam lingkungan hidup maka kelestariannya sangatlah mutlak sehingga pemanfaatannya harus bijak. Dalam beberapa era di negeri ini terus dilakukan pembenahan dalam hal pengelolaan hutan dan kehutanan untuk mewujudkan “ Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera”. Pemerintah dalam hal ini kementerian kehutanan telah menerapkan berbagai sistem pengelolaan hutan seperti TPI, TPTI, TPTJ, TR, Silin dan MSS. Namun pada kenyataanya kerusakan hutan semakin parah dan masyarakat sekitar

hutan masih banyak yang miskin. Apa yang salah dari sistem pengelolaan hutan kita?

Saat ini muncul sistem SMART SILVIKULTUR yang diharapkan dapat memberi solusi bagi berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan. Apa itu SMART SILVIKULTUR ? Berdasarkan arti dari katanya adalah ilmu dan seni dalam mengelola hutan secara cerdas dan bijak yaitu mampu memandang hutan dan menggali potensinya dari seluruh aspek dan unsurnya yang merupakan suatu kesatuan biologis sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan lebih optimal. Hal-hal yang terpenting dalam pengelolaan hutan adalah: Sustainable atau berkelanjutan yaitu sejauh mana kita dapat mengelola sumber daya hutan dalam jangka panjang dan terus berkembang. Most beneficial atau yang paling menguntungkan yaitu kita harus dapat memilih potensi mana dari sumber daya hutan yang paling menguntungkan baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya sehingga pengelolaan hutan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Artistic and Creative atau seni dan kemampuan mencipta yaitu kita dituntut untuk terus berkarya dan berinovasi

KONTRIBUSI KHDTK TERHADAP SMART SILVIKULTUROleh: Edi Suryanto, Eko Priyanto, Mukhlisin dan Riswan Ariani

Hutan sebagai penyedia air (KHDTK Kintap)

6 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Mukhlisin

untuk menggali dan menemukan potensi baru berserta metode pengelolaanya yang lebih bermanfaat. Relevant yaitu kesesuaian antara seni mengelola hutan yang kita gunakan dengan kebutuhan atau tren yang berkembang di masyarakat sehingga akan terjalin hubungan yang erat antara hutan, kehutanan dan masyarakat. Trustworthy atau terpercaya yaitu seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan hutan dilakukan dengan jujur dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun moral di masyarakat.

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru sebagai institusi riset di bawah Kementerian Kehutanan memiliki 4 (empat) Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang bertujuan untuk menunjang berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan kehutanan. Ke empat KHDTK tersebut memiliki karakteristik dan kondisi biofisik yang khas. KHDTK Tumbang Nusa dengan rawa gambutnya, KHDTK Kintap dengan Hutan alamnya, KHDTK Riam Kiwa dengan lahan alang-alangnya dan KHDTK rantau dengan berbagai tipe tutupan lahan dan potensi batubara yang terkandung di dalamnya. Sebagai suatu kawasan hutan yang berdampingan dengan masyarakat, konflik kepentingan akan lahan pasti terjadi di KHDTK sehingga dalam pengelolaannya perlu dilakukan secara cerdas dan bijak (SMART SILVICULTURE).

Konstribusi EkologisSebagai suatu kawasan hutan sudah barang tentu

KHDTK dapat memberikan manfaat secara ekologis bagi masyarakat yaitu udara yang segar dan air. Sebagai areal yang dikelilingi tambang batu bara KHDTK Rantau mem-berikan manfaat langsung berupa udara segar dan sejuk bagi para pengguna jalan yang melintasinya, karena bagi warga Kecamatan Piani apabila pergi dan pulang dari kota Rantau maka akan melewati dua lokasi yang berbeda yaitu lokasi tambang dan hutan penelitian (KHDTK).

Begitu pula yang terjadi di KHDTK Tumbang Nusa yang masih memiliki hutan sekunder yang belum pernah terbakar. Padahal di setiap musim kemarau lahan gambut eks sejuta hektar ini rawan terbakar terutama di kiri dan kanan sepanjang jalan dari desa Tumbang Nusa menuju ibukota Palangkaraya. Setiap pengguna jalan yang melintas dapat merasakan udara segar dan hutan yang asri.

Untuk KHDTK Riam Kiwa dan Kintap manfaat ekologis yang paling menonjol adalah air karena KHDTK ini merupakan hulu dari sungai-sungai yang berperan sangat vital bagi masyarakat sekitar untuk keperluan air bersih dan MCK sepanjang tahun. Manfaat ekologis lain yang dimiliki keempat KHDTK di atas adalah dari keanekaragaman flora dan fauna yang menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai kalangan masyarakat seperti halnya tumbuhan obat, madu, anggrek, burung, tegakan hutan dll.

Konstribusi Sosial dan EkonomiSebagai bahan pertimbangan saat pertama kali

membentuk KHDTK selain kondisi ekosistem dan bentang lahan juga faktor sosial ekonomi masyarakat sekitar. Keberadaan KHDTK sedapat mungkin diterima dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru memiliki empat KHDTK dengan kondisi bentang lahan dan sosial budaya masyarakat yang berbeda sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula. Kontribusi terhadap sosial ekonomi masyarakat sekitar KHDTK diantaranya adalah berupa alih teknologi hasil-hasil penelitian dan advis teknis untuk membantu masyarakat membuka wawasan mengenai berbagai macam ekonomi kehutanan.

Selain itu di semua KHDTK sering digunakan untuk berbagai kegiatan masyarakat seperti perkemahan pramuka, praktikum, wisata alam, penelitian skripsi

Pencari kangkung di KHDTK Rantau Beje, kandang kambing di atas kolam ikan di KHDTK Tumbang Nusa.

7BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Edy Suryanto Riswan Ariani

Hasil Hutan Bukan Kayu Tegakan hutan (KHDTK Riam Kiwa)

dan tesis. Bahkan di KHDTK Rantau dua tahun terakhir sering dipergunakan sebagai lokasi syuting acara film televisi lokal. Selama ini KHDTK juga sebagai sumber penghidupan masyarakat setempat. Sebagai contoh KHDTK Kintap masyarakat menggantungkan penghasilan sehari-hari sebagai pencari limbah tebangan ulin. Di KHDTK riam kiwa sebagai tempat penggembalaan, lebah

Kegiatan praktikum di KHDTK rantau

untuk mempererat hubungan antara keduanya yang secara otomatis akan meminimalisir potensi konflik. Pemerintah melalui Permenhut Nomor P.39/Menhut-II/2013 tanggal 16 juli 2013 mewajibkan setiap pengelola hutan (BUMN/BUMD/KHDTK), pemegang izin dan KPH melaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan kehutanan sehingga“ Hutan Lestari dan Masyarakat sejahtera“ dapat dicapai. Pelaksanaan kemitraan kehutanan dengan SMART Silvikultur diharapkan dapat menjadi solusi segala permasalahan yang ada di KHDTK.

madu dan penghasil empon-empon. Di KHDTK Rantau sebagai tempat mencari lebah madu dan sayur kangkung yang tumbuh secara alami. Di KHDTK Tumbang Nusa keberadaannya sangat berarti bagi para pencari kulit kayu gemor.

Harapan pengembangan smart silvikultur di KHDTK pada masa mendatang

Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk maka kebutuhan akan lahan garapan semakin meningkat maka setiap KHDTK akan dihadapkan dengan permasalahan yang sama yaitu kepemilikan lahan. Apabila pengelolaan KHDTK masih dilaksanakan secara eksklusif maka akan dapat dipastikan potensi konflik yang akan timbul semakin besar. Dengan demikian perlu dilakukan segera kemitraan kehutanan antara pengelola hutan dengan masyarakat

8 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Edy

Sury

anto

Edy Suryanto Edy Suryanto

Eko

Priy

anto

Buah Rotan Jernang

PENDAHULUAN

Hutan di Indonesia merupakan hutan tropika yang memiliki biodiversitas yang tinggi. Hutan juga menjadi penyangga dan berperan penting dalam kehidupan.

Selain itu hutan juga memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian yaitu sebagai sumber devisa negara dan kesejahteraan masyarakat. Pengusahaan hutan alam produksi dengan sistem konsesi hutan di satu pihak telah memberikan kontribusi penting terhadap peningkatan devisa dan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi di lain pihak mengakibatkan terjadinya degradasi hutan secara drastis. Hal ini terbukti banyaknya terjadi kerusakan hutan di berbagai tempat yang mencapai 1,6 -2,0 juta hektar/tahun (FAO, 2000). Di samping itu adanya pihak-pihak yang memanfaatkan kawasan hutan untuk berbagai kepentingan, misalnya kegiatan perkebunan karet, kelapa sawit dan HTI menyebabkan semakin sulitnya memperoleh jenis-jenis unggulan lokal yang sesungguhnya memiliki nilai ekonomis yang tinggi dalam dunia perdagangan.

PROSPEK, TANTANGAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN ROTAN JERNANGDI KALIMANTAN SELATANOleh: Sudin Panjaitan

Salah satu dari jenis unggulan asli setempat yang saat ini menjadi buruan masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri diantaranya adalah rotan Jernang, yang dapat menghasilkan getah untuk berbagai kegunaan. Jernang merupakan buah rotan yang menghasilkan produk berupa getah. Produk getah telah dikenal sejak masa kolonial Belanda telah diketahui bahwa getah Jernang yang lebih dikenal dengan istilah “darah naga” dimana dalam dunia perdagangan internasional dikenal dengan nama “dragon blood” (Permenhut,2007) dan http://gisjernang.blogspot.com/2012/10/mengenal-rotan-jernang-daemonorop-sp.html).

Purwanto (2005) di dalam Nugroho (2011) mengatakan bahwa getah Jernang memiliki multiguna diantaranya untuk bahan baku pewarna vernis, obat-obatan, anti racun, bahan baku lipstick dan pembeku darah akibat luka. Getah jernang merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) sejenis rotan yang dapat diambil dari kulit buah jernang. Di dalam getah jernang mengandung senyawa dracoresen (11 %), draco resinolanol (56 %), draco alban (2,5 %)

9BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

http.jeernang.blogspot.com

dan sisanya asam bensoat dan asam bensolaktat. Jenis rotan yang mampu memproduksi resin jernang adalah Daemonorps draco, D. micracantha, D. didymophylla, dan D. mattanensis ( Nugroho, 2010).

Getah jernang pada umumnya digunakan sebagai campuran obat diare, disentri dan pembeku darah akibat luka, bahan baku pewarna porselin, pewarna marmer, bahan penyamakan kulit, bahan baku lipstick. Penyebaran jernang di Indonesia terdapat di Pulau Sumatera (Jambi, pedalaman Riau) dan pulau Kalimantan. Disinyalir jernang hanya terdapat di tiga negara di dunia yaitu India, Malaysia dan Indonesia, akibatnya getah jernang memiliki nilai harga sangat mahal.

Getah jernang yang dihasilkan dari buah rotan jernang telah diperdagangkan sejak lama untuk tujuan ekspor, paling tidak telah tercatat dalam data ekspor sejak tahun 1918. Pada saat itu, daerah pelabuhan utama ekspor getah jernang adalah pelabuhan Pontianak (Kalimantan Barat), Belawan (Medan), Palembang (Sumatera Selatan), Jambi (Jambi), Tanjung Balai dan Bagan Siapi-api (Riau), dengan tujuan ekspor Malaysia dan Singapura (Januminro, 2000). Selanjutnya disebutkan getah jernang di ekspor ke berbagai negara yaitu ke China, Thailand, Singapura, Hongkong dimana negera tersebut membutuhkan getah jernang lebih dari 400 ton/tahun. Sementara Indonesia saat ini mampu mengekspor getah jernang sebanyak 27 ton per tahun dan produksi tersebut sebagian diperoleh dari buah jernang dari hutan alam (Pasaribu, 2005).

Getah jernang memiliki nilai jual cukup tinggi di tingkat lokal dengan harga jual berkisar antara Rp 350.000- Rp 500.000 per Kg dan di pada Tahun 2003-2005 harga mencapai Rp 900.000,- sampai Rp 1.200.000,. Permintaan di pasar internasional juga relatif stabil dengan konsumen terbesar adalah China, Hongkong dan Singapura. (http://gisjernang.blogspot.com/2012/10/mengenal-rotan-jernang-daemonorop-sp.html).

SIFAT BOTANIS ROTAN JERNANGKlasifikasi ilmiah rotan Jernang sebagai berikut :

No. Klasifikasi Nama Ilmiah1 Ordo Arecales2 Famili Arecaceae3 Upfamili Calamoideae4 Genus Daemonorops5 Species Daemonorps draco (Willd.) Bl.

Untuk nama lokalnya bermacam-macam yaitu: Jernang Besar, Jernang Beruang Dan Jernang Kuku (Sumatera Selatan); Getik Badak (Jawa Barat); Getik Warak

(Jawa Tengah).Penyebaran rotan jernang besar tidak luas, hanya

dijumpai di semenanjung Malaya dan Sumatera. Secara alami, rotan ini tumbuh di dataran rendah dalam hutan meranti pada ketinggian 300m dpl. Rotan ini tumbuh memanjat dan membentuk rumpun. Pembiakannya terjadi melalui biji dan tunas yang tumbuh pada pangkal batang.

Di Kalimantan Selatan rotan jernang dijumpai di beberapa daerah diantaranya di Hinas Kiri, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Propinsi Kalimantan Selatan dan di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.

Morfologinya bisa dijelaskan sebagai berikut : batang yang sudah kering dan telah dirunti berwarna coklat kekuning-kuningan dan mengkilat sedangkan bagian tengah batang berwarna putih. Batang rotan ini memiliki diameter kurang lebih 12 mm dan panjnag ruas 18 – 35 cm. Daunnya termasuk daun majemuk menyirip, dengan anak daun berbentuk lanset seperti putat. Di permukaan atas anak daun dan tulang anak daun tumbuh duri-duri halus. Duduk anak daun berhadapan, berjumlah banyak, dan berwarna coklat kekuning-kuningan. Bunganya berbentuk malai dan tersusun dalam tandan. Tandan ketika masih kuncup diselubungi seludang berbentuk perahu dan di luar seludang tumbuh duri-duri. Buah

Getah jernang yang dihasilkan dari buah rotan jernang telah diperdagangkan sejak lama untuk tujuan ekspor

Buah rotan jernang yang telah dipetik dari pohon rotan jernang

10 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

jernangku.blogspot.com

yang masak berbentuk bulat, berwarna coklat kemerah-merahan, dan berbiji tunggal. Melalui biji-biji inilah, rotan jernang dewasa berkembang biak. Buahnya banyak mengandung resinotanol sehingga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat sakit mules. Batangnya dimanfaatkan untuk bahan furnitur, sedangkan getah buahnya dimanfaatkan untuk bahan pewarna dan bahan industri farmasi (Januminro, 2000).

Rotan jernang tergolong tanaman tahunan dimana tampak bahwa musim berbuah satu kali dalam satu tahun. Panen buah pertama/perdana pada umumnya terjadi pada bulan Agustus setiap tahunnya, sedangkan panen kedua yang sering disebut panen selang terjadi pada bulan Desember setiap tahunnya (Elwamendri, et al, 2008). Rotan Jernang di Kalimantan Selatan berbuah pada bulan September setiap tahunnya dan panen buah pada bulan Desember setiap tahunnya.

Rotan jernang termasuk salah satu tanaman penyusun hutan tropika Indonesia, sehingga tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh (tapak) yang khusus. Ketika rotan tersebut telah mendapat intensitas cahaya yang cukup, maka pertumbuhan dapat mencapai lebih dari 5 m/tahun, sedangkan bila berada pada tapak yang tidak mendapat intensitas cahaya cukup, maka pertumbuhan batang hanya 1 – 1,5 m/tahun (Januminro, 2000). Karakteristik habitat rotan jernang yang dikatakan sesuai untuk meningkatkan pertumbuhan batang adalah memerlukan intensitas cahaya 182 – 2.180 lux, dengan suhu tanah antara 23,4 – 31,90 C, kelembaban tanah antara 55 – 62%, suhu udara antara 23 – 29,40 C, kelembaban udara 60 – 92%, dan ketinggian tempat 66 – 403 m dpl (Nugroho, dkk., 2010). Menurut Sumarna (2009) mengatakan bahwa kondisi optimal dalam pengembangan budidaya rotan jernang pulut yakni

ROTAN JERNANG BESAR

NAMA ILMIAHDaemonorops draco Blume NAMA LOKAL

jernang besar, jernang beruang dan jernang kuku (Sumatera Selatan); getik badak (Jawa Barat); getik warak (Jawa Tengah). PENYEBARAN

Penyebaran rotan jernang besar tidak luas, hanya dijumpai di semenanjung Malaya dan Sumatera. Secara alami, rotan ini tumbuh di dataran rendah dalam hutan meranti pada ketinggian 300 mdpl. Rotan ini tumbuh memanjat dan membentuk rumpun. Pembiakannya terjadi melalui biji dan tunas yang tumbuh pada pangkal batang. MORFOLOGI

Batang yang sudah kering dan telah dirunti berwarna coklat kekuning-kuningan dan mengkilat sedangkan bagian tengah batang berwarna putih. Batang rotan ini memiliki diameter kurang lebih 12 mm dan panjnag ruas 18 – 35 cm.

Daunnya termasuk daun majemuk menyirip, dengan anak daun berbentuk lanset seperti pitat. Permukaan atas anak daun dan tulang anak daun tumbuh duri-duri halus. Duduk anak daun berhadap-hadapan, berjumlah banyak, dan berwarna coklat kekuning-kuningan.

Bunganya berbentuk malai dan tersusun dalam tandan. Tandan ketika masih kuncup diselubungi seludang berbentuk perau dan di luar seludang tumbuh duri-duri.

Buah yang masak berbentuk bulat, berwarna coklat kemerah-merahan, dan berbiji tunggal. Dengan biji-bijinya inilah rotan jernang besar membiakan diri. Buahnya banyak mengandung resinotanol sehingga banyak dimanfaatkan oleh rakyat untuk obat sakit murus. Batangnya dimanfaatkan untuk bahan furnitur, sedangkan getah buahnya dimanfaatkan untuk bahan pewarna dan bahan industri farmasi.

 GETAH JERNANGGetah jernang yang dihasilkan dari buah rotan jernang

telah diperdagangkan sejak lama untuk tujuan ekspor, paling tidak telah tercatat dalam data ekspor sejak tahun 1918. Pada saat itu, daerah pelabuhan utama ekspor getah jernang adalah pelabuhan Pontianak (Kalimantan Barat), Belawan (Medan), Palembang (Sumatera Selatan), Jambi (Jambi), Tanjung Balai dan Bagan Siapi-api (Riau), dengan tujuan ekspor Malaysia dan Singapura.

KARAKTERISTIK HABITAT ROTAN JERNANGRotan jernang yang untuk dapat menghasilkan getah

diperlukan proses ekstraksi buah. Buah yang dikatagorikan siap panen adalah berwarna coklat kehitam-hitaman. Jenis rotan yang dapat memproduksi jernang terdiri dari 12 jenis yakni : 1) Daemonorops acehensis, 2) Daemonorops brachystachys, 3) D. didymophylla, 4) D. draco, 5) D. dracuncula, 6) D. dransfieldii, 7) D. maculate, 8) D. micracantha, 9) D. rubra, 10) D. siberutensis, 11) D. uschdraweitiana, dan 12) Daemnorops sekundurensis (Purwanto, dkk., 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa kandungan senyawa kimia dari rotan jernang yaitu 5,7-Dihydroxy-6-methylflavan, 7-hydroxy-5-methoxyflavan, Dracoflavan A,5,5’,7,7’-Tetrahy-droxy-4,8’-biflavan, Dracoflavan B1, Dracoflavan B2, Dracoflavan C, Dracoflavan C1, Dracoflavan C2, Dracoflavan D1, Dracoflavan D2, Dracooxepine, Dracorubin, Nordracorubin, 12-Ursene-3,38-diol.

11BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

https://deslisumatran.wordpress.com

pada suhu udara 22 – 320 C, kelembaban sekitar 81%, dan intensitas cahaya matahari 56% dengan curah hujan 1.450 – 2.000 mm per tahun. Rotan jernang tidak cocok dikembangkan pada daerah dengan curah hujan di atas 2.000 mm per tahun, sebab dapat menghambat pembungaan. Selanjutnya dikatakan tanaman ini tumbuh baik pada curah hujan antara 1.000 – 1.500 mm per tahun (Sumarna, 2011). Selanjutnya dikatakan bahwa rotan jernang dapat tumbuh optimal pada tanah yang memiliki tekstur geluh lempung pasiran dan kesuburan tanahnya relatif rendah dengan kandungan C organic, N, C/N, P, KTK, K, Ca, Mg, Na, Kejenuhan basa, Kejenuhan Al yang rendah dan kemasaman yang tinggi.

TANTANGAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA ROTAN JERNANG KEDEPAN

Dalam upaya pengembangan budidaya rotan jernang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya yakni : 1) Dalam memastikan buah jernang apakah siap panen atau belum, misalnya dari segi warna buah, 2) Teknik

pengunduhan buah, seleksi dan penyimpanan sebelum penaburan di bak tabur, 3) teknik proses pemisahan kulit dengan buah, 4) Media tabur yang sesuai, 5) Media sapih yang tepat, 6) teknik pemeliharaan bibit, 7) Penilaian bibit siap tanam, 8) Jenis pohon panjatan sebelum dilakukan penanaman, dan 9) Teknik pemanen buah yang tepat. Untuk itu perlu segera dikuasasi teknik budidaya rotan jernang agar lestari jenis dan produksinya.

PENUTUP Getah Jernang memiliki multiguna diantaranya

untuk bahan baku pewarna vernis, obat-obatan, anti racun, bahan baku lipstick dan pembeku darah akibat luka. Getah jernang merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) sejenis rotan yang dapat diambil dari kulit buah jernang.

Rotan jernang dapat tumbuh optimal pada tanah yang memiliki tekstur geluh lempung pasiran dan kesubran tanahnya relatif rendah.

Rotan Jernang yang berbuah.

12 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

aris

adw

iindr

iyan

i.blo

gspo

t.com

Perlu segera dikuasai teknik silvikultur rotan jernang mulai dari teknik pengunduhan buah, teknik penaburan, media yang digunakan, teknik penyapihan, pemeliharaan di persemaian, persiapan lahan termasuk pemilihan pohon panjatan, teknik penanaman ( jarak tanam), teknik pemeliharaan dan teknik pemanenan buah.

BAHAN BACAANFAO, 2000. The Global Forest Resources Assesment 2000.

Rome Italy. Summary Report.Flwamendri, F. Lambok, dan Hendryanto, 2008. Studi Tata

Niaga Jernang di Propinsi Jambi. Kerjasama antara Sumatra Sustainable Support dengan Yayasan Gita Buana Jambi.

Januminro, C.F.M., 2000. Rotan Indonesia: Potensi, Budidaya, Pemungutan, Pengolahan, Standar Mutu dan Prospek Pengusahaan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Nugroho, A.W., 2010. Informasi Sebaran, Persyaratan tumbuh, dan Variasi Rotan Jernang di Jambi

Rotan Jernang

Rotan Tanah

Untuk Mendukung Konservasi Sumberdaya Genetik. Prosiding Temu Ilmiah Konservasi Sumber Daya Genetik Hutan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, 8 Desember 2010. Peran Strategis Konservasi Sumberdaya Genetik Hutan dalam Mendukung Program Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. P. 70 – 78.

Nugroho, A.W., 2011. The Study of Potency and Cultivation Rattan Jernang in Jambi. Prosiding Seminar International “Strategies and Challenges on bamboo and potential non timber forest products management and utilization, Bogor 23-24 Nopember 2011. P. 323-331.

Nugroho, A.W., 2011. Rotan Jernang : Tanaman Unggulan dalam Agroforestri. Prosiding Seminar hasil penelitian. Introduksi tanaman kayu pertukangan di lahan masyarakat melalui pembangunan hutan tanaman pola campuran,Musi Rawas, 13 Juli 2011.

Pasaribu, H., 2005. China Butuh 400 ton jernang rotan dari Indonesia. www.kapanlagi.com. Diakses 1 Desember 2010.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

Purwanto, Y., R. Polosakan, S. Susiarti, dan E.B. Walujo, 2005. Ekstraktivisme Jernang (Daemonorops spp.) dan Kemungkinan Pengembangannya: Studi Kasus di Jambi Sumatera Indonesia. Laporan Teknik. Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI.

Sumarna, Y., 2009. Ekologi dan Teknik Perkecambahan dan Pembibitan Rotan Jernang pulut (Daemonorops draco). Info hutan. Vol. VI No. 1. Hal 31 – 39. Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Konservasi Alam, Bogor.

Sumarna, Y., 2011. Panen jernang di Pekarangan, Hal, 138 -139. Trubus 494-Januari 2011.

http://gisjernang.blogspot.com/2012/10/mengenal-rotan-jernang-daemonorop-sp.html. 2012. Mengenal Rotan Jernang (Daemonorops sp.). Diakses, 8 Juli 2014.

https://deslisumatran. Wordpress.com/2013/12/20/rotan-jernang-besar/#more-999. 2013. Rotan Jernang Besar. Diakses, 8 Juli 2014.

ht tp : / /www.hu lusunga i tengahkab .go . id/ index .php?option=com. Sekilas Tentang Getah jernang. Diakses, 9 Juli 2014.

13BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Pada tanggal 5 Juni 2013, dalam rangka Hari lingkungan Hidup Sedunia, MADROJI mendapat penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Prof.

Dr. Balthasar Kambuaya,MBA. Kelompok Tani Alam Subur yang diketuainya dari tahun 2007 masuk sebagai nominasi penerima KALPATARU kategori Penyelamat Lingkungan.

Madroji dengan Kelompok Tani Alam Subur yang berada di Jl.Balai Madu, RT. 04 RW. 02 Desa Mangkauk Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan benar-benar serius merubah lingkungan desanya yang merupakan eks lahan tambang batubara. Upayanya berhasil meningkatkan pemahaman masyarakat tentang rehabilitasi dan konservasi tanah. Lingkungan pun berubah, pada musim hujan tidak lagi

banjir dan musim kemarau tidak lagi kekurangan air.Berbagai penghargaan telah diraih oleh Ayah dari

4 orang anak ini, diantaranya sebagai Kader Usahatani Menetap (KANITAP) Tingkat Nasional Tahun 1999 dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan Dr.Ir. Nur Mahmudi Isma’il, MSc. APM. Bupati Banjar Award tahun 2011 menobatkannya sebagai orang yang berpartisipasi dan berkomitmen dalam pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten Banjar.

Kesuksesannya inilah yang menarik untuk kami gali. Bagaimana dan apa saja perjuangan serta tantangan yang dihadapinya, berikut petikan wawancara tim redaksi Bekantan dalam kunjungannya di BPK Banjarbaru bulan Oktober 2014.

SANG PENYELAMAT LINGKUNGAN DARI MANGKAOK

MADROJI

14 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Sejarah atau kondisi lahan di desa Mangkaok dulu seperti apa, Pak?

Kondisi saat itu sangat gersang, tanah yang tidak subur, karena memang tanah eks tambang batubara.

Prosesnya sehingga menjadi nominasi untuk mendapatkan Kalpataru?

Awalnya saya menjadi ketua kelompok tani, dari situ datanglah penyuluh kehutanan dan pertanian yang memberikan bimbingan untuk menjadi petani menetap. Dibuatlah satu plot hutan rakyat 25 Ha yang terdiri dari tiga kegiatan pertama rehabilitasi lahan, disana ditanam tanaman kehutanan seperti akasia, trembesi, jati, johar, mahoni, karet, sengon, jabon, sungkai dan ketapang selain tanaman kayu, saya juga menanam gulinggang yang laku dijual sebagai tanaman obat.

Kedua, Konservasi Tanah, kegiatan yang dilakukan adalah pembangunan teras gulus, teras bangku, SPA dan Dam penahan. Ketiga, Aneka Usaha produktif seperti budidaya nilam dan singkok. Yang sampai sekarang terus kami jalankan dan pelihara. Setiap ada pelatihan untuk kelompok tani baik dari kehutanan dan pertanian saya ikuti, dari informasi yang didapat itulah saya tertarik untuk terus belajar dan mengaplikasikannya dalam plot kami. Berkat informasi dan bimbingan dari para penyuluhlah saya terus semangat. Alhamdulillah usaha saya dan teman-teman berhasil merubah lahan yang gersang menjadi lahan yang subur berkat penggunaan pupuk kompos, dan datanglah tim survey dari kementerian lingkungan hidup ke plot hutan rakyat kami dan akhirnya dapat nominasi tersebut.

Apa yang memotivasi Bapak dan masyarakat di sana membangun hutan rakyat?

Motivasi saya bukan hanya dari sisi keuntungan berupa materi, tapi yang terpenting adalah lingkungan kami yang terjaga. Dengan banyaknya tanaman hutan, dibuatnya terrasering untuk lahan yang agak curam, menggunakan pupuk kompos yang didapat dari sisa serasah yang ada. Hasilnya tanahpertanian kami subur,ketika musim hujan kami tidak kebanjiran dan

musim kemarau air tetap tersedia.

Apa suka duka dalam merehabilitasi lahan tersebut?

Ya ..pastinya ada yang mencemooh, “ngapain susah-susah buat pupuk kompos, tinggal beli aja pupuk kimia beres!...Tapi saya tetap terus lakukan dan terbukti sampai sekarang plot tersebut tetap terjaga kesuburannya dibandingkan dengan lahan yang menggunakan pupuk kimia. Saya buat terrasering awalnya ada saja yang meremehkan... namun setelah melihat dan merasakan manfaatnya, masyarakat akhirnya bisa menerima.

Apa tanggapan masyarakat terhadap kegiatan Bapak?

Ada yang setuju ada juga yang tidak. Namun Alhamdulillah sekarang banyak dukungan

dari masyarakat sekitar dengan bentuk mereka mengikuti apa yang saya

lakukan. Informasi yang saya dapatkan dari pelatihan saya

aplikasikan dan mereka melihat hasilnya akhirnya mengikuti. Dari tahun 1985 saya terus belajar, baru tahun 1990 an masyarakat membuktikan dan akhirnya mengikuti.

Apa yang motivasi Bapak untuk terus

belajar sampai jenjang S2 di Kehutanan?

Dengan belajar lah saya bisa tahu segala hal. Saya hanya lulusan

Madrasah Ibtidaiyah kemudian ikut Kejar paket B dan C saja sampai setingkat SMA,

kemudian sekolah S1 di Universitas Tri Tunggal Surabaya. Karena banyak kenalan dengan dosen-dosen kehutanan dalam pelatihan maka saya tertarik untuk mendalami lagi ilmu kehutanan. Semoga dengan ilmu tersebut saya bisa aplikasikan dalam hutan rakyat yang saya kelola.

Apa motto hidup Bapak?Terus Belajar untuk keluarga dan Masyarakat agar

lingkungan menjadi Sehat

Pesan Bapak untuk para rimbawan?Terus berjuang, jagalah hutan dan lingkungan demi

anak cucu kita.

15BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

PENDAHULUAN

Silvikultur sebagai satu disiplin ilmu seni mengelola hutan, kini dituntut lebih berkembang dan meluas sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pengguna, melalui operasionalisasi

KPH. Jika pada awalnya silvikultur cukup berfokus pada bagaimana melestarikan dan meningkatkan produktivitas kayu di dalam hutan dengan cara melakukan manipulasi lingkungan, maka saat ini ruang lingkup silvikultur telah meluas ke arah teknik-teknik memerankan hutan sebagai komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan abiotiknya untuk bersinergi dengan aspek kesehatan manusia, makanan, ketersediaan air, produksi energi yang terbarukan, penghilangan rasa stres (rekreasi), mitigasi perubahan iklim, dan terus menerus memasok oksigen untuk bernafas manusia dan hewan. Di sisi lain, berubahnya iklim akibat terjadinya pemanasan global

juga telah menuntut hutan yang memiliki jenis-jenis pohon yang efektif dalam penyerapan gas rumah kaca. Meningkatnya kebutuhan manusia dalam berbagai aspek yang memerlukan lahan telah berakibat pada meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan. Dinamika paradigma silvikutur kini telah mengarah ke Smart Silviculture atau silvikultur cerdas atau bijak. Makna silvikultur cerdas dalam mengelola hutan saat ini adalah silvikulturis harus mampu menciptakan hutan untuk berbagai kepentingan. Jika kelompok manusia masih membutuhkan kayu dalam suatu tempat, maka hutan di areal tersebut lebih baik dikhususkan untuk produksi kayu sehingga teknik-teknik silvikulturnya masih bisa bertumpu pada silvikutur klasik yang mirip dengan ilmu agronomi dalam pertanian.Ketika kelompok manusia tidak lagi membutuhkan kayu dari hutan yang ada di daerahnya maka hutan tersebut dituntut untuk

PERKEMBANGAN PARADIGMA SILVIKULTUR DI MASA PEMBENTUKAN KPHOleh: Dr. Acep Akbar, M.P.E-mail: [email protected]

16 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

ww

w.d

zenm

arke

ting.

com

tetap berperan dalam menopang kebutuhan lainnya dari manusia. Silvikulturis harus mampu memerankan hutan untuk tujuan praktis. Ketika manusia saat ini mulai sadar bahwa konsep pembangunan single track principle (menjadikan ekonomi satu-satunya jalan menuju kesejahteraan) telah menghasilkan banyak kegagalan karena telah menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, kebodohan, dan kerusakan lingkungan. Kini muncul istilah baru dengan sustainable development growth (SDG). SDG yang dimaknakan sebagai bentuk triple track pembangunan dengan ciri mengembangkan track ekonomi, track sosial, dan track lingkungan secara berkelanjutan telah membuahkan apa yang disebut green economy. Di dalam Green economy yang paralel dengan sustainable development peran silvikultur tidak hanya berpokus ke mengelola kayu semata. Silvikulturis dituntut memanipulasi hutan untuk tujuan ekonomi, sosial, dan ekologi sehingga keberadaan hutan akan tetap dirasakan kebutuhannya oleh manusia. Tulisan ini membahas perkembangan awal makna silvukultur hingga ilmu terapan tersebut diperlukan saat bisnis melalui KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) dimulai tahun 2008.

SILVIKULTUR DALAM PERKEMBANGAN AWALFrederick S. Baker tahun 1950 mengatakan bahwa

“Seni silvikultur yang bijaksana dan fleksibel dapat dikembangkan di lapangan hanya oleh para praktisi yang memahami hutan sebagai kesatuan biologis”. Silvikutur sering disinggung sebagai ilmu yang mempelajari sifat dasar interaksi antara pohon/tumbuhan dengan lingkungannya. Ruang lingkup silvikultur secara perinsip meliputi ilmu yang mempelajari : pengelolaan hutan dan lahan liar (wildlands), klasifikasi hutan-hutan yang ada di dunia, komposisi hutan, struktur tegakan, dan klasipikasi pohon. Dalam mempelajari pohon, silvikultur juga membahas ekofisiologi pertumbuhan pohon,

perkembangan kambium batang, perkembangan pucuk dan tajuk, pembungaan, pembuahan dan produksi biji, serta pertumbuhan akar. Ruang lingkup tempat tumbuh hutan dibahas dalam ilmu silvikultur meliputi tanah, hidrologi, dan unsur hara, sedangkan dari aspek tegakan hutan dibahas tentang perlakuan-perlakuan penentuan kerapatan tegakan, dinamika tegakan, dan pertumbuhan tegakan. Silvikultur juga membahas bagaimana cara-cara memanipulasi hutan yang meliputi regenerasi hutan, perlakuan-perlakuan antara untuk memanipulasi struktur hutan, dan metode reproduksi pohon-pohon di dalam hutan. Silvikultur merangkum cara-cara mempermuda hutan secara alami dan buatan, serta memelihara tegakan sepanjang hidupnya. Silvikultur dapat dianalogikan dengan ilmu agronomi dan hortikultur di pertanian, karena silvikultur juga membicarakan cara-cara membudidayakan tumbuhan yang dalam hal ini adalah pohon-pohon hutan. Dalam pengertian lebih luas, silvikultur dapat disebut ilmu pembinaan hutan

Buah Samarusa dari hutan Kintap.

Rambutan hutan.

Umbi-umbian dari hutan.

17BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Acep Akbar

Acep Akbar

Acep Akbar

dengan ruang lingkup mulai dari pembijian, persemaian, penanaman di lapangan, pemeliharan hutan, dan cara-cara permudaannya.Teknik silvikutur yang menopang kegunaan hutan secara tidak langsung (intangible) telah menjadi fokus silvikutur yang modern.

BISNIS KPH MENJADI TARGET SASARAN SILVIKULTUR MODERN

Sejak tahun 2008 mulai diterapkan sistem pengelolaan hutan dari sistem pengelolaan hutan berbasis HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau IUPHHK dari swasta menjadi sistem pengelolaan hutan berbasis KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) oleh pemerintah sejak tahun 2008. Sistem ini menghasilkan tantangan baru dalam teknik menciptakan hutan untuk berbagai keperluan manusia. Perubahan sistem tersebut seperti tertuang dalam PP No.3 tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. KPH sebagai organisasi memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai penyelenggara manajemen pengelolaan hutan di tingkat tapak/lapangan, yang berbeda dengan tugas pokok dan fungsi dinas kehutanan yaitu hanya menyelenggarakan pengurusan/administrasi kehutanan. KPH sebagaimna diatur di dalam Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Setiap KPH dipimpin oleh Kepala KPH yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengelola hutan di wilayah yang dikelolanya. KPH dapat disebut sebagai satuan unit bisnis kehutanan yang dapat mendatangkan uang dari berbagai usaha yang mungkin bisa dilakukan. Jenis usaha KPH tidak terbatas sehingga menuntut adanya teknik memanipulasi hutan atau teknik silvikutur yang dapat memfasilitasi semua keperluan usaha dengan modal komunitas hutan. Komunitas hutan

sudah mencakup jenis tumbuhan dan hewan, tanah, dan iklim mikro yang berperan di dalamnya. KPH wajib kreatif karena tuntutan produknya tidak terbatas. Kepala KPH tidak bekerja di meja melainkan harus bersama dengan perusahaan. KPH mesti We do SDG, not just talk about it. Contoh : saat ini harus ada clustering ekonomi bambu sebagai hasil hutan bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan bambu Indonesia dan dunia. Kita kaya dengan jenis-jenis bambu tetapi keterampilan dan pengetahuan dalam memanfaatkan bambu masih belum menyamai negara Tiongkok. KPH Kaltim sekarang telah dapat menghasilkan kepiting 4 Milyar rupiah/tahun dari hutan mangrove. Kini komunitas hutan mangrove perlu dibuat tertata secara berkelanjutan (sustainable) baik secara alami maupun buatan. Segala faktor yang mempengaruhi keberlanjutan regenerasi hutan mangrove harus dipelajari. KPH Kapuas lebih berkonsentrasi kepada restorasi lahan gambut (peatland). Seiring upaya restorasi, jangan lupa dengan keberadaan tumbuhan Sarang Semut (ant nest) yang menjadi jenis HHBK berkhasiat obat prospektif yang terkenal di Eropa. Sarang semut merupakan tumbuhan obat untuk berbagai penyakit. KPH yang memiliki air panas harus mengusahakan adanya terapi mandi sauna dan natural shulfuric hot water. Di sini teknik silvikultur hutan lebih diarahkan untuk menata hutan dengan pengembangan jenis-jenis tumbuhan yang memiliki fungsi hidrologi dan estetika. KPH yang mengembangkan ternak lebah harus dibuat terapi lebah (disengatkan) sehingga teknik silvikultur yang dituntut adalah teknik pengelolaan tanaman pakan lebah agar lebah tidak migrasi ke tempat komunitas hutan lain. Selama ini hasil hutan bukan kayu (HHBK) belum tercatat di Badan Pusat Statistik (BPS) yang menandakan belum ada hasil berarti sehingga komoditi tersebut perlu dikembangkan lebih intensif. Konsep SMART Silviculture perlu ditegakkan

Gambar 1. Potensi Kepentingan Hutan Bagi Manusia Perlu didukung Silvikultur

18 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

(Gambar 1). Sistem baru harus mengembangkan prinsip tipe pemanfaatan s u m b e r d a y a lahan berbasis hutan dan ekosistem hutan. Untuk mencocokan tipe pemanfaatan lahan berbasis hutan diperlukan silvikulturis (Agus Setyarso.2014).

Dalam hubungan hutan dengan kemiskinan, silvikultur kini dituntut menciptakan teknik-teknik manipulasi lingkungan hutan untuk usaha: budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah madu, penangkaran satwa liar, dan budidaya hijauan makanan ternak. Khusus untuk hutan lindung yang potensial, usaha yang dapat dilakukan adalah : pemanfaatan jasa aliran air untuk penerangan dengan sistem mikro hidro, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, dan bisnis internasional dengan mengembangkan jenis-jenis tumbuhan yang paling efektif penyerap dan penyimpan karbon. Hasil penelitian Endes N Dahlan (2008) menyimpulkan bahwa tumbuhan yang berkemampuan tinggi dalam menyerap karbondioksida (CO2) adalah Trembesi (Samanea saman), Johar (Casia siamea), Kenanga (Cananga odorata), Pingku, Beringin (Ficus benjamina), Matoa (Pometia pinata), dan Mahoni (Swietenia macrophylla). Pengembangan jenis-jenis tersebut perlu mendapat perhatian dalam dunia silvikultur.

Saat ini telah terbentuk 120 KPH yang telah memiliki institusi pengelola, seluruhnya dalam bentuk UPTD Dinas Kehutanan, baik provinsi maupun Kabupaten. Namun demikian, organisasi tersebut belum sesuai dengan

yang diharapkan KPH sebagai pengelola hutan. Memposisikan Kepala KPH hanya setingkat Eselon IV nampak akan sulit bermitera dengan pejabat-

p e j a b a t pembina daerah dan para pengusaha. Padahal KPH layaknya berperan menghasilkan dana untuk mengembangkan pembangunan untuk kepentingan bangsa dan negara dari sektor kehutanan. Di sisi lain, kini ada 3,2 milyar dari 7 milyar penduduk di dunia ini dalam keadaan miskin menurut ukuran negara masing-masing, dan tahun 2014 di Indonesia ada 28 juta orang miskin, dan 7,8 juta orang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan sehingga berpotensi untuk upaya kolaborasi dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.Untuk tujuan rekreasi dan penghilang stres, silvikultur harus mempelajari pengembangan jenis-jenis yang memiliki nilai estetika, dan kerindangan yang tinggi dipadukan dengan penataan bentang alam dan tata air yang tepat.

SMART SIVIKULTUR MENJADI TUNTUTAN MASA DEPAN

Smart silvikultur adalah silvikultur cerdas yang sangat fleksibel untuk berbagai keperluan usaha berbasis komunitas hutan. Keberadaan hutan akan semakin dibutuhkan semua manusia manakala semua manfaat hutan semakin dirasakan dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Era SDG telah menempatkan silvikultur sebagai ilmu yang dapat memposisikan hutan sebagai bahan dasar yang dapat diramu menjadi segala

Buah Bangan Pipit

19BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Acep Akbar

barang keperluan pengguna. Pembangunan ekonomi yang tidak peduli dengan pembangunan lingkungan telah menghasilkan kerusakan alam yang pada akhirnya menjadi pendorong terjadinya perubahan iklim.

Perkembangan silvikultur telah bersinergi dengan tema-tema Green Economy (GE) di Indonesia yaitu menghubungkan fungsi hutan dengan (a) climate change and carbon absorbtion; (b) energi dan transportasi; (c) waste and water management; (d) Forest and people. Butir penting untuk implementasi green economy (GE) di Indonesia adalah : (a) Forest and agriculture program; dan (b) economic valuation and instrument. Target pembangunan GE di Indonesia adalah penurunan emisi karbon sebanyak 26-41%. Tantangan silvikulturis, jika dikaitkan dengan Green economy ini adalah bagaimana cara dan strategi mencapai GE, yaitu mencari jawaban tentang strategi perbenihan unggul, pelaksanaan silvikultur dan teknik silvikultur yang menjamin terwujudnya GE. Kini harus diketahui keterkaitan antara

sistem silvikultur dengan triple track ekonomi, bagaimana pembaharuan silvikultur mampu menjawab pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Pola bisnis yang saat ini menjadi contoh pengusahaan hutan di era perubahan pengelolaan hutan adalah Perum Perhutani di Jawa. Perum Perhutani saat ini telah mengelola lahan hutan seluas 2.426.206 Ha hutan produksi, dan 658.902 Ha hutan lindung. Dari luas kuasa pengelolaan (KP) komponen jenis yang dikembangkan 52% jati, 36% pinus, dan 12% lain-lain seperi mahoni, rasamala, sonokeling, damar, jabon, sengon, dan akasia. Kini sedang dikembangkan stek pucuk pinus atau disebut Bajos. Hasil hutan bukan kayu yang diusahakan adalah Porang/Iles-iles (Amorphopalum sp) sebagai bahan pangan dan obat-obatan, sagu (Metroxylon sago) sebagai bahan pangan dan bioetanol. Kini Perhutani memiliki pabrik Plywood di Pare-pare Sulawesi. Pabrik lain menghasilkan flooring, housing component, slice veneer, parquet block. Bisnis HHBK lain meliputi : getah pinus

Sarang semut yang berkhasiat obat.

20 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Acep Akbar

(PGT) yang menghasilkan pabrik gondorukem terpentin. Derivatif getah pinus yang disebut PPCI, pabrik sagu, pabrik porang (tanaman bawah) di Blora. PGT ada 8 pabrik. Derivat gondorukem menghasilkan gloserol resin ester dan nucleic resin untuk bahan plastic. Pabrik sagu Perhutani di Kais-Sorong memiliki kapasitas 100 ton/ha dengan luas tanaman 16.000 ha. (Dirut Perhutani,Ir.Bambang Sukmananto, 2014). Kreatifitas bisnis pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani sudah saatnya dikembangkan oleh KPH di luar Jawa dengan sasaran komoditi dan peruntukan pengguna yang berbeda sesuai kondisi budaya masyarakat. KPH wajib kreatif karena tuntutan produknya tidak terbatas. KPH tidak bekerja di meja melainkan harus bersama dengan perusahaan.

Dalam topik peningkatan produktifitas hutan dari rotasi ke rotasi diperlukan pembangunan hutan prospektif. Dalam hal ini riset pemuliaan pohon hutan telah berhasil meningkatkan produktifitas hutan produksi yang jauh lebih besar dari kemampuan alaminya yaitu hanya 28 juta kubik/th yang berarti kurang produktif. Kini telah dilounching 5 spesies jenis unggul. Hasil uji keturunan telah menghasilkan produksi 2X lipat yang biasa(M. Na’iem, 2014).

Luasan lahan HPH kini hanya 50.000 s/d 60.000 Ha, dimana dahulu lebih luas > 80.000 Ha. Saat ini kawasan HPH 50% tidak produktif dan menjadi open access. Yang patut menjadi acuan adalah China dimana plywood sepenuhnya dihasilkan dari hutan tanaman, sedangkan produksi plywood Indonesia malah menurun. Kontribusi kehutanan terhadap PDB nasional, 53% masih dari hutan produksi, sehingga untuk meningkatkan kontribusi dari hutan tanaman perlu modifikasi sistem silvikultur. TPTI sudah ketinggalan. Kini UNEP (PBB) telah memprogramkan Ekonomi Hijau dalam bentuk Law carbon resources afficient and socially inclusive (Irsal, 2014).

Sistem silvikultur baru yang berpeluang dikembangkan adalah TPTJ dengan teknik SILIN dan multysistem silvikultur. PT Sari Bumi Kusuma (SBK) di Kalteng telah dijadikan contoh pelaksana TPTJ dengan teknik SILIN untuk jenis Meranti. Terdapat 25 jenis meranti telah ditanam di SBK pada tahun 1999. Tegakan pasca 14 tahun SILIN menghasilkan kondisi erosi, kesuburan tanah, dan hidrologi sama dengan hutan produksi alami (Hasil pengamatan 100 titik). Treatment SILIN juga tidak mengganggu keberadaan hewan. Artinya hutan dapat pulih. Namun demikian selama ini masalah yang dihadapi IUPHHK adalah konflik dengan masyarakat semakin banyak akibat kegiatan perladangan yang bermotif bisnis. (Susila Purnama, 2014).

Belakangan ini budaya menanam berbagai pihak sudah ada tetapi produksi rendah dan sebagian besar hasil hutan bukan kayu masih dari benih alami. Pemuliaan tanaman hutan masih terbatas. Jenis-jenis pohon yang dikembangkan belum didasarkan pada kajian nilai produksi,potensi pasar, lingkup kegunaan, dan pilihan pengguna. Saat ini telah ada 50 Unit Persemaian Permanen di Indonesia dan telah memproduksi 37.500.000 batang bibit selanjutnya dibagikan ke masyarakat. Sertifikasi sumber benih tanaman hutan seluas 14.000 ha telah dilaksanakan, pembentukan forum perbenihan tanaman nasional telah dilakukan, dan pembuatan demplot sumber benih telah dibangun.

PENUTUPPada awalnya silvikultur cukup berfokus pada

bagaimana melestarikan dan meningkatkan produktivitas kayu di dalam hutan dengan cara melakukan manipulasi lingkungan, tetapi saat ini ruang lingkup silvikultur telah meluas ke arah teknik-teknik memerankan hutan sebagai komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan abiotiknya untuk bersinergi dengan aspek-aspek kebutuhan primer manusia.

Era SDG harus menempatkan silvikultur sebagai ilmu yang dapat memposisikan hutan sebagai bahan dasar yang dapat diramu menjadi segala barang keperluan pengguna yang diistilahkan dengan Smart Silvikultur.

Green Economy adalah penamaan baru dari sustainable development yang mencakup : economic growth (ekonomi), inclusive growth (kemiskinan), serta environment (climate change, biodiversity, certification). Dalam pembangunan green economy ini single track yang biasanya diusung oleh ekonom yang ada di WB,WTO, dan IMF dikoreksi total dengan memasukkan pembangunan sosial dan lingkungan.

Bahan Bacaan :1. Dirjen Planologi Kehutanan, 2013. Pembangunan

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Konsep, Peraturan Perundangan, dan Implementasi. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemenfaatan Kawasan Hutan.

2. Daniel T.W.; John. A.H.; F.S. Baker, 1995. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Terjemahan Djoko Marsono. Editor: Oemi Haniin Soeseno. Gadjah Mada University Press.

3. Dephut, 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Jakarta

4. Sumardi, 2007. Silvikultur. Program Studi Ilmu Kehutanan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

21BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

PENDAHULUAN

Deforestasi hutan alam di Indonesia yang mencapai 450.000 hektar per tahun (Anonim, 2014) telah mengakibatkan penurunan produktivitas dan potensi

hutan alam dalam mendukung pembangunan ekonomi, penyedia bahan baku kayu, serta kualitas lingkungan dan sumber plasma nutfah. Selain itu, meningkatnya populasi penduduk menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya hutan alam semakin meningkat.

Sektor kehutanan sebagai salah satu sektor yang mempunyai peran strategis dalam pemenuhan kebutuhan hidup (ekonomi) maupun peran ekologi hutan di muka bumi ini, saat ini dituntut untuk meningkatkan kontribusinya melalui pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) kehutanan. Namun hal tersebut saat ini dinilai sudah mulai menurun sejalan dengan semakin terbatasnya produksi hasil hutan dari hutan alam. Hutan tanaman yang diharapkan dapat menyuplai produksi kayu, masih terkendala produktivitas yang rendah karena masih menggunakan provenans sub optimal serta

penggunaan ras lahan atau genetik yang belum teruji karena baru dikoleksi dari hutan alam (Brown et al., 1997).

Pemuliaan pohon merupakan komponen utama dalam peningkatan produktivitas dan kelestarian hutan (Naiem, 2004). Namun pemuliaan pohon memerlukan proses panjang karena pada umumnya pohon memiliki umur panjang dan beberapa sifat hanya dapat dinilai benar saat mencapai umur rotasi (Boerjan, 2005). Selain itu program pemuliaan dengan tujuan meningkatkan produktivitas memerlukan waktu lama dan biaya sangat besar. Misalnya pemilihan pohon elit dan pembiakan secara vegetatif untuk tanaman sugi (Cryptomeria japonica D. Don) di Jepang telah dimulai sejak abad ke-14, Chinese fir (Cunninghamia lanceolata Lamb. Hook) di China telah mulai diperbanyak secara vegetatif melalui stek pucuk setidaknya selama 800 tahun, pinus radiata di New Zealand telah dimulai pemuliaannya sekitar tahun 1960 (Naiem, 2002).

Bioteknologi dalam pemuliaan genetik berperan meningkatkan efektivitas dan efisiensi program pemuliaan, sehingga bioteknologi harus menjadi bagian integral dari program pemuliaan genetik. Bioteknologi kehutanan dikaitkan dengan usaha menghasilkan benih unggul, namun pada kenyataannya aplikasi bioteknologi

SMART SILVIKULTUR BERBASIS BIOTEKNOLOGI Oleh: Reni Setyo Wahyuningtyas dan Safinah Surya Hakim

22 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

arifj

ayar

ana.

blog

spot

.com

dalam produksi benih unggul sangat tergantung pada hasil yang dicapai oleh program pemuliaan tersebut. Salah satu bentuk aplikasi bioteknologi kehutanan adalah meningkatkan produktivitas hutan melalui penerapan teknik budidaya yang tepat serta efisiensi hasil pemuliaan pohon, khususnya melalui pengembangan kultur jaringan/pembiakan mikro (mikropropagation), teknologi rekombinan DNA dan peralihan gen (transfer of genes) melalui rekayasa genetik, serta pemanfaatan penanda molekuler (DNA) untuk studi-studi genetik (Rimbawanto, 2003).

Bioteknologi sangat mendukung silvikultur karena berperan dalam meningkatkan produktivitas hutan. Menurut The Society of American Forester, silvikultur merupakan “seni untuk memproduksi dan memelihara tegakan hutan dengan mengaplikasikan teknik atau pengetahuan untuk mengontrol pembangunan tegakan hutan, mengatur komposisi, pertumbuhan tegakan serta kesehatan dan kualitasnya”. Dalam silvikultur, terdapat siklus alami (Gambar 1), dimana jika salah satu komponen tidak ada, maka keseimbangan segitiga tersebut akan runtuh (Nyland, 2004). Bioteknologi lebih banyak berperan dalam aspek regenerasi, sebab regenerasi bagi beberapa forester merupakan bagian paling kritis dan menjadi fokus dari sistem silvikultur. Pemilik lahan tak akan pernah dapat memanen kayu tanpa membangun tegakan baru dan menjaga kerapatan dan komposisi tegakan baru. Aplikasi bioteknologi perlu diterapkan agar produktivitas tegakan baru dapat ditingkatkan. Penggunaan benih hasil pemuliaan dan rekayasa genetic adalah salah satu contohnya. Regenerasi buatan (artificial regeneration) perlu dilakukan untuk membangun tegakan baru dengan menggunakan bibit dari pembiakan vegetatif seperti klon terpilih, bibit hasil grafting dengan karakter pertumbuhan spesial, serta bibit dari kultur jaringan.

BIOTEKNOLOGI KEHUTANANMenurut United Nations Environment Programme

(UNEP, 1992), bioteknologi didefinisikan sebagai bagian teknik yang menggunakan sistem biologi, organisme hidup atau turunannya untuk membuat suatu produk atau proses untuk kegunaan khusus. Meskipun bioteknologi dirasakan sebagai pengetahuan modern, definisi di atas menunjukkan bahwa bioteknologi merupakan ilmu lama yang telah digunakan beberapa tahun lalu, namun penemuan DNA dan teknologi gen telah memberikan dimensi baru sehingga bioteknologi menjadi terlihat modern.

Kegiatan bioteknologi di bidang kehutanan meliputi 3 bidang utama, yaitu metode pembiakan kultur jaringan, penggunaan penanda molekuler dan rekayasa

genetik untuk memproduksi GMOs (genetically modified organisms) atau pohon transgenik.

A. Kultur jaringanMerupakan proses perbanyakan tanaman secara

vegetatif yang dilakukan pada kondisi in vitro dengan mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan. Dibandingkan dengan teknik pembiakan vegetatif konvensional seperti stek, grafting, cangkok dan lain-lain, kultur jaringan memiliki kelebihan antara lain: tingkat perbanyakannya tinggi, tidak tergantung musim, steril dan menghemat ruang. Kesamaannya adalah mutu genetik bibit tergantung dari mutu induknya, atau pembiakan kultur jaringan sama sekali tidak memperbaiki mutu genetik tanaman (Rimbawanto, 2002). Pembiakan mikro mempunyai prospek yang sangat baik dalam program pembangunan hutan klon, khususnya untuk perbanyakan klon-klon unggul hasil seleksi sebagai bahan vegetatif untuk pembiakan konvensional. Pendekatan ini akan bermanfaat bagi program pemuliaan yang telah melakukan pengujian klon-klon unggul (Rimbawanto, 2003).

B. Rekayasa genetikRekayasa genetik berpotensi untuk menghasilkan

tanaman baru dengan sifat tumbuh seperti yang diinginkan. Secara teknis upaya menghasilkan tanaman transgenik bergantung pada kemampuan:

a. mengidentifikasi gen pengatur sifat yang akan ditransfer

b. mengisolasi gen dan memperbanyak gen terpilih

c. mentransfer gen terpilih ke dalam sel atau organisme

d. seleksi dan regenerasi organisme yang berisi gen baru serta memperbanyak organisme baru (tanaman transgenik).

Sifat gen tanaman yang dapat direkayasa hingga kini terbatas pada sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen tunggal, seperti : resistensi terhadap serangan hama dan penyakit, resistensi terhadap herbisida, jenis dan

Gambar 1. Peranan Bioteknologi dalam mendukung smart silvikultur.

23BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

konsentrasi lignin, konsentrasi sellulosa dan lain-lain.Berbeda dengan tanaman pertanian, jenis-jenis

tanaman kehutanan baru menjalani proses domestikasi, sehingga baru sebagian kecil saja potensi genetik yang dimiliki tanaman ini yang telah dieksplorasi dan dimanfaatkan. Siklus hidup tanaman hutan yang panjang, menyebabkan lambatnya proses eksplorasi genetik tersebut, sehingga masih banyak potensi genetik yang belum termanfaatkan yang berpeluang memecahkan persoalan pertumbuhan, produktivitas dan perlindungan hama penyakit (Rimbawanto, 2003).

C. Penanda molekulerPenanda molekuler merupakan penanda yang

diperoleh dari analisis polimorphisme (keragaman) pada sekuens DNA. Polimorphisme dapat diperoleh dari berbagai cara, diantaranya yang banyak diterapkan dalam penelitian pemuliaan pohon adalah restriction fragment length polymorphisme (RFLP), random amplified polymorphic DNA (RAPD), simple sequensce repeat (SSR), dan amplified fragment length polymorphism (AFLP). Beberapa contoh aplikasi teknik DNA yang banyak digunakan untuk kegiatan pemuliaan pohon adalah : 1) analisis keragaman genetik, 2) pemetaan genetik dan 3)

seleksi dengan marker DNA atau marker assisted selection /MAS (Rimbawanto, 2003).

Penanda molekuler dapat mendukung berbagai kegiatan, diantaranya pemuliaan berbasis molekuler dan konservasi sumberdaya genetik. Pemuliaan konvensional lebih menitik beratkan pada perkawinan dan seleksi fenotipik sehingga untuk mendapat bibit unggul diperlukan waktu lama. Penerapan teknik analisis DNA dalam pemuliaan pohon yang berpotensi meningkatkan efektivitas hasil pemuliaan adalah MAS. Dengan teknik ini seleksi sifat-sifat unggul suatu pohon dapat dilakukan tanpa melalui pembangunan uji keturunan (progeny test). Seleksi dilakukan dengan menganalisis profit DNA pohon dan mencari penanda yang berhubungan dengan sifat yang diinginkan, sehingga seleksi dilakukan tanpa harus menunggu tanaman mencapai umur setengah daur. Namun teknik ini tidak dapat diterapkan sembarang populasi pohon, melainkan hanya pada populasi yang teridentifikasi induk-induknya hingga setidaknya 2 generasi untuk memastikan terjadinya segregasi gen pada generasi-generasi yang mewarisinya (Rimbawanto, 2002).

Penanda molekuler juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keragaman genetik dan sebarannya

24 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

di hutan alam maupun tanaman. Dengan informasi ini, konservasi sumberdaya genetik dapat dilakukan secara efektif dan efisien sehingga dapat menghemat biaya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk pohon, tetapi juga hewan khususnya yang dilindungi atau terancam punah.

APLIKASI BIOTEKNOLOGI PADA TANAMAN JATI Jati (Tectona grandis) merupakan salah satu jenis

paling diminati karena kualitas kayunya sangat bagus dan bernilai ekonomi tinggi. Program pemuliaan jati juga lebih maju dan dimulai lebih awal dibanding jenis lain di Indonesia. Pemuliaan jati di Indonesia dimulai tahun 1932 dengan membangun uji provenansi dan ras lahan jati di berbagai tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dilanjutkan pada tahun 1958 dibangun uji provenans internasional oleh FAO di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun program tersebut terhenti karena tidak ada pihak yang menindak lanjuti (Mahfuds dan Leksono, 2002; Rimbawanto, 2002).

Program pemuliaan jati kembali dilakukan Perum Perhutani pada tahun 1976 dengan melakukan seleksi pohon plus dan sudah terkoleksi sebanyak 600 pohon plus. Pada tahun 1983 mulai dibangun kebun benih klon (KBK) dengan luas 1.303 Ha, pada tahun 1997 dibangun Kebun Pangkas/KP stek pucuk untuk perhutanan klon dengan biaya murah dan sudah terbangun KP generasi II. Kultur jaringan mikrostek jati mulai dikembangkan sejak tahun 1986 untuk menuju perhutanan klon dan pada tahun 2002 telah menguji 15 klon untuk diperbanyak melalui kultur jaringan. Setelah laboratorium biotek di Teak Center dibangun tahun 1985, analisis DNA mulai dilakukan untuk mengetahui letak setiap gen pada lokusnya agar transfer gen nanti mungkin dilakukan (Sahardjo, 2002).

Sedangkan penelitian bioteknologi yang dilakukan Balai Besar Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Hutan (B3PTH) adalah pemanfaatan marka DNA untuk studi keragaman populasi dan identifikasi genetik. Salah satu yang mempunyai dampak strategis bagi program pemuliaan dan pengelolaan plasma nutfah jati adalah kepastian identifikasi genetik klon, baik yang dikembangkan pada : uji klon, percobaan persilangan maupun pembangunan kebun benih klon. Dengan diketahuinya identitas genetik yang sesungguhnya dari pohon-pohon hasil seleksi, maka mutu genetik jati dapat ditingkatkan dan dijamin kebenarannya (Rimbawanto, 2003).

TANTANGAN BIOTEKNOLOGI KEHUTANANMenurut Rimbawanto (2002), upaya rekayasa genetik

terhadap sifat-sifat ekonomis yang penting yaitu riap

pohon masih merupakan angan-angan belaka. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat pertumbuhan pohon masih merupakan angan-angan belaka. Sifat-sifat pertumbuhan pohon seperti tinggi, diameter, kelurusan batang dan lain-lain ternyata dikendalikan oleh banyak gen dengan tingkat pengaruh yang berbeda-beda. Manifestasi dalam bentuk pertumbuhan pohon merupakan hasil interaksi dengan berbagai macam gen yang kompleks.

Bioteknologi khususnya analisis DNA dan teknik rekombinan memang dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemuliaan pohon, namun bioteknologi hanya dapat bermanfaat apabila bahan yang diperlukan untuk menerapkan bioteknologi tersebut sesuai dengan persyaratan teknologi itu sendiri. Adanya istilah di kalangan pemulia pohon “garbage in garbage out” yang artinya bila yang masuk sampah maka yang keluar juga sampah, mengindikasikan bahwa bioteknologi akan memberikan hasil baik jika bahan yang digunakan juga merupakan hasil pemuliaan.

Produk bioteknologi yaitu tanaman hasil kultur jaringan juga dirasakan masih sangat mahal karena tingginya biaya produksi sehingga kurang terjangkau konsumen terutama masyarakat. Di negara-negara maju dimana upah buruhnya mahal, perbedaan harga bibit kultur jaringan dengan bibit dari biji berkisar 5-6 kali lipat. Sedangkan di Indonesia yang upah buruhnya sangat murah selisih biaya tersebut dapat mencapai puluhan kali. Sebagai ilustrasi bibit kultur jaringan jati produksi PT. Monfori adalah Rp. 17.500 sampai Rp. 20.000, sedangkan bibit kultur jaringan dari Cepu Rp. 5.500 dan standart bibit jati Perum Perhutani hanya Rp. 200 (tahun 1999).

PENUTUPDengan semakin tingginya tuntutan terhadap

produktivitas hutan, perubahan iklim dan kebutuhan manusia terhadap sumberdaya genetik, maka tuntutan kehutanan ke depan akan mengalami perubahan dari hanya mengandalkan silvikultur untuk meningkatkan hasil panen ke pemanfaatan bioteknologi untuk menghasilkan tanaman dengan produktivitas tinggi, adaptabel terhadap perubahan iklim, resisten hama penyakit dan menghasilkan sifat-sifat tertentu. Sebagai negara dengan potensi sumberdaya hutan yang sangat besar dan menyimpan keragaman hayati tertinggi di dunia, Indonesia membutuhkan dukungan bioteknologi yang maju mengingat saat ini masih banyak potensi genetik pohon hutan dan sumber daya genetik lainnya yang saat ini belum terjamah potensinya dan kegunaannya. Bioteknologi akan menjadi alat penting bagi pembangunan berkelanjutan sektor kehutanan di Indonesia.

25BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

(kayu, air, rekreasi, dan lain-lain), (c) kelestarian fungsi ekosistem hutan alami, dan (d) kelestarian ekosistem hutan dan manusia.

Sejalan dengan perubahan paradigma tersebut maka dalam beberapa dekade akhir ini perhatian para praktisi kehutanan terhadap hasil hutan non-kayu (HHBK) baik yang berupa barang atau jasa (produk air, satwa liar, sebagai tempat perlindungan keanekaragaman hayati, sebagai sarana untuk kepentingan jasa wisata alam dan bentuk-bentuk pemanfaatan lain baik yang langsung dapat dimanfaatkan oleh manusia maupun yang tidak langsung) menjadi semakin meningkat. Selain itu, kondisi hutan saat ini memerlukan adanya perubahan orientasi pembangunan, dimana pengelolaan hutan ditujukan untuk pemulihan ekosistem sebagai sistem penyangga kehidupan dan mendukung kegiatan ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat penting dilakukan. Dalam pengelolaan hutan, masyarakat diupayakan terlibat langsung berdampingan dengan pemerintah sebagai mitra kerja dan pendamping masyarakat. Berubahnya paradigma pembangunan ke arah demokratisasi dan desentralisasi, menumbuhkan kesadaran yang luas tentang

SAATNYA BERPIKIR HUTAN BUKAN HANYA KAYUOleh: Marinus Kristiadi Harun dan Adnan Ardana

Hasil hutan tak melulu soal kayu. Banyak hasil hutan lain yang juga memiliki nilai ekonomi tinggi.

PENDAHULUAN

Praktek pemunggutan kayu dari hutan alam (timber extraction) telah berujung pada kerusakan hutan. Kerusakan hutan melahirkan pemikiran perlunya pengelolaan hutan secara

lestari (PHL). Konsep mengenai PHL seiring dengan perkembangan zaman telah mengalami pergeseran paradigma, yakni: (1) kelestarian hasil hutan/kelestarian statik – hasil kayu yang tetap dari tahun ke tahun; (2) kelestarian potensi hasil hutan/kelestarian dinamik – memaksimumkan produktifitas kayu, hutan sebagai pabrik kayu, (3) kelestarian sumberdaya hutan – hutan sebagai penghasil kayu dan non kayu (forest resources management), dan (4) kelestarian ekosistem hutan – hutan sebagai kesatuan ekosistem – (forest ecosystem management). Schanz (1996) memberikan pernyataan yang menarik mengenai standard PHL bahwa “tidak ada standard benar atau salah mengenai PHL, setiap pengaturan standard sifatnya hanya sementara, sehingga pencapaian PHL tidak dapat dipertahankan selamanya”. Davis, et.al. (2001) menggambarkan ada empat pandangan kelestarian hutan yaitu: (a) kelestarian hasil dengan fokus hasil kayu, (b) kelestarian aneka hasil hutan

26 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

kebu

n-ja

ti.bl

ogsp

ot.c

om

perlunya partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses dan program pembangunan. Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kehutanan adalah sebuah konsep yang merangkum nilai-nilai sosial dengan mengedepankan konsep yang bercirikan hal berikut: (a) berbasis masyarakat lokal (people centred), (b) partisipatif (participatory), (c) pemberdayaan (empowering), dan lestari (sustainable) (Chambers, 1995).

PARADIGMA SMART SILVIKULTURPraktek pengelolaan hutan tidak dapat dipisahkan

dari sistem silvikultur yang digunakan. Sistem silvikultur yang dirancang dengan baik harus memperhatikan kelestarian ekosistem hutan dan masyarakat setempat. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) perlindungan tapak dan ekosistem, (2) menstabilkan tanah dan pencegahan erosi, (3) pengawetan populasi asli dari serangga, jamur, dan mikroorganisme penting, (4) peningkatan habitat untuk binatang liar dan tumbuhan asli, (5) peningkatan hasil air, kualitas air, dan jaminan habitat yang sesuai bagi ikan-ikan asli, dan (6) menghasilkan makanan dan habitat bagi ternak yang dipelihara, peningkatan kualitas pemandangan bentang alam dan menciptakan kesempatan yang lebih baik bagi kegiatan wisata alam.

Berkelanjutan dalam pengelolaan hutan berarti adanya jaminan bahwa hutan yang dikelola dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa menimbulkan risiko terhadap kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Djajadiningrat (2001) menyatakan bahwa terdapat dua gagasan penting dalam konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) gagasan kebutuhan esensial untuk kelangsungan hidup manusia, dan (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan mendatang. Memerhatikan kedua gagasan tersebut, hutan harus dikelola dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas. Penerapan prinsip tersebut diharapkan dapat menjembatani kepentingan fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dari hutan yang dikelola.

Praktek silvikultur yang menerapkan konsep-konsep seperti telah diuraikan di atas, yakni mempertimbangkan keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan serta berpikir hutan bukan hanya kayu merupakan roh dari paradigma SMART Silvikultur.

Indonesia memiliki sumberdaya alam hutan yang sangat luas dengan formasi vegetasi yang sangat beragam sehingga diperlukan sistem-sitem silvikultur yang bersifat spesifik lokasi. Penerapan sistem silvikultur harus mengedepankan konsep berkelanjutan (sustainable development). Konsep ini berarti setiap kegiatan dalam pengelolaan hutan harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara terintegrasi dan holistik (Gambar 1).

Gambar 1. Tiga pilar kelestarian menurut The World Summit 2005. (Sumber: www.wikipedia)

Pola agroforestry tanaman jelutung dan jagung.

27BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Mar

inus

K. H

arun

Muk

hlis

in

Kegiatan perkemahan pramuka di KHDTK Kintap

INOVASI SMART SILVIKULTURPotensi Lahan Hutan sebagai Sumber Pangan

Peningkatan swasembada pangan, yang tidak hanya berorientasi pada beras perlu untuk dilakukan. Pengembangan bahan pangan alternatif selain beras akan mendorong pemanfaatan lahan-lahan tidur dan optimalisasi pemanfaatan lahan. Selama ini kita kurang menyadari bahwa di bawah keteduhan hutan dan kebun tersembunyi potensi sumber pangan yang melimpah, sebagai pengganti beras, dengan nilai gizi yang sepadan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Kuswiyati, et al., (1999) bahwa hutan Indonesia seluas 143 juta hektar di dalamnya terkandung 77 jenis bahan pangan sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 75 jenis minyak dan lemak, 389 jenis biji-bijian dan buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan, 40 jenis bahan minuman dan 1.260 jenis tanaman obat. Berdasarkan potensi tersebut, maka perlu dilakukan usaha peningkatan produksi pangan inkonvensional (di luar lahan budidaya tanaman pertanian) yang lebih luas, dengan cara memanfaatkan lahan hutan. Lahan hutan mampu menyumbang kebutuhan pangan nasional

dengan jumlah yang sangat besar, sehingga dapat mengatasi krisis pangan. Selain itu, juga bisa untuk mengganti kebutuhan impor gandum, beras, gula dan bahkan dapat mengekspor pangan yang berasal dari potensi lahan hutan. Dengan dikembangkannya tanaman pangan pada lahan hutan dan kebun tanpa mengubah fungsi utama lahan tersebut, maka diharapkan lapangan kerja di sektor tanaman pangan akan terbuka, sehingga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani di sekitar hutan.

Sumber karbohidrat pengganti beras dari dalam lahan hutan dapat dibagi secara berlapis-lapis dari dalam tanah sampai ke atas tanah. Orang Jawa sering menyebutnya sebagai pala kependhem, jika buahnya terdapat di dalam tanah, seperti: ketela pohon (Manihot utilissima), garut/arairut (Maranta arundinaceae), ganyong/lembong (Canna edulis), ubi jalar (Ipomoea batatas), kacang tanah (Arachis hypogea), kedelai (Glycine max), talas (Colocasia esculenta), ubi gembili (Dioscorea aculcata), suweg (Amorphophallus campanulatus), gadung (Dioscorea hispida), huwi sawu (Dioscorea alata), kimpul (Hanthosoma violaceum), kentang (Solanum tuberosum), kentang jawa (Soleus tuberosum), dan pala gembandhul, jika buahnya terdapat di atas tanah, seperti: sukun (Artocarpus communis), jagung (Zea mays), nenas (Ananas comosus), pisang (Musa paradisiaca), melinjo (Gnetum gnemon), nangka (Artocarpus integra), cempedak (Artocarpus champeden), avokad (Persea gratissima), sagu (Metroxylon sp.), rambutan (Nephelium lapnaceum), durian (Durio zibethinus), cantel/sorghum (Syricum granum).

Potensi pangan dari dalam hutan dapat dihasilkan tidak saja pada awal musim tanam (tumpangsari), tetapi dapat selama daur karena banyak tanaman pangan yang mampu hidup di bawah naungan dengan hasil

yang tinggi. Hal ini seperti dikemukakan oleh Suhardi, et al. (2002) yang mengatakan bahwa tanaman ketela pohon yang ditanam di lahan hutan mampu berproduksi sebesar 30–60 ton/ha. Pada tegakan tanaman kehutanan yang sudah dewasa, tanaman penghasil karbohidrat masih dapat

ditanam, diantaranya yaitu: ganyong dan garut. Kedua komoditi ini memiliki manfaat yang besar dalam industri farmasi dan memiliki fungsi kesehatan. Menurut Data dari Binhut Perum Perhutani (1999)

ganyong yang ditanam di bawah tegakan jati mampu berproduksi 30 ton/ha, sehingga mampu menghasilkan 15.744.000 ton/tahun dan garut mencapai 19.320.000 ton/tahun. Produksi sebesar itu diperoleh dengan menggunakan hanya 25% dari seluruh luas kawasan produksi, dan areal tersebut sampai sekarang belum

Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) komersial yang bernilai jual tinggi. Bentuk produk gaharu merupakan hasil alami dari

kawasan hutan berupa cacahan, gumpalan atau bubuk. Nilai komersial gaharu sangat ditentukan oleh keharuman yang dapat diketahui melalui warna serta

aroma kayu bila dibakar.

28 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

dimanfaatkan. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh PT. Inhutani V Cabang Kotabumi, yang telah menanam ketela pohon di antara larikan pohon jati, mahoni dan sungkai, seluas 10.000 ha. Hasil produksi ketela tersebut dapat mencapai 300.000–600.000 ton/tahun (Suhardi, et al., 2002). Bahkan penanaman tanaman pangan pada areal HTI mampu menekan biaya penanaman tanaman pohon. Hal ini seperti yang dilaporkan Suhardi, dkk. (2002), yang menyatakan bahwa tanpa penanaman ketela pohon, biaya penanaman tanaman kehutanan mencapai Rp 2.000.000,00/ha, sedangkan dengan penanaman ketela pohon, biaya penanaman tanaman kehutanan hanya sebesar Rp 400.000,00/ha.

Pengusahaan Jasa Lingkungan Sebuah harapan baru dalam pengelolaan kawasan

hutan pada umumnya dan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) pada khususnya seiring dengan terbitnnya Peraturan Menteri Kehutanan P.36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan

Produksi Dan Hutan Lindung dan Peraturan Menteri Kehutanan P.39 tahun 2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan. Secara garis besar beberapa hal pokok dari kedua peraturan tersebut adalah sebagai berikut :• Usaha pemanfaatan Penyerapan Karbon dan/atau

Penyimpanan Karbon (UP RAP- KARBON dan/atau UP PAN-KARBON) merupakan salah satu jenis usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dan hutan lindung.

• Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus pada hutan produksi dan/atau hutan lindung, Hutan Rakyat, Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Masyarakat Hukum Adat, dan Hutan Desa dapat melaksanakan usaha pemanfaatan RAP-KARBON dan/atau PAN-KARBON sesuai dengan Peraturan ini.

• Adapun Distribusi Nilai Jual Jasa Lingkungannya adalah sebagai berikut :

No. Pemegang Izin/Pengembang Keterangan

Pemerintah Masyarakat Pengembang

1 IUPHHK-HA 20% 20% 60%

2 IUPHHK-HT 20% 20% 60%

3 IUPHHK-RE 20% 20% 60%

4 IUPHHK-HTR 20% 50% 30%

5 Hutan Rakyat 10% 70% 20%

6 Hutan Kemasyarakata 20% 50% 30%

7 Hutan Adat 10% 70% 20%

8 Hutan Desa 20% 50% 30%

9 KPH 30% 20% 50%

10 KHDTK 50% 20% 30%

11 Hutan Lindung 50% 20% 30%

Sumber : P.36/Menhut-II/2009.

• Pemberdayaan masyarakat melalui Kemitraan Kehutanan adalah mengembangkan kapasitas dan memberikan akses masyarakat setempat dalam rangka kerjasama dengan Pemegang Izin pemanfaatan hutan atau Pengelola Hutan, Pemegang Izin usaha industri primer hasil hutan, dan/atau Kesatuan Pengelolaan Hutan wilayah tertentu untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat setempat.

• Tujuan Pemberdayaan masyarakat setempat melalui Kemitraan Kehutanan adalah terwujudnya

masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat secara langsung, melalui penguatan kapasitas dan pemberian akses, ikut serta dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari, dan secara bertahap dapat berkembang menjadi pelaku ekonomi yang tangguh, mandiri, bertanggung jawab dan profesional.

• Pengelola Hutan, Pemegang Izin, dan KPH wajib melaksanakan pemberdayaan masyarakat setempat yang terdapat di sekitarnya melalui Kemitraan Kehutanan. Pengelola Hutan, Pemegang Izin dan KPH sebagaimana dimaksud adalah : Pengelola Hutan

29BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

(BUMN/BUMD/KHDTK), Izin usaha pemanfaatan kawasan,Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam, Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman, Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam, Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman.

• Luasan areal Kemitraan Kehutanan paling luas 2 (dua) hektar untuk setiap Keluarga. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku apabila masyarakat setempat bermitra untuk memungut hasil hutan bukan kayu atau jasa lingkungan.

• Pemberdayaan masyarakat setempat melalui Kemitraan Kehutanan harus menggunakan prinsip-prinsip: (a) kesepakatan, semua masukan, proses dan keluaran Kemitraan Kehutanan dibangun berdasarkan kesepakatan antara para pihak dan bersifat mengikat; (b) kesetaraan: para pihak yang bermitra mempunyai kedudukan hukum yang sama dalam pengambilan keputusan; (c) saling menguntungkan: para pihak yang bermitra berupaya untuk mengembangkan usaha yang tidak menimbulkan kerugian; (d) bersifat spesifik lokasi, Kemitraan Kehutanan dibangun dan dikembangkan dengan memperhatikan budaya dan karakteristik masyarakat setempat, termasuk menghormati hak-hak tradisional masyarakat adat; (e) Kepercayaan, Kemitraan Kehutanan dibangun berdasarkan rasa saling percaya antar para pihak; (f) Transparansi, masukan, proses dan keluaran pelaksanaan

Kemitraan Kehutanan dijalankan secara terbuka oleh para pihak, dengan tetap menghormati kepentingan masing-masing pihak; dan (g) Partisipasi, pelibatan para pihak secara aktif, sehingga setiap keputusan yang diambil memiliki legitimasi yang kuat.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, hal yang selama ini menjadi salah satu permasalahan dalam pengelolaan konflik di kawasan hutan semestinya bisa teratasi. Suatu hal yang sangat menyenangkan jika bisa melihat pengelola kawasan hutan dan masyarakat setempat bersama-sama membangun serta menjaga hutan.

PENUTUPInti dari SMART Silvikuktur adalah kemampuan kita

untuk melihat hutan sebagai suatu ekosistem yang utuh dengan manusia (masyarakat di sekitar hutan) sebagai bagian yang tak terpisahkan. Hutan bukan hanya kayu dan pemikiran perlunya keseimbangan antara tiga aspek ekonomi, sosial dan ekologi (lingkungan) dalam praktek pengelolaan hutan (silvikultur) harus selalu ada dalam pemikiran Rimbawan. Selain itu, agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik perlu didukung oleh adanya 5 pilar SMART Silvikultur, yakni: (1) itikad baik para pihak (nation goodwill), (2) Kelembagaan yang tepat (proper institution), (3) penegakan hukum (law enforcement), (4) tatakelola yang baik (good governance) dan (5) Ilmu, pengetahuan, SDM dan dana yang mendukung. Semoga dengan praktek SMART Silvikultur visi mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera dapat terwujud.

Hutan sebagai sumber air.

30 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

BPK

Banj

arba

ru

JASA LINGKUNGAN HUTANSEPENGGAL BAGIAN

DARI SMART SILVIKULTUROleh: Susy Andriani

Dalam pembangunan hutan, kita kadang lebih mengutamakan aspek ekonomi, yaitu upaya untuk memperoleh hasil kayu yang maksimal, sehingga aspek ekologi/

lingkungan sering dilupakan. Seiring waktu dengan semakin dirasakannya dampak penurunan kualitas lingkungan, paradigma pembangunan hutan saat ini lebih mengakomodir aspek lingkungan termasuk juga diantaranya nilai estetika hutan, dengan tetap memiliki nilai ekonomi yang tinggi sudah harus dilakukan, wacana yang mengemuka akhir-akhir ini adalah dilakukannya sistem SMART silviculture. SMART silviculture adalah sistem pengelolaan hutan yang mengintegrasikan secara kompleks baik seni maupun ilmu pengetahuan kehutanan, yang mencerminkan hubungan ekologi, pemilik lahan, semangat kreatif inovatif, dan penemuan baru. Hutan bukan hanya dilihat produk kayunya saja, tapi saat ini kita ditantang untuk mengelola nilai hutan yang lain, bukan hanya untuk pemanfaatan tradisional, seperti ikan dan satwa, tapi nilai lainnya yang saat ini menjadi perhatian publik, yaitu keanekaragaman hayati, karbon, air, nilai estetika dan tegakan hutan tua. Jadi, bukan hanya nilai ekonomi kayunya saja yang diperhatikan, tapi juga jasa lingkungan hutannya.

Apakah Jasa Lingkungan itu?Jasa lingkungan adalah proses alami, dan pelestarian

nilai budaya oleh suksesi penyediaan, pengaturan, penyokong alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Berbicara tentang jasa lingkungan hutan, maka paling tidak ada empat jenis jasa

lingkungan hutan yang sedang hangat dibicarakan saat ini, yaitu jasa lingkungan hutan dalam menyediakan air (pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai pengatur tata air); pariwisata alam (pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai penyedia bentang alam); pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon dalam mengurangi global warming; dan pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai pelindung keanekaragaman hayati.

A. Hutan sebagai pengatur tata airHutan dalam skala luas luas, dengan struktur

dan komposisi yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain menanggulangan banjir, erosi, dan sedimentasi serta jasa pengendalian daur air. Dalam siklus air, hutan berperan dalam menerima dan menyimpan air (proses infiltrasi), menahan dan menguapkan sebelum mencapai permukaan tanah (intersepsi), maupun melepaskan air ke udara melalui penguapan dari permukaan tanah (evaporasi) maupun dari jaringan daun (transpirasi).

Peran hutan dalam pengendalian siklus air dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Ketersediaan air dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai agar dapat dimanfaatkan makhlukm hidup dan lingkungan sekitarnnya.

2. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses evapotranspirasi dan pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi.

31BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

dan ketersediaan air di dalam tanah atau sering disebut kelengasan tanah. Lengas tanah berperan terhadap terjadinya evapotranspirasi punya pengaruh yang penting terhadap besarnya cadangan air tanah terutama untuk kawasan yang berhujan rendah, lapisan atau tebal tanah dangkal dan sifat batuan yang tidak dapat menyimpan air.

Peran ketiga adalah kemampuan mengendalikan tingginya lengas tanah hutan. Tanah mempunyai kemampuan untuk menyimpan air (lengas tanah), karena memiliki rongga-rongga yang dapat diisi dengan udara atau cairan atau bersifat porous. Bagian lengas atas yang tidak dapat dipindahkan dari tanah oleh cara-cara alami yaitu dengan osmosis, gravitasi atau kapasitas simpanan permanen suatu tanah diukur dengan kandungan air tanahnya pada titik layu permanen yaitu pada kandungan air tanah terendah dimana tanaman dapat mengestrak air dari ruang pori tanah terhadap gaya gravitasinya. Titik layu ini sama bagi semua tanaman pada tanah tertentu. Pada tingkat titik kelembaban titik layu ini tanaman tidak mampu lagi menyerap air dari dalam tanah. Jumlah air yang tertampung di daerah perakaran merupakan faktor penting untuk menentukan nilai penting tanah pertanian maupun kehutanan.

Peran ke empat adalah dalam pengendalian aliran (hasil air). Kebanyakan persoalan distribusi sumberdaya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu. Akhir- akhir ini kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan air pada musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.

3. Menambah titik – titik air di atmosfer4. Sebagai penghalang untuk sampainya air di

bumi melalui proses intersepsi5. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik

aliran air melalui mekanisme stemflow dan throughfall, serta penahan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan tanah

6. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologi di dalam tanah.

7. Mengendalikan limpasan permukaan yang dapat menyebabkan banjir dalam satuan DAS.

8. Mengendalikan dan mencegah perluasan kebakaran hutan dan lahan.

9. Mencegah dan mengendalikan erosi dan longsor di lahan dan sedimentasi di badan air.

Peran hutan sebagai pengendali siklus air dimulai dari peran tajuk yang menyimpan air sebagai intesepsi. Hingga saat ini intersepsi belum dianggap sebagai faktor penting dalam daur hidrologi. Bagi daerah yang hujannya rendah dan kebutuhan air dipenuhi dengan konsep water harvest maka para pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) harus tetap memperhitungkan besarnya intersepsi karena jumlah air yang hilang sebagai air intersepsi dapat mengurangi jumlah air yang masuk ke suatu kawasan dan akhirnya mempengaruhi neraca air regional. Dengan demikian pemeliharaan hutan yang berupa penjarangan sangat penting dilaksanakan sesuai frekuensi yang telah ditetapkan.

Peran menonjol ke dua yang juga sering menjadi sumber penyebab kekhawatiran masyarakat adalah

evapontranspirasi. Beberapa faktor yang berperan terhadap besarnya evapotranspirasi antara

lain adalah radiasi matahari, suhu, kelembaban udara, kecepatan angin,

32 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Nur

budi

Sus

atyo

Sampai saat ini masih dipercayai bahwa hutan yang baik mampu mengendalikan daur air artinya hutan yang baik dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih melekatnya di hati masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam kawasan hutan yang baik tetap mengalir pada musim kemarau.

B. Peran hutan sebagai penyerap karbon dan pengatur iklim globalFungsi hutan sebagai penghasil oksigen tak dapat

dipisahkan dengan fungsi hutan sebagai penyerap karbon. Dalam menjalankan kedua fungsi tersebut, proses interaksi antara hutan dan lingkungan yang terjadi sangat berkaitan proses fotosintesis dan siklus karbon. Hutan, yang merupakan kumpulan dari banyak pohon, menjalankan proses fotosintesis (yang merupakan salah satu bagian dari siklus karbon) yang menyerap karbondioksida di atmosfer dan kemudian disimpan dalam bentuk biomassa berupa daun, batang, akar, maupun buah, serta menghasilkan oksigen ke udara. Semakin besar ukuran tumbuhan/pohon, maka semakin tinggi kemampuannya dalam menyerap gas karbon dioksida dari atmosfer. Sebagai contoh, pohon yang memiliki diameter batang 17,4 cm mampu menyerap CO2 sebanyak 289 kg (0,289 ton), tetapi untuk pohon berdiameter 103 cm mampu menyerap CO2 sebanyak 27289 kg (27,28 ton). Pohon-pohon berdiameter besar banyak kita temukan di hutan tropis. Indonesia salah satu negara yang memiliki hutan tropis yang luas. Dalam satu hektar hutan tropis di Indonesia dapat menyerap karbon dioksida dari udara lebih dari 928 ton CO2 bahkan ada yang mencapai 2 Mega ton. Jadi, kehilangan satu hektar hutan tropis Indonesia akan membiarkan 2 Mega ton CO2 tetap tinggal di atmosfer. Akibatnya, perubahan iklim akan terus terjadi dan bahkan akan terjadi lebih hebat dari yang kita rasakan saat ini.

Fungsi hutan yang lain dan sangat vital adalah pengatur iklim mikro maupun makro. Kerusakan hutan yang terjadi selama ini diyakini telah menyebabkan perubahan iklim secara global. Pengaruh perubahan iklim tersebut sangat terasa dari setiap sisi kehidupan, bahkan perubahan iklim yang terasa sejak tahun 2010 dan 2011 sudah mengganggu musim tanam bagi petani di Indonesia. Anomali cuaca berupa curah hujan yang tinggi akibat perubahan iklim sepanjang tahun 2010 membuat banyak tanaman padi mengalami kerusakan, dan gagal panen.

Hutan berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui kegiatan carbon sink. Hal ini bisa

terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi). Hutan hanya menyimpan karbon untuk waktu terbatas (stock). Karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer ketika terjadi kegiatan penebangan hutan, kebakaran atau tindakan perusakan hutan lainnya. Oleh karena itu perlu juga dilakukan mitigasi secara permanen melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar fosil, teknologi bersih, dan penggunaan energi terbarukan.

C. Peran hutan sebagai ekowisataHutan adalah habitat berbagai flora dan fauna yang

tak bisa dibandingkan dengan wilayah daratan lain yang luasnya sama. Banyaknya keanekaragaman hayati yang ada dalam hutan memberi ciri dan keindahan tersendiri bagi para wisatawan.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, seperti dilansir The Travel and Tourisme Competitivenes Index dalam Forum Ekonomi Dunia 2013, menyatakan bahwa jasa lingkungan hutan telah menempatkan daya saing pariwisata Indonesia naik dari peringkat 74 pada 2012 menjadi peringkat 70 pada tahun 2013. Keindahan alam, kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya hutan dan kekayaan budaya masyarakat adat telah menempatkan Indonesia menjadi negara tujuan wisata mancanegara yang paling menarik di dunia. Nilai hutan yang “intangible” seperti jasa keindahan alam dan keanekaragaman hayati (biodiversity) saat ini menjadi prioritas penghasil devisa melalui pariwisata alam (Antara, 2014).

D. Jasa Lingkungan Keanekaragaman HayatiKeanekaragaman hayati meliputi keanekaragaman

ekosistem, jenis, dan gen. Hutan adalah sumber keanekaragaman hayati yang merupakan sumber plasma nutfah yang tak terhingga nilainya. Nilai jasa lingkungan yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati ialah dalam bentuk jasa ekologis bagi lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. Sebagai contoh jasa ekologis, misalnya, hutan, salah satu bentuk dari ekosistem keanekaragaman hayati, mempunyai beberapa fungsi bagi lingkungan sebagai:

• pelindung keseimbangan siklus hidrologi dan tata air sehingga menghindarkan manusia dari bahaya banjir maupun kekeringan;

• penjaga kesuburan tanah melalui pasokan unsur hara dari serasah hutan;

• pencegah erosi dan pengendali iklim mikro.

33BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Keanekaragaman hayati bisa memberikan manfaat jasa nilai lingkungan jika keanekaragaman hayati dipandang sebagai satu kesatuan, dimana ada saling ketergantungan antara komponen di dalamnya.1) Nilai Warisan

Nilai warisan adalah nilai yang berkaitan dengan keinginan untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati agar dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Nilai ini acap terkait dengan nilai sosio-kultural dan juga nilai pilihan. Spesies atau kawasan tertentu sengaja dipertahankan dan diwariskan turun temurun untuk menjaga identitas budaya dan spiritual kelompok etnis tertentu atau sebagai cadangan pemenuhan kebutuhan mereka di masa datang.

2) Nilai PilihanKeanekaragaman hayati menyimpan nilai manfaat yang sekarang belum disadari atau belum dapat dimanfaatkan oleh manusia; namun seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan asupan teknologi, nilai ini menjadi penting di masa depan. Potensi keanekaragaman hayati dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat di masa datang ini merupakan nilai pilihan (Primack dkk., 1998).

3) Nilai KonsumtifManfaat langsung yang dapat diperoleh dari keanekaragaman hayati disebut nilai konsumtif. Dari keanekaragaman hayati. Sebagai contoh dari nilai komsumtif ini ialah pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk pemenuhan kebutuhan sandang, pangan maupun papan.

4) Nilai ProduktifNilai produktif adalah nilai pasar yang didapat dari perdagangan keanekaragaman hayati di pasar lokal, nasional maupun internasional. Persepsi dan pengetahuan mengenai nilai pasar ditingkat lokal dan global berbeda. Pada umumnya, nilai keanekaragaman hayati lokal belum terdokumentasikan dengan baik sehingga sering tidak terwakili dalam perdebatan maupun perumusan kebijakan mengenai keanekaragaman hayati di tingkat global (Vermeulen dan Koziell, 2002).

PenutupSMART silvikultur merupakan sistem silvikultur

yang memperhatikan aspek jasa lingkungan hutan. Jasa lingkungan hutan kadang tidak diperhitungkan secara ekonomi karena kita menganggapnya sebagai barang publik. Saat hutan sudah semakin berkurang dan kita semakin merasakan ketidaknyamanan lingkungan, barulah kita sadar betapa pentingnya keberadaan hutan. ....kadang kita baru tau arti sesuatu, setelah sesuatu itu hilang...

Daftar BacaanJasa lingkungan hutan jadi daya saing pariwisata. 2014. diunduh tanggal 23 September 2014. AntaraNews.htm.

Suryatmojo. 2004. Peran Hutan Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan Melalui Penyimpanan Karbon dan Penyediaan Sumberdaya Air. Hasil Penelitian: Yogyakarta.

34 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

comunitiy.blogspot.com

Sebagai institusi riset, BPK Banjarbaru sering diminta untuk menjadi narasumber dalam berbagai pertemuan ilmiah. Pada tanggal 3-6 Juni, Dr. Acep Akbar, salah satu peneliti senior BPK Banjarbaru, diminta

untuk menjadi nara sumber masalah kebakaran hutan dalam pertemuan rutin tahunan riset Kebencanaan tahun 2014 di Hotel Pullman Surabaya. Acara ini diselengarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional, dan dihadiri oleh 365 orang yang terdiri dari Perguruan Tinggi dan Peneliti. Adapun tujuan PIT adalah terbangunnya data base kebencanaan, terjadinya dialog, dan tersusunnya Blue Print riset.

Teknologi yang sederhana dan mudah diaplikasikan merupakan materi advis teknis yang dideminasikan kepada masyakarkat sekitar KHDTK. Dengan mengangkat tema “Pemberdayaan Masyarakat Riam Kiwa

dengan Sistem Agroforestry”, BPK Banjarbaru menyelenggarakan advis teknis pada tanggal 7 November 2014 di desa Lubang Baru Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar. Peserta advis teknis ini sebanyak 30 oarang petani sekitar KHDTK Riam Kiwa. Salah satu materi yang disampaikan mengenai teknik pembuatan kompos berbahan seresah daun. Tampak peserta sedang praktek mencacah seresah daun untuk dibuat kompos.

Advis teknis merupakan salah satu sarana BPK Banjarbaru untuk mendesiminasikan hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkan. Pada tanggal 26 November 2014 di desa Bitahan Baru Kecamatan Piani

Kabupaten Banjar, BPK Banjarbaru menyelenggarakan advis teknis dengan tema “Pemberdayaan Masyarakat sekitar KHDTK Kintap melalui Sistem Agforestry”. Materi yang disampaikan mencakup model agroforestry, teknik, budidaya dan prospek gulinggang serta teknik budidaya lebah madu. Peserta advis teknis ini sejumlah 60 orang yang berasal dari desa Bitahan Baru dan desa Beramban, yang berbatasan dengan KHDTK Rantau.

Sistem pengendalian kebakaran berbasis masyarakat dengan memadu-kan teknologi tinggi dan kearifan lokal perlu dikembangkan ke selu-ruh desa rawan kebakaran. Caranya yaitu dengan membentuk Regu

Pengendali Kebakaran (RPK) desa yang difasilitasi institusi terkait melalui musyawarah desa. Demikian hasil rumusan seminar benih unggul dan pen-gendalian kebakaran hutan di Yogyakarta pada tanggal 19 November 2014. Berhadir sebagai pemateri dalam seminar tersebut 3 orang peneliti dari BPK Banjarbaru yaitu Dr.Acep Akbar,MP membahas kebakaran hutan, Junaidah S.Hut, MSc, dan Rusmana,S.Hut membahas masalah benih unggul. Seminar yang dibuka langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya ini penting, karena dapat memberikan masukan dan solusi dari masalah kebakaran yang sering terjadi di hutan rawa gambut Indonesia.

Untuk mengantisipasi kebakaran hutan , gubernur sumatera selatan mengundang peneliti utama BPK Banjarbaru, Dr. Acep Akbar pada tanggal 9 Desember 2014, untuk mendiskusikan pencegahan

kebakaran hutan dan lahan rawa gambut. Kegiatan Focus Group Discussion tersebut bertempat di Kantor gubernur yang membahas tentang berbagai cara pencegahan kebakaran untuk mengantisipasi bahaya kebakaran pada tahun 2015 mendatang. Dalam diskusi tersebut dipresentasikan pencegahan dan penanganan kebakaran berbasis hasil-hasil riset Badan Litbang Kehutanan, pencegahan dan penanganan kebakaran dengan pelibatan masyarakat, dan pengendalian kebakaran berbasis teknologi tinggi dengan menggunakan airtractor sebagai upaya pemadaman dini kebakaran.

35BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

I. Pendahuluan Kayu sebagai salah satu hasil hutan, saat ini tidak

lagi menjadi primadona penghasil devisa negara. Justru pemanfaatannya seringkali bersifat destruktif. Pembalakan liar yang dilakukan baik oleh pengusaha maupun oleh masyarakat adalah salah satu pemicu kerusakan hutan yang massive di berbagai wilayah di Indonesia. Sementara itu manfaat hutan lain seperti sumber plasma nutfah, perlindungan satwa liar, pelestarian biodiversitas, penghasil oksigen, maupun penyerap karbon adalah manfaat yang tidak mudah digunakan sebagai ”kartu As” untuk negoisasi dengan kepentingan lain, apalagi jika berhadapan dengan kepentingan sesaat masyarakat yang ada di dalam maupun di sekitar hutan.

Hutan memegang posisi penting dalam konteks pengelolaan DAS. Oleh karena itu, pengelolaan hutan harus mampu meyakinkan semua stakeholder untuk memahami alasan ilmiah pentingnya suatu kawasan hutan dikelola menggunakan tujuan dan pendekatan tertentu. Sampai dengan saat ini bagaimana mengelola daerah hulu secara spesifik lokasi (hutan dan masyarakat di sekitarnya), -khususnya dalam rangka menjaga dan memelihara fungsi hutan dalam segala kendala dan keterbatasan yg dimiliki pemerintah-, masih menjadi

bahan kajian yang menarik. Bagaimana cara menggiatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan DAS hulu khususnya dalam pelestarian fungsi hutan? Aktivitas apa yang harus dilakukan untuk menjaga partisipasi masyarakat tetap terjaga walaupun kegiatan (proyek) sudah berakhir? Kegiatan apa yang dapat menghasilkan dampak optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kualitas, kuantitas dan kontinuitas hasil air? Apa manfaat hutan yang dapat dikelola untuk membuat masyarakat peduli terhadap kelestarian fungsi hutan? Inilah sederetan pertanyaan yang perlu menjadi perhatian bagi pengelola DAS agar tujuannya dapat tercapai.

Partisipasi dinilai sebagai faktor yang paling strategis dalam pencapaian tujuan kelestarian fungsi hutan. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan di sekitarnya dapat sukses apabila hutan mampu memberikan manfaat nyata bagi mereka dan masyarakat dapat melihat dan merasakan langsung keterkaitan yang tegas antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Partisipasi ini muncul sebagai dampak dari hubungan timbal balik positif hutan dan masyarakat.

II. Membangkitkan Partisipasi melalui Pembangkit Listrik Tenaga MikrohidroPembangkit listrik microhydro adalah pembangkit

listrik skala kecil / mini( <1 mW) yang dibuat di daerah hulu DAS dengan menggunakan sumber tenaga dari aliran sungai. Listrik akan dihasilkan apabila air yang digunakan sebagai tenaga penggerak tersedia dengan cukup. Listrik murah ini dioptimalkan untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan. Energi listrik mikrohidro merupakan energi listrik terbarukan yang berasal dari hutan sebagai bentuk nyata penghematan energi sekaligus perbaikan mutu lingkungan karena secara langsung mengurangi penggunaan bahan bakar tidak terbarukan (minyak, batu bara) yang umum digunakan dalam industri listrik konvensional. Keunggulan lain dari

MIKROHIDRO: LESTARI HUTANKU, TERANG DESAKUOleh : Hunggul Y.S.H. Nugroho

36 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

seventhoughts.blogspot.com

listrik tenaga air mini adalah jaringan distribusi yang mudah dan sederhana. Dari sisi biaya, dengan biaya yang relatif murah, kehutanan dapat mengoptimalkan hasil air dari hutan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan dan menjadi perekat masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan demi kelangsungan suplai air sebagai sumber pembangkit listrik mereka.

Dalam sudut pandang kepentingan kehutanan, tujuan pembangunan microhydro electric adalah membangun perekat hubungan positif antara hutan dan masyarakat dan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat di dalam dan sekitar hutan untuk secara swadaya menjaga dan melestarikan fungsi hutan. Kelestarian fungsi hutan ini akan menjamin kontinuitas hasil air yang akan bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri (on site) maupun masyarakat di bagian hilirnya (off site). Kalimat kuncinya adalah: ”Listrik akan tersedia apabila air sebagai sumber penggerak tersedia. Air akan tersedia, apabila hutan senantiasa terpelihara”.

Secara teknis peluang membangun mikrohidro di sekitar kawasan hutan sebagai salah satu bentuk “SMART Silvikultur” sangat besar. Asal ada air yang mengalir dan beda ketinggian, listrik dapat dihasilkan. Kunci utama dari tenaga air adalah adanya gaya gravitasi yang akan mengalirkan air dalam jumlah dan kecepatan yang dikehendaki. Secara umum potensi air di sekitar hutan di hulu-hulu DAS ketersediaan air sepanjang tahun melimpah, dan topografi yang bergunung-gunung memungkinkan adanya beda ketinggian.

Pada aspek kelembagaan perlu dibentuk kelompok pengguna turbin untuk mendukung operasional turbin. Pembentukan kelompok ini selain untuk menjamin kontinuitas turbin, juga dimaksudkan sebagai “entry point” upaya pengamanan hutan. Kelompok dibentuk sendiri oleh masyarakat dan bertugas untuk secara kolektif menjaga kontinuitas pemanfaatan pembangkit listrik yang tergantung pada dua hal utama yaitu unit alat, dan suplai tenaga (kontinuitas hasil air). Unit alat berkaitan dengan umur pakai masing-masing komponen seperti dinamo, kincir, bearing penyangga, dan pipa. Pemeliharaan alat ini bahannya dibiayai dari iuran anggota maupun dari unit usaha produktif kelompok yang dengan memanfaatkan tenaga listrik mikrohidro. Pengerjaan serta pemeliharaan dikerjakan secara swadaya gotong royong anggota kelompok. Sedangkan yang berkaitan dengan suplai tenaga (kontinuitas hasil air), maka yang diperlukan adalah upaya bersama seluruh anggota kelompok untuk bersama-sama ikut serta menjaga hutan sebagai ”penghasil air”.

Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan oleh kelompok secara swadaya. Peran pemerintah terutama

hanya dalam pembinaan dan pendampingan, serta bantuan seperti bibit tanaman kayu-kayuan berumur pendek untuk memenuhi kebutuhan kayu bangunan dan bahan bakar masyarakat. Peran ini akan semakin dikurangi dengan berjalannya waktu sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan kemampuan masyarakat. Pembinaan dan pendampingan diberikan dalam bentuk bimbingan melalui alih teknologi dan pelatihan serta diskusi dan pembelajaran partisipatif. Pembinaan dan pendampingan diberikan oleh instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah (NGO).

Kegiatan pembangunan mikrohidro sebagai bagian dari kegiatan kehutanan diarahkan untuk meningkatkan komitmen masyarakat untuk memelihara hutan. Dengan kesepakatan yang dibangun sebelum pembangunan dilaksanakan, kegiatan menanam dan atau menjaga hutan dijadikan kewajiban yang melekat sama halnya dengan iuran bulanan yang diatur oleh kelompok. Kelompok pengguna turbin mempunyai kewajiban iuran bulanan dan menanam 5 pohon perbulan (60 pohon per tahun) dan persemaiannya difasilitasi oleh pemerintah. Penanaman pohon dan pemeliharaannya ini akan melekat selama anggota kelompok masih menjadi konsumen listrik.

Apabila biaya pembangunan mikrohidro disinergikan dengan kegiatan RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan), maka konsep di atas bisa dijadikan katalis keberhasilan RHL. Misalkan biaya RHL untuk areal seluas 1000 ha. diperlukan Rp. 5 milyar (dengan asumsi biaya RHL Rp. 5 jt/ha), maka apabila 10% dari biaya tersebut (equivalen 100 ha tanaman atau senilai 500 juta) disisihkan untuk pembangunan mikrohidro, maka bisa dibuat 3 unit mikrohidro yang melayani 3 dusun/desa (± 450 KK). Apabila tiap KK menanam 5 pohon/bulan maka dalam 1 (satu) tahun akan tertanam 27.000 pohon. Asumsi jarak tanam 5 x 5 m (400 pohon/ha) maka akan tertanam pohon seluas 67,5 ha/tahun. Artinya ”kehilangan” 10% biaya yang setara dengan 100 ha tanaman, dapat dikompensasi oleh masyarakat melalui penanaman swadaya sebagai bagian dari kewajiban mereka sebagai pengguna listrik.

III. Pengalaman BPK Makassar dalam Pengembangan Mikrohidro Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar sebagai

institusi Litbang Kehutanan, dimulai pada tahun 2005 telah merancang unit turbin beserta konsep pengembangannya secara utuh sebagai instrumen pengelolaan hutan bersama masyarakat sebagai bagian dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Uji coba unit turbin serta upaya peningkatan efisiensi teknis mikrohidro serta rekayasa sosial kelembagaan

37BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

dilaksanakan di 2 lokasi DAS uji Coba BPK Makassar yaitu di Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Tana Toraja. Selanjutnya sejak tahun 2007 BPK Makassar telah memfasilitasi dan membantu berbagai instansi di daerah (Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, BKSDA, BDK, BPDAS) untuk mengembangkan mikrohidro dalam konsep yang utuh di berbagai tempat baik melalui dana APBN maupun APBD, antara lain di Pangkep dan Luwu Utara (Sulawesi Selatan), Kab. Donggala dan Poso di Sulawesi Tengah, Kab. Bolaang Mongondow, di Sulawesi Utara, dan Kab. Buton Utara di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2012 ada satu kegiatan kerjasama dengan sebuah perusahaan pertambangan Nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara sebagai bagian dari kegiatan Community Development sebagai bagian dari kegiatan

CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan untuk 3 Desa disekitar perusahaan pertambangan.

Kisaran biaya pelaksanaan kegiatan dengan kapasitas 10 – 20 KVA untuk sekitar 80 – 150 KK masyarakat di sekitar hutan adalah sebesar ± 200 juta rupiah. Pada kondisi tertentu biaya bisa meningkat atau berkurang tergantung pada disain unit turbin, kondisi fisik lokasi (debit air, beda tinggi, panjang saluran, dll) dan panjang jaringan kabel ( jarak dari unit turbin ke pemukiman). Pada bulan Agustus tahun 2012, ”Lestari Hutanku, Terang Desaku” memenangkan kompetisi inovasi yang diselenggarakan oleh BIC (Bussiness Innovation Centre) dan masuk ke dalam 104 inovasi paling prospektif di Indonesia dan mendapatkan penghargaan dari Kementerian Riset dan Teknologi.

Gambar 1. Generasi awal unit turbin BPK Makassar di Kab. Toraja dan Pangkep

Gambar 2. Generasi terbaru unit turbin BPK Makassar dan pemasangan di Kab. Poso

IV. PenutupPembangunan mikrohidro merupakan bentuk

pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest Management). Pembangunan listrik mikrohidro (pemanfaatan hasil hutan non kayu) bisa menjadi ”domain” Kementerian Kehutanan, dengan mengalokasikan biaya setara 40 - 50 ha. RHL. Dengan biaya yang relatif murah, kehutanan dapat mengoptimalkan hasil air dari hutan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan dan menjadi perekat masyarakat untuk menjaga

kelestarian hutan demi kelangsungan suplai air sebagai sumber pembangkit listrik mereka. Pengembangan mikrohidro dapat memperkaya aplikasi silvikultur dalam pembangunan kehutanan menuju kehutanan baru yang tidak lagi hanya memandang hutan sebagai penghasil kayu, namun memandang hutan sebagai satu kesatuan ekosistem yang utuh dimana di dalamnya terkandung hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan yang bila dikembangkan dapat mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Salam SMART Silvikultur.

38 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

PENDAHULUANIndonesia merupakan negara penghasil rotan

terbesar di dunia. Diperkirakan 80% bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia, sisanya dihasilkan oleh Negara lain seperti Filipina, Vietnam dan negara-negara Asia lainnya. Daerah penghasil rotan Indonesia tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Pulau Papua dengan potensi rotan sekitar 622.000 ton/tahun (BPS, 2002). Industri rotan memenuhi persyaratan pengembangan ekspor bukan migas, karena (a) memanfaatkan sumberdaya alam negeri, (b) dapat memperbesar nilai tambah, (c) dapat bersaing di pasar dunia, dan (d) dapat menyerap tenaga kerja (Erwinsyah, 1999). Industri rotan Indonesia hingga saat ini baik hulu dan hilir, masih mengalami penurunan kinerja yang diakibatkan berbagai hal, terlepas dari berbagai regulasi yang diterapkan pemerintah.

Pada aspek kebijakan telah dilakukan pembatasan ekspor bahan baku rotan dengan tujuan untuk meningkatkan industri rotan dalam negeri. Namun kenyataannya ekspor meubel rotan juga tetap mengalami penurunan. Apabila pada tahun 2005 mencapai 128 ribu ton dengan nilai 1.347 juta US$ maka pada tahun 2009 turun menjadi 58 ribu ton dengan nilai 188 juta US$.

Demikian juga halnya jumlah perusahaan rotan yang semakin sedikit dimana per Desember 2009 sebanyak 220 perusahaan (43%) gulung tikar, 208 perusahaan (40%) dalam kondisi buruk dan 136 perusahaan (17%) bertahan (Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, 2010). Kebijakan pemerintah seharusnya menggali potensi kesejahteraan yang belum termanfaatkan dari sumberdaya rotan sehingga seluruh potensi welfare dari sumberdaya rotan termanfaatkan, bukan mengalihkan kesejahteraan yang sudah tergali dari satu kelompok ke kelompok lainnya (Sumardjani, 2010). Berdasarkan uraian di atas maka tulisan ini bertujuan untuk menyumbangkan pemikiran terkait dengan inovasi industri rotan Kalimantan.

PERKEMBANGAN DAN POLA UMUM INDUSTRI ROTAN DI BANJARMASIN DAN AMUNTAI

Di Kalimantan berdasarkan data tahun 2010, tercatat ada 24 perusahaan rotan, tetapi dari 24 tersebut sebagian ada yang sudah tidak beroperasi lagi. Di Banjarmasin dan sekitarnya terdapat 6 perusahaan besar yang bergerak di bidang rotan, yaitu: (a) PT Bines Raya di Kampung Basah RT 12 Banjarmasin; (b) PT Setia Komandotama di Brigjen Katamso No. 16-20 Banjarmasin; (c) PT. Farco Indah

INOVASI INDUSTRI ROTAN KALIMANTANOleh: Gravi Margasetha dan Muhamad Mustofa

39BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

di JL. Banyiur Luar No. 31 Basirih, Banjarmasin; (d) PT. Duta Barito di Jl. Hasanudin Banjarmasin; (e) PT. Sarikaya Sega Utama di Liang Anggang dan (f) CV. Putra Samasan Sega di Landasan Ulin. Tabel 1 menyajikan data kapasitas produksi PT Sarikaya Sega Utama.

Tabel 1 Kapasitas produksi untuk ekspor PT Sarikaya Sega Utama

Nomor Produk Kapasitas produksi untuk ekspor

1 Lampit rotan 200.000 m3

2 Rotan ajiro 100.000 m3

3 Kerajinan rotan 100.000 pcs4 Karpet kayu 480.000 m2

5 Wood working 6.000 m2

Nilai ekpor rotan PT Sarikaya Sega Utama per tahun sekitar 1-1,5 milyar. Nilai penjualan dalam negeri mencapai 0,5-1 milyar. Tujuan ekspor Jepang, Amerika (USA), Taiwan, Korea, Belanda, dan Cina. Bahan baku rotan berasal dari Muara Teweh berupa rotan gelondongan dari para pengepul. Selain berupa rotan gelondongan, PT Sarikaya juga mengambil anyaman rotan setengah jadi dari perajin di Amuntai. Rotan diolah menjadi lampit rotan kualitas ekpor dan ajiro. Rotan dari Muara Teweh datang disimpan di gudang di Banjarmasin. Di pabrik rotan diluruskan, dibersihkan dan diklasifikasikan berdasarkan diameter. Selanjutnya rotan dibelah menggunakan alat, menjadi 5 bagian, 4 bagian kulit dan 1 core. Bagian kulit akan dijadikan lampit sedangkan yang core untuk kerajinan. Selanjutnya bagian kulit tadi dianyam menjadi lampit kualitas ekspor. Penganyaman lampit dilakukan secara manual. Sebelum dianyam lampit direndam dengan berbagai larutan kimia untuk mencerahkan warna rotan. Setelah dianyam produk setengah jadi ini diperiksa kesamaan warnanya. Apabila warnanya tidak senada dilakukan pembongkaran dan perbaikan. Lampit yang sudah lolos dari uji ini dianyam tepinya secara manual dengan jahitan tulang lele. Tahapan pembuatan lampit seperti pada Gambar 1.

Pembuatan ajiro dilakukan secara mekanis. Rotan dengan kualitas yang lebih rendah dari rotan yang digunakan untuk lampit dianyam menggunakan mesin. Setelah itu anyaman ini dilapisi kain dengan menggunakan mesin dan selanjutnya tepinya diberi pita dan dijahit. PT. Sarikaya juga menerima order dari perajin di Amuntai untuk jasa pelapisan kain. Karena perajin lokal belum mampu untuk membeli mesin pelapis kain, sedangkan kalau dikerjakan secara manual hasilnya kurang rapi. Harga untuk lampit rotan hampir lima kali harga ajiro. Produksi lampit ataupun ajiro sarikaya tergantung dari pesanan. Jadi produksi lampit dan ajiro

tidak dilakukan setiap bulan. Dalam satu tahun kadang tidak memproduksi lampit atau ajiro sama sekali karena pesanan terbatas. Pesanan sengaja dibatasi karena kalau tidak dibatasi pihak pabrik khawatir akan pasokan bahan baku rotan yang semakin sulit didapat. Kadang rotan diimpor dari Cina kemudian finishingnya dilakukan di PT Sarikaya. Sarikaya menyediakan galeri untuk penjualan produk-produknya. Pembelian tidak dibatasi, bisa eceran maupun partai, semuanya dilayani.

Industri rotan di kelompok Banjarmasin relatif berbeda dibandingkan sentra industri rotan di Jawa. Produk unggulan dari Banjarmasin adalah lampit dan tikar rotan. Perkembangan industri lampit juga menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan mebel maupun kerajinan rotan lain. Buktinya, meski sejak 1996 – 2000 ekspor mebel rotan selalu mengalami peningkatan, namun lampit justru sebaliknya. Data dari Deperindag Kalsel menunjukkan penurunan ekspor lampit secara drastis selama tahun 1996-2000. Kalau pada tahun 1996 ekspor lampit masih menjukkan angka US$ 14,6 juta, maka pada tahun 2000 nilainya hanya tinggal US$ 3 juta saja (Cahyat, 2001). Penurunan ini tampaknya terus berlanjut, dan terbukti dari data di Banjarmasin, banyak sekali pabrik-pabrik lampit yang gulung tikar. Pola umum perdagangan yang terjadi di Banjarmasin adalah seperti yang terlihat dari Gambar 2. Rotan Banjarmasin masih dipasok dari Kaltim dan Kalteng. Pasokan dari Kaltim dan Kalteng ini diakses oleh pedagang skala besar, yang kemudian mengirimnya ke Pulau Jawa atau luar negeri.

Pedagang skala menengah dan kecil juga bisa mengakses rotan dari Kaltim dan Kalteng, kemudian melepasnya ke pasar lokal, yaitu pada para pengusaha lampit/tikar/mebel berskala kecil. Sementara pengusaha lampit/mebel besar, juga melakukan akses langsung ke Kaltim dan Kalteng, sebagaimana dilakukan oleh Pedagang Besar. Produk jadi berupa lampit, tikar atau mebel kemudian dikirim keluar negeri, terutama ke Jepang.

Gambar 2. Pola Umum Perdagangan di Wilayah Banjarmasin-Amuntai dan Keterkaitannya dengan Daerah Lain

40 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

POTENSI KERAJINAN ROTAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA

Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) mempunyai beberapa sentra atau pusat industri rumah tangga berbahan baku rotan, yakni industri anyaman rotan (lupu), industri meubel rotan dan industri lampit.

Industri anyaman rotan (lupu) terdapat di beberapa tempat, yaitu: (1) Kecamatan Haur Gading terdapat di 5 desa, yakni: Sungai Limas, Palimbangan, Palimbangan Sari, Palimbangan Gusti dan Lok Saga; (2) Kecamatan Amuntai Utara terdapat dua desa, yakni: Tabalong Mati dan Telaga Bamban; (3) Kecamatan Sei Pandan terdapat

41BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Rotan dibersihkan sebelum direndam Perendaman rotan dalam belerang cuka

Perendaman dengan air bersih Penjemuran rotan setelah direndam air bersih

Pengasapan rotan Proses pelubangan dan peangepresan rotan

Penganyaman rotan Pemasangan kunci tepi

Lampit siap jual

Gambar 1. Proses Pengolahan kulit rotan menjadi kerajinan lampit

di 5 desa, yakni: Hambuku Hulu, Hambuku Raya, Rantau Karau Tengah, Rantau Karau Hulu dan Rantau Karau Hilir. Industri Lupu di Kecamatan Haur Gading berjumlah 122 unit usaha yang mampu menyerap tenaga kerja berjumlah 202 orang dengan nilai investasi mencapai Rp 211.650.000,. Sedangkan nilai produksinya mencapai Rp 3.151.200.000,- dengan nilai BB/BP mencapai Rp 2.437.500.000,-. Industri Lupu di Kecamatan Amuntai Utara berjumlah 31 unit usaha yang mampu menyerap tenaga kerja berjumlah 41 orang dengan nilai investasi mencapai Rp 44.600.000,- . Sedangkan nilai produksinya mencapai Rp 639.600.000,- dengan nilai BB/BP mencapai Rp 492.000.000,-. Industri Lupu di Kecamatan sei Pandan berjumlah 82 unit usaha yang mampu menyerap tenaga kerja berjumlah 122 orang dengan nilai investasi mencapai Rp 116.700.000,-. Sedangkan nilai produksinya mencapai Rp 1.303.200.000,- dengan nilai BB/BP mencapai Rp

1.464.000.000,-. Industri meubel rotan di Kabupaten HSU terdapat di

2 kecamatan, yakni Kecamatan Haur Gading, di Desa Sei Limas dan Kecamatan Amuntai Tengah di Desa Antasari. Industri meubel rotan di Kecamatan Haur Gading berjumlah 29 unit usaha yang mampu menyerap tenaga kerja berjumlah 78 orang dengan nilai investasi mencapai Rp 12.000.000,. Sedangkan nilai produksinya mencapai Rp 2.135.120.000,-dengan nilai BB/BP mencapai Rp 1.788.400.000,-. Industri meubel rotan di Kecamatan Amuntai Tengah berjumlah 2 unit usaha yang mampu menyerap tenaga kerja berjumlah 13 orang dengan nilai investasi mencapai Rp 6.000.000,-. Sedangkan nilai produksinya mencapai Rp 924.200.000,- dengan nilai BB/BP mencapai Rp 598.700,-.

Industri lampit di kabupaten HSU terdapat di 3 kecamatan, yakni: Amuntai Tengah, Amuntai Selatan

Tudung Saji Tempat payung Sajadah

Dinner Set Boncengan anak Penyekat Ruangan

Nampan Aneka ukuran lampit

Gambar 3. Aneka produk kerajinan rotan dari Amuntai

42 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

dan Sei Pandan. Desa sentra industri rotan di Kecamatan Amuntai Tengah ada 2 yakni: Desa Palampitan Hilir dan Palampitan Hulu. Desa sentra industri rotan di Kecamatan Amuntai Selatan ada 4 yakni: Rukam Hulu dan Hilir, Rantauan, Jumba dan Sei Baru. Sedangkan Kecamatan Sei Pandan mempunyai 2 desa sentra lampit, yakni Desa Rantau Karau dan Hambuku Raya. Total jumlah unit usaha lampit di 3 kecamatan tersebut adalah 166 unit yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 284 orang dengan nilai investasi mencapai Rp 2.606.000.000,-. Sedangkan nilai produksinya mencapai Rp 20.320.040.000,- dengan nilai BB/BP mencapai Rp 16.379.000.000,-. Gambar 3 menyajikan produk industri rotan di Amuntai.

INOVASI INDUSTRI ROTAN KALIMANTAN

Hampir semua mebel/kerajinan rotan yang di produksi di dalam negeri ditujukan untuk memenuhi konsumsi pasar luar negeri (ekspor). Setidaknya 90% dari produksi mebel rotan para pengusaha adalah untuk dijual ke luar negeri, dan maksimal hanya 10% saja yang merupakan konsumsi dalam negeri. Meski menguasai sebagian besar pangsa pasar dunia, namun para pengusaha mebel rotan di Indonesia sudah mulai khawatir dengan mulai banyaknya produk-produk mebel rotan dari Cina, yang ditawarkan ke pasar dunia dengan harga rendah. Sebagai contoh, eksportir Indonesia saat ini hanya berani menawarkan kursi dari rotan paling rendah seharga US$ 4 per kg, tetapi produk serupa buatan Cina berani ditawarkan hanya sebesar US$ 1,8 per kg (www.bisnis.com, 26 maret 2004). Produktivitas pekerja industri rotan di Cina juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Indonesia. Di Indonesia, dengan biaya upah sebesar Rp 20.000 hanya bisa dihasilkan 1 buah kursi, sementara di Cina dengan biaya upah Rp 40.000 sudah bisa dihasilkan 4 buah kursi (Kompas, 24 Februari 2005). Rendahnya harga dari Cina, selain disebabkan oleh produktivitas yang tinggi, juga di duga karena bahan baku rotan dari Cina berasal dari rotan selundupan dari Indonesia (Kompas, 24

43BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

Februari 2005). Tingginya harga rotan di Indonesia juga disebabkan oleh rantai pemasaran mebel jadi, yang harus melibatkan 1 atau 2 pemain, yang biasanya menaikkan harga sampai 2 kali lipat dari harga ex-work. Belum lagi kalau diperhitungkan persoalan tingkat suku bunga di Indonesia yang jauh lebih tinggi, pajak, biaya THC yang mencapai 3 – 4 kali lipat dibandingkan negara-negara ASEAN, pungli, dsb. THC di Indonesia saat ini adalah sebesar 260 dollar AS untuk kontainer 40 kaki, sementara biaya serupa di Malaysia hanya 68 dollar AS, di Singapura 160 dollar AS, Thailand 75 dollar AS dan Myanmar hanya 50 dollar AS (Kompas, 24 Februari 2005).

Permasalahan pengembangan industri rotan di Kalimantan dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, belum terinventarisir dan terpetakannya luasan potensi tanaman rotan baik yang berada di tanah milik (kebun rotan) maupun yang tumbuh pada hutan alam secara akurat. Kedua, belum akuratnya data potensi rotan Kabupaten Katingan yang diproduksi setiap bulan dan tahunnya. Ketiga, pasaran rotan ditingkat petani masih rendah akibat permainan tengkulak sehingga petani rotan dalam posisi yang marjinal/lemah. Keempat, minimnya peralatan industri pengolah hasil hutan rotan dan kurangnya teknologi furniture hasil rotan yang inovatif di daerah. Kelima, terbatasnya SDM yang menguasai ketrampilan dan pengetahuan mengenai rotan. Keenam, terbatasnya modal usaha baik di tingkat petani rotan, petani pengumpul maupun Perusahaan Daerah. Ketujuh, biaya operasional pengiriman rotan keluar daerah melalui pelabuhan laut sangat tinggi. Kedelapan, perlu adanya regulasi terhadap ketentuan-ketentuan dibidang kehutanan terhadap rotan terutama pada: (a) Penatausahaan hasil hutan bukan kayu/peredaran rotan yang berasal dari hasil budidaya, (b) Perizinan pengumpulan/penumpukan rotan yang berasal dari hasil budidaya, (c) Prosedur dan kewenangan pemberian Perizinan Usaha Pemanfaatan HHBK masih rumit dan adanya pemabatas kewenangan pada pejabat tertentu

www.gopixpic.com

44 BEKANTAN Vol. 2/No. 2/2014

didaerah dan pusat. Kesembilan, peran kelembagaan struktural dan fungsional dalam perkembangan rotan belum optimal. Kesepuluh, jaringan pasar komersial yang adapat menyerap hasil produksi dan pengelolaan rotan secara kompetitif dan berkelanjutan belum tersedia. Kesebelas, kontroversi kebijakan perdagangan yang tidak menguntungkan petani. Keduabelas, penyelundupan rotan asal Kalimantan diduga masih terjadi, dengan tidak ditemukannya kualitas terbaik (Kualitas A) pada tujuan pengiriman.

Strategi dan kebijakan inovasi industri rotan Kalimantan dapat dilakukan dengan langkah berikut: (1) mengembangkan kerangka umum yang kondusif bagi inovasi dan bisnis rotan; (2) memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/litbang; (3) mengembangkan kemampuan absorpsi oleh industri pengolahan rotan (Perusda); (4) menumbuh kembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi dari hasil litbang; (5) mendorong budaya inovasi; (6) menumbuh kembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan klaster industri nasional dan daerah; (7) penyelarasan dengan perkembangan global.

PENUTUPInovasi industri rotan Kalimantan memerlukan adanya

dukungan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mencakup hal-hal berikut: (a) penentuan kuota ekspor rotan yang mengacu pada potensi lestari rotan, kemampuan memasok industri hulu rotan dan daya serap industri pengolahan rotan dalam negeri dengan menggunakan data yang terpusat dan diperbarui secara berkala; (b) penetapan batas produksi agar suatu daerah dapat dikategorikan sebagai wilayah penghasil rotan sehingga dapat memberi peluang ekspor bagi wilayah penghasil rotan lainnya; (c) mengembalikan kewenangan penerbitan bukti pasok kepada Pemerintah untuk mencegah terjadinya praktek abuse of dominant position dan mempermudah pengawasan dari Pemerintah; dan (d) meningkatkan sosialisasi tentang kesempatan ekspor bagi rotan yang tidak terserap dalam negeri, sehingga pasar tersebut dapat terbuka bagi petani dan eksportir rotan.

www.duniarotan.blogspot.com

Selain dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kerajinan, rotan juga kerap kali digunakan sebagai bahan utama pembuatan industri furnitur perabot rumah tangga seperti kursi, meja atau almari. Dengan demikian rotan akan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi.