konsumsi dalam perspektif ekonomi syariah
Click here to load reader
-
Upload
nanang-syafruddin -
Category
Documents
-
view
1.338 -
download
3
description
Transcript of konsumsi dalam perspektif ekonomi syariah
KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF SYARI’AH
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya
konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan
demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian. Bayangkan ketika
masyarakat tidak memiliki kemampuan membayar pada suatu barang yang
diproduksi? Meskipun produsen berargumen barang mereka sesuai dengan
need konsumen, tetap tidak akan melahirkan demand. Tanpa adanya daya
beli konsumen, produksi akan terhenti, dan ekonomi mati!
Dalam realitas empirik, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata
tidak sesederhana yang baru saja digambarkan di atas. Sudah tabiat
produsen untuk berusaha sekuat tenaga “mengeksploitasi” need konsumen
dan mengkonversinya menjadi demand. Dengan promosi yang gencar,
sistem pembayaran yang “merangsang” serta hadiah-hadiah yang
ditawarkan, konsumen seakan tidak memiliki alasan untuk tidak memiliki
daya beli. Sistem kredit misalnya, merupakan bagian dari upaya produsen
dalam memprovokosi konsumen agar terus membeli, sampai akhirnya
perilaku konsumsi mereka menjadi lepas kendali.
Dalam teori ekonomi konvensional yang sering kita pelajari, dapat secara
tegas kita katakan bahwa konsumsi alam perekonomian dan perilaku
konsumen terlihat dari tingkat utilitas yang diterima setelah mengkonsumsi
sejumlah barang. Dimana dalam teori tersebut kita ketahui bahwa utilitas
diukur berdasarkan jumlah barang yang kita konsumsi dengan batasan dari
jumlah pendapatan kita atau lebih kita kenal dengan istilah budget line.
Selain masalah utilitas, dalam teori ekonomi konvensional juga dikenal
pendekatan indifference curve. Dalam pendekatan ini, dapat dilihat bahwa
untuk menjelaskan tentang konsumsi berkaitan dengan konsumsi antara dua
barang yang secara konsisten dikonsumsi bersamaan dengan varian jumlah
yang berbeda. Dari kombinasi konsumsi dua barang tersebut dapat diukur
bagaimana untuk mendapatkan tingkat kepuasan yang optimal.
Sementara jika kita melihat dari system ekonomi terpusat atau yang lebih
sering kita asosiasikan dengan sosialisme, pada sisi konsumsinya, bisa
dikatakan mereka mengasumsikan bahwa kebutuhan setiap orang memiliki
tingkat kebutuhan yang sama. Hal ini kemudian mempengaruhi perspektif
keadilan yang diterapkan dalam system perekonomian ini. Hal ini berakibat
pada alokasi barang dan jasa yang kemudian diatur terpusat oleh
pemerintah secara penuh.
Dalam system ekonomi ini, secara jelas mengabaikan analisis kepuasan
individu. Dengan pengaturan secara terpusat dengan asumsi bahwa
kebutuhan setiap individu selalu sama dan tidak berubah. Hal ini memiliki
efek yang cukup baik dalam hal pemerataan pendapatan. Tapi disisi lain
system ini mengabaikan aspek prestasi dan aspek kepuasan yang dirasakan
oleh individu yang berada dalam system tersebut.
sedangkan dalam pemikiran islam sebagai agama yang syamil, Islam telah
memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan serta arahan-arahan
positif dalam berkonsumsi. Setidaknya terdapat dua batasan dalam hal ini.
Pertama, pembatasan dalam hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti
sensitif terhadap sesuatu yang dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi produk-
produk yang jelas keharamannya harus dihindari, seperti minum khamr dan
makan daging babi.. Seorang muslim haruslah senantiasa mengkonsumsi
sesuatu yang pasti membawa manfaat dan maslahat, sehingga jauh dari
kesia-siaan. Karena kesia-siaan adalah kemubadziran, dan hal itu dilarang
dalam islam (QS. 17 : 27)
Kedua, pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Islam
melarang umatnya berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta yang
dikaruniakan Allah SWT kepada mereka. Namun Allah juga tidak
menghendaki umatnya membelanjakan harta mereka secara berlebih-
lebihan di luar kewajaran (QS. 25 : 67, 5 : 87). Dalam mengkonsumsi, Islam
sangat menekankan kewajaran dari segi jumlah, yakni sesuai dengan
kebutuhan. Dalam bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan “dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya…”(QS. 17 : 29).
Demikian secara umum gambaran dalam penjelasan tentang teori konsumsi.
Secara lebih rinci, penjelasan tentang konsumsi akan dijelaskan dalam
bagian pembahasan yang akan kita bahas setelah ini. Dalam bab II kita akan
berbicara lebih rinci tentang konsumsi dan segala seluk-beluk didalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bagian pendahuluan sebelumnya, kita telah berbicara sedikit tentang
konsumsi dalam tiga system besar ekonomi yang saat ini sedang menjadi
wacana yang mengglobal. Dan pada bagian pembahasan ini, kita akan
menjelaskan bagaimana konsumsi dalam pandangan ketiga mazhab ekonomi
dunia itu secara lebih rinci.
Pada awal mulanya, kita akan melihat bagaimana teori konsumsi dalam
pandangan system ekonomi atau mazhab ekonomi liberalism atau yang lebih
kita kenal dengan system ekonomi kapitalis.
Pada system ekonomi pasar bebas, kita ketahui bahwa konsumsi terdiri dari
konsumsi pemerintah dan konsumsi rumah tangga. Pada pembahasan kali
ini, pembahasan akan difokuskan pada konsumsi rumah tangga. Dimana kita
ketahui bersama, bahwa factor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rumah
tangga itu terbagi menjadi 3 faktor:
1. Factor ekonomi.
Factor ekonomi adalah factor-faktor dari sisi ekonomi yang secara
langsung mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga. Factor-faktor
itu antara lain adalah :
Pendapatan rumah tangga.
Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap
tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tongkat
konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan
meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka
kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar atau mungkin juga
pola hidup menjadi semakin konsumtif, setidak-tidaknya semakin
menuntut kualitas yang baik.
Kekayaan rumah tangga.
Tercakup dalam pengertian kekayaaan rumah tangga adalah
kekayaan rill (rumah, tanah, dan mobil) dan financial (deposito
berjangka, saham, dan surat-surat berharga). Kekayaan tersebut
dapat meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan
disposable.
Tingkat bunga.
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi keinginan konsumsi.
Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi
(opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin maha. Bagi
mereka yang ingin mengonsumsi dengan berutang dahulu,
misalnya dengan meminjam dari bankatau menggunakan kartu
kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik
menunda/mengurangi konsumsi.
Perkiraan tentang masa depan.
Faktor-faktor internal yang dipergunakan untuk memperkirakan
prospek masa depan rumah tangga antara lain pekerjaan, karier
dan gaji yang menjanjikan, banyak anggota keluarga yang telah
bekerja.
2. Faktor Demografi
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran
konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per
orang atau per keluarga relative rendah. Pengeluaran konsumsi
suatu negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk sangat
banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi.
Komposisi Penduduk
Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi, antara
lain :
1. Jumlah penduduk usia produktif
2. Tingkat pendidikan
3. Tempat tinggal
3. Factor non ekonomi
Adalah factor-faktor non ekonomi yang mempengaruhi tingkat
konsumsi rumah tangga. Seperti misalnya budaya, kondisi politik, dan
factor-faktor non ekonomi lainnya.
Apa yang kemudian menjadi kelemahan dari system ini adalah bahwa
system ini mengabaikan sisi kemanusiaan kita dan cenderung mematikan
unsur kemanusiaan individu itu sendiri. Dan disisi lain hal yang menjadi
persoalan adalah tingkat kesejahteraan diukur dari konsumsi. Dimana
sebuah Negara hanya akan dikatakan sejahtera jika memiliki tingkat
konsumsi yang sangat tinggi. Hal ini menjadi masalah yang sangat penting
dalam system ini.
Sementara pada system ekonomi terpusat atau yang lebih dikenal dengan
system ekonomi sosialis. Pola atau teori konsumsi lebih ditekankan pada sisi
keadilan berperspektif komutatif dimana semua bersifat sama rata. Dengan
itu, maka semua sisi kepuasan dan sisi kebutuhan cenderung lebih
diabaikan.
Hal ini berdasar pada pola pemikiran filosofis marx yang mendorong system
perekonomian sosialis yang berangkat pada pemikiran determinisme
sejarah. Dalam bukunya the communist manifesto, dijelaskan fase-fase
perkembangan sejarah peradaban manusia yang bermula pada fase komunal
primitive dimana masyarakat berawal dari kehidupan yang sederhana
dengan ciri berpindah-pindah dalam hidupnya.
Fase ini kemudian berkembang memasuki fase feodalisme dimana
perbudakan mulai hadir mewarnai kehidupan sosial manusia. Yang kemudian
berkembang masuk ke fase kapitalisme. Dari fase ini kemudian beranjak
pada fase sosialis dan berakhir pada fase komunis .
Berangkat dari penjelasan marx tentang perkembangan fase masyarakat ini
kemudian ditarik masuk kedalam system ekonomi yang mewujud dalam
perspektif keadilan yang bersifat komutatif tadi.
Kelemahan dari system ini dalam pembahasan teori konsumsinya ada pada
perspektif keadilannya. Selain itu juga bermasalah pada persoalan utilitas
dan kebutuhan yang dimiliki setiap individu yang cenderung diabaikan.
Dalam system perekonomian islam atau yang dikenal dengan system
perekonomian syariah, ada ukuran-ukuran dan aturan-aturan tersendiri
dalam mengonsumsi. Adapun arahan Islam dalam berkonsumsi paling tidak
ada tiga hal.
Pertama, jangan boros. Seorang muslim dituntut untuk selektif dalam
membelanjakan hartanya. Tidak semua hal yang dianggap butuh saat ini
harus segera dibeli. Karena sifat dari kebutuhan sesungguhnya dinamis, ia
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Seorang pemasar sangat pandai
mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga suatu barang yang
sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan tiba-tiba menjadi barang yang seolah
sangat dibutuhkan. Contoh sederhana air mineral. Dahulu orang tidak terlalu
membutuhkannya. Namun karena perusahaan rajin “memprovokasi” pasar,
kini hampir di setiap rumah kita ada air mineral.
Kedua, seimbangkan pengeluaran dan pemasukan. Seorang muslim
hendaknya mampu menyeimbangkan antara pemasukan dan
pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin tidak berutang. Karena utang,
menurut Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan di malam hari dan
mendatangkan kehinaan di siang hari. Ketika kita tidak memiliki daya beli,
kita dituntut untuk lebih selektif lagi dalam memilih, tidak malah
memaksakan diri sehingga terpaksa harus berutang. Hal ini tentu
bertentangan dengan perilaku produktif. Kita telah merasakan: keresahan,
kehinaan, serta kehilangan kemerdekaan sebagai satu bangsa akibat jerat
utang.
Ketiga, tidak bermewah-mewah. Islam juga melarang umatnya hidup dalam
kemewahan (QS. 56 : 41-46) Kemewahan yang dimaksud menurut Yusuf Al
Qardhawi adalah tenggelam dalam kenikmatan hidup berlebih-lebihan
dengan berbagai sarana yang serba menyenangkan.
Perilaku konsumsi, sesuai dengan arahan Islam di atas menjadi lebih terasa
urgensinya pada kehidupan kita saat ini. Krisis ekonomi yang belum juga
reda bertemu dengan harga-harga yang melambung tinggi selama bulan
puasa, menuntut kita untuk selektif dalam berbelanja. Islam tidak
melegitimasi momen apapun yang boleh digunakan untuk mengkonsumsi
secara berlebihan apalagi di luar batas kemampuan, termasuk Ramadhan
dan Idul Fitri. Bahkan Rasulullah merayakan idul fitri dengan penuh
kesederhanaan.
Bagi mereka yang memiliki uang berlebih mungkin berfikir, mengapa Islam
harus membatasi hak orang? Pada prinsipnya Islam sangat menghargai hak
individu dalam mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah SWT
sepanjang pelaksanaannya tidak mengganggu kepentingan umum. Dalam
riwayat, Khalifah Umar bin Khattab pernah melarang konsumsi daging dua
hari berturut-turut dalam sepekan, karena persediaan daging tidak
mencukupi semua orang di Madinah. Demikian pula terjadi pada zaman Nabi
Yusuf, ketika terjadi swasembada selama tujuh tahun, masyarakat tidak
diperkenankan mengkonsumsi secara berlebihan (QS. 12:47-48).
Pembatasan di masa krisis sesungguhnya dapat menjaga stabilitas sosial
serta menjamin terpenuhinya rasa keadilan, karena mereka yang punya
kuasa atas harta tidak bisa secara sewenang-wenang menimbun bahan
pangan di rumahnya.
Selain itu terdapat konsep yang fundamental dalam paradigma konsumsi
menurut Islam. Dalam konsepsi Islam; kebutuhan (need) berbeda dengan
keinginan (want) dan syahwat (desire). alam lingkungan mayarakat yang
kapitalis dan konsumeris tentu akan sangat sulit membedakan hal ini. Tetapi
bagi individu atau masyarakat yang memiliki keimanan yang tinggi akan
mudah membedakan hal ini. Kebutuhan (need) adalah sesuatu yang
diperlukan oleh manusia sehingga dapat hidup normal. Bila ada diantara
kebutuhan tersebut yang tidak terpenuhi maka manusia dalam kondisi
sengsara dan tidak dapat hidup normal. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan
adalah suatu hal yang harus ada. Sedang keinginan (want) yaitu sesuatu
tambahan-tambahan yang diharapkan dapat dipenuhi sehingga manusia
tersebut merasa lebih puas. Meski kepuasan sangat relative bagi setiap
orang, namun yang pasti, bila keinginan tidak terpenuhi maka kelayakan
hidup tidak akan berkurang. Sedangkan syahwat (desire) merupakan
dorongan dalam diri manusia yang diakibatkan oleh sifat-sifat buruk. Seperti
dorongan kedengkian, iri hati, tamak, rakus, sombong, ingin dihormati dll.
Syahwat inilah yang biasanya memunculkan keinginan yang tidak sehat
pada diri manusia. Membuat tidak rasional dalam keputusan-keputusan
finansial.
Kemampuan membedakan antara kebutuhan, keinginan dan syahwat adalah
bagian penting dalam panduan prilaku konsumsi dalam ekonomi Islam.
Karena kalau tidak dapat membedakan yang mana pengeluaran sebagai
kebutuhan dan yang mana sebenarnya sebagai keinginan dan syahwat
konsumsi, maka individu atau masyarakat akan menjadi boros dan
konsumeris. Boros dalam padangan Islam sebagai bentuk kemubadziran.
Tidak bisa membedakan antara syahwat, keinginan dan kebutuhan juga bisa
membuat individu atau masyarakat tidak bisa menentukan dengan baik
prioritas dalam melakukan pengeluaran. Malah, bisa jadi akan
mengorbankan suatu kebutuhan untuk memenuhi keinginan dan syahwat.
BAB III
PENUTUP
Adapun yang menjadi bagian akhir dari pembahasan kami adalah
kesimpulan dimana dalam bab ini kami akan memberikan simpulan akhir
dari hasil pembahasan kami sebelumnya diatas.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat kita peroleh dari penjelasan diatas.
Pertama, dalam teori ekonomi konvensional pasar bebas atau biasa
kita kenali dengan sebutan kapitalis, perspektif keadilan yang
digunakan cenderung bersifat distributive.
Kedua, dalam mengonsumsi rumah tangga cenderung dipengaruh oleh
factor ekonomi, demografi, dan factor non ekonomi.
Ketiga, kelemahan system ini adalah pada ketidakmampuan untuk
membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Selain itu, system ini
juga mengajarkan untuk menjadi makhluk yang individualis dan
menghilangkan sisi sosial setiap individu.
Keempat, dalam system ekonomi terpusat atau yang lebih sering kita
dengar dengan sebutan system ekonomi sosialis, perspektif keadilan
yang digunakan adalah keadilan yang bersifat komutatif.
Kelima, yang menjadi kelemahan dari system ekonomi sosialis dalam
menjelaskan tentang teori konsumsi adalah bahwa pada system ini
kebutuhan individu dan kepuasan menjadi terabaikan. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari persepktif keadilan yang dipakai
dalam system ini.
Keenam, system ekonomi islam atau syariah adalah system yang
memahami bahwa keadilan itu berarti menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Artinya ada saat dimana distributive dibutuhkan tapi pada
saat yang sama, keadilan komutatif tidak dihilangkan.
Kesimpulan penting dari pandangan Islam untuk panduan konsumsi adalah
meletakan motif utama dalam prilaku ekonomi Islam, yaitu mashlahah,
kebutuhan dan ibadah. Selain itu tujuan aktivitas ekonomi individu muslim
adalah untuk mencapai sebuah kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan
dunia-akhirat (falah). Sehingga dengan motif dan tujuan ini prilaku ekonomi
manusia yang diharapkan juga akan berorientasi pada semangat
kesejahteraan bersama (altruisme). Individu dan Masyarakat akan mencapai
kepuasan manakala ‘pengeluaran akhir’ dari penghasilan mereka juga
optimal untuk kedermawanan atau kesejahteraan bersama seperti zakat,
infak-shadaqah, serta wakaf dan bentuk kebaikan lainnya. Dan sangat
menarik untuk mengkaji dampak ekonomi sebagai implikasi dari sikap
kedermawanan pada masyarakat muslim dengan teori ekonomi yang ada.
Perlu dikaji bagaimana Zakat dan Wakaf berpengaruh dalam perekonomian
dan bekerja untuk transformasi masyarakat.