Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

18
BAB 1. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Waktu demi waktu, dunia ini diarahkan pada suatu budaya baru yang bernama globalisasi. Hampir semua buku mendoktrin bahwa globalisasi merupakan gerakan untuk membuat dunia lebih baik. Globalisasi kini sudah tercemar maknanya menjadi suatu gerakan untuk membuat dunia menjadi semakin kebarat-baratan. Hampir seluruh belahan dunia sudah tercemar budaya barat dan bahkan hampir melupakan budayanya sendiri. Merk-merk dari perusahaan eropa dan amerika menjadi kebanggan dan gengsi tersendiri bagi pemakainya. Tidak terkecuali di Indonesia. Rakyat Indonesia kini banyak yang mengagung- agungkan gengsi-gengsi yang ditawarkan dalam merk produk buatan Negara-negara barat. Mereka seakan dibuat sapi perah yang bahkan tidak tahu bahwa mereka sedang dimanfaatkan. Bukannya mengambil manfaat globalisasi yang positif seperti yang ditulis dalam buku-buku, bangsa Indonesia malah diambil manfaatnya. Akibatnya, muncul budaya baru di Indonesia yang bernama ‘konsumerisme’. Konsumerisme bukanlah budaya asli Indonesia dan bukanlah budaya dari siapapun. Tapi adalah budaya baru yang timbul akibat barang-barang produksi barat yang menawarkan gengsi dalam mereknya. Bangsa Indonesia tidak lagi mengkonsumsi daya guna dari suatu barang, tetapi menjadi mengkonsumsi gengsi yang ada di dalamnya. Banyak diproduksinya barang-barang tiruan oleh perusahaan cina merupakan bukti bahwa Indonesia bahkan dunia lebih ingin mengkonsumsi merk dibandingkan daya guna. Konsumerisme merupakan suatu polusi budaya yang perlu di hilangkan. B. Tujuan penulisan Adapun tujuan penulisan dari karya tulis ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dari PSAF MIPA 2013 dan juga melatih diri untuk berpikir lebih jeli dengan keadaan yang ada di masyarakat. 2

description

konsumerisme

Transcript of Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

Page 1: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalahWaktu demi waktu, dunia ini diarahkan pada suatu budaya baru yang

bernama globalisasi. Hampir semua buku mendoktrin bahwa globalisasi merupakan gerakan untuk membuat dunia lebih baik. Globalisasi kini sudah tercemar maknanya menjadi suatu gerakan untuk membuat dunia menjadi semakin kebarat-baratan. Hampir seluruh belahan dunia sudah tercemar budaya barat dan bahkan hampir melupakan budayanya sendiri. Merk-merk dari perusahaan eropa dan amerika menjadi kebanggan dan gengsi tersendiri bagi pemakainya. Tidak terkecuali di Indonesia.

Rakyat Indonesia kini banyak yang mengagung-agungkan gengsi-gengsi yang ditawarkan dalam merk produk buatan Negara-negara barat. Mereka seakan dibuat sapi perah yang bahkan tidak tahu bahwa mereka sedang dimanfaatkan. Bukannya mengambil manfaat globalisasi yang positif seperti yang ditulis dalam buku-buku, bangsa Indonesia malah diambil manfaatnya. Akibatnya, muncul budaya baru di Indonesia yang bernama ‘konsumerisme’.

Konsumerisme bukanlah budaya asli Indonesia dan bukanlah budaya dari siapapun. Tapi adalah budaya baru yang timbul akibat barang-barang produksi barat yang menawarkan gengsi dalam mereknya. Bangsa Indonesia tidak lagi mengkonsumsi daya guna dari suatu barang, tetapi menjadi mengkonsumsi gengsi yang ada di dalamnya. Banyak diproduksinya barang-barang tiruan oleh perusahaan cina merupakan bukti bahwa Indonesia bahkan dunia lebih ingin mengkonsumsi merk dibandingkan daya guna. Konsumerisme merupakan suatu polusi budaya yang perlu di hilangkan.

B. Tujuan penulisanAdapun tujuan penulisan dari karya tulis ini adalah untuk memenuhi salah

satu tugas dari PSAF MIPA 2013 dan juga melatih diri untuk berpikir lebih jeli dengan keadaan yang ada di masyarakat.

C. Ruang lingkup karya tulisKarya tulis ini membahas konsumerisme secara umum dengan disertai

sumber-sumber yang kredibel. Bab selanjutnya akan membahas Konsumerisme di Indonesia, penggunaan kartu kredit yang berdampak buruk, dan cara mengatasi konsumerisme.

2

Page 2: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

BAB 2. KONSUMERISME DI INDONESIA

A. DEFINISI BEBERAPA AHLI

Pemaknaan istilah konsumtivisme dan konsumerisme jelas berbeda, sama hal orang menilai apa itu emas dan kuningan, tetapi kerap kali konsumtivisme di-sama-arti-kan dengan konsumerisme. Kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda maknanya. Dari kedua arti kata-kata tersebut jelas bahwa konsumerisme justru yang harus digalakkan dan konsumtivisme yang harus dijauhi.

Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Oleh karena itu, arti kata konsumtif (consumtive) adalah boros atau perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam artian luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.

Konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer.

Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa. Bila kita telesuri makna kata konsumtivisme maupun konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya -isme yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat di dalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) ”mau ini-mau itu” dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumerisme (dibaca : konsumtivisme) semakin subur dan berkembang amat cepat saja.

Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi.

3

Page 3: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal - fase id struktur psikis manusia.

Masyarakat konsumer disebut Jean Braudillard dengan masyarakat kapitalis mutakhir (Jean Braudillard, 2005) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society) (Ibrahim dalam Ibrahim, hal. 1997, hal. 24).

Bagaimana menghindar dari konsumerisme? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sekarang sudah saatnya menjadi konsumen yang cerdas dan kritis, bukan lagi saatnya menjadi -- dalam istilah Bre Redana -- mindless consumer, konsumen yang tidak berotak, pasif, dan gampang dibodohi. Mulailah mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang yang benar-benar kita perlukan, jangan mudah terpengaruh dengan rayuan untuk membeli dan mulai mempertanyakan proses di balik pembuatan barang yang akan kita beli. Sebagai konsumen, kita berhak melakukannya karena kita adalah rajaBudaya Konsumer

Pilliang mengemukakan bahwa: Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja; yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya (Piliang, 1999, hal. 44).

Budaya konsumerisme (dibaca : konsumtivisme) merupakan jantung dari kapitalisme, adalah sebuah budaya yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud komoditi, melalui strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme. Semiotika (semiotics) adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics).

B. Penyebab Konsumerisme

Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai “masyarakat komoditas” atau ”masyarakat konsumer”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama, masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-

4

Page 4: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan. Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi, terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” (economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).Proses Gaya Hidup

Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200).Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.Masalah ini dikaji secara reflektif-akademik oleh seorang cendikiawan Prancis terkemuka, Jean Baudrillard. Secara umum, menurutnya, media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang "memaksa" untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja. Jauh hari sebelum hari-hari besar itu, media terutama televisi telah memoles-moles dirinya untuk bersiap bergumul ke dalam kancah persaingan merebut hati para pemirsa. Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai

5

Page 5: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.

Masyarakat yang hidup dalam budaya konsumer. Ada tiga perspektif utama mengenai budaya konsumer menurut Featherstone (1991). Tiga perspektif yang dimaksud adalah ; Pertama, budaya konsumer di dasari pada premis ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah menyebabkan peningkatan akumulasi budaya material secara luas dalam bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat untuk pembelanjaan dan untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan tumbuhnya aktivitas konsumsi serta menonjolnya pemanfaatan waktu luang (leisure) pada masyarakat kontemporer Barat. Kedua, perspektif budaya konsumer berdasarkan perspektif sosiologis yang lebih ketat, yaitu bahwa kepuasan seseorang yang diperoleh dari barang-barang yang dikonsumsi berkaitan dengan aksesnya yang terstruktur secara sosial. Fokus dari perspektif ini terletak pada berbagai cara orang memanfaatkan barang guna menciptakan ikatan sosial atau perbedaan sosial. Ketiga, perspektif yang berangkat dari pertanyaan mengenai kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, impian dan hasrat yang menonjol dalam khayalan budaya konsumer, dan khususnya tempat-tempat kegiatan konsumsi yang secara beragam menimbulkan kegairahan dan kenikmatan estetis langsung terhadap tubuh.

C. Budaya Konsumerisme di Indonesia

Budaya konsumerisme di Indonesia sangat banyak dan mencakup segala hal. Namun dari sudut pandang sains konsumerisme yang berlebihan dan tidak sewajarnya dapat menggangu serta mempengaruhi keseimbangan alam dan kesehatan lingkungan serta tubuh diri sendiri. Contoh budaya konsumerisme dari sudut pandang sains itu sendiri seperti: konsumerisme terhadap rokok, konsumerisme terhadap zat-zat adiktif, alkohol dan psikotropika, konsumerisme terhadap transportasi kendaraan bermotor secara berlebihan, dan yang paling sering dijumpai terutama para remaja adalah konsumerisme terhadap budaya-budaya asing. Pembangunan di Indonesia khususnya sejak era Orde Baru yang memanfaatkan teknologi Barat dan modal asing telah melahirkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser kebudayaan tradisional. Seiring dengan adanya pergeseran nilai, konsumerisme juga menjalar kemana-mana, baik di kota-kota besar maupun pedesaan di Indonesia. Ini membuktikan bahwa dengan modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional serta dilengkapi dengan timbulnya konsumerisme.

Indonesia, sebagai negara dunia ketiga atau negara berkembang (negara miskin) menjadi mangsa yang empuk bagi para kapitalis dalam mengembangkan teori modernismenya yang berujung pada perilaku konsumen (paham konsumerisme). Indonesia memang tidak mampu bersaing sendiri dari segi

6

Page 6: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

ekonomi dengan negara-negara maju, maka disnilah keuntungan negara-negara kapitalis atau negara-negara maju untung mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.Banyak gedung sebagai pusat belanja, mall-mall, kartu kredit yang memberikan banyak pilihan dan kemudahan, membuat masyarakat indonesia sebagai masyarakat konsumeris lupa akan jati diri sesunggunhya, mereka lupa bahwa semua itu hanyalah rekayasa yang dibuat oleh oleh para kapitalis untuk mencapai cita-cita mereka yakni menaklukkan dunia dengan sistem modernisasi seperti sekarang ini melalui proses globalisasi.

Budaya kosnumerisme di Indonesia semakin menjadi-jadi dengan adanya kemudahan untuk mencapai suatu kepuasan akan hal-hal yang diinginkan untuk dipenuhi. “manusia adalah mahluk yang tidak pernah puas” inilah kata-kata yang menggambarkan tentang kepribadian manusia terhadap keinginannya. Inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa orang dalam segi bisnis dan keuntungan. Di zaman modern yang serba canggih seperti ini bukan membuat manusia menjadi produktif tapi justru membuat manusia lebih hidup konsumtif. Ditambah lagi dengan sistem pembayaran dan cara mendapatkan hal-hal yang kita inginkan dengan lebih mudah. Beberapa kemudahan yang sering dijumpai adalah kemudahan transaksi jual beli dengan kartu kredit, e-banking, forum jual-beli melalui internet, sistem pembayaran dengan kredit dan lain sebagainya. inilah yang mendorong masyarakat justru semakin aktif mengkonsumsi daripada menghasilkan sesuatu yang nyata untuk Indonesia.

D. Dampak konsumerisme di Indonesia

Dampak konsumerisme di Indonesia secara umum dalam sudut pandang sosial dan ekonomi mencakup banyak hal, yaitu: negara indonesia terbebani dengan utang karena mengimport barang-barang dari negara asing dan membuat produktivitas turun sehingga mengurangi pendapatan negara.

Dampak konsumerisme di Indonesia dari sudut pandang sains cukup banyak, seperti:

konsumerisme merokok dapat mengakibatkan dirinya menderita kelainan alat sistem pernapasan yaitu infeksi paru-paru, bronkus, bronkeolus, alveolus dan faring hingga mungkin mengakibatkan kanker paru-paru yang berujung pada kematian. Selain berakibat pada perokok aktif, orang yang berada di dekat perokok (perokok pasif) juga memiliki presentase yang sama dengan perokok aktif dalam segi dampak terhadap kerusakan sistem pernapasan pada tubuh.

Konsumerisme terhadap zat adiktif, alkohol dan zat psikotropika sama seperti meracuni diri sendiri. Kenikmatan yang timbul dalam penggunaannya hanya dirasakan sesaat namun kesakitan yang diderita oleh pengguna bisa mencapai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan rehabilitasi yang dilakukan tidaklah mudah

Konsumerisme terhadap transportasi kendaraan bermotor secara berlebihan juga berdampak buruk bagi lingkungan. Polusi udara di kota-kota besar tanpa adanya taman kota juga semakin memperburuk keadaan lingkungan yang mengakibatkan lapisan ozon semakin menipis sehingga suhu udaradi bumi semakin panas yang mengakibatkan mencairnya kutub es di bumi bagian utara

7

Page 7: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

dan selatan. Inilah yang memicu kenaikan permukaan air di bumi dan secara tidak sadar bibir-bibir pantai semakin terkikis dan lama-kelamaan pulau-pulau akan semakin berkurang luasnya.

8

Page 8: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

BAB 3. KARTU KREDIT DAN BUDAYA KONSUMERISME

A. KARTU KREDIT

Hidup di era globalisasi dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat seperti saat ini, merupakan keuntungan yang sangat besar bagi masyarakat. Hampir semua kegiatan sehari-hari saat ini bisa diselesaikan lebih cepat dan menjadi lebih praktis dengan bantuan teknologi, termasuk kegiatan berbelanja. Berbagai kemudahan telah ditawarkan mulai dari sistem belanja online sampai penggunaan kartu kredit.

Dalam Expert Dictionary didefinisikan bahwa kartu kredit merupakan kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya untuk memungkinkan pembawanya membeli barang-barang yang dibutuhkannya secara hutang.

Seperti yang disebutkan dalam definisi bahwa pengguna kartu kredit membeli barang yang dibutuhkannya secara hutang. Kartu kredit menggunakan iuran tahunan, yaitu biaya yang harus dibayarkan oleh penggunanya agar bisa menggunakan kartu kredit. Iuran tahunan biasanya dibukukan ke tagihan saat pengguna membuka rekening dan ditagih setiap tahun. Dari keterangan tersebut, kita juga dapat menyebut kartu kredit sebagai alat penunda pembayaran. Seseorang tidak harus membayar barang yang dibelinya secara cash tetapi bisa menunda pembayarannya dengan kartu kredit, dengan begitu pengguna kartu kredit tidak harus membawa uang tunai dalam perjalanan berbelanjanya.

B. KARTU KREDIT DAN PERILAKU KONSUMEN INDONESIA

Segala kemudahan yang diberikan bagi masyarakat termasuk kemudahan berbelanja menggunakan kartu kredit serta banyaknya produk-produk menarik yang ditawarkan mulai mempengaruhi perilaku konsumen khususnya di Indonesia. Masyarakat saat ini cenderung konsumtif, mereka sering kali membeli barang yang sebenarnya tidaklah terlalu penting.

Fenomena seperti ini terjadi juga karena arus informasi yang tersebar dengan cepat. Produsen barang dan jasa berlomba-lomba mengeluarkan iklan produk mereka untuk menarik sebanyak mungkin konsumen. Iklan produk dibuat semenarik mungkin sehingga konsumen terdorong untuk memiliki barang yang diiklankan tersebut.

Tren barang-barang teknologi yang saat ini berubah dengan cepat juga salah satu factor yang menyebabkan perilaku konsumtif di Indonesia. Masyarakat terutama kaum muda ingin selalu mengikuti tren tersebut sehingga pada akhirnya mereka mengorbankan biaya kebutuhan pokok mereka demi membeli sebuah barang yang bisa membuat mereka disebut trendy. Tren itu sendiri sebenarnya cepat sekali berubah sehingga mereka tidak pernah merasa puas dengan yang dimilikinya, hal ini sudah tentu menyebabkan perilaku konsumtif.

Penggunaan kartu kredit tentu mempermudah hal ini. Dengan membawa kartu kredit, seseorang tidak perlu memikirkan tentang berapa besar jumlah uang yang ia bawa untuk dibelanjakan karena ia tidak akan kehabisan uang saat berbelanja. Kartu kredit memungkinkan masyarakat untuk menunda pembayaran

9

Page 9: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

suatu barang yang mereka beli sehingga kecenderungan untuk boros akan berkali-kali lebih besar.

C. DAMPAK PENGGUNAAN KARTU KREDIT

Kartu kredit dengan segala kemudahan yang dibawanya, juga memilki dampak yang buruk terhadap keuangan seseorang. Kartu kredit dapat membuat seseorang jadi konsumtif, membeli banyak barang yang diinginkannya tanpa memikirkan kebutuhan lain yang lebih penting.

Kartu kredit juga dapat mengubah seseorang menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab, dengan berbelanja dalam jumlah besar tanpa memikurkan apakah penghasilannya cukup untuk membayar kartu kredit pada akhir bulan, ia hanya memikirkan kesenangannya saat itu dan tidak berpikir untuk masa depan.

Dampak negatif lain yang disebabkan oleh penggunaan kartu kredit yang berlebihan adalah tidak seimbangnya keuangan seseorang. Penggunaan kartu kredit dalam tiap kesempatan membuat seseorang terkadang lupa bahwa ia tetap mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pembayaran pada akhir bulan sehingga saat ia menerima tagihan, ia pun kaget melihat pengeluaran yang jauh lebih besar dari pendapatannya.BAB 4. Mengatasi budaya konsumerisme di Indonesia

Globalisasi ternyata membawa sebuah dampak negative yang cukup besar, dan salah satunya, dimana sekarang tengah menjadi salah satu budaya di Indonesia, yaitu konsumerisme. Konsumerisme menjebak kita sebagai konsumer dan membelanjakan uang kita secara terus-menerus. Iklan-iklan baik di media massa, media cetak, maupun media elektronik, ditambah pesatnya pertumbuhan mall-mall dan minimarket ikut mendukung berkembangnya budaya ini. Budaya konsumerisme seakan mulai menjadi “trademark”, terutama di kalangan remaja jaman sekarang. Namun, bukan berarti budaya konsumerisme tidak bisa dicegah dan dihindari, berikut beberapa cara mengatasi budaya konsumerisme di Indonesia:

1. Membiasakan hidup sederhana

Pola hidup sederhana adalah membeli barang-barang sesuai dengan kebutuhan dan harga barang tersebut mampu dijangkau. Namun, hidup sederhana bukan berarti hidup sehemat-hematnya, tapi menggunakan uang sesuai dengan yang kita butuhkan dan tidak mem-foya-foyakan uang yang kita miliki, sehingga kebutuhan mampu terpenuhi dengan baik.

2. Manajemen Keuangan

Konsumerisme membuat manusia membeli semua barang yang diinginkannya, jadi, alangkah baiknya jika kita mampu mengontrol keuangan kita agar tidak “besar pasak daripada tiang”. Salah satu nya adalah dengan memanajemen keuangan kita. Manajemen keuangan adalah suatu kegiatan perencanaan, penganggaran, pemeriksaan, pengelolaan, pengendalian, pencarian, dan penyimpanan dana yang dimiliki seseorang ,organisasi atau perusahaan. Dengan manajemen keuangan, kita mampu mengatur pemasukan dan pengeluaran kita, sehingga menghindari kita terlilit hutang, bahkan, bukan tidak mungkin, kita mampu melakukan saving.

10

Page 10: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

3. Kebutuhan dan keinginan

Kebutuhan adalah sesuatu yang memang kita butuhkan atau dianggap penting, dan bisa saja bersifat mendesak. Sementara keinginan adalah sesuatu (biasanya berupa kebutuhan sekunder atau tersier) yang bersifat tidak terlalu penting dan tidak mendesak. Konsumerisme biasanya berupa hawa nafsu untuk membeli suatu barang yang tidak penting bahkan juga tidak berguna. Hal ini didorong oleh nilai prestis (gengsi) atau rasa tidak mau kalah terhadap orang lain. Bahkan, kita bisa saja rela berhutang demi barang yang tidak penting tersebut. Dalam kasus ini, kita sering tidak memperdulikan mengenai perbedaan antara kebutuhan dan keinginan. Hal inilah yang kadang membuat keinginan yang seharusnya tidak penting, malah naik pangkat sehingga keinginan yang sering kali mendesak manusia hingga terjebak dalam konsumerisme. Bahkan, keinginan yang tidak terkendali bisa membuat kebutuhan malah berada di bawah dari keinginan, dan akhirnya, kebutuhan kita tidak terpenuhi, malah kita memiliki hutang dan mungkin saja jatuh dalam kemiskinan. Oleh sebab itu, kita harus mampu mengendalikan keinginan kita sendiri dan mampu melihat suatu benda dari nilai kegunaan benda tersebut, sehingga kita mampu terhindar dari konsumerisme.

4. Membuat skala prioritas kebutuhan dan ke-urgensian suatu benda

Kebutuhan-kebutuhan pun wajib kita ukur skala prioritasnya dan keurgensiannya. Maksudnya, kebutuhan yang sangat mendesak dan menjadi kebutuhan yang sangat penting di saat tersebut, harus segera dipenuhi. Hal ini dilakukan agar uang yang kita miliki mampu disesuaikan dengan kebutuhan kita. Skala ini juga membantu kita dalam membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Adapun skala prioritas dan urgensi ini disusun berdasarkan:

1. Tingkat kedaruratan, maksudnya, semakin darurat nya suatu kebutuhan, ia harus semakin didahulukan. Misalnya, saat sedang sakit yang parah, alangkah lebih baik jika membeli obat di apotek daripada pulang ke rumah dahulu untuk mengambil obat. Walaupun pulang ke rumah mungkin lebih murah daripada membeli obat tersebut, tapi akan lebih baik jika membeli obat tersebut, karena anda dalam keadaan yang kurang memungkinkan untuk pulang.

2. Kesempatan yang dimiliki, misalnya saat lapar, makanan menjadi hal utama, hal lain menjadi kebutuhan di bawhnya.

3. Pertimbangan masa depan, maksudnya, kebutuhan masa depan bisa saja menjadi kebutuhan darurat di masa depan, jadi, alangkah baiknya jika kita mulai berjaga-jaga dari sekarang, dan jangan sampai, kebutuhan ini menjadi pendesak kita saat uang kita mulai menipis

4. Kemampuan diri, yaitu kita diharapkan mampu menyesuaikan suatu kebutuhan dengan diri kita sendiri.

5. Tingkat pendapatan, yaitu sesuaikan kebutuhan dengan uang yang kita miliki. Jangan sampai, kebutuhan terpenuhi, namun hutang yang kita miliki menumpuk.

11

Page 11: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

6. Status sosial, artinya tidak memaksakan kehendak hanya demi status sosial, atau mengikuti gaya orang lain, dan rela berhutang agar diakui sebagai orang kaya.

7. Lingkungan, artinya kita harus beradaptasi dengan lingungan sekitar. Sweater mungkin sangat dibutuhkan oleh masyarakat di Eropa atau daerah yang dingin, tapi kurang dibutuhkan di daerah tropis

12

Page 12: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

BAB 5. PENUTUP

A. SimpulanKebudayaan cenderung akan selalu berubah-ubah dalam ruang dan waktu,

menjawab keperluan-keperluan insani. Di satu pihak memperbaharui dan di pihak lain melestarikan nilai-nilai. Bila semata-mata hanya melestarikan nilai-nilai lama dan menolak nilai-nilai baru, dapat terjadi tabrakan dengan keperluan-keperluan objektif masyarakat. Walaupun ada sebagian anggota masyarakat yang berpendapat bahwa modernisasi tidaklah harus berarti Westernisasi, dalam arti kita boleh mengambil alih teknologi yang faktual datang dari Barat, tetapi tanpa mengambil alih kebudayaan Barat, penulis berpendapat hal ini tidak mungkin.

Namun, budaya-budaya yang muncul akibat Negara barat belum tentu sepenuhnya baik. Maka dari itu perlu adanya penyaringan antara budaya yang baik dan kurang baik.

13

Page 13: Konsumerisme Sebagai Polusi Budaya Bangsa Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Baudrillard, Masyarakat Konsumsi, kreasi wacana, Yogyakarta: 2004.Samekto, Kapitalisme Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta :2005Ritzer, Teori Sosial Postmodern, Kreasi Wacana, Yogyakarta: 2003Wikipedia, the free encyclopediaKomparta- Indonesia / Penulis Buku Hukum Menelusuri Konsumerisme) oleh JJ Amstrong Sembiring.http://indowarta.com

14