Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif...

20
Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola Perempuan di Surabaya) 2016 1 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola Perempuan di Surabaya) Aditya Wicaksana W. P NIM: 071211432014 Program Sarjana Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Airlangga Semester Genap Tahun 2015/2016 Penelitian ini mencoba untuk mengetahui konstruksi sosial pemain sepak bola perempuan terhadap sepak bola melalui teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger. Studi ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan analisis kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam bentuk wawancara mendalam guna memperolehi data yang jelas mengenai fokus permasalahan. Dari temuan data dalam penelitian ini didapat beberapa variasi data tentang konstruksi sosial pemain sepak bola perempuan melalui proses dialektika ekternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi terhadap sepak bola. Dari hasil wawancara mendalam, ditemukan data bahwa pemain sepak bola perempuan mengkonstruksi sepak bola sebagai olahraga yang menyenangkan dan memiliki tantangan. Pemain sepak bola perempuan merasa tidak setuju jika sepak bola diidentikkan dengan olahraga kaum laki-laki dan hanya cocok dimainkan oleh kaum laki-laki. Menurut pemain sepak bola perempuan, olahraga tidak membatasi jenis kelamin sehingga perempuan juga cocok untuk bermain sepak bola, dan perempuan memiliki hak untuk bermain sepak bola. Dalam hal ini, terjadi perbedaan pandangan antara masyarakat umum dengan para pemain sepak bola perempuan. Kata kunci : Konstruksi Sosial, Sepak Bola, Perempuan

Transcript of Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif...

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

1 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan

(Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola Perempuan di Surabaya)

Aditya Wicaksana W. P

NIM: 071211432014

Program Sarjana Sosiologi

Departemen Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik

Universitas Airlangga

Semester Genap Tahun 2015/2016

Penelitian ini mencoba untuk mengetahui konstruksi sosial pemain sepak bola

perempuan terhadap sepak bola melalui teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger.

Studi ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan analisis kualitatif. Teknik

pengumpulan data dalam bentuk wawancara mendalam guna memperolehi data

yang jelas mengenai fokus permasalahan. Dari temuan data dalam penelitian ini

didapat beberapa variasi data tentang konstruksi sosial pemain sepak bola

perempuan melalui proses dialektika ekternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi

terhadap sepak bola. Dari hasil wawancara mendalam, ditemukan data bahwa

pemain sepak bola perempuan mengkonstruksi sepak bola sebagai olahraga yang

menyenangkan dan memiliki tantangan. Pemain sepak bola perempuan merasa tidak

setuju jika sepak bola diidentikkan dengan olahraga kaum laki-laki dan hanya cocok

dimainkan oleh kaum laki-laki. Menurut pemain sepak bola perempuan, olahraga

tidak membatasi jenis kelamin sehingga perempuan juga cocok untuk bermain sepak

bola, dan perempuan memiliki hak untuk bermain sepak bola. Dalam hal ini, terjadi

perbedaan pandangan antara masyarakat umum dengan para pemain sepak bola

perempuan.

Kata kunci : Konstruksi Sosial, Sepak Bola, Perempuan

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

2 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENDAHULUAN

Sepak bola adalah salah satu olahraga paling populer di dunia. Sayangnya, dewasa ini

sepak bola masih diidentikkan sebagai hal yang berbau maskulin (Wardhani, 2014).

Sehingga, ketika ada perempuan yang terlibat menjadi pemain sepak bola selalu dianggap

sebagai hal yang unik, aneh, tidak biasa, bahkan masih ditabukan.

Sepak bola merupakan olahraga yang sangat keras dan kasar dalam permainannya.

Pemain sepak bola dituntut untuk berlari, merebut bola, berbenturan dengan lawan,

berjibaku di lapangan dan lain sebagainya. Hal inilah yang membuat masyarakat patriarki

menganggap sepak bola hanya cocok dimainkan oleh laki-laki, karena perempuan dianggap

sebagai makhluk yang lemah. Kendati demikian, dewasa ini, perempuan mulai meminati

sepak bola dengan mulai bermunculannya pemain sepak bola perempuan.

Dalam buku Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender karya

KH. Husein Muhammad, kebudayaan patriarki memapankan peran laki-laki untuk

melakukan dan menentukan apa saja, disadari atau tidak, mendapatkan pembenaran atas

apa yang dilakukannya. Sebaliknya, kaum perempuan berada dalam posisi subordinat bagi

kaum pria sehingga membatasi ruang gerak perempuan. Keadaan ini sering kali terbukti

melahirkan sebuah proses marjinalisasi, bahkan ekspolitasi dan kekerasan terhadap

perempuan. Kaum feminis melihat ada kerancuan atau bahkan kekeliruan pemahaman atau

pandangan masyarakat mengenai hakekat hubungan sosial yang melandasi subordinasi

kaum perempuan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Pada umumnya, orang melihat

perempuan sebagai makhluk yang lemah, sementara laki-laki kuat; perempuan emosional,

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

3 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

laki-laki rasional; perempuan halus, laki-laki kasar; dan seterusnya. Perbedaan-perbedaan

ini yang kemudian diyakini oleh masyarakat secara umum sebagai ketentuan kodrat

(Muhammad, 2012:3).

Sedangkan menurut Sadli, dalam keseharian, perilaku perempuan seringkali dikaitkan

dengan aspek jasmaniah secara langsung dan tidak langsung sering diinterpretasikan secara

populer sebagai perempuan dan kodratnya. Secara biologis, masalah aspek jasmaniah ini

secara sistematis menunjukkan bagaimana aspek jasmaniah perempuan berpengaruh

terhadap pengembangan perilakunya. Meskipun penjelasan biologis sering kali

disalahgunakan, memang benar bahwa fisik yang berbeda antara perempuan dan lelaki

merupakan variabel yang berpengaruh pada perilaku tiap-tiap jenis kelamin (Sadli, 2010:5).

Begitu juga, saat perempuan terlibat langsung dalam sepak bola, selalu muncul

stereotip bahwa “sepak bola akan membuat wanita menjadi laki-laki”, “olahraga akan

membahayakan kesehatan wanita”, “wanita tidak memiliki kemampuan untuk berolahraga”

atau “wanita tidak tertarik untuk berkompetisi”. Menurut stereotip partriarkis, lelaki

dilahirkan untuk mendominasi, bersaing, dan berjuang, sebaliknya wanita diharuskan untuk

memahami, memiliki sifat penurut, bersolidaritas, serta menunjukkan ketenangan dan

kesetiannya kepada laki-laki (Wardhani, 2014).

Perempuan diposisikan sebagai subordinasi laki-laki di mana perempuan diciptakan

untuk meneruskan keturunan (fungsi biologis). Konsepsi tubuh perempuan sangat dikritik

oleh gerakan feminis sejak awal modern di pada tahun 1960-an, menyerukan hak

perempuan untuk memiliki kehendak bebas atas tubuhnya sendiri. Olahraga adalah sebuah

lapisan sosial yang sempurna untuk mempertunjukkan identitas maskulin, yaitu agresi dan

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

4 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

rivalitas yang diatur oleh peraturan tertentu. Hal itu diciptakan melalui fakta bahwa cabang

olahraga paling terkenal dan mendapatkan bayaran lebih baik adalah cabang olahraga yang

dimainkan oleh laki-laki. Dalam buku berjudul Del Juego Al Estadio (2014) karangan

Jacobo Rivero dan Claudio Tamburrini, disebutkan bahwa olahraga menunjukkan dominasi

kaum laki-laki. Hal itu diciptakan melalui realitas bahwa cabang olahraga paling terkenal

dan mendapatkan bayaran yang lebih baik adalah cabang olahraga yuang dimainkan oleh

laki-laki (Wardhani, 2014).

Dari perspektif kesehatan, sepak bola ternyata ampuh menurunkan tekanan darah bagi

kaum perempuan (Anderson & Rustam, 2015). Penelitian ini, mengamati 41 wanita yang

belum pernah melakukan olahraga sepak bola, dengan tekanan darah sekitar 140/90 mmHg.

Seluruh peserta kemudian diminta mengikuti latihan rutin sepak bola selama 15 pekan.

Menurut Magni Mohr, seorang peneliti dari University of Gothenburg, Swedia, latihan

rutin sepak bola yang dilakukan wanita paruh baya menunjukkan hasil cukup signifikan,

para wanita ini berhasil menurunkan sebanyak 6 mmHg hingga 12 mmHg tekanan

darahnya. Times of India dalam Anderson & Rustam (2015) melansir, selain berhasil

menurunkan tekanan darah, latihan sepak sepakbola juga mampu menurunkan berat badan

para wanita ini sebanyak 2 sampai 3 kg, yang tentunya menjadi nilai plus. Hal senada juga

dikemukakan Peter Krustrup, seorang profesor dari University of Exeter, Inggris. Krustrup

mengatakan, selain dapat menurunkan tekanan darah dan berat badan, rutin melakukan

latihan sepak bola ringan pada wanita, juga menurunkan jumlah kolesterol yang dapat

memicu penyakit berbahaya, seperti stroke salah satunya.

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

5 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

Secara historis, sepak bola diidentifikasi secara resmi oleh FIFA (Badan Otoritas

Tertinggi Sepak Bola Seluruh Dunia) berasal dari Tiongkok pada masa Dinasti Han, yaitu

sekitar abad ke-2 atau ke-3 sebelum masehi. Permainan sepak bola pada zaman itu berbeda

jauh dengan sepak bola saat ini. Permainan yang disebut tsu chu tersebut merupakan

permainan menggiring bola kulit dan memasukkannya ke dalam jaring kecil. Kegiatan ini

dilakukan rutin sebagai bentuk pelatihan fisik para tentara dan sebagai hiburan pada acara

ulang tahun sang kaisar (Firzani, 2010:13).

Tidak diketahui dengan pasti kapan tepatnya perempuan mulai bermain sepak bola.

Berbagai klaim sempat muncul mengenai kapan dan di mana pertama kali perempuan mulai

eksis di panggung sepak bola. FA (Asosiasi Sepak Bola Inggris) mengaku, pertandingan

sepak bola putri pertama digelar pada 1895, ketika North mengalahkan South dengan skor

7-1. BBC mencatat bahwa pertandingan pertama sepak bola perempuan sudah berlangsung

14 tahun sebelumnya, ketika Skotlandia mengalahkan Inggris dengan skor 3-0. Sementara,

sumber lain menyebut, sudah ada dokumentasi tentang sebuah pertandingan sepak bola

putri pada 1628.

Pada sekitar tahun 1921, diadakan pertandingan sepak bola perempuan di Everton,

Inggris. Diadakannya pertandingan tersebut cukup mengejutkan karena respon dari pecinta

sepak bola ternyata sangat besar dengan sekitar 53.000 penonton yang hadir menyaksikan

pertandingan ini. Melihat fenomena ini, FA merespon dengan cepat. FA mengganggap

sepak bola perempuan akan menjadi pesaing sepak bola pria. Oleh karena itu mereka

membuat kebijakan bahwa sepak bola perempuan tidak boleh dimainkan di Inggris dengan

alasan sepak bola sangat tidak cocok untuk perempuan. Kemudian beberapa negara Eropa

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

6 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

seperti Belanda dan Jerman mengikuti jejak Inggris dengan alasan yang sama (Firzani,

2010:30). Dengan kebijakan seperti itu maka sepak bola perempuan di Eropa menjadi

kurang populer di kalangan perempuan.

Pada tahun 1970, seiring dengan dicabutnya peraturan pelarangan sepak bola untuk

perempuan di berbagai penjuru negara Eropa, sepak bola perempuan mulai ramai

digandrungi lagi, mulai anak-anak sampai orang tua sekalipun. FIFA melirik dan mengatur

kembali sepak bola untuk perempuan. Akhirnya, pada tahun 1991 FIFA mengadakan Piala

Dunia Wanita pertama, di Republik Rakyat Tiongkok (Deni, 2014). Seiring berjalannya

waktu, banyak negara mulai membentuk tim nasional wanita. Klub-klub sepak bola

perempuan pun mulai bermunculan di Eropa sebagai benua yang menganggap sepak bola

sebagai bagian dari budaya. Di Inggris, hampir setiap klub sepak bola sudah mendirikan

klub sepak bola perempuan, sehingga diadakan pula kompetisi dengan format yang sama

dengan sepak bola pria. Dampaknya perempuan di beberapa negara seperti benua Eropa,

Amerika, dan Asia Timur sudah tidak asing dengan olahraga ini.

Di Indonesia, sepak bola sudah mulai diminati pada masa kolonialisme Belanda.

PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) berdiri bahkan sebelum Indonesia meraih

kemerdekaan yakni pada 19 April 1930, di Yogyakarta (Campbel, 2012). Saat itu pula,

Indonesia sudah memiliki klub sepak bola seperti, VIJ (Jakarta), BIVB (Bandung), VVBS

(Solo), MVB (Madiun), IVBM (Magelang), dan SIVB (Surabaya). Sayangnya belum

diketahui secara jelas kapan mulai munculnya sepak bola perempuan di Indonesia. Namun

setidaknya sejarah mencatat pada tahun 1979, PSSI membentuk beberapa kompetisi untuk

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

7 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

mewadahi sepak bola. Kompetisi itu adalah Galatama1 untuk pemain sepak bola pria

profesional, Galakarya untuk karyawan, Galasiswa untuk siswa, dan Galanita untuk wanita

(Campbel, 2012). Semua kompetisi tersebut kini sudah tidak diselenggarakan kembali.

Untuk Galatama, kompetisi ini telah melebur dengan Perserikatan dan berubah nama

menjadi Liga Indonesia. Sedangkan untuk Galanita kini sudah tidak digulirkan lagi.

Di Surabaya, kini sudah terdapat klub sepak bola perempuan yang bernama Putri

Surabaya (Pusura). Kabar terakhir menyebutkan Pusura telah menorehkan prestasinya di

ajang Piala Bude Karwo dengan menjuarai kompetisi tersebut pada medio April 2015

(Wasono, 2015). Kendati demikian, sepak bola masih bukan menjadi sepak bola yang

populer dimainkan oleh perempuan. Timnas Wanita Indonesia juga kalah pamor dari

Timnas Pria karena jarang muncul di permukaan publik sehingga membuatnya

termarjinalkan.

Sejatinya, masalah ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga negara-negara lain.

Sebagaimana ditulis di Harian Bola (20-21 Juni 2015:7), fakta memperlihatkan betapa

Piala Dunia Wanita tetap merupakan ajang yang dimarginalkan oleh FIFA sendiri.

Beberapa fakta mengindikasikan hal tersebut. FIFA contohnya, hanya menggelontorkan 15

juta dolar AS sebagai prize money di Piala Dunia Wanita 2015, jumlah yang sangat rendah

sekali jika dibandingkan 358 juta dolar AS pada PD 2014. Tim juara di Piala Dunia Wanita

2015, Timnas Wanita AS menerima 2 juta dolar AS, sementara Timnas Pria Jerman

mendapatkan 35 juta dolar AS berkat kesuksesan mereka menjadi kampiun di Brasil tahun

2014.

1 Singkatan: Liga Sepak Bola Utama

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

8 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

Peneliti juga pernah mewawancarai seorang pemain sepak bola dan futsal perempuan

yang berinisial EU. EU merupakan seorang mahasiswi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Airlangga, yang bergabung dengan klub futsal FISIP Universitas

Airlangga. EU mengaku ia mendapat pengaruh dari keluarganya, yakni ayah dan saudara

laki-lakinya yang begitu menyukai sepak bola. Akan tetapi, justru EU mendapat larangan

dari orang tuanya—sampai sekarang—dengan alasan perempuan tidak cocok untuk

bermain sepak bola. Dengan dalih budaya masyarakat Jawa yang sangat membatasi ruang

gerak perempuan, keterlibatan perempuan dalam sepak bola dianggap sebagai hal yang

nyeleneh, tidak elok, melawan kodrat, dan sebagainya. Orang tua EU juga melegitimiasi

agama untuk tidak memperbolehkan perempuan untuk terjun ke dunia sepak bola. EU

sendiri sampai sekarang masih bermain sepak bola dan futsal secara diam-diam tanpa

memberitahu orang tuanya.2

Berdasarkan penjelasan di atas, di Indonesia sepak bola perempuan masih merupakan

hal tabu, meski perkembangan sepak bola perempuan di negara Barat semakin pesat dan

perspektif kesehatan yang memiliki dampak positif bagi perempuan. Hal ini disebabkan

kultur patriarkis yang melekat pada budaya di Indonesia, sehingga membuat masyarakat

secara umum menganggap sepak bola adalah olahraga kaum pria. Melihat realitas inilah

peneliti ingin meneliti bagaimana proses konstruksi sosial sepak bola yang berlangsung di

kalangan pemain sepak bola perempuan di Surabaya.

Berdasarkan penjelasan di atas, ditemukan benang merah bahwa masyarakat

mengkonstruksikan sepak bola identik dengan stereotype maskulin yang pada umumnya

2 Hasil wawancara dengan EU, seorang pemain sepak bola dan futsal, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, pada 29 Desember 2015, pukul 13.00

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

9 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

digemari oleh laki-laki. Bahkan masih ada pelarangan perempuan yang sangat menyenangi

sepak bola oleh orang tuanya dengan alasan kodrat perempuan. Selain itu, ditemukan pula

fenomena munculnya klub sepak bola perempuan di Surabaya. Oleh karena itu, peneliti

merumuskan masalah dalam penelitian, yaitu: Bagaimana konstruksi sosial tentang sepak

bola yang berlangsung di kalangan pemain sepak bola perempuan?

Teori Konstruksi Sosial

Konstruksi sosial merupakan suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh individu

terhadap lingkungan dan aspek di luar dirinya yang terjadi melalui tahapan proses dialektis

yaitu eksternalisasi, obyektivas,i dan internalisasi.

Dengan menggunakan teori konstruksi sosial Peter L. Berger, penelitian ini

bermaksud untuk menelaah seperti apa makna yang dibangun oleh pemain sepak bola

perempuan terhadap sepak bola. Dengan menggunakan teori kontruksi sosial Peter L

Berger, peneliti akan mengkaji bagaimana proses dialektis antara eksternalisasi, objektivasi,

dan internalisasi itu terjadi pada para pemain sepak bola perempuan. Individu-individu

dalam masyarakat akan membangun konstruksi berdasarkan tempat dan situasi di mana

mereka berada dengan membentuk dunia sosial melalui pemaknaannya terhadap realitas di

masyarakat.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk meneliti tentang konstruksi

sosial pemain sepak bola perempuan terhadap sepak bola. Penelitian ini bersifat deskriptif.

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

10 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

Setting penelitian ini dilakukan pada pemain klub sepak bola perempuan, Putri Surabaya

(Pusura). Penentuan informan menggunkan teknik purposive sampling. Informan yang

diambil adalah seorang yang dianggap relevanuntuk menjawab permasalah yang di angkat.

PEMBAHASAN

Analisis Konstruksi Sosial

Dalam buku Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Berger menyatakan bahwa kehidupan

sehari-hari sejatinya sudah diobjektifikasi, yang mana sudah dibentuk suatu tatanan objek-

objek yang sudah diberi nama sebagai objek-objek sebelum indivu-individu ada. Bahasa di

pergunakan dalam kehidupan sehari-hari secara terus menerus memberikan kepada individu

berbagai objektifasi yang diperlukan dan menetapkan tatanan yang mana objektifasi itu

bermakna dan kehidupan sehari-hari mempunyai makna bagi individu itu sendiri (Berger &

Luckmann, 1991:31).

Artinya individu-individu akan membentuk dunia sosial melalui pemaknaannya

terhadap realitas di masyarakat. Dalam mode yang dialektis, terdapat tesis, antitesis dan

sintesa, Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk

masyarakat (Poloma, 1994:305).

Dalam konteks ini, peneliti ingin mencoba mengetahui bagaimana pemain sepak bola

perempuan mengkontruksikan realitas sekitarnya, yaitu mengenai sepak bola yang masih

dianggap sebagai olahraga bagi kaum laki-laki. Dari berbagai tanggapan tersebut akan

didapatkan presepsi yang bervarariatif, sebab tiap individu memiliki pemikiran yang

berbeda tentang bagaimana mereka mengkontruksikan realitas di luar dirinya, terutama

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

11 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

realitas yang dirasa berbeda dengan nilai yang menyertainya. Selain itu analisis konstruksi

sosial juga akan didapat gambaran mengenai situasi sosial dari hasil kontruksi sosial

pemain sepak bola perempuan terhadap sepak bola.

Ekternalisasi

Dalam proses eksternalisasi seorang individu akan berusaha beradaptasi terhadap

lingkungan sosial. Dalam beradaptasi individu akan menggunakan bahasa atau tindakan

sebagai suatu simbol. Manusia atau individu menggunakan bahasa untuk beradaptasi yang

kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosialnya, pada tahap ini dapat

terlihat dan dijumpai perempuan yang mampu menerima atau tidak, dapat menerima suatu

situasi yang baru yakni perkenalan pertama dengan sepak bola. Dalam hal ini terlihat di

kalangan pemain sepak bola perempuan pertama kali mengenal sepak bola di lingkungan

sekitarnya yaitu, keluarga, lingkungan bermain, dan teman. Kondisi lingkungan sekitar

sangat mempengaruhi pemikiran dan pandangan seseorang untuk bisa memutuskan pada

hal-hal baru yang ditemuinya. Ketertarikan subjek menjadi gerbang pembuka untuk

mengetahui institusi sosial yang baru ditemuinya ini.

Hal ini kemudian membuat subjek ingin mengetahui lebih lanjut mengenai sepak

bola, seperti teknik dasar dan peraturan dalam sepak bola agar dapat memainkan sepak bola

dengan baik. Selain itu, subjek melihat sepak bola sebagai olahraga yang memiliki

tantangan yang berbeda dari olahraga lain. Permainan fisik yang kuat dan realitas bahwa

sepak bola banyak dimainkan oleh laki-laki membuat subjek sebagai perempuan merasa

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

12 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

tertantang untuk membuktikan bahwa perempuan bisa melakukan hal yang sama seperti

yang dilakukan oleh laki-laki.

Mengenai perbedaan sepak bola dengan olahraga lain, para subjek berpendapat

bahwa sepak bola bisa merangkum olahraga lain dari cabang atletik seperti lari dan lompat.

Hal ini membuat subjek merasa sepak bola olahraga yang lebih lengkap sehingga dapat

menunjang kemampuan fisik yang lebih kuat.

Objektifikasi

Dalam objektifikasi hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan

eksternalisasi manusia tersebut, hasil itu berupa realitas objektif yang akan menghadapi

penghasil itu sendiri sebagai suatu realitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia.

Hal ini kemudian menghasilkan realitas objektif berbeda dengan realitas subjketif

perorangan. Ia menjadi realitas empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Pada tahap ini

masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif, atau proses interaksi sosial dalam dunia

intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi yang mana

objektifikasi individu berusaha untuk berinteraksi dengan dunia sosial. Di dalam

objektifikasi, realitas tersebut terlihat berada di luar diri manusia. Individu terasa sebagai

realitas subjektif dan realitas objektif sehingga membentuk jaringan intersubjektif melalui

proses pelembagaan atau institusional.

Proses objektivikasi pertama yang dilakukan oleh pemain sepak bola perempuan

dengan melakukan interaksi antar sesama pemain sepak bola perempuan lainnya. Semenjak

pertama kali bergabung dalam Pusura, semua pemain sudah menjalin interaksi yang

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

13 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

memungkinkan mereka melakukan tindakan yang sama dalam berinteraksi dan kemudian

akan membentuk sebuah habitualisasi atau kebiasaan.

Dari interaksi terus menerus tersebut, membuat pemain lebih memahami mengenai

sepak bola secara objektif yang berbeda dengan pemahaman awalnya sehingga akan

tercipta pemahaman ganda. Proses interaksi yang terjadi antar pemain sepak bola

perempuan ini dipengaruhi oleh suatu intitusi atau lembaga yang menjadi wadah mereka

untuk berinteraksi yakni Putri Surabaya (Pusura). Dalam paguyuban tersebut, pemain

mendapat sebuah identitas dari masyarakat yang membuat keberadaannya mendapatkan

legitimasi atau pengakuan. Sebagai individu yang telah mendapat legitimasi dari

masyarakat dengan memainkan sepak bola, setiap pemain dituntut untuk menjalankan

peran sesuai bagian mereka bermain sepak bola.

Tiap tindakan yang sering dilakukan akan menjadi suatu pola yang kemudian

direproduksi dengan upaya sekecil mungkin dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola

yang dimaksud (Berger, 1990:72). Dan proses pelembagaan inilah yang akan membangun

kesadaran menjadi sebuah tindakan. Dalam sebuah proses institusional atau pelembagaan,

tersebut nilai-nilai sebagai pedoman di dalam melakukan interpertasi tindakan yang telah

dilakukan, dalam hal ini masyarakat di lihat sebagi realitas yang objektif.

Hal ini membuat interaksi yang terjalin antar pemain sepak bola perempuan berjalan

dengan baik. Pengalaman yang diperoleh dengan bermain sepak bola membuat pemain

dapat mendalami sepak bola. Selain memperoleh pengalaman, setiap pemain juga

mendapatkan manfaat dari bermain kesenian dongkrek yaitu bertemu dengan banyak

pemain lain, memperoleh kesenangan dan kebahagian, dan menunjang aktfitas olahraga

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

14 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

untuk menjaga kesehatan. Melalui proses interaksi antar pemain yang dilakukan secara

terus menerus, kemudian setiap pemain mendapatkan pengalaman dan manfaat dari

bermain sepak bola.

Dalam tahap ini objektifikasi adalah hasil yang dicapai, baik mental maupun fisik dari

kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Dari tahap ekternalisasi di mana perempuan mulai

tertarik dan menerima sepak bola sebagai hobinya. Subjek mulai melihat bahwa gaya

hidup pemain sepak bola mengatur pola hidupnya dengan baik. Pemain sepak bola perlu

untuk tetap berlatih olahraga dan menjaga pola makan, sehingga membuat mereka hidup

sehat. Selain itu, kodrat subjek sebagai perempuan membuat mereka memiliki hambatan

yang berbeda dari laki-laki. Hambatan tersebut adalah menstruasi. Menstruasi yang mereka

alam setiap bulan cukup mempengaruhi perasaan dan semangat mereka yang kerap

menurun dan enggan untuk berlatih maupun bertanding sepak bola. Namun, mereka justru

menganggap ini sebagai tantangan yang menarik.

Hal ini menunjukkan bahwa subjek mulai ingin tahu lebih dalam mengenai sepak

bola dengan mulai mempelajari lingkungan baru. Dalam proses objektifikasi ini, individu

cenderung ingin terlibat dalam dunia baru yang ditemuinya sehingga memungkinkan untuk

mengetahui seluk-beluk dunia itu.

Internalisasi

Proses internalisasi merupakan proses individu melakukan penyerapan kembali atas

realitas yang terbentuk di masyarakat sebagai struktur yang objektif dan

mengaplikasikannya dalam diri sebagai sebuah realitas subjektif. Internalisasi merupakan

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

15 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif

individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.

Proses mengkonstruksi ini muncul ketika individu benar-benar berusaha untuk

memahami realitas masyarakat yang ada melalui proses interaksi yang dilakukan

sebelumnya. Sebelum masuk pada tahap internalisasi, subjek mengalami proses

ekternalisasi sebagai pengetahuan awal mengenai sepak bola yang diperoleh melalui

adaptasi dan proses objektifikasi sebagai proses pemahaman pemain untuk mendalami

pengetahuan mereka sebagai pemain sepak bola perempuan. Berbagai macam unsur dari

dunia yang telah terobjektifikasi tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar

kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi

manusia menjadi hasil dari masyarakat.

Pada tahap internalisasi, individu mulai mengidentifikasi diri dalam dunia sosial

sekaligus penarikan realitas sosial di dalam diri. Dalam hidup bermasyarakat manusia

senantiasa dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya melalui sebuah

proses. Proses tersebut dapat disebut sebagai proses penyesuaian diri individu kedalam

kehidupan sosial, atau lebih tepatnya ialah sosialisasi. Dalam hal ini terdapat dua macam

sosialisasi yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekuder. Sosialisasi primer merupakan

sosialisasi yang pertama yang dialami oleh individu sejak kecil pada masa kanak-kanak,

yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Yang kedua adalah sosialisasi sekunder

yaitu setiap proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke

dalam sektor-sektor baru dunia objektif masyarakatnya (Berger & Luckmann, 1990:177).

Pada tahap internalisasi ini, subjek mulai mengidentikkan dirinya sebagai pemain sepak

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

16 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

bola perempuan. Subjek telah merasa menjadi bagian dari institusi sosial bernama sepak

bola. Hal ini tergambarkan pada temuan data mengenai alasan subjek memutuskan untuk

menjadi pemain sepak bola perempuan. Kelima subjek menyatakan bahwa mereka

menemukan kenyamanan dalam sepak bola.

Bagi para subjek, tidak ada perbedaan mencolok antara sepak bola laki-laki dan

perempuan. Meski demikian, dalam beberapa kondisi, terdapat perbedaan peraturan dan

porsi latihan antara laki-laki dan perempuan. Para subjek pun ternyata juga tidak banyak

tahu mengenai perkembangan sepak bola perempuan internasional. Hal ini disebabkan oleh

akses informasi yang kurang memadai.

Sebagai prospek pekerjaan, subjek meyakini bahwa pemain sepak bola perempuan

bisa menjadi pekerjaan yang menjanjikan bagi mereka. Namun, salah seorang subjek

berpendapat bahwa perempuan bisa saja memiliki hambatan untuk bekerja sebagai pemain

sepak bola perempuan mengingat perempuan nantinya akan menjadi istri sekaligus ibu.

Kondisi ini dikhawatirkan akan membatasi ruang geraknya untuk dapat menyalurkan hobi

tersebut. Dalam rumah tangga perlu adanya dialog antara suami dan istri untuk menemukan

kesepakatan perihal pekerjaan ini.

Karakteristik Pemain Sepak Bola Perempuan dalam Konstruksi Sosial

Dari hasil pembahasan tentang konstruksi sosial pemain sepak bola perempuan

terhadap sepak bola, masih terdapat pengekangan dan ketimpangan hak antara perempuan

dan laki-laki dalam sepak bola. Hal ini tercerminkan dalam beberapa pembahasan yang

menyinggung masalah hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sepak bola.

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

17 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

Akan tetapi, hal ini dapat teratas bila dalam sebuah hubungan, laki-laki bisa mafhum

dan mengizinkan perempuan untuk menyalurkan minat dan bakatnya sebagai pemain sepak

bola perempuan.

Menurut perspektif sosiologis yang berlaku, maskulinitas atau femininitas kita tidak

ditentukan secara biologis. Meskipun warisan biologis atau genetik kita memberi kita

masing-masing organ kelamin laki-laki atau perempuan, namun kelelakian atau

keperempuanan kita tergantung pada apa yang kita pelajari. maskulinitas atau femininitas

kita, orientasi seksual kita, dan bagaimana kita berperilaku sebagai laki-laki atau

perempuan, tidak tergantung pada pembelajaran biologis tetapi pada pembelajaran sosial.

Dapat dikatakan bahwa gender kita adalah bagian dari warisan sosial kita (Henslin,

2001:138-139).

Dalam sejarahnya, perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui

proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan gender dikarenakan

oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi

secara sosial maupun kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalu proses

panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan hingga

perbedaan gender dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan (Fakih, 2013:9-10).

Melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusional

dan perlahan-lahan mempengaruhi kondisi biologis masing-masing jenis kelamin. Karena

konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka kemudian

laki-laki menjadi terlatih dan bersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju

sifat gender yang ditentukan oleh masyarakat. Demikan halnya dengan perempuan yang

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

18 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

dikonstruksikan memiliki sifat lemah lembut. Proses sosialisasi dan konstruksi sosial

berlangsung secara mapan dan membutuhkan waktu tidak singkat, akhirnya melahirkan

pandangan seolah sifat gender ini adalah ketentuan kodrat dari Tuhan (Fakih, 2013:11).

Hal ini pun semakin jelas bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan dalam sifat dan

peran tidak ditentukan sesuai dengan ketentuan kodrat. Peran gender didasarkan pada

pengalaman dan pembelajaran sosial bagi masing-masing individu. Para subjek yang

melihat sepak bola sebagai olahraga kaum laki-laki, justru merasa tertantang untuk bisa ikut

bermain sepak bola. Hal ini kemudian membuat subjek merasa bahwa sepak bola sangat

cocok untuk perempuan dan olahraga manapun tidak ditentukan berdasarkan jenis kelamin.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisis data, peneliti menemukan bagaiamana proses para

pemain sepak bola perempuan mengkonstruksi sepak bola bagi kehidupannya. Proses

konstruksi sosial tersebut dianalisis secara mendalam dengan menggunakan perspektif teori

konstruksi sosial Peter L. Berger. Menurut Berger terdapat proses dialektika antara

individu dan masyarakat yang saling berhubungan dan saling menentukan. melalui tiga

proses yaitu adanya eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial pemain

sepak bola perempuan terhadap sepak bola juga muncul karena adanya proses dealektika

tersebut sehingga muncul jawaban yang berbeda-beda. Pemain sepak bola perempuan

memiliki pandangan bahwa sepak bola adalah olahraga yang tidak hanya cocok bagi laki-

laki, namun juga perempuan. Menurut subjek, pandangan sepak bola yang identik dengan

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

19 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

olahraga laki-laki disebabkan oleh pengetahuan masyarakat umum yang selama ini hanya

disuguhkan sepak bola yang dimainkan oleh laki-laki.

Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian tentang konstruksi pemain sepak bola perempuan

terhadap sepak bola, maka peneliti memberi saran sebagai berikut:

1. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan skripsi ini bisa digunakan sebagai informasi

pembanding dengan topik yang serupa tetapi dengan setting lokasi maupun perspektif

yang berbeda.

2. Bagi para pemain sepak bola perempuan, diharapkan dapat menambah wawasan

pengetahun mengenai sepak bola perempuan.

3. Bagi klub sepak bola yang ada di Indonesia, diharapkan dapat mengembangkan

kembali sepak bola perempuan yang ada sehingga bakat-bakat yang dimiliki oleh

pemain dapat tersalurkan dengan baik.

4. Bagi PSSI, diharapkan mampu melahirkan kebijakan mengenai pengelolaan,

pengembangan, dan pembinaan pemain sepak bola perempuan sehingga bisa

diandalkan dalam kejuaraan internasional yang akan mengharumkan nama bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Ricky dan Dhea Amanda Rustam. 2015. Penelitian: Sepak Bola Bagus untuk

Kesehatan Wanita. Viva. http://life.viva.co.id/news/read/575739-penelitian--sepak-

bola-bagus-untuk-kesehatan-wanita. Diakses pada 21 September 2015.

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah

Tentang Sosiologi Pengetahuan. (Terj. Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.

Konstruksi Sosial Sepak Bola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepak Bola

Perempuan di Surabaya) 2016

20 | ADITYA WICAKSANA WANY PRAHARA | FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA

Campbel, Irene. 2012. Sejarah Sepak Bola Indonesia. Kompasiana.

http://www.kompasiana.com/totokl/sepakbola-sejarah-sepak-bola-

indonesia_55123bbf8133118254bc6263. Diakses pada 4 September 2015.

Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

FIFA. History of Football: The Origins. http://www.fifa.com/about-fifa/who-we-are/the-

game/index.html. Diakses pada 24 Desember 2015

Henslin, James M. (ed.). 2001. Down to Earth Sociology: Introductory Readings Eleventh

Edition. New York: The Free Press.

Ismunanto, Irawan Dwi. 2015. Sejarah Perlawanan Kaum Perempuan di Dunia Sepak

Bola. MSPORTS. http://www.msports.net/detailpost/sejarah-perlawanan-kaum-

perempuan-di-dunia-sepak-bola. Diakses pada 20 Oktober 2015.

Karami, Luqman Rifqi. 2012. Jepang Rebut FIFA Fair Play Award. Viva.

http://bola.viva.co.id/news/read/278710-jepang-rebut-fifa-fair-play-award. Diakses

pada 22 Oktober 2015.

Muhammad, Husein. 2012. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan

Gender. Yogyakarta: LkiS.

. 2014. Islam dan Seksualitas. http://huseinmuhammad.net/islam-dan-

seksualitas/. Diakses pada 14 November 2015

Penyelamat yang Dimarjinalkan, Harian Bola, Sabtu-Minggu, 20-21 Juni 2015 | No. III |

012 | Hal. 7

Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan.

Jakarta: Kompas.

Wardhani, Wulan Kusuma. 2014. Diskriminasi Terhadap Wanita di Dunia Sepak Bola.

Pandit Football. http://panditfootball.com/pandit-sharing/diskriminasi -terhadap-

wanita-di-dunia-sepakbola/. Diakses pada tanggal 2 September 2015.

Wasono, Hari Tri. 2015. Kesebelasan Putri Surabaya Juarai Turnamen Piala Bude Karwo.

Tempo. http://bola.tempo.co/read/news/2015/04/27/099661364/kesebelasan-putri-

surabaya-juarai-turnamen-piala-bude-karwo. Diakses pada 10 September 2015.