KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PERNIKAHAN...
Transcript of KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PERNIKAHAN...
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
1 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT
BATAK
(Studi pada masyarakat Batak di Surabaya )
Oleh : FIRMAN SONDANG
NIM: 071211433054
Program Sarjana Sosiologi
Departemen Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik
Universitas Airlangga
Semester Genap/Tahun 2015/2016
Abstrak
Pernikahan Adat dalam masyarakat Batak adalah salah satu mata rantai
kehidupan yang tata pelaksanaanya melalui hukum-hukum adat yang sudah
melekat dari dulu hingga saat ini dan hal tersebut berasal dari para leluhur
masyarakat Batak . Pernikahan Adat Batak mengandung nilai sakral, yang disertai
dengan perlengkapannya. Kesakralan pernikahan Adat Batak terlihat ketika
adanya pengorbanan bagi parboru, permasalahan batasan dalam pernikahan adat
Batak bukan masalah baru yang ada dalam masyarakat. Praktik batasan dalam
pernikahan ini diduga telah terjadi sejak lama. Dewasa ini, praktik pembatasan
dalam pernikahan masyarakat Batak telah tersebar ke berbagai wilayah di
Indonesia. Dan kondisi sosial tersebut dikarenakan kondisi masyarakat Batak
yang semakin menyebar luas fokus dalam penelitian ini tentang konstruksi sosial
masyarakat Batak mengenai batasan dalam pernikahan adat Batak. Tujuan
penelitian meliputi mengetahui bagaimana kontruksi sosial masyarakat Batak
mengenai batasan dalam pernikahan adat Batak. Penelitian ini menggunakan
Teori Konstruksi Sosial yang didapat dari buku Peter L Berger dan Thomas
Luckmann dan Tindakan sosial Max Weber. Teori tersebut digunakan sebagai
pisau analisis fenomena sosial mengenai batasan dalam pernikahan adat Batak,
dengan menggunakan data kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dengan
teknik pengambilan informan secara purposif sehingga diperoleh enam subyek.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan Orang Batak, khususnya yang
merantau, memiliki pemahaman bahwa aturan adat telah mengalami pergeseran.
Dari hukum adat pernikahan Batak yang menganut nilai-nilai tradisional tetapi
pernikahan saat ini lebih mementingkan nilai toleransi, ketika berada
diperantauan. Keaktifan dalam perkumpulan tidak menjadi jaminan bagi
masyarakat Batak untuk tidak melanggar perkawinannya.
Kata kunci : Konstruksi sosial, adat Batak
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
2 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah salah satu
peristiwa penting walaupun tidak
menjadi suatu keharusan bagi setiap
individu. Pernikahan bagi
masyarakat yang berbudaya tidak
hanya sekedar meneruskan naluri
para leluhur secara terus-menerus
untuk membentuk suatu keluarga
dalam ikatan resmi antara laki-laki
dan perempuan, tetapi juga memiliki
arti yang sangat luas bagi
kepentingan manusia itu sendiri serta
lingkungannya. Upacara pernikahan
memiliki ragam dan variasi antar
bangsa, suku satu dengan yang lain
dalam suatu bangsa, agama, budaya,
maupun kelas sosial. Namun,
pengesahan secara hukum suatu
pernikahan hanya akan terjadi ketika
dokumen tertulis yang mencatat
pernikahan ditandatangani. Undang-
undang pernikahan Indonesia tahun
1974 menyebutkan bahwa
pernikahan adalah ikatan lahir dan
batin seorang laki-laki dan
perempuan sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga
dan rumah tangga yang berbahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Adat dan upacara pernikahan
pada dasarnya akan tetap ada dalam
masyarakat berbudaya, walau dalam
batas ruang dan waku akan
senantiasa mengalami perubahan.
Akan tetapi, perubahan tersebut akan
selalu menjadi unsur budaya yang
dihayati terus-menerus, karena adat
dan upacara pernikahan mengatur
dan mengukuhkan suatu bentuk
hubungan antar manusia yang
berlainan jenis dalam masyarakat.
Pernikahan Adat memiliki tata cara
yang telah ada dan disepakati dalam
masyarakat. Tata cara yang telah
disepakati tentu memiliki makna dan
nilai-nilai tertentu sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Masyarakat
Batak misalnya, terdiri dari berbagai
macam sub-suku yang berdomisili di
wilayah Sumatra Utara jika dilihat
menurut tanah kelahirannya, di
antaranya, Karo, Mandailing-
Angkola, Simalungun, Pakpak,
Samosir, Humbang, dan Padang
Lawas. Secara umum etnis Batak
lebih dikenal dengan 4 (empat) sub-
suku yakni Batak, Batak
Simalungun, Batak Mandailing, dan
Batak Karo. Setiap adat dari masing-
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
3 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
masing sub-suku tidak semua sama,
sebab setiap sub-suku tersebut
memiliki tata cara, bahasa, bahkan
lagu yang berbeda, termasuk
perbedaan tata cara pernikahan Adat.
Pernikahan Adat dalam
masyarakat Batak adalah salah satu
mata rantai kehidupan yang tata
pelaksanaanya melalui hukum-
hukum adat yang sudah melekat dari
dulu hingga saat ini dan hal tersebut
berasal dari para leluhur masyarakat
Batak . Pernikahan Adat Batak
mengandung nilai sakral, yang
disertai dengan perlengkapannya.
Kesakralan pernikahan Adat Batak
terlihat ketika adanya pengorbanan
bagi parboru (pihak mempelai
perempuan), karena pihak mempelai
perempuan berkorban memberikan
satu nyawa manusia yakni anak
perempuannya kepada pihak paranak
(pihak mempelai laki-laki).
Balasannya, kemudian pihak laki-
laki juga harus menghargai besannya
dengan mengorbankan atau
mempersembahkan satu nyawa juga
yakni seekor hewan (sapi atau
kerbau), yang nantinya akan
dijadikan santapan (makanan adat)
dalam ulaonunjuk-unjuk atau adat
pernikahan tersebut. Bukti bahwa
makanan tersebut adalah hewan yang
dikorbankan secara utuh, maka pihak
laki-laki harus menyerahkan bagian-
bagian tertentu dari hewan tersebut
(kepala, leher, rusuk melingkar,
pangkal paha, bagian bokong dengan
ekor yang masih melekat, hati,
jantung, dll) (Vergouwen, 2004:
229).
Pernikahan adat Batak
adalah Eksogami, artinya tidak
diperkenankan mengambil isteri
maupun suami dari kelompok
sendiri. Karena masyarakat Batak
memiliki identitas sebagai orang
Batak dan tali kekerabatan yang erat
di mana pun mereka berada.
Perkawinan merupakan upacara yang
sakral bagi suku Batak dan salah
satu upaya untuk mempertahankan
kekerabatan yang terbentuk melalui
falsafah Dalihan Natolu. Melalui
sistem perkawinan sesama suku
ataupun pemberian marga jika terjadi
perkawinan di luar suku mereka.
Sekalipun di daerah rantau, suku
Batak berusaha untuk
mempertahankan identitas sebagai
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
4 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
orang Batak. Bagi orang Batak
jaman dahulu, cinta sebelum
perkawinan tidak perlu. Cinta
dianggap tumbuh dengan sendirinya
setelah anak lahir, terlebih setelah
kelahiran anak laki-laki. Istri yang
telah melahirkan anak laki-laki,
dianggap telah menunaikan tugas
sejarahnya. Dia disebut boru naung
gabe (perempuan yang diberkati
berketurunan), dia menerima
penghargaan dari suaminya,
hidupnya sudah terjamin meski
suaminya meninggal lebih dulu.
Bahkan meski perkawinan awalnya
tidak diinginkan dan terjadi di bawah
tekanan, bisa menjadi perkawinan
marrongkap gabe (berjodoh dan
diberkati berketurunan) setelah
kelahiran anak laki-laki. Namun
kelahiran anak perempuan membuat
hidup sebuah keluarga menjadi lebih
sempurna (J.C. Vergouwen, 1986,
hal 212-213).
Secara kultural, setiap orang
Batak khususnya orang Batak
menganjurkan kepada keturunan-
keturunannya untuk melakukan
perkawinan yang satu suku, agar
nilai-nilai dari Dalihan Natolu, nilai-
nilai yang sudah menjadi prinsip
masyarakat Batak memunculkan
sebuah norma yang mengatur
perkawinan Batak, norma tersebut
menjadi prinsip oleh semua
masyarakat Batak. Dalam
perkawinan Batak ada perkawinan
terlarang istilah yang disebut
“marsubang”. Termasuk dalam
perkawinan terlarang apabila orang
yang melakukan perkawinan
terlarang terhadap Iboto (saudara
perempuan dari anggota marga
sendiri). Hubungan lain yang tidak
diperkenankan adalah marpadan
(ikrar janji). Bagi orang Batak yang
melanggar peraturan perkawinan
tersebut, akan dikenakan hukuman
yaitu dibakar hidup-hidup oleh
masyarakat setempat, diusir dari
kampung serta dicoret dari silsilah
keluarga.
Melalui pemaparan yang
telah diuraikan diatas adat
perkawinan Batak menjadi
kompleks ketika ada sebuah kasus
perkawinan yang sudah berbeda
marga tetapi tidak diperbolehkan
karena adanya larangan. Menurut
J.C. Vergouwen sudah ada yang
melanggar adat perkawinan Batak ,
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
5 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
misalnya Marga Hasibuan dengan
marga Hasibuan, marga Harahap
dengan marga Harahap, marga
Nasution dengan marga Nasution,
dan sebagainya. (J.C. Vergouwen,
1986:35). Selain itu, ada juga studi
terdahulu yang telah telah
dipaparkan oleh Xaverus Leonardo
tentang Perkawinan Endogami
Dalam Hukum Adat Batak (Studi
Kasus Perkawinan Richard
Nainggolan Lumbanraja dengan
Rumida boru Nainggolan). Akibat
hukum perkawinan endogami dalam
masyarakat adat Batak adanya
kepercayaan ketika ada yang
melakukan perkawinan endogami
atau perkawinan satu marga akan
terjadi cacat pada anak dari hasil
perkawinan endogami.
Semakin majunya zaman dan
berkembangnya ilmu pengetahuan
telah membuat segala macam
pemikiran manusia untuk lebih maju
(modern) dalam segala aktifitas
kehidupannya sehari-hari.
Perkembangan zaman yang muncul
sebagai fenomena modernisasi dapat
membuat banyak tradisi di dalam
suatu kebudayaan mulai mengalami
kelonggaran secara perlahan.
Dampak modernisasi yang positif
dan negatif terhadap hubungan
kekerabatan dapat mempengaruhi
tingkah laku masyarakatnya, dalam
hal ini kelompok sosial yang sudah
terbentuk atas dasar hubungan yang
kuat serta kesamaan pemikiran dan
tujuan. Dalam hal ini penelitian
dilakukan di Surabaya hal tersebut
dikarenakan Surabaya merupakan
kota yang memiliki perkembangan
zaman cukup pesat dan mempunyai
kemungkinan untuk melonggarkan
atau mengaburkan tradisi yang ada
dalam suatu kebudayaan, dan
Surabaya juga merupakan salah satu
kota tujuan perantauan orang Batak.
Peneliti tertarik bahwa sudah
ada orang Batak yang melanggar
adat perkawinan Batak apakah
fenomena pelanggaran tersebut
merupakan bentuk penyimpangan
atau merupakan perubahan sosial.
Dari paparan realitas diatas maka di
rumuuskan fokus masalah bagaimana
bagaimana kontruksi sosial
masyarakat Batak mengenai hukum
dalam pernikahan adat Batak
Penelitian ini menggunakan metode
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
6 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan konstruksi
teknik sasaran pengambilan informan
menggunakan purposif
KERANGKA TEORITIK
Teori Konstruksi Sosial (Peter L.
Berger & Thomas Luckmann)
Masyarakat sebagai Realitas
Objektif
Berger mengungkapkan
pandangannya tentang masyarakat
merupakan realitas objektif.
Masyarakat tercipta sebagai realitas
objektif karena adanya berbagai
individu yang mengeksternalisasikan
dirinya dengan mengungkapkan
subjektivitas konstruksinya melalui
aktivitas yang dilakukannya (Samuel
2012: 27).
Aktivitas yang dilakukan
individu ini terjadi secara terus-
menerus dan berulang, namun tidak
berarti pengulangan aktivitas ini
tidak mengalami perubahan.
Pengulangan aktivitas dalam istilah
Berger menyebutnya “habitualisasi”
(Ludwig 2012: 63-66). Habitualisasi
merupakan pengulangan tindakan
atau aktivitas individu, melakukan
tindakan atau aktivitas di masa kini
atau masa depan yang kurang lebih
sama dengan tindakan atau aktivitas
di masa lampau. Selanjutnya, Berger
mengemukakan bahwa dengan
adanya aktivitas yang mengalami
habitualisasi ini memunculkan
tipifikasi. Habitualisasi dan tipifikasi
ini tidak hanya terjadi pada satu
aktor saja, tetapi melibatkan dua
orang atau lebih dan seluruh
manusia. Tipifikasi yang terjadi satu
dengan yang lain saling
berkorespondensi yang
memungkinkan terbentuknya pranata
sosial. Tipifikasi resiprositas dapat
berubah menjadi institusi sosial bila
eksistensinya telah berlaku secara
luas, eksternal (objektif), dan koersif
(memaksa) terkadang masing-masing
individu pembentuknya. Ini
merupakan proses terbentuknya
tatanan institusional masyarakat.
Pada dasarnya masyarakat
muncul karena adanya individu-
individu yang memiliki pengalaman
bersama sebagai hasil pertalian
individu atau aktivitas yang
dilakukan masing-masing.
Pengalaman bersama ini merupakan
satu kesatuan yang utuh, yang lain
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
7 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
dari akumulasi pengetahuan individu
(individual’s stock of knowledge).
Ada kekhasan tersendiri dari
pengalaman bersama dibandingkan
dengan pengalaman individual.
Pertama, pembentukan pengalaman
bersama tidak melibatkan semua
pengalaman individu, melainkan
hanya sebagian saja, yaitu
pengalaman yang mengendap dan
bertahan dalam ingatan manusia.
Kedua, pengalaman bersama bersifat
objektif dan pengalaman individu
bersifat subjektif. Namun
pengalaman individu ini dapat
bersifat objektif ketika telah
dikomunisikan bersama individu
yang lain melalui simbol-simbol
terutama bahasa. Dengan begitu,
pengalaman individual ini dapat juga
tersedia menjadi akumulasi
pengalaman bersama bagi mereka
yang tidak memiliki pengalaman
individu yang sama. Ketiga,
akumulasi pengalaman bersama
(shared stock of knowledge) ini
tidak terlepas dari akumulasi
pengalaman yang telah terjadi. Tidak
menutup kemungkinan akumulasi
pengalaman bersama ini bertambah.
Dan akumulasi pengalaman bersama
yang terus-menerus berlangsung ini
dikenal sebagai tradisi. Namun, tidak
semua akumulasi pengalaman
bersama dapat menjadi tradisi.
Keempat, akumulasi pengalaman
bersama yang terbentuk dari
pengalaman individual akan
melewati proses objektif di mana
kedudukan pengalaman bersama
tersebut menjadi pedoman berpilaku
masyarakat luas.
Masyarakat sebagai Realitas
Subjektif
Menurut Berger, pada
masyarakat sebagai realitas subjektif,
terdapat hubungan dialektis
didalamnya, di mana ada proses
hubungan saling membentuk dan
menentukan. Bagi Berger, ketika
manusia lahir, ia hanya memiliki
kesiapan untuk menerima kehadiran
masyarakat dalam kesadarannya.
Seiring dengan kesiapan manusia
menerima masyarakat dalam
kesadaran sendiri inilah proses
internalisasi berlangsung.
Internalisasi merupakan proses di
mana manusia menyerap
pengetetahuan dunia yang dihuninya.
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
8 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
Proses internalisasi ini tidak
menghilangkan kedudukan realitas
objektif atas persepsi individu.
Internalisasi hanya menyangkut
penginterpretasian realitas objektif
menjadi realitas subjektif menjadi
pengetahuan yang hadir dan
mengendap dalam kesadaran
individu. Internalisasi berlangsung
seumur hidup manusia, baik itu
sosialisasi primer maupun sosialisasi
sekunder. Terdapat perbedaan antara
subjek yang mengalami sosialisasi,
“materi sosialisasi”, maupun orang-
orang yang bertugas
menginternalisasi. Pada saat
sosialisasi primer, individu
ditanamkan sifat-sifat umum yang
berlaku pada masyarakat. Ketika
sosialisasi primer, individu juga
memperoleh identitas diri.
Sedangkan pada saat sosialisasi
sekunder, individu mengenali sifat-
sifat khusus yang berlaku pada sektor
tertentu saja. Adapun sosialisasi
sekunder ini ada kelanjutan dari
sosialisasi primer.
Perbedaan sosialisasi primer
dan sosialisasi sekunder juga dapat
dilihat dari aspek yang mengalami
sosialisasi. Dalam sosialisasi primer,
aspek biologis sangat
dipertimbangkan (kita tidak bisa
mengajarkan balita untuk bermain
catur atau belajar berdialektika). Hal
ini tentu berbeda pada proses
sosialisasi sekunder. Keterbatasan
aspek biologis tentu ada, namun
tidak begitu dipertimbangkan. Selain
aspek biologis, aspek ketertarikan
emosional antar kedua pihak (pelaku
internalisasi dan orang yang
mengalami internalisasi) juga
menentukan kelancaran proses
sosialisasi. Menurut Berger (2012:
177), inti dari proses internalisasi
adalah proses penerimaan definisi
situasi institusional yang
disampaikan orang lain. Individu
akhirnya sampai pada memahami
definisi orang lain, tetapi seiring
dengan pemahaman definisi tersebut,
individu bersama dengan individu
yang lain mampu menjalin
pendefinisian yang mengarah pada
pembentukan definisi bersama. Jika
sudah sampai pada tahap ini, artinya
individu bisa dianggap menjadi
bagian dari masyarakat
sesungguhnya., yaitu dapat berperan
aktif dalam pembentukan
masyarakatnya.
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
9 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
Salah satu tugas pokok pada
sosiologi pengetahuan adalah
menjelaskan adanya dialektika antara
diri (self) dengan dunia sosio-
kultural. Dialektika ini berlangsung
dalam suatu proses dengan tiga
tahapan simultan, yakni sebagai
berikut (Berger 2012: 181)
1) Eksternalisasi, merupakan
proses penyesuaian diri
dengan dunia sosio-kultural
sebagai produk manusia
2) Objektivasi, merupakan
proses di mana proses
interaksi sosial dalam dunia
intersubjektif yang
dilembagakan atau
mengalami proses
institusionalisasi
3) Internalisasi, proses di mana
individu mengidentifikasi diri
dengan lembaga-lembaga
sosial atau organisasi sosial
tempat individu menjadi
anggotanya.
Teori Tindakan Sosial (Max
Weber)
Rasionalitas merupakan konsep
dasar yang digunakan Weber dalam
klasifikasinya mengenai tipe-tipe
tindakan sosial.Pembedaan pokok
yang diberikan adalah tindakan
rasional dan nonrasional.Tindakan
rasional berhubungan dengan
pertimbangan yang sadar dan pilihan
bahwa tindakan itu dinyatakan. Atas
dasar rasionalitas tindakan sosial,
Weber membedakannya ke dalam
empat tipe. Semakin rasional
tindakan social itu semakin mudah
pula dipahami. Empat tipe tindakan
social tersebut antara lain:
Rasionalitas instrumental,
Rasionalitas berorientasi nilai,
tindakan tradisonal dan tindakan
afektif.
PEMBAHASAN
Batasan Marga Dalam Realitas
Sosial Objektif dikalangan
Masyrakat Adat Batak
Batasan marga dalam
pernikahan adat Batak menurut
logika normal masyarakat Batak
memang harus dilakukan. Karena
batasan marga dalam pernikahan
adat Batak yang aktivitas di lakukan
di dalam ritual pernikahan
merupakan ajaran yang berkembang
di masaykrat Batak dan dilegistimasi
oleh gereja HKBP. Kondisi seperti
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
10 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
ini diungkapkan oleh informan dari
pihak tokoh agama maupun dari
warga Batak yang masih melakukan
aturan tersebut. Anggapa tersebut
dikarenakan atas pengalaman
keluarganya. analisis ini hanya ingin
mencoba membentuk wacana tentang
pemikiran masyrakat adat Batak
yang mendifinisikan batasan marga
dalam pernikahan adat dengan
bentuk yang lebih sosiologis. Teori
yang dipakai adalah konstruksi Peter
L. Berger dan Thomas Lukmann
dalam buku The Social Construction
of Reality: A Treatise in the
Sociology of Knowledge. Dalam
bukunya tersebut, Berger dan
Luckmann mengupas tentang adanya
dua objek pokok realitas berkenaan
dengan pengetahuan, yaitu realitas
objektif sebagai fakta sosial dan
realitas subjektif berupa pengetahuan
individual.
Terdapat hubungan yang
dialektis antara realitas objektif
dengan realitas subjektif. Realitas
subjektif berupa pengetahuan
individu akan berproses menjadi
realitas objektif, yakni ketika
pengetahuan tersebut menjadi
pengetahuan bersama. Proses
eksternalisasi, dilanjutkan
internalisasi, dan diakhiri dengan
pengelompokkan tipe atau
skematifikasi. Terdapat realitas
subjektif yang dinegoisasikan dan
ada pula yang dipaksakan. realitas
objektif berlaku umum dan sebagai
fakta sosial ia memiliki kemampuan
memaksa.
Terbentuknya realitas
objektif, berlangsung proses
intersubjektif konsensus. Di mana
individu sebagai aktor dengan
kebebasannya saling menegosiasikan
pengetahuannya. Pada akhirnya,
intersubjektivitas tersebut
membentuk realitas objektif, baik
antardua orang maupun lebih.
Realitas subjektif adalah
“pengetahuan individual”, sedangkan
realitas objektif disebut dengan
“pengetahuan sosial”. Konsep
pengetauan sosial mendifinisikan
Masyarakat sebagai realitas objektif
yang terbentuk melalui pelembagaan
(institutionalization). Proses
pelembagaan tersebut diawali dengan
proses eksternalisasi yang dilakukan
secara berulang-ulang sehingga
menghasilkan pola dan dapat
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
11 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
dipahami bersama. Hal ini lalu
menghasilkan proses pembiasaan. Di
mana pembiasaan yang telah lama
berlangsung tersebut cukup
memunculkan pengendapan.
Pengendapan di sini ialah
pengendapan yang disebut dengan
tradisi yang kemudian diwariskan ke
generasi selanjutnya. Media untuk
mewariskan tradisi tersebut adalah
bahasa sebagai instrumen yang
sangat penting. Terbentuknya realitas
objektif juga melalui tahap
legitimasi, di mana legitimasi
merupakan proses objektivasi
makna, karena selain menyangkut
penjelasan juga mencakup nilai-nilai
yang digunakan. Legitimasi tersebut
berfungsi untuk membuat objektivasi
yang telah melembaga menjadi
masuk akal secara subjektif.
Realitas objektif batasan
marga yang berkembang pada
kalangan masyrakat Batak di
Indonesia sebagai budaya adat yang
di legistimasi oleh ajaran agama.
Dalam masa itu, realitas objektif
batasan marga dalam pernikahan
adat Batak dibentuk melalui
dialektika pemikiran intersubjektif.
Batasan marga merupakan kondis
yag harus dilalui oleh masyarakat
Batak dalam melakukan ritual
pernikahan. Akan tetapi, berorientasi
kepada masa depan, setiap aktivitas
manusia selalu memiliki tujuan yang
ingin dicapai.
Penjelasan dari sudut
pandang lain tindakan melanggar
batasan marga dalam pernikahan
sebagai tindakan yang tidak sesuai
norma dialami oleh yang melanggar
batasan pernikahan. Berdasarkan
pengalaman dari orang Batak,
tindakan melanggar batasan marga
sering kali berorientasi pada
kepercayaan bahwa tindakan tersebut
tidak sesuai dengan ajaran adat.
Pengalaman yang di terima dari
orang Batak tesebut dilihat dari
respon yang diterima warga terhadap
kehidupan sosial orang Batak
tersebut. Respon tersebut merupakan
representasi tindakan melanggar
batasan sehingga berdampak pada
adanya pemberian sanksi. Selain itu,
alasan lain yang mengakibatkan
tindakan melanggar batasan adalah
masuknya unsur agama. Alasan-
alasan tersebut nyata dan benar
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
12 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
terjadi, sehingga pelanggaran
terhadap batasan marga masih
dianggap sebagai isu kontemporer
saat ini.
Persoalan mengenai batasan
marga dalam pernikahan adat Batak
melalui proses eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi yang
secara bersamaan membentuk
fenomena yang terjadi di masyarakat.
Manusia dipaksa untuk
mengeksternalisasikan dirinya.
Eksternalisasi merupakan keharusan
antropologis (Berger 1990: 71).
Maksudnya adalah keberadaan
manusia tidak mungkin berlangsung
dalam suatu lingkungan yang
tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan
manusia harus terus-menerus
mengeksternalisasikan diri dalam
aktivitas. Masyarakat bersama-sama
mengeksternalisasikan dirinya dalam
aktivitas bersama dan karena proses
itu menghasilkan suatu realitas baru.
Dunia ini termasuk bagian yang
disebut dalam struktur sosial,
memperoleh status realitas objektif.
Dunia itu pula, yang disebut sebagai
suatu realitas objektif,
diinternalisasikan dalam proses
sosialisasi menjadi bagian
pembentukan dari kesadaran
subjektif individu yang tersosialisasi.
Eksternalisasi adalah suatu pencurah-
dirian manusia secara terus-menerus
ke dalam dunia, baik dalam aktivitas
fisik maupun mental. Objektivasi
merupakan proses disandangnya
produk-produk aktivitas itu (fisik dan
mental). Tahap selanjutnya,
eksternalisasi masyarakat sebagai
produk manusia menjadi realitas
objektif dimana pengetahuan
individu terintegrasi satu sama lain
dalam struktur (Berger 1990: 71).
Realitas objektif batasan
marga dalam pernikahan adat Batak
dipahami berbeda oleh setiap
individu. Pemikiran tersebut
dituangkan dalam pemikiran
subjektif mengenai batasan marga
dalam pernikahan adat Batak dan
dideskripsikan batasan marga dalam
pernikahan adat merupakan refleksi
adat yang membatasi pernikahan
berdasarkan cinta (afektif) dan
sebagainya bukan lagi realitas sosial
objektif, melainkan realitas sosial
subjektif.
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
13 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
Dalam hal ini proses
ekternalisasi masyarakat Batak
mengenai batasan marga sebagai
realitas dalam pernikahan, yang
mana hal terebut dapat terjadi
pergeseran pengatahuan baru dalam
masyarakat Batak di di luar kampung
halaman hal tersebut di sampaikan
oleh BS, JP, DP dan RS yang
menjelaskan bahwa adanya
pengetahuan baru dalam memahami
batasan marga dalam penikahan
hukum adat Batak.
Selanjutnya, Objektivasi
merupakan proses disandangnya
produk-produk aktivitas itu (fisik dan
mental). Tahap selanjutnya,
eksternalisasi masyarakat sebagai
produk manusia menjadi realitas
objektif dimana pengetahuan
individu terintegrasi satu sama lain
dalam struktur hal tersebut dapat
terlihat dari adanya masyarakat adat
yang melanggar hukum penikahan
adat, hal tersebut di karenakan
adanya nilai toleransi sebagai
pedoman baru, dan hal tersebut telah
menjadi hal yang biasa di kalangan
masyarakat hal tesebut di sampaikan
oleh TW dan RS
Selanjutnya, internalisasi
ialah identifikasi diri dalam dunia
sosial yang mana suatu proses
individu melakukan identifikasi diri
dalam dunia sosial, dalam hidup
bermasyarakat manusia senantiasa
dituntut untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial melalui
suatu proses, yakni proses sosialisasi.
Menurut Berger proses sosialisasi
terdapat dua kategori yakni
sosialisasi primer dan sosialisi
sekunder, dalam hal ini adanya
pergeseran nilai hukum adat
penikahan adat di karenakan adanya
sosialisasi sekunder yakni adanya
pengaruh dari lingkungan yang
membikin pergeseran nilai hukum
adat penikahan Batak, hal tersebut di
sampaikan oleh RS yang
menjelaskan hukum adat Batak tidak
sekental di kampung halaman.
Dari hasil proses ketiga
tahapan ekternalisasi,Objektifikasi
dan Internalisasi tersebut dapat di
ketahui bahwa Batasan hukum adat
pernikahan merupakan identitas
kesukuan yang mengandung nilai-
nilai tradisonal tetapi adanya
pengaruh lingkungan di luar Batak
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
14 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
itu sendiri membuat hukum
penikahan adat Batak menjadi
tergeser karena adanya nilai baru
yakni nilai toleransi.
Batasan Marga Sebagai Realitas
Sosial Subjektif dikalangan
Masyarakat Pelanggar Aturan
Adat Pernikahan Batak
Batasan marga sebagai aturan
Batak yang membatasi setiap warga
Batak untuk memilih orang yang
dicintai dalam pernikahan
merupakan bentuk dari fenomena
dimana terungkap adanya proses
dialektis antara realitas objektif
dengan realitas subjektif. Batasan
pernikahan sebagai buah
pengetahuan yang terintegrasi satu
sama lain melalui proses sosialisasi
tidak selalu berbanding lurus dengan
realitas subjektif di tingkat
individual. Didapati fakta bahwa
proses sosialisasi mengenai batasan
pernikahan tidak hanya dipengaruhi
orang tua, melainkan juga
sosiokultural tempat individu
berdomisili serta nilai – nilai lain
seperti nilai agama dan budaya dari
luar. Akibat yang timbul dari adanya
pertentangan antara realitas objektif
dalam bentuk aturan adat dengan
tindakan individual yaitu pergeseran
nilai dalam lingkup rumpun dan
adanya sanksi sosial seperti
pengucilan. Proses tersebut
berlangsung bagi masyarakat yang
melanggar aturan batasan marga,
bukan hanya yang secara langsung
melanggar, melainkan juga dari
anggota keluarga yang melakukan
pelanggaran. Kondisi tersebut
mendapatkan respon negatif dari
masyarakat yang masih memegang
ajaran mengenai batasan marga.
Kejadian-kejadian seperti
respon negatif dari masyarakat yang
memegang teguh batasan marga
bagian dari hasil proses konstruksi
dimana terdapat nilai lain yang
membentuk pemahaman dimana
pelanggaran adat pernikahan
merupakan bagian subkebudayaan
yang mulai bermunculan dan di
terima sedikit demi sedikit oleh
masyarakat atas dasar pertimbangan
tertentu. Terlihat bahwa terdapat
kontribusi dimana pemahaman
individual yang berupa realitas
objektif berupa tindakan pelanggaran
adat telah mempengaruhi struktur
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
15 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
masyarakat sehingga membentuk
kompromi baru (meski masih dalam
lingkup kecil).
Hal itu terjadi pada orang
Batak yang melanggar aturan batasan
marga, keduanya membentuk
pengetahuan mengenai pelanggaran
batasan marga dengan mengamati
fenomena lingkungan kehidupan
sehari-hari Setelah itu, kemungkinan
terjadi tidak saja dunia sosial tampak
asing bagi individu dengan
pernyataan-pernyataan dari tetapi
individu juga menjadi asing bagi
dirinya sendiri dalam aspek-aspek
tertentu dari dirinya yang telah
tersosialisasi. Sehingga dari beberapa
orang Batak yang telah diwawancara
dan mengalami penolakan dari
keluarga karena melanggar batasan
marga, keterasingan berdampak pada
terisolasinya individu dalam
pergaulan sosial sehingga terdapat
proses – proses tertentu yang tidak
lagi didapatkan individu tersebut dan
berpengaruh kepada pemahaman
yang berkembang dan terwujud
dalam realitas objektifnya.
Kondisi masyarakat Batak
yang melakukan pelanggaran aturan
batasan marga seolah-olah terisolasi
mendeskripsikan sisi sebaliknya dari
pemikiran pemikiran masyarakat
umum. Masayrkat Batak yang
melakukan pelanggaran menafsirkan
batasan marga sebagai kenyataan
subjektif menuju perwujudan
kedalam realitas objektif melalui
proses internalisasi, selanjutnya ia
menyumbang pada proses
eksternalisasi. Individu berupaya
memahani definisi “realitas
objektif”, namun lebih dari itu,
individu turut mengonstruksi
pengetahuan bersama. Jadi, individu
merupakan aktor yang aktif sebagai
pembentuk pemelihara, sekaligus
pengubah masyarakat. Pengetahuan
aktor yang dapat menjadi pengubah
masyarakat tersebut diberi hak
istimewa kepadanya untuk diberi
nama kenyataan utama (paramount)
atau kenyataan yang sesungguhnya
(Berger 1990: 30).
Menurut data yang diperoleh
peneliti, orang Batak yang bertindak
sebagai tokoh adat dalam peneltitan
memiliki alasan mengenai
pelanggaran batasan marga dalam
adat pernikahan. Hal ini dapat
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
16 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
diketahui dari wawancara yang
peneliti lakukan dengan para
informan yang menyatakan batasan
marga dalam pernikahan adat
merupakan bentuk dari batasan
marga memiliki perbedaan diantara
beberapa daerah. Artinya, mobilitas
orang Batak mempengaruhi
pemahaman orang Batak terhadap
adat dan batasan pernikahan.
Banyak faktor yang
mempengaruhi terbentuknya bangun
pikiran orang Batak mengenai adat
pernikahannya. Hal tersebut secara
subyektif mempengaruhi
pemahaman serta tindakan yang
dilakukan. Dalam perspektif
tindakan Weber, tindakan orang
Batak tergolong dalam beberapa
tindakan dengan orientasi yang
berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi
hasil konstruksi seperti dijelaskan
sebelumnya. Orang Batak dengan
keluarga dimana adat istiadat masih
kuat akan menghasilkan tindakan
yang cenderung berorientasi
traditional, sedangkan pada orang
Batak dengan sosialisasi nilai yang
kurang serta adanya pengaruh
budaya lain cenderung bertindak
secara afektif.
PENUTUP
Berdasarkan temuan data dan
hasil analisis yang telah
dikemukakan dalam bab
sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan (tanpa maksud
menggenralisasi) mengenai
konstruksi batasan pernikahan dalam
adat Batak, bahwa:
1. Orang Batak mendapatkan
pengetahuan mengenai marga
dan aturan adat tentang
batasan pernikahan melalui
sosialisasi dalam keluarga.
Tidak adanya panduan
tertulis yang dimiliki
membuat proses transfer
kebudayaan dilakukan secara
verbal.
2. Selain melalui sosialisasi
dalam keluarga, interaksi
dengan masyarakat Batak
serta fungsi Gereja juga
membantu proses penanaman
nilai dan pembentukan
pemahaman orang Batak di
Surabaya mengenai aturan
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
17 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
adat pernikahan. Hal tersebut
karena keterbatasan akses
informasi orang Batak di
Surabaya yang cenderung
hanya disampaikan secara
lisan, berbeda dengan yang
terjadi di kampung halaman
dimana pengajaran dan
penerapan adat masih kuat
karena struktur masyarakat
Batak serta tipe masyarakat
yang homogen.
3. Orang Batak, khususnya yang
merantau, memiliki
pemahaman bahwa aturan
adat telah mengalami
pergeseran. Hal tersebut
dipahami sebagai akibat dari
perkembangan jaman serta
masuknya budaya lain akibat
kondisi masyarakat yang
plural. Kompromi dalam
penerapan aturan adat
pernikahan muncul sedikit
demi sedikit dari ruang
lingkup kelompok kecil
(marga) yang kemudian
mempengaruhi realitas
objektif (masyarakat)
komunitas Batak di Surabaya.
Dialektika tersebut menjadi
bagian dari proses konstruksi
mengenai batasan
perkawinan orang Batak
khususnya di Surabaya yang
di ketahui telah mengalami
pergeseran.
4. Adapun tindakan yang
dilakukan, khususnya oleh
orang Batak yang melanggar,
merupakan bentuk tindakan
afektif yang berorientasi
terhadap pencapaian tujuan
yaitu pernikahan. Adanya
kompromi dalam
perkumpulan marga
mendorong terjadinya bentuk
pelanggaran batasan
pernikahan orang Batak di
Surabaya. Sanksi terhadap
pelanggar di nilai semakin
melemah dan mendorong
terciptanya pemahaman baru
serta perubahan dalam
struktur masyarakat Batak di
Surabaya.
5. Masyarakat batak masih kuat
di dalam menghormati adat
akan tetapi ketika terjadi
pelanggaran, dilatar
belakangi oleh tindakan yang
berbeda (masyarakat yang
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
18 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
melanggar aturan adat
dilandasi tindakan rasional
dan afektif).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian
yang dikemukakan peniliti menyusun
rasan sebagai bagian dari pemecahan
masalah mengenai batasan
pernikahan Batak berdasarkan
temuan data dan hasil analisis yang
ada. Adapun saran yang dapat
diberikan peneliti adalah sebagai
berikut :
Saran Praktis
1. Mengintegrasikan
kembali komunitas
masyarakat Batak
sehingga tetap mampu
menjaga kerukunan
melalui sosialisasi dan
kontrol sosial.
2. Memanfaatkan fungsi
lembaga agama, yaitu
Gereja HKBP guna
mengintegrasikan
masyarakat Batak di
Surabaya.
3. Memberikan batasan
jelas mengenai
kompromi pelaksanaan
adat, khususnya
pernikahan, agar tidak
timbul kerancuan dan
konflik antar orang
Batak di Surabaya yang
berimbas pada
disintegrasi kelompok.
Saran Akademis
Dengan adanya hasil
penelitian, peneliti
menyarankan kepada peneliti
lainya yang ingin mengkaji
topic yang sama agar
mengkombinasikan dengan
teori lain yang bukan di
gunakan dalam penelitian.
Selain itu di harapkan
penelitian lainya dapat
melihat masalah culture
studies.
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
19 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Berger, Peter, L. 1990, “Tafsir Sosial
Atas Kenyataan: Sebuah
Risalah Tentang Sosiologi
Pengetahuan”. JAKARTA:
LP3ES.
Bogdan dan Taylor. 1992.
“Pengantar Metodologi
Penelitian Kualitatif: Suatu
Pendekatan Fenomenologis
terhadap Ilmu-Ilmu
Sosial”. Diterjemahkan
oleh Arief Furchan,
Surabaya: Usaha Nasional.
Bruner, Edward M, 2006. “Kerabat
dan Bukan Kerabat dalam
T.O.Ihromi (ed) Pokok-
Pokok Antropologi
Budaya”. Gramedia :
Jakarta
Creswell, John W. 2002. “Desain
Penelitian”. Jakarta: KIK Press
DJ. Gultom, Raja Marpodang, 1995.
“Dalihan Na Tolu”. Medan
Schreiner, Lothar. 1994,
“Adat Dan Injil”. Jakarta :
BPK Gunung Mulia
Faisal, Sanapiah. 1989. “Format-
Format Penelitian Sosial”.
Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
George Ritzer, Sosiologi Ilmu
Berparadigma Ganda,(Jakarta:
Rajawali Pers.2011).
Haviland, William A, 1988.
“Antropologi jilid 2”. Erlangga :
Jakarta
Idrus, Muhammad. 2007. “Metode
Penelitian Ilmu Sosial”. Jakarta:
Erlangga
Koentjaraningrat. 2000.
“Kebudayaan mentalitas
dan pembangunan (cetakan
kesembilan belas)”. Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Koentjaraningrat. 1994. “Metode-
metode Penelitian Masyarakat”.
Jakarta: Gramedia
M.A.Marbun dan I.M.T Hutapea,
1987. “Kamus Budaya
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
20 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
Batak Toba”. Jakarta: Balai
Pustaka, 1987.
Miles, B. B., dan A.M. Huberman.
“Analisa Data Kualitatif”. UI
press Jakarta.
Poloma, Margaret M. 1994.
“Sosiologi kontemporer”. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada.
Samuel, Haneman. 2012. Peter L.
Berger : “Sebuah Pengantar
Ringkas”. Jawa Barat
:KEPIK.
Siahaan, Nalom. 1982. “Adat
Dalihan Natolu: Prinsip dan
pelaksanaannya”. Grafindo,
Jakarta.
Simanjuntak, Bungaran Antonius,
2006. “Struktur Sosial dan
Sistem Politik Batak Toba
Hingga 1945 : Suatu
Pendekatan Sejarah”,
Antropologi Budaya Politik,
Sinaga Richard, 2012. “Perkawinan
Adat Dalihan Natolu”.
Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Vergouwen, J.C. 1986. “Masyarakat
dan Hukum Adat Batak
Toba”. Pustaka Azet, Jakarta
Wirawan B.Ida, Teori-Teori Dalam
Tiga
Paradigma.(Jakarta:kencana
prenadamedia,2012)
Sumber Skripsi
Haris, Muhammad. 2003. “Tata
Cara Perkawinan Batak Toba”.
Nainggolan, Pratama, Aditya,
Marito, Yudi. 2010. “Tinjauan
Estetis Terhadap
Prosesi Adat Batak Toba”.
Panjaitan, Aspiner. 2010. “Fungsi
dan Makna Wacana Mangulosi
Pada Upacara Perkawinan
Batak Toba”.
Panjaitan, Faisal, Boy, Doni. 2010.
“Peranan Dalihan Na Tolu
dalam Hukum Perkawinan Adat
Batak Toba (Studi Mengenai
Hukum Perkawinan Adat Batak
di Kecamatan Balige)”.
Ritonga, Hardianto. 2011.
“Perkawinan Adat Batak di
Daerah Padang Sidimpuan,
Sumatera Utara (Kajian
Fenomenologis)”.
FIRMAN SONDANG SOSIOLOGI FISIP UA 2016
21 | KONSTRUKSI SOSIAL HUKUM ADAT PENIKAHAN ADAT MASYARAKAT BATAK
Sinaga, Vonny, Yulia. 2012.
“Ruang Ritual Adat Pernikahan
Suku Batak Toba”.
Sumber Internet
http://www.penalaran-unm.org/
http://www.gobatak.com/5-
perkawinan-yang-dilarang-adat-
batak-toba
http://digilib.esaunggul.ac.id/perka
winan-endogami-dalam-hukum-
adat-batak-tobastudi-kasus-
perkawinan-richard-nainggolan-
lumbanraja-dengan-rumidaboru-
nainggolan