KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ...
Transcript of KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ...
KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ :
STUDI PENAFSIRAN SURAH AL-NÛR AYAT 35
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Oleh :
Muhammad Lazuardi
NIM : 1112034000077
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
ABSTRAK
Muhammad Lazuardi: “Konsep Nûr Muẖammad Dalam Perspektif Ibn
‘Arabî” (Studi Kritis Penafsiran Q.S. al-Nûr ayat 35)
Nûr Muẖammad merupakan salah satu pembahasan dari profetologi tasawuf
yang dikenal sejak masa awal Islam hingga abad modern ini. Dan Nûr Muẖammad
telah dikenal sejak Nabi Muhammad masih hidup.
Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis menggunakan metode
deskriptif analitis, yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan
dan baru kemudian dianalisa. Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran Ibn
‘Arabî terhadap QS. al-Nûr ayat 35 tentang konsep Nûr Muẖammad. Setelah data
terkumpul, lalu djelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga akan tampak
jelas jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya.
diperlukan kitab-kitab karya beliau sendiri dan kitab tafsir yang dinisbatkan kepada
beliau seperti Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Futûẖat al-Makiyyah, Fusus al-Hikam
dan lain-lain. Setelah data terkumpul, lalu djelaskan serta dianalisis secara
mendalam, sehingga akan tampak jelas jawaban atas persoalan yang berhubungan
dengan pokok permasalahannya.
Dalam penelitian ini peneliti fokus membahas penafsiran Nûr Muẖammad
yang dilakukan oleh Ibn ‘Arabî. Penafsiran yang dilakukan oleh beliau menjadi
menarik untuk diteliti karena banyaknya para mufassîr yang kontra terhadap
pemikiran beliau. Ibn ‘Arabî dikenal dengan teori Waẖdah al-Wujûd.
Setelah melakukan penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
konsep Nûr Muẖammad menurut Ibn ‘Arabî bukanlah qadîm sebagaimana
keqadîman sifat Allah. Etintas Nûr Muẖammad sendiri sebagai makhluk pertama
Allah merupakan sebuah anugrah luar biasa dari Allah yang dapat dia berikan
kepada siapa saja yang dia kehendaki. Keberadaan Nûr Muẖammad merupakan hak
prerogatif Allah tanpa intervensi dan pengaruh siapapun.
Kata kunci: Nûr Muẖammad, al-Nûr: 35, Ibn ‘Arabî
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt., yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis.
Berkat izin dari-Nya pemulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kita
termasuk umatnya yang istiqamah menjalani perintahnya, dan mendapatkan
syafa’at pada hari Kiamat kelak.
Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “KONSEP NȖR
MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ: STUDI KRITIS
PENAFSIRAN Q.S. AL-NȖR AYAT 35” ini tidak akan selesai jika hanya
mengandalkan daya yang penulis miliki. Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-
orang yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu
penulis. Maka dalam pengantar skripsi ini penulis mengucapkan banyak terimaksih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Usshuluddin UIN Syarif
Hidyatullah Jakarta.
iii
4. Bapak Kusmana, M.A, Ph.D, selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan banyak nasihat dan kemudahan bagi penulis dalam
mengurus administrasi dan penyelesaian skripsi.
5. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A., selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing,
mengarahkan, dan mengoreksi dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman
berharga kepada penulis.
7. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Drs. H. Mahmud Rahmatullah
dan Ibunda Dra. Hj. Mahmudah Abubakar, yang selalu mendoakan
kebaikan dalam setiap aktifitas penulis, yang tidak henti-hentinya
memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Yang dengan sabar menunggu dalam menyelesaikan masa studi
penulis. Juga kakak serta adik-adik tercinta yang berkat merekalah aku
semangat menyelesaikan tugas akhir ini, Zara Zarini, Abdul ‘Azim,
Rizqi Mumtazul Hakim dan Azza Za’imatush Sholihah.
8. Keluarga Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2012, terkhusus
bagi kawan-kawan TH B, semoga silaturrahim kita tetap selalu terjaga
dan takkan retak walaupun jarak memisahkan kita.
9. Sahabat dan sahabati PMII, terkhusus Mas Umam, Rasyidi, Ipunk
Brader, Irfan Pancil, Hadi Jawa, Fahri Alex yang telah banyak
berkontribusi dalam membangun keintelektualan penulis dengan kajian
iv
dan diskusi, serta kesadaran penulis agar selalu peka dan peduli
terhadap lingkungan, baik lokal maupun nasional.
10. Teman- teman seperjuangan Sugih Hidayatullah, Muhammad Isrop,
Riswan Sulaiman, Syahroni, Ichal Blues, Muhammad Yusuf
Ramadhan, Konde, Aang, Sabiq dan yang lainnya, yang menemani
serta berjuang bersama dalam meyelesaikan skripsi ini.
Sekali lagi penulis haturkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu penulis. Semoga Allah Swt. membalas kebaikan yang berlipat
ganda dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Âmîn yâ Rabb al-‘Âlamîn.
Ciputat, 16 Juli 2019
Muhammad Lazuardi
v
DAFTAF ISI
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Identifikasi, Perumusan dan Pembatasan Masalah .......... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 6
D. Tinjauan Pustaka ............................................................. 7
E. Metodologi Penelitian ................................................... 11
F. Sistematika Penulisan .................................................... 12
BAB II PANDANGAN UMUM KONSEP NȖR MUHAMMAD
A. Pengertian Nûr Muẖammad .......................................... 14
B. Sosok Nabi Muhammad SAW
1. Biografi .................................................................... 19
2. Tujuan Pokok Kerasulan ......................................... 20
C. Tafsir Q.S. Al-Nûr: 35
1. Tafsir Klasik: Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm ............... 22
2. Tafsir Modern: Tafsir Al-Mishbah ......................... 23
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IBN ‘ARABȊ
A. Biografi dan Pemikiran
1. Latar Belakang Sosial ............................................... 25
2. Keluarga .................................................................... 28
3. Karya ........................................................................ 29
4. Pemikiran .................................................................. 31
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN IBN ‘ARABȊ Q.S. AL-NȖR: 35
SEBAGAI KONSEP NȖR MUHAMMAD
A. Penafsiran Q.S. al-Nûr: 35 Sebagai Nûr Muhammad .. 33
B. Konsep Nur Muhammad .............................................. 39
C. Relevansi Nûr Muhammad Terhadap Makhluk
Di Era Modern .............................................................. 44
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................. 48
B. Saran ......................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
“Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017
tentang pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”.
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
kh Ka dan ha خ
d De د
dz De dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
ḏ de dengan garis bawah ض
ṯ te dengan garis bawah ط
viii
ẕ zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ه
Apsotrof ' ء
y Ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tungga atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatẖah
I Kasrah
U Ḏommah
ix
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas نا
î i dengan topi di atas ني
û u dengan topi di atas نو
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf ال dialih aksarakan menjadi /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah.
Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.
E. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ـــ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
x
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
F. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-jâmî’ah al-Islâmiyyah الجامعةاالسالمية 2
waẖdat al-wujûd وحدةالوجود 3
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al -Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi.
xi
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd
al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al -Dîn al-Rânîrî.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara tradisional terdapat tiga cabang ilmu pengetahuan Islam, ilmu kalam,
fikih, dan tasawuf. Ketiganya lahir hampir secara sendiri-sendiri, tetapi tetap
saling berkait.1 Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu, dalam pandangan Ibnu
Khaldun, tetap merupakan disiplin ilmu baru, namun perilaku tasawuf yang
intinya konsentrasi beribadah kepada Allah, berpaling dari kemewahan dan
gemerlap kehidupan dunia, merupakan sifat-sifat yang melekat pada diri para
sahabat dan ulama salaf. Tatkala godaan limpahan materi semakin menjadi-jadi
akibat ekspansi Islam yang meluas, pada abad kedua hijriah, munculah kelompok
masyarakat yang berupaya tidak terpengaruh godaan materi, dan mereka, disebut
oleh para ahli, sebagai kaum sufi.
Ajaran tasawuf terus berkembang seiring dengan lahirnya tokoh-tokoh
tasawuf pada setiap generasi. Kalau pada abad pertama dan kedua tasawuf identik
dengan paham asketisme (zuhd), maka pada abad ketiga tasawuf mulai
membicarakan latihan spritual (riyadah) yang dapat membawa manusia dekat
dengan Tuhan. Puncak kedekatan dengan Tuhan berbeda antara konsep satu
dengan konsep yang lainnya, ada yang sampai ke tingkat ma’rifah, seperti al-
Ghazâlî, Zûn al-Nûn al-Misrî, ada yang sampai ke tingkat mahabbah, seperti
Rabî’ah al-‘Adawiyah, ada yang sampai al-fana wa al-baqa seperti Abû Yazîd al-
1Nurcholish Madjid, “Tasawuf Inti Keberagaman”, dalam Jurnal PESANTREN, No:
3/Vol.III/1985, h.3.
2
Busṯami, ada yang sampai ke tingkat hulul seperti konsep al-Hallaj, ada yang
sampai ke tingkat wahdah al-wujûd seperti Ibn ‘Arabî dan yang lainnya.2
Nûr Muẖammad adalah salah satu teori dan tema pokok dari profetologi
tasawuf yang dikenal sejak masa awal Islam hingga abad modern ini. Meskipun
istilah Nûr Muẖammad tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun diduga keras
para ahli sufi mengambil pijakan argumentasi dari firman Allah SWT. (QS. al-
Nûr [24]: 35) :
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya
Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita
besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Menurut al-Tustarî, maksud kata matsalu Nûri-hi, perumpamaan cahaya
(Nûr)-Nya, adalah perumpamaan Nur Muhammad SAW3. Sedang Ibn ‘Arabî
2Al-Kalabadi, at-Ta’arruf li Mazhab ahl at-Tasawuf (Mesir: Maktabah al-Kulliyyat al-
Azhariyah, 1980), h.8. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
h.32-34. Lihat pula! Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Semarang:
Ramdhani, 1984), h.57.
3Abû Muẖammad Sahl ibn ‘Abdullâh bin Yûnus bin Râfi’ al-Tustarî, Tafsîr al-Tustarî (Bayrut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1423 H), h.68.
3
menginterpretasikannya dengan rûh al-‘alam, suatu padanan makna dari term Nur
Muhammad.4
Menurut Ibn ‘Arabî (Lahir 560 H/1165 M) yang pertama-tama diwujudkan
Allah adalah Nûr Muẖammad atau hakikat Muhammad. Ibn ‘Arabî memberikan
nama tidak kurang dari sepuluh yang identik dengan hakikat Muhammad (al-
Haqîqah al-Muhammadiyah), (The Reality of Muhammad) yaitu: Haqîqah al-
Haqâ’iq (The Reality of Reality), Rûh Muhammad (The Spirit of Muhammad), al-
‘Aql al-Awwal = Plotinus Nous (The First Intelectual), al-‘Arasy (The Throne),
al-Rûh al-A’zam (The Most Might Spirit), al-Qalam al-A’lâ (The Most Exalted),
al-Khalîfah (The Vicegerent), al-Insân al-Kamîl (The Perfect Man), Azl al-‘Alam
(The Origin og Universe), Adâm al-Haqîqî (The Real Adam), al-Barzakh (The
Intermediary), Falaq al-Hayâh (The Sphere of Life), al-Haqq al-Makhlûq bih
(The Real Who Is the Instrument of Creation), al-Hayula (The Prima Matter), al-
Rûh (The Spirit), al-Qutb (The Pole), ‘Abd al-Jamî’ (The Servant of the
Embracing) dan sebagainya.5 Nur Muhammad ber-tajalli dari Nur Zat-Nya. Nûr
Muẖammad merupakan wadah tajalli yang paling sempurna dan karena itu ia
dipandang sebagai khalifah Allah atau Insan Kamil yang paling khas.
Di era modern ini, studi tentang Nûr Muẖammad juga dilakukan oleh
Annemarie Schimmel, seorang peneliti Barat yang sangat otoritatif dalam kajian
tasawuf dan sangat simpatik terhadap Islam dan Nabi Muhammad Saw. secara
khusus. Ia menyebutkan bahwa Muhammad itu menempati kedudukan sebagai
4Muẖy al-Dîn Ibn ‘Arabî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Bayrut: Dar al-Yaqzah al-‘Arabiyyah,
1980), h.139-140.
5A. Afifi, Mystical Philosophy Muhyiddin Ibnul ‘Arabi (Cambridge: The University Press,
1939), h. 66-67.
4
manusia sempurna. Allah menciptakan mikrokosmos manusia sempurna atau
insân al-kamîl. Penelitiannya ini terkait dengan pandangan al-Hallâj tentang
immanensi Tuhan melalui insan kamil (Nûr Muẖammad). Menurut Annemarie
Schimmel, pandangan al-Hallâj tersebut bersumber dari ajaran filsafat Yunani.
A.Schimmel mengkaji Nûr Muẖammad secara khusus dalam karyanya, And
Muhammad is His Messenger, 1993. Peneliti kawakan yang sudah pernah
berkunjung ke Indonesia ini, menelusuri berbagai pandangan para sufi tentang
Nûr Muẖammad. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam tradisi dan khazanah
tasawuf sangat kaya dengan informasi Nûr Muẖammad. Kajian Nûr Muẖammad
telah mengalami perkembangan dan pemaknaan yang demikian pesatnya.6
Dari paparan di atas, dengan melihat fungsi dan posisi penting dan terpenting
dari Nûr Muẖammad, maka dapat dipahami mengapa Nûr Muẖammad mesti
mendapat perhatian serta kajian yang serius dan penulis tertarik untuk mengkaji
konsep Nûr Muẖammad dalam skripsi yang berjudul “Konsep Nûr Muẖammad
dalam Perspektif Ibn ‘Arabî : Studi Penafsiran Q.S. al-Nûr ayat 35”.
B. Identifikasi, Perumusan & Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Ada apa dengan Nûr Muẖammad? Mengapa Nûr Muẖammad perlu dikaji?
Setidaknya terdapat empat alasan , sehingga Nûr Muẖammad perlu dikaji.
Pertama, selama ini Nûr Muẖammad hanyalah merupakan kajian
termarginalkan (terpinggirkan) dibanding dengan tema-tema pokok dalam ilmu
6 Lihat Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam (Chapel Hill: The University of
North Carolina Press, 1975) dan idem, And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the
Prophet is Islamic Piety, terj. Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan: Dan Muhammad adalah Utusan
Allah: Penghormatan terhadap Nabi Saw dalam Islam (Bandung: Mizan, 1993).
5
tasawuf, seperti teori al-mahabbah –cinta- (Rabî’ah al-’Adawiyah), al-ittihâd –
penyatuan diri dengan Tuhan- (Abû Yazîd al-Busṯâmî), al-hulûl –meleburnya
hamba dengan Tuhan- (al-Hallâj), wahdah al-wujûd –kesatuan wujud- (Ibn
‘Arabî), dan konsep al-ma’rifah (Imam al-Ghazâlî).
Kedua, terdapat hal menarik dari para ulama dalam menafsirkan QS. al-Nûr
ayat 35. Salah-satunya menurut al-Tustarî, maksud kata matsalu nûr-hi,
perumpamaan cahaya (Nûr)-Nya, adalah perumpamaan Nûr Muẖammad SAW7.
Sedang Ibn ‘Arabî menginterpretasikannya dengan rûh al-‘alam, suatu padanan
makna dari term Nûr Muẖammad.8
Ketiga, sebagian orang mengira bahwa Nûr Muẖammad hanyalah ilmunya
orang-orang tarekat. Dan lebih fatal lagi, ada yang menyangka bahwa Nûr
Muẖammad adalah bukan ilmu yang bersumber dari Islam. konsep Nûr
Muẖammad adalah pengaruh dari teologi Kristen dan Helenisme Yunani. Padahal,
ilmu Nûr Muẖammad bersumber dari Islam. ia adalah ilmu Islam. sebab, Nûr
Muẖammad memiliki landasan teoritis dalam al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.
Keempat, yang menarik lagi, kalangan peneliti dan cerdik-pandai, ada saja
yang salah paham atau keliru dalam memahami Nûr Muẖammad. Sebagai contoh,
Ensiklopedi Islam (IV: 2001, h.46) disebutkan bahwa Ibn ‘Arabî adalah orang
yang pertama-tama mempopulerkan konsep Nûr Muẖammad. Padahal Nûr
Muẖammad telah disampaikan oleh Nabi sendiri kepada sahabatnya, Jâbir ibn
‘Abdullâh dan Hassan ibn Tsabît. Di kalangan sufi-filosof, jauh sebelum Ibn
7Abû Muẖammad Sahl ibn ‘Abdullâh bin Yûnus bin Râfi’ al-Tustarî, Tafsîr al-Tustarî
(Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1423 H), h.68.
8Muhy al-Dîn Ibn ‘Arabî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Bayrût: Dâr al-Yaqzah al-‘Arabiyyah,
1980), h.139-140.
6
‘Arabî (560-638/1172-1240), Nûr Muẖammad telah dikenal. Nama-nama seperti
Sahl al-Tustarî, al-Hallâj, dan Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jailânî telah banyak
mempopulerkan konsep Nûr Muẖammad sebelum lahirnya Ibn ‘Arabî.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah penulis uraikan diatas, maka
dapat dirumuskan masalah: “Bagaimana Ibn ‘Arabî menafsirkan QS. al-Nur
ayat 35 dan hubungannya dengan konsep Nûr Muẖammad?”
3. Pembatasan Masalah
Penulis terfokus hanya pada permasalahan Nûr Muẖammad, terutama pada
surat al-Nûr ayat 35. Karena dalam surat dan ayat ini terdapat tafsiran tentang Nûr
Muẖammad. Penulis akan mengambil pemikiran Nûr Muẖammad ini dari sudut
pandang seorang tokoh yang bernama Ibn ‘Arabî, yang pandangan-pandangan
keagamaannya dipandang para ahli, sangat kontroversial sebagai hasil
interpretasinya terhadap al-Qur’an.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagaimana telah agak tergambar dalam rumusan masalah di atas bahwa
penelitian ini hendak mengungkap dan mencari jawaban secara kritis dan ilmiah
terhadap pertanyaan penelitian yang rincian globalnya telah penulis angkat dalam
rumusan masalah. Lebih spesifik lagi penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan:
1. Konsep Nûr Muẖammad menurut pandangan para ulama sufi
2. Pendekatan dan metode yang dipergunakan Ibn ‘Arabî dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an
7
3. Penafsiran Nûr Muẖammad dalam QS. al-Nûr [24] ayat 35 menurut Ibn
‘Arabî
Adapun manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:
1. Menambah khasanah keilmuan, khususnya di bidang tafsir
2. Ikut andil dalam sumbangsih pemikiran terhadap wacana keislaman,
terutama untuk melengkapi buku-buku dan sumber bacaan lain yang juga
membahas tafsir.
D. Tinjauan Pustaka
Telah ada beberapa tulisan, baik berbentuk buku maupun karya ilmiah yang
membahas dan berhubungan dengan Nûr Muẖammad dan Ibn ‘Arabî. Akan tetapi
peneliti belum menemukan tulisan yang membahas tentang konsep Nûr
Muẖammad menurut Ibn ‘Arabî.
Diantara penelitian yang berhasil penulis temukan adalah:
1. Menyibak Tabir Nur Muhammad9. Buku ini membahas tema yang sama
tentang Nur Muhammad, namun lebih difokuskan dalam ranah tasawuf,
bukan tafsir. Yang menurut penulisnya, Nûr Muẖammad dalam tasawuf,
berkedudukan sebagai jalan menuju Allah, dengan menghilangkan jarak
dengan Allah. Jarak bukan dalam ukuran ruang, tetapi ukuran sifat. Hal ini
berarti bergerak mendekati Tuhan dengan mewujudkan sifat-sifat Allah
dan menghilangkan sifat-sifat manusia.
9Sahabuddin, Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta: Renaisan, 2004).
8
2. Cecep Alba10, mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007, mendeskripsikan metode penafsiran al-Qur’an Ibn ‘Arabî. Ia
memfokuskan penelitianya terhadap metode penafsiran Ibn ‘Arabî dan
tafsir sufi. Hal ini berbeda dengan penulis yang memfokuskan penelitian
terhadap penafsiran Ibn Arabî terhadap Nûr Muẖammad di dalam al-
Qur’an.
3. Skripsi yang disusun oleh Rohmat Aji Wibowo, dengan judul “Kritik
Sanad dan Matan Hadits tentang Nur Nabi Muhammad SAW. : Kajian
Kritis Hadits Dalam Kitab Maulid Al-Diba’i”.11
Skripsi ini meneliti tentang kualitas hadits di dalam kitab Maulid al-Dîba’î.
Hadis berisi tentang kajian Nûr Muẖammad SAW. Penelitian yang
dilakukan ialah kritik sanad dan matan hadis yang terdapat dalam kitab
tersebut. Dari kajian matan hadits tentang Nur Nabi Muhammad SAW.
memenuhi unsur kesahihan hadis, dan tidak bertentangan dengan al-
Qur’an, hadis, akal, ataupun sejarah yang shahih, serta termasuk ciri-ciri
sabda kenabian.
Skripsi ini penulis anggap penting guna untuk melengkapi pemahaman
para ulama, khususnya ulama hadits tentang konsep Nûr Muẖammad yang
sedang penulis teliti.
4. Nur Fauzan Ahmad, “Sejarah Timbulnya Gagasan Nur Muhammad
Sampai Masuknya ke Nusantara”12. Tulisan dalam jurnal ini bertujuan
10Cecep Alba, “Corak Tafsir Ibnu ‘Arabi” (Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Sayrif
Hidayatullah Jakarta, 2007).
11Rohmat Aji Wibowo, “Kritik Sanad Dan Matan Hadits Tentang Nur Nabi Muhammad SAW:
Kajian Kritis Hadits Dalam Kitab Maulid Al-Diba’i” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015)
9
untuk mengungkapkan latarbelakang timbulnya gagasan Nur Muhammad
SAW. dan masuknya ke Nusantara. Dalam tulisan ini tidak didapatkan
hasil bahwa gagasan Nûr Muẖammad bermula dari tafsiran filosofis
terhadap QS. al-Nûr ayat 35. Sejalan dengan skripsi yang sedang penulis
bahas tulisan ini mengupas latarbelakang muncul dan berkembangnya Nûr
Muẖammad, baik yang diperkuat oleh al-Hallâj, Ibn ‘Arabî maupun Abd
al-Karîm al-Jillî.
5. Ahmad Ghozali, “Al-Haqîqah Al-Muẖammadiyyah dalam Pemikiran
Mistik Ibn ‘Arabî (Sebuah Tinjauan Tasawwuf-Falsafi)13. Muhammad
SAW (al-Haqîqah al-Muhammadiyyah), merupakan kelanjutan konsep
yang sebelumnya dibahas oleh al-Tustarî dan al-Hallâj, kedua tokoh ini
menggunakan istilah Nûr Muẖammad sedangkan Ibn ‘Arabî menurut
tulisan ini menggunakan istilah al-Haqîqah al-Muhamadiyyah. Tulisan ini
memperkaya penelitian penulis tentang Nûr Muẖammad yang sedang
penulis teliti. Tetapi istilah yang dikemukakan oleh Ahmad Ghozali
berbeda dengan penulis. Karena itulah penulis menganggap penting untuk
memperkaya rujukan.
6. Muhammad Hilal14, “Konsep Insan Kamil dalam pandangan Sadr ad-Dîn
al-Syirâzî (Mulla Sadra). Skripsi yang ditulis oleh Mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta ini relevan dengan penelitian penulis dalam hal
12 Nur Fauzan Ahmad, Sejarah Timbulnya Gagasan Nur Muhammad Sampai Masuknya Ke
Nusantara ( NUSA, Mei 2017), Vol. 12. No. 2.
13 Ahmad Ghozali, Al-Haqîqah Al-Muẖammadiyyah Dalam Pemikiran Mistik Ibnu ‘Arabi
(Sebuah Tinjauan Tasawuf-Falsafi) (Skripsi Thesis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2004).
14Muhammad Hilal, Konsep Insan Kamil dalam Pandangan Sadr ad-Din asy-Syirazi (Mulla
Sadra) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijagag Yogyakarta, 2010).
10
memandang suatu konsep atau gagasan dalam pandangan ulama tertentu.
Oleh karenanya, penulis ingin memperkaya rujukan dari skripsi tersebut.
7. Ibnu Ali15, “Konsep Emanasi Dalam Tasawuf Eksistensial Ibnu ‘Arabi:
Studi Hermeneutika Dalam Kitab Shajarat Al-Kawn”. Tesis karya Ibnu Ali
ini adalah salah satu rujukan penulis dalam memahami tasawuf Ibn ‘Arabî.
Akan tetapi, jelas berbeda fokus utama antara thesis tersebut dengan
penelitian penulis, yang mana thesis tersebut fokus kepada ranah tasawuf
sedangkan penelitian penulis lebih kepada tafsir.
8. Abu Sujak, “Metode dan Corak Tafsir al-Qur’anul Karim karya
Muhyiddin Ibnu ‘Arabi”16. Skripsi karya Abu Sujak ini fokus terhadap
penilaian terhadap tafsir karya Ibn ’Arabî saja, tetapi membantu penulis
dalam memperkaya rujukan penelitian.
9. A. Mahmud,17 “Insan Kamil Perspektif Ibnu ‘Arabi”. Tulisan dalam Jurnal
ini relevan dengan penelitian penulis, hanya saja berbeda penyebutan.
Insan Kamil dalam Jurnal tersebut dan Nûr Muẖammad dalam penelitian
penulis.
10. Lenni Lestari18, “Epistemologi Corak Tafsir Sufistik”. Tulisan dalam
Jurnal ini membahas secara umum tafsir-tafsir sufistik dan coraknya. Hal
ini membantu penulis dalam memperkaya rujukan.
15Ibnu Ali, Konsep Emanasi Dalam Tasawuf Eksistensial Ibnu ‘Arabi: Studi Hermeneutika
Dalam Kitab Shajarat Al-Kawn (Master Thesis Program Magister Filsafat Agama UIN Surabaya,
2014)
16 Abu Sujak, Metode Dan Corak Tafsir al-Qur’ân al-Karîm (Skripsi S1 Fakultas Syariah
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1989).
17A. Mahmud, Insan Kamil Perspektif Ibnu ‘Arabi. Sulesana: Jurnal Wawasan Keislaman, Vol
9, No.2, 2014.
18Lenni Lestari, Epistemologi Corak Tafsir Sufistik. Jurnal Syahadah, Vol.2, No.1, April 2014.
11
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan
adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
buku-buku, literature-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada
sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang berhubungan dengan masalah
yang akan dipecahkan.19
2. Sumber Data
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan
menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa
buku-buku. Sumber data primer adalah kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang
diduga karya Muhy al-Dîn Ibn ‘Arabî. Sedangkan untuk sumber sekunder penulis
menggunakan literature-literatur yang ada relevansinya dengan topik
permasalahan, yang berupa buku-buku dan sumber-sumber informasi lainnya
yang berhubungan dengani llmu tafsir sebagai tambahan pelengkap.
3. Metode
Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif analistis, yakni
data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan baru kemudian
dianalisa.20 Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran Ibn ‘Arabî terhadap
19M. Nazir,Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h. 27.
20Winarto Surachmad, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah (Bandung:
Tarsio, 1972), h. 132, Gay (1962) mendefinisika nmetode penelitian deskriptif sebagai kegiatan
yang meliputi pengumpulan data dalam menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang
menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian., Consuelo G.
Sevila, dkk., Pengantar Metode Penelitian, terj. Alimuddin Tuwu (Jakarta: UI-PRESS, 1993), h.
71. Menurut Komaruddin, Descriptive Research adalah suatu riset yang tujuannya untuk
12
hubungan konsep Nûr Muẖammad dengan Q.S. al-Nûr [24] ayat 35 diperlukan
tafsir itu sendiri dan karya-karya Ibn ‘Arabî lainnya seperti, Futûẖat al-Makkiyah,
Fusus al-Hikâm dan lain-lain. Setelah data-data terkumpul, lalu dijelaskan serta
dianalisis secara mendalam, sehingga akan tampak jelas jawaban atas persoalan
yang berhubungan dengan pokok permasalahannya.
4. Pedoman Penulisan Penelitian
Untuk teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada Keputusan Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, No: 507 Tahun 2017 tentang pedoman penulisan
karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam beberapa bab dan setiap babnya terdiri dari
beberapa subbab yang sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan.
Dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang utuh dan sistematis dengan
perincian sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini menjelaskan seputar latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian, dan sistematika yang akan digunakan dalam penelitian
ini.
Bab kedua menjelaskan dan memaparkan pengertian dan sejarah Nûr
Muẖammad, serta menampilkan ragam pandangan tokoh sufi terhadap Nûr
Muẖammad.
mengumpulkan fakta yang disertai penafsiran. Komaruddin, Kamus Riset (Bandung: Angkasa,
1987), h.69.
13
Bab ketiga berisi tentang pengenalan terhadap Syaikh Ibn ‘Arabî yang
mencakup konteks sosial-politik, riwayat hidup, konsep sufistik, geneologi
tasawuf, serta profil dari kitab Tafsîr Al-Qur’ân Al-Karîm.
Bab keempat mendeskripsikan serta menganalisa penafsiran Ibn ‘Arabî
terhadap QS. al-Nûr ayat 35, serta relevansi Nûr Muẖammad terhadap makhluk di
era modern.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan yang didasari uraian dan bahasan bab
sebelumnya serta saran-saran yang berkaitan dengan tema yang dibahas di dalam
skripsi ini.
16
BAB II
PANDANGAN UMUM KONSEP NÛR MUHAMMAD
Nûr yang yang dalam bahasa Arab diartikan dengan cahaya
dan disebut dalam al-Qur’an sebanyak 43 kali. Bahkan, surah ke-
24 juga diberi nama dengan al-Nûr. Begitu banyaknya al-Qur’ân
membahas tentang eksistensi nûr. Lantas sedalam apakah makna
nûr yang dibahas al-Qur’ân? Eksistensi dan urgensi kalimat nûr
tentu tidak hanya sebatas didefinisikan dengan cahaya saja.
A. Pengertian Nûr Muẖammad
Menurut bahasa Arab arti nûr adalah cahaya. Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan cahaya adalah sinar atau terang
(dari sesuatu yang bersinar seperti matahari, bulan, lampu) yang
memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda
disekitarnya.1 Menurut al-Ghazâlî, cahaya didefinisikan sebagai
sesuatu yang terang atau tampak (zâhir) pada dirinya dan bisa
membuat yang lain terang atau tampak (muzhir). Cahaya
menurutnya memiliki beberapa tingkatan, dan berbagai istilah
yang terdapat dalam ayat di atas adalah adalah juga merupakan
tingkat-tingkat cahaya yang dimiliki manusia yang mana manusia
terbimbing kepada kebenaran atau Tuhan.2
1Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 251.
2Abu al-‘Ila ‘Afifi, “Tasdir ‘Amm”, dalam Abû Hamîd al-Ghazâlî, Misykat
al-Anwâr, diedit dan diberi pengantar oleh Abu al-Ila ‘Afifi (al-Qâhirah: al-
Dar al-Qawmiyah), 1964, h.7.
17
Dalam al-Qur’an, kata nûr paling tidak memiliki arti dalam
tiga kemungkinan. Pertama berarti cahaya itu sendiri, misalnya
pada QS. Yûnus [10]: 5
رهۥ انور وٱلقمر هو ٱلذي جعل ٱلشمس ضياء نين عدد لت علموا منازل وقد ٱلس لك إل بٱلحق ي فص ل ٱليت ل وٱلحساب ي علمون قوم ما خلق ٱلله ذ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-
tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang mengetahui. Kedua, berarti petunjuk, misalnya pada QS. al-Hadîd [57] ayat 9:
ب ي نت ت م ن ل يخرجكم هو ٱلذي ي ن ز ل على عبدهۦ ءايت وإن ٱلنور إلى ٱلظلم
رحيم لرءوف بكم ٱلله Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang
terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari
kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-
benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.
Ketiga, berarti al-Qur’an, misalnya pada QS. al-Taghâbun [64]
ayat 8:
وٱلله بما ت عملون خبير فأمنوا بٱلله ورسولهۦ وٱلنور ٱلذي أنزلنا
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada cahaya (Al-Quran) yang telah Kami turunkan. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
18
Makna dasar kata nûr itu adalah petunjuk, karena nûr dalam
arti cahaya itu sendiri, petunjuk, ataupun al-Qur’an berfungsi
sebagai petunjuk bagi orang yang tersesat jalan atau orang yang
sedang mencari kebenaran. Maka Nabi Muhammad SAW disebut
juga nûr, karena beliau diyakini sebagai orang yang membawa
petunjuk atau menunjukkan jalan yang benar. Hal ini disebutkan
pula dalam Kamus al-Munawwir yang menjelaskan bahwa arti
kata nûr itu adalah Nabi Muhammad SAW.3
Dasar keberadaan Nûr Muhammad dihubungkan dengan
sejumlah ayat dan hadis. Di antaranya, "Sesungguhnya telah
datang kepadamu cahaya (Nûr) dari Allah dan kitab yang
menerangkan." Sebagaimana firman Allah :
Q.S al-Mâidah [4] : 15
من تخفون كنتم م ما ايأهل ٱلكتب قد جاءكم رسولنا ي ب ي ن لكم كثير مبين وكتب ٱلله نور م ن جاءكم قد كثير عن وي عفوا ٱلكتب
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu
Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab
yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya
dari Allah, dan Kitab yang menerangkan”.
Q.S al-Aẖzâb [33] :21
وٱلي وم ٱلله ي رجوا كان ل من لقد كان لكم في رسول ٱلله أسوة حسنة اكثير ٱلله وذكر ٱلخر
3Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Penerbit Pustaka
Progressif, 2007), h. 1474.
19
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.
Terminologi “Nûr Muhammad” adalah istilah yang
digunakan oleh para sufi yang beraliran tasawuf falsafati. Seperti
Hamzah Fansuri dalam karyanya Asrār al-‘Ârifîn dan Ibn ‘Arabî
dalam Futûhât al-Makkiyyah-nya.4
Dalam ilmu tasawuf, Nûr Muhammad mempunyai
pembahasan mendalam. Nûr Muhammad disebut juga haqîqah
Muhammadiyah. Sering dihubungkan pula dengan beberapa
istilah seperti al-qalam al-a’lâ (pena tertinggi), al-‘aql al-awwal
(akal utama), amr Allâh (urusan Allah), al-rûh , al-malak, al-rûh
al-Ilâhi, dan ar-rûh al-Quddûs. Tentu saja, sebutan lainnya
adalah insân kamîl. Secara umum istilah-istilah itu berarti
makhluk Allah yang paling tinggi, mulia, paling pertama dan
utama. Seluruh makhluk berasal dan melalui dirinya. Itulah
sebabnya Nûr Muhammad pun disebut al-haqq al-makhlûq bih
atau asy-syajarah al-baiḍa karena seluruh makhluk memancar
darinya. Ia bagaikan pohon yang daripadanya muncul berbagai
planet dengan segala kompleksitasnya masing-masing.
Nûr Muḥammad pernah diungkapkan oleh Dzu al-Nûn al-
Misrî (w. 283 H /860 M), seorang sufi penggagas teori al-
Ma’rifah. Dzu al-Nûn al-Misrî berpendapat bahwa :
4Sofyan Abdurrahim, “Nūr Muhammad Dalam Naskah Klasik Gorontalo”,
Jurnal Al-‘Ulum, Vol. 11, No. 2 (Desember, 2011): h. 357.
20
“asal mula ciptaan Allah (makhluk) adalah Nûr Muḥammad.”
Pemikiran semacam ini juga dapat dijumpai pada pendapat Abû
Muḥammad Sahl Ibn ‘Abdullâh al-Tustarî (w. 283 H). Dari
rentetan uraian tersebut secara sejarah, teori Nûr Muḥammad ini
nampaknya sudah muncul akhir abad kedua Hijriyah, meskipun
masih dalam bentuk peristilahan harfiah semata. Namun
demikian, pemikiran awal yang dapat dipertimbangkan adalah
bahwa esensi kata Nûr Muḥammad dijadikan pijakan dasar bagi
asal mula kejadian alam semesta ini. Tatanan pemikiran itu
walaupun belum merupakan suatu kons ep yang lengkap dan
utuh, tetapi pada dasarnya memiliki kesesuaian dengan sebuah
teori yang kemudian ditampilkan oleh al-Hallaj.5
Al-Tustarî (w. 283 H) merupakan orang pertama yang
mengajari al-Hallâj mengenai dasar-dasar suluk (jalan menuju
kesempurnaan batin). Oleh karenanya, tidaklah mustahil jika
teori yang dikembangkan al-Hallâj merupakan tindakan lanjut
dari pendapat al-Tustarî. Di sisi lain, meskipun istilah Nūr
Muẖammad tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun diduga
keras para ahli sufi mengambil pijakan argumentasi dari firman
Allah swt. Allah (pemberi) Nūr (cahaya) kepada langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah adalah laksana Misykah (lubang
yang tak tembus), di dalamnya berada pelita besar (misbah).6
5Irfan Riyadi, “Imago Dei dalam konsep theosofi Islam: Manusia
Sempurna menurut Ibn ‘Arabî”, Al-Tahrir, Vol. 6, No. 2 (Juli 2006): h. 273.
6Irfan Riyadi, Imago Dei dalam konsep theosofi Islam : Manusia Sempurna
menurut Ibn ‘Arabî, h. 275.
21
Selain al-Hallâj dan al-Tustarî, muncul tokoh lainnya, yaitu
‘Abd al-Karîm al-Jillî, pengarang kitab termasyhur, yaitu Insân
al-Kamîl. Ia dikenal sebagai seorang sufi dari kota al-Jîlân, yang
masih keturunan Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jailânî. Ia memajukan
konsep insân al-kamîl yang pada prinsipnya tidak bertentangan
dengan pendahulunya, yaitu Ibn ‘Arabî, dalam memandang Nûr
Muḥammad.7
B. Sosok Nabi Muhammad SAW
Muhammad SAW, dengan nama yang begitu mulia jutaan
bibir setiap hari mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat
berdenyut, berulang kali. Dengan nama yang begitu mulia,
berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta jantung akan terus
berdenyut sampai akhir zaman.
Pada setiap hari di kala fajar menyingsing, lingkaran-
lingkaran putih di ufuk sana mulai hendak menghalau kegelapan
malam, ketika itu seorang muadzin bangkit, berseru kepada setiap
makhluk insani, bahwa bengun bersembahyang lebih baik
daripada terus tidur. Ia mengajak mereka bersujud kepada Allah,
membaca salawat buat Rasulullah.
م ل س و ه ب ح ص و ه ل آى ل ع و د م ح ا م ن د ي ى س ل ع ل ص م ه الل
7Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri, h. 158.
22
1. Biografi
Nabi Muhammad SAW adalah anggota Banî Hâsyim, sebuah
kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang
mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya bernama ‘Abdullâh ibn
‘Abd al-Muṯallib, seorang kepala suku Quraisy yang besar
pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani
Zuhrah8
Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dikenal dengan
nama tahun Gajah, karena pada tahun itu terjadi peristiwa besar,
yaitu datangnya pasukan gajah menyerbu Mekah dengan tujuan
menghancurkan Ka’bah9. Beberapa bulan setelah penyerbuan
tentara gajah, Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki, yang
diberi nama Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari
Senin, 12 Rabî’ al-Awwal tahun Gajah, bertepatan dengan 20
April 570 M. Saat itu ayah Muhammad, ‘Abdullâh, telah
meninggal dunia. Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya,
‘Abd al-Muṯallib. Nama itu sedikit ganjil di kalangan orang-orang
Quraisy, karenanya mereka berkata kepada ‘Abd al-Muṯallib,
“Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan begitu besar, tetapi
tak satu pun yang bernama demikian.” ‘Abd al-Muṯallib
menjawab, “Saya mengerti. Dia memang berbeda dari yang lain.
Dengam nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya.”
8 Ahmad Jamil, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: CV. Toha,
2010), h. 13.
9 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 1990), h. 49.
23
Pada usia 20 tahun, Muhammad SAW mendirikan Hilfu al-
Fuḏûl, suatu lembaga yang bertujuan membantu orang-orang
miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang sedang kacau
akibat perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku
Hawazin. Melalui Hilfu al-Fuḏûl inilah sifat-sifat kepemimpinan
Muhammad SAW mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam
lembaga ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang,
namanya semakin terkenal sebagai orang yang terpercaya. Relasi
dagangnya semakin meluas karena berita kejujurannya segera
tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar al- Amîn,
yang artinya orang yang terpercaya10.
2. Tujuan Pokok Kerasulan
Muhammad Saw adalah seorang Nabi dan Rasul terakhir
bagi umat Manusia. Muhammad Saw memulai penyebaran ajaran
Islam untuk seluruh umat manusia dan mewariskan pemerintahan
tunggal Islam. Muhammad sama-sama menegakkan ajaran tauhid
untuk mengesakan Allah Swt sebagaimana yang dibawa Nabi dan
Rasul sebelumnya. Nabi Saw adalah seorang yang tabah dan
sabar, sehingga beliau menjadi panutan bagi manusia dalam
segala aspek kehidupan baik dalam urusan dunia ataupun akhirat.
Keteladanan nabi saw tidak di ragukan kebenarannya, maupun
kebaikannya, karena yang di sampaikan nabi Muhammad saw
adalah berdasarkan wahyu bukan kebohongan dan omong
10 Ibn Hisyâm, Sirah al-Nabi SAW, juz 1 (al-Qâhirah: Maṯba’at al-Madani,
tt), h. 127.
24
kosong. Nabi Muhammad Saw di utus Allah Swt. setidaknya ada
empat misi kerasulannya.
a. Mengajarkan Ketauhidan
Rasululah SAW mengajarkan untuk mengesakan Allah Swt
dan memberantas kemusyrikan yang dilakukan oleh masyarakat
Mekah pada saat itu. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an:
وما أرسلنا من ق بلك من رسول إل نوحي إليه أنهۥ ل إله إل أنا فٱعبدون
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum
kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya:
Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".11
b. Menyempurnakan Akhlak
Akhlak Nabi Muhammad Saw merupakan acuan yang
tidak ada bandingannya. Bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi
juga oleh Allah Swt. Hal ini dapat dilihat dalam firman-Nya:
نك لعلى خلق عظيم وإ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti
yang agung.”12
c. Membangun Manusia Yang Mulia Dan Bermanfaat
Nabi Muhammad Saw mengajarkan tentang persamaan
derajat manusia. Nabi Muhammad juga mengajarkan agar
penyelesaian masalah tidak boleh dilakukan dengan cara
kekerasan, namun harus dilakukan dengan cara-cara damai dan
beradab.
11 QS. Surah al-Anbiya : 25
12 QS. al-Qalam : 4
25
Hal ini tercermin dalam tindakan Nabi Muhammad Saw
ketika mendamaikan masyarakat Mekkah saat akan meletakkan
Hajar Aswâd pada tempatnya. Nabi Muhammad Saw
mengajarkan agar manusia bekerja keras untuk dapat memenuhi
kebutuhannya, namun ketika menjadi kaya, dia harus mengasihi
yang miskin dengan cara menyisihkan sebagian hartanya untuk
mereka. Orang yang kuat harus mengasihi yang lemah. Orang tua
harus menyayangi anaknya, baik itu anak laki-laki atau
perempuan. Sebaliknya, anak harus menghormati dan berbakti
kepada kedua orang tuanya walaupun mereka sudah sangat tua.
Ketika antar anggota masyarakat dapat memahami hak dan
kewajibannya, saling menghormati, mengasihi dan menghargai,
akan menjadi masyarakat yang damai, aman, tenteram dan
sejahtera. Terbukti saat ini keadaan masyarakat Mekkah dan
Madinah menjadi masyarakat yang beradab, damai, sejahtera, dan
mengalami kemajuan yang pesat. Semua itu diawali dengan
ketakwaan mereka kepada Allah Swt dan senantiasa berpegang
teguh kepada ajaran Nabi Muhammad Saw.
d. Memberi Kabar Gembira dan Peringatan
Rasulullah Saw memberikan kabar gembira bagi orang yang
beriman kepada Allah Swt, serta mengikuti beliau. Sebaliknya
beliau mengingatkan kepada mereka yang berbuat kejahatan,
kemusyrikan dan kemaksiatan agar menghentikan perbuatan-
perbuatan yang terlarang itu, pahamilah firman Allah Swt dalam
al-Qur’an:
وإن م ن أمة إل خل فيها نذير إنا أرسلنك بٱلح ق بشير ا ونذيرا
26
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa
kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan
telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”13
C. Tafsir QS. Al-Nûr [24] : 35
1. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (al-Tustari)
ة ت وٱلرض مثل نورهۦ كمشكو و فيها مصباح ٱلمصباح في ۞ٱلله نور ٱلسمتونة ل شرقية ول زجاجة ٱلزجاجة كأن ها كوكب در ي يوقد من شجرة مبركة زي
نور على نور ي هدي ت ها يضيء ولو لم تمسسه نار ٱلله لنورهۦ من غربية يكاد زي
وٱلله بكل شيء عليم يشاء ويضرب ٱلله ٱلمثل للناس
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita
itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak
dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di
sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-
Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
.ار و ن ال ب ض ر ال و ات و م الس ن ي ز ي م ن ع ( ي ات و م الس ر و ن ى )الله ال ع ت ه ل و ق
Yakni, yang menghiasi langit dan bumi dengan berbagai
cahaya.
13 QS. Fâṯir : 24
27
ي ر ص ب ل ا ن س ح ال ال , ق م ل س و ه ي ل ع الله ىل ص د م ح م ر و ن ل ث ي م ن ع ( ي ه ر و ن ل ث )م الله ات و ل ص ء آي ب ن ال ب و ل ق ن , ل د ي ح و الت ء آي ض , و ن م ؤ م ال ب ل ق ال ك ل ذ ى ب ن ع ار و ن ال ه ذ ه ل ث م ب ف وص ن ت أ ن م ار و ن أ م ه ي ل ع
Yakni, seperti Nur Muhammad SAW. Al-Hasan al-Bashri
berkata: juga hati orang mukmin, cahaya tauhid, karena hati
para nabi itu nur-nur yang disifati seperti halnya nur-nur
ini.14
Metode penafsiran terdiri dari empat macam, yaitu metode
ijmali (global), tahlili (analitis), muqarran (komparatif) dan
mauḏu’i (tematik).15 Di antara keempat metode tersebut, salah
satu yang digunakan oleh al-Tustarî adalah metode tahlili.
Metode tahlili adalah tafsir yang mengungkap ayat-ayat al-
Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di
dalam mushaf al-Qur’an, sebagaimana dalam contoh ayat di atas
Q.S. al-Nûr: 35.
2. Tafsir al-Misbah (M. Quraish Shihab)
ة ت وٱلرض مثل نورهۦ كمشكو و فيها مصباح ٱلمصباح في ۞ٱلله نور ٱلسمتونة ل شرقية ول زجاجة ٱلزجاجة كأن ها كوكب در ي يوقد من شجرة مبركة زي
نور على نور ي هدي ت ها يضيء ولو لم تمسسه نار ٱلله لنورهۦ من غربية يكاد زي
وٱلله بكل شيء عليم يشاء ويضرب ٱلله ٱلمثل للناس
14 Abû Muẖammad Sahl ibn 'Abdullâh ibn Yûnus ibn “Isa ibn
'Abdullâh al-Tustarî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm (Bayrût: Dâr al-Harâm Li al-
Turats, 2004), h. 206.
15 Muhammad Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan ‘Ulûm Al-Qur’ân, cet. III
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 172-192.
28
Allah adalah sumber segala cahaya di langit dan di bumi.
Dialah yang menerangi keduanya dengan cahaya yang
bersifat materiil yang dapat kita lihat dan berjalan di bawah
cahayanya. Cahayanya juga ada yang bersifat maknawi
seperti cahaya kebenaran, keadilan, pengetahuan, keutamaan,
petunjuk dan keimanan. Dia juga menerangi langit dan bumi
dengan bukti-bukti yang terkandung di dalam alam raya ini
dan segala sesuatu yang menunjukkan wujud Allah serta
mengajak untuk beriman kepada-Nya. Kejelasan cahaya-Nya
yang agung dan bukti-buktinya yang mengagumkan adalah
seperti cahaya sebuah lampu yang sangat terang. Lampu itu
diletakkan di sebuah celah dinding rumah yang dapat
membantu mengumpulkan cahaya dan memantulkannya.
Lampu itu berada dalam kaca yang bening dan bersinar
seperti matahari, mengkilap seperti mutiara. Bahan bakar
lampu itu diambil dari minyak pohon yang banyak
berkahnya, berada di tempat dan tanah yang baik, yaitu
pohon zaitun. Pohon itu ditanam di tengah-tengah antara
timur dan barat yang membuatnya selalu mendapat sinar
matahari sepanjang hari, pagi dan sore. Pohon itu bahkan
berada di puncak gunung atau di tanah kosong yang yang
mendapatkan sinar matahari dalam sehari penuh. Karena
teramat jernih, minyak pohon itu seakan hampir menyala,
meskipun lampu tersebut tidak disentuh api. Semua faktor
tersebut menambah sinar dan cahaya lampu menjadi berlipat
ganda. Demikianlah bukti-bukti materi dan maknawi yang
terpancar di alam raya ini menjadi tanda-tanda yang jelas
yang menghapus keraguan akan wujud Allah dan kewajiban
beriman kepada-Nya serta risalah-risalah-Nya. Melalui itu
semua, Allah merestui siapa saja yang dikehendaki untuk
beriman jika dia mau menggunakan cahaya akalnya. Allah
memaparkan contoh-contoh yang bersifat materiil agar
persoalan-persoalan yang bersifat rasionil mudah ditangkap.
Allah Swt. Mahaluas pengetahuan-Nya. Dia mengetahui
siapa saja yang memperhatikan ayat-ayat-Nya dan siapa yang
enggan dan sombong. Dia akan memberi balasan kepada
mereka atas itu semua.16
16 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, Dan
Keserasian al-Qur’an, vol. 9 (Jakarta: Lentera Hati, 2017), h. 432.
29
Dalam penafsiran ayat ini, metode yang digunakan Quraish
Shihab yaitu menggunakan metode tahlili (analitik), yaitu metode
yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai
seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan
musafirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan
peruntutan ayat-ayat dalam mushaf.17
17 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, cet. II (Tangerang: Lentera Hati,
2013), h. 378.
25
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IBN ‘ARABÎ
A. Biografi dan Pemikiran
1. Latar Belakang Sosial
Ia bernama lengkap Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad Ibn Ahmad ibn
‘Abdillâh al-Hatimi dari kabilah al-Toyi, yang mempunyai kunyah Abû Bakr yang
dijuluki Muẖy al-Din, serta terkenal dengan panggilan al-Hatimi dan Ibn ‘Arabî .
Pemberian nama beliau dengan Ibn ‘Arabî menunjukkan bukan kepada kakeknya,
tetapi kepada empat generasi diatasnya yakni ‘Abdullâh al-‘Arabi Muẖy al-Dîn
(Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Guru Terbesar) adalah dua gelar
yang paling masyhur yang diterima oleh Ibn ‘Arabî . Muẖy al-Dîn adalah gelar
yang menunjukkan sebuah kekuatan hidup yang memainkan peranan Ibn ‘Arabî
dalam pembentukan pemikiran Islam, sedangkan gelar Syaikh al-Akbar adalah
gelar yang memperkenalkan Ibn ‘Arabî sebagai salah seorang tokoh yag paling
besar dalam sejarah spritualitas dunia.1
Ia dilahirkan pada hari senin, 17 Ramaḏan tahun 560 H atau bertepatan pada
tanggal 28 juli 1165 M di daerah Mursiyyah Andalus, dalam masa pemerintahan
Sultan Muhammad bin Sa’id Mardanisî, gubernur Andalusia Timur. Dan
merupakan turunan suku Arab Tayy.2 Ayahnya ialah ‘Ali bin Muhammad yang
merupakan pakar fikih dan hadis dan termasuk pakar tasawuf.
1Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf , Cet. Ke-1
(Bandung: Ankasa, 2008), h. 515.
2A.E.Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi, Terj. dari A Mystical Philosopi of Muhyiddin Ibn ‘Arabi,
oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, Cet. ke.2 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 1.
26
Ayahnya pindah ke kota isbiliyah dan disana Ibn ‘Arabî tumbuh dewasa dan
bertempat tinggal, ketika ia sudah mahir berbicara, ayahnya mengirimkan Ibn
‘Arabî ke Abî Bakr Ibn Khalaf. Ialah seorang ahli fikih, kemudian ia belajar al-
Qur’an, saat sempurna umurnya sepuluh tahun ia mahir dalam membaca ma’na-
ma’na dan isyâroh. Setelah itu ayahnya mengirim kembali Ibn ‘Arabî kepada
seorang ulama ahli hadis.
Dikisahkan pada masa mudanya bahwa Ibn ‘Arabî menghidap suatu penyakit
yang teramat parah, hingga pada suatu saat ketika tubuhnya sangat panas, ia
bermimpi dalam tidurnya bahwa ia dikepung oleh suatu mahkluk raksasa yang
membawa senjata yang berniat membunuhnya. Tiba-tiba ia melihat perwujudan
seorang manusiawa berwujud tampan, dan berperawakan gagah dan kuat serta
memiliki poros wajah yang mencorong indah, yang seseorang itu dengan hebatnya
mengalahkan raksaksa jahat yang ingin membununnya itu sampai tak tersisa
kekuatannya hingga menang. Lalu dengan penasaran Ibn ‘Arabî bertanya pada
seseorang tersebut, siapa kamu? Lalu ia menjawab: saya adalah surat yasin.
Tatkala Ibn ‘Arabî terjaga dari tidurnya, ia melihat orang tuanya duduk disisi
kepalanya sedang membacakan surah yâsin.
Ibn ‘Arabî mempunyai sangat banyak guru dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia
menyebutkan sekitar limapuluh lima tokoh di antara guru spiritual di dalam Rûh
alQuds.3 Di dalam kitab Rûh, ia hanya menyebutkan tokoh-tokoh yang menjadi
gurunya pada periode pertama, yaitu ketika masih di Andalusia dan Maroko.
Tetapi bukan berarti Rûh ditulis pada masa tersebut. Tetapi ia menulisnya ketika
melakukan haji yang pertama atau setelahnya. Hal ini dikarenakan ia
3Ibn ‘Arabî, Rûh al-Quds (Damaskus: Mu'assasah al-‘Ilm, 1964), h. 84.
27
menyebutkan beberapa kejadian saat berkunjung dan mengajar di Makkah.4
Sedangkan haji yang pertama dilakukannya pada periode kedua (pasca Andalusia
dan Maroko) tahun 599 H.5
Dalam hal ini, sejarawan klasik Ibn al-Maqarrî pernah memberikan sebagian
perincian daftar nama guru Ibn ‘Arabî. Sebagaimana tokoh Muslim lainnya, Ibn
‘Arabî memulai dengan mempelajari dan mendalami al-Qur’an. Di Sevilla, Ibn
‘Arabî mendapatkan ijâzah (sertifikasi) dari banyak ulama dalam pelbagai cabang
ilmu.6 Di antara tokoh yang menjadi tempat Ibn ‘Arabî mendalami al-Qur’an
adalah Abû Bakr al-Lakhmî ahli qirâ’ah sab‘ah, Abû al-Hasan Syurayh anak dari
Muhammad al-Ra‘înî penulis kitab al-Kâfî dalam ilmu qirâ’ah, dan Abû al-
Qâsim al-Syarrâth. Selain kitab al-Kâfî, ia mempelajari kitab al-Tabsîrah
karangan Abû Muhammad al-Muqrî dan kitab
al-Taysîr karangan Abû ‘Amr bin Abû Sa‘îd al-Dânî.7 Ia mempelajari fikih
dengan madzhab Mâlikî kepada Muhammad bin Qasûm seorang sufi dan faqîh.8
Ibn ‘Arabî mempelajari Hadîs dari ‘Abd al-Haqq al-Isybîlî ketika masih
bermukim di Sevilla. ‘Abd al-Haqq mengijazahkan semua karangannya dalam
cabang ilmu Hadîs kepada Ibn ‘Arabî. Ia mempelajari Sahîh al-Bukhârî dari
Yûnus bin Yaẖyâ al-Hâsyimî dan Sahîh Muslim dari ‘Abd al-Samad al-Harastanî.9
4Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 9 dan 12.
5Ibn al-Maqarrî al-Tilmisânî, Nafh al-Tîb min Ghishn al-Andalûs al-Tayyi (Beirut: Dâr Sader,
1997), v. 2 h. 161.
6Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 161.
7Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’ (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), v. 1 h. 202.
8Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 55.
9Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203.
28
Saat berjumpa dengan Abû Ja’far Ahmad al-‘Aribi di Sevila, ia mulai
tercerahkan spiritualnya. Bahkan Ibn ‘Arabî menyebutkan bahwa al-‘Aribi ialah
guru pertama dalam hal spiritual.10 Di antara tokoh yang sangat berpengaruh pada
diri Ibn ‘Arabî selama di Andalusia adalah Abû Ya‘qûb bin Yakhlûf al-Kûmî
sahabat Abû Madyan. Ia mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî untuk pertama kali
ketika melakukan perjalanan dengan Abû Ya‘qûb.11 Walaupun telah mendapatkan
nuansa spiritual dari al-‘Arîbî, tetapi Ibn ‘Arabî belum mengenal literatur tasawuf
kecuali setelah bertemu dengan Abû Ya‘qûb.
2. Keluarga
Ibn ‘Arabî mempunya nama lengkap ialah Muhammad bin ‘Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdullâh al-Hatimi dari keturunan ‘Abdullâh bin
Hatim saudara laki-laki ‘Adî bin Hatim dari Kabilah Tayy.12 Ia dikenal dengan
sebutan al-Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabî al-Sûfi. Sebuah gelar kehormatan yang
membedakannya dengan Qadi Ibn al-‘Arabi al-Ma’afiri (543 H) pakar Hadis dan
fikih mazhab Maliki.
Selain itu, penisbahan nama Ibn ‘Arabî mengisyaratkan bukan kepada
ayahnya, tetapi kepada ‘Abdullâh al-‘Arabî empat generasi di atasnya. Ibn ‘Arabî
mengakui bahwa dirinya masih keturunan ‘Abdullâh bin Hatim al-Ta’i (Banî Tayy
13dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi Saw. Ini salah satu faktor yang
menyebabkan ia dan keluarganya mendapatkan strata sosial yang tinggi di
Andalusia.
10Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 46.
11Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 49
12Ibn ‘Arabi, al-Futûhat al-Makiyyah, vol. 1 (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999 M), h. 3.
13Claude Addas, Quest for The Red Sulphur (Cambridge: The Islamic Texs Society, 1993), h.
45.
29
Ibn ‘Arabî merupakan seorang anak dari Muhammad bin Ahmad, ia
merupakan salah seorang qadli atau hakim di Andalusia yang berakidah Sunni.
Ayahnya termasuk orang yang dihormati oleh pihak pengusaha. Selain sebagai
ayah, Muẖammad bin Aẖmad juga merupakan guru pertama dikeluarganya. Ibn
‘Arabî dididik dengan baik dan dipertemukan oleh ayahnya dengan banyak
cendikiawan islam pada zamannya. Ia memiliki seorang kakek yang menjadi
ulama dan hakim di Andalusia. Kemudian ia tumbuh dengan pertumbuhan yang
penuh ketaqwa’an serta asuhan yang bersih dari kehidupan pemuda atau remaja
yang buruk.
3. Karya
Ibn ‘Arabî merupakan tokoh intelektual yang sangat aktif menulis gagasan-
gagasan menarik yang diperolehnya. Hal ini terlihat dari karangan Ibn ‘Arabî
yang luar biasa banyak. Prof. ‘Utsmân Yahyâ dari Aleppo menyimpulkan bahwa
ada sekitar 846 karya Ibn ‘Arabî.14 Di antara karyanya ada yang berbentuk kitab,
risalah, sya‘ir,dan wasiat.
Di antara karya tersebut, yang sangat luar biasa adalah al-Futûhât al-
Makiyyah. Karya tersebut ditulis saat ia mendapatkan futûh (penyingkapan
spiritual) ketika ia berkunjung di Makkah. Oleh karena itu, ia memberi judul
dengan "Penyingkapan Spiritual Periode Makkah" atau al-Futûhât al-Makiyyah.
Namun, kitab al-Futûhât tidak hanya mengemukakan permasalahan kesufian.
Justru Ibn ‘Arabî memulai kitab tersebut dengan kajian teologis sebagai dasar
pijakan ajaran spiritual. Hal ini terlihat dengan cara Ibn ‘Arabî mengemukakan
14Ibn ‘Arabi, Rûh al-Quds (Damaskus: Mu’assasah al-‘Ilm, 1964), h. 84.
30
empat hirarki teologis umat Islam. Ia menyebutkan akidah orang awam sebagai
akidah dasar umat Islam. Setelah itu, ia mengemukakan akidah ahli kalam yang ia
sebut dengan teologi al-Syâdiyyah. Akidah awam dan al-Syâdiyyah merupakan
implementasi dari pemahaman Ibn ‘Arabî terhadap teologi Sunni Asy‘ariyyah.15
Kemudian kitab Tafsîr Ibn ‘Arabî yang ia juga mempunyai karya utama,
yaitu Fusûs al-Hikâm. Kitab ini merupakan kajian Ibn ‘Arabî terhadap maqâm
kenabian, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muẖammad Saw dengan jumlah dua
puluh tujuh nabi. Hal ini dikarenakan ia menambahkan Nabi Uzayr dan Khâlid bin
Sinân. Pembahasan yang dikemukakannya mencakup aspek teologis dan kesufian.
Ibn ‘Arabî juga menulis Rûh al-Quds. Di dalamnya, ia menyebutkan daftar
nama-nama tokoh yang pernah menjadi sumber inspirasi intelektual dan spiritual.
Ia juga menulis kitab khusus mengenai teologi Islam dengan judul ‘Aqîdah fî al-
Tauẖid. Yûsuf al-Nabhânî menyebut kitab ini dengan judul ‘Aqâ'id ‘Ilm al-Kalâm.
Sedangkan Ibn Syâkir al-Katbî menyebutnya dengan judul ‘Aqîdah Ahlu al-
Sunnah. Permasalahan yang dikemukakan di dalamnya sangat mirip dengan
akidah awam yang dikemukakan dalam al-Futûhât. Hal ini menguatkan asumsi
bahwa Ibn ‘Arabî menguasai teologi Islam. Kitab lain yang menjadi sorotan
utama adalah al-Tanazzulât al-Laylah. Kitab ini berisi tema-tema penting dalam
permasalahan teologis dan tasawuf falsafi. Yûsuf al-Nabhânî menyebutkan
karangan lainnya seperti al-Risâlah wa al-Nubuwwah wa al-Ma‘rifah wa al-
Wilâyah mengenai konsep kenabian dan kewalian dari sisi teologis dan kesufian.16
15Al-Sya‘rânî, al-Kibrît al-Ahmar (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 7.
16Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 208.
31
4. Pemikiran
Ada dua aliran besar yang berkembang dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf
sunni dan tasawuf falsafi. Para ulama yang tidak melibatkan diri pada dunia,
pemikiran filsafat, mereka masuk pada aliran tasawuf sunni. Mereka hanya
melakukan asketisme atau tradisi mistis untuk proses penyatuan diri dengan
Tuhan, memperbaiki akhlak, dan membersihkan hati. Adapun ulama yang
meminati dunia filsafat, namun melibatkan diri dalam tasawuf, mereka berada
pada aliran tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi dapat dipahami sebagai tasawuf yang
kaya dengan pandangan-pandangan falsafah atau banyak dimasuki oleh
pandangan-pandangan radikal mengenai Tuhan dan kesatuan dengan manusia.17
Di dalam tasawuf falsafi, metode pendekatannya sangat berbeda dengan
tasawuf sunni. Tasawuf sunni lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan
tasawuf falsafi menonjol pada segi teoritis, sehingga dalam konsep-konsep
tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan
filosofis, yang mana hal ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari
khususnya bagi orang awam.
Menurut al-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam
khazanah Islam sejak abad keenam Hijriah meskipun para tokohnya baru dikenal
seabad kemudian. Sejak abad keenam, tasawuf jenis ini terus hidup dan
berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang
akhir-akhir ini.18
17Bahrun Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 5.
18Al-Taftazany, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Bandung Pustaka, 1985), h. 187.
32
Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini
menjadikan ajaran-ajaran tasawuf ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di
luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi,
orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, sebab meskipun mempunyai
latar belakangkebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam,
seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya
tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan
dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan kepada
kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan ajaran-
ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam ke dalam tasawuf merekan, serta
menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan
dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.
33
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN IBN ‘ARABÎ QS. AL-NÛR [24]: 35 SEBAGAI
KONSEP NÛR MUHAMMAD
A. Penafsiran Q.S. al-Nûr [24]: 35 Sebagai Nûr Muhammad
Berbicara mengenai pandangan Ibn ‘Arabî tentang QS. al-Nûr [24]: 35
sebagai konsep Nûr Muhammad, sebaiknya terlebih dahulu mendalami pemikiran
Ibn ‘Arabî dalam bidang tasawuf. Penulis akan coba sedikit memaparkan
runtutan bagaimana konsep berpikir Ibn ‘Arabî sampai ada hubungannya antara
QS. al-Nûr [24]: 35 dengan konsep Nûr Muhammad. Seperti pemikiran tasawuf
Ibn ‘Arabî , konsep Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabî , dan terlahirlah hubungan QS.
al-Nûr [24]: 35 dengan konsep Nûr Muhammad.
Sufisme Ibn ‘Arabî membangkitkan ketakutan dan kemarahan bukan hanya
dalam Islam. Jika kita hendak mengembangkan ide atau mendemonstrasikan
eksistensi suatu “sufisme ortodoks”, kita akan menghadapi bahaya berupa
penolakan, namun begitu kita akan tetap diliputi oleh penyebarluasan teosofi
mistik yang tak tertandingi ini. Jika kita mencoba memangkas doktrinnya ke
dalam kategori-kategori filsafat Barat kita (monisme, pantheisme, dan sebagainya)
kita berisiko menyimpangkan pandangan dia yang sebenarnya. Penggunaan
terburu-buru berbagai kategori yang ada pada sistem falsafat kita dan memahami
perjumpaan unik antara agama profetik dengan agama mistik yang ditunjukkan
oleh sufisme, kita secara sepintas harus membahas para pemikir dan ide-ide yang
menmbentuk konteks Ibn ‘Arabî dan aliran pemikirannya.
Ibn ‘Arabî wafat di Damaskus pada tahun 1240, tepat enam belas tahun
sebelum penaklukan Baghdad oleh orang-orang Mongol memaklumkan
34
kiamatnya sebuah dunia. Akan tetapi, bertahun-tahun setelah kerusakan akibat
pembantaian Mongol timbullah perubahan baru Islam di Asia Tengah melintasi
Iran menuju Timur Tengah (diantara pengungsi yang terkenal: Najmuddîn Daya
Râzi, Maulanâ Jalaluddîn Rumi, dan ayahnya). Salah satu toko sufisme yang
terbesar, Najm Kubra menemui kesyahidannya dalam menahan arus orang-orang
Mongol di Khwarezm (Khiva) pada 618/120.1 Inilah Najm Kubra yang
menanamkan dalam sufisme kecenderungan visioner dan spekulatif yang berbeda
dari cara hidup pada perta saleh Mesopotamia yang menanamkan diri sebagai sufi
pada abad-abad pertama Islam.2
Pandangan para sufi jika dilihat dengan nalar bayânî, yang merupakan
paradigma berpikir mainstream umat Islam, tentu saja akan dianggap sebagai
sebagai sebuah penyimpangan yang pasti. Karena mencerminkan ajaran
pantheisme.3 Sebagaimana para pandangan sufistik tersebut, Ibn ‘Arabî juga
1Henry Corbin, L’Imagination creatice dans le soufisme d’Ibn ‘Arabî , Princeton: Princeton
University Press. Terj. Moh. Khozim dan Suhadi, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabî
(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2014), h. 31.
2Asal kata “sufi” yang digunakan untuk menandai kaum Spiritual Islam selama ini telah
menjadi subjek riset dan kontroversi. Kebanyakan pengkaji menerima penjelasan sebagian guru
sufisme, yang mengasalkan kata itu kepada sûf, kata Arab untuk bulu domba. Menurut teori ini,
jubah bulu domba adalah ciri khas para sufi sehingga kata tasawwuf berarti menjalankan sufisme.
Akan tetapi apakah penjelasa ini memuaskan? Kita tahu bahwa selalu ada ahli tata bahasa yang
siap melacak kata-kata asing dalam bahasa Arab untuk dikembalikan ke akar Semiotiknya.
Beberapa orientalis Barat dengan gampang memangdang kata “sufi” sebagai transliterasi dari kata
Yunani sophos kebijaksanaan (sûfiyyah, sufisme, juga merupakan pelafalan Arab untuk kata
Haghia Shopia). Hal ini lebih dari cukup untuk dipandang benar. Bîrûnî, sarjana besar abad ke-10,
sebagaimana ia terangkan dalam kitabnya mengenai India, pun menyadari kalau kata itu tidak
berasal dari bahasa Arab. Ia juga memandangnya sebagai transkripsi dari kata Yunan sophos.
Kesimpulannya semakin pasti bahwa ide kebijakan yang termuat dalam kata sufisme berhubungan,
kalaupun bukan dengan ide kita mengenai kebijakan tadi, setidaknya berhubungan dengan apa
yang diajukan oleh empedokles dan Agrigentum, yakni ide mengenai sang bijak nabi yang arti
pentingnya telah ditekankan dalam buku ini, bdk. Izzuddîn Kâsyânî, Misbâh al-Hidâyah, h. 65-66.
3Kata “Pantheisme” terdiri dari tiga kata, yaitu pan, yang berarti seluruh; theo berarti Tuhan;
dan isme, yang berarti paham. Jadi, pantheism atau pantheisme adalah paham bahwa seluruhnya
Tuhan.Pantheisme berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh
alam. Tuhan dalam pandangan pantheisme sangat dekat dengan alam (imanen). Paham ini bertolak
belakang dengan paham deisme. Lihat, Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos, 1997), h.
93.
35
memiliki pandangan yang sama, yang dia perkenalkan dengan konsep Wahdah al-
Wujûd. Melalui teori ini, tidak jarang Ibn ‘Arabî dicap sebagai kafir. Jika
demikian persoalannya, pertanyaan akademiknya adalah bagaimana konsep
Wahdah al-Wujûd? Dan apakah konsep tersebut bertentangan dengan ajaran
Islam? Dan bagaimana pula konsep Nûr Muhammad menurut Ibn ‘Arabî ?
Ada salah satu karya Ibn ‘Arabî yang terkenal dalam bidang tasawuf yang
berjudul Al-Futûhat al-Makkiyah (Pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di
Mekkah) dengan tersusun sebanyak dua belas jilidan Fusus al-Hikam (permata-
permata Hikmat). Dari situlah pemikiran-pemikiran tasawufnya muncul seperti
yang dijelaskan dalam Fusus al-Hikam wajah sebenarnya hanya satu, tetapi kalau
cermin diperbanyak wajah kelihatan banyak pula. Atau sebagai kata parmenides,
yang ada itu satu, yang banyak hanyalah ilusi.4
Oleh karena itu Ibn ‘Arabî disebut sebagai pendiri paham Wahdah al-Wujûd
walaupun dalam tulisan-tulisannya tidak dijumpai kata Wahdah al-Wujûd namun
dalam karya tulisnya banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang mengandung
paham Wahdah al-Wujûd seperti dalam kitab Al-Futûhah al-Makkiyah (karya
ensiklopedis besar tentang tasawuf) dan Fusus al-Hikam. Sebagai contoh yang
dikutip oleh ‘Abdul ‘Aziz Dahlan yang berasal darinya yaitu:
الله و ه ل ب الله ب و ه ل ل ل ك ان ك
“Semua adalah milik Allah dan dengan Allah; bahkan semua itu adalah
Allah”
اللهلاا الله ف ر ع ل و الله لاا د و ج و يال اف م ف
4A. Musthofa, Akhlak Tasawuf, Cet. ke-1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 278-279.
36
“Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan tidak ada yang mengenal
Allah kecuali Allah”5
Menurut Hamka, Ibn ‘Arabî dapat disebut sebagai orang yang telah sampai
pada puncak Wahdah al-Wujûd. Doktrin Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabî
merupakan lanjutan faham ittihad Abu Yazid al-Busṯami, dan hulul yang menjadi
pendirian al-Hallaj.6 Ibn ‘Arabî adalah seorang sufi tetapi karena mengajarkan
doktrin Wahdah al-Wujûd, termasuk seorang sufi yang mendapat kecaman yang
keras dari para ulama ortodoks. Sejak masa mudanya, Ibn ‘Arabî telah dikecam
dan di musuhi, dan keselamatan jiwanya terancam. Namun sufi ini berhasil
mencari simpati banyak orang dan beberapa penguasa sehingga ia terhindar dari
pembunuhan.
Adapun ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang mengandung paham wahdat al-
wujud salah satunya adalah:
ق ح اال ن )أ ج ل ل ح ال ال اق م ك ل و ق ن أ اع ط ت س م ب س ي ل ان س ن ال ناإ ن أ ع ي ط ت س ل ه ل ق ع ر غ ص ل ه نا(ل
للهاك م ال ع ال لاك ي ع
“Sesungguhnya manusia tidak dapat berkata seperti kata al-Hallaj “Saya
adalah al-Haq (Tuhan)” karena manusia itu disebabkan oleh kekerdilan
akalnya tidak mampu memuat seluruh alam ini seperti Allah. Oleh karenanya
ia adalah sebagian dari Allah dan bukan Allah secara keseuruhan”.7
Dengan demikian paham Wahdah al-Wujûd diatas mengisyaratkan bahwa
pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada tuhan pun ada unsur lahir dan
batin.
5Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wujud)
Tuhan-Alam-Tasawuf Syamsuddin Sumatrani (Padang: IAIN-IB Press, 1999), Cet. ke-1, h. 36.
6Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf,
Cet. ke-2 (Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama, 2005), h. 220
7Moh Ardiani, Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf”,
h. 220-221.
37
Adapun unsur-unsur yang ada dalam Wahdah al-Wujûd adalah:
1. Unsur Haqq
Unsur al-Haqq adalah unsur batin yang berada di sebelah dalam dan
merupakan hakikat, esensi atau subtansi.
2. Unsur Makhluk
Unsur makhluk adalah unsur lahir yang berada dibagian luar dan ada karena
adanya unsur haqq.
Unsur lahir manusia adalah wujud fisiknya yang nampak, sedangkan unsur
batinnya adalah roh atau jiwanya yang tidak nampak yang hal ini merupakan
pancaran, bayangan atau foto copy Tuhan. Selanjutnya unsur lahir pada Tuhan
adalah sifat-sifat ketuhanannya yang nampak di alam ini, dan unsur batinnya
adalah zat Tuhan. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam
beberapa cermin yang ia letakkan di sekelilingnya. Di dalam beberapa tiap cermin
tersebut ia melihat dirinya hanya satu jua.8
Setelah penulis meneliti konsep Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabî , penulis
mencoba menghubungkan konsep wahdah al-wujûdnya dengan penafsiran Ibn
‘Arabî terhadap Q.S. al-Nûr [24] ayat 35 sebagai berikut:
ة ك و ك م شأ م ث ل ن ور ه ۦض و ٱلأ رأ و ت ٱلسام م صأ۞ٱللاه ن ور ٱلأ ب اح
ن اه ف يه ام صأ ك ٱل ج اج اب اح ف ي ج اج
ب يا غ رأ ق يا و ل ش رأ ت ون لاد ر ي وق د م نش ج ر ة م ب ر ك أ س ك وأك ب
م مأ ل مأ و ل وأ ي ت ه ا ي ك اد أ ه ن ار سأ
د ي هأ ن ور ث ل ل ن ور ع ل ىٱللاه ٱلأ مأ ر ب يأ و
ا ش يأ ع ل يم ٱللاه ل ن ور ه ۦم ن ش و ٱللاه ب ك ل
لناا
8Moh Ardiani, Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf”,
h. 222.
38
ر هاظ م ،و ه ام ذ ب ر ه ظ ي ذ الاو ه ر و "اللهنورالسمواتوالرض"الن ن م م ااس ق ل ط م و ه ،و ه ب ا ي ش ال ر و ه ،وظ ه ر و ه ظ ة داش ار ب ت اع ى،ب ال ع م الله ا م س ا ه ب ا ي ش ال
و مال و و ه د و ج و ب د ج ا وك ه ر و ه ظ ب ر ه ظ ، و ات و م السار و ن ان ، أ ض ر ال م ي ، ات و م س ر ه ظ ، اح و ر ال
و ض ر ال .ة ا ض ال و ات د و ج و م ال ن م د ج او م ه ب د ج يو ذ الاق ل ط م ال د و ج و ال و ه و اد س ج ال
اه ر و ه ظ ب ن ي م ال ع يال ف ه ر و ه ظ و ه د و ج و ف "ص ه ور ن ل ث "م Ibn ‘Arabî dalam membangun konstruksi teologi sufistiknya berangkat dari
suatu kegiatan menganalisis nas-nas al-Qur’an dengan menempuh metode ta’wîl.
Karena, dan menurutnya, pendekatan ta’wîl,9 bukan sebuah penafsiran yang
menggunakan akal (hawa nafsu).
Melalui media ta’wîl simbolistik, makna suatu teks dapat diurai, dari makna
zahir ke makna batin, dari eksoteris ke esoteris. Bagi Ibn ‘Arabî, dalam setiap teks
terpendam pengertian simbolik dan maknawi. Pengertian tersebut terdapat pada
tafsiran matsalu nûrihî :
اه ر و ه ظ ب ن ي م ال ع يال ف ه ر و ه ظ و ه د و ج و ف "ص ه ور ن ل ث "م
Sifat adanya Allah dan nampak-Nya Allah di alam dengan nampaknya Nur
di dalam zat-Nya.
Tafsiran tersebut mengandung makna zahir yaitu هاوظهورهفيالعالمينبظهور
ke makna batin pada kalimat setelahnya “كمشكوة فيها مصباح”. Barangkali, inilah
makna ungkapan al Ghazâlî, ketika mengatakan: “al-Qur’ân memiliki (makna)
9 Konsep “ta’wîl”, dalam perspektif, ulûm al-Qur’ân merupakan suatu metode untuk
memahami maksud al-Qur’ân. Sebagian ulama memahaminya dengan “upaya mengalihkan lafaz
dari makna zahir ke makna lain yang dimiliki oleh suatu lafaz, jika makna lain itu dipandang
relevan dengan ketentuan al-Qur’ân dan al-Sunnah.” Sebagian ahli mendefinisikannya dengan
ta’wil adalah ayat-ayat yang kemungkinan memiliki sejumlah makna yang terkandung di
dalamnya, maka manakala dikemukakan makna demi makna kepada pendengar, ia menjadi sangsi
dan bingung mana yang hendak dipilihnya. Karena itu, ta’wîl lebih banyak digunakan pada ayat-
ayat mutasyabbihat.
39
lahir dan batin; akhir dan awal”10. Dan dari metode inilah Ibn ‘Arabî
menginterpretasikan matsalu nurihi ه ور ن ل ث م dengan rûh al-‘alam روح العلم , suatu
padanan makna dari term Nûr Muhammad.
B. Konsep Nûr Muhammad
Nûr Muhammad menurut Ibn ‘Arabî adalah realisasi dari tajalli Tuhan.
Haqîqah Muhammadiyah, yang juga disebut Sayyid al-‘Alam, merupakan awal
dari segala yang nyata di dalam.11 Menurut Ibn ‘Arabî bahwa wujud itu ada dua
macam. Pertama, Wujud Azali dan Wujud Ghairu Azali. Wujud Azali itu Allah,
dan Wujud Ghairu Azali itu semua yang diciptakan oleh Allah. Artinya meskipun
sepintas kita pahami bahwa Nurullah dan Nur Muhammad itu sama, tapi
hakikatnya berbeda. Nurullah itu sudah ada dari zaman azali tanpa adanya
permulaan, sedangkan Nur Muhammad sebaliknya.
Sedangkan menurut Hamzah, Nûr Muhammad atau haqîqah Muhammadiyah
adalah dari ta’ayyun awwal yang merupakan suatu realitas universal, di mana
semua ide penciptaan itu terkumpul. Dan dari sini, Rûh Idâfi yang menjadi
pangkal penciptaan selanjutnya.12
Sebelum kejadian alam raya ini, pertama Allah menciptakan Nûr Muḥammad
(penciptaan pertama). Nûr Muhammad kemudian sujud syukur karena telah
diciptakan-Nya. Dalam ketersujudan, Allah mewajibkan kepada Nûr Muhammad
empat kewajiban formal (ṣalat, puasa, zakat dan haji) dan menganugrahinya tujuh
10 Al-Ghazali, Misykat Cahaya-cahaya, terj. Muhammad Baqir (Bandung: Mizan, 1984), h. 74.
11Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fansuri (Yogyakarta: Gelombang Pasang,
2004), h. 135.
12Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fansuri, h.136.
40
lapisan langit, tujuh lapisan bumi dan tujuh lapisan lautan (yaitu laut ilmu, latif,
sabar, pikir, akal, rahmat dan cahaya).13
Kemudian Nûr Muhammad itu, Allah menjadikan dirinya. Dari diri
Muhammad dijadikan 124.000 Nabi. Dari Muhammad kemudian mengeluarkan 5
(lima) butiran air, yang kemudian menjadi 13 (tiga belas) Rasul.
Demikian pula dari anggota badannya. Dari mata, keluar 5 (lima) butir air,
yang kemudian menjadi Malaikat Israfil dan Izrail, lawhun mahfûz , qalam dan
kursi. Dari kedua bahu, keluar dua butir air dan menjadi matahari dan bulan. Dari
tangan, keluar delapan butir air dan kemudian menjadi tanah, air, angin, api dan
sidrah al- muntaha, ṣiraṭ , kayu Tubi dan tongkat Mûsa as.
Yang disebut empat ciptaan pertama, dinamakan “anasir”, yaitu empat unsur
penting.14 Begitu pentingnya sehingga unsur-unsur ini membanggakan diri,
kecuali tanah. Api dengan panasnya, angin dengan hembusannya, dan air karena
dipakai memasak. Tetapi Nûr Muhammad menasehati bahwa kelebihan itu tidak
perlu dibanggakan, bahkan sebaliknya itu menyedihkan. Sebab dengan
keistimewaan itu justru telah memperbudak mereka.
Kemudian unsur ketiga tadi sadar dan merasa hina. Sementara Nûr
Muhammad dalam pandangan mereka mulia. Tetapi Nûr Muhammad menyanggah
seraya berkata : yang mulia itu hanya Allah. Akhirnya, setelah mengucapkan
13Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri, h. 162.
14Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 18.
41
istighfar, keempat unsur itu menyatakan masuk Islam dengan mengucapkan dua
kalimat syahadah.15
Konsep Nur Muhammad ini kerap memicu polemik di tengah umat Islam.
Sebagian orang menolaknya karena ini bertentangan dengan konsep penciptaan
manusia dalam al-Qur’ân. sebagian orang lainnya menolak kareba konsep
terpengaruh oleh doktrin salah satu sekte dalam Islam, yaitu Syiah.
Adapun sebagian kelompok lainnya menolak karena konsep ini membuka
lebar pemikiran yang ditengarai oleh kosmologi sufisme yang dianggap
berlebihan dan melewati batas. Sebagian orang Islam lainnya menolak konsep Nûr
Muhammad ini karena membuka jalan pada paham Wahdah al-Wujûd. Paham
sufisme yang berkembang di Nusantara menyebutnya kurang lebih martabat lima
atau martabat tujuh. Sedangkan sebagian orang menolak pijakan konsep Nûr
Muhammad ini melalui kritik hadis.
Kitab Qasidah Barzanji mengandung konsep yang kemudian dikenal dengan
istilah Nûr Muhammad. Kitab karya al-Sayyid Ja’far yang kerap dibaca
masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia ketika peringatan maulid ini
menyebutnya dengan “Usallî wa usallimu ‘alâ al-Nûr al-mausufi bi al-Taqaddumi
wa al-awwaliyyah.”Konsep ini mengundang diskusi tanpa kata putus.
Berikut ini kami kutip bagian dari qasidah tersebut yang menyebut konsep
Nûr Muhammad dan terjemahannya secara harfiah.
و م د ق لت ااب ف و ص و م ال ر و الن ىل ع م ل س أ يو ل ص أ هيال واال 15Sofyan Abdurrahim, “Nūr Muhammad”, Dalam Naskah Klasik Gorontalo,dalam Junal Al-
Ulum, Vol. 2, No. 2 (Desember 2011): h. 2.
42
Artinya, “Aku mengucap shalawat dan salam untuk cahaya yang bersifat
terdahulu dan awal”16
Di tengah perbagai polemik perihal konsep Nûr Muhammad itu, Syaikh
Muhammad Nawawi Banten, Ulama Nusantara yang otoritas keilmuannya teruji
dan diakui oleh ulama di Timur Tengah di zamannya, menjelaskan konsep
tersebut dari sudut pandang aqidah Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah.
Menurutnya, konsep Nûr Muhammad tidak sulit untuk dipahami dan tidak
perlu dibikin ruwet.
Status Nûr Muhammad bukan qadim sebagiamana keqadiman sifat Allah. Nûr
Muhammad adalah makhluk yang pertama kali Allah ciptakan sebelum Dia
menciptakan makhluk lainnya.
ايل ص )ا ه ل و ق ايم ل س أ )و هت م ح اير الله ة ل ص ب ل ط أ ي( (ىل )ع ه ت ي اح ايم الله م ل س ب ل ط أ (ع م د ق الت اب ف و ص و م ال ر و )الن ب ح اص )و ق و ل خ م ل ك ىل ( ك يال واال اي ر ئ اس ل ب س لن اب ل واا ه ن و ه(ات ق و ل خ م ال
Artinya, “(Aku mengucap shalawat) aku memohon shalawatullah, yaitu
rahmat Allah (dan) aku memohon (salam) Allah, yaitu penghormatan-Nya
(untuk) yang empunya (cahaya yang bersifat terdahulu) sebelum segala
makhluk (dan awal) yang entitasnya lebih awal dalam kaitannya dengan
semua makhluk.”17
Dengan keterangan Syaikh M Nawawi Banten ini, kepercayaan kelompok
Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah tidak menjadi cacat, ternoda, terkontaminasi, tersesat,
atau bergeser dari aqidah ahlusunnah hanya karena mempercayai konsep Nûr
Muhammad.
16 Al-Sayyid Ja’far Al-Barzanji, Qasidah Al-Barzanji fil Hamisy Madarij al-Su’ûd ilâ Ikhtisâ’I
al-Burûd (Surabaya, Syirkah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuh), h. 4.
17 Muhammad Nawawi al-Bantani, Madarij al-Su’ûd ilâ Ikhtisâ’I al-Burûd (Surabaya, Syirkah
Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuh), h. 4.
43
Kepercayaan kelompok Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah atas konsep Nûr
Muhammad tidak kemudian membuat mereka terjatuh pada lubang tasybih
(imanensi) yang menyerupakan hingga kemudian menyatukan Allah dan Nûr
Muhammad. Dengan pengertian yang disampaikan Syekh M Nawawi Banten,
kelompok Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah yang kerap membaca Qasidah Barzanji
tetap konsisten pada logika tanzih (transendental) yang membedakan zat Allah
dan Nûr Muhammad.
Etintas Nûr Muhammad sendiri sebagai makhluk pertama Allah merupakan
sebuah anugerah luar biasa dari Allah yang dapat Dia berikan kepada siapa saja
yang Dia kehendaki. Keberadaan Nûr Muhammad merupakan hak prerogatif
Allah tanpa intervensi dan pengaruh siapa dan apa pun.
Syaikh M. Nawawi Banten juga membawa hadis riwayat Jabir yang menjadi
salah satu dasar konsep Nûr Muhammad di samping beberapa riwayat hadis
lainnya.
ال ق ىال ع م الله ه ق ل خ ام ل واأ عنم لاس و ه ي ل اللهع ىلااللهص ل و س ر ل ئ س ه نارا اب ج ث د ح ياف م ك ل ب ق ق ل خ الله ناا يف ن ك م ل و الله ا ش ث ي ح ة ر د ق ال ب ر و د ور الن ك ل ذ ل ع ج ف ك ي ب ن ر و ن ا ي ش ال ر م ق ل و س م ش ل و ا م س ل و ض ر ا ل و ن ج ل و س ن ا ل و ك ل م ل و ار ن ل و ناج ل و ح و ل ت ق و ال ك ل ذ
ض ر ع ل ر ه و ج ر و لن ااف ذ ه ىل ع و Artinya,”Sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat sahabat Jabir RA bahwa
ketika ditanya perihal makhluk yang diciptakan Allah, Rasulullah SAW
menjawab, ‘Sungguh, Allah menciptakan nur nabimu sebelum segala
sesuatu.’ Allah menjadikan nur itu beredar dengan kuasa Allah sesuai
kehendak-Nya. Saat itu belum ada lauh, qalam, surga, neraka, malaikat,
manusia, jin, bumi, langit, matahari, dan bulan. Atas dasar ini, nur itu adalah
substansi, bukan aksiden.” 18
18 Muhammad Nawawi Banten, Madârijus al-Suʿûd ilâ Iknisâ’il Burûd (Surabaya: Dâr al-
Kutub al-Islâmiyah, tt), h. 4.
44
Riwayat lain yang mengungkapkan Nûr Muhammad antara lain adalah hadis
riwayat Imam Bukhari dari sahabat Maysarah RA yang bertanya,”Wahai
Rasulullah, kapan kau menjadi nabi?” “Saat Adam AS di antara roh dan jasad,”
jawab Rasulullah SAW.19
Adapun pemaknaan sebagian orang Islam atas konsep Nûr Muhammad
dengan sudut pandang atau syak wasangkanya sendiri dan dibuat ruwet sendiri
lalu kemudian menghakimi konsep tersebut sebagai sebuah penyimpangan atau
kesesatan adalah sebuah keniscayaan.
Yang diperlukan dalam perbedaan tafsir atau pemaknaan atas konsep Nûr
Muhammad ini adalah sikap saling menghargai satu sama lain dan tidak
memaksakan tafsirnya atas pihak lain karena hanya akan memicu polemik dan
debat kusir tidak berkesudahan. Wallahu a’lam.
C. Relevansi Nûr Muẖammad Terhadap Makhluk di Era Modern
Penyebutan tahap perkembangan sejarah manusia yang sedang berlangsung
sekarang ini sebagai “zaman modern” bukannya tanpa masalah. Masalah ini
timbul karena inti dan hakikat zaman sekarang bukanlah kebaruannya (“modern”
berarti baru), seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi tahap berikutnya.
Disamping itu, perkataan “modern” mengisyaratkan satu penilaian tertentu yang
cenderung positif (“modern” berarti maju dan baik), padahal dari sudut
hakikatnya, zaman modern itu sesungguhnya bersifat netral. Artinya, bisa bersifat
atau berdampak positif, atau juga sebaliknya.
19 Muhammad Nawawi Banten, Targhîb al-Musytâqîn (Surabaya: al-Hidayah, tt), h. 6.
45
Pengertian yang mudah tentang “modernisasi” adalah pengertian yang
identik, atau hampir identik dengan pengertian “rasionalisasi”, yakni proses
perombakkan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak aqliah (rasional), dan
menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang aqliah.20
Ditinjau dari sosio-historis, periode sejarah yang lazim disebut “modern”
mempunyai banyak perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode
sebelumnya (periode pertengahan)21. Menurut Betrand Russell, ada dua hal
terpenting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas agama (dalam
konteks Barat saat itu otoritas gereja), dan menguatnya otoritas sains.22 Peristiwa-
peristiwa penting yang turut mendorong modernitas antara lain, Revolusi Industri
Inggris dan Revolusi Prancis pada abad ke-18.23
Modernitas yang merupakan suatu kelanjutan logis sejarah, pada gilirannya
membawa dampak negatif yang sangat menantang, yaitu materialism. Dimulai
dengan kenyataan bahwa teknikalisasi – sebagai salah satu wujud kemodernan –
dapat berakibat pada merosotnya peranan agama,24 atau paling tidak mendorong
ajaran agama pada posisi pinggiran, jika bukan membuatnya tidak relevan dengan
kenyataan hidup manusia.
20 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), h. 172.
21 Masyarakat abad pertengahan adalah masyarakat yang relative kecil, homogen, tanpa
pembagian kerja, dimana tradisi, adat istiadat, dan agama memainkan peran kunci. Donny Gahral
Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogyakarta: Jalasutra,
2006), h. 68.
22 Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik dari
Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko et. al., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.
645.
23 Donny, Percik Pemikiran Kontemporer, h. 69.
24 Fenomena tragis ini tekah ditunjukkan dalam sejarah awal zaman modern di Barat, dimana
otoritas gereja digantikan oleh otoritas sains. Lihat. Russel, Sejarah Filsafat Barat, h. 645-647.
46
Bicara relevansi agama terhadap kehidupan manusia modern, Nûr
Muẖammad juga mempunyai peran di zaman modernitas ini. Pertama kita
sepakati bahwa Nûr Muẖammad berbeda dengan sosok Muẖammad, tetapi yang
menjadi cikal bakal terlahirnya sosok Muẖammad adalah Nûr Muẖammad itu
sendiri. Kedua, pengutusan Muẖammad ke bumi itu benar-benar sempurna karena
di dalam Nûr Muẖammad itu terdapat Nûrullah dan itu benar-benar tidak bisa
dibedakan. Oleh karenanya, uswah (budi pekerti) yang dicontohkan oleh
Muẖammad itu patut kita terapkan atau kita contoh di zaman modern ini, karena
apa yang disampaikan oleh Muẖammad itu bukan semena-mena dari dirinya
sendiri melainkan dari Allah.
Jadi, di era modern seharusnya setiap manusia bahkan makhluk bisa
mengikuti pendapat atau uswah Muẖammad. Didalam kitab Maulid al-Dîba’î
karya al-Imâm Wajihuddin ‘Abdurrahmân bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Alî
bin Yûsuf bin Ahmad bin ‘Umar al-Dîba’î al-Syaibani al-Yamanî Al-Zabidi al-
Syâfi’î dijelaskan alasan kuat kenapa harus patuh terhadap uswah nya Muhammad
SAW. :
نآر ق ال ه ق ل خ ان ك “Akhlak Nabi SAW adalah al-Qur’an”
Kalimat diatas menyatakan bahwasannya uswah Muẖammad dengan Kalam
Allah itu satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.
Dari penjelasan tentang kemodernan – dengan implikasi positif dan
negatifnya – sebagai suatu kelanjutan logis sejarah, maka faktor “the man behind
the gun” memegang peran amat menentukan dalam menjadikan era modern yang
47
bermartabat dan bermanfaat. “The man” adalah hakikat yang diwujudkan melalui
amal perbuatan yang dilakukan oleh dorongan batin berdasarkan uswah Nabi
Muẖammad SAW.
48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam penulisan skripsi ini, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Ibn ‘Arabî dalam membangun konstruksi teologi sufistiknya berangkat dari
suatu kegiatan menganalisa nash-nash al-Qur’an dengan menempuh metode
ta’wil. Karena pendekatan ta’wil bukan sebuah penafsiran yang menggunakan
akal (hawa nafsu). Melalui media ta’wil simbolistik inilah makna suatu teks dapat
diurai, dari makna zahir ke makna batin, dari eksoteris ke esoteris. Bagi Ibn
‘Arabî , dalam setiap teks terpendam pengertian simbolik dan maknawi. Oleh
karenanya dari metode inilah, Ibn ‘Arabî menginterpretasikan matsalu nûrihi
dengan rûh al-‘alam, suatu padanan makna dari term Nûr Muẖammad.
Menurut Ibn ‘Arabî dalam konsep waẖdah al-wujudnya, wujud yang qadim
dengan yang hadis itu sama, seperti halnya Nûrullah dengan Nûr Muẖammad itu
sama. Penggambarannya dalam ayat matsalu nûrihi kamisykâtin bahwasannya
Nûr Muẖammad itu diatas segala-galanya dalam arti bisa menerangi seluruh alam.
Dialam kitab Daqâiq al-Akhbâr dijelaskan bahwasannya setiap makhluk didunia
ini sababiyahnya diciptakan dari Nûr Muẖammad melalui keringetnya karena
malunya dipandang oleh Dzâtullah.
Menurut Ibn ‘Arabî juga mengatakan bahwa wujud itu ada dua macam.
Pertama, Wujud Azali dan Wujud Ghairu Azali. Wujud Azali itu Allah, dan Wujud
Ghairu Azali itu semua yang diciptakan oleh Allah. Artinya meskipun sepintas
49
kita pahami bahwa Nûrullâh dan Nûr Muẖammad itu sama, tapi hakikatnya
berbeda. Nûrullâh itu sudah ada dari zaman azali tanpa adanya permulaan,
sedangkan Nûr Muẖammad sebaliknya.
Nûr Muẖammad juga mempunyai peran di zaman modernitas ini. Uswah
(budi pekerti) yang dicontohkan oloeh Muẖammad itu patut kita terapkan atau kita
contoh di zaman modern ini, karena apa yang disampaikan oleh Muẖammad itu
bukan semena-mena dari dirinya sendiri melainkan dari Allah SWT. Jadi, era
modern ini seharusnya mengikuti pendapat atau uswah Muẖammad.
Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa konsep Nûr Muẖammad yang
dibawa oleh Ibn ‘Arabî tidak sulit untuk dipahami dan tidak perlu dibikin ruwet.
Status Nûr Muẖammad bukan qadim sebagaimana keqadiman sifat Allah. Etintas
Nûr Muẖammad sendiri sebagai makhluk pertama Allah merupakan sebuah
anugrah luar biasa dari Allah yang dapat Dia berikan kepada siapa saja yang Dia
kehendaki. Keberadaan Nûr Muẖammad merupakan hak prerogatif Allah tanpa
intervensi dan pengaruh siapapun. Yang diperlukan dalam perbedaan tafsir atau
pemaknaan atas konsep Nûr Muẖammad ini adalah sikap saling menghargai satu
sama lain dan tidak memaksakan tafsirnya atas pihak lain karena hanya akan
memicu polemik dan debat kusir tidak berkesudahan. Wallâhu a’lam.
B. Saran-saran
Setelah selesainya penulisan skripsi ini, ada beberapa masalah yang
mengganjal dalam hati penulis yang kiranya dapat dikaji lebih lanjut oleh para
pembaca. Dalam skripsi ini penulis hanya membahas konsep Nûr Muẖammad
menurut Ibn ‘Arabî yang sebenarnya masih terdapat pro dan kontra dikalangan
para ulama. Sekiranya masih ada pemikiran Ibn ‘Arabî yang menjadi pro kontra
50
dikalangan ulama, penulis berharap bisa dikaji dan dijelaskan oleh pembaca
selanjutnya agar tidak menjadi debat kusir yang tak berkesudahan.
Demikian apa yang telah penulis paparkan, dan penulis berharap agar
pembahasan ini berkembang, sehingga masyarakat dapat mengenal lebih dekat
berbagai macam pemikiran Ibn ‘Arabî yang sebenarnya tak seliberal yang kita
dengar.
51
DAFTAR PUSTAKA
Addas, Claude. Quest for The Red Sulphur. Cambridge: The Islamic Texs
Society. 1993.
Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. 2006.
‘Afifi, Abu al-‘Ila. Tashdir ‘Amm. Terj. Abu Hamid al-Ghazali dalam
Misykat al-Anwar. Kairo: al-Dar al-Qawmiyah. 1964.
Afifi, Ahmad. Mystical Philosophy Muhyiddin Ibnul ‘Arabi. Cambridge:
The University Press. 1939.
Afifi, A.E. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. Terj. A Mystical Philosopi of
Muhyiddin Ibn ‘Arabi oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman.
Jakarta: Gaya Media Pratama. 1995.
Anshori, Afif. Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fansuri. Yogyakarta:
Gelombang Pasang. 2004.
‘Arabî, Ibn. Rûh al-Quds. Damaskus: Mu'assasah al-‘Ilm. 1964.
‘Arabi, Ibn. al-Futuuhat al-Makiyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
1999.
‘Arabi, Muhy al-Din Ibnu. Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Beirut: Dar al-
Yaqzah al-Arabiyyah. 1980.
Ardani, Mohammad. Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti
dalam Ibadat dan Tasawuf. Jakarta: PT Mitra Cahaya Utama.
2005.
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Semarang:
Ramdhani. 1984.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Ankasa. 2008.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos. 1997.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. Madarij al-Su’ûd ilâ Ikhtisâ’I al-Burûd.
Surabaya: Syirkah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuh. tt.
al-Barzanji, al-Sayyid Ja’far. Qasidah Al-Barzanji fil Hamisy Madarij al-
Su’ûd ilâ Ikhtisâ’I al-Burûd. Surabaya: Syirkah Ahmad bin Sa’ad
bin Nabhan wa Auladuh. tt.
Chokiewicz, Michel. Konsep Ibn ‘Arabi tentang Kenabian dan Aulia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1999.
52
Corbin, Henry. L’Imagination creatice dans le soufisme d’Ibn ‘Arabi.
Princeton: Princeton University Press. Terj. Moh. Khozim dan
Suhadi, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‘Arabi. Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta. 2014.
Dahlan, Abdul Aziz. Penilaian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud
(Kesatuan Wujud) Tuhan-Alam-Tasawuf Syamsuddin Sumatrani.
Padang: IAIN-IB Press. 1999.
Hadiwiyono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta:
Kanisius.1980.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera
Antar Nusa. 1990.
Hisyam, Ibnu. Sirat al-Nabi SAW. Kairo: Mathba’at al-Madaniy. tt.
Jamil, Ahmad. dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: CV Toha.
2010.
al-Kalabadi. at-Ta’arruf li Mazhab ahl at-Tasawuf. Mesir: Maktabah al-
Kulliyyat al-Azhariyah. 1980.
Komaruddin. Kamus Riset. Bandung: Angkasa. 1987.
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:
Mizan. 1987.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif.
2007.
Musthofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997.
al-Nabhânî, Yûsuf. Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’. Beirut: Dâr al-Fikr. 2005.
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
2003.
Rifa’i, Bahrun. Hasan Mud’is. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
2010.
Russell, Betrand. Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Terj. Sigit
Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Sahabuddin. Menyibak Tabir Nur Muhammad. Jakarta: Renaisan. 2004.
Schimmel, Annemarie. And Muhammad is His Messenger: The Veneration
of the Prophet is Islamic Piety. Terj. Rahmani Astuti dan Ilyas
Hasan. Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan
terhadap Nabi Saw dalam Islam. Bandung: Mizan. 1993.
53
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam. Chapel Hill: The
University of North Carolina Press. 1975.
Sevila, Consuelo G. dkk. Pengantar Metode Penelitian. Terj. Alimuddin
Tuwu. Jakarta: UI-PRESS. 1993.
Surachmad, Winarto. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi
Ilmiah. Bandung: Tarsio. 1972.
al-Sya‘rânî. al-Kibrît al-Ahmar. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2005.
Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.
al-Taftazany. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Bandung Pustaka.
1985.
al-Tilmisânî, Ibn al-Maqarrî. Nafh al-Tîb min Ghishn al-Andalûs al-Tayyi.
Beirut: Dâr Shader. 1997.
al-Tustari, Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Rafi’. Tafsîr
al-Tustari. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1423.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Pendidikan Nasional. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Alba, Cecep. Corak Tafsir Ibnu ‘Arabi. Disertasi Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007.
Ali, Ibnu. Konsep Emanasi Dalam Tasawuf Eksistensial Ibnu ‘Arabi: Studi
Hermeneutika Dalam Kitab Shajarat Al-Kawn. Tesis Program
Magister Filsafat Agama UIN Surabaya. 2014.
Ghozali, Ahmad. Al-Haqiqah Al-Muhammadiyyah Dalam Pemikiran
Mistik Ibnu ‘Arabi (Sebuah Tinjauan Tasawuf-Falsafi). Skripsi
Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2004.
Hilal, Muhammad. Konsep Insan Kamil dalam Pandangan Sadr ad-Din
asy-Syirazi (Mulla Sadra). Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2010.
Wibowo, Rohmat Aji. Kritik Sanad Dan Matan Hadits Tentang Nur Nabi
Muhammad SAW: Kajian Kritis Hadits Dalam Kitab Maulid Al-
Diba’i. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2015.
54
Jurnal-jurnal
Abdurrahim, Sofyan. Nūr Muhammad Dalam Naskah Klasik Gorontalo.
Jurnal Al-Ulum. Vol. 2. No. 2. Desember 2011.
Ahmad, Nur Fauzan. Sejarah Timbulnya Gagasan Nur Muhammad
Sampai Masuknya Ke Nusantara. Jurnal NUSA. Vol. 12. No. 2.
Mei 2017.
Lestari, Lenni. Epistemologi Corak Tafsir Sufistik. Jurnal Syahadah. Vol.
2. No. 1. April 2014.
Madjid, Nurcholish. Tasawuf Inti Keberagaman. Jurnal PESANTREN.
Vol. III. No. 3. 1985.
Mahmud, Ahmad. Insan Kamil Perspektif Ibnu ‘Arabi. Sulesana: Jurnal
Wawasan Keislaman. Vol. 9. No. 2. 2014.
Riyadi, Irfan. Imago Dei dalam konsep theosofi Islam: Manusia Sempurna
menurut Ibn ‘Arabi. Jurnal Al-Tahrir. Vol. 6. No. 2. Juli 2006.