KONSEP KHALIFAH MENURUT M. QURAISH …...kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi. Pertama,...
Transcript of KONSEP KHALIFAH MENURUT M. QURAISH …...kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi. Pertama,...
KONSEP KHALIFAH
MENURUT M. QURAISH SHIHAB DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Jenjang Pendidikan Strata Satu (S-1)
Disusun oleh:
Khoirunnisa Fadliah
109011000079
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014 M
PERSEMBAHAN
Skripsi ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta
(Ayahanda Drs. H. Baihaki, M.Pd.I dan Ibunda Hj. Nurlaili) dan
seluruh keluargaku yang tak pernah lelah dalam memberikan kasih
sayangnya kepadaku serta tulus dalam mendo’akanku hingga
tercapainya sebuah kesuksesan dalam penyusunan sekripsi di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
umumnya bagi semua orang yang membacanya.. Aamiin.
iv
ABSTRACT
Khoirunnisa Fadliah ( NIM : 109011000079) . The concept of Caliph
According to M. Quraish Shihab and Implications of Islamic Education .
This thesis examines and identifies the concept of the caliphate by M.
Quraish Shihab, and implications for Islamic education.
The purpose of this study is intended to determine M. Quraish Shihab thinking
about the concept of the caliphate .
The method used in this paper is the literature ( library research ) , by
searching , collecting , reading , and analyzing books . While the data collection
was done by using a literature review by making books by M. Quraish Shihab as
the primary data , and literature pertaining to the object of this study ( such as
supporting books , articles , journals , theses ) as secondary data . Then the data
were analyzed using content analysis which , by way of sifting through data
collected and analyzed in accordance with the required contents so that a
conclusion can be drawn .
The results showed that include : 1 ) The word caliph by M. Quraish
Shihab roots of the word Khulafa ' which originally meant " behind " , and from
here the word caliph is often interpreted as a "replacement " ( because it has
always been that replaces or comes back , after which it replaces ) . So that the
caliph was functioning as a fiduciary to replace God in His will enforce and
implement the provisions of his to manage the earth with all its potential . 2 )
Within the meaning of the caliphate in the singular , contained in QS . Al -
Baqarah verse 30 and verse . Shad paragraph 26 . In QS . Al - Baqarah verse 30
indicates that the Caliphate is composed of the authority granted by Allah SWT to
Adam along with his descendants to manage the whole earth at the beginning of
the history of humanity . The QS . Shad paragraph 26 , that the caliphate is
bestowed upon David aces. related to power manage a particular area ( Palestine )
, which deals with political power , which is where the people involved with the
appointment . 3 ) Islamic Education related to the concept of the caliphate , which
must pay more attention to a system and a curriculum that emphasizes the values
of the Divine , which is rooted in the Qur'an and Sunnah as guidance in
implementing Islamic education . So that will achieve the objectives of Islamic
education , the perfect man ( Insan Kamil ) .
v
ABSTRAK
Khoirunnisa Fadliah (NIM: 109011000079). Konsep Khalifah Menurut M.
Quraish Shihab dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam.
Skripsi ini mengkaji sekaligus menjelaskan konsep khalifah menurut M.
Quraish Shihab, dan implikasinya terhadap pendidikan Islam.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pemikiran M.
Quraish Shihab tentang konsep khalifah.
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
kepustakaan (library reserach), dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca,
dan menganalisa buku-buku. Sedangkan pengumpulan datanya dilakukan dengan
menggunakan teknik kajian literatur dengan menjadikan buku-buku karya M.
Quraish Shihab sebagai data primer, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan
obyek penelitian ini (seperti buku penunjang, artikel, jurnal, skripsi) sebagai data
sekundernya. Kemudian data-data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan
content analysis yakni, dengan cara memilah-milah data yang terkumpul untuk
dianalisa isinya sesuai dengan yang dibutuhkan sehingga dapat diambil suatu
kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantaranya : 1) Kata khalifah
menurut M. Quraish Shihab berakar dari kata khulafa’ yang pada mulanya berarti
“di belakang”, dan dari sini kata khalifah seringkali diartikan sebagai “pengganti”
(karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang
digantikannya). Sehingga khalifah itu berfungsi sebagai pemegang amanah untuk
menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan
ketetapan-ketetapan-Nya untuk mengelola bumi dengan segenap potensi yang
dimilikinya. 2) Dalam pemaknaan khalifah dalam bentuk tunggal, terdapat dalam
QS. Al-Baqarah ayat 30 dan QS. Shad ayat 26. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 ini
menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan
Allah SWT untuk Adam beserta anak cucunya untuk mengelola bumi
keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan. Adapun QS. Shad ayat 26,
bahwa kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud As. bertalian dengan
kekuasaan mengelola wilayah tertentu (Palestina), yang berkaitan dengan
kekuasaan politik, yang di mana yang terlibat dengan masyarakat dalam
pengangkatannya. 3) Pendidikan Islam yang terkait dengan konsep khalifah ini,
yaitu harus lebih memperhatikan suatu sistem dan kurikulum yang menekankan
kepada nilai-nilai Ilahiah, yang bersumber pada al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
pedoman dalam melaksanakan pendidikan Islam. Sehingga akan tercapainya
tujuan pendidikan Islam, yaitu manusia yang sempurna (Insan Kamil).
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحن الر حيم
Penulis, memulai skripsi ini dengan menyebut Asma Allah Yang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji dan sanjung selayaknya kami
persembahkan ke hadirat Allah SWT Zat yang menciptakan, mengatur,
memelihara dan menguasai alam. Kepada-Nya segala puji disanjungkan dan
kepada-Nya pula kita meminta. Dialah tempat menggantungkan segala harapan
dan dialah muara dari segala permohonan. Tidak ada keberhasilan melainkan atas
kehendak-Nya, tak ada kebaikan melainkan atas kuasa-Nya, dan juga yang telah
melimpahkan berbagai nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini, sebagai syarat akhir dalam menyelesaikan program sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Tidak terlimpahkan Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada
penyelamat umat di dunia, yaitu baginda Nabi Besar Muhammad SAW, juga bagi
keluarga dan para sahabatnya serta siapa saja yang beriman dari zaman ke zaman.
Melalui segenap usaha, doa dan penantian panjang, Alhamdulillah, penulis
telah dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang sederhana ini berkat bantuan
dari berbagai pihak, baik materil maupun moril, penulis berterima kasih kepada
semua pihak pada saat penulis menyelesaikan studi maupun saat menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
Untuk itu penulis sampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Sebagai Rektor yang senantiasa
berjuang dengan penuh ketulusan dan tanpa kenal lelah demi kemajuan
Universitas Islam Negeri Jakarta.
2. Nurlena Rifa’I Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. H. Abd. Madjid Khon, MA. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Marhamah Saleh, Lc. MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Drs. Ahmad Basuni, MA. Sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh
keikhlasan dan kesabaran telah memberikan arahan serta bimbingan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Pimpinan Perpustakaan dan staf perpustakaan Universitas Islam Negeri
Jakarta Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Perpustakaan Iman Jama’,
Perpustakaan Pusat Studi al-Qur’an dan perpustakaan lainnya di Jakarta,
yang telah membantu dalam pelayanan fasilitas buku-buku demi
selesainya skripsi ini.
7. Segenap dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmunya
kepada penulis, yang semoga ilmu tersebut dapat dimanfaatkan dengan
sebaik mungkin.
8. Kedua orang tuaku, ayahanda tercinta bapak Drs. H. Baihaki M.Pdi.
Beserta ibunda tersayang Hj. Nurlaili yang telah banyak berjasa mendidik,
membimbing, mengasuh, memberikan kasih sayang yang tak pernah putus
dalam membesarkan putrinya, adik-adikku tersayang (Syawalia
Turrohmah, Abdul Halim, Abdul Kafi), nenekku (Hj. Ma’anih), serta para
encang dan encingku yang tercinta (Neneng Husnah, Mujahid Amrillah,
DAI Asyiik Tashil Amani’), yang senantiasa memberikan kasih sayang
dan dorongan berupa moril maupun materiil kepada penulis sehingga
meraih gelar Sarjana S1 di UIN Syarif Hidayatullah.
9. Kepada semua sahabat baikku kelas B PAI angkatan 2009 Jurusan
Pendidikan Agama Islam (Cintia, Sinta, Mufliha, Mimin, Dhowi, Adnan,
Rachmat, Yoga, Safrul), terima kasih atas segala masukan, motivasi dan
dukungan kalian semua.
10. Kepada kakandaku tercinta Ali Umar, yang sangat baik, sabar untuk
membantu, dan menemani penulis dalam segala hal serta memotivasi
penulis untuk terus maju.
viii
11. Kepada kakak-kakakku (Ka Zainurrahman, Ka Iswahyudi, Ka Shiuby)
yang telah memberikan masukan-masukan dan nasehat-nasehatnya.
12. Teman-teman seperjuangan khususnya yang di PAI Kelas B angkatan
2009 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13. Kepada Kepala Sekolah, Guru-guru dan Siswa-siswi SDN KLU 01 Pagi
Keb. Lama, yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
14. Kepada para murid-muridku di TPQ Usratun Nisa’, yang selalu
memberikan keceriaan dan semangat kepada penulis.
Semoga Allah SWT., yang Maha Pengasih dan Penyayang berkenan
membalas semua amal ibadah mereka. Amin.
Jakarta, 25 Februari 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI .................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ..................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH ........................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................................... 8
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .................................................. 8
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Kajian Teori ............................................................................................. 10
1. Konsep Khalifatullah .......................................................................... 10
a. Pengertian Khalifah ...................................................................... 10
b. Manusia dalam Perspektif Kekhalifahan ..................................... 12
c. Peran dan Fungsi Kekhalifahan Manusia di Bumi ....................... 18
2. Pendidikan Islam ................................................................................. 23
a. Pengertian Pendidikan Islam ........................................................ 23
b. Dasar-dasar Pendidikan Islam ...................................................... 27
c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam ........................................... 33
B. Hasil Penelitian yang Relevan ................................................................. 38
x
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Fokus dan Waktu Penelitian .................................................................... 41
B. Metode Penelitian ..................................................................................... 42
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................................... 43
D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data ...................................... 44
E. Analisi Data ............................................................................................. 44
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data .......................................................................................... 46
1. Riwayat Hidup dan Karier M. Quraish Shihab .................................. 46
2. Karya-karya M. Quraish Shihab ....................................................... 49
B. Pembahasan .............................................................................................. 52
1. Konsep Khalifatullah Menurut M. Quraish Shihab ........................... 52
a Pengertian Khalifatullah ................................................................ 52
b Makna Kekhalifahan Manusia di Bumi ........................................ 58
c Karakteristik Khalifatullah Menurut M. Quraish Shihab .............. 64
d Tugas-tugas Khalifah Menurut M. Quraish Shihab ...................... 69
2. Implikasi Konsep Khalifatullah Terhadap Pendidikan Islam ............ 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 79
B. Implikasi .................................................................................................. 80
C. Saran-saran ............................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara kategorial, al-Qur‟an mendudukkan manusia ke dalam dua fungsi
pokok, yaitu sebagai hamba („abd) Allah (QS. 51: 56) dan khalifatullah (QS. 2:
30).1
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56)2
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: „Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”. (QS. Al-Baqarah : 30)3
Dengan penyebutan kedua fungsi ini, al-Qur‟an ingin menekankan muatan
fungsional yang harus diemban oleh manusia dalam melaksanakan tugas-tugas
kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi.
Pertama, manusia sebagai hamba („abd), dituntut untuk sukses menjalin
hubungan secara vertikal dengan Tuhan. Konsep „abd mengacu pada tugas-tugas
1 Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004), h. 89.
2 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qur‟an Dept. Agama RI, 1982), h. 862.
3 Ibid., h. 14.
2
individual manusia sebagai hamba Allah dan tugas ini diwujudkan dalam bentuk
pangabdian ritual kepada Allah SWT4; Kedua, manusia sebagai khalifah, dituntut
untuk sukses menjalin hubungan secara horizontal dengan sesama makhluk. Tidak
sukses sebagai hamba, jika seseorang gagal dalam menjalani tugasnya sebagai
khalifatullah. Begitu sebaliknya, tidak sukses sebagai khalifah, jika seseorang
gagal menjalin hubungan sebagai hamba dengan Tuhan. Manusia yang paripurna
atau manusia seutuhnya (insan kamil) adalah orang yang sukses sebagai hamba
juga sebagai khalifah.
Dalam pembahasan mengenai manusia kita dapat menemukan kajian yang
membahas tentang kedudukan manusia di alam semesta ini, selalu bahasan itu
dihubungkan dengan konsep kekhalifahan manusia di muka bumi, dan konsep
ibadah sebagai bentuk manifestasi tugas kekhalifahannya.
Secara filosofis kata khalifah ditafsirkan ke dalam tiga definisi, yaitu :
a. Manusia sebagai species telah menggantikan species lain yang sejak itu
manusia bertempat tinggal di muka bumi. Karena diakui, bahwa jin
mendahului manusia, maka manusia sebagai pengganti jin.
b. Kata khalifah secara sederhana menunjuk kepada sekelompok masyarakat
yang menggantikan kelompok lainnya. Yang termuat dalam QS. An-Naml
: 62 yang artinya : “Dia menjadikan engkau pewaris-pewaris di muka
bumi”.
c. Dinyatakan bahwa khalifah tidak secara sederhana menggantikan yang
lainnya, yang secara nyata memang benar-benar khalifah Allah. Allah
pertama kali menjadikan khalifah yang berjalan dan bertingkah laku
mengikuti ajaran Allah.
Dari uraian penafsiran di atas, penekanan kata khalifah yang dimaksudkan
khalifah Allah adalah hubungan yang dibangun antara manusia dengan Allah,
bukannya secara sederhana antara manusia dengan sesamanya atau hubungan
antara manusia dengan jin, tetapi khalifah yang disebutkan itu ialah sebagai
khalifah Allah. Dimana seorang khalifah Allah tidak hanya memikirkan
4 Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 19.
3
kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja. Akan tetapi
manusia sebagai khalifatullah itu harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan
semua pihak sesuai dengan kehendak Allah.
Sedangkan menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, kata khalifah memiliki
dua makna. Pertama, adalah pengganti, yaitu pengganti Allah SWT untuk
melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang
kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta
memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta bagi kepentingan manusia
secara keseluruhan.5
Dari gambaran di atas, dapat dipahami bahwa tugas manusia di muka bumi
ini adalah sebagai khalifah yang diartikan sebagai pengganti Allah dan juga
diartikan sebagai pemimpin.
Manusia dikatakan pengganti Allah adalah dimana manusia diberi tangung
jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan umat manusia itu sendiri,
karena alam semesta memang diciptakan Allah untuk manusia. Pada dasarnya,
akhlak yang diajarkan al-Qur‟an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi
manusia sebagai khalifah, yang sebagaimana Allah SWT telah memberikan
mandat kepada manusia menjadi penguasa untuk mengatur bumi dan segala
isinya. Kesemua ini merupakan “kekuasaan” dan wewenang yang bersifat umum
yang diberikan Allah kepadanya sebagai khalifah untuk memakmurkan kehidupan
di bumi. Oleh karenanya, tanggung jawab moral manusia untuk mengolah dan
memanfaatkan seluruh sumber-sumber yang tersedia di alam ini guna memenuhi
keperluan hidupnya. Namun, kewenangan manusia untuk memanfaatkan alam
semesta harus didasarkan kepada garis yang telah ditetapkan Allah SWT dan tidak
boleh menyalahinya.6
Sedangkan kata khalifah yang diartikan sebagai pemimpin, dituntut
adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan jika kita menyadari diri
kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia
ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain
5 Al-Rasyidin, Samsul Nizar, op. cit., h. 18.
6 Ibid.
4
yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok
sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya
itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada
satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada
satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia
menjabat. Karena kekhalifahan yang dimaksud, yaitu yang mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai
tujuan penciptaannya. Dan manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan
rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, dan menegakkan
keadilan. Karena, manusia sebagai (hamba) adalah kecil dihadapan Allah SWT,
tetapi sebagai (khalifah Allah) manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam
menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi.
Sehingga pengertian abdullah apabila dihubungkan dengan khalifah,
diperoleh pemahaman bahwa kedudukan sebagai khalifah adalah sebagai
pengganti, ia menjadi pemegang kepemimpinan dan kekuasaan yang ada. Oleh
karena itu, esensi seorang khalifah adalah kreativitas. Sedangkan kedudukan
seorang „abd adalah pengabdi, yang pengabdiannya itu hanya layak diberikan
pada Tuhan. Oleh karena itu, esensi seorang hamba adalah ketaatan dan
kepatuhan. Dengan demikian, kedudukan manusia di alam raya ini di samping
sebagai khalifah yang memiliki kekuasan untuk mengolah alam dengan
menggunakan segenap daya potensi yang dimilikinya, juga sekaligus sebagai
hamba yang keseluruhan usaha dan kreativitasnya itu harus dilaksanakan dalam
rangka ibadah kepada Allah.
Agar manusia mampu menjadi khalifah atau sebagai „abd Allah terhadap
alam semesta, maka Allah telah menciptakan manusia dan menyiapkannya serta
memberinya kelengkapan dan sarana yang diperlukan dengan sebaik-baiknya.
Allah telah menciptakan manusia dengan struktur yang sebaik-baiknya. Sesuai
dengan firman Allah:7
7 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam
di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. III, h. 28.
5
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik
baiknya . (QS. At-Tin : 4).8
Menurut HAMKA, pada diri setiap anak (manusia), terdapat tiga unsur utama
yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh maupun „abd
Allah. Ketiga unsur utama tersebut adalah akal, hati atau qalbu (roh), dan
pancaindra (penglihatan dan pendengaran) yang terdapat pada jasadnya. Akal
kreatif manusia (potensi akal) dan rasa ekspresinya (potensi qalbu) yang
menjadikan dia mampu mempertahankan eksistensinya sebagai pembawa
amanat “ibadah” dan sekaligus “khilafah” di tengah-tengah posisinya yang
menonjol dalam hubungannya dengan Tuhan.9
Dan dalam usaha manusia menyiapkan dirinya dan mengembangkan
potensinya agar sampai pada kedudukan sebagai “pembawa amanah” yang
berhasil, tidak dapat bekerja sendiri tanpa memanfaatkan bimbingan Tuhan,
mencari hidayah-Nya, menggapai rahmat-Nya memegang teguh fitrah yang
diberikannya, baik “fitrah mukhalaqoh” (fitrah yang dibekalkan kepada manusia
sejak diciptakan) maupun “fitrah munazzalah” (doktrin kehidupan yang diberikan
oleh Allah sebagai acuan bagi manusia dalam menyusuri perjalanan hidupnya
yang penuh tantangan).10
Sehingga perpaduan tiga unsur tersebut membantu
manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya,
memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran
Allah. Dan manusia yang telah diberi kelengkapan kemampuan jasmaniah
(fisiologis) dan rohaniah (mental psikologis) tersebut dapat ditumbuhkembangkan
seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat yang berdaya guna dalam ikhtiar
kemanusiaannya untuk melaksanakan tugas pokok kehidupannya di dunia.
Untuk mengembangkan atau menumbuhkan kemampuan dasar jasmaniah dan
rohaniah itu, pendidikan merupakan sarana (alat) yang menentukan sampai di
mana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebut dapat dicapai. Melalui
pendidikan, manusia akan memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat
8 Departemen Agama RI, op. cit., h. 1076.
9 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 121.
10 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
Lantabora Press, 2004), Cet. III , h. 84.
6
dipergunakannya memilah nilai baik dan buruk, serta menciptakan berbagai
kebudayaan yang berfungsi mempermudah dan memperindah kehidupannya.
Pendidikan merupakan proses menumbuhkembangkan eksistensi manusia
yang bermasyarakat dan berbudaya dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal,
nasional, dan global. Dan penidikan juga bukan sekedar proses transfer of
knowledge, akan tetapi merupakan petunjuk dan penangkal berbagai fenomena
sosial, berikut ekses yang dibawanya.11
Dalam pandangan Ibnu Khaldun
bahwasannya pendidikan berusaha untuk melahirkan masyarakat yang
berkebudayaan serta berusaha untuk melestarikan eksistensi masyarakat
selanjutnya. Pendidikan diarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia
yang berkualitas.
Konsepsi pendidikan menurut pandangan Ibnu Khaldun untuk menghadapi
masa depan yang lebih baik, yaitu untuk melahirkan masyarakat yang
berkebudayaan serta berusaha untuk melestarikan, meningkatkan, dan
mempertahankan eksistensinya. Tujuan pendidikan diarahkan untuk membantu
individu agar dapat hidup lebih baik dalam masyarakat yang berkualitas, yang
dapat hidup layak dalam dunia yang sedang maju, dan mampu mempertahankan
eksistensinya dalam masyarakat modern.12
Dan apabila berbicara tentang Pendidikan Islam, kita tidak bisa melepaskan
dari struktur bangunan Islam dilandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam
kitab suci al-Qur‟an. Karena al-Qur‟an mampu mengantar dan mengarahkan
manusia bersifat dinamis dan kreatif, serta mampu mencapai esensi nilai-nilai
„ubudiyah pada Khaliqnya.13
Karena pada dasarnya, pendidikan Islam merupakan proses mentransfer
sejumlah ilmu dan sekaligus membentuk watak pribadi manusia, sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Melalui ilmu yang dibalut dengan akhlak, manusia dapat
menciptakan berbagai bentuk kebudayaan (teknologi) yang bermanfaat bagi
seluruh alam semesta. Di sinilah letak fungsi kekhalifahan manusia sebagai
11 Samsul Nizar, op. cit., h. 127.
12 Nurhamzah, “Media Pendidikan; Nilai-nilai Tujuan Pendidikan Islam Menurut Ibnu
Khaldun”, Jurnal Pendidikan Keagamaan, Vol. XXIV, 2009, h. 47.
13 Soleha, Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Alfabeta, 2011), Cet. I, h. 26-27.
7
rahmatan li al-„alamin. Dengan pendidikan manusia dapat menata
kebudayaannya secara proporsional. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
Gazalba memberikan batasan, bahwa maju mundurnya peradaban manusia, sangat
ditentukan oleh dinamika manusia untuk mengembangkannya. Tumbuhnya
dinamika intelektual umat manusia, sangat tergantung pada pola pendidikan yang
ditawarkannya. Di sini terlihat, bagaimana sesungguhnya pendidikan memiliki
hubungan simbiosis mutualis dengan berbagai aspek kemanusiaan.14
Pendidikan
Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu
pengetahuan dan budaya Islam dari satu generasi kepada generasi berikutnya.15
Maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah
pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal, sehingga dapat
diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu
yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi
dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun „abd.
Dengan mencermati secara mendalam urgensi konsep khalifatullah yang
dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, memberikan inspirasi penulis untuk
lebih jauh mengungkap konsep khalifah dan implikasinya terhadap pendidikan
Islam menurut M. Quraish Shihab, yang sebagai salah seorang ilmuan yang
menjadikan Al-Quran sebagai obyek kajiannya. Sehingga penulis memberi judul
penulisan ini dengan judul “Konsep Khalifah Menurut M. Quraish Shihab dan
Implikasinya terhadap Pendidikan Islam”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas
dalam tulisan ini, yaitu :
1. Kurangnya pemahaman manusia (sebagai pemimpin) terhadap makna
kekhalifahan manusia di bumi.
14 Samsul Nizar, op. cit,. h. 133.
15 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op. cit,. h. 22.
8
2. Belum maksimalnya peran manusia dalam melaksanakan amanat sebagai
khalifah di muka bumi
3. Kurang diperhatikannya pendidikan Islam oleh manusia sebagai alat untuk
menunjang potensi manusia sebagai khalifah
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian identifikasi masalah diatas, untuk lebih memperjelas dan
memberi arah yang tepat dalam pembahasan skripsi ini, maka diberikan batasan
yang berkaitan dan sesuai judul yang ada. Penulis hanya akan membahas fokus
masalah yang diteliti sebagai berikut :
1. Pendapat M. Quraish Shihab tentang konsep khalifah di bumi
2. Implikasi konsep khalifah menurut M. Quraish Shihab terhadap
pendidikan Islam
Bertolak dari pembatasan di atas, maka masalah penelitian dapat di rumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat M.Quraish Shihab tentang konsep khalifah ?
2. Bagaimana implikasi konsep khalifah menurut M. Quraish Shihab
terhadap pendidikan Islam ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah :
a) Untuk mengetahui konsep khalifah menurut M. Quraish Shihab.
b) Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam.
c) Untuk mengetahui konsep khalifah menurut M. Quraish Shihab dan
implikasinya terhadap pendidikan Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulis berkaitan dengan
penulisan skripsi ini, antara lain adalah :
9
1. Kajian di dalam skripsi ini bermaksud memberikan sumbangsih
pemikiran dan dapat memperkaya wawasan dan khazanah pengetahuan
kita tentang bagaimana konsep Khalifah menurut M. Quraish Shihab
dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
2. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat luas, khususnya para
pendidik dan perguruan tinggi bahwa konsep khalifah mempunyai
implikasi terhadap pendidikan Islam.
3. Sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya yang sesuai dengan
masalah ini.
10
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Kajian Teori
1. Konsep Khalifah
a. Pengertian Khalifah
Kata khalifah berasal dari kata kholafa-yakhlifu/yakhlufu-khalfan-wa
khilafatan yang berarti menggantikan, menempati tempatnya. Sedangkan
kata khalafu diartikan orang yang datang kemudian atau ganti, pengganti.
Dan kata al khaalifatu mempunyai pengertian umat pengganti, yang
berbeda pengertiannya dengan alkhaliifatu yang bentuk jama‘nya khulafa‟
dan Khalaaif yang berarti khalifah.1
Ibrahim al-Quraibi mengartikan kata khalifah sebagaimana
disebutkan dalam al-Qamus artinya adalah ―umat yang melanjutkan
generasi umat terdahulu‖. Sedangkan al-khalaif artinya ―orang yang duduk
setelahmu‖.2
Adapun Dawam Raharjo memberikan pengertian khalifah dalam al-
Quran diantaranya: ―mereka yang datang kemudian, sesudah kamu, yang
diperselisihkan, silih berganti, berselisih dan pengganti‖.3
Sedangkan menurut terminologi, para ahli tafsir dan para ilmuan lain
memberikan definisinya tentang khalifah. Seperti yang diartikan oleh
Musthafa al-Maraghi bahwa khalifah adalah ―makhluk yang diciptakan
oleh Allah sebagai pengganti dari makhluk sebelumnya untuk
melaksanakan perintah Allah terhadap umat manusia‖.4 Sedangkan Ibnu
Katsir mengartikan khalifah sebagai ―orang yang dapat memutuskan
berbagai masalah pertengkaran yang terjadi dan membela orang yang
1 Ahmad Warson Munawwir, Al munawwir, Kamus Arab - Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), Cet. XIV, h. 361-363.
2 Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa, (Jakarta: Qisthi Press, 2009), Cet. I, h. 13. 3 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedia Al-Quran (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 353.
4 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Terj), Juz XVII, (Semarang: Thoha Putra,
1989), , h. 130-131.
11
beraniaya dan menegakkan hukum segala perbuatan yang keji dan
munkar‖.5
Sayyid Qutb mendefinisikan khalifah dengan: ―makhluk yang
diciptakan oleh Allah untuk mengendalikan bumi dan memberikannya
banyak potensi untuk mengelola bumi dan potensi tersebut harmonis
antara undang-undang yang mengatur bumi dengan undang-undang yang
mengatur makhluk (manusia) dengan segala kekuatan potensinya.‖6
Adapun Hasan Langgulung membagi pengertian khalifah
berdasarkan siapa menggantikan siapa dalam kata khalifah menjadi
tiga pendapat. Pertama, mengatakan bahwa umat manusia sebagai
makhluk yang menggantikan makhluk yang lain yang telah menepati
bumi ini. Dipercayai bahwa makhluk itu adalah jin. Kedua, khalifah
hanya bermakna mana-mana kumpulan manusia menggantikan yang
lain. Ketiga, Khalifah tidak sekadar seorang menggantikan orang
lain, tapi ia (manusia) adalah pengganti Allah. Allah datang dulu,
khalifah bertindak dan berbuat sesuai dengan perintah Allah.7
Pengertian khalifah adalah kedudukan manusia sebagai pengganti
Allah. Yang mana kedudukan manusia sebagai pengganti Allah itu
mempunyai tiga makna sebagaimana yang yang dikemukakan oleh
Dawam Raharjo, yaitu :
1. Khalifah adalah Adam. Karena Adam simbol bagi seluruh manusia,
maka manusia adalah khalifah.
2. Khalifah adalah suatu generasi penerus atau pengganti, yaitu khalifah
diemban secara kolektif oleh suatu generasi.
3. Khalifah adalah kepala negara atau kepala pemerintahan.8
Sehingga secara umum khalifah didefinisikan sebagai makhluk yang
diciptakan oleh Allah sebagai pengganti Allah yang diberikan amanat
untuk menjaga dan mengatur seisi alam dengan berbagai potensi yang
dianugerahi oleh Allah dengan sebaik mungkin, sehingga akan terciptanya
kemakmuran dan kesejahteraan di bumi maupun di akhirat kelak.
5 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 369.
6 Sayyid Quthb, Tafsir Fizilali Qur‟an, Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), Cet. III, h. 95.
7 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan
(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989), hlm. 75.
8 M. Dawam Raharjo, op. cit., h. 357.
12
b. Manusia dalam Perspektif Kekhalifahan
Awal mula penciptaan manusia merupakan pengetahuan pertama
yang diperoleh Adam a.s. sehingga ia mendapatkan keistimewaan
dibanding dengan semua Makhluk ciptaan Allah.9 Keistimewaan ini bisa
dilihat dari sisi penciptaan fisik maupun personalitas karakternya. Karena
keistimewaannya itu, manusia memiliki tugas dan kewajiban yang berbeda
dengan makhluk yang lain. Keistimewaan dan kelebihan manusia,
diantaranya berbentuk daya dan bakat sebagai potensi yang memiliki
peluang begitu besar untuk dikembangkan. Dalam kaitannya dengan
pertumbuhan fisiknya, manusia dilengkapi dengan potensi berupa
kekuatan fisik, fungsi organ tubuh dan panca indera. Kemudian dari aspek
mental, manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fantasi maupun
gagasan. Di luar itu manusia juga dilengkapi unsur lain, yaitu kalbu.
Dengan kalbunya ini terbuka kemungkinan manusia untuk menjadi dirinya
sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman
dan kehadiran Ilahi secara spiritual.10
Dalam paham dualisme, bahwa manusia sebagai makhluk adalah
integritas antara unsur jasmaniah dan rohaniah. Manusia ditempatkan
sebagai makhuk yang memiliki peluang untuk dikembangkan pada kedua
unsur tersebut. Seperti Al-Ghazali dan Al-Farabi menyatakan, bahwa
manusia terdiri atas unsur jasad (badan) dan roh atau jiwa. Dengan jasad
manusia dapat bergerak dan merasa, sedangkan dengan roh manusia dapat
berpikir mengetahui dan sebagainya. Dalam pandangan ini tercermin akan
adanya hubungan yang terintegrasi antara kedua unsur dimaksud.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh M. Qutb bahwa dalam
perspektif Islam eksistensi manusia yang merupakan perpaduan antara
ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang terpadu dan saling
berkaitan, badan yang bersifat materi tidak bisa dipisahkan dengan akal
dan ruh yang bersifat immateri. Masing-masing dari ketiga unsur tersebut
9 Abbas Mahmud Al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993),
Cet. III, h. 13.
10 Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. II, h. 13-14.
13
memiliki daya atau potensi yang saling mendukung dan melengkapi dalam
perjalanan hidup manusia.11
Menurut Harun Nasution, ―unsur materi manusia mempunyai daya
fisik seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya
gerak‖. Sementara itu unsur immateri mempunyai dua daya, yaitu daya
berfikir yang disebut akal dan daya rasa yang berpusat di kalbu. Untuk
membangun daya fisik perlu dibina melalui latihan-latihan ketrampilan
dan panca indera. Sedangkan untuk melatih daya akal dapat dipertajam
melalui proses penalaran dan berfikir. Sedangkan untuk mengembangkan
daya rasa dapat dipertajam melalui ibadah seperti shalat, puasa dan lain-
lain, karena intisari ibadah dalam Islam adalah taqarrub ilallah,
mendekatkan diri kepada Allah. Yang Maha Suci hanya dapat didekati
melalui ruh yang suci dan ibadah adalah sarana latihan strategis untuk
mensucikan ruh atau jiwa.12
Uraian di atas memberi gambaran bahwa Islam memiliki cara
pandang yang utuh terhadap diri atau eksistensi manusia, yang mana
dalam pandangan Islam eksistensi manusia itu ada tiga unsur penting,
diantaranya yaitu ruh, akal dan badan. Islam menolak pandangan yang
parsial sebagaimana yang telah dilakukan materialisme dan spiritualisme
yang hanya menonjolkan satu aspek unsur manusia.
Sehingga dapat kita lihat dalam surat al-Baqarah ayat 30-33 yang
memaparkan proses kejadian manusia dan pengangkatannya sebagai
khalifah.
11 M. Qutb, Sistem Pendidikan Islam (terj. Salman Harun), (Bandung: Al-Maarif, 1993), h.
127.
12 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), h. 37.
14
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui” (30). Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada
para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!" (31). Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan
kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana" (32). Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah
kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah
berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa
Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?" (33). (Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33).13
13 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qur‘an Dept. Agama RI, 1982), h. 14.
15
Proses kejadian inilah yang dapat memberikan pengertian kedudukan
manusia sebagai khalaifatullah dalam alam semesta. Sebagaimana
diungkapkan beberapa penafsir berikut:
1) Musthafa Al-Maraghi
Menurut Musthafa Al-Maraghi Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33
menceritakan tentang kisah kejadian umat manusia. Menurutnya dalam
kisah penciptaan Adam yang terdapat dalam ayat tersebut mengandung
hikmah dan rahasia yang oleh Allah diungkap dalam bentuk dialog antara
Allah dengan malaikat.
Berdasarkan tersebut, maka ayat di atas merupakan tamsil atau
perumpamaan dari Allah agar mudah dipahami oleh manusia, khususnya
mengenai proses kejadian Adam dan keistimewaannya. Untuk maksud
tersebut Allah memberi tahu kepada malaikat tentang akan diciptakannya
seorang khalifah di bumi. Mendengar keputusan ini para malaikat terkejut
kemudian mereka bertanya kepada Allah dengan cara dialog. Pernyataan
malaikat tersebut seakan-akan mengatakan kenapa Tuhan menciptakan
makhluk jenis ini dengan bekal iradah dan ikhtiyar yang tak terbatas.
Sebab dalam pengertian malaikat, sangat mungkin manusia dengan potensi
tersebut ia akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka
bumi.
Untuk menjawab pertanyaan para malaikat ini, Allah memberi
pengertian kepada mereka dengan cara ilham agar mereka tunduk dan taat
kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Jawaban seperti ini
sudah cukup jelas dan tegas, bahwa ada rahasia dan hikmah yang tidak
diketahui oleh para malaikat yang terkandung dalam penciptaan Adam
(manusia) sebagai khalifah di bumi.
Dijelaskan ayat di atas bahwa Allah mengajarkan nama-nama
kepada Adam, kemudian nama-nama itu ditunjukkan Adam kepada
malaikat atas perintah Allah, akan tetapi malaikat tidak bisa menyebutkan
kembali nama-nama yang telah ditunjukkan Adam kepada mereka.
16
Kejadian itu menyadarkan malaikat bahwa secara fitrah manusia
mempunyai isti‟dad (bakat) untuk mengetahui hal-hal yang belum mereka
ketahui. Ringkasnya manusia dengan kekuatan akal, ilmu dan daya
tangkap, ia bisa berbuat mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan.
Manusia dapat berkreasi, mengolah pertambangan dan tumbuh-tumbuhan,
dapat menyelidiki lautan, daratan dan udara serta dapat merubah wajah
bumi, yang tandus bisa menjadi subur, dan bukit-bukit terjal bisa menjadi
dataran atau lembah yang sangat subur. Dengan kemampuan akalnya
manusia dapat pula merubah jenis tanaman baru sebagai hasil cangkok
sehingga tumbuh pohon yang sebelumnya belum pernah ada. Semuanya
ini diciptakan Allah untuk kepentingan manusia. Hal di atas merupakan
bukti yang jelas hikmah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi.
Dengan kemampuan yang ia miliki ia dapat mengungkapkan keajaiban-
keajaiban ciptaan Allah dan rahasia-rahasia makhluknya. Al-Maraghi
menambahkan, dalam ayat di atas memberikan gambaran bahwa Allah
telah melebihkan manusia dari makhluk yang lain. Karena pada diri
manusia telah disediakan ―alat‖ yang dengannya manusia bisa meraih
kematangan secara sempurna di bidang ilmu pengetahuan, lebih jauh
jangkauannya dibanding makhluk lain termasuk malaikat. Berdasarkan
inilah manusia lebih diutamakan menjadi khalifah di bumi di banding
malaikat.14
2) Ibnu Katsir
Berikut ini penjelasan beliau terhadap Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33:
Dalam ayat Allah memberitahukan karunia-Nya yang besar kepada anak
Adam, sebab menyebut keadaan mereka sebelum diciptanya di hadapan
para Malaikat.
Di sini Allah menyebut kemuliaan kedudukan Nabi Adam a.s.
karena Allah memberinya ilmu nama dari segala benda dan itu terjadi
sesudah sujudnya para Malikat kepada Adam, dan didahului pasal ini
14 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, op. cit., h. 130-144.
17
sesuai dengan pertanyaan para malaikat tentang hikmat pengangkatan
khalifah di bumi yang langsung bahwa Allah mengetahui apa yang tidak
mereka ketahui. Juga untuk menerangkan kelebihan Adam dengan
ilmunya itu.
Para malaikat telah mengetahui bahwa mereka akan melakukan
kerusakan di muka bumi, maka mereka bertanya, ―Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah.‖ Pertanyaan itu hanya
dimaksudkan untuk meminta penjelasan dan keterangan tentang hikmah
yang terdapat di dalamnya. Maka untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan para malaikat itu, Allah berfirman “Sesungguhnya Aku
mengethui apa yang tidak kamu ketahui.” Artinya, Aku (Allah) menetahui
dalam penciptaan golongan ini (manusia) terdapat kemaslahatan yang
lebih besar daripada kerusakan yang kalian khawatirkan, dan kalian tidak
mengetahui, bahwa Aku akan menjadikan di antara mereka para Nabi dan
Rasul yang diutus ke tengah-tengah mereka. Dan di antara mereka juga
terdapat para shiddiqun, syuhada‘, orang-orang shalih, orang-orang yang
ulama, orang-orang yang khusyu‘, dan orang-orang yang cinta kepada-
Nya, serta orang-orang yang mengikuti para Rasul-Nya.
Sehingga yang benar, Allah mengajari Adam nama segala macam
benda itu, baik dzat, sifat, maupun af‟al (perbuatannya) yang besar dan
yang kecil.15
3) H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Dalam menafsirkan Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33, Hamka mengambil
kesimpulan bahwa dalam penciptaan manusia sebagai khalifah, Allah telah
melengkapinya dengan potensi yang dapat digunakan untuk menunjang
fungsi kekhalifahannya itu. Adapun potensi yang dimaksud dalam ayat ini
adalah potensi yang berupa ilmu atau pengetahuan.
15Ibnu Katsir, op. cit., h. 80-86.
18
Menurut penjelasannya, manusia di samping diberi potensi-potensi
sebagaimana makhluk lain, ia telah dianugerahi potensi yang tidak dimiliki
oleh makhluk lain, yaitu akal. Akal inilah yang menjadi pembeda manusia
dari makhluk lain termasuk malaikat.
Dengan akalnya itu manusia bisa mengembangkan ilmunya dan
menciptakan teknologi bahkan dengan akalnya itu manusia bisa menguak
rahasia-rahasia alam dengan seizin Allah.
Sebagai bukti bahwa manusia memiliki potensi akal dalam konteks
ayat ini bisa dilihat ketika Adam mampu menyebutkan kembali nama-
nama yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya. Hal ini menunjukkan
bahwa Adam (manusia) memang memiliki kelebihan atau keistimewaan
yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain termasuk malaikat.
Keistimewaan yang diberikan Allah kepada manusia itu merupakan
cara Allah memuliakan manusia. Sehinga dalam kata penutupnya Hamka
mengatakan bahwa manusia dengan kelebihan yang diberikan kepadanya,
tidak layak manakala ia mengabaikan karunia itu.
Sebaliknya dia harus senantiasa mensyukurinya dengan cara
menggunakan potensinya seoptimal mungkin dalam kerangka kebaikan
dan kemanfaatan.16
c. Peran dan Fungsi Kekhalifahan Manusia di Bumi
Manusia dipilih sebagai khalifatullah, sebagaimana diuraikan di atas,
karena kelebihan yang dianugerahkan Allah kepada manusia berupa ilmu
pengetahuan, yang tidak diberikan kepada makhluk Allah yang lain
termasuk malaikat.
Ayat-ayat di atas yang menyampaikan tentang pengajaran Allah
kepada manusia memberikan pengertian bahwa untuk dapat menjalankan
fungsi dan peran kekhalifahan diperlukan modal atau syarat yaitu ilmu.
Para ahli tafsir menafsirkan kelebihan daripada makhluk lainnya
ialah kelebihan akal pada manusia sehingga ia disebut hewan berakal
16 Hamka, Tafsir Al-Azhar (juz. I), (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2005), h. 207-211.
19
(hayawan an-nathiq). Anugerah akal dan keindahan fisik dalam rangka
untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dipersiapkan untuk
menerima amanat menjadi khalifah dan sekaligus sebagai mukallaf
(penerima agama, nilai, dan beban hukum).
Sejak awal pembaiatan kepada Nabi Adam a.s. yang mengemban
tugas sebagai khalifah pertama di muka bumi, langsung diberikan beban
mengemban tugas atas kekhalifahannya untuk mengenali dan menghafal
seluruh (kullaha) nama-nama komponen alam sebagai ekosistemnya.
Kewajiban berikutnya ia harus mengajarkan kepada para malaikat tentang
apa yang pernah diperolehnya dari Allah.17
Kemudian kemampuan Adam menyebutkan nama-nama menurut Ali
dalam The Glorias Qur‟an sebagaimana telah dikutip oleh Machasin,
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berinisiatif. Dalam hal ini
manusia diberi kemampuan untuk memberikan nama-nama benda, yakni
membentuk konsep-konsep tentang benda-benda itu. Membentuk konsep
berarti menguasainya. Jadi sifat pengetahuan manusia adalah konseptual.
Berinisiatif menurutnya juga berarti bahwa manusia di samping memiliki
potensi merusak ia juga memiliki potensi untuk berbuat baik. Menurutnya
ini menunjukkan sifat kreatif manusia. Potensi kreatif ini hanya
dianugerahkan kepada manusia, dan tidak kepada malaikat maupun
makhluk yang lain. Menurut Machasin, Adam atau manusia yang
mempunyai kemampuan untuk berbuat patuh dan durhaka, di dalamnya
terkandung unsur kreativitas.18
Senada dengan pendapat di atas, Abdur Rahman Shalih Abdullah
menyatakan bahwa kemampuan manusia menyebutkan nama dapat
diartikan sebagai kemampuan merumuskan konsep. Dalam penjelasan
selanjutnya, ia menuturkan bahwa rumusan konsep memiliki dua faedah.
17 Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi Manusia: Paradigma Baru, Komitmen dan
Integritas Manusia dalam Ekosistemnya, Refleksi Jawaban atas Tantangan Pemanasan Global
(Dimensi Intelektual, Emosional dan Spiritual), (Bandung: NUANSA, 2010), Cet. I, h. 112-113.
18 Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, (Yogyakarta: INHIS-Pustaka Pelajar, 1996), h.
8-10.
20
Pertama, ia memberikan fasilitas berfikir. Mengapa demikian?
Menurutnya konsep memungkinkan manusia melakukan analisa dan
sintesa terhadap apa yang dipikirkan. Berbeda dengan binatang maka
manusia memiliki kemampuan merumuskan pengetahuan konseptualnya
ketika menghadapi permasalahan. Faedah kedua, dari pengetahuan
konseptual adalah bahwa ia memungkinkan manusia ingat terhadap
peristiwa-peristiwa lampau. Manusia mencatat sejarahnya, kemampuan
untuk membaca sejarah menjadikan manusia mempunyai kemampuan
tertinggi pada aspek-aspek tertentu. Binatang tidak dapat mengingat
peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Tidak mengherankan, al-
Quran menganggap sejarah sebagai ayat-ayat-Nya, yang merangsang
praktek berfikir. Kenyataan-kenyataan sejarah tidak disebut sebagai
memorisasi, namun kontemplasi.19
Selanjutnya Ali Syari‘ati juga memberikan rumusan tentang filsafat
manusia sebagai berikut: Pertama, manusia tidak saja sama, tetapi
bersaudara. Perbedaan antara persamaan dan persaudaraan adalah jelas.
Persamaan menunjuk pada istilah hukum, sedang persaudaraan menunjuk
pada esensi yang identik dalam diri seluruh umat manusia terlepas dari
latar belakang ras, jenis kelamin dan warna kulit. Persaudaraan berarti
seluruh umat manusia berasal dari asal usul yang sama. Kedua, terdapat
persamaan antara pria dan wanita, karena mereka berasal dari sumber asal
yang sama, yakni dari Tuhan, kendatipun dalam beberapa aspek terdapat
perbedaan-perbedaan (karena kodratnya atau karena bawaan sejak lahir).
Ketiga, manusia mempunyai derajat lebih tinggi dengan malaikat karena
pengetahuan yang dimilikinya. Yang dimaksud adalah pengetahuannya
dengan nama-nama pada manusia, dan dengan demikian manusia memberi
nama pada (benda) di dunianya menyebutkan segala sesuatu dengan tepat.
Tuhanlah yang menjadi guru pertama manusia, dan pendidikan manusia
pertama bermula dengan menyebutkan nama-nama. Dengan kemampuan
19 Abdur Rahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut Al Quran serta
Implementasinya, (Bandung: Diponegoro, 1991), h. 132-133.
21
nama-nama itu dan dengan keberhasilan manusia menjawab pertanyaan
Tuhan terbukti bahwa manusia lebih unggul dari malaikat dan dari ciptaan
Tuhan lainnya.20
Sehingga dapat disimpulkan manusia dalam kedudukannya sebagai
khalifah pada dasarnya mengemban tugas pokok, yaitu untuk mewujudkan
kemakmuran di bumi agar tercipta kondisi kehidupan yang sejahtera,
aman, tenteram dan bahagia sebagi tugas rangkap. Sejalan dengan tugas
pengabdian itu maka manusia diberikan status terhormat, yaitu sebagai
khalifah Allah di muka bumi lengkap dengan kerangka dan program
kerjanya yang secara simbolis digambarkan melalui proses penciptaan
Adam As. Oleh karena itu, manusia menduduki peran yang penting dan
strategis di alam raya ini. Manusia bukan hanya merupakan salah satu
bagian dari alam ataupun hanya sebagai makhluk yang diberi kesempatan
untuk menggunakan serta memanfaatkan alam, melainkan juga untuk
memelihara dan mengayomi seluruh makhluk guna mencapai tujuan
penciptaannya masing-masing.21
Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan
amanat yang diberikan Allah SWT manusia harus menggunakan akalnya
bagi kemaslahatan manusia itu sendiri serta makhluk Allah lainnya secara
serasi dan seimbang. Untuk itu manusia senantiasa dimotivasi untuk lebih
banyak menyingkap rahasia alam semesta --dengan kekuatan akalnya--
untuk mendapatkan nilai kebaikan. Untuk merealisasikan tugas dan
fungsinya itu, dapat ditempuh manusia lewat pendidikan. Dengan media
ini, diharapkan manusia mampu mengembangkan akal yang diberikan
Allah SWT. secara optimal, bagi kepentingan seluruh alam semesta, baik
untuk jangka pendek yaitu untuk kehidupan manusia di dunia maupun
jangka panjang yaitu kehidupan di akhirat.
20 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2008), h. 25.
21 Jalaluddin, op.cit,. h. 234-235.
22
Berangkat dari uraian tersebut, Ahmad Hasan Firhat, membedakan
kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk, yaitu khalifah kauniyat
dan khalifah syar‟iyat.
Pertama, khalifah kauniyat. Dimensi ini mencakup wewenang
manusia --secara umum-- yang telah dianugerahkan Allah SWT. untuk
mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi
kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian
wewenang Allah SWT. kepada manusia dalam konteks ini, meliputi
pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang
mereka yakini. Artinya, lebel kekhalifahan yang dimaksud diberikan
kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.
Bila dimensi ini dijadikan standar dalam melihat predikat manusia
sebagai khalifah fi al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi
kelangsungan manusia dan alam semesta. Manusia –dengan
kekuatannya—akan mempergunakan alam semesta –sebagai konsekuensi
kekhalifahannya—tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-
penyimpangan dari nilai Ilahiah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi
bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat
mafsadah dan cenderung merugikan makhluk Allah lainnya. Ketiadaan
nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala Allah
mengutarakan keinginan-Nya menciptakan makhluk yang bernama
manusia.
Kedua, khalifah syar‟iyat. Dimensi ini meliputi wewenang Allah
yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta.
Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat
khalifah, secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini
dimaksudkan, agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi
pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan
nilai-nilai Ilahiah yang telah digariskan Alllah lewat ajaran-Nya. Dengan
prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan
alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.
23
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan Islam, maka
dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang
sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah, pendidikan yang ditawarkan harus
mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan
acuan nilai-nilai Ilaihiah. Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan
baginya dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi.22
2. Pendidikan Islam
a. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai salah satu usaha untuk membina dan
mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia jasmani dan rohani
agar menjadi manusia yang berkepribadian harus berlangsung secara
bertahap. Dengan kata lain, terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh
sebagai individu, sosial dan sebagai manusia bertuhan hanya dapat
tercapai apabila berlangsung melalui proses menuju ke arah akhir
pertumbuhan dan perkembangannya sampai pada titik optimal
kemampuannya.
Pengertian pendidikan secara umum mengacu pada dua sumber
pendidikan Islam, yaitu al-Qur‘an dan Al-Hadits yang memuat kata-kata
rabba dari kata tarbiyah, „alama kata kerja dari ta‟lim, dan addaba dari
kata kerja ta‟dib. Ketiga istilah itu mengandung makna amat mendalam
karena pendidikan adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dengan
tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya)
insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).23
Sedangkan secara terminologi istilah kegiatan ini juga telah
menghasilkan banyak definisi dari para akademisi sesuai dengan disiplin
ilmu yang mereka anut. Seperti Ngalim Purwanto, menjelaskan bahwa
―pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan
22 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), Cet. I, h. 69-70.
23 Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), Cet. I, h. 25.
24
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah
kedewasaan‖.24
Menurut Ki Hajar Dewantara ―pendidikan adalah tuntutan
di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Yaitu menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya‖.25
Lebih jauh, Azumardi Azra mengemukakan ―pendidikan merupakan
suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan
memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien‖26
. Pendidikan
lebih sekedar pengajaran yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai suatu
proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan
kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.
Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2003 pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.27
Dengan demikian, pengajaran hanya sekedar proses pemberian
materi pelajaran kepada anak didik yang hanya akan membentuk para
spesialis, yang terkurung pada bidangnya saja. Sedangkan pendidikan,
lebih dari itu, di samping proses transfer ilmu dan keahlian, juga lebih
menekankan pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik,
sehingga menjadikan mereka dapat menyongsong kehidupannya di masa
yang akan datang dengan lebih efektif dan efisien.
24 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1993), Cet. VI, h. 11.
25 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 2-
4. 26 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III, (Jakarta: KENCANA, 2012), Cet. I, h. 4.
27 Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang
SISDIKNAS, (Jakarta: Detjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), Cet. II, h. 34.
25
Mereka semua memiliki definisi tentang pendidikan yang berbeda-
beda bahkan sebagian dari mereka ada yang mendefinisikan pendidikan
dengan mengintegrasikan dalam perspektif agama yang dianut seperti
Ahmad D. Marimba dalam bukunya Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
bahwa :
Pendidikan merupakan Bimbingan jasmani, rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan
pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian
yang memiliki nalai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan
serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab
sesuai dengan nilai-nilai Islam.28
Pendidikan Islam menurut Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. adalah
―usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai
dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir,
memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung
jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.‖29
Ahmad Tafsir mendefinisikan bahwa pendidikan Islam adalah
―bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam‖. Dan bila
disimgkat pendidikan Islam menurutnya yaitu ―bimbingan terhadap
seseorang agar ia menjadi Muslim semaksimal mungkin‖.30
Kemudian, Armai Arief mengartikan ―Pendidikan Islam adalah
sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu
mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan
merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT baik
kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnnya‖.31
28 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma‘arif, 1962),
h. 23.
29 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. VI, h. 152.
30 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset, 1994), Cet. II, h. 32. 31 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002), Cet. I, h. 40-41.
26
Sedangkan Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa ―Pendidikan Islam
adalah pembentukan kepribadian, pendidikan Islam ini telah banyak
ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam
amal perbuatan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam, karena itu
pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat
praktis atau pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan
pendidikan amal‖.32
Berangkat dari perbedaan definisi yang dikemukakan oleh para
ilmuan dan praktisi pendidikan, dapat ditemukan sebuah kesamaan yang
merupakan kesimpulan awal yang bersifat universal. Diungkapkan oleh
Muhammad Natsir dalam tulisan ―ideology pendidikan Islam‖ bahwa yang
dinamakan pendidikan ialah “suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju
kesempurnaan dan kelengkapan atau kemanusiaan dengan arti
sesungguhnya”.33
Dari beberapa definisi tentang pendidikan Islam di atas, maka dapat
diambil beberapa pengertian tentang pendidikan Islam, yaitu :
a) Pendidikan Islam sebagai usaha bimbingan ditujukan untuk
mencapai keseimbangan pertumbuhan jasmani dan rohani menurut
ajaran Islam.
b) Pendidikan Islam sebagai suatu usaha sadar untuk mengarahkan dan
mengubah tingkah laku individu untuk mencapai pertumbuhan
kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dalam proses
kependidikan melalui latihan-latihan akal pikiran (kecerdasan),
kejiwaan, keyakinan, kemauan dan perasaan, serta pancaindera
dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
c) Pendidikan Islam sebagai bimbingan secara sadar dan terus-menerus
yang sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan
ajarnya (pengaruh dari luar), secara individual maupun kelompok,
sehingga manusia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran Islam secara utuh dan benar.
32 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h.
150. 33 Azyumardi Azra, op. cit,. h. 4.
27
b. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai
suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan
kuat.34
Agar pendidikan dapat melaksanakan fungsinya sebagai agent of
culture dan bermanfaat bagi manusia itu sendiri, maka perlu acuan pokok
yang mendasarinya. Karena pendidikan merupakan bagian yang terpenting
dari kehidupan manusia, yang secara kodrati adalah insane pedagogic
maka acuan yang menjadi acuan dasar bagi pendidikan adalah nilai yang
tertinggi dari acuan hidup suatu masyarakat di mana pendidikan itu
dilaksanakan. Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai usaha membentuk
manusia, harus mempunyai landasan kemana semua kegiatan dan semua
perumusan tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan.
Dalam menetapkan sumber/landasan pendidikan Islam, para pemikir
Islam berbeda pendapat, diantaranya Abdul Fattah Jalal yang membagi
sumber pendidikan Islam menjadi dua macam, yaitu : 1) Sumber Ilahi (al-
Qur‘an) dan Al-Hadits; 2) Sumber Insaniyah, yaitu lewat proses ijtihad
manusia.35
Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, landasan itu terdiri dari al-
Qur‘an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan
dengan ijtihad, al-Maslahah al-Mursalah, Istishan, Qiyas, dan
sebagainya.36
1) al-Qur‟an
Penurunan al-Qur‘an diawali dengan ayat-ayat yang mengandung
konsep pendidikan, dapat menunjukkan bahwa tujuan al-Qur‘an yang
terpenting adalah mendidik manusia melalui metode yang bernalar serta
sarat dengan kegiatan meneliti, membaca, mempelajari, dan observasi
34 Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), Cet. XII, h.19.
35 Abdul Fattah Jalal, Azaz-azaz Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 86-
87.
36 Zakiah Daradjat, dkk, loc.cit.
28
ilmiah terhadap manusia sejak manusia masih dalam bentuk segumpal
darah dalam rahim ibu. Sebagaimana firman Allah:
. .
. .
.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran pena. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS. Al-‗Alaq: 1-5).37
Dasar pelaksanaan pendidikan Islam, Allah berfirman:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran)
dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman
itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki
dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba
kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura: 52).
Ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur‘an diturunkan kepada umat
manusia untuk memberi petunjuk ke arah jalan hidup yang lurus dalam arti
memberi bimbingan dan petunjuk ke arah jalan yang diridhai Allah
SWT.38
37 Departemen Agama RI, op. cit., h. 597.
38 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. V, h. 154.
29
Al-Qur‘an adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan
oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran
pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek yang
dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui
ijtihad. Ajaran yang terkandung di dalamnya terdiri dari dua prinsip besar,
yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut dengan
akidah dan yang berhubungan dengan aktivitas manusia yang disebut
dengan syari‘ah. Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman dalam al-
Qur‘an tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Hal
ini menunjukkan amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab
semua amal perbuatan manusia dalam hubungan kepada Allah, dengan
dirinya sendiri, dengan masyarakat, serta dengan alam lingkungannya
termasuk dalam lingkup aktivitas manusia.
Istilah-istilah yang sering digunakan dalam membicarakan tentang
syari‘ah adalah ibadah yaitu perbuatan yang berhubungan langsung
dengan Allah; muamalah yaitu perbuatan yang berhubungan langsung
dengan selain Allah; dan akhlak yaitu untuk tindakan yang menyangkut
etika dan budi pekerti dalam pergaulan.
Dengan demikian al-Qur‘an sebagai kitab suci agama Islam harus
dijadikan landasan dan sumber utama pendidikan Islam. Sehingga terlihat
bahwa seluruh dimensi yang terkandung dalam al-Qur‘an memiliki misi
dan implikasi kependidikan yang bergaya imperatif, motivatif, dan
persuasif, dinamis, sebagai suatu sistem pendidikan yang utuh dan
demokratis lewat proses manusiawi. Proses kependidikan tersebut
bertumpu pada kemampuan rohaniah dan jasmaniah masing-masing
peserta didik, secara bertahap dan berkesinambungan, tanpa melakukan
perkembangan zaman dan nilai-nilai Ilahiah. Semua proses pendidikan
Islam tersebut merupakan proses konservasi dan transformasi, serta
internalisasi nilai-nilai dalam kehidupan manusia sebagaimana yang
diinginkan oleh ajaran Islam. Dengan upaya ini, diharapkan peserta didik
30
mampu hidup secara serasi dan seimbang, baik dalam kehidupan di dunia
maupun di akhirat.39
2) Hadits (As-Sunnah)
Sunnah menurut bahasa banyak artinya, antara lain adalah: suatu
perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk.
Dan makna sunnah yang lain adalah: tradisi yang kontinu,40
misalnya
firman Allah:
Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu
sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu.
(QS. Al-Fath: 23).41
Sedangkan sunnah menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di
kalangan para ulama, di antaranya sebagai berikut:
a. Menurut ulama ahli hadits (Muhaditsin), sunnah adalah segala
perkataan Nabi, perbuatannya, dan segala tingkah lakunya.
b. Menurut ulama Ushul Fikih (Ushuliyun), sunnah adalah segala
sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi baik yang bukan dari al-Qur‘an
baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut
dijadikan dalil hukum syara‘.
c. Menurut ulama Fikih (Fuqaha), sunnah adalah sesuatu ketetapan
yang datang dari Rasulullah dan tidak termasuk kategori fardlu dan
wajib, maka ia menurut mereka adalah sifat syara‘ yang menuntut
pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya.
d. Menurut ulama maw‘izhah („Ulama Al-Wa‟zhi wa Al-Irsyad),
sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi dan sahabat.42
39 Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, ( Bandung: Alfabeta, 2011), Cet. I, h. 27-29.
40 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. II, h. 5.
41 Departemen Agama RI, op. cit., h. 513.
42 Abdul Majid Khon, op. cit., h. 5-8.
31
Contoh yang diberikan oleh beliau dapat dibagi kepada tiga bagian.
Pertama, hadits qauliyah yaitu yang berisikan ucapan, pernyataan, dan
persetujuan Nabi Muhammad SAW. Kedua, hadits fi‟liyah yaitu yang
berisi tindakan dan perbuatan yang pernah dilakukan Nabi. Ketiga, hadis
taqririyah yaitu yang merupakan persetujuan Nabi atas tindakan dan
peristiwa yang terjadi.43
Sehingga dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua
fungsi, yaitu : (1) menjelaskan sistem pendidikan Islam terdapat dalam al-
Qur‘an dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya; (2)
menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama
sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang
pernah dilakukannya.44
3) Ijtihad
Landasan berikutnya yang lebih bersifat praktis dan aplikatif adalah
ijtihad para ulama.45
Ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-
masyaqqah (yang sulit) dan badzl al-wus‟i wa thaqati (pengarahan
kesanggupan dan kekuatan). Sa‘id al-Taftany memberikan arti ijtihad
dengan tahmil al-juhdi (ke arah yang membutuhkan kesungguhan), yaitu
pengarahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang
dituju sampai pada batas puncaknya.46
Sehingga secara etimologi ijtihad berarti usaha keras dan sungguh-
sungguh (gigih), yang dilakukan oleh para ulama untuk menetapkan
hukum suatu perkara atau suatu ketetapan atas persoalan tertentu.
Sedangkan secara terminologi ijtihad adalah ungkapan atas kesepakatan
dari sejumlah ulil amri dari umat Muhammad SAW dalam suatu masa,
untuk menetapkan hukum syari‘ah terhadap berbagai peristiwa yang
43 Samsul Nizar, op. cit., h. 95-97.
44 Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 35.
45 Soleha dan Rada, op. cit., h. 33.
46 Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: KENCANA, 2008), Cet.
II, h. 43.
32
terjadi (batasan yang dikembangkan oleh al-Amidy). Menurut Abu
Zahrah, ijtihad adalah produk ijma‟ (kesepakatan) para mujtahid muslim,
pada suatu periode terhadap berbagai persoalan yang terjadi setelaah
wafatnya Nabi Muhammad SAW, untuk menetapkan hukum syara‘ atas
berbagai persoalan umat yang bersifat amaly.47
Dapat disimpulkan ijtihad adalah istilah para fuqaha yaitu berfikir
dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari‘at
Islam mengenai hal-hal yang belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur‘an
dan al-Sunnah. Dan dalam pelaksanaannya ijtihad ini harus mengikuti
kaidah-kaidah yang telah diatur oleh para mujtahid dan harus berpedoman
serta tidak bertentangan dengan isi yang ada pada al-Qur‘an dan al-
Sunnah.48
Ijtihad menjadi penting dalam pendidikan Islam ketika suasana
pendidikan mengalami status quo, jumud, dan stagnan. Tujuan dilakukan
ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi dan modernisasi
pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih
berkualitas.49
Ijtihad di bidang pendidikan, utamanya pendidikan Islam sangat
perlu dilakukan, karena media pendidikan merupakan sarana utama untuk
membangun pranata kehidupan sosial dan kebudayaan manusia untuk
mencapai kebudayaan yang berkembang secara dinamis, hal ini ditentukan
oleh sistem pendidikan yang dilaksanakan dan senantiasa merupakan
pencerminan dan penjelmaan dari nilai-nilai serta prinsip pokok al-Qur‘an
dan Hadits. Proses ini akan mampu mengontrol manusia dalam seluruh
aspek kehidupannya, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan.50
47 Samsul Nizar, op. cit., h. 100.
48 M. Alisuf Sabri, op. cit., h. 156.
49 Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, loc. cit.
50 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke-I, h. 116.
33
c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Tujuan merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan manusia.
Dengan adanyan tujuan, semua aktivitas dan gerak manusia menjadi lebih
dinamis, terarah dan bermakna.51
Suatu kegiatan akan berakhir, bila tujuannya sudah tercapai. Kalau
tujuan itu bukan tujuan akhir, kegiatan berikutnya akan segera dimulai
untuk mencapai tujuan selanjutnya dan terus begitu sampai kepada tujuan
akhir.
Bila pendidikan kita pandang sebagai suatu proses maka proses
tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu
tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu
perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia
yang diinginkan.52
Secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan
umum, tujuan sementara, tujuan akhir dan tujuan operasional. Tujuan
umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan
baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara adalah
tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman
tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan akhir adalah
tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia
sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa umurnya. Sementara
tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.53
Pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah mencerdaskan akal
dan membentuk jiwa yang islami, sehingga akan terwujud sosok pribadi
Muslim sejati yang berakal pengetahuan dalam segala aspek kehidupan.54
51Ibid.
52 Muzayyin Arifin, loc. cit., hlm. 108.
53 Armai Arief, op. cit., h. 19.
54 Abdurrahman Al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, (Surabaya: Al-
Izzah, 1996), Cet. I, h. 30.
34
Namun demikian agar tujuan-tujuan yang dimaksud lebih dipahami,
berikut ini akan diuraikan tujuan pendidikan Islam dalam perspektif para
ulama muslim, antara lain adalah :
Abdurrahman Saleh Abdullah mengatakan dalam bukunya
―Educational Theory a Qur‟anic Outlook”, bahwa pendidikan Islam
bertujuan untuk membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah SWT. atau
sekurang-kurangnya mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan
akhir. Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman kepada Allah dan
tunduk serta patuh secara total kepada-Nya.55
Selanjutnya tujuan pendidikan Islam menurutnya dibangun atas tiga
komponen sifat dasar manusia sebagai berikut: 1) Tujuan pendidikan
jasmaniah (ahdaf al-Jismiyah), yaitu mempersiapkan diri manusia sebagai
pengemban tugas khalifah di bumi, melalui pelatihan keterampilan-
keterampilan fisik; 2) Tujuan pendidikan rohaniah (ahdaf al-Ruhaniyah),
yaitu untuk meningkatkan jiwa dan kesetiaan yang hanya kepada Allah
semata dan berupaya untuk memurnikan serta menyucikan diri manusia
secara individual dari sikap negatif; 3) Tujuan pendidikan akal (ahdaf al-
„Aqliyah), yaitu pengarahan intelegensi untuk menentukan kebenaran dan
sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan
menemukan pesan-pesan ayat-ayat-Nya yang membawa iman kepada
Sang Pencipta.56
Fazlur Rahman mengklasifikasikan tujuan pendidikan ke dalam
empat ketegori, yaitu : Pertama, tujuan pendidikan jasmani:
mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi
melalui pelatihan keterampilan-keterampilan fisik. Kedua, tujuan
pendidikan rohani: meningkatkan jiwa kesetiaan hanya kepada Allah
semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani Nabi SAW
dengan berdasarkan cita-cita ideal yang terdapat di dalam al-Qur‘an.
Ketiga, tujuan pendidikan akal: mengarahkan intelegensi untuk
55 Armai Arief, loc. cit.
56 Abdurahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur‟an, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1994), h. 119-126.
35
menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan menelaah tanda-tanda
kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat-Nya yang membawa
iman kepada Sang Pencipta. Keempat, tujuan pendidikan sosial:
membentuk kepribadian yang utuh dari ruh, tubuh dan akal. Identitas
individu di sini tercermin sebagai ―al-Nas‖ yang hidup pada masyarakat
yang plural atau majemuk.57
Sehingga tujuan pendidikan Islam adalah membina umat manusia
agar menjadi hamba yang senantiasa beribadah kepada Allah SWT,
dengan mendekatkan diri kepada Allah, melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan-Nya, baik ibadah yang telah ditentukan aturan dan
tatacaranya oleh Allah dan Rasul-Nya (Ibadah Makhdah), maupun yang
belum ditentukan. Rumusan tujuan ini diilhami oleh firman Allah58
:
) : ٦٥الذارىات(
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat: 56)59
Tujuan tertinggi pendidikan Islam menurut al-Syaibani adalah
mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.60
Sesuai dengan firman
Allah:
Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan Kami,
berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201).61
57 Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan
Islam, (Cirebon: Pustaka DINAMIKA, 1999), Cet. I, h. 103-104.
58 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
h. 173.
59 Departemen Agama RI, op. cit., h. 523.
60 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Dari Falsafatut
Tarbiyyah al-Islamiyah oleh Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 406. 61 Departemen Agama RI, op. cit., h. 31.
36
Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan
fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis,
sehingga terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan
fungsinya sebagai khalifah fil ardh.62
Dalam buku Metedologi Pengajaran Agama Islam karya Dr. Zakiah
Daradjat, dikatakan bahwa : “tujuan pendidikan Islam ialah kepribadiaan
muslim, yaitu suatu kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh
ajaran Islam”.63
Dalam pandangan HAMKA, tujuan pendidikan Islam adalah
―mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk
berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara
layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya‖.64
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam
menurut al-Qur‘an meliputi: 1) menjelaskan posisi peserta didik
sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung
jawabnya dalam kehidupan ini, 2) menjelaskan hubungan sebagai
makhluk sosial dan tanggungjawabnya dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, 3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan
tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara
memakmurkan alam semesta, 4) menjelaskan hubungannya dengan
Khaliq sebagai pencipta alam semesta.65
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu: 1) membentuk akhlak mulia,
2) mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, 3) persiapan untuk
mencari rizki dan memelihara dari kemanfaatannya, 4) menumbuhkan
semangat ilmiah di kalangan peserta didik, 5) mempersiapkan tenaga
profesional yang terampil.66
Dan Ibnu Khaldun mengemukakan tujuan pendidikan sebagai
berikut : 1) Pembinaan pemikiran yang baik; 2) Pengembangan kemahiran
62 Hasan Langgulung, op. cit, h. 67.
63 Zakiah Daradjat dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),
Cet. I, h. 72.
64 Samsul Nizar, op. cit, h. 117.
65 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op. cit, h. 36-37.
66 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, op. cit., h. 416-417.
37
(al-Malakah atau skill) dalam bidang tertentu; dan 3) Penguasaan
keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman (link and match).67
Dari beberapa definisi di atas, terlihat bahwa tujuan pendidikan
Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Tuhan yang harus
diinternalisasikan ke dalam diri individu anak didik lewat proses
pendidikan. Dengan penanaman nilai ini, diharapkan pendidikan Islam
mampu mengantarkan, membimbing dan mengarahkan anak didik
(manusia) untuk melaksanakan fungsinya sebagai „abd dan khalifah, guna
membangun dan memakmurkan alam ini sesuai dengan konsep-konsep
yang telah ditetapkan Allah. Perwujudan ini tidak terlepas dari pribadi
insan kamil yang bertakwa dan berkualitas intelektual.68
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam
merupakan usaha dalam membangun manusia yang utuh dalam rangka
pembentukan kepribadian, moralitas, sikap ilmiah dan keilmuan,
kemampuan berkarya, profesionalisasi sehingga mampu menunjukkan
iman dan amal shaleh sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kehidupan.
Fungsi pendidikan Islam meliputi tiga hal sebagai berikut:
1. Menumbuhkembangkan peserta didik ke tingkat yang normatif yang
lebih baik, dengan kata lain, fungsi pendidikan Islam merupakan
kristalisasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam landasan dasar
pendidikan Islam tersebut.
2. Melestarikan ajaran Islam dalam berbagai aspek, dalam hal ini
berarti ajaran Islam itu dijadikan tetap tidak berubah dibiarkan murni
seperti keadaan semula, sekaligus dijaga, dipertahankan
kelangsungan eksistensinya hingga waktu yang tak terbatas. Hal ini
khususnya yang menyangkut tekstual al-Qur‘an dan Hadits. Adapun
mengenai interpretasi dan pemahaman harus senantiasa dinamis
disesuaikan dengan tuntutan zaman dan kondisi masyarakat.
67 Nurhamzah, ―Media Pendidikan; Nilai-nilai Tujuan Pendidikan Islam Menurut Ibnu
Khaldun‖, Jurnal Pendidikan Keagamaan, Vol. XXIV, 2009, h. 48.
68 Samsul Nizar, op. cit., h. 106.
38
3. Melestarikan kebudayaan dan peradaban Islam, dalam arti buah budi
dan kemajuan yang dicapai umat Islam secara keseluruhannya
mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat serta
prestasi yang mereka capai.69
Fungsi pendidikan menurut Khursdi Ahmad sebagaimana yang
dikutip oleh Abdul Majid dan Jusuf Mudzakkir dalam buku Ilmu
Pendidikan Islam, adalah sebagai berikut:
1. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-
tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide
masyarakat dan bangsa.
2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang
secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru
ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk
menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.70
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Ada beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya,
namun dalam hal ini tentu pasti ada perbedaannya. Penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya baik dalam jurnal maupun skripsi, tesis, dan disertasi
sangat penting diungkapkan karena dapat dipakai sebagai sumber informasi
dan bahan acuan yang sangat berguna bagi penulis. Penelitian terdahulu
mengenai konsep khalifah diantaranya sebagai berikut :
Dalam skripsi Hilwah Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah, yang
berjudul : ―Éksistensi manusia sebagai khalifah dan implikasinya terhadap
taklif syari‘ah‖. Skripsi ini membahas tentang rumusan eksistensi manusia
sebagai khalifah, serta impikasinya terhadapat taklif syari‘ah. Persamaan dari
penelitian ini adalah sama meneliti eksistensi manusia sebagai khalifah.
Perbedaan dari skripsi ini adalah skripsi ini ditekankan pada eksistensi
manusia sebagai khalifah yang diberikannya hukum taklifi. Sedangkan
69 Soleha dan Rada, op. cit., h. 45-46.
70 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op. cit., h. 69.
39
penelitian ini difokuskan pada konsep manusia sebagai khalifah yang
dikaitkan dengan pendidikan Islam.71
Skripsi lain yang juga terkait dengan konsep khalifatullah dan
implikasinya dalam pendidikan Islam adalah Muhammad Safinun Naja yang
skripsinya itu berjudul : ―Konsep Khalifatullah dalam Persepktif M. Quraish
Shihab Sebagai Kepemimpinan Pengembangan Pendidikan Islam‖. Dalam
skripsinya ini mempunyai persamaan dengan penelitian yang penulis teliti,
yaitu sama-sama meneliti bagaimana konsep khalifatullah menurut M.
Quraish Shihab. Sedangkan perbedaannya yaitu, skripsi ini lebih menjurus
bagaiman konsep khalifatullah itu dikaitkan dengan krisisnya kepemimpinan
dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, kepemimpinan yang bisa
disesuaikan dengan konsep khalifatullah menurut M. Quraish Shihab.
Sedangkan penelitian ini lebih dikaitkan dengan implikasinya konsep
khalifatullah terhadap pendidikan Islam, yang dilihat dari kurikulum
pendidikannya.72
Skripsi lain juga yang terkait dengan penelitian ini adalah skripsi karya
Badawi yang berjudul : ―Konsep Manusia dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan Islam (Telaah Lafadz ―al-Insan‖ dalam Al-Qur‘an). Skripsi ini
membahas tentang konsep manusia yang diambil dari lafadz al-Insan dalam
Al-Qur‘an. Persamaan skripsi ini dengan penelitian ini yaitu tinjauan
permasalahan penciptaan manusia yang telah diberikan fitrah kepada Allah
berupa fitrah jasmani dan rohani untuk dimanfaatkan ke dalam pendidikan
Islam. Perbedaan skripsi ini adalah skripsi ini lebih ditekankan pada kata
manusia menurut lafadz al-Insan dan hubungannya dengan pendidikan Islam.
Serta implikasinya terhadap dasar pendidikan Islam, tujuan, dan materi atau
kurikulum pendidikan Islam. Sedangkan penelitian ini difokuskan pada
konsep khalifatullah menurut M. Quraish Shihab, di mana seorang khalifah
71 Hilwah, Eksistensi Manusia Sebagai Khalifah dan Implikasinya terhadap Taklif Syari‟ah,
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), tidak dipublikasikan.
72 Muhammad Safinun Naja, Konsep Khalifatullah dalam Perspektif M. Quraish Shihab
Sebagai Kepemimpinan Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang: Universitas Islam Negeri
Malang, 2007), h. 114-116, tidak dipublikasikan.
40
itu sebagai pengemban amanat di alam semesta, yaitu untuk menjaga dan
melestarikan bumi, dan juga diberikannya keistimewaan dibandingkan
dengan makhluk-makhluk Allah yang lain, yaitu dengan diberikannya akal.
Serta implikasinya terhadap pendidikan Islam, dasar-dasar pendidikan Islam,
dan fungsi serta tujuan pendidikan Islam.73
73 Badawi, Konsep Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam (Telaah Lafadz „al-
Insan” dalam Al-Qur‟an), (Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2008), h. 85-86,
tidak dipublikasikan.
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Fokus dan Waktu Penelitian
Fokus penelitian adalah pemusatan konsentrasi terhadap tujuan
penelitian yang sedang dilakukan. Spardley dalam Sanapiah Faisal (1988)
mengemukakan empat alternatif untuk menetapka fokus yaitu: 1) Menetapka
fokus pada permasalahan yang diasarnkan informan; 2) Menetapkan fokus
berdasarkan domain-domain tertentu; 3) Menetapkan fokus yang memiliki
nilai temuan untuk pengembangan iptek; 4) Menetapka fokus berdasarkan
permasalah yang terkait denga teori-teori yang telah ada. Penelitian ini
bersifat pengembangan, yaitu ingin melengkapi dan memperluas teori yang
telah ada.1
Sedangkan waktu penelitian berisi penjelasan kapan penelitian
dilakukan (semester, tahun pelajaran) dan lamanya penelitian dilakukan.
Dalam penelitian kualitatif tempat penelitian biasa disebut latar atau setting
penelitian. Latar berisi penjelasan secara rinci situasi sosial meliputi: lokasi,
tempat, aktivitas atau tokoh saat diteliti.2
Penelitian yang berjudul “Konsep Khalifatullah dan Implikasinya
terhadap Pendidikan Islam Menurut M. Quraish Shihab” ini dilaksanakan
dalam waktu beberapa bulan, yaitu pada awal bulan Januari 2013 yang
digunakan untuk tahap revisi proposal skripsi, kemudian dilanjut pada bulan
September 2013 sampai bulan Februari 2014 pengumpulan data yang
mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di
perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang
berkaitan dengan konsep khalifah, dan juga yang berkaitan dengan
pendidikan Islam dari beberapa sumber sebagai sumber primer. Dan tahap
1 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: ALFABETA, 2010), Cet. XI, h. 288.
2 Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 61.
42
akhir menyusun data dalam bentuk hasil penelitian (laporan) dari sumber-
sumber yang telah ditemukan.
Penelitian ini lebih difokuskan pada buku-buku karya M. Quraish
Shihab, khususnya dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur’an;
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, “Penelitian kualitatif adalah suatu
pendekatan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan,
persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.3
Dalam memperoleh data, fakta dan informasi yang akan
melengkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penulisan skripsi,
penulis menggunakan metode deskriptif yang didukung oleh data yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berupa data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Dengan
demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut, berasal dari
naskan wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi,
catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.4
Mengenai penulisan skripsi ini, dalam membahas masalah-masalah
yang dikemukakan di atas, maka metode yang digunakan adalah library
research yaitu suatu metode yang menggunakan cara penelitian dengan
membaca literatur dan tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan maslah
yang sedang diteliti.
3 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), Cet. III, h. 60.
4 Basrowi & Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008),
Cet. I, h. 28.
43
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Prosedur pengumpulan data dan pengolahan data terdiri dari :
Pertama, mengumpulkan data penelitian. Dalam proses
pengumpulan data ini, penulis menggunakan teknik metode dokumentasi.
Pemeriksaan dokumentasi (studi dokumentasi), dilakukan dengan
meneliti bahan dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan
tujuan penelitian.5
Dengan menggunakan studi dokumentasi, penelitian dapat
mengumpulkan data tertulis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
masalah yang berupa buku yang ada di perpustakaan dan juga di PSQ (Pusat
Studi al-Qur’an).
Untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan
tujuan penelitian, maka sumber data yang digunakan adalah data primer dan
data sekunder. Sumber data primer penelitian ini adalah buku-buku
karangan Prof M. Quraish Shihab yang dijadikan objek studi.antara lain :
1) Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001).
2) Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 2009), Cet. III.
3) Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), Vol. I, Cet. X.
4) Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
2007), Cet. I.
5) Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1995),
Cet. IV.
Adapun sumber data sekunder penelitian ini meliputi buku
penunjang, catatan atau dokumen, jurnal, internet, majalah, dan bahan-bahan
yang dapat diambil sesuai dengan pokok bahasan.
5 Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h.
30.
44
Kedua, data-data yang telah dikumpulkan kemudian digabungkan
dan dilakukan kajian mendalam terhadap data-data tersebut dengan
menyeleksi dan menganalisanya.
Ketiga, menuangkan hasil analisis data terhadap seluruh data yang
terseleksi dalam bentuk deskriptif.
Keempat, setelah data-data terkumpul kemudian diseleksi dan
selanjutnya disajikan, maka langkah yang terakhir adalah menarik
kesimpulan atau verifikasi.
D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data
Pemeriksaan keabsahan data penelitian ini menggunakan teknik
Credibility dan transferability atau validitas desain menunjukkan tingkat
kejelasan fenomena hasil penelitian sesuai dengan kenyataan.
Menurut Sukmadinata, “validitas desain kualitatif menunjukkan
sejauh mana tingkat intrepetasi dan konsep-konsep yang diperoleh memiliki
makna yang sesuai antara partisipan dengan peneliti.”
Sedangkan menurut Millan dan Schumacher, “validitas desain
kualitatif adalah tingkat di mana interpretasi dan konsep memiliki makna
yang sama (mutual meanings) antara peneliti dan partisipan. Peneliti dan
partisipan sepakat tentang deskripsi dan komposisi sebuah kegiatan,
utamanya makna kegiatan tersebut.”
E. Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis, yaitu memaparkan masalah-masalah sebagaimana adanya, disertai
argumen-argumen. Penulis menggunakan analisis isi (Content Analysis)
ditujukan untuk menghmpun dan menganalisis dokumen-dokumen resmi,
dokumen yang validitas dan keabsahannya terjamin, baik dokumen
perundangan dan kebijakan maupun hasil-hasil penelitian. Analisis juga dapat
dilakukan terhadap buku-buku teks, baik yang bersifat teoritis maupun
empiris. Kegiatan analisis ditujukan untuk mengetahui makna, kedudukan
45
dan hubungan antara berbagai konsep, kebijakan program, kegiatan, peristiwa
yang ada atau yang terjadi, untuk selanjutnya mengetaui manfaat, hasil atau
dampak dari hal-hal tersebut.6
Dan content analysis ini adalah metode yang sifatnya
mendreskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan primer yang
selanjutnya dikonfromasikan dengan gagasan primer yang lain dalam upaya
studi perbandingan, hubungan dan pengembangan model. Untuk mendukung
dalam penjelasan melalui analisis isi, maka peneliti mengunakan kerangka
berpikir yang bersifat deduksi, yaitu pembahasan dengan cara menyajikan
kenyataan-kenyataan yang bersifat umum kemudian diambil kesimpulan
yang bersifat khusus. Dan juga kerangka berfikir yang bersifat induksi, yaitu
metode pengambilan keputusan yang diletakkan atas dasar-dasar khusus
kemudian digeneralisasikan kepada hal-hal yang bersifat umum.
6 Nana Syaodih Sukmadinata, op. cit., h. 81-82.
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Riwayat Hidup dan Karier M. Quraish Shihab
H. M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang,
Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keturunan
Arab yang terpelajar, dan menjadi ulama sekaligus guru besar tafsir di IAIN
Alauddin, Ujung Pandang. Sebagai seorang yang berfikiran maju,
Abdurrahman percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan.
Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar
belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair. Dan Jami’atul Khair itu
adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid
yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan
gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki
hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah
seperti Hadramaut, Haramain dan Mesir. Banyak guru-guru didatangkan ke
lembaga tersebut, diantaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari
Sudan, Afrika.1
Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung
Pandang. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang
sambil belajar agama di Pesantren Dar al-Hadist al-Fiqhiyah. Pada tahun
1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk
melanjutkan studi, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar.
Selanjutnya pada tahun 1967, pada usia 23 tahun, ia berhasil
mengambil gelar Lc (Lince) atau setingkat dengan Sarjana Strata Satu, pada
Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar Kairo,
dan kemudian melanjutkan studinya pada fakultas yang sama. Dua tahun
berikutnya, ia berhasil meraih gelar M.A (Master of Art) dalam spesialisasi
1 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada , 2005), h. 362.
47
pada bidang Tafsir al-Qur’an, dengan tesis berjudul ”al-I‟jaz al-Tasyri Li al-
Qur‟an Al-Karim”. Pilihan untuk menulis tesis kemu’jizat al-Qur’an ini
bukanlah suatu kebetulan, tetapi didasarkan pada pengamatannya terhadap
realitas masyarakat muslim. Menurutnya, gagasan tentang kemu’jizatan al-
Qur’an di kalangan masyarakat muslim telah berkembang sedemikian rupa
sehingga sudah tidak jelas lagi, apa itu mu’jizat dan apa itu keistimewaan al-
Qur’an. Mu’jizat dan keistimewaan al-Qur’an menurut Quraish Shihab
merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya masih sering
dicampuradukkan bahkan oleh kalangan ahli tafsir sekalipun.2
Setelah menyelesaikan studinya dengan gelar M.A tersebut, untuk
sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam kurun waktu lebih sebelas
tahun (1969-1980) ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menimba
pengalaman empirik, baik dalam bidang kegiatan akademik di IAIN
Alauddin maupun di berbagai institusi pemerintah setempat. Dalam masa
menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih sebagai Pembantu Rektor III
IAIN Ujung Pandang. Selain itu ia juga terlibat dalam pengembangan
pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah Timur Indonesia dan diserahi
tugas sebagai koordinator wilayah, dan juga aktif di luar kampus seperti
Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan
mental.3 Di tengah-tengah kesibukannya itu, ia juga aktif melakukan
kegiatan ilmiah yang berbasis kesarjanaannya.4
Selama masa karirnya sebagai dosen pada periode pertama di IAIN
Alauddin Ujung Pandang, Quraish Shihab telah melakukan beberapa
penelitian, antara lain penelitian tentang “Penerapan Kerukunan Hidup
Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi
Selatan” (1978).5 Selama periode pertama tugasnya sebagai staf pengajar di
2 M. Quraish Shihab, Mu‟jizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 2001), h. 2.
3 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. XV
4 Abuddin Nata, op. cit,. h. 363.
5 M. Quraish Shihab, op. cit,.
48
IAIN Alauddin Ujung Pandang, Quraish Shihab belum menunjukkan
produktivitas yang tinggi dalam melahirkan karya tulis.
Pada tahun 1980, H.M. Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk
melanjutkan studinya di Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadist, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi
berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa‟iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil
meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan yudisium Summa
Cum Laude disertasi penghargaan tingkat I (Mumtaz ma‟a Martabat al-
Syaraf al-„Ula).6
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi H.M.Quraish
Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN
Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif
mengajar bidang Tafsir dan Ulum al-Qur’an di Program S1, S2 dan S3
sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas-tugas pokoknya
sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN
Jakarta pada tahun 1992-1998, setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan
sebagai menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998,
hingga kemudian diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh Republik Indonesia untuk Negeri Republik Mesir merangkap
Negara Republik Djibouti berkedudukan di Kairo.
Semenjak kehadiran H.M. Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah
memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini
terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-
tengah masyarakat. Di samping mengajar ia juga dipercaya untuk
menduduki sejumlah jabatan. Diantaranya adalah sebagai Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashih al-
Qur’an Departemen Agama (sejak 1989). Dia juga terlibat dalam beberapa
organisasi profesional; antara lain: Ilmu-ilmu Syari’ah; Pengurus
Konsorium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan Asisten Ketua
6 Ibid.
49
Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).7 Aktifitas
lainnya yang ia lakukan sebagai Dewan Redaksi Studi Islamika: Indonesia
Journal for Islamic Studies, Ulumul Qur‟an, Mimbar Ulama, dan Refleksi
Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di
Jakarta.8 Dan aktivitas utama sekarang adalah Dosen (Guru Besar)
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Direktur Pusat
Studi al-Qur’an (PSQ) Jakarta.9
Di samping kegiatan tersebut di atas, H.M. Quraish Shihab juga
dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar
belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal
serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan
dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional dan kecenderungan
pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang
bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Dari latar belakang karir dan pendidikan seperti ini, nampak bahwa
hal inilah yang menjadikannya seseorang yang mempunyai kompetensi
yang cukup menonjol dan mendalam di bidang tafsir di Indonesia.
2. Karya-karya M. Quraish Shihab
Dalam aktivitas di bidang akademik dan non akademik, Quraish
Shihab juga sebagai penulis yang produktif yang banyak menulis di media
massa maupun menulis buku. Di harian Pelita, ia mengasuh rubrik “Tafsir
Al-Amanah”. Ia juga menjadi dewan redaksi majalah Ulumul Qur‟an dan
Mimbar Ulama.10
Quraish Shihab sebenarnya sudah mulai aktif menyajikan sejumlah
makalah pada berbagai diskusi dan seminar sejak tahun 1970-an, dan
keaktifannya itu semakin tinggi frekuensinya sepulangnya ia dari
7Ibid.
8 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2007), h. 368.
9 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2009), Cet. III, h.8
10 Saiful Amin Ghofur, op. cit., h. 238.
50
menyelesaikan studi doktornya di Universitas al-Azhar, Mesir, tahun 1982.
Namun demikian, pada awal tahun 1990-an tulisan-tulisannya
dipublikasikan dalam bentuk buku untuk menjadi bacaan yang khalayak
umum.
Dalam banyak karyanya, Quraish selalu merujuk pada ayat al-Qur’an
dalam mengatasi suatu persoalan yang dibahasnya. Hal ini tidaklah
mengherankan karena ia dikenal sebagai pakar tafsir al-Qur’an. Karya-
karyanya tidaklah terbatas pada bidang tafsir saja, oleh karena ia seorang
pakar tafsir al-Qur’an, secara tidak langsung, ia juga menguasai berbagai
disiplin ilmu-ilmu Islam lainnya. Dari karya-karyanya terlihat bahwa betapa
luas wawasannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan secara umum.
Tulisan-tulisannya tidak hanya ditemukan dalam bentuk buku yang
sudah beredar, tetapi juga tersebar di berbagai jurnal ilmiah dan media
massa. Quraish merupakan seorang pemikir muslim yang berhasil
mengkomunikasikan ide-idenya dengan khalayak pembaca. Banyak dari
karya-karyanya telah dicetak ulang, dan menjadi karya “best seller”. Ini
menunjukkan perhatian masyarakat terhadap karya-karyanya yang cukup
besar. Karyanya Membumikan al-Qur‟an: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992) telah mengalami cetak ulang
kedelapan belas sejak pertama diterbitkan tahun 1992 sampai 1998.
Demikian pula karyanya Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan
(Bandung: Mizan, 2000), Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas
Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), masing-masing telah
mengalami cetak ulang dua puluh kali (antara 1994-2000), dan tiga belas
kali (1996-2003). Howard M. Federspiel menggambarkan bahwa buku
pertama dari tiga karya Quraish di atas adalah “memberikan ikhtisar nilai-
nilai agama yang baru”, buku kedua “meletakkan dasar bagi kepercayaan
dan praktik Islam yang benar”, sementara buku ketiga memberikan wawasan
tentang “perilaku al-Qur’an”.11
Merujuk kepada ketiga karyanya itu, setting
11 Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga Quraish
Shihab, Ter. Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), h. 296-298.
51
sosial karya Quraish mencakup atau untuk dikonsumsi masyarakat awam,
tetapi sebenarnya ia ditujukan kepada pembaca yang cukup terpelajar.12
Tidak hanya itu, karya-karya Quraish yang sudah diterbitkan dan
beredar di antaranya: Tafsir al-Manar; Keistimewaan dan Kelemahannya
(IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1984), Pesona Al-Fatihah (Jakarta:
Untagma, 1986), Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987),
Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), Tafsir al-Qur‟an al-Karim: Tafsir
Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997), Mukjizat al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan 1997),
Sahur Bersama Quraish Shihab di RCTI (Bandung: Mizan 1997),
Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera, 1998), Haji Bersama M. Quraish Shihab: Panduan
Praktis Menuju Haji Mabrur (Bandung; Mizan, 1998), Yang Tersembunyi:
Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah serta
Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini (Jakarta: Lentera Hati,
1999), Untaian Permata buat Anakku: Pesan al-Qur‟an untuk Mempelai
(Bandung: al-Bayan, 1999), Sejarah dan Ulum al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan,
1999), Fatwa-fatwa Seputar Ibadah dan Mu‟amalah (Bandung: Mizan,
1999), Fatwa-fatwa Seputar Wawasan Agama (Bandung: Mizan, 1999),
Fatwa-fatwa Seputar al-Qur‟an dan Hadis (Bandung: Mizan, 1999), Fatwa-
fatwa Seputar Tafsir al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 2001), Tafsir Al-Misbah:
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati 2000), dan
Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayart-ayat Tahlil
(Jakarta: Lentera Hati, 2001).13
12 Howard M. Federspiel, op. cit., h. 298.
13 Saiful Amin Ghofur, loc. cit.
52
B. Pembahasan
1. Konsep Khalifah Menurut M. Quraish Shihab
a. Pengertian Khalifah
Dalam kajian peneliti, bahwa M. Quraish Shihab menemukan dalam
al-Qur’an kata khalifah yang terbagi dalam bentuk tunggal dan bentuk
plural. Dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam
Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
“Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30)
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.
Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh al-Qur’an, yaitu :
1) Khalaif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah Al-An’am
ayat 165, Yunus ayat 14 dan ayat 73, dan Fathir ayat 39.
53
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-
An’am: 165).
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di
muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu
berbuat.” (QS. Yunus: 14).
“Lalu mereka mendustakan Nuh, Maka Kami selamatkan Dia dan
orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka
itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan
orang-orang yang diberi peringatan itu.” (QS. Yunus: 73).
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.
Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya
sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang
kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”
(QS. Fathir: 39).
54
2) Khulafa terulang sebanyak tiga kali pada surah-surah Al-A’raf (7) ayat
69 dan ayat 74, dan Al-Naml (27) ayat 62.14
“Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu
peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu
untuk memberi peringatan kepadamu? dan ingatlah oleh kamu sekalian di
waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang
berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan
kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-
A’raf: 69).
“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-
pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat
bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar
dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
membuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf: 74).
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam
kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan
kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?
14 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2009), Cet. III, h. 243.
55
Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu
mengingati (Nya).” (QS. An-Naml: 62)
M. Quraish Shihab menganalisis bahwa keseluruhan kata tersebut
berakar dari kata khulafa‟ yang pada mulanya berarti “di belakang”. Dari
sini, kata khalifah seringkali diartikan sebagai “pengganti” (karena yang
menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang
digantikannya).15
Dan dalam tafsirannya di tafsir Al-Misbah, M. Quraish Shihab
menjelaskan bahwa QS. Al-Baqarah ayat 30 itu merupakan kelompok ayat
yang dimulai dengan penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat
tentang rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Di dalam dialog antara
Allah dengan malaikat, yaitu Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah
di dunia, demikian itu merupakan penyampaian Allah swt. Penyampian ini
bisa jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni
manusia pertama (Adam) dengan nyaman. Mendengar rencana tersebut para
malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga
bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu
mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, di
mana ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasar asumsi
bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka
pasti makhluk itu berbeda dengan malaikat yang selalu bertasbih
menyucikan Allah SWT. Pertanyaan mereka itu juga bisa lahir dari
penamaan Allah terhadap makhluk yang dicipta itu dengan khalifah. Dan
kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang
sesudah siapa yang datang sebelumnya. Akan tetapi atas dasar ini, ada yang
memahami kata khalifah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam
menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya,
tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia
berkedudukan sebagai Tuhan. Allah bermaksud dengan pengangkatan itu
untuk menguji manusia dan memberinya penghormatan. Namun ada juga
15
Ibid.
56
yang memahami dalam arti yang menggantikan makhluk lain dalam
penghuni bumi ini.16
Betapapun, ayat 30 surat Al-Baqarah ini menunjukkan bahwa
kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah SWT.,
makhluk yang diserahi tugas, yakni Adam as. Dan anak cucunya, serta
wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini.
Jika demikian, kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi
tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang
memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan
kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.17
Mengutip Al-Raghib Al-Isfahani, dalam Mufradat fi Gharib Al-
Qur‟an, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa menggantikan yang lain
berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang
digantikannya maupun sesudahnya. Kekhalifahan tersebut dapat terlaksana
akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang
digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang
menggantikan.
Tidak dapat disangkal oleh para mufasir bahwa perbedaan bentuk-
bentuk di atas (khalifah, khalaif, khulafa‟) masing-masing mempunyai
konteks makna tersendiri, yang sedikit atau banyak berbeda dengan yang
lain.
Sedangkan merujuk kepada al-Qur’an untuk mengetahui kandungan
makna kata khalifah (karena ayat al-Qur’an berfungsi pula sebagai penjelas
terhadap ayat-ayat lainnya), maka dari kata khalifah yang hanya terulang
dua kali serta konteks-konteks pembicaraannya, M. Quraish Shihab menarik
beberapa kesimpulan makna, khususnya dengan memperhatikan ayat-ayat
surah Shad yang menguraikan sebagian dari sejarah kehidupan Nabi Daud.18
16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), Vol. I, Cet. X, h. 140.
17 M. Quraish Shihab, loc cit.
18 M. Quraish Shihab, op. cit., h. 244.
57
Dari surah Shad tersebut, kekhalifahan yang dianugerahkan kepada
Daud a.s. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini
diperolehnya berkat anugerah Allah yang mengajarkan kepadanya al-hikmah
dan ilmu pengetahuan. Makna “pengelolaan wilayah tertentu” berkaitan
dengan kekuasaan politik, dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan
bentuk khulafa‟. Hal ini, berbeda dengan kata khala‟if, yang tidak
mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga akhirnya kita dapat
berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik
dinamai oleh al-Qur’an dengan khala‟if tanpa menggunakan bentuk mufrad
(tunggal). Tidak digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut
agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap
orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan
khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat
mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk
otoriter atau diktator.19
Apabila kembali merujuk kepada surah Al-Baqarah ayat 30, yang
menggunakan kata khalifah untuk Adam a.s., maka ditemukan persamaan-
persamaan dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian.
Sehingga dalam analisisnya M. Quraish Shihab mengambil
kesimpulan, yaitu :
1) Kata khalifah digunakan oleh al-Qur’an untuk siapa yang diberi
kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini,
Daud (947-1000 S.M.) mengelola wilayah Palestina. Sedangkan Adam
secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya
pada awal masa sejarah kemanusiaan.
2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat
melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu.
Karena itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak
mengikuti hawa nafsu.20
19Ibid, h. 244-245.
20 M. Quraish Shihab, loc. cit.
58
Jadi dari penjelasan di atas, terlihatlah bahwasannya di dalam QS.
Al-Baqarah ayat 30 dan QS. Shad ayat 26, terdapat perbedaan di dalam
kedua surat tersebut. Di dalam QS. Al-Baqarah, Allah menggunakan kata
“Aku” dalam merencanakan adanya khalifah/pemimpin di muka bumi, yang
di mana berarti hanya Allah saja yang berperan dalam pengangkatan
khalifah tersebut. Sedangkan di dalam QS. Shad ayat 26, dijelaskan
bahwasannya Allah menggunakan kata “Kami” ketika mengangkat seorang
khalifah/pemimpin, maka hal itu menunjukkan bahwa ada keterlibatan peran
makhluk selain Allah sendiri. Sehingga ketika Nabi Daud diangkat menjadi
pemimpin maka ketika itu, Allah dan manusia di lingkungan Nabi Daud
telah mengangkat Nabi Daud sebagai pemimpin buat umat/rakyatnya.
b. Makna Kekhalifahan Manusia di Bumi
Mengutip Muhammad Baqir Al-Shadr, dalam bukunya, Al-Sunan Al-
Tarikhiyah fi al-Qur‟an, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa
kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang saling terkait. Kemudian,
ditambahkannya unsur keempat yang berada di luar, namun amat
menentukan arti kekhalifahan dalam pandangan al-Qur’an. Ketiga unsur
pertama adalah :
1) Manusia, yang dalam hal ini dinamai khalifah
2) Alam Raya, yang ditunjuk oleh ayat Al-Baqarah sebagai ardh
3) Hubungan antara manusia dan alam dan segala isinya, termasuk dengan
manusia.
Sedangkan unsur keempat yang berada di luar adalah yang memberi
penugasan, yakni Allah SWT. Dia lah yang memberi penugasan itu dan
dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang
menugasinya.21
M. Quraish Shihab membandingkan bahwa pengangkatan Adam
sebagai khalifah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal inni
(sesungguhnya Aku) dan dengan kata ja‟il yang berarti akan mengangkat.
21 M. Quraish Shihab, op. cit., h. 246.
59
Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna
(Sesungguhnya Kami) dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja‟alnaka
(Kami telah menjadikan kamu).
Dalam analisisnya, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa
penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung
makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang
ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai
khalifah dapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat
(pengikut-pengikutnya). Adapun Adam, pengangkatannya dilukiskan dalam
bentuk tunggal, bukan saja disebabkan ketika itu kekhalifahan yang
dimaksud baru berupa rencana (Aku akan mengangkat), tetapi juga karena
ketika peristiwa ini terjadi tidak ada pihak lain bersama Allah yang terlibat
dalam pengangkatan tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa Daud (dan semua khalifah) yang terlibat
dalam dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk
memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena mereka itu termasuk
pula sebagai mustakhlif. Sehingga tidak dikhawatirkan adanya perlakuan
sewenang-wenang dari khalifah yang diangkat Tuhan itu, selama ia benar-
benar menyadari arti kekhalifahannya. Karena, Tuhan sendiri
memerintahkan kepada para khalifah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta
berlaku adil.22
Hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia dengan
sesamanya, bukan merupakan hubungan antara Penakluk dan yang
ditaklukan, atau antara tuan dan hamba, tetapi hubungan kebersamaan
manusia mampu mengelola (menguasai), hal tersebut bukan akibat kekuatan
yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukannya untuk manusia. Ini
tergambar antara lain dalam firman-Nya, pada Surah Ibrahim ayat 32 dan
Az-Zukhruf ayat 13.
Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut adanya interaksi
antara manusia dan sesamanya dengan manusia dan alam sesuai dengan
22Ibid., h. 247.
60
petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu
harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan
perkembangan dan situasi lingkungannya.
Dalam ayat 32 Surah Az-Zukhruf ditegaskan bahwa :
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,
dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.23
M. Quraish Shihab memahami arti Sukhriya sebagai menundukkan.
Tetapi, hubungan satu sama lain adalah hubungan al-Taskhir, dalam arti
semua dalam kedudukan yang sama dan yang membedakan mereka
hanyalah partisipasi dan kemampuan masing-masing. Adalah logis apabila
yang “kuat” lebih mampu memperoleh bagian yang melebihi perolehan yang
lemah. Sehingga keistimewaan tidak dimonopoli oleh suatu lapisan atau
bahwa ada lapisan masyarakat yang ditundukkan oleh lapisan yang lain.
Karena, jika demikian maknanya, maka ayat tersebut di atas tidak akan
menyatakan agar mereka dapat saling mempergunakan.
Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antar-
sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pula-lah yang menjadi
tujuan dari segala etika agama. Keharmonisan hubungan inilah yang
menghasilkan etika itsar, sehingga etika agama tidak mengenal prinsip
“Ánda boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain”,
tetapi memperkenalkan “Mereka mendahulukan pihak lain atas diri mereka
walaupun mereka sendiri dalam kebutuhan”.
23Ibid., h. 248.
61
Di atas juga telah dikemukakan bahwa hanya kemampuan (kekuatan)
yang dapat membedakan seseorang dari yang lain, dan dari keistimewaan
inilah segala sifat terpuji dapat lahir.24
Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau sikap terpuji, karena
ia adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang dalam menanggung beban atau
menahan gejolak keinginan negatif. Keberanian merupakan kekuatan karena
pemiliknya mampu melawan dan menundukkan kejahatan. Dan kasih
sayang dan uluran tangan adalah juga kekuatan; bukankah ia ditunjukkan
kepada orang-orang yang membutuhkan dan lemah.
Dalam hubungan manusia dengan alam raya, M. Quraish Shihab
menyatakan bahwa semakin kokoh hubungan manusia dengan alam raya dan
semakin dalam pengenalannya terhadapnya, akan semakin banyak yang
dapat diperolehnya melalui alam itu. Namun, bila hubungan itu sampai di
situ, pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan penindasan
manusia atas manusia. Inilah antara lain kandungan pesan Tuhan yang
diletakkan dalam rangkaian wahyu pertama.
Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan
interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti akan
semakin banyak yang dapat dimanfaatkan dari alam raya ini. Karena, ketika
itu mereka semua akan saling membantu dan bekerja sama dan Tuhan di
atas mereka akan merestui. Hal ini terungkap antara lain melalui Surah Al-
Jin ayat 16 :
ان تقا و قة علىامو لواس ري قي الط هم ن لس ءغدقا
“Dan bahwasannya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan
itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka
air yang segar (rezeki yang banyak)”.
Demikian itu dua dari hukum-hukum kemasyarakatan
(kekhalifahan) dari sekian banyak hukum kemasyarakatan yang
24Ibid., h. 249.
62
dikemukakan al-Qur’an sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi kekhalifahan,
yang sekaligus menjadi etika pembangunan.
Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan perkembangan
masyarakat, demikian kandungan ayat di atas. Perkembangan inilah yang
merupakan arah yang dituju oleh masyarakat religius yang Islami.
Keharmonisan tidak mungkin tercipta kecuali jika dilandasi oleh rasa aman.
Karena itu pula, setiap aktivitas istikhlaf (pembangunan) baru dapat dinilai
sesuai dengan etika agama apabila rasa aman dan sejahtera menghiasi setiap
anggota masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan yang dihiasi oleh etika
agama adalah “yang mengantar manusia menjadi lebih bebas dari
penderitaan dan rasa takut”.25
Kalau hal ini dikaitkan dengan kisah kejadian manusia, maka dapat
pula dikaitkan bahwa keberhasilan pembangunan dalam pandangan agama
adalah pada saat manusia berhasil mewujudkan bayang-bayang surga di
persada bumi ini.
Arah yang dituju oleh istikhlaf adalah kebebasan manusia dari rasa
takut, baik dalam kehidupan dunia atau yang berkaitan dengan persoalan
sandang, pangan dan papan, maupun ketakutan-ketakutan lainnya yang
berkaitan dengan masa depannya yang dekat atau yang jauh di akhirat kelak.
Ayat-ayat yang berbicara tentang la khawf „alayhim wa la hum yahzanun
tidak harus selalu dikaitkan dengan ketakutan dan kesedihan di akhirat,
tetapi dapat pula mencakup ketakutan dan kesedihan dalam kehidupan dunia
ini.
Mengutip Prof. Mubyarto, M. Quraish Shihab mengemukakan lima
hal pokok untuk mencapai hal tersebut :
1) Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan ia harus bebas
dari ancaman dan bahan pemerkosaan.
2) Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan
menghabiskan tenaganya.
25Ibid., h. 250-251.
63
3) Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai
dengan cita-citanya.
4) Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan
kemampuannya.
5) Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak
semata-mata menjadi objek penentu orang lain.
Dari lima unsur yang telah dijelaskan di atas, unsur keempat
sekaligus unsur ekstern, yang menurut M. Quraish shihab digambarkan oleh
Al-Qur’an dalam dua bentuk :
1) Penganugerahan dari Allah (Inni jail fi al-ardh khalifah)
2) Penawaran dari-Nya yang disambut dengan penerimaan dari manusia,
sebagaimana yang tergambar dalam surat Al-Ahzab ayat 72 :
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
M. Quraish Shihab menafsirkan kecaman di atas itu untuk sebagian
manusia. Sehingga beliau menyimpulkan bahwa dalam tugas kekhalifahan
ada yang berhasil dengan baik dan ada pula yang gagal. Kesimpulan ini
diperkuat pula oleh isyarat yang tersirat dari jawaban Allah atas pertanyaan
malaikat: Apakah engkau akan menjadikan di sana (bumi) siapa yang
merusak dan menumpahkan darah sedang kami bertasbih dan memuji
Engkau? Tuhan berfirman (menjawab): “Aku tahu apa yang kalian tidak
ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30).
Oleh karena itu, bila manusia sebagai khalifah menyadari arti
kekhalifahannya sebagai yang ditugasi oleh Allah swt, maka tidak perlu
adanya kekhawatiran terhadap perlakuan sewenang-wenang dari khalifah
64
yang diangkat Tuhan itu. Karena, Tuhan sendiri memerintahkan kepada para
khalifah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta berlaku adil.
Selain itu, kedudukan manusia sebagai khalifah dituntut untuk
mempertanggungjawabkan segala aktifitasnya kepada yang digantikan, yang
diwakili dan yang memberikan mandataris, dalam hal ini Allah SWT.
Karena itu manusia sepanjang hidupnya harus mengimplementasikan dirinya
sebagai makhluk yang bertugas menciptakan bumi sesuai dengan keinginan
Allah.
Dan manusia yang dipilih sebagai khalifah, karena kelebihan yang
dianugerahkan Allah kepada manusia yaitu berupa ilmu pengetahuan, yang
mana Allah tidak memberikan kepada makhluk Allah yang lain termasuk
malaikat. Karena dengan ilmu ini manusia mampu menjalankan fungsi dan
perannya sebagai pengelola bumi.
Sehingga, kedudukan khalifah yang melekat otomatis kepada
manusia membuat semua manusia mendapat predikat yang sama sebagai
khalifah. Namun hanya kualifikasinya saja yang berbeda. Dan yang dalam
hal kedudukan ini pula yang menjadi modal awal (potensi) manusia dalam
kepemimpinan.
c. Karakteristik Khalifah Menurut M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab memetakan karakteristik khalifatullah dengan
menganalisis tafsir milik Al-Tabrasi yang dikemukakan di dalamnya bahwa
kata Imam mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja, kata
Imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang
mengandung arti “depan” yang berbeda dengan khalifah yang terambil dari
kata “belakang”.26
Ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi tentang sifat-sifat
terpuji dari seorang khalifah dengan menelusuri ayat-ayat yang
menggunakan kata Imam. Dalam al-Qur’an kata Imam terulang sebanyak
tujuh kali dengan makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu
26Ibid., h. 254.
65
pada arti “sesuatu yang dituju dan atau diteladani”. Di antara kata imam
tersebut yang paling tepat adalah : Pemimpin dalam kebajikan, yaitu pada
Surah Al-Baqarah ayat 124 dan Surah Al-Furqan ayat 74.
Surah Al-Baqarah ayat 124 yang berbunyi :
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku".
Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".
Dan Surah Al-Furqan ayat 74, yang berbunyi :
Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah
kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati
(Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim a.s. dijanjikan Allah untuk
dijadikan Imam (Inni Ja‟iluka li al-nas Imama), dan ketika beliau bermohon
agar kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya, Allah SWT
menggarisbawahi suatu syarat, yaitu la yanalu „ahdiya al-zhalimin (Janji-Ku
ini tidak diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).27
Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan demikian, dari
ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat adil, baik terhadap diri,
keluarga, manusia dan lingkungan, maupun terhadap Allah.
Karakter yang perlu dibangun juga terdapat dalam Surah Shaad ayat
22 dan ayat 26 yang merupakan “penganiayaan” yang dilakukan oleh Daud
kepada dua orang yang bertikai dan meminta putusan.
27Ibid.
66
Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena
kedatangan) mereka. mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut;
(Kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari Kami
berbuat zalim kepada yang lain; Maka berilah keputusan antara Kami
dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan
tunjukilah Kami ke jalan yang lurus. (QS. Shaad : 22)
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan. (QS. Shaad : 26).
Memberi keputusan yang adil saja dan tidak mengikuti hawa nafsu,
belum memadai bagi seorang khalifah. Tetapi, ia harus mampu pula untuk
merealisasikan kandungan permintaan kedua kedua orang yang berselisih
itu, yakni Wa ihdina ila sawa‟ al-shirath.
M. Quraish Shihab memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya
dengan sifat-sifat terpuji seorang khalifah, baru akan menjadi jelas bila
dikaitkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang Imam/aimmah, dalam
kaitannya dengan pemimpin-pemimpin yang menjadi teladan dalam
kebaikan.
Kata aimmah yang terdapat dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 73 dan
Surat Al-Sajdah ayat 24.
67
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan
kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.”
(QS. Al-Anbiya’: 73).
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As-Sajdah: 24).
Ada lima sifat pemimpin terpuji yang diinformasikan oleh gabungan
kedua ayat tersebut, yaitu :
1) Yahduna bi amrina, mengantar (masyarakatnya) ketujuan yang sesuai
dengan petunjuk Kami (Allah).
2) Wa awhayna ilayhim fi‟la al-khayrat, (telah membudaya pada diri
mereka kebajikan).
3) „Abidin (termasuk Iqam Al-Shalat dan Ita‟ Al-Zakat)
4) Yuqinun, (penuh keyakinan).
5) Shabaru (kesabaran dan ketabahan), Kami jadikan mereka pemimpin-
pemimpin ketika mereka tabah/sabar.28
Dari kelima sifat tersebutlah al-shabr (ketekunan dan ketabahan),
dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan Wa ja‟alnahum aimmat
lamma shabaru. Seakan-akan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang
khalifah, sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang
melekat pada diri mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam
kenyataan.
28 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan,
2007), Cet. I, h. 69.
68
Di atas telah dijanjikan Allah untuk membicarakan arti wa ihdina ila
sawa al-shirath (QS 38:22), yang merupakan salah satu sikap yang dituntut
dari seorang khalifah, setelah memperhatikan kandungan ayat-ayat yang
berbicara tentang a'immat. Dalam surah Shad tersebut, redaksinya berbunyi
Wa ihdina ila, sedang dalam ayat-ayat yang berbicara tentang a'immat yang
dikutip di atas, redaksinya berbunyi Yahduna bi amrina. Salah satu
perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdi. Yang pertama menggunakan
huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila. Al-Raghib Al-Isfahani menjelaskan
bahwa kata hidayat apabila menggunakan ila, maka ia berarti sekadar
memberi petunjuk; sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi,
yakni "memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa
yang dikehendaki oleh yang diberi petunjuk". Ini berarti bahwa seorang
khalifah minimal mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya
dan yang lebih terpuji adalah mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke
pintu gerbang kebahagiaan. Atau, dengan kata lain, seorang khalifah tidak
sekadar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh sosialisasinya.
Hal ini mereka capai karena kebajikan telah mendarah daging dalam diri
mereka. Atau, dengan kata lain, mereka memiliki akhlak luhur sebagaimana
yang dapat dipahami dari sifat kedua yang disebutkan di atas, yakni Wa
awhayna ilayhim fi'la al-khayrat. 29
Dari uraian di atas, M. Quraish Shihab menyimpulkan bahwa
seorang khalifah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat luhur yang telah
membudaya pada dirinya. Yuqinun dan 'abidin merupakan dua sifat yang
berbeda. Yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di
dalam dada mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan keadaan nyata
mereka.30
29 M. Quraish Shihab, op. cit., h. 257.
30Ibid., h. 258.
69
d. Tugas-tugas Khalifah Menurut M. Quraish Shihab
Tugas manusia adalah memelihara amanah yang Allah pikulkan
kepadanya, setelah langit, bumi dan gunung enggan memikul nya.
Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Ahzab ayat 72 :
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.
Amanat Allah itu adalah berupa tanggung jawab memakmurkan
bumi dengan melaksanakan hukum Nya, dalam kehidupan manusia di bumi
ini.
Sebagaimana M. Quraish Shihab juga telah menjelaskan bahwa
seorang khalifah adalah siapa yang diberi kekuasaan mengelola suatu
wilayah, baik besar atau kecil. Cukup banyak ayat yang menggambarkan
tugas-tugas seorang khalifah. Namun, ada suatu ayat yang bersifat umum
dan dianggap dapat mewakili sebagian besar ayat lain yang berbicara
tentang hal di atas, yaitu :31
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. Al-Hajj: 41).
Mendirikan shalat merupakan gambaran dari hubungan yang baik
dengan Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan gambaran dari
keharmonisan hubungan dengan sesama manusia. Ma‟ruf adalah suatu
31 M. Quraish Shihab, op cit., h. 258.
70
istilah yang berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh
agama, akal dan budaya, dan sebaliknya dari munkar.
Dari gabungan itu semua, seseorang diberi kedudukan oleh Allah
untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu
masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan
masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara.32
Maka setidaknya ada beberapa perilaku positif yang harus dimiliki
seorang khalifah, yaitu tidak membuat kerusakan di muka bumi. Kerusakan
ini meliputi seluruh keburukan yang diperbuat oleh manusia, seperti
melakukan kerusakan terhadap lingkungannya (melakukan pembabatan
hutan secara illegal dan perbuatan buruk lainnya yang sejenis), atau
menjerumuskan diri sendiri dan orang lain ke dalam kubangan narkoba dan
pergaulan bebas. Seorang khalifah juga tidak akan menumpahkan darah
sesama manusia dengan sangat mudah. Ini juga memiliki pengertian
membunuh karakter saudara kita yang lain dengan melakukan fitnah dan
adu domba di antara sesama manusia. Dan tentunya seorang khalifah juga
mertupakan seorang manusia yang rajin beribadah kepada Allah SWT dan
selalu mengekalkan kebaikan di sepanjang hidupnya. Jika seorang khalifah
mampu bertindak seperti disebutkan di atas, kehidupan di bumi dapat
berlangsung penuh kebahagiaan dan kedamaian. Namun kenyataannya
manusia yang diberikan amanat tersebut, masih banyak melakukan
penyimpangan-penyimpangan, karena mereka lebih mengikuti hawa
nafsunya dibandingkan dengan tugas yang diamanatkan oleh Allah.
Sehingga dapat dikatakan, manusia yang berperan sebagai khalifah tersebut
masih belum bisa mempertanggung jawabkan amanat yang Allah berikan
kepada mereka.
2. Implikasi Konsep Khalifah terhadap Pendidikan Islam
Khalifah merupakan “pengganti”, yang dalam artian “yang
menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya”.
32 Ibid., h. 258-259.
71
Yang berfungsi sebagai pemegang amanah Allah untuk menggantikan Allah
dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-
Nya untuk mengelola bumi dengan segenap potensi yang diberikan oleh
Allah SWT.33
Dengan peranannya manusia sebagai khalifah itu, manusia
menerima amanah dari Allah SWT. sebagai pemakmur alam semesta. Untuk
itu, dalam pelaksanaan peran dan tugasnya, manusia dituntut untuk aktif,
kreatif, dan dinamis. Sehingga dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan
amanah yang diberikan Allah SWT. manusia harus menggunakan akalnya
bagi kemaslahatan manusia itu sendiri serta makhluk Allah lainnya secara
serasi dan seimbang. Untuk merealisasikan tugas dan fungsinya itu, dapat
ditempuh manusia lewat pendidikan. Dengan media ini, diharapkan manusia
mampu mengembangkan akal yang diberikan Allah SWT. secara optimal,
bagi kepentingan seluruh alam semesta, baik untuk jangka pendek yaitu
untuk kehidupan manusia di dunia, maupun jangka panjang yaitu untuk
kehidupan ukhrawi.
Sehingga pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan
dan membentuk pribadi manusia dengan acuan nilai-nilai Ilahiah. Dengan
penanaman ini, akan menjadi panduan baginya dalam melaksanakan amanah
Allah di muka bumi.34
Pendidikan itu adalah proses pengubahan sikap atau tata laku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan, yang melibatkan jasmani dan
rohani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti
sesungguhnya.
Kemudian pendidikan Islam sendiri merupakan sebuah proses dalam
membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan
potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan
33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), Vol. I, Cet. X, h. 140.
34 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 69-70.
72
fungsinya sebagai khalifah Allah SWT, baik kepada Tuhannya, sesama
muslim, dan sesama makhluk lainnya.35
Selain itu, di dalam sebuah kekhalifahan mengharuskan empat sisi
yang saling berkaitan, yaitu :
1) Pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT
2) Penerima tugas, dalam hal ini manusia, perseorangan maupun
perkelompok
3) Tempat atau lingkungan, di mana manusia berada
4) Materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan.36
Tugas kekhalifahan tersebut tidak akan dinilai berhasil apabila
materi penugasan tidak dilaksanakan atau apabila kaitan antara penerima
tugas dengan lingkungannya tidak diperhatikan. Khusus menyangkut kaitan
antara penerima tugas dan lingkungannya, harus digarisbawahi bahwa corak
hubungan tersebut dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat
lain. Dan karena itu, penjabaran tugas kekhalifahan harus sejalan dan
diangkat dari dalam masyarakat itu masing-masing. Atas dasar ini,
disepakati oleh seluruh ahli pendidikan bahwa sistem serta tujuan
pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor atau
diekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat. Ia harus timbul dari
dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah “pakaian” yang harus diukur dan
dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakaiannya, berdasarkan
identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang yang terdapat dalam
masyarakat atau negara tersebut.37
Sehingga pendidikan itu yang harus diperhatikan adalah dalam
penyusunan rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam
kurikulum. Pengertian kurikulum adalah segala kegiatan dan pengalaman
pendidikan yang dirancang dan diselenggarakannya oleh lembaga
35 Armai Arief, Pengantar dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002),
Cet. I, h. 40-41.
36 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2009), Cet. III, h. 269-270.
37Ibid., h. 270.
73
pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah
dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai,
maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
1. Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
Pendidikan Islam berkepentingan untuk mengarahkan manusia (anak
didik) agar memiliki kesadaran ketuhanan dan kedekatan hubungan
dengan Tuhan – ranah afektif yang selama ini kurang mendapat
perhatian dalam pengajaran agama. Suatu hubungan yang akan berakhir
dengan kesadaran bahwa Allah lah satu-satunya referensi pokok dan
dasar dari segala yang ada, sumber nilai, sumber energy dan pusat
seluruh orientasi. Untuk bisa mencapai kesadaran ini, jelas pengajaran
agama yang hanya menekankan materi yang bersifat verbal, kognitif,
ritualistic dan terbatas di kelas tidak bisa dipertahankan. Kesadaran
ketuhanan sebagai buah dari praktek keberagaman mensyaratkan adanya
pengalaman, pengamalan, dan penghayatan akan ke dalam makna yang
secara terus menerus perlu dilatih dan dibiasakan (riyadlah).38
2. Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
Pendidikan Islam sangat berkepentingan mengarahkan manusia,
melalui proses pendidikan seumur hidup, agar memiliki kesadaran
kemanusiaan sejati dengan menyeimbangkan porsi antara keberagaman
dan kebersamaan. Caranya dengan memberikan perspektif dan
pengayaan materi-materi agama dengan realitas kehidupan sosial yang
perlu dibangun, dijaga, dan dilestarikan bersama manusia-manusia lain.
Kesadaran yang akan membawanya memiliki apresiasi dan empati yang
tinggi terhadap nilai hidup manusia. Logikanya, kalau sikap mengingkari
kehidupan binatang saja membawa kesengasaraan, apalagi pengingkaran
terhadap hak-hak asasi manusia yang merupakan “puncak penciptaan”
38 Mohammad Irfan, Teologi Pendidikan; Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam,
(Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), h. 115-116.
74
Tuhan. Pada titik ini perlu upaya-upaya serius mengembangkan
pendidikan yang berwawasan kemanusiaan.39
3. Tercapainya tujuan hablum minal‟alam (hubungan dengan alam).
Hubungan manusia dengan alam pada hakikatnya adalah hubungan
sebagai sesama ciptaan (kemitraan). Antara alam dan manusia ada dalam
posisi yang sama sebagai ciptaan (makhluk) Tuhan. Konsep yang
terkenal mengenai pola hubungan ini adalah takhsir, yaitu alam
disediakan dan ditundukkan untuk manusia. Dan hubungan manusia
dengan alam adalah hubungan mengelola, memakmurkan, melestarikan,
dan memanfaatkan sebaik-baiknya. Hubungan ini mengaharuskan
pengetahuan yang memadai sehingga alam ini memberikan kontribusi
terhadap pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam konteks inilah, manusia
diperintahkan untuk bertindak sesuai dengan aturan moral, bahwa alam
ini bukan sesuatu yang siap pakai (ready for use), suatu yang terlebih
dahulu dipersiapkan untuk menusia. Sebaliknya, pemanfaatan alam di
samping untuk kepentingan jangka panjang, juga membutuhkan
pengetahuan mengenai cara kerja dan aturan-aturan yang ada di
dalamnya. Di sinilah peran sains menjadi penting. Mengambil ide
kesatuan penciptaan ini, sains Islam telah meletakkan suatu landasan
yang kokoh. Tujuan fundamental sains Islam adalah untuk
memperagakan ketunggalan ciptaan Tuhan, mengetahui keteraturan dan
keharmonisan-Nya sebagaimana tercermin dalam hukum-hukum-Nya
(taqdir/sunnatullah), yang sesungguhnya merupakan penegasan akan
prinsip ke-Esaan Tuhan. Peran dan fungsi sains dalam Islam diarahkan
pada dua kepentingan. Pertama, membantu manusia memenuhi
kebutuhan intelektual dan spiritualnya. Yang paling penting diantaranya
adalah untuk memperoleh kepastian dalam pengetahuannya tentang
Tuhan. Akan tetapi, sebagai makhluk bumi, manusia juga memiliki
kebutuhan fisik dan materil untuk dipenuhi. Maka, peran dan fungsi
sains yang kedua adalah untuk membantu manusia memenuhi
39
Ibid, h. 125.
75
kebutuhan-kebutuhan tersebut pada tingkat individual, keluarga dan
masyarakat.40
4. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri (berakhlak dengan diri
sendiri)
Penghargaan orang lain terhadap diri kita, sangat tergantung kepada
sejauh mana kita menghargai atau dengan kata lain berakhlak kepada diri
sendiri.
Keempat hubungan tersebut diatas, tercakup dalam Isi/materi
kurikulum PAI yang tersusun dalam beberapa mata pelajaran, yaitu:
1. Mata pelajaran akidah akhlak,
2. Mata pelajaran ibadah syariah (fiqh),
3. Mata pelajaran Al-Qur’an hadits
4. Mata pelajaran sejarah dan kebudayaan Islam (SKI), dan
5. Mata pelajaran bahasa arab
Mata-mata pelajaran tersebut yang merupakan scope atau ruang
lingkup kurikulum PAI yang disajikan pada sekolah-sekolah yang berciri
khas Islam atau madrasah, sementara ruang lingkup kurikulum PAI pada
sekolah-sekolah umum adalah mata pelajaran pendidikan agama Islam yang
bentuk kurikulumnya Broad Field atau in one system.
Ruang lingkup kurikulum PAI dilembaga pondok-pondok pesantren
tentu lebih banyak lagi mata pelajaran, umumnya kurikulum PAI pada
pondok pesantren terdiri dari mata pelajaran yang terpisah-pisah (separated
subject curriculum), seperti: tauhid, tajwid, fiqih, ushul fiqih, ilmu hadits,
tarikh, dan lain-lain.41
Pendidikan Islam itu juga harus memperhatikan sasaran pendidikan
Islam yang meliputi empat aspek, yaitu : (1) aspek akidah (yatlu alaihim
ayatihi); (2) aspek pembersihan dan pembentukan tingkah laku dengan
40
Ibid, h. 126-128.
41 Zainal Arifin, Komponen dan Organisasi Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011), h. 88.
76
akhlak al-karimah (wa yuzakkihim); (3) aspek rasionalitas dan transformasi
ilmu pengetahuan (wa yu‟allimuhum al-kitab); dan (4) aspek psikomotorik
(wa al-hikmah).42
Oleh karena itu pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada
pengajaran di mana orientasinya hanya kepada intelektualisasi penalaran,
tetapi lebih menekankan pada pendidikan di mana sasarannya adalah
pembentukan kepribadian yang utuh dan bulat, maka Islam pada hakikatnya
adalah berpaham perfeksionalisme, yaitu menghendaki kesempurnaan
kehidupan yang tuntas sesuai dengan firman Allah :
…..
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam
secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan.”
(QS. Al-Baqarah : 208).
Dengan demikian, proses pendidikan Islam demi mencapai tujuan
yang total, menyeluruh, dan meliputi segenap aspek kemampuan manusia
diperlukan landasan falsafah pendidikan yang menjangkau pengembangan
bakat dan harkat biologis dan kemanusiaannya. Falsafah pendidikan yang
demikian itu bercorak menyeluruh di mana iman mendasarinya, sehingga
proses kependidikan yang berwatak keagamaan mampu mengarahkan
kepada pembentukan manusia yang mukmin.43
Sehingga, bagi umat Islam tidak boleh ada keraguan lagi untuk
mendasarkan dan melaksanakan pendidikan menurut Islam yang bersumber
kepada al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW. Yang mana al-Qur’an
itu banyak terdapat ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkaitan dengan
kegiatan atau usaha pendidikan. Dan As-Sunnah sebagai sumber ajaran
Islam yang kedua sesudah al-Qur’an berfungsi sebagai pelaksanaan dari
ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam al-Qur’an. Di dalamnya berisi
petunjuk/pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala
42 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. I, h. 128.
43Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), Cet. V, h.
147-148.
77
aspeknya, termasuk untuk membentuk/membina umat untuk menjadi
manusia seutuhnya atau menjadi muslim yang bertakwa. Oleh karena itu,
sunnah Rasulullah SAW harus menjadi dasar/landasan dalam pelaksanaan
pendidikan Islam guna mewujudkan pribadi muslim seutuhnya itu.44
Dan yang pada hakikatnya tujuan akhir dari pendidikan Islam itu
adalah membentuk kepribadian muslim atau insan kamil dengan pola takwa
yaitu terbentuknya pribadi yang beriman, berakhlak, berilmu dan
berketerampilan yang senantiasa berupaya mewujudkan dirinya dengan baik
secara maksimal guna memperoleh kesempurnaan hidup karena didorong
oleh sikap ketakwaan dan penyerahan dirinya kepada Allah SWT agar
memperoleh ridha-Nya.
Salain itu, orang yang sudah bertakwa dalam bentuk Insan Kamil,
masih perlu mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan
penyempurnaan, sekurang-kurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur dan
berkurang, meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam
pendidikan formal. Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam
firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam Keadaan beragama Islam.” (QS. Al-Imran: 102).
Tujuan akhir pendidikan Islam tersebut akan dicapai secara bertahap
melalui pencapaian tujuan sementara, tujuan perantara dan tujuan khusus
yang diupayakan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.45
Sehingga pendidikan keagamaan yang berlandaskan kepada al-
Qur’an dan As-Sunnah akan membentuk manusia kepada tujuan akhir
pendidikan Islam yaitu manusia yang sempurna (insan kamil). Dengan
44 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h.
155.
45 Ibid., h. 160.
78
begitu, manusia yang telah diamanatkan oleh Allah sebagai khalifah dalam
memakmurkan bumi dapat berjalan dengan baik.
Dengan pemahaman tujuan pendidikan Islam itu adalah manusia
yang sempurna (Insan Kamil), di mana manusia yang berfungsi sebagai
khalifah adalah manusia yang mampu menjalankan tugasnya dalam
mengelola bumi, serta beribadah kepada Allah dan menjaga keharmonisan
terhadap sesama makhluk Allah di bumi.
79
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini tentang Konsep Khalifatullah Menurut M.
Quraish Shihab dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam, maka penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.Khalifah menurut M. Quraish Shihab terbagi dalam bentuk tunggal dan
bentuk plural. Dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam al-Qur‟an,
yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Dan bentuk plural itu
terdapat dalam dua bentuk, yaitu khala‟if dan khulafa‟. Namun,
keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa’ yang pada mulanya
berarti “di belakang”. Dari sini, kata khalifah seringkali diartikan sebagai
“pengganti” (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di
belakang, sesudah yang digantikannya). Dalam Surat Al-Baqarah ayat 30
yang menjelaskan kisah Adam yang secara langsung diangkat menjadi
khalifah untuk mengatur bumi, dan Surat Shad ayat 26 menguraikan
sebagian sejarah kehidupan Nabi Daud yang diangkat menjadi khalifah
oleh Allah dan dilibatkannya masyarakat dalam pengangkatannya untuk
mengelola wilayah Palestina. Jadi, kekhalifahan (Adam) sebagai khalifah
adalah wewenang yang yang dianugerahkan Allah SWT., makhluk yang
diserahi tugas, yakni Adam as. Dan anak cucunya, serta wilayah tempat
bertugas, yakni bumi yang terhampar ini. Sedangkan kekhalifahan (Daud),
yaitu kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud As. bertalian dengan
kekuasaan mengelola wilayah tertentu (Palestina), yang berkaitan dengan
kekuasaan politik, yang di mana yang terlibat dengan masyarakat dalam
pengangkatannya.
2. Implikasi dari konsep khalifatullah menurut M. Quraish Shihab terhadap
pendidikan Islam yaitu pendidikan Islam harus lebih memperhatikan
penyusunan rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam
80
kurikulum. Di mana dalam sebuah kurikulum berpedoman dalam ruang
lingkup yang berorientasi pada tiga hal, yaitu : (1) Tercapainya tujuan
hablum minallah (hubungan dengan Allah); (2) Tercapainya tujuan
hablum minannas (hubungan dengan manusia); dan (3) Tercapainya tujuan
hablum minal „alam (hubungan dengan alam). Di mana kurikulum juga
harus memperhatikan sasaran pendidikan Islam yang meliputi empat
aspek, yaitu : (1) aspek akidah (yatlu alaihim ayatihi); (2) aspek
pembersihan dan pembentukan tingkah laku dengan akhlak al-karimah
(wa yuzakkihim); (3) aspek rasionalitas dan transformasi ilmu pengetahuan
(wa yu’allimuhum al-kitab); dan (4) aspek psikomotorik (wa al-hikmah).
3. Implikasi Konsep khalifatullah menurut M. Quraish Shihab terhadap
dasar-dasar dan tujuan pendidikan Islam. Yaitu bahwasannya konsep
khalifatullah juga harus mendasarkan dan melaksanakan pendidikan
menurut Islam yang bersumber kepada al-Qur‟an dan As-Sunnah
Rasulullah SAW. guna mewujudkan pribadi muslim seutuhnya. Yang pada
hakikatnya tujuan akhir dari pendidikan Islam itu adalah membentuk
kepribadian muslim atau insan kamil dengan pola takwa yaitu
terbentuknya pribadi yang beriman, berakhlak, berilmu dan
berketerampilan yang senantiasa berupaya mewujudkan dirinya dengan
baik secara maksimal guna memperoleh kesempurnaan hidup karena
didorong oleh sikap ketakwaan dan penyerahan dirinya kepada Allah SWT
agar memperoleh ridha-Nya.
B. Implikasi
1. Pentingnya memahami konsep khalifatullah dalam diri manusia (sebagai
pemegang amanah Allah) untuk mengelola bumi.
2. Konsep khalifatullah mempunyai banyak makna dalam tafsiran M.
Quraish Shihab.
3. Konsep khalifatullah mempunyai implikasi terhadap pendidikan Islam,
yaitu yang melibatkan pendidikan Islam dalam menekankan kurikulum
pendidikan lebih kepada nilai-nilai Ilahiah.
81
4. Lebih mengenal bagaimana pemikiran M. Quraish Shihab terhadap
konsep khalifah.
C. Saran-saran
Dalam penulisan skripsi ini, perlu kiranya penulis menyampaikan
saran kepada berbagai pihak, utamanya para lembaga atau institute
pendidikan, praktisi pendidikan, dan masyarakat, sebagai berikut:
1. Kepada para lembaga atau institute pendidikan, bahwasannya dalam
menentukan suatu sistem pendidikan atau kurikulum pendidikan,
sebaiknya lebih memperhatikan kepada nilai-nilai Ilahiah, seperti nilai-
nilai akidah dan akhlak. Sehingga akan terciptanya manusia yang
berkepribadian sempurna dengan mendekatkan diri kepada Allah, di
mana juga manusia itu merupakan khalifatullah yang berfungsi sebagai
pemegang amanah untuk mengelola bumi.
2. Kepada praktisi pendidikan (guru, staf pengajar, ustadz, dll), hendaknya
menanamkan nilai-nilai akhlak, yang merupakan sebagai contoh kepada
para peserta didik khususnya dan masyarakat umum. Guna akan
terpeliharanya hubungan yang baik antara manusia dengan manusia,
hubungan manusia terhadap Allah, dan juga hubungan manusia dengan
Alam.
3. Kepada masyarakat, bahwasannya setiap manusia itu mempunyai amanat
untuk memelihara dan menjaga bumi yang diberikan oleh Allah.
Sehingga kita sebagai makhluk Allah, harus bisa menjaga keharmonisan
antar sesama makhluk ciptaan Allah, dengan cara saling menghormati
dan menghargai sesama.
82
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdur Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut Al
Quran serta Implementasinya, Bandung: Diponegoro, 1991.
Abdullah, Abdurahman Saleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,
Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2008.
Al-Aqqad, Abbas Mahmud, Manusia Diungkap Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993.
Al-Baghdadi, Abdurrahman, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam,
Surabaya: Al-Izzah, 1996.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi (Terj), Semarang: Thoha Putra,
1989.
Al-Quraibi, Ibrahim, Tarikh Khulafa, Jakarta: Qisthi Press, 2009.
Al-Rasyidin &Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005.
Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Dari
Falsafatut Tarbiyyah al-Islamiyah oleh Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979.
Arief, Armai, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Wahana Kardofa, 2010.
, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat
Press, 2002.
83
Arifin, Anwar, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-
Undang SISDIKNAS, Jakarta: Detjen Kelembagaan Agama Islam Depag,
2003.
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Ogos Wacana Ilmu, 2002.
Badawi, Konsep Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam (Telaah
Lafadz ‘al-Insan” dalam Al-Qur’an), Semarang: Institut Agama Islam
Negeri Walisongo, 2008. tidak dipublikasikan.
Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1996.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Dept. Agama RI, 1982.
Federspiel, Howard M., Kajian al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus
Hingga Quraish Shihab, Ter. Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996.
Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2007.
Hamka, Tafsir Al-Azhar (juz. I), Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982.
Hasan, Muhammad Tholhah, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta:
Lantabora Press, 2004.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006.
84
Hilwah, Eksistensi Manusia Sebagai Khalifah dan Implikasinya terhadap Taklif
Syari’ah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. tidak
dipublikasikan.
Ilahi, Muhammad Takdir, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012.
Irfan, Mohammad, Teologi Pendidikan; Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan
Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2000.
Jalaludin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Jalal, Abdul Fattah, Azaz-azaz Pendidikan Islam, Bandung: CV. Diponegoro,
1988.
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katrsir, (terj), Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah, 2009.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Yogyakarta: INHIS-Pustaka Pelajar,
1996.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif,
1962.
Mastuhu, Teologi Pendidikan, Friska Agung Insani, 2000.
Mufid, Sofyan Anwar, Islam dan Ekologi Manusia: Paradigma Baru, Komitmen
dan Integritas Manusia dalam Ekosistemnya, Refleksi Jawaban atas
Tantangan Pemanasan Global (Dimensi Intelektual, Emosional dan
Spiritual), Bandung: NUANSA, 2010.
Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, Cirebon: Pustaka DINAMIKA, 1999.
85
, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Mujib, Abdul & Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: KENCANA,
2008.
Munawwir, Ahmad Warson, Al munawwir, Kamus Arab - Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Naja, Muhammad Safinun, Konsep Khalifatullah dalam Perspektif M. Quraish
Shihab Sebagai Kepemimpinan Pengembangan Pendidikan Islam,
Malang: Universitas Islam Negeri Malang, 2007. tidak dipublikasikan.
Narbuko, Chalid & Abu Achmadi, Metododlogi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara,
2009.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.
Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005.
, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada , 2005.
Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA
tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001.
Nurhamzah, “Media Pendidikan; Nilai-nilai Tujuan Pendidikan Islam Menurut
Ibnu Khaldun”, Jurnal Pendidikan Keagamaan, Vol. XXIV, 2009.
Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2013.
Priatna, Tedi, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004.
86
Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1993.
Qutb, M., Sistem Pendidikan Islam (terj. Salman Harun ), Bandung: Al-Maarif,
1993.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fizilali Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jakarta:
Gema Insani Press, 2003.
Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedia Al-Quran, Jakarta: Paramadina, 1996.
Sabri, M. Alisuf , Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1997.
, Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 2001.
, Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 2007.
Soleha & Rada, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: PT. Alfabeta, 2011.
Sudjiono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2007.
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
TENTANG PENULIS
Nama Lengkap Khoirunnisa Fadliah. Lahir di jl. SMP 87
Rt. 001 Rw. 012 No. 20 A, Pondok Pinang Keb. Lama,
Jakarta Selatan. Adalah seorang Mahasiswi pada Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ia anak Perempuan pertama dari pasangan suami istri,
ayahnya bernama Drs. H. Baihaki Madani M. Pd.I dan
ibunya bernama Hj. Nurlaili. Pekerjaan ayahnya sebagai
PNS (Kepala Sekolah) di Sekolah Dasar Negeri, sedangkan
ibunya sebagai ibu rumah tangga.
Ia menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 2003 di MI Nurussalam, kemudian
melanjutkan pendidikan di MTs. Nurussalam dan tamat pada tahun 2006, setelah
itu melanjutkan pendidikan di MAN 4 Model Jakarta dan tamat pada tahun
2009. Kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di
Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan mendapatkan gelar S1 pada tahun 2014.