KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ANGGOTA TNI...
Transcript of KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ANGGOTA TNI...
KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ANGGOTA TNI DI
INDONESIA DALAM TEORI MASLAHAH MURSALAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
PUPUT NADIA SAPITRI
NIM: 11150440000063
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Puput Nadia Sapitri. Nim 11150440000063. KONSEP KAFA’AH DALAM
PERKAWINAN ANGGOTA TNI DI INDONESIA DALAM TEORI MASLAHAH
MURSALAH. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. xiii- 64
Halaman + lampiran 23
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan konsep Kâfa’ah dalam
perkawinan anggota TNI, apakah sesuai dengan hukum Islam, serta analisis
Maslahah Mursalah terhadap konsep Kâfa’ah ini.
Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif empiris dan kepustakaan
(Library Research) yaitu dengan mempelajari literatur literatur, peraturan
pengundang-undangan, buku-buku serta tulisan tulisan para sarjana yang berkaitan
dengan skripsi ini.
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi
dokumen dan wawancara. Data yang telah dihimpun dianalisis menggunakan metode
deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.
Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa anggota militer mempunyai konsep
tersendiri dalam menentukan Kâfa’ah, yaitu pangkat. Kedudukan pangkat sangat
berpengaruh dalam kedinasan. Pangkat menjadi ukuran yang sangat penting dalam
memilih pasangan hal itu ditunjukan kepada anggota Kowad (Korps Wanita
Angkatan Darat) yang terbentuk dalam suatu aturan bahwasannya “Calon suami yang
berasal dari TNI, harus dalam pangkat yang sama atau lebih tinggi, pada saat
pengajukan izin pernikahan”
Aturan ini dibuat sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian atasan terhadap
bawahannya agar terciptanya kemaslahatan dan mencegah kemudharatan. Agar
anggota Kowad tidak salah dalam memilih calon pendamping hidup, agar mereka
mampu menyamakan visi dan misi dalam mengarungi bahtera rumah tangga
disamping tugasnya yang berat sebagai abdi negara. Serta untuk menjaga harga diri
v
suami sebagai kepala keluarga yang seharusya menjadi pemimpin keluarga,
mengindari agar istri tidak nusyuz dan untuk mencegah permasalahan yang akan
terjadi dikemudian hari, maka idealnya memang laki-laki harus diatas perempuan.
Baik dalam segi pangkat, pendidikan ataupun gaji.
Tujuan lainnya yaitu agar tercapainya tujuan perkawinan itu sendiri
(membentuk keluarga sakinah, mawadah warahmah), walaupun tujuan perkawinan
tidak mutlak dicapai hanya karena ke kufu’an semata, namun sekufu’ mampu menjadi
penopang utama disamping faktor agama dan akhlak yang baiklah yang jauh lebih
penting yang diutamakan. Hal itu juga untuk mencegah terjadinya kerusakan dalam
perkawinan (perceraian), menjaga keharmonisan rumah tangga prajurit sebab tugas
anggota TNI yang berat harus ditopang oleh keluarga yang kuat dan harmonis.
Aturan ini sejalan dengan teori Maslahah Mursalah ”menolak kerusakan
lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.” Latar belakang diterapkannya
konsep Kâfa’ah dalam perkawinan adalah untuk menghindari konflik dalam
perkawinan dan dibentuknya aturan ini untuk mencegah terjadinya hal yang tidak
diingkinkan dikemudian hari.
Kata Kunci: Kâfa’ah, Perkawinan, Maslahah Mursalah, keharmonisan,
Pembimbing : Indra Rahmatullah S.H, M.H
Daftar Pustaka : 1994 s.d. 2018
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat
diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
vii
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ˋ ء
Y Ya ي
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal atau
monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong,
ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
viii
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
â a dengan topi di
atas
î i dengan topi di
atas
û u dengan topi di
atas
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (ال),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
al-ijtihâd =اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah =الرخصة
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
.al-syuf’ah tidak ditulis asy-syuf’ah =الشفعة
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
“t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
ix
syarî’ah شريعة 1
al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: البخاري= al-Bukhâri
tidak ditulis Al- Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa
Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:
No Kata Arab Alih Aksara
الضرورة تبيح المحظورات 1al-darûrah tubîhu al-
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
األصل في األشياء اإلباحة 4al-‘asl fî al-asyya al-
ibâhah
al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‘alamin segala puji serta syukur dipanjatkan kepada
Allah SWT, tuhan yang mengatur seluruh kehidupan dan penguasa seluruh kehendak
hati manusia. Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan selamanya kepada
uswah hasanah kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada
umatnya bagaimana memaknai hidup ini sesungguhnya, tak lupa kepada keluarganya,
sahabat dan umatnya yang senantiasa kukuh dan istiqomah dalam memegang
sunnahnya sampai hari pembalasan.
Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar I Program Studi
Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
penulis banyak mendapat bantuan dan sumbangan otivasi dari berbagai pihak,
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, izinkan
penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar besarnya
kepada :
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ibu Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar
Lubis Lc. MA.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M. Ag sebagai Ketua Program Studi Hukum
Keluarga.
4. Bapak Indra Rahmatullah, S.HI, M.H sebagai dosen pembimbing ditengah
kesibukannya beliau telah banyak meluangkan waktu serta memberikan arahan
dan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini
5. Bapak Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, M.A., selaku dosen penasihat akademik
yang selalu menasihati dan membimbing penulis selama kuliah.
6. Segenap dosen, staf perpustakaan, karyawan-karyawan, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah banyak memberi ilmu dan
memfasilitasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta.
xi
7. Kepada Bapak Heri, Kapten Caj (K) Fitri Handayani, Kolonel Caj Drs. Abu
Haris Mutohar, M.S.I, Mayor. Inf Maspilu S.Ag, , Letkol (K) Diana, Serka (K)
Aprimiyati dan Staf Bintalad yang telah membantu penulis dalam memberikan
wawancara dan memperoleh data yang penulis butuhkan dalam penulisan skripsi
8. Kepada Bapak Ahmad, Ibu Ida, Kakak Desi Lawati dan Dado Muhayar yang
selama ini selalu menjaga, merawat, mendidik dan mendorong serta
membimbing dalam penulisan skripsi. Mereka adalah salah satu alasan bagi
penulis untuk secepatnya menyelesaikan skripsi.
9. Kepada team Napusha yang sangat kompak dan membantu penulis dalam
menjalankan roda perputaran bisnis.
10. Kepada Siti Dzul Rahmat Al Istiqlali dan Alawiyah yang dengan setulus hati
memberikan tempat singgah kepada penulis saat berada di Ciputat.
11. Kepada teman seperjuangan Hukum Keluarga 2015.
12. Kepada sahabat, teman seperjuangan dan sepermainan penulis, Siti Nelly Safitri,
Alfia Rahma Ramadhani, Nada Ulya Qinvi, Asa Hikmatul, Lailatun Najah,
Rahmah Sulistiani, Siti Nurmuhalillah, Muthiarafa Adila, Syahra Irfani, Elliyani
Fikriyah, Vania, Windia, Tasya Annisa, Gusniar Auvina Berty, KUNCI, dan
KKN 45. Terima kasih saya ucapkan atas do’a, dukungan, dan semangat. Serta
rasa bahagia, sedih, dan susah yang selama ini kita tempuh bersama.
Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan mudah mudahan semua yang
telah penulis lakukan mendapat ridha Allah SWT, dan semoga skripsi ini bermanfaat.
Amin
Jakarta, 10 Mei 2019
Puput Nadia Sapitri
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ….......………………………………………….. ii
PENGESAHAN PANITIA UJUAN ………………………………………. iii
ABSTRAK …………………………………………………………………... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………………. vi
KATA PENGANTAR …………………….…………………………………. x
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah .............................................................................. 6
D. Rumusan Masalah .................................................................................. 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
F. Kajian Pustaka atau Studi Review Terdahulu ...................................... 7
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ............................................... 9
H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KAFA’AH ................................... 13
A. Pengertian Kâfa’ah ................................................................................ 13
B. Dasar Hukum Kâfa’ah ........................................................................... 16
C. Ukuran Kâfa’ah dalam Islam ................................................................ 18
D. Implikasi Kâfa’ah Terhadap Tercapainya Tujuan Perkawinan .............. 22
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MASLAHAH MURSALAH .... 25
A. Pengertian Maslahah Mursalah ........................................................... 25
B. Syarat- Syarat Maslahah Mursalah ...................................................... 27
C. Macam- Macam Maslahah Mursalah .................................................... 28
D. Kehujjahan Maslahah Mursalah ........................................................... 33
BAB IV KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ANGGOTA
TNI DI INDONESIA ....................................................................... 35
A. Perkembangan Konsep Kâfa’ah Terhadap Perkawinan Anggota TNI di
Indonesia .............................................................................................. 35
B. Tata Cara Perkawinan Bagi TNI ............................................................ 43
1. Perkawinan di TNI Dalam Peraturan Panglima TNI Nomor 50
Tahun 2014 Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian dan
xiii
Rujuk .............................................................................................. 43
2. Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit TNI AD Dalam
Buku Petunuk Teknis Nomor Kep/496/VII/2015 ............................ 46
C. Analisis Maslahah Mursalah Terhadap Konsep Kafa’ah dalam
Perkawinan Anggota TNI di Indonesia ................................................. 50
BAB V PENUTUP . ..........................................................................................
A. Kesimpulan .......................................................................................... 58
B. Saran ...................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 61
LAMPIRAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sangat menganjurkan pernikahan, dengan memenuhi rukun dan
syaratnya serta terhindar dari hal-hal yang dilarang dalam pernikahan seperti telah
diatur dalam al-Quran dan Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Larangan perkawinan adalah larangan untuk kawin antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan. Secara garis besar larangan perkawinan antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan menurut Syara’ terbagi yaitu larangan abadi dan
sementara. Diantara halangan-halangan abadi yang telah disepkati ada 3 yaitu nasab,
(keturunan), pembesanan dan sesusuan. Halangan sementara ada 9 yaitu halangan
bilangan, halangan pengumpulan, halangan kehambaan, halangan kafir, halangan
ihram, halangan sakit, halangan ‘iddah, halangan perceraian tiga kali bagi suami
yang menceraikan. dan halangan peristrian.1
Dalam Undang Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dilarang
antara dua orang yang: berhubungan darah dalam garis keturunan kebawah atau
keatas, berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ bapak
tiri. Berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan. Berhubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang
suami beristri lebih dari seorang. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.2
1Abdul Rahman Ghozali, Fiqh munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2013), h. 103-
104.
2
.
Meskipun terdapat larangan dalam pernikahan pada dasarnya agama Islam
sangat menganjurkan pernikahan, begitu juga dengan anggota TNI (Tentara Nasional
Indonesia) sebagai abdi negara, kehidupan prajurit TNI pada umumnya dituntut
dengan kedisiplinan dalam melaksanakan tugasnya sebagai alat pertahanan negara.
Peran dan tugas anggota TNI yang berat perlu ditunjang oleh keluarga yang
harmonis.
Seorang anggota TNI yang ingin melaksanakan pernikahan harus
mengajukan permohonan kepada pejabat agama yang ditunjuk di lingkungan TNI.
Untuk mendapatkan persetujuan dan bimbingan, permohonan izin pernikahan harus
memenuhi syarat, yaitu: tidak membawa dampak negatif yang merugikan nama baik
satuan/kedinasan dan sehat jasmani maupun rohani bagi kedua calon suami/istri.
Selain persyaratan tersebut, ada juga kelengkapan administrasi yang harus terpenuhi.3
Bimbingan pernikahan dilakukan karrna seorang prajurit dan calon istrinya
harus mempunyai pondasi yang kuat agar tetap saling mendukung dan
mempertahankan rumah tangganya. Karna, tidak sedikit pasangan calon yang
mengalami kekhawatiran tentang apa yang terjadi dalam perkawinan. Mengingat
bahwa tugas bela negara harus didahulukan, baru kemudian istri dan keluarganya.
Semua istri prajurit mau tidak mau harus siap ditinggal kapan saja untuk bertugas,
dan harus siap menerima resiko apapun bahkan paling buruk sekalipun.4
Ketentuan tersebut pada prinsipnya diberlakukan juga pada anggota Kowad
(Korps Wanita Angkatan Darat). Meskipun demikian ada hal khusus yang harus
ditaati oleh Kowad sebagaimana diatur dalam Petunjuk Teknis tentang Pembinaan
Korps Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/ 1022/XII/2016 Tanggal 14 Desember
2016, yaitu:
3 Buku Petunjuk Teknis tentang tatacara perkawinan, perceraian dan rujuk bagi Anggota TNI
AD yang didapatkan dari Kodim 0503 Grogol 4 Fajar Kurnia Sari, Bimbingan Perkawinan Prajurit TNI AD dalam mewujudkan keluarga
sakinah di kodam I Bukit Barisan” (Skripsi SI Fakultas akwah dan Komunikasi Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara,2018), h. 51
3
.
Ketentuan/persyaratan pengajuan administrasi pernikahan, perceraian dan
rujuk bagi personel Kowad pada prinsipnya sama dengan prajurit TNI AD pada
umumnya dan persyaratan khusus diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
Calon suami yang berasal dari TNI, harus dalam pangkat yang sama atau lebih
tinggi, pada saat pengajukan izin pernikahan. Apabila bukan prajurit TNI, harus
mempunyai pekerjaan tetap, dengan melampirkan surat keterangan dari instansi
dimana calon bekerja dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan melampirkan NPWP bagi wiraswastawan.5
Dari ketentuan diatas yang menjadi perhatian penulis dalam Petunjuk Teknis
tentang Pembinaan Anggota Korps Wanita Angkatan darat Nomor KEP/
1022/XII/2016 Tanggal 14 Desember 2016 “Calon suami yang berasal dari TNI,
harus dalam pangkat yang sama atau lebih tinggi, pada saat pengajukan izin
pernikahan” Artinya seorang anggota Kowad dilarang menikah dengan anggota TNI
yang pangkatnya lebih rendah darinya, ia hanya diperbolehkan menikah dengan
anggota TNI yang pangkatnya sejajar atau lebih tinggi darinya.
Larangan seorang Kowad menikah dengan calon suami yang pangkatnya
lebih rendah darinya juga tertuang di dalam Peraturan Panglima Tentara Nasional
Indonesia Nomor 50 tahun 2014 tentang Tatacara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk
bagi Prajurit
(1) Prajurit dilarang Hidup bersama dengan wanita/laki-laki tanpa ikatan suami istri
yang sah sesuai dengan peraturan perundang undangan.
(2) Prajurit wanita dilarang melaksanakan perkawinan dengan prajurit pria yang lebih
rendah pangkatnya6
Dalam Buku Petunjuk Teknis Tentang Berlakunya Tata Cara Perkawinan,
Perceraian dan Rujuk Bagi TNI AD Nomor KEP/496/VII/2015 Tanggal 27 Juli 2015
5 Buku Petunjuk Teknis tentang Pembinaan Korps Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/
1022/XII/2016 Tanggal 14 Desember 2016 6 Peraturan Panglima tentara Indonesia Nomor 50 tahun 2014
4
.
yang menyatakan bahwa Prajurit wanita dilarang melaksanakan perkawinan dengan
prajurit pria yang lebih rendah golongan pangkatnya.7
Jika diamati lebih lanjut aturan ini memberikan batasan kepada anggota
Kowad untuk memilih pasangan hidupnya. Padahal memilih pasangan hidup adalah
hak setiap orang selama tidak bertentangan dengan Syariah agama.
Dalam Islam terdapat anjuran memilih pasangan yang sekufu’. Agar dapat
menyatukan visi dan misi dalam menjalani kehidupan Kâfa’ah sama dengan setara,
seimbang, sesuai, sederajat, atau sebanding.8
Kâfa’ah atau sekufu’ dalam perkawinan ialah laki laki sebanding dengan
calon istri sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat
dalam akhlak dan kekayaan. Jadi, tekanan dalam Kâfa’ah adalah keseimbangan,
keharmonisan dan keserasian terutama dalam hal agama yaitu akhlak dan ibadah.9
Realisasi penerapan Kâfa’ah dalam masyarakat mengharuskan kesepadanan
pekerjaan, profesi ataupun kondisi sosial misalnya seorang dokter dengan dokter,
seorang tani dengan tani, keturunan teuku dengan teuku, keturunan sayyid dengan
syarifah.10
Kâfa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/ istri, namun tidak
menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kâfa’ah adalah hak bagi perempuan dan
walinya, karena jika perkawinan tidak serasi dan seimbang maka akan banyak
problematika yang akan dihadapi dikemudian hari dan bisa berakibat pada
perceraian,11 hal ini juga untuk mencegah adanya aib pada istri atau walinya juga
sebagai jaminan keharmonisan dalam rumah tangga. Hal ini karena gaya hidup dan
7 Surat Keputusan Nomor kep/496/VIII/2015 tentang Pengesahan Berlakunya Buku Petunjuk
Teknik Tentang Nikah Talak Cerai Rujuk 8 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh munakahat, h. 96. 9 Abidin Slamet, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 50. 10 Munazirah,” Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah”,
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Rainy Aceh, 2018), h.19. 11 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh munakahat, h. 97.
5
.
pencaharian keduanya berdekatan dan membuat keduanya bahagia. Tidak
membahayakan salah satu dari mereka bila mengubah kebiasaan.12
Berbeda hal nya dalam ruang lingkup TNI Kâfa’ah menjadi syarat sah
perkawinan. Jika suami dari anggota Kowad berpangkat lebih rendah maka mereka
tidak dapat melangsungkan perkawinan kecuali satu diantara mereka mengundurkan
diri dari anggota TNI.13
Latar Belakang adanya metode penetapan Kâfa’ah dalam Petunjuk Teknis
tentang Pembinaan Korps Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/ 1022/XII/2016 agar
Kowad tidak salah memilih pasangan, menjaga kehormatan dan harga diri suami
baik dalam lingkungan keluarga maupun di lingkungan TNI, menghindari
percecokan dalam rumah tangga, serta menyamakan visi dan misi dalam
menjalankan tugas. Karena dalam ruang lingkup TNI bawahan harus hormat kepada
atasan, suami adalah kepala keluarga, jika seorang istri pangkatnya lebih tinggi dari
suaminya otomatis ia harus hormat kepada istrinya, kesannya akan seperti terbalik.
Dan juga jika istri pangkatnya lebih tinggi memungkinkan ia akan merasa seperti
pemimpin dalam keluarga dan dikhawatirkan akan nusyuz kepada suami. Maka,
untuk menghindari hal itu dibentuklah aturan dalam Petunjuk Teknis tentang
Pembinaan Korps Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/ 1022/XII/2016, Peraturan
Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 tahun 2014 Tentang Tatacara
Perkawinan, Perceraian dan rujuk bagi Prajurit TNI AD, dan dalam Buku Petunjuk
Teknis tentang Pengesahan Berlakunya Buku Petunjuk Teknik Tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi TNI AD Nomor KEP/ VII/2015. Tanggal 27
Juli 2015.14
12 Musthafa al Bugha dkk, Fiqih manhaji, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2012), h. 632-633. 13 Maspilu, Kepala Bagian Perawatan dan Rohis, Interview Pribadi, Jakarta 10 Februari
2019. 14 Vina Vindura, "Metode Penetapan Kafa'ah dalam Juklak no 1/II/1986 Persfektif Hukum
Islam". Al Hukma, 6, 2, (2006), h. 341.
6
.
Dari latar belakang diatas penulis ingin melakukan penelitian dengan judul
“Konsep Kâfa’ah dalam perkawinan anggota TNI di Indonesia dalam teori
Maslahah Mursalah “
B. Identifikasi Masalah
Dari Latar belakang masalah tersebut penulis mengidentifikasikan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang melatar belakangi metode penetapan Kâfa’ah dalam Petunjuk Teknis
tentang Pembinaan Korps Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/ 1022/XII/2016,
Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 tahun 2014 Tentang
Tatacara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk bagi Prajurit TNI AD, dan dalam
Buku Petunjuk Teknis tentang Pengesahan Berlakunya buku Petunjuk Teknik
Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi TNI AD Nomor KEP/
VII/2015. Tanggal 27 Juli 2015.
2. Bagaimana Perkembangan Konsep Kâfa’ah terhadap perkawinan anggota TNI di
Indonesia?
3. Bagaimana Konsep Kâfa’ah dalam perkawinan anggota TNI di Indonesia dalam
teori Maslahah Mursalah ?
4. Bagaimana Implementasi Konsep Kâfa’ah dalam perkawinan anggota TNI di
Indonesia dalam membentuk keluarga yang harmonis?
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai
yang diharapkan penulis. Penulis akan membahas tentang perkembangan konsep
Kâfa’ah terhadap perkawinan anggota TNI di Indonesia serta bagaimana konsep
Kâfa’ah itu dalam teori Maslahah Mursalah. Penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif dengan pola pikir deduktif.
7
.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Kâfa’ah terhadap perkawinan anggota TNI di
Indonesia?
2. Bagaimana Konsep Kâfa’ah dalam perkawinan anggota TNI di Indonesia dalam
teori Maslahah Mursalah?
E. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan dengan tujuan yaitu :
a. Untuk mengetahui Perkembangan Kâfa’ah terhadap perkawinan anggota TNI
di Indonesia
b. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Kafa’ah dalam perkawinan anggota TNI
di Indonesia dalam teori Maslahah Mursalah.
2. Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Sebagai Input dan referensi bagi mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum
terutama jurusan Hukum Keluarga, untuk mengetahui Konsep Kâfa’ah dalam
perkawinan anggota TNI.
b. Bagi kalangan Civitas Akademisi, diharapkan penelitian ini menjadi tambahan
khazanah ilmu pengetahuan di Universitas Syarif Hidayatullah dan khususnya
Fakultas Syari’ah dan hukum di jurusan Hukum Keluarga
c. Bagi Anggota TNI dan Kowad diharapkan menjadi pengetahuan dan referensi
mengenai konsep Kâfa’ah.
F. Review Kajian Terdahulu
Dalam penulisan karya ilmiah ini, sebelum penulis mengadakan penelitian
lebih lanjut dan menyusun menjadi sebuah karya ilmiah berupa skripsi, maka
sebelumnya penulis akan mengkaji skripsi, thesis, disertasi, jurnal dan artikel yang
mempunyai judul hampir sama dengan penulis. Maksudnya dari pengkajian ini
8
.
adalah agar dapat kita ketahui bersama bahwa apa yang penulis teliti berbeda dengan
peneliti skripsi sebelumnya.
Berikut judul beberapa karya ilmiah yang hampir sama dengan penulis teliti
diantaranya:
1. Vina Vindura (2006). Penelitian ini menjelaskan apa yang menjadi latar
belakang adanya pembentukan metode Kâfa’ah dalam juklak no 1/II/1986 dan
analisis hukum Islam terhadap pembentukan juklak no 1/II/1986. Persamaan
dalam penelitian kami adalah bahwa kami sama sama membahas Kâfa’ah di
TNI. Perbedaan dalam penelitian ini adalah objek yang kami gunakan berbeda,
dalam penelitian ini data yang digunakan juklak no 1/ II/1986 sedangkan data
yang saya gunakan Juknis tentang Pembinaan Korps Wanita Angkatan Darat
Nomor KEP/ 1022/XII/2016 Tanggal 14 Desember 2016. Perbedaan lain juga
dalam jurnal ini membahas mengenai latar belakang adanya pembentukan
metode Kâfa’ah dalam Juklak no I/II/1986 dengan tujuan mencapai tujuan
perkawinan sebab dalam lingkungan TNI bawahan harus hormat terhadap
atasan. Jika Suaminya pangkatnya dibawah istrinya maka ia harus hormat
kepada istrinya sementara yang menjadi kepala keluarga adalah suami bukan
istri. Maka dari itu juklak no 1/II/1986 dibentuk untuk menghindari
percekcokan yang akan terjadi dikemudian hari dalam rangka membentuk
keluarga harmonis. Perbedaan dalam penelitian ini penulis lebih menitik
beratkan konsep Kâfa’ah dan perkawinan anggota TNI yang akan dibahas lebih
dalam lagi dengan menggunakan teori Maslahah Mursalah.15
2. Rusdiani (2014). Persamaan penelitian kami yaitu pada tema Kâfa’ah namun
objek yang kami teleti berbeda, penelitian penulis objeknya anggota TNI/
Kowad sedangkan dalam skripsi ini objeknya syahid/ syarifah di masyarakat
Sindere. Dalam skripsi ini menjelaskan mengenai konsep Kâfa’ah dalam
perkawinan masyarakat Sayyid. Keturunan sayyid hanya boleh menikah
15 Vina Vindura, "Metode Penetapan Kafa'ah dalam Juklak no 1/II/1986 Persfektif Hukum
Islam". Al Hukma, 6, 2, (2006), h. 369-370.
9
.
dengan keturunan perempuan sayyid (syarifah). Begitu juga keturunan syarifah
hanya boleh menikah dengan keturunan sayyid. Jika mereka menikah dengan
non syahid maka akan mendapat sanksi dari masyarakat yaitu pengingkaran
dari keluarganya bahwa perempuan tersebut bukan lagi dari keluarga besar
mereka serta perempuan tersebut tidak boleh tinggal dikampung halaman orang
tuanya.16
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Metode Penelitian
Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara
kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai
upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah dan termasuk keabsahannya, adapun penelitian merupakan proses
pengumpulan dari analisis data yang dilakukan secara sistematis, untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu, pengumpulan dari analisis data dilakukan secara ilmiah,
baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif, eksperimental maupun non-
eksperimental, interaktif maupun non interaktif.17
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah Penelitian Normatif Empiris
dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu
penelitian yang objek kajiannya meneliti dengan cara menelaah literatur yang
difokuskan pada bahan-bahan pustaka. Sumber-sumber yang diperoleh dari
16 Rusdiani, “Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan Masyarakat Sayyid ditinjau dari Hukum
Islam” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri ALauddin Makassar,
2014), h. 6-7. 17 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h. 23.
10
.
berbagai karya tulis buku, artikel, jurnal, majalah, yang secara langsung
maupun tidak langsung, juga dengan wawancara subjek yang diteliti.18
b. Sumber Data
Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam mengumpulkan
data, yakni sumber primer dan skunder, yang secara teknis dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung terhadap
anggota Kowad, anggota TNI dan studi kepustakaan yang mempunyai
relevansi terhadap konsep Kâfa’ah dalam perkawinan anggota TNI.
2) Data Sekunder
Data Sekunder merupakan data pendukung data primer.
a) Bahan Hukum Primer, berupa peraturan internal TNI, Petunjuk Teknis
tentang Pembinaan Korps Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/
1022/XII/2016, Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia
Nomor 50 tahun 2014 Tentang Tatacara Perkawinan, Perceraian dan
Rujuk bagi Prajurit, dan Buku Petunjuk Teknis Tentang Pengesahan
Berlakunya Buku Petunjuk Teknik Tentang Tata Cara Perkawinan,
Perceraian dan Rujuk Bagi TNI AD Nomor KEP/ VII/2015 tanggal 27
Juli 2015
b) Bahan Hukum Sekunder, yang berasal dari buku-buku ushul fiqh,
qawaid fiqhiyah serta semua hasil penelitian berupa jurnal, artikel
yang berkaitan dengan objek penelitian.
c) Bahan Hukum Tersier, kamus hukum.
18 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), cet. 12, h. 47.
11
.
2. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan sebagai salah satu proses mendapatkan
data.19 Adapun sumber data yang dilakukan penulis yaitu dengan menggunakan
Teknik diantaranya :
a. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsi-konsepi, teori-teori,
pendapat-pendapat, atau penemuan hukum yang berhubungan dengan
permasalahan pada penulisan ini.
b. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat mengumpulkan
data penelitian untuk mengetahui sumber kejadian secara langsung melalui
beberapa narasumber. Dalam penulisan ini penulis melakukan wawancara
terhadap anggota Kowad yang menikah dengan anggota TNI ataupun bukan
Anggota TNI, Kepala Bagian Perawatan dan Rohis dan juga anggota TNI.
3. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deduktif yaitu metode yang
dilakukan pada proses analisis data yang bersifat umum dan memiliki kesamaan
unsur sehingga dapat digeneralisasikan menjadi kesimpulan khusus, Analisa yang
dilakukan yaitu mengenai Konsep Kâfa’ah dalam Islam secara umum kemudian
ditarik menjadi aturan Perkawinan Anggota TNI di Indonesia dalam teori
Maslahah Mursalah secara khusus.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian skripsi ini dibagi menjadi
lima bab yang saling berkaitan.
Bab pertama dalam penelitian ini berisi pendahuluan yang meliputi latar
belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi masalah,
19 Ulber Silalahi, Metode penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 280.
12
.
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas secara umum Kâfa’ah, Pengertian Kâfa’ah, Dasar
Hukum Kâfa’ah, Ukuran Kâfa’ah Implikasi Kâfa’ah terhadap Tecapainya Tujuan
Perkawinan.
Kemudian pada Bab ketiga penulis membahas mengenai Maslahah Mursalah,
Pengertian Maslahah Mursalah, Syarat Syarat Maslahah Mursalah, Macam Macam
Maslahah Mursalah, dan Kehujjahan Maslahah Mursalah.
Selanjutnya pada Bab keempat penulis akan menguraikan hasil analisis yang
didapat dari Perkembangan Konsep Kâfa’ah Terhadap Perkawinan Anggota TNI
dan Analisis teori Maslahah Mursalah dalam Konsep Kâfa’ah dalam perkawinan
anggota TNI di Indonesia
Kemudian pada Bab ke lima yaitu merupakan bab terkahir dari rangkaian
skripsi ini, penulis akan memberikan hasil kesimpulan dan saran, dan pada bab ini
merupakan rangkaian penutup dari skripsi ini.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KAFA’AH
A. Pengertian Kafa’ah
Kâfa’ah berasal dari Bahasa Arab (كفىء) berarti sama atau setara. Kata ini
terdapat dalam al Qur’an yang berarti setara atau sama. Contoh di dalam Al
Qur’an yang terapat dalam surat Al-Ikhlas ayat 4
ولم يكن له كفوا أحد
Artinya “tidak suatu pun yang sama dengan- Nya”1
Dalam istilah fikih sejodoh disebut juga dengan “Kâfa’ah” yang artinya
sama, setara, seimbang dan serasi.2 Secara etimologi kafa’ah berarti, sepadanan,
seimbang dan setara. Secara terminologi fikih muamalah Kâfa’ah berarti
kesepadanan, keseimbangan dan keserasian antar calon istri dan suami baik
dalam fisik, kedudukan, status sosial, dan kekayaan sehingga keduanya merasa
cocok dan dapat melangsungkan pernikahan untuk mencapai tujuan pernikahan.3
Sumber lain juga mengatakan Kâfa’ah atau kufu’ menurut hukum Islam
adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan atau
laki-laki sebanding dengan calon istrinya sama dalam kedudukan sebanding
dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak dan kekayaan. Jadi tekanan
dalam Kâfa’ah adalah keseimbangan, kesepadanan dan keserasian terutama
dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab jika Kâfa’ah diartikan
persamaan dalam hal harta dan kebangsawanan maka akan terbentuk kasta.
1Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group,2006), cet. 1, h. 140. 2 Tihami dan Sohari, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 56. 3 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: elSAS,
2008), cet. 1, h. 12.
14
Sementara Islam tidak membenarkan adanya kasta, karena pada dasarnya
manusia disisi Allah sama, hanya taqwa yang membedakannya.4
Menikah berarti mengikat sesorang untuk menjadi pasangan atau teman
hidup, maka dari itu hendaknya hati hati dan bersungguh sungguh dalam memilih
pasangan agar tidak menyesal dikemudian hari. Memilih calon suami dan istri
penting, sebab pada proses inilah yang akan menentukan sukses atau tidaknya
mengarungi bahtera rumah tangga hingga sampai pada tujuannya.5
Oleh sebab itu sebelum menikah, seseorang harus memilih orang yang
pantas untuk menjadi pasangan hidupnya. Sehingga keluarga pasangannya pantas
menjadi keluarganya dan menantu menjadi anaknya sehingga bangunan yang
didirikannya menjadi kokoh, tegak berdiri. Tentang hal ini Rasulullah
memberikan nasihat : “Pilihlah calon pasangan hidupmu dari orang yang bersih
karena unsur negatif bisa menurun ke Anak”6
Untuk membangun bangun yang kokoh orang akan memilih bahan
bangunan yang berkualitas tinggi, letak yang strategis dan baik demi menjamin
kekuatan dan kekokohannya. Sama halnya dengan membangun rumah tangga
Islam telah meletakan garis panduan untuk memilih pasangan hidup yang sesuai
menurut ajarannya.7
Dalam memilih pasangan hidup, penting sekali untuk memperhatikan
masalah Kâfa’ah. seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Kufu’ yaitu
sepadan atau seimbang antara seorang istri dan suami baik dari status sosial,
pendidikan, akhlak maupun harta.8 atau kufu’. dewasa ini Kâfa’ah mencakup
beberapa hal:
4 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2013), h. 96-
97. 5 Gus Arifin, Menikah Untuk Bahagia, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), h. 16-17. 6 Mahmud Ash-shabbagh, Keluarga bahagia Dalam Islam, (Yogyakarta: CV Pustaka
Mantiq), h. 62. 7 Huzaemah T Yanggo, Hukum keluarga dalam Islam, (Palu: Yamiba, 2013), cet.1, h. 168. 8 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), cet. 2, h. 16.
15
a. Agama dan Kebaikan
Orang Fasik tidak sekufu’ dengan orang yang menjaga diri dari perbuatan
dosa dan saleh. Allah Swt berfirman:
أفمن كان مؤمنا كمن كان فاسقا لا يستوۥن
Artinya: ”Apakah Orang beriman sama dengan orang orang yang fasik ?
Mereka tidak sama” (Qs. As- Sajadah [32]: 18)
b. Mata Pencaharian
Orang yang memiliki mata pencaharian rendah, seperti tukang sapu, tukang
bekam, pengembala, penjaga wc tidak sekufu’ dengan seorang guru, hakim,
dokter atau pedagang.
c. Tidak memiliki cacat permanen, yang bisa dijadikan alasan untuk
membatalkan perkawinan. Jadi orang yang gila atau yang memiliki penyakit
belang tidak sekufu’ dengan orang yang sehat.9
Kesepadanan antara suami dan istri akan lebih menjamin
keharmonisan serta dapat terhindar dari kerusakan rumah tangga hal ini
mengingat bahwa pernikahan merupakan upaya penyatuan dua
kecenderungan yang berbeda semakin banyak persamaan maka semakin
mudah pula untuk meneguhkan kebersamaan dan persatuan antara keduanya.
Semakin banyak perbedaan maka akan semakin sulit untuk meneguhkan
kebersamaan serta akan banyak konflik yang akan dihadapi kedepannya.10
Secara umum sudut pandang yang membenarkan adanya stratifikasi di
bidang perkawinan tetap memprioritaskan aspek keagamaan, artinya dalam
soal agama itu sangat penting untuk dijadikan sebagai tolak ukur dalam
menentukan suatu keputusan yang berkaitan dengan perkawinan11
9 Musthafa al Bugha dkk, Fiqih manhaji, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2012), h. 632. 10Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.1, h. 12-13. 11Syarifah Gustiawati dan Novi Lestari “Aktualisasi Konsep Kafa'ah dalam membangun
keharmonisan Rumah Tangga”. Mizan, 4,1, (2016), h. 37.
16
B. Dasar Hukum Kafa’ah
Kâfa’ah disyariatkan atau diatur dalam perkawinan hukum Islam namun
dalil yang mengaturnya tidak ada yang jelas dalam Al-Qur’an maupun hadist
Nabi maka Kâfa’ah menjadi perbincangan diantara kalangan ulama baik
mengenai kedudukannya dalam Al-Qur’an maupun kriteria dalam penentuan
Kâfa’ah.
Kâfa’ah yang menjadi perbincangan di hampir semua kitab fikih tidak
disinggung dalam undang undang perkawinan di Indonesia, hanya larangan
perkawinan antar agama, itu berarti terdapat penerapan Kâfa’ah dalam aspek
agama. KHI juga memaparkan sedikit tentang pencegahan perkawinan dan yang
diakui sebagai kriteria Kâfa’ah adalah hanya kualitas keberagamaan yang telah
menjadi kesepakatan ulama.12
Pasal 61 “Tidak Se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah
perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-
dien” 13
Allah telah meletakan prinsip prinsip yang benar untuk memilih calon
suami atau istri, untuk itu Al-Qur’an Al Karim menjadikan unsur ketaqwaan
sebagai ukuran bagi prinsip yang kuat yang tidak bisa digantikan dengan ukuran
yang lain:
كم شعوبا وقبائل لتعارفوا نأكرمكم عند ٱللا كم م ن ذكر وأنثى وجعلن أيها ٱلنااس إناا خلقن ي
عليم خبير أتقىكم إنا ٱللا
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
12 Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 1, h.140-144. 13 Kompilasi Hukum Islam
17
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
Prinsip utama yang diletakkan oleh Islam untuk menerima calon
mempelai wanita maupun pria adalah memandang agama si calon. Jika agama si
calon itu baik, maka tinggal mempertimbangkan kekayaan, keturunan dan
kecantikan (Bentuk tubuh). Sebaliknya jika agamanya tidak ada maka tidak ada
lamaran atau perkawinan14
Dasar hukum mengenai Kâfa’ah juga terdapat dalam hadist :
أبي ن ع أبيه عن سعيد أبي دبن سعي ني حدث قال: هللا، عبيد عن يحيى حدثنا مسدد حدثنا
لمالها لربع المرأة ح تنك قال سلام و ه علي اللاهم صلاى النابي عن عنهم اللاهم رضي هريرة
ين بذات فاظفر اولدينه وجمالها ولحسبها اك يد ت رب ت الد
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah SAW bersabda:
“Perempuan dikawini karena empat hal, yaitu karena hartanya, karena
keturunannya/kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya,
hendaklah engkau memilih yang beragama. Pastilah engkau bahagia”. (HR.
Bukhari Muslim).15
Pertimbangan Kâfa’ah dalam memilih pasangan juga diriwayatkan
oleh Aisyah r.a Rasulullah SAW Bersabda
ت خياروالنطفكم وانكحواالكفاء وأنكحواإلي ه م
Artinya: "Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, carilah
mereka yang sekufu' denganmu dan kawinilah mereka".
Dalam hal kedudukannya dalam perkawinan terdapat perbedaan pendapat
diantara ulama. Jumhur ulama termasuk Malikiyah, Syafi’iyah dan Ahlu Ra’yi
(Hanafiyah) dalam satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa Kâfa’ah
14 Mahmud Ash-Shabbagh,. Keluarga Bahagia dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Mantiq,
1993), cet. 5, h. 63. 15 Amir dan Taat Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1994), Cet. 3, h. 36.
18
bukan merupakan syarat dalam perkawinan, dalam arti bahwa Kâfa’ah hanya
anjuran saja, dan tetap sah perkawinan antar orang yang tidak se-kufu (Ibnu
Qudomah ) sebagaimana firman Allah :
أن أكر مكم ع ن د هللا أ ت ق ا ك م
Artinya “ yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah yang paling
bertakwa diantara kamu”16
Sebagian ulama termasuk satu riwayat dari Ahmad mengatakan bahwa Kâfa’ah
termasuk syarat sah perkawinan.jadi perkawinan yang tidak sekufu’ tidak sah.
Dalil yang digunakan oleh kelompok ulama ini adalah sepotong hadist nabi yang
diriwayatkan oleh al-Dar Quthiny yang dianggap lemah oleh kebanyakan
ulama.
ل ت ن ك ح و ا الن س اء ا لا م ن ال ك ف اء و ل ت ز و ج و ه ن أ لا م ن ال و ل ي اء
Artinya : “Jangan lah kamu mengawinkan perempuan kecuali dari yang sekufu’
dan jangan mereka dikawinkan kecuali dari walinya “ 17
C. Ukuran Kafa’ah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan ukuran Kâfa’ah
1. Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidak adanya ukuran Kâfa’ah dalam
pernikahan selama bukan pezina dan Kâfa’ah tidak dijadikan
pertimbangan dalam melangsungkan pernikahan. Ia berpendapat bahwa
semua orang Islam adalah saudara dan ia juga berpendapat bahwasanya
setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh menikah dengan
perempuan muslim, siapapun orangnya asal bukan perempuan pezina.
Ibnu Hazm juga berpendapat bahwa perkawinan seorang budak hitam
dengan perempuan keturunan khalifah Hasyimi tidak lah haram. Seorang
muslim yang fasik asal tidak melakukan zina adalah sekufu dengan
16 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh munakahat, h. 101. 17 Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 1, h.141.
19
perempuan yang fasik dengan syarat perempuan tersebut tidak melakukan
zina18
2. Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa Kâfa’ah harus dijadikan
pertimbangan dalam melangsungkan pernikahan, yang menjadi ukuran
seseorang dikatakan sekufu’ dalam kalangan Malikiyah adalah agama.
Seseorang yang istiqomah dalam menjalankan ajaran agama dan akhlak.
Unsur lain seperti kekayaan, kedudukan, pekerjaan dan sebagainya tidak
dijadikan sebagai pertimbangan.19
Di kalangan Malikiyah tidak diperbolehkan apabila seorang gadis
dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamar (pemabuk)
atau orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan
tersebut. Begitu pula jika seorang anak perempuan menikah dengan laki-
laki yang memiliki harta haram atau dengan orang yang sering
bersumpah dengan kata-kata talak.20
3. Kalangan ulama Syafi’iyah yang menjadi kriteria Kâfa’ah adalah
a. Kebangsawanan , suku bangsa atau nasab
b. Kualitas Keberagamaan
c. Kemerdekaan diri
d. Usaha atau profesi, status sosial21
Suku Bangsa didunia ini terbagi menjadi 2, yaitu suku bangsa Arab
dan non Arab. Suku bangsa Arab dibagi menjadi suku Quraisy dan bukan
Quraisy. Setiap nasab diperhitungkan kepada bangsa dari ayahnya. Misalnya
perempuan Arab baik dari suku Quraisy ataupun bukan Quraisy tidak sekufu’
dengan orang Indonesia
18 Syafruddin Yudowibowo, ”Tinjauan Hukum Perkawinan di Indonesia Terhadap Konsep
Kafa'ah Dalam Hukum Perkawinan Islam”. Yustisia, 1,2, (2012), h. 102-103. 19 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. 1, h. 13. 20 Tihami dan Sohari, Fiqih Munakahat, h. 58. 21 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 1 h. 140.
20
Identitas agama dalam memilih jodoh bukan semata mata pemeluk
agama Islam namun bagaimana dia mengamalkan ajaran agama Islam. Maka
dari itu perempuan shalehah yang baik dan ta’at dalam mengamalkan ajaran
yang disyariatkan agama Islam tidak sekufu’ dengan laki-laki fasik yang suka
berzina, berjudi dan minum minuman keras.
Identitas merdeka juga menjadi pertimbangan dalam memilih jodoh,
yaitu bahwa perempuan yang merdeka sekufu’ dengan laki laki merdeka
Demikian juga dengan perempuan yang status sosialnya terhormat,
misalnya seorang dokter tidak sekufu’ dengan tukang parkir, tukang sapu
jalan raya. Seorang anak ulama tidak sekufu dengan pedagang, perempuan
bangsawan atau keturunan darah biru tidak sekufu’ dengan laki laki awam22
4. Kalangan Ulama Hanafiyah sepakat yang menjadi ukuran Kâfa’ah
adalah:
a. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan
b. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam.
c. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan
d. Kemerdekaan
e. Kualitas Keberagamaan
f. Kekayaan
5. Menurut Ulama Hanabilah yang menjadi kriteria Kâfa’ah itu adalah:
a. Kualitas Keberagamaan
b. Usaha/ Profesi
c. Kekayaan
d. Kemerekaan diri
e. Kebangsawanan atau Nasab23
22 Muhammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam Perum Griya Suryo Astri, 2004), cet.1, h. 149-150. 23 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 1, h.140.
21
Para ulama sepakat menempatkan agama sebagai dasar pertimbangan
dalam Kâfa’ah. Agama yang dimaksud ialah pemahaman yang benar
terhadap ajaran Syariah Islam sekaligus mempraktikannya. Perempuan yang
shalehah adalah perempuan yang senantiasa berpegang teguh pada agama
Allah dan tidak mengabaikan tanggung jawabnya terhadap Allah serta dapat
menghindarkan diri dari nafsu lawamah. Oleh sebab itu Allah menganjurkan
agar memilih calon istri yang berpegang kepada agama agar dapat
melaksanakan kewajiban terhadap suami dan pendidikan anak anak.24
Sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:
ين ترب ت يداك تنكح المرأة لربع لمالها ولحسبها وجماله ا ولدينه ا فاظفر بذات الد
Artinya “Wanita dinikahi karena empat sebab: Karena Hartanya,
keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Dan pilihlah wanita yang
berpegang teguh pada agama agar kamu selamat “(Riwayat Al Bukhari dan
Muslim dari Abi Hurairah)
Jumhur ulama berpendapat bahwa Kâfa’ah dalam pernikahan sangat
penting. Unsur Kâfa’ah tidak hanya terbatas pada keistiqomahan dalam
menjalankan ajaran agama dan akhlak tetapi juga Nasab, profesi, kekayaan
dan kesejahteraan.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai hak dalam Kâfa’ah
tersebut. Jumhur ulama berpendapat bahwa Kâfa’ah menjadi hak perempuan
dan para wali. Karenanya, seseorang wali tidak boleh menikahkan seorang
perempuan dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu’ ( Sepadan) kecuali
dengan persetujuannya. Menurut Syafi’iyah Kâfa’ah itu menjadi hak
perempuan dan wali yang mempunyai hak pada saat itu.25 meskipun bukan
menjadi syarat sah pernikahan, tetapi sangat dianjurkan karena untuk
mencegah adanya aib pada istri atau walinya juga sebagai jaminan
keharmonisan dalam rumah tangga. Hal ini karena gaya hidup dan
24 Huzaemah T Yanggo, Hukum keluarga dalam Islam, cet 1, h. 168-169. 25 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. 1, h. 13.
22
pencaharian keduanya berdekatan dan bisa membuat keduanya bahagia.
Tidak membahayakan salah satu dari mereka bila mengubah kebiasaan.26
D. Implikasi Kafa’ah Terhadap Tercapainya Tujuan Perkawinan
Pada pembahasan sebelumya telah dijelaskan mengenai ukuran Kâfa’ah
menurut fuqoha. Namun pada kenyataanya tidak ada manusia yang sempurna
setiap manusia pasti mempunyai kekurangan. Namun, jika dalam kriteria yang
telah disebutkan tadi tidak ada maka agamalah yang diutamakan sebab agama
dapat mencapai derajat kebahagiaan dalam rumah tangga27 tanpa penghayatan
dan pengamalan agama keluarga akan hampa dan gersang, sunyi dari rahmat dan
berkah Allah. Rumah tangga menjadi sangat jauh dari ketenangan dan
kedamaian28
Dalam KHI walaupun penekanan Kâfa’ah hanya pada agama aspek lain
juga mampu menunjang tercapainya tujuan perkawinan, seperti nasab atau
keturunan juga berpengaruh , misalnya seorang perempuan keturunan ningrat jika
menikah dengan seorang laki-laki yan dari keturunan biasa saja akan terjadi
kesenjangan yang dikemudian hari akan akan berakibat tidak berbahagia dalam
kehidupan suami istri.29 Seperti pendapat M. Quraisy Syihab di dalam bukunya
yang berjudul wawasan Al- Quran, bahwa perbedaan tingkat pendidikan, budaya
dan agama antara suami istri seringkali menjadi penyebab timbulnya konflik
yang mengarah pada kegagalan rumah tangga.30
Adapun tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia. Tujuan perkawinan dapat dikembangkan menjadi 5 yaitu:
26 Musthafa al Bugha, Musthafa Al- khan, Ali al- syurbaji, Fiqih manhaji, h. 632-633 27 Tihami dan Sohari, Fiqih Munakahat, h. 61 28 Huzaemah T Yanggo, Hukum keluarga dalam Islam, cet 1, h. 120 29 Amir taat nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994)
cet. 3 h. 38 30 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Quran, (Bandung: Mizan, 1999), h. 197
23
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungjawab menerima hak
serta kewajiban juga bersungguh sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan halal
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.31
Dalam Undang Undang Perkawinan (UU No 1 Tahun 1974) Tentang
Perkawinan, tujuan perkawinan dalam Pasal (1) sebagai rangkaian dari
pengertian Perkawinan, yakni “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan tujuan membentuk
keluarga ( Rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa”.32
Dengan demikian jika melihat dari tujuan perkawinan tersebut, Kâfa’ah
dalam perkawinan dapat mendukung tercapainya tujuan tersebut. Latar belakang
diterapkannya konsep Kâfa’ah dalam perkawinan adalah untuk menghindari
konflik dalam perkawinan. Sebab, semakin banyak persamaan, semakin sedikit
konflik yang akan dihadapi, pun sebaliknya semakin banyak perbedaan semakin
banyak konflik yang akan dihadapi kedepannya. Persamaan tersebuat baik dari
faktor agama, keturunan, pekerjaan, ekonomi, pendidikan, sosial, maupun
budaya. Tujuan perkawinan dapat tercapai apabila kerjasama antara suami istri
berjalan dengan baik sehingga tercipta suasana damai, bahagia dan sejahtera.
31 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, cet. 1 h. 22-24. 32 Undang Undang Nomor 1 tahun 1974
24
Tujuan Perkawinan tidak mutlak dicapai hanya karena ke kufu’an semata,
tetapi hal tersebut sebagai penopang utama walupun faktor agama dan akhlak
yang baiklah yang jauh lebih penting dan diutamakan.
Pasangan suami istri yang mengikuti aturan agama dalam hidup
berumah tangga dengan menjunjung aturan aturan yang telah ditetapkan Allah,
niscaya dalam rumah tangganya akan mendapatkan keridhoan dari Allah serta
mendapat ketenangan dan mendapat suatu kebahagiaan yang hakiki di dunia
maupun di akhirat.33
33 Jaiz dkk, Ragam Berkeluarga Serasi Tapi Sesat, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 1994), h. 48.
25
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata yaitu Maslahah dan
Mursalah. Menurut bahasa kata Maslahah berarti “Manfaat” dan Mursalah berarti
“lepas”. Jadi menurut istilah seperti yang dikemukakan menurut Abdul Wahhab
Khallaf yaitu “Sesuatu yang dianggap Maslahah namun tidak ada ketegasan hukum
untuk merealisasikan dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung ataupun
yang menolaknya” sehingga hal ini disebut Maslahah Mursalah (Maslahah yang
lepas dari dalil secara khusus).1
Sumber lain juga mengatakan Maslahah (’مصلحة( berasal dari kata Shalaha
”dengan penambahan “alif” di awal yang berarti “baik” lawan dari kata “buruk )صلح(
atau rusak. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah )صال ح( yaitu “manfaat” atau
“terlepas dari padanya kerusakan”.2 Fuqoha Hanabillah menetapkan bahwa
Maslahah adalah suatu dasar dari dasar dasar Tasyri’. Ibnul Qayyim menetapkan
demikian juga.3
Pengertian Maslahah dalam arti Arab berarti “Perbuatan perbuatan yang
menuju kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan
seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan, atau dalam arti menolak atau
menghindari seperti menolak kemadharatan atau kerusakan. Jadi setiap yang
mengandung manfaat patut disebut Maslahah.4
Seluruh yang Maslahat diperintahkan oleh Syariah dan seluruh yang
Mafsadah dilarang oleh Syariah. Sebab, setiap kemaslahatan mempunyai tingkat
1 Satria Effendi M Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), cet. 7, h. 135-136. 2 Amir Syafiruddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), cet. 4, h.
323. 3Ashshiddieqy, dan Teungku Muhammad Hasbi, Pokok Pokok Pegangan Imam Madzhab,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), Cet. 1, h. 305. 4 Amir Syafiruddin, Ushul Fiqh, h. 324.
26
tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaatnya. Dan setiap kemafsadatan juga
memiliki tingkat tingkatannya dalam keburukan dan kemudharatan5
Maslahah Mursalah menurut bahasa artinya kebaikan yang dikirimkan atau
kebaikan yang terkandung. Maslahah Mursalah yang dimaksud oleh ahli ushûl fiqh
adalah
ه ي ل ع ق ف ت م ل ص ا د ج و ي ل و ال ق ع ب ا س ن م م ك ح ا ل ب ر ع ش ى ي ن ع م د ج و ي ن ا
Artinya “Bahwa terdapat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal
sedang dalil yang disepakati tentang (hal tersebut) tidak terdapat”.6
Al Maslahah sebagai dalil hukum mengandung arti bahwa Al Maslahah
menjadi landasan dan tolak ukur dalam penetapan hukum. Dengan kata lain hukum
masalah tertentu ditetapkan sedemikian rupa karena kemashlahatan menghendaki
agar hukum tersebut ditetapkan pada masalah tertentu.
Secara mutlak Maslahah Mursalah diartikan oleh ahli Ushûl Fiqh sebagai
suatu kemaslahatan yang secara hukum tidak disyariatkan oleh Syari’, serta tidak ada
dalil Syar’i yang menerangkan atau membatalkannya. Maslahah ini disebut mutlak
sebab tidak terikat oleh dalil yang membatalkannya. Misalnya kemaslahatan yang
diambil para sahabat dalam mensyariatkan adanya penentuan pajak penghasilan,
pengadaan penjara, percetakan mata uang, penetapan hak milik tanah pertanian, atau
hal-hal lain yang termasuk kemaslahatan yang dituntut dalam keadaan darurat,
kebutuhan atau kebaikan namun belum di syariatkan hukumnya. 7
Dengan demikian di dalam hukum Islam terdapat dua macam kaidah. Yang
pertama kaidah Ushûl Fiqh dan yang kedua kaidah kaidah fikih. Kaidah Ushûl Fiqh
yang ditemukan di dalam kitab-kitab Ushûl Fiqh di gunakan untuk mengeluarkan
hukum (Takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya baik Al-Qur’an ataupun Al Hadis. Yang
kedua kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah yang disimpulkan secara umum dari materi
5 A Djajuli, Kaidah Kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. 2, h.
27. 6 Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih Satu & dua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010),
cet. 1, h. 163. 7 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 2014), cet.2, h. 139.
27
fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus kasus baru
yang muncul, yang tidak jelas hukumnya di dalam Nash.8
B. Syarat Syarat Mashlahah Mursalah
1. Maslahah itu harus hakikat bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang
mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu
untuk membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang
tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.
3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum yang dituju oleh Syar’i.
Maslahah tersebut harus Maslahah yang di didatangkan oleh Syar’i. Jika tidak ada
dalil tertentu yang mengakuinya maka Maslahah tersebut tidak sejalan dengan
yang dituju oleh islam dan tidak dapat dikatakan Maslahah.
4. Maslahah itu bukan Maslahah yang tidak benar. Dimana nash yang sudah ada
tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah.9
Imam Malik adalah Imam Madzhab yang menggunakan dalil Maslahah Mursalah.
Untuk menerapkan dalil ini, ia mengajukan tiga syarat:
a. Adanya persesuaian antara Maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang
berdiri sendiri dengan tujuan tujuan Syari’ah (Maqashid As- Syari’ah)
b. Maslahah itu harus masuk Akal (Rationable), mempunyai sifat sifat yang sesuai
dengan pemikiran rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok
rasional akan diterima
c. Penggunaan dalil Maslahah ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan
yang mesti terjadi (Rafu Haraj Lazim). Dalam pengertian, seandainya maslahat
yang dapat diterima akal itu tidak dambil, niscaya manusia akan mengalami
kesulitan.10
8 A Djajuli, Kaidah Kaidah Fiqih, h.,4. 9 Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), cet. 2, h. 137-138. 10 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016), cet.9, h. 454.
28
C. Macam Macam Maslahah Mursalah
1. Dari segi ada tidaknya kesaksian Syara’ (Syâhdah asyari) terhadapnya baik
kesaksiannya mengakui/melegitimasi sebagai Al Maslahah ataupun tidak. Jumhur
ulama membanginya kedalam tiga bagian:
a. Al Maslahah yang terdapat kesaksian Syara’ dalam mengakui keberadaannya
(mâ syahid asy-syar’lii’tibârihâ)
Al Maslahah dalam bentuk pertama ini menjelma menjadi landasan
dalam Al Qiyâs (analogi). Maslahah ini biasa disebut dengan Al Maslahah Al
Mu’tabarah. semua ulama sepakat Al Maslahah ini merupakan Hujjah
(landasan hukum). seperti contoh keharaman perasan kurma yang memabukan
yang tidak terdapat nash-nya kepada keharaman meminum perahan anggur
yang memabukan yang terdapat nashsh-nya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah11
b. Al Maslahah yang terdapat dalam kesaksian Syara’ dalam mengakui
keberadaannya (mâ syahid asy-syar’li buthlânihâ)
Al Maslahah kedua ini adalah bathil, dalam arti tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah karena ia bertentangan dengan Nash. Bentuk Maslahah yang
kedua ini biasa disebut dengan Al-Maslahah al-mulghâ. Sebagai contoh: pada
zaman dahulu seorang ulama pernah mengeluarkan fatwa, bahwa terhadap
seorang raja yang kaya yang melakukan hubungan
Suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan maka dikenakan
kifarat puasa dua bulan berturut turut, tanpa boleh memilih antara
memerdekakan budak atau puasa berturut turut atau memberi makan enam
puluh orang miskin.
Dasar pemikirannya adalah agar memberikan efek jera bagi orang
yang melakukan pelanggaran dalam ibadah. Jika raja yang kaya tersebut boleh
memilih antara memberi makan 60 orang miskin atasu memerdekakan budak
11 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet.2, h. 207.
29
tentu ia akan mudah untuk melakukannya karena ia kaya dan ini tidak
memberikan efek jera kepadanya. Jika hukumannya berpusa selama dua bulan
berturut turut tentu ia akan kewalahan melakukannya dan diharapkan dapat
memberikan efek jera dan tidak mengulanginya lagi.
Bentuk fatwa seperti ini tidak dibenarkan karena bertentangan dengan
Syara’ dan berarti mengubah ketentuan hukum Syara’ berdasarkan nalar murni.
Jika sekiranya ketentuan Syara’ membenarkan pola penetapan seperti ini, maka
tentulah Rasulullah menetapkan hukum dengan pola yang sama.12
c. Al Maslahah yang tidak dapat kesaksian Syara’ baik yang mengakuinya
maupun yang menolaknya dalam bentuk Nash tertentu (mâ lam yasyhad asy-
syar’lâ libuthlânihâ wa lâ lii’tibârihâ nashsh mu’ayyan).
1) Al Maslahah al-gharîbah
Yaitu Maslahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian Syara’
terhadapnya, baik yang mengakui maupun menolaknya. dalam
kenyataannya Maslahah bentuk ini hanya ada dalam teori tetapi tidak
ditemukan contohnya dalam kehidupan sehari-hari.13
2) Al Maslahah al mulâ’imah
Yaitu Al Maslahah yang meskipun terdapat didalam Nash yang
mengakuinya namun sejalan dengan tujuan Syara’ dalam lingkup yang
umum (al-ushûl al-khamsah). Tujuan Syara’ dipahami dari makna umum
yang terkandung di dalam Al- Quran, hadis dan al-Ijmâ Maslahah inilah
yang biasa disebut dengan istilah Maslahah Mursalah.14
2.Dari segi kekuatannya sebagai Hujjah dalam menetapkan hukum:
12 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet.2 h. 208. 13 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet.2 h. 209. 14 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet.2 h. 209-210.
30
a. Maslahah Dharuriyah ( الضرورية المصلحة)
Dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya
kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan maka rusaklah kehidupan,
merajalela kerusakan, timbulah fitnah, dan kehancuran yang hebat.15
Maslahah Dharuriyah juga berarti kemaslahatan yang keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia artinya kehidupan manusia tidak
ada artinya jika salah satu prinsip dari yang lima tidak ada. Segala usaha yang
secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut
adalah baik atau Maslahah dalam tingkat dharuri. Dan segala sesuatu usaha
atau tindakan yang secara langsung menyebabkan lenyap atau rusaknya satu
diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena Allah melarangnya.
Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang
membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman keras untuk
memelihara akal, melarang berzina untuk memelihara keturunan, dan
melarang mencuri untuk memelihara harta.16
b. Maslahah Hâjiyah ( المصلحة الحا جية )
Maslahah Hajiyah adalah kemashlahatan yang tingkat kebutuhan
hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. bentuk
kemashlahatan tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang
lima (dharuri). Tetapi secara tidak langsung memberi kemudahan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Maslahah Hajiyah juga jika tidak
terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung
menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak
langsung mnemang bisa mengakibatkan perusakan. Contoh Maslahah hajiyah
adalah menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, maka untuk
kelangsungan hidup, mengasah otak sempurnanya akal, melakukan jual beli
15 Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih, h. 138-139. 16 Amir Syafiruddin, Ushul Fiqh, h. 327.
31
untuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau
Maslahah dalam tingkat haji.
c. Maslahah Tahsîiniyah (المصلحة التحسينية)
Maslahah Tahsiniyah adalah Maslahah yang kebutuhan manusia
kepadanya tidak sampai tingkat Dharuri, juga tidak sampai tingkat Haji.
Namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk
tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lisma kebutuhan pokok manusia.
Tiga bentuk Maslahah tersebut, secara berurutan secara berurutan
menggambarkan tingkatan peringkat kekuatannya. yang kuat adalah Maslahah
Dharuriyah, kemudian di bawahnya adalah Maslahah hajiyah dan berikutnya
Maslahah Tahsiniyah. Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat
kekuatannya, yang secara berurutan adalah: Agama, jiwa, akal keturunan dan
harta.
3. Ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, Maslahah itu
disebut juga dengan munasib atau keserasian maslahah dengan tujuan hukum.
Terbagi menjadi 3:
a. Al Maslahah Al- Mutabarah ( المصلحة المعتبرة )
Maslahah yang telah diakui oleh Syariah dan telah ditetapkan
ketentuan ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Contohnya ijtihad untuk
memelihara agama, diwajibkan hukum qishash untuk menjaga kelestarian
jiwa, ancaman hukuman atas peminum khamar untuk memelihara akal,
ancaman hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan serta
ancaman hukuman mencuri untuk menjaga harta.
b. Al Maslahah Al- Mulgoh ( المصلحة الملغاة)
Sesuatu yang dianggap Maslahah namun bertentangan dengan
ketentuan Syariah. Misalnya pembagian waris 1:1 antara laki laki dan
perempuan yang dianggap untuk kemaslahatan, namun hal ini bertentangan
32
dengan ketentuan Syariah dalam hal ini Surah An-Nisaa ayat 11. Yang
menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali pembagian anak
perempuan. Adanya pertentangan itu berarti apa yang dianggap Maslahah itu
bukan Maslahah disisi Allah.
c. Al Maslahah Al Mursalah (المصلحة المرسلة )
Seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya ini Al
Maslahah ini Maslahah muamalah yang belum ada ketegasan hukumnya dan
tidak pula ada bandingannya. Contohnya undang-undang mengenai lalu lintas.
Tidak ada dalil khusus yang mengaturnya, baik dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Namun hal ini sejalan dengan tujuan Syariah dalam hal ini memelihara jiwa
dan harta.17
4. Dilihat dari segi kandungan Maslahah, Para Ulama Ushûl Fiqh membaginya
kepada
a. Maslahah Al Ammah ( المصلحة العا مة )
Yaitu kemaslahatan untuk kepentingan orang banyak. Kemaslahatan
itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang tetapi bisa berbentuk
kepentingn mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama
membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang merusak ‘aqidah umat karena
menyangkut kepentingan orang banyak.
b. Maslahah Al Khâshshah ) المصلحة الخا صة )
Yaitu kemaslahatan pribadi, dan ini jarang sekali. Seperti
kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan
seseorang yang dinyatakan (hilang atau maqfud). Pentingnya pembagaian
kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus
didahulukan apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan
kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan dua kemaslahatan ini maka yang
harus didahulukan adalah kemaslahatan umum.
17 Satria Effendi M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), cet. 7, h.136.
33
5. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya Maslahah, menurut Muhammad Musthafa
Al Syalabi, guru besar Ushûl Fiqh di Universitas al Azhar Mesir, ada dua bentuk,
yaitu:
a. Maslahah al Tsâbitah ( المصلحة الثا بتة )
Yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir
zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji.
b. Maslahah al Mutaghayyirah (المصلحة المتغيرة )
Kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat,
waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan
permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan
yang berbeda beda antara satu daerah dengan daerah lain. Perlunya pembagian
ini menurut Musthafa Al Syalabi dimaksudkan untuk memberikan batasan
kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.18
D. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam Kehujjahan Maslahah Mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama ushul di antaranya:
1. Maslahah Mursalah tidak bisa menjadi hujjah/ dalil menurut menurut Ulama
Syafi’iyyah, ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah seperti ibnu Hajib
dan Ahli Zahir.19
Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka:
a. Maslahah ada yang dibenarkan oleh Syara’ atau hukum Islam, ada yang ditolak
dan ada yang diperselisihkan atau tidak ditolak dan tidak pula dibenarkan.
b. Memandang Maslahah Mursalah sebagai Hujjah menodai kesucian hukum
Islam dengan memperturutkan hawa nafsu dengan dalih maslahah.
18 Nasrun Haroen. Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos Publishing House, 1996), cet.1, h., 116. 19 Chaerul.Umam dkk, Ushul fiqh 1, h. 141.
34
c. Hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Artinya jika kita memandang
Maslahah Mursalah sebagai Hujjah secara tidak langsung kita menganggap Al-
Qur’an belum lengkap dan sempurna. Memandang Maslahah Mursalah sebagai
Hujjah akan membawa dampak bagi terjadinya perbedaan hukum di suatu
daerah karena perbedaan situasi dan kondisi.20
2. Maslahah Mursalah dapat menjadi Hujjah / dalil menurut Ulama Malikiyah dan
Hanabillah, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fikih yang paling banyak dan
paling luas menerapkannya. Menurut mereka Maslahah Mursalah merupakan
induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash dari nash yang rinci seperti
yang berlaku dalam Qiyâs.21 selain digunakan oleh penganut madzhab ini,
Maslahah Mursalah juga digunakan oleh kalangan ulama non madzhab
sebagaiamana yang disampaikan oleh Al Syatibi dalam kitab al-Istishan. Juga
digunakan oleh kalangan ulama non Maliki seperti diutarakan oleh Ibnu
Qudomah, Al-Raji, al- Ghazali dalam kitabnya.22
Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka yaitu:
a. Praktek para sahabat yang telah menggunakan Maslahah Mursalah
b. Adanya Maslahah sesuai dengan Maqasid as-Syari (tujuan-tujuan Syar’i)
artinya dengan mengambil maslahah sama dengan merealisasikan Maqasid
as-Syari. Sedangkan mengesampingkan Maslahah berarti mengesampingkan
Maqasid as-Syari.
c. Seandainya Maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas
mengandung Maslahah selama berada dalam konteks Maslahah Syar’iyyah,
maka orang orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.23
20 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan
UIN Jakarta Press, 2006), cet.1, h. 106-107. 21 Nasrun, Haroen. Ushul Fiqh 1, cet 1. h. 116. 22 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 335-336. 23, Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet.9, h. 455-456.
35
BAB IV
KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ANGGOTA TNI DI
INDONESIA
A. Perkembangan Konsep Kafa’ah Terhadap Perkawinan Anggota TNI
Dalam Islam terdapat anjuran memilih pasangan yang Sekufu’. Agar dapat
menyatukan visi dan misi dalam menjalani kehidupan. Kâfa’ah sama dengan setara,
seimbang, sesuai, sederajat, atau sebanding.1 Kâfa’ah atau sekufu’ dalam perkawinan
ialah laki-laki sebanding dengan calon istri sama dalam kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak dan kekayaan. Jadi, tekanan dalam
Kâfa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian terutama dalam hal
agama yaitu akhlak dan ibadah.2 Realisasi penerapan Kâfa’ah dalam masyarakat
mengharuskan kesepadanan pekerjaan, profesi ataupun kondisi sosial misalnya
seorang dokter dengan dokter, seorang tani dengan tani, keturunan teuku dengan
teuku, keturunan sayyid dengan syarifah.3
Untuk membangun bangunan yang kokoh orang akan memilih bahan
bangunan yang berkualitas tinggi, letak yang strategis dan baik demi menjamin
kekuatan dan kekokohannya, Sama halnya dengan membangun rumah tangga Islam
telah meletakan garis panduan untuk memilih pasangan hidup yang sesuai menurut
ajarannya.4
Dalam proses memilih pasangan dianjurkan untuk memilih yang sekufu’,
sepadan, sebanding dan sederajat. Meskipun bukan suatu keharusan dan ini hanya
sebagai anjuran saja namun hal ini bisa meminimalisir terjadinya konflik yang akan
dihadapi dikemudian hari. Karena seringkali kegagalan dalam membina rumah
1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Group , 2013), h. 96. 2 Abidin Slamet, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 50. 3 Munazirah,” Konsep Kafa’ah dalam pernikahan menurut ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah”,
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Rainy Aceh, 2018), h. 19. 4 Huzaemah T Yanggo, Hukum keluarga dalam Islam (Palu: Yamiba, 2013,), cet. 1, h. 168.
36
tangga disebabkan oleh perbedaan yang mencolak baik dari segi agama ataupun
strata sosial.5
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong
terciptanya kebahagian dan keharmonisan antara suami dan istri serta lebih
menjamin keselamatan dari kegagalan rumah tangga serta terhindar dari kerusakan.
hal ini mengingat bahwa pernikahan merupakan upaya penyatuan dua kecenderungan
yang berbeda semakin banyak persamaan maka semakin mudah pula untuk
meneguhkan kebersamaan dan persatuan antara keduanya. Semakin banyak
perbedaan maka akan semakin banyak konflik yang akan dihadapi kedepannya.6
Kâfa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/ istri, namun tidak
menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kâfa’ah adalah hak bagi perempuan dan
walinya, karena jika perkawinan tidak serasi dan seimbang maka akan banyak
problematika yang akan dihadapi dikemudian hari dan bisa berakibat pada
perceraian7 hal ini juga untuk mencegah adanya aib pada istri atau walinya juga
sebagai jaminan keharmonisan dalam rumah tangga. Sebab, jika gaya hidup dan
pencaharian keduanya berdekatan dan membuat keduanya bahagia. Tidak
membahayakan salah satu dari mereka bila mengubah kebiasaan.8
Berbeda halnya dalam ruang lingkup TNI Kâfa’ah menjadi syarat dalam
mengajukan izin perkawinan. Jika suami dari anggota Kowad berpangkat lebih
rendah maka mereka tidak dapat melangsungkan perkawinan kecuali satu diantara
mereka mengundurkan diri dari anggota TNI.9
Pada dasarnya perkawinan anggota TNI sama dengan warga sipil, namun
demikian ada beberapa perbedaan yaitu berupa penambahan aturan khusus dalam
5Ahmad Royani, "Kafa’ah dalam Perkawinan Islam Tela’ah Kesederajatan Agama dan
Sosial". Al Akhwal, 5, 1, (2013), h. 105. 6Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: elSAS,
2008), cet.1, h. 12-13. 7Abdul Rahman Ghozali, Fiqh munakahat, h. 97. 8 Musthafa al Bugha dkk, Fiqih manhaji, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2012), h.632-633. 9 Maspilu, Kepala Bagian Perawatan dan Rohis, Interview Pribadi, Jakarta 12 Februari 2019.
37
instansi TNI. Kendati demikian landasan aturan yang dibuat tetap merujuk kepada
Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974.
Seiring dengan berjalannya waktu ada perubahan dinamika sosial terutama di
lingkungan TNI sendiri bahwa pangkat telah menjadi ukuran Kâfa’ah. Konsep
Kâfa’ah yang lama berbeda dengan konsep Kâfa’ah di TNI. Dalam hal ini, di dalam
ruang lingkup Perkawinan TNI konsep Kâfa’ah telah melalui perkembangan, bukan
lagi soal agama, keturunan, kekayaan, profesi namun juga kepangkatan. Sehingga
harus ada ijtihad yang baru, harus ada terobosan hukum baru yang harus
dikembangkan untuk merespon masalah yang disebabkan oleh perkembangan zaman
ini. Pada dasarnya aturan yang dibuat tak lain tujuannya untuk kemaslahatan,
memperkuat, melanggengkan dan membentuk keluarga harmonis.
Hal ini juga diperkuat melalui wawancara yang penulis lakukan dengan
anggota TNI yang menurutnya bahwa kepangkatan sangat berpengaruh di dalam
kehidupan militer sehingga bukan hanya berlaku di ruang lingkup ketika dinas
namun juga di luar dinas. Sementara kehidupan suami istri ini akan bersama sama
terus menerus baik di dinas maupun di luar dinas.10
Istri yang pangkatnya lebih tinggi, secara tidak langsung gaji yang didapatkan
juga lebih tinggi dari suami. Hal ini memang bukan merupakan penyebab yang
dominan namun bisa menjadi salah satu penyebab percekcokan atau bahkan tidak
menutup kemungkinan hal ini bisa membuat istri merasa semena mena terhadap
suami.11
Kedudukan pangkat memang sangat berpengaruh dalam kehidupan militer.
Penghormatan terhadap atasan yang pangkatnya lebih tinggi juga telah terbentuk dan
melekat bahkan ketika hendak shalat jum’at. Siapa yang datang lebih awal
seharusnya ia berbondong bondong mengisi shaf paling depan. Banyak hadist yang
10 Abu Haris, Kepala sub Dinas Pembinaan dan Fungsi, Interview Pribadi, Jakarta 28 Januari
2019. 11 Abu Haris, Kepala sub Dinas Pembinaan dan Fungsi, Interview Pribadi, Jakarta 28 Januari
2019.
38
mengatakan bahwa sangat besar pahala shalat Jum’at di shaf paling depan. Namun
prakteknya di TNI ketika jendralnya belum masuk tidak akan ada yang mengisi shaf
paling depan di belakang imam. Hal itu bukan merupakan aturan tertulis namun
suatu bentuk penghormatan terhadap seseorang yang pangkatnya lebih tinggi yang
mereka segani dan hormati.
Suami yang lebih rendah pangkatnya akan berpengaruh terhadap kedinasan.
Tetapi ada pengecualian ketika seseorang calon suami dan istri pangkatnya sama
namun setelah menikah pangkatnya si istri lebih tinggi di kemudian hari, hal itu tidak
bermasalah. Kemudian, jika mereka ingin tetap melangsungkan pernikahan
walaupun terdapat larangan dalam hal menikah dengan TNI yang pangkatnya lebih
rendah, maka salah satu dari mereka harus mengundurkan diri dari Dinas TNI.
Namun pada kenyataannya jarang dijumpai suatu kasus yang demikian. Secara psikis
laki laki TNI berfikir untuk tidak mencintai anggota Kowad yang pangkatnya lebih
tinggi karena ia sudah mengetahui aturan itu.12
Walaupun Kowad tentara tetapi tetap saja Kowad adalah wanita, wanita yang
akan berkeluarga dan idealnya laki-laki harus pangkatnya lebih tinggi karena ia yang
nantinya akan menjadi kepala keluarga. “Laki laki adalah pemimpin bagi
perempuan”. Jika Kowad sebagai ibu rumah tangga dan suaminya sebagai kepala
keluarga, idealnya laki-laki berada diatas perempuan. Hal ini cenderung dengan adat
istiadat ketimuran disamping memang aturannya seperti itu.
Aturan ini dibentuk tak lain untuk kebaikan anggota TNI sendiri. Agar
Kowad tidak salah pilih dalam mencari pendamping hidup. Jika suami pangkatnya
lebih rendah dari istrinya maka secara tidak langsung akan menurunkan martabat
suaminya. Logikanya seperti ini jika suaminya lebih rendah pangkatnya saat sedang
menggunakan pakaian dinas istrinya meminta jemput, atau membawakan tas, dia
harus berkata “siap bu, siap komandan” sembari membungkukan badan, hal itu
sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada atasan. karena setiap 1 kali bertemu
12 Abu haris, Kepala Sub Dinas Pembinaan dan fungsi, Interview Pribadi, Jakarta 28 Januari
2019.
39
saja dengan atasan maka harus salam dan hormat. Maka akan terlihat tidak pantas
jika suaminya seperti itu. Maka dari itu aturan itu dibuat untuk melindungi harga diri
suami sebagai kepala keluarga yang seharusya dihormati oleh istri.
Kepangkatan memang sangat berpengaruh di dalam ruang lingkup TNI dan
menurut saya aturan ini dapat memberikan dampak positif baik dalam kehidupan
kedinasan ataupun rumah tangga. Sebaiknya istri memang mencari yang sejajar atau
yang lebih tinggi darinya, baik dari pendidikan ataupun yang lain13
Selama ini tidak ada pertentangan dari anggota TNI mengenai aturan ini,
semua anggota TNI menerimanya. Sebab bagi mereka jika mereka siap menjadi
anggota TNI itu artinya mereka siap dengan segala aturan dan segala
konsekuensinya. Pada prinsipnya setiap prajurit itu taat pada aturan, tidak ada yang
coba-coba melanggar aturan karena sudah tahu sanksi yang akan ia dapatkan ketika
melanggar peraturan.14
Dewasa ini pembaharuan konsep Kâfa’ah juga berkembang dalam aspek
pendidikan. Pendidikan dapat membangun pola komunikasi yang baik, karna
komunikasi merupakan salah satu hal yang penting yang dibutuhkan dalam keluarga
yang akan berpengaruh terhadap laju kehidupan berumah tangga yang mana ini
merupakan salah satu aspek yang mampu membentuk keluarga yang harmonis.15
Seorang perempuan dikatakan sepadan dengan seorang laki laki yang
pendidikannya setara atau lebih tinggi darinya. Bisa kita bayangkan jika seorang
perempuan lulusan S2 menikah dengan seorang laki-laki lulusan SMP maka mereka
akan sulit berjalan berdampingan, menyatukan perspektif dan dikhawatirkan akan
banyak konflik yang terjadi kedepannya, bahkan bisa menyebabkan perceraian.
Menurut Quraisy Shihab konsep sepadan dalam melihat calon pasangan dapat
diukur dari lima Faktor:
13 Fitri Handayani, Pasianev dan Orgas Setdisbintad, Interview Pribadi, Jakarta 12 Februari
2019. 14 Maspilu, Kepala Bagian Perawatan dan Rohis, Interview pribadi, Jakarta 12 Februari 2019.
15Ahmad Royani,” Kafa’ah dalam Perkawinan Islam (Tela’ah Kesederajatan Agama dan
Sosial)”. Al Hukma, 5, 1, (2013), h. 118.
40
1. Kesepadanan dalam hal Agama
2. Kesepadanan dalam hal Akhlak dan moral
3. Faktor kesepadanan dalam pendidikan, sebaiknya pendidikan suami lebih tinggi
dari pada isteri atau sekurang kurangnya sama.
4. Faktor kesepadanan dalam hal keturunan
5. Faktor kesepadanan dalam Usia16
Perkembangan zaman menuntut adanya perkembangan akan pemahaman
fikih untuk merespon masalah baru hal ini kita sebut sebagai fikih sosial. Fikih sosial
yaitu usaha memaknai fikih agar sesuai dengan konteks (ruang dan waktu) yang
dihadapi. Karena konteks sekarang tidak sama dengan konteks dulu sehingga harus
memberikan pemahaman baru terhadap konteks sekarang, lengkap dengan tantangan
dan dinamika yang mengiringinya. Maka perlu diadakannya pembaharuan hukum
Islam.17
Pembaharuan hukum Islam adalah upaya yang dilakukan secara serius untuk
mengembangkan hukum Islam dengan cara tertentu berdasarkan kaidah-kaidah
dalam istinbath/ijtihad yang dibenarkan untuk menjadikan hukum Islam lebih segar
dan modern, tentunya oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi dalam hal itu.18
Pemikiran tentang perlunya pembaharuan hukum Islam juga digagas oleh
Nurcholis Madjid, Harun Nasution dari kelompok Modernisasi, Munawir Sjadzali,
Ibrahim Hoesen, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Ali Yafie dan KH MA
Sahal Mahfudh dari kelompok tradisional. Sebelum periode mereka pembaharuan
hukum Islam dengan konsisten dan konsern yang tinggi dilakukan Prof. Hasby Ash-
Shiddieqy dan Prof. Hazarin. Kedua tokoh ini melakukan pendekatan yang berbeda,
jika hasby mengacu dan ingin menghidupkan kembali kemampuan metodologi
16 Quraiys Shihab, Pengantin al Qur’an kalung permata buat anak- anaku, (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 81. 17 Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fiqih Sosial KH. A. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 6-7 18 Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fiqih Sosial KH. A. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h.172.
41
hukum Islam yang dirintis para ulama terdahulu. Maka Hazarin cenderung
menginginkan Konstitusionalisasi hukum Islam melalui kodifikasi dan unifikasi.
Pada awalnya gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh mereka kurang
mendapatkan respon dan apresiasi. setelah memalui perjuangan yang panjang dan
ditindak lanjuti oleh para sarjana dan ulama sesudahnya, akhirnya membuahkan
hasil. Salah satu karakteristik hukum Islam di Indonesia yaitu bahwa ia tidak sama
dan sebangun dengan Syariah. Ungkapan al-syari’ mutahaddidah wa al-waqai’
mutajaddidah. (Syariah itu terbatas dan peristiwa peristiwa akan selalu baru),
menunjukan bahwa hukum Islam diharapkan dapat merespon modernisasi dengan
segala dampaknya, maka reinterprestasi dan reformasi hukum tidak bisa dihindarkan
(conditiosine quanon)19
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih
ن ة و ة ن ك م ل ير ا غ ات ب م اك ح ل ا ر ي غ ت م اال و ا ل ز و ن و د ت ل ام ع م ل و ت ا د الع ل ا ج م ي ف ل خ
ة د اب لع ا
Artinya :”Perubahan hukum itu disebabkan oleh perubahan tempat, waktu dan
kondisi dalam kebiasaan (adat) dan muamalah, bukan disebabkan ibadah”20
Seorang manusia dalam menjalani kewajiban atau menjauhi yang di larangan
oleh agama, tidak tetap dalam suatu keadaan tertentu oleh karenanya penerapan
hukumnya pun berbeda. Perubahan itu bisa berubah karena disebabkan oleh kejadian
kejadian alam ataupun usaha usaha manusia itu sendiri. Adapun bentuk perubahan
perubahan itu Ibnu Qayyim menyimpulkan dengan ungkapannya:
د ئ و ع ال و ات ي الن و ال و ح ال و ة ن ك م ال و ة ن م ز ل ار يخ ت ب س ح ا ب ه ف ل ت اخ ى و و ت ا لف ر يغ ت ي ف
19 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LSM Damar Semarang,
2004), cet.1, h. 20-21. 20 Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fiqih Sosial KH. A. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h. 7.
42
Artinya : “Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan waktu, tempat,
keadaan, niat an adat kebiasaan”21
Salah satu tokoh yang menggagas fikih sosial adalah Kiyai Sahal Mahfudh.
Integrasi keilmuan yang digagas oleh Kiyai Sahal harus didukung oleh seluruh
elemen, sebab dengan integrasi keilmuan ini akan terumus bagunan pemikiran yang
utuh yang bisa merespon masalah secara matang dan komprehensif yang bisa
diaplikasikan dalam konteks dunia modern yang penuh tantangan ini.
Kontekstualisasi teks-teks fikih menjadi pelajaran berharga bagi para ahli
hukum Islam untuk memahami teks teks fikih agar sesuai dengan dinamika zaman
yang berjalan secara dinamis, kompetitif dan produktif.22
Fikih sosial adalah kacamata fikih dalam merespon fenomena-fenomena
social sehingga dituntut tidak hanya sekedar menghukumi realitas dengan hitam
putih, halal haram tapi memberi arahan agar masalah sosial baik moral, ekonomi,
budaya dan politik bisa berjalan sesuai dengan koridor fikih. Disini fikih dituntut
untuk dinamis, progresif, produktif dan solutif terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.23
Pemahaman sekarang tentu berbeda dengan pemahaman dulu saat persoalan
belum kompleks dulu cukup memahami yang tersurat dan tersirat pada “Al- Qur’an
kecil” yang teksnya ada dalam mushaf 30 Juz. Sekarang dengan persoalan yang
begitu kompleks, paham “Al- Qur’an kecil” belum cukup. Perlu paham “Al- Qur’an
besar” yang teksnya ada pada jagat raya berikut mekanisme dan hukum- hukumnya,
“sunatullah”.
21 A. Djazuli, Kaidah Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 109. 22 Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fiqih Sosial KH. A. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h., 20-21. 23 Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fiqih Sosial KH. A. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h. 250
43
Yang memahami sebagian “sunatullah “adalah para ilmuan alam, social dan
budaya serta praktisi dari segala bidang. Berserta ahli agama dan negarawan.
Mereka harus duduk dan bekerja sama dalam satu majlis merumuskan fikih social.24
Sama halnya dengan konsep Kâfa’ah di TNI yang telah melalui
perkembangan. Rasanya sudah tidak relevan lagi memasukan budak (merdeka)
sebagai kategori ukuran Kâfa’ah karena di zaman sekarang sudah tidak ada lagi
budak. Perlu adanya pembaharuan dan menjadikan pendidikan, pangkat sebagai
ukuran Kâfa’ah. Namun, Kâfa’ah ini bukanlah suatu keharusan, kafa’ah hanya
anjuran untuk terciptanya tujuan perkawinan itu sendiri. Agar terbentuknya
kemaslahatan dalam perkawinan sehingga diharapkan akan membentuk keluarga
yang harmonis.
B. Tata Cara Perkawinan Bagi TNI
1. Perkawinan di TNI Dalam Peraturan Panglima TNI Nomor 50 Tahun 2014
Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk.
Peran dan tugas pokok TNI adalah menegakan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
berdasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945. Tugasnya yang berat perlu
ditunjang oleh keluarga yang harmonis.
Pada dasarnya aturan mengenai perkawinan anggota TNI sama dengan warga
sipil. Aturannya pun merujuk kepada Undang Undang No 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Namun ada beberapa aturan tambahan bagi anggota TNI.
Seorang Prajurit di lingkungan TNI baik pria/ wanita hanya diizinkan
mempunyai seorang istri/ suami. Artinya anggota TNI dilarang poligami. Prajurit
wanita dilarang melaksanakan perkawinan dengan prajurit pria yang lebih rendah
golongan pangkatnya. Setiap prajurit yang hendak melaksanakan perkawinan terlebih
dahulu mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Komandan/ Atasan yang
24 Jamal Rahman, Wacana Baru Fiqih social 70 tahun K.H. Ali Yafie, (Jakarta: Mizan, 1997),
h. 88-89.
44
berwenang di satuan masing masing. Calon suami/ istri wajib menghadap
Komandan/Atasan dan pejabat Agama yang disatuan masing-masing untuk
menerima petunjuk / bimbingan dalam perkawinan yang akan dilakukan.
a. Tata Cara Perkawinan
Pada dasarnya pelaksanaan perkawinan anggota TNI sama dengan warga
sipil namun terdapat aturan internal yang diberlakukan bagi setiap prajurit. Prajurit
yang akan melaksanakan perkawinan harus mendapatkan izin tertulis terlebih
dahulu dari komandan/atasan yang berwenang. Izin kawin hanya diberikan apabila
perkawinan yang akan dilakukan itu tidak melanggar hukum agama yang dianut
setelah ada bukti tertulis berupa surat Pendapat Pejabat Agama (SPPA), dan Izin
kawin pada prinsipnya diberikan kepada prajurit jika perkawinan itu
memperlihatkan prospek kebahagiaan dan kesejahteraan bagi calon suami/ istri
yang bersangkutan dan tidak akan membawa pengaruh negatif yang berakibat
dapat merugikan kedinasan.25
Perkawinan anggota TNI juga harus tercatat secara resmi di Kantor Urusan
Agama (KUA) bagi yang beragama Islam, dikantor kependudukan dan Catatan
Sipil bagi yang beragama Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu.26
Surat Izin Kawin (SIK) yang diberikan oleh atasan hanya berlaku selama
enam bulan terhitung mulai tanggal dikeluarkan. Dalam hal izin kawin telah
diberikan, sedangkan perkawinan tidak jadi dilakukan maka yang bersangkutan
harus segera melapor pembatalan itu kepada atasan yang memberikan izin tersebut
disertai dengan alasan secara tertulis. Apabila surat izin kawin telah diberikan
namun dalam jangka waktu enam bulan perkawinan tidak jadi dilaksanakan maka
prajurit tersebut harus mengajukan permohonan kembali dari awal. Setelah
perkawinan dilangsungkan, maka Salinan surat kawin dari lembaga yang
25 Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit, Pasal 8. 26 Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit, Pasal 9.
45
berwenang, serta salinan surat izin kawin harus diserahkan oleh yang
bersangkutan kepada pejabat personalia di kesatuannya, guna menyelesaikan
administrasi personel dan keuangan.27
Penolakan pemberian izin atas permohonan kawin dilakukan oleh pejabat
yang berwenang dengan pemberitahuan kepada yang bersangkutan secara tertulis
dengan disertai alasan alasannya. Penolakan pemberian izin dilakukan apabila
tabiat, kelakuan dan reputasi calon suami/istri yang bersangkutan tidak sesuai
dengan kaidah-kaidah (norma) kehidupan bersama yang berlaku dalam masyrakat,
perkawinan itu patut diduga dapat merendahkan martabat TNI atau
mengakibatkan kerugian terhadap nama baik TNI ataupun negara baik langsung
maupun tidak langsung serta persyaratan kesehatan tidak terpenuhi.28
b. Administrasi Permohonan Izin Kawin
Surat Permohonan izin kawin diajukan kepada Komandan/ Atasan yang
bersangkutan melalui saluran hierarki setelah memperoleh pendapat Pejabat
Agama Kesatuan secara tertulis dengan disertai Lampiran Surat Keterangan
tentang nama, tanggal dan tempat lahir, agama, pekerjaan dan tempat tinggal
calon suami/ istri, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin agar
mencantumkan nama istri atau suami terdahulu. Surat Keterangan tentang nama,
agama, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon suami/ istri. Surat
kesanggupan dari calon istri/ suami untuk menjadi istri prajurit dan mematuhi
norma kehidupan berkeluarga di TNI.29
Surat keterangan dari yang berwenang bahwa calon suami telah
mencapai usia dua puluh satu tahun dan calon istri سembilan belas tahun. Surat
persetujuan dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
calon suami maupun pihak calon istri, dalam hal calon suami/ istri belum
27 Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit, Pasal 10. 28 Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit, Pasal 11. 29 Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit, Pasal 12.
46
mencapai usia tersebut maka harus ada surat persetujuan ayah / wali calon istri,
surat keterangan pejabat personalia mengenai status belum/ pernah kawin dari
prajurit yang bersangkutan, surat keterangan status belum pernah kawin/
janda/duda dari Pejabat yang berwenang.30
Surat keterangan cerai/ kematian suami dari calon istri atau surat
keterangan cerai/ kematian istri dari calon suami apabila mereka sudah janda/
duda, surat keterangan catatan kepolisian dari polisi setempat tentang tingkah laku
calon suami/ istri yang bukan prajurit, surat keterangan dokter TNI tentang
kesehatan prajurit yang bersangkutan dan calon suami/ istri, enam lembar pas foto
ukuran 4x6 anggota yang bersangkutan dari calon istri/ suami, dan Surat
keterangan Baptis atau Sidi dari Pejabat Gereja yang bersangkutan bagi yang
beragama Protestan dan surat Pemandian yang tidak lebih tua dari 6 (enam) bulan
bagi yang beragama Katolik dan surat keterangan sudhi wadani bagi yang
beragama Hindu.31
Jangka waktu paling singkat yang diperlukan sebagai persiapan untuk
menyelesaikan hal hal yang menyangkut administrasi perkawinan adalah 15 hari
(Lima belas) hari sebelum tanggal pelaksanaan perkawinan.
2. Perkawinan Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit TNI AD Dalam Buku
Petunjuk Teknis Nomor Kep/496/VII/2015
a. Pengurusan Perkawinan.
1) Perencanaan.
Dalam tahap perencanaan perkawinan yang harus direncanakan
adalah merencanakan tempat dan waktu pelayanan, merencanakan pejabat
agama yang meneliti persyaratan keagamaan dan memberi nasehat,
30 Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit, Pasal 12. 31 Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit, Pasal 12.
47
merencanakan materi bimbingan dan nasehat perkawinan, merencanakan teknis
penelitian persyaratan administrasi, merencanakan pengarsipan produk
administrasi pengurusan perkawinan dan menyusun rencana pelaksanaan
kegiatan.32
2) Persiapan
Dalam tahap persiapan yang harus disiapkan adalah menyiapkan
tempat dan peranti pendukung pengurusan perkawinan, menyiapkan materi
bimbingan dan nasehat perkawinan, penelitian administrasi serta persyaratan
perkawinan, menyiapkan pejabat agama yang berwenang memberi
bimbingan/nasehat dan meneliti persyaratan perkawinan serta menerbitkan
Surat Pendapat Pejabat Agama (SPPA), menyiapkan dukungan administrasi
pelayanan pengurusan perkawinan berupa blanko/formulir SPPA, surat-surat
untuk koordinasi dengan pihak-pihak terkait dan melaksanakan koordinasi
internal dan eksternal dengan pihak-pihak terkait dalam pengurusan
perkawinan.33
3) Pelaksanaan
Pengurusan surat permohonan izin kawin diajukan kepada
Komandan/Atasan yang bersangkutan melalui saluran hirarki setelah
memperoleh surat pendapat Pejabat Agama Kesatuan secara tertulis dengan
disertai lampiran: Surat keterangan tentang nama, tanggal dan tempat lahir,
agama, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami/istri, apabila salah seorang
atau keduanya pernah kawin agar mencantumkan nama istri atau suami
terdahulu oleh Kepala Desa/Lurah. 34
Surat keterangan tentang nama, agama, pekerjaan dan tempat tinggal
orang tua calon suami/istri oleh Kepala Desa/Lurah. Surat kesanggupan dari
32 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h. 14. 33 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h.14. 34 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h. 14.
48
calon istri/suami untuk menjadi istri/suami prajurit dan mematuhi norma
kehidupan berkeluarga di TNI oleh istri/suami prajurit. Surat keterangan dari
yang berwenang bahwa calon suami telah mencapai usia dua puluh satu tahun
dan calon istri sembilan belas tahun oleh Kepala Desa/Lurah. Surat persetujuan
dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak calon
suami maupun pihak calon istri, dalam hal calon suami/istri belum mencapai
usia tersebut oleh pengadilan.35
Surat persetujuan ayah/wali calon istri oleh ayah/wali calon istri.
Surat keterangan pejabat personalia mengenai status belum/pernah kawin, dari
prajurit yang bersangkutan oleh pejabat personel satuan. Surat keterangan
status belum pernah kawin/janda/ duda dari Pejabat yang berwenang, bagi yang
sudah pernah menikah dan memiliki anak, disertakan surat kesanggupan
merawat anak tiri oleh calon suami/istri, oleh Kepala Desa/Lurah dan calon
suami/istri.36
Surat keterangan cerai/kematian suami dari calon istri atau surat
keterangan cerai/kematian istri dari calon suami apabila mereka janda/duda
oleh Kepala Desa/Lurah dan Pengadilan Agama. Surat Keterangan Catatan
Kepolisian dari kepolisian setempat tentang tingkah laku calon istri/suami yang
bukan prajurit oleh Kepolisian domisili calon istri/suami. Surat Keterangan
Dokter TNI tentang kesehatan prajurit yang bersangkutan dan calon istri/suami
oleh Dokter yang ditugaskan dalam PPBP AD. Surat keterangan hasil litpers
dari pejabat yang berwenang di kesatuan oleh Staf Pengamanan/Intel satuan.
Foto copy akta kelahiran, KTP, KK calon suami/istri; yang telah dilegalisir
35 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h.15. 36 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h.15.
49
oleh Kepada Desa/Lurah. Pas foto berwarna berdampingan ukuran 4x6 satu
lembar berpakaian PDH dan PSK oleh calon istri/suami.37
Langkah selanjutnya adalah Pengurusan Surat Pendapat Pejabat
Agama (SPPA) yang pada intinya untuk meneliti ada tidaknya hal yang
menghalangi perkawinan tersebut berdasarkan aturan/ketentuan agama Islam
dan norma yang berlaku serta memberikan bimbingan, nasehat dan petunjuk
perkawinan berisi tentang kehidupan keprajuritan, terkait dengan kesanggupan
calon istri/suami menjadi pendamping prajurit dalam menjalankan aktivitas
kehidupan. Kehidupan rumah tangga, terkait dengan tugas dan tanggung jawab
istri/suami dalam membina rumah tangga agar terbentuk rumah tangga yang
bahagia, sakinah, mawaddah dan rahmah dan kehidupan keagamaan, terkait
dengan pentingnya melaksanakan perintah agama dalam kehidupan berumah
tangga untuk kelanggengan hidup berumah tangga. Mencatat hal-hal
khusus/menonjol di antaranya Status wali bagi anak perempuan yang lahir dari
istri yang dinikahi dalam keadaan hamil, wali nikah bagi calon mempelai
wanita yang muallaf dan wali nikah bagi calon mempelai yang pindah agama.38
Pengurusan surat izin kawin. Setelah surat permohonan izin kawin
lengkap selanjutnya: Calon suami/istri menghadap pejabat berwenang,
kemudian pejabat yang berwenang menandatangani Surat Izin Kawin (SIK).39
Pengurusan buku nikah. Perkawinan harus tercatat secara resmi di
KUA setempat. Pendaftaran sepuluh hari sebelum akad nikah dilaksanakan
terlebih dahulu didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dengan
melampirkan Surat Izin Kawin. Akad nikah dilaksanakan pada hari, tanggal
dan tempat yang telah disepakati, dengan memenuhi persyaratan wali nikah,
37 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h.15. 38 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h.16. 39 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h.16.
50
dua orang saksi dan maskawin/mahar, Buku nikah diberikan selesai acara akad
nikah, Salinan buku nikah dan surat izin kawin diserahkan kepada pejabat
personel kesatuannya dan Bagi personel TNI AD bertugas di luar struktur TNI
AD agar mengirimkan salinan buku nikah ke Spersad (Staf personalia
angkatan darat).40
4) Pengakhiran.
Pejabat Agama/Pabintal/kabintal Satuan melakukan evaluasi hasil
pelaksanaan kegiatan administrasi perkawinan dari anggota, Pejabat
Agama/Pabintal/kabintal melaporkan hasil kegiatan berupa berapa jumlah
anggota yang sudah melaksanakan pernikahan kepada komandan satuan dan
setelah anggota menikah akan dipantau oleh Komandan Satuan, Pejabat
Personalia dan Pejabat Agama Satuan. Agar perjalanan rumah tangganya
berjalan dengan baik dan aman-aman saja dan jika ada persoalan atau
permasalahan dalam rumah tangganya supaya mendapatkan solusi terbaik
dalam penyelesaiannya.41
C. Analisis Maslahah Mursalah Terhadap Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan
Anggota TNI di Indonesia.
Arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini juga telah banyak merubah
aspek kehidupan manusia. Terutama pada negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Perubahan itu juga diikuti oleh perubahan hukum, karena kebutuhan
masyarakat akan berubah. Permasalahan yang timbul dalam perubahan hukum itu
adalah sejauh mana hukum bisa sesuai dengan perubahan tersebut dan bagaimana
agar tatanan hukum itu tidak tertinggal dengan perubahan masyarakat.42
40 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h.16-17. 41 Petunjuk Teknis Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Prajurit TNI
AD Nomor Kep/496/VII/2015, h.17 42 Abdul Manan, Aspek Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), cet. 3, h. 63-64.
51
Sebab apabila telah terjadi kesenjangan antara hukum dengan keadaan itu
artinya hukum berjalan sudah tidak efektif lagi. Oleh karena itu harus segera
diadakan perubahan. Menurut Hugo Sinzheimer bahwa perubahan senantiasa
dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan, peristiwa
- peristiwa serta hubungan masyarakat dengan hukum yang mengaturnya. Bagaimana
pun kaidah-kadah hukum tidak dapat dilepas dari hal hal yang diaturnya, sehingga
ketika hal-hal yang diaturnya ini telah mengalami perubahan, tentu saja dituntut
perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum dapat bekerja efektif dalam
pengaturannya.43
Hukum senantiasa berubah sesuai situasi dan kondisi, bukan hanya karena
globalisasi, aspek-aspek pengubah hukum lainnya yaitu seperti sosial budaya, politik,
ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta supermasi hukum juga
merupakan aspek-aspek yang menjadi pengubah hukum.44
Hukum selalu berubah dari umat yang satu ke umat yang lain, hukum juga
berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dalam teori ilmu hukum Islam (Ushûl
Fiqh) selain disebabkan karena tempat dan keadaan. Perubahan hukum sangat
bergantung pada ‘illatul hukm (alasan logis) yang melatar belakangi penetapannya.
Menurut sebagian ulama, diantaranya Ibnu Qudamah dan Ibnu Taymiyyah.
Perubahan hukum dimungkinkan berdasarkan hikmah, dampak hukum yang
ditimbulkan dari pensyariatan hukum itu sendiri. Kedua tokoh ini dikenal dengan:
Binaul-hukmi ‘alal-hikmati, (Pembentukan hukum yang didasarkan atas hikmah).45
Jika membicarakan perubahan dalam masyarakat yang berorientasi kepada
proses pembentukan hukum itu berarti mengkaji perubahan kehidupan sosial dalam
masyarakat yang berorientasi kepada proses pembentukan dan tujuan Hukum. Oleh
karenanya objek pembahasan berfokus pada An Engineering Interpretation atau
43 Abdul Manan, Aspek Aspek Pengubah Hukum, h. 93-94. 44 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. 2, h. 41. 45 Muhammad Amin Suma, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), cet.1, h. 6.
52
interprestasi terhadap adanya norma hukum seehingga fungsi hukum sebagai social
control dan social engineering dapat terwujud.46
Pada dasarnya hukum diciptakan dengan tujuan mengatur tata tertib dalam
masyarakat. Walaupun para ahli berbeda pendapat tentang apa yang menjadi tujuan
hukum. Ada ahli yang menyatakan bahwa tujuan hukum untuk melindungi
kepentingan masyarakat dan juga tujuan hukum untuk mengatur tata tertib didalam
masyarakat dan lainnya.47
Hukum diperlukan untuk penghidupan di dalam masyarakat untuk mencapai
kebaikan dan ketentraman bersama. Hukum mengutamakan masyarakat bukan
perorangan atau golongan. Hukum juga menjaga dan melindungi hak hak serta
menentukan kewajiban kewajiban anggota masyarakat agar tercapai suatu kehidupan
masyarakat yang teratur, damai dan makmur.
Menurut teori Utilitarianisme tujuan hukum ialah kemanfaatan atau
kebahagiaan masyarakat atau manusia semata mata. Para penggantinya yaitu J.
Bentham, J. Austin dan J.S Mills bersemboyan “the greatest happiness for the
greatest number”. Dalam teori Gemengde (Teori Gabungan) juga menyebutkan
bahwa tujuan hukum ialah bukan hanya keadilan tetapi juga kemanfaatan.48
Maslahah atau kemaslahatan dikenal dalam ajaran fikih sebagai suatu prinsip
dasar yang menjiwai seluruh kawasan ajaran tersebut yang dijabarkan dan diterapkan
dalam bagian bagiannya secara terperinci. Mengenai ajaran fikih yang di ajarkan oleh
Imam Ghazali r.a, Syatibi r.a dan Imam Amidi r.a bahwa menyimpulkan bahawa
kemaslahatan berkisar pada dua hal pokok yaitu mewujudkan manfaat atau kegunaan
(Jalbul Manfa’ah) dan menghindarkan kemelaratan (daf’i madharrah).49
Seperti kaidah dalam Ushûl Fiqh
د اس ف الم ف ع د و ح ال ص الم ب ل ج
46 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, cet. 2, h. 41. 47 Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 41. 48 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet.1, h.52-53. 49 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), h. 148.
53
Artinya “Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah”50
ح ال ص لم ا ب ل ى ج ل ع م د ق م د ا س ف الم ء ر د
Artinya “menolak Kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan”51
Maslahah Maslahah juga diartikan sebagai sesuatu yang dianggap Maslahah
namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikan dan tidak pula ada dalil
tertentu baik yang mendukung ataupun yang menolaknya.52 Al Maslahah sebagai
dalil hukum mengandung arti bahwa al Maslahah menjadi landasan dan tolak ukur
dalam penetapan hukum. Dengan kata lain hukum masalah tertentu ditetapkan
sedemikian rupa karena kemashlahatan menghendaki agar hukum tersebut ditetapkan
pada masalah tertentu.
Dalam hal Kâfa’ah sendiri tidak ada aturan yang secara khusus mengaturnya,
Kâfa’ah hanyalah produk dari imam madzhab. Konsep Kafa’ah ini bisa berubah
sesuai situasi dan kondisi. Kâfa’ah juga bukan merupakan syarat sah perkawinan,
namun Kâfa’ah ini hanya sebuah anjuran agar setelah menikah dapat tercapainya
tujuan perkawinan yang memberikan Maslahah kepada kedua belah pihak yakni
suami/ istri.
Syarat dari Maslahah Mursalah itu adalah hakikat, bukan dugaan.
Pembentukan hukum itu harus membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.53
Dalam hal ini adanya aturan berupa larangan anggota Kowad menikah dengan
anggota TNI yang pangkatnya lebih rendah darinya adalah untuk menolak kerusakan
dalam arti mencegah perceraian
Salah satu ulama yang mengedepankan Maslahah Mursalah dalam ijtihadnya
adalah Kiyai Sahal Mahfudh. Kiyai Sahal Mahfudh melakukan lompatan pemikiran
yang tajam dan cepat dari mainstream fikih pesantren. Ia mengintrodusir konsep
50 A Djazuli, Kaidah Kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet.1, h.
6. 51 Nashr Farid Muhammad Washil W dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id
Fiqhiyyah (Jakarta: Amzah, 2009), cet. 1, h. 21. 52 Satria Effendi M Zein, dkk, Ushul Fiqh, h. 135-136. 53 Chaerul Umam dkk, ushul fiqh 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), cet. 2, h. 137-138.
54
kemaslahatan secara mantap dan meyakinkan, mengenalkan teori-teori sosial dalam
kajian fikih, dan mengadopsi kajian filsafat dalam merespons aspek sosial dan
budaya.54
Pada prinsipnya tujuan Syariah Islam yang dijabarkan secara terperinci oleh
ulama dalam ajaran fikih (Fikih Sosial) ialah penataan hal ikhwal manusia dalam
kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan
bernegara. Adapun lima tujuan prinsip dalam Syariah Islam (Maqashid al- syariah)
yaitu memelihara agama, akal, jiwa, nasab ( Keturunan ) dan benda (harta ).55
Dalam konteks sosial yang ada ajaran Syariah yang tertuang dalam fikih
seringkali terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari hari. Hal ini
disebabkan oleh pandangan fikih yang terlalu formalistik. Titik tolak kehidupan yang
kian hari cenderung teologis menjadi tidak berbanding dengan konsep legal-
formalisme yang ditawarkan oleh fikih. Teologi disini bukan berarti pembuktian Ke-
Esaan tuhan namun teologi mengenai pandangan hidup yang menjadi titik tolak
seluruh kegiatan kaum muslimin.56
Sebuah pernikahan bila dilihat dari aspek hukum merupakan suatu perjanjian
yang sangat kuat, al-Qur’an mengistilahkannya dengan mistaāqan galizan artinya
ikatan yang sangat kuat, karena ikatan tersebut melibatkan berbagai aturan ketetapan
syara mulai dari syarat dan rukun dalam menegakannya sampai tatacara
memutuskannya (syiqāq, fasākh, talak).57
Pada dasarnya aturan yang tertuang dalam Petunjuk Teknis Tentang
Pembinaan Korps Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/ 1022/XII/2016 Tanggal 14
Desember nomor 2.8.4.2.1.1.3 Jo Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia
Nomor 50 tahun 2014 tentang Tatacara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk bagi
Prajurit pasal 5 (2) Jo Buku Petunjuk Teknis tentang Pengesahan Berlakunya buku
54 Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fiqih Sosial KH. A. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h. 171. 55 Sahal, Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 1994), h. 5. 56 Sahal, Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial, h. 21. 57 Iffatin Nur, “Pembaharuan konsep Kesepadanan kualitas (kafa'ah) dalam Al Quran dan
Hadist”. Kalam Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam,6, 2, (2012), h. 430.
55
Petunjuk Teknik Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi TNI AD
Nomor KEP/496/VII/2015 Tanggal 27 Juli 2015 bagian keterangan poin D yang
menyatakan bahwa prajurit wanita dilarang melaksanakan perkawinan dengan
prajurit pria yang lebih rendah golongan pangkatnya adalah bentuk kasih sayang dan
tanggung jawab atasan terhadap anggotanya. Yang tak lain untuk kebaikan mereka
semua.58 Agar anggota Kowad lebih selektif dalam memilih calon pendamping
hidup. Sehingga kehidupan rumah tangganya harmonis dan mereka mampu
menyamakan visi dan misi dalam mengarungi bahtera rumah tangga disamping
tugasnya yang berat sebagai abdi negara tanpa dibebani oleh masalah rumah
tangga.59
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kepangkatan sangat
berpengaruh di lingkungan TNI, maka aturan itu dibentuk yang tak lain untuk
menjaga harga diri suami sebagai kepala keluarga yang seharusya menjadi pemimpin
keluarga dan dihormati oleh istri, dan menurut saya aturan ini dapat memberikan
dampak positif baik dalam kehidupan kedinasan ataupun rumah tangga. Pada
prinsipnya aturan ini dibentuk agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan
dikemudian hari.
Hal ini juga diperkuat dengan wawancara yang sudah penulis lakukan dengan
bapak Maspilu sebagai ketua bagian Rohis bahwa dalam tataran kemiliteran ada
sebuah hirarki, ketika terjadi suatu persoalan anggota TNI tidak boleh melawan
kepada atasan (harus hormat) walaupun dalam urusan rumah tangga jika sudah
menikah tidak ada pangkat dan jabatan, namun ketika melihat dinas kemiliteran akan
tetap ada, sehingga untuk menghindari hal hal yang tidak inginkan dikemudian hari
dan juga untuk menjaga martabat dan harga diri suami maka dibentuklah aturan
bahwa seorang Kowad harus menikah dengan anggota TNI yang pangkatnya diatas
58 Maspilu, Kepala Bagian Perawatan dan Rohis, Interview Pribadi, Jakarta 12 Februari
2019. 59Ahmad Royani,” Kafa’ah dalam Perkawinan Islam (Tela’ah Kesederajatan Agama dan
Sosial)”. Al Hukma, 5, 1, (2013). h.58.
56
dia atau minimal sejajar yang tertuang dalam Peraturan Panglima TNI Nomor 50
tahun 2014 tentang Tatacara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk bagi Prajurit dan
Petunjuk Teknis tentang Pembinaan Korps Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/
1022/XII/2016 Tanggal 14 Desember 2016.
Pada dasarnya aturan ini dibentuk untuk mencapai dari pada tujuan
perkawinan itu sendiri (membentuk keluarga sakinah, mawadah warahmah) dan
untuk mencegah terjadinya perceraian, dan juga tujuan lain adanya aturan ini adalah
untuk menjaga keharmonisan rumah tangga prajurit, karena seperti tadi itu jika
berbicara mengenai aturan kedinasan, saat pangkat istri lebih tinggi, mau tidak mau
suami harus taat/ hormat kepada istri tetapi jika sudah dalam rumah tangga sudah
hilang aturanya. Jadi aturan ini untuk menjaga keharmonisan hubungan antara suami
dengan istri, untuk kebaikan kedua belah pihak dan tentunya untuk kebaikan
kesatuan TNI.
Karena secara tidak langsung jika pangkatnya lebih tinggi, otomatis
gaji/kesejahteraannya juga lebih tinggi. Untuk menghindari permasalahan yang akan
terjadi dikemudian hari, maka idealnya memang laki-laki harus berada diatas
perempuan, baik dalam segi pangkat, pendidikan ataupun gaji.60 walaupun beberapa
anggota Kowad merasa bahwa setelah menikah ia merasa kepangkatan hanya dalam
kedinasan saja sedangkan di dalam rumah tanggga tidak ada kepangkatan.
Menurutnya pula gaji bukanlah sebuah pengaruh. sebab menurutnya setinggi apapun
jabatan atau pangkat istri, sepanjang apapun gelar pendidikan istri sebanyak apapun
penghasilannya takdir perempuan di hadapan Islam adalah makmum61 namun itu
hanya pemikiran beberapa anggota Kowad saja yang beragama Islam dan memahami
ajaran Islam, yang menempatkan takdirnya sebagai makmum. Masih ada banyak
anggota Kowad dari lima agama yang berbeda yang harus disatukan dalam satu
perspektif.
60 Maspilu, Kepala Bagian Perawatan dan Rohis, Interview Pribadi, Jakarta 12 Februari
2019. 61 Aprimiyanti, Turyandos Bagperlog Setbintalad, Interview Pribadi, Jakarta 28 Januari
2019.
57
Hal lain yang penting yang dipertimbangkan, ketika pangkat calon suaminya
lebih rendah maka ia yang harus hormat kepada calon istrinya dalam kedinasan, hal
ini tidak sesuai sebab laki laki adalah pemimpin bagi perempuan, dan masih banyak
faktor- faktor lain yang bisa menyebabkan percekcokan yang berakibat timbulnya
kerusakan atau bahkan perceraian maka berdasarkan hal itu aturan ini berpijak pada
kaidah ushul fikih “menolak Kerusakan lebih diutamakan daripada menarik
kemaslahatan”.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anggota militer mempunyai konsep tersendiri dalam menentukan
Kâfa’ah, yaitu pangkat. Kedudukan pangkat sangat berpengaruh dalam kedinasan.
Pangkat menjadi ukuran yang sangat penting dalam memilih pasangan hal itu
ditunjukan kepada anggota Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat) yang terbentuk
dalam suatu aturan bahwasannya anggota Kowad dilarang menikah dengan angota
TNI yang pangkatnya dibawahnya. Ia hanya boleh menikah dengan anggota TNI
jika pangkatnya sejajar atau diatasnya.
Aturan yang tertuang dalam Petunjuk Teknis Tentang Pembinaan Korps
Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/ 1022/XII/2016 Tanggal 14 Desember nomor
2.8.4.2.1.1.3 Jo Peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor 50 tahun
2014 tentang Tatacara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk bagi Prajurit pasal 5 (2)
Jo Buku Petunjuk Teknis Tentang Pengesahan Berlakunya Buku Petunjuk Teknik
Tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi TNI AD Nomor
KEP/496/VII/2015 Tanggal 27 Juli 2015 bagian keterangan poin D yang
menyatakan bahwa prajurit wanita dilarang melaksanakan perkawinan dengan
prajurit pria yang lebih rendah golongan pangkatnya, yang tak lain adalah bentuk
kasih sayang, kepedulian dan tanggung jawab atasan terhadap bawahannya. Aturan
ini dibuat untuk kebaikan mereka semua. Agar anggota Kowad tidak salah dalam
memilih calon pendamping hidup. Agar mereka mampu menyamakan visi dan misi
dalam mengarungi bahtera rumah tangga disamping tugasnya yang berat sebagai
abdi negara.
Kepangkatan sangat berpengaruh di lingkungan militer, dalam tataran
kemiliteran ada sebuah hirarki, ketika terjadi suatu persoalan anggota TNI tidak
boleh melawan kepada atasan (harus hormat) walaupun dalam urusan rumah tangga
jika sudah menikah tidak ada pangkat dan jabatan, namun ketika melihat dinas
59
kemiliteran akan tetap ada maka aturan itu dibuat untuk menjaga harga diri suami
sebagai kepala keluarga yang seharusya menjadi pemimpin keluarga dan juga
mengindari agar istri tidak nusyuz karna secara tidak langsung jika pangkatnya
lebih tinggi, otomatis gaji/kesejahteraannya juga lebih tinggi. Untuk menghindari
permasalahan yang akan terjadi dikemudian hari, maka idealnya memang laki-laki
harus diatas perempuan. Baik dalam segi pangkat, pendidikan ataupun gaji.
Pada dasarnya aturan ini dibuat untuk mencapai dari pada tujuan
perkawinan itu sendiri. (membentuk keluarga sakinah, mawadah warahmah)
walaupun tujuan perkawinan tidak mutlak dicapai hanya karena ke kufuan’ semata,
tetapi hal tersebut sebagai penopang utama dan faktor agama serta akhlak yang
baiklah yang jauh lebih penting dan diutamaka. Juga untuk mencegah terjadinya
kerusakan dalam perkawinan (perceraian), untuk menjaga keharmonisan rumah
tangga prajurit sebab tugas anggota TNI yang berat harus ditopang oleh keluarga
yang kuat dan harmonis.
Aturan ini sejalan dengan teori Maslahah Mursalah ”menolak Kerusakan
lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan” Latar belakang diterapkannya
konsep Kâfa’ah dalam perkawinan adalah untuk menghindari konflik dalam
perkawinan. Dan adanya aturan ini untuk mencegah terjadinya hal yang tidak
diingkinkan dikemudian hari.
B. Saran
Berdasarkan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan penulis ini. Maka penulis
perlu untuk memberikan saran-saran sebagai bahan pertimbangan di kemudian
hari. Saran saran tersebut penulis tuju kepada:
1. Konsep Kâfa’ah sudah mengalami perkembangan dan akan selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dewasa ini Pendidikan dan
Pangkat merupakan aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam
memilih calon pendamping hidup. Seperti halnya di dalam lingkungan TNI.
Maka untuk anggota Kowad seharusnya lebih selektif dalam memilih calon
59
pendamping hidupnya dan untuk Anggota TNI laki-laki sebaiknya memang
mencari calon pendamping hidup yang dibawahnya dan tidak melirik anggota
Kowad yang lebih tinggi pangkatnya. Dan juga lebih memahami hikmah dan
tujuan dibuatnya aturan tersebut.
2. Untuk pembaca semoga lebih terbuka lagi pemahamannya mengenai Kâfa’ah
dan mencari calon pendamping hidup yang sekufu’ walaupun kufu’ bukan
merupakan syarat sah perkawinan namun memilih pasangan yang sekufu’
mampu menjamin keselamatan dalam mengarungi rumah tangga. Sebab
semakin banyak persamaan akan semakin sedikit konflik yang akan dihadapi,
semakin banyak perbedaan akan semakin banyak konflik yang akan di hadapi
kedepannya.
3. Untuk Akademisi, penelitian ini bisa dijadikan landasan untuk melakukan
penelitian selanjutya. Penulis melihat hal hal yang bisa diteliti pada tema
penelitian ini adalah meneliti dampak perkawinan yang sekufu’ dan tidak
sekufu’ terhadap angka perceraian.
61
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ghozali, Abdul,Rahman, Fiqh munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Group, 2013.
Slamet, Abidin. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Yanggo, T Huzaemah. Hukum keluarga dalam Islam. cet. 1. Palu: Yamiba, 2013.
Bugha, Musthafa al dkk. Fiqih manhaji. Yogyakarta: Darul Uswah, 2012.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta:
elSAS, 2008.
Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
Yusuf, A muri, Metode Penelitian, cet. 1. Jakarta: Prenadamedia Group, 2014,
Silalahi, Ulber. Metode penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2009.
Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. cet. 12. Jakarta: Kencana, 2016.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. cet. 1. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group,2006.
Ash-shabbagh, Mahmud. Keluarga bahagia Dalam Islam, cet. 5. Yogyakarta: CV
Pustaka Mantiq, 1993.
Tihami dan Sohari. Fiqih Munakahat. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Arifin,Gus. Menikah Untuk Bahagia. Jakarta: Kompas Gramedia, 2010.
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. cet. 2. Jakarta: Kencana, 2017.
Amir dan taat nasution. Rahasia Perkawinan dalam Islam. Cet. 3. Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1994.
Asmawi, Muhammad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. cet. 1.
Yogyakarta: Darussalam Perum Griya Suryo Astri, 2004.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al- Quran. Bandung: Mizan :1999.
Jaiz, Hartono Ahmad dan Mulyawati yasin, Ragam Berkeluarga Serasi Tapi Sesat.
Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1994.
Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh. cet. 7. Jakarta: Kencana, 2017.
62
Syafiruddin, Amir. Ushul Fiqh. cet.4. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. 2008.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. cet.2. Jakarta: Amzah, 2011.
Ashshiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pokok Pokok Pegangan Imam Madzhab.
cet. 1. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Djajuli A, Kaidah Kaidah Fiqih. cet. 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2006.
Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu & dua. cet. 1. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh. cet.2. Semarang: Dina Utama, 2014.
Umam, Chaerul dkk.Ushul Fiqih 1. cet. 2. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Zahrah,, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. cet. 9. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. cet. 1. Ciputat: Logos Publishing House, 1996.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. cet 1. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
dengan UIN Jakarta Press, 2006.
Shihab, Quraiys. Pengantin al Qur’an kalung permata buat anak- anaku. Jakarta:
Lentera Hati, 2007.
Asmani, Jamal Ma’mur. Mengembangkan Fiqih Sosial KH. A. Sahal Mahfudh
Elaborasi Lima Ciri Utama, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015.
Rahman, Jamal. Wacana Baru Fiqih social 70 tahun K.H. Ali Yafie. Jakarta: Mizan,
1997.
Manan, Abdul. Aspek Aspek Pengubah Hukum, cet. 3. Jakarta: Kencana, 2016.
Nashr Farid Muhammad Washil W dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id
Fiqhiyyah. cet. 1., Jakarta: Amzah, 2009.
Mahfud, Sahal. Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 1994.
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Salim. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Syarifin, Pipin. Pengantar Ilmu Hukum. cet. 1. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, 1994.
63
Suma, Muhammad Amin, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual, cet.1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LSM
Damar Semarang, 2004.
Undang Undang
Undang Undang nomor 1 tahun 1974
Peraturan Panglima Tentara Indonesia Nomor 50 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Nikah Talak Cerai Rujuk
Surat Keputusan Nomor kep/496/VIII/2015 Tentang Pengesahan Berlakunya buku
Petunjuk Teknik Tentang Nikah Talak Cerai Rujuk
Petunjuk Teknis tentang Pembinaan Korps Wanita Angkatan Darat Nomor KEP/
1022/XII/2016 Tanggal 14 Desember 2016
Skirpsi
Munazirah, “Konsep Kafa’ah dalam pernikahan menurut ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah”
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri ar-rainy
Aceh, 2018.
Sari, fajar Kurnia, “Bimbingan Perkawinan Prajurit TNI AD dalam mewujudkan
keluarga sakinah di kodam I Bukit Barisan” Skripsi SI Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2018.
Rusdiani, “Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan Masyarakat Sayyid ditinjau dari
Hukum Islam” Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri ALauddin Makassar, 2014.
Mubarok, Fathi, “Analisis Hukum Islam Terhadap Ijin Perkawinan Bagi anggota
Kowad” Skripsi S-1 Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri
Walisongo, 2009.
64
Referensi Jurnal
Yudowibowo, Syafruddin. “Tinjauan Hukum Perkawinan di Indonesia Terhadap
Konsep Kafa'ah Dalam Hukum Perkawinan Islam”. Yustisia, Vol.1,2, (2012).
Vindura, Vina. “Metode Penetapan Kafa'ah dalam Juklak no 1/II/1986 Persfektif
Hukum Islam”. Al Hukma, Vol 06, 2, (2016).
Gustiawati, Syarifah, dan Novi Lestari. “Aktualisasi Konsep Kafa'ah dalam
Membangun Keharmonisan Rumah Tangga”. Mizan. Vol. 4,1 (2016).
Nur, Iffatin, “Pembaharuan konsep Kesepadanan kualitas (kafa'ah) dalam Al Quran
dan Hadist”. Kalam Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol 06, 2,
(2012).
Royani, Ahmad,” Kafa’ah dalam Perkawinan Islam (Tela’ah Kesederajatan Agama
dan Sosial)”. Al Hukma. Vol. 5, 1, (2013).
Wawancara
Interview Pribadi, dengan Maspilu sebagai Kepala Bagian Perawatan dan Rohis,
Jakarta 12 Februari 2019.
Interview Pribadi dengan Abu Haris, Kepala Sub Dinas Pembinaan dan Fungsi,
Jakarta 28 Januari 2018.
Interview Pribadi dengan Fitri Handayani. Pasianev dan Orgas Setdisbintad, Jakarta
12 Februari 2019
Interview Pribadi dengan Aprimiyanti, Turyandos Bagperlog Setbintalad, Jakarta
28 Januari 2018.
Bersama Ibu Kapten Caj (K) Fitri Handayani,
Bersama Serka (K) Aprimiyati
Bersama Kolonel Caj Drs. Abu Haris Mutohar, M.S.I,
Bersama Mayor. Inf Maspilu S.Ag