Konsep Diri, Nilai Dan Keyakinan pada lansia
-
Upload
dara-mustika -
Category
Documents
-
view
108 -
download
4
description
Transcript of Konsep Diri, Nilai Dan Keyakinan pada lansia
Konsep Diri, Nilai dan Keyakinan Pada Lanjut Usia
Disusun Oleh:
HG 3 Kelas C
Dara Mustika (1106020466)
Iis Saraswati (1106053073)
Kartika Rosalia Indah (1106022553)
Ira Rahmawati (1106023070)
Ranti Prahyameita (1106053041)
Aida Alawiyah (110653136)
Tri Kurniawati (1106021840)
Makalah Tugas
untuk Mata Kuliah Keperawatan Gerontik II
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah
dengan judul ”Konsep Diri, Nilai dan Keyakinan Pada Lanjut Usia” ini
bertujuan untuk mempelajari lebih dalam mengenai konsep diri, nilai
keyakinan pada lansia serta asuhan keperawatan yang harus diterapkan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada fasilitator, Ibu Dwi Cahya Rahmadiyah, SKep atas segala
pengarahan dan bimbingannya yang telah diberikan selama proses
pembuatan makalah. Penulis juga berterima kasih kepada teman-teman dan
pihak lain yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk proses penyempurnaan makalah selanjutnya.
Besar harapan kami makalah ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis
maupun pembaca.
Depok, 17 Februari 2014
Penulis
ii.
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan ........................................................................................ 3
1.5 Sistematika Penulisan .................................................................................. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Diri ................................................................................................. 4
2.1.1 Komponen Konsep Diri Pada Lansia ................................................ 4
2.1.1.1 Identitas ................................................................................. 4
2.1.1.2 Citra Tubuh ........................................................................... 5
2.1.1.3 Penampilan Peran .................................................................. 6
2.1.1.4 Harga Diri ............................................................................. 8
2.1.1.4 Ideal Diri ............................................................................... 8
2.1.2 Rentang Respon Konsep Diri ............................................................ 9
2.1.2.1 Aktualisasi Diri ................................................................... 10
2.1.2.2 Konsep Diri Positif ..............................................................10
2.1.2.3 Harga Diri Rendah .............................................................. 10
2.1.2.4 Kerancuan Identitas .............................................................11
2.1.2.5 Depersonalisasi ................................................................... 11
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Pada Lansia........ 12
2.1.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri .............................. 12
2.1.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Penampilan Peran .................. 12
2.1.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Identitas Diri .......................... 13
2.1.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Citra Tubuh ........................... 14
2.1.3.5 Faktor yang Mempengaruhi Ideal Diri ............................... 14
2.1.4 Gangguan Konsep Diri Pada Lansia ............................................... 15
iii.
3
2.1.5 Asuhan Keperawatan Masalah Konsep Diri Pada Lansia ............... 19
2.2 Nilai dan Keyakinan .................................................................................. 22
2.2.1 Spiritualitas Pada Lansia ................................................................. 22
2.2.1.1 Pengertian Spiritual ............................................................. 22
2.2.1.2 Karakteristik Spiritual ......................................................... 23
2.2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Spiritual ................................. 24
2.2.1.4 Tahapan Spiritual ................................................................ 25
2.2.1.5 Dimensi Spiritual ................................................................ 25
2.2.1.6 Kesejahteraan Spiritual ....................................................... 27
2.2.2 Tradisi Praktik Kesehatan dan Perawatan Lansia dari
Beragam Budaya ............................................................................. 31
2.2.2.1 Mitos dan Stereotip ............................................................. 32
2.2.2.2 Perawatan dan Status Lansia ............................................... 35
2.2.2.3 Sistem Pendukung ............................................................... 36
2.2.2.4 Definisi Sehat dan Sakit ...................................................... 36
2.2.2.5 Implikasi Klinis dalam Menangani Lansia ......................... 37
2.2.3 Kehilangan dan Berduka Pada Lansia ............................................ 38
2.2.3.1 Teori Kubler-Ross's ............................................................ 41
2.2.3.2 Teori John Bowlby .............................................................. 42
2.2.3.3 Teori Engel .......................................................................... 42
2.2.3.4 Teori Howoritz Loss and Adaptation .................................. 43
2.2.3.5 Teori Rando ........................................................................ 44
2.2.4 Proses Meninggal dalam Damai (End of Life Care)
pada Lansia ..................................................................................... 45
2.2.4.1 Definisi dan Perspektif Tentang Kematian ......................... 45
2.2.4.2 Tanda-Tanda Lansia Pada End of Life ............................... 48
2.2.4.3 Komponen Kesiapan Lansia Meninggal dalam Damai .......48
2.2.4.4 Peran Perawat dalam End of Life Care
pada lansia ........................................................................... 52
4
iv.
2.2.5 Asuhan Keperawatan Menjelang Kematian dan Sesudah Kematian
pada Lansia ..................................................................................... 56
2.2.5.1 Asuhan Keperawatan Menjelang Kematian ........................ 56
2.2.5.2 Asuhan Keperawatan Sesudah Kematian ........................... 62
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 68
3.2 Saran .......................................................................................................... 70
DAFTAR REFERENSI ..................................................................................... 71
5
v.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lansia merupakan sekelompok manusia yang mempunyai umur 65-75
tahun, atau dalam kata lain sudah tidak bekerja lagi (produktif). Banyak
pandangan yang menganggap bahwa lansia tidak menyenangkan, kotor dan
tidak bisa berbuat apa-apa. Lansia tidak mengalami perkembangan, namun
lansia mengalami penurunan. Penurunan dari sisi fisiologi ataupun
psikologisnya. Sisi psikologis lansia megalami perubahan konsep diri.
Perubahan ini mempengaruhi hubungan lansia dengan orang lain. Lansia
akan mempunyai banyak waktu luang dalam kesehariannya. Waktu luang ini
biasanya digunakan oleh lansia untuk menigkatkan spiritualnya. Lansia tiap
wilayah berbeda budaya, begitu pula dengan perawatan terhadap lansia.
Lansia mempunyai hak yang sama dengan kelompok usia yang lain.
Lansia berhak mendapatkan perawatan kesehatan yang baik. Lansia erat
hubungannya dengan kematian. Lansia berhak mendapat kedamaian saat
mereka meninggal. Sebelum meninggal perawat berkewajiban melayani dan
memberikan kebutuhan yang dibutuhkan oleh lansia sampai lansia
mengalami kematian. Perawat tidak hanya memenuhi kebutuhan lansia, tetapi
juga perawat memenuhi kebutuhan keluarga lansia tersebut. Tidak hanya
memenuhi kebutuhan lansia sebelum meninggal, perawat juga memberikan
perawatan kepada jenazah lansia tersebut. Peran perawat pada lansia sangat
penting , sehingga lansia dapat meninggal dengan damai.
6
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan konsep diri dan apa saja komponen dari
konsep diri?
2. Bagaimana rentang respon konsep diri pada lansia ?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi konsep diri lansia?
4. Apa saja masalah atau gangguan konsep diri pada lansia?
5. Apa sajakah diagnosis keperawatan dengan masalah konsep diri pada
lansia?
6. Apa intervensi keperawatan dengan masalah konsep diri pada lansia?
7. Bagaimana spiritualitas pada lansia ?
8. Bagaimana tradisi praktik keperawatan dan perawatan lansia dengan
beragam budaya?
9. Bagaimana konsep berduka dan kehilangan pada lansia?
10. Bagaimana konsep End-of-Live pada lansia dan keluarga ?
11. Apa saja asuhan keperawatan post-mortem pada lansia?
1.3.Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan tentang konsep diri dan komponen konsep diri lansia.
2. Menjelaskan rentang respon konsep diri lansia.
3. Menjelaskan faktor yang mempengaruhi konsep diri lansia.
4. Menjelaskan masalah atau gangguan konsep diri pada lansia
5. Menjelaskan diagnosis keperawatan dengan masalah konsep diri pada
lansia.
6. Menjelaskan intervensi keperawatan dengan masalah konsep diri pada
lansia.
7. Menjelaskan spiritualitas pada lansia.
8. Menjelaskan tradisi praktik keperawatan dan perawatan lansia dengan
beragam budaya.
9. Menjelaskan konsep berduka dan kehilangan pada lansia.
10. Menjelaskan konsep End-of-Live pada lansia dan keluarga.
11. Menjelaskan asuhan keperawatan post-mortem pada lansia.
7
1.4.Metode Penulisan
Metode penyusunan makalah yang digunakan adalah colaborative
learning dan studi pustaka. Pencarian materi mengenai konsep manajemen
keperawatan yang dilakukan melalui studi pustaka menggunakan berbagai
literatur dan pencarian data dari internet. Tim penyusun mencari literatur-
literatur baik dari buku maupun dari internet yang berkaitan dengan topik.
1.5.Sistematika Penulisan
Metode penulisan dalam makalah ini terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu bab 1
terdiri dari pendahuluan, bab 2 terdiri dari tinjauan pustaka, dan bab 3 berisi
penutup.
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Diri
2.1.1 Komponen Konsep Diri Pada Lansia
Konsep diri adalah konseptualisasi individu terhadap dirinya
sendiri. Konsep diri secara langsung mepengaruhi harga diri dan perasaan
seseorang tentang dirinya sendiri. Konsep diri dapat dipelajari melalui
kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain.
Teori perkembangan psikososial Erikson (1963) menunjukkan
kegunaannya dalam memahami tugas utama yang dihadapi individu dalam
berbagai tahapan perkembangan. Keberhasilan menyelesaikan setiap tahap
akan membentuk konsep diri yang kuat. Pada lansia (akhir 60-meninggal),
konsep diri yang yang terbentuk adalah integritas versus keputusasaan
karena dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup. Dalam hal ini
dengan tahap yang dapat diselesaikan dapat membentuk konsep diri
berupa memiliki perasaan positif tentang kehidupan dan arti kehidupan,
serta tertarik untuk mempersiapkan warisan untuk generasi berikutnya.
Tugas perkembangan yang terwujud akan menghasilkan konsep
diri positif yang memberikan rasa berarti, menyeluruh, dan konsisten pada
lansia. Ada pun komponen konsep diri yang sering dipertimbangkan oleh
perawat adalah identitas, citra tubuh, penampilan peran, harga diri, serta
ideal diri.
2.1.1.1 Identitas
Menurut Stuart dan Laraia (2005) identitas adalah kesadaran
akan keunikan diri sendiri, bersumber dari penilaian dan observasi diri
sendiri. Identitas merupakan cara seseorang berperilaku menjadi diri
mereka sendiri (Potter dan Perry, 2005). Identitas diperlukan untuk
berhubungan dengan orang lain. Hal ini dipengaruhi oleh nilai dan
keyakinan serta kultur yang dipelajari melalui sosialisasi.
9
Secara umum, semakin identitas individu dikenal oleh
kelompok sosial, maka akan semakin besar harga dirinya. Sebagai
contoh bahkan para lansia di Jepang begitu percaya diri untuk mereka
mampu bersosialisasi dengan oran lain dengan banyak melakukan
aktivitas di luar rumah seperti berjalan-jalan ke taman, berkunjung ke
rumah saudara, teman, atau bahkan mendominasi kunjungan ke pusat
perbelanjaan meskipun harus menggunakan alat bantu seperti kruk,
dan sebagainya. Sedang di negara Timur, menganggap lansia sebagai
usia dimana lebih banyak meningkatkan spiritualitas dan hanya
melakukan aktivitas di dalam rumah, tentunya kedua hal ini
mencerminkan ideal diri yang dibentuk dari masyarakat dan budaya
masing-masing.
Pada usia lansia, komponen konsep diri mengenai identitas diri
seharusnya sudah menetap pada diri seseorang. Identitas seseorang
tentang jenis kelamin apakah dirinya wanita atau pria sudah
berkembang sejak masa anak-anak. Hal inilah yang menyebabkan
lansia sudah mengerti tentang identitas dirinya.
2.1.1.2 Citra tubuh
Citra tubuh merupakan kumpulan sikap individu yang disadari
dan tidak disadari terhadap tubuhnya, termasuk persepsi serta
perasaan masa lalu dan sekarang tentang ukuran, fungsi, penampilan
dan potensi. Citra tubuh dimodifikasi secara berkesinambungan
dengan persepsi dan pengalaman baru. Rasa terhadap citra tubuh
termasuk semua yang berkaitan dengan seksualitas, feminitas, dan
maskulinitas, berpenampilan muda, kesehatan, dan kekuatan (Stuart,
2009).
Penurunan fisik pada lansia merupakan penurunan bertahap
struktur dan fungsi sistem organ tubuh. Lansia sering merasa
mengalami penurunan konsep diri terutama pada citra tubuhnya. Pada
lansia, hal ini berhubungan dengan perubahan yang ditunjukkan pada
proses penuaan seperti kerutan di wajah, rambut putih, penurunan
10
penglihatan, penurunan pendengaran, dan penurunan kekuatan tulang
dan otot (Perry dan Potter, 2005).
Cara pandang orang lain terhadap tubuh seseorang dan umpan
balik yang ditawarkan juga berpengaruh. Sebagai contoh, dalam
pasangan suami istri lanjut usia, secara seksualitas pria lanjut usia
tetap dapat melakukan tugas perkembangan reproduksi (memproduksi
sperma), akan tetapi bagi wanita lanjut usia perkembangan reproduksi
mereka telah memasuki masa istirahat (tidak bisa bereproduksi), sang
suami lansia yang berkuasa mengatakan bahwa istrinya jelek dan tidak
dapat membuatnya bahagia. Dalam hal ini maka sang lansia wanita ini
akan memasukkan devaluasi ini ke dalam konsep dirinya tanpa
berpikir apakah konsep bahagia hanya terwujud dalam sebuah
hubungan badan, dan bukan mencakup sentuhan, pelukan,
kebersamaan, dan sebagainya.
Budaya dan sikap dan nilai-nilai sosial juga mepengaruhi citra
tubuh. Budaya dan sosial membentuk norma-normal citra tubuh yang
dapat diterima dan memengaruhi sikap seseorang. Ras dan latar
belakang etnik memainkan peran integral dalam kepuasan fisik.
Sebagai contoh masyarakat Amerika lebih menekankan pada usia
muda, kecantikan, dan keseluruhan. Budaya barat telah
menyosialisasikan untuk takut terhadap proses penuaan normal,
sedangkan budaya Timur memandang proses penuaan secara lebih
positif dan menghormati individu usia lanjut (Perry dan Potter, 2005).
2.1.1.3 Penampilan peran
Menurut Stuart (2009), peran adalah seperangkat perilaku yang
diharapkan secara sosial yang berhubungan dengan fungsi individu
pada berbagai kelompok. Peran yang dimaksud mencakup peran
sebagai orang tua, pengawas, atau teman dekat. Peran yang diikuti
individu dalam berbagai situasi mencakup sosialisasi terhadap harapan
atau standar perilaku. Individu mengembangkan dan menjaga perilaku
yang disetujui masyarakat melaui proses:
11
1. Penguatan-pemadaman: Perilaku khusus menjadi biasa atau
dihindari, tergantung apakah mereka setuju dan diperkuat, atau
diperkecil dan dihukum.
2. Hambatan: Individu belajar untuk menahan diri dari suatu
perilaku, meskipun saat digoda untuk ikut serta didalamnya.
3. Substitusi: Individu menggantikan satu perilaku dengan
perilaku lainnya yang memberikan kepuasan personal yang
sama.
4. Imitasi: Individu membutuhkan pengetahuan, ketrampilan, atau
perilaku dari anggota masyarakat atau kelompok budaya.
5. Identifikasi: Individu memasukkan kepercayaan, perilaku, dan
nilai-nilai dari model peran ke dalam suatu ekspresi personal
diri yang unik.
Individu memiliki peran berganda dan kebutuhan personal
yang terkadang menimbulkan konflik. Individu yang berhasil akan
belajar membedakan peran yang ideal dan kemungkinan yang masuk
akal. Memenuhi peran yang diharapkan akan meningkatkan perasaan
diri. Kesulitan atau kegagalan dalam memenuhi peran yang
diharapkan biasanya akan menyebabkan penurunan harga diri atau
perubahan konsep diri.
Setiap orang termasuk lanjut usia selalu disibukkan dengan
perannya yang berhubungan dengan posisi pada setiap waktu
sepanjang kehidupan, misalnya peran sebagai kakek-nenek, orang tua,
anggota masyarakat, suami istri, dan sebagainya. Peran tersebut
sangat dibutuhkan untuk mencapai aktualisasi diri. Namun, peran
yang lansia hadapi bukan tanpa stressor yang meliputi konsep peran
dimana konflik peran ini dialami. Beberapa konflik peran yang terjadi
seperti peran yang tidak jelas dimana bisa terjadi jika individu
diberikan peran yang tidak jelas dalam hal perilaku dan penampilan
yang diharapkan (lansia harus menjadi peran orang tua atas anaknya
sementara secara tahap perkembangan mereka kembali memasuki
tahap anak-anak untuk dimengerti dan dilayani dengan baik), peran
12
berlebihan dimana dapat terjadi jika seorang individu menerima peran
sebagai kakek-nenek, tokoh masyarakat, orang tua, ketua organisasi
sosial, dll dimana peran tersebut tidak dapat dijalankan dengan baik
mengingat kondisi fisik yang mengalami penurunan secara berkala.
Seorang lansia yang sudah mengalami banyak penurunan fisik
juga akan mengalami gangguan peran di masyarakat. Lansia akan
merasa lingkungan social untuk lansia di Indonesia terutama, tidak
membolehkan lansia ikut berperan aktif dalam sosial karena dianggap
sudah tidak mampu. Hal ini tentu akan mempengaruhi konsep diri
seorang lansia.
2.1.1.4 Harga diri
Menurut Stuart dan Laraia (2005) harga diri adalah penilaian
individu tentang pencapaian diri dengan mengevaluasi seberapa jauh
perilaku sesuai dengan ideal diri sehingga menghasilkan perasaan
berharga. Harga diri bersifat positif saat seseorang merasa mampu,
berguna, dan kompeten. Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya
penerimaan dan perhatian. Harga diri akan meningkat sesuai
meningkatnya usia. Harga diri seorang lansia bergantung pada
bagaimana mereka dibentuk dengan perlakuan saat kecil, apakah
mereka telah dicintai, dihormati dan dihargai atas usaha dan
keputusan-keputusan yang dibuat semasa muda.
Pada lansia gangguan harga diri juga dapat muncul karena
tantangan baru yang ditimbulkan seperti pensiun, kehilangan
pasangan, dan cacat fisik. Masalah lain seperti penuaan pada lansia
dimana lingkungan sosial masyarakat yang menghargai kecantikan
dan muda sering menyebabkan harga diri rendah.
2.1.1.5 Ideal diri
Ideal diri merupakan persepsi individu tentang bagaimana dia
seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai
personal tertentu (Stuart, 2009). Agar individu mampu berfungsi dan
13
mendemonstrasikan kecocokan antara persepsi diri dan ideal diri,
maka hendaknya ideal diri ditetapkan tidak terlalu tinggi, masih lebih
tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat
dicapai.
Ideal diri akan mewujudkan cita-cita atau penghargaan diri
berdasarkan norma-norma sosial dimasyarakat tempat individu
tersebut melahirkan penyesuaian diri. Pembentukan ideal diri dimulai
pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh orang yang penting pada
dirinya yang memberikan harapan atau tuntutan tertentu. Pada usia
remaja ideal diri akan terbentuk melalui identifikasi pada orang tua,
guru dan teman. Pada usia yang lebih tua (lansia) dilakukan
penyesuaian yang merefleksikan berkurangnya kekuatan fisik dan
perubahan peran serta tanggung jawab. Selain itu ideal diri pada lansia
dapat berupa harapan terhadap penyakit yang dialami. Hal tersebut
dikarenakan pada masa lansia terjadi penurunan sistem tubuh. Oleh
karena itu dibutuhkan adaptasi agar lansia tetap bisa memiliki ideal
diri yang realistis (Stuart dan Laraia, 2005).
2.1.2 Rentang Respon Konsep Diri
Tabel rentang respon konsep diri (Stuart & Laraia, 2005)
Menurut Keliat (1999) setiap individu memiliki stressor masing-
masing disetiap hidupnya. Stressor tersebut mempengaruhi tingkat
keseimbangan dalam diri individu sehingga perlu adanya koping untuk
mengatasi masalah tersebut. Namun koping yang diberikan dapat bersifat
adaptif atau maladaptif sehingga pada akhirnya dapat mengatasi masalah atau
tidak.
14
2.1.2.1 Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri merupakan kemampuan seseorang untuk
mengatur diri sendiri sehingga bebas dari berbagai tekanan, baik yang
berasal dari dalam diri maupun di luar diri. Aktualisasi diri merupakan
pernyataan tentang konsep diri yang positif dengan melatar belakangi
pengalaman nyata yang suskes dan diterima, ditandai dengan citra
tubuh yang positif dan sesuai, ideal diri yang realitas, konsep diri yang
positif, harga diri tinggi, penampilan peran yang memuaskan,
hubungan interpersonal yang dalam dan rasa identitas yang jelas.
2.1.2.2 Konsep diri positif
Konsep diri positif merupakan individu yang mempunyai
pengalaman positif dalam beraktivitas diri. Individu yang memiliki
konsep diri positif adalah individu yang tahu betul siapa dirinya
sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, evaluasi
terhadap dirinya menjadi lebih positif serta mampu merancang tujuan-
tujuan yang sesuai dengan realitas. Konsep diri positif pada lansia
dimana lansia mampu membuat ideal diri yang realistis kemudian
diterapkan melalui perannya dalam keluarga dan masyarakat sehingga
dapat meningkatkan harga dirinya.
2.1.2.3 Harga diri rendah
Harga diri rendah yaitu transisi antara respon konsep diri yang
adaptif dengan konsep diri yang maladaptif. Harga diri adalah
penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa
seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1991).
Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia
lanjut. Tanda dan gejala dari harga diri rendah diantaranya rasa
bersalah pada diri sendiri, mengkritik diri sendiri atau orang lain,
menarik diri dari realitas, pandangan diri yang pesimis, perasaan tidak
mampu, perasaan negatif pada dirinya sendiri, percaya diri kurang,
mudah tersinggung dan marah berlebihan.
15
Stereotip dan stigma yang negatif terhadap lansia akan
menurunkan harga diri. Dua faktor potensial yang menyebabkan hal
tersebut yaitu interaksi sosial lansia yang menurun dan kehilangan
kontrol terhadap lingkungan mereka. Sehingga kesempatan untuk
memvalidasi dan mengkonfirmasi harga dirinya lebih sedikit.
Orang yang memiliki harga diri rendah akan memiliki penilaian
yang negatif terhadap dirinya dan memiliki perasaan bahwa dirinya
lemah, tidak punya harapan, takut, mudah mengkritik diri sendiri,
perasaaan tidak mampu, pandangan hidup yang pesimis, merasa tidak
berharga. Contohnya: lansia yang sudah pensiun akan merasa
khawatir terhadap keberlangsungan hidupnya, dia sulit beradaptasi
terhadap perubahan perannya.
2.1.2.4 Kerancuan identitas
Kerancuan identitas merupakan kegagalan aspek individu
mengintegrasikan aspek-aspek identitas mencakup rasa internal
tentang individualitas, keutuhan, dan konsistensi dari seseorang
sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi. Kekacauan identitas
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikenal dengan
stressor identitas.
2.1.2.5 Depersonalisasi
Depersonalisasi yaitu perasaan yang tidak realistik dan asing
terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan
serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain (Kelliat,
1998). Tanda dan gejala yang ditunjukkan yaitu dengan tidak adanya
rasa percaya diri, ketergantungan, sukar membuat keputusan, masalah
dalam hubungan interpersonal, ragu dan proyeksi. Secara afektif,
perilaku yang berhubungan dengan depersonalisasi yaitu: mengalami
kehilangan identitas, perasaan terpisah dari diri sendiri, perasaan tidak
aman, perasaan tidak realistis, rasa terisolasi yang kuat, dan
16
ketidakmampuan mencari kesenangan. Secara perceptual perilaku
yang berhubungan dengan depersonalisasi yaitu: halusinasi
pendengaran dan penglihatan, gangguan citra tubuh, dan mengalami
dunia seperti dalam mimpi. Serta secara kognitif perilaku yang
berhubungan dengan depersonalisasi yaitu: bingung, disorientasi
waktu, gangguan berfikir, gangguan daya ingat, dan gangguan
penilaian.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Pada Lansia
2.1.3.1 Faktor yang mempengaruhi harga diri
Faktor yang mempengaruhi yaitu tingkat kemandirian dan
penyakit fisik. Terkadang lansia memiliki keterbatasan dalam
memenuhi kebutuhan dasar sehingga membutuhkan bantuan parsial dan
total. Hal ini dapat menyebabkan penurunan harga diri akibat
ketidakberdayaannya sehingga mempengaruhi konsep dirinya. Oleh
karena itu, lansia perlu didorong untuk dapat mandiri melakukan
aktivitas dasar seperti mandi, berpakaian, makan, berdandan, dan
menggunakan toilet untuk membantu mereka memenuhi kebutuhannya
dan meningkatkan harga diri, otonomi, dan identitas diri.
Penyakit yang biasanya diderita lansia seperti penyakit kronis,
defisit sensori juga menyebabkan peningkatan ketergantungan sehingga
menurunkan harga diri mereka yang merasa tidak berharga dan bernilai
bagi lingkungannya (Stuart dan Laraia, 2001). Lansia juga mengalami
penurunan memori (daya ingat), perasaan, kecerdasan, dan motivasi
yang sering kali mendapat respon yang tidak diharapkan dari
lingkungan sekitar. Hal tersebut membuat penurunan harga diri pada
lansia, sehingga timbul depresi, gangguan kognitif, serta stres.
2.1.3.2 Faktor yang mempengaruhi penampilan peran
Penampilan peran yang terjadi pada lansia berubah secara
drastis. Individu yang biasanya dapat beraktivitas sesuai dengan peran
17
yang dimilikinya di lingkungan sosial sekarang menjadi berkurang
karena proses penurunan fungsi biologis dan kognitif yang dialami oleh
lansia tersebut. Penurunan kognitif ditandai dengan lansia mudah lupa
akan nama-nama orang, waktu dan tempat, serta kemunduran
kemampuannya dalam menerima hal-hal yang baru.
Tiga teori psikososial klasik yang menjelaskan perubahan
perilaku, peran, dan hubungan sosial yang terjadi pada penuaan adalah
teori pemutusan hubungan, teori aktivitas, dan teori kontinuitas. Teori
pemutusan hubungan menyatakan bahwa lansia akan menarik diri dari
peran sebelumnya dan berganti ke aktivitas yang lebih introspektif dan
berfokus pada dirinya sendiri (Cummings dan Henry, 1961; Potter dan
Perry, 2010). Di sisi lain, teori aktivitas menyatakan bahwa
kesinambungan aktivitas yang dilakukan selama usia paruh baya akan
mempengaruhi keberhasilan proses penuaan (Havighurst, Neugarten,
dan Tobin, 1963; Potter dan Perry, 2010). Teori kontinuitas Neugarten
menyatakan bahwa seiring penuaan, kepribadian akan tetap sama dan
kepribadian dan perilaku yang dibangun selama hidup akan menentukan
tingkat hubungan dan aktivitas pada masa lansia.
2.1.3.3 Faktor yang mempengarui identitas diri
Pada lansia, selama tumbuh, aspek budaya dari konsep dirinya
diperkuat melalui hubungan sosial, keluarga, atau pengalaman budaya.
Selain itu identitas pada lansia juga dipengaruhi oleh peer atau teman
sekelompok dalam bersosialisasi. Lansia mengenal identitasnya saat
berhubungan sosial dengan teman sebayanya atau sesama lansia, saat
berbagai pengalaman yang sama-sama dirasakan.
Pada lansia, keanggotaan dalam kelompok sesama lansia
secara teoritis diungkapkan oleh para pakar dapat meningkatkan proses
penyesuaian pada masa lansia. Hal ini dikarenakan lansia dipandang
sebagai kelompok yang memiliki norma, harapan, rasa percaya dan adat
kebiasaan tersendiri, sehingga seringkali dipandang sebagai subkultur.
18
Hal ini membuat lansia lebih sering berinteraksi dengan antar sesama
mereka sendiri karena mereka merasa lebih nyaman.
2.1.3.4 Faktor yang mempengaruhi citra tubuh
Pada lansia, faktor yang paling sering mempengaruhi citra
tubuh adalah proses penuaan atau penurunan fungsi tubuh yang terjadi
seiring bertambahnya usia. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan
penyakit dan merupakan proses perubahan normal. Namun, adanya
penyakit terkadang mengubah waktu munculnya perubahan dan
dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu adaptasi
setiap lansia berbeda-beda terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring
penuaan serta proses penyakit yang dimiliki. Kerutan pada wajah,
rambut putih, penurunan ketajaman penglihatan, pendengaran, dan
mobilitas yang merubah penampilan fisik serta fungsi tubuh dapat
mempengaruhi citra tubuh pada lansia. Masalah citra tubuh sering
berhubungan dengan gangguan konsep diri dan harga diri.
2.1.3.5 Faktor yang mempengaruhi ideal diri
Secara umum, seseorang yang konsep dirinya mendekati ideal
dirinya akan memiliki harga diri yang tinggi, sedangkan seseorang
yang konsep dirinya berbeda jauh dari ideal dirinya akan memiliki
harga diri yang rendah. Ideal diri dipengaruhi oleh kemampuan dan
talenta atau bakat yang dimiliki oleh seseorang. Lansia pada umumnya
telah mengavaluasi kemampuan yang masih dimilikinya. Pada lansia
tidak lagi memiliki keinginan yang tinggi untuk potensi yang mereka
miliki. Lansia yang telah pensiun mulai untuk beradaptasi dengan
penurunan kemampuan yang dimiliki dan penurunan pendapatan,
menerima diri sebagai individu yang menua, serta harus menemukan
cara mempertahankan kualitas hidup seperti menetapkan kembali
hubungan dengan anak yang telah dewasa serta bagaimana tetap
bersosialisasi dengan orang lain.
19
Faktor lain yang dapat mempengaruhi ideal diri adalah sistem
pendukung yang ada baik keluarga, aktivitas sosial, dan spiritual.
Dukungan keluarga untuk membantu memotivasi dan memberikan
perhatian dapat membantu menurunkan kecemasan, stress, dan
meningkatkan harga diri. Selain itu, melakukan aktivitas sosial seperti
kegiatan positif yang dapat memberikan kepuasan diri atau sesuai
minat untuk mengisi waktu luang dan motivasi diri. Kemudian,
membantu memenuhi kebutuhan spiritual lansia juga dapat
memberikan motivasi dan kesadaran agar lebih siap untuk
menghadapi kematian.
2.1.4 Gangguan Konsep Diri Pada Lansia
Komponen pertama yaitu citra tubuh. Citra tubuh merupakan
pandangan tiap individu terhadap tubuhnya. Pandangan dan pengetahuan
individu terhadap dirinya dapat berubah yang disebut dengan gangguan
citra tubuh. Hal ini dapat memunculkan perasaan tidak puas terhadap
tubuhnya atau tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Definisi
gangguan citra tubuh yaitu konfusi pada gambaran mental fisik diri
seseorang. (Wilkinson, 2012). Perubahan ukuran, bentuk, struktur, fungsi,
dan makna tubuh dapat merubah citra tubuh individu, termasuk lansia.
(Potter dan Perry, 2005). Penyebab dari gangguan konsep diri pada lansia
yaitu proses penuaan seperti penurunan ketajaman penglihatan,
pendengaran, dan mobilitas, perubahan pada bentuk tubuh seperti badan
yang bungkuk, kulit keriput, dan rambut yang memutih; kultural; trauma;
dan penyakit. (Wilkinson, 2012; Potter dan Perry, 2005).
Lansia yang mengalami penurunan kekuatan otot dapat
mempengaruhi mobilitas lansia. Lansia akan merasa terbatas dalam
mobilisasi. Hal ini menimbulkan perasaan negatif tentang tubuhnya yang
sudah tidak bisa atau tidak kuat untuk berjalan atau berpindah. Tanda dan
gejala subjektif lainnya yaitu rasa takut terhadap reaksi orang lain,
menyatakan bahwa terdapat perubahan dalam dirinya, selalu terpaku pada
perubahan yang dialaminya. Sedangkan tanda dan gejala secara objektif
20
yaitu adanya perubahan aktual pada struktur atau fungsi bagian tubuh,
lansia selalu menghindar, dan selalu melihat dan mencari tahu mengenai
tubuhnya, berkurangnya interaksi sosial, menutupi atau justru
memperlihatkan bagian tubuhnya yang mengalami perubahan.
Komponen kedua yaitu ideal diri. Ideal diri ditetapkan atau dibuat
berdasarkan penilaian dan standar tiap individu. Ideal diri yang telah
ditetapkan akan diusahakan agar dapat tercapai.(Potter dan Perry, 2005;
Stuart, 2009). Ketidakberhasilan pencapaian ideal diri tersebut dapat
menimbulkan gangguan ideal diri. Ganggguan ideal diri disebabkan
karena ideal diri yang tidak disesuaikan dengan kemampuan diri atau tidak
realistis, dan pengaruh lingkungan atau budaya. Selain itu ideal diri yang
terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan harapan bisa menyebabkan
gangguan berupa waham, putus asa, dan depresi karena kebutuhannya
yang tidak terpenuhi. Sedangkan ideal diri yang terlalu rendah bisa
menyebabkan seseorang mengalami harga diri rendah, karena ia selalu
merasa tidak dapat mencapai sesuatu hal yang lebih tinggi, padahal
sebenarnya ia dapat melakukan itu. Contohnya, seorang nenek yang
memiliki toko roti sendiri. Beliau berkeinginan untuk terus bekerja
mengembangkan tokonya hingga usia 75 tahun dan tidak peduli apakah ia
sedang sakit. Namun disatu sisi beliau sudah sangat lemah dan tidak
mampu lagi membuat roti lagi.
Komponen ketiga yaitu harga diri. Dari komponen ini, gangguan
yang terjadi yaitu harga diri rendah. Menurut Towsend (1998), harga diri
rendah adalah penilaian dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negatif yang dapat diekspresikan secara langsung atau tidak. Harga
diri rendah terjadi akibat ideal diri yang ditetapkan individu tidak
terpenuhi atau tidak sesuai dengan kemampuan diri. Faktor penyebab lain
dari harga diri rendah yaitu gangguan citra tubuh, adanya penolakan
terhadap dirinya, mengalami kegagalan, adanya hambatan dari fungsi
tubuh, kurangnya penghargaan dari orang sekitar, kehilangan, proses
penuaan, dan perubahan peran sosial, ketergantungan pada orang lain, dan
kehilangan pekerjaan, misalnya pensiun. (Potter & Perry, 2005; Wilkinson,
21
2012). Tanda dan gejala yaitu mengatakan ketidaksanggupan menghadapi
situasi atau peristiwa, mengatakan bahwa dirinya tidak berguna, tidak
memiliki harapan, mengatakan peniadaan diri, mengkritik diri sendiri,
pesimis, penurunan produktifitas, menunda keputusan, dan menolak
kesenangan pribadi (Stuart, 2009; Wilkinson, 2012).
Contoh dari kondisi yang menyebabkan lansia mengalami harga
diri rendah misalnya, ideal diri seorang lansia yaitu ingin melibatkan diri
dalam kegiatan sosial di lingkungannya. Ketika lansia yang bersangkutan
sudah tidak dapat berpartisipasi karena kondisi tubuhnya yang lemah dan
adanya penolakan dari masyarakat, maka ideal dirinya tidak dapat
terpenuhi dan menimbulkan harga diri rendah pada lansia tersebut. Kondisi
tersebut juga menggambarkan peran sosial lansia berubah. Contoh lainnya
yaitu kondisi tubuh yang mulai menurun, timbulnya keriput, rambut yang
memutih, dan gigi yang mulai ompong. Keadaan ini membuat lansia
melihat perubahan pada tubuhnya, merasa bahwa dirinya jelek, dan tidak
secantik dulu (gangguan citra tubuh). Perubahan ini membuat harga diri
lansia menjadi rendah. Selain itu lansia yang merasa kehilangan rasa kasih
sayang dan penghargaan dari orang lain, terutama orang terdekatnya akan
mengalami harga diri rendah. Hal ini memicu terjadinya depresi pada
lansia.
Komponen yang keempat yaitu penampilan peran. Ketika perilaku
yang ditampilkan tidak sesuai dengan harapan atau norma, maka dapat
menyebabkan gangguan penampilan peran. Definisi dari gangguan
penampilan peran sendiri yaitu pola perilaku dan ekspresi diri yang tidak
sesuai dengan konteks lingkungan, norma, dan harapan. (Wilkinson,
2012). Gangguan penampilan peran dapat disebabkan oleh banyak hal.
Pada lansia, gangguan penampilan peran disebabkan oleh perubahan peran
dari sehat ke sakit, harapan terhadap peran tidak realistis, gangguan citra
tubuh, harga diri rendah, penyakit fisik, dan ketidakadekuatan sosialisasi
peran.
Lansia berisiko mengalami masalah peran. Misalnya kegagalan
transisi peran, meliputi transisi sehat sakit (tadinya lansia itu masih sehat
22
kemudian sakit) dan transisi situasi (kehilangan orang yang dicintai atau
orang penting dalam hidup sehingga dapat mengubah perannya). Masalah
lain yang dapat timbul yaitu, ungkapan ketidakpuasan lansia terhada
perannya, menghindari peran yang diembannya serta terjdinya ketegangan
peran. Masalah-masalah ini pada akhirnya menyebabkan hubungan sosial
lansia dapat terganggu.
Contoh lain, lansia berperan sebagai kader kesehatan di
POSBINDU. Namun seiring perkembangannya, lansia tersebut mengalami
gangguan pendengaran dan penglihatan yang membuat dirinya kesulitan
dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Kondisi ini membuat lansia
tersebut merasa tidak mampu untuk menjadi kader kesehatan, dimana
seorang kader kesehatan umumnya selalu berbicara secara aktif dan aktif
berdiskusi dengan warga. Dengan kondisi saat ini tentu saja dapat
menghambat perannya sebagai kader. Terhambatnya lansia yang
bersangkutan dalam menjalankan perannya membuat tidak terpenuhinya
harapan dirinya dan lingkungan terhadap dirinya yang berperan sebagai
seorang kader kesehatan.
Komponen terakhir yaitu identitas personal. Identitas personal
merupakan kesadaran akan keunikan diri sendiri, bersumber dari penilaian
dan observasi diri sendiri. (Stuart, 2009). Ketika seseorang mengalami
perubahan atau permasalahan (stressor identitas) dalam dirinya dan tidak
mampu diadaptasi dengan baik, maka dapat terjadi kebingungan identitas.
Kebingungan identitas yaitu individu yang tidak mempertahankan identitas
personal secara jelas dan konsisiten. Stresor identitas yang dapat terjadi
pada lansia yaitu awal terjadinya menopause, pensiun, penurunan kondisi
dan kemampuan tubuh, penampilan fisik yang berubah (kulit keriput,
rambut memutih, gigi ompong, dan lainnya), ketergantungan pada orang
lain, dan sikap sosial. Lansia yang menghadapi stresor dan tidak dapat
beradaptasi mulai mempertanyakan mengenai identitas personal dan
pencapaian mereka. (Potter & Perry, 2005).
23
2.1.5 Asuhan Keperawatan Masalah Konsep Diri Pada Lansia
Asuhan Keperawatan Masalah Psikososial (Harga Diri Rendah) Pada
Lansia
a. Pengkajian
a. Anamnesa
Kaji mengenai identitas diri, alamat, usia, pendidikan,
pekerjaan, agama, dan suku bangsa.
b. Riwayat
Hal-hal yang perlu dikaji terkait riwayat:
1) Riwayat sebelumnya apakah pernah mengalami masalah
psikososial.
2) Tahap perkembangan.
3) Keyakinan spiritual.
c. Perilaku Motorik
Kaji perilaku sehari-hari seperti hygiene dan berhias, cara
berpakaian, postur, kontak mata, perilaku yang tidak biasa, dan
cara berbicara.
d. Mood dan afektif
Kaji bagaimana pasien mengungkapkan emosi dan ekspresi
wajahnya.
e. Proses dan isi pikir
Kaji hal apa saja yang pasien pikirkan, cara klien berpikir, dan
kejelasan ide.
f. Sensori
Kaji apakah pasien trelihat bingung atau tidak, memori,
pengalaman sensori abnormal dan konsentrasi.
g. Penilaian dan daya tilik
Kaji bagaimana penilaian pasien tentang lingkungan,
kemampuan pasien membuat keputusan, dan pemahaman peran
diri dalam situasi sekarang.
24
h. Konsep diri
Kaji mengenai pandangan personal tentang dirinya, gambaran
fisik diri, dan kualitas atau sifat personal.
i. Peran dan hubungan
Kaji mengenai peran pasien saat ini, kepuasan dalam peran,
keberhasilan peran, dan sistem pendukung.
j. Pertimbangan fisiologi dan perawatan diri
Kaji bagaimana kebiasaan makan, pola tidur, masalah
kesehatan, dan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
b. Diagnosa, Kriteria Evaluasi, dan Intervensi Keperawatan
Harga diri rendah situasional
Definisi: Perkembangan persepsi negatif tentang harga diri sebagai
respon terhadap proses penuaan dan kehilangan.
Diagnosa Kriteria Evaluasi NOC Intervensi NIC
Harga diri
rendah
situasional
1. Pasien menunjukan harga diri
dibuktikan dengan:
Pasien mengungkapkan
penerimaan diri
Komunikasi terbuka
Pemenuhan pribadi yang
bermakan
Penerimaan kritik dari
orang lain
Penjelasan tentang
keberhasilan dalam
aktivitas dan kelompok
sosial
2. Menunjukkan penyesuaian
psikososial: perubahan hidup
yang dibuktikan dengan klien
1. Bimbingan antisipasi:
mempersiapkan pasien terhadap
krisis perkembangan atau krisis
situasional yang diantisipasi
2. Peningkatan citra tubuh:
meningkatkan sikap dan
persepsi sadar dan tak sadar
pasien terhadap tubuhnya
3. Peningkatan koping: membantu
pasien berdaptasi dengan
persepsi stressor, perubahan,
atau ancaman yang
mengganggu pemenuhan
tuntutan hidup dan peran
4. Fasilitasi peran berduka:
membantu menyelesaikan
25
melaporkan perasaan berguna,
mengatakan optimisme dalam
hidup, dan menggunakan
strategi koping efektif
3. Pasien melakukan prilaku
yang meningkatkan
kepercayaan diri
kehilangan bermakna
5. Peningkatan harga diri:
membantu pasien
meningkatkan penilaian pribadi
tentang harga dirinya dengan
menunjukkan rasa percaya
terhadap kemampuan pasien
untuk mengatasi situasi, kaji
alasan mengkritik atau
menyalahkan diri, dukung
pasien untuk menerima
tantangan baru, serta menggali
dan melakukan aspek positif
yang dimiliki pasien
Batasan Karakteristik Faktor yang berhubungan
Subjektif
1) Evaluasi diri bahwa ia tidak sanggup
menghadapi situasi atau peristiwa
2) Ekspresi diri tidak berguna dan tidak ada
harapan
3) Perkataan peniadaan diri
4) Melaporkan secara verbal tantangan
situasional saat ini terhadap harga diri
1) Perilaku tidak sesuai dengan nilai
2) Tahap perkembangan pada lansia
3) Gangguan citra tubuh
4) Kegagalan dan penolakan
5) Hambatan fungsi tubuh
6) Kurang penghargaan
7) Kehilangan pasangan hidup atau
pekerjaan
8) Perubahan peran sosial pada lansiaObjektif
Perilaku bimbang dan tidak asertif
26
c. Evaluasi
Evaluasi bertujuan untuk mengetahui apakan intervensi
keperawatan yang diberikan dapat dilakukan dengan baik atau tidak.
Selain itu menunjukan apakan tujuan yang ingin dicapai dalam asuhan
keperawatan tercapai atau tidak.
S = Pasien mengatakan beberapa aspek positif dan kegiatan positif
yang ada dalam dirinya.
O = Pasien mampu melakukan aspek positif tersebut.
A = Masalah belum teratasi.
P = Terapi berlanjut dengan menggali aspek positif yang lain.
2.2 Nilai dan Keyakinan
2.2.1 Spiritualitas Pada Lansia
2.2.1.1.Pengertian Spiritual
Spiritual adalah keyakinan atau hubungan dengan yang lebih
tinggi, kekuatan yang menciptakan, sesuatu yang bersifat ketuhanan,
atau sumber energi yang terbatas. Sebagai contoh, seseorang percaya
pada “Tuhan”, “Allah”, “Sang Pencipta”, atau “Kekuatan yang lebih
tinggi” (Kozier, dkk. 1997). Spiritualitas didefinisikan sebagai
pencarian pribadi untuk memahami jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan mendasar tentang arti hidup dan hubungan dengan orang
lain, alam, dan Tuhan (Koenig, McCullogh, & Larson, 2001 dalam
Wallace, M, 2005), sedangkan agama didefinisikan oleh Koenig,
McCullogh, & Larson (2001) dalam Wallace, M (2005) sebagai suatu
sistem kepercayaan, tindakan, ritual, dan simbol yang memfasilitasi
kedekatan terhadap Tuhan dan hubungan antar manusia. Jadi dapat
disimpulkan bahwa spiritualitas dan agama memiliki suatu makna
yang berbeda yakni spiritualitas berhubungan dengan keyakinan
pribadi seseorang dengan Tuhan dan orang lain, sedangkan agama
adalah salah satu cara untuk mengekspresikan aspek dari dalam
keyakinan pribadi seseorang tersebut.
27
2.2.1.2.Karakteristik Spiritual
Burkhardt (1993) dalam Kozier (1997) menjelaskan bahwa
karakteristik spiritual mencakup:
1. Hubungan dengan diri sendiri
Kekuatan dalam diri atau kepercayaan diri sendiri yang
meliputi pengenalan tentang diri sendiri (misalnya seorang lansia
dapat menjawab pertanyaan siapa saya, apa yang dapat saya
lakukan) dan sikap pada diri sendiri yang dimanifestasikan dengan
percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan dan masa depan,
ketentraman, dan harmonis dengan diri sendiri.
2. Hubungan dengan orang lain
Hubungan dengan orang lain dimanifestasikan dengan
berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber daya dengan orang lain
dan membalas perbuatan baik orang lain. Misalnya, hubungan
dengan orang lain bisa lansia tunjukkan dengan sikap peduli pada
anak-anak, teman sebaya, dan orang yang sakit, serta meyakini
bahwa ada kehidupan dan kematian, ini bisa lansia tunjukkan
dengan mengunjungi makam, melayat, dan lain-lain.
3. Hubungan dengan alam
Harmonisasi dengan alam, meliputi pengenalan tentang
tumbuhan, tanaman, pepohonan, kehidupan alam, dan cuaca.
Harmonisasi dengan alam dapat lansia lakukan dengan berkebun,
berjalan, berada di luar dan memelihara alam.
4. Hubungan dengan Tuhan
Hubungan dengan Tuhan dilihat dari religius atau tidak
religiusnya seorang lansia dalam melakukan kegiatan doa atau
meditasi, membaca kitab atau buku keagamaan, serta mampu
berpartisipasi dalam kelompok keagamaan (misalnya, pengajian).
Pada tahapan spiritual biasanya kelompok lansia lebih mempunyai
banyak waktu untuk kegiatan agama. Hal inilah yang bisa menjadi
penilaian kualitas spiritual pada lansia. Hawari (2009) menjelaskan
bahwa dalam agama Islam terdapat dimensi kesehatan jiwa
28
manusia dimana orang yang beriman itu selalu ingat kepada Allah
(dzikrullah atau zikir) sehingga perasaan tenang, aman, terlindungi
selalu menyertainya.
Pikiran, perasaan dan perilakunya baik dengan tidak
melanggar hukum, norma, moral, dan etika kehidupan serta tidak
merugikan orang lain karena ia tahu benar dan yakin apa yang
dilakukannya itu akan mendapatkan balasan dari Sang Pencipta.
Selain itu lansia juga mampu mengendalikan diri (self control)
yang merupakan salah satu ajaran Nabi Muhammad, serta yakin
bahwa sesungguhnya Al-Qur’an merupakan text book kesehatan
jiwa terlengkap dan sempurna di dunia, bagi mereka yang
mengerti, menghayati, mengamalkannya akan memperoleh
manfaat serta kesejahteraan lahir dan batin serta selamat di dunia
maupun akhirat kelak sebagai persiapan, bekal saat kematian itu
datang.
2.2.1.3.Faktor yang mempengaruhi spiritual
Menurut Taylor (1997) dan Craven dan Hirnel (1996) dalam
Hamid (2000), beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi
spiritual seseorang adalah:
1. Tahap perkembangan
Spiritual berhubungan dengan kekuasaan non material,
seorang lansia harus memiliki kemampuan berpikir abstrak
sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali suatu hubungan
dengan Yang Maha Kuasa.
2. Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual
individu
Keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi lansia untuk
memberikan dukungan agar lansia mempunyai pandangan dan
pengalaman mengenai spiritual.
29
3. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang
etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seorang lansia akan
mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun yang negatif
dapat mempengaruhi spiritual seseorang. Peristiwa dalam
kehidupan seseorang dianggap sebagai suatu cobaan yang
diberikan Tuhan kepada manusia untuk menguji imannya.
5. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan spiritual seseorang.
Krisis sering dialami ketika seseorang mengahadapi penyakit,
penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan kematian.
Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut
merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fisikal dan
emosional.
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali
membuat lansia merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi
dan sistem dukungan sosial. kegiatan sehari-hari juga berubah,
antara lain tidak dapat mengikuti kegiatan keagamaan, tidak dapat
berkumpul dengan teman dan keluarga yang bisa memberikan
dukungan setiap saat.
2.2.1.4.Tahapan spiritual
Menurut Hamid (2009), biasanya kelompok lanjut usia
mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha
untuk mengerti nilai agama yang diyakini. Perasaan kehilangan karena
pensiun, tidak aktif, menghadapi kematian orang lain (pasangan hidup,
anak, saudara, sahabat), atau menjelang kematian menimbulkan rasa
kesepian dan mawas diri. Peningkatan agama yang lebih matang sering
dapat membantu lansia untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif
30
dalam kehidupan dan merasa berharga serta lebih dapat menerima
kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan.
2.2.1.5.Dimensi spiritual
Dalam spiritualisasi lansia, terdapat dimensi spiritual yang terdiri
atas dua jenis. Dimensi sendiri merupakan penggabungan unsur
psikologikal, fisiologikal, sosiologikal, dan spiritual yang ada pada
seorang lansia. Dimensi tersebut terdiri dari eksistasial yang berfokus
kepada tujuan dan arti kehidupan serta agama yang berfokus terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
1. Eksistasial yang berfokus kepada tujuan dan arti
kehidupan
Merupakan salah satu perasaan yang melibatkan rasa
kepedulian diri sendiri terhadap keadaan kemampuannya ataupun
rasa keterikatan terhadap sesuatu di dalam lingkungan sosialnya
yang dapat mempengaruhi dalam peningkatan aktualisasi diri dari
lansia itu sendiri. Kekuatan spiritual yang terdapat dalam dimensi
ini masuk ke dalam kesehatan spiritual dalam mengolah dan
mempengaruhi pemikiran terhadap makna hidup dan keadaan
dalam setiap hal yang dilakukan sehari-hari yang melibatkan
perasaan keterikatan dengan lingkungan sosial dan dukungan
terhadap peningkatan aktualisasi diri seorang lansia dalam
menjalani kehidupan.
2. Agama yang berfokus terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Setiap orang dalam rentang pertumbuhan dan
perkembangannya selalu dapat berada dalam keadaan ini apabila
telah menemukan sebuah makna dalam kehidupannya. Dimensi ini
terjadi pada lansia karena sebagian besar lansia lebih banyak
mendekatkan diri kepada Tuhan mereka masing-masing. Hal
tersebut juga didasari dengan pengetahuan terhadap persiapan
kematian. Kekuatan spiritual dalam dimensi ini sangat berkaitan
dengan tinggi rendahnya suatu keadaan spiritual diri seorang
31
lansia, dimana keadaan spiritual ini akan mempengaruhi
keterikatannya dengan sang Maha Pencipta.
Dimensi ini juga dimaksudkan karena seorang lansia telah
menemukan jati diri dan segala hal tentang apa yang telah
dilakukannya, dimensi ini juga dapat dijadikan sebagai pencapaian
terakhir dalam sebuah perjalanan hidup dan proses penilaian
kembali tentang kemampuan diri serta manfaat dirinya di dunia
dan proses dalam pembenahan diri menjalani akhir kehidupan.
Kedua dimensi tersebut masing-masing di dalamnya juga
menitikberatkan makna atas kepribadian yang ada, yaitu tentang
komitmen agama, dimana hal ini akan lebih menambah rasa
keterikatan seseorang dengan sang Maha Pencipta, terlebih setelah
mereka benar-benar memahami tentang bagaimana memaknai sisa
kehidupan dan mereka akan lebih memanfaatkannya dalam hal-hal
yang memacu pada kebaikan. Sama halnya dengan agama, nilai diri
yang terdapat dalam fokus tujuan dan arti kehidupan merupakan hal
dalam peranan mensyukuri nikmat umur yang ada dan akan
memelihara umurnya dengan kegiatan yang positif. Kekuatan spiritual
yang mempengaruhi dalam keadaan ini contohnya berupa medikasi
terapeutik yang tidak memandang agama, ras dan warna kulit, seperti
meningkatkan koping individu, dukungan sosial, optimis dan harapan
hidup, mengurangi depresi, serta kecemasan yang mendukung
perasaan relaksasi.
2.2.1.6. Kesejahteraan spiritual
Kesejahteraan spiritual menurut Hungelmann (1995) dalam
Potter dan Perry (2005) adalah rasa keharmonisan saling kedekatan
antara diri dengan orang lain, alam dan Tuhan. Pada lansia,
kesejahteraan spritualitas yang sesuai adalah sesuatu yang memberikan
kedamaian dan penerimaan tentang diri. Oleh sebab itu, lansia lebih
cenderung memliki hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan.
Tetapi, penyakit dan kehilangan dapat mengancam kesejahteraan
32
spiritual pada lansia. Ketika penyakit dan kehilangan menyerang
lansia, maka kesejahteraan spiritual cenderung akan menurun.
Demografi menunjukkan bahwa kebanyakan lansia menderita
sedikitnya satu penyakit kronis dan banyak diantaranya menderita
lebih dari satu. Selain penyakit kronis, penyakit terminal umumnya
menyebabkan ketakutan terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan, dan
kematian (Turner, et al, 1995 dalam Potter dan Perry 2005).
Kondisi-kondisi tertentu seperti penyakit dan kehilangan yang
dialami lansia berisiko menimbulkan distress spiritual. Distress ini
terjadi ketika lansia mengalami atau berisiko mengalami gangguan
dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan,
harapan, dan arti kehidupan. Distress spiritual yang berkelanjutan akan
mempengaruhi kesehatan lansia secara menyeluruh dimana terjadi
gejala-gejala fisik berupa penurunan nafsu makan, ganguan tidur, serta
peningkatan tekanan darah. Masalah-masalah yang dapat
menyebabkan distress spiritual:
1. Penyakit akut
Penyakit ini terjadi secara mendadak dan tidak dapat
diperkirakan, memberikan efek langsung ataupun jangka panjang
yang dapat mengancam kehidupan sehingga dapat menimbulkan
distress spiritual. Dalam keadaan seperti ini, kekuatan spiritual
klien dapat mempengaruhi dalam bagaimana seorang lansia
menghadapi penyakit yang mendadak serta bagaimana mereka bisa
dengan cepat beralih ke arah penyembuhan.
2. Penyakit kronis
Terdapat gejala yang dapat melumpuhkan dan mengganggu
kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal lansia.
Kekuatan spiritual yang ada menjadi faktor penting dalam
peralihan ke arah penyembuhan bahkan tingkat spiritual lansia
yang tinggi dapat meningkatkan aktualisasi diri mereka dan dalam
keadaan tersebut bisa terjadi re-evaluasi tentang hidup dimana
33
mereka yang kuat secara spiritual akan membentuk kembali
identitas dan hidup dalam potensi mereka.
3. Penyakit terminal
Menyebabkan ketakutan terhadap nyeri fisik,
ketidaktahuan, kematian serta ancaman terhadap perubahan
integritas (Turner, et., al (1995) dalam Zohry (2012). Hal ini dapat
dijelaskan dalam penelitian yang menyebutkan bahwa identifikasi
terhadap penilaian aspek spiritual yang dijelaskan oleh lansia
meliputi; mental-emosi, spiritual dan fisik yang berpengaruh
terhadap kebutuhan spiritual dan kehidupan mereka. Kekuatan
spiritual berperan penting dalam meredakan kecemasan.
Kecemasan yang ada bukan karena penyakit yang diderita, akan
tetapi karena pencapaian aktualisasi diri yang kurang dimana lansia
yang mempunyai ketidakpastian tentang makna kematian rentan
terhadap distress spiritual.
4. Individuasi
Dalam menjalani hidup, terdapat pertanyaan tentang
penemuan dan pemahaman diri sebagai hal yang berbeda dan juga
dalam hubungan terhadap orang lain (krisis pertengahan hidup).
Biasanya ditandai oleh kebingungan, konflik, keputusasaan, dan
perasaan hampa. Dalam hal ini, keadaan kekuatan spiritual
seseorang harus tinggi karena individuasi mendorong seseorang
untuk mempertahankan aspek positif, life-asserting, dan
kepribadian.
5. Pengalaman mendekati kematian (NED atau Near Death
Experience)
Merupakan fenomena psikologis tentang individu yang
telah dekat dengan kematian ataupun yang telah pulih setelah
dinyatakan mati (mati suri). Hal ini merupakan masalah psikologi
yang terkadang dapat mengubah perilaku seseorang lebih
memaknai arti kesempatan hidup dan akan lebih meningkatkan
aktualisasi diri dengan faktor fokus ke arah keagamaan. Sebagian
34
besar individu menggambarkan bahwa mereka melewati
terowongan ke arah cahaya yang terang dan merasakan suatu
ketenangan yang dalam dan damai. Tidak bergerak ke arah cahaya
tersebut, sering mereka ketahui bahwa belum waktunya untuk mati
bagi mereka dan mereka hidup kembali” (Zohry, 2012 dalam
Konsep Dasar Spiritual).
Distress spiritual dapat diimbangi dengan pemberian harapan.
Harapan sebagai suatu proses antisipasi yang melibatkan berpikir,
bertindak, merasakan dan menghubungkan serta diarahkan ke
pemenuhan di masa yang akan datang. Harapan merupakan kekuatan
yang memotivasi lansia keluar dari rasa kehilangan dan kesembuhan
dari penyakit. Harapan berdasarkan pada nilai dan keyakinan. Harapan
pada lansia dapat berupa dukungan dari orang lain yang berarti;
kebebasan membuat pilihan; orientasi masa depan; rasa sejahtera; dan
kemampuan koping yang adaptif secara menyeluruh.
Peran perawat sangat dibutuhkan dalam meningkatkan
spiritualitas pada lansia, peran tersebut harus bersifat individual.
Beberapa peran perawat, yaitu: Pertama, memberikan tindakan
terapeutik berupa sentuhan. Sentuhan yang tepat dapat meningkatkan
hubungan personal antara perawat dan lansia. Sentuhan dapat menjadi
cara mengkomunikasikan nilai dan harga diri lansia. Sentuhan dapat
secara khusus memastikan dan memberikan rasa nyaman pada banyak
kasus kehilangan dan keputusasaan proses penyakit penuaan pada
lansia. Kedua, berdoa bersama. Berdoa adalah komunikasi dengan
Tuhan yang dapat terjadi kapan saja. Perawat dapat melakukan doa
dengan suara lembut untuk proses keperawatan. Ketiga, bercakap-
cakap mengenai topik yang disukai lansia, seperti percakapan tentang
masalah spiritual yang dialami, harapan-harapan lansia dan persiapan
untuk menghadapi kematian. Selain itu, mengingatkan kembali
peristiwa-peristiwa perjalanan spiritualitas seperti melihat album foto,
melihat kembali catatan pribadi tentang peristiwa-peristiwa hidup, atau
35
memeriksa kembali kenangan-kenangan yang diperoleh selama hidup.
Hal ini dilakukan untuk menegaskan kepada lansia bahwa hidup
mereka memiliki tujuan.
Aspek peningkatan spiritualitas dapat juga menggunakan musik.
Musik memiliki efek positif, yaitu dapat menenangkan lansia yang
mengalami gangguan pola tidur. Sering kali, musik menjadi media
melakukan percakapan pada lansia yang mengalami dimensia. Lansia
yang mengalami depresi pun dapat berespon terhadap musik karena
sifat musik yang menenangkan. Dalam peningkatan spiritualitas, peran
anggota terdekat dari lansia sangat dibutuhkan, seperti menghadirkan
keluarga, teman, dan penasihat spiritual merupakan aspek penting
dalam peningkatan spiritualitas lansia.
2.2.2 Tradisi Praktik Kesehatan dan Perawatan Lansia dari Beragam
Budaya
Budaya digambarkan sebagai nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan
yang dilakukan bersama oleh anggota dari suatu kelompok sosial yang saling
berinteraksi. Keanggotaan lansia sebagai suatu suku atau budaya hanya
sebagai latar belakang dan setiap perawatan untuk lansia harus dibuat atas
dasar individual. Sangat penting bagi perawat untuk tidak melakukan
generalisasi yang berlebihan atau bersikap stereotip atas dasar keanggotaan
suku atau budaya.
Budaya juga mempengaruhi bagaimana lansia itu didefinisikan.
Seseorang dapat dikatakan sebagai lansia berdasarkan pada beberapa kriteria
tertentu (Stanley dan Beare, 2006). Seseorang disebut lansia jika secara fisik
mengalami penuaan seperti rambut beruban, keriput, atau giginya hilang.
Adapula, disebut lansia jika seseorang dianggap sudah tidak dapat
menjalankan fungsi perannya sebagai orang dewasa normal. Selain itu, dapat
juga dikatakan lansia ketika seseorang telah melewati beberapa peristiwa
simbolik seperti memiliki cucu. Terakhir, adapula seseorang dikatakan lansia
berdasarkan usianya menurut kronologis waktu.
Terdapat beberapa pertimbangan penting mengapa suatu etnik lansia
harus menjadi salah satu aspek paling penting untuk dipertimbangkan di
36
dalam keperawatan gerontik. Pertama, faktor budaya menentukan sebagian
besar status dan definisi lansia. Kedua, nilai-nilai dasar dari lansia,
kepercayaan, dan kebiasaan (termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penyakit
dan kesehatan) telah terbentuk melalui suatu pandangan kultural.
2.2.2.1 Mitos dan Stereotip
Walaupun pengetahuan ilmiah telah berkembang, banyak
kesalahan stereotip yang tetap ada. Beberapa orang percaya bahwa
lansia berkurang pemahamannya dan pelupa, bersikap kaku,
membosankan, dan tidak menyenangkan. Lebih jauh lagi, lansia sering
mempunyai stereotip seperti sakit, pincang, sulit mendengar, dan
botak.
Banyak orang percaya bahwa lansia mengalami penurunan
kemampuan belajar. Akibatnya, profesional pelayanan kesehatan
seringkali gagal memberi kesempatan pendidikan kesehatan bagi lansia
karena mereka salah mengasumsikan bahwa klien lansia tidak dapat
belajar menjaga diri mereka sendiri (Stanhope dan Lancaster, 1992).
Perbedaan pembelajaran yang signifikan bagi lansia adalah
peningkatan waktu yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan
atau keterampilan dan mendapatkan kembali informasi dari memori
(Ebersole dan Hess, 1990). Oleh karena itu, perawat yang mengajar
klien lansia harus: memberi banyak percobaan untuk mentransfer
materi pelajaran baru untuk memori jangka panjang; memberi
kesempatan untuk lebih sering mempelajari materi baru; menggunakan
pendekatan self-paced (Weinrich, Boyd, and Nussbaum, 1989).
Beberapa orang percaya bahwa lansia menjadi tidak berharga
setelah mereka tidak bekerja lagi. Pendapat ini telah membawa pada
konsep ageism (lansialisme) yaitu diskriminasi terhadap individu
lansia, sama seperti mereka yang rasialis dan seksualis karena warna
kulit dan gender. Bagaimanapun, rasialis dan seksualis tidak akan
dipermasalahkan terhadap sikap mereka karena baik gender dan warna
kulit tidak akan berubah. Sebaliknya, seorang ageist akhirnya akan
37
bertambah tua. Kenyataan ini menimbulkan ansietas dan penolakan
untuk menerima penuaan sebagai proses normal.
Lansia tidak lagi tertarik dengan seks adalah stereotip yang
salah. Banyak orang mempercayai bahwa lansia tidak mempunyai
keinginan untuk terlibat dalam hubungan seksual. Kebutuhan
melakukan hubungan seksual seharusnya sama pentingnya dengan
melakukan aktivitas psikologis lainnya. Konsekuensinya, perawat dan
tenaga kesehatan lain tidak melakukan pengkajian kebutuhan seksual
dan promosi tentang seksualitas.
Selanjutnya adalah lansia bau. Lansia kurang memperhatikan
kebersihan dirinya. Memang benar, terdapat lansia yang bau, tetapi ini
tidak berlaku secara mayoritas. Ketika seseorang bertambah tua,
kelenjar keringatnya akan berkurang sehingga pengeluaran keringat
juga menurun. Inkontinensi urin dan feses juga sering terjadi pada
lansia. Akan tetapi, ini adalah proses patologik dan dapat diatasi.
Ketika lansia bau urin atau feses, biasanya karena mereka sedang sakit
dan tidak ditangani secara maksimal. Meningkatkan perhatian terhadap
perawatan lansia akan meningkatkan pengelolaan kebesihan,
inkontinensia, dan disorder.
Lansia dekat dengan kematian, masyarakat percaya mereka
siap untuk meninggal dan tidak memerlukan perhatian atau perawatan
khusus di akhir hidupnya. Konsekuensinya, tenaga kesehatan sering
memberikan perawatan yang tidak maksimal dan mengabaikan
komponen penting perawatan menjelang ajal. Lansia membutuhkan
perhatian secara fisik, psikologi, sosial, dan spiritual. Menjelang ajal
merupakan waktu yang sulit bagi lansia tetapi juga memberi
kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya misalnya menghabiskan
waktu dengan orang yang dicintai, melepas peran sosial, dan berganti
kehidupan ke alam lainnya. Perawat memiliki peran penting membantu
lansia memenuhi keinginannya dan menuju kematian yang damai.
38
Mitos yang berkembang di lansia menurut Saul (1974) dalam
Nugroho (2000):
1. Mitos damai dan tenang.
Damai dan tenang yang dimaksud ketika lansia
menganggap bahwa waktu tuanya dihabiskan untuk menikmati
hasil kerja saat di masa muda, seperti beristirahat, bermain dengan
cucu saja dan tidak perlu bekerja lagi. Namun, pada beberapa
lansia masih ditemui tingkat stres yang tinggi karena kemiskinan
dan penyakit yang dideritanya.
2. Mitos lansia lebih konsevatif.
Lansia biasanya berorientasi pada masa lalu, saat masih
muda. Proses pikir yang lebih konservatif, kurang kreatif, menolak
inovasi dan cenderung keras kepala sehingga sulit untuk
menyesuaikan dengan masa kini.
3. Mitos lansia berpenyakitan
Secara fisiologis, penurunan fungsi tubuh akan terjadi pada
lansia. Penurunan fungsi tubuh akan diikuti oleh berbagai penyakit
yang menyerang lansia dalam satu waktu. Namun, penurunan ini
dapat diminimalisir dengan perawatan dan dukungan keluarga
yang diberikan pada lansia.
4. Mitos daya ingat lansia mengalami kemunduran.
Penurunan fungsi otak pada beberapa lansia dapat
mengakibatkan pikun.
5. Mitos bahwa lansia tidak jatuh cinta.
6. Mitos aseksualitas
Mitos ini beranggapan bahwa lansia dalam berhubungan
seks dari minat, dorongan, kebutuhan, dan daya seks berkurang.
Pada kenyataannya, hubungan seks pada lansia tetap tinggi, namun
hanya frekuensi hubungannya saja yang menurun.
7. Mitos tidak produktif
Lansia dianggap tidak dapat melakukan pekerjaan lagi dan
kurang produktif. Namun kenyataannya, beberapa lansia masih
39
mampu melakukan pekerjaan dan bahkan lebih baik dalam hal
mental dan material.
2.2.2.2. Perawatan dan Status Lansia
Tidak ada perawatan dan status yang universal yang
berhubungan dengan lansia. Terdapat perbedaan besar dalam cara
lansia sebagai suatu kelompok diterima dan diperlakukan dalam
masyarakat yang berbeda. Pada beberapa masyarakat, usia tua
merupakan saat tingginya prestise dan kekuatan, sedangkan di
masyarakat lain, merupakan suatu waktu pengasingan dan rasa tidak
aman.
Di Jepang, lansia sangat dihormati dah dihargai. Lansia
diberikan fasilitas umum dan pelayanan kesehatan yang sangat
menunjang aktifitasnya sehingga lansia di Jepang lebih produktif. Di
Indonesia, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum untuk lansia
kurang memadai karena fokus pemerintah baru pada peningkatan
kesehatan di kesehatan ibu dan anak serta penyakit infeksi.
Indonesia sebagai penduduk muslim terbesar di dunia,
memandang lansia sebagai suatu yang harus dihormati dan dihargai.
Keluarga harus memberikan perawatan dan dukungan yang maksimal
pada lansia sebagai bentuk tanggung jawab anak kepada orang tua
(Meiner, 2011). Hal ini dipengaruhi oleh nilai yang dianut bahwa anak
harus menyanyangi orang tuanya sama seperti orang tua yang
menyanyangi anaknya di waktu kecil. Selain itu, lansia dianggap
sebagai seseorang yang memiliki pengalaman yang luas,
kebijaksanaan, kearifan, dan keahlian tertentu. Perasaan diterima dari
orang lain akan mempengaruhi perspektif lansia dalam memasuki
masa tuanya. Berbeda halnya jika lansia dianggap tidak berperan
sesuai dengan harapan masyarakat, akan terjadi masalah psikologis
yang mempengaruhi kesehatan fisik. Selain itu, tradisi yang terjadi
pada lansia yaitu cenderung di rumah bersama keluarga atau merawat
cucu dan melakukan ibadah sebagai rutinitas. Keluarga perlu
40
memberikan perhatian yang lebih dalam menunjang kegiatan ibadah
lansia.
Di negara maju, lansia dianggap sebagai beban karena
penurunan produktifitas dalam bekerja dan fungsi degeneratif dengan
beberapa penyakit yang diderita oleh lansia. Lansia dianggap sebagai
beban keluarga. Kepercayaan di masyarakat Korea adalah bahwa
seseorang diberi kesempatan hidup hanya pada umur 60 tahun.
Seseorang yang lebih dari 60 tahun dianggap mengambil jatah umur
orang lain sehingga lansia tersebut kurang dihormati dan dihargai. Di
Amerika Serikat, budaya anak yang berumur 18 tahun harus hidup
mandiri dan tinggal terpisah dengan orang tua, sehingga perawatan
terhadap orang tua tidak menjadi prioritas anak.
2.2.2.3 Sistem Pendukung
1. Keluarga
Bagi setiap kelompok etnik, keluarga pada umumnya
adalah sistem pendukung yang paling penting untuk lansia.
Keluarga memberikan konteks sosial saat terjadinya penyakit dan
bagaimana penyakit tersebut diatasi. Oleh karena itu, keluarga
adalah unit utama di dalam pelayanan perawatan kesehatan.
2. Sistem dukungan religius
Bagi banyak lansia, agama dan suatu rasa spiritualitas
bertindak sebagai dukungan utama dalam kehidupan sehari-hari
juga dalam keadaan penuh masalah.
2.2.2.4 Definisi Sehat dan Sakit
Definisi sehat atau sakit bagi seorang lansia, sebagian besar
ditentukan oleh faktor budaya, termasuk rentang dari kondisi-kondisi
normal dan klasifikasi penyakit yang ada. Diantara banyak lansia,
kondisi-kondisi kronis (seperti sakit punggung bagian bawah) dan
tanda-tanda deteriorasi fisik (seperti hilangnya gigi) dianggap sebagai
tanda normal penuaan. Konsekuensinya, perawatan biomedis untuk
kondisi ini mungkin tidak akan dicari.
41
Alasan lain mengapa perawatan kesehatan professional tertunda
atau dianggap tidak sesuai adalah macam-macam penyakit yang cepat
sekali digolongan menjadi wabah atau penyakit rakyat. Semua budaya
mempunyai sistem pelayanan kesehatan pribumi termasuk di dalamnya
metode pencegahan, diagnosis, dan perawatan terhadap masalah
kesehatan yang tidak diketahui oleh perawatan biomedis. Ketika suatu
penyakit dihubungkan dengan sebab yang tidak ilmiah, perawatan
tradisional mungkin digunakan, setidaknya pada awal penyakit. Pada
beberapa lansia, kepercayaan tentang sehat, sakit, dan cara
menanganinya dibagi menjadi tiga teori, yaitu magico religious,
balance atau harmony, dan biomedical. Magico religious
menggunakan kepercayaan bahwa tubuh dapat disembuhkan dari
penyakit dengan bantuan Tuhan atau kekuatan spiritual. Sakit sebagai
suatu hukuman dari Tuhan. Cara penanganannya dalam bentuk kuratif
dan preventif seperti melakukan puasa dan berdoa. Metode Balance
atau Harmony dapat dilakukan dengan berolahraga, makan makanan
yang seimbang dan bergizi, istirahat yang cukup dan menjali hubungan
interpersonal yang baik (Meiner, 2011).
Para professional kesehatan mungkin berpikir bahwa lansia
ingin diperlakukan hanya dengan cara tradisional oleh traditional
healers mereka. Namun, kepercayaan ini sering dilebih-lebihkan.
Adanya keinginan untuk menggunakan jasa traditional healers
mungkin mencerminkan kurangnya kemampuan keuangan atau fisik
atau kesesuaian. Lansia sering dikarakteristikkan secara berlebihan
sebagai orang yang sangat tradisional; mereka kemudian diasumsikan
tidak ingin mengambil bagian dalam arus program kesehatan.
Kecenderungan ini disebut hipotesis kebencian budaya.
2.2.2.5 Implikasi Klinis dalam Menangani Lansia
Untuk mengkaji adanya kemungkinan bahwa budaya
memainkan suatu peran utama dalam rencana perawatan lansia,
perawat mungkin ingin memastikan bahasa yang digunakan oleh
42
pasien, generasi pendatang, komposisi keluarga, dukungan orang yang
penting bagi pasien, status sosial-ekonomi, dan lokasi tempat tinggal.
Model LEARN mungkin bermanfaat dalam mengembangkan
rencana perawatan sesuai dengan budaya klien:
L (Listen): dengarkan dengan penuh pengertian persepsi pasien tentang
masalahnya dan cara terbaik bagi pasien untuk mengatasinya.
E (Explain): jelaskan persepsi perawat tentang masalah tersebut.
A (Acknowledge): akui dan diskusikan adanya persamaan dan
perbedaan antara sudut pandang.
R (Recommend): rekomendasikan suatu rencana perawatan dalam
batasan ide perawatan dan ide pasien
N (Negotiate): negosiasikan suatu persetujuan (yang mungkin menjadi
pilihan pertama bagi pihak manapun).
2.2.3 Kehilangan dan Berduka pada Lansia
Kehilangan merupakan proses alami pada diri manusia dan merupakan
suatu hal yang normal serta penting pada diri manusia. Kehilangan adalah
kondisi aktual atau potensial yang berdampak pada perubahan atau
menghilangnya suatu hal yang bernilai atau berharga bagi manusia (Kozier,
2010). Pensiun, penyakit kronis, kematian pasangan, hal tersebut merupakan
perasaan kehilangan yang sering dialami oleh lansia (Miller, 2012).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kehilangan adalah
suatu kondisi yang menyebabkan suatu perubahan, perubahan dari hal yang
awalnya ada menjadi tidak ada.
Menurut Kozier (2010), terdapat dua jenis umum kehilangan yaitu
kehilangan aktual dan persepsi. Kehilangan aktual adalah kehilangan yang
dapat diketahui oleh orang lain, seperti seseorang yang kehilangan barang
berharga yang dimilikinya. Kehilangan persepsi merupakan suatu kehilangan
yang dialami seseorang tetapi tidak bisa dipastikan oleh orang lain. Contoh
dari kehilangan persepsi ialah seorang wanita yang berhenti bekerja untuk
43
merawat anaknya di rumah, ia bisa merasakan persepsi kehilangan
kemandirian dan kebebasan, tetapi orang lain tidak bisa memastikan bahwa
wanita tersebut sedang mengalami kehilangan persepsi atau tidak.
Selain itu, kehilangan juga bisa dibagi menjadi kehilangan situasional
dan kehilangan developmental. Kehilangan situasional adalah kehilangan yang
terjadi tiba-tiba dalam berespons kejadian eksternal spesifik seperti kematian
mendadak orang yang dicintainya (Potter&Perry, 2005). Kehilangan
situasional seperti kehilangan kemampuan fungsional karena penyakit akut
atau cedera, hilangnya pekerjaan, dan kematian anak. Kehilangan
developmental adalah kehilangan yang terjadi akibat proses perkembangan
normal kehidupan (Kozier,dkk,2011). Kehilangan developmental seperti
pensiun dari pekerjaan, kematian orang tua yang sudah lansia, dan kepergian
anak untuk bekerja atau berumah tangga. Berdasarkan contoh di atas dapat
disimpulkan bahwa kehilangan situasional adalah kehilangan yang terjadi
karena suatu keadaan tertentu dan kejadiaan tersebut tidak diprediksi
sebelumnya, sedangkan kehilangan developmental adalah kehilangan yang
pasti akan terjadi dan sudah diprediksi sebelumnya.
Menurut Kozier (2010), sumber kehilangan terdiri dari kehilangan
aspek diri, kehilangan objek eksternal diri, kehilangan lingkungan yang
dikenal, dan kehilangan orang yang dicintai atau orang berharga.
a. Kehilangan aspek diri: kehilangan anggota tubuh yang bisa mengubah
citra tubuh seseorang. Pada usia lanjut, banyak terjadi perubahan
seperti perubahan kemampuan fisik dan mental. Pengaruh yang
ditimbulkan bergantung pada ketahanan citra tubuh setiap individu,
pada usia lanjut citra tubuh sangat rapuh, kemampuan fisik dan mental
akan menurun, tidak tertutup kemungkinan pada masa usia ini akan
banyak kehilangan seperti kehilangan pekerjaan, aktivitas biasa,
kemandirian, kesehatan, teman dan juga keluarga.
b. Kehilangan objek eksternal: kehilangan sesuatu yang disayangi atau
berharga, dapat berupa benda mati atau benda hidup dan mencakup
segala kepemilikan yang telah usang, berpindah tempat, dicuri, rusak
karena bencana alam (Potter Perry, 2005).
44
c. Kehilangan lingkungan yang dikenal: berpisah dengan tempat yang
telah memberikan keamanan dan kenyamanan, seperti seseorang yang
harus merantau ke kota untuk kuliah atau bekerja, perawatan di rumah
sakit dan mendapat pekerjaan baru.
d. Kehilangan orang yang dicintai: kehilangan yang bisa disebabkan
karena penyakit, perpisahan, perceraian, atau kematian. Kematian
merupakan kehilangan yang permanen dan sangat mengganggu
kehidupan seseorang, untuk kembali ke kondisi normal butuh waktu
tertentu.
Setelah mengalami kehilangan, individu akan berespon, respon dari
kehilangan itu disebut berduka. Berduka merupakan respon emosi yang
timbul dari kehilangan dan biasanya diwujudkan dalam bentuk pikiran,
perasaan, dan perilaku lain yang berhubungan dengan kesedihan yang
mendalam (Kozier, 2010). Proses berduka yang dialami individu
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepribadian, peristiwa kehilangan
sebelumnya, kedekatan hubungan dan sumber personal.
Setiap individu memiliki respon yang berbeda terhadap kehilangan,
baik respon secara kognitif (pemikiran), emosi, tingkah laku, spiritual, dan
fisiologis. Respon kognitif yang muncul seperti seseorang yang kehilangan
akan bertanya-tanya tentang kematian yang dialami oleh anggota keluarga
atau pasangannya dan pada akhirnya akan merekonstruksi pemikiran mereka
bahwa kematian adalah takdir. Respon emosi yang muncul seperti marah,
sedih, kehilangan kontrol diri, dan cemas yang berlebihan. Secara spiritual,
respon yang muncul biasanya marah kepada Tuhan, kehilangan harapan, dan
pada akhirnya akan mendoakan orang yang meninggal. Respon tingkah laku
dari individu yang kehilangan yaitu menangis dan menarik diri. Secara
fisiologis, respon yang biasa muncul yaitu gangguan tidur, sakit kepala,
kehilangan nafsu makan, hingga kekurangan energi atau lemah.
Kehilangan dan berduka memiliki proses (fase atau tahap) dan setiap
fasenya membutuhkan intervensi keperawatan yang berbeda. Banyak ahli
yang telah mengemukakan mengenai tahapan berduka, di antaranya teori
45
Kubler-Ross, John Bowlby, George Engel, Mardi Horowitz, dan Rando
(Videbeck, 2011).
2.2.3.1 Teori Kubler-Ross’s
Teori ini dikemukakan oleh Elisabeth Kubler-Ross pada tahun
1969. Teori ini memiliki 5 tahapan dalam proses berduka.
a. Denial (mengingkari)
Terkejut dan tidak percaya dengan kenyataan yang ada.
Individu yang mengalami kehilangan tidak akan begitu saja
menerimanya, ia akan terus mengingkari kenyataan sampai
akhirnya ia akan mengalami fase yang kedua. Individu yang
berada pada fase ini biasanya akan muncul pernyataan
penolakan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu”, “Suami
saya tidak apa-apa, dokter yang salah periksa”.
b. Anger (marah)
Menyatakan kemarahan pada Tuhan, tenaga kesehatan, teman,
atau kerabat lain atau mencari yang salah dalam terjadinya
kehilangan tersebut. Individu yang berada pada fase ini
berusaha mencari kesalahan pada siapa saja yang menyebabkan
ia mengalami kehilangan agar ia bisa melampiaskan rasa
kehilangannya dan meminta pertanggungjawaban pada orang
tersebut. Pada fase ini akan muncul pernyataan “Hidup ini tidak
adil, Tuhan tidak adil!”, “Tidak becus perawat atau pelayanan
kesehatan di rumah sakit ini”.
c. Bargaining (tawar-menawar)
Berharap kejadian tersebut dapat ditunda dan tidak terjadi pada
saat itu. Individu yang berada pada tahap ini berusaha
menunda-nunda realitas sehingga ia tidak mengalami
kehilangan pada saat itu dan terjadi pada waktu yang akan
datang. Pada tahap ini akan muncul pernyataan seperti “Kalau
saja saya tidak mengizinkan dia pergi, tentu tidak akan celaka”,
“Andai saya diberi umur, saya akan taat ibadah”.
46
d. Depression (depresi)
Tidak bisa mengingkari kenyataan. Individu pada tahap ini
sudah tidak bisa menghindari kenyataan akan kehilangan,
biasanya hal tersebut terjadi karena adanya bukti yang semakin
memperkuat kehilangan tersebut. Sikap yang bisa muncul pada
fase ini adalah berkabung yang berlebihan, menarik diri,
termenung, tidak mau melakukan apa-apa, sedih, menangis,
tidak mau makan, dan insomnis.
e. Acceptance (penerimaan)
Berusaha menerima dan beradaptasi. Individu pada tahap ini
sudah bisa menerima dan beradaptasi terhadap kehilangan yang
dialaminya dan menerima kenyataan yang ada. Biasanya akan
muncul pernyataan “ya, mungkin itu takdir saya”.
2.2.3.2 Teori John Bowlby
Teori John Bowlby mendeskripsikan 4 tahapan proses berduka:
a. Mengalami mati rasa dan mengingkari kehilangan.
b. Merindukan kehilangan (yang dicintai) secara emosional dan
memprotes kenyataan yang ada.
c. Mengalami disorganisasi kognitif dan rasa putus asa dengan
beban yang berat setiap hari.
d. Mengorganisasi dan mengintegrasi kembali perasaan diri
sendiri untuk kembali hidup bersama dengan yang lain.
2.2.3.3 Teori Engel
Teori ini dikemukakan oleh Engel pada tahun 1964 dengan
mendeskripsikan 5 tahapan berduka.
a. Shock and disbelief (shok dan tidak percaya)
Bingung dan menolak mengakui kehilangan untuk melindungi
diri dari stres. Sebagian individu yang mengalami kehilangan
akan berusaha menarik diri dari keramaian, malas beraktifitas,
dan pergi tanpa tujuan yang jelas.
47
b. Developing awareness (membangun kesadaran)
Mengakui adanya kehilangan dengan menangis, frustasi, dan
marah. Kemarahan, perasaan bersalah, putus asa, merasa
hampa bisa tiba-tiba terjadi pada individu yang berada pada
tahap ini.
c. Restitution (penggantian kerugian)
Berusaha untuk sepakat atau damai dengan kekosongan diri
dengan mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan kematian
seperti pemakaman, upacara keagamaan, family gathering, dan
sebagainya.
d. Resolution of the loss (resolusi kehilangan)
Berusaha memaafkan kesalahan dan tidak mengungkit
kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang yang meninggal
dan menganggap orang yang datang berkabung bisa mengganti
yang hilang.
e. Recovery (pemulihan):
kembali ke kehidupan seperti sebelumnya tetapi tidak sama
seperti sebelum merasakan kehilangan.
Selain itu Engel (1964) dalam Potter Perry (2005) juga
menjelaskan tentang 3 fase yang diterapkan pada seseorang yang
berduka:
a. Pada fase pertama: individu menyangkal realitas kehilangan
dan mungkin menarik diri, duduk tidak bergerak atau
menerawang tanpa tujuan.
b. Fase kedua: individu mulai merasa kehilangan secara tiba-tiba
dan mungkin mengalami keputusasaan, secara mendadak
terjadi marah, rasa bersalah, frustasi, depresi dan kehampaan.
Menangis adalah khas sejalan dengan individu menerima
kehilangan.
c. Fase ketiga: dikenal dengan realitas kehilangan. Marah dan
depresi tidak lagi dibutuhkan. Seseorang beralih dari tingkat
48
fungsi emosi dan intelektual yang lebih rendah ke tingkat yang
lebih tinggi. Berkembang kesadaran diri.
2.2.3.4 Teori Horowitz Loss and Adaptation
Mardi Horowitz (2001) membagi tahapan berduka ke dalam 4
tahapan:
a. Outcry: menyatakan dengan berteriak, menjerit, menangis, atau
pingsan. Hal ini dilakukan individu untuk mengontrol
emosinya dan juga bisa digunakan sebagai energi untuk
menjalani kehidupan selajutnya.
b. Denial and intrusion: melibatkan diri ke aktifitas atau kegiatan
yang tidak mengingatkan pada kehilangan sehingga individu
tersebut tidak terlalu memikirkan kehilangan dan tidak
bertambah sedih.
c. Working through: mencari cara lain untuk mengatur hidup
walaupun masih memikirkan rasa kehilangan tersebut.
d. Completion: hidup kembali normal tetapi berbeda dengan
sebelum kehilangan. Kenangan-kenangan yang ada akan
sedikit membuat sakit individu yang mengalami kehilangan
untuk menjalani hidup.
2.2.3.5 Teori Rando
Menurut Rando (1993) dalam Potter & Perry (2005), respon
berduka didefinisikan menjadi tiga kategori:
a. Penghindaran: terjadi syok, menyangkal, dan
ketidakpercayaan.
b. Konfrontasi: luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
c. Akomodasi: mulai memasuki kembali secara emosional dan
sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani
hidup dengan kehilangan mereka.
49
Lama proses berduka bergantung pada individu masing-
masing. Fase akut biasanya berakhir pada 6-8 minggu dan akan lebih
lama terjadi pada lansia. Setelah melewati fase akut, individu tersebut
akan bisa memenuhi kebutuhan dasarnya kembali seperti makan dan
tidur. Akan tetapi, tanda dan gejala berduka mungkin masih
berlangsung hingga 12-24 bulan. Salah satu faktor yang menyebabkan
proses berduka lansia menjadi lebih lama adalah tidak adanya support
system (misal. keluarga) yang menemani, peduli, dan membantu lansia
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Selain itu, faktor lain yang
mendukung proses lansia menjadi lebih lama yaitu adanya mekanisme
koping yang buruk, struktur kepribadian, pengalaman masa lalu, dan
lain-lain.
Berdasarkan pembahasan mengenai kehilangan dan berduka di
atas dapat disimpulkan bahwa proses kehilangan merupakan suatu hal
yang wajar bagi manusia. kehilangan yang terjadi pada lansia biasanya
berupa kehilangan yang disebabkan karena perpisahan atau kematian
orang yang dicintai. Kehilangan yang mereka rasakan akan
menimbulkan respon berduka. Respon berduka pada setiap orang
berbeda-beda semua bergantung pada sikap dari individu dan
lingkungan individu tersebut.
2.2.4 Proses Meninggal dalam Damai (End of Life Care) pada Lansia
2.2.4.1 Definisi dan Perspektif Tentang Kematian
Meninggal atau kematian merupakan akhir dari rangkaian
kesatuan sebuah kehidupan. Asosiasi Geriatrik Amerika
mendefinisikan kematian (death) sebagai suatu keadaan dimana sudah
tidak adanya fungsi fisiologis pada manusia, sedangkan dying
didefinisikan sebagai sebuah proses yang terjadi pada seseorang
dimana orang tersebut memiliki penyakit yang berkembang secara
cepat dan diperkirakan sudah tidak dapat diobati lagi. End of life
didefinisikan sebagai sebuah periode dimana seseorang mengalami
penyakit dengan kondisi semakin memburuk dimana kecil
kemungkinan untuk diobati lagi sehingga kenyamanan pasien menjadi
50
tujuan utama perawatan (Wilke dan TNEEL Investigators, 2003).
Periode end of life seseorang berbeda-beda dari jam ke bulan dan
meliputi waktu selama seseorang mengalami proses kematian secara
aktif (dying).
Terdapat empat komponen dari kematian, yaitu universalitas,
irreversibility, non- functionality, dan kausalitas (Despelder dan
Strickland, 2007). Komponen universalitas menyatakan bahwa semua
makhluk hidup pada dasarnya akan mati. Kematian meliputi semua
makhluk hidup dan merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh
semua makhluk hidup. Komponen kedua, irreversibility menyatakan
bahwa kematian bersifat final. Setiap organisme yang mati tidak dapat
hidup kembali. Kematian merupakan akhir dari segalanya. Komponen
ketiga, non-fuctionality, menekankan bahwa kematian meliputi
berhentinya fungsi fisiologis atau tanda-tanda kehidupan dari setiap
organ tubuh. Komponen keempat, komponen kausalitas, menyatakan
bahwa terdapat alasan atau penyebab terhadap terjadinya kematian.
Markson (dalam Miller, 2012) mengidentifikasi terdapat empat
nilai-nilai sosial kontemporer atau keyakinan yang membentuk
pandangan umum tentang penuaan dan kematian, yaitu:
a. Pekerjaan dan aktivitas yang terkait dengan diri dan penyakit
kronis atau keterbatasan fisik dikaitkan dengan akhir
produktivitas dan kehilangan tujuan. Akibatnya, individu atau
lansia mungkin tidak mengakui adanya penyakit dan penuaan
pada diri mereka karena hal tersebut dipandang sebagai pikiran
yang mendahului sebelum kematian itu terjadi.
b. Melalui penentuan takdir dan tanggung jawab individu, setiap
orang dapat melakukan apapun jika manusia itu terus mencoba.
Pandangan ini yang menjadikan adanya penolakan proses
penuaan dan kematian pada era sekarang ini.
c. Kemajuan medis dari beberapa dekade terakhir menumbuhkan
keyakinan bahwa penuaan, penyakit, dan bahkan kematian
dapat dimanipulasi, dikelola, dan dikendalikan.
51
d. Kewenangan dan tanggung jawab tentang kematian telah
sepenuhnya dipegang kendali atau diserahkan pada tenaga
medis. Akibatnya, kematian yang datang biasanya dihadapi dan
ditangani dengan kualitas yang lebih humanistik dan kurang
spiritual.
Menurut Ruland dan Moore (1998), teori menghadapi kematian
dengan damai merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan
tehadap pasien dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk hidup
lebih lama. Teori ini dirancang untuk memberikan hasil yang positif
dengan kriteria bebas dari rasa sakit, merasakan kenyamanan,
merasakan dihargai atau dihormati, merasakan kedamaian, dan
kedekatan dengan orang yang berarti dalam hidup.
Terbebas dari penderitaan atau gejala distres merupakan bagian
pokok atau penting dari pengalaman banyak pasien yang menghadapi
kematian. Rasa sakit dianggap sebagai pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial. Kenyamanan didefinisikan sebagai
adanya bantuan terhadap ketidaknyamanan, berada dalam keadaan
yang senang dan kepuasan yang damai, dan apapun yang membuat
hidup menjadi mudah atau menyenangkan (Ruand dan Moore, 1998).
Kedamaian adalah merasakan ketenangan, kesesuaian atau keselarasan
dan kepuasaan serta bebas dari ansietas, kegelisahan, kekhawatiran,
dan ketakutan (Ruland dan Moore, 1998). Kondisi damai meliputi
fisik, psikologis, dan spiritual. Kualitas hidup didefinisikan dan
dievaluasi sebagai wujud kepuasan melalui hasil penilaian empiris
seperti penanganan tehadap gejala dan kepuasan dengan hubungan
interpersonal. Memasukkan pilihan-pilihan pasien ke dalam keputusan
perawatan merupakan pertimbangan yang tepat.
52
2.2.4.2 Tanda-Tanda Lansia Pada End of life
Tanda-tanda klinis pasien sakaratul maut menurut Kozier (2010),
yaitu:
a. Kehilangan tonus otot.
b. Perlambatan sirkulasi.
c. Perubahan respirasi.
d. Kerusakan sonsori.
Menurut Wotf dan Weitzel (dalam Hawari, 1998), ciri-ciri pokok
pasien yang akan melepaskan nafasnya yang terakhir, yaitu:
a. Penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur
yang dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada
ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan
lembab.
b. Kulit tampak kebiru-biruan kelabu atau pucat.
c. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat.
d. Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes.
e. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi
terhenti dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang.
Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap
individu. Otot rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang
tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.
2.2.4.3 Komponen Kesiapan Lansia Meninggal dalam Damai
a. Menciptakan kenangan-kenangan indah yang tidak
terlupakan (Mauk., 2006).
Hal ini sangat lumrah karena mereka berpikir tidak akan pernah
melakukannya lagi dikemudian hari, sehingga keberhasilan
dalam memenuhi keinginan tersebut diharapkan akan
meningkatkan kesiapan lansia untuk meninggalkan dunia
dengan damai. Pada masa ini, lansia mungkin akan melakukan
sesuatu yang sangat diinginkannya, tetapi hingga kini belum
pernah dilakukan, seperti mencicipi makanan baru, melakukan
olahraga ekstrem, atau hal menyenangkan lain bersama orang
53
yang dikasihi. Perawat dalam hal ini perlu menanyakan hal apa
yang diinginkan dan mendorong lansia untuk melakukannya
jika hal tersebut baik untuk dilakukan.
b. Berkumpul dengan keluarga atau orang-orang yang
dicintai lansia.
Hal ini dikarenakan oleh adanya perasaan untuk memastikan
segala sesuatunya berjalan lancar sehingga dapat pergi dengan
tenang atau hanya sekadar untuk melihat wajah orang yang
dicintai untuk terakhir kalinya. Terkadang, ada pesan yang
perlu disampaikan oleh lansia kepada keluarganya, mungkin
mengenai finansial, pesan moral dan sebagainya. Perawat
dalam hal ini penting untuk memperhatikan kondisi lansia
apakah masih memiliki keluarga atau tidak, serta memfasilitasi
pertemuan keluarga menjelang kematian bila diperlukan.
c. Membebaskan lansia dari rasa sakit dan penderitaan serta
mempertahankan privasi dan kehormatan (Kozier & Erb,
2008).
Beberapa lansia memerlukan bimbingan dalam menghasilkan
keputusan apakah ia akan bersedia mendapatkan tindakan
medis untuk mengakhiri hidupnya sebagai jalan membebaskan
diri rasa sakit yang penyakit yang telah lama diderita, misalnya,
kanker. Jika lansia tetap memilih untuk hidup, maka perawat
harus menghormati keputusan tanpa melupakan bahwa rasa
sakit lansia tetap perlu diringankan. Berikan dukungan moral
dan mental pada lansia agar lansia lebih sabar dalam menjalani
hari-harinya sebelum meninggal.
d. Pemenuhan kebutuhan spiritual.
Beberapa lansia merasakan dorongan untuk semakin
mendekatkan diri pada Tuhan sebelum meninggal (Wallace,
2008). Komponen pemenuhan kebutuhan spiritual sangat
penting untuk diaplikasikan agar lansia dapat mempersiapkan
diri dengan lebih baik. Contohnya: doa, puasa, misa dan lain-
54
lain. Di Indonesia, banyak rumah sakit menyediakan layanan
keagamaan seperti doa-doa sebagai salah satu cara mengurangi
ansietas dalam berbagai kasus seperti pre-operasi atau pada
klien yang berada dalam kondisi kritis. Lansia dapat
memanfaatkan layanan ini bila diperlukan, atau melakukan
kegiatan keagamaan apapun sendirian sampai ia merasa siap
secara spiritual. Sangat penting agar perawat menanyakan
kegiatan keagamaan apa yang klien inginkan dan bantu
memfasilitasinya bila diperlukan. Lalu, berikan waktu pada
klien untuk melaksanakan ritual keagamaannya. Perlu
diperhatikan hal apa yang tidak boleh dilakukan menurut
keyakinan klien sehingga hal ini tidak akan mengganggu
kesiapan klien dalam menghadapi kematiannya.
e. Mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang.
Lansia ingin agar keluarga dan orang yang dicintainya dapat
melepas kepergiannya, sehingga perlu diperhatikan bahwa
‘berpamitan’ bukanlah hal yang sepele bagi lansia yang sedang
menghadapai kematian. Perhatikan bagaimana ekspresi lansia
serta keluarganya saat akan berpisah dengan satu sama lain.
Perawat perlu mengetahui bahwa keluarga yang tidak siap
dalam menghadapi kehilangan anggotanya akan memberatkan
beban pikiran lansia dan akan mengurangi ketenangannya saat
meninggal dunia yang tentunya betolak belakang dengan tujuan
asuhan keperawatan menjelang kematian.
f. Kesiapan dan persiapan lansia mengahadapi kematian.
Ketika menghadapi kematian, lansia umumnya mempersiapkan
diri dengan berbagai macam hal, sebagai bagian akhir dari
perjalanan hidup. Persiapan ini dilakukan tentunya sebelum
proses sekarat atau ajal tiba. Akhir dari kehidupan adalah
kematian, kematian diawali dengan proses sekarat. Orang-
orang dianggap sekarat ketika mereka sakit dengan kondisi
progresif yang diharapkan berakhir pada kematian dan yang
55
tidak ada pengobatan yang dapat secara substansial mengubah
hasilnya (AGS, 2002; Miller, 2012). Panjang dari proses
sekarat bervariasi dan tergantung pada situasi holistik individu.
Durasinya mungkin hitungan menit, jam, minggu, atau bulan
(Miller, 2012). Lansia yang menerima kematian terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh, yaitu menurut Retsinas
(1988) dalam Annete (2000) yaitu:
1) Lansia melihat diri mereka sebagai individu yang dekat
dengan kematian.
2) Lansia sudah terbiasa merasakan sakit dan merasa
kemampuan sudah menurun.
3) Lansia menyadari bahwa telah ada generasi yang
memegang peran mereka.
4) Lansia beranggapan bahwa kematian lebih baik bagi
mereka.
Berbagai persiapan dilakukan bagi mereka yang menerima
kematian yaitu selain faktor usia, penerimaan terhadap kematian juga
dipengaruhi oleh faktor psikologi. Begitu lansia telah mengidentifikasi
diri mereka sebagai mendekati akhir hidup mereka, mereka sering
terlibat dalam proses yang disebut kehidupan review (Butler, 1963,
Annete, 2000).
Dalam teori ini, orang tua mendekati akhir hidup mereka
biasanya mereview kehidupan mereka dan menarik beberapa
kesimpulan tentang aspek positif dan negatif. Berdasarkan penarikan
kesimpulan tersebut akan muncul integritas vs putus asa (Annete,
2000). Jika mereka umumnya dapat mengatakan bahwa hidup mereka
sangat berarti dan berharga, maka arti integritas muncul. Namun, jika
kehidupan mereka dievaluasi negatif, rasa penyesalan dan putus asa
yang muncul.
Keyakinan agama dan aspek spiritual merupakan hal yang
berpengaruh besar pada persiapan kematian seorang lansia. Tiga
kebutuhan rohani lansia dalam mempersiapkan kematian telah
56
diidentifikasi oleh Doka (1993) dalam Annete (2000), yaitu: untuk
mencari makna hidup, untuk meninggal dengan damai, untuk
menemukan harapan kebahagiaan setelah kubur. Keyakinan dan
pengalaman religius atau spiritual dapat berperan dalam membantu
lansia menghilangkan ketakutan akan kematian.
Ada beragam cara yang dilakukan lansia dalam menghadapi
kematian. Contohnya, ada lansia yang melakukan isolasi sosial karena
merasa diri sudah tidak dibutuhkan lagi. Ada pula lansia yang justru
mencari kehidupan sosial baru sebagai bentuk persiapan menghadapi
kematian. Lansia ini umumnya memilih ke panti werdha daripada di
rumah tanpa ada penjagaan (Wallace, 2008). Namun, di Indonesia,
steriotipe akan panti werdha merupakan tempat buangan bagi lansia
masih sangat kuat, sehingga keluarga lansia lebih memilih lansia tetap
berada di rumah padahal tidak ada anggota keluarga yang mampu
mengurusnya dengan baik.
2.2.4.4. Peran Perawat dalam End-of-Life Care pada Lansia
Dalam perspektif tenaga kesehatan, kematian dianggap sebagai
kegagalan atau ketidakprofesionalan mereka dalam mengobati atau
melakukan perawatan pada pasien. Namun, seiring berjalannya waktu,
perawatan menjelang kematian menjadi sesuatu yang umum dan
tenaga kesehatan akan merasa puas jika dapat memberikan perawatan
dengan baik pada manusia yang melewati periode kematian.
Untuk memberikan perawatan menjelang kematian seorang
perawat harus mengkaji dan mempersiapkan diri untuk memberikan
perawatan yang optimal. Keluarga, budaya, dan agama atau
kepercayaan yang dimiliki perawat menentukan sudut pandang
perawat dalam menghadapi kematian. Perawat perlu mempelajari
aspek klinis end of life care dan perawat memerlukan waktu untuk
memahami perasaan serta perhatiannya. Oleh karena pekerjaannya
sebagai penyedia layanan kesehatan, perawat berada dalam posisi ideal
untuk memberi peran utama dalam mencapai kualitas perawatan end of
life pada lansia. Kemudian, The End of Life Nursing Education
57
Consortium (ELNEC) menginisiasi pemberian perawatan pada lansia
menjelang kematian. Hal-hal yang dipelajari dalam ELNEC tersebut,
antara lain: mempromosikan kematian yang sejahtera, hospice care,
komunikasi, pemberian dukungan sepiritual, dan manajemen gejala
menjelang ajal.
Kematian yang sejahtera didefinisikan sebagai meninggal
dengan baik dan kemudian disebut sebagai meninggal dengan
bermartabat. Pasien dikatakan meninggal dengan bermartabat jika
pasien merasakan kenyamanan secara fisiologi, kenyamanan secara
psikologi, hak pasien dan keluarga dihormati, dan pasien dan keluarga
dapat mengontrol situasi tersebut dengan baik.
Hospice didefinisikan sebagai perawatan yang dilakukan pada
seseorang untuk mendukungnya dalam proses kematian yang baik dan
bermartabat dengan meminilisir rasa sakit yang dirasakan. Perawatan
hospice meliputi berbagai disiplin ilmu meliputi aspek fisik, psikologi,
dan spiritual sebagai dukungan terhadap keluarga pasien.
Komunikasi merupakan hal yang penting dilakukan pada saat
seseorang mengalami kematian. Pada proses kematian terdapat banyak
transisi secara fisik, psikologi, maupun spiritual. Pada saat itu, perawat
memiliki banyak kesempatan untuk memberikan intervensi melalui
komunikasi yang baik kepada pasien.
Perawat perlu menawarkan dukungan spiritual kepada pasien
karena spiritual merupakan salah satu aspek penting dalam perawatan
menjelang ajal untuk mencapai kematian yang bermartabat. Diagnosa
keperawatan yang mendukung untuk spiritualitas pasien menjelang
ajal, antara lain: risiko distress spiritual, distress spiritual, dan kesiapan
untuk meningkatkan proses perbaikan spiritual. Intervensi yang dapat
dilakukan oleh perawat antara lain, mendengarkan secara aktif,
pemberian koping, memberikan dukungan emosional, dukungan
spiritual, dan sentuhan.
58
Kematian merupakan proses individual dan tidak dapat
diprediksikan, beberapa gejala dapat timbul saat prosesnya dan hal itu
memerlukan perawatan khusus oleh perawat, khususnya bagi lansia
yang dapat mengalami gejala lebih banyak. Gejala-gejala yang dapat
timbul saat proses menjelang kematian, antara lain: asthenia, yaitu
perasaan lelah, rentang tubuh menurun, kesadaran menurun, dan
penurunan konsentrasi. Selain itu, timbul gejala konstipasi, mual dan
muntah, dehidrasi, anoreksia, dan dispnea.
Perawat yang menunjukkan kepekaan dan kehangatan personal,
serta berhasil membina hubungan terapeutik lebih mampu melakukan
pengkajian spiritual.
Pengkajian menurut Potter & perry (2005).
a. Keyakinan dan makna:
Penting untuk mempelajari tentang filosofi hidup seseorang,
perspektif spiritualitasnya dan apakah pandangan spiritualnya
sebagai bagian dari kehidupannya secara keseluruhan. Perawat
dapat bertanya kepada klien tentang filosofi hidup, hal paling
penting dalam hidup dan makna hidup. Informasi ini dapat
membantu perawat untuk mengenali fokus spiritual klien dan
dampak penyakit pada kehidupan seseorang. Suatu pemahaman
tentang keyakinan dan makna yang mencerminkan sumber
spiritual seseorang memudahkan dalam mengatasi kejadian
troumatik atau yang menyulitkan.
b. Autoritas dan pembimbing:
Autoritas dapat berupa yang maha kuasa, pembuka agama,
keluarga atau teman, diri sendiri. Perawat dapat mengkaji
sumber autoritas dan pedoman seseorang dengan menanyakan
klien “apa yang memberi anda kekuatan dari dalam? kepada
siapa anda mencari bantuan untuk pedoman dalam hidup
anda?”. Juga penting untuk mengetahui apakah ada sumber
keagamaan yang berkonflik dengan pengobatan medis. Hal ini
59
sangat mempengaruhi pilihan yang diberikan perawat dan
pemberi perawatan kesehatan lainnya kepada klien.
c. Pengalaman dan emosi:
Pengkajian spiritual yang mencakup tinjauan tentang riwayat
seseorang dengan dan kapasitas pengalaman keagamaan dan
apakah pengalaman tersebut terjadi mendadak atau bertahap.
Perawat dapat menanyakan “pernahkah anda mempunyai
pengalaman keagamaan atau spirirual yang membuat berbeda
dalam anda menjalani hidup?”. Perawat menggali emosi atau
suasana hati seperti kebahagian damai, marah, rasa bersalah,
harapan atau rasa malu yang berkaitan dengan pengalaman
keagamaan. Informasi tersebut dapat menunjukkan makna
spiritualitas yang dianut dan apakan perasaan tersebut menyatu
kedalam atau ditolak oleh keyakina klien.
d. Persahabatan dan komunitas:
Pengkajian holistik perawat menggali keluasan jaringan
dukungan seseorang dan hubungan mereka dengan klien.
Apakah klien mempunyai satu hubungan persahabatan atau
lebih? tingkat dukungan apa yang diterima dari komunitas ini?
bagaimana komunitas mengekspresikan perasaan tentang
perhatian dan persahabatan? perawat ingin mempelajari apakah
terdapat keterbukaan diantara klien dan individu tersebut
dengan siapa klien membentuk persahabatan.
e. Ritual dan ibadat
Klien yang beragama islam mungkin berkeinginan untuk
memadukan ritual sembahyang mereka ke dalam rutinitas
perawatan kesehatan. Ketika kematian klien sudah dekat,
sangat penting artinya untuk mengetahui apakah praktik
keagamaan harus di lakukan untuk memastikan ketenangan
jiwa bagi klien dan keluarganya.
60
f. Dorongan dan pertumbuhan
Pengkajian mencakup tinjauan apakah klien membiarkan
keyakinan lama terpendam dengan harapan bahwa keyakinan
baru akan muncul. Hal ini penting karena kehilangan harapan
dapat menyebabkan keputusasaan.
g. Panggilan dan konsekuensi
Individu mengekspresikan spiritulitas mereka pada rutinitas
sehari-hari, pekerjaan, hubungan, dan bidang lainnya. Hal
tersebut dapat menjadi panggilan dalam hidup dan menjadi
bagian dari identitas mereka. Perawat mengkaji apakah dalam
menghadapi penyakit, klien kehilangan kemampuan untuk
mengekspresikan rasa keterhubungan dengan sesuatu yang
lebih besar darinya.
2.2.5 Asuhan Keperawatan Menjelang Kematian dan Sesudah Kematian
pada Lansia
2.2.5.1 Asuhan Keperawatan Menjelang Kematian
Kematian adalah suatu keadaan apabila seseorang tidak teraba
lagi denyut nadinya, tidak bernapas selama beberapa menit dan tidak
menunjukkan segala refleks, serta tidak ada kegiatan otak (Nugroho,
2008). Kematian merupakan suatu keadaan yang pasti terjadi pada
semua makhluk yang bernyawa termasuk pada lansia. Asuhan
keperawatan pada lansia menjelang kematian meliputi proses asuhan
keperawatan, yaitu: pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi,
dan evaluasi.
a. Pengkajian
1) Fisik:
Pengkajian secara fisik diantaranya mengenai rasa nyeri, tidur
dan istirahat, serta ketidaknyamanan. Nyeri merupakan
masalah pada lansia, namun terkadang lansia lupa apakah
mereka nyeri atau tidak. Rasa nyeri ini dirasakan semakin kecil
ketika menjelang kematian. Tidur dan istirahat juga merupakan
hal yang perlu dikaji pada lansia. Lansia biasanya sulit untuk
61
tidur di malam hari karena suasana di malam hari gelap dan
sunyi. Berikut ini merupakan contoh pengkajian untuk tidur
dan istirahat:
a) Apakah tidur lansia terganggu?
b) Apakah lansia merasa takut dan khawatir sehingga tidak
bisa tidur?
c) Apakah lansia tidur sepanjang hari dan berbohong jika
lansia bangun di malam hari?
d) Apakah kekhawatirannya muncul lebih sering di malam
hari?
e) Apakah kekhawatiran tentang kematian membuat
kewaspadaan pada lansia?
Ketidaknyamanan pada lansia yang menjelang
kematian meliputi ketidakmampuan menerima makanan
ataupun minum, tekanan atau nyeri yang membuat lansia sulit
untuk bergerak, kulit gatal, kulit kering yang membuat
dehidrasi. Perawat perlu mengkaji lansia untuk
ketidaknyamanannya.
Tanda menjelang kematian:
a) Pupil membesar.
b) Ketidakmampuan untuk bergerak.
c) Kehilangan refleks.
d) Nadinya cepat dan lemah.
e) Tekanan darah turun.
f) Mata sebagian membuka dan sebagian menutup.
2) Emosional:
Pengkajian emosional pada lansia, antara lain: takut, gelisah,
marah, sedih atau depresi. Beberapa pengkajian pada
emosional antara lain:
a) Apakah klien mengetahui pengetahuan tentang penyakitnya
dan kematian?
62
b) Apakah klien atau keluarga memerlukan informasi untuk
membuat keputusan?
c) Apakah klien dan keluarga mempunyai pengetahuan yang
memadai tentang proses kematian dan apa yang terjadi pada
tubuh?
Pengkajian ini tidak hanya dilakukan pada klien, namun
pengkajian kepada keluarga juga diperlukan, perawat perlu
mengkaji kesiapan keluarga menerima anggota keluarga yang
mereka cintai akan meninggal.
Perawat perlu mengkaji:
a) Bagaimana koping keluarga menghadapi kematian salah
satu anggota keluarganya?
b) Apa saja yang dibutuhkan oleh keluarga saat salah satu
anggota keluarganya meninggal?
Perawat perlu memberikan bantuan lebih untuk mengkaji
koping anggota keluarga, khususnya apabila diketahui
mempunyai riwayat gangguan jiwa atau mempunyai koping
yang maladaptif.
3) Spiritual:
Pengkajian spiritual menjelang kematian mencakup agama dan
kebudayaan:
a) Apakah konflik agama menyebabkan nyeri dan menderita?
b) Apakah klien dan keluarganya memperoleh dukungan
siritual yang membantu?
c) Bagaimana keluarga dan klien melihat proses kematian?
d) Apakah budaya mempengaruhi respon klien dan keluarga
terhadap kematian?
e) Adakah kepentingan yang belum selesai dan membuat klien
khawatir?
f) Siapakah orang yang berarti bagi klien dan siapa yang igin
dilihat klien?
g) Dimana tempat kematian berarti bagi klien?
63
4) Sosial:
Perawat mengkaji interaksi klien dengan lingkungan
sekitarnya. Apakah lansia cenderung menarik diri atau tidak.
b. Diagnosa
1) Kebutuhan Fisik:
Diagnosa: Ketidakefektifan jalan nafas
Intervensi:
a. Atur posisi fowler (pasien sadar).
b. Lakukan tindakan suction (pasien sadar).
c. Semi fowler (pasien tidak sadar).
d. Terapi Oksigen jika dibutuhkan.
Dignosa: Gangguan keseimbangan cairan
Intervensi:
a. Beri makanan cair karena penurunan refleks faring.
b. Lanjutkan pengkajian refleks faring.
c. Gangguan mobilitas fisik.
d. Bantu klien pindah dari tempat tidur berperiode (jika
pasien sanggup).
e. Secara regular, ubah posisi klien di tempat tidur.
f. Dukung posisi klien dengan menambahkan gulungan
handuk jika dibutuhkan.
g. Posisikan lateral di tempat tidur, untuk mengurangi
aspirasi saliva.
h. Angkat kaki klien ketika duduk, untuk mencegah
penumpukan darah.
Diagnosa: Gangguan keseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan
Intervensi:
a. Beri antiemetik untuk menstimulasi nafsu makan.
b. Diet tinggi kalori, tinggi vitamin.
64
Diagnosa: Gangguan pola eliminasi urin
Intervensi:
a. Merawat kulit akibat inkontinensia urin atau feses.
b. Ganti linen sesering yang dibutuhkan.
c. Pasang kateter jika diperlukan.
d. Jaga ruangan tetap bersih dan tidak bau.
Diagnosa:Gangguan persepsi sensori (Halusinasi
Penglihatan)
Intervensi:
a. Klien lebih baik ditempat terang.
b. Kurangi terlalu banyak sentuhan.
c. Berbicara jelas dan tidak berbisik.
Diagnosa: Konstipasi
Intervensi: Berikan laxative untuk mengurangi konstipasi.
Diagnosa: Risiko defisit perawatan diri
Intervensi: Mandikan dan ganti linen pasien secara teratur dan
sering.
2) Kebutuhan Psikososial
Diagnosa: Ansietas berhubungan dengan situasi yang tidak
dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat
diperkirakan, takut akan kematian dan efek negatif
pada pada gaya hidup.
Tujuan: Dalam …x24 jam, rasa cemas klien berkurang, klien
akan merasa tenang.
Intervensi:
a. Berikan kepastian dan kenyamanan.
b. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya.
c. Identifikasi dan dukung mekanisme koping efektif.
d. Kaji tingkat ansietas klien.
65
e. Dorong keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka.
f. Berikan klien dan keluarga kesempatan dan penguatan
koping positif.
Evaluasi:
a. Klien akan mengungkapkan bahwa rasa cemas yang
dirasakan berkurang atau hilang.
b. Klien akan merasa tenang.
c. Koping yang digunakan klien efektif.
d. Keluarga akan merasa tenang.
Diagnosa: Berduka b.d penyakit terminal dan kematian yang
dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri
dan menarik diri dari orang lain.
Tujuan: Dalam …x24 jam, klien akan menerima kenyataan
yang akan dihadapinya.
Intervensi:
a. Berikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk
mengungkapkan perasaan.
b. Berikan dorongan penggunaan strategi koping positif.
c. Bantu klien mengatakan dan menerima kematian yang
akan terjadi.
d. Tingkatkan harapan dengan perawatan penuh perhatian,
menghilangkan ketidak nyamanan dan dukungan.
Evaluasi:
a. Klien dan keluarga akan mengungkapkan perasaannya.
b. Klien mengatakan bahwa ia menerima kenyataan yang
dihadapinya (kematian akan terjadi).
Diagnosa: Risiko distres spiritual b.d ketidakmampuan diri
dalam menghadapi ancaman kematian yang ditandai
dengan marah kepada Tuhan, keputusasaan.
66
Tujuan: Dalam …x 24 jam, klien akan mengungkapkan
penerimaan status kesehatannya.
Intervensi:
a. Mengkaji makna, tujuan, dan harapan hidup klien.
b. Mengkaji tanda depresi klien.
c. Menghormati keyakinan klien.
d. Berikan privasi dan ketenangan untuk ritual spiritual
sesuai kebutuhan.
e. Tawarkan untuk berdoa bersama klien lainnya atau
membaca buku keagamaan.
f. Tawarkan untuk menghubungkan pemimpin religius atau
rohaniwan rumah sakit untuk mengatur kunjungan.
Evaluasi:
a. Klien akan mengungkapkan makna, tujuan, dan harapan
hidupnya.
b. Klien akan mengungkapkan rasa damai.
c. Klien akan mengekspresikan keyakinan spiritualnya.
d. Klien merasa nyaman dan mengekpresikan perasaannya
pada perawat.
e. Klien selalu ingat kepada Tuhan dan selalu bertawakal.
f. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan Tuhan yang
maha Esa akan kembali kepadanya.
2.2.5.2 Asuhan Keperawatan Setelah Meninggal (Post-Mortem)
a. Tanda-tanda kematian:
1) Saat kematian:
a) Terhentinya pernafasan, nadi, tekanan darah, dan fungsi
otak (tidak berfungsinya paru, jantung, dan otak).
b) Hilangnya respon terhadap stimulasi eksternal.
c) Hilangnya kontrol atas sfingter kandung kemih dan rektum
(inkontinensia) akibat peredaran darah yang terhambat, kaki
dan ujung hidung menjadi dingin.
67
d) Hilangnya kemampuan panca indera, hanya indera
pendengaran yang paling lama dapat berfungsi.
e) Adanya garis datar pada mesin elektroensefalografi
menunjukkan terhentinya aktivitas listrik otak untuk
penilaian pasti suatu kematian.
2) Setelah kematian:
a) Algor mortis (penurunan suhu jenazah):
Algor mortis merupakan salah satu tanda kematian, yaitu
terhentinya produksi panas, sedangkan pengeluaran
berlangsung terus menerus, akibat adanya perbedaan panas
antara mayat dan lingkungan.
b) Livor mortis (Lebam mayat):
Livor mortis (lebam mayat) terjadi akibat peredaran darah
terhenti mengakibatkan stagnasi maka darah menempati daerah
terbawah sehingga tampak bintik merah kebiruan.
c) Rigor mortis (Kaku mayat):
Rigor mortis adalah pengerasan tubuh yang terjadi setelah
2 sampai 4 jam setelah kematian. Rigor mortis terjadi karena
kekurangan ATP yang disebabkan kekurangan glikogen dalam
tubuh. Rigor mortis biasanya akan hilang setelah 96 jam
setelah kematian. Setelah meninggal, perawat penting
memberikan kenyamanan posisi pada klien, menutup mata dan
mulut sebelum rigor mortis terjadi. Selain itu, posisikan klien
terlihat seperti natural karena biasanya keluarga almarhum
akan melihat mayat anggota keluarganya.
d) Postmortem Decomposition:
Pada fase postmortem decomposition, jaringan menjadi
lunak dan cair karena fermentasi bakteri. Suhu tubuh akan
cepat berubah. Untuk menunda proses pembusukan ini,
biasanya tubuh disimpan di tempat yang dingin.
68
b. Perawatan jenazah.
Perawatan jenazah adalah perawatan tubuh setelah kematian.
Tujuannya agar tubuh atau jenazah terawat dengan baik.
1) Peralatan:
a) Celemek atau Skort.
b) Kain segitiga atau verban.
c) Bengkok.
d) Pinset anatomis.
e) Sarung tangan sekali pakai satu pasang.
f) Baskom berisi air, waslap, sabun, dan handuk (alat-alat
memandikan).
g) Kapas.
h) Kain kafan atau kain bersih atau laken.
i) Tempat pakaian kotor.
j) Kartu pengenal.
2) Prosedur:
a) Menjelaskan kepada keluarga prosedur yang akan
dilaksanakan.
b) Menyiapkan lingkungan.
c) Bawa alat-alat ke dekat jenazah.
d) Perawat mencuci tangan, memakai sarung tangan dan
memakai celemek.
e) Singkirkan semua peralatan, tube dan alat-alat lain yang
dipakai pasien serta gigi palsu dan perhiasan pasien.
Serahkan kepada keluarga dengan membuat bukti
penyerahannya.
f) Membuka pakaian jenazah.
g) Memandikan jenazah (sama dengan pasien yang masih
hidup) dan pakaikan pakaian sesuai dengan kepercayaan
pasien.
h) Semua lubang di badan ditutup dengan kapas lembab
dengan menggunakan pinset.
69
i) Pasang kembali gigi palsu di mulut pasien dan mata
buatan (kalau ada).
j) Rahang dirapatkan dengan mengikat menggunakan kain
segitiga atau verban dan dagu diganjal dengan handuk atau
bantal kecil.
k) Tutup mata dengan memegang bulu mata. Letakkan bola
kapas basah di setiap kelopak mata, jika mata tidak
menutup.
l) Atur posisi tangan pasien sesuai dengan kepercayaannya.
m) Tutup jenazah dengan kain kafan.
n) Isi kartu pengenal dan ikatkan, satu ikatkan pada ibu jari
kaki kanan, satu di baju dan satu di laci kamar jenazah.
o) Bawa jenazah ke kamar jenazah setelah 2 jam.
p) Bersihkan alat-alat.
q) Buka sarung tangan dan cuci tangan.
r) Dokumentasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan
jenazah, misal: nama, jam kematian, alamat, penyerahan
perhiasan pasien, dan lain–lain.
3) Hal yang perlu diperhatikan oleh perawat:
a) Agama klien.
Agama penting untuk diperhatikan pada perawatan tubuh
jenazah setelah kematian karena perawatan tubuh jenazah
dipengaruhi oleh hukum agama.
b) Kealamiahan tubuh.
Perawatan post mortem dilakukan dengan membuat jenazah
tampak alami dan nyaman serta lingkungan tampak bersih.
Tubuh jenazah ditempatkan dalam posisi telentang dengan
lengan berada di kedua sisi tubuh, telapak tangan ke bawah,
atau menyilang di perut. Sebuah bantal ditempatkan di bawah
kepala dan bahu agar darah tidak mengubah warna wajah.
Kemudian kelopak mata ditutup. Terkadang gigi palsu
dipasang untuk memberikan penampakan wajah yang alami.
70
Setelah itu, mulut ditutup. Selanjutnya, perawat membersihkan
area yang kotor pada tubuh. Bantalan penyerap juga
ditempatkan di bawah bokong untuk menyerap feses dan urine
yang keluar karena relaksasi otot sfingter. Gaun bersih lalu
dipakaikan dan rambut disisir lalu lepaskan semua perhiasan.
Selimut dirapikan hingga menutup sampai bahu.
4) Asuhan keperawatan dukacita, terganggu:
a) Definisi:
Gangguan yang terjadi setelah kematian orang terdekat,
ketika pengalaman distres yang menyertai kehilangan gagal
memenuhi harapan normatif dan bermanifestasi gangguan
fungsional.
b) Diagnosa keperawatan:
Dukacita, terganggu berhubungan dengan kematian yang
ditunjukkan dengan marah, depresi, tingkah laku, dan
penyesalan.
c) Batasan karakteristik:
Subjektif:
(1) Depresi.
(2) Keletihan.
(3) Tidak percaya.
(4) Marah.
(5) Syok.
Objektif:
(1) Menghindari dukacita.
(2) Mengalami gejala somatik kehilangan kesedihan
akibat perpisahan.
(3) Distres traumatik.
(4) Menyalahkan diri sendiri.
(5) Penurunan fungsi dalam peran kehidupan.
d) Tujuan klien (keluarga) dan kriteria hasil:
(1) Tujuan klien : klien dapat mengatasi dukacita
71
(2) Kriteria hasil:
(a) Keluarga akan mengungkapkan pikiran, perasaan,
dan kepercayaan spiritual.
(b) Keluarga berpartisipasi dalam penyelesaian proses
dukacita.
(c) Keluarga menunjukkan koping yang efektif.
e) Intervensi keperawatan:
(1) Kaji dan dokumentasikan sumber dukacita keluarga.
Rasional: identifikasi akan memudahkan menentukan
intervensi.
(2) Bangun hubungan terapeutik kepada keluarga.
Rasional: klien merasa lebih aman dalam suasana
dukanya.
(3) Promosi integritas keluarga.
Rasional: untuk mengidentifikasi jenis mekanisme
koping keluarga.
(4) Pahami reaksi dukacita keluarga pada saat melanjutkan
aktivitas perawatan yang diperlukan.
(5) Dorong setiap anggota keluarga untuk melanjutkan
peran kehidupan.
f) Evaluasi:
Keluarga dapat menunjukkan perasaannya. Keluarga
mulai menerima kenyataan telah kehilangan salah satu
anggota keluarga, dan keluarga melanjutkan perannya
masing-masing.
72
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Lansia merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Oleh karena
itu, kita sebagai anggota masyarakat ataupun tenaga kesehatan perlu
memperhatikan keberadaan lansia.
Seseorang dapat dikatakan sebagai lansia berdasarkan pada beberapa
kriteria tertentu (Stanley & Beare, 2006). Seseorang disebut lansia jika secara
fisik mengalami penuaan seperti rambut beruban, keriput, atau giginya
hilang. Adapula, disebut lansia jika seseorang dianggap sudah tidak dapat
menjalankan fungsi perannya sebagai orang dewasa normal. Selain itu, dapat
juga dikatakan lansia ketika seseorang telah melewati beberapa peristiwa
simbolik seperti memiliki cucu. Terakhir, adapula seseorang dikatakan lansia
berdasarkan usianya menurut kronologis waktu.
Setiap individu, termasuk lansia, memiliki pandangan terhadap
dirinya yang diperoleh dari pengalaman internal dan interaksi dengan orang
lain yang menggambarkan suatu konsep diri. Konsep diri adalah pengetahuan
seseorang tentang dirinya (Wigfield & Karpathian 1991 dalam Potter &
Perry, 2005). Konsep diri ini memiliki lima komponen antara lain,citra tubuh,
ideal diri, harga diri, identitas personal, dan penampilan peran. Terdapat dua
rentang respon konsep diri yaitu respon positif (adaptif) dan respon negatif
(maladaptif). Respon adaptif yaitu respon positif klien dalam menghadapi
suatu masalah hingga dapat menyelesaikan masalah tersebut (aktualisasi diri
dan konsep diri positif). Respon maladaptif, yaitu respon negatif klien dalam
meghadapi suatu masalah tersebut (harga diri rendah, kerancuan identidas
dan depersonalisasi).
Selain konsep diri, spiritual merupakah hal yang sangat penting untuk
lansia. adalah keyakinan atau hubungan dengan yang lebih tinggi, kekuatan
yang menciptakan, sesuatu yang bersifat ketuhanan, atau sumber energi yang
terbatas. Sebagai contoh, seseorang percaya pada “Tuhan”, “Allah”, “Sang
73
Pencipta”, atau “Kekuatan yang lebih tinggi” (Kozier, dkk. 1997). Kondisi-
kondisi tertentu seperti penyakit dan kehilangan yang dialami lansia beresiko
menimbulkan distress spiritual. Distress spiritual yang berkelanjutan akan
mempengaruhi kesehatan lansia secara menyeluruh dimana terjadi gejala-
gejala fisik berupa penurunan nafsu makan, ganguan tidur serta peningkatan
tekanan darah.
Hal lain yang mempengaruhi kehidupan lansia adalah budaya. Budaya
mungkin digambarkan sebagai nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang
dilakukan bersama oleh anggota dari suatu kelompok sosial yang saling
berinteraksi. Sangat penting bagi perawat untuk tidak melakukan generalisasi
yang berlebihan atau bersikap stereotip atas dasar keanggotaan suku atau
budaya.Walaupun pengetahuan ilmiah telah berkembang, banyak kesalahan
stereotip yang tetap ada. Kesalahan stereotip ini menyebabkan tidak
maksimalnya tenaga kesehatan melakukan tugasnya kepada lansia serta
keberadaan lansia yang terkadang diabaikan.
Pada lansia, resiko mengalami kehilangan dan rasa berduka semakin
besar. Kehilangan adalah situasi actual atau potensial yang didalamnya
sesuatu dinilai berharga berubah, tidak ada lagi atau menghilang seperti
kehilangan citra tubuh, orang terdekat,rasa kesejahteraan, pkerjaan, barang
pribadi, keyakinan atau sensasi terhadap diri sendiri, dan penyakit
( Kozier,dkk 2011). Setelah kehilangan sesuatu, setiap diri individu akan
berespons terhadap kehilangan tersebut, itulah yang di sebut dengan berduka.
Berduka adalah respon total terhadap pengalaman kehilangan, berduka dapat
dimanifestasikan dalam pikiran,perasaan dan perilaku yang berhubungan
dengan distress atau kesedihan mendalam ( Kozier,dkk 2011).
Kematian merupakan sebuah fase akhir yang pasti dialami oleh
manusia. Pada orang yang memiliki penyakit kronik pada fase terminal yang
menjadi fokus tenaga kesehatan bukanlah bagaimana mengobati klien tetapi
mengatur kenyamanan dan kualitas hidup klien agar dapat melewati kematian
dengan sejahtera dan mencapai kualitas hidup yang optimal untuk klien yang
mengalami kematian dan orang-orang yang berada di sekitarnya.
74
3.2. Saran
Lansia adalah salah satu periode kehidupan manusia.
Lansia merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu,
masyarakat umumnya dan tenaga kesehatan khususnya
harus memperhatikan lansia dan pemenuhan kebutuhannya.
Perawat diharapkan mampu membantu lansia untuk
memiliki pandangan positif tentang dirinya. Ketika lansia
memiliki gangguan konsep diri, perawat dapat membantu
lansia melakukan koping yang adaptif. Spiritualitas
merupakan hal yang penting bagi lansia. Perawat harus
mampu memeberikan kesempatan untuk lansia mencapai
kesejahteraan spiritual dan menghindari terjadinya distress
spiritual. Pada akhirnya, tenaga kesehatan harus mampu
membantu klien untuk melewati kematian dengan sejahtera.
75
DAFTAR REFERENSI
Ackley, B.J. and Ladwig, G.B. (2006). Nursing Diagnosis Handbook: A Guide to
Planning Care. Mosby: St. Louis.
Annette G.L. (2000). Gerontologic Nursing. 2nd Edition. St Louis, Missouri:
Mosby, Inc.
Carpenito, Lynda J. (2002). Nursing Diagnosis: Application To Clinical Practice.
9th ed. USA: Lippincott Williams &Wilkins Inc.
Carpenito, L.J. (2008). Nursing Diagnosis: Application to clinical practice. 12th
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Craven, R. F dan Hirnle, C.J. (2000). Fundamental of nursing: Human health and
function. 3rd Ed. Philadelphia: Lipincott.
Craven, R.F., & Himle, C.J. (2007). Fundamental of nursing: Human health and
function. 5th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Delaune, S.C., dan Ladner, P.K. (2002). Fundamental of nursing: Standard and
practice. 2nd Ed. USA: Delmar Thomson Learning.
Gallo, J.J., et.all. (2006). Handbook of Geriatic Assessment. 4th Ed. Canada: Jones
and Bartlett Publisher.
Hamid, A.Y.S. (2000). Buku ajar Aspek Spiritual dalam Keperawatan
Profesional. Jakarta: EGC.
Hamid, A.Y.S. (2009). Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Hawari, D. (2007). Doa dan zikir sebagai Pelengkap Terapi Medis. Jakarta:
Penerbit FKUI.
76
Hawari, D. (2009). Dimensi Kesehatan Jiwa dalam Rukun Iman dan Rukun Islam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Herger, B.R. (2003). Asisten Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Joseph J. Gallo., et al. Handbook of Geriatric Assesment. 4th Ed. USA.
Keliat. (1998). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC.
Keliat, B.A. (1999). Gangguan konsep diri. Jakarta: EGC.
Keliat, B. A. (1999). Penatalaksanaan stres. Jakarta: EGC.
Kozier, Barbara et al. (2004). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and
Practice. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Leahy, Julia M & Patricia, E. Kizilay. (1998). Foundation of Nursing Practice A
Nursing Process Approach. Philadhelpia: W.B. Saunders Company.
Maryam R Siti, et.al. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika.
Mauk, K.L. (2006). Gerontological Nursing Competencies for Care. Boston:
Jones and Bartlett Publishers.
Meiner, Sue E. (2011). Gerontologic Nursing. 4th Edition. Las Vegas: Elsevier
Mosby.
Miller,C.A. (2004). Nursing for wellness in order adults theory and practice.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin.
Miller, C.A. (2005). Nursing care of older adults: theory and practice.
Philadelphia: JB. Lippincot.
77
Miller, C. A. (2012). Nursing for Wellness in Older Adults. 6th Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Nugroho, Wahyudi. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC.
Potter, P.A., dan Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 1. Jakarta: EGC.
Potter, P.A., dan Perry, A.G. (2009). Fundamental Keperawatan Buku 1. Ed. 7
(Terj. Dr. Adrina Federika). Jakarta: Salemba Medika.
Shives, Louise Rebraca. (2012). Basic concepts of psychiatric-mental health
nursing. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Stanley, M., dan Beare, P. G. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Stuart dan Laraia. (2005). Prinsip dan praktek keperawatan psikiatri. Edisi 8.
Jakarta: EGC.
Stuart and Laraia. (2005). Psychiatric Nursing. 8th Ed. China: Elseiver.
Stuart, G. W., dan Laraia, M. T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric
Nursing. 8th edition. St. Louis Missouri: Mosby Inc, an affiliate of Elsevier
Inc.
Stuart, G.W. (2009). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. 9th ed. St.
Louis, Missouri: Mosby.
Suliswati, dkk. (2005). Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC.
Syam’ani. (2011). Studi Fenomenologi tentang Pengalaman Menghadapi
Perubahan Konsep Diri: Harga Diri Rendah pada Lansia di Kecamatan
Jekan Raya Kota Palangkaraya. Tesis. Pasca Sarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
78
Tammer. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: SalembaMedika.
Townsend, Mary C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing: concepts of care
in evidence based practice. 6th edition. Philadelphia: F.A Davis Company.
University of Cennecticut Health Center. Diakses melalui nursing.uchc.edu (10
Februari 2014 15:18 WIB).
Varcaloris, M.E, dan Margaret J.H. (2010). Foundations of: Psychiatric Mental
Health Nursing. 9th ed. St. Louis: Saunders Elsevier.
Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.
Videbeck, S.L. (2011). Psychiatri-Mental Health Nursing. 5th Edition.
Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.
Wallace, Meredith. (2008). Essential of gerontological nursing. New York:
Springer Publishing Company.
Wilkinson, J.M. (2009). Buku Saku : Diagnosis Keperawatan. Ed 9. Jakarta:EGC.
Zohry A. (2012). Konsep Dasar Spiritual. pdf (artikel chapter 1 Universitas
Sumatera Utara) diakses 10 Februari 2014 pukul 17.30 WIB.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282673-T%20Syam%27ani.pdf(10
Februari 2014) .
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-ambarwatig-5114-2-
bab2.pdf (10 Februari 2014).
79