Konsep Agropolitan

8

Click here to load reader

Transcript of Konsep Agropolitan

Page 1: Konsep Agropolitan

Konsep Agropolitan sebagai

Upaya Pengembangan Kawasan

Pedesaan

OLEH :

Ainun Dita Febriyanti - 3609 100 019

Critical Review Perencanaan Wilayah

Studi Kasus: Kabupaten Pemalang

Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota - 2012

Page 2: Konsep Agropolitan

1

Pendahuluan

Wilayah menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

memiliki definisi sebagai suatu ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau

aspek fungsional. Isard (1975) menambahkan bahwa wilayah merupakan suatu area yang

memiliki arti karena adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya sedemikian rupa,

bukan hanya sekedar areal dengan batas-batas tertentu sehingga ahli regional memiliki

ketertarikan di dalam menangani permasalahan tersebut, khususnya karena menyangkut

permasalahan sosial dan ekonomi.

Permasalahan sosial ekonomi tersebut sangat berkaitan dengan pengembangan

atau pembangunan wilayah itu sendiri. Pengembangan wilayah merupakan upaya

membangun dan mengembangkan suatu wilayah berdasarkan pendekatan spasial dengan

mempertimbangkan aspek sosial-budaya, ekonomi, lingkungan fisik, dan kelembagaan

dalam suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan pembangunan yang terpadu.

Sedangkan pembangunan secara filosofis merupakan suatu upaya yang sistematik dan

berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif

yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanitis (Rustiadi, 2009).

Dalam pengembangan suatu wilayah ada berbagai konsep yang digunakan, seperti

konsep pengembangan wilayah agropolitan, megapolitan, growth pole, minapolitan, dan lain

sebagainya. Konsep-konsep pengembangan wilayah tersebut dapat digolongkan sebagai

konsep pengembangan wilayah basis ekonomi, ekologi, sosial, dan teknologi. Salah satu

konsep pengembangan wilayah yang berbasis ekonomi adalah konsep pengembangan

agropolitan.

Konsep agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan

wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah

pedesaan sebagai pusat kegiatan pertanian tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah

selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah pedesaan

dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami permasalahan

produktivitas yang stagnan, di sisi lain, wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat

pertumbuhan menerima beban berlebih (over urbanization), sehingga memunculkan

ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial dan lingkungan (Pranoto,

2005).

Kabupaten Pemalang sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang

memiliki komoditas tinggi di sektor pertanian mengalami kendala dalam mengembangkan

Page 3: Konsep Agropolitan

2

wilayahnya. Hal ini berdampak pada kemajuan wilayah di Kabupaten Pemalang. Apabila

dilihat lebih lanjut, kabupaten ini memiliki potensi yang cukup tinggi, namun tidak didukung

dengan adanya sarana dan prasaran yang memadai. Tidak adanya fasilitas penunjang ini

tentunya akan menurunkan kualitas pertanian di Kabupaten Pemalang. Selain itu, adanya

proses urbanisasi yang tidak terkendali juga mendesak produktifitas pertanian di Kabupaten

Pemalang. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai

petani, Indonesia harus mengimpor produk-produk pertanian berupa kedelai sebanyak

1.277.685 ton/ US$ 275 juta, sayur-sayuran sebanyak US$ 62 juta, dan buah-buahan

sebanyak US$ 65 juta (Departemen Kimpraswil, 2007). Bagaimana mungkin Indonesia akan

mengimpor produk pertaniannya bila kualitas produksi pertanian menurun dikarenakan

kurangnya fasilitas penunjang?

Berdasarkan kondisi yang seperti ini, diperlukan suatu konsep pengembangan

wilayah agropolitan yang dapat dijadikan alternatif solusi dalam pengembangan kawasan

pedesaan di Kabupaten Pemalang tanpa melupakan kawasan perkotaan. Melalui

pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan

agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. Melalui

pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat

kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai

tambah tetap berada di kawasan agropolitan (Daidullah, 2006; 1).

Page 4: Konsep Agropolitan

3

Pembahasan

Dalam konteks spasial, proses pembangunan bangunan-bangunan bertingkat yang

telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang

berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang, khususnya

terhadap Kabupaten Pemalang. Hal ini dapat dilihat dari interaksi antara desa kota yang

secara empiris seringkali menunjukkan suatu hubungan yang saling memperlemah.

Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek

penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan

sumberdaya dari wilayah di sekitarnya (backwash effect).

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya backwash effect tersebut.

Pertama, terbukanya akses ke daerah pedesaan melalui infrastruktur jalan yang seringkali

mendorong kaum elit kota, pejabat pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan besar

untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di desa. Kedua, kawasan pedesaan di

Pemalang sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kualitas SDM-nya kurang

berkembang.

Dalam kaitannya dengan sejarah perkembangan wilayah pedesaan di Indonesia,

secara spesifik semakin lemahnya kawasan perdesaan juga didorong oleh kebijakan

nasional yang sangat bersifat urban bias (Anwar 2001). Kebijakan ini seringkali merugikan

sektor pertanian berupa dikenakannya pajak-pajak ekspor dan pungutan dalam negeri

ataupun pajak implisit seperti mata uang rupiah yang kelebihan nilai. Hal ini tentunya

merugikan bagi para petani karena harga ekspor pertanian yang menjadi tidak kompetitif

dan pada akhirnya juga berdampak pada melemahnya pembangunan kawasan pedesaan.

Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga isu utama yang perlu

mendapat perhatian: (1) akses terhadap lahan pertanian dan air, (2) devolusi politik dan

wewenang administratif dari tingkat pusat ke tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigm atau

kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian

(Pranoto, 2005). Kabupaten Pemalang sebagai bagian integral dari kebijakan pembangunan

Indonesia mendapat dampaknya. Kondisi ini pada akhirnya memperlemah kondisi hasil

pertanian di wilayah Pemalang.

Berdasarkan isu dan permasalahan pembangunan pedesaan yang terjadi di

Kabupaten Pemalang, pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi

untuk pengembangan wilayah pedesaan. Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai

sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni

dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk kawasan

Page 5: Konsep Agropolitan

4

agropolitan. Kawasan agropolitan juga dicirikan sebagai kawasan pertanian yang tumbuh

dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang

diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian

(agribisnis) di wilayah sekitarnya.

Dalam pengembangannya, kawasan tersebut tidak bisa terlepas dari pengembangan

sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat

Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana

tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah.

Terkait dengan Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan

agropolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan. Dengan demikian tujuan

pembangunan nasional dapat diwujudkan.

Disamping itu, pentingnya pengembangan kawasan agropolitan di Pemalang

diindikasikan oleh kurangnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan pertanian. Sama

halnya dengan kawasan lain, adanya konsep agropolitan yang direalisasikan dengan

pembangunan sarana dan prasarana jalan maupun pemasaran sangat membantu petani

dalam memperoleh sarana produksi seperti pupuk dan pestisida.

Secara lebih luas, pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat

mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan

keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal, dan manusia. Melalui

dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan

agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang

serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud.

Page 6: Konsep Agropolitan

5

Penutup

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:

a. Pembangunan kawasan pedesaan tidak bisa dipungkiri merupakan hal mutlak yang

dibutuhkan di Pemalang. Hal ini didasari bukan hanya karena terdapatnya ketimpangan

antara kawasan perdesaan dengan perkotaan akan tetapi juga mengingat tingginya

potensi di kawasan perdesaan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai alat

untuk mendorong pembangunan.

b. Pengembangan kawasan agropolitan menjadi sangat penting dalam konteks

pengembangan wilayah dikarenakan: (1) kawasan dan sektor sesuai dengan keunikan

lokal, (2) pengembangan kawasan agropolitan meningkatkan pemerataan, dan (3)

keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti (sektor yang

dipilih mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif dibandingkan dengan sektor

lainnya).

Adapun kendala yang dihadapi secara umum dengan adanya konsep agropolitan

menurut Rustiadi (2007) yaitu:

a. Belum berimbangnya pengembangan sumberdaya manusia, sumberdaya sosial,

buatan, dan alam.

b. Pengaturan akses terhadap sunberdaya (access right): pebuatan penguasaan

masyarakat local terhadap sumberdaya utama.

c. Masalah keberimbangan perencanaan top down dan bottom up, disebabkan

lemahnya common ownership.

d. Lemahnya keterkaitan Rencana Tata Ruang dan Rencana Agropolitan.

e. Pengembangan kelembagaan masyarakat lokal (khususnya kelompok produksi).

f. Integrasi lintas sektoral dalam pengembangan kawasan.

g. Belum berkembangnya sektor-sektor hilir (sekunder dan tersier).

Sedangkan saran yang dapat diajukan dari permasalahan ketimpangan yang terjadi

dalam konsep pengembangan wilayah agropolitan diantaranya adalah:

a. Memperkuat manajemen perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan

agribisnis/agropolitan dari pusat sampai daerah, dengan: (1) mengoptimalkan

sosialisasi dan (2) meningkatkan koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan

konsistensi penyusunan, pelaksanaan dan akselerasi program pengelolaan

agribisnis/agropolitan.

Page 7: Konsep Agropolitan

6

b. Perlu meningkatkan kondisi agribisnis dengan menghilangkan 9 aspek kelemahan

dan ancaman terhadap kondisi agribisnis meliputi: (1) SDM; (2) permodalan; (3)

produksi; (4) distribusi; (5) pengolahan; (6) pemasaran; (7) daya saing; (8)

kelembagaan; dan (9) sarana dan prasarana.

c. Perlu segera mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi pengembangan kawasan

agropolitan dengan menetapkan peraturan daerah tentang penataan ruang dan

masterplan yang mengatur pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Page 8: Konsep Agropolitan

7

Daftar Pustaka

Daidullah, Samsudin T. 2006. Strategi Pengembangan Agropolitan Dinas Tanaman Pangan

Hortikula, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Boul. Yogyakarta. Thesis: Program

Studi Magister Manajemen Agribisnis Sekolah Pascasarjana Universitas Gajahmada

2006.

Deni, Ruchyat. 2007. Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam Rangka Pengembangan

Wilayah Berbasis RTRWN. Direktor Jenderal Penataan Ruang Departemen

Pemukiman dan Prasarana Wilayah R.I. Jakarta.

Pranoto, S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan melalui Model Pengembangan

Agropolitan (Disertasi). Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rustiadi, E. 2007. Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam Mendukung

Konsep Agropolitan. Makalah Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030. LPPM-IPB.

Bogor.

Rustiadi, E, dkk. 2007. Agropolitan Membangun Ekonomi Perdesaan. Crestpent Press.

Bogor.

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007. Tentang Penataan Ruang. Sekretariat Negara

2007.