KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI (Analisis Perspektif Hukum...
Transcript of KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI (Analisis Perspektif Hukum...
KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI
(Analisis Perspektif Hukum Islam
Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Abdul Khoir
NIM: 106044101375
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 M
KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI
(Analisis Perspektif Hukum Islam
Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Abdul Khoir
NIM: 106044101375
Dibawah bimbingan :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.H.Umar Haddad, MA Dr.Hj.Mesraini, MA NIP. 196 809 041 994 011 001 NIP. 197 602 132 003122 001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 M
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat
iman, Islam dan atas rahmat serta dengan petunjuk dan bimbingan-Nyalah penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Konsep Adil dalam Poligami
(Analisis Perspektif Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974)”.
Lantunan shalawat dan salam tak lupa penulis kepada Nabi besar kita
Muhammad Saw semoga selalu tercurahkan, yang telah membawa umat-Nya dari
zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang dengan dien yang diridhai oleh
Nya.seperti yang dirasakan Ummat-Nya saat ini.
Penulis menyadari, bahwa tugas ini selesai bukan semata-mata dari buah
tangan penulis sendiri, akan tetapi tugas ini selesai karena adanya dorongan,
motivasi, bimbingan, do’a dan bantuan yang senantiasa mengalir dari para hamba
Allah SWT baik secara langsung atau tidak langsung. Mereka yang dengan tulus
hati meluangkan waktunya dan memberikan inspirasi kepada penulis, pastinya
tugas ini akan lebih berat tanpa adanya mereka. Melalui kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati, penulis persembahkan untaian kata terima kasih kepada
yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA selaku Ketua Program Studi Ahwal
Syakhshiyah dan Kama Rusdiana, S.Ag, MH selaku Sekretaris Program Studi
Ahwal Syakhshiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr.H.Umar Haddad dan Dr.Hj.Mesraini, MA, Selaku Dosen Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi
ini.
4. Dr. Hj. Azizah, MA dan Rosdiana, MA, selaku penguji yang telah
memberikan kritik konstruktif dalam penulisan skripsi ini.
5. Segenap Ibu dan Bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberi ilmu yang tidak ternilai kepada penulis.
6. Pimpinan dan Karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan penulis.
7. Ayahanda H. Khomsi dan Ibunda tercinta Hj. Ummi Kultsum serta kakak-
kakak & adik-adik tersayang yang telah memberikan motivasi dan doa serta
dukungan materiil kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan S1.
8. Kepada Eva Latifah yang selalu setia mendampingi penulis dalam
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
9. Kepada semua sahabat-sahabatku yang telah memberikan dukungan dan
supportnya kepada penulis. Yang selalu meluangkan waktu, tenaga, dan
perhatiannya serta teman-teman seperjuangan, khususnya sahabat-sahabat
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) KOMFAKSYAHUM, teman-
teman Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama angkatan
2006 serta semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu,
iii
atas segala bantuan, informasi serta motivasi yang diberikan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis haturkan terima kasih
yang mendalam atas segala keikhlasan dukungan, motivasi, pengarahan serta
bantuan baik moril maupun materiil. Penulis hanya mampu berdoa semoga Allah
membalas semua amal perbuatan dengan kasih sayang-Nya. Harapan penulis,
mudah-mudahan skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi
pembaca. Amin.
Jakarta, 30 Agustus 2010 M 20 Ramadhan 1431 H
iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5
D. Kerangka Pemikiran ............................................................ 6
E. Metodologi Penelitian .......................................................... 12
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 14
BAB II : PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan ........................................................ 15
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ......................................... 18
C. Pengertian Poligami ............................................................ 20
D. Syarat-Syarat Poligami ........................................................ 22
E. Hak Istri yang Dipoligami ................................................... 26
BAB III : PRO DAN KONTRA PRAKTEK PERKAWINAN
POLIGAMI
A. Kondisi Obyektif ................................................................. 32
B. Praktik Poligami Versus Ketidakadilan Gender .................. 46
C. Jumlah Maksimal Isteri yang Boleh Dipoligami ................. 61
v
BAB IV : ANALISIS KEADILAN DALAM PERKAWINAN
POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1
TAHUN 1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam..64
B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam ...... 73
C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif UU NO. 1 Tahun
1974 ...................................................................................... 76
D. Analisis Penulis ................................................................... 80
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 82
B. Kritik dan Saran ................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
D. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 5
E. Metodologi Penelitian .......................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 14
BAB II : PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan ........................................................................ 15
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ......................................................... 18
C. Pengertian Poligami ............................................................................ 21
D. Syarat-Syarat Poligami ....................................................................... 22
E. Hak Istri yang Dipoligami ................................................................... 27
BAB III : PRO DAN KONTRA PRAKTIK PERKAWINAN
POLIGAMI
A. Kondisi Obyektif ................................................................................. 33
B. Praktik Poligami Versus Ketidakadilan Gender ................................. 47
C. Jumlah Maksimal Isteri yang Boleh Dipoligami ................................ 62
BAB IV : ANALISS KEADILAN DALAM PERKAWINAN
POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1
TAHUN 1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam ................ 65
B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam ....................... 74
C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif UU NO. 1 Tahun 1974......... 77
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 71
B. Kritik dan Saran .................................................................................. 72
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang
hidup bebas mengikuti nalurinya dalam berhubungan secara bebas tanpa aturan.
Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan
hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan
perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling suka, dengan
ucapan ijab qabul sebagai lambang adanya rasa saling suka dan dengan dihadiri
oleh para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan
tersebut telah terikat secara sah menurut syari’at agama Islam.
Perkawinan ini, sebagaimana diungkapkan Sayyid Sabiq yang dikutip
oleh Abd Rahman Ghazaly, telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks,
memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar menjadi
seseorang yang terhormat.2 Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakan
di bawah naluri keibuan dan kebapakan sebagaimana ladang yang baik nantinya
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik
1 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Pustaka Setia, 1997 ), h.39 2 Abd. Rahman Al-Jaziry, Al-Fqih Ala Madzahibil Arba’ah, (Mesir : Dar Al Ihya, 1969),
h.284-285
1
2
pula.
Dengan pernikahan, ikatan mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih
sayang) antara suami dan istri akan semakin bertambah. Masing-masing
merasakan ketenangan, kelembutan dan keramahan serta mendapatkan
kebahagiaan di bawah naungan satu dengan yang lainnya. Suami yang selesai
bekerja, kemudian kembali ke rumahnya di sore hari dan berkumpul bersama
keluarga, ia akan melupakan semua duka yang ia temui di siang hari dan segala
kelelahan yang dirasakannya pada waktu bekerja.
Masing-masing dari pasangan suami-istri tersebut satu sama lainnya
menemukan ketenangan jiwa pada saat perjumpaannya. Keduanya saling
merasakan kedamaian hati dan kegembiraan pada detik-detik pertemuan.
Begitupula, anggota keluarga yang lain juga merasa tentram disebabkan perhatian
dan tanggung jawab sang ayah. Semua tugas dan peran masing-masing pihak
dalam keluarga dijalankan dengan baik sehingga akan senantiasa tercipta
keharmonisan dalam hidup.
Hal tersebut di atas tidak selamanya terjadi dalam sebuah keluarga,
dahsyatnya pengaruh globalisasi yang mewarnai setiap sisi kehidupan manusia
telah mengakibatkan terjadinya dekadensi (kemerosotan) moral, lebih-lebih pada
hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Setiap saat kita dikejutkan dengan
berbagai pemberitaan mengenai perkosaan, perselingkuhan, dan pergaulan bebas.
Anak-anak yang tidak berdosa lahir tanpa memiliki status ayah yang legal (sah),
aborsi telah menjadi trend dewasa ini sehingga tidak lagi dianggap sebagai
perbuatan memalukan. Gelombang WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria
3
Idaman Lain) tidak ada yang bisa menghentikannya. Sementara kejahatan yang
bernama pemerkosaan dan perzinaan terus mengalir bak air bah yang sulit
dibendung.
Islam merupakan agama sempurna, persoalan-persoalan kemanusiaan
sebagaimana pemaparan di atas, direspon melalui sebuah syari’at Agama yang
disebut dengan poligami, yang dalam pengertian sederhana berarti memiliki istri
lebih dari satu 3.
Islam telah menghalalkan seorang suami untuk melakukan poligami
apabila ia telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Namun demikian,
pelaksanaan poligami ini bukan tanpa hambatan, tantangan maupun resiko yang
ada. Melihat bagaimana reaksi sebagian umat Isam ketika melihat da’i
panutannya, KH.Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) telah melakukan poligami,
mayoritas jama’ahnya menjadi antipati terhadap sang ustadz.
Reaksi dari sebagian umat Islam yang merespon negatif pelaksanaan
poligami di atas, telah menyiratkan ada suatu gejala psikologis yang terjadi
terutama bagi orang-orang yang melakukan poligami. Reaksi berlebihan yang
ditunjukkan oleh sebagian umat Islam melalui berbagai media telah menjadikan
poligami ini seolah-olah merupakan sesuatu hal yang buruk bahkan terlarang
untuk dilakukan.
Dalam kaitan ini, poligami yang mensyaratkan adil dalam perspektif
kajian adil dalam hukum Islam dan konsep adil dalam perspektif Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menarik untuk dikaji lebih komprehensip, sehingga pada
3 Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2006), h.45
4
akhirnya menemukan kesimpulan yang lebih arif dalam menyikapi polemik
praktik poligami di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Skripsi ini penulis
sajikan sebagai bentuk keikutsertaan dalam menjawab polemik poligami, sehingga
pada gilirannya diharapkan menjadi salah satu bahan rujukan seputar poligami.
Oleh karenanya penulis menguraikan pendapat-pendapat ulama dan ahli hukum
nasional terkait adil sebagai syarat poligami.
Berawal dari latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian
yang lebih mendalam mengenai poligami terutama berkaitan dengan syarat
berpoligami menurut Hukum Islam (Qur’an dan Hadits) maupun hukum Nasional
Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan).
B. Perumusan Masalah
1. Perumusan Masalah
Pada prinsipnya perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah
sunnatullah yang diajarkan dalam agama Islam. Perkawinan memiliki nilai ibadah
terhadap Allah SWT dan humanisme yang tinggi serta melalui perkawinan pula
umat Islam telah melaksanakan sunnah nabi Muhammad.
Seperti diketahui bahwa Islam merupakan agama yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme, pertanyaannya kemudian apakah Islam
yang mengenal perkawinan poligami adalah bentuk inkonsistensi ajaran Islam.
Masih membahas soal poligami, Islam juga mengharuskan perlakuan adil seorang
suami terhadap istri-istri yang dipoligami. Lantas bagaimanakah konsep adil yang
diharapkan dalam pelaksanaan poligami, baik ditinjau dari tuntunan ajaran Islam
atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?
5
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan ini
dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana perkawinan poligami dalam perspektif Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?
2) Bagaimana tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami?
3) Bagaimana konsep adil dalam berpoligami menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini terfokus, maka masalah dalam
penelitian ini dibatasi hanya pada pembahasan konsep Adil, yakni perlakuan
suami yang menyamaratakan para istri yang dipoligami pada hal-hal yang dapat
diukur baik secara materi atau immateri sebagai syarat poligami dalam perspektif
hukum Islam dan Undag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka skripsi ini di susun dengan
tujuan untuk:
1. Mengetahui makna perkawinan poligami menurut Hukum Islam dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Mengetahui tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami
3. Mengetahui konsep adil dalam poligami menurut Hukum Islam dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974.
6
D. Kerangka Pemikiran
Islam adalah agama Nizham (aturan) hidup paripurna, universal, dan
integral. Tidak ada dimensi kehidupan yang tidak tersentuh nilai-nilai
kebenarannya. Islam merupakan solusi atas problematika kehidupan, ia bahkan
hanya satu-satunya solusi yang ada. Tidak ada aturan yang lebih baik dari aturan
Islam untuk memperbaiki permasalahan umat saat ini.
Sebagai pedoman hidup, ruang lingkup hukum Islam bersifat
menyeluruh. Ia tidak dibatasi hanya pada persoalan hukum sipil, tetapi juga
termasuk hukum privat, dan salah satunya adalah tentang perkawinan.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup
berjodoh-jodohan adalah naluri semua makhluk Allah SWT. Sebagaimana firman-
Nya dalam surat adz-Dzariyat ayat 49:
⌧ ⌧
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan
inilah, Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan
berlangsung dari generasi ke generasi.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 1 :
⌧ ☯
7
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...”
Dari sekian banyaknya ayat-ayat kebesaran Allah yang tidak terhingga
adalah Dia menjadikan manusia berpasangan antara pria dan wanita dan
menetapkan jodohnya masing-masing agar tercipta ketenteraman dalam hidupnya.
Karena dari kedua jenis manusia ini masing-masing memiliki rasa ketertarikan
dan diberi dorongan seksual (syahwat) terhadap lawan jenisnya.
Ketertarikan kedua pasangan lawan jenis untuk kemudian dilanjutkan
melalui sebuah ikatan perkawinan agar hubungan keduanya menjadi leluasa dan
sah. Ajaran Islam sangat menganjurkan pernikahan dan meNomorlak adanya
kehidupan membujang (ruhbaniyah).
Kehidupan ruhbaniyah yang lurus dan mudah dalam ajaran Islam adalah
dengan dianjurkannya suatu pernikahan bagi pemeluknya. Dalam hadits riwayat
Bukhori Muslim, diceritakan ada tiga orang bersilaturahmi ke rumah Rasulullah
SAW, dan yang lain lagi berkata, aku akan menjauhi wanita, tidak akan kawin
selama hidupku.
Rasulullah SAW mendengar pembicaraan ketiga tamunya, kemudian
beliau bersabda yang artinya:
) مسلمالجما عة و رواه( ىمن فليس سنتى نع رغب فمن ساءالن وأتزوج .... “............... dan aku mengawini kaum wanita. Oleh karena itu, barangsiapa
yang tidak suka kepada sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku” 4.
4 Syaifullah, Poligami Antara Pro dan Kontra, (Bandung : Fokus Media, 1993), h. 5
8
Pernikahan adalah suatu ketentuan untuk mengikat hubungan lahir dan
bathin antara pria dan wanita. Karena itu, pernikahan sesuai dengan fitrah manusia
yang menghajatkan hubungan dengan lawan jenisnya. Bahkan Islam
mengharamkan seorang muslim untuk menahan diri dari perkawinan dengan niat
melakukan kehidupan membujang (celibacy). Perbuatan membujang seumur
hidup bagi pria dan wanita adalah perbuatan sangat menyimpang dari fitrah
kejadian manusia itu sendiri.
Pernikahan bukanlah satu ketentuan yang ditimbulkan dari hasil
pemikiran manusia, tetapi merupakan bagian yang di syari’atkan dalam Islam
untuk mengatur tata hidup dan pergaulan manusia di dunia. Oleh karena itu
pernikahan termasuk salah satu bentuk peribadatan kepada Allah yang berarti pula
melaksanakan syari’at Islam.
Adapun tujuan pernikahan itu menurut Islam adalah untuk:
a. Menegakkan dan menjunjung tinggi syari’at agama
b. Memelihara berlakunya hubungan biologis
c. Menjaga fitrah dan nilai-nilai kemanusiaan
d. Mencapai ketentraman hidup
e. Mempererat serta memperluas hubungan persaudaraan
f. Memelihara kedudukan harta pusaka 5.
Hukum Islam ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara
perorangan maupun bermasyarakat, baik untuk kehidupan di dunia maupun di
akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya kesejahteraan
5 Syaifullah, Poligami Antara Pro dan Kontra, (Bandung : Fokus Media, 1993), h.21
9
keluarga., karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat,
sehingga kesejahteraan masyarakat sangat bergantung kepada kesejahteraan
keluarga, kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup
keluarganya 6.
Dalam kehidupan rumah tangga di mana terjadinya perpaduan antara dua
karakter yang berbeda, prinsip hidup yang berbeda pula, dan banyak lagi
perbedaan-perbedaan lainnya yang melatarbelakangi kepribadian suami maupun
istrinya, tentu bukan hal yang mustahil apabila terjadi keretakan hubungan di
antara keduanya. Selain itu faktor ketersaluran biologis yang tidak sempurna,
permasalahan keturunan yang tidak dapat dimiliki dalam sebuah keluarga, sering
pula menjadi pemicu terjadinya kerenggangan hubungan dalam ikatan
perkawinan.
Selain faktor-faktor di atas, realitas sosial dewasa ini juga telah mulai
mengalami pergeseran nilai, gelombang demoralisasi telah menumbuhkan
budaya-budaya ‘barat’ yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Seorang suami
atau istri yang melakukan perselingkuhan bukanlah hal asing yang diceritakan
saat ini.
Islam sebagai agama samawi terakhir, menawarkan solusi terbaik untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Adapun solusi yang ditawarkan
adalah poligami (ta’addud) bagi mereka yang mampu untuk melakukannya.
Bahkan poligami sebenarnya merupakan hukum asal dalam membangun mahligai
6 Abd. Rahman, Adil Terhadap Para Istri, (Jakarta : Darus Sunnah, 2005), h.13
10
keluarga bagi yang mampu melakukan keadilan dalam mengatur rumah tangga 7.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 3 yang
berbunyi:
☺
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” .
Poligami bukanlah syari’at baru yang diperbolehkan dalam Islam.
Poligami merupakan budaya lama yang dimiliki bangsa Arab sebelumnya. Islam
datang untuk mengatur dan merapikan masalah poligami, sehingga tidak setiap
orang bisa melakukannya tanpa aturan, atau hanya untuk memenuhi syahwatnya
belaka 8.
Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam Al-
Quran dan Hadis Nabi SAW secara jelas, maka penentangan atau peNomorlakan
terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap
hukum Allah SWT, dan inilah yang sebenarnya sedang terjadi. Peradaban
kapitalis dan propaganda Barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai
senjata untuk menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang
poligami sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad dengan gambaran
yang keji dan busuk.
7 Rasyid Ridha, Tafsir Al-manar, (Mesir : Darul Ihya, tth), h. 82 8 Khalil Abdul Karim, Islam dan Sejarah Arab, (Yogyakarta ; LKIS, 2003), h.32
11
Hanya saja masalah poligami ini mendapat ganjalan dan serangan
bertubi-tubi dari musuh-musuh Islam yang tidak memahami hakikat dan hikmah
hukum yang digariskan Allah SWT. Bagi yang kontra dengan masalah poligami,
beralasan bahwa poligami telah melakukan diskriminasi (pembedaan) antara laki-
laki dan perempuan, dengan poligami posisi perempuan seolah menjadi sangat
lemah. Apalagi pada zaman sekarang dimana aktivis gender dengan lantang
menyuarakan kesetaraan gender, poligami menjadi sebuah perbuatan yang paling
salah dimata mereka.
Diperlukan pemahaman yang komprehensif dari seluruh umat Islam
khususnya dalam memandang persoalan poligami. Poligami bukanlah sebuah
“kejahatan” melainkan sebuah kebijaksanaan sesuai tinjauan hukum Islam dan
positif. Poligami menjadi masalah yang paling kontroversial. Para ulama ortodoks
berpendapat bahwa poligami ini adalah bagian dari syari’at Islam, dan karenanya
pria boleh mempunyai istri hingga empat orang. Di pihak lain, kaum modernis
dan pejuang-pejuang Hak Asasi Wanita berpendapat bahwa poligami dibolehkan
hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan yang ketat 9.
Umat Islam meyakini bahwa setiap hukum yang digariskan Allah SWT
senantiasa mengandung hikmah bagi manusia. Begitu juga dengan poligami,
disyariatkannya poligami dalam Islam adalah untuk menjawab problematika
sosial keluarga. Hal ini hanya akan terwujud apabila umat Islam itu sendiri
menyadari betul hakikat syariat Islam, serta menegakkan hukum-hukum ilahiyah
tersebut secara proporsional dan selaras dengan hukum positif.
Dalam Undang-Undang perkawinan pada pasal 41 poin (d) disebutkan
ketentuan boleh beristri lebih dari satu orang dengan melihat ada atau tidaknya
9 Abu Fikri, Istri-istri Nabi, (Jakarta : Trisedia, 2007), h.70
12
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak dengan
pernyataan perjanjian yang dibuat suami dengah bentuk ketetapan untuk itu10.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori-teori ilmiah atau
metode yang berlaku dalam penulisan ilmiah 11, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan
Nomorrmatif (tinjauan kepustakaan), yaitu dengan meneliti literatur-literatur yang
sesuai dengan kajian dalam skripsi ini. Pendekatan Nomorrmatif adalah
pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, produk-produk
hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.12
2. Sumber Data
a. Sumber Primer, sumber-sumber utama yang menjelaskan tentang konsep
keadilan dalam pernikahan poligami, baik dari sumber-sumber hukum
Islam maupun dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dari sumber-sumber hukum Islam, sumber primer yang
dirujuk adalah penjelasan Al-Quran, Sunnah dan interpretasi terhadap
keduanya dari para ulama yang berkompeten. Adapun dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, sumber primer yang dirujuk adalah materi
undang-undang tersebut disertai penjelasan-penjelasannya dan peraturan-
peraturan terkait dengannya.
10 UNDANG-UNDANG Perkawinan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h.46 11 SoerjoNomor Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta : UIP, 1986), cet ke-III,
h. 43 12 SoerjoNomor Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Nomorrmatif; suatu tinjauan
singkat (Jakarta, PT Rajawali Press, 1995), cet. IV, h.13-14
13
b. Sumber Sekunder, yaitu buku-buku yang menunjang tema di atas, antara
lain: Buku Hitam Putih Poligami karya Eni Setiati, Poligami Berkah atau
Musibah karya Karim Hilmi Farhat Ahmad dan buku Poligami yang tak
melukai hati karya Abu Fikri.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data diperoleh melalui kepustakaan
(library research), untuk mendapatkan teori-teori yang mendukung tema dalam
penulisan ini yang diperoleh dari berbagai literatur13.
4. Analisis Data
Analisis merupakan suatu usaha untuk menentukan jawaban atas
pertanyaan dari rumusan masalah yang telah tersusun. Dalam penelitian ini akan
menghimpun data-data teoritik mengenai pandangan Islam dan Hukum Nasional
Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) tentang
poligami.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Proses Satuan (Unityzing)
Pada dasarnya satuan adalah alat untuk menghaluskan data satuan, yaitu data
yang menganalisa tentang satuan pembahasan dalam skripsi ini.
b. Penafsiran Data
Penafsiran data adalah memberikan penafsiran terhadap data-data yang telah
diproses sebelumnya. Penafsiran ini dilakukan sejak pengumpulan data atau
selama penelitian. Hasil dari penafsiran data ini nantinya membentuk sebuah
13 SoerjoNomor Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta : UIP, 1986), cet ke-III
h.12
14
kesimpulan akhir.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana tiap bab terdiri
dari beberapa sub bab. Sistematika merupakan uraian ringkas secara global terkait
hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat
hubungan suatu bab dengan yang lainnya.
Adapun uraian pada setiap bab adalah sebagai berikut :
Bab Pertama berisikan pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar
belakang masalah kajian skripsi ini, perumusan masalah dan pembatasan masalah,
kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan terakhir sistematika penulisan.
Bab Dua berisikan perkawinan poligami dalam perspektif hukum Islam
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan uraian
mengungkapkan Pengertian Perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan,
Pengertian poligami, Syarat-syarat poligami, hak istri yang dipoligami.
Bab Tiga berisikan pro dan kontra praktik perkawinan poligami dengan
uraian kondisi obyektif, praktik poligami versus ketidakadilan gender, Jumlah
maksimal istri yang boleh dipoligami.
Bab Empat berisikan analisis keadilan dalam perkawinan poligami
perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan uraian
analisis sosiologis yuridis poligami dalam hukum Islam, makna adila dalam
poligami perspektif hukum Islam, makna adil dalam poligami perspektif Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan analisis penulis.
Bab Lima berisikan Penutup dengan uraian kesimpulan, kritik dan saran.
15
BAB II
PERKAWINAN POLIGAMI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Istilah Perkawinan dalam Al-Qur’an biasa menggunakan istilah ”nikah”
yang berarti ”berhimpun” dan ”zawwaja-tazwij” yang berarti ”berpasangan”. Dua
istilah ini menyiratkan makna kesetaraan secara ekstensial bagi laki-laki dan
perempuan, meskipun pada kenyataannya secara biologis mereka berbeda. Para
ulama Fiqh tidak membedakan arti zawaaj dan nikah, walaupun keduanya secara
etimologis memiliki perbedaan, menurut para ulama fiqh zawaaj dan nikah
memiliki arti yang sama yaitu akad perkawinan1.
Pernikahan secara terminologis didefinisikan sebagai akad yang
membolehkan kedua mempelai untuk mendapatkan kesenangan dari masing-
masing pasangan, sesuai dengan tuntutan syari’at.2
Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya,
mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan
perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu
perkawinan sangat diperlukan. Dalam hal ini telah terjadinya suatu aqad
1 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad berpoligami, (Jakarta : PT. Buku Kita, 2007),
h.89 2 Arij Binti Abdul Rahman, Poligami, (Jakarta : Darus Sunnah, 2006), h.30
15
16
(perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya,
sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar
membuktikannya. Pemakaian kata “nikah” yang diartikan dengan “perjanjian
perikatan” dapat dilihat dalam surat Al-Nur ayat 32, surat Al-Baqarah ayat 221,
surat Al-Nisa ayat 21.
Perkawinan yang disyari’atkan oleh hukum Islam mempunyai beberapa
segi di antaranya: Pertama, segi ibadah ; perkawinan mempunyai unsur ibadah.
Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadah dan
berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agama. Rasullah SAW
mencela dengan keras para sahabat yang ingin menandingi ibadatnya dengan cara;
berpuasa setiap hari, bangun setiap malam untuk beribadat, hidup menyendiri dan
tidak akan kawin, karena perbuatan yang demikian menyalahi sunnahnya,
sebagaimana dalam sabdanya :
) الجما عة ومسلم رواه( ىمن فليس سنتى نع رغب فمن ساءالن وأتزوج ....
“............ dan aku mengawini wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah ia termasuk (umat) ku”. (HR. Jama’ah dan Muslim).3
Kedua, segi hukum; perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kuat
(QS.Al-Nisa’; 21), dalam arti perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa
persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan akibat perkawinan, masing-
masing pihak terikat oleh hak dan kewajiban, bagi suami yang hendak
berpoligami ditentukan syarat-syaratnya, termasuk jika terjadi pemutusan
hubungan perkawinan harus melalui prosedur dan alasan-alasan kuat.
3 Mustofa M. Imaroh, Jawahirul Bukhari, (Beirut Libanon : Darul Ihya, 1940), h.285-286
17
Ketiga, segi sosial; perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang
diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota
keluarga. Karena itu Rasulullah Saw melarang kerahiban, hidup menyendiri
dengan tidak kawin yang menyebabkan tidak mendapatkan keturunan, keluarga
dan melenyapkan umat.
Berdasarkan penjelasan makna nikah dari berbagai segi sebagaimana
yang dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan bahwa perkawinan adalah
perjanjian perikatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk
melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah tangga, melanjutkan
keturunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum agama.
Dalam Bab 1 pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan
didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Hukum Islam sebagaimana tercantum di atas, tidaklah memiliki perbedaan yang
signifikan. Pertalian seorang laki-laki dan perempuan yang dikukuhkan dalam
sebuah akad menjadi ciri pokok dalam perkawinan.
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat
dikatakan sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing,
dimana agama dan kepercayaannya tersebut juga tidak bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku.
4 UNDANG-UNDANG Pokok Perkawinan No 1 tahun 1974, (Jakarta : Sinar Grafika,
2000), h.3
18
Dengan demikian, tentu konsep perkawinan dalam Islam tidak akan
berbeda dengan yang tertera dalam undang-undang, yang membedakan hanya
dalam detail syarat atau rukunnya saja. Hal ini dimungkinkan karena Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak hanya diberlakukan bagi
mereka yang beragama Islam tetapi juga bagi penganut agama lain. Undang-
undang mensyaratkan adanya pencatatan melalui petugas dari Kantor Urusan
Agama, sedangkan Islam tidak mensyaratkan itu.
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan
Al-Qur’an yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt
ialah bahwa ia menciptakan istri-istri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri,
agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan atau
menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di antara
mereka, yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi
mereka yang mau berfikir. Dalam ayat lain mengisyaratkan bahwa para istri
adalah pakaian (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami
adalah pakaian bagi para istri.
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”
Kehidupan yang tenteram (sakinah) di balut dengan perasaan cinta kasih
yang ditopang saling pengertian di antara suami istri, karena baik suami atau istri
menyadari bahwa masing-masing sebagai “pakaian” bagi pasangannya. Itulah
yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari’atkannya perkawinan.
19
Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan dengan mudah
apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain antara suami
istri ada dalam sekufu’ (kafa’ah). Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan sangat
selaras dengan tujuan perkawinan di atas yaitu suatu kehidupan suami istri yang
betul-betul sakinah dan bahagia.
Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan
hubungan yang intim dan penuh kemesraan, yang pada gilirannya akan
melahirkan generasi pelanjut yang bertaqwa.
Perkawinan disamping bertujuan melestarikan keturunan yang baik,
juga untuk mendidik jiwa manusia agar bertambah rasa kasih sayangnya,
bertambah kelembutan jiwa dan kecintaannya, dan akan terjadi perpaduan
perasaan antara dua jenis kelamin. Sebab antara keduanya ada perbedaan cita rasa,
emosi kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain.5
Tujuan perkawinan menurut hukum Islam tidak jauh berbeda dengan
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di mana dalam Bab
1 Pasal 1 undang-undang tersebut dikatakan bahwa tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka yang perlu untuk dilakukan
oleh suami istri adalah saling melengkapi dalam setiap kekurangan, saling
menyayangi dan mengasihi. Hal ini tentu dipengaruhi ketika awal mereka
memutuskan untuk menikah. Oleh sebab itu, undang-undang juga mengatakan
5 Arij binti Abdul rahman, Adil terhadap Para Istri, (Jakarta : Darus Sunnah, 2002), h.32
20
bahwa pernikahan yang terjadi harus dilakukan atas dasar suka sama suka tidak
ada paksaan dari pihak manapun.
Hikmah perkawinan sangat berkaitan erat dengan tujuan manusia
diciptakannya ke muka bumi. Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan untuk
memakmurkan bumi, di mana bumi dan segala isinya diciptakan untuk
kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari,
kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian
keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di
tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Pelestarian manusia secara
wajar dibentuk melalui perkawinan. Maka, demi memakmurkan bumi,
perkawinan mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran
bumi.
Kehidupan manusia laki-laki tidak akan rapi, tenang dan mengasyikkan,
kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan
terampil dan profesional, yaitu tangan-tangan lembut kaum perempuan, yang
memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan
wajar. Karena itu perkawinan disyari’atkan bukan hanya demi memakmurkan
bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehadiran manusia yang teratur dan
rapi dapat tercipta. Kehadiran perempuan di sisi lelaki (suami) melalui
perkawinan sangatlah penting.
C. Pengertian Poligami
Istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia)
atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)
21
dan gamos (kawin). Jadi secara harfiah poligami berarti perkawinan dalam jumlah
banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi
(perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu
waktu (bersamaan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami
didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.6
Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah
antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila
dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih
dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk
dalam cakupan terminologi poligami.
Namun di kalangan umum, istilah ini justru sering dibatasi wilayah
penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria
(suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi
dikenal dengan istilah poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan
seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang
bersamaan. Sedangkan poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan
seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang
bersamaan. Adapun lawan kata poligami adalah monogami, yang secara simpel
dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan).7
Secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian:
6 DEPDIKBUD, Poligami Aspek yang Dituju, (Jakarta : Dikbud, 2001), h.600 7 Abdul Aziz Dahlan, et. all ; Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van
Haove, 2003), h.1185
22
1. Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu
orang (pasangan) pada satu waktu.
2. Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi seumur
hidup.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami
penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang
memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu
tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni
monogini.
D. Syarat-Syarat Poligami
Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang
disunahkan bagi kaum Muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang
mubah, yakni boleh dilakukan jika memang dipandang perlu.
Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam al-
Quran dan Hadis Nabi SAW secara jelas, maka penentangan atau penolakan
terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap
hukum Allah SWT, dan inilah yang sebenarnya sedang terjadi. Peradaban
kapitalis dan propaganda barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai
senjata untuk menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang
poligami sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad dengan gambaran
yang keji dan busuk.
Kebolehan untuk melakukan poligami tentu tidak serta merta seorang
suami bebas melakukan poligami tanpa memperhatikan aturan-aturan yang mesti
23
dipenuhinya. Merujuk pada pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan
melakukan poligami, yaitu:
a. Harus ada persetujuan istri pertama
b. Harus ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka (material)
c. Harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka (immaterial).8
Adapun dalam syari’at agama Islam, syarat bagi seorang suami yang
akan melakukan poligami juga tidak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam
Pasal 4 Undang-Undang Pekawinan Nomor 1 Tahun 1974, hal ini tercantum
dalam Q.S An-Nisaa Ayat 3:
☺
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Diantara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya poligami dan
pembatasanya dengan empat orang datang dengan dibarengi kekhawatiran berlaku
zhalim kepada perempuan yatim.9
8 Eni Setiani, Syarat Poligam, (Jakarta : Pustaka Buana, 2007), h.29 9 Karan Hilmi Farhat, Poligami Nabi, (Bandung : Logos, 2007), h.21
24
Berkenaan dengan ayat ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami.
Pertama: ayat ini diturunkan kepada Nabi SAW, pada tahun kedelapan Hijriah,
yaitu untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja.
Sebelum ayat ini diturunkan, jumlah istri bagi seorang pria tidak ada batasannya.
Ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku
adil di antara istri-istrinya. Namun demikian, ayat tersebut lebih menganjurkan
agar membatasi jumlah istri pada bilangan satu orang, jika memang ada
kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh
setiap Muslim.
Kedua: perlu digarisbawahi bahwa keadilan menjadi syarat bagi
kebolehan untuk melakukan poligami. Hukum ini wajib dimiliki oleh seorang
suami dalam kehidupan berpoligami, di samping merupakan dorongan untuk
membatasi jumlah istri pada satu wanita saja, jika memang ada kekhawatiran
tidak dapat berlaku adil. Patut ditegaskan, dalam Fiqh Islam, istilah syarat itu
digunakan untuk menunjuk pada kondisi atau perbuatan yang menjadi bagian dari
perbuatan yang dipersyaratkan.
Syarat ini biasanya harus dipenuhi sebelum perbuatan yang
dipersyaratkan itu dikerjakan. Suci dari hadats dan najis, misalnya, merupakan
syarat sah shalat. Kondisi tersebut harus dipenuhi sebelum shalat dan terus
berlangsung sepanjang shalat dikerjakan. Realitas syarat semacam ini tentu tidak
tepat jika dikaitkan dengan sifat adil suami yang ingin berpoligami. Andai adil
merupakan syarat sah poligami, lalu bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi
25
sebelum akad nikah terjadi, sementara perlakuan adil itu baru bisa dilakukan
setelah pernikahan.
Ketiga: pengertian adil dalam ayat di atas berbentuk umum, yakni
mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini
kemudian ditakhsîs (diperlakukan secara khusus), yaitu bahwa keadilan yang
dimaksud hanya yang berada dalam batas-batas kemampuan manusia.
Sebagaimana arti surat An Nisa ayat 129 yang berbunyi ”Dan sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu walaupun sangat ingin berbuat
demikian” .
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 4 dijelaskan
pengadilan dapat memberikan izin kepada seseorang yang ingin melakukan
poligami apabila terpenuhinya alasan-alasan sebagai berikut, yaitu;
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri
2. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Atas dasar ketentuan di atas, tentu sedikit berbeda dengan ketentuan
poligami yang berlaku dalam Islam, di mana Islam hanya mensyaratkan adil
sebagai syarat untuk melakukan poligami.
Keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang
di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, yaitu dalam hal bermalam
atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain, bukan dalam masalah
cinta dan kasih sayang yang memang berada di luar kemampuan manusia.
26
Bersikap adil sebagai syarat utama dalam poligami tidak mudah, karena
dalam perkawinan poligami terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
suami kepada istrinya yang lebih dari satu tersebut. Hal ini tidak akan mudah
terpenuhi apabila suami tidak memiliki sifat dan sikap yang cukup layak untuk
melakukan poligami.
E. Hak Istri yang Dipoligami
Poligami merupakan syari’at Islam yang akan berlaku sepanjang zaman
hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki
kemampuan untuk adil di antara para istri, sebagaimana tercantum dalam Al-
Qur’an Surat An-Nisa ayat 3:
☺
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan
memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya. Adil di sini lawan dari
curang, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya
dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat
diartikan persamaan.
27
Berdasarkan hal ini maka adil antar para istri adalah menyamakan hak
yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk
disamakan didalamnya. Dengan kata lain adil adalah memberikan sesuatu kepada
seseorang sesuai dengan haknya.
Seorang suami yang ingin melakukan poligami hendaknya merenungkan
hikmah-hikmahnya, memperhatikan keadaannya, dan hajat atau tingkat kebutuhan
dirinya, serta sejauh mana kesesuaian poligami tersebut untuk dirinya. Sebab
walaupun poligami dalam Islam diperbolehkan tetapi seyogyanya ada syarat-
syarat yang mendorong kesana, antara lain:
1. Prilaku istri yang buruk. Adakalanya istri dalam berinteraksi dengan suaminya
berprilaku buruk yang mendorong suaminya untuk melakukan poligami
daripada menceraikannya.
2. Menginginkan keturunan. Mungkin dikarenakan istrinya tersebut tidak dapat
memberikannya keturunan.
3. Kondisi kesehatan istri yang sering sakit-sakitan, sehingga pada titik tertentu
tidak dapat melayani kebutuhan seksual suami. Walaupun perlu diperhatikan
kebutuhan seksual tersebut bukan semata untuk alasan pemenuhan syahwat
duniawi saja.
4. Alasan mencari pahala, ia menikahi perempuan untuk memeliharanya,
menjaga kesuciannya, merawatnya dan menjaganya dari tangan-tangan yang
mengusiknya dengan keburukan.10
10 Abu Umar Basyir, Poligami yang Tidak Melukai, (Jakarta : Mizan, 2007), h.44
28
Bagi suami yang telah melakukan poligami, maka ia diwajibkan untuk
memenuhi hak-hak istrinya. Adapun diantara hak setiap istri yang dipoligami
adalah sebagai berikut:
a. Memiliki rumah sendiri
Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 33, yang artinya,
“Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di rumah-rumah kalian”. Dalam ayat
ini Allah SWT menyebutkan rumah Nabi SAW dalam bentuk jamak, sehingga
dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu
'Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sakit
menjelang wafatnya, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya, “Dimana aku
besok? Di rumah siapa?” Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menginginkan di
tempat Aisyah Radhiyallahu 'Anha, oleh karena itu semua istri mengizinkan untuk
dirawat di mana pun beliau menginginkannya, maka dirawat di rumah Aisyah
sampai ahirnya wafat di sisi Aisyah. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
meninggal di hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruhnya dalam keadaan kepala
beliau bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Ibnu Qudamah
Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya tidak pantas
seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah tanpa ridha dari
keduanya.11
11 Arij binti Abdul rohman, Adil terhadap Para Istri, (Jakarta : Darus Sunnah, 2006), h.224
29
Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan
permusuhan di antara keduanya. Masing-masing istri dimungkinkan untuk
mendengar desahan suami yang sedang menggauli istrinya, atau bahkan
melihatnya. Namun jika para istri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam satu
rumah, maka tidaklah mengapa. Bahkan jika keduanya ridha jika suami mereka
tidur diantara kedua istrinya dalam satu selimut tidak mengapa. Namun seorang
suami tidaklah boleh menggauli istri yang satu di hadapan istri yang lainnya
meskipun ada keridhaan diantara keduanya.
b. Menyamakan Para Istri dalam masalah Giliran
Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim
meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memiliki 9 istri.12 Kebiasaan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi
semua istrinya dan baru behenti (berakhir) di rumah istri yang mendapat giliran
saat itu.
Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang
istrinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta
dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu
'Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak
safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sertakan dalam safarnya.
12 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut Libanon ; Darul Kutub, 1982), juz III, h.1249
30
Rasulullah SAW, biasa menggilir setiap istrinya pada hari dan
malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya telah diberikan kepada
Aisyah Radhiyallahu'Anha. Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang
suami diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua istrinya pada hari giliran salah
seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli istri yang bukan waktu
gilirannnya.
Seorang istri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah
Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam ingin bermesraan dengan istrinya namun saat itu istri Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi
bagian sekitar kemaluannya.
Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah istri yang lain
yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini
disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan
bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah
Radhiyallahu 'Anha, tidak lama setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar
rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa
sallam. Aisyah Radhiyallahu 'Anha kemudian mengikuti beliau karena menduga
bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah istri yang
lain. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan
Aisyah Radhiyallahu 'Anha dalam keadaan terengah-engah, Rasulullah SAW,
31
bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah
dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?”
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya
masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sedang
sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut, maka
dia harus mengganti hak istri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak
menginap, maka tidak perlu menggantinya.
Rasulullah SAW, dalam hal tersebut dikembalikan kepada ‘urf, yaitu
kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah setempat. Jika mendatangi salah satu
istri tidak pada waktu gilirannya, baik waktu siang atau malam tidak dianggap
suatu kezaliman dan ketidakadilan, maka hal tersebut tidak apa-apa. Dalam hal
tersebut, urf sebagai penentu karena masalah tersebut tidak ada dalilnya
c. Wajib menyamakan nafkah
Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini
berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila istri-istri
tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka maka
tidak apa-apa.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan
pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang
suami. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu
mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk
32
Rasulullah SAW, Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada istri-
istri beliau segenggam-segenggam.13
13 Arij binti Abdul Rahman, Adil terhadap Para Istri, (Jakarta : Darus Sunnah, 2006), h.242
32
BAB III
PRO DAN KONTRA PRAKTEK PERKAWINAN
POLIGAMI
A. Kondisi Obyektif
Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling
banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai
macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu
dikaitkan dengan ketidakadilan gender.
Dalam perkembangannya, isu poligami dijadikan sebagai pintu masuk
kelompok liberal untuk ‘membina dan mencerahkan’ masyarakat agar tumbuh
semangat perlawanan terhadap syariah Islam. Mereka berupaya membangkitkan
emosi umat, khususnya kalangan perempuan, untuk bersama-sama menolak
poligami, sebagai salah satu kebolehan dari syariah Islam. Kelompok liberal ini
memang sudah lama berupaya untuk memporak-porandakan syariah Islam dari
berbagai pintu, termasuk pintu poligami.
Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling
banyak diperdebatkan. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami
adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif
terhadap perempuan. Poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki
32
33
sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk
menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.1
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan
peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami
merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa
itu dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan
keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia
sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Istri-istri harus
menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan.2
1. Pengakuan Pelaku Poligami "I am a Second Wife"3
Masa SMU wanita Amerika itu hancur tatkala dirinya hamil diusia 17
tahun. Ia terpaksa menjadi 'single mother' diusia muda. Namun hidupnya merasa
nyaman setelah menjadi istri kedua seorang pria Muslim Oleh M. Syamsi Ali.
Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic Forum yang diadakan setiap Sabtu di
Islamic Center New York kedatangan peserta baru. Pertama kali memasuki
ruangan itu Ismil sangka wanita Bosnia. Dengan pakaian Muslimah yang sangat
rapih, blue eyes, dan kulit putih bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan
seolah seseorang yang telah lama paham etika Islam.
Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya, baru
saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman.
Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan mainan anak-anak (toys).
1 Amir Nurudin dan Azhari, Perempuan Korban Poligami, (Solo : Rumah Dzikir, 2004),
h.156 2 Karam Hilmi Farhat, Poligami Nabi, (Bandung : Logos, 2007), h.17 3 Diakses di www.hidayatullah.com, 5 April 2010 pkl. 19.00
34
Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam sekitar 7 bulan
silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu, adalah mantan pekerja
biasa sebagai kasir di salah satu tokoh di Michigan. Di toko inilah dia pertama
kali mengenal nama Islam dan Muslim.
Biasanya ketika Ismail menerima murid baru untuk bergabung pada kelas
untuk new reverts, ia tanyakan proses masuk Islamnya, menguji tingkatan
pemahaman agamanya, dll. Ketika Ismail tanyakan ke Huda bagaimana proses
masuk Islamnya, dia menjawab dengan istilah-istilah yang hampir tidak
menunjukkan bahwa dia baru masuk Islam. Kata-kata “alhamdulillah”.”Masya
Allah” dst, meluncur lancar dari bibirmya.
Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya, Huda menceritakan
proses dia mengenal Islam. “I was really trapped by jaahiliyah (kejahilan)”,
mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika. “I did not even finish my High
School and got pregnant when I wan only 17 years old”, katanya dengan suara
lirih. Menurutnya lagi, demi menghidupi anaknya sebagai ‘a single mother’ dia
harus bekerja. Pekerjaan yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di
pinggiran kota Michigan.
Suatu ketika, toko tempatnya bekerja kedatangan costumer yang spesial.
Menurutnya, pria itu sopan dan menunjukkan ‘respek’ kepadanya sebagai kasir.
Padahal, biasanya, menurut pengalaman, sebagai wanita muda yang manis, setiap
kali melayani pria, pasti digoda atau menerima kata-kata yang tidak pantas.
Hingga suatu ketika, dia sendiri berinisiatif bertanya kepada costumernya ini,
siapa namanya dan tinggal di mana.
35
Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung.
Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar. Sejak itu pula setiap pria ini
datang ke tokonya, pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja
di mana, apa tinggal dengan keluarga, dll.
Perkenalannya dengan pria itu ternyata semakin dekat, dan pria itu juga
semakin baik kepadanya dengan membawakan apa yang dia sebut ‘reading
materials as a gift”. Huda mengaku, pria itu memberi berbagai buku-buku kecil
(booklets). Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan ia mempelajari Islam,
termasuk berdiskusi dengan pria tersebut. Huda merasa bahwa inilah agama yang
akan menyelamatkannya.
“Pria tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang
anak, mengantar Ismail ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic
Center itu menuntun Ismail menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!”, kenang
Huda dengan muka yang ceria.
Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia tidak komunikasi
dengan pria tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat dengan isteri dan anak-
anaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia tiga tahun, maka sering pulalah
mereka bermain bersama. “Huda sendiri belajar shalat, dan ilmu-ilmu dasar
mengenai Islam dari Sister Shaima, nama isteri pria yang mengenalkannya pada
Islam itu.
Suatu hari, dalam acara The Islamic Forum, minggu lalu, datang seorang
tamu dari Bulgaria. Wanita dengan bahasa Inggris seadanya itu mempertanyakan
keras tentang konsep poligami dalam Islam. Bahkan sebelum mendapatkan
36
jawaban, perempuan ini sudah menjatuhkan vonis bahwa “Islam tidak menghargai
sama sekali kaum wanita”, katanya bersemangat.
Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak menunduk, tiba-tiba
angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Ismail cukup terkejut. Selama ini,
Huda tidak akan pernah menyelah pembicaraan apalagi terlibat dalam sebuah
dialog yang serius. Ismail hanya biasa berfikir kalau Huda ini sangat terpengaruh
oleh etike Timur Tengah, di mana kaum wanita selalu menunduk ketika
berpapasan dengan lawan jenis, termasuk dengan gurunya sendiri. “I am sorry
Imam Shamsi”, dia memulai. “I am bothered enough with this woman’s
accusation”, katanya dengan suara agak meninggi. Ismail segera menyelah: “What
bothers you, sister?”. Dia kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya,
sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan
hingga kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4
tahun itu.
Tapi yang sangat mengejutkan Ismail dan banyak peserta diksusi hari itu
adalah ketika mengatakan: “I am a second wife.” Bahkan dengan semangat dia
menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia dengan suaminya sekarang ini, walau
suaminya itu masih berstatus suami wanita lain dengan 4 anak. “I am happier
since then“, katanya mantap.
Dia seolah berdakwah kepada wanita Bulgaria tadi: “Don’t you see what
happens to the western women around? You are strongly opposing polygamy,
which is halaal, while keeping silence to free sex that has destroyed our people”
,jelasnya. Huda kemudian menyelah dan menjelaskan kata “halal” kepada wanita
37
Bulgaria itu. “I know, people may say, I have a half of my husband. But that’s not
true“, katanya.
Lebih jauh dia menjelaskan bahwa poligami bukan hanya masalah suami
dan isteri. Poligami dan kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah
kemasyarakatan. Dan jika seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi
kemaslahatan masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbanannya bagi
kepentingan masyarakat dan agama.
Kami yang dari tadi mendengarkan penjelasan Huda itu hanya ternganga.
Hampir tidak yakin bahwa Huda adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin
kalau Huda yang pendiam selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang
dalam. Ismail kemudian bertanya kepada Huda: “So who is your husband?”
Dengan tertawa kecil dia menjawab “the person who introduced me to Islam”.Dan
lebih mengejutkan lagi:
“his wife basically suggested us to marry”, menutup pembicaraan hari
itu.
Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhiri dengan penuh bisik-bisik. Ada
yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi rahasia terbuka.
Ismail sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan suami Huda karena
menurutnya, “he is a shy person. He came to the Center but did not want to talk to
you”, kata Huda ketika Ismail menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya.
“Huda, may Allah bless you and your family. Be strong, many challenges
lay ahead in front of you”, nasehatku. Doa kami menyertaimu Huda, semoga
dikuatkan dan dimudahkan!
38
2. Pengakuan Dr. Gina Puspita : "Anak Ismail Senang Memiliki Ibu yang
Banyak"4
Dr. Gina Puspita, bercerita seputar pengalamannya praktik poligami
dengan sang suami, Dr. Abdurahman Riesdam Efendi. Ini cerita pengalaman
indahnya sudah hampir sepekan wacana poligami secara terus-menerus diulas di
berbagai media massa. Banyak yang setuju dan tak sedikit yang sinis. Diantara
yang sinis, tentu saja para aktivis perempuan dan para pengagum feminisme.
Sabtu (9/12) kemarin, Koalisi Perempuan dan sejumlah lembaga swadaya
masyarakat (LSM) menolak praktik poligami. Alasannya, poligami melanggar
hak-hak perempuan serta rawan terhadap kekerasan psikis dan fisik. Benarkah?
Kali ini hidayatullah.com mewawancarai Dr. Gina Puspita. Sebelum
ramai-ramai berkembang wacana poligami, istri pertama Dr. Abdurahman
Riesdam Efendi ini boleh jadi diantara sekian Muslimah yang merasakan sendiri
pengalaman “dimadu”. Tidak seperti umumnya pria yang ingin menikah lagi, ia
mencarikan sendiri calon untuk pasangan suaminya itu.
Tahun 1995, Abdurahman menikah lagi untuk yang kedua dengan
Basyiroh Cut Mutia. Enam tahun kemudian, ia menikah yang ketiga dengan Siti
Salwa asal Malaysia. Dan yang terakhir, menikah dengan Fatimah. Praktis ia
memiliki empat orang istri.
Jangan keliru, semua istri mudanya ini bukan pilihan sang suami, justru
pilihan Gina alias sang istri pertamanya. Tak seperti dugaan aktivis perempuan
selama ini, di mana poligami dianggap begitu rendah dan rawan konflik. Mereka
4 Diakses di www.hidayatullah.com, 5 April 2010 pkl. 19.15
39
berempat justru sangat rukun dan bahagia. Bahkan bekerja di kantor yang sama
dan tinggal seatap, tanpa ada masalah.
''Kalau suami sedang dengan istri yang lain, kami bertiga ngobrol-
ngobrol di satu kamar,'' tutur kepada sebuah media Jakarta. Bila berada di luar
kota, mereka bertukar pesan lewat SMS. Pokoknya, akrab. ''Poligami yang
didasarkan pada Allah SWT tidak akan menimbulkan masalah.'' tambah mantan
Kepala Departemen Structure Optimizition Divisi Riset & Development IPTN
(Industri Pesawat Terbang Nusantara) ini di sebuah harian di Jawa Barat.
Apa kabar Anda dan keluarga?
Kami sekeluarga alhamdulillah sehat,semoga kesehatan yg dirahmati
Allah. Lama tak dengar kabarnya, apa kesibukan Anda terbaru? Selama kurang
lebih 2 tahun terkahir kami banyak berada di Malaysia. Alhamdulillah perusahaan
yang dipimpin oleh guru kami Abuya Ashaari (pendiri Darul Arqam yang
dilarang mantan PM Mahathir Mohammad-- berkembang pesat di sana. Kebetulan
Tuhan rizqikan kami untuk ikut serta beraktifitas di sana selama 2 tahun.
Setelah di sana terasa manfaatnya untuk kalangan luas, dan perusahaan
terus berkembang ke berbagai negara di Asia, Eropa, Timur Tengah, maka mulai
2 bulan belakangan ini kami mulai menguatkan kembali aktifitas perusahaan
Rufaqa di Indonesia.
Ismail dengar Anda juga punya proyek besar di Malaysia? boleh tahu?
Di malaysia bukan proyek Dr. Gina Puspita tapi perusahaan yang
dipimpin oleh guru Ismail, Abuya Ashaari Muhammad. Dari tahun 1997 beliau
mendirikan perusahaan Rufaqa namanya yang bergerak di berbagai bidang seperti
40
pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, kebudayaan dll. Kalau mau jelas, boleh
kunjungi website nya www.rufaqa.com & www.rufaqadaily.com.
Sepekan ini banyak orang sibuk mendiskusikan poligami, apa pendapat
Anda?
Segala kejadian Allah yang menentukan. Diantara sekian banyak
hikmahnya, Allah nampaknya mau menunjukkan keadaan masyarakat sekarang
ini. Dan kita bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Sebenarnya ada dua
kejadian yang terjadi secara serentak. Pertama tentang poligaminya Aa Gym,
kedua, monogaminya anggota DPR RI, tapi selingkuh. Tapi yang diramaikan
hanya poligaminya. Bahkan poligami mau dilarang segala. Hehehe. Yang
menarik, sikap masyarakat terbelah dua. Kasus monogami selingkuh menjadi
kasus cukup besar. Tapi poligami, pernikahan secara sah justru yang dikatakan
zalim. Padahal menurut Ismail, monogami selingkuh itu jauh lebih menzalimi
perempuan. Seperti wanita ini tak ada harganya.
Menurut Anda, mengapa masyarakat justru seperti itu?
Dr.Gina Puspita tak menyalahkan masyarakat. Itulah keadaan masyarakat
yang kita perlu rasakan sebagai peringatan Allah pada kita. Mungkin kita gagal
membawa kebaikan di tengah masyarakat ini. Ismail juga maklum kenapa banyak
masyarakat awam begitu membenci poligami, kerana memang susah mau mencari
poligami yang dapat dijadikan teladan di indonesia sekarang ini. Yang lebih
menyedihkan, yang sekarang berlaku bukan sekedar diskusi tapi penafsiran-
penafsiran terhadap Rasulullah yang sifatnya merendahkan beliau. Jauh sekali
41
daripada mencari solusi. Lagi pula, mengapa banyak orang sibuk membicarakan
poligami atau bahkan terkesan begitu ketakutan.
Padahal dalam Islam, poligami haya sekedar satu dari sekian ribu syariat
dalam agama kita.. Jadi dia bukan perkara yang wajib. Tapi kok yang biasa-biasa
menjadi masalah Negara. Padahal Shalat yang berkali-kali Allah katakan sebagai
“tiang agama” pun, Negara tak pernah peduli apakah manusia melakukannya?
Anda termasuk diantara pelaku, sebelum banyak orang melakukan.
Bisakan bercerita pengalaman poligami?
Islam itu adalah “cara hidup”. Selain tentang Allah yang utama, di
dalamnya ada juga syariat yang beribu jenisnya, yang mengatur kehidupan
manusia di dunia ini. Sepertimana janji kita dalam setiap kali shalat, “inna
shalolati wa nusuki… (dst), “hidup mati kita untuk Allah, maka tentulah sebagai
seorang Muslim, kita perlu wujudkan janji kita dalam kehidupan. Kita atur
individu kita, ekonomi kita, pendidikan kita, kebudayaan kita, rumah tangga kita,
menurut Islam. Hal ini tidak dapat kita wujudkan sendiri-sendiri. Misalnya untuk
mewujudkan pendidikan Islam, perlu guru dan murid. Kalau sendirian mana
mungkin dapat terwujud. Itulah yang kami lakukan melalui perusahaan Rufaqa
ini. Sama halnya dengan masalah rumah tangga.
Setelah kami dididik oleh guru kami, kami (Ismail dan suami) merasakan
bahwa Allah mesti dijadikan segalanya. Syariat Islam mesti diperjuangkan.
Dengan melihat keluarga guru kami yang memiliki 4 istri dan 37 anak, 200 cucu,
namun semua justru menjadi pendukung perjuangan Islam. Maka kami melihat
(bukan sekedar membaca buku atau hanya mendengar), bahwa poligami juga
42
dapat kita laksanakan. Atas kesepakatan bersama itulah, Ismail dan suami –tentu
saja atas persetujuan guru kami-- maka kami tambahkan anggota keluarga kami
dengan mengambil salah seorang staf Rufaqa sebagai istri kedua untuk suami
Ismail.
Siapa yang mencari dan melamarkannya?
Dr. Gina Puspita sendiri yang datang pertama kali dan menjelaskan pada
orang tuanya untuk menyampaikan hasrat kami.
Apa sih yang ada di perasaan Anda saat mencarikan suami istri lagi?
Karena dari awal memang sama-sama berniat (Dr. Gina Puspital, suami
dan istri kedua) untuk menguatkan keluarga, maka, masalah-masalah dalam
keluarga dapat diatasi dengan baik. Bertambah terasa kehebatan Allah. Ternyata
belum lagi kita baik, baru niat mau baik, tapi Allah sangat memberikan bantuan-
Nya.
Apakah setelah poligami pernah cekcok? Atau cemburu?
Kalau beda pendapat sih dalam rumah tangga itu hal yang biasa.
Jangankan di keluarga yang praktik poligami, dalam rumah tangga monogami pun
ada. Tapi karena sama-sama sudah dididik oleh guru yang sama, jadi setiap kali
ada masalah, masing-masing berusaha untuk dapat menilai yang baik di sisi Allah.
Bila semua mempunyai tujuan yang sama yaitu keridhaan Allah, perkara apapaun
selalu jadi mudah. Kami berempat serumah. Kecuali sekarang ini, dua orang
sedang bertugas di Malaysia.
Menjadi istri "dimadu" apa tak membuat martabat Anda sebagai seorang
perempuan terhina?
43
Dr. Gina Puspita hendak mengingatkan kita bahwa dalam menilai
sesuatu, karena zaman ini sudah rusak, maka nilai-nilai manusia/moral juga sudah
sangat jauh dari kehendak Allah. Contoh saja; para wanita mengatakan dirinya
merasa “dihina” dengan poligami. Padahal itu kan memang boleh menurut Islam.
Tapi wanita diminta buka aurat, ia menjadi tontonan. Tak satupun menganggap
dirinya merasa terhina. Padahal itu adalah keadaan yang sangat menghinakan.
Wanita sudah hilang malunya karena ketiadaan iman. Poligami itu, bila dijalankan
dengan tujuan membesarkan Allah, kita akan merasakan bahwa itu sangat baik
untuk pendidikan hati kita. Kita akan tahu bahwa kita belum sabar. Maka, kita
akan belajar untuk bersabar. Kita bisa tahu bahwa di hati kita ada hasad dan
dengki. Cemburu itu adalah hasad dan dengki adalah puncaknya. Lalu kita belajar
untuk tidak hasad atau dengki hingga timbul rasa tidak membahagiakan orang
lain.
Bukankan manusia normal tak menginginkan suaminya jadi rebutan
wanita lain?
Jadi, bila dikatakan manusia normal tidak mau dipoligami? Manusia
normal itu seperti apa? Apakah istri-istri Rasulullah bukan wanita normal?
Menurut Dr. Gina Puspita, manusia normal itu adalah manusia yang tahu dirinya
hamba dan Allah sebagai Tuhannya. Tentu dia akan sangat mencintai Tuhan Nya.
Dan dirinya akan merasakan bahwa syariat Allah adalah yang terbaik. Bahkan
sekarang kadang Dr. Gina Puspita merasa malu dengan Allah. Malu, mengapa
“orang jahat” seperti Dr. Gina Puspita tapi Allah masih memberi rasa kebaikan-
kebaikan dalam poligami. Kalau ia saja yang menganggap “masih jahat” dan
44
masih diberi banyak kebaikan oleh Allah, bagaiman pula kehebatan keluarga
Rasulullah?.
Anda tidak takut, rasa cinta suami Anda tak akan seperti di awal
pernikahan? Karena akan terbagi?
Tidak. Sebab suami dan kami punya cita-cita yang sama. Untuk
mencintai Allah. Dan mencintai Allah itulah yang dapat menambah kuat ikatan
diantara kami semua. Perlu kita sadari, kerana manusia sudah tidak menganggap
Tuhan segalanya, maka bila berumahtangga, dia menganggap suami adalah
segala-galanya. Ya dengan kata lain, cinta suami. Padahal, kalau kita
membesarkan cinta pada Allah, maka Allah sendirilah yang akan membagi
kebahagiaan itu.
Bagaimana dengan kebutuhan finansial dan pembagian perhatian
terhadap anak-anak Anda suami menikah lagi?
Alhamdulillah Allah bukan saja mencukupkan, tapi menambah-nambah.
Dan alhamdulillah, anak-anak kami semua justru bersyukur dengan poligami.
Kemarin anak Ismail yang berumur 10 tahun diwawancara sebuah majalah. Dia
mengatakan, begitu senang memiliki ibu banyak. Banyak tapi Ismailng. Dia
pernah melihat seorang aktifis perempuan begitu keras berkata tentang poligami.
Anak Ismail mengatakan, “Ini perempuan bercakap bukan dengan akal lagi, tapi
dengan nafsu. Sangat emosional. Padahal, kami (anak-anak Ismail maksudnya)
suka dengan itu . tak ada penzaliman.”
Apakah mungkin seorang suami bisa membagi perhatian tiga orang istri
dengan banyak anak berbeda-beda misalnya?
45
Bisa. Bahkan hubungan anak-anak semua sangat baik. Tak ada perbedaan
dia dari ibu yang mana. Suami Dr. Gina Puspita baru memiliki 4 orang anak. Tiga
darinya dan 1 dari istri kedua. Istri ketiga dan keempat belum dikaruniai anak.
Banyak aktivis perempuan mengkritik poligami, apa pandangan Anda
menghadapi kritikan itu?
Jangankan untuk hal poligami, gerakan kaum feminis hingga sekarang
ini, belum mendapatkan kejayaan. Patutnya sekiranya jika mereka melihat
gagalnya perjuangan kaum feminis di Prancis yang menjadi sumber awalnya.
Ismail pernah 11 tahun di Prancis melihat sampai sekarang, di sana gerakan
tersebut boleh dikatakan tidak membuahkan hasil, yang ada justru kesengsaraan
bagi kaum wanitanya. Banyak orang berkonsultasi dengan Dr. Gina Puspita.
Sebab banyak hal yang diperjuangkannya tidak sesuai dengan fitrah dia. Jadi
katakanlah dia mendapatkan apa yang dia mau, tapi ternyata bila sudah
mendapatkan, sesungguhnya dia begitu tersiksa.
Jadi apa hikmahnya bagi Anda dan kalangan Muslimah dengan
berpoligami?
Dr. Gina Puspita pernah mengatakan di media massa, “poligami itu indah
dan memang perlu.” Perlu bagi wanita dan lelaki sebagai pendidikan hati kita
untuk dapat lebih mudah membesarkan asma Allah. Karenanya, Dr. Gina Puspita l
menghimbau pada semua, mari kita kembali pada Allah, Tuhan kita. Dialah
penyelesai segala maslah. Sekarang ini yang jadi masalah sebenarnya bukanlah
poligami. Jadi tak perlu sibuk memerangi poligami. Sama halnya sekarang banyak
orang shalat tapi masih korupsi. Lantas apakah dengan begitu kita akan
46
memerangi shalat? Banyak masalah lain yang kita perlu selesaikan. Pendidikan
kita sedang bermasalah. Ekonomi kita bermasalah. Kebudayaan dan semua aspek
kehidupan kita sudah rusak dan itu adalah masalah. Maka mari kita kembali pada
Allah. Jadikan Ia segalanya. Bila demikian akan selesailah semua masalah. Mau
monogami atau poligami, jika kembali pada Allah, tetap akan membawa
kehidupan yang harmoni. [Cholis Akbar]
B. Praktek Poligami Versus Ketidakadilan Gender
Sebagaimana disebutkan di atas, pro-kontra senantiasa mewarnai
pelaksanaan poligami. Kelompok yang kontra terhadap poligami, mengatakan
bahwa poligami lebih memposisikan perempuan dalam kaum tertindas, kaum
yang tidak punya pilihan lain selain menerima apa adanya. Lebih tegas mereka
menganggap bahwa poligami akhirnya merupakan salah satu bentuk kekerasan
terhadap perempuan.
Mengutip Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pasal
11, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman perbuatan-perbuatan tertentu, dan pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
umum maupun dalam kehidupan pribadi.
Bahkan sebuah Jurnal Perempuan yang terbit di Bandung memasukkan
poligami sebagai kekerasan terhadap perempuan berdasarkan salah satu data LBH
APIK Jakarta yang mengungkapkan bahwa poligami telah melahirkan dampak
47
tertentu bagi istri. Dampak yang paling dialami adalah istri tidak lagi diberi
nafkah (37 orang), istri diterlantarkan atau ditinggalkan (23 orang), istri
mengalami tekanan psikis (21 orang), istri dianiaya secara fisik (7 orang), pisah
ranjang (11), mendapat teror istri kedua (2 orang) dan diceraikan (6 orang). 5
Data tersebut diambil dari istri yang melapor, belum lagi istri yang takut
melapor atau istri yang harus manut menerima perlakuan diskriminatif dari suami
dalam institusi poligami, bahkan ia tak berani untuk sekedar menyuarakan derita
yang terjadi.
Di sisi lain, kita tahu, tak sedikit dari kaum laki-laki masih gemar
poligami dengan perasaan tak risau, dari mulai rakyat biasa, dosen, pengusaha
sampai ulama. Kenapa seseorang mesti poligami? Pertanyaan itu harus diajukan
pada semua lelaki yang mulai punya niat berpoligami.
Selama ini permasalahan poligami terkesan hanya dipahami dari sudut
kepentingan lelaki belaka. Meski pada kenyataannya, para pelaku poligami
bersikukuh membela poligami dan mencari pelbagai legitimasi dari aneka sumber.
Dapat dipahami bahwa poligami merupakan bentuk konstruksi kuasa laki-laki
yang mengaku superior dengan nafsu menguasai perempuan, disisi lain, lagi-lagi
faktor biologis atau seksual juga mendominasi bahkan demi prestise tertentu.
Dalam hal itu, gairah lelaki (suami) punya peluang membangun siasat
untuk memenuhi keinginan dan kepentingannya. Jikapun penolakan istri muncul,
ia mesti berhadapan dulu dengan “konsep kepatuhan istri kepada suami”
(disobidience to the husband) yang mesti dijalani oleh istri tanpa ruang lebar
5 Diakses di http://www.lbh-apik.or.id/fac-31.htm, 3 April 2010 pkl. 20.00
48
untuk kritis. Melenceng dari itu dalam beberapa kasus tak segan vonis “durhaka”
(bahkan kekerasan fisik) mesti ditelan perempuan karena dianggap tidak patuh
terhadap suami dan tidak teguh iman menerima “rahmat” poligami. Selain itu,
rayuan “jaminan surga”, “sunah Rasul” acap dibalutkan pada pola pikir
perempuan. Akibatnya, perempuan tak mampu mendefinisikan dirinya. Logika
dominasipun muncul, jika suami bahagia berpoligami, istri harus patuh dan ikut
bahagia. Tak heran jika banyak perempuan menerima poligami bahkan bersedia
membelanya sekedar ingin kepuasan mendapat citra “perempuan solehah” versi
laki-laki yang patuh pada suami, hukum dan tafsir sepihak dalam agama.6
Argumentasi di atas seakan menegaskan ada yang salah dengan poligami.
Sebagai orang muslim yang meyakini sepenuhnya bahwa setiap hal yang
diperbolehkan oleh Allah SWT tidak akan me-madharat-kan manusia, penulis
berpendapat kalau sekarang poligami ternyata malah menghadirkan sebuah
ketakutan besar yang sama sekali tidak terlihat sisi manfaatnya, tentu ada yang
salah dengan poligami tersebut, dan menurut hemat penulis kesalahan itu bukan
pada hukumnya tetapi pada pemahaman hukum dan penerapannya.
Hilaly Basya mengatakan bahwa sebenarnya Nabi punya semangat
poligami yang berbeda dengan poligami sekarang. Perempuan yang dinikahi
adalah janda punya anak atau yatim. Pada waktu itu, janda dalam masyarakat
Arab tidak punya akses apapun ke masyarakat, berbeda dengan janda sekarang.
Kini poligami sudah tak sejalan dengan moral Al-Qur`an. Kini poligami lebih
berdampak kemadharatan ketimbang kemaslahatan. Bukankah Tuhan tidak
6 Anshori Fahmi, Siapa Bilang Poligami Sunnah, (Depok : Pustaka Iman, 2007), h.45-47
49
menyukai hambanya yang senang berlebihan? Sebab poligami kini tak lebih dari
tirani birahi laki-laki yang mengeksploitsi perempuan atas nama Tuhan, alih-alih
billahi, justeru birahi yang berkedok tafsir agama.7
Pembolehan poligami bagi suami dalam ayat tersebut merupakan hal
yang amat dibatasi dengan ketat, sehingga seolah-olah mencapai tingkat darurat,
pembolehannya harus memenuhi syarat bahwa suami harus dipercaya untuk dapat
berlaku adil dan aman dari berbuat dosa (perbuatan menzalimi istri dan atau anak-
anaknya). Muhammad Abduh menilai bahwa jika memperhatikan poligami yang
cenderung dipraktikkan secara destruktif pada masa sekarang, dapat dipastikan
bahwa tidak seorang pun mampu membina suatu umat yang menyalahgunakan
poligami secara luas. Sebab rumah tangga yang terdiri dari dua orang istri
cenderung tidak stabil dan sulit terwujud ketenangan. Bahkan suami dan para istri
sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah tangga tersebut, karena di
antara para istri satu sama lain bermusuhan, demikian pula antara anak-anak
mereka. Bahaya yang ditimbulkan tersebut akan meluas dari lingkungan individu
ke lingkungan keluarga, dari keluarga ke lingkungan masyarakat, selanjutnya
kepada kehidupan bangsa dan negara.
Dengan melihat dampak buruk yang sering terjadi akibat poligami di
Mesir, Abduh menyarankan kepada ahli hukum di masanya untuk memformulasi
hukum yang lebih kontekstual yang mengacu kepada kemaslahatan dan menepis
segala kemudaratan, dengan memperhatikan kaidah dar al mafaasid muqaddam
7 Eni Setiati, Perkawinan dalam Islam, (Jogjakarta : An-Naba, 2007), h.17
50
‘ala jalb al-masholih sebagai acuan. Ia menyimpulkan bahwa di saat timbul
kekhawatiran tidak adanya keadilan maka hukum poligami adalah haram.8
Rasyid Ridha menambahkan bahwa poligami secara alamiah
bertentangan dengan tujuan perkawinan, sebab pada dasarnya perkawinan adalah
antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Poligami hanya untuk
kondisi darurat, seperti dalam situasi perang, selain itu juga disertai syarat yang
ketat, tidak boleh mengandung unsur dosa dan ketidakadilan. Ketika poligami
menimbulkan lebih banyak mudarat dibandingkan manfaat, maka para hakim
dapat mengharamkan poligami.9
Rasyid Ridha juga melihat poligami sebagai persoalan sosial yang
penegasan status hukumnya tidaklah sederhana, akan tetapi perlu pertimbangan
multidimensional. Berbagai pertimbangan tersebut mencakup persoalan watak dan
potensi antara laki-laki dan perempuan, dan bagaimana hubungan keduanya dari
sudut perkawinan dan tujuannya. Selain itu juga terkait dengan keseimbangan
jumlah populasi jenis laki-laki dan perempuan, problem kehidupan rumah tangga
dan tanggung jawab laki-laki atas perempuan atau sebaliknya, atau posisi
kemandirian masing-masing. Perlu dikaji pula sudut sejarah perkembangan
manusia khususnya keberadaan laki-laki dengan memiliki satu pasangan (istri).
Hal terakhir yang juga perlu ditinjau adalah bagaimana konsepsi Al-Quran
mengenai persoalan poligami, apakah poligami merupakan urusan agama dan
sesuatu keharusan atau hanya sekedar rukhshah (dispensasi) yang dibolehkan
dalam keadaan darurat disertai dengan sejumlah syarat yang ketat.
8 Anshori Fahmi, Siapa Bilang Poligami Sunnah, (Depok : Pustaka Iman, 2007), h.178 9 Rasyid Ridha, Tafsir Almanar, (Mesir : Darul Manar, 1999), h.284
51
Berpijak dari pertimbangan dan sudut pandang di atas, Rasyid Rida
menyimpulkan bahwa pada prinsipnya kebahagiaan dalam suatu perkawinan dan
kehidupan rumah tangga hanya dapat dibangun oleh suami yang hanya memiliki
seorang istri. Konsep inilah yang semestinya dibangun oleh semua orang dalam
bahtera perkawinan mereka. Poligami sendiri sebetulnya bukanlah potret umum
dari kehidupan manusia, ia hanya dipraktikkan dalam jumlah terbatas oleh
sebagian kecil kalangan masyarakat.
Meskipun demikian Rasyid Ridha juga memaklumi bahwa poligami tetap
punya sisi positif (maslahat), baik bagi individu maupun kolektif. Sebagai contoh
kasus, pada pasangan yang tidak dikaruniai anak, suami terpaksa berpoligami
karena si istri tidak dapat memberikan keturunan akibat mandul atau faktor usia
lanjut (menopause), atau istri mengalami sakit parah atau berbagai problem fisik
lainnya yang tidak memungkinnya untuk melayani suami dengan baik, atau
berbagai alasan lain yang jika tidak dapat dicarikan solusinya (poligami)
berpotensi besar menjerumuskan suami kepada perbuatan zina.
Sedangkan sisi positif dalam skala kolektif adalah manakala terjadi
ketimpangan jumlah populasi antara perempuan dan laki-laki, seperti kondisi yang
dialami oleh negeri-negeri yang terlibat dalam peperangan dan beberapa negara
Eropa dimana kaum perempuan terpaksa bekerja keras menghidupi keluarga dan
beraktivitas di bidang-bidang pekerjaan yang berat dengan tingkat resiko yang
sangat tinggi mengancam keselamatan mereka. Ironis bahwa pembolehan
poligami ini tak jarang disalahgunakan sebagian kaum laki-laki (suami) hanya
52
untuk melampiaskan keinginan biologisnya tanpa memperhatikan upaya realisasi
kemaslahatan dalam poligami.
Oleh karena itu, sejatinya rumah tangga ideal adalah monogami, Islam
membolehkan poligami hanyalah sebagai rukhsah (keringanan), bukan anjuran
apalagi kewajiban.
Menurut Rasyid Ridha, poligami merupakan penyimpangan dari prinsip
dan idealitas, ia dapat memupus ketenangan jiwa, cinta dan kasih Ismailng
(sakinah, mawaddah wa rahmah) yang merupakan pondasi dan pilar hidup
berumah tangga. Tidak ada perbedaan antara perkawinan pasangan suami istri
yang tidak membangun pondasi-pondasi luhur tersebut dan pasangan yang
berorientasi kepuasan biologis semata. Oleh karena itu sepatutnya seorang
Muslim menghindari poligami kecuali karena kondisi darurat yang disertai
keyakinan mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih sakinah, mawaddah wa
ramah10.
Berdasarkan pendekatan fiqh dan perspektif tafsir (tradisionalis) di atas
tampak jelas bahwa poligami adalah hal yang legal menurut doktrin hukum Islam
konvensional, oleh karena itu pelarangan dan kriminalisasi terhadap poligami
merupakan deviasi dari ketentuan doktrin “syariah”. Namun apa yang
dikemukakan oleh sejumlah mufassir modern di atas tersirat urgensi upaya
formulasi hukum yang dapat mempersulit praktik poligami dan mencegah efek
negatif dari penyalahgunaan poligami dalam masyarakat.
10 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000). h.113.
53
Interpretasi seperti inilah yang kelihatan turut mengilhami sejumlah
negeri muslim untuk menerapkan aturan ketat bahkan keras terhadap praktik
poligami di dalam undang-undang mereka.
1. Pendapat yang Pro Poligami
Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman
hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat suami
memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri, ketentuan ini termaktub pada
ayat yang artinya:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." ( Q. S. An-Nisa : 3)
Agama Islam mengedepankan kepentingan umum (maslahah ‘ammah)
atas kepentingan pribadi (maslahah khassah). Termasuk kepentingan umum
dalam hal ini adalah diperbolehkannya poligami. Seandainya Islam tidak
memperbolehkan poligami, maka pasti akan banyak anak-anak hasil perzinaan.11
Islam membolehkan umatnya berpoligami bukanlah tanpa alasan atau tujuan
tertentu. Keharusan berpoligami ini mempunyai hikmah-hikmah untuk
kepentingan serta kesejahteraan umat Islam itu sendiri, adapun hikmahnya :
1. Bahwa wanita itu mempunyai tiga halangan yaitu haid, nifas dan keadaan yang
belum betul-betul sehat selepas melahirkan. Dengan berpoligami dapatlah
11 Muhammad Nasir al-Hammid, Dawabit al-‘Adl bain al-Zawjat (Jurnal al-‘Adl, Nomor
33 Muharram 1428). h.32-33.
54
menyelamatkan suami terjerumus ke jurang perzinaan pada saat-saat istri
berhalangan.
2. Untuk mewujudkan salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan, yaitu
mendapatkan keturunan, ketika istri mandul tidak dapat melahirkan anak atau
kerana istri sudah terlalu tua dan sudah putus haidnya.
3. Untuk menjamin kekuatan hukum setiap anak yang lahir, karena memiliki garis
nasab yang jelas. Dengan demikian dapat pula menjamin sifat kemuliaan umat
Islam. Anak luar nikah mempunyai hukum yang berbeda dari anak yang
terlahir dari pernikahan yang sah.
Diperbolehkannya poligami tidaklah tepat kalau dikatakan "syaratnya
harus adil”, yang benar, adil bukan syarat poligami, melainkan kewajiban dalam
berpoligami. Syarat adalah sesuatu sifat atau keadaan yang harus terwujud
sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan (masyrut). Wudhu, misalnya, adalah
syarat sah shalat. Jadi wudhu harus terwujud dulu sebelum shalat. Maka kalau
dikatakan "adil" adalah syarat poligami, berarti "adil" harus terwujud lebih dulu
sebelum orang berpoligami. Tentu ini tidak benar, yang mungkin terwujud
sebelum orang berpoligami bukanlah "adil" itu sendiri, tapi "perasaan" seseorang
apakah ia akan bisa berlaku adil atau tidak. Jika "perasaan" itu adalah berupa
kekhawatiran tidak akan dapat berlaku adil, maka di sinilah syariah mendorong
dia untuk menikah dengan satu istri saja.
Poligami adalah sunnah para kekasih Allah, para nabi, rasul, dan para
wali-Nya. Karena itu, tentulah dalam poligami terdapat hikmah yang luar biasa.
55
Tak mungkin Allah memerintahkan para kekasih-Nya untuk mendzalimi makhluk
lain. Salah satunya adalah pendidikan. Tuhan ingin mendidik manusia untuk
berlaku adil. Keadilan yang paling utama adalah adil dalam membawa keluarga
untuk kenal Tuhan, cinta Tuhan dan takut Tuhan. Suami bertanggung jawab
penuh dalam hal tersebut. Bagi para istri, ini benar-benar sebuah ujian berat, cinta
suami atau cinta Tuhan? Ujian ini memang amat berat, hanya seorang perempuan
yang betul-betul beriman saja yang mampu mengorbankan perasaannya untuk
cinta agung Allah Yang Maha Tinggi. Sebenarnya bagi perempuan dengan
keimanan yang tinggi, poligami justru sangat menguntungkan karena di saat
"giliran" bukan miliknya itulah saat untuk berkasih-kasihan dengan Tuhan.12
2. Pendapat Yang Kontra Poligami
Perkawinan dirumuskan secara leksikal dalam undang-undang
Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) Nomor 1 Tahun 1974, sebagai "ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa". Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dirumuskan lebih spesifik, bahwa "perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah".
Pada prinsipnya laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah
berpasang-pasangan untuk mewujudkan ketentraman diantara mereka. Oleh
12Diakses di http://www.dt-poligami.or.id , 25 Februari 2010 pkl. 17. 30
56
karenanya perlakuan baik dari seorang suami terhadap istrinya merupakan sebuah
keniscayaan. Hal ini dijelaskan dalam firmannya :
☺
☺
⌧ “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu ( Q.S al-Baqarah : 231)
Dari ayat ini hanya ada dua pilihan bagi suami yaitu pertama: hidup
bersama istri dan memperlakukannya dengan baik atau kedua: menceraikannya
dengan cara yang baik pula. Tidak ada pilihan lain. Karena itu, hidup bersama istri
dengan menyengsarakannya baik secara lahir maupun batin tidak dikenal dalam
ajaran Islam, dan harus memilih dua hal tersebut13.
Dalam sebuah hadits yang dimuat dalam beberapa kitab hadis yang
mu'tabar, antara lain dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi,
dan Musnad Ahmad bin Hanbal, dari sumber yang sama, Miswar bin Makhramah,
13 Musdah Mulia, Pandangan Islam tenang Poligami,( Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999) h.10
57
ia berkata, Ismail mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar. Sabda
Rasulullah:
"Sesungguhnya anak-anak Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan puterinya dengan Ali. Ketahuilah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan puteriku, kemudian menikahi anak mereka".
"Sesungguhnya Fatimah bagian diriku. Barangsiapa membahagiakannya berarti ia membahagiakanku. Sebaliknya, barangsiapa menyakitinya berarti ia menyakitiku. (Shahih Bukhari, Hadits No.4829).
Dalam hadits tersebut terungkap sikap Rasulullah SAW terhadap
poligami yang akan dilakukan Ali bin Abi Thalib, menantunya, berupa dua
pilihan yaitu menikahi perempuan yang ditawarkan Bani Hisyam al-Mughirah
atau menceraikan Fatimah, putri Rasulullah. Karena perbuatan Ali mendua istri
itu akan menyakiti hati puterinya, sekaligus menyakiti pula hati Rasulullah SAW.
Rasulullah melakukan poligami, tetapi beliau tidak merestui menantunya
berpoligami. Hal ini terkait dengan sikap adil yang harus dilakukan dalam
berpoligami, yang tidak semua orang akan mampu melakukannya, termasuk Ali
bin Abi Thalib, padahal ia telah teruji keimanannya dan ternilai kesalihannya,
namun sebagai manusia biasa ia tidak akan mampu menjalankan keadilan
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW. Firman Allah dalam Al-Quran
menyebutkan :
⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧
⌧ ⌧ ☺
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
58
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q. S an- Nisa : 129)
Dalam suasana ketidakadilan, bagaimana bisa tercapai tujuan perkawinan
tersebut, yaitu kesejahteraan spiritual dan material, atau terpenuhinya kebutuhan
lahir dan batin dalam perkawinan itu.
Kemungkinan alasan lain, Rasulullah SAW. Tidak mengizinkan
menantunya berpoligami adalah karena ketika itu anak-anaknya masih kecil,
masih membutuhkan kasih Ismailng dan perhatian yang besar dari kedua
orangtuanya. Dengan berpoligami perhatian seorang ayah kepada anak-anaknya
akan terbelah. Setelah menikah lagi, seorang suami biasanya mengabaikan istri
lama dan anak-anaknya. Perhatian dan kasih Ismailng akan lebih tercurah pada
istrinya yang baru. Suami yang berpoligami akhirnya akan terjebak dalam
perilaku dzalim dan tidak adil. Oleh karena itu, perkawinan monogami adalah
pilihan yang menjanjikan tercapainya tujuan perkawinan yang hakiki.14
Pasal 2 KHI yang memuat ungkapan kalimat miitsaaqan gholiidzan
mempertegas kalimat "ikatan lahir batin" yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pemahaman ini mengisyaratkan
bahwa perkawinan bukan merupakan perjanjian yang semata-mata bersifat
keperdataan saja – sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 KUH Perdata, dan juga
seperti perikatan-perikatan yang lain dalam keperdataan tetapi perkawinan
merupakan ikatan atau perjanjian yang bersifat lahir dan batin.15
14 Musdah Mulia, Pandangan Islam tenang Poligami,( Jakarta: Lembaga Kajian Agama
dan Jender, 1999), h.26 15 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2006), h. 40
59
Dalam kaitan dengan aspek batin inilah, maka seseorang yang bermaksud
melaksanakan poligami harus mempertimbangkan dengan matang dan bertanya
pada nuraninya, apakah dirinya mampu berlaku adil di antara istri-istrinya dan
anak-anaknya, apakah ia mampu mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan material mereka. Pertimbangan tidak hanya
bersandar pada kekayaan material dan kekuasaan yang menunjukkan keperkasaan
(superioritas) dan dominasi lelaki terhadap perempuan, begitu pun pertimbangan
alasan memilih poligami sebagai penyaluran hasrat seksual secara halal daripada
memilih penyaluran syahwat melalui perbuatan zina, merupakan solusi yang tidak
tepat, malah merupakan alasan yang menunjukkan sikap arogansi kaum lelaki
dalam melampiaskan keserakahan libidonya, sekaligus merendahkan martabat
kaum perempuan, dengan menempatkannya sebagai objek, dan bukannya sebagai
subjek yang setara dengan kaum lelaki dalam perkawinan.
Dalam sebuah seminar memperingati Hari Kartini 2002 di Yogyakarta,
K.H.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa "orang yang
membolehkan poligami adalah orang yang tidak tahu ajaran agama". Selanjutnya
dikatakan oleh Gus Dur, "konsep keadilan dalam poligami selama ini ditentukan
laki-laki (sebagai subjek), padahal seharusnya yang menentukan adalah
perempuannya (sebagai objek).16
Hegemoni kaum lelaki nampak sekali dalam perkawinan di kalangan
masyarakat berpola budaya patriarkhi dan feodal. Patriarkhi sebagai hambatan
16 Kompas, 22 Juli 2002
60
terbesar untuk mendapatkan keadilan gender. Perempuan dalam masyarakat ini
menempati posisi subordinasi kaum lelaki.17
Achmad Muthali'in dalam bukunya melukiskan kondisi subordinasi
perempuan seperti gelas kaca dan kayu bakar. Pengibaratan dengan gelas kaca,
karena perempuanlah yang sering mengalami peristiwa retak dan pecah.
Sementara pengibaratan perempuan dengan kayu bakar, karena lelaki sebagai api.
Lelakilah yang berpeluang membakar dan menghanguskan kayu bakar. Oleh
karena itu, perempuanlah yang berpotensi terbakar menjadi debu yang tidak
berarti apa-apa.18
Analogi atau pengibaratan ini menggambarkan kehidupan seksualitas.
Kaum lelaki adalah api nafsu yang bisa membuat gelas kaca pecah, sekaligus
menyebabkan kayu bakar hangus menjadi abu yang tidak berguna. Kasus yang
digambarkan dalam analogi di atas, senantiasa terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Adalah sebuah keniscayaan berlangsungnya pernikahan antara seorang
laki-laki dan perempuan dalam hubungan suami istri salah satu tujuanya adalah
tercipta ketentraman antara kedua belah pihak. Lebih lanjut pernikahan
disyariatkan dalam Islam diharapkan mampu mencegah dorongan biologis yang
haram dan menahan kecenderungan laki-laki yang relatif mengumbar nafsu
seksualnya, lantas apakah poligami masih menjalankan koridor tujuan pernikahan
dalam Islam?
17 Ashghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, ( Yogyakarta: LKiS, 2003 ), h.4 18Achmad Muthali'in, Bias Gender dalam Pendidikan, (Surakarta:Muhammadiyah
University Press, 2001), h.35
61
Data survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidatullah Jakarta, Maret
2006, tentang poligami.
Umum Laki-Laki PerempuanSangat Setuju 1,2 % 1,6 % 0,7 % Setuju 32,5 % 45,9 % 18,8 % Abstain 6,3 % 8,4 % 4,1 % Tidak Setuju 53 % 40 % 65,9 % Sangat Tidak Setuju 4,4 % 00,7 % 8,2 %
C. Jumlah Maksimal Isteri yang Boleh di Poligami
Fokus pembicaraan dalam literatur mazhab fiqh pada umumnya sama
sekali tidak mempersoalkan kebolehan poligami. Hal yang diperdebatkan adalah
lebih kepada persoalan jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami, sebagai
akibat perbedaan dalam memahami ayat Al-Quran yang memuat persoalan
poligami (Q.S. An-Nisa: 3).19
Berbagai ulasan fiqh lebih cenderung memuat syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh suami yang ingin berpoligami seperti kemampuan materi dan
kewajiban berlaku adil kepada istri/istri-istri mereka. Sikap yang relatif sama juga
ditunjukkan oleh para mufassir (kalangan klasik khususnya) ketika memahami
pernyataan nash tersebut. Berbagai uraian dalam masalah ini tampaknya terkait
erat dengan pemahaman dan interpretasi mereka atas sejumlah pernyataan Al-
Quran dan As-Sunnah.
Di dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 3, Allah SWT berfirman yang
artinya:
19 Ibnu Rusyd, Bidayah Al Mujtahid, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), h.368
62
☺
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Para mufasir sepakat bahwa sebab turun ayat diatas berkaitan dengan
perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam
perlindungan mereka. Mayoritas kaum muslimin pada masa hidup nabi
berpendapat jumlah maksimal empat istri. Pendapat ini telah ditegaskan Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi SAW serta ijma’ para ahli yang berkompeten. Hal ini
disebutkan oleh ayat dengan kata matsna, tsulats, dan ruba’ yang pengertian
linguistiknya dua, tiga, atau empat istri.20
Adapun menurut ijma’ yang berkompeten dalam bidang hukum Islam,
tidak pernah didengar ada sahabat atau tabi’in yang berpoligami lebih dari empat
istri. Kemudian ini menjadi putusan ijma’ mayoritas kaum muslimin dari generasi
ke generasi berikutnya.
Jadi, Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ ulama sampai pada satu kata bahwa
jumlah maksimal berpoligami ialah empat istri dan berpoligami dengan lebih dari
empat istri adalah dispensasi yang khusus diberikan kepada nabi sebagaimana
20 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Mesir : darul Ulum, tanpa tahun), h.403
63
diharamkannya menikahi janda-janda Nabi setelah beliau wafat. Allah SWT
berfirman:
⌧
☺ “Tidak ada bagimu hak untuk menyakiti Rasul Allah atau menikahi istri-
istrinya setelah itu untuk selamanya. Sesungguhnya itu suatu dosa besar di sisi Allah”. (QS. Al-Ahzab : 53)
Namun demikian ada kelompok kecil yang menyimpang dari konsensus
jama’ah dan bersandar pada dugaan yang tidak berdasar, mengatakan bahwa
bilangan (dua, tiga dan empat) dalam al-Qur’an menunjukkan dibolehkannya
berpoligami dengan sembilan istri, sebab partikel “waw” dalam ayat tersebut
bermakna penjumlahan. Pendapat ini datang dari kaum Rifadhah dan sebagian
penganut faham literalis, yaitu orang-orang yang sangat jauh menyimpang
pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama.
Sedangkan sebagian ulama lain (minoritas), juga dengan dasar
argumentasi ayat yang sama (QS. An-Nisa ayat 3), pendapat lain menyatakan
delapan belas istri. Hal ini pernah dibahas oleh al-Qurtubi dalam tafsirnya.21
21 M. Baltaji, Poligami, (Solo : Lawean, 2007), h.39-40
BAB IV
ANALISIS KEADILAN DALAM PERKAWINAN
POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO 1 TAHUN
1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS
A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam
Istilah hukum Islam sering diidentikkan dengan Syariah dan Fiqh. Ketiga
istilah ini dilihat dari asal usulnya sama-sama berdasarkan Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Namun bila dilihat dari metodologinya mempunyai perbedaan yang
signifikan. Syariah adalah “al-Nushus al-Muqaddasah” (nash-nash hukum atau
norma-norma hukum yang tertulis) dalam wahyu Allah dan As–Sunnah al-
Mutawatirah yang sama sekali belum atau tidak tercampuri oleh daya nalar
manusia sehingga ia tetap dan tidak bisa berubah dan tidak boleh dirubah karena
ia sebagai wahyu Allah.
Adapun fiqh adalah pemahaman atau hasil pengembangan interpretasi nalar
manusia (ijtihad mujtahid) dari Syariah (Al-Qur’an dan Al-Hadits) sehingga ia
bisa berubah dan berkembang sesuai dengan kapasitas daya nalar mujtahid dan
perkembangan zaman. Sedangkan hukum Islam meliputi norma-norma hukum
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits (wahyu Allah) yang belum
melibatkan daya nalar manusia dan norma-norma hukum yang dihasilkan oleh
daya nalar manusia (Fiqh Ijtihadi) sebagai hasil pengembangan pemahaman Al-
64
65
Qur’an dan Al-Hadits yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan daya nalar
manusia.1
Berangkat dari pemikiran diatas, menjadi jelas perbedaan antara syariah
dengan fiqh. Syariah adalah wahyu itu sendiri yang belum tercampuri oleh daya
nalar manusia. Oleh sebab itu ia bersifat tsubut (tetap) dan tidak berubah.
Sementara fiqh adalah hasil dari proses penalaran (pemahaman) mujtahid terhadap
wahyu. Karena itu, ia bersifat tathawur (berkembang), bervariasi sesuai dengan
tingkat kemampuan daya nalar mujtahid.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum Islam lebih luas dari
syariah dan fiqh. Hukum Islam sebagai wahyu Allah (belum tercampuri daya
nalar manusia) adalah syariah. Hukum Islam sebagai pemahaman terhadap wahyu
adalah fiqh. Dalam keterpaduan dua sifat ini (dimensi) inilah hukum Islam bisa
bertahan sepanjang masa dan berkembang, tidak kaku dalam berbagai situasi dan
kondisi sosial.
1. Latar Belakang Sosiologis Sebab Turun Ayat Poligami
Para ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan poligami dalam perkawinan
didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3,
sebagaimana tercantum di bawah ini:
☺
1 H. A. Jazuli, Ilmu Fikih, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 4 -5
66
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ayat 3 Q.S. An-Nisa’ ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu
ayat 2 Q.S. An-Nisa’. Adapun kandungan Ayat 2 surat An-Nisa yaitu
mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka
berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik
dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah, sedangkan pada ayat 3 Allah SWT
mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak
yatim tersebut, agar si wali itu beri’tikad baik dan adil dan fair, yakni si wali wajib
memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang
dikawininya, ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan
menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin
dengan orang lain.
Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA waktu ditanya oleh Urwah bin
Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 surat An-Nisa’ tersebut. Jika wali anak
wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak
yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di
bawah perwaliannya itu, tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi,
seorang istri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap
istri-istrinya2. Jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka ia
hanya beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat dzalim terhadap istri
2 Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, (Mesir : Darul Manar, tth), h.344-345
67
yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat dzalim terhadap
istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus
mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.
Rasyid Ridha lebih lanjut mengemukakan bahwa maksud ayat 3 surat An-
Nisa’ ialah untuk memberantas atau melarang tradisi zaman jahiliyyah yang tidak
manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak wanita yatimnya tanpa
memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta
anak yatim dengan cara tidak sah serta ia menghalangi anak yatimnya kawin
dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut.
Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang mengawini istri banyak dengan
perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan
ayat tersebut.3
Sehingga yang melakukan berbagai kajian tentang poligami yang sudah ada
dari zaman dahulu sama tuanya sesuai adanya manusia secara sosiologis sudah
ada meskibun banyak ragam dan tujuan pelaksanaannya yang mana dalam Islam
juga dikenal dengan istilah poligami namun dengan orientasi yang jelas sebagai
aspek yuridis guna memuliakan derajat wanita.
2. Poligami dalam Syari’at Islam
Ayat 3 QS: An-Nisa sebagaimana tercantum di atas, secara ekplisit
menegaskan seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas
maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya
itu. Ayat ini melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang
3 Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, (Mesir : Darul Manar, tth), h.347-348
68
istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua
pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera menceraikan istri-istrinya
sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita.4
M. Quraish Shihab lebih lanjut menegaskan bahwa ayat ini, tidak membuat
satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan
oleh syari’at agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan
poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami,
dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan
dan dengan syarat yang tidak ringan. Bukankah kemungkinan mandulnya seorang
istri atau terjangkit penyakit parah, merupakan satu kemungkinan yang tidak
aneh? Bagaimana jalan keluar bagi seorang suami, apabila menghadapi
kemungkinann tersebut? Bagaimana ia menyalurkan nafsu biologis atau
memperoleh dambaannya untuk memiliki anak? Poligami ketika itu adalah jalan
yang paling ideal. Tetapi sekali lagi harus di ingat bahwa ini bukan berarti
anjuran, apalagi kewajiban. Itu diserahkan kepada masing-masing menurut
pertimbangannya. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka yang
menginginkannya5.
Kebolehan poligami di dalam Al-Qur’an adalah untuk kemaslahatan di
dunia dan akhirat. Poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak wanita dan
memelihara kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat pesan-pesan strategis
yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Poligami memiliki nilai
sosial ekonomis untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Muh. Abduh
4 M. Quraisy Syihab, Waeasan al Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1999 ), h.199 5 M. Quraisy Syihab, Wawasan al Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1999 ), h.200
69
berpendapat bahwa poligami merupakan tindakan yang tidak boleh dan haram.
Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat
hamil.
Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untk berlaku
adil. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap
bersikeras untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih
sayangnya secara adil.6 Muhammad As’ad mengatakan bahwa kebolehan
poligami hingga maksimal empat istri dibatasi dengan syarat, “Jika kamu punya
alasan takut, tidak mampu memperlakukan adil terhadap istri, maka kawinilah
satu, karena untuk membuat perkawinan majemuk ini hanya sangat mungkin
dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam kondisi yang luar biasa.”7
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madarat
daripada manfaatnya. Karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak
cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan
kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa
menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami
dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri
beserta anak-anaknya masing-masing. Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan
dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir
sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam keluarga monogamis.
Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah
peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka
6 Khoirudin Nasution, Poligami Apa Monogami, (Jakarta : Gerafika, 1996), h.100 7 Asghar Ali, Pembebasan perempuan, (Jogjakarta : LKIS, 2003), h.117
70
mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga
dan dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian, poligami hanya
diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istrinya ternyata mandul
(tidak dapat membuahkan keturunan), istri terkena penyakit yang menyebabkan
tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri.8
Hukum perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin dan memelihara
hakikat perkawinan, yaitu untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau
yang mungkin akan terjadi. Perkawinan bukanlah merupakan hubungan jasmani
antara dua jenis hewan, bukan hubungan rohani antara dua malaikat. Perkawinan
adalah hubungan kemanusiaan antara lelaki dengan wanita untuk menyongsong
kehidupan dengan segala problemanya.9
3. ‘Illat Hukum Kebolehan Poligami
Illat secara bahasa berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkan
berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya.” Misalnya,
penyakit itu dikatakan illat, karena dengan adanya “penyakit” tersebut tubuh
manusia berubah dari sehat menjadi sakit.10 Menurut istilah ushul fiqh, yang
dinamakan illat hukum adalah suatu sifat yang menjadi motivasi atau yang
melatarbelakangi terbentuknya hukum.
Menentukan illat hukum kebolehan poligami disamping dengan melihat
latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (QS. An-Nisa : 3 ), juga dapat
dicermati dari peristiwa poligami Nabi SAW. Nabi SAW melakukan poligami
8 Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : H Masagung, 1989), h.12 9 Rifat Syauqi, Al taaddud, (Mesir : Darul Ulum, tth), h.104 10 Abu Hamid AL-Ghozali, Al-Musytasyfa min ‘Ilmi al-Ushul, (Mesir, Darul Ulum,1995),
h.76
71
setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah meninggalnya
Khadijah RA. Rasulullah menikah pada usia 25 tahun, 15 tahun setelah
pernikahan beliau dengan Khadijah RA, beliau diangkat menjadi Nabi. Istri beliau
ini wafat pada tahun ke 10 kenabian beliau. Ini berarti beliau bermonogami
selama 25 tahun. Tiga atau empat tahun sesudah meninggalnya Khadijah, baru
Nabi SAW melakukan awal poligami dengan Aisyah RA pada tahun kedua atau
ketiga hijriyah.11
Semua istri Nabi selain Aisyah adalah para janda yang berusia di atas 45
tahun. Janda-janda yang dikawin oleh nabi, disamping telah mencapai usia senja
yang sudah tidak ada daya tarik memikat, juga dalam keadaan sedang mengalami
kesusahan hidup karena ditinggal mati suaminya baik mati dimedan perang,
maupun ditinggal mati biasa dan ada pula dicerai oleh suaminya sebab murtad dan
ada yang dicerai karena tidak ada kebahagiaan atau ketidakcocokkan dengan
suaminya.12
Melihat latar belakang sebab turun ayat tentang poligami, yaitu kebiasaan
perilaku wali anak wanita yatim yang mengawini anak yatimnya dengan tidak adil
dan manusiawi, dan memperhatikan latar belakang Nabi melakukan poligami
sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka illat hukum kebolehan poligami
dalam perkawinan Islam, bukan didorong oleh motivasi seks dan kenikmatan
biologis, tetapi oleh motivasi sosial dan kemanusiaan.
Hal ini dilakukan oleh perkawinan poligami Nabi SAW dengan beberapa
janda pahlawan Islam yang telah lanjut usia seperti Saudah binti Zum’ah (suami
11 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Jogjakarta : PT Buku Kita, 2007), h.107
12 M. Quraisy Syihab, Waeasan al Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1999 ), h.199
72
meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafsah binti Umar (suami
gugur di perang Badar), Zaenab binti Khuzaemah (suami gugur di perang Uhud),
dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di perang Uhud). Istri-istri yang lain
seperti Ramlah putri Abu Sufyan RA diceraikan oleh suaminya yang murtad di
perantauan, Huriyah binti al Haris RA adalah putri kepala suku dan termasuk
salah seorang yang ditawan pasukan Islam, yang kemudian nabi menikahinya
sambil memerdekaannya, Shafiyah binti Huyai RA, putri pemimpin yahudi dari
bani Quraidhah yang ditawan setelah kekalahan mereka dalam pengepungan yang
dilakukan oleh nabi SAW, diberi pilihan kepada keluarganya atau tinggal bersama
Nabi SAW dalam keadaan bebas merdeka, Ia memilih untuk tinggal hidup
bersama Nabi SAW.13
Menarik yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab, bukankah kenyataan
menunjukkan bahwa jumlah lelaki lebih sedikit dari jumlah perempuan?
Bukankah rata-rata usia perempuan lebih panjang dari usia laki-laki, sedang
potensi masa subur lelaki lebih lama daripada potensi masa subur perempuan? Hal
ini bukan saja karena mereka mengalami haid, tetapi juga karena mereka
mengalami masa manopouse, sedang lelaki tidak mengalami keduanya. Bukankah
peperangan yang hingga kini tidak kunjung dapat dicegah lebih banyak merenggut
nyawa lelaki daripada perempuan? Maka poligami ketika itu adalah jalan keluar
yang paling tepat. Namun harus di ingat, bahwa poligami bukanlah anjuran
apalagi kewajiban.
13 Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, (Mesir : Darul Manar, tth), h.371-372
73
Seandainya poligami merupakan anjuran, pasti Allah SWT menciptakan
perempuan lebih banyak empat kali lipat dari jumlah laki-laki, karena tidak
adanya menganjurkan sesuatu kalau apa yang dianjurkan tidak tersedia. Allah
hanya memberikan wadah bagi orang yang menginginkannya ketika mengahadapi
kondisi atau kasus tertentu. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat
terbang, yang hanya boleh dibuka dalam kedaan emergency tertentu.
B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam
Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3 menegaskan syarat suami yang
berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. Berkenaan dengan syarat
berlaku adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan
ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang dimaksud berlaku
adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami.
Imam Syafi’i, as-Sarakhsi dan al-Kasani mensyaratkan keadilan diantara
para istri, menurut mereka keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik misalnya
mengunjungi istri di malam atau di siang hari.14 Seorang suami yang hendak
berpoligami menurut ulama fiqh paling tidak memiliki dua syarat : Pertama,
kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan
bertambahnya istri. Kedua, harus memperlakukan semua istrinya dengan adil.
Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-
hak lain.15
Persyaratan demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan
yang cukup luas bagi suami yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang
14 Khaerudin Nasution, Riba dan Poligami, (Jakarta : Tiara, 1996), h. 105 15 Abdurrahman, KHI, (Jakarta : Akedemika Pressindo, 1992), h. 192
74
sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah
dan orang-orang yang setuju dengannya, diturunkan kadarnya menjadi keadilan
fisik atau material saja. Bahkan lebih dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba
menggali hikmah-hikmah yang tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap
praktek poligami.
Berbagai pendapat diatas, para ulama fiqh cenderung memahami keadilan
secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Muhamad Abduh
berpandangan lain, keadilan yang disyaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang
bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa
diukur dengan angka-angka. Ayat al-Qur’an mengatakan : “Jika kamu sekalian
khawatir tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu isrti saja” (QS. An-Nisa : 3).
Muhammad Abduh menjelaskan, apabila seorang laki-laki tidak mampu
memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan terjadilah
kekacauan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam
mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi
antar anggota keluarga.16
Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan
kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman al-
Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih
sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang
berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam
membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu
16 Ali Ahmad Jarjawi, Pembebasan Perempuan, (Jakarta : Darul Fallah, 2007), h.10-11
75
yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi
yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol
manusia.17
M. Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat 3
surat An-Nisa bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam bidang
material. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat An-Nisa ayat 129:
⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧
⌧ ⌧ ☺
"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu senderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”.
Keadilan yang dimaksudkan dalam ayat diatas adalah adil dalam bidang
immaterial (cinta). Keadilan ini yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan
manusia. Oleh sebab itu suami yang berpoligami dituntut tidak memperturutkan
hawa nafsu dan berkelebihan cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian,
tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup rapat pintu
poligami.18
Berdasarkan berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam
perkawinan poligami, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat
poligami dalam perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal
ini menjadikan lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu lembaga
yang bisa dijalankan. Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan pada hal-hal
17 Abdurrahman, KHI, (Jakarta : Akedemika Pressindo, 1992), h.239 18 M. Quraisy Syihab, Wawasan Al- Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1999 ), h.201
76
yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu sendiri menjadi
suatu yang tidak mungkin dilaksanakan.
C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia yang merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan
kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam
membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Begitu pentingnya perkawinan,
sehingga tidak mengherankan jika agama-agama, tradisi atau adat masyarakat dan
juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di
kalangan masyarakatnya. Di Indonesia masalah perkawinan telah mendapat
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dari pengertian di atas dapat dimengerti bahwa pada prinsipnya suatu
perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa19.
Dua istilah model perkawinan yaitu monogami dan poligami, diakui dan
dibolehkan oleh hukum/perundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam,
Beranjak dari model perkawinan di atas maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun
19 Undang-Undang Pokok Perkawinan No 1 tahun 1974, (Jakarta ; Sinar Grafika, 2000), h.3
77
1974 Tentang Perkawinan sebenarnya menganut asas monogami. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi : Pada azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun ketentuan tentang adanya asas
monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan dimana
pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari
satu apabila disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat
melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan ijin
pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang
dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan
ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk
melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari
pengadilan agama (Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama
selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung
dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk memutuskan.
Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil
terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa
memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Disamping itu si suami
harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari
pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
78
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pengadilan
agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada
alasan yang tercantum sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam Pasal 4 ayat
(2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu: Istri tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syarat-
syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang alasan yang
dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: adanya persetujuan dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak anak
mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.20
20 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h.83.
79
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya
poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun
telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan
persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadilan agama. Persetujuan dari istri
yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya
tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam
perjanjian dan apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2
tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim
Pengadilan Agama.
Persetujuan secara lisan ini nantinya istri akan dipanggil oleh Pengadilan
dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan
diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan
menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam
pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.21
Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-
istrinya dan anak-anak ada beberapa faktor yang menjadi barometer yaitu
1. Surat keterangan gaji suami yang ditandatangani bendahara tempat bekerja
2. Surat keterangan pajak penghasilan
3. Surat keterangan lain yang diterima oleh pengadilan. 22
Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan
pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
21 A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama (Jakarta,
Pustaka Pelajar, 2003) h.34 22 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,
2006), h.127
80
Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30
hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila
pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih
dari satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri
lebih dari seorang.
D. Analisis Penulis
Fenomena praktek poligami di Indonesia mengundang beragam respon dari
berbagai kalangan, ada yang pro poligami dan tidak sedikit kalangan yang
menolak praktek poligmi. Masing-masing memiliki alasan kuat dalam
mempertahankan pendapatnya.
Setelah menguraikan berbagai pendapat dari kelompok yang pro dan anti
poligami, penulis berpendapat bahwa poligami pada dasarnya merupakan solusi
yang ditawarkan Islam terhadap gejala masayarakat jahiliayah pada waktu itu
yang merendahkan harkat wanita. Hal ini dapat dilihat dari asbab an-nuzul Al-
Quran surat An-Nisa ayat 3 yang dilatarbelakangi untuk menjawab prilaku
masyarakat arab yang menganggap wanita hanya untuk dieksploitasi dan dianggap
harta yang dapat diwariskan. Islam sebagai agama samawi yang menjunjung
tinggi nilai-nilai humanisme memberikan perhatian lebih terkait permasalahan
gender, termasuk poligami di dalamnya.
Poligami baik merujuk pada ajaran Islam atau Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan diperbolehkan dengan syarat adil. Konsep adil
memang sangat mudah dalam perumusannya, hanya saja dalam prakteknya suami
beristri lebih dari satu menemukan kendala yang cukup sulit diselesaikan.
81
Persyaratan adil bagi suami yang berpoligami pada prinsipnya sejalan
dengan semangat salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan, ketentraman
pasangan suami-istri. Dengan kata lain, suami sah-sah saja melakukan poligami
dengan catatan mampu mempraktekkan prilaku adil terhadap para istrinya, baik
secara materi atau immateri. Sehingga berpoligami pada akhirnya bukan menjadi
problematika sosial, justru merupakan solusi persoalan di tengah-tengah
masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme dan keadilan.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Istri mempunyai hak untuk
menolak keinginan suami untuk berpoligami, aturan hukum ini menjadi barometer
potensi sikap adil yang dimiliki suami yang hendak berpoligami. Oleh karenanya
ada sebagian istri yang rela dimadu bahkan mencarikan pasangan untuk suaminya
dalam beberapa kasus poligami. Namun tidak sedikit istri yang tidak rela
suaminya berpoligami karena dihawatirkan justru dengan suami berpoligami
ketenteraman yang menjadi salah satu hikmah perkawinan jauh dari kenyataan.
Jadi sikap adil suami yang beristri lebih dari satu mungkin saja terwujud hanya
saja sangat minim yang mampu melakukannya. Menurut paradigma penulis, hal
inilah yang melatarbelakangi adanya aturan tentang adanya izin istri bagi suami
yang hendak berpoligami.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat
menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Hukum Perkawinan poligami dalam perspektif agama Islam diperbolehkan
dengan catatan suami mampu bertindak adil terhadap istri-istrinya, hal ini
merujuk pada Al-Quran Surat An-Nisa ayat 3. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 memberi ruang bagi suami yang hendak beristri lebih dari satu
sebagaimana diatur dalam pasal 4 (empat) dan 5 (lima).
2. Praktek poligmi menuai respon beragam dari masyarakat luas, ada yang pro
poligami namun ada pula masyarakat yang menolaknya. Bagi kelompok pro
poligami, mereka memiliki alasan bahwa polgami merupakan ibadah dan
menjalankan aturan agama yang diwahyuhkan Allah, mengharamkan sesuatu
yang dihalalkan Allah tidak dibenarkan dalam Islam. Kelompok masyarakat
anti poligami berargumen kesetaraan gender dan minimnya potensi sikap adil
suami terhadap para istri-istrinya.
3. Makna keadilan sebagai syarat poligami bukan pada keadilan makna batin
(seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat
material dan terukur. Sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 surat An-Nisa
dan latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (An-Nisa ayat 3).
Barometer keadilan yang harus dimiliki suami ketika hendak berpoligami
82
83
menunurt Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 5 (lima) adalah suami
yang berpoligami harus ada persetujuan istri pertama dan adanya kepastiaan
mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya (materail)
serta suami menjamin akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya
(immaterial).
B. Kritik dan Saran
Fenomena perkawinan poligami yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
dengan dalih dan mengatasnamakan agama serta mengesampingkan aspek
semangat disyariatkannya poligami perlu mendapatkan perhatian serius dari
berbagai pihak. Hal ini sering terjadi karena dilatarbelakangi oleh keterbatasan
wawasan yang cukup seputar poligami. Oleh karenanya menjadi urgen sosialisasi
terkait aturan hukum positif yang menjadi acuan hakim untuk mengizinkan
poligami terhadap seseorang, sehingga pada akhirnya poligami bukan menjadi
media penyaluran kebutuhan biologis lelaki semata, akan tetapi harus
mengedepankan sisi positif dari poligami itu sendiri, seperti keadilan dan motivasi
kemanusiaan dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kholid ibn, Keutamaan-Keutamaan Poligami, Sajadah Press, Yogyakarta, 2006
Abraham & Ilo Wilar, Poligini Nabi, Pustaka Rihlah, Yogyakarta, 2006
Al-Hufy, Ahmad, Mengapa Rasulullah Berpoligami, Pustaka Azzam, Jakarta, 2001
Ali, Asghar, Pembebasan Perempuan, LKIS, Yogyakarta
Al-Jahrani, Musfir, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, Gema Insani Pers, Jakarta, 1996
Al-Jaziri, Abd. Al-Rahman, Kitab al Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, al-
Maktabah al-Tijariyyah, Mesir, 1969 Al-Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Amani, Jakarta, 2003
Al-Qardlawi, Yusuf , Fiqh Maqashid Syari’ah, Pustaka Kautsar, Jakarta 2006
Aminudin, Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1999
Anshori, Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, Pustaka Iman, Depok, 2007
As-Sa’dani, As-Sayid bin Abdul Aziz, Isteriku Menikahkanku, Daarul Falah, jakarta, 2007
As Sanan, Ariij Binti Abdur Rahman, Adil Terhadap Para Isteri (Etika
Berpoligami), Darus Sunah, Jakarta, 2005 Baltaji, Muhammad, Poligami, Media Insani Publishing, Solo, 2007
Basyir, Abu Umar, Poligami; Anugrah yang Terzhalimi, Rumah Dzikir, Solo, 2007
Djazuli, Ahmad, Ilmu Fiqh; Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum,
Kencana, Jakarta, 2005 Do’I, Abd. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah),
Rajawali Press, Jakarta 2002 Farhat, Karam Hilmi, Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi,
Tim Pustaka Daarul Haq, Jakarta, 2007
Fathurrohman, Imam, Saya Tak Ingin Poligami Tapi Harus Poligami; Menelisik Alasan Kenapa Aa Gym Beristeri Dua, Hikmah Populer, Bandung, 2007
Fikri, Abu, Poligami yang Tak Melukai Hati, Mizania, Bandung, 2007
Fuad, Isnaeni, Berpoligami dengan Aman, Lintas Media, Jombang, [t.t]
Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2006
Gusmian, Islah, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2007
Hudhari, Muhammad Syarif, Hak-Hak Wanita dalam Islam, Mujahid Press,
Bandung, 2007 Husein, Imanuddin, Satu Istri Tidak Cukup, Khazanah, Jakarta, 2003
Irawan, Candra Sabtia, Perkawinan dalam Islam; Monogami atau Poligami, An-Naba Islam Media, Jogjakarta, 2007
Jaiz, Hartono Ahmad, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan,
Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2007 Karim, Khalil Abdul, Syari’ah, LKIS, Yogyakarta, 2003
Karim, Muslih Abdul, Keistimewaan Nafkah Suami dan Kewajiban Isteri, Wawasan Islami, Jakarta, 2007
Khaluk, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh; Kaidah Hukum Islam, Pustaka Amani,
Jakarta, 2003 Mubarok, Syaiful Islam, Poligami antara Pro dan Kontra, Syamil, Bandung,
2007 Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang,
Jakarta. Mudjib, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta, 2001
Mursalim, Supardi, Menolak Poligami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007
Muttahari, Murthadha, Duduk Perkara Poligami, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2007
Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad Abduh, Pustaka Pelajar, 1996
Nurudin, Amiur dan Tarigan, Ahmad Azhari, Hukum Perdata di Indonesia, Permada Media, 2004
Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Dar al-Manar, Mesir
Setiati, Eni, Hitam Putih Poligami, Cisera Publishing, Jakarta 2007
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Mizan, 1999
_______________ , Perempuan, Lentera Hati, Jakarta, 2001
Soerjono, Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Tim Penyusun al-Manar, Fiqh Nikah; Panduan Syar’i Menuju Rumah Tangga
Islami, PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2006 Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung 2005
Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual; Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2003
Yanggo, Chuzaemah dan Azhari, Hafiz, 1994, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta; PT. Pustakan Firadus. Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyyah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989