KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R...

116
KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : Supandri NIM 1111048000014 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436H/2015M

Transcript of KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R...

Page 1: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

(Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Supandri

NIM 1111048000014

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436H/2015M

Page 2: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai
Page 3: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai
Page 4: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai
Page 5: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

iv

ABSTRAK

SUPANDRI, NIM 1111048000014, KEDUDUKAN LEMBAGA

NEGARA BANTU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK

INDONESIA (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik

Indonesia). Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436

H / 2105 M. + 77 halaman + lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan

lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia. Hal ini terkait

dengan sengketa kewenangan lembaga negara bantu khususnya KPK dengan Kepolisian

Republik Indonesia. Kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD

Negara RI 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar

hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada

pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengedapankan pendekatan

perundang-undangan, yaitu menggali data dan mencari sumber informasi melalui undang-

undang. Selain itu, data dari penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah

terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan

dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa lembaga negara bantu yaitu

KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki kedudukan konstitusional.

Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI

Tahun 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah

Konstitusi. Namun, bilamana yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terjadi kekosongan

hukum.

Kata Kunci : Kedudukan, Sengketa Lembaga Negara

Pembimbing : Feni Arifiani, S.Ag, M.H dan Zezen Zainal Muttaqin, SH.I,

LLM

Daftar Pustaka : Tahun 1961 s. Tahun 2015

Page 6: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr, Wb

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta

alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita

semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan

kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju

zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak ujian yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini,

namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (ANALISIS SENGKETA

LEMBAGA KPK DENGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA)” ini

dengan baik. Selesaianya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis

dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Asep Syaifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,

M.Hum, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

vi

3. Feni Arifiani, S.Ag, M.H dan Zezen Zaenal Mutaqin, SH.I, LLM selaku

dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam

penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian.

4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi

kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah

memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu

pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan

bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau

serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau

semua.

6. Orang tua, khususnya Ibunda tersayang Ipah dan ayahanda Narin serta

sanak saudara, terima kasih atas dukungan semangat yang tidak pernah

padam serta do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril,

materiil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan tulus, sehingga penulis

dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri.

7. Kekasih tercinta Ike Apriliyani yang memberi semangat dan dukungan

penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi.

8. Teman-teman yang memberi semangat dan dukungan Amy Nurul Azmi,

Puguh Try, Rudi Hartono yang memberi dukungan dan semangat penulis.

Page 8: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

vii

9. Teman-teman ilmu hukum angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, baik konsentrasi hukum bisnis maupun konsentrasi hukum

kelembagaan negara.

Semoga skripsi ini ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya

bagi penulis dan umunya bagi pembaca. Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 22 Juni 2015

Supandri

Page 9: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ....................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iii

ABSTRAK .................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................. v

DAFTAR ISI ................................................................................................ viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ................................. 6

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan ......................................... 7

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 8

E. Metode Penelitian .............................................................................. 11

F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13

BAB II LANDASAN TEORI

A. Negara Hukum .................................................................................. 14

B. Konsep Pemisahan Kekuasaan .......................................................... 18

C. Konsep Lembaga Negara ................................................................... 21

1. Lembaga Negara Bantu ................................................................ 24

2. Sengketa Lembaga Negara ........................................................... 29

BAB III TINJAUAN UMUM KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

A. Latar Belakang Pembentukan KPK ................................................... 32

Page 10: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

ix

B. Tugas dan Wewenang KPK ............................................................... 34

C. Tugas dan Wewenang Polri ............................................................... 42

D. Hubungan KPK dengan Lembaga Negara Lainnya ........................... 44

BAB IV SENGKETA LEMBAGA NEGARA

A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga

Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia .................... 48

B. Sengketa Kewenangan Lembaga KPK dengan Lembaga Kepolisian

Republik Indonesia............................................................................. 58

C. Penyelesaian Sengketa Lembaga KPK dengan POLRI .................... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 76

B. Saran .................................................................................................. 77

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 78

Page 11: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah

beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi

supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa reformasi, Indonesia tidak lagi

menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara sehingga semua

lembaga Negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and

balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi,

dimana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan

membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggaraan negara.1

Sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945 dengan jelas

membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif,

eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR,

DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

lembaga-lembaga negara yang utama (main state organ, principal state

organ). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara

instrumental mencerminkan perlembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara

yang utama, sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut

sebagai lembaga negara utama (main state organs, atau main state

1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi

Press, 2006), h. 2-3

Page 12: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

2

institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip

checks and balances.2

Disamping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau

yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud diatas,

dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang

bersifat konstitusional lainnya selain Komisi Yudisial, Kepolisian Negara,

Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum,

Dewan Pertimbangan Presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan

lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya

mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD

1945 tersebut, termasuk KY, harus dipahami dalam pengertian lembaga

tinggi negara sebagai lembaga utama (main organs).

Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan

sebagai salah satu dari fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara

universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara

sebagaimana disebutkan diatas, dalam ketatanegaraan disebut dengan

auxiliary state organs (lembaga negara bantu).3 Walaupun tugasnya

melayani atau membantu, akan tetapi menurut Sri Soemantri M, secara

nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan

penting dalam mewujudkan tujuan nasional.4

2 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 178

3 Ibid, h. 179

4 Sri Soemantri M. “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem

Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, (Surabaya: Airlangga University Press,) h. 204

Page 13: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

3

Salah satu lembaga negara bantu yaitu Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu agenda penting

dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.5 Cita-cita gerakan

reformasi akan adanya suatu pemerintah yang bersih (clean government)

dari korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang efisien, terbuka, dan

bertanggung jawab kepada rakyat (good governance), didorong oleh

semakin menguatnya tuntutan demokrasi dan penghormatan hak asasi

manusia, serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan

publik. Akibat korupsi, rakyat harus membayar mahal untuk pelayanan

publik yang buruk.

Di dalam suatu rezim yang memiliki mesin otoritas yang kuat,

sudah harus disadari bahwa pendekatan pemberantasan korupsi secara

konvensional yang berbasis pada penegakan hukum dan perbaikan

pengawasan melalui institusi kenegaraan, seperti yang sekarang tengah

ditempuh, terbukti sudah tidak efektif lagi. Di sinilah rakyat, yang

merupakan korban sesungguhnya dari perbuatan penyalahgunaan

kekuasaan harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan pengawasan

massal, yang melibatkan peran serta masyarakat di semua lapisan sosial

dan profesi.6

Melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan

memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai

5 Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti

Korupsi (GeRAK) Indonesia, 2004), h. 33

6 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 78

Page 14: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

4

respon atas tidak efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas

korupsi yang semakin merajarela. Adanya KPK diharapkan dapat

mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good

governance).7

Kekuasaan KPK yang dianggap sangat besar dalam praktiknya

tidak jarang menimbulkan masalah atau bahkan konflik dengan lembaga

negara lain, terutama lembaga kepolisian sebagaimana dapat dilihat dari

beberapa konflik antar dua lembaga ini. Konflik ini muncul karena

masing-masing lembaga memiliki kewenangan untuk menangani kasus

korupsi tertentu.

Konflik yang pernah terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi

dengan Polisi Republik Indonesia terkait kewenangan penyelidikan dan

penyidikan kasus korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM) yang

melibatkan kedua lembaga tersebut. berawal dari adanya perbedaan

penafsiran terkait wewenang yang dimiliki oleh kedua lembaga antara

KPK dan POLRI, perbedaan penafsiran tersebut menjadi latar belakang

timbulnya overlapping (tumpang tindih) kewenangan penyidikan terhadap

kasus tersebut. Secara garis besar, Polri berwenang terhadap semua tindak

pidana yang berlaku dalam KUHP maupun diluar KUHP (termasuk tindak

pidana korupsi) namun, perlu disadari adanya asas lex specialis derogate

lex generalis membuat kedudukan KPK semakin kuat dalam penyelidikan,

penyidikan bahkan penuntutan.

7 Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga

Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN), 2005), h. 88

Page 15: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

5

Konflik antara institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi

Pemberantasa Korupsi (KPK) telah beberapa kali terjadi, dan setiap

kasusnya itu terjadi memberi dampak yang cukup luas dalam perpolitikan

dan hukum di Indonesia. Masing-masing pihak dan pendukungnya

memegang dasar argumentasi yang mengacu pada kewenangan institusi

yang dijamin oleh hukum. Baik Polri maupun KPK merupakan institusi

yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana korupsi. KPK yang khusus bertugas di area tindak pidana korupsi

ditambah dengan wewenang penuntutan. Selain Polri dan KPK, ada pula

Kejaksaan yang memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan tindak

pidana korupsi. Selintas, ada potensi konflik kewenangan antara ketiga

institusi tersebut. Belakangan ini terjadi buntut dari penetapan status

“tersangka” bagi calon tunggal Kapolri oleh KPK, bukan hanya beraroma

benturan kewenangan antara Polri dan KPK, tetapi juga penggunaan

kewenangan untuk kepentingan masing-masing institusi. KPK dituding

menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan Polri, dan Polri

dituding menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan KPK.

Kedua pihak ini membawa dasar hukumnya masing-masing.8

Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem

ketatanegaraan yang dianut Indonesia masih menjadi topik yang menarik

untuk diperbincangkan, Karena lembaga negara bantu ini adalah sebagai

salah satu institusi penegak hukum akan menjadi tema sentral dalam

8 www.Hukumpedia.com diakses pada 5 mei 2015.

Page 16: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

6

pembahasan ini. Sebab, secara filosofis maupun praktis kedudukan dan

legitimasi penegakan hukum merupakan pintu masuk baik bagi penegakan

hukum maupun tata kelola kenegaraan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga

dapat mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat

pembatasan masalah yakni kedudukan lembaga negara bantu dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945. Serta sengketa

kelembagaan KPK dengan lembaga negara Kepolisian Republik

Indonesia, dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan permasalahan

kedudukan lembaga negara bantu khususnya KPK dalam sistem

ketatanegaraan republik Indonesia dan sengketa kelembagaan antara

KPK dengan Kepolisian RI.

Bagaimana penyelesaian sengketa yang telah dilakukan

terkait sengketa kelembagaan KPK dengan kepolisian RI?

Page 17: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

7

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan

masalah, secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui kedudukan lembaga KPK sebagai negara bantu

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

b. Untuk mengetahui upaya penyelesaian konflik kelembagaan antara

KPK dan lembaga Kepolisian.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan khasanah

ilmu pengetahuan hukum tata negara dalam bidang lembaga-

lembaga negara bantu (auxiliary state organs) dalam hal ini studi

analisis kedudukan KPK, utamanya yang mengenai sengketa

kelembagaan antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia

dan segala aspek yang menyangkut kedudukan serta kewenangan

lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Selain dari pada itu adanya tulisan ini dapat menambah

perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan

kontribusi juga bagi perkembangan hukum tata negara Indonesia.

Page 18: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

8

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi

kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan mengenai

sengketa kelembagaan KPK sebagai lembaga negara bantu dengan

Polri, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi

pembaca terutama bagi pembentuk hukum khususnya Undang-

undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan penelitian ini

diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mereduksi

perdebatan dan argumen yang cenderung negatif terkait

kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu serta hubungan

kerja komisi tersebut dengan organ-organ kekuasaan lain di negara

indonesia.

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Adapun skripsi dan buku yang terkait dengan judul diatas sebagai

berikut:

1. Buku berjudul Memberantas Korupsi Bersama KPK yang ditulis oleh

Dr. Ermansjah Djaja. Didalam buku ini Ermansjah Djaja menjelaskan

tentang pemberantasan korupsi versi KPK, karena masih banyaknya

masyarakat atau kelompok masyarakat yang belum mengetahui dan

memahami tentang tugas dan kewajiban serta independensi KPK.

2. Buku berjudul Seri Hukum Kepolisian dan Good Governance yang

ditulis oleh Dr. Sadjijono S.H. M.Hum. Buku ini mengkaji secara

Page 19: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

9

mendalam tentang landasan filosofis, teoritis dan yurudis

penyelenggaraan kepolisian dan mengaji konsep-konsep dasar untuk

mewujudkan kepolisian yang baik serta konsep penyelenggaraan

kepolisan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik.

3. Buku berjudul Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun

1945 yang ditulis oleh Dr. Patrialis Akbar, S.H. M.H. didalam buku

ini dibahas mengenai sejarah kelembagaan sebelum dan sesudah

amandemen UUD 1945 juga membahas tentang hubungan antar

cabang kekuasaan negara menurut UUD 1945.

4. Skripsi Sri Hayati Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan judul skripsi

“Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”. Sri

Hayati membahas tentang bagaimana tugas dan wewenang serta

perbandingan tugas dan wewenang antara KPK dengan Kepolisian

Republik Indonesia, adapun perbedaanya dalam skripsi ini membahas

tentang kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia studi analisis KPK sebagai lembaga negara

bantu dan membahas sengketa KPK dengan lembaga Polri.

5. Skripsi Lintang Octiariska pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan

judul skripsi “Eksistensi Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) Sebagai Lembaga Negara Independen dalam Sistem

Page 20: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

10

Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Lintang Octiariska membahas

tentang eksistensi KPK dan membahas tentang kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu 10 tahun berdirinya

komisi KPK. Adapun perbedaannya dengan judul skripsi yaitu

membahas tentang kedudukan KPK dan analisis sengketa KPK

dengan Polisi Republik Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan

jenis penelitian hukum terkait dengan kedudukan lembaga negara

bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia khususnya analisis

kedudukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penulis

mencari dan menelaah peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan judul skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian

ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang

seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat

membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau

mencoba merumuskan teori baru.

2. Pendekatan

a. Pendekatan Perundang-undangan

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Page 21: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

11

2) Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi

3) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia

3. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu

data yang diperoleh dari sumber pertama, yang diperoleh dari UUD

NRI 1945, Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK,

Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-

dokumen resmi, makalah, skripsi, jurnal hukum dan sebagainya.

4. Metode Pengumpulan Data

Penuli menggunakan metode pengumpulan data melalui studi

dokumen/kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan

penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang

berkaitan dengan hukum kelembagaan negara dan lembaga negara

bantu (KPK), pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga

berita yang penulis peroleh dari internet.

5. Metode Pengelolaan dan Analisa Data

Penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif, yaitu metode

analisa data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh

dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi

Page 22: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

12

objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative

menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan,

kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab

permasalahan yang ada.

6. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisan sesuai

dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan

Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi

skripsi, maka sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan kajian terdahulu,

kegunaan penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi.

Bab II, Landasan Teori. Dalam bab ini dibahas mengenai negara

hukum, konsep pemisahaan kekuasaan, lembaga negara dan lembaga

negara bantu serta sengketa kelembagaan negara.

Bab III, Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang pembentukan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas dan wewenang KPK, tugas dan

wewenang Polri, hubungan KPK dengan lembaga negara lainnya.

Page 23: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

13

Bab IV, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada bab ini merupakan inti atau

subtansi dari keseluruhan penelitian skripsi, bab ini membahas kedudukan

KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia. Sengketa kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum

lainnya, dan upaya penyelesaian sengketa lembaga KPK dengan Polri.

Bab V, Penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran.

Page 24: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Negara Hukum

Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur

dalam penjelasan UUD 1945, dalam perubahanya telah diangkat ke dalam

UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah

negara hukum”, konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap,

kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan

sesuai dengan hukum. Bahkan, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya

kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan baik yang dilakukan oleh

alat negara maupun penduduk.

Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh

para filsuf dari zaman Yunani Kuno, Plato dalam bukunya “the statesman”

dan “the law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling

baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan.

Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk

mencapai kehidupan yang paling baik yang dapat dicapai (the best life

possible) dengan supremasi hukum. Hukum merupakan wujud

kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran

warga negara diperlukan dalam pembentukannya.1

1 George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-

San Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart and Winston, 1961), h. 35

Page 25: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

15

Konsep rechstaat lahir dari satu perjuangan menentang absolutisme

sehingga sifatnya revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria

rechstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechstaat bertumpu atas

sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Konsep the rule of law

dalam karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan common law

adalah judicial.2 Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham

kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi

kekuasaan negara atau pemerintahan diartikan sebagai hukum yang dibuat

atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya hubungan

antara paham negara hukum dan kerakyatan sehingga ada sebutan negara

hukum demokratis atau democratische rechstaat.3

Sebagai ciri negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari

pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Untuk

ciri ini dapat dilihat pada Pasal 24 Undang-Undang Mahkamah Agung dan

lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Di dalam penjelasan

terhadap Pasal 24 ini dijelaskan bahwa “kekuasaan kehakiman ialah

kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah”. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan di dalam

undang-undang tentang kedudukan para hakim. Dengan begitu maka untuk

ciri negara hukum dapat dipenuhi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Ciri

lain dari negara hukum adalah legalitas dalam arti hukum dalam

2 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina

Ilmu, 1987), h. 72 3 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar

Harapan, 1994), h. 67

Page 26: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

16

bentuknya. Ini dimaksudkan bahwa untuk segala tindakan seluruh warga

negara, baik rakyat biasa maupun penguasa haruslah dbenarkan oleh

hukum, di Indonesia berbagai peraturan untuk segala tindakan sudah ada

ketentuannya, sehingga untuk setiap tindakan itu harus sah menurut aturan

hukum yang telah ada.

Untuk mengamankan ketentuan-ketentuan tersebut maka di

Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan untuk memberi

pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang dianggap melakukan hal-hal

yang tidak dibenarkan oleh hukum. Jadi semua landasan yang menjadi cirii

dari negara hukum dapat ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945

sehingga untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup

memberikan jaminan. Yang sering menjadi persoalan adalah

pelaksanaanya di lapangan yang kerapkali menimbulkan pertanyaan

tentang relevansinya.4

Paham negara hukum harus dibuat jaminan bahwa hukum itu

sendiri dibangun dan ditegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh

karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri,

pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat. Hukum tidak boleh dibuat,

ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakan dengan tangan besi berdasarkan

kekuasaan belaka (machtsstaat).5

4 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka

Cipta, 2001), h. 86-87

5 Yusril Ihza Mahendra, “Dinamika Tata Negara Indonesia”, (Jakarta: Gema Insani Press

1996), h. 159

Page 27: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

17

Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan

perkembangan masyarakat dan negara. Professor Utrecht membedakan

dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formal atau negara hukum

klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara

hukum formal menyangkut pengertian hukum yang bersifat formal dan

sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undang tertulis. Tugas

negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut

untuk menegakan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan

istilah negara penjaga malam. Negara hukum material mencakup

pengertian yang lebih luas termasuk keadilan didalamnya. Tugas negara

tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum tetapi juga

mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate).6

Konsepsi negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar

bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah negara memberikan

perlindungan kepada warganya dengan cara berbeda. Negara hukum

adalah suatu pengertian yang berkembang, terwujud sebagai respon atas

masa lampau. Oleh karena itu, unsur negara hukum berakar pada sejarah

dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara memiliki

sejarah tersendiri yang berbeda.7

6 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar 1962), h. 9

7 Marwan Effendi, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum (Jakarta:

Gramedia, 2005), h. 30-32

Page 28: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

18

B. Konsep Pemisahan Kekuasaan

Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-

kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk

mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan

demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Doktrin

ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan

Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsikan sebagai pemisahan

kekuasaan (separation of power). Filsuf inggris John Locke

mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul Two Treatis on Civil

Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut

dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun

1688 (the Gloriuos Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh

parlemen inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga

kekuasaan yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif, yang

masing-masing terpisah satu sama lain.8

Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1748, filsuf prancis

Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam

bukunya L’Espirit des Lois (the Spirit of the Laws). Oleh Montesquieu

dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi

tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang

atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “kalau kekuasaan legislatif

dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan

8 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977), h.

151

Page 29: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

19

penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Merupakan malapetaka kalau

seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum

bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahkan untuk menyelenggarakan

ketiga kekuasaan tersebut. Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai

berikut. Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti

ini muncul karena Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik

yang tertekan di bawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah

secara absolut.. Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas

adalah pemisahaan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan

eksekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika kedua fungsi berada di

satu orang atau badan karena dikhawatirkan akan melaksanakan

pemerintahan tirani. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan

fungsi legislatif. Hal ini dimaksud agar hakim dapat bertindak secara bebas

dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Ketiga kekuasaan tersebut,

menurut Montesquieu, harus terpisah satu sama lain, mulai dari fungsi

maupun mengenai alat perlengkapannya.

Pendapat tersebut tentu berbeda dengan John Locke yang

memasukan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif.

Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena

kekuasaan tersebut dianggapnya sangat berbeda dengan kekuasaan

eksekutif. Sebaliknya oleh Montesquieu, kekuasaan hubungan luar negeri

Page 30: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

20

yang disebut oleh John Locke “federatif” dimasukannya ke dalam

kekuasaan eksekutif.9

Kenyataannya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar

cabang kekuasaan tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan

lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif bersifat sederajat dan saling

mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu

yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)

dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang

terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah

trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang

bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk

kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih

efektif.10

Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut

sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat).

Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai

dari state auxiliary organ (U.S.A), quasi outonomous governmental

organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu

dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya menggunakan istilah komisi

untuk menyebut lembaga ini.11

9 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD

1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h.11

10

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),

h. 217

11

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 9

Page 31: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

21

C. Konsep Lembaga Negara

Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat

dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat,

atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan yang

dalam bahasa inggris disebut Non-Government Organization atau Non-

Governmental Organization (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja

yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai

lembaga negara.

Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa

disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan

lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara.

Dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan

sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk

asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang

bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha;

dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri dari atas interaksi sosial

yang berstruktur.12

Dalam kamus hukum Belanda-Indonesia,13

kata

staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam

kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh

Adiwinata dkk., kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Oleh

12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat H.A.S. Natabaya, dalam Jimly Asshiddiqie dkk.

(editor Refly Harun dkk.)., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah

Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, h. 60-61. Lihat juga Firmansyah Arifin dkk., Lembaga

Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga-Lembaga Negara, Sekretariat Jendral MKRI

dan KRHN, Jakarta, 2005, h. 29-30

13

Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan cet-

2, 2002), h. 390

Page 32: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

22

karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, dan alat perlengakapan

sering kali dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi, menurut Natabaya,

penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten

menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ

negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik Indonesia

Serikat) Tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat

perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat

(tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi

dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ

negara, dan badan negara.

Untuk memahami pengertian organ atau lembaga negara secara

lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen

mengenai the concept of the Staate-Organ dalam bukunya General Theory

of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever ful lls a

Function determined by the legal order is an organ”.14

Siapa saja yang

menjalankan suatu fungsi yang ditentuka oleh suatu tata-hukum (legal

order) adalah suatu organ. Artinya organ negara itu tidak selalu berbentuk

organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap

jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan

fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau

bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions, be they of

14 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell and Russell,

1961), h. 192

Page 33: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

23

a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed

at the execution of a legal sanction”.

Lembaga-lembaga negara yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945

tampaknya perumus UUD NRI Tahun 1945 dalam BPUPKI dan PPKI

sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sejenis yang ada dalam sistem

ketatanegaraan kerajaan Belanda. Kecuali MPR, lembaga-lembaga negara

lain dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat dibandingkan dengan lembaga-

lembaga di negeri belanda, yaitu Kepala Negara (Ratu), Kepala

Pemerintahan Eksekutif (Perdana Menteri), Staten Generaal (parlemen)

Rekenkamer (pemeriksaan Keuangan), Raad van State (Dewan

Pertimbangan Negara), dan Hogerechtshof (Mahkamah Agung).15

Lembaga negara terkadang disebut sebagai istilah lembaga

pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga

negara saja. ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atau karena

diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan

mendapatkan kekuasaanya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula

yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau

ranking kedudukanya tentu saja tergantung pada derajat pengaturanya

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga negara

yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ

konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang

merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk

15 Jimly Asshiddiqie, Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2005), h. 5

Page 34: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

24

Karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan

derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.

Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu

yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)

dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang

terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah

trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang

bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk

kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih

efektif.16

Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut

sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat).

Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai

dari state auxiliary organs (U.S.A), quasi outonomous governmental

organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu

dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya digunakan istilah komisi

untuk menyebut lembaga ini.17

1. Lembaga Negara Bantu

Kemunculan lembaga negara yang dalam pelakasanaan fungsinya

tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga

trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad

16 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),

h. 217

17

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 9

Page 35: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

25

ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika

Serikat dan Prancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-

lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau

state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam

bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang.18

Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum

digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada

kenyataanya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga

negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk

menyebut jenis lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary

institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari

kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga

negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada

dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai

organisasi swasta ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang lebih

sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-

governmental organization).

Secara teoritis lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara

untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil

dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan di biayai oleh negara

tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu

18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2006), h. 8

Page 36: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

26

sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika

berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan

kepada masyarakat untuk mengawasi. Adanya lembaga negara bantu

dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya

prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan

melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Selain

itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah

terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk

mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi

bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut,

John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu:

a. Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan

supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan

b. Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada

pemerintah;

Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini

secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap

lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan

ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataanya, lembaga-lembaga negara

yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan

persoalan yang ada berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.19

19 T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,

(makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi kelembagaan negara pasca

amandemen UUD 1945, Jakarta, 9 September 2004), h. 2

Page 37: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

27

Colin Talbot, Profesor Kebijakan Publik dari Universitas

Nottingham Inggris mengemukakan pendapat mengenai kriteria-kriteria

terbentuknya lembaga-lembaga independen20

:

a. Merupakan kepanjangan tangan dari lembaga pemerintahan

utama/pusat

b. Pejabat yang mengisinya tidak termasuk PNS tetapi melayani

publik

c. Keuangannya berasal dari anggaran negara

d. Tidak bisa membuat peraturan yang mengikat ke luar, tetapi

mereka diatur oleh aturan tertentu.

Apabila ditelaah kriteria yang diberikan oleh Colin Talbot

mengenai lembaga independen ini dan menerapkanya pada keberadaan

lembaga KPK maka dapat terlihat bahwa KPK memenuhi kriteria-

kriteria tersebut. Keberadaan KPK yang berwenang melakukan

penyidikan tindak pidana korupsi sebenarnya merupakan kepanjangan

tangan dari kewenangan yang dimiliki oleh Polri sebagai lembaga

Utama (Polri) dianggap kurang efektif menjalankan tugasnya dengan

wewenangnya yang luas maka dibentuklah lembaga baru yang

mempunyai spesialisasi tugas tertentu dengan mengambil sebagian

kewenangan lembaga utama agar lebih bersifat independen.

Berikut pembagian lembaga negara berdasarkan Pembentukanya ;

a. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

20 Christopher Pollit and Colin Talbot, Unbundled Government; A Critical Analysis of The

Global Trend to Agencies, Quangos and Contractualisation, (London: Routledge, 2004), h.5

Page 38: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

28

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

4. Presiden dan Wakil Presiden

5. Mahkamah Agung (MA)

6. Mahkamah Konstitusi (MK)

7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

8. Komisi Yudisial

b. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang

1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)

6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

7. Komisi Kepolisian Nasional

8. Komisi kejaksaan

9. Dewan Pers

c. Lembaga Negara Menurut Peraturan Di Bawah Undang-Undang

1. komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas

Perempuan)

2. Dewan Maritim Nasional (DMN)

3. Komisi Ombudsman Nasional (KON)

Page 39: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

29

4. Dewan Ekonomi Nasional (DEN)

5. Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN)

6. Dewan Riset Nasional (DRN)

7. Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS)

8. Dewan Buku Nasional (DBN), serta lembaga-lembaga non

departemen.

Lembaga negara yang disebutkan dalam kelompok 2 dan 3, dapat

dikatakan sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Selain

lembaga-lembaga tersebut di atas, masih terdapat banyak lembaga-

lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan perppu.

Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah dan berkurang mengingat

lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan

bergantung pada kebutuhan Negara.

2. Sengketa Lembaga Negara

Hubungan antar satu lembaga dengan lembaga negara yang lainnya

diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut,

lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat dan saling mengimbangi

satu sama lain.

Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada

hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan

kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau

perselisihan dalam menafsirkan Undang-Undang Dasar. Jika timbul

persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang

Page 40: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

30

diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Sistem ketatanegaraan

yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian

sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata

negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan

nama Mahkamah Konstitusi.21

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD

1945, disamping melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD,

pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk

dengan tujuan untuk menegakan ketentuan yang terdapat dalam UUD.

Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas

dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi

tercermin dalam dua kewenangan tersebut, yaitu: (1) kewenangan untuk

menguji Undang-Undang terhadap UUD; dan (2) kewenangan untuk

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya

bersumber dari UUD.22

Luthfi Widagdo Eddyono membagi lembaga negara/organ negara:

a. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara

atribusi (oleh UUD 1945);

b. Lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh

pembuat peraturan perundang-undangan (termasuk komisi

21 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,

(Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010), h. 150

22

Harjono, Transformasi dan Demokrasi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi 2009), h. 140

Page 41: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

31

independen, independent regulatory agencies) yang tidak

bertanggung jawab kepada siapapun.

c. Lembaga negara yang wewenangnya diberika secara delegasi

pembuat peraturan perundang-undangan termasuk komisi negara

eksekutif (executive branch agencies) yang bertanggung jawab

kepada Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari

eksekutif.23

Lembaga negara organ kategori pertama dapat berperkara di

Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara kategori kedua dapat pula

berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara

kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum litis

untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas, lembaga

negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan Presiden atau menteri

dan/atau merupakan bagian dari eksekutif.

23 Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lmebaga Negara

oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor 3, Juni 2010), h. 41

Page 42: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

32

BAB III

Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Korupsi

A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada

sejak era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu

disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang

dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan

efektif, perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak

hukum yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.1

Korupsi sudah dianggap sebagai masalah internasional.

Pemberantasan korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar

dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Secara umum, tindak pidana

ini tidak hanya mengakibatkan kerugian negara (keuangan negara), tetapi

dapat mengakibatkan dampak yang sangat luas, baik di bidang sosial,

ekonomi, keamanan, politik, dan budaya.2

Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh UU KPK yang dibentuk

berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK didirikan untuk mengatasi

permasalahan tentang korupsi yang selama ini dirasa gagal dalam

1 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta, Tim

Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jendral

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h. 31.

2 Romli Atmasasmita, “Perspektif Pengadilan Korupsi di Indonesia”. Dalam Seminar, ed.,

Pembentukan Pengadilan Korupsi, 30 Juli 2002 (Jakarta: KHN dan BPHN, 2002), h.1

Page 43: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

33

penegakan hukumnya. Melihat dari sifatnya, KPK adalah lembaga ad hoc

yang merupakan salah satu komisi negara bersifat membantu dalam

mengawal dan mengawasi penegakan hukum serta mewujudkan

kesejahteraan rakyat.

Pembentukan sebuah institusi khusus untuk menanggulangi

masalah korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru.

Akan tetapi pembentukan sebuah badan khusus dengan kewenangan yang

demikian luas, di samping melakukan penyidikan, sekaligus melakukan

penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicatat sebagai

suatu aspek pembaruan dalam hukum dan sistem peradilan pidana

Indonesia. Untuk membentuk badan khusus seperti itu tidak dapat

dilepaskan dari latar belakang pemikiran untuk mengatasi masalah

pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum dilaksanakan secara

optimal. Badan-badan penegak hukum yang ada, yang selama ini diserahi

tugas dan kewenangan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi,

belum berfungsi secara efektif.3

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dibentuk

dengan misi utama melakukan penegakan hukum, yakni dalam

pemberantasn korupsi. Dibentuknya lembaga ini dikarenakan adanya

pemikiran bahwa lembaga penegak hukum konvensional, seperti

Kejaksaan dan Kepolisian, dianggap belum mampu memberantasan

3 Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasanya, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2011), h. 219

Page 44: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

34

korupsi.4 Oleh karena itu, perlu dibentuk lembaga khusus yang

mempunyai kewenangan luas dan independen serta bebas dari kekuasaan

manapun.

Secara khusus urgensi pembentukan KPK dapat dilihat dari pokok-

pokok pikiran pembentukan KPK. Dalam pokok pikiran tersebut

dijelaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang

sistemik dan meluas tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga

melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Oleh karena itu,

penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan

menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus

dengan metode dan lembaga baru.5 Komisi Pemberantasan korupsi yang

memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun mengenai

pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban,

tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang.

B. Tugas dan Wewenang KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas

sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002. Sebagai berikut:

4 Teten Masduki dan Danang Widoyoko, Menunggu Gebrakan KPK, Jantera 8 Tahun III,

(T.t., T.p., Maret, 2005), h. 41

5 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia

(Jakarta: Percetakan Negara RI, 2002), h. 40

Page 45: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

35

1. Melakukan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenang adalah

termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara

Negara, inspektorat pada Departemen atau lembaga Pemerintah Non-

Departemen.

3. Dalam melaksanakan tugas supervisi terhadap instansi yang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, komisi

pemberantasan Korupsi berwenang:

4. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi

yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam

melakasanakan pelayanan public dan mengambil alih penyidikan atau

penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang

dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.

5. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi

6. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

7. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan

Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13

Page 46: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

36

dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, pendukung pelaksana

tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang :

1. Dalam melaksanakan tugas koordinasi yang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

Pasal 7 berwenang :

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

terhadap tindak pidana korupsi

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan

korupsi

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi kepada instansi yang terkait

d. Melakukan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

e. Meminta laporan instansi terkait pencegahan tindak pidana

korupsi

2. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14

undang-undang nomor 30 tahun 2002

a. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 huruf b dan diatur dalam Pasal 8, Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau

penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan

Page 47: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

37

wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana

korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

b. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), komisi pemberantasan korupsi berwenang mengambil alih

penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

yang sedang dilakukan oleh kepolisian.

c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih

penyidikan dan penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib

menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat

bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama

14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan

komisi pemberantasan korupsi.

Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 3 bahwa :

3. Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan

wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau

kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam

tahanan kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat

ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejakasaan atau

komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala rumah

tahanan Negara untuk menempatkan di rumah tahanan tersebut.

a. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilakukan dengan

membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga

Page 48: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

38

segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat

penyerahan tersebut beralih kepada komisi pemberantasan korupsi.

b. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 8 dan diatur dalam Pasal 9, dilakukan oleh

komisi pemberantasan korupsi (KPK) dengan alasan:

1) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

dilanjuti

2) Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut atau

tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan

3) Penanganan tindak pidana korupsi ditunjukan untuk

melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya

(a) Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur

korupsi

(b) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena

campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislative

atau

(c) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau

kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit

dilaksanakan secara baik dan dapat di pertanggung

jawabkan.

4. Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberitahukan kepada

Page 49: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

39

penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana

korupsi yang sedang ditangani vii

5. Dalam melakasanaka tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

yang di atur dalam Pasal 12 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf c, komisi pemberantasan korupsi berwenang:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang

seseorang berpergian ke luar negeri

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang

diperiksa

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

untuk meblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik

tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait

e. Memerintahkan kepada pemimpin atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatanya

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau

terdakwa kepada instansi terkait

g. Menghentikan suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,

dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi

yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang

diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya

dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

Page 50: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

40

h. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g dijelaskan bahwa:

Ketentuan ini dimaksud untuk menghindari penghilangan atau

penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidikan,

penyidikan, atau penuntutan atau untuk menghindari kerugian

Negara yang lebih besar.

1) Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak

hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,

dan penyitaan barang bukti di luar negeri

2) Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait

untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan

dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi

Dalam penjelasan Pasal 12 huruf I disebutkan:

Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal

komisi pemberantasan korupsi melakukan penahanan

seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,

komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala

rutan tahanan Negara untuk menrima penempatan tahananan

tersebut dalam rumah tahanan.

3) Dalam melaksanakan tugas pencegahan diatur dalam Pasal 13

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi

pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau

upaya pencegahan sebagai berikut:

Page 51: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

41

1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan

kekayaan penyelenggara Negara

2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi

3. Menyelenggaraan program pendidikan anti korupsi pada

setiap jenjang pendidikan

4. Merancang dan mendorong terlaksananya program

sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi

5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat

umum

6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam

pemberantasan korupsi

4) Dalam melaksanakan tugas monitor diatur dalam Pasal 14

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi

pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau

upaya pencegahan sebagai berikut:

1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan

administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintah

2. Memberi saran kepada pemimpin lembaga Negara dan

pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan

hasil pengkajian, hasil pengelolaan administrasi tersebut

berpotensi korupsi

3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan

Page 52: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

42

Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan

Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak

diindahkan.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas dapat diketahui

bahwa kehadiran KPK diharapkan menjadi pemicu terhadap upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan

menjadi terpacu untuk bergerak cepat mengusut kasus-kasus korupsi.

Kemudian pembentukan KPK merupakan a temporary way-out, jalan

keluar sementara. Sejatinya, KPK bukan bagian dari sistem peradilan

pidana (criminal justice system) di Indonesia. KPK tidak didesain untuk

menggantikan peran kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum,

sehingga keberadaanya bersifat temporal. Oleh sebab itu, keberadaan KPK

juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu Kepolisian dan

Kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap

fungsi KPK yang lain, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap

penegak hukum lainnya.6

C. Tugas dan Wewenang POLRI

Tugas dan wewenag Polri secara umum diamanatkan langsung oleh

UUD NRI Tahun 1945 pada amandemen ketiga, yaitu “sebagai alat negara

yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,

mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum”. Tugas-tugas

6 Fahri Hamzah, Demokrasi Transisi Korupsi: Orkestra Pemberantasan Korupsi Sistemik,

(Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012), h. 85-86

Page 53: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

43

tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Kepolisian

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Tugas pokok Polri seperti tercantum dalam Pasal 13 Undang-

Undang Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat.

Dalam rangka menyelenggarakan tugas khusus di bidang proses

pidana seperti yang diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polri berwenang

untuk :

1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan;

4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

8. Mengadakan penghentian penyidikan;

Page 54: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

44

9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak

atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka

melakukan tindak pidana;

11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri

sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

D. Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Lembaga

Negara Lainnya

Mengenai hubungan kewenangan antar lembaga negara pasca

amandemen UUD 1945 tercantum dalam konstitusi. Hal ini dikarenakan

atas Perubahan UUD 1945 yang menerapkan konsep pemisahan kekuasaan

dengan prinsip check and balances, sehingga antara kekuasaan yang satu

dengan kekuasaan yang lain bisa saling mengontrol. Prinsip check and

balances itu telah memberikan peluang kepada kekuasaan yang satu untuk

bisa ikut dalam kekuasaan yang lain.

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki independensi dan

kebebasan dalam melakasanakan tugas dan kewenangannya, namun KPK

tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang bekaitan

dengan keorganisasian. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Page 55: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

45

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa

pimpinan KPK yang terdiri dari satu ketua dan empat wakil anggota, yang

semuanya merangkap sebagai anggota, dipilih oleh DPR berdasarkan

calon anggota yang diusulkan oleh Presiden seperti yang tercantum pada

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Pasal 30 ayat (1).

Segala hal yang berkaitan dengan hubungan kedudukan antara

KPK dengan lembaga-lembaga negara lain selalu mengacu kepada

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Tugas dan kewenangan yang serupa dengan

lembaga kejaksaan membuat KPK terkesan lebih dekat dengan cabang

kekuasaan eksekutif dibandingkan dengan cabang kekuasaan legislatif

maupun yudikatif.

KPK juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan

kekuasaan yudikatif. Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi7 mengamanatkan

pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang

bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi

yang penuntutanya diajukan oleh KPK. Walaupun berada di lingkungan

peradilan umum (terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 53 dan 54

7 Sejak 19 Desember 2006, pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI

Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) RI, namun tetap mempunyai kekuatan hukum

mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun sejak putusan MK RI tersebut

dibacakan. Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h. 290

Page 56: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

46

ayat (1), namun pengadilan Tipikor bersifat khusus karena berhubungan

langsung dengan penuntut umum yang berasal dari KPK, bukan kejaksaan.

Kedua hal inilah \, yaitu (1) pembentukan pengadilan Tipikor atas amanat

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi; dan (2) pelimpahan perkara oleh KPK kepada

pengadilan Tipikor secara langsung tanpa melalui kejakasaan, yang

mempertegas kekhususan hubungan kedudukan KPK dengan cabang

kekuasaan yudikatif. Keterkaitan kedudukan antara KPK dengan cabang

kekuasaan kehakiman juga terlihat pada pasal dalam UUD 1945 yang

dijadikan landasan oleh KPK sebagai dasar hukum yang menjamin

eksistensi KPK, yaitu pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menyatakan bahwa badan-badan

selain lembaga peradilan yang memiliki fungsi terkait dengan kekuasaan

kehakiman dapat dibentuk dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.

Keberadaan KPK dalam menjalankan tugasnya menjalin hubungan

fungsional dan koordinatif dengan lembaga penegak hukum yang telah ada

yaitu Kepolisian dan Kejakasaan. Hubungan fungsional dan koordinatif

antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK seperti yang telah tercantum

dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi seperti telah disebut diatas.

Dengan adanya pemberian kewenangan penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi kepada KPK, maka

KPK dapat melaksanakan sebagian kewenangan dari Kepolisian dan

Page 57: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

47

Kejaksaan di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak

pidana korupsi.8

Hubungan fungsional antara Komisi Pemberantasan Korupsi

dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia bersifat timbal balik, hal ini

didasari dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga

negara tersebut dapat melakukan kerjasama dengan lembaga negara lain

yang berfungsi menegakan hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan

pelayanan kepada masyarakat. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi

mengenai hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6 huruf a dan b, yakni

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan

koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berfungsi memberantas

korupsi. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

melakukan koordinasi, dan supervisi dengan Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan/atau dengan Kejaksaan Negara Republik Indonesia.

Sedangkan ketentuan mengenai lembaga Kepolisian Negara Republik

Indonesia dapat melakukan kerjasama denga lembaga atau instansi lain

yang berfungsi memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal

42 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Republik Indonesia yang secara rinci menegaskan bahwa

kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan

kerjasama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di

luar negeri yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi.

8 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP,

1995), h. 16

Page 58: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

48

BAB IV

SENGKETA LEMBAGA NEGARA

A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia UUD 1945

Sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD NRI 1945 dengan jelas

membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif,

eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR,

dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Serta Mahkamah Agung (MA),

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK)

sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal

state organs). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara

instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara

yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga

lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga

negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state

institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip

“check and balances”.1

Selain lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang

biasa disebut sebagai lambaga tinggi negara seperti dimaksud di atas,

dalam UUD juga diatur lembaga-lembaga negara yang bersifat

konstitusional lainya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara

1 Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial Review terhadap Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Page 59: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

49

Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan

Pertimbangan Presiden. Namun pengaturan lembaga-lembaga negara

tersebut dalam UUD NRI 1945, tidaklah dengan sendirinya

mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD

NRI 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam

pengertian lembaga (tinggi negara) sebagai lembaga utama (main organs).

Misalnya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan

salah satu dari fungsi kekuasan negara sebagaimana yang secara universal

dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara ini hanya

bertugas melayani atau dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan

lembaga-lembaga negara utama sebagaimana yang disebutkan diatas, yang

dalam ketatanegaraan disebut dengan state auxiliary bodies (lembaga

negara bantu).

Walaupun tugasnya melayani, akan tetapi menurut Sri Sumantri

M,2 secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan

peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal ini juga diakui

oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000

tentang judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004

tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara

dalam undang-undang dasar juga tidak, boleh ditafsirkan sebagai satu-

satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara

2 Sri Sumantri M, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem

Ketatanegaraan Mneurut UUD NRI 1945, dalam Departemen Hukum Tata Negara Universitas

Airlangga. Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan. (Surabaya:

University Press), h. 204

Page 60: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

50

yang bersangkutan. Sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian Negara

dan kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUD NRI 1945

dibandingkan dengan tidak diaturnya sama sekali ketentuan mengenai

Kejaksaan Agung dalam UUD NRI 1945, tidak dapat diartikan bahwa

UUD NRI 1945 memandang Kepolisian Negara itu lebih penting ataupun

lebih tinggi kedudukanya konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung.

Demikian pula halnya dengan komisi-komisi negara seperti

Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang daitur secara

umum dalam UUD NRI 1945, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU), dan lain-lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang

belaka, untuk menentukan status hukum kelembagaanya maupun para

anggota dan pimpinanya dibidang protokoler dan lain-lain sebagainya,

tergantung kepada bentuk undang-undang yang mengaturnya. Oleh karena

itu agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antar lembaga

negara, pembentuk undang-undang harus berusaha dengan tepat

merumuskan kebijakan hukum yang terperinci dan jelas dalam undang-

undang yang mengatur lembaga-lembaga negara dimaksud.

Lahirnya komisi-komisi negara merupakan fenomena kenegaraan

baru apabila dilihat dari sisi sistem ketatanegaraan dalam arti tatanan

kelembagaanya. Namun dari sisi hakekat bernegara bangsa Indonesia,

penting dikaji esensi atau hakekat komisi negara dalam perspektif

Page 61: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

51

bernegara bangsa Indonesia, yang pada akhirnya sebagai penentuan

eksistensi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Pembentukan komisi-komisi negara bukan saja dilakukan oleh

Indonesia sebagai suatu negara yang baru mengalami transisi demokrasi.

Hal serupa juga dilakukan Dikawasan Asia Tenggara, sekalipun

merupakan fenomena yang hanya sedikit mendahului Indonesia.

Pengalaman negara Thailand telah menjadi salah satu rujukan penting. Di

era tahun 1990-an akhir adalah era disintegrasi dan masifikasi

kelembagaan ditingkat negara yang juga difasilitasi melalui perubahan

konstitusi.3

Latar belakang sejarah terbentuknya negara Indonesia, tentu sangat

mempengaruhi rumusan tujuan negara Indonesia yang dirumuskan secara

lengkap dalam alinea 4 pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi: (1) melindungi segenap bangsa

dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum;

(3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban

dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam mencapai tujuan negara Indonesia, seluruhnya harus berdasar dan

diukur dengan nilai-nilai pancasila.

Pada dasarnya apabila dikaitkan dengan tujuan negara tersebut di

atas, maka pembentukan komisi-komisi negara ini dilakukan karena

lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar

3 A. Ahsin Thohari, Kedudukan Komisi-Komisi Negara Dalam Struktur Ketatanegaraan

Indonesia, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 12 Tahun III April-Juni 2006, (Jakarta, 2006), h. 22-23

Page 62: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

52

dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan

perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi.

Selain itu, kelahiran komisi-komisi negara itu merupakan bentuk

ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam

menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.4

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilaksanakan

pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah membawa perubahan

yang sangat mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Banyak aspek perubahan yang telah dirasakan dalam praktik kehidupan

berbangsa dan bernegara, salah satu aspek yang berubah yakni terhadap

kelembagaan negara. Penataan ulang struktur ketatanegaraan Indonesia

yang terus berlangsung sampai saat ini tidak serta merta berjalan dengan

baik tanpa komplikasi ketatanegaraan. Dalam kasus tertentu, memang

penataan itu dapat dikatakan relatif berhasil meskipun dengan catatan baru

sebatas pembentukan lembaga dan bekerja sesuai dengan kewenanganya

yang diberikan, tetapi tidak termasuk efektivitas kerja dan implikasinya

yang signifikan terhadap ketatanegaraan yang lebih bertanggung jawab

serta kedudukannya dalam konstitusi.

Akan tetapi walaupun perubahan Undang-Undang Dasar 1945

dilakukan beberapa kali, namun masalah dan berbagai problematika yang

dihadapi Indonesia belum berujung pada titik penyelesaian. Seperti

4 T.M Lutfi Yazid, “Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-Cita Negara Hukum”,

Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: Eksistensi Sistem Kelembagaan

Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum

Nasional, (Jakarta, 9 September 2004), h. 2

Page 63: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

53

sistem/struktur ketatanegaraan saat ini, antara lain kehadiran lembaga-

lembaga negara yang lahir atas kebutuhan politik (parlemen). Hal itu

kemudian yang menjadi perdebatan ketatanegaraan Indonesia. Berbagai

macam atas kehadiran lembaga negara itu.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara

yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen

dan bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan KPK terdiri dari lima orang

yang merangkap sebagai anggota dan semuanya merupakan pejabat

negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintaha dan unsur

masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat

terhadap kinerja KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya

senantiasa melekat pada lembaga ini. Berdasarkan Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, KPK merupakan lembaga negara yang dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen serta bebas

dari pengaruh kekuasaan manapun. Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut

menguraikan makna frase “kekuasaan manapun”sebagai berikut (Pasal 3

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi );

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun”

adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi

Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak

eksekutif, yudikatif, lagislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan

Page 64: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

54

perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan situasi ataupun dengan alasan

apapun. “Tidak semua kasus tindak pidana korupsi di negeri ini ditangani

dan diproses oleh KPK. Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, salah satu kriteria kasus yang memerlukan penanganan oleh KPK

adalah tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum,

penyelenggara negara, dan pihak lain berkaitan dengan tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara

negara. Selain itu, perkara tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian

dan meresahkan masyarakat dan/atau merugikan negara minimal satu

miliar rupiah juga dikategorikan sebagai kasus yang harus ditangani oleh

KPK.

Para pemohon uji materil Undang-Undang KPK mempersoalkan

eksistensi KPK dengan menghadapkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20

undang-undang tersebut dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang negara

hukum. Dikatakan bahwa ketiga Pasal UU-KPK tersebut bertentangan

dengan konsep negara di dalam UUD 1945 yang telah menetapkan

delapan organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau

sederajat yang secara langsung mendapat fungsi konstitusional dari UUD

yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY.5 Ketentuan

Pasal 2 UU-KPK itu benar karena didasarkan pada upaya untuk

melaksanakan pencapaian tujuan negara menurut UUD 1945 melalui

5 Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006.

Page 65: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

55

bidang hukum serta didasarkan pada berbagai UU yang memerintahkan

pemberantasan korupsi dan pembentukan KPK sesuai denga hak yang

diberikan oleh UUD 1945 kepada legislatif. Pasal 3 juga benar

dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan peradilan yang fungsinya

tidak dapat dicampuri oleh lembaga lain.

Kedua pasal tersebut justru dibuat untuk menyeimbangkan

pertimbangan aspek doelmatigeheid dan rechtmatigeheid. Harus diingat

bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hanya mengatakan bahwa “Negara

Indonesia adalah negara hukum” yang implentasinya di bidang peradilan

diserahkan sepenuhnya kepada pembuat UU setelah UUD menetukan

lembaga-lembaga pemegang kekuasaanya dan fungsi-fungsi pokoknya.

Tidak ada pembatasan-pembatasan tertentu di dalam Pasal 1 ayat (3) itu.

Bahkan jika dilihat dari sejarah perumusanya, Pasal 1 ayat (3) yang

menyebut “negara hukum” tanpa embel-embel di “rechtsstaat” dalam

kurung justru dimaksudkan agar orang tak terbelenggu oleh formalitas-

prosedural yang kaku melainkan dapat kreatif menegakan hukum

berdasarkan kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan. Pasal 24

ayat (1) dan Pasal 28 UUD 1945 menyebut ketiganya sebagai asas yang

harus dipergunakan dalam pembangunan dan penegakan hukum.

Ada tiga prinsip yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan soal

eksistensi KPK ini. Pertama, dalil yang berbunyi salus populi supreme

lex, yang berarti “keselamatan rakyat (bangsa dan negara) adalah hukum

yang tertinggi.” Jika keselamatan rakyat, bangsa, dan negara sudah

Page 66: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

56

terancam karena keadaan yang luar biasa maka tindakan apa pun yang

sifatnya darurat atau khusus dapat dilakukan untuk menyelamatkannya.

Dalam hal ini, kehadiran KPK dipandang sebagai langkah darurat untuk

menyelesaikan korupsi yang sudah luar biasa. Kedua, di dalam hukum

dikenal adanya hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan yang

bersifat khusus (lex specialis).

Keumuman dan kekhususan itu dapat ditentukan oleh pembuat UU

sesuai dengan kebutuhan, kecuali UUD jelas-jelas menentukan sendiri

mana yang umum dan mana yang khusus. Dalam konteks ini, dipandang

bahwa kehadiran KPK merupakan hukum khusus yang kewenangannya

diberikan oleh UU selain kewenangan-kewenangan umum yang diberikan

kepada kejaksaan dan Polri. Ketiga, pembuat UU (badan legislatif) dapat

mengatur lagi lanjutan sistem ketatanegaraan yang tidak atau belum

dimuat di dalam UUD sejauh tidak melanggar asas-asas dan restriksi yang

jelas-jelas dimuat di dalam UUD. Oleh sebab itu, pembuatan UU apa pun

yang tidak secara eksplisit diperintah atau dilarang oleh UUD dapat

dilakukan oleh legislatif untuk melaksanakan UUD itu sendiri. Dalam

kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari

hak legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataanya yang

menuntut perlunya itu.6

Sehubungan dengan keberadaan KPK sebagai lembaga negara yang

tidak ditempatkan dalam konstitusi, Romli Atmasasmita berpendapat

6 Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 196-197

Page 67: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

57

bahwa sistem ketatanegaraan tidak dapat diartikan hanya secara normatif (

hanya dari sudut ketentuan konstitusi ) tetapi juga dapat diartikan secara

luas karena tidak semua lembaga negara diatur dalam konstitusi. Apabila

suatu lembaga negara tidak ditempatkan di dalam UUD Negara RI 1945,

bukan berarti lembaga negara tersebut tidak mempunyai kedudukan

hukum atau inkonstitusional, karena sifat konstitusional suatu lembaga

dapat dilihat dari fungsinya dalam melaksanakan tugas dan wewenang atas

nama negara. Dengan demikian, keberadaan dan kedudukan lembaga

negara ada yang tercantum di dalam UUD Negara Republik Indonesia

1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam UUD 1945 melainkan

dibentuk berdasarkan undang-undang, termasuk KPK sebagai lembaga

negara bantu.7

KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberi

kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi

justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang

rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak

“mengambil alih” kewenangan lembaga lain, melainkan “diberi” atau

“mendapat” kewenangan dari pembuat UU sebagai bagian dari upaya

melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum, peradilan

dan kekuasaan kehakiman. Bahwa keberadaan KPK itu konstitusional, hal

itu dapat didasarkan juga pada cakupan konstitusi tertulis yang menurut

teori mencakup UUD (sebagai dokumen khusus) dan peraturan perundang-

7 Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h. 181

Page 68: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

58

undangan (sebagai dokumen tersebar) mengenai pengorganisasian negara.

Dari pengertian ini, maka kedudukan KPK adalah konstitusional karena

bersumber dari salah satu dokumen tersebar sebagai bagian dari konstitusi

yang sama sekali tidak bertentangan dengan dokumen khususnya.

B. Sengketa Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Lembaga

Penegak Hukum Kepolisian Republik Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen diberi

kewenangan khusus untuk menangani masalah korupsi di Indonesia. KPK

ada karena tuntutan masyarakat Indonesia dan juga masyarakat bangsa-

bangsa internasional akibat perbuatan korupsi yang cukup meresahkan dan

merugikan masyarakat Indonesia dan internasional dalam segala bidang

kehidupan.

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan dua institusi

penegak hukum yang secara khusus memiliki kewenangan menangani

tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa

fungsi kepolisian adalah pelaksana fungsi pemerintahan negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan

Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa KPK

Page 69: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

59

adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK

dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap

upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pada saat negara Indonesia dilanda gelombang korupsi yaitu sekitar

tahun 1968, Adnan Buyung Nasution pernah mengatakan bahwa “TNI/AD

hendaknya mempelopori pemberantasan korupsi sebagaimana dulu pernah

dilakukan ditahun 1950an di jaman demokrasi parlementer”. Jadi apa yang

dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution tersebut merupakan salah satu

alternatif dalam pemberantasan korupsi. Terutama apabila pelaku korupsi

terdiri dari pejabat tinggi negara, yang dalam hal ini sering disebut

melakukan “White Collar Crime”.8

Sengketa antara Polri-KPK tidak bisa dipisahkan dari Kasus Bank

Century yang diduga terdapat penyelewengan, bukannya mendapat sanksi

pemerintah justru mengucurkan dana Rp 6,7 Triliun, perlu diketahui pada

waktu itu yang menjadi Gubernur Bank Indonesia adalah Boediono dan

Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam penanganan Bank Century

disinyalir terdapat fraud (kecurangan), kemudian kasus ini ditangani oleh

KPK seperti biasa dalam mengkungkap kasus tersebut KPK melakukan

penyadapan dan secara tidak sengaja dalam penyadapan tersebut masuklah

telepon Komjen Pol Susno Duadji, inilah pemicu perseteruan secara

kelembagaan antara Polri dan KPK.

8 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik Dinegara Modern, (Yogyakarta: FH UII Press, 2008),

h. 82

Page 70: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

60

Kapolri menjelaskan, kasus bermula saat Antasari membuat

testimoni tentang penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar oleh sejumlah

pimpinan KPK pada 16 mei 2009. Saat itu Antasari sedang ditahan atas

kasus dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin

Zulkarnaen. Karena testimoni tidak ditindaklanjuti polisi, antasari lalu

membuat laporan resmi pada 6 Juli 2009 mengenai dugaan suap itu di

Polda Metro Jaya. Laporan itu kemudian dilimpahkan ke Mabes Polri, lalu

dilanjutkan ke penyelidikan dan penyidikan.

Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, Kapolri memperoleh

fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua tersangka

yaitu Bibit dan Chandra yang melanggar Pasal 21 Ayat 5 UU No 30 Tahun

2002 tentang KPK.

Saat penyidikan, ditemukan keputusan pencekalan dan pencabutan

terhadap Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra, pencekalan yang dilakukan

oleh kedua tersangka tidak secara kolektif. Pencekalan terhadap Anggoro

Widjojo dilakukan oleh Chandra Hamzah, pencekalan terhadap Joko

Tjandra oleh Bibit S Riyanto, serta pencabutan pencekalan terhadap Joko

Tjandra oleh Chandra Hamzah.9

Dari alat bukti, keterangan saksi, dan saksi ahli didapat empat alat

bukti. Lalu pada tanggal 15 September 2009 pukul 23.20, dua pimpinan

KPK nonaktif itu ditingkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka.

9 www.nasional.kompas.com inilah kronologi kasus penyidikan kasus Chandra dan Bibit.

Diakses 5 Juli 2015.

Page 71: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

61

Pada 2 Oktober 2009, berkas perkara Chandra Hamzah dikirimkan ke

Kejaksaan dan berkas Bibit S Riyanto dikirimkan pada 9 Oktober 2009.

Kemudian, penyidik melakukan penahanan pada 29 Oktober 2009

karena kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya

pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan-

pernyataan di media serta forum diskusi.

Kasus ini melibatkan petinggi Kepolisian dan KPK sehingga kasus

dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Ijin Mengemudi (SIM)

yang menyebabkan kerugian Negara mencapai hampir Rp. 100.000.000,00

ini telah menghebohkan masyarakat Indonesia.

Kasus ini pertama kali mencuat saat Bambang Sukotjo, Direktur PT

Inovasi Teknologi Indonesia, membeberkan adanya dugaan suap proyek

pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri

tahun 2011. Ketegangan antara KPK dan Polri dimulai saat KPK

melakukan penggeledahan digendung Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri

terkait kasus simulator SIM. Sebenarnya baik KPK maupun Polri sudah

sama-sama tahu bahwa masing-masing lembaga penegak hukum tersebut

sedang menangani kasus yang sama di Korlantas Polri.10

Kekisruhan terjadi antara KPK dan Polri terkait siapa yang

berwenang melakukan penyelidikan pada kasus korupsi simulator SIM.

Masing-masing pihak mengklaim lebih dulu mengeluarkan surat perintah

penyidikan (Sprinlid). Polri mengklaim penyelidikan kasus dugaan korupsi

10 http://nasional.news.viva.co.id KPK terima penghitungan kerugian kasus simulator

SIM. Diakses 29 Mei 2015

Page 72: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

62

simulator SIM sesuai dengan sprinlid /55/V/2012/Tipikor tanggal 21 Mei

2012, dimana Polri telah melakukan introgasi dan pengambilan keterangan

dari 33 saksi yang dinilai tahu tentang pengadaan simulator SIM roda 2

dan roda 4. Apabila dilihat dari sprinlid itu, maka otomatis Polri

melakukan penyelidikan lebih dahulu, sebagaimana dikatakan Kabareskim

Mabes Polri Komjen Pol Sutarman. Sedangkan untuk penyidikan kasus

ini, Sutarman menyebut 31 Juli 2012 sebagai tanggal permulaan. Padahal,

KPK seperti disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, telah

lebih dulu melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus simulator SIM.

KPK telah menyelidik kasus ini sejak 20 Januari 2012 dan menaikan ke

tahap penyidikan 27 Juli 2012.

Polri bersikukuh ingin menangani kasus dugaan korupsi simulator

SIM di Korlantas Polri yang juga sudah ditangani KPK, Polri berdalih bisa

menangani kasus itu karena adanya Memorandum of Understanding

(MoU) antara KPK, Polri dan Kejagung. Padahal, beberapa pasal dalam

MoU itu malah menguatkan KPK sebagai pihak yang seharusnya

menangani kasus tersebut.11

Bagaimana sebenarnya bunyi kesepatakan atau MoU antara kedua

instansi hukum itu soal penanganan tindak pidana korupsi, jika masing-

masing merasa paling berwenang melakukan penyelidikan dan

penyidikan? Kesepakatan itu tertuang dalam Kesepakatan Bersama Antara

Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia,

11 http://news.detik.com. Diakses 29 Mei 2015

Page 73: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

63

Kejaksaan Republik Indonesia. Nomor: KEP-049/A/J.A/03/2012, nomor:

B/23/III/2012, dan nomor: SP3-39/01/03/2012 tentang Optimalisasi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikut kesepakatan dimaksud

yang ditanda tangani pada 29 Maret 2012 di Kejagung, yaitu bagian kedua

tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Pasal 8 MoU

disebutkan: 1. Dalam hal para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran

yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan, maka penuntutan

instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindak lanjuti penyelidikan

adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah

penyelidikan atau kesepakatan para pihak. 2. Penyidikan yang dilakukan

pihak kejaksaan dan Polri diberitahukan kepada pihak KPK, dan

perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama tiga bulan

sekali; 3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampaian bulanan atas

kegiatan penyidikan yang dilaksanakan oleh kejaksaan dan pihak Polri; 4.

Penyelidikam dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh salah satu pihak

dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri

oleh para pihak yang pelaksananya dituangkan dalam berita acara.12

Jika mengacu pada pasal 8 poin 1 dan 4, maka KPK adalah

lembaga yang lebih berhak menangani kasus simulator SIM. Poin 1

menguatkan KPK pada sisi terlebih dahulu memulai penyelidikan kasus.

Sedangkan poin 4 menguatkan KPK dengan adanya UU KPK No. 30

12 Riris Nazriyah, Kewenangan KPK dalam Penyidikan Kasus Simulator SIM, Jurnal

Hukum Quia Iustum Vol. 19 No. 4 Yogyakarta 2012, h. 604

Page 74: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

64

Tahun 2002 Pasal 50 yang menyebut KPK berhak mengambil alih kasus

korupsi yang ditangani lembaga lain.13

Sedangkan pakar hukum pidana Universitas Indonesia , Gandjar

Laksmana Bonaparta menegaskan langkah KPK sudah tepat dalam

menangani kasus simulator SIM. Dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang

KPK sudah sangat jelas, tidak ada yang multitafsir. Menurutnya

berdasarkan aturan, KPK yang lebih berwenang mengusut kasus tesebut

meskipun kedua lembaga sama-sama berdasarkan pada ketentuan hukum.

Aturan perselisihan penanganan kasus korupsi hanya ada dalam Undang-

Undang KPK, tidak ditemukan dalam KUHP maupun Undang-Undang

Kepolisian. Bahwa ada asas hukum lex specialis derogat legi generali

artinya, hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang

umum. Sehingga penerapan KUHP harusnya dikesampingkan dengan

adanya UU KPK pada penanganan kasus korupsi simulator SIM tersebut.

Dalam hubungan kewenangan antar lembaga negara terdapat banyak

potensi sengketa yang dapat terjadi dan memerlukan perhatian. Potensi

sengketa disebabkan oleh ketidakjelasan peraturan perundang-undangan

yang mengatur fungsi, tugas, wewenang suatu lembaga yang

mengakibatkan munculnya beragam penafsiran karena ketidakjelasan

peraturan perundang-undangan yang mengatur kelembagaan negara.14

13 http://www.metrotvnews.com Yusril Kewenangan Polri Lebih Kuat dari KPK. Diakses

29 Mei 2015

14

Lukman Hakim, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataanya dalam

Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi 80 Mei-Agustus

2010), h.3

Page 75: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

65

Pembahasan konflik antara Polri dan KPK dengan kasus Budi

Gunawan yang sebenarnya bukan kasus pertama yang melibatkan dua

nama institusi ini. Sebelumnya diketahui bersama kasus lain yang muncul

di tahun-tahun sebelumnya yaitu kasus Susno Duadji dan Djoko Susilo

yang juga mengangkat nama Polri dan KPK menjadi nama institusi yang

rentan akan konflik kelembagaan.

Perbedaan konflik KPK dan Polri yang melibatkan nama Budi

Gunawan dengan konflik-konflik yang terjadi sebelumnya adalah bahwa

dua konflik sebelum ini dianggap menjadi persoalan masing-masing elit,

sedangkan pada konflik terakhir yang melibatkan nama Budi Gunawan

tidak hanya dianggap sebagai persoalan elit tetapi dianggap sebagai

persoalan institusi atau lembaga terkait yaitu Polri. Konflik berawal dari

penetapan status “tersangka” Komjen Budi Gunawan yang merupakan

Calon Tunggal Kapolri oleh KPK. Konflik ketiga kalinya yang terjadi

antara KPK dan Polri ini dilanjutkan dengan laporan dan penangkapan

pimpinan KPK oleh Polri. Kedua pihak dianggap saling menggunakan

wewenangnya kepada pihak lawan dengan membawa dasar hukumnya

masing-masing.

Faktanya bahwa seharusnya dalam penegakan hukum, tujuan dan

cara merupakan dua hal yang sama penting dan tidak dapat dipisahkan.

Hukum tidak dapat mencapai tujuanya tanpa memperhatikan cara-cara

yang benar dan baik dalam pencapaian tujuannya, karena tidak mungkin

tujuan yang baik dapat tercapai dengan cara yang tidak baik. Sejauh ini

Page 76: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

66

tujuan selalu dianggap lebih penting sehingga mengabaikan cara yang

dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut yang seakan-akan

diabaikan oleh KPK dan Polri dalam proses penegakan hukum terkait

kasus dalam dua lembaga tersebut sehingga muncul lah pandangan

masyarakat bahwa terdapat pelanggaran etika yang dilakukan baik oleh

KPK maupun Polri.

Dari konflik yang telah terjadi antara KPK dan Polri dapat dilihat

bahwa kedua lembaga tersebut kurang memperhatikan kultural bangsa dan

koordinasi dalam menjalankan wewenangnya masing-masing. Sehingga

yang terjadi adalah persaingan antara KPK dan Polri karena menangani

objek yang sama dengan masing-masing wewenangnya. Hal ini tentu

membutuhkan solusi guna menghindari sengketa atau konflik yang sama

terjadi kembali. Solusi yang dapat mencabut akar permasalahan tersebut

adalah dengan cara pembatasan masing-masing wewenang lembaga secara

konkrit dan lebih jelas. Disamping itu kedua lembaga harus bertindak

sesuai dengan ketentuan undang-undang baik Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Republik Indonesia ditambah dengan MoU yang sudah

disepakati oleh kedua lembaga tersebut, serta koordinasi dapat dijalankan

dengan baik dan benar.

Page 77: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

67

C. Penyelesaian Sengketa Lembaga KPK dengan Lembaga Kepolisian

Republik Indonesia

Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara yang

lainnya diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut,

lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat, dan saling mengimbangi satu

sama lain. sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada

hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan

kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan /atau

perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar, sehingga

tejadi sengketa kewenangan lembaga negara. Apabila sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh UUD

Negara Republik Indonesia 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk

menyelesaikannya, yaitu Mahkamah Konstitusi.15

bagaimana jika yang

terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak

diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka terjadi

kekosongan hukum.16

Namun, dalam praktek ketatanegaraan, sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUD Negara

Republik Indonesia 1945 diselesaikan oleh presiden dengan

mempertemukan pimpinan lembaga negara yang bersengketa. Dalam

sengketa KPK dan Polri tentang dugaan korupsi simulator SIM Korps Lalu

15 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,

(Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 150

16

Lukman Hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia, Disertasi, (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, 2009), h. 220

Page 78: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

68

Lintas Polri, Presiden bertemu dengan pimpinan KPK dan Kepala Polri.

Setelah pertemuan dengan kedua lembaga tersebut, Presiden membuat

keputusan penanganan hukum dugaan korupsi simulator SIM yang

melibatkan mantan Kepala Korlantas Inspektur jendral Djoko Susilo agar

ditangani KPK.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap tegas

dalam menyelesaikan sengketa KPK dengan Polri, dengan menetapkan

empat kebijakan:

1. Kasus simulator SIM ditangani oleh KPK;

2. Proses hukum penyidik Novel Baswedan tidak tepat dari

segi waktu dan cara;

3. Waktu penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur dalam

peraturan pemerintah;

4. Revisi UU KPK kurang tepat dilakukan pada saat itu.17

Penyelesaian yang dilakukan oleh Presiden bukanlah penyelesaian

hukum, karena itu tidak memiliki kekuatan mengikat. Pihak-pihak yang

bersengketa dapat tidak mematuhi keputusan Presiden tersebut. Faktanya

kemudian, Polri menggugat KPK karena KPK menyita berbagai dokumen

milik Polri, yang menurut Polri tidak ada hubungannya dengan kasus

dugaan korupsi di Korlantas Polri.

Penyelesaian konflik kasus simulator SIM sebenarnya telah

diusahakan oleh kedua pihak yaitu diselesaikan atas dasar MoU yang telah

17 Teten Masduki, SBY Akhirnya Memimpin, Harian Kompas Rabu 10 Oktober 2012.

Page 79: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

69

disepakati bersama oleh Polri, KPK dan Kejaksaan pada 29 Maret 2012

yang terdiri dari tiga surat yaitu Nomor B/23/III/2012 untuk Kepolisian,

Nomor SPJ-39/01/-03/2012 untuk KPK, dan Nomor KEP-

049/A/JA/03/2012 untuk Kejaksaan Tentang Optimalisasi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Akan tetapi upaya ini menemui jalan buntu karena isi dari MoU

tersebut tidak sejalan dengan argumen masing-masing pihak yaitu KPK

dan POLRI dan tidak sesuai dengan fakta-fakta terkait dengan kasus

simulator SIM.

Selain dengan MoU, sebenarnya upaya penyelesaian juga sudah

diusahakan dengan menggunakan ketentuan dalam undang-undang KPK.

Sebenarnya undang-undang KPK sudah cukup memadai untuk

menyelesaikan konflik kewenangan, karena dalam undang-undang KPK

telah diatur tentang siapa saja yang berhak melakukan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan untuk perkara tindak pidana korupsi, di dalam

UU KPK juga sudah diatur mengenai prosedur dalam menyelesaikan

kasus tindak pidana korupsi. Akan tetapi hal ini juga menemui jalan buntu,

karena Polri tidak bersedia menyerahkan berkas perkara dan tersangka

kepada KPK.

Penyelesaian konflik antara KPK dengan Polri pada pengangkatan

Komjen Budi Gunawan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo juga

bukan penyelesain secara hukum. Presiden membentuk Tim Independen

untuk menangani kekisruhan KPK dan POLRI, Tim Independen

Page 80: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

70

memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menentukan sikap.

Kemudian Presiden memberhentikan Kapolri dan menunjuk Wakapolri

Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.18

Selain masalah calon Kapolri, Presiden Jokowi juga memutuskan

untuk menerbitkan keppres pemberhentian sementara pimpinan KPK

Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang menghadapi masalah

hukum. Maka hal ini sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU No 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjelaskan bahwa,

“Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka

tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatanya”.

Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri konflik antara dua

lembaga menginstruksikan kepada kepolisian dan meminta kepada KPK

untuk mentaati aturan hukum dan kode etik yang berlaku.19

Dengan demikian, terjadi kekosongan hukum dalam hal terjadi

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur

dalam konstitusi. Sejauh ini, sengketa yang demikian dapat diselesaikan oleh

Presiden dengan mempertemukan pimpinan lembaga negara yang sedang

bersengketa. Selanjutnya presiden memberikan instruksi-instruksi yang harus

dipatuhi oleh lembaga negara yang sedang bersengketa. Masalahnya adalah,

penyelesaian dengan model demikian bukanlah penyelesaian yudisial, yang

tentu tidak memiliki kekuatan hukum bahkan dapat tidak dipatuhi.

18 Novianto M. Hantoro, Pembenahan Kelembagaan KPK : Solusi Jangka Panjang Konflik

KPK dan POLRI, Jurnal Hukum Vol. VII, No. 03/I/PG3DI/Februari 2015

19http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150218_jokowi_ganti_kapolri

diakses 12 Juni 2015

Page 81: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

71

Mahkamah konstitusi Indonesia dalam hal mengadili sengketa

kewenangan lembaga negara dibatasi pada lembaga negara yang

kewenanganya hanya berasal dari UUD NRI 1945. Jika melihat konstitusi

Korea Selatan dalam Pasal 111 ayat (1) menjelaskan bahwa Mahkamah

Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan dalam hal:

1. The constitutionality of law upon the request of the court;

2. Impeachment;

3. Dissolution of a political part;

4. Competence dispute between state agencies, between state

agencies and local governments, and between local

government; and

5. Contitusional complaint as prescribed by act.

Walaupun Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki lima

kewenangan, namun dalam hal ini yang dibahas hanya kewenangan yang

berkaitan dengan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara.

Dari ketentuan Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan dapat

ditarik kesimpulan bahwa Mahkamah Korea Selatan memiliki kewenangan

untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antara:

a. Lembaga-lembaga negara;

b. Lembaga negara dengan pemerintah daerah;

c. Pemerintah daerah dengan pemerintah daerah.

Di Jerman, kewenangan memutus sengketa kewenangan antar

lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 93 ayat (3)

Page 82: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

72

Konstitusi Federal Jerman disebutkan bahwa the Federal Constitution Court

berwenang memutus:

“In case of differences of opinion on the rights and duties of the

Federation and the States (Lander), particularly in the execution of federal law

by the States (Lander) and in the exercise of federal supervision; on other

disputes involving public law, between the federation and the States (Lander,

between different States (Lander) or within a State (Land), unless recourse to

another court exist.20

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Jerman mengatur bahwa yang

berhak untuk menjadi tergugat dan penggugat dalam perkara sengketa

kewenangan adalah Presiden, Bundestag, Bun-desrat, pemerintah federal,

serta bagian-bagian lembaga yang memiliki kewenangan tersendiri sesuai

dengan ketentuan Konstitusi, atau Peraturan Tata Tertib Bundestag atau

Bundesrat. Di samping itu, pemerintah federal dalam kasus sengketa

kewenangan antarlembaga negara Federasi dan pemerintah negara bagian.

Dalam kasus sengketa kewenangan antarlembaga negara bagian berhak

menjadi penggugat dan tergugat dalam sengketa kewenangan antarlembaga

negara.21

Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dan

Konstitusi Jerman dapat menyelesaikan setiap sengketa lembaga negara,

tanpa memperhatikan apakah lembaga negara tersebut kewenanganya

20Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta : Penerbit

Konstitusi Press, 2005), h. 6-7

21

C.F. Strong mengisyaratkan, bahwa konstitusi federal sesungguhnya adalah sebuah

kesepakatan tentang hak dan kewajiban otoritas negara bagian dan otoritas federal. Jika muncul

konflik antara kedua otoritas itu, maka otoritas yang melindungi supremasi konstitusi ditegakkan.

Lihat, C.F. Strong, h. 144-145.

Page 83: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

73

diberikan atau tidak oleh konstitusi. Dalam hal menyelesaikan setiap sengketa

kewenangan lembaga negara, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dan

Jerman berbeda dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia. Mahkamah

Konstitusi Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga

negara terbatas pada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

UUD NRI 1945.22

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berpendapat bahwa bilamana

konflik antar lembaga negara, pemerintah daerah dan lembaga-lembaga

negara tentang tugas dan masing-masing lembaga, tidak hanya

membahayakan prinsip check and balances antara kekuasaan publik, tetapi

juga berisiko melumpuhkan fungsi pemerintahan yang penting. Hal ini dapat

menimbulkan ancaman terhadap hak-hak dasar warga negara, yang

menyerukan mekanisme koordinasi yang sistemis. Konstitusi Korea Selatan

telah menganugerahi Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan mengadili

sengketa kewenangan sebagian dari fungsi menjaga konstitusi.23

Prinsip yang diterapkan dalam konstitusi Korea Selatan sekaligus

memenuhi konsep lembaga negara, tanpa perkecualian. Artinya bahwa,

lembaga negara yang dimaksud dalam konstitusi Korea Selatan tidak

membedakan antara lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi,

undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lain.24 Dengan

22 Winasis Yulianto, Rekonseptualisasi Penyelesaian Senketa Kewenangan Lembaga

Negara, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol XII, Nomor 1, Mei 2014, h. 1132

23

Alenia ini dan kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi Korea Selatan merupakan

terjemahan dari website Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, http://english.court.go.kr/ diunduh

Selasa 16 Juni 2015.

24

Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga Negara di Indonesia menjadi empat: lembaga

negara yang dibentuk oleh UUD, undang-undang, Keputusan Presiden dan peraturan Menteri.

Page 84: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

74

demikian, model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di

Korea Selatan lebih memenuhi rasa kepastian hukum. Hal ini mengingat di

Korea Selatan terdapat lembaga yudisial yang mengadili sengketa

kewenangan lembaga negara tanpa melihat sumber kewenangan, yaitu

Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam hal mengadili sengketa

kewenangan lembaga negara dibatasi pada lembaga negara yang

kewenangannya berasal dari UUD NRI 1945. Di luar lembaga negara yang

kewenangannya diberikan secara atribusi oleh UUD 1945, Mahkamah

Konstitusi Indonesia tidak memiliki kewenangan mengadili. Oleh karena itu,

pelajaran dari Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dapat diadopsi oleh

Mahkamah Konstitusi Indonesia.25

Bilamana kita cermati argumentasi filosofis pembentukan KPK dan

Polri, seharusnya sengketa antara lembaga KPK dan Polri tidak perlu

terjadi. Konsideran menimbang huruf a UU KPK maupun konsideran

menimbang huruf a UU Polri, keduanya dimaksudkan untuk mewujudkan

masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan

UUD NRI 1945. Dengan demikian ada kesamaan tujuan pembentukan

KPK dan Polri, yaitu dalam kerangka mewujudkan masyarakat yang adil,

makmur dan sejahtera.26

Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sinar Grafika, 2010,

h. 66

25

Andy Omara mempergunakan istilah a good for the Indonesian Constitusional court,

lihat Andy Omara, Lesson From Korean Constitutional Court: What Can Indonesia Learn From

Korean Constitutional Court Experience?, Seoul: Korean Lagislation Research Institute, 2008, h.

50

26

Winasis Yulianto, Rekonseptualisasi Penyelesaian Senketa Kewenangan Lembaga

Negara, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol XII, Nomor 1, Mei 2014, h. 1129

Page 85: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberi kewenangan

yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru

ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang

rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak

“mengambil alih” kewenangan lembaga lain, melainkan “diberi” atau

“mendapat” kewenangan dari pembuat UU sebagai bagian dari upaya

melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum,

peradilan dan kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, keberadaan

dan kedudukan lembaga negara ada yang tercantum di dalam UUD

Negara Republik Indonesia 1945 dan ada pula yang tidak tercantum

dalam UUD 1945 melainkan dibentuk berdasarkan undang-undang,

termasuk KPK sebagai lembaga negara bantu.

2. Sengketa kewenangan lembaga KPK dengan Kepolisian yang terjadi

pada tahun 2009 yaitu kasus Bibit dan Chandra, kasus Djoko Susilo

pada tahun 2012, dan yang terakhir kasus penetapan calon Kapolri

Budi Gunawan tahun 2015. Sengketa lembaga tersebut diselesaikan

oleh Presiden dengan mempertemukan pimpinan lembaga negara yang

sedang bersengketa. Penyelesaian dengan model demikian bukanlah

penyelesaian yudisial, penyelesaian ini tidak memiliki kekuatan hukum

dan dapat tidak dipatuhi. Lembaga negara yang kewenanganya

Page 86: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

76

diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka terdapat

lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah

Konstitusi. Namun, Sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya tidak diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia

1945, maka terjadi kekosongan hukum. Sengketa antara KPK dan Polri

merupakan sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur

dalam UUD NRI 1945. Sumber kewenangan KPK adalah UU KPK,

sedangkan kewenangan Polri adalah UU POLRI. Ini berarti bahwa

kedua lembaga tidak dapat menjadi pemohon dalam sengketa lembaga

negara yang menjadi otoritas Mahkamah Konstitusi.

B. Saran

1. Para penegak hukum harus lebih fokus pada batasan yang telah

ditentukan oleh Undang-Undang KPK dan tidak mengenyampingkan

batasan tersebut dengan adanya MoU antara KPK, Polri dan

Kejaksaan. Jika MoU tersebut tidak sesuai dengan undang-undang dan

menyebabkan ketidakpastian hukum perlu dilakukan judicial review ke

Mahkamah Agung.

2. Perlu dilakukan harmonisasi kembali Undang-Undang KPK baik antar

pasalnya maupun dengan peraturan perundang-undangan lain yang

terkait agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga

penegak hukum lainnya, perlu adanya lembaga yudisial yang dapat

Page 87: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

77

menyelesaikan sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak

diatur oleh UUD 1945 demi adanya kepastian hukum.

3. Saling berebut wewenang dalam penanganan tindak pidana korupsi

sebenarnya tidak perlu terjadi jika semua lembaga mempunyai

kesungguhan tujuan yang sama memberantas korupsi di Indonesia, dan

bukan berdasarkan kepentingan ego lembaga masing-masing. Maka

bentuk-bentuk koordinasi antar lembaga KPK dengan Penegak hukum

lainnya dilakukan lebih baik lagi.

Page 88: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU :

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta:

Konstitusi Press, 2006.

----------------------- . Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta :

Konstitusi Press, 2006.

---------------------- . Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Jakarta : Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006.

---------------------- . Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung. Jakarta :

Konstitusi Press, 2005.

---------------------- . Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sinar

Grafika, 2010.

---------------------- . Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta:

Konstitusi Press, 2005.

Ali, Zaenudin. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2012.

Arifin dkk, Firmansyah. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar

Lembaga Negara. Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005.

Azhary. Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-

Unsurnya. Jakarta: UI Press, 1995.

Alkostar, Artidjo. Korupsi Politik Dinegara Modern. Yogyakarta: FH UII Press,

2008.

Brian Z, Tamanaha. On the Rule of Law, History, Politics, Theory. Cambridge:

University Press, 2006.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977.

Collin Talbot, and Christoper Pollit. Unbundled Government; A Critical Analysis

of The Global Trend to Agencies, Quangos and Contractualisation. London:

Routledge, 2004.

Danang Widoyoko, dan Teten Masduki. Menunggu Gebrakan KPK, Jentera 8

Tahun III. Maret, 2005.

Page 89: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Danil, Elwi. Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasanya. Jakarta:

Rajawali Pers, 2011.

Effendi, Marwan. Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum.

Jakarta: Gramedia, 2005.

Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan

UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana, 2009.

Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina

Ilmu, 1987.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2005.

Harjono, Transformasi dan Demokrasi. Jakarta: Sekretariat Jendral dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009.

Hamzah, Fahri. Demokrasi Transisi Korupsi : Orkestra Pemberantasan Korupsi

Sistemik. Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012.

Hakim, Lukman. Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia. Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, 2009.

Hakim, Lukman. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataanya dalam

Kerangka Sistem Hukum Nasional. Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi

80 Mei-Agustus, 2010.

Hantoro, Novianto M. Pembenahan Kelambagaan KPK: Solusi Jangka Panjang

Konflik KPK dan POLRI. Jurnal Hukum Vol. VII, No. 03/I/PG3

DI/Februari, 2015.

Kelsen, Hans.General Theory of Law and State. New York: Russell and Russell,

1961.

Luthfi Yazid, T.M. Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-Cita Negara

Hukum. Jakarta: Makalah disampaikan pada diskusi terbatas eksistensi

kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, 2004.

Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia. Jakarta: Gema Insani

Press, 1996.

Muslim, Mahmudin. Jalan Panjang Menuju KPTPK. Jakarta : Gerakan Rakyat

Anti Korupsi Indonesia, 2004.

Page 90: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Mahfud MD, Moh. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta:

Rineka Cipta, 2001.

--------------------- . Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit

UNDIP, 1995.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.

Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta:

Sinar Harapan, 1994.

Nazriyah, Riris. Kewenangan KPK dalam Penyidikan Kasus Simulator SIM.

Jurnal Hukum Quia Iustum Vol. 19, Nomor 4.Yogyakarta, 2012.

Omara, Andy. Lesson From Korean Constitutional Court: What Can Indonesia

Learn From Korean Constitutional Court Experience?. Seoul: Lagislation

Research Institute, 2008.

Soemantri M, Sri. Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem

Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Surabaya: Airlangga University Press.

Sabine, George H. A History of Political Theory, Third Edition. New York: Holt

Rinehart and Winston, 1961.

Thohari, A. Ahsin. Kedudukan Komisi-Komisi Negara dalam Struktur

Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Jentera Jurnal Hukum Edisi 12 Tahun

III, 2006.

Triwulan Tutik, Titik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2010.

Termorshuizen, Marjenne. Kamus Hukum Belanda-indonesia. Jakarta: Djambatan

Cet-2, 2002.

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Ichtiar, 1962.

Utari, Sri, Karakter Demokrasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Dikaitkan

dengan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Tesis: Magister Ilmu Hukum

Universitas Indonesia, 1998.

Page 91: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Widagdo Eddyono, Lutfhi. Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

oleh Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Jurnal Hukum Volume 7, Nomor 3,

2010.

Yulianto, winasis. Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan

Lembaga Negara. Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. XII, Nomor 1, 2014.

PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Perubaha Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 Judicial

Review Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial Review

terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Memorandum of Understanding KPK, POLRI, Kejaksaan. SPJ-39/01/-03/2012,

B/23/III/2012, KEP 049/A/JA/03/2012.

Internet :

http://www.metrotvnews.com Yusril Kewenangan Polri Lebih Kuat dari KPK.

Diakses 29 Mei 2015.

www.bbc.co.uk/indonesia/berita indonesia/2015/02/150218 jokowi ganti kapolri

diakses 12 juni 2015.

www.nasional.news.viva.co.id KPK terima penghitungan kerugian kasus

simulator SIM diakses 29 Mei 2015.

http://english.court.go.kr/ diunduh Selasa 16 Juni 2015.

www.detik.com diakses 29 Mei 2015

Page 92: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

www.nasional.kompas.com inilah kronologi kasus penyidikan kasus Chandra dan

Bibit. Diakses 5 Juli 2015.

KAMUS :

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Page 93: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002

TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;

b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;

c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);

Page 94: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN : Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

3. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 2

Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 3 Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Pasal 4 Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal 5 Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada :

a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. kepentingan umum; dan e. proporsionalitas.

BAB II

TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN

Pasal 6 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Page 95: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 7

Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang

terkait; d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Pasal 8 (1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi

Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 9

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang

dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang

sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau

legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana

korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 10 Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Pasal 11 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Page 96: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 12 (1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan

tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga

hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka

dari jabatannya; f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya

atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut : a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara; b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal 14 Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan

pemerintah; b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika

berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan

Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.

Pasal 15

Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban : a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun

memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi; b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk

memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;

c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;

d. menegakkan sumpah jabatan; e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5.

Page 97: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

BAB III TATA CARA PELAPORAN DAN

PENENTUAN STATUS GRATIFIKASI Pasal 16

Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut : a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat :

1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; 2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; 4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5) nilai gratifikasi yang diterima.

Pasal 17

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.

(2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.

(3) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.

(5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.

(6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.

Pasal 18

Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dalam Berita Negara.

BAB IV TEMPAT KEDUDUKAN, TANGGUNG JAWAB,

DAN SUSUNAN ORGANISASI

Pasal 19 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah

kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Pasal 20 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan

menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

(2) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara : a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya; b. menerbitkan laporan tahunan; dan c. membuka akses informasi.

Pasal 21

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:

Page 98: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;

b. Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.

(3) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun sebagai berikut:

a. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan b. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang, masing-masing

merangkap Anggota. (4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah pejabat

negara. (5) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah

penyidik dan penuntut umum. (6) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif. (7) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah

penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 22 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi pemilihan. (2) Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi. (3) Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan mengumpulkan

calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan dari masyarakat. (4) Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan terlebih dahulu

kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan calon yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan.

(5) Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan mengajukan 8 (delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dipilih 4 (empat) orang anggota.

(6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal panitia seleksi pemilihan dibentuk.

Pasal 23

Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 24 (1) Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah warga negara Indonesia yang

karena kepakarannya diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c

adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 25

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi: a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi

Pemberantasan Korupsi; b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan

pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi; c. menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.

(2) Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Page 99: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 26

(1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan 4 (empat) bidang yang terdiri atas: a. Bidang Pencegahan; b. Bidang Penindakan; c. Bidang Informasi dan Data; dan d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.

(3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membawahkan: a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; b. Subbidang Gratifikasi; c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan.

(4) Bidang Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b membawahkan: a. Subbidang Penyelidikan; b. Subbidang Penyidikan; dan c. Subbidang Penuntutan.

(5) Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c membawahkan: a. Subbidang Pengolahan Informasi dan Data; b. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi; c. Subbidang Monitor.

(6) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d membawahkan: a. Subbidang Pengawasan Internal; b. Subbidang Pengaduan Masyarakat.

(7) Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan Subbidang Penuntutan, masing-masing membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai dengan kebutuhan subbidangnya.

(8) Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 27

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.

(2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia.

(3) Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 28

Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi.

BAB V PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Pasal 29 Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani;

Page 100: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;

e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;

f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi

Pemberantasan Korupsi; j. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan k. mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30 (1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a

dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.

(2) Untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.

(4) Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengumumkan penerimaan calon.

(5) Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja secara terus menerus. (6) Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan terhadap nama

calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi paling lambat 1

(satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan. (8) Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden Republik

Indonesia. (9) Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari

panitia seleksi, Presiden Republik Indonesia menyampaikan nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(10) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia.

(11) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua.

(12) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara.

(13) Presiden Republik Indonesia wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 31

Proses pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan secara transparan.

Pasal 32 (1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:

a. meninggal dunia; b. berakhir masa jabatannya; c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;

Page 101: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

d. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya;

e. mengundurkan diri; atau f. dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.

(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Pasal 33

(1) Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31.

Pasal 34

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.

Pasal 35 (1) Sebelum memangku jabatan, Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi wajib

mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia. (2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang kepada saya”.

Pasal 36

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada

hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun;

b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;

c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.

Page 102: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 37 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

BAB VI PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 38 (1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 39

(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

(2) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 40

Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Pasal 41 Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 42 Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

Bagian Kedua Penyelidikan

Pasal 43 (1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana

korupsi.

Pasal 44 (1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya

dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Page 103: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.

(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.

(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.

(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bagian Ketiga

Penyidikan Pasal 45

(1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.

Pasal 46 (1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung

sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.

Pasal 47

(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.

(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita; b. keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan; c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut; d. tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan e. tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.

(4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada tersangka

atau keluarganya.

Pasal 48 Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.

Pasal 49 Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.

Pasal 50 (1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan

penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan,

widi1642003
Sticky Note
tahap penyelidikan. pasal 183/4 kuhap pasal 1 (2). bukti yg cukup yaitu 2 bukti permulaan (penyelidikan) dan 2 bukti (penyidikan) yang saling berkesuaian (baru dikatakan benar, pasal 185 (6)) . 2 bukti untuk seluruh unsur jadi bisa jadi ada bukti yang digunakan berulang-ulang jadi tindak pidananya yg dibuktikan dengna 2 bukti. Keterangan saksi yg benar adalah yang sesuai dengan bukti. contoh apakah anda melihat adnan dipukul ? ya ! sakit gak ? sakit ! nah itu pasiti bohong karena dia hanya melihat bukan yg dipukul yang dilakukan pemeriksaan oleh gratif lhkpn dan dumas bukan merupakan rangkaian peristiwa seperit yg dimaksud daam pasal 1 kuhap tentang definisi penyelidikan tidak ada istilah saksi ahli oleh karena itu harus harus dibedakan antara saksi dan ahli , kalo saksi itu melalui penginderaan (lihat, dengar mengalami) sedangkan ahli itu melalui keilmuan. barbuk bisa jadi alat bukti jika sudah disita. satu barang tidak boleh disita dua kali. dalam peraturan peradilan alat bukti boleh dipinjamkan kepada penyidik lain.
Page 104: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Bagian Keempat

Penuntutan Pasal 51

(1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.

(3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.

Pasal 52 (1) Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari

kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus.

BAB VII

PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 53

Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 54 (1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. (2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

(3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.

Pasal 55

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) juga berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.

Pasal 56 (1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc. (2) Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan

Ketua Mahkamah Agung. (3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik

Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung. (4) Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman kepada masyarakat.

Page 105: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 57 (1) Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 56 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun; b. berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi; c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya; dan d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin.

(2) Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman

sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum; e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada proses pemilihan; f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.

Pasal 58

(1) Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.

Pasal 59

(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.

(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 juga berlaku bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.

Pasal 60

(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.

(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman

sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun di bidang hukum; e. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun pada proses pemilihan; f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.

Page 106: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 61

(1) Sebelum memangku jabatan, hakim ad hoc wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia.

(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.

Pasal 62 Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BAB VIII REHABILITASI DAN KOMPENSASI

Pasal 63 (1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang

dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.

(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.

(4) Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi yang harus dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

BAB IX

PEMBIAYAAN Pasal 64

Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB X KETENTUAN PIDANA

Pasal 65

Page 107: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 66 Dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang : a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait

dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa alasan yang sah;

b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;

c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.

Pasal 67

Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.

BAB XI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 68 Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 69 (1) Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi maka Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi bagian Bidang Pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 70

Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 71 (1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak berlaku;

(2) Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak berlaku.

Page 108: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 72 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 137 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, Ttd. Edy Sudibyo ------------------------------------

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002

TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

I. UMUM

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas

Page 109: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang. Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: 1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada

sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;

2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; 3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi

(trigger mechanism); 4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan

tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain: 1) ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;

2) ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;

3) ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;

Page 110: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

4) ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan

5) ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia. Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas. Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas.

Page 111: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan : a. “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan

perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

b. “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

c. “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. “kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

e. “proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)

Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i.

Ayat (4)

Page 112: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Huruf a

Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 12 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau korporasi. Huruf g

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar.

Huruf h Cukup jelas Huruf i

Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan.

Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Huruf a

Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.

Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas

Page 113: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 16 Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas

Page 114: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Huruf h Cukup jelas Huruf i

Yang dimaksud dengan “jabatan lainnya” misalnya komisaris atau direksi, baik pada Badan Usaha Milik Negara atau swasta.

Huruf j Yang dimaksud dengan “profesinya”, misalnya advokat, akuntan publik, atau dokter. Huruf k Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31

Yang dimaksud dengan “transparan” adalah masyarakat dapat mengikuti proses dan mekanisme pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Yang dimaksud “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan. Ayat (2) Cukup jelas

Page 115: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan. Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menetapkan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Ketua Mahkamah Agung dapat menyeleksi hakim yang bertugas pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Berdasarkan ketentuan ini maka pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif. Pengumuman dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat masukan dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan untuk pemeriksaan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Page 116: KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/... · DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai

Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Yang dimaksud dengan “biaya” termasuk juga biaya untuk pembayaran rehabilitasi dan kompensasi. Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4250