Konflik Pertambangan Timah

3

Click here to load reader

Transcript of Konflik Pertambangan Timah

Page 1: Konflik Pertambangan Timah

Pemerintah sebagai Sumber Konflik Taufik Rahman Aktivis Lingkar Studi CSR www.csrindonesia.com Kendati tidak termasuk kategori pustaka yang baru, buku ini masih menyimpan informasi penting dan menarik. Buku ini diangkat dari seri penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang otonomi daerah, konflik, dan daya saing. Sebelumnya LIPI juga menerbitkan laporan penelitian serupa dengan mengambil objek konflik di wilayah tambang emas (2003) dan batu bara (2004). Sebagaimana rangkaian penelitian sebelumnya, buku ini menempatkan tiga subjek utama sebagai pemangku kepentingan dari berbagai peristiwa konflik di wilayah pertambangan, yakni pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Seperti tampak pada judulnya, buku ini mengambil fokus pada pemetaan dan alternatif pemecahan konflik di area pertambangan timah di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Isu ini sempat kembali naik ke permukaan di pertengahan tahun 2007. Seperti terdokumentasi dalam pemberitaan media, konflik di area pertambangan timah Bebel ini tidak hanya melibatkan perusahaan—dalam hal ini PT Koba Tin dan PT Timah Tbk.—namun juga pemerintah (pusat dan daerah). Tarik-menarik dan konflik kepentingan di antara tiga pemangku kepentingan itu utama (perusahaan, pemerintah pusat dan daerah, dan masyarakat penambang “tradisional” dan non-penambang) atas akses dan pengelolaan sumberdaya alam berupa tambang timah di Babel tampaknya masih akan terus berlangsung. Secara historis, konflik di Babel atas tambang timah memiliki akar yang sangat panjang. Isu yang menjadi sumber konflik pun sangat kompleks. Ia melibatkan konflik dengan nuansa kepentingan ekonomi, lingkungan, dan politik sekaligus. Secara politis, konflik atas penguasaan tambang timah di Babel sudah berlangsung sejak abad ke 18, yakni sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu konflik melibatkan VOC (Belanda) dan kolonial Inggris. Tampaknya, buku ini menggunakan lacakan akar historis sebagai perspektif pemetaan konflik yang bernuansa politis. Dan secara umum, buku ini berkecenderungan untuk mengambil kesimpulan bahwa soal dinamika pasang-surut persaingan yang memperebutkan monopoli hak politik atas tambang timah sebagai akar pokok permasalahan konflik timah di Babel hingga kini. Perseteruan memperebutkan hak eksploitasi lahan dan penguasaan dagang timah antara Belanda dan Inggris juga melahirkan aktor lain, yakni para penyelundup. Demikian pula dengan kehadiran para penambang ”liar” dari berbagai daerah yang datang ke Babel, khususnya para penambang asal Malaysia dan Thailand yang majoritas beretnis Cina. Melihat perseteruan yang semakin hari menajam dan mengarah pada ”perang timah”, pemerintah kolonial Belanda pada 1819 mengeluarkan Tin Reglement (TI) yang berisi bahwa 1) Penambangan Timah di Bangka langsung di bawah kekuasaan Residen; 2) Timah adalah monopoli penuh pemerintah Belanda; 3) Tambang timah partikelir dilarang sama sekali.

Judul Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi.

Penulis Iskandar Zulkarnaen, dkk. Penerbit Jakarta, LIPI Press, 2005 Halaman 193+ix halaman

Page 2: Konflik Pertambangan Timah

Kehadiran para penambang ”liar” baik dari luar Babel maupun dari Babel sendiri, banyak menimbulkan benturan sosial dan persaingan bisnis tidak sehat. Hasilnya konflik dengan penyebab pokok persaingan monopoli, perdagangan, penyelundupan, dan rusaknya hutan terus-menerus berlangsung hingga kini. Setahap demi setahap area hutan dan pertanian lada semakin berkurang. Bahkan menurut catatan Biro Pusat Statitik Provinsi Babel, proporsi ekspor lada terus saja menurun, dari 34,11% pada tahun 2003 menjadi 7,30% pada 2004. Atas semakin rusaknya kondisi lingkungan Babel, Pemerintah Pusat tampak “menutup mata”. Hadirnya SK Memperindag No. 146 tahun 1999, di mana kata “timah” dihilangkan dari daftar barang ekspor yang diawasi dan tidak muncul dalam daftar barang ekspor yang diatur oleh Pemerintah, ditafsirkan sebagai hilangnya monopoli Pemerintah Pusat. Para pelaku TI dan Penambang Tanpa Izin (PETI) jelas mendapat tempat dan peluang. Mereka bukan saja melakukan penambangan di berbagai kawasan secara sembarangan dan jelas merusak tata lingkungan, namun juga memaksa meraksak masuk ke area konsesi tambang PT Timah dan PT Koba Tin. Kondisinya semakin parah setelah Babel pada tahun 2001 resmi menjadi provinsi ke-31 wilayah RI. Pemekaran wilayah yang dilandasi oleh kebijakan otonomi daerah ini, menjadikan wilayah Babel sebagai provinsi dan kabupaten-kabupaten baru lebih memfokuskan diri pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disebutkan dengan tegas oleh buku ini, majoritas TI dan PETI mendapatkan izin dan perlindungan dari pemerintah daerah, baik berupa penerbitan izin resmi dari Bupati maupun sebagai kelompok yang bekerja di bawah perlindungan dan kepentingan bisnis para pejabat pemerintah daerah—termasuk sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mereka bukan saja melakukan penambangan, namun juga aktif dalam jaringan penyelundupan. Dalam kondisi seperti ini, pendekatan keamanan yang biasa dilakukan oleh perusahaan. Hanya saja, setiap konflik laten seperti umumnya terjadi di wilayah tambang, pendekatan keamanan sering kali tidak menyelesaikan masalah. Ia justru menjadi masalah baru. Bagaimana pun bentrokan antara masyarakat dan perusahaan terjadi karena alasan hajat hidup. Masyarakat Babel sendiri merasa tidak alternatif lain kecuali menambang untuk melangsungkan kehidupan setelah lahan pertanian lada terus diserobot penambang liar. Bahkan buku ini juga menyatakan bahwa persepsi masyarakat atas program CD perusahaan, bukan sebagai bantuan perusahaan sebagaimana umumnya dipahami, namun sebagai sebuah pemberian kesempatan untuk melakukan penambangan di area konsesi perusahaan dengan bantuan peralatan dan bantuan lainnya dari perusahaan. Melihat kondisi seperti ini, PT Timah sendiri pada akhirnya membuat solusi alternatif dengan memprakarsai didirikannya Asosiasi Tambang Rakyat (ASTIRA), di mana para pelaku TI diizinkan melakukan penambangan di areal konsesinya dengan binaan dan pengawasan dari perusahaan asal hasil tambang dijual kepada mereka. Langkah senada juga dilakukan oleh PT Koba Tin. Namun ketika harga pasir timah yang ditawarkan di pasar jauh lebih tinggi dari yang ditawarkan perusahaan, para pelaku TI pun menjualnya sendiri ke pasar internasional—tentunya dengan bantuan “oknum” aparat Pemda. Dengan praktik bisnis tambang timah seperti itu, buku ini berkesimpulan bahwa tarik-menarik kepentingan ekonomi, perubahan peruntukan lahan, degradasi lingkungan, dan program pengembangan masyarakat (CD) perusahaan, menjadi akar utama konflik di kawasan tambang timah Babel. Ini semua dijelaskan relatif detail dan bahkan sampai pada pelacakan akar historis konflik tambang timah sejak abad ke-18. Namun sayang pada bagian alternatif pemecahan masalah, uraiannya cenderung terlalu singkat dan makro dengan mengedepankan rekomendasi political will dari Pemerintah (pusat dan daerah) dan perusahaan. Bahkan tidak ditemukan solusi alternatif yang memadai untuk soal degradasai lingkungan, pengembalian tata guna lahan, dan upaya mengembalikan “kejayaan” ekspor lada Babel untuk menyeimbangkan ketergantungan masyarakat dari pilihan melakukan TI. Catatan penting lainnya adalah, kendati di bagian konflik antarmasyarakat ditemukan fakta ada unsur dinamika konflik etnis (Cina dan Melayu), namun buku ini tidak begitu dalam memerhatikan hal ini. Demikian pula

Page 3: Konflik Pertambangan Timah

pergesekan konflik bernuansa “nasionalisme” antara Indonesia dengan Malaysia. Pembahasan mengenai masalah ini tampaknya akan menjadi suatu isu penting dalam perkembangan konflik ke depan di tanah Babel. Hal ini penting diperhatikan, mengingat kinerja PT Timah Tbk., sebagai perusahaan nasional terus-menerus menunjukkan penurunan. Tidak tertutup kemungkinan penguasaan tambang timah pada akhirnya akan berpindah tangan kepada PT Koba Tin, sebuah perusahaan multinasional asal Australia yang sejak April 2002, 75% sahamnnya dikuasai oleh Malaysia Smelting Corporation Berrhard (MSC). Secara historis, operasi PT Koba sendiri yang hadir sejak tahun 1974 tampak berhubungan dengan konflik terbuka yang sering berlangsung hingga kini antara penambang Indonesia dengan penambang asal Malaysia dan Thailand yang majoritas beretnis Cina. Kalau buku ini dibandingkan dengan yang sejenis, yaitu karya Erwiza Erman yang berjudul ”Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat (1892-1996)”, yang juga terbit dalam tahun yang sama, tampaknya orang akan berkesimpulan bahwa kajian sejarahnya tidaklah semendalam buku Erman. Namun, buku ini memanglah bukan buku sejarah. Ia menggunakan sejarah sebagai salah satu penjelas akar konflik. Bagaimanapun, penjelasan mengenai konflik memang berhutang banyak pada metodologi sejarah, walaupun pemecahan masalah yang ada mungkin tidak bisa dilakukan dengan sekadar menengok masa lalu. Karya Erman tidak berpretensi memberi rekomendasi atas penyelesaian konflik, sehingga wajar kalau pembacanya tak berkeberatan dengan sejarah ”saja”. Karya Zulkarnaen, dkk mencantumkan rekomendasi, namun masih tampak setengah hati. Mungkin memang terlalu berat untuk memberikan rekomendasi pemecahan masalah, manakala sumber masalahnya adalah sang penguasa sendiri. Dari sudut pandang CSR, pada titik di mana pemerintah adalah sumber masalah, perusahaan seharusnya melakukan politik yang positif. Mereka harus berperan serta mengubah kebijakan dan praktik pengelolaan sumberdaya alam. Tetapi, tentu saja, hanya perusahaan yang berwawasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) saja yang bisa melakukannya. Pertanyaannya: apakah perusahaan-perusahaan eksploitasi timah yang beroperasi di Babel sudah berwawasan seperti itu.