KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama...
Transcript of KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama...
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
1
KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN
(Studi Kasus Antara PT Sumber Sari Petung Dengan Warga Masyarakat Kecamatan
Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur)
Erna Sri Wibawanti dan Suswoto
Fakultas Hukum Universitas Janabadra
Abstract
Conflict of land estates mastery between PT Sumber Sari Petung (PT SSP) and citizens
of Ngancar Kediri with the background of the confidence of citizens in the three (3)
villages, those are Babadan Village, Sugih Waras Village and Sempu Village Ngancar
District that the land owned by PT SSP is the land which belongs to them, while PT SSP
insisted that the land is theirs which is reinforced by the Right Granting Decree of BPN
(SK. No. 28 / HGU / DA / 1074). This conflict began culminated with the release of the
National Land Agency Decision No. 66 / HGU / BPN / 2000, which decided that the
land that had been controlled by PT SSP area of 654.92 hectares of land declared as a
state land and give the Cultivation Rights Title area of 3.842.760 M2 (three million eight
hundred and forty-two thousand seven hundred and sixty meters square) to PT. SSP and
the other 2.500.000 (250 Ha) is declared as an object of land reform. This conflict
solution is initially done by approaches and discussions involving various parties.
However, this method ultimately cannot resolve the conflict, and finally the solution is
done through justice. In the judicial process, from the PTUN, the Civil Court to the
Supreme Court ruling, all of them in favor of the PT SSP side. But the court ruling that
already has a permanent legal force cannot be enjoyed by PT SSP, because BPN as the
defeated party does not want to implement the ruling. Due to the absence of certainty,
finally the completion has been done again through some case titles by the Land Office
from Kediri District. Finally, in 2011, PT SSP give up the land area of 250 hectares, to
be released and declared as an object of Land reform which will be redistributed to
farmers in three villages.
Keywords: Conflict, Land Estates, Cultivation Rights Title
A. LATAR BELAKANG
Salah satu falsafah yang mendasari
pengaturan hak atas tanah dalam hukum
pertanahan adalah adanya pengakuan
kodrat manusia sebagai mahluk
Monodualis, yaitu manusia sebagai
mahluk individu dan sebagai mahluk
sosial. Berdasarkan hal ini, maka
Indonesia menganut prinsip keseimbangan
antara individualisme dan komunalisme.
Paham individualisme ditandai adanya
pengakuan hak milik atas tanah oleh
individu warga negara. Akan tetapi hak
individu ini selalu dilekati oleh fungsi
sosial yang merupakan penerimaan faham
komunalistis. Oleh karena itu dalam hak
milik individu selalu diletakkan dalam
bingkai kepentingan umum/kepentingan
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
2
masyarakat. Hal inilah yang mendasari
adanya ketentuan bahwa hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial1
Diberikannya suatu hak atas tanah
kepada masyarakat seringkali
menimbulkan masalah. Berbagai masalah
pertanahan yang muncul dipermukaan
penyebab utamanya karena tanah
merupakan benda yang tinggi nilainya,
benda yang sangat berharga bagi manusia,
karena setiap kegiatan yang dilakukan oleh
manusia selalu terkait/memerlukan tanah.
Hal ini juga terjadi karena ketidak
seimbangan antara luas tanah yang
tersedia dengan pertumbuhan penduduk
dan juga kebutuhan manusia akan tanah.
Masalah pertanahan juga terjadi
karena ketidak tertiban administrasi
pertanahan baik yang dipunyai oleh
pemilik tanah maupun oleh Kantor
Pertanahan selaku lembaga yang
berwenang di bidang pertanahan.
Banyaknya tanah yang belum bersertifikat
juga merupakan penyebab timbulnya
masalah pertanahan. BPN menyatakan dari
85 juta bidang tanah di Indonesia, baru
sekitar 30 persen yang terdaftar dan
diberikan hak atas tanah. Jumlah 30 persen
itu pun masih belum sempurna karena
banyak konflik tanah mengenai tapal batas
1Mahfud, Implementasi Fungsi Sosial HakAtas Tanah
dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Yogyakarta,
STPN, hlm 2
dan tumpang tindih area.2
Disamping semakin kompleks, dari
tahun ketahun jumlah kasus pertanahan
juga semakin bertambah. Menurut data
dari Badan Pertanahan Nasional, sampai
dengan bulan September 2013, jumlah
kasus pertanahan mencapai 4.223 kasus
yang terdiri dari sisa kasus tahun 2012
sebanyak 1.888 kasus dan kasus baru
sebanyak 2.335 kasus. Jumlah kasus yang
telah selesai mencapai 2.014 kasus atau
47,69% yang tersebar di 33 Propinsi
seluruh Indonesia.3
Menurut laporan dari Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang
tahun 2014 telah terjadi konflik agraria
sebanyak 472 konflik dengan luas tanah
mencapai 2.860.977.07 hektar. Konflik ini
melibatkan sedikitnya 105.887 Kepala
Keluarga. Konflik tertinggi terjadi pada
proyek infrastrukur yang mencapai 215
konflik (45,55%), diikuti konflik perluasan
peerkebunan skala besar sebanyak 183
konflik (39,19%), selanjutnya sektor
kehutanan 27 konflik (5,72%), pertanian
20 konflijk (4,24%) dan pertambangan.4
2“Konflik Tanah dan Kinerja BPN”,
http://www.suarakarya-online.com, diakses tanggal 20
September 2015 3“ Penanganan Kasus Pertanahan”
http://www.bpn.go.id, diakses tanggal 20 September
2015 4Noer Fauzi Rachman, 2015, Memahami Reorganisasi
Ruang Melalui Perspektif Politik Agraria, Jurnal
Agraria dan Pertanahan “Bhumi”, Volume 1 No 1 Mei
2015, Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,
Yogyakarta.
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
3
Berbagai kasus pertanahan ini
tentunya memerlukan penangan yang
segera. Disinilah peran pemerintah sangat
diperlukan agar permasalah tersebut segera
dapat terselesaikan dengan baik. Warga
masyarakat selalu ingin mempertahankan
hak-hak, sedangkan pemerintah harus
menjalankan tugasnya dengan baik agar
kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Oleh karena itu kasus pertanahan ini tidak
dapat diabaikan dan harus ditangani
dengan sungguh-sungguh, sebab apabila
tidak ditangani dengan sungguh-sungguh
akan membahayakan kehidupan
masyarakat dan tujuan serta program
pemerintah akan terganggu.5
Kasus pertanahan yang
berkepanjangan akan menimbulkan
keresahan dalam masyarakat, kehidupan
masyarakat akan tertanggu yang akibatkan
kesejahteraan masyarakat tidak tercapai.
Salah satu kasus pertanahan yang muncul
dan cukup menyita energi adalah kasus
yang berupa konflik berkaitan dengan
masalah penguasaan tanah yang terjadi di
Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri
Jawa Timur, yaitu konflik antara PT.
Sumber Sari Petung dengan warga
masyarakat sekitar, ini sudah terjadi cukup
lama dan mendapat perhatian dari
pemerintah untuk menangani masalah ini.
PT. Sumber Sari Petung dan warga
5 Rusmadi murad, 1991, Penyelesaian Konflik Hukum
Atas Tanah, Alumni, Bandung, hal.1
masyarakat Ngancar kedua-duanya
bersikukuh bahwa tanah tersebut adalah
tanah milik mereka, keduanya merasa
berhak atas tanah yang dikonflikkan.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka penelitian ini mengambil
permasalahan mengenai apa yang melatar
belakangi timbulnya konflik
antara PT. Sumber Sari Petung dengan
masyarakat di Kecamatan Ngancar
Kabupaten Kediri, serta bagaimana cara
penyelesaian konflik antara PT.
Sumbersari Petung dengan masyarakat di
Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif-empiris yaitu penggabungan antara
pendekatan hukum normatif dengan
penambahan dari berbagai unsur-unsur
empiris. Metode pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan judicial case study
merupakan pendekatan studi kasus hukum
karena konflik, sehingga akan melibatkan
campur tangan dengan pengadilan untuk
memberikan keputusan penyelesaian
(yurisprudensi). Penelitian ini
menggambarkan penanganan konflik
pertanahan yang terjadi antara PT. Sumber
Sari Petung dengan warga masyarakat di
Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri.
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara mengumpulkan
keterangan dan dokumen-dokumen yang
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
4
diperoleh dari PT. Sumber Sari Petung dan
juga tokoh-tokoh masyarakat petani yang
tergabung dalam Paguyupan Petani “Tri
Tunggal”, serta putusan-putusan pengadilan
yang berkaitan dengan konflik PT. Sumber
Sari Petung dengan warga Ngancar. Data-
data yang telah tekumpul selanjutnya
dianalisis secara kualitatif .
Setelah data diperoleh dari lapangan
maupun dari studi kepustakaan kemudian
direduksi dengan mendasarkan pada upaya
untuk menjawab permasalahan dan tujuan
penelitian yang diajukan. Data yang sudah
direduksi sesuai dengan pokok masalah dan
dibantu dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku selanjutnya
direkonstruksi dengan pendekatan kualitatif
ke dalam uraian diskripsi yang utuh dan
akhirnya diambil kesimpulan yang dapat
menggambarkan mengenai konflik tanah
yang terjadi antara PT. Sumber Sari Petung
dengan masyarakat di Kecamatan Ngancar.
C. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
1. Sejarah Konflik Penguasaan Tanah
antara PT SSP dengan Masyarakat
Petani Kecamatan Ngancar.
Pada hakikatnya, kasus atau juga
disebut dengan sengketa pertanahan
merupakan benturan kepentingan
(conflict of interest) di bidang
pertanahan antara siapa dengan siapa,
sebagai contoh konkret antara
perorangan dengan perorangan;
perorangan dengan badan hukum; badan
hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, guna kepastian hukum
yang diamanatkan Undang-undang
Pokok Agraria, maka terhadap kasus
pertanahan dimaksud antara lain dapat
diberikan respons/reaksi/penyelesaian
kepada yang berkepentingan
(masyarakat dan pemerintah), berupa
solusi melalui Badan Pertanahan
Nasional dan solusi melalui Badan
Peradilan.6 Apabila kasus tersebut
mempunyai dampak yang luas maka
akan menjadi konflik. Oleh karena itu
dalam tulisan ini istilah yang dipakai
adalah konflik, karena kasus ini terjadi
antara sekelompok masyarakat dengan
PT. Sumber Sari Petung yang
berdampak luas.
PT. Perkebunan Sumber Sari Petung
(PT. SSP) adalah Badan Hukum yang
disahkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kehakiman Tanggal 24 Agustus Tahun
1970. Dengan Keputusan dari
Dirjen Perkebunan Nomor
60/KB.120/SK/DJ.BUN/01.98 telah
memperoleh ijin tetap usaha budidaya
perkebunan dengan komoditas karet,
kopi, cengkeh dan tebu.
PT. SSP menguasai tanah seluas
6.Fia S.Aji, “Penyelesaian Konflik Pertanahan di
Indonesia”, http://Fiaji.blogspot.com, diakses tgl. 23
september 2015
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
5
6.343.760 m2 yang terletak di Kecamatan
Ngancar, Kabupaten Kediri. Tanah ini
terletak di 3 (tiga) desa, yaitu di Desa
Sempu seluas 3.800.600 m2, Desa
Sugihwaras seluas 1.263.890 m2 dan Desa
Babadan seluas1.279.270 m2. Tanah ini
berupa Hak Guna Usaha (HGU) dan
sudah ada sertifikatnya. Jangka waktu
HGU yang diberikan kepada PT. SSP
adalah 25 Tahun, mulai tanggal 24
Oktober 1974 sampai dengan 31
Desember 1999 ( SK. No
28/HGU/DA/1074). Secara topografi
perkebunan milik PT. SSP ini ada dua
zona yakni zona kawasan lindung dan
kawasan budidaya dengan ketinggian
antara 485 sampai dengan 680 dpl.
Menurut warga masyarakat Ngancar
yang merasa berhak atas tanah tersebut,
sejarah dari konflik antara PT. SSP dengan
masyarakat adalah sebagai berikut7:
1. Tanah tersebut merupakan
perkebunan karet milik belanda
sampai tahun 1942
2. Pada tahun 1942-1945 tanah tersebut
dikuasai pendudukan Jepang, dan
setelah Jepang pergi tanah perkebunan
menjadi hutan.
3. Pada tahun 1946 tanah perkebunan
sebagian oleh warga dibabat
kemudian ditanami ketela, kelapa,
7 Data berasal dari dokumen Organisasi Kelompok
Tani “Tri Sakti” Ngancar
kopi, pisang, jagung dan sebagian lagi
dijadikan sebagai tempat pemukiman.
4. Pada tahun 1963 tanah tersebut telah
dikenakan pajak hasil bumi dan telah
di berikan surat pipil/ petok D atas
nama penggarapnya.
5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat
dikumpulkan oleh okmun kepala desa
dan Babinsa dipaksa menandatangani
kertas segel kosong/dibubui cap
jempol dan surat pajak hasil bumi
berupa pipil/ petok D
diambil/dirampas dan pada akhirnya
terjadi penggusuran paksa tanpa ada
ganti rugi.
6. Bahwa dari data tertulis berdasarkan
klaim warga masyarakat ditiga desa
telah ditemukan data fotocopi Leter C
desa ke tiga desa yang berisi tentang
Kepemilikan tanah tersebut seluas 372
Ha milik warga 3 Desa (4 Dusun ).
7. Perjuangan merebut hak atas tanah
oleh warga yang ada di Tiga Desa di
Kecamatan Ngancar Kabupaten
Kediri dimulai pada tahun 1982 yang
diprakarsai tokoh masyarakat, akan
tetapi perjuangan tersebut melemah
karena zaman Orde Baru lebih kuat
dan berkuasa sehingga gerakan ini
terhenti.
8. Dan akhirnya pada bulan Juli 1998
ketika Reformasi bergulir warga Tiga
Desa itu yaitu Desa Sempu yang
terdiri dari Dusun Ringinsari dan
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
6
Sumber Petung, Dusun Sanding Desa
Babadan dan Dusun Jambon Desa
Sugihwaras, bergerak lagi melakukan
gerakan merebut kembali tanah yang
telah di rebut oleh PT. Sumbersari
Petung.
9. Dengan bukti petok D dan Letter C
Desa dan saksi sejarah yang masih
hidup, warga memulai gerakan besar-
besaran pada bulan Juli 1998 ke
DPRD Kab. Kediri dan dari aksi
tersebut tidak mendapatkan jawaban
yang memuaskan maka masyarakat
melakukan aksi brutal dengan
melakukan penebangan tebu kurang
lebih seluas 150 hektar yang dilkukan
warga Tiga Desa, dan setelah itu
gerakan dilanjutkan dengan
melakukan panen cengkeh, akan tetapi
gerakan tersebut mengakibatkan
penangkapan sejumlah 25 orang dari
Dusun Ringinsari dan Sumber Petung
dan dihukum penjara selama 75 hari.
10. Setelah para warga keluar dari
tahanan semangat perjuangan tidak
berhenti begitu saja, artinya setelah itu
terus melakukan perjuangan dengan
cara pengajuan hak atas tanah secara
prosedural, baik secara upaya-upaya
diplomasi maupun langkah-langkah
melalui jalur politik.
11. Pada awal tahun 2000 mulai ada titik
terang karena setelah mondar mandir
dari pemerintah daerah kabupaten,
propinsi sampai pusat, akhirnya bupati
Kediri memberi kebijakan redistribusi
lahan seluas 250 Ha.
12. Pada tanggal 16 Agustus 2000 Bupati
Kediri mengesahkan putusan Desa ke
Tiga Desa dengan SK Bupati No. 856
Tahun 2000 tentang Pembentukan
Panitia Landreform.
13. Pada tanggal 18 Desember Th 2000
Terbit SK dari BPN No
66/HGU/BPN/2000 Tentang
Redistribusi Tanah seluas 250 Ha
14. Tanggal 21 Juni 2001 terbit SK
Bupati Kediri No 363 Tahun
2001tentang Pemberian ijin
Penggarapan Lahan seluas 250 Ha
15. Pada tanggal 11-29 September Th
2001 Kantor Pertanahan Kediri
mengadakan kegiatan pengaplingan
atau ukur di tiga desa (4 Dusun)
seluas 250 Ha
16. Pada tanggal 8 januari, 20 Februari
dan 1 Maret 2002, masyarakat
(petani) melalui tiga kepala desa,
yaitu Desa Sempu, Sugihwaras dan
babadan membayar lunas tanaman
cengkih yang berada di atas tanah
250ha yang akan diresditribusikan
tersebut.
17. Pada tanggal 16 Februari 2004
PT. Sumber Sari Petung membatalkan
pembelian tanaman cengkeh dari
petani dan pembatalan itu dilakukan
secara sepihak, karena pengembalian
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
7
hasil penjualan tanaman cengkeh
tersebut pada Pengadilan Negeri
Kediri tidak memberi tahu
pembelinya terlebih dahulu (Warga
Tiga Desa).
18. Pada tanggal 8 Desember 2004 turun
penetapan PTUN tentang gugatan
PT. Sumbersari Petung terhadap SK
66/HGU/BPN 2000 dan PT. SSP
dimenangkan oleh PTUN
19. Terhadap putusan dari PTUN tersebut
BPN melakukan banding ke PT-TUN
Jakarta, dan PT. SSP dimenangkan
lagi. BPN melakukan Kasisasi ke
Mahkamah Agung (MA).
20. Di Mahkamah Agung PT. SSP
dimenangkan lagi
21. Karena dari PTUN sampai
Mahkamah Agung PT. SSP selalu
dimenangkan dan merasa sebagai
pihak yang menang, PT Sumbersari
Petung melakukan Kriminalisasi
Petani dengan menangkap Suselo Bin
Teguh dengan tuduhan Penyerobotan
tanah. Akan saudara Suselo oleh
Pengadilan Negeri Kediri dilepaskan
tanpa syarat karena perbuatan tersebut
bukan merupakan tindak pidana.
22. Dengan lepasnya saudara Suselo,
karena tidak memenuhi unsur tindak
pidana petani (masyarakat)
menganggap sebelum ada kepastian
hukum keberadaan PT. Sumbersari
Petung yang belum memiliki HGU
maka tanah redistribusi dan tanaman
cengkeh adalah milik petani, dengan
alasan bahwa SK 66/HGU/BPN/2000
dan SK Bupati No 363 Tahun 2001
belum dicabut, dan dikuatkan lagi
oleh penetapan pembelian tanaman
cengkeh Tahun 2002 dan pada tanggal
7 Januari 2004 pembelian tanaman
cengkeh tersebut diakui Kakanwil
BPN Jawa Timur No 550.35-195
Tahun 2004.
Sedangkan menurut pihak PT. SSP, tanah
HGU tersebut diperoleh secara sah. Semula
tanah HGU obyek perkara berstatus bekas
Hak Erfpacht Verponding Nomor 223,
263,224, 264, dan 237 atas nama N.V.
Handelsvereeniging Amsterdam te
Amsterdam, seluruhnya seluas 840,2140
ha, berakhir haknya pada tanggal 27 Januari
1964; Berdasarkan Akta Jual Beli Nomor
122 tanggal 11 Pebruari 1969 yang dibuat
dihadapan Mudiyono Notaris di
Surabaya beralih kepada Ny. Halida
Sochotjo; Kemudian dengan Akta
Penyerahan Perusahaan Perkebunan
Sumber Petung pada tanggal 11 Pebruari
1969 Nomor 2 yang dibuat dihadapan
Mudiyono Notaris di Surabaya telah
diserahkan oleh Ny. Halida Sochotjo atas
dasar surat kuasa oleh Rapat Umum
Pemegang Saham PT. SAS kepada Tuan
Budihartono atas nama Perseroan
Terbatas Usaha Perkebunan Sumbersari
atau PT. Sumbersari, berkedudukan di
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
8
Kediri untuk menjadi milik PT. Sumbersari;
Kemudian PT. Sumber Sari Petung,
berkedudukan di Kediri mengajukan
permohonan Hak Guna Usaha atas tanah
tersebut sebagaimana surat permohonan
tanggal 1969; Berdasar Pemeriksaan Tanah
B tanggal 30 Maret 1973; Pada tanggal 24
Oktober 1974 diterbitkan Surat Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor :
28/HGU/DA/1974 pada intinya tentang
pemberian Hak Guna Usaha kepada PT.
Sumber Sari Petung berkedudukan di
Kediri selama 25 tahun, atas tanah seluas
654,92 ha terletak di Desa Babadan
Kecamatan Ngancar, Desa Sugihwaras
Kecamatan Ngacar, Desa Sempu Kecamatan
Ngancar, Kabupaten Kediri; Pada tanggal 18
Januari 1977 diterbitkan :
Hak Guna Usaha Nomor 4/Desa
Babadan, luas 1.279.270 m2, Surat
Ukur tanggal 25 April 1977 Nomor
17/1977 atas nama PT. Sumber Sari
Petung berkedudukan di Kediri,
berakhir haknya tanggal 31 Desember
1999;
Hak Guna Usaha Nomor 1/Desa
Sugihwaras, luas 1.263.890 m2,
Surat Ukur tanggal 25 April
1977 Nomor 18/1977 atas nama
PT. Sumber Sari Petung
berkedudukan di Kediri, berakhir
haknya tanggal 31 Desember 1999;
Hak Guna Usaha Nomor 1/Desa
Sempu, luas 3.800.600 M2, Surat
Ukur tanggal 25 April 1977 Nomor
19/1977 atas nama PT. Sumber Sari
Petung berkedudukan di Kediri,
berakhir haknya tanggal 31 Desember
1999.
Perbedaan pendapat yang didasarkan
pada pandangan masing-masing yang merasa
berhak atas tanah tersebut menjadi pemicu
konflik. Konflik ini semakin memanas
dengan keluarnya Surat Keputusan Bupati
Kediri tertanggal 29 Nopember Th 1999
Nomor 590/2766/421.08/1999 serta
Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 66/HGU/BPN/2000. Keluarnya
SK Bupati dan Keputusan kepala BPN yang
sebenarnya dalam rangka menyelesaikan
konflik tersebut, ternyata justru membuat
konflik semakin memanas.
2. Penyelesaian Konflik Penguasaan Tanah
Antara PT. SSP dengan Masyarakat
Ngancar
Ketidakadilan yang dirasakan oleh
para petani menyebabkan timbulnya
konflik antara pertani dengan perusahaan
perkebunan. Bertahun-tahun mereka
berjuang untuk memperoleh haknya yang
selama ini sudah dirampas oleh negara
dengan memberikan HGU kepada
PT. SSP.
Menurut keterangan dari pihak petani
yang tergabung dalam kelompok tani Tri
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
9
Sakti8, perjuangan untuk merebut kembali
tanahnya dimulai tahun 1982 yaitu dengan
ditemukannya Fotocopi Letter C yang
berisi tentang kepemilikan tanah tersebut
oleh warga 3 (tiga) desa, yaitu Desa
Sempu, Desa Sugih Waras dan Desa
Babadan semuanya sekitar 327 Hektare.
Dengan berbekal bukti Fotocopi Letter C
tersebut, mereka berjuang untuk merebut
kembali tanah yang sudah diberikan
kepada PT. SSP tersebut. Berbagai usaha
telah mereka lakukan akan tetapi tidak
membuahkan hasil.
Perjuangan mereka berhenti karena
kalah dengan kekuasaan Orde
Baru.Perjuangan itu kembali dilakukan
pada saat Orde Reformasi tahun 1998.
Dengan berbekal Petok D dan Leter C
serta saksi sejarah yang masih hidup warga
memulai gerakannya dengan mendatangi
kantor DPRD Kabupaten Kediri pada
bulan Juli 1998. Ternyata mereka tidak
memperoleh tanggapan yang memuaskan,
sehingga mereka melaksanakan aksi
menebangi tanaman tebu yang luasnya
mencapai 150 hektar dan memaneni
tanaman cengkeh milik PT SSP. Aksi ini
berbuntut penahanan warga Dusun Ringin
sari dan Sumber Petung sebanyak 25 dan
ditahan selama 75 hari, yang akhirnya
mereka dilepas.
Perjuangan mereka terus dilakukan,
8 Dokumen kelompok tani ‘Tri Sakti”
mereka mengajukan permohonan hak atas
tanah secara procedural, juga melakukan
upaya dengan jalur diplomasi maupun
politis. Setelah mondar-mandir dari
pemerintah kabupaten ke tingkat propinsi
bahkan ke pemerintah pusat, maka tahun
2000 mulai ada titik terang, yaitu dengan
keluarnya Surat Keputusan Bupati Kediri
tertanggal 29 Nopember Tahun 1999
Nomor 590/2766/421.08/1999 yang
intinya bahwa pada prinsipnya bupati
tidak keberatan terhadap perpanjangan
HGU PT. SSP akan tetapi perpanjangan
HGU tersebut hanya atas tanah seluas
404,92 Ha sedangkan sisanya seluas 250
Ha kembali jatuh kepada Negara dan
selanjutnya diredistribusikan kepada para
petani. Keputusan bupati ini didasarkan
dari hasil penelitian Panitia Tanah
(Panitia B) Propinsi Jawa Timur yang
menyatakan bahwa diatas tanah
perkebunan tersebut terdapat klaim dari
warga masyarakat Dusun Jambon Desa
Sugihwaras, Dusun Sanding Desa
Babadan dan Dusun Sumber petung dan
Ringinsari Desa Sempu seluruhnya seluas
kurang lebih 372 Ha.
Terhadap hal tersebut maka Wakil
Kepala BPN meminta Bupati Kediri
untuk mengadakan penelitian kembali
terhadap HGU dimaksud dan
mengadakan inventarisasi terhadap tanah
yang akan dikeluarkan dari HGU. Bupati
kemudian melakukan inventarisasi dan
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
10
pengukuran terhadap tanah seluas 250Ha.
Berdasarkan hasil penelitian dari Tim
Badan Pertanahan Nasional tanggal 17 -
19 Maret Th 2000, diperoleh hasil bahwa
PT SSP tidak serius mengelolan
tanamannya, bahkan pengelolaannya
diserahkan kepada pihak ke III tanpa ijin
terlebih dahulu dari pejabat yang
berwenang, serta penggunaannya tidak
memprioritaskan tanaman yang telah
mendapat ijin dari instansi teknis dan
terlihat adanya bekas bangunan
penduduk.
Berdasarkan hal itulah maka dalam
keputusannya (Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.
66/HGU/BPN/2000) Tentang Pemberian
Hak Guna Usaha Atas Tanah Terletak di
Kabupaten Kediri, Propinsi Jawa Timur,
menyatakan bahwa :
1. Menegaskan hapusnya Hak Guna
Usaha Nomor 1, Desa Sempu
seluas 3.800.600 M2, Nomor 1
Desa Sugihwaras seluas 1.263.890
M2 dan No 4 Desa Babadan
seluas 1.279.370 M2, atas tanah
perkebunan Sumber Petung yang
seluruhnya seluas 6.343.760 M2
(enam juta tigaratus empat puluh
tiga ribu tujuhratus enampuluh
meter persegi), yang terletak
dikecamatan Nagcar, Kabupaten
Kediri Propinsi Jawa Timur, dan
menyatakan kembali menjadi
tanah yang dikuasai oleh Negara
2. Menginstruksikan kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kediri untuk
menarik peredaran Sertifikat
tanggal 18 Januari 1977 nomor
1/Sempu, nomor 1/Sugihwaras
dan Nomor 4/Babadan, serta
menghapus dari Buku Tanah dan
Daftar Umum Pendaftaran Tanah
bekas HGU tersebut, pada Diktum
Pertama Keputusan ini dan
selanjutnya mencatat sebagai
tanah yang dikuasai oleh Negara.
3. Menyatakan bahwa tanah seluas
2.500.000M2 (250 H)
sebagaimana dimaksud dalam Peta
Lokasi Usulan Proyek Landreform
Tanah bekas HGU PT SSP tanggal
16 Agustus 2000 sebagai tanah
obyek landreform dan
menyerahkan sepenuhnya kepada
Bupati Kediri untuk mengatur
peruntukan, penggunaan dan
penguasaan tanah tersebut kepada
masyarakat
4. Memberikan Hak Guna Usaha
selama 25 (dua puluh lima) tahun
kepada PT Perkebunan Sumber
Sari Petung berkedudukan di
Kediri atas tanah Negara seluas
3.842.760 M2 (tiga juta delapan
ratus empat puluh dua ribu tujuh
ratus enam puluh meter persegi),
terletak di Kecamatan Ngancar,
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
11
Kabupaten Kediri Propinsi Jawa
Timur sebagaimana diuraikan
dalam Peta Situasi tanggal 28
Nopember 2000.
Terhadap Keputusan Kepala BPN ini
PT. SPP sudah melayangkan protes
dan Keberatan. Tetapi keberatan
tersebut tidak mendapat tanggapan.
Bahkan berdasarkan Keputusan
Kepala BPN tersebut, Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Kediri
mengeluarkan Surat No 600.352.5-
1350 tertanggal 3 Juli 2000 perihal
Pelaksanaan Redistribusi Tanah Bekas
Perkebunan Sumber Sari Petung.
Selanjutnya Bupati Kediri juga
mengeluarkan Keputusan No. 856
Tahun 2000 tentang Pengesahan
Keputusan Desa dari Desa-Desa di
Kecamatan Ngancar Kabupaten
Kediri Tentang Pembentukan Panitia
Landreform.
Tahun 2001 Bupati Kediri
mengeluarkan Keputusan No. 363
Tentang Pemberian Ijin Menggarap
Tanah Bekas Hak Guna Usaha
PT. Perkebunan Sumber Sari Petung
Kabupaten Kediri. Keputusan bupati
ini dikeluarkan sebagai tindak lanjut
keputusan kepala BPN yang
menetapkan sebagian tanah milik
PT. SSP sebagai obyek Landreform
dan akan didistribusikan kepada
masyarakat. Sambil menunggu proses
redistribusi, maka masyarakat
diijinkan untuk menggarap tanah
tersebut.
Mulailah masyarakat
mengkapling-kapling tanah seluas 250
ha yang batasnya juga tidak jelas, dan
ternyata tanah yang dikapling tersebut
berada di areal perkebunan cengkeh
terbaik dan pada tempat yang
terpencar-pencar.
PT. SSP protes keras dan
setelah melalui beberapa proses
koordinasi antara lain dengan
Departemen Pertanian-Direktorat
Jenderal Perkebunan, kemudian oleh
BPN Pusat demikian juga oleh
Pemerintah Daerah Kabupetan Kediri
PT. SSP dianjurkan untuk
menyelesaikan lewat lembaga
peradilan, maka akhirnya PT. SSP
mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara. Gugatan PT. SSP
ke PTUN berkaitan dengan
Keputusan BPN No
66/HGU/BPN/2000 tertanggal 18
Desember 2000 tentang Pemberian
HGU atas tanah terletak di Kabupaten
Kediri.
Meskipun yang berkonflik adalah
antara masyarakat di tiga dusun di
Kecamatan Ngancar dengan PT SSP,
akan tetapi yang menjadi gugatan di
pengadilan adalah Keputusan BPN
No. 66/HGU/BPN/2000 tersebut,
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
12
karena dianggap merugikan pihak
PT. SSP. Oleh karena itu dalam
gugatan dipengadilan yang berperkara
adalah PT. SSP melawan BPN selaku
tergugat.
Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta dengan Penetapan No.
131/G.TUN/2004/PTUN-JKT
memenangkan PT. SSP selaku
penggugat. Pengadilan
memerintahkan kepada Kepala BPN
selaku tergugat untuk menunda
pelaksanaan tindak lanjut
administrasi Surat Keputusan BPN
No 66/HGU/BPN/2000 tertanggal 18
Desember 2000 tentang Pemberian
HGU atas tanah terletak di Kabupaten
Kediri, yang dalam SK BPN tersebut
hanya mengabulkan perpanjangan PT
SSP seluas3.842.760 dan menyatakan
tanah seluas 250 ha sebagai obyek
landreform.
Terhadap putusan dari PTUN ini
BPN selaku pihak tergugat yang
dikalahkan melakukan Banding ke
Pengadilan Tinggi TUN di Jakarta.
Putusan dari Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara No 78/B/2005/PT TUN
Jkt, menguatkan putusan dari PTUN
Jakarta.Tidak terima dengan putusan
dari PT TUN tersebut, maka BPN
mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Mahkamah Agung dengan
putusan Mahkamah Agung No.503
K/TUN/2005, menguatkan putusan
dari PT-TUN yang berarti
memenangkan pihak PT. SSP.
Dari proses tersebut hasilnya telah
mendapat kekuatan hukum tetap
/inkrach pada tanggal 3 Juni 2008
sebagaimana yang telah diputuskan
dalam perkara No.
131/G.TUN/2004/Pt TUN Jkt Jo No.
78/B/2005/ PT TUN Jkt. Jo No. 503
K/TUN/ 2005 dengan amar sebagai
berikut:
1. Mengabulkan gugatan
penggugat seluruhnya
2. Menyatakan batal Surat
Keputusan Tergugat No.
66/HGU/PN/2000 tentang
Pemerian Hak Guna Usaha
atas Tanah terletak di
Kabupaten Kediri, Jatim
tanggal 18 Desember 2000
3. Mewajibkan tergugat untuk
mencabut SK tergugat No.
66/HGU/BPN/2000 tentang
Pemberian Hak Guna Usaha
atas Tanah, terletak di
kabupaten Kediri, Jawa Timur
Tanggal 18 Desember 2000
4. Mewajibkan tergugat untuk
menerbitkan SK tentang
pemberian Hak Guna Usaha
atas nama PT Perkebunan
Sumber Sari Petung seluas
654,92 Ha sesuai dengan
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
13
permohonan Penggugat (PT
Perkebunan Sumber Sari
Petung)
5. Menyatakan Penetapan Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta No.
131/G.TUN/2004/PTUN-JKt,
tanggal 8 September 2004
tentang penundaan
pelaksanaan SK obyek konflik
tetap berlaku sampai adanya
putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Setelah memperoleh keputusan dari
MA yang memenangkan gugatannya,
maka PT. SSP mengajukan
permohonan pelaksanaan keputusan
MA kepada Kepala BPN Pusat dengan
nomor 03/SSP/XI/DIR/2008 pada
tanggal 17 Nopember 2008 perihal
permohonan pelaksanaan putusan
pengadilan PTUN, namun tidak ada
tanggapan. Kemudian PT. SSP
berkonsultasi kepada Ketua PTUN
Jakarta dan disarankan untuk
mengajukan eksekusi. Permohonan
eksekusi tersebut diajukan kepada
Ketua PTUN Jakarta pada tanggal 25
Mei 2009 dan setelah melalui proses
anmaaning, maka Ketua PTUN
Jakarta dengan surat No.
W2.TUN1.129/HK.06/VI/2009
tertanggal 19 Juni 2009 perihal
pengawasan pelaksanaan putusan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang ditujukan kepada
Kepala BPN yang dalam butir 8
menegaskan bahwa berdasarkan
alasan-alasan tersebut diatas, maka
dengan ini diperintahkan kepada
TERGUGAT/KEPALA BPN, untuk
melaksanakan putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Nomor
131/G.TUN/2004/PTUN-JKT, tanggal
3 Februari 2005 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Tata Uaha Negara
Nomor ,78/B/2005/PT.TUN- JKT
tanggal 13 Juni 2005 jo Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 503K/TUN/2005 tanggal 8
Januari 2008 yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut.
Meskipun sudah ada perintah
melaksanakan putusan pengadilan,
BPN tidak juga segera
melaksanakannya. Setelah ditungu-
tunggu, BPN tidak juga melaksanakan
putusan pengadilan, maka PT. SSP
melayangkan surat ke Presiden untuk
perlindungan hukum. PT. SSP juga
mengajukan permohonan kepada
Direktorat Jenderal Perkebunan,
Departemen Pertanian agar sebagai
perusahaan perkebunan diberikan
kepastian dan perlindungan hukum,
agar dapat berusaha dengan tenang.
Disamping itu juga dilakukan
berbagai upaya agar putusan
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
14
pengadilan yang memenangkan PT.
SSP segera dilaksanakan.
PT. SSP yang sudah
menempuh berbagai jalur hukum
dalam kenyataannya tidak dapat
berbuat apa-apa, upaya eksekusi
yang dimohonpun tidak berhasil.
Konflik yang sudah berlangsung
sangat lama, tentu menguras sumber
daya (baik ekonomi, sosial) sampai
pada titik dimana masing-masing
pihak tidak lagi dapat berjalan dengan
aman dan nyaman. Pihak perkebunan
tidak bisa menjalankan usaha
perkebunannya dengan baik, begitu
juga warga masyarakat yang sudah
menduduki tanah bekas HGU, ada
rasa was-was dan tidak aman karena
berpikir suatu saat akan di gusur
karena kalah dalam konflik PTUN.
Tatkala ranah hukum formil
tidak bisa memberikan kepastian
hukum dan rasa keadilan bagi pihak
yang berkonflik, upaya yang di
lakukan adalah pendekatan sosial dan
kebudayaan oleh pihak mediator.
Akhirnya upaya yang dilakukan
untuk menyelesaikan masalah tersebut
dilakukan dengan bantuan Kantor
Pertanahan selaku mediator bagi
kedua belah pihak dengan melakukan
beberapa gelar perkara.
Gelar perkara dilakukan
beberapa kali. Pada awal gelar perkara
PT. SSP bersedia untuk melepas
sebagian hak atas tanahnya kepada
Negara seluas 80 ha untuk
kepentingan kesejahteraan
masyarakat sekitar kebun. Apa yang
disampaikan oleh PT. SSP tersebut
kemudian mendapat tanggapan dari
Deputi Konflik dan Perkara bahwa
agar bisa terjadi win-win solution agar
PT. SSP memberikan 125 Ha, dengan
pertimbangan 50% dari jumlah yang
dikonflikkan selama ini (250 Ha).
Ternyata dalam gelar perkara ini
belum ada kesepakatan mengenai luas
tanah yang harus diserahkan oleh PT.
SSP kepada masyarakat. Dilakukan
gelar perkara lagi yang dalam gelar
perkara ini, PT. SSP menyatakan
bersedia mengeluarkan sebagian
lahannya, yaitu seluas 127,5 Ha sesuai
dengan besarnya sebuah sertifikat
yang meliputi daerah Babadan.
Luasan 127,5 yang diberikan oleh PT.
SSP ini ternyata belum dapat diterima
BPN. Selanjutnya diadakan lagi
pertemuan-pertemuan yang akhirnya
PT. SSP bersedia menyerahkan
sebagian tanah perkebunannya kepada
Negara untuk dimanfaatkan oleh
masyarakat seluas nama-nama yang
tertera pada pengajuan permohonan
tanah sebelumnya yang ada pada
Kantor Pertanahan Kabupaten Kediri,
yaitu 250 Ha.
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
15
Tanah yang diberikan oleh
PT. SSP tersebut selanjutnya
ditetapkan sebagai obyek
Landreform yang selanjutnya akan
diredistribusikan kepada para petani,
warga masyarakat di 3 (tiga) Desa
Babadan, Sugih waras dan Desa
Sempu yang ada di Kecamatan
Ngancar. Adapun luas tanah yang
akan diredistribusi untuk Desa
Babadan seluas 65 Ha, Desa
Sugihwaras 46 Ha dan Desa Sempu
seluas 139 ha.
Selanjutnya terhadap PT. SSP
telah diterbitkan Surat Keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor
19/HGU/BPN RI/2012 tentang
Pemberian Pembaharuan Hak Guna
Usaha atas Nama PT. Sumber Sari
Petung Atas Tanah di Kabupaten
Kediri, Provinsi Jawa Timur dan Hak
Guna Usaha
Dari kasus yang terjadi antara
PT. SSP dan warga masyarakat
Kecamatan Ngancar Kabupaten
Kediri, dapat diketahui bahwa antara
lembaga pemerintah yaitu eksekutif
dalam hal ini BPN dengan lembaga
yudikatif, dalam hal ini PTUN dan
MA tidak dapat berjalan dengan
baik. Konflik yang berkepanjangan
melalui lembaga peradilan, ternyata
pada akhirnya tidak bermakna sama
sekali, karena apa yang telah diputus
oleh pengadilan (PTUN) yang telah
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
TUN dan juga MA tidak dilaksanakan
oleh tergugat. Putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap tidak dapat dilaksanakan/
dieksekusi.
Putusan dari pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap tidak diindahkan oleh pihak
BPN. PT. SSP selaku pihak yang
dimenangkan, tidak memperoleh apa
yang seharusnya, yaitu perpanjangan
HGU seluas 654,92 Ha karena tidak
adanya ketegasan untuk melaksanakan
putusan tersebut, sehingga PT. SSP
hanya menang diatas kertas saja,
tanpa bisa menguasai tanah yang
seharusnya menjadi miliknya.
kepastian hukum belum ada, akibat
masih lemahnya pelaksanaan
eksekusi putusan PTUN.
Terhadap putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka dapat dilakukan
eksekusi. Eksekusi putusan PTUN
memang tidak dimungkinkan upaya
paksa dengan menggunakan aparat
keamanan. Pembentuk Undang-
Undang mengharapkan Badan/Pejabat
TUN melaksanakan putusan secara
sukarela. Namun, keberhasilan
pelaksanaan putusan itu sangat
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
16
bergantung pada wibawa pengadilan
dan kesadaran hukum para pejabat 9
Ketentuan pelaksanaan eksekusi
terhadap putusan PTUN yang telah
berkekuatan hukum tersebut diatur
dalam Pasal 116 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan mengalami
perubahan, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Secara lengkap bunyi Pasal 116
tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Salinan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada
para pihak dengan surat tercatat
oleh Panitera pengadilan setempat
atas perintah Ketua Pengadilan
yang mengadilinya dalam tingkat
pertama selambat-lambatnya
dalam waktu 14 (empat) belas hari
kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh)
hari kerja putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima
tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)
huruf a, keputusan Tata Usaha
Negara yang dikonflikkan itu
9 Rozali Abdullah. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
tidak mempunyai kekuatan hukum
lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan
harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf
c, dan kemudian setelah 90
(sembilan puluh) hari kerja
ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar
pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan
pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia
melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, terhadap pejabat
yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa dan atau
sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan
putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)
diumumkan pada media massa
cetak setempat oleh Panitera
sejak tidak terpenuhinya
ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada
media cetak setempat
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
17
sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), Ketua Pengadilan harus
mengajukan hal ini kepada
Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan tertinggi
untuk memerintahkan Pejabat
tersebut melaksanakan putusan
pengadilan, dan kepada lembaga
perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang
paksa, jenis sanksi administratif,
dan tata cara pelaksanaan
pembayaran uang paksa dan/atau
sanksi administratif diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pelaksanaan
eksekusi putusan PTUN yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut
secara tersurat nampaknya sudah
sangat menjanjikan akan mampu
memberikan kepastian hukum para
pencari keadilan. Tetapi dalam
prakteknya penerapan Pasal 116
tersebut, khususnya ayat (4) dan ayat
(6) oleh PTUN masih sangat jauh dari
harapan.
Meskipun demikian, sebenarnya
sanksi administratif, pengenaan uang
paksa dan pengumuman di media
massa tak perlu terjadi jika
Badan/Pejabat TUN menjalankan
putusan secara sukarela. Apa yang
diatur dalam UU PTUN mengenai
eksekusi terhadap putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
terbukti tidak dapat dilaksanakan
dalam konflik antara PT SSP dengan
masyarakat Desa Ngancar ini. PT SSP
hanya menang diatas kertas saja.
Konflik yang berlarut-larut
dengan memakan energi yang banyak
dan melibatkan banyak pihak,
termasuk melalui lembaga eksekutif
maupun legislatif, pada akhirnya
bermuara pada penyelesaian secara
musyawarah melalui BPN selaku
mediator. Hal ini menunjukkan bahwa
penyelesaian melalui lembaga
peradilan bukanlah jaminan masalah
dapat terselesaikan dengan baik.
Apabila ranah hukum tidak lagi dapat
memberikan kepastian hukum dan
rasa keadilan, maka pendekatan secara
sosial dan kebudayaan dengan BPN
sebagai mediator akan lebih
memberikan hasil yang memuaskan
kedua belah pihak.
Berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN No. 1
Tahun 1999, diatur bahwa
penyelesaian masalah diselesaikan
sendiri oleh BPN, hanya apabila
masalah terlalu rumit, maka Tim yang
dibentuk BPN dapat berkoordinasi
dengan instansi lain, meminta
informasi kepada pihak lain dan juga
melakukan peninjauan lapangan. Pada
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
18
dasarnya penyelesaian masalah
pertanahan diserahka kepada BPN,
tanpa harus melibatkan pihak
eksekutif maupun legislative. Karena
BPN mewakili Negara mempunyai
wewenang mengatur segara sesuatu
tentang Sumber Daya Agraria
sebagaimana tertuang dalam Pasal 2
ayat (2) UUPA., termasuk
kewenangan menyelesaikan konflik
sumberdaya agraria. 10
Konflik yang terjadi antara
PT. SSP dengan warga masyarakat
Kecamatan Ngacar, terlihat ada
perbedaan kebijakan antara orde baru
dengan orde reformasi. Pada saat orde
baru, terlihat bahwa pemerintah pada
waktu itu lebih berpihak kepada
pengusaha. Hal ini terlihat dari
pemberian HGU kepada PT. SSP
terhadap tanah yang sudah dikuasai
dan dimanfaatkan oleh warga
masyarakat. Sedangkan pada masa
orde reformasi, pemerintah sudah
mulai memikirkan kepentingan
masyarakat, hal ini terbukti dalam
pemberian perpanjangan HGU
PT. SSP, tidak semua tanah disetujui
perpanjangannya. Tanah yang
disinyalir tidak dimanfaatkan dengan
baik dan ada klaim dari warga
10
Elfachri Budiman, 2005, Peradilan Agraria (solusi
Alternatif Penuntasan Konflik Agraria), Jurnal Hukum
Vol 1 No 1 , hal 76
kemudian dikeluarkan dari HGU dan
dinyatakan sebagai tanah negara yang
dijadikan obyek redistribusi.
Konflik tanah perkebunan dapat
disebabkan antara lain karena tujuan
pemberian HGU sudah tidak sesuai
lagi dengan kenyataan sebenamya,
misalnya tidak lagi dilakukan
pengusahaan dengan baik ataupun
perusahaan diserahkan kepada pihak
lain selama lebih dan satu tahun, juga
disebabkan kebijakan pemberian
HGU terkadang berada di atas tanah
yang telah dikuasai atau digarap oleh
penduduk setempat secara turun
temurun11
Konflik ini sebenarnya tidak
akan terjadi apabila sebelum
memberikan suatu hak atas tanah
kepada suatu perusahaan, pemerintah
mempelajari serta mengkaji terlebih
dahulu kondisi dan status tanah
tersebut dengan cermat, dengan
mengedepankan kepentingan bagi
masyarakat, khususnya masyarakat
petani yang menggantungkan
hidupnya dari tanah.
Konflik Agraria dalam konteks
perebutan lahan sudah terjadi sejak
jaman kolonial. Setelah Indonesia
merdeka konflik ini terus saja terjadi,
11
Pahlefi, Konflik Tanah HGU Antara PT. Pagilaran
Dengan Petani Di Kabupaten Batang Provinsi Jawa
Tangah,Jurnal Ilmu Hukum, Portal Garuda
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
19
terlebih pada masa orde baru. Pada
masa orde baru konflik agraria
semakin bertambah, hal ini
disebabkan kebijakan pertanahan
yang cenderung kapitalis yang
memihak pada pengusaha. Sampai
pada masa orde reformasi sekarang
inipun konflik agraria dalam arti
pertanahan masih saja terjadi.
Konflik pertanahan
yang muncul tiap
tahunnya
menunjukkan
bahwa penanganan
tentang kebijakan
pertanahan di
Indonesia belum
dapat berjalan
sesuai dengan yang
diharapkan.Kalau
meneliti kasus-
kasus konflik
pertanahan yang
ada, umumnya
posisi rakyat sangat
lemah dibandingkan
dengan posisi
negara dan pemodal
yang sangat kuat
dalam menentukan
arah dan corak
perubahan sosial di
Indonesia, yang
selalu dinyatakan
dengan alasan untuk
kepentingan umum.
Lemahnya posisi
rakyat juga terlihat
dalam proses
dinamika konflik itu
sendiri. Bentuk-
bentuk konflik
pertanahan yang
terjadi selama ini
sangat beraneka
ragam.12
Pemerintah dituntut untuk
melaksanakan reformasi secara
konsisten dan menciptakan peraturan
perundangan yang menjamin
keadilan atas asset dan akses
pertanahan. Peraturan perundangan
yang kontra produktif bagi keadilan
dibidang pertanahan perlu ditinjau
kembali, termasuk di dalamnya
adalah undang-undang tentang
penanaman modal yang
mempersempit ruang gerak petani,
serta memicu kriminalisasi petani
oleh pemerintah dan pengusaha.13
Pada dasarnya pilihan
penyelesaian konflik dapat dilakukan
dengan 2 (dua) proses. Proses
penyelesaian konflik melalui
litigasi di dalam pengadilan,
kemudian berkembang proses
penyelesaian konflik melalui
kerjasama (kooperatif) diluar
pengadilan (non litigasi). Proses
litigasi menghasilkan kesepakatan
yang bersifat adversial yang belum
mampu merangku kepentingan
bersama, cenderung menimbulkan
masalah baru, lambat dalam
penyelesaiannya. Sebaliknya,
12
Dadang Juliantra, Konflik Tanah, Modal dan
Transformasi, Forum LSM LPSM DIY, 1995, hal. 175 13
Puji Astuti, 2011,Kekerasan Dalam Konflik Agraria
: Kegagalan Negara Dalam Menciptakan Keadilan
Dibidang Pertanahan, ejournal.undip.ac.id
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
20
melalui proses di luar pengadilan
menghasilkan kesepakatan
kesepakatan yang bersifat “win-win
solution” dihindari dari kelambatan
proses penyelesaian yang diakibatkan
karena hal yang bersifat prosedural
dan administratif, menyelesaikan
komprehensif dalam kebersamaan
dan tetap menjaga hubungan baik14
Adakalanya konflik
diselesaikan oleh
pihak lain di luar
konflik secara damai,
Jika tidak teratasi
melalui proses di luar
pengadilan, maka
konflik ini dilakukan
melalui proses litigasi
di dalam pengadilan
atau konflik ini
dibawa ke “meja
hijau”. Adapun
mengenai
penyelesaian konflik
yang diselesaikan
melalui kerjasama
(kooperatif) di luar
pengadilan biasanya
disebut juga dengan
Alternatve Conflict
Resolution
(ADR).Penyelesian
konflik di luar
pengadilan ini
pertama kali muncul
dengan istilah
Alternatve Conflict
Resolution (ADR) ini
di Amerika Serikat.
Hal ini muncul karena
14
BadanPertanahanNasional,2007, ReformaAgraria: Mandat Politik, Konstitusi,dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta,hal.23
masyarakat Amerika
Serikat merasa
penyelesaian konflik
melalui proses litigasi
(badan peradilan)
tidak dapat memenuhi
rasa keadilan dan
ketidakpuasan atas
system peradilan
(dissatisfied with the
judicial system) bagi
masyarakat yang
menjadi para pihak
yang berkonflik.15
Bentuk penanganan melalui
jalur non litigasi dilakukan dengan
cara fasilitasi dan mediasi. Cara
penanganan masalah dengan
fasilitasi, pihak Kantor Pertanahan
Kabupaten hanya menyediakan
fasilitas berupa pemberian data-data
yang diperlukan oleh pihak-pihak,
penyelesaian masalah tersebut
sepenuhnya dilakukan oleh pihak-
pihak yang bersangkutan. Sedangkan
mediasi merupakan salah satu proses
alternatif penyesaian masalah dengan
bantuan pihak ketiga (mediator) dan
prosedur yang disepakati oleh para
pihak dimana mediator memfasilitasi
untuk dapat tercapainya suatu solusi
(perdamaian) yang saling
menguntungkan para pihak.
Mediasi merupakan suatu cara
penyelesaian konflik alternatif,
15
Riska Fitriani, 2013, Penyelesaian Konflik Lahan
Hutan Melalui Proses Mediasi Di Kabupaten Siak,
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3 No. 1, Portal Garuda.Org
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
21
mediasi mempunyai ciri : waktunya
singkat, terstruktur, berorientasi pada
tugas dan merupakan cara intervensi
yang melibatkan peran serta para
pihak secara aktif .16
Dalam menyelesaikan kasus
yang diajukan BPN akan
melakukan gelar kasus. Gelar
Kasus Pertanahan yang
selanjutnya disingkat Gelar Kasus
adalah mekanisme kelembagaan
Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia dalam rangka
penanganan dan/atau penyelesaian
Kasus Pertanahan.Gelar
penanganan dan/atau
penyelesaian kasus pertanahan
yang meliputi:
a. Gelar Kasus Internal adalah gelar
yang pesertanya dari Kantor
Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, Kantor
Wilayah Badan Pertanahan
Nasional dan/atau Kantor
Pertanahan.
b. Gelar Kasus Eksternal adalah
gelar yang pesertanya dari
Kantor Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia,
Kantor Wilayah Badan
16
Maria SW Sumardjono ,1994, Antara Kepentingan
Pemerintah dan Keadilan, Yogyakarta, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Atmajaya,hlm. 176
Pertanahan Nasional dan/atau
Kantor Pertanahan yang diikuti
peserta dari unsur/instansi
lainnya.
c. Gelar Mediasi adalah gelar yang
menghadirkan para pihak yang
berselisih untuk memfasilitasi
penyelesaian kasus pertanahan
melalui musyawarah.
d. Gelar Istimewa adalah gelar yang
dilaksanakan oleh Tim
Penyelesaian Kasus Pertanahan
yang dibentuk oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik
Indonesia atau Deputi Bidang
Pengkajian dan Penanganan
Konflik dan Konflik Pertanahan.
Apabila jalur non litigasi atau
diluar pengadilan tidak dapat
terselesaikan, maka jalan yang
ditempuh adalah melalui jalur
pengadilan. Tentunya jalur pengadilan
merupakan pilihan terakhir apabila
segala upaya sudah ditempuh dan tidak
terjadi kesepakatan, karena bukan
menjadi rahasia bahwa berperkara
dipengadilan bukanlah hal yang mudah
dan murah. Berperkara dipengadilan
akan mengahabiskan energi dan juga
biaya yang tidak sedikit. Adapun
pengadilan yang menangani masalah
tanah adalah Pengadilan Umum dan juga
Pengadilan Tata Usaha Negara apabila
berkaitan dengan adanya Keputusan Tata
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
22
Usaha Negara, sepeti Keputusan Kepala
BPN 66/HGU/BPN/2000, tentang
Pemberian HGU atas tanah terletak di
Kabupaten Kediri yang kemudian
dilakukan gugatan ke PTUN oleh PT.
SSP karena dirasa merugikan PT. SSP
selaku pemilik tanah pemegang HGU
D. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
1. Latar belakang konflik antara
PT. Sumber Sari Petung dengan
warga Desa Sempu, Babadan dan
Desa Sugihwaras Kecamatan
Ngancar Kabupaten Kediri adalah
adanya keyakinan dari warga ketiga
desa tersebut bahwa tanah yang
dikuasai oleh PT. SSP dulunya
adalah tanah milik mereka yang
diambil secara paksa oleh penguasa
pada masa itu yang kemudian
diberikan kepada PT. SSP dengan
Hak Guna Usaha. Keyakinan ini
dikuatkan dengan adanya Fotocopi
Letter C dan juga cerita dari warga
yang masih hidup. Konflik ini mulai
memuncak dengan keluarnya
Keputusan dari Badan Pertanahan
Nasional No. 66/HGU/BPN/2000,
tentang Pemberian HGU atas tanah
terletak di Kabupaten Kediri, yang
memutuskan bahwa tanah yang
selama ini dikuasai oleh PT. SSP
seluas 654,92 Ha dinyatakan
sebagai tanah Negara dan
memberikan HGU seluas 3.842.760
m2 (tiga juta delapan ratus empat
puluh dua ribu tujuh ratus enam
puluh meter persegi) kepada PT.
SSP dan yang 2.500.000 (250 Ha)
dinyatakan sebagai obyek
Landreform.
2. Konflik antara PT. SSP dengan
Warga Desa Babadan, Sempu dan
Sugihwaras Kecamatan Ngancar,
Kabupaten Kediri dengan
PT. Sumber Sari Petung, pada
awalnya dilakukan dengan cara
pendekatan dan musyawarah dengan
melibatkan berbagai pihak. Akan
tetapi cara ini akhirnya tidak juga
dapat menyelesaikan konflik
tersebut, akhirnya penyelesiannya
dilakukan melalui peradilan. Dari
proses peradilan, mulai dari PTUN,
Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara
sampai putusan Mahkamah Agung
semuanya memenangkan pihak
PT. SSP. Akan tetapi putusan
pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap itu tidak
dapat dinikmati oleh PT. SSP,
karena pihak BPN selaku tergugat
dan pihak yang dikalahkan tidak
mau melaksanakan putusan
pengadilan tersebut. Karena tidak
adanya kepastian, akhirnya
penyelesaiannya kembali melalui
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
23
mediasi oleh Kantor Pertanahan
Kediri dengan dilakukan beberapa
kali gelar perkara intern. Setelah
dilakukan beberapa kali gelar
perkara, akhirnya pada tahun 2011
PT SSP merelakan tanahnya seluas
250 Ha, untuk dilepas dan
dinyatakan sebagai tanah obyek
Landreform yang akan
diredistribusikan kepada para petani
di tiga desa tersebut.
b. Saran
1. Pemberian suatu hak atas tanah
kepada suatu perusahaan harus
dilakukan secara teliti dan hati-hati,
terlebih tanah yang sudah dikuasai
dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pemberian suatu Hak atas tanah
jangan sampai berujung pada konflik.
2. Terhadap tanah yang sudah
dikuasai dan dimanfaatkan oleh
masyarakat dan selama itu tidak ada
pihak lain yang mempersoalkan atau
mempermasalahkan, maka
masyarakat yang menguasai dan
memanfaatkan tanah itulah yang
diprioritaskan untuk diberikan suatu
hak atas tanah.
3. Perlu amandemen terhadapat UU
PTUN terutama penguatan
pelaksanaan eksekusi putusan PTUN
yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap demi kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pertanahan Nasional, 2007, Reforma
Agraria: Mandat Politik,Konstitusi,
dan Hukum Dalam Rangka
Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan
dan Kesejahteraan Rakyat”,BPN,
Jakarta.
Dadang Juliantra, 1995, Sengketa Tanah,
Modal dan Transformasi, Forum LSM
LPSM DIY
Elfachri Budiman, 2005, Peradilan Agraria
(solusi Alternatif Penuntasan Konflik
Agraria), Jurnal Hukum Vol 1 No 1
Maria SW Sumardjono ,1994 Antara
Kepentingan Pemerintah dan
Keadilan, Yogyakarta, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Admajaya
Mahfud, Implementasi Fungsi Sosial HakAtas
Tanah dan Perlindungan Hak-hak
Rakyat, STPN, Yogyakarta
Noer Fauzi Rachman, 2015, Memahami
Reorganisasi Ruang Melalui
Perspektif Politik Agraria, Jurnal
Agraria dan Pertanahan “Bhumi”,
Volume 1 No 1 Mei 2015, Pusat
Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional, Yogyakarta
Pahlevi, 2014, Analisis Bentuk-Bentuk
Sengketa Hukum Atas Tanah Menurut
Peraturan Perundang-Undangan Di
Bidang Agraria , Majalah Hukum
Forum Akademika, Volume 25 No
1Maret 2014
Puji Astuti, 2011,Kekerasan Dalam Konflik
Agraria : Kegagalan Negara Dalam
Menciptakan Keadilan Dibidang
Pertanahan, e-journal.undip.ac.id
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)
24
Riska Fitriani, 2013, Penyelesaian Sengketa
Lahan Hutan Melalui Proses Mediasi
Di Kabupaten Siak, Jurnal Ilmu
Hukum Vol 3 No. 1, Portal
Garuda.Org
Rozali Abdullah. 2005. Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Rusmadi murad, 1991, Penyelesaian
Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,
Bandung.
Internet :
“Konflik Tanah dan Kinerja BPN”,
http://www.suarakarya-online.com
BPN, “Penanganan-Kasus-Pertanahan”,
http://www.bpn.go.id
Fia S.Aji, “Penyelesaian Sengketa Pertanahan
di Indonesia”
http://Fiaji.blogspot.com