KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama...

24
JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017) 1 KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus Antara PT Sumber Sari Petung Dengan Warga Masyarakat Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur) Erna Sri Wibawanti dan Suswoto Fakultas Hukum Universitas Janabadra [email protected] Abstract Conflict of land estates mastery between PT Sumber Sari Petung (PT SSP) and citizens of Ngancar Kediri with the background of the confidence of citizens in the three (3) villages, those are Babadan Village, Sugih Waras Village and Sempu Village Ngancar District that the land owned by PT SSP is the land which belongs to them, while PT SSP insisted that the land is theirs which is reinforced by the Right Granting Decree of BPN (SK. No. 28 / HGU / DA / 1074). This conflict began culminated with the release of the National Land Agency Decision No. 66 / HGU / BPN / 2000, which decided that the land that had been controlled by PT SSP area of 654.92 hectares of land declared as a state land and give the Cultivation Rights Title area of 3.842.760 M2 (three million eight hundred and forty-two thousand seven hundred and sixty meters square) to PT. SSP and the other 2.500.000 (250 Ha) is declared as an object of land reform. This conflict solution is initially done by approaches and discussions involving various parties. However, this method ultimately cannot resolve the conflict, and finally the solution is done through justice. In the judicial process, from the PTUN, the Civil Court to the Supreme Court ruling, all of them in favor of the PT SSP side. But the court ruling that already has a permanent legal force cannot be enjoyed by PT SSP, because BPN as the defeated party does not want to implement the ruling. Due to the absence of certainty, finally the completion has been done again through some case titles by the Land Office from Kediri District. Finally, in 2011, PT SSP give up the land area of 250 hectares, to be released and declared as an object of Land reform which will be redistributed to farmers in three villages. Keywords: Conflict, Land Estates, Cultivation Rights Title A. LATAR BELAKANG Salah satu falsafah yang mendasari pengaturan hak atas tanah dalam hukum pertanahan adalah adanya pengakuan kodrat manusia sebagai mahluk Monodualis, yaitu manusia sebagai mahluk individu dan sebagai mahluk sosial. Berdasarkan hal ini, maka Indonesia menganut prinsip keseimbangan antara individualisme dan komunalisme. Paham individualisme ditandai adanya pengakuan hak milik atas tanah oleh individu warga negara. Akan tetapi hak individu ini selalu dilekati oleh fungsi sosial yang merupakan penerimaan faham komunalistis. Oleh karena itu dalam hak milik individu selalu diletakkan dalam bingkai kepentingan umum/kepentingan

Transcript of KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama...

Page 1: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

1

KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN

(Studi Kasus Antara PT Sumber Sari Petung Dengan Warga Masyarakat Kecamatan

Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur)

Erna Sri Wibawanti dan Suswoto

Fakultas Hukum Universitas Janabadra

[email protected]

Abstract

Conflict of land estates mastery between PT Sumber Sari Petung (PT SSP) and citizens

of Ngancar Kediri with the background of the confidence of citizens in the three (3)

villages, those are Babadan Village, Sugih Waras Village and Sempu Village Ngancar

District that the land owned by PT SSP is the land which belongs to them, while PT SSP

insisted that the land is theirs which is reinforced by the Right Granting Decree of BPN

(SK. No. 28 / HGU / DA / 1074). This conflict began culminated with the release of the

National Land Agency Decision No. 66 / HGU / BPN / 2000, which decided that the

land that had been controlled by PT SSP area of 654.92 hectares of land declared as a

state land and give the Cultivation Rights Title area of 3.842.760 M2 (three million eight

hundred and forty-two thousand seven hundred and sixty meters square) to PT. SSP and

the other 2.500.000 (250 Ha) is declared as an object of land reform. This conflict

solution is initially done by approaches and discussions involving various parties.

However, this method ultimately cannot resolve the conflict, and finally the solution is

done through justice. In the judicial process, from the PTUN, the Civil Court to the

Supreme Court ruling, all of them in favor of the PT SSP side. But the court ruling that

already has a permanent legal force cannot be enjoyed by PT SSP, because BPN as the

defeated party does not want to implement the ruling. Due to the absence of certainty,

finally the completion has been done again through some case titles by the Land Office

from Kediri District. Finally, in 2011, PT SSP give up the land area of 250 hectares, to

be released and declared as an object of Land reform which will be redistributed to

farmers in three villages.

Keywords: Conflict, Land Estates, Cultivation Rights Title

A. LATAR BELAKANG

Salah satu falsafah yang mendasari

pengaturan hak atas tanah dalam hukum

pertanahan adalah adanya pengakuan

kodrat manusia sebagai mahluk

Monodualis, yaitu manusia sebagai

mahluk individu dan sebagai mahluk

sosial. Berdasarkan hal ini, maka

Indonesia menganut prinsip keseimbangan

antara individualisme dan komunalisme.

Paham individualisme ditandai adanya

pengakuan hak milik atas tanah oleh

individu warga negara. Akan tetapi hak

individu ini selalu dilekati oleh fungsi

sosial yang merupakan penerimaan faham

komunalistis. Oleh karena itu dalam hak

milik individu selalu diletakkan dalam

bingkai kepentingan umum/kepentingan

Page 2: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

2

masyarakat. Hal inilah yang mendasari

adanya ketentuan bahwa hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial1

Diberikannya suatu hak atas tanah

kepada masyarakat seringkali

menimbulkan masalah. Berbagai masalah

pertanahan yang muncul dipermukaan

penyebab utamanya karena tanah

merupakan benda yang tinggi nilainya,

benda yang sangat berharga bagi manusia,

karena setiap kegiatan yang dilakukan oleh

manusia selalu terkait/memerlukan tanah.

Hal ini juga terjadi karena ketidak

seimbangan antara luas tanah yang

tersedia dengan pertumbuhan penduduk

dan juga kebutuhan manusia akan tanah.

Masalah pertanahan juga terjadi

karena ketidak tertiban administrasi

pertanahan baik yang dipunyai oleh

pemilik tanah maupun oleh Kantor

Pertanahan selaku lembaga yang

berwenang di bidang pertanahan.

Banyaknya tanah yang belum bersertifikat

juga merupakan penyebab timbulnya

masalah pertanahan. BPN menyatakan dari

85 juta bidang tanah di Indonesia, baru

sekitar 30 persen yang terdaftar dan

diberikan hak atas tanah. Jumlah 30 persen

itu pun masih belum sempurna karena

banyak konflik tanah mengenai tapal batas

1Mahfud, Implementasi Fungsi Sosial HakAtas Tanah

dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Yogyakarta,

STPN, hlm 2

dan tumpang tindih area.2

Disamping semakin kompleks, dari

tahun ketahun jumlah kasus pertanahan

juga semakin bertambah. Menurut data

dari Badan Pertanahan Nasional, sampai

dengan bulan September 2013, jumlah

kasus pertanahan mencapai 4.223 kasus

yang terdiri dari sisa kasus tahun 2012

sebanyak 1.888 kasus dan kasus baru

sebanyak 2.335 kasus. Jumlah kasus yang

telah selesai mencapai 2.014 kasus atau

47,69% yang tersebar di 33 Propinsi

seluruh Indonesia.3

Menurut laporan dari Konsorsium

Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang

tahun 2014 telah terjadi konflik agraria

sebanyak 472 konflik dengan luas tanah

mencapai 2.860.977.07 hektar. Konflik ini

melibatkan sedikitnya 105.887 Kepala

Keluarga. Konflik tertinggi terjadi pada

proyek infrastrukur yang mencapai 215

konflik (45,55%), diikuti konflik perluasan

peerkebunan skala besar sebanyak 183

konflik (39,19%), selanjutnya sektor

kehutanan 27 konflik (5,72%), pertanian

20 konflijk (4,24%) dan pertambangan.4

2“Konflik Tanah dan Kinerja BPN”,

http://www.suarakarya-online.com, diakses tanggal 20

September 2015 3“ Penanganan Kasus Pertanahan”

http://www.bpn.go.id, diakses tanggal 20 September

2015 4Noer Fauzi Rachman, 2015, Memahami Reorganisasi

Ruang Melalui Perspektif Politik Agraria, Jurnal

Agraria dan Pertanahan “Bhumi”, Volume 1 No 1 Mei

2015, Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,

Yogyakarta.

Page 3: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

3

Berbagai kasus pertanahan ini

tentunya memerlukan penangan yang

segera. Disinilah peran pemerintah sangat

diperlukan agar permasalah tersebut segera

dapat terselesaikan dengan baik. Warga

masyarakat selalu ingin mempertahankan

hak-hak, sedangkan pemerintah harus

menjalankan tugasnya dengan baik agar

kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

Oleh karena itu kasus pertanahan ini tidak

dapat diabaikan dan harus ditangani

dengan sungguh-sungguh, sebab apabila

tidak ditangani dengan sungguh-sungguh

akan membahayakan kehidupan

masyarakat dan tujuan serta program

pemerintah akan terganggu.5

Kasus pertanahan yang

berkepanjangan akan menimbulkan

keresahan dalam masyarakat, kehidupan

masyarakat akan tertanggu yang akibatkan

kesejahteraan masyarakat tidak tercapai.

Salah satu kasus pertanahan yang muncul

dan cukup menyita energi adalah kasus

yang berupa konflik berkaitan dengan

masalah penguasaan tanah yang terjadi di

Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri

Jawa Timur, yaitu konflik antara PT.

Sumber Sari Petung dengan warga

masyarakat sekitar, ini sudah terjadi cukup

lama dan mendapat perhatian dari

pemerintah untuk menangani masalah ini.

PT. Sumber Sari Petung dan warga

5 Rusmadi murad, 1991, Penyelesaian Konflik Hukum

Atas Tanah, Alumni, Bandung, hal.1

masyarakat Ngancar kedua-duanya

bersikukuh bahwa tanah tersebut adalah

tanah milik mereka, keduanya merasa

berhak atas tanah yang dikonflikkan.

Berdasarkan latar belakang tersebut,

maka penelitian ini mengambil

permasalahan mengenai apa yang melatar

belakangi timbulnya konflik

antara PT. Sumber Sari Petung dengan

masyarakat di Kecamatan Ngancar

Kabupaten Kediri, serta bagaimana cara

penyelesaian konflik antara PT.

Sumbersari Petung dengan masyarakat di

Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif-empiris yaitu penggabungan antara

pendekatan hukum normatif dengan

penambahan dari berbagai unsur-unsur

empiris. Metode pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan judicial case study

merupakan pendekatan studi kasus hukum

karena konflik, sehingga akan melibatkan

campur tangan dengan pengadilan untuk

memberikan keputusan penyelesaian

(yurisprudensi). Penelitian ini

menggambarkan penanganan konflik

pertanahan yang terjadi antara PT. Sumber

Sari Petung dengan warga masyarakat di

Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri.

Pengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara mengumpulkan

keterangan dan dokumen-dokumen yang

Page 4: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

4

diperoleh dari PT. Sumber Sari Petung dan

juga tokoh-tokoh masyarakat petani yang

tergabung dalam Paguyupan Petani “Tri

Tunggal”, serta putusan-putusan pengadilan

yang berkaitan dengan konflik PT. Sumber

Sari Petung dengan warga Ngancar. Data-

data yang telah tekumpul selanjutnya

dianalisis secara kualitatif .

Setelah data diperoleh dari lapangan

maupun dari studi kepustakaan kemudian

direduksi dengan mendasarkan pada upaya

untuk menjawab permasalahan dan tujuan

penelitian yang diajukan. Data yang sudah

direduksi sesuai dengan pokok masalah dan

dibantu dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku selanjutnya

direkonstruksi dengan pendekatan kualitatif

ke dalam uraian diskripsi yang utuh dan

akhirnya diambil kesimpulan yang dapat

menggambarkan mengenai konflik tanah

yang terjadi antara PT. Sumber Sari Petung

dengan masyarakat di Kecamatan Ngancar.

C. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

1. Sejarah Konflik Penguasaan Tanah

antara PT SSP dengan Masyarakat

Petani Kecamatan Ngancar.

Pada hakikatnya, kasus atau juga

disebut dengan sengketa pertanahan

merupakan benturan kepentingan

(conflict of interest) di bidang

pertanahan antara siapa dengan siapa,

sebagai contoh konkret antara

perorangan dengan perorangan;

perorangan dengan badan hukum; badan

hukum dengan badan hukum dan lain

sebagainya. Sehubungan dengan hal

tersebut di atas, guna kepastian hukum

yang diamanatkan Undang-undang

Pokok Agraria, maka terhadap kasus

pertanahan dimaksud antara lain dapat

diberikan respons/reaksi/penyelesaian

kepada yang berkepentingan

(masyarakat dan pemerintah), berupa

solusi melalui Badan Pertanahan

Nasional dan solusi melalui Badan

Peradilan.6 Apabila kasus tersebut

mempunyai dampak yang luas maka

akan menjadi konflik. Oleh karena itu

dalam tulisan ini istilah yang dipakai

adalah konflik, karena kasus ini terjadi

antara sekelompok masyarakat dengan

PT. Sumber Sari Petung yang

berdampak luas.

PT. Perkebunan Sumber Sari Petung

(PT. SSP) adalah Badan Hukum yang

disahkan berdasarkan Keputusan Menteri

Kehakiman Tanggal 24 Agustus Tahun

1970. Dengan Keputusan dari

Dirjen Perkebunan Nomor

60/KB.120/SK/DJ.BUN/01.98 telah

memperoleh ijin tetap usaha budidaya

perkebunan dengan komoditas karet,

kopi, cengkeh dan tebu.

PT. SSP menguasai tanah seluas

6.Fia S.Aji, “Penyelesaian Konflik Pertanahan di

Indonesia”, http://Fiaji.blogspot.com, diakses tgl. 23

september 2015

Page 5: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

5

6.343.760 m2 yang terletak di Kecamatan

Ngancar, Kabupaten Kediri. Tanah ini

terletak di 3 (tiga) desa, yaitu di Desa

Sempu seluas 3.800.600 m2, Desa

Sugihwaras seluas 1.263.890 m2 dan Desa

Babadan seluas1.279.270 m2. Tanah ini

berupa Hak Guna Usaha (HGU) dan

sudah ada sertifikatnya. Jangka waktu

HGU yang diberikan kepada PT. SSP

adalah 25 Tahun, mulai tanggal 24

Oktober 1974 sampai dengan 31

Desember 1999 ( SK. No

28/HGU/DA/1074). Secara topografi

perkebunan milik PT. SSP ini ada dua

zona yakni zona kawasan lindung dan

kawasan budidaya dengan ketinggian

antara 485 sampai dengan 680 dpl.

Menurut warga masyarakat Ngancar

yang merasa berhak atas tanah tersebut,

sejarah dari konflik antara PT. SSP dengan

masyarakat adalah sebagai berikut7:

1. Tanah tersebut merupakan

perkebunan karet milik belanda

sampai tahun 1942

2. Pada tahun 1942-1945 tanah tersebut

dikuasai pendudukan Jepang, dan

setelah Jepang pergi tanah perkebunan

menjadi hutan.

3. Pada tahun 1946 tanah perkebunan

sebagian oleh warga dibabat

kemudian ditanami ketela, kelapa,

7 Data berasal dari dokumen Organisasi Kelompok

Tani “Tri Sakti” Ngancar

kopi, pisang, jagung dan sebagian lagi

dijadikan sebagai tempat pemukiman.

4. Pada tahun 1963 tanah tersebut telah

dikenakan pajak hasil bumi dan telah

di berikan surat pipil/ petok D atas

nama penggarapnya.

5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat

dikumpulkan oleh okmun kepala desa

dan Babinsa dipaksa menandatangani

kertas segel kosong/dibubui cap

jempol dan surat pajak hasil bumi

berupa pipil/ petok D

diambil/dirampas dan pada akhirnya

terjadi penggusuran paksa tanpa ada

ganti rugi.

6. Bahwa dari data tertulis berdasarkan

klaim warga masyarakat ditiga desa

telah ditemukan data fotocopi Leter C

desa ke tiga desa yang berisi tentang

Kepemilikan tanah tersebut seluas 372

Ha milik warga 3 Desa (4 Dusun ).

7. Perjuangan merebut hak atas tanah

oleh warga yang ada di Tiga Desa di

Kecamatan Ngancar Kabupaten

Kediri dimulai pada tahun 1982 yang

diprakarsai tokoh masyarakat, akan

tetapi perjuangan tersebut melemah

karena zaman Orde Baru lebih kuat

dan berkuasa sehingga gerakan ini

terhenti.

8. Dan akhirnya pada bulan Juli 1998

ketika Reformasi bergulir warga Tiga

Desa itu yaitu Desa Sempu yang

terdiri dari Dusun Ringinsari dan

Page 6: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

6

Sumber Petung, Dusun Sanding Desa

Babadan dan Dusun Jambon Desa

Sugihwaras, bergerak lagi melakukan

gerakan merebut kembali tanah yang

telah di rebut oleh PT. Sumbersari

Petung.

9. Dengan bukti petok D dan Letter C

Desa dan saksi sejarah yang masih

hidup, warga memulai gerakan besar-

besaran pada bulan Juli 1998 ke

DPRD Kab. Kediri dan dari aksi

tersebut tidak mendapatkan jawaban

yang memuaskan maka masyarakat

melakukan aksi brutal dengan

melakukan penebangan tebu kurang

lebih seluas 150 hektar yang dilkukan

warga Tiga Desa, dan setelah itu

gerakan dilanjutkan dengan

melakukan panen cengkeh, akan tetapi

gerakan tersebut mengakibatkan

penangkapan sejumlah 25 orang dari

Dusun Ringinsari dan Sumber Petung

dan dihukum penjara selama 75 hari.

10. Setelah para warga keluar dari

tahanan semangat perjuangan tidak

berhenti begitu saja, artinya setelah itu

terus melakukan perjuangan dengan

cara pengajuan hak atas tanah secara

prosedural, baik secara upaya-upaya

diplomasi maupun langkah-langkah

melalui jalur politik.

11. Pada awal tahun 2000 mulai ada titik

terang karena setelah mondar mandir

dari pemerintah daerah kabupaten,

propinsi sampai pusat, akhirnya bupati

Kediri memberi kebijakan redistribusi

lahan seluas 250 Ha.

12. Pada tanggal 16 Agustus 2000 Bupati

Kediri mengesahkan putusan Desa ke

Tiga Desa dengan SK Bupati No. 856

Tahun 2000 tentang Pembentukan

Panitia Landreform.

13. Pada tanggal 18 Desember Th 2000

Terbit SK dari BPN No

66/HGU/BPN/2000 Tentang

Redistribusi Tanah seluas 250 Ha

14. Tanggal 21 Juni 2001 terbit SK

Bupati Kediri No 363 Tahun

2001tentang Pemberian ijin

Penggarapan Lahan seluas 250 Ha

15. Pada tanggal 11-29 September Th

2001 Kantor Pertanahan Kediri

mengadakan kegiatan pengaplingan

atau ukur di tiga desa (4 Dusun)

seluas 250 Ha

16. Pada tanggal 8 januari, 20 Februari

dan 1 Maret 2002, masyarakat

(petani) melalui tiga kepala desa,

yaitu Desa Sempu, Sugihwaras dan

babadan membayar lunas tanaman

cengkih yang berada di atas tanah

250ha yang akan diresditribusikan

tersebut.

17. Pada tanggal 16 Februari 2004

PT. Sumber Sari Petung membatalkan

pembelian tanaman cengkeh dari

petani dan pembatalan itu dilakukan

secara sepihak, karena pengembalian

Page 7: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

7

hasil penjualan tanaman cengkeh

tersebut pada Pengadilan Negeri

Kediri tidak memberi tahu

pembelinya terlebih dahulu (Warga

Tiga Desa).

18. Pada tanggal 8 Desember 2004 turun

penetapan PTUN tentang gugatan

PT. Sumbersari Petung terhadap SK

66/HGU/BPN 2000 dan PT. SSP

dimenangkan oleh PTUN

19. Terhadap putusan dari PTUN tersebut

BPN melakukan banding ke PT-TUN

Jakarta, dan PT. SSP dimenangkan

lagi. BPN melakukan Kasisasi ke

Mahkamah Agung (MA).

20. Di Mahkamah Agung PT. SSP

dimenangkan lagi

21. Karena dari PTUN sampai

Mahkamah Agung PT. SSP selalu

dimenangkan dan merasa sebagai

pihak yang menang, PT Sumbersari

Petung melakukan Kriminalisasi

Petani dengan menangkap Suselo Bin

Teguh dengan tuduhan Penyerobotan

tanah. Akan saudara Suselo oleh

Pengadilan Negeri Kediri dilepaskan

tanpa syarat karena perbuatan tersebut

bukan merupakan tindak pidana.

22. Dengan lepasnya saudara Suselo,

karena tidak memenuhi unsur tindak

pidana petani (masyarakat)

menganggap sebelum ada kepastian

hukum keberadaan PT. Sumbersari

Petung yang belum memiliki HGU

maka tanah redistribusi dan tanaman

cengkeh adalah milik petani, dengan

alasan bahwa SK 66/HGU/BPN/2000

dan SK Bupati No 363 Tahun 2001

belum dicabut, dan dikuatkan lagi

oleh penetapan pembelian tanaman

cengkeh Tahun 2002 dan pada tanggal

7 Januari 2004 pembelian tanaman

cengkeh tersebut diakui Kakanwil

BPN Jawa Timur No 550.35-195

Tahun 2004.

Sedangkan menurut pihak PT. SSP, tanah

HGU tersebut diperoleh secara sah. Semula

tanah HGU obyek perkara berstatus bekas

Hak Erfpacht Verponding Nomor 223,

263,224, 264, dan 237 atas nama N.V.

Handelsvereeniging Amsterdam te

Amsterdam, seluruhnya seluas 840,2140

ha, berakhir haknya pada tanggal 27 Januari

1964; Berdasarkan Akta Jual Beli Nomor

122 tanggal 11 Pebruari 1969 yang dibuat

dihadapan Mudiyono Notaris di

Surabaya beralih kepada Ny. Halida

Sochotjo; Kemudian dengan Akta

Penyerahan Perusahaan Perkebunan

Sumber Petung pada tanggal 11 Pebruari

1969 Nomor 2 yang dibuat dihadapan

Mudiyono Notaris di Surabaya telah

diserahkan oleh Ny. Halida Sochotjo atas

dasar surat kuasa oleh Rapat Umum

Pemegang Saham PT. SAS kepada Tuan

Budihartono atas nama Perseroan

Terbatas Usaha Perkebunan Sumbersari

atau PT. Sumbersari, berkedudukan di

Page 8: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

8

Kediri untuk menjadi milik PT. Sumbersari;

Kemudian PT. Sumber Sari Petung,

berkedudukan di Kediri mengajukan

permohonan Hak Guna Usaha atas tanah

tersebut sebagaimana surat permohonan

tanggal 1969; Berdasar Pemeriksaan Tanah

B tanggal 30 Maret 1973; Pada tanggal 24

Oktober 1974 diterbitkan Surat Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor :

28/HGU/DA/1974 pada intinya tentang

pemberian Hak Guna Usaha kepada PT.

Sumber Sari Petung berkedudukan di

Kediri selama 25 tahun, atas tanah seluas

654,92 ha terletak di Desa Babadan

Kecamatan Ngancar, Desa Sugihwaras

Kecamatan Ngacar, Desa Sempu Kecamatan

Ngancar, Kabupaten Kediri; Pada tanggal 18

Januari 1977 diterbitkan :

Hak Guna Usaha Nomor 4/Desa

Babadan, luas 1.279.270 m2, Surat

Ukur tanggal 25 April 1977 Nomor

17/1977 atas nama PT. Sumber Sari

Petung berkedudukan di Kediri,

berakhir haknya tanggal 31 Desember

1999;

Hak Guna Usaha Nomor 1/Desa

Sugihwaras, luas 1.263.890 m2,

Surat Ukur tanggal 25 April

1977 Nomor 18/1977 atas nama

PT. Sumber Sari Petung

berkedudukan di Kediri, berakhir

haknya tanggal 31 Desember 1999;

Hak Guna Usaha Nomor 1/Desa

Sempu, luas 3.800.600 M2, Surat

Ukur tanggal 25 April 1977 Nomor

19/1977 atas nama PT. Sumber Sari

Petung berkedudukan di Kediri,

berakhir haknya tanggal 31 Desember

1999.

Perbedaan pendapat yang didasarkan

pada pandangan masing-masing yang merasa

berhak atas tanah tersebut menjadi pemicu

konflik. Konflik ini semakin memanas

dengan keluarnya Surat Keputusan Bupati

Kediri tertanggal 29 Nopember Th 1999

Nomor 590/2766/421.08/1999 serta

Keputusan Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 66/HGU/BPN/2000. Keluarnya

SK Bupati dan Keputusan kepala BPN yang

sebenarnya dalam rangka menyelesaikan

konflik tersebut, ternyata justru membuat

konflik semakin memanas.

2. Penyelesaian Konflik Penguasaan Tanah

Antara PT. SSP dengan Masyarakat

Ngancar

Ketidakadilan yang dirasakan oleh

para petani menyebabkan timbulnya

konflik antara pertani dengan perusahaan

perkebunan. Bertahun-tahun mereka

berjuang untuk memperoleh haknya yang

selama ini sudah dirampas oleh negara

dengan memberikan HGU kepada

PT. SSP.

Menurut keterangan dari pihak petani

yang tergabung dalam kelompok tani Tri

Page 9: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

9

Sakti8, perjuangan untuk merebut kembali

tanahnya dimulai tahun 1982 yaitu dengan

ditemukannya Fotocopi Letter C yang

berisi tentang kepemilikan tanah tersebut

oleh warga 3 (tiga) desa, yaitu Desa

Sempu, Desa Sugih Waras dan Desa

Babadan semuanya sekitar 327 Hektare.

Dengan berbekal bukti Fotocopi Letter C

tersebut, mereka berjuang untuk merebut

kembali tanah yang sudah diberikan

kepada PT. SSP tersebut. Berbagai usaha

telah mereka lakukan akan tetapi tidak

membuahkan hasil.

Perjuangan mereka berhenti karena

kalah dengan kekuasaan Orde

Baru.Perjuangan itu kembali dilakukan

pada saat Orde Reformasi tahun 1998.

Dengan berbekal Petok D dan Leter C

serta saksi sejarah yang masih hidup warga

memulai gerakannya dengan mendatangi

kantor DPRD Kabupaten Kediri pada

bulan Juli 1998. Ternyata mereka tidak

memperoleh tanggapan yang memuaskan,

sehingga mereka melaksanakan aksi

menebangi tanaman tebu yang luasnya

mencapai 150 hektar dan memaneni

tanaman cengkeh milik PT SSP. Aksi ini

berbuntut penahanan warga Dusun Ringin

sari dan Sumber Petung sebanyak 25 dan

ditahan selama 75 hari, yang akhirnya

mereka dilepas.

Perjuangan mereka terus dilakukan,

8 Dokumen kelompok tani ‘Tri Sakti”

mereka mengajukan permohonan hak atas

tanah secara procedural, juga melakukan

upaya dengan jalur diplomasi maupun

politis. Setelah mondar-mandir dari

pemerintah kabupaten ke tingkat propinsi

bahkan ke pemerintah pusat, maka tahun

2000 mulai ada titik terang, yaitu dengan

keluarnya Surat Keputusan Bupati Kediri

tertanggal 29 Nopember Tahun 1999

Nomor 590/2766/421.08/1999 yang

intinya bahwa pada prinsipnya bupati

tidak keberatan terhadap perpanjangan

HGU PT. SSP akan tetapi perpanjangan

HGU tersebut hanya atas tanah seluas

404,92 Ha sedangkan sisanya seluas 250

Ha kembali jatuh kepada Negara dan

selanjutnya diredistribusikan kepada para

petani. Keputusan bupati ini didasarkan

dari hasil penelitian Panitia Tanah

(Panitia B) Propinsi Jawa Timur yang

menyatakan bahwa diatas tanah

perkebunan tersebut terdapat klaim dari

warga masyarakat Dusun Jambon Desa

Sugihwaras, Dusun Sanding Desa

Babadan dan Dusun Sumber petung dan

Ringinsari Desa Sempu seluruhnya seluas

kurang lebih 372 Ha.

Terhadap hal tersebut maka Wakil

Kepala BPN meminta Bupati Kediri

untuk mengadakan penelitian kembali

terhadap HGU dimaksud dan

mengadakan inventarisasi terhadap tanah

yang akan dikeluarkan dari HGU. Bupati

kemudian melakukan inventarisasi dan

Page 10: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

10

pengukuran terhadap tanah seluas 250Ha.

Berdasarkan hasil penelitian dari Tim

Badan Pertanahan Nasional tanggal 17 -

19 Maret Th 2000, diperoleh hasil bahwa

PT SSP tidak serius mengelolan

tanamannya, bahkan pengelolaannya

diserahkan kepada pihak ke III tanpa ijin

terlebih dahulu dari pejabat yang

berwenang, serta penggunaannya tidak

memprioritaskan tanaman yang telah

mendapat ijin dari instansi teknis dan

terlihat adanya bekas bangunan

penduduk.

Berdasarkan hal itulah maka dalam

keputusannya (Keputusan Kepala Badan

Pertanahan Nasional No.

66/HGU/BPN/2000) Tentang Pemberian

Hak Guna Usaha Atas Tanah Terletak di

Kabupaten Kediri, Propinsi Jawa Timur,

menyatakan bahwa :

1. Menegaskan hapusnya Hak Guna

Usaha Nomor 1, Desa Sempu

seluas 3.800.600 M2, Nomor 1

Desa Sugihwaras seluas 1.263.890

M2 dan No 4 Desa Babadan

seluas 1.279.370 M2, atas tanah

perkebunan Sumber Petung yang

seluruhnya seluas 6.343.760 M2

(enam juta tigaratus empat puluh

tiga ribu tujuhratus enampuluh

meter persegi), yang terletak

dikecamatan Nagcar, Kabupaten

Kediri Propinsi Jawa Timur, dan

menyatakan kembali menjadi

tanah yang dikuasai oleh Negara

2. Menginstruksikan kepada Kepala

Kantor Pertanahan Kediri untuk

menarik peredaran Sertifikat

tanggal 18 Januari 1977 nomor

1/Sempu, nomor 1/Sugihwaras

dan Nomor 4/Babadan, serta

menghapus dari Buku Tanah dan

Daftar Umum Pendaftaran Tanah

bekas HGU tersebut, pada Diktum

Pertama Keputusan ini dan

selanjutnya mencatat sebagai

tanah yang dikuasai oleh Negara.

3. Menyatakan bahwa tanah seluas

2.500.000M2 (250 H)

sebagaimana dimaksud dalam Peta

Lokasi Usulan Proyek Landreform

Tanah bekas HGU PT SSP tanggal

16 Agustus 2000 sebagai tanah

obyek landreform dan

menyerahkan sepenuhnya kepada

Bupati Kediri untuk mengatur

peruntukan, penggunaan dan

penguasaan tanah tersebut kepada

masyarakat

4. Memberikan Hak Guna Usaha

selama 25 (dua puluh lima) tahun

kepada PT Perkebunan Sumber

Sari Petung berkedudukan di

Kediri atas tanah Negara seluas

3.842.760 M2 (tiga juta delapan

ratus empat puluh dua ribu tujuh

ratus enam puluh meter persegi),

terletak di Kecamatan Ngancar,

Page 11: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

11

Kabupaten Kediri Propinsi Jawa

Timur sebagaimana diuraikan

dalam Peta Situasi tanggal 28

Nopember 2000.

Terhadap Keputusan Kepala BPN ini

PT. SPP sudah melayangkan protes

dan Keberatan. Tetapi keberatan

tersebut tidak mendapat tanggapan.

Bahkan berdasarkan Keputusan

Kepala BPN tersebut, Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten Kediri

mengeluarkan Surat No 600.352.5-

1350 tertanggal 3 Juli 2000 perihal

Pelaksanaan Redistribusi Tanah Bekas

Perkebunan Sumber Sari Petung.

Selanjutnya Bupati Kediri juga

mengeluarkan Keputusan No. 856

Tahun 2000 tentang Pengesahan

Keputusan Desa dari Desa-Desa di

Kecamatan Ngancar Kabupaten

Kediri Tentang Pembentukan Panitia

Landreform.

Tahun 2001 Bupati Kediri

mengeluarkan Keputusan No. 363

Tentang Pemberian Ijin Menggarap

Tanah Bekas Hak Guna Usaha

PT. Perkebunan Sumber Sari Petung

Kabupaten Kediri. Keputusan bupati

ini dikeluarkan sebagai tindak lanjut

keputusan kepala BPN yang

menetapkan sebagian tanah milik

PT. SSP sebagai obyek Landreform

dan akan didistribusikan kepada

masyarakat. Sambil menunggu proses

redistribusi, maka masyarakat

diijinkan untuk menggarap tanah

tersebut.

Mulailah masyarakat

mengkapling-kapling tanah seluas 250

ha yang batasnya juga tidak jelas, dan

ternyata tanah yang dikapling tersebut

berada di areal perkebunan cengkeh

terbaik dan pada tempat yang

terpencar-pencar.

PT. SSP protes keras dan

setelah melalui beberapa proses

koordinasi antara lain dengan

Departemen Pertanian-Direktorat

Jenderal Perkebunan, kemudian oleh

BPN Pusat demikian juga oleh

Pemerintah Daerah Kabupetan Kediri

PT. SSP dianjurkan untuk

menyelesaikan lewat lembaga

peradilan, maka akhirnya PT. SSP

mengajukan gugatan ke Pengadilan

Tata Usaha Negara. Gugatan PT. SSP

ke PTUN berkaitan dengan

Keputusan BPN No

66/HGU/BPN/2000 tertanggal 18

Desember 2000 tentang Pemberian

HGU atas tanah terletak di Kabupaten

Kediri.

Meskipun yang berkonflik adalah

antara masyarakat di tiga dusun di

Kecamatan Ngancar dengan PT SSP,

akan tetapi yang menjadi gugatan di

pengadilan adalah Keputusan BPN

No. 66/HGU/BPN/2000 tersebut,

Page 12: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

12

karena dianggap merugikan pihak

PT. SSP. Oleh karena itu dalam

gugatan dipengadilan yang berperkara

adalah PT. SSP melawan BPN selaku

tergugat.

Pengadilan Tata Usaha Negara

Jakarta dengan Penetapan No.

131/G.TUN/2004/PTUN-JKT

memenangkan PT. SSP selaku

penggugat. Pengadilan

memerintahkan kepada Kepala BPN

selaku tergugat untuk menunda

pelaksanaan tindak lanjut

administrasi Surat Keputusan BPN

No 66/HGU/BPN/2000 tertanggal 18

Desember 2000 tentang Pemberian

HGU atas tanah terletak di Kabupaten

Kediri, yang dalam SK BPN tersebut

hanya mengabulkan perpanjangan PT

SSP seluas3.842.760 dan menyatakan

tanah seluas 250 ha sebagai obyek

landreform.

Terhadap putusan dari PTUN ini

BPN selaku pihak tergugat yang

dikalahkan melakukan Banding ke

Pengadilan Tinggi TUN di Jakarta.

Putusan dari Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara No 78/B/2005/PT TUN

Jkt, menguatkan putusan dari PTUN

Jakarta.Tidak terima dengan putusan

dari PT TUN tersebut, maka BPN

mengajukan kasasi ke Mahkamah

Agung. Mahkamah Agung dengan

putusan Mahkamah Agung No.503

K/TUN/2005, menguatkan putusan

dari PT-TUN yang berarti

memenangkan pihak PT. SSP.

Dari proses tersebut hasilnya telah

mendapat kekuatan hukum tetap

/inkrach pada tanggal 3 Juni 2008

sebagaimana yang telah diputuskan

dalam perkara No.

131/G.TUN/2004/Pt TUN Jkt Jo No.

78/B/2005/ PT TUN Jkt. Jo No. 503

K/TUN/ 2005 dengan amar sebagai

berikut:

1. Mengabulkan gugatan

penggugat seluruhnya

2. Menyatakan batal Surat

Keputusan Tergugat No.

66/HGU/PN/2000 tentang

Pemerian Hak Guna Usaha

atas Tanah terletak di

Kabupaten Kediri, Jatim

tanggal 18 Desember 2000

3. Mewajibkan tergugat untuk

mencabut SK tergugat No.

66/HGU/BPN/2000 tentang

Pemberian Hak Guna Usaha

atas Tanah, terletak di

kabupaten Kediri, Jawa Timur

Tanggal 18 Desember 2000

4. Mewajibkan tergugat untuk

menerbitkan SK tentang

pemberian Hak Guna Usaha

atas nama PT Perkebunan

Sumber Sari Petung seluas

654,92 Ha sesuai dengan

Page 13: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

13

permohonan Penggugat (PT

Perkebunan Sumber Sari

Petung)

5. Menyatakan Penetapan Ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara

Jakarta No.

131/G.TUN/2004/PTUN-JKt,

tanggal 8 September 2004

tentang penundaan

pelaksanaan SK obyek konflik

tetap berlaku sampai adanya

putusan Pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap.

Setelah memperoleh keputusan dari

MA yang memenangkan gugatannya,

maka PT. SSP mengajukan

permohonan pelaksanaan keputusan

MA kepada Kepala BPN Pusat dengan

nomor 03/SSP/XI/DIR/2008 pada

tanggal 17 Nopember 2008 perihal

permohonan pelaksanaan putusan

pengadilan PTUN, namun tidak ada

tanggapan. Kemudian PT. SSP

berkonsultasi kepada Ketua PTUN

Jakarta dan disarankan untuk

mengajukan eksekusi. Permohonan

eksekusi tersebut diajukan kepada

Ketua PTUN Jakarta pada tanggal 25

Mei 2009 dan setelah melalui proses

anmaaning, maka Ketua PTUN

Jakarta dengan surat No.

W2.TUN1.129/HK.06/VI/2009

tertanggal 19 Juni 2009 perihal

pengawasan pelaksanaan putusan

yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap yang ditujukan kepada

Kepala BPN yang dalam butir 8

menegaskan bahwa berdasarkan

alasan-alasan tersebut diatas, maka

dengan ini diperintahkan kepada

TERGUGAT/KEPALA BPN, untuk

melaksanakan putusan Pengadilan

Tata Usaha Negara Nomor

131/G.TUN/2004/PTUN-JKT, tanggal

3 Februari 2005 jo. Putusan

Pengadilan Tinggi Tata Uaha Negara

Nomor ,78/B/2005/PT.TUN- JKT

tanggal 13 Juni 2005 jo Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 503K/TUN/2005 tanggal 8

Januari 2008 yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap tersebut.

Meskipun sudah ada perintah

melaksanakan putusan pengadilan,

BPN tidak juga segera

melaksanakannya. Setelah ditungu-

tunggu, BPN tidak juga melaksanakan

putusan pengadilan, maka PT. SSP

melayangkan surat ke Presiden untuk

perlindungan hukum. PT. SSP juga

mengajukan permohonan kepada

Direktorat Jenderal Perkebunan,

Departemen Pertanian agar sebagai

perusahaan perkebunan diberikan

kepastian dan perlindungan hukum,

agar dapat berusaha dengan tenang.

Disamping itu juga dilakukan

berbagai upaya agar putusan

Page 14: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

14

pengadilan yang memenangkan PT.

SSP segera dilaksanakan.

PT. SSP yang sudah

menempuh berbagai jalur hukum

dalam kenyataannya tidak dapat

berbuat apa-apa, upaya eksekusi

yang dimohonpun tidak berhasil.

Konflik yang sudah berlangsung

sangat lama, tentu menguras sumber

daya (baik ekonomi, sosial) sampai

pada titik dimana masing-masing

pihak tidak lagi dapat berjalan dengan

aman dan nyaman. Pihak perkebunan

tidak bisa menjalankan usaha

perkebunannya dengan baik, begitu

juga warga masyarakat yang sudah

menduduki tanah bekas HGU, ada

rasa was-was dan tidak aman karena

berpikir suatu saat akan di gusur

karena kalah dalam konflik PTUN.

Tatkala ranah hukum formil

tidak bisa memberikan kepastian

hukum dan rasa keadilan bagi pihak

yang berkonflik, upaya yang di

lakukan adalah pendekatan sosial dan

kebudayaan oleh pihak mediator.

Akhirnya upaya yang dilakukan

untuk menyelesaikan masalah tersebut

dilakukan dengan bantuan Kantor

Pertanahan selaku mediator bagi

kedua belah pihak dengan melakukan

beberapa gelar perkara.

Gelar perkara dilakukan

beberapa kali. Pada awal gelar perkara

PT. SSP bersedia untuk melepas

sebagian hak atas tanahnya kepada

Negara seluas 80 ha untuk

kepentingan kesejahteraan

masyarakat sekitar kebun. Apa yang

disampaikan oleh PT. SSP tersebut

kemudian mendapat tanggapan dari

Deputi Konflik dan Perkara bahwa

agar bisa terjadi win-win solution agar

PT. SSP memberikan 125 Ha, dengan

pertimbangan 50% dari jumlah yang

dikonflikkan selama ini (250 Ha).

Ternyata dalam gelar perkara ini

belum ada kesepakatan mengenai luas

tanah yang harus diserahkan oleh PT.

SSP kepada masyarakat. Dilakukan

gelar perkara lagi yang dalam gelar

perkara ini, PT. SSP menyatakan

bersedia mengeluarkan sebagian

lahannya, yaitu seluas 127,5 Ha sesuai

dengan besarnya sebuah sertifikat

yang meliputi daerah Babadan.

Luasan 127,5 yang diberikan oleh PT.

SSP ini ternyata belum dapat diterima

BPN. Selanjutnya diadakan lagi

pertemuan-pertemuan yang akhirnya

PT. SSP bersedia menyerahkan

sebagian tanah perkebunannya kepada

Negara untuk dimanfaatkan oleh

masyarakat seluas nama-nama yang

tertera pada pengajuan permohonan

tanah sebelumnya yang ada pada

Kantor Pertanahan Kabupaten Kediri,

yaitu 250 Ha.

Page 15: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

15

Tanah yang diberikan oleh

PT. SSP tersebut selanjutnya

ditetapkan sebagai obyek

Landreform yang selanjutnya akan

diredistribusikan kepada para petani,

warga masyarakat di 3 (tiga) Desa

Babadan, Sugih waras dan Desa

Sempu yang ada di Kecamatan

Ngancar. Adapun luas tanah yang

akan diredistribusi untuk Desa

Babadan seluas 65 Ha, Desa

Sugihwaras 46 Ha dan Desa Sempu

seluas 139 ha.

Selanjutnya terhadap PT. SSP

telah diterbitkan Surat Keputusan

Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor

19/HGU/BPN RI/2012 tentang

Pemberian Pembaharuan Hak Guna

Usaha atas Nama PT. Sumber Sari

Petung Atas Tanah di Kabupaten

Kediri, Provinsi Jawa Timur dan Hak

Guna Usaha

Dari kasus yang terjadi antara

PT. SSP dan warga masyarakat

Kecamatan Ngancar Kabupaten

Kediri, dapat diketahui bahwa antara

lembaga pemerintah yaitu eksekutif

dalam hal ini BPN dengan lembaga

yudikatif, dalam hal ini PTUN dan

MA tidak dapat berjalan dengan

baik. Konflik yang berkepanjangan

melalui lembaga peradilan, ternyata

pada akhirnya tidak bermakna sama

sekali, karena apa yang telah diputus

oleh pengadilan (PTUN) yang telah

dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi

TUN dan juga MA tidak dilaksanakan

oleh tergugat. Putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap tidak dapat dilaksanakan/

dieksekusi.

Putusan dari pengadilan yang

sudah mempunyai kekuatan hukum

tetap tidak diindahkan oleh pihak

BPN. PT. SSP selaku pihak yang

dimenangkan, tidak memperoleh apa

yang seharusnya, yaitu perpanjangan

HGU seluas 654,92 Ha karena tidak

adanya ketegasan untuk melaksanakan

putusan tersebut, sehingga PT. SSP

hanya menang diatas kertas saja,

tanpa bisa menguasai tanah yang

seharusnya menjadi miliknya.

kepastian hukum belum ada, akibat

masih lemahnya pelaksanaan

eksekusi putusan PTUN.

Terhadap putusan pengadilan

yang sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap, maka dapat dilakukan

eksekusi. Eksekusi putusan PTUN

memang tidak dimungkinkan upaya

paksa dengan menggunakan aparat

keamanan. Pembentuk Undang-

Undang mengharapkan Badan/Pejabat

TUN melaksanakan putusan secara

sukarela. Namun, keberhasilan

pelaksanaan putusan itu sangat

Page 16: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

16

bergantung pada wibawa pengadilan

dan kesadaran hukum para pejabat 9

Ketentuan pelaksanaan eksekusi

terhadap putusan PTUN yang telah

berkekuatan hukum tersebut diatur

dalam Pasal 116 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 dan mengalami

perubahan, terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Secara lengkap bunyi Pasal 116

tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Salinan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, dikirimkan kepada

para pihak dengan surat tercatat

oleh Panitera pengadilan setempat

atas perintah Ketua Pengadilan

yang mengadilinya dalam tingkat

pertama selambat-lambatnya

dalam waktu 14 (empat) belas hari

kerja.

(2) Apabila setelah 60 (enam puluh)

hari kerja putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diterima

tergugat tidak melaksanakan

kewajibannya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)

huruf a, keputusan Tata Usaha

Negara yang dikonflikkan itu

9 Rozali Abdullah. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

tidak mempunyai kekuatan hukum

lagi.

(3) Dalam hal tergugat ditetapkan

harus melaksanakan kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf

c, dan kemudian setelah 90

(sembilan puluh) hari kerja

ternyata kewajiban tersebut tidak

dilaksanakan, maka penggugat

mengajukan permohonan kepada

Ketua Pengadilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), agar

pengadilan memerintahkan

tergugat melaksanakan putusan

pengadilan tersebut.

(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia

melaksanakan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, terhadap pejabat

yang bersangkutan dikenakan

upaya paksa berupa pembayaran

sejumlah uang paksa dan atau

sanksi administratif.

(5) Pejabat yang tidak melaksanakan

putusan pengadilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4)

diumumkan pada media massa

cetak setempat oleh Panitera

sejak tidak terpenuhinya

ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3).

(6) Di samping diumumkan pada

media cetak setempat

Page 17: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

17

sebagaimana dimaksud pada ayat

(5), Ketua Pengadilan harus

mengajukan hal ini kepada

Presiden sebagai pemegang

kekuasaan pemerintahan tertinggi

untuk memerintahkan Pejabat

tersebut melaksanakan putusan

pengadilan, dan kepada lembaga

perwakilan rakyat untuk

menjalankan fungsi pengawasan.

(7) Ketentuan mengenai besaran uang

paksa, jenis sanksi administratif,

dan tata cara pelaksanaan

pembayaran uang paksa dan/atau

sanksi administratif diatur dengan

peraturan perundang-undangan.

Ketentuan pelaksanaan

eksekusi putusan PTUN yang telah

berkekuatan hukum tetap tersebut

secara tersurat nampaknya sudah

sangat menjanjikan akan mampu

memberikan kepastian hukum para

pencari keadilan. Tetapi dalam

prakteknya penerapan Pasal 116

tersebut, khususnya ayat (4) dan ayat

(6) oleh PTUN masih sangat jauh dari

harapan.

Meskipun demikian, sebenarnya

sanksi administratif, pengenaan uang

paksa dan pengumuman di media

massa tak perlu terjadi jika

Badan/Pejabat TUN menjalankan

putusan secara sukarela. Apa yang

diatur dalam UU PTUN mengenai

eksekusi terhadap putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap

terbukti tidak dapat dilaksanakan

dalam konflik antara PT SSP dengan

masyarakat Desa Ngancar ini. PT SSP

hanya menang diatas kertas saja.

Konflik yang berlarut-larut

dengan memakan energi yang banyak

dan melibatkan banyak pihak,

termasuk melalui lembaga eksekutif

maupun legislatif, pada akhirnya

bermuara pada penyelesaian secara

musyawarah melalui BPN selaku

mediator. Hal ini menunjukkan bahwa

penyelesaian melalui lembaga

peradilan bukanlah jaminan masalah

dapat terselesaikan dengan baik.

Apabila ranah hukum tidak lagi dapat

memberikan kepastian hukum dan

rasa keadilan, maka pendekatan secara

sosial dan kebudayaan dengan BPN

sebagai mediator akan lebih

memberikan hasil yang memuaskan

kedua belah pihak.

Berdasarkan Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala BPN No. 1

Tahun 1999, diatur bahwa

penyelesaian masalah diselesaikan

sendiri oleh BPN, hanya apabila

masalah terlalu rumit, maka Tim yang

dibentuk BPN dapat berkoordinasi

dengan instansi lain, meminta

informasi kepada pihak lain dan juga

melakukan peninjauan lapangan. Pada

Page 18: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

18

dasarnya penyelesaian masalah

pertanahan diserahka kepada BPN,

tanpa harus melibatkan pihak

eksekutif maupun legislative. Karena

BPN mewakili Negara mempunyai

wewenang mengatur segara sesuatu

tentang Sumber Daya Agraria

sebagaimana tertuang dalam Pasal 2

ayat (2) UUPA., termasuk

kewenangan menyelesaikan konflik

sumberdaya agraria. 10

Konflik yang terjadi antara

PT. SSP dengan warga masyarakat

Kecamatan Ngacar, terlihat ada

perbedaan kebijakan antara orde baru

dengan orde reformasi. Pada saat orde

baru, terlihat bahwa pemerintah pada

waktu itu lebih berpihak kepada

pengusaha. Hal ini terlihat dari

pemberian HGU kepada PT. SSP

terhadap tanah yang sudah dikuasai

dan dimanfaatkan oleh warga

masyarakat. Sedangkan pada masa

orde reformasi, pemerintah sudah

mulai memikirkan kepentingan

masyarakat, hal ini terbukti dalam

pemberian perpanjangan HGU

PT. SSP, tidak semua tanah disetujui

perpanjangannya. Tanah yang

disinyalir tidak dimanfaatkan dengan

baik dan ada klaim dari warga

10

Elfachri Budiman, 2005, Peradilan Agraria (solusi

Alternatif Penuntasan Konflik Agraria), Jurnal Hukum

Vol 1 No 1 , hal 76

kemudian dikeluarkan dari HGU dan

dinyatakan sebagai tanah negara yang

dijadikan obyek redistribusi.

Konflik tanah perkebunan dapat

disebabkan antara lain karena tujuan

pemberian HGU sudah tidak sesuai

lagi dengan kenyataan sebenamya,

misalnya tidak lagi dilakukan

pengusahaan dengan baik ataupun

perusahaan diserahkan kepada pihak

lain selama lebih dan satu tahun, juga

disebabkan kebijakan pemberian

HGU terkadang berada di atas tanah

yang telah dikuasai atau digarap oleh

penduduk setempat secara turun

temurun11

Konflik ini sebenarnya tidak

akan terjadi apabila sebelum

memberikan suatu hak atas tanah

kepada suatu perusahaan, pemerintah

mempelajari serta mengkaji terlebih

dahulu kondisi dan status tanah

tersebut dengan cermat, dengan

mengedepankan kepentingan bagi

masyarakat, khususnya masyarakat

petani yang menggantungkan

hidupnya dari tanah.

Konflik Agraria dalam konteks

perebutan lahan sudah terjadi sejak

jaman kolonial. Setelah Indonesia

merdeka konflik ini terus saja terjadi,

11

Pahlefi, Konflik Tanah HGU Antara PT. Pagilaran

Dengan Petani Di Kabupaten Batang Provinsi Jawa

Tangah,Jurnal Ilmu Hukum, Portal Garuda

Page 19: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

19

terlebih pada masa orde baru. Pada

masa orde baru konflik agraria

semakin bertambah, hal ini

disebabkan kebijakan pertanahan

yang cenderung kapitalis yang

memihak pada pengusaha. Sampai

pada masa orde reformasi sekarang

inipun konflik agraria dalam arti

pertanahan masih saja terjadi.

Konflik pertanahan

yang muncul tiap

tahunnya

menunjukkan

bahwa penanganan

tentang kebijakan

pertanahan di

Indonesia belum

dapat berjalan

sesuai dengan yang

diharapkan.Kalau

meneliti kasus-

kasus konflik

pertanahan yang

ada, umumnya

posisi rakyat sangat

lemah dibandingkan

dengan posisi

negara dan pemodal

yang sangat kuat

dalam menentukan

arah dan corak

perubahan sosial di

Indonesia, yang

selalu dinyatakan

dengan alasan untuk

kepentingan umum.

Lemahnya posisi

rakyat juga terlihat

dalam proses

dinamika konflik itu

sendiri. Bentuk-

bentuk konflik

pertanahan yang

terjadi selama ini

sangat beraneka

ragam.12

Pemerintah dituntut untuk

melaksanakan reformasi secara

konsisten dan menciptakan peraturan

perundangan yang menjamin

keadilan atas asset dan akses

pertanahan. Peraturan perundangan

yang kontra produktif bagi keadilan

dibidang pertanahan perlu ditinjau

kembali, termasuk di dalamnya

adalah undang-undang tentang

penanaman modal yang

mempersempit ruang gerak petani,

serta memicu kriminalisasi petani

oleh pemerintah dan pengusaha.13

Pada dasarnya pilihan

penyelesaian konflik dapat dilakukan

dengan 2 (dua) proses. Proses

penyelesaian konflik melalui

litigasi di dalam pengadilan,

kemudian berkembang proses

penyelesaian konflik melalui

kerjasama (kooperatif) diluar

pengadilan (non litigasi). Proses

litigasi menghasilkan kesepakatan

yang bersifat adversial yang belum

mampu merangku kepentingan

bersama, cenderung menimbulkan

masalah baru, lambat dalam

penyelesaiannya. Sebaliknya,

12

Dadang Juliantra, Konflik Tanah, Modal dan

Transformasi, Forum LSM LPSM DIY, 1995, hal. 175 13

Puji Astuti, 2011,Kekerasan Dalam Konflik Agraria

: Kegagalan Negara Dalam Menciptakan Keadilan

Dibidang Pertanahan, ejournal.undip.ac.id

Page 20: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

20

melalui proses di luar pengadilan

menghasilkan kesepakatan

kesepakatan yang bersifat “win-win

solution” dihindari dari kelambatan

proses penyelesaian yang diakibatkan

karena hal yang bersifat prosedural

dan administratif, menyelesaikan

komprehensif dalam kebersamaan

dan tetap menjaga hubungan baik14

Adakalanya konflik

diselesaikan oleh

pihak lain di luar

konflik secara damai,

Jika tidak teratasi

melalui proses di luar

pengadilan, maka

konflik ini dilakukan

melalui proses litigasi

di dalam pengadilan

atau konflik ini

dibawa ke “meja

hijau”. Adapun

mengenai

penyelesaian konflik

yang diselesaikan

melalui kerjasama

(kooperatif) di luar

pengadilan biasanya

disebut juga dengan

Alternatve Conflict

Resolution

(ADR).Penyelesian

konflik di luar

pengadilan ini

pertama kali muncul

dengan istilah

Alternatve Conflict

Resolution (ADR) ini

di Amerika Serikat.

Hal ini muncul karena

14

BadanPertanahanNasional,2007, ReformaAgraria: Mandat Politik, Konstitusi,dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta,hal.23

masyarakat Amerika

Serikat merasa

penyelesaian konflik

melalui proses litigasi

(badan peradilan)

tidak dapat memenuhi

rasa keadilan dan

ketidakpuasan atas

system peradilan

(dissatisfied with the

judicial system) bagi

masyarakat yang

menjadi para pihak

yang berkonflik.15

Bentuk penanganan melalui

jalur non litigasi dilakukan dengan

cara fasilitasi dan mediasi. Cara

penanganan masalah dengan

fasilitasi, pihak Kantor Pertanahan

Kabupaten hanya menyediakan

fasilitas berupa pemberian data-data

yang diperlukan oleh pihak-pihak,

penyelesaian masalah tersebut

sepenuhnya dilakukan oleh pihak-

pihak yang bersangkutan. Sedangkan

mediasi merupakan salah satu proses

alternatif penyesaian masalah dengan

bantuan pihak ketiga (mediator) dan

prosedur yang disepakati oleh para

pihak dimana mediator memfasilitasi

untuk dapat tercapainya suatu solusi

(perdamaian) yang saling

menguntungkan para pihak.

Mediasi merupakan suatu cara

penyelesaian konflik alternatif,

15

Riska Fitriani, 2013, Penyelesaian Konflik Lahan

Hutan Melalui Proses Mediasi Di Kabupaten Siak,

Jurnal Ilmu Hukum Vol 3 No. 1, Portal Garuda.Org

Page 21: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

21

mediasi mempunyai ciri : waktunya

singkat, terstruktur, berorientasi pada

tugas dan merupakan cara intervensi

yang melibatkan peran serta para

pihak secara aktif .16

Dalam menyelesaikan kasus

yang diajukan BPN akan

melakukan gelar kasus. Gelar

Kasus Pertanahan yang

selanjutnya disingkat Gelar Kasus

adalah mekanisme kelembagaan

Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia dalam rangka

penanganan dan/atau penyelesaian

Kasus Pertanahan.Gelar

penanganan dan/atau

penyelesaian kasus pertanahan

yang meliputi:

a. Gelar Kasus Internal adalah gelar

yang pesertanya dari Kantor

Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia, Kantor

Wilayah Badan Pertanahan

Nasional dan/atau Kantor

Pertanahan.

b. Gelar Kasus Eksternal adalah

gelar yang pesertanya dari

Kantor Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia,

Kantor Wilayah Badan

16

Maria SW Sumardjono ,1994, Antara Kepentingan

Pemerintah dan Keadilan, Yogyakarta, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Atmajaya,hlm. 176

Pertanahan Nasional dan/atau

Kantor Pertanahan yang diikuti

peserta dari unsur/instansi

lainnya.

c. Gelar Mediasi adalah gelar yang

menghadirkan para pihak yang

berselisih untuk memfasilitasi

penyelesaian kasus pertanahan

melalui musyawarah.

d. Gelar Istimewa adalah gelar yang

dilaksanakan oleh Tim

Penyelesaian Kasus Pertanahan

yang dibentuk oleh Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik

Indonesia atau Deputi Bidang

Pengkajian dan Penanganan

Konflik dan Konflik Pertanahan.

Apabila jalur non litigasi atau

diluar pengadilan tidak dapat

terselesaikan, maka jalan yang

ditempuh adalah melalui jalur

pengadilan. Tentunya jalur pengadilan

merupakan pilihan terakhir apabila

segala upaya sudah ditempuh dan tidak

terjadi kesepakatan, karena bukan

menjadi rahasia bahwa berperkara

dipengadilan bukanlah hal yang mudah

dan murah. Berperkara dipengadilan

akan mengahabiskan energi dan juga

biaya yang tidak sedikit. Adapun

pengadilan yang menangani masalah

tanah adalah Pengadilan Umum dan juga

Pengadilan Tata Usaha Negara apabila

berkaitan dengan adanya Keputusan Tata

Page 22: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

22

Usaha Negara, sepeti Keputusan Kepala

BPN 66/HGU/BPN/2000, tentang

Pemberian HGU atas tanah terletak di

Kabupaten Kediri yang kemudian

dilakukan gugatan ke PTUN oleh PT.

SSP karena dirasa merugikan PT. SSP

selaku pemilik tanah pemegang HGU

D. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

1. Latar belakang konflik antara

PT. Sumber Sari Petung dengan

warga Desa Sempu, Babadan dan

Desa Sugihwaras Kecamatan

Ngancar Kabupaten Kediri adalah

adanya keyakinan dari warga ketiga

desa tersebut bahwa tanah yang

dikuasai oleh PT. SSP dulunya

adalah tanah milik mereka yang

diambil secara paksa oleh penguasa

pada masa itu yang kemudian

diberikan kepada PT. SSP dengan

Hak Guna Usaha. Keyakinan ini

dikuatkan dengan adanya Fotocopi

Letter C dan juga cerita dari warga

yang masih hidup. Konflik ini mulai

memuncak dengan keluarnya

Keputusan dari Badan Pertanahan

Nasional No. 66/HGU/BPN/2000,

tentang Pemberian HGU atas tanah

terletak di Kabupaten Kediri, yang

memutuskan bahwa tanah yang

selama ini dikuasai oleh PT. SSP

seluas 654,92 Ha dinyatakan

sebagai tanah Negara dan

memberikan HGU seluas 3.842.760

m2 (tiga juta delapan ratus empat

puluh dua ribu tujuh ratus enam

puluh meter persegi) kepada PT.

SSP dan yang 2.500.000 (250 Ha)

dinyatakan sebagai obyek

Landreform.

2. Konflik antara PT. SSP dengan

Warga Desa Babadan, Sempu dan

Sugihwaras Kecamatan Ngancar,

Kabupaten Kediri dengan

PT. Sumber Sari Petung, pada

awalnya dilakukan dengan cara

pendekatan dan musyawarah dengan

melibatkan berbagai pihak. Akan

tetapi cara ini akhirnya tidak juga

dapat menyelesaikan konflik

tersebut, akhirnya penyelesiannya

dilakukan melalui peradilan. Dari

proses peradilan, mulai dari PTUN,

Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara

sampai putusan Mahkamah Agung

semuanya memenangkan pihak

PT. SSP. Akan tetapi putusan

pengadilan yang sudah mempunyai

kekuatan hukum tetap itu tidak

dapat dinikmati oleh PT. SSP,

karena pihak BPN selaku tergugat

dan pihak yang dikalahkan tidak

mau melaksanakan putusan

pengadilan tersebut. Karena tidak

adanya kepastian, akhirnya

penyelesaiannya kembali melalui

Page 23: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

23

mediasi oleh Kantor Pertanahan

Kediri dengan dilakukan beberapa

kali gelar perkara intern. Setelah

dilakukan beberapa kali gelar

perkara, akhirnya pada tahun 2011

PT SSP merelakan tanahnya seluas

250 Ha, untuk dilepas dan

dinyatakan sebagai tanah obyek

Landreform yang akan

diredistribusikan kepada para petani

di tiga desa tersebut.

b. Saran

1. Pemberian suatu hak atas tanah

kepada suatu perusahaan harus

dilakukan secara teliti dan hati-hati,

terlebih tanah yang sudah dikuasai

dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pemberian suatu Hak atas tanah

jangan sampai berujung pada konflik.

2. Terhadap tanah yang sudah

dikuasai dan dimanfaatkan oleh

masyarakat dan selama itu tidak ada

pihak lain yang mempersoalkan atau

mempermasalahkan, maka

masyarakat yang menguasai dan

memanfaatkan tanah itulah yang

diprioritaskan untuk diberikan suatu

hak atas tanah.

3. Perlu amandemen terhadapat UU

PTUN terutama penguatan

pelaksanaan eksekusi putusan PTUN

yang sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap demi kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pertanahan Nasional, 2007, Reforma

Agraria: Mandat Politik,Konstitusi,

dan Hukum Dalam Rangka

Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan

dan Kesejahteraan Rakyat”,BPN,

Jakarta.

Dadang Juliantra, 1995, Sengketa Tanah,

Modal dan Transformasi, Forum LSM

LPSM DIY

Elfachri Budiman, 2005, Peradilan Agraria

(solusi Alternatif Penuntasan Konflik

Agraria), Jurnal Hukum Vol 1 No 1

Maria SW Sumardjono ,1994 Antara

Kepentingan Pemerintah dan

Keadilan, Yogyakarta, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Admajaya

Mahfud, Implementasi Fungsi Sosial HakAtas

Tanah dan Perlindungan Hak-hak

Rakyat, STPN, Yogyakarta

Noer Fauzi Rachman, 2015, Memahami

Reorganisasi Ruang Melalui

Perspektif Politik Agraria, Jurnal

Agraria dan Pertanahan “Bhumi”,

Volume 1 No 1 Mei 2015, Pusat

Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat Sekolah Tinggi

Pertanahan Nasional, Yogyakarta

Pahlevi, 2014, Analisis Bentuk-Bentuk

Sengketa Hukum Atas Tanah Menurut

Peraturan Perundang-Undangan Di

Bidang Agraria , Majalah Hukum

Forum Akademika, Volume 25 No

1Maret 2014

Puji Astuti, 2011,Kekerasan Dalam Konflik

Agraria : Kegagalan Negara Dalam

Menciptakan Keadilan Dibidang

Pertanahan, e-journal.undip.ac.id

Page 24: KONFLIK PENGUASAAN TANAH PERKEBUNAN (Studi Kasus … · di berikan surat pipil/ petok D atas nama penggarapnya. 5. Pada tahun 1968-1969 masyarakat dikumpulkan oleh okmun kepala desa

JURNAL KAJIAN HUKUM Vol. 2, No. 1(2017)

24

Riska Fitriani, 2013, Penyelesaian Sengketa

Lahan Hutan Melalui Proses Mediasi

Di Kabupaten Siak, Jurnal Ilmu

Hukum Vol 3 No. 1, Portal

Garuda.Org

Rozali Abdullah. 2005. Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara.

Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Rusmadi murad, 1991, Penyelesaian

Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,

Bandung.

Internet :

“Konflik Tanah dan Kinerja BPN”,

http://www.suarakarya-online.com

BPN, “Penanganan-Kasus-Pertanahan”,

http://www.bpn.go.id

Fia S.Aji, “Penyelesaian Sengketa Pertanahan

di Indonesia”

http://Fiaji.blogspot.com