Konflik Etnis Sudan

18
KONFLIK SEKTERIAN di SUDAN Tugas Mata Kuliah Etnopolitik Riska Oktavina : 090910101052 Martaulina Sitorus : 090910101054 Dyah Ayu W.N.M.N : 090910101060 Rendy Mahardika : 090910101063 Brilian Budi Nurani : 090910101066 Kintan Sasti P : 090910101067 Aditya Ramadhan : 090910101069 Octavianus Ricardo W. : 090910101076 Deni Iwan : 090910101078 Dian Retno Pratiwi : 090910101035 Fithria Purnamasari : 090910101030

description

KONFLIK ETNIS DI SUDAN

Transcript of Konflik Etnis Sudan

Page 1: Konflik Etnis Sudan

KONFLIK SEKTERIAN di SUDAN

Tugas Mata Kuliah Etnopolitik

Riska Oktavina : 090910101052

Martaulina Sitorus : 090910101054

Dyah Ayu W.N.M.N : 090910101060

Rendy Mahardika : 090910101063

Brilian Budi Nurani : 090910101066

Kintan Sasti P : 090910101067

Aditya Ramadhan : 090910101069

Octavianus Ricardo W. : 090910101076

Deni Iwan : 090910101078

Dian Retno Pratiwi : 090910101035

Fithria Purnamasari : 090910101030

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JEMBER

2011

Page 2: Konflik Etnis Sudan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konflik etnis yang terjadi di Sudan bermula dari ketidakadilan di pemerintahan

pusat yang dipegang mayoritas penduduk berbangsa Arab yang beragama Islam dan

berdiam di wilayah Sudan Utara, sedangkan wilayah Sudan Selatan didiami oleh

penduduk asli benua Afrika yaitu dari suku Negro serta beragama Kristen. Konflik

secara horizontal inilah yang menjadi pemicu utama pecahnya konflik negara Sudan,

antara agama (Islam dan Kristen), ras (Arab dan Negro). Selain itu, juga terjadi

konflik secara vertikal yang dipicu oleh kesenjangan ekonomi yang sangat mencolok

antara wilayah utara (bangsa Arab) dengan wilayah selatan (bangsa Negro).

Perbedaan ekonomi yang terlalu jauh antara atas dan bawah selalu menimbulkan

konflik yang berkepanjangan dan riskan menimbulkan pemberontakan separatis.

Permasalahan kesenjangan ekonomi yang mencolok ini juga mencakup

perebutan wilayah kaya minyak di Darfur. Wilayah ladang minyak Darfur selama ini

telah menyumbang pendapatan kepada negara sebesar empat miliar dolar AS

pertahunnya. Pendapatan dari wilayah Darfur ini saja telah memberikan sumbangsih

setengah dari pendapatan keseluruhan negara Sudan. Tentu saja akan menjadi pusaran

konflik yang tidak berkesudahan apabila pemerintah pusat tetap tidak dapat

memberikan keadilan bagi seluruh rakyat di Sudan.

Berbicara tentang minyak tentu tak lepas akan campur tangan dari pihak

Amerika Serikat (AS) yang selalu merasa berkepentingan di wilayah Timur Tengah.

Lambat laun apabila diteliti konflik yang terjadi di negara Sudan tidak hanya berkisar

pada konflik etnis saja, namun bergeser menuju konflik politik. Di sini, penulis

hendak menjabarkan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik tersebut dan

bagaimana kronologi konflik tersebut terjadi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis dalam menyelesaikan paper

ini mengambil judul “Konflik Sekterian di Sudan”

Page 3: Konflik Etnis Sudan

1. Rumusan Masalah

Dengan melihat aspek-aspek yang terjadi pada konflik di Sudan ini yaitu dari

pertikaian etnis yang berbeda, mulai dari ras, agama, dan diskriminasi ekonomi dan

politik yang disebabkan oleh ketidakadilan pemerintah pusat (bangsa Arab beragama

Islam) sampai perebutan wilayah kaya minyak di Abyei, sehingga menyebabkan

berbagai pemberontakan yang dilakukan penduduk Sudan di wilayah Selatan dan

memaksa jatuhnya ratusan ribu hingga jutaan korban sejak pertikaian dua dekade

silam, tepatnya 22 tahun yang lalu. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis

memfokuskan pada permasalahan: Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan

konflik etnis di Sudan?

2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang digunakan oleh penulis untuk menjawab fenomena

dari permasalahan yang diangkat adalah dengan menggunakan teori konflik etnis

oleh Michael E. Brown. Dari kriteria ini sebenarnya bisa ditarik kesimpulan

sederhana, bahwa konflik etnis adalah konflik terkait dengan permasalahan-

permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial

antara dua komunitas etnis atau lebih. ( E. Brown, 1997, hal. 82)

Menurut Brown, kata ‘konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel.

Bahkan, dalam beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk

menggambarkan jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal.

81).1 Contohnya adalah konflik yang terjadi di Somalia. Padahal di Somalia adalah

negara yang homogen, yang hanya memiliki satu etnis saja. Konflik yang terjadi di

Somalia adalah konflik antara penguasa lokal satu dengan penguasa lokal lainnya

yang berasal dari etnis yang sama.

Menurut E. Brown juga, konflik etnis seringkali memantik kekerasan, namun

tidak semua konflik etnis itu selalu berakhir pada kekerasan. Jika mencontoh ada

1 www.rumahfilsafat.com. Reza A.A Wattimena. Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown. 22 Maret 2011

Page 4: Konflik Etnis Sudan

konflik di Bosnia, Angola, Estonia, maka skala kekerasan yang luar biasa besar.

Sementara jika kita bersama-sama melihat permasalahan konflik yang berada di

Quebec, Kanada disana konflik etnis terjadi secara damai. Penduduk di Quebec yang

keturunan Prancis dan bernahasa Prancis sementara negara induknya yaitu Kanada

yang bernahasa Inggris tidak melakukan konflik yang berdampak kekerasan sama

sekali.

Disini jelas diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang

dimaksud dengan konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah

suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang

memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan

beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan

tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya

menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas (Smith, seperti dalam Brown,

1997, hal. 81)2

Dalam pemikirannya, Brown menyebutkan tiga level analisis untuk memahami

akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua

adalah level domestik, dan level ketiga adalah level persepsi. (Brown, 1997).3

ketiga level ini ada penjelasannya. Namun penulis hanya menjelaskan dua dari

tiga level tersebut. Pada level sistemik, penyebab utama meletusnya konflik etnis

adalah lemahnya otoritas negara, baik dalam urusan nasional ataupun internasional.

Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan

individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana

tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, “ yakni, dimana anarki berkuasa,

semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…”

2 Ibid hal.81

3 www.rumahfilsafat.com. Reza A.A Wattimena. Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown. 22 Maret 2011

Page 5: Konflik Etnis Sudan

(Brown, 1997).4 Dengan lemahnya otoritas negara tersebut maka cenderung ada

kekahawatiran dalam diri setiap warga untuk melindungi dirinya sendiri dari

ancaman. Selalu ada perasaan resah yang menghinggapai suatu kelompok. Perasaan

resah akan diserang oleh kelompok lain. Karena ketakutan akan ancaman inilah yang

meningkatkan pertahanan bagi suatu kelompok yakni dengan memobilisasi tentara

dan semua peralatan militer. Pada akhirnya hal ini kan memicu tindakan serupa dari

kelompok lain, sekaligus meningkatkan keteganagan politis antara kedua kelompok

tersebut. Inilah yag oleh Brown disebut sebagai Security Dilemma atau biasa disebut

dilema keamanan. dilema keamanan bisa diartikan bahwa suatu kelompok kerap tidak

menyadari jika tindakannya yang berlomba-lomba mempersiapkan pertahanan bagi

kelompoknya tersebut membuat kelompok lainnya khawatir dan turut serta ikut untuk

mempersenjatai kelompoknya sendiri, bahkan jika mampu lebih canggih dan hebat

dari kelompok sebelumnya. Akan tetapi, di banyak kasus ada kelompok yang

menyadari hal tersebut, namun mereka tetap melakukannya karena mereka sendiri

merasa terancam akan keberadaan dari kelompok lain. Inilah yang lazim terjadi pada

masyarakat pasca robohnya suatu rezim yang berkuasa.

. Level analisis kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di

level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan

pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi

antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi

dalam konteks relasi antar kelompok etnis. (Brown, 1997, hal. 85)5

Setiap warga negara yang tinggal di suatu negara tentunya mengharapkan

adanya stabilitas keamanan dan stabilitas ekonomi yang diberikan oleh pemerintah

negaranya. Keduanya ini harus dapat terealisasikan secara merata di dalam

masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah

“konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang

4 ibid

5 Ibid (hal 85)

Page 6: Konflik Etnis Sudan

mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini.” (Brown, 1997) Tuntutan ini akan semakin

besar, ketika pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut.

Di dalam masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa

sedang mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan

kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran

meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus,

kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini.

(Brown, 1997) Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.6

Problem ini akan semakin menjadi rumit ketika pemerintahnya tidak

menjadikan nasionalisme sebagai pedoman logikanya, tetapi menjadi bergeser

menuju logika yang fundamentalis etnis. Ketika suatu pemerintah yang berkuasa

sangatlah lemah, paham nasionalisme lebih mengarah kepada perbedaan etnis dan

bukan berpijak pada patokan bahwa setiap warga negara itu memiliki hak dan

kewajiban yang sama. Pada hakekatnya, menurut Brown, paham nasionalisme

didasarkan pada hak-hak universal dari setiap warga negara di dalam suatu negara,

dan hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum. Hukum yang sama juga melindungi

kebebasan warga negara tersebut untuk menyampaikan pandangan-pandangan

mereka. Akan tetapi, nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis tidak

mengenali pandangan tersebut, melainkan lebih menekankan pada kesamaan etnis

dan kultur.(Brown, 1997)7 Hal tersebut memberi ruang untuk mendirikan organisasi-

organisasi yang berbasis etnis tertentu dan menjadikan fundamentalis etnis sebagai

pandangan dasar mereka.

Keberadaan kelompok-kelompok yang menganut fundamentalisme etnis

sebagai pandangan dasar mereka membuat peluang terjadinya konflik etnis semakin

besar. “Bangkitnya nasionalisme etnis pada satu kelompok”, demikian analisis

6 www.rumahfilsafat.com. Reza A.A Wattimena. Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown. 22 Maret 2011

7 www.rumahfilsafat.com. Reza A.A Wattimena. Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown. 22 Maret 2011

Page 7: Konflik Etnis Sudan

Brown, “akan dilihat sebagai ancaman bagi kelompok lainnya dan akan menciptakan

perkembangan dari sentimen yang sama di tempat-tempat lainnya.” (Brown, 1997)

Jika suah seperti ini, maka pertentangan antar kelompok etnis akan semakin besar.

Dan biasanya, kelompok minoritaslah yang akan menjadi korban, jika konflik

sungguh terjadi. Kelompok minoritas akan menjadi kambing hitam, dan di banyak

tempat, kelompok minoritas lalu menuntut untuk mendirikan negara mereka sendiri.

Konflik pun akan semakin besar.8

BAB II. PEMBAHASAN

Violent conflicts di Sudan telah terjadi jauh sebelum negeri ini merdeka di tahun

1956. Violent conflicts ini berakar kuat pada identitas agama dan etnik, selain faktor

8 www.rumahfilsafat.com. Reza A.A Wattimena. Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown. 22 Maret 2011

Page 8: Konflik Etnis Sudan

sosial-ekonomi dan perebutan akses sumber daya alam yang melimpah seperti

minyak, kayu (timber), hydropower dan aneka sumber bahan kerajinan. Identitas

agama, kelas sosial, dan etnik, juga punya kontribusi penting dalam menyulut konflik

dan kekerasan di Sudan. Selain itu permaslahan politik yang melibatkan para pejabat

penguasa pemerintahan juga menjadi factor penyebab terjadinya perseteruan antar

etnis di Sudan9.

Persengketaan akan wilayah juga kerap merupakan factor utama dari timbulnya

konflik. Misalnya wilayah Abyei. Wilayah ini kaya akan minyak seperti halnya

Darfur. Wilayah Abyei seluas 10.460 kilometer persegi di Sudan tengah. Daerah ini

diperkirakan akan menjadi pusaran konflik baru kelanjutan dari konflik etnis

sebelumnya. Pasalnya, referendum untuk menentukan masa depan daerah yang kaya

akan sumber daya minyak itu tidak dapat gigelar bersamaan dengan referendum

Sudan selatan sehingga berpotensi menjadi sengketa antara utara dan selatan.10

Abyei menjadi penghasil minyak terbesar di Sudan tengah. Sudan termasuk

produsen terbesar ketiga di Afrika dengan Abyei sebagai pemasok utamanya. Selama

ini, masing-masing wilayah utara dan selatan saling mengklaim wilayah Abyei

beserta kandungan minyak yang terdapat di dalamnya.

Selain sebagai penghasil minyak terbesar, Abyei juga menyimpan potensi besar

lainnya, yaitu menjadi penghasil ternak utama Sudan karena didukung oleh hamparan

luas padang penggembalaan rumput yang luas serta kaya akan sumber pakan

ternaknya. Selama berabad-abad wilayah Abyei yang berupa padang rumput ini

dihuni oleh suku Ngok Dinka yang hidup sebagai petanipenggarap lahan dan peternak

serta Missirya sebagai penggembala yang suka berkelana.11

Arena kondisi inilah Abyei terbelah menjadi dua, sebagian berada di wilayah

teritori Sudan utara, dan sebagiannya membentang di Sudan selatan. Mayoritas

9 http://islamlib.com/03/09/2007/rezim-islamis-dan-tragedi-sudan.html

10 Kompas. 7 Januari 2011. Pusaran Konflik Sudan.

11 Kompas. 7 Januari 2011. Pusaran Konflik Sudan.

Page 9: Konflik Etnis Sudan

penghuni Sudan utara yaitu suku Missirya (Missiri) adalah pemeluk agama Islam.

Sedangkan Ngok Dinka hidup dan menganut agama Kristen.

Mengacu pada protokol tahun 2004 yang berkaitan tentang penyelesaian

konflik Abyei dalam Comprehensive Peace Agreement yang mengakhiri perang

saudara, antara utara dan selatan, pada tahun 2005 Abyei diberikan status

administratif khusus.12 Namun pada kenyataannya sekarang Abyei menjadi kendala

serius bagi suksesnya referendum nasional bagi penduduk Sudan selatan yang ingin

menentukan masa depannya sendiri.

Dalam perjanjian damai yang ditandatangani pada 9 Januari 2005 referendum

Sudan selatan dan wilayah Abyei harus digela secara bersamaan dan serentak pada

tahun keenam pasca perjanjian. Ini berarti referendum Abyei seharusnya juga

dilaksanakan secara bersamaan dengan eferendum Sudan yaitu pada tanggal 9 Januari

2011, namun hal ini ditunda. Referendum Sudan selatan digelar dengan agenda

menentukan bagaimana pilihan penduduk di selatan apakah ingin tetap bergabung

ataukah merdeka. Sementara dalam konteks referendum Abyei ini adalah bagaimana

langkah yang akan ditempuh penduduk yang tinggal di kawasan Abyei apakah

menjadi teritorial dari Sudan utara atau selatan.

Referendum di Abyei tertunda karena otoritas selatan yang diwakili Sudan

People’s Liberation Movement (SPLM) dan sekutunya suku Dinka Ngok masih

berselisih dengan partai yang berkuasa, National Congress Party (NCP) terkait

dengan siapa boleh ikut memilih.13

Mahkamah internasional yang berada di Den Haag, Belanda sebenarnya telah

menetapkan batas-batas wilayah Abyei yang dipersengketakan tersebut. Mahkamah

mengukuhkan perbatasan bagian utara yang kaya minyak, seperti yang telah

ditetapkan setelah perjanjian damai tahun 2005. Akibatnya masih terjadinya konflik,

12 Kompas. 7 Januari 2011. Pusaran Konflik Sudan.

13 Kompas, 6 Januari 2011. Titik Api Konflik Sudan di Abyei.

Page 10: Konflik Etnis Sudan

mahkamah menetapkan kembali batas-batas bagian timur dan barat Abyei sehingga

mengurangi luasnya. (Kompas, 6 Januari 2011).

Majelis hakim telah memutuskan untuk tidak mengikuti batas-batas yang telah

diusulkan stelah perjanjian damai tahun 2005 tersebut, yang sebenarnya telah ditolak

pihak wilayah utara. Sebagai gantinya, Mahkamah Internasional mengusulkan untuk

beberapa wilayah, misalnya ladang minyak Heglig yang bukan bagian dari wilayah

Abyei.

Beralih dari permasalahan persengketaan tentang wilayah kaya minyak

tersebut. Selain karena perbedaan ras dan agama, negara Sudan sebenarnya juga

dipicu oleh perlakuan para kaum elitenya yang terlibat dalam perebutan pengaruh dan

kekayaan alam berupa minyak yang berada di wilayah selatan. Dan diduga kuat pula

ada campur tangan asing yang berperan di belakangnya.

Permasalahan politik yang melibatkan para pejabat penguasa pemerintahan juga

menjadi penyebab terjadinya konflik etnis di Sudan. Para penguasa pemerintahan

yang didominasi oleh pihak utara menerapkan peraturan agama dan mengatur

kehidupan sehari-hari warga di seantero negeri, yaitu secara sewenang-wenang dan

sepihak, pemerintah menerapkan hukum syariah di Sudan sejak tahun 1983. Hukum

Islam yang diterapkan penguasa utara untuk seantero negeri Sudan telah

menyengsarakan warga wilayah selatan. Karena dengan melihat latar belakang dari

agama warga selatan yaitu Kristen, hukum Islam tidak sesuai dengan mereka. Kultur

budaya warga selatan yang beragama Kristen ini minuman keras adalah salah satu

budaya yang mengakar bagi mereka, sementara dalam hukum Islam, minuman keras

adalah haram.

3. Kesimpulan

Dari penjabaran yang penulis tuliskan sebelumnya, penulis dapat memberikan

kesimpulan bahwa dalam permasalahan konflik di Sudan ada beberapa konflik utama

dan konflik pemicunya. Dalam konflik utama, permasalahan Sudan berawal dari

Page 11: Konflik Etnis Sudan

pertama adanya ketidakadilan yang diberikan oleh otoritas negara atau pemerintahan

yang mayoritas dikuasai oleh etnis Arab yang beragama Islam. Kedua, perbedaan

latar belakang secara kultural antara Sudan selatan dan utara, yaitu mulai dari

perbedaan agama (Sudan utara adalah agama Islam dan selatan adalah Kristen);

perbedaan ras (Sudan utara berasal dari etnis arab dan selatan dari etnis negro asli

Afrika). Ketiga, karena pemerintahan dikuasai oleh mayoritas penduduk Arab yang

beragama Islam dan menyebabkan diberlakukannya hukum syariah Islam di Sudan

yang sebenarnya penduduknya tidak hanya Islam saja, hal tersebut tentu membuat

warga di selatan melakukan pemberontakan. Untuk konflik pemicunya muncul

karena adanya pertikaian perebutan wilayah Abyei yang merupakan ladang minyak

terbesar di Sudan. Wilayah kaya minyak ini menjadi perebutan antara wilayah utara

dan selatan. Perebutan ini belum dapat terselesaikan karena belum dilakukannya

referendum penentuan pembagian batasan wilayah Abyei. Tentu saja ini akan

menjadikan Abyei layaknya bom waktu sebuah konflik dan perang saudara pasca

referendum Sudan.

DAFTAR PUSTAKA

Situs internet

www.rumahfilsafat.com. Reza A.A Wattimena. Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown. 22 Maret 2011

www.politik.lipi.go.id. Khanisa. Referendum Penutup Konflik.

trionoakhmadmunid.blogspot.com. Proposal Penelitian. Dampak krisis di Darfur, Sudan terhadap keamanan regional dan internasional.

surat kabar

Kompas. 7 Januari 2011. Pusaran Konflik Sudan.

Kompas, 6 Januari 2011. Titik Api Konflik Sudan di Abyei.

Page 12: Konflik Etnis Sudan

Kompas, 9 Januari 2011. Sudan Selatan Berpesta Menjelang Referendum.

Kompas, 10 Januari 2011. Sudan Selatan Memilih.

Kompas, 1 Februari 2011. Hasil Referendum Disambut.

Buku

Brown, Michael E. 1997. Nationaslim and Ethnic Conflict. London : MIT Press