Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan …repository.umrah.ac.id/392/1/Artikel...
Transcript of Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan …repository.umrah.ac.id/392/1/Artikel...
1
Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis,
Bintan Utara
Suhandoko1, Winny Retna Melani2, Dedy Kurniawan3
Program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi jenis lamun, indeks nilai
penting, serta kualitas perairan Kampung Bugis. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Mei 2017 hingga Januari 2018 dengan menggunakan metode acak (Random
sampling). Dari hasil penelitian tersebut, jenis lamun yang dijumpai pada
penelitian ini sebanyak 3 jenis lamun yakni jenis E. acoroides, T. hemprichii, dan
C. serrulata dengan total kerapatan sebesar 94,3 tegakan/m2, total tutupan jenis
lamun sebesar 40,8%, dan frekuensi jenis yang paling sering dijumpai yakni E.
acoroides. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis E. acoroides, dengan
demikian jenis yang memiliki pengaruh paling besar terhadap komunitas lamun di
perairan Kampung Bugis. Nilai indeks keanekaragaman tergolong sedang, yang
mencirikan bahwa jenis lamun yang dijumpai tidak terlalu banyak. Nilai indeks
keseragaman tergolong tinggi yang mengindikasikan bahwa jenis yang dijumpai
jumlahnya tidak berselisih jauh. Serta nilai indeks dominansi tergolong rendah
yang mencirikan bahwa tidak ada jenis yang mendominasi. Dari parameter yang
telah diteliti, kondisi padang lamun diperairan Kampung Bugis yakni kurang baik.
Kata kunci : Lamun, Tutupan, Kerapatan, Frekuensi, INP, Kampung Bugis.
2
PENDAHULUAN
Ekosistem lamun merupakan ekosistem penting sebagai penunjang kehidupan
biota – biota perairan dan dimanfaatkan sebagai area pengasuhan, pemijahan,
mencari makan, serta pembesaran larva – larva organisme akuatik, (Gosari dan
Haris 2012). Ekosistem lamun penting untuk dilindungi karena fungsinya yang
sangat penting bagi kelangsungan kelestarian sumberdaya perikanan. Pengkajian
terkait kondisi lamun menjadi sesuatu yang diperlukan sebagai kontrol untuk
melihat kondisi padang lamun pada masa ke masa. Fungsi lamun diantaranya
adalah sebagai penyedia tempat berlindung bagi biota-biota laut yang hidup di
dalamnya, serta merupakan daerah asuhan (nursery ground) bagi beberapa spesies
biota laut, (Kordi 2011).
Padang lamun adalah salah satu ekosistem produktif yang memiliki fungsi
ekologi sebagai tempat pemijahan, perlindungan, habitat hidup, serta pengasuhan
bagi biota ekonomis penting, dan biota – biota lainnya. Namun kerusakan area
padang lamun masih terus terjadi dan membahayakan bagi kelangsungan habitat
biota ekonomis penting meliputi ikan, kerang-kerangan, krustasea, Echinodermata
dan biota penting lainnya.
Status kondisi padang lamun sangat menentukan terjadinya indikasi kerusakan
lamun akibat dari aktivitas dan pengaruh yang ada di sekitar pesisir. Perubahan
kondisi dan status padang lamun dapat dianalisis menggunakan pendekatan
komunitas berupa tingkat tutupan dan kerapatannya. Dari kedua pendekatan
komunitas tersebut, dapat dilihat sejauh mana kerusakan lamun yang terjadi.
Namun ekploitasi yang cenderung meningkat pada area padang lamun, dapat
memberikan dampak kerusakan padang lamun. Kerusakan yang umumnya terjadi
yakni berupa berkurangnya luasan dan tingkat kerapatan lamun yang cenderung
menurun. Maka perlu dilakukan pendekatan ilmiah terkait kajian kondisi dan
status padang lamun di Perairan Kampung Bugis dengan melihat kerapatan dan
tutupan lamun sehingga dapat diketahui kondisinya saat ini untuk pedoman
pengelolaan lamun pada masa yang akan datang.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2017 sampai Januari 2018.
Penelitian ini dilaksanakan di perairan Desa Kampung Bugis, Kecamatan Bintan
Utara, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
3
Pengambilan data kondisi lamun menggunakan metode Petak Contoh (Transect
Plot). Metode petak contoh adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu
komunitas menggunakan pendekatan petak contoh yang diletakkan pada wilayah
ekosistem tersebut (KEPMEN LH No.200 Tahun 2004).
Setiap titik yang menyebar di Perairan Kampung Bugis akan diamati nilai
kerapatan jenis/spesies dan persentase tutupan. Pengambilan data kondisi tutupan
lamun dilakukan saat pasang dan kerapatan lamun dilakukan saat air laut
mengalami surut dengan kedalaman air antara 10 – 50 cm. Prosedur pengambilan
data adalah sebagai berikut:
1. Menentukan titik pengamatan
2. Pada setiap titik pengamatan diletakkan 1 plot
3. Transek plot yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan ukuran
0,5x0,5 m yang dibagi menjadi 25 sub petak berukuran 10 x 10 cm.
Pengambilan sampel dilakukan ketika saat surut. Skema petak contoh yang
digunakan dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Petak Contoh (plot) untuk pengamatan Lamun
Identifikasi jenis dilakukan dengan mencocokan data – data di lapangan seperti
bentuk daun, bunga dan akar lamun dengan katalog, kemudian jenis–jenis lamun
yang didapat di lapangan disajikan dalam bentuk Tabel (KEPMEN LH No. 200
Tahun 2004). Identifikasi jenis – jenis lamun menggunakan panduan identifikasi
lamun menurut (McKenzie 2003). Pengukuran lamun meliputi; kerapatan jenis,
kerapatan relative, frekuensi jenis, frekuensi relatif, tutupan jenis, tutupan relative,
indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks
dominansi. Untuk menentukan kondisi lamun dilihat dari nilai kerapatan dan
tutupannya seperti tersaji pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan
Skala Kerapatan (ind/m2) Kondisi
5 > 175 Sangat Rapat
4 125 – 175 Rapat
3 75 – 125 Agak Rapat
2 25 – 75 Jarang
1 < 25 Sangat Jarang
Sumber : Braun-Blanquet (1965) dalam Gosari dan Haris (2012).
Tabel 2. Status padang lamun
Status Kondisi Penutupan (%)
Baik Kaya/Sehat > 60
Rusak Kurang kaya/Kurang sehat 30 – 59,9
Rusak Miskin < 29, 9
Sumber: KEPMEN LH No. 200 Tahun 2004
4
HASIL
1. Jenis Lamun
Hasil pengamatan selama penelitian untuk setiap titik sampling teridentifikasi
sebanyak 3 jenis lamun yakni jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan
Cymodocea serrulata. Ketiga jenis lamun ini dijumpai menyebar dari tepian
sungai kearah tubir pada area titik sampling yang ditentukan sebelumnya. Untuk
melihat jenis serta jumlah tegakan E. acoroides, T. hemprichii, dan C. serrulata
disajikan seperti pada Gambar 3.
E. acoroides T. hemprichii C. serrulata
Gambar 3. Jenis – jenis Lamun di Perairan Kel. Kampung Bugis
2. Kerapatan Lamun
Nilai kerapatan lamun dihitung dengan melihat jumlah tegakan untuk masing-
masing jenis yang dijumpai, kemudian dibandingkan dengan luasan area lamun.
Hasil pengamatan kerapatan lamun dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kerapatan lamun di perairan Kampung Bugis
3. Penutupan Lamun
Luasan cover area atau dikenal dengan istilah persentase penutupan lamun
merupakan pendekatan ekologis yang juga dapat melihat kondisi lamun pada
suatu lokasi. Berdasarkan hasil hitungan, diperolah nilai penutupan dan penutupan
relative seperti tersaji pada Gambar 5.
5
Gambar 5. Penutupan lamun di perairan Kampung Bugis
4. Frekuensi Lamun
Frekuensi lamun merupakan gambaran data yang menggambarkan peluang
nilai kehadiran jenis lamun tertentu dalam plot sampling yang diambil. Nilai
frekuensi yang tinggi mencirikan bahwa jenis tersebut memiliki sebaran yang
luas, sedangkan jika nilainya rendah berarti jenis tersebut hanya dijumpai di
beberapa lokasi saja. Baiklah untuk melihat lebih jelasnya mengenai nilai
frekuensi jenis lamun di perairan Kampung Bugis maka disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Frekuensi lamun di perairan Kampung Bugis
5. Indeks Nilai Penting Lamun
Indeks nilai penting atau INP merupakan analisis komunitas yang
menggambarkan peran suatu jenis tertentu dalam suatu komunitas, dalam hal ini
komunitas lamun. Untuk melihat nilai INP dari komunitas lamun di perairan
Kampung Bugis, disajikan pada Gambar 7.
6
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
180,00
E. acoroides T. hemprichii C. serrulata
INP
(%
)
Jenis
Indeks Nilai Penting
E. acoroides
T. hemprichii
C. serrulata
Gambar 7. Indeks Nilai Penting lamun di perairan Kampung Bugis
6. Indeks Ekologi (Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi)
Indeks ekologi yakni indeks yang meliputi indeks keanekaragaman jenis
(menggambarkan banyaknya jenis yang dijumpai), indeks keseragaman jenis
(kemerataan/selisih jumlah tegakan dari masing-masing jenis), serta indeks
dominansi (menggambarkan apakah ada jenis yang menguasai/dominan). Dari
hasil perhitungan nilai indeks ekologi, secara rinci disajkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi No. Indeks Nilai Indeks Kategori Nilai
1 Keanekaragaman 1.48 Sedang
2 Keseragaman 0.93 Tinggi
3 Dominansi 0.38 Rendah
Sumber : Hasil Olahan Data
7. Kualitas Air
Kondisi lingkungan meliputi parameter fisika dan kimia perairan Kampung
Bugis disajikan secara rinci seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Kondisi Perairan Kampung Bugis
No. Parameter Satuan Hasil Sampling
Rata-rata
Baku Mutu
Kepmen LH
No.51 (2004)
1. Fisika
- Suhu oC 27,90 28-30
- Arus m/s 0,10 -
- Kecerahan m Tampak Dasar >3
- Substrat - Pasir -
2. Kimia
- pH - 7,59 6-8,5
- Oksigen Terlarut mg/L 6,85 >5
- Salinitas o/oo 29,97 33-34
Sumber : Hasil Olahan Data
7
PEMBAHASAN
1. Jenis Lamun
Penelitian ini menujukkan bahwa jenis yang dijumpai tergolong sedikit jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan. Seperti
halnya penelitian yang dilakukan oleh Srianti (2017), di perairan Pantai Sakera
yang secara administrasi masih masuk dalam Kelurahan Kampung Bugis dijumpai
5 spesies lamun yakni E. acoroides, T. hemprichii, C. rotundata, H. uninervis dan
H. pinifolia. Jenis yang sebelumnya ditemukan lebih banyak dibandingkan dengan
penelitian ini. Namun beberapa jenis yang ditemukan spesiesnya sama. Akan
tetapi secara keseluruhan jenis yang dijumpai pada penelitian ini tergolong sedikit
hanya 3 jenis. Lokasi pada penelitian tersebut tidak terlalu jauh dengan lokasi
penelitian pada saat ini, komunitas lamun yang diamati masih dalam satu
hamparan komunitas padang lamun.
Jika dibandingkan dengan jenis lamun yang umum dijumpai di Indonesia yakni
sebanyak 12 spesies, (Syukur et al. 2011). Jenis yang dijumpai di perairan
Kampung Bugis hanya terdiri dari 3 spesies, atau dapat dikatakan hanya sebesar
25% dari jenis yang dijumpai di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa jenis
yang dijumpai di perairan ini cukup sedikit. Hal yang mempengaruhi sedikitnya
jenis yang dijumpai yakni karakteristik lamun di perairan Kampung Bugis yang
cenderung membentuk vegetasi tunggal, yaitu jenis yang hidup disana hanya
dijumpai beberapa spesies saja.
Berdasarkan penelitian Menurut Arkham et al. (2015), wilayah Kabupaten
Bintan ditemukan 10 jenis lamun dari 12 jenis lamun yang ada di Indonesia. Hal
ini menunjukkan bahwa lokasi pengamatan (Kabupaten Bintan bagian utara-
timur) memiliki keaneka-ragaman jenis lamun yang tinggi. Jenis-jenis lamun yang
ditemukan tersebut antara lain adalah : Cymodocea rotundata, Cymodocea
serrulata, Ehbalus acroides, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Halophila
ovalis, Hallophila. spinulosa, Thalassia hemprichii, Thalassodendron ciliatum,
dan Syringodium isoetifolium. Lebih lanjut Siswanto et al., (2017) mengatakan
bahwa jenis lamun yang umum dijumpai di perairan Pulau Bintan ialah Enhalus
acoroides, Syringodium isoetifolium, Thalasodendron ciliatum dan Cymodocea
rotundata.
2. Kerapatan
Nilai kerapatan berdasarkan hasil hitungan di perairan Kampung Bugis
menunjukkan bahwa kerapatan jenis E. acoroides sebesar 44,0 tegakan/m2, untuk
jenis T. hemprichii sebesar 16,0 tegakan/m2, serta kerapatan untuk jenis C.
serullata yakni 34,3 tegakan/m2. Dengan total kerapatan untuk semua jenis yakni
sebesar 94,3 tegakan/m2. Jika mengacu pada kategori kerapatan menurut Supriadi
et al., (2012) bahwa kerapatan yang rendah bernilai <50 tegakan/m2, kerapatan
yang sedang yakni bernilai 50 – 100 tegakan/m2, serta kerapatan yang tinggi
bernilai <100 tegakan/m2. Maka jika dibandingkan dari nilai tersebut, kondisi
kerapatan lamun di perairan Kampung Bugis temasuk kerapatan yang sedang.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Srianti (2017), disekitar perairan
Pantai Sakera yang masih dalam satu hamparan lamun Desa Kampung Bugis
menunjukkan bahwa kerapatan lamun total untuk semua jenis juga cukup rendah
hanya sebesar 44 tegakan/m2. Penelitian ini kondisi lamunnya tergolong dengan
8
kerapatan yang rendah. Kerapatan lamun pada penelitian saat ini lebih tinggi,
meskipun dari jumlah jenisnya lebih sedikit dijumpai. Secara keseluruhan
mencirikan bahwa kondisi lamun di perairan Kampung Bugis terus mengalami
tekanan.
Tekanan yang diterima oleh ekosistem lamun akan mengarah kepada
penurunan nilai kerapatannya serta kerusakan dan penurunan luasannya. Sehingga
jika lamun terus mengalami penurunan jumlah ekologinya akan berdampak pada
kerusakan bagi organisme yang hidup didalamnya. Seperti hasil pengamatan di
lapangan yang menunjukkan adanya aktivitas masyarakat berupa berkarang,
tambak labuh pompong, aktivitas wisata pantai, serta permukiman pesisie
disekitar area lamun perairan Kampung Bugis yang menyebabkan rusaknya
ekosistem lamun. Menurut Supriadi et al. (2012) bahwa kondisi lamun yang rusak
berpengaruh terhadap peranan lamun sebagai habitat, tempat memijah dan tempat
mencari makan berbagai organisme serta peran lamun sebagai penyerap dan
penyimpan karbon. Dengan penurunan kondisi lamun tersebut, akan mengurangi
fungsi ekologis pada lamun dan berimbas pada stabilitas ekosistem yang lainnya.
Asumsi peneliti, bahwa kerapatan lamun yang sedang (tidak rapat) disebabkan
oleh faktor manusia yaitu aktivitas – aktivitas pesisir yang memiliki dampak
terhadap lamun. Diperairan Kampung Bugis diketahui merupakan area wisata
pantai, permukiman, aktivitas perikanan, serta transportasi laut. Aktivitas tersebut
sangat berpotensi untuk mengakibatkan penurunan kondisi padang lamun
sehingga dari waktu ke waktu terus mengalami tekanan. Dari aktivitas
permukiman, banyak dihasilkan sampah-sampah yang dapat menutupi area lamun
sehingga menyebabkan terhambatnya fotosintesis.
Dari aktivitas transportasi kapal akan mengakibatkan adanya lapisan minyak
dari limbah buangan minyak kapal (air ballas) yang juga akan menghambat
masuknya cahaya matahari. Dari aktivitas perikanan seperti jaring ikan akan
mengakibatkan tercabutnya lamun di dasar perairan pada saat penarikan jarring,
serta dari aktivitas wisata pantai dan berkarang yang dilakukan oleh masyarakat
akan menginjak – injak lamun sehingga juga akan mengakibatkan kerusakan
lamun. Lebih lanjut Syukur et al. (2011), mengatakan bahwa kerusakan lamun
pada dasarnya adalah akibat dari cara masyarakat dalam memanfaatkan
sumberdaya yang benilai konsumsi seperti moluska dan sumberdaya lain yang
berdampak pada rusaknya lamun. Menurut Supriadi et al. (2012), kerusakan
lamun selain faktor alami, juga disebabkan oleh meningkatnya tekanan
(kerusakan) ekosistem padang lamun karena aktifitas manusia.
3. Tutupan
Hasil penutupan jenis lamun diatas, diketahui bahwa E. acoroides memiliki
persentase penutupan jenis sebesar 15,8%, kemudian untuk jenis lamun T.
hemprichii memiliki persentase tutupan yakni 10,5%, sedangkan untuk jenis
lamun C. serrulata yakni sebesar 14,5%. Untuk total tutupan jenis lamun secara
keseluruhan sebesar 40,8%. Dalam peraturan yang diatur dalam Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004, membagi kelas penutupan
lamun menjadi 3 bagian yakni penutupan kaya/sehat (60%), kurang kaya/kurang
sehat (30-59,9%), serta tutupan terkategori miskin (29,9%).
Dengan demikian nilai tutupan lamun di perairan Kampung Bugis yakni
tergolong pada penutupan yang kurang kaya/kurang sehat (sedang). Kondisi ini
9
serupa dengan data hasil tingkat kerapatan lamun yang juga tergolong sedang.
Kerusakan lamun diakibatkan oleh adanya aktivitas permukiman, wisata pantai,
transportasi laut, aktivitas perikanan yang ada di sekitar perairan Kampung Bugis.
Dari aktivitas transportasi laut dengan limbah minyaknya, serta sampah yang
dihasilkan oleh permukiman, dan aktivitas menjaring ikan oleh nelayan yang akan
mengakibatkan kekeruhan perairan meningkat dan terbentuknya lapisan minyak di
kolom air yang akan menghambat terjadinya fotosintesis pada lamun. Dengan
demikian akan berdampak pada penurunan pertumbuhan daun lamun, dan
mengakibatkan penurunan persentase tutupannya. Tutupan yang tidak tergolong
tinggi mencirikan bahwa luasan area lamun di perairan Kampung Bugis semakin
menurun. Menurut Poedjiraharjoe et al. (2013), bahwa rendahnya angka
penutupan di suatu perairan umumnya diduga karena adanya aktivitas manusia
dan tingginya aktivitas perikanan, sehingga terjadi berbagai macam gangguan,
salah satunya yakni peningkatan kekeruhan yang dapat menghambat terjadinya
fotosintesis.
Kondisi penutupan jenis lamun yang menurun di perairan Kampung Bugis,
merupakan indikasi terjadinya perubahan luasan padang lamun di perairan
tersebut. Seperti penelitian Setiawan et al. (2012), bahwa berdasarkan hasil citra
pemetaan luasan lamun di perairan Banten, terindikasi bahwa telah terjadi
penurunan luasan padang lamun yakni sebesar 45,2 ha pada tahun 2008 menjadi
sebesar 43,8 ha pada tahun 2010. Kondisi ini juga diprediksi umum terjadi di
perairan-perairan pesisir Indonesia, penurunan tersebut lebih besar disebabkan
oleh faktor aktivitas manusia. Pada data tersebut juga diperoleh bahwa terjadi
penurunan nilai tutupan lamun dari tahun ke tahun. Dapat disimpulkan bahwa
penutupan lamun memiliki hubungan dengan nilai luasan lamun. Semakin rendah
nilai penutupan lamun, maka mengindikasikan terjadinya penurunan luasannya.
Sebaliknya juga demikian, jika penutupan lamun semakin meningkat maka dapat
dipastikan bahwa luasan area lamunnya juga meningkat.
4. Frekuensi
Nilai frekuensi jenis lamun E. acoroides yakni 0,9. Untuk jenis T. hemprichii
dan C. serrulata yakni masing-masing 0,2 dan 0,1. Nilai frekuensi diketahui
tertinggi pada jenis E. acoroides mencapai 1 (satu) artinya hampir seluruh plot
pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini, dapat ditemukan jenis E.
acoroides. Sedangkan jenis yang nilai frekuensi paling rendah yakni jenis C.
serullata menggambarkan jenis ini paling kecil sebarannya dan hanya dijumpai di
beberapa plot saja. Diketahui dari hasil pengamatan sebanyak 30 plot sampling,
jenis C. serullata hanya dijumpai di 4 (empat) plot saja, sedangkan untuk jenis E.
acoroides dijumpai di 27 dari 30 plot pengamatan.
Dapat dilihat dari data frekuensi relatif bahwa jenis E. acoroides memiliki nilai
frekuensi relatif tertinggi yakni 71,05%. Artinya jenis E. acoroides dapat dijumpai
sebesar 71,05% (27 plot) dari 100% (30 plot) pengamatan. Kondisi ini sangat
memungkinkan jika jenis E. acoroides merupakan jenis yang umum dijumpai dan
memiliki sebaran yang cukup luas di perairan Kampung Bugis. Dari hasil
penelitian sebelumnya bahwa nilai persentase komposisi lamun di sekitar perairan
Pantai Sakera yang berdekatan dengan perairan Kampung Bugis menunjukkan
bahwa komposisi tertinggi pada jenis Enhalus acoroides sebesar 54 % (Srianti,
10
2017). Dominasi jenis E. acoroides memang selalu terlihat baik pada penelitian
saat ini maupun penelitian-penelitian terdahulu.
Dari hasil frekuensi lamun yang diperoleh dari hasil penelitian bahwa sebaran
yang luas terhadap jenis E. acoroides dipengaruhi oleh kondisi organisme lamun
itu sendiri. Diketahui bahwa jenis lamun E. acoroides memiliki sistem perakaran
yang kokoh, struktur daun yang besar dan kasar, serta merupakan spesies yang
paling besar dibandingkan dengan spesies lainnya. Dengan demikian, bukan tidak
mungkin jenis lamun E. acoroides memiliki daya tahan dan toleransi yang cukup
baik terhadap perubahan lingkungan, serta dapat lebih cepat pertumbuhannya
sehingga sebarannya semakin luas.
Diperoleh dari hasil penelitian Rahman et al. (2016), bahwa kisaran rata-rata
pertumbuhan lamun E. acoroides mencapai 4,7 – 15,2 mm/hari. Sedangkan jika
menurut penelitian Alie (2010), terkait dengan pertumbuhan lamun jenis T.
hemprichii sebesar 2,9 mm/hari. Serta menurut Tasabaramo et al. (2015), bahwa
pertumbuhan lamun jenis Cymodocea sp. dapat mencapai 2,2 mm/hari. Dari data-
data tersebut menjelaskan bahwa memang jenis E. acoroides pertumbuhannya
paling cepat, sehingga dapat menyebar lebih luas dan memiliki peluang
pertumbuhan yang lebih cepat sehingga nilai frekuensinya lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis lainnya.
5. Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting lamun di perairan Kampung Bugis menunjukkan bahwa
jenis E. acoroides memiliki nilai INP mencapai 156,52. Untuk jenis T. hemprichii
dan jenis C. serullata masing-masing memiliki nilai INP yakni 61,08 dan 82,40.
Melihat nilai INP, jenis yang memiliki nilai INP tinggi yakni jenis E. acoroides
menunjukkan jenis ini paling memiliki pengaruh yang besar terhadap komunitas
lamun di perairan Kampung Bugis. Artinya jenis lamun E. acoroides merupakan
jenis yang digunakan sebagai indicator kondisi lamun di perairan Kampung
Bugis, jika kondisi lamun jenis E. acoroides terganggu maka dapat dipastikan
lamun jenis lain juga keberadaannya terganggu. Menurut Feryatun et al. (2012),
bahwa INP digunakan untuk menghitung dan menduga secara keseluruhan dari
peranan satu spesies di dalam suatu komunitas.
6. Indeks Ekologi
Nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh dari hasil perhitungan yakni
sebesar 1,48 dengan kategori indeks tergolong sedang. Nilai indeks keseragaman
diperoleh sebesar 0,93 dengan kategori indeks keseragaman tergolong tinggi,
sedangkan untuk indeks dominansi diperoleh sebesar 0,38 yang tergolong dengan
kondisi rendah. Hasil data tersebut menggambarkan bahwa jenis lamun yang
dijumpai di perairan Kampung Bugis tidak terlalu banyak (hanya 3 spesies)
sehingga nilai keanekaragamannya sedang. Jumlah tegakan dari masing-masing
jenis lamun yang dijumpai, tidak berselisih jauh sehingga nilai keseragamannya
tergolong tinggi (jumlah jenis hamper merata). Selanjutnya dari hasil indeks
dominansi dapat dilihat tidak ada satu spesies yang dominan meskipun secara
keseluruhan jenis E.acoroides memiliki nilai komunitas yang lebih tinggi. Artinya
meskipun lebih banyak tegakan jenis E. acoroides akan tetapi masih dalam
kondisi yang sesuai. Hasil indeks tersebut mencirikan bahwa kondisi lingkungan
dan kondisi perairan masih cukup baik untuk mendukung kehidupan lamun.
11
7. Kualitas Air
Hasil pengukuran suhu perairan diperoleh rata-rata yakni sebesar 27,9 oC, jika
mengacu pada nilai baku mutu perairan dalam KEPMEN LH No.51 Tahun 2004,
bahwa suhu yang sesuai bagi kehidupan lamun yakni 28 – 30 oC. Tentunya jika
dilihat dari hasil pengukuran suhu lebih rendah dibandingkan dengan baku mutu,
akan tetapi tidak selisih jauh. Rendahnya nilai suhu dikarenakan oleh sampling
yang dilakukan pada saat air surut yang terjadi pada pagi hari, sehingga suhu akan
lebih rendah dibandingkan dengan siang hari.
Kecepatan arus di perairan Kampung Bugis diperoleh rata – rata sebesar 0,10
m/s. Jika dibandingkan dengan kecepatan arus yang baik bagi pertumbuhan lamun
yang dikemukakan oleh Kordi (2011) yakni sebesar 0,5 m/s. Maka data kecepatan
arus diatas tergolong pada kecepatan arus yang lambat. Lemahnya arus di perairan
Kampung Bugis tersebut disebabkan dengan kondisi topografi dan morfologi
perairan yang termasuk dalam bentuk perairan teluk. Dengan kondisi tersebut
maka arus akan lebih lemah karena terhalang dengan kawasan tanjung yang lebih
menjorok ke arah laut. Menurut Pamungkas dan Jaelani (2016), Selain aktivitas
manusia, kerusakan padang lamun juga diakibatkan oleh perubahan kualitas
perairan tempat habitat hidupnya. Faktor lingkungan yang berpengaruh langsung
bagi kelangsungan hidup lamun diantaranya yaitu salinitas, suhu, dan kecerahan
perairan.
Nilai kecerahan perairan Kampung Bugis pada setiap titik sampling yang
kecerahan/cahaya matahari sampai hingga ke dasar perairan. Kecerahan tentunya
mendukung kelangsungan proses fotosintesis lamun yang membutuhkan sinar
matahari untuk berfotosintesis. Dengan demikian, nilai kecerahan di perairan
Kampung Bugis tergolong baik bagi pertumbuhan lamun. Menurut Christon et al.
(2012), bahwa kondisi kecerahan yang tinggi menguntungkan bagi lamun karena
proses fotosintesis dapat berlangsung secara optimal, karena cahaya yang masuk
kedalam kolom air sangat penting untuk aktivitas fotosintesis.
Komposisi substrat dasar perairan Kampung Bugis didominasi oleh butiran
pasir, cenderung jenis substrat/sedimen berbutir kasar. Komposisi sedimen
berbutir halus (lanau/lumpur) memiliki kandungan yang besar terhadap
ketersediaan nutrient. Dari hasil kajian bahwa kerapatan lamun cenderung akan
meningkat pada tipe substrat yang komposisi jenis lumpurnya lebih banyak,
dibandingkan dengan substrat yang mengandung sedikit kandungan lumpur.
Lamun cenderung hidup baik pada substrat pasir campuran lumpur (Feryatun et
al. 2012). Mengacu dari literature diatas, bahwa kondisi substrat masih tergolong
kasar sehingga kurang baik bagi pertumbuhan lamun. Akan tetapi, secara
keseluruhan lamun masih dijumpai sebanyak 3 jenis, membuktikan bahwa jenis
substrat pasir ini juga dapat ditumbuhi oleh lamun meskipun kerapatannya kurang
baik.
Mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004
menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan lamun
yakni antara 6 – 8,5 sedangka kandungan oksigen terlarut yang baik yakni
>5mg/L. Diketahui bahwa derajat keasaman di perairan Kampung Bugis yakni
rata – rata sebesar 7,59 sedangkan oksigen terlarut rata – rata yakni 6,85 mg/L.
Dengan melihat data tersebut maka dapat dipastikan bahwa kandungan oksigen
terlarut dan derajat keasaman masih baik bagi kehidupan lamun secara
keseluruhan.
12
Salinitas di perairan Kampung Bugis rata – rata sebesar 29,97oC, mengacu
pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menyatakan
bahwa salinitas yang baik untuk kehidupan lamun yakni antara 33 – 34 oC.
Kondisi salinitas terlihat jauh dari nilai baku mutu yang ditentukan, salinitasnya
lebih rendah. Kondisi ini dapat terjadi karena pada saat pengambilan data di
lapangan dilakukan pada saat pagi hari pada saat sampling lamun, sehingga belum
ada pengaruh dari sinar matahari sehingga salinitasnya tergolong rendah.
8. Pengelolaan Lamun
Jenis lamun yang dijumpai hanya terdiri dari 3 jenis yakni E. acoroides, T.
hemprichii, dan C. serullata sehingga nilai keanekaragaman jenisnya tidak
tergolong tinggi. Kerapatan lamun untuk semua jenis diperairan Kampung Bugis
juga tergolong sedang sehingga menggambarkan kondisi lamun yang kurang baik.
Permasalahan ini juga dapat terjadi pada area – area yang tidak ditumbuhi lamun.
Kategori nilai tutupan lamun di perairan Kampung Bugis juga tergolong kurang
sehat. Artinya kondisi padang lamun juga kurang baik jika ditinjau dari nilai
tutupannya. Nilai frekuensi dan indeks nilai penting lamun tertinggi pada jenis E.
acoroides sedangkan jenis lain memiliki nilai yang lebih rendah dan selisih jauh.
Dengan demikian dikhawatirkan akan terjadi dominan jenis E. acoroides dan akan
terjadi lamun yang monospesies yang tentunya kurang baik bagi keberagaman
ekosistem lamun. Kualitas air meliputi parameter fisika dan kimia perairan, secara
umum masih memenuhi kisaran baku mutu menurut KEPMEN LH No. 51 tahun
2004, sehingga kondisi ini harus selalu ditingkatkan dengan menjaga kelestarian
lingkungan oleh semua pihak, baik masyarakat sekitar perairan Kampung Bugis
maupun para pengunjung.
Jika dilihat dari data secara keseluruhan terhadap komunitas lamun di perairan
Kampung Bugis, kesimpulannya adalah kondisi lamun di perairan Kampung
Bugis termasuk cukup baik (sedang). Sehingga diperlukan peningkatan
pengelolaan berbasis masyarakat dengan menggunakan alat tangkap yang ramah
lingkungan. Diantara parameter fisika dan kimia yang tidak sesuai dengan baku
mutu menurut KEPMEN LH No. 51 tahun 2004 yakni suhu salinitas yang
nilainya dibawah ambang batas yang ditetapkan, serta kondisi arus perairan
Kampung Bugis yang tergolong lemah. Untuk itu perlu adanya partisipasi
masyarakat dalam berbagai kegiatan terkait dengan buangan air tawar dari
aktivitas permukiman secara langsung keperairan laut agar tidak berlebihan dan
kegiatan bersih pantai dan pengelolaan sampah sehingga akan mempengaruhi
salinitas secara alami diperairan tersebut.
KESIMPULAN
1. Jenis lamun yang dijumpai pada penelitian ini sebanyak 3 jenis lamun yakni
jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea serrulata.
2. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis E. acoroides, dengan
demikian jenis yang memiliki pengaruh paling besar terhadap komunitas lamun
di perairan Kampung Bugis. Nilai indeks keanekaragaman tergolong sedang,
yang mencirikan bahwa jenis lamun yang dijumpai tidak terlalu banyak. Nilai
indeks keseragaman tergolong tinggi yang mengindikasikan bahwa jenis yang
dijumpai jumlahnya tidak berselisih jauh. Serta nilai indeks dominansi
tergolong rendah yang mencirikan bahwa tidak ada jenis yang mendominasi.
13
3. Kondisi parameter perairan secara keseluruhan masih tergolong baik, akan
tetapi parameter suhu dan salinitas tidak sesuai dengan baku mutu yang
ditentukan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun
2004
DAFTAR PUSTAKA
Alie, K. 2010. Pertumbuhan Dan Biomassa Lamun Thalassia hemprichii Di
Perairan Pulau Bone Batang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jurnal
Sains MIPA. Vol 16 (2). Hal 105-110.
Arkham, M.N., Adrianto. L., dan Wardiatno, Y. 2015. Studi Keterkaitan
Ekosistem Lamun Dan Perikanan Skala Kecil (Studi Kasus: Desa Malang
Rapat Dan Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau). Jurnal Sosek
Kelautan dan Perikanan. Vol 10 (2). Hal 137-148.
Christon, Djunaedi. O.S., Purba, N.P. 2012. Pengaruh Tinggi Pasang Surut
Terhadap Pertumbuhan Dan Biomassa Daun Lamun Enhalus acoroides Di
Pulau Pari Kepulauan Seribu Jakarta. Jurnal Perikanan dank ELAUTAN. Vol 3
(3). HaL 287-294.
Feryatun, F., Hendrarto, B., Widyorini, N. 2012. Kerapatan Dan Distribusi Lamun
(Seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan Yang Berbeda Di Perairan Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu. Jurnal Manajement of Aquatic Resources. Vol 1
(1). Hal 1-7.
Gosari, J.A., Haris, A. 2012. Studi Kerapatan dan Penutupan Jenis Lamun di
Kepulauan Spermonde. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Vol. 22
(3). Hal 256-162.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004. Kriteria Baku
kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Baku Mutu Air
Laut Untuk Biota Laut.
Kordi, K.G. 2011. Ekosistem Lamun (seagrass) fungsi, potensi pengelolaan.
Rineka Cipta. Jakarta.
McKenzie, L.J. 2003. Guidelines for The Rapid Assessment and Mapping of
Tropical Seagrass Habitats. The State of Queensland. Department of Primary
Industries.
Pamungkas, M.W.T., Jaelani, L.M. 2012. Pemodelan Persamaan Hubungan
Kualitas Perairan Menggunakan Citra Landsat 8 untuk Pendugaan Habitat
Padang Lamun (Studi Kasus: Pantai Sanur, Bali). Jurnal Teknik ITS. Vol 5 (2).
Hal 170-175.
14
Poedjiraharjoe, E., Mahayani, N.P.D., Sidharta, B.R., Salamuddin, M. 2013.
Tutupan Lamun dan Kondisi Ekosistemnya di Kawasan Pesisir Madasanger,
Jelenga, dan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis. Vol 5 (1). Hal 36-46.
Rahman, A.A., Nur, A.I., Ramli, M. 2016. Studi Laju Pertumbuhan Lamun
(Enhalus acoroides) Di Perairan Pantai Desa Tanjung Tiram Kabupaten
Konawe Selatan. Jurnal Sapa Laut. Vol 1 (1). Hal 10-16.
Srianti. 2017. Karakteristik dan Distribusi Perifiton pada Daun Lamun yang
Berbeda di Perairan Pantai Sakera Kabupaten Bintan. [Skripsi]. Universitas
Maritim Raja Ali Haji.
Supriadi., Soedarma, D., Kaswadji, R.F. 2006. Beberapa Aspek Pertumbuhan
Lamun Enhalus acoroides (Linn. F) Royle di Pulau Barrang Lompo Makassar.
Jurnal Biosfera. Vol 23 (1). Hal 1-8.
Supriadi., Kaswadji, R.F., Bengen, D.G., Hutomo, M. 2012. Komunitas Lamun di
Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan Karakteristik Habitat. Jurnal
Maspari. Vol 4 (2). Hal 148-158.
Syukur, A. 2015. Distribusi, Keragaman Jenis Lamun (Seagrass) dan di Pulau
Lombok Status Konservasinya. Jurnal Biologi Tropis. Vol 15 (1). Hal 171-182.
Tasabaramo, I.A., Kawaroe, M., Rappe, R.A. 2015. Laju Pertumbuhan,
Penutupan, Dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides yang
Ditransplantasi Secara Monospesies dan Multispesies. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. Vol 7 (2). Hal 757-770.