Komplikasi yang Terjadi Kemudian dari Anestesi Spinal- PenelitianProspektif dari 5000 kasus
-
Upload
banu-widagdo -
Category
Documents
-
view
476 -
download
2
description
Transcript of Komplikasi yang Terjadi Kemudian dari Anestesi Spinal- PenelitianProspektif dari 5000 kasus
J Anaesth Clin Pharmacol 2010; 26 (1):39-44
Komplikasi yang Terjadi Kemudian dari Anestesi Spinal- Penelitian
Prospektif dari 5000 kasus
Abraham A. A., Riyan shetty, Manju Ninan
Abstrak
Latar Belakang: Anestesi spinal sudah mulai dikenal selama 40 sampai dengan50
tahun karena sederhana, cepat, reliable, murah, dan memiliki sedikit komplikasi. Pada
section caesaria terdapat paparan minimal obat depresi terhadap fetus. Ibu tetap
bangun dan bahaya aspirasi minimal.
Pasien dan Metode: Kami mengerjakan penelitian prospektif di tahun 2004 pada
5000 kasus anestesi spinal untuk komplikasi akhir. Masalah yang terjadi seperti
bradikardia, hipotensi, mual muntah, dan kegagalan menganestesi blok sebagian
menjadi kriteria eksklusi.
Hasil dan Kesimpulan: Sebagian besar pasien (77, 56 %) tinggal di rumah sakit
sampai hari ke delapan, 6, 18% pasien tinggal di rumah sakit lebih dari 10 hari karena
berbagai operasi dan komplikasi medis. Kami tidak pernah memperoleh kasus
tunggal komplikasi dari infeksi atau komplikasi neurologis. Kami memperoleh 11
kasus sakit kepala spinal (0, 22%). Sekali pasien keluar dari rumah sakit sehingga
sulit untuk megunjungi mereka. Oleh karena itu, kami membatasi penelitian pada
lamanya tinggal di rumah sakit. Pada penelitian kami, 83 % pasien tinggal di rumah
sakit 8 sampai dengan 10 hari.
Kata kunci: Anestesi spinal, komplikasi, post dural puncture headache (PDPH)
cerebro spinal fluid (CSF), komplikasi infeksi.
1
Anestesi spinal berkembang pada akhir tahun 1800an. Pada awal tahun 1900an
terdapat sejumlah laporan mengenai anestesi spinal menggunakan jarum bor besar.
Keluhan sakit kepala dilaporkan pada 50 % pasien.
Kepopuleran anestesi spinal semakin berkurang pada tahun 1940an seiring adanya
beberapa laporan mengenai kerusakan neurologis. Di tahun 1936, Brock, Bell, dan
Davidson menguraikan tujuh pasien yang mengalami berbagai komplikasi neurologis
setelah memperoleh anestesi spinal. Komplikasi tersebut meliputi meningitis aseptic,
poliencefalitis, radikulits lumbal, sindrom cauda equine dan mielitis transversal.
Pada tahun 1937, Macdonald Critchley memimpin diskusi tentang sindrom
neurologis post spinal di Royal Society of Medicine, termasuk di dalamnya sindrom
cauda equine dan conus medularis dengan inkontinensia atau retensi urin dan
radikulomielitis dengan paraplegia lemah. Di tahun 1945, Kennedy Somberg dan
Goldberg melaporkan tiga kasus arachnoiditis spinal.
Publikasi paling merugikan yang diperoleh anestesi spinal pada kasus Wooley dan
Ros. Pada kasus tersebut, keduanya menjadi paraplegia setelah dianestesi spinal di
Royal Hospital di London pada 13 Oktober 1947. Keduanya dianestesi oleh dr.
Malcolm Graham menggunakan anestesi local dan teknik yang sama. Kontaminasi
fenol melalui retakan kecil pada ampul cinchocain disebut-sebut sebagai penyebab
terjadinya komplikasi pada saat itu. Padahal, beberapa tahun kemudian. Kontaminasi
syringe dan jarum dengan solusio acid descaler yang digunakan pada sterizer
disarankan sebagai penyebab.
Sekarang dengan teknik sterilisasi yang lebih baik, pelatihan yang lebih baik, dan
jarum yang lebih kecil, komplikasi anestesi spial telah menurun drastis.
Pasien dan Metode
Penelitian prospektif ini berhubungan dengan institusi kami dari tahun 2004 dan
seterusnya hingga mencapai 5000 kasus. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
2
kasus rutin dan emergensi. Kombinasi spinal epidural tidak dimasukkan dalam
penelitian. Pasien dengan riwayat alergi anestesi local, penyakit perdarahan, penyakit
neurologis, sepsis local dimasukkan dalam kriteria eksklusi.
Setelah menulis inform consent, semua pasien dievaluasi secara klinis dan anamnesis
ulang preoperatif.
Pada kasus rutin, guidline standar NPO diikuti. Pada malam sebelum operasi, pasien
diberi ranitidine tablet 150 mg. Injeksi petidin 1mg/kgBB im diberikan 1 jam
sebelum operasi.
Setelah menempatkan monitor noninvasif, pasien diberi preload cairan 500-1000 ml
normal saline atau dextrose 5 % normal saline melalui kanul 18 G. Pada keadaan
aseptic, anestesi blok subarachnoid dilakukan pada posisi tubuh miring kanan atau
kiri pada L2- L3, L3-L4, L5-L6 setelah diinfiltrasi local. Kami menggunakan jarum
Quincke 23 atau 25 G secara acak. Kami biasanya menggunakan pedekatan dari garis
tengah tubuh. Ketika terdapat kesulitan dalam mendapatkan spinal tap, digunakan
pendekatan dari lateral. Ujung jarum dijaga tetap parallel dengan aksis panjang
spinal.
Pasien yang operasi hanya pada satu anggota badan dijaga posisinya dalam keadaan
lateral selama 5 menit dengan bagian tubuh yang berkaitan berada di bawah. Pada
sebagian besar kasus, kami menggunakan bupivakain 0,5 %. Xilokain 5 % digunakan
hanya pada operasi yang tidak membutuhkan waktu lama.
Kami merawat pasien di PACU sampai blok sensori hilang dan kekuatan motorik
normal kembali. Pasien diobservasi menggigil atau tidak, jika ada nyeri segera diberi
analgesik. Pasien dipindah ke bangsal setelah vital sign stabil. Pasien diobservasi dan
dievaluasi ada tidaknya gejala dan tanda komplikasi seperti sakit kepala, muntah,
nyeri sensorik atau deficit motorik, demam yang tidak diketahui penyebabnya, dan
lain-lain.
3
Hasil
Kami tidak mendapatkan adanya komplikasi seperti spinal total, perdarahan
subarachnoid, atau henti jantung mendadak. Demikian juga, kami tidak menemukan
komplikasi karena infeksi seperti abses kutaneus, abses epidural, atau meningitis
aseptik. Efek neurotoksik seperti meningismus, arachnoiditis, sindrom kauda equine,
mielitis, neuropati perifer juga tidak didapatkan.
Pada 124 pasien berkembang kesulitan dalam buang air kecil ketika sudah berada di
bangsal setelah operasi. Empat puluh enam pasien dapat buang air kecil setelah
meletakkan kantong air hangat pada wilayah kantong kemih atau setelah meminta
pasien ke toilet, 78 pasien dipasang kateter. Paralisis kantong kemih dapat terjadi
akibat paresis lama pada musculus detrussor oleh anestesi lokal, tetapi dapat juga
karena pembesaran prostat pada orangtua, menggunakan opiat, dan kesulitan
berpindah dari tempat tidur. Karena paralisis kantong kemih tidak dapat secara
langsung dihubungkan dengan anestesi spinal, kami mengeksklusi paralisis kantong
kemih sebagai komplikasi anestesi spinal.
Pada 11 pasien terjadi sakit kepala spinal. Pada 11 pasien tersebut, kami
menggunakan jarum 23 G dan pendekatan pada garis tengah tubuh. Dari 11 pasien, 3
(27,2%) perempuan, 8 (72,8%) laki-laki. Enam pasien berumur antara 21 sampai
dengan 30 tahun (54,5%) dan lima pasien berumur antara 31 sampai dengan 40 tahun
(45,5%). Semua pasien dengan kategori ASA I-II. Pada enam pasien hanya sekali
penginsersian jarum ke spinal, tiga pasien membutuhkan dua kali penginsersian
jarum, dan dua pasien membutuhkan tiga kali penginsersian jarum ke spinal.
Semua pasien tidak mempunyai riwayat sakit kepala atau anestesi spinal sebelumnya.
Untuk menangani penyebab sakit kepala, kami melakukan konsultasi medis dan ENT.
Tiga pasien hanya mengalami sakit kepala ringan. Satu pasien pada hari pertama
setelah operasi dan dua lainnya pada hari kedua. Sakit kepala pada bagian frontal dan
occipital terjadi saat bangun dari tempat tidur dan mereda dengan kembalinya pasien
4
dalam posisi berbaring. Dari tiga pasien tersebut diterapi dengan brufet tablet dan
pasien disuruh untuk banyak minum. Sakit kepala membaik setelah dua sampai tiga
hari terapi.
Pada salah satu pasien keluhan sakit kepala langsung dirasakan setelah pasien
dipindah ke PACU (selama dua jam). Kaki tempat tidur pasien ditinggikan untuk
meningkatkan aliran darah. Pasien diminta untuk banyak minum setelah pasien
dipindah ke bangsal perawatan post operasi dan diberikan injeksi diclofenac 75 mg.
Delapan pasien lainnya mengeluh sakit kepala post operasi setelah pindah ke bangsal
selama satu sampai dengan tiga hari. Sakit kepala frontal atau occipital menjalar ke
punggung dan bahu. Mereka menjadi memiliki riwayat derajat mual, muntah, vertigo,
dan gelisah yang membaik dengan posisi berbaring. Satu pasien mengeluh diplopia.
Semua pasien diterangkan tentang penyebab sakit kepala dan juga bertujuan
menenangkan pasien. Semua pasien diterapi dengan obat antiinflamasi per oral dan
cairan intravena. Dari semua pasien tidak ada yang membutuhkan epidural blood
patch. Keluhan sakit kepala semua pasien membaik dalam waktu 5 sampai dengan 10
hari.
5
Tabel 1. Data 11 pasien yang mengalami sakit kepala spinal
No.
Umur
Jenis kelamin
ASA Ukuran
Usaha Mulai sakit kepala
pendekatan
Penyelesaian
Jenis operasi Gejala yang berhubungan
komentar
1.
2.
3.
4.
5.
6.7.
8.9.10.
11.
32
25
30
29
32
2535
403525
23
M
M
M
M
M
MM
MFF
F
1
1
1
1
1
11
111
1
23
23
23
23
23
2323
232323
23
1
1
1
2
1
33
121
1
2 hari
1 hari
2
3 jam
1
31
222
1
M
M
M
M
M
MM
MMM
M
2
2
3
5
5
64
546
5
Hidrocel
Sistolitotomi
Varikoselektomi
Hidrocel
Patella wiring
Varicose veinHernia
HerniaHisterectomyOvarian cystectomyLSCS
Sakit kepala ringan
mual muntah
VertigoGelisah
Diplopia
Sakit kepala ringanSakit kepala ringan
Mulai selama 3 jamPembedahan emergensi
Pembedahan emergensi
6
Tabel 2. Distribusi Pasien Meliputi Umur, Jenis Kelamin, Umur, Jenis Operasi,
Status Fisik, dan Departemen
Variabel Jumlah Persentase (%)
I. UMUR
<20
21-30
31-40
41-50
51-60
61-70
>70
108
640
1492
1010
600
730
420
2,16
12,8
29,84
20,2
12
14,6
8,4
II. JENIS KELAMIN
Laki-laki 3256 65,12
Perempuan 1744 34,88
III. JENIS OPERASI
Elektif 4036 80.72
Non-elektif 964 19,28
IV. STATUS FISIK
ASA I 2039 40,78
II
III
IV
1920
985
56
38,4
19,7
1,18
V. DEPARTEMEN
Bedah Umum 1846 36,92
Ortho 1920 38,4
Urologi 1025 20,5
Obsgyn 661 13,22
7
Tabel 3. Distribusi Pasien Meliputi Ukuran Jarum, Pendekatan, Jumlah Tusukan,
Obat yang Digunakan, Waktu Berkemih, dan Lama Rawat Inap
Variabel Jumlah Persentase (%)
VI. UKURAN JARUM
23
25
4424
576
88,48
11,52
VII. PENDEKATAN
Garis tengah tubuh
Lateral
4984
16
99,68
0,32
VIII. JUMLAH TUSUKAN
Single
Multiple
4577
423
91,54
8,46
IX. OBAT YANG DIGUNAKAN
Bupivacain
Lignocain
4790
210
95,8
4,2
X. PENGELUARAN URIN
Kateter in situ
Tanpa bantuan
Dengan bantuan
Kateter
2352
2524
46
78
47,04
50,48
0,92
1,56
XI. LAMA RAWAT INAP
1-2 hari
3-7 hari
8 hari
>10 hari
272
541
3878
309
5,44
10,82
77,56
6,18
8
Tabel 4. Penelitian Prospektif pada Komplikasi Akhir Anestesi Spinal di Fakultas
Kedokteran Yanepoya, Mangalore
Serial No. Tanggal
Nama :
I. Umur 18-20
51-60
21-30
61-70
31-40
>70
41-50
II. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
III. Tipe Elektif Emergensi
IV. Status Fisik ASA I ASA II ASA III ASA IV
V. Departemen Bedah umum Ortho Urologi Obsgyn
VI. Ukuran jarum 23 25
VII. Pendekatan Garis tengah
tubuh
Lateral
VIII. Jumlah tusukan Single Multiple
IX. Obat yang
digunakan
Bupivacain Lignocain
SETELAH PINDAH KE BANGSAL POST OPERASI
Waktu sadar kembali 4 jam 5 jam 6 jam 7 jam 8 jam
Tingkat sensorik T10 L1
Fungsi motorik 0 1 2 3 4 5
X. Urine Kateter in situ
Dengan bantuan
Tanpa bantuan
Kateterisasi
BAB 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari
XI. Waktu rawat inap
yang dibutuhkan
setelah dianestesi
<5
10
6
>10
7 8 9
Diskusi
9
Pada tahun 1898, Bier melakukan anestesi spinal pada dirinya sendiri dan
menderita sakit kepala hebat yang baru menghilang setelah 9 hari. Dia berpendapat
bahwa keluarnya liquor cerebrospinal (LCS) melalui injeksi dural menyebabkan
penurunan tekanan LCS, tekanan di otak dan meninges. Akibatnya terjadi penarikan
pada pembuluh yang sensitif. Menurunnya LCS menyebabkan dilatasi vena yang
terkompensasi. Bertentangan dengan doktrin Monro Kellie. Doktrin Monro-Kellie
menyatakan bahwa volume otak, LCS dan darah intrakranial berjumlah konstan.
Dilatasi vena juga merupakan penyebab sakit kepala tersebut.
Angka kejadian sakit kepala pasca pungsi dural tercatat sebesar 66% pada
tahun 1898. Angka yang cukup tinggi ini kemungkinan besar disebabkan oleh
penggunaan jarum berukuran besar, prosedur yang kurang tepat, potongan jarum
spinal pada tulang belakang itu sendiri. Pada tahun 1956, dengan digunakannya jarum
ukuran 22G dan 24G, angka kejadian diperkirakan telah turun menjadi sebesar 11%.
Saat ini penggunaan jarum halus seperti Whitacre dan Sprotte mengurangi kejadian
PDPH dalam jumlah besar. Hal ini terkait dengan desain ukuran jarum spinal,
pengalaman orang yang melakukan pungsi dural, usia, dan jenis kelamin pasien.
Sebanyak 66% sakit kepala akan mulai terjadi dalam kurun waktu 48 jam
pertama dan 90% terjadi dalam 3 hari setelah prosedur dilakukan. Sakit kepala
kemungkinan timbul seketika setelah pungsi berlangsung. 70% PDPH sembuh dalam
1 minggu setelah pungsi dural, dan kira-kira 95% hilang dalam waktu 6 minggu.
Masa pemulihan terlama yang pernah tercatat yaitu 8 tahun setelah pungsi dural.
10
Biasanya sakit dirasakan di daerah frontal dan oksipital yang menjalar di
bagian leher dan bahu. Rasa sakit ini dapat diperparah oleh gerakan kepala dan posisi
tegak dan akan hilang ketika berbaring. Peningkatan keparahan sakit kepala ini saat
berdiri merupakan sine qua non dari sakit kepala pasca pungsi dural. Gejala lainnya
seperti mual, muntah, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo, pusing, diplopia.
Kebutaan kortikal juga pernah dilaporkan. Haemotoma subdural intrakranial, herniasi
otak dan kematian merupakan sebuah komplikasi.
Diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat pungsi dural dan gejala sakit
kepala postural. Ketika ada keraguan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pungsi lumbal diagnostik dapat menunjukkan tekanan
LCS yang rendah. Magnetic Resonancing Imaging (MRI) dapat menggambarkan
perluasan dural yang menyebar, pengenduran dan penurunan otak, dan chiasma
opticus. Untuk menemukan sumber spinal yang mengalami kebocoran LCS dapat
digunakan CT myelography retrograde radionuclide myelography, cisternography,
bagan tipis MRI.
Penting untuk mempertimbangkan diagnosis alternatif seperti virus kimia atau
bakteri meningitis, pendarahan intra kranial, trombosis vena serebral, tumor
intrakranial, sakit kepala non spesifik, pitutory pitam, infark cerebral, herniasi uncal,
dan migrain.
Pengobatan PDPH dapat dibagi ke dalam prosedur terapi konservatif dan
khusus. Tindakan konservatif termasuk dukungan psikologis dan menenangkan
11
pasien, posisi telentang atau posisi kepala di bawah, administrasi volume besar cairan
oral atau intravena, obat penenang dan analgesik, inhalasi oksigen, kompresi perut
dengan pengikat.
Kafein sodium benzoat 0.5gm IV atau IM telah terbukti efektif pada 70-75%
pasien di penelitian double blind yang dilakukan oleh Sechzer. Penelitian
menunjukkan bahwa kafein menyebabkan vasokonstriksi serebral dan menetralkan
distensi vaskular intrakranial yang disebabkan oleh perubahan dinamika LCS.
ACTH diberikan sebagai infus untuk pengobatan PDPH (1,5 mg.kg.-1)
Mekanisme yang diusulkan termasuk peningkatan produksi LCS, edema sekunder
dural untuk memproduksi aldosteron dan meningkatkan produksi endorfin yang
menghasilkan tingkat keberhasilan sebesar 70-95%.
Tindakan terapi khusus termasuk epidural blood patch, epidural saline,
dekstran epidural, epidural pengikat fibrin. Epidural blood patch pertama kali
dijelaskan oleh Gormley menggunakan 2-3ml darah autologus. Tapi sekarang
kebanyakan orang berpikir bahwa diperlukan sebanyak 20-30 ml darah. Pada
prosedur akhir, pasien diminta untuk tetap berbaring selama satu sampai dengan dua
jam lalu diperbolehkan untuk berjalan.
Rejimen yang dianjurkan untuk epidural saline mencakup (i) 1-1,5 liter
larutan Hartmans selama 24 jam yang dimulai pada hari pertama tusuk dural, (ii)
hingga 35 ml larutan per jam di atas 24-48 jam setelah sakit kepala meluas (iii)
sebuah 30 ml bolus epidural saline setelah sakit kepala (iv) 100-120 ml garam pada
12
bolus melalui ruang kaudal epidural. Injeksi epidural lumbal meningkatkan tekanan
epidural dan intratekal. Pengurangan kebocoran akan memungkinkan dura untuk
memperbaikinya.
Beberapa pengamat mempertimbangkan epidural dekstran 40. Mereka
menganjurkan dekstran 40 sebagai infus atau bolus, dan menyimpulkan bahwa berat
molekul tinggi dan viskositas mampu memperlambat penghapusannya dari ruang
epidural.
Pencegahan PDPH - Faktor utama yang bertanggung jawab pada kejadian
PDPH adalah ukuran perforasi dural. Pencegahan PDPH dapat dicapai dengan hidrasi
yang tepat dengan cairan oral 2500ml/hari atau cairan IV bila diperlukan.
Meminimalkan kebocoran dengan menggunakan jarum pengukur yang bagus.
Dianjurkan menggunakan ukuran 24 atau yang lebih kecil. Jika jarum miring yang
digunakan maka masukkan jarum spinal dengan paralel bevel hingga serat-serat dural
mendorong ambulasi awal.
Jarum Quincke standar adalah yang dilengkapi dengan bevel pemotong
ukuran sedang dan lubang di ujung jarum. Pada tahun 1926 Greene mengusulkan
sebuah desain ujung jarum dengan non cutting edge yang dapat memisahkan serat-
serat dural. Jarum Whitacre diperkenalkan pada tahun 1951 dan jarum Sprotte pada
tahun 1987. Istilah generik untuk kedua jarum ini adalah titik pensil atau atraumatik.
Studi telah menunjukkan bahwa jarum titik pensil kurang menyebabkan sakit kepala
dibandingkan jarum pemotong tingkat menengah. Bagaimanapun, parasthesia telah
13
diamati dengan jarum titik pensil. Alasannya mungkin pada jarak dari ujung jarum ke
ujung lubang. Ujung jarum harus melewati ruang subarachnoid sekitar 0,5 mm
sebelum lubang memasuki ujung spasi. Ujung jarum kemudian dapat menimpa cauda
equina yang membentang. Percayalah pada hipotesis ini, parasthesia adalah sesuatu
yang tidak lazim dengan jarum tingkat rendah atau jarum Atraucan.
Komplikasi infektif adalah berbagai macam infeksi dapat terjadi karena teknik
aseptik yang tidak benar atau ketika terdapat bakteremia ketika spinal dilakukan.
Infeksi kulit mungkin muncul, tetapi tidak signifikan. Hasil abses epidural
dari kontaminasi ruang epidural karena teknik yang salah. Pada umumnya gejala
infeksi terjadi dalam beberapa hari. Meningitis bakteri merupakan komplikasi yang
serius namun jarang terjadi. Organisme yang biasa ditemukan berupa Pseudomonas,
Staphylococcus aureus dan Streptokokus mitis. Jeda dalam teknik steril merupakan
yang paling sering menjadi penyebab utama kontaminasi bakteri pada ruang sub
arachnoid.
Permulaan terjadi dalam waktu 48 jam, tetapi mungkin tertunda selama 30
hari setelah anestesi spinal. Gejala seperti sakit kepala akut, suhu badan meninggi,
dan tetanus dapat muncul tiba-tiba. Dasar pengobatannya adalah terapi antibiotik.
Karena Pseudomonas adalah organisme yang paling dominan, polimiksin B
sebaiknya ditambahkan pada antibiotik yang biasa.
Perhatian yang cermat pada teknik steril sangat penting untuk mengurangi
komplikasi infeksi. Mencuci tangan secara menyeluruh, sarung tangan steril, topi
14
bedah, tudung, masker dan teknik blok steril sangatlah penting. Sebuah area luas kulit
harus dipersiapkan dengan povidone iodine dan alkohol. Waktu yang memadai harus
diberikan untuk pengeringan.
Spinal anestesi untuk pasien dengan bakteremia dianggap kontroversial. Jika
suatu blok diperlukan maka blok harus dilakukan jika antibiotik yang sesuai telah
diberikan.
Komplikasi neurologis merupakan komplikasi neurologis setelah anestesi
spinal yang mulai mendapat perhatian media sejak kasus Woolley dan Roe di Inggris.
Marinacci, seorang ahli saraf mengevaluasi 542 pasien yang dianggap
memiliki komplikasi neurologis terkait dengan anestesi spinal sebelumnya. Setelah
evaluasi, hanya 4 dari 542 pasien yang ditemukan mengalami perubahan neurologis
pasca operasi. Vandam dan Dripps mencatat 10.098 pasien telah menjalani anestesi
spinal tanpa komplikasi neurologis.
Dalam gangguan saraf organik tertentu anestesi spinal dapat memperburuk
gejala dan kondisi pasien. Pada anemia pernisiosa yang berkombinasi dengan
sclerosis dari saraf tulang belakang, kondisi dapat menjadi lebih buruk. Pada penyakit
multiple sclerosis silent mungkin akan terbongkar. Pada pasien yang memiliki infeksi
virus seperti cacar air poliomielitis, setiap defisit saraf residural bisa menjadi lebih
buruk.
15
Seri besar dan laporan kasus mendokumentasikan lesi neurologis yang jarang
terjadi setelah anestesi spinal seharusnya tidak memberikan rasa aman palsu.
Perubahan neurologis mungkin saja terjadi. Dianggap bahwa cedera neurologis
disebabkan oleh efek langsung neurotoksik dari obat bius pada jaringan saraf. Hal ini
terjadi karena konsentrasi yang salah. Cedera dapat terjadi akibat suntikan
intramedulla atau endoneural suntikan obat. Ini dinamakan sebagai meningismus,
arrachroiditis yang merekat, mielitis, sindrom kauda equina, kelumpuhan kandung
kemih dan dubur.
Sebagian besar cedera dalam sindrom cauda equina yang berhubungan dengan
anestesi spinal dikaitkan dengan penggunaan lidokain. Data eksperimental
menunjukkan bahwa toksisitas lidocain melekat melebihi bupivacain. Vasoconstrictor
digunakan bersama dengan lidocain berkontribusi pada toksisitas dengan
mempromosikan iskemia mengurangi serapan obat bius atau langsung mempengaruhi
elemen saraf.
Penting untuk mempertimbangkan kemungkinan bahwa manifestasi klinis
dari sindrom cauda equina dapat karena lesi kompresif seperti hematom atau abses.
Kompresi ini bersifat reversibel dan memperpanjang pemulihan secara langsung
berkaitan dengan waktu permulaan defisit pada dekompresi bedah. Keadaan klinis
seperti status koagulasi dapat memberikan petunjuk untuk diagnosis.
16